Tuesday, April 3, 2018

ESTETIKA (FILSAFAT KEINDAHAN)



ESTETIKA
(FILSAFAT KEINDAHAN)

A. PENGERTIAN ESTETIKA
Estetika dari kata Yunani aesthesis atau pengamatan adalah cabang filsafat yang berbicara tentang keindahan. Objek dari estetika adalah pengalaman akan keindahan. Dalam estetika yang dicari adalah hakikat dari keindahan, bentuk­bentuk pengalaman keindahan (seperti keindahan jasmani dan keindahan rohani, keindahan alam dan keindahan seni), diselidiki emosi manusia sebagai reaksi terhadap yang indah, agung, tragis, bagus, mengharukan, dan sebagainya.
Dalam estetika dibedakan menjadi estetika deskriptif dan estetika normatif. Estetika deskriptif menggambarkan gejala-gejala pengalaman keindahan, sedangkan estetika normatif mencari dasar pengalaman itu. Misalnya, ditanyakan apakah keindahan itu akhirnya sesuatu yang objektif (terletak dalam lukisan) atau justru subjektif (terletak dalam mata manusia sendiri).
Filsuf Hegel dan Schopenhauer mencoba untuk menyusun suatu hierarki bentuk-bentuk estetika. Hegel membedakan suatu rangkaian seni yang mulai pada arsitektur dan berakhir pada puisi. Makin kecil unsur materi dalam suatu bentuk seni, makin tinggi tempatnya atas tangga hierarki. Adapun Schopenhauer melihat suatu rangkaian yang mulai pada arsitektur dan memuncak dalam musik. Musik mendapat tempat istimewa dalam estetika. Banyak pemikir dari sej arah telah berbicara tentang musik, dari Konfusius, Pythagoras, Plato dan Axistoteles sampai Schopenhauer, Nietzche dan Popper. (Harry Hamersma, 1988, hlm. 24-25)
Perbedaan lain dari estetika adalah estetis filsafati dengan estetis ilmiah. Melihat bahwa definisi estetika merupakan suatu persoalan filsafat yang sejak dulu sampai sekarang cukup diperbincangkan para filsuf dan diberikanjawaban yang berbeda-beda. Perbedaan itu terlihat dari berlainannya sasaran yang dikemukakan. The Liang Gie merumuskan sasaran-sasaran itu adalah sebagai berikut.
1.      Keindahan.
2.      Keindahan dalam alam dan seni.
3.      Keindahan khusus pada seni.
4.      Keindahan ditambah seni.
5.      Seni (segi penciptaan dan kritik seni serta hubungan dan peranan seni)
6.      Citarasa.
7.      Ukuran nilai baku.
8.      Keindahan dan kejelekan.
9.      Nilai nonmoral (nilai estetis).
10. Benda estetis.
11. Pengalaman estetis. (The Liang Gie, 1983, hlm. 20-21)
Estetis filsafati adalah estetis yang menelaah sasarannya secara filsafati dan sering disebut estetis tradisional. Estetis filsafati ada yang menyebut estetis analitis, karena tugasnya hanyalah mengurai. Hal ini dibedakan estetis yang empiris atau estetis yang dipelajari secara ilmiah. Jadi, estetis ilmiah adalah estetis yang menelaah estetis dengan metode-metode ilmiah, yang tidak lagi merupakan cabang filsafat. Pada abad XX, estetis ilmiah sering disebut juga estetis modern untuk membedakannya dengan estetis tradisional yang bersifat filsafati. (The Liang Gie, 1983, hlm. 21)
Perbedaan tampak dalam bagan sebagaimana pendapat dari The Liang Gie, yaitu sebagai berikut.
Pengalaman estetik adalah tangapan seseorang terhadap benda yang bernilai estetis. Hal ini merupakan persoalan tentang psikologis sehinga pendekatan penelaahan mengunakan metode psikologi. Ada tiga pengertian yang dapat dirangkum dari para ahli yaitu:
1.      Pengalaman estetis terjadi karena penyeimbangan antara dorongan-dorongan hati menikmati karya seni.
2.      Pengalaman estetis adalah salah satu keselarasan dinamis dari perenungan yang menyenangkan, menimbulkan perasaan-perasaan seimbang dan tenang terhadap karya seni yang diamatinya atau terhadap suatu obyek yang dihayatinya, sehinga tidak merasa kehadiran dirinya sendiri. Pengalaman estetis jenis ini berhubungan dengan pengalaman mistis.
3.      Pengalaman estetis adalah suatu pengalaman yang utuh dalam dirinya sendiri tanpa berhubungan dengan sesuatu diluar dirinya, bersifat tidak berkepentingan (disinterested) dari pengamatan yang bersangkutan. Pengalaman tersebut adalah penyerapan itu sendiri dan merupakan nilai intrisik.
 John Hospers menyebut pembuatan yang demikian ini menyerap demi penyerapan  (perceive for perceiving) atau penyampuran demi untuk penyerapan itu sendiri (perceiving for its own sake) dan tidak untuk keperluan sesuatu yang lebih jauh.

B. PENGERTIAN KEINDAHAN
Keindahan menurut etimologi berasal dari kata Latin bellum akar kata bonum yang berarti kebaikantMenurut cakupannya dibedakan keindahan sebagai suatu kualitas abstrak (beauty) dan sebagai sebuah benda tertentu yang indah (the beautiful). Kedua hal itu dalam filsafat kadang-kadang dicampuradukkan saja.
Keindahan menurut luasnya dapat dibagi menj adi tiga, yaitu sebagai berikut.

1. Keindahan dalam Arti yang Terluas
Keindahan merupakan pengertian yang berawal dari bangsa Yunani dahulu yang di dalamnya tercakup ide kebaikan. Plato menyebut tentang watak yang indah dan hukum yang indah. Aristoteles menyebut keindahan sebagai sesuatu yang selain baik juga menyenangkan. Plotinus menyebut ilmu yang indah dan kebajikan yang indah. BangsaYunani juga mengenal pengertian keindahan dalam arti estetis yang disebutnya symmetria untuk keindahan berdasarkan penglihatan, hannonia untuk keindahan berdasarkan pendengaran. Jadi, pengertian keindahan yang seluas-luasnya meliputi keindahan seni, alam, moral, dan intelektual.

2. Keindahan dalam Arti Estetis Murni
Menyangkut pengalaman estetis dari seseorang dalam hubungannya dengan segala sesuatu yang dicerapnya.

3.   Keindahan dalam Arti Terbatas dalam Hubungannya dengan Penglihatan
            Jadi, di sini lebih disempitkan sehingga hanya menyangkut benda-benda yang dicerap dengan penglihatan berupa keindahan dari bentuk dan warna.
            Semuanya belum jelas apa sesungguhnya keindahan itu? Hal itu memang menjadi suatu persoalan filsafat yang jawabannya beraneka ragam. Salah satu jawabannya adalah mencari ciri-ciri umum yang ada pada semua benda yang dianggap indah dan kemudian menyamakan ciri-ciri hakiki itu dengan pengertian keindahan. Jadi, keindahan pada dasarnya adalah sejumlah kualitas pokok tertentu yang terdapat pada sesuatu. Kualitas yang paling sering disebut adalah kesatuan (unity), keselarasan (harmony), kesetangkupan (symmetry), keseimbangan (balance), perlawanan (contrast). (The Liang Gie, 1983, hlm. 34-35)
            Pengertian lain dari keindahan seperti yang digambarkan oleh Herbert Read, Thomas Aquinas dan Kaum Sofis di Athena. Herbert Read memberikan Pengertian keindahan, yakni kesatuan dari beberapa hubungan bentuk yang terdapat di antara pencerapan indrawi kita. Thomas Aquinas menyatakan keindahan sama dengan sesuatu yang menyenangkan. Adapun kaum sofis di Athena memberikan gambaran keindahan sebagai sesuatu yang menyenangkan terhadap penglihatan atau pendengaran. Dalam estetis modern, orang lebih banyak berbicara tentang seni dan pengalaman estetis karena ini gejala konkret yang dapat ditelaah dengan pengamatan secara empiris dan penguraian yang sistematis.
            Secara khusus tulisan ini akan membahas tentang perjalananku menjadi anggota Marching Band Bulldozer (MBB), dari perjalanan pendidikan pelatihan (DIKLAT) dan Gladi Tangguh (GT). Di tulisan ini aku coba mengeksplorasi dan menganalisa berbagai macam wacana yang berhubungan dengan pengalaman estetisku. Dalam hal ini adalah pengalaman mencari keindahan di dalam bermusik saat menjadi peserta DIKLAT dan bagaimana menuju menjadinya serta terus bereksistensi di dalam mengemban keanggotaanku. Lalu bisakah pengalaman pribadiku diejawantahkan ke dalam tema yang sangat berbau filosofis? “Pengalaman Estetis, antara Menjadi dan Eksistensi.” Lalu apa itu seni, keindahan, dan pengalaman estetis? Apa itu menjadi? Apa itu eksistensi? Atau apakah antara kata menjadi dan eksistensi bisa didiferensiasikan? Pertanyaan-pertanyaan itu sering kali menggugahku dan juga menggugah para pelaku seni.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas sebenarnya sering diperbincangkan oleh para intelektualis dunia dari masa klasik, renaissans, modern hingga posmodern. Seperti: Immanuel Kant, Hegel, Arthur Schopenhauer, serta para intelektualis dunia yang lain.
Marilah berselancar dengan ide-ide untuk meluncurkan kata demi kata. Semoga ide-ide dalam tulisanku ini bisa memberikan sedikit kenangan kepada semua teman-temanku di Marching Band Bulldozer tercinta dan kepada seseorang yang sangat aku sayangi. God bless you. Kritik yang membangun, itulah motivasi untukku. Selamat membaca!
Pengalaman Estetisku
Hari itu hari Minggu, kalau tidak salah tanggal 26 Mei 2008. Aku dan Uya – Uya itu panggilannya, nama lengkapnya Surya Pradana, mahasiswa Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, di lingkungan Paduan Suara Mahasiswa (PSM) UIN Jakarta, ia dipanggil Gilas, seorang Bassis dan Keyboardis – pergi ke Blok M yang ada di bilangan Jakarta. Kepergian kami ke Blok M hanya untuk satu tujuan, yaitu mendaftarkan diri untuk mengikuti pendidikan pelatihan di Marching Band Bulldozer. Dari situ aku bisa melihat teman-teman yang sedang latihan sekitar jam 10 pagi, bersama seorang laki-laki sahabat kampus Uya, bernama Omen. Uya memanggilnya demikian. Pada saat latihan, semuanya memakai kaos putih, celana jeans, pakai topi, sepatu olahraga, serta pakai ikat pinggang. Tak tahu kenapa, aku memperhatikan segala macam atribut yang teman-teman pakai. Untungnya aku memakai juga apa yang dipakai teman-teman. “Gila”, kata itu yang sering keluar dari gumamanku. Aku dipertemukan lagi dengan dunia lapangan, bercengkerama dengan panasnya sinar matahari lagi, berkeringat lagi, dimaki-maki lagi. Itulah gumamanku yang lain saat pertama kali melihat teman-teman latihan. Pengalaman ini mengingatkanku pada pengalaman yang lalu, saat mengikuti Training Paduan Suara (TRAPARA) PSM UIN Jakarta. “Sistem pelatihannya sama kayak TRAPARA gak ya?” Pertanyaan itu seketika muncul di benakku.
Aku teringat dengan keyakinan John Dewey (salah satu tokoh filsuf Amerika) yang meyakini bahwa pengalaman sebagai hal yang berlangsung secara berkesinambungan, karena interaksi antara makhluk hidup dan kondisi sekitarnya saling berkaitan dalam proses kehidupan. (Baca: Teks-teks Kunci Estetika, Filsafat Seni, h. 298).
Aku dan Uya disuruh langsung ke bagian pendaftaran atau lebih tepatnya ke sekretariat. Di sana ada seorang perempuan yang ketika itu kami tidak tahu namanya siapa. Tapi teman-teman angkatan lama atau senior, biasa memanggil Semy. Tanpa basa-basi, kami langsung mengisi formulir pendaftaran dengan biaya pendaftaran 10.000,-/orang. Setelah itu kami langsung latihan untuk pembagian atau penempatan alat. Menurut Omen, aku pantas masuk di alat tiup Mellophone, karena bentuk bibirku. Padahal aku sendiri ingin masuk Terompet. Tapi tak apa-apa, Mellophone juga oke, yang penting alat tiup, gumamku dalam hati. Akhirnya, aku kesampaian pegang alat tiup. Ketika latihan niup, aku tak bisa menyuarakan alat yang aku pegang. “Gila, alat apaan nih?”, kata-kata itu yang pertama kali muncul pada saat pertama kali meniupkan alat tiup. Aku jadi teringat dengan apa yang telah aku baca dan diskusikan bersama teman-temanku di kampus. Ada pengalaman, emosi, dan persepsi. Ketiga kata itu yang akan sedikit aku beberkan, dan adakah hubungannya dengan proses latihanku?
Pada saat pertama kali aku latihan Mellophone, aku sangat berharap, semoga aku bisa menaklukkan alat tiup ini. Harapanku ini sebagai tanda bahwa emosiku mulai bermain. Kenapa aku katakan demikian? karena kata berharap, bahkan kata-kata yang lainnya, seperti: gembira, sedih, takut, marah, dan lain sebagainya adalah kata-kata yang mencerminkan emosi. Kata-kata yang menunjukkan pada emosi tadi berubah begitu alur pengalaman berlanjut. Pengalaman seyogyanya bersifat emosional, namun tidak ada emosi yang berdiri sendiri di dalamnya. Emosi melekat pada kejadian dan objek dalam pergerakannya. Emosi merupakan kekuatan yang menggerakkan sekaligus merekatkan, yang akhirnya akan memberikan nilai kualitatif.
Ada pola umum yang berlaku sekalipun pengalaman-pengalaman dapat saja berbeda satu sama lainnya. Setiap pengalaman merupakan hasil interaksi antara makhluk hidup dan aspek tertentu dalam dunia kehidupannya. Sekalipun seorang manusia hanya berinteraksi dengan sebuah batu, namun dengan merasakan bentuk batu, beratnya dan menentukan apa yang akan diperbuatnya dengan batu itu sudah mengandaikan terjadinya suatu proses mutual antara diri dan objek di luar diri. Begitu pula interaksi yang terjadi antara seorang pemusik dengan alat musik yang dimainkannya mengonstitusi suatu totalitas sebuah pengalaman, dan akhir dari interaksi tersebut adalah berupa keparipurnaan (completeness) dan menjadikannya harmoni yang dihayati.
Aku sadar bahwa di lingkunganku yang baru ini selalu bersentuhan dengan dunia estetika, yang pengalamannya pun akan menjadi pengalaman estetis. Karena di sini, di Marching Band Bulldozer, adalah komunitas seni musik dan seni tari, mungkin lebih tepatnya komunitas berkesenian. Bentuk kesenian itu dapat dikatakan musik, jika terdapat beberapa faktor, yaitu: Ritme artinya dengan beraturan. Melodi atau lagu. Dan terakhir terdapat unsur Harmoni, artinya keselarasan sesuai dengan lagunya. (Lihat makalah Iwan Buana FR, dalam seminar Rekontekstualisasi Gagasan Musik sebagai Metode dan Media Alternatif Dunia Pendidikan, 17 Mei 2004, hal. 1).
Aku ingin mendefinisikan seni musiknya saja, karena di Marching Band Bulldozer, prosentasenya lebih banyak ke seni musik.
  • Musik itu sendiri adalah ilmu atau seni menyusun nada atau suara dalam urutan kombinasi dan hubungan temporal untuk menghasilkan komposisi suara yang mempunyai kesatuan dan keseimbangan.
  • Musik adalah nada atau suara yang disusun sedemikian rupa sehingga menyandang irama lagu dan harmoni. (Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia).
Oiya, ngomongin pendidikan pelatihan di Marching Band Bulldozer, aku jadi ingat saat latihan (latihannya hari Rabu, pukul 18.30-21.00, tapi setelah itu latihannya dipindahkan ke hari Kamis pada jam yang sama, mengikuti jadwal anggota reguler, dan hari Minggu pukul 10.00-15.00, terkadang latihan full). Latihan pemanasan skala DO dimulai dengan ketukan 16 ketuk, 8 ketuk, 4 ketuk, 2 ketuk, dan 1 ketuk. Ini bentuk latihan yang paling aku suka, karena berhubungan dengan latihan pernapasan. Terus bentuk-bentuk latihan yang lain, seperti latihan: (13243546576i.i67564534231), (12323434545656767i. i76765654543432321), (1234234534564567567i.i7657654654354324321), (12345432123454321234567i2i76543213531). Baru setelah itu masuk ke materi lagu, lagu pertama latihan adalah lagu: (Terlena, Mars Pekerjaan Umum, Bangun Pemuda-Pemudi, Maju Tak Gentar, 17 Agustus, Happy Birthday, dan Cindai). Yang semuanya bisa aku mainkan dengan lancar, kecuali lagu 17 Agustus. Sebenarnya masih ada beberapa lagu lagi, seperti: Padamu Negeri, Rayuan Pulau Kelapa, dan masih banyak lagu yang lain.
Di tulisan ini, aku ingin berterima kasih kepada teman-teman angkatan XXIII 2008 yang selalu aku ingat, yang membuatku tersenyum dan tertawa sendiri, mereka adalah:
  • HORN LINE — Vazal, Uya, Nurul (koq kita bisa ketemu lagi ya..), Wisnu dan Momi (kembangkan kegilaanmu, kyakakak), Aksel, Nino, Supal (kayaknya aku harus menyusul kalian), Julius (sang stokis, stokis apaan ya? Hahaa..), Ms. Nani (jadi ingat kata-kata dia, “taklukkan seseorang dengan musik”. Yang sabar ya, Buu. Hehee..), Tutus, Rohman, Dini, Miss, Chandra, Ilham, Lucky, Yunus (senang bisa kenal kalian…), Maria (guru Mellophone angkatan XXIII, nggak salah, bukan? Hahahaa…), Ari dan Wulan (semoga langgeng, Aamiin..), Dwiki dan Rama (kembangkan potensimuu..), Murid-muridnya Ms. Nani (semangat ya..).
  • PERCUSSION — Idhan dan Chatlea (latihan yang bener, jangan pacaran mulu, hehee..), Riswan (ini orang yang sering bikin aku ketawa, orang gila, hahaa..), Putri, Icha, Ima (geng UINJ, sukses ya..), Tice (sama gilanya seperti Riswan, Wisnu, Momi. Woooy, I’m comiiing. Hahaa..), Gengnya Astrid (bertigaan mulu, udah kayak ban Becak, hwakakakak..), Indi (semangat ya De..), Burhan dan Riki (yang bener dong kalau latihan).
  • COLOR GUARD — Dika dan Veny (seharusnya udah pantas kuliah, ups. Hahahaa..), Ghea (mantannya Uya, sabar ya Non, hiks hiks), Rya (semoga sukses apa yang diinginkan), Mamay (semoga langgeng bareng Dany, da_may@yahoo.com, hahahaa..), Arin (semoga berjalan dengan cinta dan pengetahuan. Kembangkan potensimu, De.. Kamu bisa).
  • Kepada teman-teman yang belum aku sebut di sini (kalian adalah teman-teman baikku).
Dari sekian bulan aku mengikuti pendidikan pelatihan dan gladi tangguh, aku sama sekali belum merasakan bagian dari Marching Band Bulldozer, karena aku sendiri belum dilantik. Itulah aku, menurutku legalitas dalam sebuah organisasi penting dan wajib adanya. Aku masih dalam taraf menjalankan proses menjadi bukan menjadi itu sendiri. Bahkan ada satu momen yang sangat aku hargai, ketika aku harus dihadapkan pada dua pilihan; pergi ke Bali untuk urusan pekerjaan atau ikut gladi tangguh. Dua pilihan ini yang sering memeras otak dan pikiranku. Bagaimana pun, aku harus memilih dua-duanya. Di satu sisi menyangkut pekerjaan, di sisi yang lain menyangkut hobi. Syukur alhamdulillah, dengan berjalannya waktu dua-duanya berjalan dengan lancar.
Ada satu adagium yang dilontarkan oleh seorang tokoh eksistensialis Soren Kierkegaard (1813-1815), bahwa: “Pilihan adalah sesuatu yang menentukan kandungan kepribadian, di dalam pilihan, kepribadian membenamkan diri dalam apa yang dipilihnya, dan jika ia tidak memilih, maka ia menyia-nyiakannya tanpa guna.” (Lihat Graham Higgin: Antologi-antologi Filsafat, hal. 157). Adagium ini pantas untuk direnungkan. Memang aku harus memilih keduanya, itu pilihanku. Menurutku, adanya pilihan pun terjadi berkat adanya pengalaman dan keadaan.
Tidak hanya pendidikan pelatihan yang ada dalam proses menjadi anggota di Marching Band Bulldozer, tapi ada GT, yang pelaksanaannya dimulai dari tanggal 25-27 Juli 2008 di Puncak, Bogor. Sebenarnya ada satu malam yang dilaksanakan di PU, karena berhubung ada kendala, aku tak jadi datang. Terima kasih ketua GT atas pengertiannya. Di GT ini aku mempunyai banyak kenangan. Intinya aku mencoba untuk menjadi “orang gila”, karena kalau tidak seperti itu tidak akan maksimal hasilnya.
Di akhir GT, aku mendapatkan pengalaman yang sangat menggelitik pikiran dan perasaanku. Meninggalnya Eko Kurniawan, dengan perantara kecelakaan. Padahal menurut penuturan teman-teman peserta, semalam Eko Kurniawan masih bersama kita, menjadi panitia GT, malam di PU. Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi Raji’un, ucapan itu yang aku rapalkan ketika mendengar Eko Kurniawan meninggal. Selamat jalan sobat. Aku sangat yakin, dengan proses kematianmu, kau adalah hamba terpilih yang dipilih langsung oleh Tuhan. Ya Allah, pertemukan Eko Kurniawan dengan Mimiku ya Allah. Mimiku pasti bangga, aku punya teman seperti Eko Kurniawan. Eko, perlu kau ketahui, ketika aku menulis kata-kata ini, tidak henti-hentinya air mata ini menetes di buku catatanku. Membicarakan Eko Kurniawan, aku jadi teringat almarhumah Mimiku yang sangat aku sayangi. Aku teringat pesan-pesan beliau, salah satunya: “Di dunia ini masih banyak simbol-simbol Tuhan yang harus kita pelajari”. Eko, aku tak bisa menghentikan tangisanku, aku tak bisa. Titip salam rinduku untuk beliau. Katakan kepada beliau aku sudah mandiri, aku sudah merasakan kesenangan ketika menelaah simbol-simbol Tuhan. Kalian berdua adalah hamba-hamba terpilih. Ya Allah, mereka berdua sangat layak dan pantas berada di Surga-Mu. Amin Ya Rabb al-’Alamin.
Antara Menjadi dan Eksistensi
Aku sangat bersyukur bisa berada di komunitas ini, aku ingin menjadi bagian dari komunitas ini. Dan kelak ketika aku menjadi bagian dari komunitas ini, aku akan memberikan yang terbaik. Aku akan selalu ada untukmu. Semoga!
Apa itu menjadi? Definisi ini mungkin sulit untuk didefinisikan, tapi akan aku coba. Karena menurutku, penjelasan tanpa definisi itu nihil.
  • Menjadi adalah perubahan dari satu bentuk keberadaan ke bentuk keberadaan lainnya. (Hanya perubahan letak atau perubahan gerak yang tidak dianggap menjadi).
  • Menjadi adalah jenis perubahan yang tidak mengaktualkan potensi sesuatu menjadi sesuatu yang lain daripada sebelumnya, dalam suatu proses merealisir tujuannya, maksud, atau akhirnya.
  • Dalam filsafat, menjadi mengacu kepada arus peristiwa dalam waktu, termasuk proses ada dan tiadanya kualitas mana pun. Menjadi juga mengacu kepada proses, perubahan teratur, yang berbeda dengan ada yang tak berubah. (Lihat Lorens Bagus, Kamus Filsafat, hal. 616).
Dari sekian banyak definisi, dapat ditarik kesimpulan bahwa adanya menjadi itu dikarenakan adanya proses. Ingin menjadi anggota Marching Band Bulldozer, harus melampaui DIKLAT dan GT serta diresmikan dengan acara pelantikan atau penyematan. Lalu apa hubungannya menjadi dengan eksistensi? Jawaban dari pertanyaan ini harus dianalisis secara mendalam. Ketika aku sudah melampaui DIKLAT, GT, dan Pelantikan, kata “menjadi” sudah wajib adanya. Aku sudah menjadi anggota, bukan berarti tidak butuh proses untuk menjadi. Proses untuk menjadi ketika sudah menjadi itu butuh dengan eksistensi. Butuh dengan komitmen. Keberadaan aku ketika sudah menjadi adalah proses yang terus berulang-ulang, untuk menjadi yang sebenarnya. Masih banyak yang harus aku pelajari untuk menjadi yang benar-benar jadi.


C. TEORI KEINDAHAN
1. Teori Subjektif dan Objektif
Kalau estetis dirumuskan cabang filsafat yang berhubungan dengan teori keindahan, definisi keindahan memberi tahu orang untuk mengenali apa keindahan itu dan teori keindahan menjelaskan bagaimana keindahan itu.
Persoalan pokok dari teori keindahan adalah mengenai sifat dasar dari keindahan 'apakah keindahan merupakan sesuatu yang ada pada benda indah atau hanya terdapat dalam alam pikiran orang yang mengamati benda tersebut?
Dalam sejarah estetis menimbulkan dua kelompok teori yang terkenal, yaitu teori objektif dan teori subjektif tentang keindahan. Teori objektif dianut Plato, Hegel, dan Bernard Bosanquet. Para filsuf itu disebut objective aestheticians (ahli-ahli estetis objektif). Teori subjektif didukung antara lain Henry Home, Earl of Shaftesbury, dan Edmund Burke. Filsufnya disebut subjective aestheticians (ahli-ahli estetis subjektif).
Teori objektifberpendapat, keindahan atau ciri-ciri yang menciptakan nilai estetis ialah sifat (kualitas) yang telah melekat pada benda indah yang bersangkutan, terlepas dari orang yang mengamatinya. Pengamatan seseorang hanyalah menemukan atau menyingkapkan sifat-sifat indah yang sudah ada pada sesuatu benda dan sama sekali tidak berpengaruh untuk mengubahnya. Persoalannya adalah ciri-ciri khusus manakah yang membuat sesuatu benda menjadi indah atau dianggap bernilai estetis. Salah satu jawabannya adalah perimbangan antara bagian-bagian dalam benda indah itu. Sebagian filsuf seni dewasa ini memberikan jawaban nilai estetis itu tercipta dengan terpengaruhinya asas-asas tertentu mengenai bentuk pada sesuatu benda (khususnya karya seni yang diciptakan oleh seseorang).
Teori subjektif menyatakan bahwa ciri-ciri yang menciptakan keindahan pada sesuatu benda sesungguhnya tidak ada, yang ada hanyalah tanggapan perasaan dalam diri seseorang yang mengamati sesuatu benda. Adanya keindahan semata-mata tergantung pada pencerapan dari si pengamat itu. Kalaupun dinyatakan bahwa sesuatu benda mempunyai nilai estetis, hal ini diartikan bahwa seseorang pengamat memperoleh pengalaman estetis sebagai tanggapan terhadap benda itu.
Selain dua teori di atas masih ada satu teori lagi oleh The Liang Gie disebut teori campuran. Teori campuran, keindahan terletak dalam suatu hubungan di antara sesuatu benda dengan alam pikiran seseorang yang mengamatinya,
misalnya berupa menyukai atau menikmati benda itu. Jadi, sesuatu benda mempunyai ciri tertentu dan ciri itu dengan melalui pencerapan muncul dalam kesadaran seseorang sehingga menimbulkan rasa menyukai atau menikmati benda itu. (The Liang Gie, 1983, him. 41-42)

2. Teori Perimbangan
Teori perimbangan tentang keindahan oleh Wladylaw Tatarkiewicz disebut Teori agung tentang keindahan (the great theory of beauty) atau dapat juga teori agung mengenai estetis Eropa. Teori agung tentang keindahan menjelaskan bahwa, keindahan terdiri atas perimbangan dari bagian-bagian, atau lebih tepat lagi terdiri atas ukuran, persamaan dan jumlah dari bagian-bagian serta hubungannya satu sama lain. Contoh, arsitektur orang-orang Yunani. Keindahan dari sebuah atap tercipta dari ukuran, jumlah dan susunan dari pilar-pilar yang menyangga atap itu. Pilar-pilar itu mempunyai perimbangan tertentu yang tepat dalam pelbagai dimensinya.
Bangsa Yunani menemukan bahwa hubungan matematis yang cermat sebagaimana terdapat dalam ilmu ukur dan pelbagai pengukuran proporsi ternyata dapat diwujudkan dalam benda-benda bersusun yang indah. Menurut teori proporsi keindahan terdapat dalam sesuatu benda yang bagian-bagiannya memiliki hubungan satu sama lain sebagai bilangan-bilangan kecil. (The Liang Gie, 1983, him. 42-45)


3. Teori Bentuk Estetis
De Witt H. Parker memeras ciri-ciri umum dari bentuk estetis menjadi enam asas, yaitu sebagai berikut.                                                                                  '

a. Asas Kesatuan Utuh
Asas ini berarti setiap unsur dalam karya seni adalah perlu bagi nilai karya itu dan karya tersebut tidak memuat unsur-unsur yang tidak perlu, sebaliknya mengandung semua yang diperlukan. Nilai dari suatu karya sebagai keseluruhan tergantung pada hubungan timbal balik dari unsur-unsur tersebut, yakni setiap unsur memerlukan, menanggapi, dan menuntut setiap unsur lainnya.

b. Asas Tema
Dalam setiap karya seni terdapat satu (atau beberapa) ide induk atau peranan yang unggul berupa apa saja (bentuk, warna, pola irama, tokoh atau makna) yang menjadi titik pemusatan dari nilai keseluruhan karya itu. Ini menjadi kunci bagi penghargaan dan pemahaman orang terhadap karya seni itu.

c. Asas Variasi menurut Tema
Tema dari karya seni harus disempurnakan dan diperbagus dengan terus­ menerus mengumandangkannya. Agar tidak menimbulkan kebosanan pengung­kapan tema harus tetap sama itu perlu dilakukan dalam pelbagai variasi.

d. Asas Keseimbangan
Keseimbangan merupakan kesamaan dari unsur-unsur yang berlawanan atau bertentangan. Dalam karya seni walaupun ada unsur-unsur yang tampaknya bertentangan, tetapi sesungguhnya saling memerlukan karena menciptakan suatu kebulatan. Unsur yang saling berlawanan itu tidak memerlukan sesuatu yang sama, melainkan yang utama adalah kesamaan dalam nilai. Dengan kesamaan dari nilai-nilai yang saling bertentangan terdapatlah keseimbangan secara estetis.

e. Asas Perkembangan
Asas ini dimaksudkan oleh Parker bahwa kesatuan dari proses yang bagian awalnya menentukan bagian selanjutnya dan bersama-sama menciptakan suatu makna yang menyeluruh. Misalnya dalam sebuah cerita hendaknya terdapat suatu hubungan sebab akibat atau rantai tali-temali yang perlu dengan ciri pokok berupa pertumbuhan atau himpunan dari makna keseluruhan.

f. Asas Tatajenjang
Asas yang terakhir ini merupakan penyusunan khusus dari unsur-unsur dalam asas tersebut. Dalam karya seni yang rumit kadang-kadang terdapat satu unsur yang memegang kedudukan yang penting. Unsur ini mendukung secara tegas tema yang bersangkutan dan mempunyai kepentingan yang jauh lebih besar daripada unsur-unsur lainnya. (The Liang Gie, 1976, hlm. 46-48)
Dari keenam asas di atas menurut Parker diharapkan menjadi unsur dari logika tentang bentuk estetis.
Teori lain dikemukakan Monroe Beardsley, menjelaskan adanya tiga ciri yang menjadi sifat-sifat 'membuat baik (indah)' dari benda-benda estetis pada umumnya. Ketiga ciri itu adalah sebagai berikut.

a. Kesatuan (unity)
Berarti benda estetis itu tersusun secara baik atau sempurna bentuknya.
b. Kerumitan (complexity)
Benda estetis atau karya seni kaya akan isi dan unsur yang saling berlawanan serta mengandung perbedaan-perbedaan yang halus. c. Kesungguhan (intensity)
Benda estetis yang baik harus mempunyai kualitas tertentu yang menonjol bukan sekadar sesuatu yang kosong. Kualitas itu tidak menjadi masalah apa yang dikandungnya (misalnya suasana suram atau gembira, sifat lembut atau kasar), asalkan menjadi sesuatu yang intensifatau sungguh-sungguh. (The Liang Gie, 1983, hlm. 46-48)

D. PENGALAMAN ESTETIS
Pengalaman estetis merupakan tanggapan seseorang terhadap benda yang bernilai estetis. Hal ini menjadi persoalan psikologi. Ciri-ciri pengalaman estetis adalah sifat tidak berkepentingan dari pengamatan terhadap benda estetis tanpa adanya tujuan apa pun kecuali pengamatan itu sendiri.
John Hospers menyebut bahwa perbuatan ini mencerap demi pencerapan atau juga pencerapan demi untuk pencerapan itu sendiri dan tidak untuk keperluan sesuatu maksud yang lebih jauh.

Teori Pengalaman Estetis
Ketidakpuasan dengan teori-teori keindahan yang ada, ahli estetis mencari teori mengenai pengalaman estetis untuk menjelaskan perasaan puas (menyenangkan) yang dinikmati seseorang jika mengamati suatu benda estetis. Salah satu pendapat yang sangat terkenal dan mempunyai pengaruh besar selama puluhan tahun dalam estetis adalah teori tentang Einfuhlung. Teori ini pertama kali dikemukakan oleh Friedrich T. Vischer (seorang guru besar Jerman) dan kemudian dikembangkan oleh Theodor Lipps dalam bukunya berjudulAesthetik. Einfithlung diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi empathy. Istilah lainnya introjection, autoprojection, dan symbolic sympathy. Einfuhlung berarti keadaan merasakan diri sendiri ke dalam sesuatu hal, yakni dari kata kerja sich einfuhlen berarti merasakan diri sendiri ke dalam (sesuatu). Jadi, teori einfuhlung adalah teori pemancaran perasaan diri sendiri ke dalam benda estetis. (The Liang Gie, 1983)
Menurut Friedrich T. Vischer, seorang pengamat karya seni cenderung untuk memancarkan atau memproyeksikan perasaannya ke dalam benda itu, menjelajahi secara khayal bentuk dari benda dan dari kegiatan itu menikmati sesuatu yang menyenangkan. Bagi Theodor Lipps proses pemancaran perasaan ke dalam suatu benda tidak semata-mata bersifat subjektif yang tergantung pada si pengamat, melainkan juga objektif berdasarkan sifat dari karya seni tersebut.
Teori Lipps garis besarnya menyatakan: 'Kegiatan estetis adalah kegiatan seseorang yang memproyeksikan perasaannya ke dalam suatu karya seni dan timbul suatu emosi estetis khas karena perasaan itu menemukan suatu kepuasan atau kesenangan yang disebabkan oleh bentuk objektif dari karya seni tersebut'.
E.F. Carritt berpendapat bahwa inti teori Lipps dirumuskan: 'Kesenangan estetis adalah penikmatan dari kegiatan kita sendiri di dalam suatu benda'. Pernyataan ini kelihatannya merupakan suatu pertentangan dalam kata-kata, sebagaimana diterapkan berarti bahwa kita menikmati diri kita sendiri bilamana diobjektifkan, atau menikmati suatu benda, sejauh kita hidup di dalamnya. Contoh: ketika mengamati tiang yang kokoh dari suatu gedung, ia memancarkan perasaan ke dalam tiang itu seolah-olah hidup di dalamnya, ia akan merasakan bahwa dirinya juga besar dan kokoh serta menikmati rasa senang sebagai pengalaman estetisnya.
Teori lain, yakni teori tentang jarak psikis dari Edward Bullough. Edward Bullough dengan mempergunakan metode instrospeksi dari psikologi (yakni pengamatan dengan jalan merenungkan pengalamannya sendiri). Bullough berpendapat bahwa untuk menumbuhkan pengalaman yang berhubungan dengan seni, orang justru harus menciptakan jarak psikis di antara dirinya dengan segala sesuatu yang dapat mempengaruhi dirinya. Hal yang dapat mempengaruhi diri seseorang misalnya kegunaan dari sesuatu benda untuk keperluan atau tujuan orang itu. Menurut Bullough, psychical distance (jarak psikis) dapat dianggap salah satu ciri pokok dari kesadaran estetis. Kesadaran ini adalah sikap mental terhadap dan tinjauan yang khusus mengenai pengalaman yang memperoleh pengungkapannya yang paling subur dalam pelbagai bentuk seni.
Di dalam pengalaman estetis mengalami berbagai rintangan jika pada diri si pengamat terdapat sikap berikut.
1.      Sikap praktis, apabila seseorang mengamati pemandangan yang indah dengan tujuan untuk membangun hotel, rumah makan, dan lain-lain.
2.      Sikap ilmiah, apabila seseorang mendengarkan lagu klasik yang diselidiki adalah asal-usulnya, diciptakan oleh siapa, di mana, dan lain-lainnya.
3.      Sikap melibatkan diri, apabila seseorang mempersamakan nasibnya dengan nasib seseorang yang ada dalam buku novel yang barn saja dibacanya.
4.      Sikap emosional, apabila pada seseorang terdapat hasrat yang menyala­-nyala untuk menikmati karya seni, atau kesadaran diri yang berlebih-lebihan dalam penikmah itu.

Menurut Stephen Pepper, musuh dari pengalaman estetis adalah adanya kesanadaan (monoton) dan kekacaubalauan (confusion). Untuk membatasi kedua faktor yang mencegah atau merusak pengalaman estetis itu, dalam karya seni yang baik harus diusahakan adanya keanekaan (variety) dan kesatuan (unity) yang seimbang. (Kartini Parmono, 1985, hlm. 19-20)

E. FILSAFAT SENI
Filsafat maupun ilmu pengetahuan berkembang disaat orang mulai menarik jarak terhadap segala pengalaman hidupnya : merenunginya, berpikir, bertanya, mencari berbagai cara (metode) untuk menjawab, melihat kembali pada kenyataan-kenyataan dan seterusnya. Mula-mula manusia hanya memiliki pengetahuan biasa, menggunakan intuisinya hingga lama-lama berkembang ilmu pengetahuan, yang memiliki syarat-syarat makin ketat untuk mendapatkan “kebenaran”.
Tujuan dari Filsafat adalah menjadikan manusia yang berilmu. Dalam hal ini, Ahli Filsafat dipandang sebagai orang yang ahli dalam bidang ilmu pengetahuan (ilmuwan), yang selalu mencari kenyataan kebenaran dari semua problem pokok ilmuwan. Perbedaan orang yang berfilsafat dengan yang tidak berfilsafat terletak pada sikap seseorang terhadap hidupnya karena filsafat akan mengajarkan kepada kita tentang kesadaran, kemauan dan kemampuan manusia sesuai dengan kedudukannya sebagai makluk individu, makluk social dan makluk Tuhan untuk diplikasikan dalam hidup, maka yang diperlukan dalam studi filsafat adalah : sikap dan kepribadian yang sesuai.
Berpikir secara filsafat dapat diartikan sebagai berpikir yang sangat mendalam sampai hakikat, atau berpikir secara global / menyeluruh, atau berpikir yang dilihat dari berbagai sudut pandang pemikiran / sudut pandang ilmu pengetahuan. Berpikir yang demikian ini sebagai upaya untuk dapat berpikir secara tepat dan benar serta dapat dipertanggung jawabkan, dengan persyaratan-persyaratan :
Harus sistematis, harus konseptional, harus koheren, harus rasional, harus sinoptik dan harus mengarah kepada pandangan dunia.
Sangat umum dan universal, tidak factual, bersangkutan dengan nilai, berkaitan dengan arti dan implikatif.
Kebenaran bukanlah sesuatu yang ada dalam kebenaran kita sejak kita lahir, kesadaran terhadap kebenaran harus dicari oleh setiap manusia. Manusia yang memiliki tanggunga jawab terhadap hidupnya dan hidup orang lain tentu memerlukan kebenaran. Kebenaran terus dicari sampai seseorang menyatakan setuju terhadap apa yang ditemukannya. Dalam sejarah umat manusia, lembaga kebenaran yang paling tua adalah agama atau system kepercayaan, dasar agama adalah kepercayaan. Manusia percaya kepada agama sebagai kebenaran mutlak yang dipatuhinya secara mutlak pula, hidup manusia diabdikan pada kepercayaan itu. Yang dipercayai dalam agama itu bersifat Adikodrati, melampaui kodrat manusia itu sendiri.
Lembaga kebenaran lain yang dekat dengan lembaga kebenaran agama adalah “seni” seperti halnya agama yang menjangkau kebenaran mendasar, universal, menyeluruh dan mutlak serta abadi, senipun menjangkau hal-hal tersebut. Hanya saja alat untuk mencapai hal itu adalah perasaan dan intuisi. Dasarnya adalah pengalaman inderawi manusia yang bersifat subyektif. Kebenaran pengalaman perasaan intuitif manusia ini hanya dapat dihayati, dirasakan dan dalam penghayatan itulah manusia menyentuh suatu kebenaran yang tak kuasa dia jelaskan. Kualitas perasaan itu harus dialami sendiri oleh manusianya sendiri sehingga ia mampu menemukan kebenaran.
Inilah sebabnya seni sering bergandengan erat dengan lembaga agama, kehadiran sesuatu yang transendental (yang bukan dari dunia ini yang dipercaya) dalam suatu kepercayaan dapat ditemukan dalam seni. Seni tari, seni music, seni teater dan seni rupa sering erat kaitannya dengan kepercayaan manusia purba. Ini terjadi karena seni bertujuan menciptakan suatu realitas baru dari kenyataan pengalaman nyata. Bentuk seni itu sendiri adalah realitas yang dihayati secara inderawi. Dengan demikian, kebenaran seni bersinggungan dengan kebenaran empiris dan kebenaran ide. Dasarnya adalah pengalaman empiris manusia tetapi yang ditemukannya realitas baru yang non empiris. Dalam karya seni, sesuatu seperti dunia ini tetapi kebenarannya bukan dari dunia ini.
Lembaga kebenaran yang berikutnya adalah filsafat, alatnya adalah nalar, logika manusia yang bersifat spekulatif (bukan empirik) dan tak ada metode yang baku. Tujuannya adalah mencapai kebenaran yang sifatnya mendasar dan menyeluruh dalam system konseptual. Lembaga kebenaran yang relative muda adalah ilmu, alat untuk menemukan kebenarannya adalah nalar, logika, bermetode dan sistematik. Sumbernya bersifat empiric, fakta apa adanya. Tujuannya adalah pembuktian kebenaran secara khusus dan terbatas. Kegunaannya sebagai deskripsi prediksi dan control atas kenyataan empiris. Masa Renaissance (abad XVI) lembaga ilmu mulai berkembang pesat di Eropa.
Seni adalah dunia medium antara materialism dunia dan kerohanian yang kekal. Seni adalah sesuatu yang memuat hal-hal yang transcendental, sesuatu yang tak kita kenal sebelumnya dan kini kita kenal lewat karya seorang seniman. Seni harus dibedakan dengan ilmu seni, seni itu soal penghayatan sedangkan ilmu adalah soal pemahaman. Seni untuk dinikmati, sementara ilmu seni untuk memahami.
Kaum pemikir seni mula-mula berasal dari Yunani purba, sekitar 500 – 300 SM, mereka adalah filosof umum seperti Socrates, Plato, Aritoteles, Platinus Dll. Mereka membicarakan seni dalam kaitannya dengan filsafat mereka tentang apa yang disebut “Keindahan” termasuk didalamnya keindahan alam dan keindahan karya seni. Istilah “Estetika” baru muncul tahun 1750 M oleh seorang filsuf minor bernama A.G. Baumgarten ( 1714 – 1762 ). Istilah ini diambil dari bahasa Yunani kuno “Aistheton” yang artinya “kemampuan melihat lewat penginderaan”. Baumgarten menamakan seni itu sebagai termasuk pengetahuan sensoris, yang dibedakan dengan logika  yang dinamakannya pengetahuan intelektual. Tujuan estetika adalah keindahan sedang tujuan logika adalah kebenaran. Sejak itu istilah estetika dipakai dalam bahasan filsafat mengenai benda-benda seni.
Tetapi karena karya seni itu tidak selalu “indah” seperti dipersoalkan dalam estetika, maka diperlukan bidang khusus yang benar-benar menjawab tentang apa hakekat seni atau arts itu. Dan lahirlah apa yang dinamakan “Filsafat Seni”. Jadi perbedaan antara estetika dan filsafat seni hanya dalam obyek materialnya saja. Estetika mempersoalkan hakekat keindahan alam dan karya seni, sedang filsafat seni mempersoalkan hanya karya seni atau benda seni atau artefak yang disebut “seni”.

Filsafat seni merupakan salah satu cabang dari rumpun estetis filsafati yang khusus menelaah tentang seni. Lucius Garvin berpendapat, filsafat seni adalah cabang filsafat yang berhubungan dengan teori tentang penciptaan seni, pengalaman seni dan kritik seni. Joseph Brennan merumuskan: 'penelaahan mengenai asas-asas umum dari penciptaan dan penghargaan seni'. (The Liang Gie, 1983, hlm. 59)
Persoalan-persoalan pokok dalam filsafat seni meliputi antara lain:
1.      pengertian seni;
2.      penggolongan jenis jenis seni;
3.      susunan seni. Ini mencakup problem-problem yang lebih terperinci tentang:
a.      pokok soal dan tema;
b.      bahan dan unsur;
c.      organisasi dan style.
4.      Nilai-nilai dan seni.
Selain empat hal di atas masih dapat ditambahkan teori-teori mengenai: asal mula seni;
sifat dasar dari seni;
bentuk dan pengungkapan dalam seni serta pelbagai teori sejarah seni. (The Liang Gie, 1983, hlm. 59)
1. Pengertian Seni
Apakah seni itu? Dijawab oleh para filsuf dan ahli estetis sepanjang masa dengan pilihan yang berbeda-beda. Menurut The Liang Gie ada lima jawaban mengenai pengertian seni, yaitu sebagai berikut.

a. Seni sebagai Kemahiran (Skill)
Pengertian seni sebagai suatu kemahiran seseorang adalah berasal (etimologi) kata art dari kata Latin ars yang artinya menyambung atau menggabungkan. Untuk pengertian kemahiran, Bangsa Yunani Kuno memakai kata techne yang kini menjadi teknik. Jadi, dari etimologi art dapat diartikan suatu kemahiran dalam membikin barang-barang atau mengerjakan sesuatu. William Flemming berpendapat, seni dalam artinya yang paling dasar adalah suatu kemahiran atau kemampuan. Batasan ini memang benar untuk kata asalnya dalam bahasa Latin ars (kemahiran) maupun kata padanannya dalam bahasa Jerman Kunst. Pengertian seni sebagai kemahiran kini umumnya dilawankan dengan ilmu (science). Ilmu mengajar seseorang untuk mengetahui dan seni mengajar seseorang untuk berbuat. Ilmu dan seni saling melengkapi. Misal, astronomi adalah ilmu dan pelayaran adalah seni.

b. Seni sebagai Kegiatan Manusia (Human Activity)
Yakni kegiatan menciptakan karya seni apa pun. Pengertian seni sebagai Suatu kegiatan manusia yang menciptakan sesuatu benda (indah atau menyenangkan) dilawankan dengan craft (kerajinan), Menurut Kahler ciri-ciri yang membedakan art dengan craft adalah kegunaan praktis.

c. Seni sebagai Karya Seni
Karya seni adalah produk dari kegiatan manusia. Ini sesuai dengan pendapat John Hospers yang menyatakan: 'Dalam artian yang seluas-luasnya, seni meliputi setiap benda yang dibikin oleh manusia untuk dilawankan dengan benda-benda alamiah'.
d. Seni sebagai Seni Indah (Fine Art)
Pengertian ini dipakai misalnya oleh ahli estetis Yervant Krikorian. Seni indah dinyatakan sebagai; seni yang terutama bertalian dengan pembikinan benda-benda dengan kepentingan estetis sebagaimana berbeda dari seni berguna atau terapan yang maksudnya untuk kefaedahan. Seni indah itu mencakup seni lukis, pahat, arsitektur, tari, musik, kesusasteraan, teater, film, dan lain-lain.

e. Seni sebagai Penglihatan 01sual Art)
Eugene Johnson berpendapat bahwa 'seni sebagaimana paling umum dipergunakan dewasa ini, seni berarti seni-seni penglihatan, yaitu bidang kreativitas seni yang bermaksud mengadakan tata hubungan pertama-tama melalui mata'. Herbert Read berpendapat, kata seni paling lazim dihubungkan dengan seni-seni yang bercorak penglihatan atau plastis. (Kartini Parmono,1985, hlm. 20-21)

2. Penggolongan Seni
Penggolongan seni disesuaikan dengan ukuran yang dipergunakan masing­masing ahli estetis. Penggolongan itu adalah sebagai berikut.

a. Seni Kasar (Vulgar Arts) dan Seni Bebas (Liberal Arts)
Penggolongan seperti ini sejak sejarah seni zaman Yunani Kuno sampai zaman Romawi dan Abad Pertenwahan. Seni kasar misalnya, pertukangan kayu, cocok untuk bujangan. Adapun seni bebas diperlukan untul~ pendidikan para warga kota/negara yang mempunyai kedudukan merdeka. Menurut Martianus Capell, seni bebas (liberal arts) diajarkan untuk kemahiran objektif (objective skill) yang jumlahnya tujuh dibagi menjadi dua kelompok, yaitu quadrivium (4 serangkai): aritmetika, geometri, astronomi dan musik (teori harmoni) dan trivium (3 serangkai): tata bahasa, dialektika (logika), dan retorika (seni pidato yang indah).

b. Seni Indah, Seni Berguna/Seni Terapan/Seni Praktis
Seni indah seperti, seni lukis, seni pahat, arsitektur, musik, tari, sajak, dan sebagainya. Adapun seni berguna seperti mobil, pakaian, senjata, dan sebagainya.

c. Mayor Arts (Seni Besar) dan Minor Arts (Seni Kecil)
Mayor arts meliputi seni lukis, seni pahat, arsitektur, musik dan kesusasteraan. Sedangkan minor arts meliputi perabotan kayu, tembikar, permadani, ukiran manikan, perhiasan emas, perak, kerajinan kulit, dan pembuatan sebagian medali. Oswald Kulpe menganggap kelompok minor art ini disebut seni hias (decoration) yang mengabdi kepada seni kegunaan.

d. Seni Dari Segi Peizcerapan Indrawi, Pembagian Medium (Bahan) dan Perpaduan Unsur-unsurnya
Dari segi pencerapan indrawi, pembagian medium (bahan) dan perpaduan unsur-unsurnya. Oswald Kulpe membagi seni indah secara terperinci sebagai berikut.
Seni penglihatan (visual arts). Seni pendengaran (auditory arts).
Seni penglihatan-pendengaran (visual-auditory arts).
e. Berdasarkan Corak Irama dan Macam Bahan
Dr. J.B. Kripping mengadakan pembagian seni berdasarkan corak irama dan macam bahan sebagai berikut. 1. Irama Statis:
a.  dengan bahan yang menentukan ruang; benda mati seperti seni bangunan, benda hidup seperti seni pertamanan,
b.  dengan bahan yang menentukan massa seni pahat, dan c. dengan bahan yang menentukan permukaan, seni lukis.
2. Irama Dinamis:
a. dengan gerak dalam ruang; seni tari.
b. dengan suara; kata; seni sastra, nada; seni musik.
c. dengan gerak dalam permukaan (gambar yang dipancarkan): film.
(The Liang Gie, 1983, hlm. 64-67).

3. Susunan Seni
Setiap karya seni merupakan ramuan dari sejumlah unsur yang bersama­- sama menyusun dan mewujudkan karya itu. Dari sudut ini terhadap suatu karya
seni dapatlah dipermasalahkan pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut.
a. Karya itu mengenai apa? Jawabannya menjadi pokok soal (subject matter) dari karya seni. Pada karya-karya tertentu terdapat tema atau ide pokok yang menjadi landasannya.
b. Karya itu terbuat dari apa? Ini persoalan bahan atau material dari karya seni tersebut.
C. Karya itu bagaimana cara penyusunannya? Ini masalah pengorganisasian dari bahan atau segenap unsur-unsur sehingga menjadi suatu kebulatan yang utuh.
Medium (bahan) seni merupakan unsur yang mutlak, karena tanpa material tidak akan ada seni. Setiap medium seni mempunyai kualitas/ciri-ciri. Kualitas itu disebut unsur-unsur seni dan bersifat abstrak. Seni lukis: warna, garis, dan perspektif. Seni pahat: volume, relief, dan perimbangan. Seni musik: irama, keselarasan, dan tempo.
Dalam setiap karya seni, medium berikut unsur-unsumya disusun dan disatu­padukan menj adi sebuah organisasi menyeluruh yang tersusun dari keseluruhan hubungan satu sama lain antarunsur-unsur seni itu. (The Liang Gie, 1983, hlm. 67-72)

4. Berbagai Aliran dalam Seni
Seni sebagai hasil kreasi manusia mempunyai bentuk dan corak yang beraneka ragam. Aliran-aliran dalam seni itu adalah sebagai berikut.
a. Aliran Naturalisme
Bertuj uan untuk melukiskan bentuk yang sewaj arnya dengan mengindahkan perspektif garis dan warna serta anatominya.
b. Aliran Expressionisme
Melukiskan jiwa atau pendapatnya tentang jiwa objek, cara memaknai ide
itu terlepas dari pengaruh yang kebetulan ada dan disadurkan untuk dapat mencapai inti kerohaniannya.
c. Aliran Impressionisme
Melukiskan kesan alam yang diterimanya dengan spontan, cepat dan pasti
bagian yang kecil-kecil tidak diindahkan, yang dipentingkan keseluruhannya hingga suasana bentuk, gerak dan sinar itu dilukiskan tidak terpisah. (Kartini
Parmono, 1985)
5. Nilai Seni
Dilihat dari sudut mediumnya suatu karya seni mempunyai nilai indrawi
yang menyebabkan seseorang pengamat menikmati atau memperoleh kepuasan
dari ciri-ciri indrawi yang disajikan oleh suatu karya seni. Misalnya, warna­warni yang terpancar dari sebuah lukisan, kata-kata yang indah terdengar dalam suatu musik. Nilai bentuk adalah menghargai atau mengagumi bentuk besar
dan pelbagai bentuk kecil dalam karya seni. (The Liang Gie, 1983, hlm. 72-73) Karya seni sebagai hasil cipta manusia memiliki nilai untuk memuaskan
manusia. Seni tidak hanya menyajikan bentuk-bentuk yang dicerap indra manusia semata, tetapi juga mengandung tujuan abstrak yang bersifat rohaniah, yaitu suatu makna yang dapat memberi arti bagi manusia. Nilai-nilai tersebut adalah
sebagai berikut.
a. Nilai Kehidupan
Nilai-nilai yang terdapat dalam kehidupan manusia yang bersifat mendasar sesuai harkat dan cita manusia ditampilkan dalam media seni. Misalnya, ide
kebahagiaan, kebaikan, dan keadilan.
b. Nilai Pengetahuan
Karya seni dapat memberikan suatu pemahaman terhadap alam sekitarnya dan berbagai aspek kehidupan yang melingkupinya. Misalnya, karakteristik tata budaya atau adat kebiasaan suatu masyarakat.

c. Nilai Keindahan
Pengertiannya menyangkut perasaan manusia. Keindahan hanya merupakan salah satu di antara hal yang dicoba untuk dinyatakan oleh seni.

d. Nilai Indrawi dan Nilai Bentuk
Nilai indrawi menyebabkan seseorang pengamat menikmati atau memperoleh kepuasan dari ciri-ciri indrawi yang disajikan oleh suatu karya seni. Nilai bentuk menyebabkan seseorang mengagumi bentuk besar dan bentuk
kecil.
e. Nilai Kepribadian
Misalnya gaya arsitektur rumah adat Minangkabau akan berbeda dengan gaya arsitektur Romawi. (Kartini Parmono, 1985)

6. Teori Penciptaan Seni
Seniman, dalam menciptakan hasil karyanya ada beberapa teori, di antaranya seperti yang dikemukakan The Liang Gie (1983) berikut ini.
a. Teori Metafisis
Teori ini merupakan salah satu teori tertua, yang berasal dari Plato. Mengenai sumber seni, Plato mengemukakan suatu teori peniruan. Karya seni yang dibuat manusia hanyalah mimemis (tiruan) dari realita dunia.

b. Teori Ekspresi (Pengungkapan)
Beneditto Croce menyatakan bahwa seni adalah pengungkapan dari kesan­kesan. Pengungkapan itu terwujud pelbagai gambaran angan-angan seperti image warna, garis, dan kata. Bagi seseorang yang mengungkapnya berarti menciptakan seni dalam dirinya tanpa memerlukan kegiatan jasmaniah yang keluar.

c. Teori Psikologis
Sebagian ahli estetis dalam abad modem menelaah teori-teori seni dari sudut hubungan karya seni dan alam pikiran penciptanya dengan memperguna­kan metode psikologis. Misalnya berdasarkan psikoanalisis dikemukakan teori bahwa proses penciptaan seni adalah pemenuhan keinginan bawah sadar dari Seorang seniman. Adapun karya seninya merupakan bentuk terselebung atau diperhalus yang diwujudkan keluar dari keinginan itu.

d. Teori Permainan (Play Theory)
Menurut F. Schiller, seni berawal dari dorongan batin untuk bermain-m yang ada dalam diri seseorang. Seni merupakan semacam permainan men, imbangkan segenap kemampuan mental manusia berhubungan dengan adar kelebihan energi yang harus dikeluarkan.
.

No comments:

Post a Comment

KEPEMIMPINAN PEMERINTAHAN DAN KEPAMONGPRAJAAN

  JUDUL BUKU “KEPEMIMPINAN PEMERINTAHAN DAN KEPAMONGPRAJAAN” TUGAS RESUME   Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah ...

082126189815

Name

Email *

Message *