ESTETIKA
(FILSAFAT KEINDAHAN)
A. PENGERTIAN ESTETIKA
Estetika dari kata Yunani aesthesis atau pengamatan
adalah cabang filsafat yang berbicara tentang keindahan. Objek dari estetika
adalah pengalaman akan keindahan. Dalam estetika yang dicari adalah hakikat
dari keindahan, bentukbentuk pengalaman keindahan (seperti keindahan jasmani dan
keindahan rohani, keindahan alam dan keindahan seni), diselidiki emosi manusia
sebagai reaksi terhadap yang indah, agung, tragis, bagus, mengharukan, dan
sebagainya.
Dalam estetika dibedakan menjadi estetika deskriptif dan
estetika normatif. Estetika deskriptif menggambarkan gejala-gejala pengalaman
keindahan, sedangkan estetika normatif mencari dasar pengalaman itu. Misalnya,
ditanyakan apakah keindahan itu akhirnya sesuatu yang objektif (terletak dalam
lukisan) atau justru subjektif (terletak dalam mata manusia sendiri).
Filsuf Hegel dan Schopenhauer mencoba untuk menyusun suatu
hierarki bentuk-bentuk estetika. Hegel membedakan suatu rangkaian seni yang
mulai pada arsitektur dan berakhir pada puisi. Makin kecil unsur materi dalam
suatu bentuk seni, makin tinggi tempatnya atas tangga hierarki. Adapun
Schopenhauer melihat suatu rangkaian yang mulai pada arsitektur dan memuncak
dalam musik. Musik mendapat tempat istimewa dalam estetika. Banyak pemikir dari
sej arah telah berbicara tentang musik, dari Konfusius, Pythagoras, Plato dan
Axistoteles sampai Schopenhauer, Nietzche dan Popper. (Harry Hamersma, 1988,
hlm. 24-25)
Perbedaan lain dari estetika adalah estetis filsafati dengan
estetis ilmiah. Melihat bahwa definisi estetika merupakan suatu persoalan
filsafat yang sejak dulu sampai sekarang cukup diperbincangkan para filsuf dan
diberikanjawaban yang berbeda-beda. Perbedaan itu terlihat dari berlainannya
sasaran yang dikemukakan. The Liang Gie merumuskan sasaran-sasaran itu adalah
sebagai berikut.
1.
Keindahan.
2.
Keindahan dalam alam dan seni.
3.
Keindahan khusus pada seni.
4.
Keindahan ditambah seni.
5.
Seni (segi penciptaan dan kritik seni serta hubungan dan
peranan seni)
6.
Citarasa.
7.
Ukuran nilai baku.
8.
Keindahan dan kejelekan.
9.
Nilai nonmoral (nilai estetis).
10. Benda estetis.
11. Pengalaman estetis. (The
Liang Gie, 1983, hlm. 20-21)
Estetis filsafati adalah estetis yang menelaah sasarannya
secara filsafati dan sering disebut estetis tradisional. Estetis filsafati ada
yang menyebut estetis analitis, karena tugasnya hanyalah mengurai. Hal ini
dibedakan estetis yang empiris atau estetis yang dipelajari secara ilmiah.
Jadi, estetis ilmiah adalah estetis yang menelaah estetis dengan metode-metode
ilmiah, yang tidak lagi merupakan cabang filsafat. Pada abad XX, estetis ilmiah
sering disebut juga estetis modern untuk membedakannya dengan estetis
tradisional yang bersifat filsafati. (The Liang Gie, 1983, hlm. 21)
Perbedaan tampak dalam bagan sebagaimana pendapat dari The
Liang Gie, yaitu sebagai berikut.
Pengalaman estetik adalah tangapan seseorang terhadap benda
yang bernilai estetis. Hal ini merupakan persoalan tentang psikologis sehinga
pendekatan penelaahan mengunakan metode psikologi. Ada tiga pengertian yang
dapat dirangkum dari para ahli yaitu:
1.
Pengalaman estetis
terjadi karena penyeimbangan antara dorongan-dorongan hati menikmati karya
seni.
2.
Pengalaman estetis
adalah salah satu keselarasan dinamis dari perenungan yang menyenangkan,
menimbulkan perasaan-perasaan seimbang dan tenang terhadap karya seni yang
diamatinya atau terhadap suatu obyek yang dihayatinya, sehinga tidak merasa
kehadiran dirinya sendiri. Pengalaman estetis jenis ini berhubungan dengan
pengalaman mistis.
3.
Pengalaman estetis adalah
suatu pengalaman yang utuh dalam dirinya sendiri tanpa berhubungan dengan
sesuatu diluar dirinya, bersifat tidak berkepentingan (disinterested) dari
pengamatan yang bersangkutan. Pengalaman tersebut adalah penyerapan itu sendiri
dan merupakan nilai intrisik.
John Hospers menyebut pembuatan yang demikian
ini menyerap demi penyerapan (perceive for perceiving) atau penyampuran
demi untuk penyerapan itu sendiri (perceiving for its own sake) dan tidak untuk
keperluan sesuatu yang lebih jauh.
B. PENGERTIAN KEINDAHAN
Keindahan menurut etimologi berasal dari kata Latin bellum
akar kata bonum yang berarti kebaikantMenurut cakupannya dibedakan
keindahan sebagai suatu kualitas abstrak (beauty) dan sebagai sebuah
benda tertentu yang indah (the beautiful). Kedua hal itu dalam filsafat
kadang-kadang dicampuradukkan saja.
Keindahan menurut luasnya
dapat dibagi menj adi tiga, yaitu sebagai berikut.
1. Keindahan dalam Arti yang Terluas
Keindahan merupakan pengertian yang berawal dari bangsa
Yunani dahulu yang di dalamnya tercakup ide kebaikan. Plato menyebut tentang
watak yang indah dan hukum yang indah. Aristoteles menyebut keindahan sebagai
sesuatu yang selain baik juga menyenangkan. Plotinus menyebut ilmu yang indah
dan kebajikan yang indah. BangsaYunani juga mengenal pengertian keindahan dalam
arti estetis yang disebutnya symmetria untuk keindahan berdasarkan
penglihatan, hannonia untuk keindahan berdasarkan pendengaran. Jadi, pengertian
keindahan yang seluas-luasnya meliputi keindahan seni, alam, moral, dan
intelektual.
2. Keindahan dalam Arti Estetis Murni
Menyangkut pengalaman estetis dari seseorang dalam
hubungannya dengan segala sesuatu yang dicerapnya.
3. Keindahan dalam Arti Terbatas dalam Hubungannya dengan Penglihatan
Jadi, di
sini lebih disempitkan sehingga hanya menyangkut benda-benda yang dicerap
dengan penglihatan berupa keindahan dari bentuk dan warna.
Semuanya
belum jelas apa sesungguhnya keindahan itu? Hal itu memang menjadi suatu
persoalan filsafat yang jawabannya beraneka ragam. Salah satu jawabannya adalah
mencari ciri-ciri umum yang ada pada semua benda yang dianggap indah dan
kemudian menyamakan ciri-ciri hakiki itu dengan pengertian keindahan. Jadi,
keindahan pada dasarnya adalah sejumlah kualitas pokok tertentu yang terdapat
pada sesuatu. Kualitas yang paling sering disebut adalah kesatuan (unity), keselarasan
(harmony), kesetangkupan (symmetry), keseimbangan (balance), perlawanan
(contrast). (The Liang Gie, 1983, hlm. 34-35)
Pengertian
lain dari keindahan seperti yang digambarkan oleh Herbert Read, Thomas Aquinas
dan Kaum Sofis di Athena. Herbert Read memberikan Pengertian keindahan, yakni
kesatuan dari beberapa hubungan bentuk yang terdapat di antara pencerapan
indrawi kita. Thomas Aquinas menyatakan keindahan sama dengan sesuatu yang
menyenangkan. Adapun kaum sofis di Athena memberikan gambaran keindahan sebagai
sesuatu yang menyenangkan terhadap penglihatan atau pendengaran. Dalam estetis
modern, orang lebih banyak berbicara tentang seni dan pengalaman estetis karena
ini gejala konkret yang dapat ditelaah dengan pengamatan secara empiris dan
penguraian yang sistematis.
Secara khusus tulisan ini akan membahas tentang perjalananku
menjadi anggota Marching Band Bulldozer (MBB), dari perjalanan pendidikan
pelatihan (DIKLAT) dan Gladi Tangguh (GT). Di tulisan ini aku coba
mengeksplorasi dan menganalisa berbagai macam wacana yang berhubungan dengan
pengalaman estetisku. Dalam hal ini adalah pengalaman mencari keindahan di
dalam bermusik saat menjadi peserta DIKLAT dan bagaimana menuju menjadinya
serta terus bereksistensi di dalam mengemban keanggotaanku. Lalu bisakah
pengalaman pribadiku diejawantahkan ke dalam tema yang sangat berbau filosofis?
“Pengalaman Estetis, antara Menjadi dan Eksistensi.” Lalu apa itu seni,
keindahan, dan pengalaman estetis? Apa itu menjadi? Apa itu eksistensi? Atau
apakah antara kata menjadi dan eksistensi bisa didiferensiasikan?
Pertanyaan-pertanyaan itu sering kali menggugahku dan juga menggugah para
pelaku seni.
Pertanyaan-pertanyaan
tersebut di atas sebenarnya sering diperbincangkan oleh para intelektualis
dunia dari masa klasik, renaissans, modern hingga posmodern. Seperti: Immanuel
Kant, Hegel, Arthur Schopenhauer, serta para intelektualis dunia yang lain.
Marilah berselancar dengan ide-ide untuk meluncurkan kata
demi kata. Semoga ide-ide dalam tulisanku ini bisa memberikan sedikit kenangan
kepada semua teman-temanku di Marching Band Bulldozer tercinta dan kepada
seseorang yang sangat aku sayangi. God bless you. Kritik yang membangun,
itulah motivasi untukku. Selamat membaca!
Pengalaman Estetisku
Hari itu hari Minggu, kalau tidak salah tanggal 26 Mei 2008.
Aku dan Uya – Uya itu panggilannya, nama lengkapnya Surya Pradana, mahasiswa
Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta,
di lingkungan Paduan Suara Mahasiswa (PSM) UIN Jakarta, ia dipanggil Gilas,
seorang Bassis dan Keyboardis – pergi ke Blok M yang ada di bilangan Jakarta.
Kepergian kami ke Blok M hanya untuk satu tujuan, yaitu mendaftarkan diri untuk
mengikuti pendidikan pelatihan di Marching Band Bulldozer. Dari situ aku bisa
melihat teman-teman yang sedang latihan sekitar jam 10 pagi, bersama seorang
laki-laki sahabat kampus Uya, bernama Omen. Uya memanggilnya demikian. Pada
saat latihan, semuanya memakai kaos putih, celana jeans, pakai topi, sepatu
olahraga, serta pakai ikat pinggang. Tak tahu kenapa, aku memperhatikan segala
macam atribut yang teman-teman pakai. Untungnya aku memakai juga apa yang
dipakai teman-teman. “Gila”, kata itu yang sering keluar dari gumamanku.
Aku dipertemukan lagi dengan dunia lapangan, bercengkerama dengan panasnya
sinar matahari lagi, berkeringat lagi, dimaki-maki lagi. Itulah gumamanku yang
lain saat pertama kali melihat teman-teman latihan. Pengalaman ini
mengingatkanku pada pengalaman yang lalu, saat mengikuti Training Paduan Suara
(TRAPARA) PSM UIN Jakarta. “Sistem pelatihannya sama kayak TRAPARA gak ya?”
Pertanyaan itu seketika muncul di benakku.
Aku teringat dengan keyakinan John Dewey (salah satu tokoh
filsuf Amerika) yang meyakini bahwa pengalaman sebagai hal yang berlangsung
secara berkesinambungan, karena interaksi antara makhluk hidup dan kondisi
sekitarnya saling berkaitan dalam proses kehidupan. (Baca: Teks-teks Kunci
Estetika, Filsafat Seni, h. 298).
Aku dan Uya disuruh langsung ke bagian pendaftaran atau
lebih tepatnya ke sekretariat. Di sana ada seorang perempuan yang ketika itu
kami tidak tahu namanya siapa. Tapi teman-teman angkatan lama atau senior,
biasa memanggil Semy. Tanpa basa-basi, kami langsung mengisi formulir
pendaftaran dengan biaya pendaftaran 10.000,-/orang. Setelah itu kami langsung
latihan untuk pembagian atau penempatan alat. Menurut Omen, aku pantas masuk di
alat tiup Mellophone, karena bentuk bibirku. Padahal aku sendiri ingin
masuk Terompet. Tapi tak apa-apa, Mellophone juga oke, yang penting alat
tiup, gumamku dalam hati. Akhirnya, aku kesampaian pegang alat tiup. Ketika
latihan niup, aku tak bisa menyuarakan alat yang aku pegang. “Gila,
alat apaan nih?”, kata-kata itu yang pertama kali muncul pada saat pertama
kali meniupkan alat tiup. Aku jadi teringat dengan apa yang telah aku baca dan
diskusikan bersama teman-temanku di kampus. Ada pengalaman, emosi, dan
persepsi. Ketiga kata itu yang akan sedikit aku beberkan, dan adakah
hubungannya dengan proses latihanku?
Pada saat pertama kali aku latihan Mellophone, aku
sangat berharap, semoga aku bisa menaklukkan alat tiup ini. Harapanku ini
sebagai tanda bahwa emosiku mulai bermain. Kenapa aku katakan demikian? karena
kata berharap, bahkan kata-kata yang lainnya, seperti: gembira, sedih, takut,
marah, dan lain sebagainya adalah kata-kata yang mencerminkan emosi. Kata-kata
yang menunjukkan pada emosi tadi berubah begitu alur pengalaman berlanjut.
Pengalaman seyogyanya bersifat emosional, namun tidak ada emosi yang berdiri
sendiri di dalamnya. Emosi melekat pada kejadian dan objek dalam pergerakannya.
Emosi merupakan kekuatan yang menggerakkan sekaligus merekatkan, yang akhirnya
akan memberikan nilai kualitatif.
Ada pola umum yang berlaku sekalipun pengalaman-pengalaman
dapat saja berbeda satu sama lainnya. Setiap pengalaman merupakan hasil
interaksi antara makhluk hidup dan aspek tertentu dalam dunia kehidupannya.
Sekalipun seorang manusia hanya berinteraksi dengan sebuah batu, namun dengan
merasakan bentuk batu, beratnya dan menentukan apa yang akan diperbuatnya
dengan batu itu sudah mengandaikan terjadinya suatu proses mutual antara diri
dan objek di luar diri. Begitu pula interaksi yang terjadi antara seorang
pemusik dengan alat musik yang dimainkannya mengonstitusi suatu totalitas
sebuah pengalaman, dan akhir dari interaksi tersebut adalah berupa
keparipurnaan (completeness) dan menjadikannya harmoni yang dihayati.
Aku sadar bahwa di lingkunganku yang baru ini selalu
bersentuhan dengan dunia estetika, yang pengalamannya pun akan menjadi
pengalaman estetis. Karena di sini, di Marching Band Bulldozer, adalah
komunitas seni musik dan seni tari, mungkin lebih tepatnya komunitas
berkesenian. Bentuk kesenian itu dapat dikatakan musik, jika terdapat beberapa
faktor, yaitu: Ritme artinya dengan beraturan. Melodi atau lagu. Dan terakhir
terdapat unsur Harmoni, artinya keselarasan sesuai dengan lagunya. (Lihat
makalah Iwan Buana FR, dalam seminar Rekontekstualisasi Gagasan Musik
sebagai Metode dan Media Alternatif Dunia Pendidikan, 17 Mei 2004, hal. 1).
Aku ingin mendefinisikan seni musiknya saja, karena di
Marching Band Bulldozer, prosentasenya lebih banyak ke seni musik.
- Musik itu sendiri adalah ilmu atau seni menyusun nada atau suara dalam urutan kombinasi dan hubungan temporal untuk menghasilkan komposisi suara yang mempunyai kesatuan dan keseimbangan.
- Musik adalah nada atau suara yang disusun sedemikian rupa sehingga menyandang irama lagu dan harmoni. (Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia).
Oiya,
ngomongin pendidikan pelatihan di Marching Band Bulldozer, aku jadi
ingat saat latihan (latihannya hari Rabu, pukul 18.30-21.00, tapi setelah itu
latihannya dipindahkan ke hari Kamis pada jam yang sama, mengikuti jadwal
anggota reguler, dan hari Minggu pukul 10.00-15.00, terkadang latihan full).
Latihan pemanasan skala DO dimulai dengan ketukan 16 ketuk, 8 ketuk, 4 ketuk, 2
ketuk, dan 1 ketuk. Ini bentuk latihan yang paling aku suka, karena berhubungan
dengan latihan pernapasan. Terus bentuk-bentuk latihan yang lain, seperti
latihan: (13243546576i.i67564534231), (12323434545656767i. i76765654543432321),
(1234234534564567567i.i7657654654354324321),
(12345432123454321234567i2i76543213531). Baru setelah itu masuk ke materi lagu,
lagu pertama latihan adalah lagu: (Terlena, Mars Pekerjaan Umum, Bangun
Pemuda-Pemudi, Maju Tak Gentar, 17 Agustus, Happy Birthday, dan Cindai). Yang
semuanya bisa aku mainkan dengan lancar, kecuali lagu 17 Agustus. Sebenarnya
masih ada beberapa lagu lagi, seperti: Padamu Negeri, Rayuan Pulau Kelapa, dan
masih banyak lagu yang lain.
Di tulisan ini, aku ingin berterima kasih kepada teman-teman
angkatan XXIII 2008 yang selalu aku ingat, yang membuatku tersenyum dan tertawa
sendiri, mereka adalah:
- HORN LINE — Vazal, Uya, Nurul (koq kita bisa ketemu lagi ya..), Wisnu dan Momi (kembangkan kegilaanmu, kyakakak), Aksel, Nino, Supal (kayaknya aku harus menyusul kalian), Julius (sang stokis, stokis apaan ya? Hahaa..), Ms. Nani (jadi ingat kata-kata dia, “taklukkan seseorang dengan musik”. Yang sabar ya, Buu. Hehee..), Tutus, Rohman, Dini, Miss, Chandra, Ilham, Lucky, Yunus (senang bisa kenal kalian…), Maria (guru Mellophone angkatan XXIII, nggak salah, bukan? Hahahaa…), Ari dan Wulan (semoga langgeng, Aamiin..), Dwiki dan Rama (kembangkan potensimuu..), Murid-muridnya Ms. Nani (semangat ya..).
- PERCUSSION — Idhan dan Chatlea (latihan yang bener, jangan pacaran mulu, hehee..), Riswan (ini orang yang sering bikin aku ketawa, orang gila, hahaa..), Putri, Icha, Ima (geng UINJ, sukses ya..), Tice (sama gilanya seperti Riswan, Wisnu, Momi. Woooy, I’m comiiing. Hahaa..), Gengnya Astrid (bertigaan mulu, udah kayak ban Becak, hwakakakak..), Indi (semangat ya De..), Burhan dan Riki (yang bener dong kalau latihan).
- COLOR GUARD — Dika dan Veny (seharusnya udah pantas kuliah, ups. Hahahaa..), Ghea (mantannya Uya, sabar ya Non, hiks hiks), Rya (semoga sukses apa yang diinginkan), Mamay (semoga langgeng bareng Dany, da_may@yahoo.com, hahahaa..), Arin (semoga berjalan dengan cinta dan pengetahuan. Kembangkan potensimu, De.. Kamu bisa).
- Kepada teman-teman yang belum aku sebut di sini (kalian adalah teman-teman baikku).
Dari sekian bulan aku mengikuti pendidikan pelatihan dan
gladi tangguh, aku sama sekali belum merasakan bagian dari Marching Band
Bulldozer, karena aku sendiri belum dilantik. Itulah aku, menurutku legalitas
dalam sebuah organisasi penting dan wajib adanya. Aku masih dalam taraf menjalankan
proses menjadi bukan menjadi itu sendiri. Bahkan ada satu momen yang sangat aku
hargai, ketika aku harus dihadapkan pada dua pilihan; pergi ke Bali untuk
urusan pekerjaan atau ikut gladi tangguh. Dua pilihan ini yang sering memeras
otak dan pikiranku. Bagaimana pun, aku harus memilih dua-duanya. Di satu sisi
menyangkut pekerjaan, di sisi yang lain menyangkut hobi. Syukur alhamdulillah,
dengan berjalannya waktu dua-duanya berjalan dengan lancar.
Ada satu adagium yang dilontarkan oleh seorang tokoh
eksistensialis Soren Kierkegaard (1813-1815), bahwa: “Pilihan adalah sesuatu
yang menentukan kandungan kepribadian, di dalam pilihan, kepribadian
membenamkan diri dalam apa yang dipilihnya, dan jika ia tidak memilih, maka ia
menyia-nyiakannya tanpa guna.” (Lihat Graham Higgin: Antologi-antologi
Filsafat, hal. 157). Adagium ini pantas untuk direnungkan. Memang aku harus
memilih keduanya, itu pilihanku. Menurutku, adanya pilihan pun terjadi berkat
adanya pengalaman dan keadaan.
Tidak hanya pendidikan pelatihan yang ada dalam proses
menjadi anggota di Marching Band Bulldozer, tapi ada GT, yang pelaksanaannya
dimulai dari tanggal 25-27 Juli 2008 di Puncak, Bogor. Sebenarnya ada satu
malam yang dilaksanakan di PU, karena berhubung ada kendala, aku tak jadi datang.
Terima kasih ketua GT atas pengertiannya. Di GT ini aku mempunyai banyak
kenangan. Intinya aku mencoba untuk menjadi “orang gila”, karena kalau tidak
seperti itu tidak akan maksimal hasilnya.
Di akhir GT, aku mendapatkan pengalaman yang sangat
menggelitik pikiran dan perasaanku. Meninggalnya Eko Kurniawan, dengan
perantara kecelakaan. Padahal menurut penuturan teman-teman peserta, semalam
Eko Kurniawan masih bersama kita, menjadi panitia GT, malam di PU. Inna
Lillahi Wa Inna Ilaihi Raji’un, ucapan itu yang aku rapalkan ketika
mendengar Eko Kurniawan meninggal. Selamat jalan sobat. Aku sangat yakin,
dengan proses kematianmu, kau adalah hamba terpilih yang dipilih langsung oleh
Tuhan. Ya Allah, pertemukan Eko Kurniawan dengan Mimiku ya Allah. Mimiku pasti
bangga, aku punya teman seperti Eko Kurniawan. Eko, perlu kau ketahui, ketika
aku menulis kata-kata ini, tidak henti-hentinya air mata ini menetes di buku
catatanku. Membicarakan Eko Kurniawan, aku jadi teringat almarhumah Mimiku yang
sangat aku sayangi. Aku teringat pesan-pesan beliau, salah satunya: “Di
dunia ini masih banyak simbol-simbol Tuhan yang harus kita pelajari”. Eko,
aku tak bisa menghentikan tangisanku, aku tak bisa. Titip salam rinduku untuk
beliau. Katakan kepada beliau aku sudah mandiri, aku sudah merasakan kesenangan
ketika menelaah simbol-simbol Tuhan. Kalian berdua adalah hamba-hamba terpilih.
Ya Allah, mereka berdua sangat layak dan pantas berada di Surga-Mu. Amin Ya
Rabb al-’Alamin.
Antara Menjadi dan Eksistensi
Aku sangat bersyukur bisa berada di komunitas ini, aku ingin
menjadi bagian dari komunitas ini. Dan kelak ketika aku menjadi bagian dari
komunitas ini, aku akan memberikan yang terbaik. Aku akan selalu ada untukmu.
Semoga!
Apa itu menjadi? Definisi ini mungkin sulit untuk didefinisikan,
tapi akan aku coba. Karena menurutku, penjelasan tanpa definisi itu nihil.
- Menjadi adalah perubahan dari satu bentuk keberadaan ke bentuk keberadaan lainnya. (Hanya perubahan letak atau perubahan gerak yang tidak dianggap menjadi).
- Menjadi adalah jenis perubahan yang tidak mengaktualkan potensi sesuatu menjadi sesuatu yang lain daripada sebelumnya, dalam suatu proses merealisir tujuannya, maksud, atau akhirnya.
- Dalam filsafat, menjadi mengacu kepada arus peristiwa dalam waktu, termasuk proses ada dan tiadanya kualitas mana pun. Menjadi juga mengacu kepada proses, perubahan teratur, yang berbeda dengan ada yang tak berubah. (Lihat Lorens Bagus, Kamus Filsafat, hal. 616).
Dari sekian banyak definisi, dapat ditarik kesimpulan bahwa
adanya menjadi itu dikarenakan adanya proses. Ingin menjadi anggota Marching
Band Bulldozer, harus melampaui DIKLAT dan GT serta diresmikan dengan acara
pelantikan atau penyematan. Lalu apa hubungannya menjadi dengan eksistensi?
Jawaban dari pertanyaan ini harus dianalisis secara mendalam. Ketika aku sudah
melampaui DIKLAT, GT, dan Pelantikan, kata “menjadi” sudah wajib adanya. Aku
sudah menjadi anggota, bukan berarti tidak butuh proses untuk menjadi. Proses
untuk menjadi ketika sudah menjadi itu butuh dengan eksistensi. Butuh dengan
komitmen. Keberadaan aku ketika sudah menjadi adalah proses yang terus
berulang-ulang, untuk menjadi yang sebenarnya. Masih banyak yang harus aku
pelajari untuk menjadi yang benar-benar jadi.
C. TEORI KEINDAHAN
1. Teori Subjektif dan Objektif
Kalau estetis dirumuskan cabang filsafat yang berhubungan
dengan teori keindahan, definisi keindahan memberi tahu orang untuk mengenali
apa keindahan itu dan teori keindahan menjelaskan bagaimana keindahan itu.
Persoalan pokok dari teori keindahan adalah mengenai sifat
dasar dari keindahan 'apakah keindahan merupakan sesuatu yang ada pada benda
indah atau hanya terdapat dalam alam pikiran orang yang mengamati benda
tersebut?
Dalam sejarah estetis menimbulkan dua kelompok teori yang
terkenal, yaitu teori objektif dan teori subjektif tentang keindahan. Teori
objektif dianut Plato, Hegel, dan Bernard Bosanquet. Para filsuf itu disebut objective
aestheticians (ahli-ahli estetis objektif). Teori subjektif didukung antara
lain Henry Home, Earl of Shaftesbury, dan Edmund Burke. Filsufnya disebut subjective
aestheticians (ahli-ahli estetis subjektif).
Teori objektifberpendapat, keindahan atau ciri-ciri yang
menciptakan nilai estetis ialah sifat (kualitas) yang telah melekat pada benda
indah yang bersangkutan, terlepas dari orang yang mengamatinya. Pengamatan
seseorang hanyalah menemukan atau menyingkapkan sifat-sifat indah yang sudah
ada pada sesuatu benda dan sama sekali tidak berpengaruh untuk mengubahnya.
Persoalannya adalah ciri-ciri khusus manakah yang membuat sesuatu benda menjadi
indah atau dianggap bernilai estetis. Salah satu jawabannya adalah perimbangan
antara bagian-bagian dalam benda indah itu. Sebagian filsuf seni dewasa ini
memberikan jawaban nilai estetis itu tercipta dengan terpengaruhinya asas-asas
tertentu mengenai bentuk pada sesuatu benda (khususnya karya seni yang
diciptakan oleh seseorang).
Teori subjektif menyatakan bahwa ciri-ciri yang menciptakan
keindahan pada sesuatu benda sesungguhnya tidak ada, yang ada hanyalah
tanggapan perasaan dalam diri seseorang yang mengamati sesuatu benda. Adanya
keindahan semata-mata tergantung pada pencerapan dari si pengamat itu. Kalaupun
dinyatakan bahwa sesuatu benda mempunyai nilai estetis, hal ini diartikan bahwa
seseorang pengamat memperoleh pengalaman estetis sebagai tanggapan terhadap
benda itu.
Selain dua teori di atas masih ada satu teori lagi oleh The
Liang Gie disebut teori campuran. Teori campuran, keindahan terletak dalam
suatu hubungan di antara sesuatu benda dengan alam pikiran seseorang yang
mengamatinya,
misalnya berupa menyukai atau menikmati benda itu. Jadi,
sesuatu benda mempunyai ciri tertentu dan ciri itu dengan melalui pencerapan
muncul dalam kesadaran seseorang sehingga menimbulkan rasa menyukai atau
menikmati benda itu. (The Liang Gie, 1983, him. 41-42)
2. Teori Perimbangan
Teori perimbangan tentang keindahan oleh Wladylaw
Tatarkiewicz disebut Teori agung tentang keindahan (the great theory of
beauty) atau dapat juga teori agung mengenai estetis Eropa. Teori agung
tentang keindahan menjelaskan bahwa, keindahan terdiri atas perimbangan dari
bagian-bagian, atau lebih tepat lagi terdiri atas ukuran, persamaan dan jumlah
dari bagian-bagian serta hubungannya satu sama lain. Contoh, arsitektur
orang-orang Yunani. Keindahan dari sebuah atap tercipta dari ukuran, jumlah dan
susunan dari pilar-pilar yang menyangga atap itu. Pilar-pilar itu mempunyai
perimbangan tertentu yang tepat dalam pelbagai dimensinya.
Bangsa Yunani menemukan bahwa hubungan matematis yang cermat
sebagaimana terdapat dalam ilmu ukur dan pelbagai pengukuran proporsi ternyata
dapat diwujudkan dalam benda-benda bersusun yang indah. Menurut teori proporsi
keindahan terdapat dalam sesuatu benda yang bagian-bagiannya memiliki hubungan
satu sama lain sebagai bilangan-bilangan kecil. (The Liang Gie, 1983, him.
42-45)
3. Teori Bentuk Estetis
De Witt H. Parker memeras
ciri-ciri umum dari bentuk estetis menjadi enam asas, yaitu sebagai berikut. '
a. Asas Kesatuan Utuh
Asas ini berarti setiap unsur dalam karya seni adalah perlu
bagi nilai karya itu dan karya tersebut tidak memuat unsur-unsur yang tidak
perlu, sebaliknya mengandung semua yang diperlukan. Nilai dari suatu karya
sebagai keseluruhan tergantung pada hubungan timbal balik dari unsur-unsur
tersebut, yakni setiap unsur memerlukan, menanggapi, dan menuntut setiap unsur
lainnya.
b. Asas Tema
Dalam setiap karya seni terdapat satu (atau beberapa) ide
induk atau peranan yang unggul berupa apa saja (bentuk, warna, pola irama,
tokoh atau makna) yang menjadi titik pemusatan dari nilai keseluruhan karya
itu. Ini menjadi kunci bagi penghargaan dan pemahaman orang terhadap karya seni
itu.
c. Asas Variasi menurut Tema
Tema dari karya seni harus disempurnakan dan diperbagus
dengan terus menerus mengumandangkannya. Agar tidak menimbulkan kebosanan
pengungkapan tema harus tetap sama itu perlu dilakukan dalam pelbagai variasi.
d. Asas Keseimbangan
Keseimbangan merupakan kesamaan dari unsur-unsur yang
berlawanan atau bertentangan. Dalam karya seni walaupun ada unsur-unsur yang
tampaknya bertentangan, tetapi sesungguhnya saling memerlukan karena
menciptakan suatu kebulatan. Unsur yang saling berlawanan itu tidak memerlukan
sesuatu yang sama, melainkan yang utama adalah kesamaan dalam nilai. Dengan
kesamaan dari nilai-nilai yang saling bertentangan terdapatlah keseimbangan
secara estetis.
e. Asas Perkembangan
Asas ini dimaksudkan oleh Parker
bahwa kesatuan dari proses yang bagian awalnya menentukan bagian selanjutnya
dan bersama-sama menciptakan suatu makna yang menyeluruh. Misalnya dalam sebuah
cerita hendaknya terdapat suatu hubungan sebab akibat atau rantai tali-temali
yang perlu dengan ciri pokok berupa pertumbuhan atau himpunan dari makna
keseluruhan.
f. Asas
Tatajenjang
Asas yang terakhir ini merupakan
penyusunan khusus dari unsur-unsur dalam asas tersebut. Dalam karya seni yang
rumit kadang-kadang terdapat satu unsur yang memegang kedudukan yang penting.
Unsur ini mendukung secara tegas tema yang bersangkutan dan mempunyai
kepentingan yang jauh lebih besar daripada unsur-unsur lainnya. (The Liang Gie,
1976, hlm. 46-48)
Dari keenam asas di atas menurut
Parker diharapkan menjadi unsur dari logika tentang bentuk estetis.
Teori lain dikemukakan Monroe
Beardsley, menjelaskan adanya tiga ciri yang menjadi sifat-sifat 'membuat baik
(indah)' dari benda-benda estetis pada umumnya. Ketiga ciri itu adalah sebagai
berikut.
a. Kesatuan (unity)
Berarti benda
estetis itu tersusun secara baik atau sempurna bentuknya.
b. Kerumitan (complexity)
Benda estetis atau karya seni kaya akan isi dan unsur yang
saling berlawanan serta mengandung perbedaan-perbedaan yang halus. c.
Kesungguhan (intensity)
Benda estetis yang baik harus mempunyai kualitas tertentu
yang menonjol bukan sekadar sesuatu yang kosong. Kualitas itu tidak menjadi
masalah apa yang dikandungnya (misalnya suasana suram atau gembira, sifat
lembut atau kasar), asalkan menjadi sesuatu yang intensifatau sungguh-sungguh.
(The Liang Gie, 1983, hlm. 46-48)
D. PENGALAMAN ESTETIS
Pengalaman estetis merupakan
tanggapan seseorang terhadap benda yang bernilai estetis. Hal ini menjadi
persoalan psikologi. Ciri-ciri pengalaman estetis adalah sifat tidak
berkepentingan dari pengamatan terhadap benda estetis tanpa adanya tujuan apa
pun kecuali pengamatan itu sendiri.
John Hospers menyebut bahwa perbuatan
ini mencerap demi pencerapan atau juga pencerapan demi untuk pencerapan itu
sendiri dan tidak untuk keperluan sesuatu maksud yang lebih jauh.
Teori Pengalaman Estetis
Ketidakpuasan dengan teori-teori
keindahan yang ada, ahli estetis mencari teori mengenai pengalaman estetis
untuk menjelaskan perasaan puas (menyenangkan) yang dinikmati seseorang jika
mengamati suatu benda estetis. Salah satu pendapat yang sangat terkenal dan
mempunyai pengaruh besar selama puluhan tahun dalam estetis adalah teori
tentang Einfuhlung. Teori ini pertama kali dikemukakan oleh Friedrich T.
Vischer (seorang guru besar Jerman) dan kemudian dikembangkan oleh Theodor
Lipps dalam bukunya berjudulAesthetik. Einfithlung diterjemahkan ke
dalam bahasa Inggris menjadi empathy. Istilah lainnya introjection,
autoprojection, dan symbolic sympathy. Einfuhlung berarti keadaan
merasakan diri sendiri ke dalam sesuatu hal, yakni dari kata kerja sich
einfuhlen berarti merasakan diri sendiri ke dalam (sesuatu). Jadi, teori einfuhlung
adalah teori pemancaran perasaan diri sendiri ke dalam benda estetis. (The
Liang Gie, 1983)
Menurut Friedrich T. Vischer, seorang
pengamat karya seni cenderung untuk memancarkan atau memproyeksikan perasaannya
ke dalam benda itu, menjelajahi secara khayal bentuk dari benda dan dari
kegiatan itu menikmati sesuatu yang menyenangkan. Bagi Theodor Lipps proses
pemancaran perasaan ke dalam suatu benda tidak semata-mata bersifat subjektif
yang tergantung pada si pengamat, melainkan juga objektif berdasarkan sifat
dari karya seni tersebut.
Teori Lipps garis besarnya menyatakan: 'Kegiatan estetis
adalah kegiatan seseorang yang memproyeksikan perasaannya ke dalam suatu karya
seni dan timbul suatu emosi estetis khas karena perasaan itu menemukan suatu
kepuasan atau kesenangan yang disebabkan oleh bentuk objektif dari karya seni
tersebut'.
E.F. Carritt berpendapat bahwa inti teori Lipps dirumuskan:
'Kesenangan estetis adalah penikmatan dari kegiatan kita sendiri di dalam suatu
benda'. Pernyataan ini kelihatannya merupakan suatu pertentangan dalam
kata-kata, sebagaimana diterapkan berarti bahwa kita menikmati diri kita
sendiri bilamana diobjektifkan, atau menikmati suatu benda, sejauh kita hidup
di dalamnya. Contoh: ketika mengamati tiang yang kokoh dari suatu gedung, ia
memancarkan perasaan ke dalam tiang itu seolah-olah hidup di dalamnya, ia akan
merasakan bahwa dirinya juga besar dan kokoh serta menikmati rasa senang
sebagai pengalaman estetisnya.
Teori lain, yakni teori tentang jarak psikis dari Edward
Bullough. Edward Bullough dengan mempergunakan metode instrospeksi dari
psikologi (yakni pengamatan dengan jalan merenungkan pengalamannya sendiri).
Bullough berpendapat bahwa untuk menumbuhkan pengalaman yang berhubungan dengan
seni, orang justru harus menciptakan jarak psikis di antara dirinya dengan
segala sesuatu yang dapat mempengaruhi dirinya. Hal yang dapat mempengaruhi
diri seseorang misalnya kegunaan dari sesuatu benda untuk keperluan atau tujuan
orang itu. Menurut Bullough, psychical distance (jarak psikis) dapat
dianggap salah satu ciri pokok dari kesadaran estetis. Kesadaran ini adalah
sikap mental terhadap dan tinjauan yang khusus mengenai pengalaman yang
memperoleh pengungkapannya yang paling subur dalam pelbagai bentuk seni.
Di dalam pengalaman estetis mengalami berbagai rintangan jika
pada diri si pengamat terdapat sikap berikut.
1.
Sikap praktis, apabila seseorang mengamati pemandangan yang
indah dengan tujuan untuk membangun hotel, rumah makan, dan lain-lain.
2.
Sikap ilmiah, apabila seseorang mendengarkan lagu klasik yang
diselidiki adalah asal-usulnya, diciptakan oleh siapa, di mana, dan
lain-lainnya.
3.
Sikap melibatkan diri, apabila seseorang mempersamakan
nasibnya dengan nasib seseorang yang ada dalam buku novel yang barn saja
dibacanya.
4.
Sikap emosional, apabila pada seseorang terdapat hasrat yang
menyala-nyala untuk menikmati karya seni, atau kesadaran diri yang
berlebih-lebihan dalam penikmah itu.
Menurut Stephen Pepper, musuh dari pengalaman estetis adalah
adanya kesanadaan (monoton) dan kekacaubalauan (confusion). Untuk
membatasi kedua faktor yang mencegah atau merusak pengalaman estetis itu, dalam
karya seni yang baik harus diusahakan adanya keanekaan (variety) dan
kesatuan (unity) yang seimbang. (Kartini Parmono, 1985, hlm. 19-20)
E. FILSAFAT SENI
Filsafat
maupun ilmu pengetahuan berkembang disaat orang mulai menarik jarak terhadap
segala pengalaman hidupnya : merenunginya, berpikir, bertanya, mencari berbagai
cara (metode) untuk menjawab, melihat kembali pada kenyataan-kenyataan dan
seterusnya. Mula-mula manusia hanya memiliki pengetahuan biasa, menggunakan
intuisinya hingga lama-lama berkembang ilmu pengetahuan, yang memiliki
syarat-syarat makin ketat untuk mendapatkan “kebenaran”.
Tujuan
dari Filsafat adalah menjadikan manusia yang berilmu. Dalam hal ini, Ahli
Filsafat dipandang sebagai orang yang ahli dalam bidang ilmu pengetahuan
(ilmuwan), yang selalu mencari kenyataan kebenaran dari semua problem pokok
ilmuwan. Perbedaan orang yang berfilsafat dengan yang tidak berfilsafat
terletak pada sikap seseorang terhadap hidupnya karena filsafat akan
mengajarkan kepada kita tentang kesadaran, kemauan dan kemampuan manusia sesuai
dengan kedudukannya sebagai makluk individu, makluk social dan makluk Tuhan
untuk diplikasikan dalam hidup, maka yang diperlukan dalam studi filsafat
adalah : sikap dan kepribadian yang sesuai.
Berpikir
secara filsafat dapat diartikan sebagai berpikir yang sangat mendalam sampai
hakikat, atau berpikir secara global / menyeluruh, atau berpikir yang dilihat
dari berbagai sudut pandang pemikiran / sudut pandang ilmu pengetahuan.
Berpikir yang demikian ini sebagai upaya untuk dapat berpikir secara tepat dan
benar serta dapat dipertanggung jawabkan, dengan persyaratan-persyaratan :
Harus
sistematis, harus konseptional, harus koheren, harus rasional, harus sinoptik
dan harus mengarah kepada pandangan dunia.
Sangat
umum dan universal, tidak factual, bersangkutan dengan nilai, berkaitan dengan
arti dan implikatif.
Kebenaran
bukanlah sesuatu yang ada dalam kebenaran kita sejak kita lahir, kesadaran
terhadap kebenaran harus dicari oleh setiap manusia. Manusia yang memiliki
tanggunga jawab terhadap hidupnya dan hidup orang lain tentu memerlukan
kebenaran. Kebenaran terus dicari sampai seseorang menyatakan setuju terhadap
apa yang ditemukannya. Dalam sejarah umat manusia, lembaga kebenaran yang
paling tua adalah agama atau system kepercayaan, dasar agama adalah
kepercayaan. Manusia percaya kepada agama sebagai kebenaran mutlak yang
dipatuhinya secara mutlak pula, hidup manusia diabdikan pada kepercayaan itu.
Yang dipercayai dalam agama itu bersifat Adikodrati, melampaui kodrat manusia
itu sendiri.
Lembaga
kebenaran lain yang dekat dengan lembaga kebenaran agama adalah “seni” seperti
halnya agama yang menjangkau kebenaran mendasar, universal, menyeluruh dan
mutlak serta abadi, senipun menjangkau hal-hal tersebut. Hanya saja alat untuk
mencapai hal itu adalah perasaan dan intuisi. Dasarnya adalah pengalaman
inderawi manusia yang bersifat subyektif. Kebenaran pengalaman perasaan
intuitif manusia ini hanya dapat dihayati, dirasakan dan dalam penghayatan
itulah manusia menyentuh suatu kebenaran yang tak kuasa dia jelaskan. Kualitas
perasaan itu harus dialami sendiri oleh manusianya sendiri sehingga ia mampu
menemukan kebenaran.
Inilah
sebabnya seni sering bergandengan erat dengan lembaga agama, kehadiran sesuatu
yang transendental (yang bukan dari dunia ini yang dipercaya) dalam suatu
kepercayaan dapat ditemukan dalam seni. Seni tari, seni music, seni teater dan
seni rupa sering erat kaitannya dengan kepercayaan manusia purba. Ini terjadi
karena seni bertujuan menciptakan suatu realitas baru dari kenyataan pengalaman
nyata. Bentuk seni itu sendiri adalah realitas yang dihayati secara inderawi.
Dengan demikian, kebenaran seni bersinggungan dengan kebenaran empiris dan
kebenaran ide. Dasarnya adalah pengalaman empiris manusia tetapi yang
ditemukannya realitas baru yang non empiris. Dalam karya seni, sesuatu seperti
dunia ini tetapi kebenarannya bukan dari dunia ini.
Lembaga
kebenaran yang berikutnya adalah filsafat, alatnya adalah nalar, logika manusia
yang bersifat spekulatif (bukan empirik) dan tak ada metode yang baku.
Tujuannya adalah mencapai kebenaran yang sifatnya mendasar dan menyeluruh dalam
system konseptual. Lembaga kebenaran yang relative muda adalah ilmu, alat untuk
menemukan kebenarannya adalah nalar, logika, bermetode dan sistematik.
Sumbernya bersifat empiric, fakta apa adanya. Tujuannya adalah pembuktian
kebenaran secara khusus dan terbatas. Kegunaannya sebagai deskripsi prediksi
dan control atas kenyataan empiris. Masa Renaissance (abad XVI) lembaga ilmu
mulai berkembang pesat di Eropa.
Seni
adalah dunia medium antara materialism dunia dan kerohanian yang kekal. Seni
adalah sesuatu yang memuat hal-hal yang transcendental, sesuatu yang tak kita
kenal sebelumnya dan kini kita kenal lewat karya seorang seniman. Seni harus
dibedakan dengan ilmu seni, seni itu soal penghayatan sedangkan ilmu adalah
soal pemahaman. Seni untuk dinikmati, sementara ilmu seni untuk memahami.
Kaum
pemikir seni mula-mula berasal dari Yunani purba, sekitar 500 – 300 SM, mereka
adalah filosof umum seperti Socrates, Plato, Aritoteles, Platinus Dll. Mereka
membicarakan seni dalam kaitannya dengan filsafat mereka tentang apa yang
disebut “Keindahan” termasuk didalamnya keindahan alam dan keindahan karya
seni. Istilah “Estetika” baru muncul tahun 1750 M oleh seorang filsuf minor
bernama A.G. Baumgarten ( 1714 – 1762 ). Istilah ini diambil dari bahasa Yunani
kuno “Aistheton” yang artinya “kemampuan melihat lewat penginderaan”.
Baumgarten menamakan seni itu sebagai termasuk pengetahuan sensoris, yang
dibedakan dengan logika yang dinamakannya pengetahuan intelektual. Tujuan
estetika adalah keindahan sedang tujuan logika adalah kebenaran. Sejak itu
istilah estetika dipakai dalam bahasan filsafat mengenai benda-benda seni.
Tetapi
karena karya seni itu tidak selalu “indah” seperti dipersoalkan dalam estetika,
maka diperlukan bidang khusus yang benar-benar menjawab tentang apa hakekat
seni atau arts itu. Dan lahirlah apa yang dinamakan “Filsafat Seni”.
Jadi perbedaan antara estetika dan filsafat seni hanya dalam obyek
materialnya saja. Estetika mempersoalkan hakekat keindahan alam dan karya seni,
sedang filsafat seni mempersoalkan hanya karya seni atau benda seni atau
artefak yang disebut “seni”.
Filsafat seni merupakan salah satu cabang dari rumpun estetis
filsafati yang khusus menelaah tentang seni. Lucius Garvin berpendapat,
filsafat seni adalah cabang filsafat yang berhubungan dengan teori tentang penciptaan
seni, pengalaman seni dan kritik seni. Joseph Brennan merumuskan: 'penelaahan
mengenai asas-asas umum dari penciptaan dan penghargaan seni'. (The Liang Gie,
1983, hlm. 59)
Persoalan-persoalan
pokok dalam filsafat seni meliputi antara lain:
1.
pengertian seni;
2.
penggolongan jenis jenis seni;
3.
susunan seni. Ini mencakup problem-problem yang lebih
terperinci tentang:
a.
pokok soal dan tema;
b.
bahan dan unsur;
c.
organisasi dan style.
4.
Nilai-nilai dan seni.
Selain empat hal di atas masih dapat ditambahkan teori-teori
mengenai: asal mula seni;
sifat dasar dari seni;
bentuk dan pengungkapan dalam seni serta pelbagai
teori sejarah seni. (The Liang Gie, 1983, hlm. 59)
1. Pengertian Seni
Apakah seni itu? Dijawab oleh para
filsuf dan ahli estetis sepanjang masa dengan pilihan yang berbeda-beda.
Menurut The Liang Gie ada lima jawaban mengenai pengertian seni, yaitu sebagai
berikut.
a. Seni sebagai Kemahiran
(Skill)
Pengertian seni sebagai suatu
kemahiran seseorang adalah berasal (etimologi) kata art dari kata Latin ars
yang artinya menyambung atau menggabungkan. Untuk pengertian kemahiran,
Bangsa Yunani Kuno memakai kata techne yang kini menjadi teknik. Jadi,
dari etimologi art dapat diartikan suatu kemahiran dalam membikin
barang-barang atau mengerjakan sesuatu. William Flemming berpendapat, seni
dalam artinya yang paling dasar adalah suatu kemahiran atau kemampuan. Batasan
ini memang benar untuk kata asalnya dalam bahasa Latin ars (kemahiran)
maupun kata padanannya dalam bahasa Jerman Kunst. Pengertian seni sebagai
kemahiran kini umumnya dilawankan dengan ilmu (science). Ilmu mengajar
seseorang untuk mengetahui dan seni mengajar seseorang untuk berbuat. Ilmu dan
seni saling melengkapi. Misal, astronomi adalah ilmu dan pelayaran adalah seni.
b. Seni sebagai Kegiatan
Manusia (Human Activity)
Yakni kegiatan menciptakan karya seni
apa pun. Pengertian seni sebagai Suatu kegiatan manusia yang menciptakan
sesuatu benda (indah atau menyenangkan) dilawankan dengan craft (kerajinan),
Menurut Kahler ciri-ciri yang membedakan art dengan craft adalah
kegunaan praktis.
c. Seni sebagai Karya Seni
Karya seni adalah produk dari
kegiatan manusia. Ini sesuai dengan pendapat John Hospers yang menyatakan:
'Dalam artian yang seluas-luasnya, seni meliputi setiap benda yang dibikin oleh
manusia untuk dilawankan dengan benda-benda alamiah'.
d. Seni sebagai Seni Indah (Fine Art)
Pengertian ini dipakai misalnya oleh ahli estetis Yervant
Krikorian. Seni indah dinyatakan sebagai; seni yang terutama bertalian dengan
pembikinan benda-benda dengan kepentingan estetis sebagaimana berbeda dari seni
berguna atau terapan yang maksudnya untuk kefaedahan. Seni indah itu mencakup
seni lukis, pahat, arsitektur, tari, musik, kesusasteraan, teater, film, dan
lain-lain.
e. Seni sebagai
Penglihatan 01sual Art)
Eugene Johnson berpendapat bahwa 'seni sebagaimana paling
umum dipergunakan dewasa ini, seni berarti seni-seni penglihatan, yaitu bidang
kreativitas seni yang bermaksud mengadakan tata hubungan pertama-tama melalui
mata'. Herbert Read berpendapat, kata seni paling lazim dihubungkan dengan
seni-seni yang bercorak penglihatan atau plastis. (Kartini Parmono,1985, hlm.
20-21)
2. Penggolongan Seni
Penggolongan seni
disesuaikan dengan ukuran yang dipergunakan masingmasing ahli estetis.
Penggolongan itu adalah sebagai berikut.
a. Seni Kasar (Vulgar
Arts) dan Seni Bebas (Liberal Arts)
Penggolongan seperti ini sejak
sejarah seni zaman Yunani Kuno sampai zaman Romawi dan Abad Pertenwahan. Seni
kasar misalnya, pertukangan kayu, cocok untuk bujangan. Adapun seni bebas
diperlukan untul~ pendidikan para warga kota/negara yang mempunyai kedudukan
merdeka. Menurut Martianus Capell, seni bebas (liberal arts) diajarkan
untuk kemahiran objektif (objective skill) yang jumlahnya tujuh dibagi
menjadi dua kelompok, yaitu quadrivium (4 serangkai): aritmetika,
geometri, astronomi dan musik (teori harmoni) dan trivium (3 serangkai): tata
bahasa, dialektika (logika), dan retorika (seni pidato yang indah).
b. Seni Indah, Seni
Berguna/Seni Terapan/Seni Praktis
Seni indah seperti, seni lukis, seni pahat, arsitektur,
musik, tari, sajak, dan sebagainya. Adapun seni berguna seperti mobil, pakaian,
senjata, dan sebagainya.
c. Mayor Arts (Seni Besar) dan Minor
Arts (Seni Kecil)
Mayor arts meliputi seni lukis, seni
pahat, arsitektur, musik dan kesusasteraan. Sedangkan minor arts meliputi
perabotan kayu, tembikar, permadani, ukiran manikan, perhiasan emas, perak,
kerajinan kulit, dan pembuatan sebagian medali. Oswald Kulpe menganggap
kelompok minor art ini disebut seni hias (decoration) yang
mengabdi kepada seni kegunaan.
d. Seni Dari Segi
Peizcerapan Indrawi, Pembagian Medium (Bahan) dan Perpaduan Unsur-unsurnya
Dari segi pencerapan indrawi, pembagian medium (bahan) dan
perpaduan unsur-unsurnya. Oswald Kulpe membagi seni indah secara terperinci
sebagai berikut.
Seni penglihatan (visual arts). Seni pendengaran (auditory
arts).
Seni penglihatan-pendengaran (visual-auditory arts).
e. Berdasarkan Corak Irama
dan Macam Bahan
Dr. J.B. Kripping mengadakan
pembagian seni berdasarkan corak irama dan macam bahan sebagai
berikut. 1. Irama Statis:
a.
dengan bahan yang menentukan ruang; benda mati seperti seni bangunan,
benda hidup seperti seni pertamanan,
b.
dengan bahan yang menentukan massa seni pahat, dan c. dengan
bahan yang menentukan permukaan, seni lukis.
2. Irama Dinamis:
a. dengan gerak dalam
ruang; seni tari.
b. dengan suara; kata;
seni sastra, nada; seni musik.
c. dengan gerak dalam
permukaan (gambar yang dipancarkan): film.
(The Liang Gie, 1983, hlm.
64-67).
3. Susunan Seni
Setiap karya seni merupakan ramuan dari sejumlah unsur yang
bersama- sama menyusun dan mewujudkan karya itu. Dari sudut ini terhadap suatu
karya
seni dapatlah dipermasalahkan
pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut.
a. Karya itu mengenai apa? Jawabannya
menjadi pokok soal (subject matter) dari karya seni. Pada karya-karya
tertentu terdapat tema atau ide pokok yang menjadi landasannya.
b. Karya itu
terbuat dari apa? Ini persoalan bahan atau material dari karya seni tersebut.
C. Karya itu bagaimana cara
penyusunannya? Ini masalah pengorganisasian dari bahan atau segenap unsur-unsur
sehingga menjadi suatu kebulatan yang utuh.
Medium (bahan) seni merupakan unsur yang mutlak, karena tanpa
material tidak akan ada seni. Setiap medium seni mempunyai kualitas/ciri-ciri.
Kualitas itu disebut unsur-unsur seni dan bersifat abstrak. Seni lukis: warna,
garis, dan perspektif. Seni pahat: volume, relief, dan perimbangan. Seni musik:
irama, keselarasan, dan tempo.
Dalam setiap karya seni, medium berikut unsur-unsumya disusun
dan disatupadukan menj adi sebuah organisasi menyeluruh yang tersusun dari
keseluruhan hubungan satu sama lain antarunsur-unsur seni itu. (The Liang Gie,
1983, hlm. 67-72)
4. Berbagai Aliran dalam Seni
Seni sebagai hasil kreasi manusia mempunyai bentuk dan corak
yang beraneka ragam. Aliran-aliran dalam seni itu adalah sebagai berikut.
a. Aliran Naturalisme
Bertuj uan untuk melukiskan bentuk yang sewaj arnya dengan
mengindahkan perspektif garis dan warna serta anatominya.
b. Aliran Expressionisme
Melukiskan jiwa atau pendapatnya tentang jiwa objek, cara
memaknai ide
itu terlepas dari pengaruh yang kebetulan ada dan disadurkan
untuk dapat mencapai inti kerohaniannya.
c. Aliran Impressionisme
Melukiskan kesan alam yang diterimanya dengan spontan, cepat
dan pasti
bagian yang kecil-kecil tidak diindahkan, yang dipentingkan
keseluruhannya hingga suasana bentuk, gerak dan sinar itu dilukiskan tidak
terpisah. (Kartini
Parmono, 1985)
5. Nilai Seni
Dilihat dari sudut mediumnya suatu karya seni mempunyai nilai
indrawi
yang
menyebabkan seseorang pengamat menikmati atau memperoleh kepuasan
dari ciri-ciri indrawi yang disajikan oleh suatu karya seni.
Misalnya, warnawarni yang terpancar dari sebuah lukisan, kata-kata yang indah
terdengar dalam suatu musik. Nilai bentuk adalah menghargai atau mengagumi
bentuk besar
dan pelbagai bentuk kecil dalam karya
seni. (The Liang Gie, 1983, hlm. 72-73) Karya seni sebagai hasil cipta manusia
memiliki nilai untuk memuaskan
manusia. Seni tidak hanya menyajikan bentuk-bentuk yang
dicerap indra manusia semata, tetapi juga mengandung tujuan abstrak yang
bersifat rohaniah, yaitu suatu makna yang dapat memberi arti bagi manusia.
Nilai-nilai tersebut adalah
sebagai berikut.
a. Nilai Kehidupan
Nilai-nilai yang terdapat dalam kehidupan
manusia yang bersifat mendasar sesuai harkat dan cita manusia ditampilkan dalam
media seni. Misalnya, ide
kebahagiaan, kebaikan, dan keadilan.
b. Nilai Pengetahuan
Karya seni dapat memberikan suatu
pemahaman terhadap alam sekitarnya dan berbagai aspek kehidupan yang
melingkupinya. Misalnya, karakteristik tata budaya atau adat kebiasaan suatu
masyarakat.
c. Nilai Keindahan
Pengertiannya menyangkut perasaan
manusia. Keindahan hanya merupakan salah satu di antara hal yang dicoba untuk
dinyatakan oleh seni.
d. Nilai Indrawi dan Nilai Bentuk
Nilai indrawi menyebabkan seseorang
pengamat menikmati atau memperoleh kepuasan dari ciri-ciri indrawi yang
disajikan oleh suatu karya seni. Nilai bentuk menyebabkan seseorang mengagumi
bentuk besar dan bentuk
kecil.
e. Nilai Kepribadian
Misalnya gaya arsitektur rumah adat
Minangkabau akan berbeda dengan gaya arsitektur Romawi. (Kartini Parmono, 1985)
6. Teori Penciptaan Seni
Seniman, dalam menciptakan hasil
karyanya ada beberapa teori, di antaranya seperti yang dikemukakan The Liang
Gie (1983) berikut ini.
a. Teori Metafisis
Teori ini merupakan salah satu teori
tertua, yang berasal dari Plato. Mengenai sumber seni, Plato mengemukakan suatu
teori peniruan. Karya seni yang dibuat manusia hanyalah mimemis (tiruan) dari realita
dunia.
b. Teori Ekspresi (Pengungkapan)
Beneditto Croce menyatakan bahwa seni
adalah pengungkapan dari kesankesan. Pengungkapan itu terwujud pelbagai
gambaran angan-angan seperti image warna, garis, dan kata. Bagi
seseorang yang mengungkapnya berarti menciptakan seni dalam dirinya tanpa
memerlukan kegiatan jasmaniah yang keluar.
c. Teori Psikologis
Sebagian ahli estetis dalam abad modem menelaah teori-teori
seni dari sudut hubungan karya seni dan alam pikiran penciptanya dengan
mempergunakan metode psikologis. Misalnya berdasarkan psikoanalisis
dikemukakan teori bahwa proses penciptaan seni adalah pemenuhan keinginan bawah
sadar dari Seorang seniman. Adapun karya seninya merupakan bentuk terselebung
atau diperhalus yang diwujudkan keluar dari keinginan itu.
d. Teori Permainan (Play Theory)
Menurut F. Schiller, seni berawal dari dorongan batin untuk
bermain-m yang ada dalam diri seseorang. Seni merupakan semacam permainan men,
imbangkan segenap kemampuan mental manusia berhubungan dengan adar kelebihan
energi yang harus dikeluarkan.
.
No comments:
Post a Comment