Friday, July 12, 2024

COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM PENANGGULANGAN BENCANA BANJIR DI LINGKUNGAN LEBAK KELURAHAN TUKANGKAYU KECAMATAN BANYUWANGI KABUPATEN BANYUWANGI

  COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM PENANGGULANGAN BENCANA BANJIR            DI LINGKUNGAN LEBAK KELURAHAN TUKANGKAYU KECAMATAN BANYUWANGI KABUPATEN BANYUWANGI

SKRIPSI

diajukan guna pengembangan kompetensi keilmuan terapan 
pemerintahan dan syarat kelulusan pada Program Sarjana Terapan
Ilmu Pemerintahan Institut Pemerintahan Dalam Negeri

 

Oleh

DEA APSARI PRAMUDANA PUTRI
 NPP. 31.0523

 

PROGRAM STUDI MANAJEMEN KEAMANAN DAN KESELAMATAN PUBLIK

FAKULTAS PERLINDUNGAN MASYARAKAT INSTITUT PEMERINTAHAN DALAM NEGERI JATINANGOR

2023

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


KATA PENGANTAR

 

Puji syukur peneliti panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan limpahan rahmat serta hidayah, sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi  ini dengan judul ”Collaborative Governanance dalam Penanggulangan Bencana Banjir di Lingkungan Lebak Kelurahan Tukangkayu Kecamatan Banyuwangi Kabupaten Banyuwangi” dengan tepat waktu. Penulisan skripsi ini bermaksud untuk pemenuhan syarat dalam menyelesaikan Pendidikan Program Diploma IV pada Fakultas Perlindungan Masyarakat Institut Pemerintahan Dalam Negeri.

Pada kesempatan ini peneliti memberikan penghormatan dengan ucapan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Hadi Prabowo, M.M (Rektor Institut Pemerintahan Dalam Negeri)

2. Bapak Dr. Drs. Udaya Madjid, M.Pd (Dekan Fakultas Perlindungan Masyarakat)

3. Bapak Sutiyo, S.STP., M.Si., Ph.D (Ketua Prodi Manejemen Keamanan dan Keselamatan Publik)

4. Bapak Sulthon Rohmadin, S.STP., M.Si selaku Dosen Pembimbing yang telah menyempatkan waktu untuk memberikan pengarahan dan memotivasi dalam penyusunan skripsi sehingga dapat terselesaikan.

5. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Perlindungan Masyarakat yang telah memberikan ilmu pengetahuan kepada peneliti untuk bekal di masa yang akan datang.

6. Bapak Joni Pramudana M.Pd dan Ibu Kus Hardini S.Pd selaku orang tua kandung peneliti yang telah memberikan dukungan penuh yang tulus selama ini sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini.

7. Deo Perkasa Pramudana Putra selaku adik kandung peneliti yang turut menggugahkan semangat selama proses penulisan skripsi ini.

8. Rekan-rekan praja Angkatan XXXI terutama saudara asuh Instansi Bidang Pendidikan dan Riset, instansi BPP Fakultas, saudara asuh lomba cerdas cermat SESKOAD TNI AD, saudara praktik lapangan 3, saudara asuh Bhakti Karya Praja, serta saudara asal pendaftaran Provinsi Jawa Timur Angkatan XXXI khususnya yang berasal dari Karesidenan Besuki.

 

 

 

 

 

 

 

Peneliti menyadari bahwa penyusunan skripsi ini belum sempurna, dari segi materi ataupun penyajiannya. Harapan peneliti adalah semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan disetujui sehingga peneliti dapat melanjutkan penelitian ini.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


DAFTAR ISI

 

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

DAFTAR GAMBAR

DAFTAR TABEL

BAB I  PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

1.2 Rumusan Masalah

1.3 Tujuan Penelitian

1.4 Kegunaan Penelitian

1.4.1 Kegunaan Teoritis

1.4.2 Kegunaan Praktis

BAB II  TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penelitian Sebelumnya

2.2. Landasan Teoritis dan Legalistik

2.2.1        Landasan Teoritis

2.2.2 Landasan Legalistik

2.3 Kerangka Pemikiran

BAB III  METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Pendekatan penelitian

3.2 Operasionalisasi Konsep

3.3 Sumber Data dan Informan

3.3.1 Sumber Data

3.3.2 Informan

3.4 Instrumen Penelitian

3.5 Teknik Pengumpulan Data

3.6 Teknik Analisis Data

3.7 Jadwal dan Lokasi Penelitian

DAFTAR  PUSTAKA

LAMPIRAN I

LAMPIRAN II


DAFTAR GAMBAR

 

Gambar 2. 1  Model Collaborative Ansell dan Gash

Gambar 3. 1 Teknik Analisis Data

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR TABEL


Tabel 1. 1  Jumlah Kejadian Bencana di Indonesia Pada Rentang Tahun 2021-2023

Tabel 1. 2  Indek Risiko Bencana Banjir Tahun 2022

Tabel 1. 3  Kejadian Bencana di Banyuwangi Pada Tahun 2019 - 2023

Tabel 2. 1  Perbandingan Penelitian Sebelumnya

Tabel 3. 1 Operasionalisasi Konsep

Tabel 3. 2  Daftar Informan Penelitian

Tabel 3. 3  Daftar Kebutuhan Dokumen Penelitian

Tabel 3. 4  Jadwal Penelitian

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


BAB I
PENDAHULUAN

 

 

1.1     Latar Belakang 

Indonesia adalah negara yang kaya akan keragaman suku, budaya, keindahan alam serta sumber daya alam, baik flora maupun faunanya. Letak Indonesia yang tepat berada pada garis khatulistiwa membuatnya indah bagaikan batu zamrud.  Kondisi tersebut membuat negara ini dijuluki sebagai Negeri Zamrud Khatulistiwa. Dibalik keindahannya, Letaknya yang tepat pada garis khatulistiwa membuat Indonesia memiliki tingkat kerawanan yang tinggi terhadap bencana hidrometeorologi, khusunya bencana banjir dan kekeringan dikarenakan Indonesia beriklim tropis.

Presiden Joko Widodo mengungkapkan Indonesia berada di peringkat tertinggi dari 35 negara di dunia sebagai negara rawan bencana (Intan, 2021). Berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana, bencana dapat diartikan sebagai serangkaian kejadian yang menimbulkan ancaman dan gangguan terhadap kehidupan dan mata pencaharian masyarakat. Kejadian ini dapat dipicu oleh berbagai faktor, baik alamiah, non alamiah, maupun tindakan manusia yang berakibat pada timbulnya korban jiwa, kerusakan lingkungan, kerugian materi, serta dampak psikologis.

 

Ramli dkk. (2010) menjelaskan bencana dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis:

a. Bencana Alam: Merupakan bencana yang dipicu oleh fenomena alam seperti gempa bumi, tanah longsor, letusan gunung, banjir, kebakaran hutan, dan tsunami.

b. Bencana Non Alam: Merupakan bencana yang disebabkan oleh peristiwa non alam seperti modernisasi yang berlebihan, wabah penyakit, dan masalah-masalah teknologi.

c. Bencana Sosial: Merupakan bencana yang terjadi akibat tindakan manusia, seperti konflik sosial antar kelompok atau komunitas masyarakat.

 

Tabel 1. 1 
Jumlah Kejadian Bencana di Indonesia Pada Rentang Tahun 2021-2023

No

Nama Bencana

Jumlah Kejadian Bencana

2021

2022

2023

1

2

3

4

5

1.

Gempa Bumi

24

28

24

2.

Erupsi Gunung Api

1

1

2

3.

Kebakaran Hutan Lahan

579

252

687

4.

Kekeringan

15

4

116

5.

Banjir

1.794

1.531

893

6.

Tanah Longsor

1.321

634

449

7.

Cuaca Ekstrem

1.577

1.068

861

8.

Gelombang Pasang dan Abrasi

91

26

24

Jumlah Total Kejadian Bencana

5.402

3.544

3.056

Sumber: (BNPB, 2021a) (BNPB, 2022) (BNPB, 2023)

 

Tabel 1.1 menunjukkan jumlah total bencana pada tahun 2021 sebanyak 5.402 kejadian dengan frekuensi bencana yang paling sering terjadi adalah banjir, yakni sebanyak 1.794 kejadian atau setara dengan 33,2% dari total kejadian bencana nasional pada tahun 2021. Tercatat sepanjang tahun 2022  terdapat sebanyak 3.542 peristiwa bencana alam dengan frekuensi bencana yang paling sering terjadi adalah banjir, yakni sebanyak 1.530 kejadian. Jumlah ini setara dengan 43,1% dari total kejadian bencana nasional tahun 2022. Terdapat sebanyak 3.056 peristiwa bencana alam di Indonesia selama periode 1 Januari 2023 hingga 3 Oktober 2023 (BNPB, 2023). Tercatat pada tabel 1.1 pada tahun 2023 bencana banjir masih mendominasi, yakni sejumlah 893 kejadian atau setara dengan 29,2% dari total kejadian bencana nasional pada tahun 2023, diikuti dengan cuaca ekstrem sebanyak 861 kejadian.

Kesimpulan yang dapat ditarik dari informasi pada tabel 1.1 ialah sepanjang rentang waktu tahun 2021 hingga 2023 bencana banjir menjadi bencana dengan frekuensi kejadian tertinggi tiap tahunnya. Banjir di Indonesia disebabkan karena kondisi topografis yang mana banyak terdapat pegunungan, lereng curam, dan sungai yang mengakibatkan banjir bandang, berkurangnya daerah resapan air, serta cuaca ekstrem.

Provinsi Jawa Timur adalah provinsi yang berada di peringkat kedua setelah Provinsi Jawa Barat dengan jumlah penduduk terbanyak berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 2020 (BPS Provinsi Jawa Timur, 2020). Banyaknya penduduk yang mendiami wilayah Jawa Timur tersebut akan berdampak negatif dapat meningkatkan ancaman akan terjadinya bencana banjir akibat faktor manusia apabila penduduk tersebut tidak dibekali dengan pengetahuan dan kesadaran diri tentang pentingnya menjaga kelestarian lingkungan. Salah satu Kabupaten di Jawa Timur yang memiliki risiko tinggi terhadap ancaman bencana ialah Kabupaten Banyuwangi. Kabupaten Banyuwangi merupakan daerah yang memiliki tingkat ancaman bencana multihazard yang signifikan, termasuk bencana seperti banjir, longsor, erupsi gunung, gempa bumi, dan tsunami (Wardani, 2020).

 

Tabel 1. 2 
Indek Risiko Bencana Banjir Tahun 2022

KABUPATEN/ KOTA

PROVINSI

SKOR

KELAS RISIKO

1

2

3

4

SITUBONDO

JAWA TIMUR

18,05

TINGGI

TULUNGAGUNG

JAWA TIMUR

17,91

TINGGI

MAGETAN

JAWA TIMUR

17,76

TINGGI

KOTA BALIKPAPAN

KALIMANTAN TIMUR

17,76

TINGGI

PACITAN

JAWA TIMUR

17,65

TINGGI

KOTA LUBUKLINGGAU

SUMATERA SELATAN

17,60

TINGGI

KOTA TARAKAN

KALIMANTAN UTARA

17,57

TINGGI

KOTA TEBING TINGGI

SUMATERA UTARA

17,54

TINGGI

PULANG PISAU

KALIMANTAN TENGAH

17,53

TINGGI

KOTA SEMARANG

JAWA TENGAH

17,35

TINGGI

PAMEKASAN

JAWA TIMUR

17,28

TINGGI

PANGANDARAN

JAWA BARAT

17,07

TINGGI

BOMBANA

SULAWESI TENGGARA

17,03

TINGGI

KUDUS

JAWA TENGAH

16,96

TINGGI

PUNCAK

PAPUA

16,8

TINGGI

SAMPANG

JAWA TIMUR

16,78

TINGGI

REMBANG

JAWA TENGAH

16,76

TINGGI

PURWEREJO

JAWA TENGAH

16,74

TINGGI

TIMOR TENGAH SELATAN

NUSA TENGGARA TIMUR

16,59

TINGGI

BANYUWANGI

JAWA TIMUR

16,53

TINGGI

TANGERANG

BANTEN

16,49

TINGGI

MOJOKERTO

JAWA TIMUR

16,49

TINGGI

RAJA AMPAT

PAPUA BARAT

16,42

TINGGI

KOTA AMBON

MALUKU

16,38

TINGGI

MANOKWARI

PAPUA BARAT

16,20

TINGGI

LOMBOK BARAT

NUSA TENGGARA BARAT

16,13

TINGGI

PASURUAN

JAWA TIMUR

16,12

TINGGI

TEGAL

JAWA TENGAH

15,83

TINGGI

BARRU

SULAWESI SELATAN

15,77

TINGGI

SEMARANG

JAWA TENGAH

15,55

TINGGI

LUMAJANG

JAWA TIMUR

15,49

TINGGI

Sumber: (IRBI, 2022)

 

Tabel Indeks Risiko Bencana Banjir Tahun 2022 menyatakan bahwa Kabupaten Banyuwangi memiliki nilai kelas risiko bencana banjir tinggi dengan capaian skor sebesar 16,3. Banjir perkotaan di Kabupaten Banyuwangi seringkali terjadi sebagai jenis banjir yang umumnya dipicu oleh tingginya curah hujan serta sistem drainase yang kurang efektif. Dampaknya adalah terjadinya genangan air yang berlebihan di permukiman daripada air tersebut mengalir ke sungai sesuai fungsinya.

DPRD Banyuwangi mendorong pemerintah kabupaten untuk memetakan daerah rawan bencana. Selain itu, Pemerintah Kabupaten Banyuwangi juga turut meningkatkan kualitas sistem drainase dan tanah sebagai tanggapan terhadap meningkatnya insiden banjir. Ahmad Munib Syafaat, seorang anggota Komisi I DPRD Banyuwangi, menerangkan bahwa meskipun wilayah Banyuwangi mayoritas terdiri dari hutan dan perkebunan yang seharusnya mampu mengurangi risiko banjir, nyatanya banjir masih marak terjadi (Liputan6.Com, 2021). Dalam pandangannya, penting bagi aparat penegak hukum untuk menjalankan peninjauan lapangan guna memverifikasi apakah terdapat praktik penebangan yang ilegal di wilayah hutan dan perkebunan Banyuwangi. Selain itu, dia juga menyoroti perlunya Pemerintah Kabupaten Banyuwangi memastikan bahwa manajemen perkebunan dilaksanakan sesuai dengan persyaratan yang tertera dalam Sertifikat Hak Guna Usaha (HGU) dan peraturan Undang-undang, dan ketentuan yang berlaku.

 

Tabel 1. 3 
Jumlah Kejadian Bencana di Kabupaten Banyuwangi Pada Rentang Tahun 2019 - 2023

No.

Jenis Bencana

Jumlah Kejadian Bencana Pada Tahun

Jumlah

Bencana (2019-2023

2019

2020

2021

2022

2023

1

2

3

4

5

6

7

8

1.

Kebakaran Pemukiman

3

0

0

11

8

22

2.

Kebakaran Hutan dan Lahan

0

0

0

4

0

4

3.

Cuaca Ekstrim

0

0

14

20

56

90

4.

Banjir

3

10

4

14

6

37

5.

Hujan Deras

2

0

0

0

0

2

6.

Hujan Disertai Angin

2

0

0

3

0

5

7.

Angin Kencang

5

34

0

7

0

46

8.

Tanah Longsor

1

3

2

2

5

13

9.

Angin Puting Beliung

1

0

4

2

1

8

10.

Laka Laut

0

1

0

0

2

3

11.

Laka Sungai

0

1

0

0

0

1

12.

Laka Gunung

0

1

0

0

0

1

13.

Laka Darat

0

1

0

1

0

2

14.

Pohon Tumbang

0

0

9

6

1

16

15.

Rumah Roboh

0

0

0

1

1

2

16.

Erupsi

0

0

0

1

0

1

17.

Jembatan Ambrol

0

0

0

1

0

1

18.

Orang Tercebur

0

0

0

1

0

1

19.

Paus Terdampar

0

0

0

1

0

1

20.

Orang Hilang

0

0

0

0

3

3

Jumlah Kejadian Bencana

17

51

33

75

83

259

Sumber: Diolah oleh Peneliti berdasarkan data Kejadian Bencana dari BPBD Kabupaten Banyuwangi Tahun 2019-2023

 

Jumlah Kejadian Bencana di Banyuwangi pada rentang tahun 2019-2023 sebanyak 259 kejadian, seperti yang terdapat pada table 1.3 sebanyak dua puluh macam bencana yang mengancam wilayah Kabupaten Banyuwangi. Terdapat tiga bencana dengan frekuensi kejadian paling tinggi dalam kurun waktu 5 tahun terakhir yakni cuaca ekstrem, angin kencang, dan banjir. Ketiga bencana tersebut sangat berpotensi menyebabkan kerusakan pada rumah warga serta kerugian materil. Salah satu bencana tahunan yang tidak pernah absen terjadi dan menyebabkan kerugian massal di Kabupaten Banyuwangi adalah bencana banjir.  

Banjir adalah aliran air sungai yang tingginya melibihi muka air normal sehingga melimpas dari palung sungai yang menyebabkan genangan pada lahan rendah di sisi sungai (Alam & Pradana, 2016). Penyebab utama banjir adalah curah hujan. Namun, faktor manusia dan kondisi tanah juga dapat berperan dalam memicu terjadinya banjir (Suripin, 2004). Beberapa penyebab banjir meliputi: Karakteristik daerah aliran sungai, pembangunan di sekitar sungai, tata guna wilayah di daerah sungai, serta kemampuan aliran sungai dan pengaturannya. Suripin (2004) mengungkapkan bahwa terdapat tiga jenis penyebab banjir:

1. Banjir Kiriman: Terjadi ketika air dari daerah hulu mengalir ke kawasan tergenang melebihi kapasitas sungai atau saluran yang ada.

2. Banjir Lokal: Terjadi karena genangan air akibat hujan yang jatuh di daerah tersebut ketika kapasitas drainase tidak mencukupi. Genangan ini biasanya memiliki ketinggian antara 0,2 hingga 0,7 meter dan berlangsung selama 1- 8 jam.

3. Banjir Rob: Terjadi karena air pasang atau air balik dari saluran drainase terhambat oleh pasang air laut. Banjir rob dapat terjadi dengan tiba-tiba dengan intensitas yang besar.

 

Mayoritas hulu sungai di Banyuwangi berasal dari kawasan Gunung Ijen sehingga apabila terjadi longsoran tanah, maka diperkirakan air yang telah bercampur oleh lumpur tersebut akan masuk ke sungai hilirnya di mana aliran tersebut melewati kawasan Kecamatan Banyuwangi Kota. Dengan demikian, Pemerintah Daerah Kabupaten Banyuwangi memfokuskan kegiatan prioritas penanggulangan bencana pada Kecamatan Banyuwangi. Wilayah Kecamatan Banyuwangi memiliki seluruh aspek masalah besar penyempitan sungai hingga berbagai macam pembangunan yang dapat mengganggu aliran sungai. Letak wilayah kecamatan Banyuwangi yang berdekatan dengan laut dan Selat Bali memperbesar potensi terjadinya bencana banjir (Fajar, 2020).

Kecamatan tersebut kemudian dikerucutkan kembali oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah menjadi kelurahan rawan banjir. Terdapat enam Kelurahan di Kecamatan Banyuwangi yang terdampak banjir setinggi 1,5 meter pada 10 Februari 2023 akibat terguyur hujan lebat selama kurang lebih dua jam. Kapolsek Banyuwangi merinci nama-nama kelurahan yang terendam banjir sebagai berikut: Kelurahan Tukangkayu, Kelurahan Kebalenan, Kelurahan Pakis, Kelurahan Pengantigan, Kelurahan Kepatihan, dan Kelurahan Sobo. Banjir terburuk terjadi di Lingkungan Lebak Kelurahan Tukangkayu karena hujan deras dan meluapnya Sungai Kalilo (Restiawan & Agriesta, 2023). Tomhari selaku ketua RT di wilayah tersebut mengungkapkan bahwa sekitar 39 rumah tangga mengalami dampak banjir dan satu rumah yang berada di tepi sungai hancur dan terseret oleh arus banjir yang sangat kuat (Restiawan & Agriesta, 2023). Lingkungan Lebak sendiri menjadi kawasan terdampak banjir yang menjadi perhatian khusus Bupati Banyuwangi (Husdinariyanto, 2023b).

BPBD melakukan koordinasi dengan berbagai stakeholder untuk melakukan penanggulangan banjir yang parah ini. Tim Reaksi Cepat (TRC) BPBD Kabupaten Banyuwangi terjun langsung ke lokasi untuk membantu membersihkan rumah warga pasca banjir dari sisa-sisa lumpur akibat meluapnya Sungai Kalilo serta turut membagikan 1000 nasi bungkus. Beberapa pihak terkait yang turut serta dalam upaya penanggulangan bencana di Lingkungan Lebak bersama BPBD, yakni: PDAM, Polsek Banyuwangi, Koramil, relawan dari BPBD, Lembaga amil zakat infaq (Dompet Dhuafa), Bank Jatim, dan Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim Nahdlatul Ulama (LPBINU, serta sejumlah OPD lainnya (Novi Husdinariyanto, 2023). Relawan dari Nahdatul Ulama juga mengupayakan penyaluran bantuan sembako dan kebutuhan lainnya untuk warga terdampak bencana banjir. Langkah ini diambil dengan tujuan untuk segera merespons situasi tersebut mengingat banjir di Lingkungan Lebak bukanlah insiden pertama, melainkan sudah menjadi peristiwa banjir tahunan yang belum berhasil diatasi oleh pemerintah daerah setempat (Arifianto, 2023). Oleh karena itu, perlu adanya penanggulangan bencana banjir yang efektif dari berbagai pihak, baik dari lembaga publik maupun lembaga non state.

Peraturan Daerah Kabupaten Banyuwangi No 10 Tahun 2013 Tentang Penanggulangan Bencana menyebutkan bahwa penanggulangan bencana dilakukan melalui kolaborasi antara pemerintah, lembaga non pemerintah seperti pihak swasta dan organisasi kemasyarakatan, dan masyarakat dengan tujuan agar dapat  memaksimalkan dan menutupi kekurangan masing-masing komponen.

Peraturan tersebut menyatakan bahwa Pemerintah Daerah Kabupaten sebagai pemegang tanggung jawab utama dalam mengatur penanggulangan bencana. Selain itu, dijelaskan pula dalam Perda tersebut bahwa masyarakat dan lembaga usaha memeiliki peran dalam penanggulangan bencana. Masyarakat berperan untuk menjaga keselarasan, keseimbangan, dan harmoni dalam kelangsungan fungsi lingkungan hidup. Sedangkan, lembaga usaha berperan untuk mengoptimalkan sumberdaya yang dimiliki. Organisasi kemasyarakatan bertugas untuk melakukan koordinasi dengan Pemerintah Daerah dan/atau Badan Penanggulangan Bencana Daerah atas keikutsertaannya dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana. Lembaga usaha didorong bukan hanya untuk berkontribusi melalui bantuan yang bersifat charity, tetapi juga membangun nilai kebencanaan dalam sistem organisasi (BNPB, 2021b).

Pemerintah Daerah Kabupaten Banyuwangi telah melakukan serangkaian program penanggulangan banjir di Lingkungan Lebak. Pemerintah melalui BPBD, Dinas Lingkungan Hidup, Dinas Pengairan, dan Dinas PU Bina Marga berkolaborasi untuk melakukan serangkaian program penanggulangan banjir, yakni upaya normalisasi Sungai Kalilo, pembangunan rumah pompa air, reboisasi, pembersihan gorong-gorong, dan pemetaan titik rawan banjir sebagai langkah antisipasi banjir menjelang musim hujan (Husdinariyanto, 2023b). 

Akan tetapi, penanggulangan yang dilakukan tersebut nyatanya masih belum optimal. Ancaman banjir masih tetap signifikan, terutama saat curah hujan tinggi mengguyur wilayah kota. Peran pemerintah masih tergolong paling dominan dibandingkan dengan peran masyarakat dan lembaga non pemerintah seperti dunia usaha dan lembaga kemasyarakatan, hal ini bertolak belakang dengan teori (Ansell & Gash, 2008) yang mengharuskan adanya keseimbangan antara peran lembaga publik dengan pemangku kepentingan ”Non state” dalam merumuskan komitmen bersama demi terciptanya lingkungan yang berfokus pada adanya saling menguntungkan seluruh pihak di dalamnya.

Program yang telah dicanangkan oleh Pemerintah Kabupaten tersebut nyatanya belum mendapat dukungan penuh dari masyarakat. Masyarakat masih belum menunjukkan peran yang optimal dalam penanggulangan banjir. Hal ini dibuktikan dengan masih banyaknya warga di Lingkungan Lebak yang membuang sampah di sungai dan aliran air. Warga setempat pun masih mendirikan bangunan di bantaran sungai sehingga menyulitkan berbagai program mitigasi bencana (Suudi & Erdianto, 2023). Kurangnya partisipasi masyarakat terkait program penanggulangan banjir ini sejalan dengan permasalahan yang termuat dalam Renstra BPBD Tahun 2021-2026 yang menyatakan bahwa masyarakat masih memiliki kesadaran dan pengetahuan yang rendah terhadap penanggulangan bencana, khususnya bencana banjir (BPBD, 2021).

Pihak swasta juga menunjukkan kurangnya peran dalam penanggulangan banjir. Kawasan hulu sungai di Gunung Ijen yang menjadi penyebab banjir di Kecamatan Banyuwangi adalah kawasan Gantasan. Kawasan yang seharusnya menjadi kawasan resapan air tersebut beralih fungsi menjadi kawasan komoditas tanaman pertanian hortikultura. Bupati Banyuwangi, Ipuk, mengatakan bahwa di daerah hulu terdapat peralihan jenis tanaman perkebunan yang awalnya tanaman keras dengan kemampuan menyerap air dan menahan sedimen tanah berubah menjadi tanaman komoditas pertanian hortikultura yang tidak mampu menjaga keseimbangan lingkungan hulu (Husdinariyanto, 2023a). Hujan yang terjadi di kawasan hulu mengakibatkan air hujan tidak terserap sempurna ke dalam tanah dan mengalir ke hilir sungai dengan membawa tanah yang menyebabkan pendangkalan sungai di hilir. Tidak adanya regulasi yang mengatur tentang pelestarian kawasan hulu sungai menyebabkan permasalahan banjir ini terjadi terus menerus. Pemerintah perlu untuk membuat regulasi yang mengatur tentang kawasan hulu sungai supaya sesuai untuk peruntukannya (Suudi & Erdianto, 2023).

Selain itu, terdapat permasalahan pada proses penanggulangan bencana banjir di Lingkungan Lebak yang masih belum dapat ditangani oleh BPBD Banyuwangi, yakni permasalahan dari faktor internal maupun faktor eksternal. Pada faktor internal permasalahan yang dihadapi adalah:

1. Tidak semua SDM aparatur di Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) memiliki keterampilan dalam teknologi informasi dan paham akan peraturan hukum yang berkaitan dengan penanggulangan bencana.

2. Sarana, prasarana, dan fasilitas untuk pelayanan penanggulangan bencana di tingkat daerah masih belum memadai;

3. Kesadaran masyarakat terhadap pentingnya pencegahan dan penanggulangan bencana masih rendah, begitu juga dengan pengetahuan mereka tentang hal ini;

4. Belum optimalnya perencanaan pembangunan yang mempertimbangkan pengurangan risiko bencana;

5. Belum adanya Rencana Kontinjensi spesifik menangani bencana banjir;

6. Minimnya anggaran untuk pelaksanaan penanggulangan bencana;

Faktor eksternal yang mempengaruhi sebagai berikut :

1. Wilayah yang terkena risiko bencana cukup luas, namun jumlah personil yang memiliki keahlian khusus dalam menangani bencana masih sangat terbatas;

2. Infrastruktur yang kurang mendukung mengurangi kecepatan dan ketepatan penyaluran/ penanggulanganan bantuan;

3. Belum optimalnya koordinasi yang dilakukan oleh pemerintah, lembaga non pemerintah seperti dunia usaha, serta masyarakat yang menyebabkan sulitnya pengambilan keputusan yang konsisten dalam pelayanan kepada korban bencana baik dari fasilitas kesehatan maupun penyaluran bantuan logistik korban bencana (BPBD, 2021).

Letak Lingkungan Lebak yang berada di tengah kota Banyuwangi seharusnya memiliki akses penanganan yang mudah, namun nyatanya masih belum optimal dalam pendistribusian dan penanganan bencana banjir tahunan. Mencermati permasalahan yang dihadapi dalam penanggulangan bencana banjir di atas, maka dapat dikatakan kerja sama yang terstruktur yang dilakukan oleh BPBD Banyuwangi belum berjalan optimal. Perlu dilakukan kerja sama yang efektif antara pemerintah, lembaga non pemerintah seperti lembaga usaha dan organisasi kemasyarakatan, serta masyarakat untuk turut bersama-sama menanggulangi bencana yang terjadi agar penanggulangan dapat berjalan optimal.

M. Chazienul Ulum (2013) dalam penemuannya menyatakan  bahwa penanggulanganan banjir memerlukan keikutsertaan banyak pihak termasuk masyarakat dengan tujuan agar strategi ini dapat mengurangi kejadian banjir yang lebih buruk kedepannya. Oleh sebab itu, diperlukan adanya Collaborative Governance untuk menjadi sebuah solusi yang berkelanjutan sekaligus sebagai edukasi antara masyarakat dan pemerintah. Dalam proses ini, para pihak harus merasa positif tergantung satu sama lain dan terikat secara erat dalam kerjasama, dengan penuh tanggung jawab terhadap program mereka dalam mengatasi masalah-masalah kompleks melalui pengambilan keputusan kolektif dan implementasi berorientasi consensus (Islamy, 2018).

Berdasarkan penjelasan latar belakang masalah yang telah disajikan, peneliti bermaksud untuk melaksanakan penelitian dengan judul "Collaborative Governance Dalam Penanggulangan Bencana Banjir Di Lingkungan Lebak Kelurahan Tukangkayu  Kecamatan Banyuwangi Kabupaten Banyuwangi.”

 

1.2   Rumusan Masalah 

Berdasarkan uraian latar belakang, beberapa permasalahan yang muncul kemudian dapat dikaji menggunakan perspektif keilmuan. Oleh sebab itu,  guna mendapatkan hasil penelitian yang tersistematis peneliti membatasi fokus permasalahan dalam rumusan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimanan penerapan Collaborative Governance yang dilakukan di Lingkungan Lebak Kelurahan Tukangkayu Kecamatan Banyuwangi Kabupaten Banyuwangi dalam penanggulangan bencana banjir?

 

1.3   Tujuan Penelitian 

Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka peneliti melakukan penelitian ini dengan tujuan sebagai berikut :

1. Untuk Mengetahui, menganalisis, serta mendeskripsikan bagaimana penerapan Collaborative Governance di Lingkungan Lebak Kelurahan Tukangkayu Kecamatan Banyuwangi Kabupaten Banyuwangi dalam penanggulangan bencana banjir.

 

1.4 Kegunaan Penelitian 

1.4.1 Kegunaan Teoritis

Dari segi teoritis, peneliti berharap hasil penelitian ini dapat menjadi acuan untuk mengembangkan pengetahuan baru di bidang pemerintahan dan dapat  meningkatan kualitas pendidikan di Institut Pemerintahan Dalam Negeri. Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi pan]duan dalam pelaksanaan praktis di lapangan, khususnya terkait dengan hubungan Collaborative Governance yang melibatkan berbagai pihak dalam upaya penanggulangan bencana banjir.

 

1.4.2 Kegunaan Praktis 

Harapan peneliti terhadap hasil penelitian ini adalah dapat dinikmati oleh beberapa pihak, diantaranya :

1) Bagi Peneliti, penelitian ini berguna untuk menambah ilmu pengetahuan dan pengalaman baru peneliti  selama proses penelitian. Diharapkan saat terjun langsung di dunia kerja, peneliti dapat mengimplementasikan ilmu bidang pemerintahan dan kebencanaan. Tak hanya itu, penelitian ini juga berguna sebagai syarat kelulusan peneliti pada pendidikan program Diploma IV Institut Pemerintahan Dalam Negeri.

2) Bagi Lokasi Penelitian, penelitian ini berguna sebagai sarana untuk merekomendasikan ide dan gagasan dari peneliti yang dapat digunakan sebagai bahan dalam pembuatan kebijakan tentang pemerintahan dan kebencanaan dengan menerapkan Collaborative Governance untuk penanggulangan bencana banjir. Harapannya, informasi dari hasil penelitian dapat diterapkan guna meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada instansi pemerintah melalui peningkatan pelayanan sehingga dapat meningkatkan hubungan kerja sama antara pihak yang terkait untuk menanggulangi sebuah bencana.

3) Bagi Institut Pemerintahan Dalam Negeri, penelitian ini berguna sebagai tambahan ilmu, referensi, atau rujukan yang dimanfaatkan oleh civitas akademika dan praja untuk pelaksana penelitian di bidang pemerintahan dan kebencanaan  di masa yang akan datang.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

 

 

2.1. Penelitian Sebelumnya

Dalam rangka membuat sebuah penelitian, merujuk kepada penelitian sebelumnya merupakan hal yang sangat penting. Keuntungan dari penggunaan penelitian sebelumnya adalah memberikan kerangka kerja yang dapat digunakan sebagai landasan untuk penelitian yang akan dilakukan, membantu peneliti untuk mengidentifikasi persamaan dan perbedaan yang signifikan dengan penelitian yang akan dilakukan, membantu peneliti dalam mengembangkan konsep atau ide-ide terkini terkait dengan penelitian yang akan dilakukan, memberikan acuan untuk menilai sejauh mana penelitian ini mencapai kesempurnaan, dan juga memberikan jaminan atas keaslian penelitian yang dilakukan.

Dalam konteks ini, terdapat lima penelitian sebelumnya dengan variabel dan objek penelitian yang hampir serupa yang dijadikan rujukan untuk pelaksanaan penelitian saat ini oleh peneliti, sebagai berikut:

 

a. Proses Collaborative Governance dalam Upaya Mencegah Abrasi Pantai di Desa Numana Kabupaten Wakatobi (Alimin, 2021)

Penelitian sebelumnya yang pertama disusun oleh Halim Jauhari Alimin pada tahun 2022. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh pemahaman tentang bagaimana peran proses pelaksanaan tata kelola kolaboratif dapat berkontribusi untuk menghindari terjadinya abrasi di Desa Numana, Kabupaten Wakatobi. Penelitian ini mengadopsi jenis penelitian deskriptif kualitatif dengan menggunakan teori Ansell dan Gash dimensi Collaborative Process.

Temuan dari penelitian ini mengindikasikan bahwa dalam usaha untuk mencegah abrasi pantai di Desa Numana, Kabupaten Wakatobi, proses tata kelola kolaborasi melibatkan berbagai elemen sesuai dengan konsep kolaborasi yang dikembangkan oleh Ansell dan Gash, meliputi:

1) Interaksi langsung atau dialog tatap muka (Face to Face), yang melibatkan diskusi dan sosialisasi tentang cara mencegah abrasi pantai dengan partisipasi pemerintah dan masyarakat.

2) Pembangunan kepercayaan (Trust Building), yang melibatkan kerja sama antara pemerintah, tokoh masyarakat, dan warga umum untuk menanam 1000 pohon bakau atau mangrove.

3) Komitmen terhadap proses (Commitment to Process), yang melibatkan kesiapan untuk memberikan pelayanan dengan sigap serta dorongan kuat untuk secara aktif ikut berkontribusi dalam usaha mencegah abrasi pantai.

4) Pemahaman bersama (Shared Understanding), yang menggambarkan kesadaran akan tugas individu dan pengakuan terhadap keterbatasan masing-masing sehingga kolaborasi berjalan efektif.

5) Pencapaian hasil (Intermediate Outcome), yang mengacu pada pemanfaatan sumber daya.

 

b. Strategi Pemerintah Daerah dalam Menanggulangi Bencana Banjir di Kecamatan Tompobulu Kabupaten Maros (Aulia, 2019)

Penelitian sebelumnya yang kedua disusun oleh Dwi Nur Ilma Aulia pada tahun 2019. Penelitian ini memiliki tujuan untuk menemukan strategi yang digunakan oleh pemerintah daerah dalam mengatasi situasi banjir di Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Maros. Penelitian ini menerapkan metode penelitian berbasis kualitatif.  Dasar teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori David yang memusatkan perhatian pada tahap perumusan, implementasi, serta penilaian atau evaluasi.

Hasil penelitian mengindikasikan bahwa selama tahap awal, yaitu fase perumusan atau perencanaan, pemerintah daerah telah mengembangkan berbagai rencana untuk mengatasi bencana banjir. Musrenbang dan program Kampung Iklim telah dilaksanakan dengan baik demi terwujudnya strategi yang adaptif ditambah adanya upaya sosialisasi untuk menjaga kebersihan lingkungan di sekitar bantaran sungai, penanaman pohon di sekitar sumber air, pembangunan tanggul, serta pealkasanaan evaluasi untuk perbaikan yang sudah berjalan sesuai rencana rumusan.

 

c. Pelaksanaan Collaborative Governance dalam Desa Tangguh Bencana (Studi Kasus Di Desa Poncosari Kecamatan Srandakan Kabupaten Bantul) (Yulianto & Mutiarin, 2018)

Penelitian sebelumnya yang ketiga disusun oleh Anto Yulianto dan Dyah Mutiarin pada tahun 2018. Penelitian ini bertujuan untuk mengilustrasikan proses terbentuknya Desa Tangguh Bencana dan menganalisis elemen-elemen yang mempengaruhi kerjasama di dalamnya, di Desa Poncosari. Penelitian ini menerapkan pendekatan kualitatif.

Temuan dari penelitian ini menunjukkan bahwa proses kolaborasi yang terjadi dalam pembentukan Desa Tangguh Bencana secara umum mengikuti model Collaborative Governance yang diperkenalkan oleh Ansell dan Gash. Beberapa faktor yang memengaruhi tingkat kolaborasi dalam Desa Tangguh Bencana di Desa Poncosari mencakup pengalaman masa lalu terkait bencana, bantuan fasilitasi yang diberikan oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Bantul, peran yang dimainkan oleh kepemimpinan di Pemerintahan Desa dan Lembaga Desa, tingkat partisipasi yang aktif dalam forum lembaga desa, serta aktivitas yang terkait dengan Forum Pengurangan Risiko Bencana (FPRB) Bimosuci Poncosari sebagai lembaga pelaksana operasional di Desa Poncosari.

 

d. Kolaborasi Perangkat Daerah, Dunia Usaha, dan Kelompok Masyarakat Dalam Penanggulangan Bencana Kebakaran di Kabupaten Kutai Kartanegara (Risyadi, 2023)

Penelitian sebelumnya yang keempat disusun oleh Faris Risyadi pada tahun 2023. Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan pelaksanaan kolaborasi yang dilakukan oleh perangkat daerah, dunia usaha, dan kelompok masyarakat. Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif kualitatif yang mengadopsi teori kolaborasi yang dikembangkan oleh Ansell dan Gash yang berfokus pada dimensi Collaborative Process.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kolaborasi sudah dapat dikatakan berjalan dengan baik. Bentuk kolaborasi yang dilakukan seperti apel gabungan dalam rangka kesiapsiagaan penanggulangan kebakaran. Mengingat masih adanya kendala yang menjadi hambatan dalam proses penanggulangan bencana, diharapkan agar dapat memperkuat proses kolaborasi dengan kegiatan bersama seperti sosialisasi dan penyuluhan kepada seluruh pihak mengenai penanggulangan kebakaran serta lebih terbuka mengenai permasalahan yang dihadapi.

e. Collaborative Governance dalam mitigasi bencana banjir rob di Kota Pekalongan (Hasna & Darumurti, 2023)

Penelitian terdahulu yang kelima disusun oleh Alyaa Larasati Hasna dan Awang Darumurti pada tahun 2023. Penelitian ini bertujuan untuk memahami bagaimana Collaborative Governance Pemerintah Pekalongan dan LSM BINTARI Foundation membentuk upaya mitigasi terhadap bencana banjir rob di Kota Pekalongan. Metode penelitian yang diterapkan adalah metode kualitatif deskriptif. Penelitian ini merujuk pada Teori Edward Deseve yang mengidentifikasi 8 indikator untuk menilai keberhasilan Collaborative Governance, yaitu struktur jaringan, komitmen terhadap tujuan bersama, kepercayaan di antara peserta, tata kelola, akses terhadap otoritas, pertanggungjawaban distributif, berbagi informasi, dan akses terhadap sumber daya.

Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa bentuk Collaborative Governance yang diimplementasikan oleh Pemerintah Kota Pekalongan dan LSM BINTARI Foundation tercermin dalam sejumlah program. Program tersebut termasuk kajian dan riset pembentukan Kelurahan Tangguh Bencana dan MCK Adaptif di wilayah Kelurahan Bandengan, Kecamatan Pekalongan Utara. Program-program tersebut berhasil mengurangi risiko yang terkait dengan banjir rob. Meskipun demikian, keterbatasan sumber daya menyebabkan program mitigasi banjir rob belum merata di seluruh wilayah Kota Pekalongan.

 

 

 

 

Tabel 2. 1 
Perbandingan Penelitian Sebelumnya

Nama Peneliti
(Tahun)

Judul Penelitian

Tujuan

Metode Penelitian

Hasil

Penelitian

Perbandingan

 

1

2

3

4

5

6

Halim Jauhari Alimin (2021)

 

Proses Collaborative Governance dalam Mencegah Terjadinya Abrasi Pantai di Desa Numana Kabupaten Wakatobi

Tujuan penelitian adalah untuk memahami bagaimana proses Collaborative Governance diaplikasikan dalam upaya mencegah terjadinya abrasi pantai di Desa Numana, Kabupaten Wakatobi.

1)  Jenis penelitian deskriptif dengan menggunakan

pendekatan kualitatif.

2)  Metode analisis yang diterapkan mencakup langkah-langkah reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan serta verifikasi.

3) Teknik pengumpulan data dengan menggunakan observasi, wawancara dan dokumentasi.

4) Teori yang digunakan dalam penelelitian adalah  Ansell and Gash.

Proses kolaboratif dilaksanakan oleh pihak pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat melalui 5 tahapan proses kolaborasi seperti yang dikemukakan oleh Ansell dan Gash:

- (Face to face) dengan melakukan sosialisasi pencegahan abrasi Pantai.

-  (Trust Building) dengan gerakan tanam 1000 pohon.

- (Commitment to Process) dengan memberikan pelayanan siap siaga.

- (Shared Understanding) dengan memahami Tupoksi dan keterbatasan yang ada.

- (Intermediate Outcome) dengan bentuk pemanfaatan sumber daya alam.

Persamaan

- Kedua penelitian menganalisis  proses kolaborasi yang terjadi dengan menggunakan teori Ansell dan Gash.

- Kedua penelitian menggunakan teknik analisis dan pengumpulan data yang sama.

 

Perbedaan

- Penelitian yang akan dilakukan berfokus pada penanggulangan banjir dengan lokus penelitian di Lingkungan Lebak, sedangkan penelitian terdahulu berfokus pada pencegahan abrasi pantai dengan lokus penelitian di Desa Numana.

- Penelitian yang akan dilakukan tidak hanya membahas dimensi Collaborative Process dalam teori Ansell dan Gash untuk melakukan penelitian, melainkan membahas ke 4 dimensi yang terdapat pada teori tersebut yakni, Starting Condition, Institusional Design, Facilitative Leadership, hingga Collaborative Process.

Dwi Nur Ilma Aulia (2019)

 

Strategi Pemerintah Daerah dalam Menanggulangi Bencana Banjir di Kecamatan Tompobulu Kabupaten Maros

Tujuan penelitian adalah untuk memahami strategi yang diterapkan oleh pemerintah daerah dalam upaya mengatasi bencana banjir di Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Maros.

1) Metode Penelitian kualitatif.

2) Metode analisis yang diterapkan mencakup langkah-langkah reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan serta verifikasi.

3) Teknik pengumpulan data dengan menggunakan observasi, wawancara dan dokumentasi.

4) Menggunakan Teori Strategi oleh David, 2006 :

1. Perumusan

2. Pelaksanaan

3. Evaluasi

Musrenbang dan program Kampung Iklim telah dilaksanakan dengan baik demi terwujudnya strategi yang adaptif ditambah adanya upaya sosialisasi untuk menjaga kebersihan lingkungan di sekitar bantaran sungai, penanaman pohon di sekitar sumber air, pembangunan tanggul, serta pealkasanaan evaluasi untuk perbaikan yang sudah berjalan sesuai rencana rumusan.

Persamaan

- Kedua penelitian menggunakan metode dan teknik analisis data yang sama.

- Kedua penelitian berfokus pada penanggulangan bencana banjir.

 

Perbedaan

- Penelitian terdahulu menggunakan teori strategi oleh David, 2006, sedangkan penelitian yang akan dilakukan menggunakan teori kolaborasi oleh Ansell dan Gash.

Anton Yulianto dan Dyah Mutiarin (2018)

Pelaksanaan Collaborative Governance dalam Desa Tangguh Bencana

(DESTANA)

(Studi Kasus Di Desa Poncosari Kecamatan Srandakan

Kabupaten Bantul)

Tujuan penelitian adalah untuk menjelaskan bagaimana Desa Tangguh Bencana terbentuk dan menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi kerja sama dalam Desa Tangguh Bencana di Desa Poncosari.

1) Metode penelitian ini termasuk dalam kategori penelitian deskriptif kualitatif.

2) Dalam proses analisis, metode yang digunakan meliputi reduksi data, penyajian data, serta penarikan kesimpulan dan verifikasi.

3) Data dikumpulkan melalui observasi, wawancara, dan dokumentasi.

4) Teori yang menjadi landasan dalam penelitian ini adalah kerangka kerja yang dikembangkan oleh Ansell dan Gash.

1) Proses kolaborasi dalam Desa Tangguh Bencana di Desa Poncosari telah sesuai dengan model Collaborative Governance yang dikembangkan oleh Ansell & Gash.

2) Faktor-faktor yang memengaruhi kolaborasi  Desa Tangguh Bencana di Desa Poncosari mencakup pengalaman kejadian bencana masa lalu, dukungan fasilitasi yang diberikan oleh BPBD Bantul, peran Pemerintahan Desa, Lembaga Desa, serta aktivitas Forum Pengurangan Risiko Bencana (FPRB) Bimosuci di Desa Poncosari.

Persamaan

- Kedua penelitian menggunakan teori Ansell dan Gash.

- Kedua penelitian menggunakan teknik analisis dan pengumpulan data sama.

 

Perbedaan

-  Penelitian terdahulu memiliki fokus dan lokus penelitian yang berbeda dengan penelitian yang akan dilakukan. Penelitian terdahulu berfokus pada faktor-faktor yang mempengaruhi kerja sama dalam DESTANA dengan lokus penelitian di Desa Poncosari, sedangkan penelitian yang akan dilakukan berfokus pada pemembahasan secara umum pelaksanaan tata kelola kolaboratif yang efektif dalam penanggulangan bencana banjir dengan lokus penelitian di Lingkungan Lebak.

Faris Risyadi (2023)

Kolaborasi Perangkat Daerah, Dunia Usaha, dan Kelompok Masyarakat Dalam Penanggulangan Bencana Kebakaran di Kabupaten Kutai Kartanegara

Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan pelaksanaan kolaborasi yang dilakukan oleh perangkat daerah, dunia usaha, dan kelompok masyarakat.

1) Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif kualitatif

2) Metode analisis yang diterapkan mencakup langkah-langkah reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan serta verifikasi.

3) Teknik pengumpulan data dengan menggunakan observasi, wawancara dan dokumentasi.

4) Mengadopsi teori kolaborasi  dari Ansell dan Gash yang berfokus pada dimensi Collaborative Process.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kolaborasi sudah dapat dikatakan berjalan dengan baik. Namun, perlu dapat memperkuat proses kolaborasi dengan kegiatan bersama seperti sosialisasi dan penyuluhan kepada seluruh pihak.

 

- Penelitian terdahulu memiliki fokus dan lokus penelitian yang berbeda dengan penelitian yang akan dilakukan. Penelitian terdahulu berfokus pada penanggulangan bencana kebakaran yang berada di Kabupaten Kutai Kartanegara, sedangkan penelitian yang akan dilakukan berfokus pada penanggulangan bencana banjir yang berada di Lingkungan Lebak.

- Teori yang digunakan oleh penelitian terdahulu hanya berfokus pada dimensi collaborative process Ansell dan Gash, sedangkan penelitian yang akan dilakukan menggunakan keempat dimensi dari teori kolaborasi oleh Ansell dan Gash.

Alyaa Larasati Hasna dan Awang Darumurti (2023)

Collaborative Governance dalam mitigasi bencana banjir rob di Kota Pekalongan

Penelitian ini bertujuan untuk memahami bagaimana Collaborative Governance Pemerintah Pekalongan dan LSM BINTARI Foundation membentuk upaya mitigasi terhadap bencana banjir rob di Kota Pekalongan.

1)Metode penelitian yang diterapkan adalah metode kualitatif deskriptif.

2) Metode analisis yang diterapkan mencakup langkah-langkah reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan serta verifikasi.

3) Teknik pengumpulan data dengan menggunakan observasi, wawancara dan dokumentasi.

2)Penelitian ini merujuk pada Teori Edward Deseve yang mengidentifikasi 8 indikator untuk menilai keberhasilan Collaborative Governance, yaitu struktur jaringan, komitmen terhadap tujuan bersama, kepercayaan di antara peserta, tata kelola, akses terhadap otoritas, pertanggungjawaban distributif, berbagi informasi, dan akses terhadap sumber daya.

Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa bentuk Collaborative Governance yang diimplementasikan oleh Pemerintah Kota Pekalongan dan LSM BINTARI Foundation tercermin dalam sejumlah program, termasuk kajian dan riset, serta pembentukan Kelurahan Tangguh Bencana dan MCK Adaptif di wilayah Kelurahan Bandengan, Kecamatan Pekalongan Utara. Program-program tersebut berhasil mengurangi risiko yang terkait dengan banjir rob. Meskipun demikian, keterbatasan sumber daya menyebabkan program mitigasi banjir rob belum merata di seluruh wilayah Kota Pekalongan.

 

Persamaan

 - Kedua penelitian menggunakan teknik analisis dan pengumpulan data sama.

 

Perbedaan

-  Penelitian terdahulu mengandung lokus dan fokus penelitian yang berbeda dengan penelitian yang akan dilakukan. Penelitian terdahulu berfokus pada tahap pra bencana yakni, mitigasi bencana banjir rob yang berada di Kota Pekalongan, sedangkan penelitian yang akan dilakukan memiliki fokus tidak hanya pada tahap pra bencana (mitigasi) saja, melainkan pada tahap pra bencana, saat bencana, dan pasca bencana dalam penanggulangan bencana banjir di Lingkungan Lebak.

-  Penelitian terdahulu menggunakan Teori Edward Deseve, sedangkan penelitian yang akan dilakukan menggunakan Teori kolaborasi oleh Ansell dan Gash.

Sumber: Halim Jauhari Alimin 2021; Dwi Nur Ilma Aulia 2019; Anton Yulianto dan Dyah Mutiarin 2018; Alyaa Larasati Hasna dan Awang Darumurti 2023; Faris Risyadi 2023, (diolah oleh Peneliti, 2023)

2.2.    Landasan Teoritis dan Legalistik

2.2.1        Landasan Teoritis

2.2.1.1     Collaborative Governance

Jhon Wanna dan Janine O’Flynn (2008) dalam bukunya menyatakan bahwa dari segi epistemologi, istilah "kolaborasi" berasal dari bahasa Inggris, yakni "co-labour," yang merujuk pada kerja sama. Dalam konteks tersirat, hal ini mengindikasikan bahwa baik individu, kelompok, maupun organisasi bekerja bersama dalam upaya yang serupa. Para aktor melakukan kerja sama dengan orang lain tidak terlepas dari berbagai persyaratan dan ketentuan yang bervariasi.

Kolaborasi adalah proses berpikir yang diterapkan untuk mengatasi masalah publik, dengan maksud menemukan solusi bagi isu yang melibatkan beragam entitas, termasuk pemerintah, sektor swasta, dan lainnya. Dengan adanya kolaborasi yang menarik putaran positif  akan menghasilkan kolaborasi yang lebih baik, kreatif, transformasional, serta membuahkan hasil yang bermanfaat (Gray & Francisco, 1989).

Dimas Luqito Chusuma Arrozaaq (2016) menjelaskan bahwa kata “Governance” sering diperuntukkan untuk pengganti istilah “Administrasi publik” karena dianggap sepadan. Akan tetapi, “Governance” bukanlah persamaan kata dari “Government”. Istilah “Governance lebih memfokuskan pada tata cara proses pengambilan suatu keputusan yang melibatkan peran serta para pemangku kepentingan yang mana secara pelaksanannya cukup kompleks terhadap tantangan dan menghadapi banyak permasalahan.

Ansell dan Gash mendukung penerapan pendekatan baru dalam administrasi pemerintahan yang mereka sebut dengan istilah "Collaborative Governance" atau pemerintahan kolaboratif. Strategi ini memuat konsep kerjasama antarpemangku kepentingan, baik pemerintah, pelaku usaha, maupun masyarakat. Keterlibatan pemangku kepentingan tersebut memiliki signifikansi yang besar terhadap masalah publik dapat memiliki implikasi yang luas dan tidak dapat diselesaikan secara optimal oleh salah satu pihak saja. Oleh karena itu, diperlukan adanya Collaborative Governance dalam penanggulangan banjir dengan ikut dilibatkannya para pemangku kepentingan di dalamnya.

Collaborative Governance adalah pola yang menggabungkan pemangku kepentingan dari sektor publik dan swasta dalam suatu forum kolektif dengan institusi pemerintah untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan yang bertujuan mencapai kesepakatan bersama (Ansell & Gash, 2008). Dari pendapat di atas tersirat bahwa kolaborasi yang dilakukan mencakup hubungan formal dan informal untuk pengambilan keputusan.

Chris Ansell dan Alison Gash (2008) menjelaskan Collaborative Governance merujuk pada suatu sistem pengaturan tata kelola di mana satu atau lebih lembaga pemerintah terlibat secara langsung bersama pihak-pihak non-pemerintah dalam suatu proses pengambilan keputusan resmi yang ditujukan untuk mencapai kesepakatan, dan proses ini didasari oleh diskusi dan pertimbangan yang mendalam. Tujuan dari model pengaturan ini adalah untuk merumuskan serta melaksanakan kebijakan publik dan mengelola program atau sumber daya publik. Dengan kata lain, Collaborative Governance adalah pendekatan di mana pihak-pihak yang bukan berasal dari pemerintah aktif terlibat dalam proses pengambilan keputusan publik dan implementasi kebijakan.

Pada era demokrasi ini, konsep Collaborative Governance adalah konsep yang paling sejalan. Gagasan ini mencakup ide bahwa ketika menjalani proses pengambilan keputusan untuk menyelesaikan permasalahan masyarakat, dibutuhkan keterlibatan lebih dari satu pemangku kepentingan, dan prinsip yang sama berlaku dalam pelaksanaan kebijakan yang diterapkan.

 

Sumber: (Ansell & Gash, 2008)

 

Chris Ansell dan Alison Gash (2008) menjelaskan dalam kerangka Collaborative Governance terdapat empat aspek yang berperan dalam memengaruhi prosesnya, yakni:

a. Kondisi Awal (Starting Condition)

Kondisi awal mengacu pada situasi awal di mana para pemangku kepentingan dan lembaga terlibat memiliki latar belakang dan kondisi yang berbeda. Terdapat tiga faktor utama pada kondisi awal ini, yaitu ketidakseimbangan antara pengaruh, sumber daya, dan pengetahuan pemangku kepentingan; sejarah masa lalu, baik berupa kerjasama sebelumnya atau konflik yang pernah terjadi di antara pemangku kepentingan; serta dorongan dan hambatan yang memengaruhi partisipasi dalam kolaborasi.

b. Desain Institusional (Institusional Design)

Desain institusional melibatkan pengaturan protokol dasar dan aturan-aturan dasar yang diperlukan untuk melegitimasi prosedur dan proses kolaboratif. Penyelenggarannya harus terbuka dan inklusif agar semua kelompok memiliki kesempatan untuk berpartisipasi.

c. Kepemimpinan Fasilitatif (Facilitative Leadership)

Aspek kepemimpinan memegang peranan penting dalam membimbing para pemangku kepentingan yang berkolaborasi dalam perundingan dan negosiasi untuk mengintegrasikan mereka dan menciptakan semangat kolaboratif.

d. Proses Kolaboratif (Collaborative Process)

Proses kolaboratif adalah metode penyelesaian sengketa di luar pengadilan di mana semua pihak berupaya mencapai kompromi. Dalam penelitian ini, peneliti memanfaatkan indikator Collaborative Governance yang dikembangkan oleh (Ansell & Gash, 2008).

Indikator ini menjadi komponen-komponen yang dapat mempengaruhi dalam pelaksanannya. Komponen ini befungsi untuk menilai dan mengevaluasi bahwa suatu kolaborasi sudah ternilai baik atau belum antara komponen-komponen di dalamnya. Komponen di atas adalah:

1) Dialog antar muka (Face to face dialogue)

Chris Ansell dan Alison Gash (2008) mengungkapkan bahwa komunikasi melalui dialog tatap muka menjadi elemen yang esensial dalam kolaborasi karena berperan dalam pembentukan kesepakatan. Komponen face to face ini dilakukan dalam satu waktu dan lokasi antara berbagai pihak untuk berlangsungnya proses dialog yang interaktif. Dialog antar muka ini berupaya untuk mengurangi stereotip, yakni pandangan aktor yang merasa adanya sisi buruk dari aktor lainnya serta untuk meningkatkan rasa saling menghormati antar aktor dengan maksud dan tujuan untuk menghasilkan suatu pemahaman yang sama untuk mengambil suatu tindakan. Collaborative Governance ini dimulai dari pertemuan langsung antara pihak-pihak yang memiliki kepentingan yang berbeda dengan tujuan mencapai kesepakatan bersama, dengan tujuan akhirnya menghasilkan manfaat bersama. Pertemuan antara pihak-pihak yang memiliki kepentingan ini dianggap berhasil jika dilakukan secara berkala.

2) Membangun kepercayaan (Trust building)

Dalam rangka membentuk kolaborasi yang solid dibutuhkan suatu “Trust building” atau membangun kepercayaan di dalamnya. Kepercayaan ini dapat dibangun dengan waktu yang tidak singkat, sebab perlu dilakukannya komunikasi yang intensif secara terus-menerus dengan tujuan untuk dapat menyesuaikan terhadap kondisi saat ini serta mengantisipasi munculnya kembali konflik masa lalu (Prehistory antagonism). Para pengambil kebijakan dan pemangku kepentingan perlu meluangkan waktu untuk mengembangkan kepercayaan kembali secara efisien. Jika tidak, maka kolaborasi seharusnya tidak dilaksanakan (Ansell & Gash, 2008).

3) Komitmen pada proses (Commitment to the proces)

Komitmen pada proses merupakan komponen yang sangat penting dalam proses kolaborasi (Fairuza, 2017). Kolaborasi dan komitmen berhubungan erat sebab kolaborasi sendiri dapat terjadi sepenuhnya apabila terdapat komitmen dari setiap stakeholders yang berwenang. Penting bagi pemangku kepentingan untuk saling menghormati pandangan satu sama lain dalam rangka menjalankan komitmen. Mereka juga harus meyakinkan diri mereka tentang integritas dan kemampuan bernegosiasi dalam perundingan agar dapat mengurangi penolakan dari masyarakat. Faktor-faktor yang memengaruhi komitmen termasuk:

a) Pengakuan bersama (mutual recognition) yang mengacu pada pengakuan bersama.

b) Apresiasi bersama (joint appreciation) dari para pelaku atau aktor terlibat.

c) Kepercayaan antara para aktor.

d) Memiliki rasa memiliki terhadap proses pengambilan keputusan, meskipun kompleks dan melibatkan kolaborasi.

e) Hubungan saling ketergantungan (interdependence) antara para aktor.

4) Pemahaman Bersama (Shared understanding)

Bencana adalah tanggung jawab bersama, oleh karena itu, partisipasi semua pihak sangat penting dalam meningkatkan kesadaran penanggulangan bencana dan pengurangan risiko kejadian bencana. Pemahaman bersama memiliki peranan terpenting dalam pencapaian tujuan bersama yang mencakup ide mengenai Misi Umum, Tujuan Umum, Objektivitas Umum, dan Visi Bersama (Fairuza, 2017). Kesepakatan atau pemahaman bersama ini memiliki tujuan untuk mengkoordinasikan pemikiran dan menciptakan keselarasan dalam mencapai tujuan yang diinginkan, dengan harapan dapat mengurangi kemungkinan terjadinya kesalahpahaman di antara para pelaku yang terlibat. Pemahaman ini dapat dikembangkan dan dilaksanakan dalam proses kolaboratif sehingga dapat dinilai seberapa jauh pembelajaran kolektif yang dihasilkan dari proses kolaborasi tersebut.

5) Dampak sementara (Intermediate Outcomes)

Intermediate Outcomes merujuk pada hasil sementara atau tahap proses yang sedang berlangsung serta memiliki nilai manfaat dan relevansi strategis. Dalam konteks kolaborasi, terdapat dampak sementara yang terjadi selama proses tersebut berlangsung. Dampak sementara ini menghasilkan umpan balik, yang diinginkan adalah umpan balik positif yang dikenal sebagai "small wins" atau kemenangan kecil. Kehadiran kemenangan kecil atau "small wins" ini dapat meningkatkan harapan dan komitmen dari setiap aktor yang terlibat dalam upaya penanggulangan bencana.

Berdasarkan penjelasan di atas, peneliti dapat menarik kesimpulan bahwa Collaborative Governance adalah hubungan kerja sama baik formal maupun informal dalam rangka pengambilan keputusan serta pemecahan masalah yang dilakukan antara sector public, swasta, dan masyarakat. Di dalam kolaborasi tersebut terlihat bahwa satu komponen harus bekerja sama dengan komponen lainnya demi terwujudnya hasil pengambilan keputusan atau pemecahan masalah yang maksimal. Collaborative tersebut didukung oleh tiga hal di antaranya yaitu kepemimpinan, dukungan, serta forum. Proses Collaborative antara para pemangku jabatan tersebut diharapkan dapat membantu mewujudkan pemecahan masalah yang kompleks pada suatu organisasi.

 

2.2.1.2 Manajemen Bencana

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (2023) menjelaskan bahwa bencana merupakan peristiwa atau rangkaian peristiwa yang memiliki potensi bahaya dan mengacaukan kehidupan serta mata pencaharian Masyarakat. Hal ini dapat disebabkan oleh faktor alam, buatan manusia, atau gabungan keduanya, dan menghasilkan dampak berupa korban jiwa, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.

Bencana alam, seperti gempa bumi, tsunami, letusan gunung berapi, banjir, kekeringan, badai, dan tanah longsor adalah contoh bencana yang dipicu oleh peristiwa alam. Sementara bencana yang disebabkan oleh peristiwa non-alam, seperti kegagalan modernisasi, epidemi, atau wabah penyakit, termasuk dalam kategori bencana buatan manusia. Bencana sosial, di sisi lain, adalah akibat dari peristiwa atau serangkaian peristiwa yang dipicu oleh tindakan manusia, seperti konflik sosial antara komunitas atau kelompok, bahkan aksi terorisme. Kejadian bencana, dicatat berdasarkan tanggal, lokasi, jenis bencana, jumlah korban, dan tingkat kerusakan. Bencana dianggap sebagai suatu peristiwa atau kejadian apabila memengaruhi berbagai lokasi pada hari yang sama.

Indonesia sering kali dilanda berbagai bencana secara silih berganti. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk mengatasi masalah bencana di negara ini, baik yang bersifat alamiah maupun akibat dari ulah manusia. Penanggulangan bencana melibatkan persiapan, pencegahan, penyelamatan, rehabilitasi, dan rekonstruksi. Bidang ini menjadi fokus utama dalam memahami dan mengelola berbagai aspek bencana (Badan Nasional Penanggulangan Bencana, 2023).

Manajemen bencana adalah disiplin ilmu yang mengkaji bencana secara holistik, termasuk analisis risiko bencana dan cara mengurangi risiko tersebut. Manajemen bencana mencakup perencanaan, organisasi, serta penggunaan sumber daya untuk mengatasi seluruh tahap bencana sebagai peristiwa alam yang unik (Nurjanah, 2012). Manajemen bencana digambarkan sebagai upaya kolektif yang melibatkan perencanaan untuk merespons bencana, termasuk tindakan sebelum dan setelah bencana terjadi, serta pengelolaan risiko dan dampaknya (Kusumasari, 2019). Hal ini melibatkan kolaborasi antara pemerintah, sukarelawan, dan sektor swasta secara terkoordinasi dan komprehensif untuk memenuhi kebutuhan darurat.

Deni Purbowati (2023) mengungkapkan bahwa manajemen bencana adalah suatu siklus yang tak pernah berakhir sehingga diperlukan penanggulangan bencana untuk mengurangi dampak bencana dengan cara mempersiapkan diri sebelumnya, mengantisipasi potensi situasi berisiko, merespons cepat dalam situasi darurat dan mampu pulih dengan efisien setelah terjadi bencana.

 

2.2.1.3  Banjir

Banjir adalah kondisi di mana jumlah air meningkat secara signifikan, menyebabkan daratan terendam oleh air yang mengalir dengan cepat. Kejadian banjir alami terjadi di daerah dataran rendah (Floodplain) saat hujan deras mengakibatkan aliran permukaan yang berujung pada kerugian baik secara materi maupun non-materi (Istihora & Basri, 2020).

Bantaran sungai adalah area yang terletak di kedua sisi sungai sepanjang palung sungai, diukur dari tepi sungai hingga bagian dalam tanggul. Fungsinya adalah untuk menampung sebagian aliran sungai ketika terjadi banjir. Karena fungsinnya tersebut, maka secara alami bantaran sungai sering tergenang oleh air sungai selama periode banjir. Oleh karena itu, dilarang untuk membangun bangunan tempat tinggal atau menggunakan bantaran sungai sebagai tempat pembuangan sampah (Yulaelawati & Syihab, 2008).

Ella Yulaelawati dan Usman Syihab (2008) menyebutkan faktor penyebab banjir disebabkan oleh 3 faktor, yaitu :

a. Ulah Manusia, seperti:

1) Penggunaan lahan daerah rawan banjir yang digunakan untuk permukiman dan industri

2) Deforisasi terhadap infiltrasi tanah serta peningkatan aliran permukaan tanah di mana pengikisan tanah dapat menyebabkan sedimentasi di saluran air, yang dapat mengganggu aliran air

3) Pembuangan sampah tidak pada tempatnya

4) Pembangunan daerah dataran banjir

a. Faktor Alam (Statis) :

1) Letak Geografisnya yang memeang berada pada wilayah rawan bencana badai dan siklon

2) Kondisi dataran yang cekung sehingga menjadi kawasan banjir

3) Keadaan alur sungai yang mengalami penyumbatan atau terjadi sedimentasi membentuk pulau

b. Faktor Alam (Dinamis)

1) Volume curah hujan yang tinggi

2) Terjadinya arus balik yang sering terjadi di muara sungai

3) Penurunan keadaan muka tanah

4) Rendahnya dataran sungai karena tingginya sedimentasi

 

2.2.2       Landasan Legalistik

2.2.2.1 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 merupakan peraturan perundang-undangan tertinggi yang mengatur tentang penanggulangan bencana. Peraturan ini menjadi pedoman dalam pelaksanaan penanggulangan bencana dan penyusunan peraturan perundang-undangan di bawahnya. Pasal 1 ayat (1) menjelaskan bahwa bencana merupakan susunan atau suatu peristiwa yang mengancam dan mengganggu kelangsungan hidup serta penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor alam, faktor non alam, dan faktor manusia sehingga berakibat munculnya kerugian baik harta benda, memakan korban jiwa, rusaknya lingkungan, dan mengakibatkan dampak psikologis bagi masyarakat terdampak.

Upaya penyelenggaraan penanggulangan bencana sebagaimana yang tertera pada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, yakni telah dijabarkan pada Pasal 1 ayat (5) sampai dengan ayat (7).  Pasal 1 ayat (5) Undang-Undang tersebut menjelaskan bahwa penyelenggaraan penanggulangan bencana ialah serangkaian usaha meliputi penetapan suatu kebijakan pembangunan yang memiliki risiko timbulnya suatu bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, serta tahap rehabilitasi dan rekonstruksi. Selanjutnya, dijelaskan pada Pasal 1 ayat (6) bahwa upaya pencegahan bencana ialah suatu rangkaian kegiatan yang dilaksanakan sebagai upaya untuk menghilangkan dan/atau mengurangi ancaman risiko dari timbulnya suatu bencana. Tahap ketiga yakni kesiapsiagaan yang dipaparkan pada ayat  (7), yakni mengungkapkan bahwa kesiapsiagaan merupakan rangkaian kegiatan yang dilakukan guna menjadi antisipasi bencana yang bergerak melalui pengorganisasian dan melalui langkah atau tahapan yang tepat serta berdaya guna.

Undang-Undang No 24 Tahun 2007 menerangkan bahwa dalam pelaksanaan tata kolaboratif terdapat tiga unsur utama yang terlibat yaitu pemerintah, lembaga usaha, dan masyarakat yang mana telah dijelaskan masing-masing peranannya. Peran pemerintah dan pemerintah daerah adalah bertanggung jawab dalam mengelola penanggulangan bencana, dengan fokus pada perlindungan masyarakat dari akibat bencana dan upaya mengurangi risiko bencana, serta mengintegrasikan pengurangan risiko bencana ke dalam program pembangunan. Pemerintah sebagaimana dimaksud pada Pasal 5, yakni membentuk Badan Nasional Penanggulangan Bencana dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah sebagai pengarah dan pelaksana penanggulangan bencana.

Kewajiban masyarakat sebagaiamana dimaksud pada Pasal 27, yakni untuk menjaga keselarasan dalam kehidupan sosial, merawat keseimbangan dan keberlanjutan fungsi lingkungan hidup, mengambil langkah-langkah dalam upaya penanggulangan bencana, serta memberikan informasi yang akurat kepada masyarakat mengenai penanggulangan bencana. Lembaga usaha, Lembaga internasional, dan lembaga non pemerintah asing memiliki izin untuk berpartisipasi dalam upaya penanggulangan bencana, baik secara mandiri atau bersama-sama dengan pihak lain.

Undang-Undang tentang Penanggulangan Bencana yang menjadi landasan dan kerangka hukum pelaksanaan penanggulangan bencana di Indonesia, berupaya untuk melindungi masyarakat dari risiko bencana dan memastikan bahwa penanggulangan bencana dilakukan secara terencana, terpadu, dan sistematis meliputi :

a. Langkah-langkah komprehensif dan preventif dimulai dari mengurangi risiko bencana, respons darurat, serta usaha pemulihan dan pembangunan kembali;

b. Tindakan yang dikerjakan bersama oleh pihak-pihak terlibat, dengan peran dan fungsi yang mendukung satu sama lain;

c. Bagian yang tidak terpisahkan dari upaya pembangunan untuk mencapai ketangguhan terhadap bencana;

Undang-undang tentang mitigasi bencana telah mengubah pendekatan dalam mengatasi situasi bencana dengan memberikan perhatian yang lebih luas pada semua aspeknya. Hal ini meliputi tahap sebelum bencana terjadi, tanggap darurat saat bencana terjadi, dan upaya pemulihan pasca bencana, berbeda dari fokus sebelumnya yang hanya menitikberatkan pada respons saat bencana terjadi. Rencana jangka panjang pembangunan nasional dari tahun 2005 hingga 2025 mencerminkan pengakuan bahwa semua faktor ini memiliki peran penting dalam perencanaan pembangunan. Dokumen Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional tersebut juga mengangkat isu penanggulangan bencana sebagai salah satu dari delapan prioritas pembangunan nasional yang ditekankan di dalamnya.

 

2.2.2.2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang pemerintah daerah pada Pasal 1 ayat (2) mendefinisikan pemerintahan daerah sebagai penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat yang didasarkan pada prinsip-prinsip otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam kerangka sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Penanggulangan bencana di tingkat daerah merupakan kewenangan dan tanggung jawab dari daerah otonom. Hal tersebut bertujuan untuk mempermudah pemerintah daerah melakukan persiapan dan perencanaan untuk mencapai penanggulangan bencana yang efektif, dengan tujuan meminimalkan kerugian yang timbul akibat bencana tersebut.

 

2.2.2.3 Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana

Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 telah mepaparkan bahwa penanggulangan bencana merupakan upaya untuk merumuskan suatu kebijakan pembangunan yang mengandung risiko ancaman bencana, upaya pencegahan bencana, kegiatan tanggap darurat, dan rangkaian usaha untuk pemulihan. Tujuan dari penanggulangan bencana tertera pada Pasal 2, yakni demi terjaminnya penyelenggaraan penanggulangan bencana secara terpadu, terencana, terkoordinasi, dan utuh demi melakukan suatu perlindungan terhadap masyarakat dari ancaman risiko dampak dari timbulnya bencana.

Penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi tahap prabencana, saat tanggap darurat, dan pascabencana. Dalam Peraturan Pemerintah tersebut dijelaskan bahwa pelaksanaan penanggulangan bencana pada tahap prabencana, seperti yang dijelaskan dalam Pasal 3, mencakup dua situasi:

a. Dalam keadaan ketika tidak ada bencana yang sedang terjadi.

b. Dalam keadaan ketika terdapat potensi terjadinya bencana.

Pelaksanaan penanggulangan bencana pada situasi dengan potensi terjadinya bencana, sebagaimana diuraikan dalam Pasal 4 huruf b, mencakup berbagai aspek, seperti kesiapsiagaan, peringatan dini, mitigasi bencana, integrasi dalam perencanaan pembangunan, analisis risiko bencana, pelaksanaan dan penerapan rencana tata ruang, pendidikan dan pelatihan, serta standar teknis penanggulangan bencana.

Pelaksanaan penanggulangan bencana selama fase tanggap darurat mencakup: evaluasi yang cepat dan akurat terhadap lokasi, kerusakan, kerugian, dan sumber daya, menetapan status keadaan darurat bencana, dan penyelamatan dan evakuasi warga yang terdampak bencana, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan terhadap kelompok yang rentan, serta restorasi segera infrastruktur dan fasilitas penting.

Pelaksanaan upaya penanggulangan bencana pada fase pascabencana melibatkan dua aspek yaitu tahap rehabilitasi dan rekonstruksi. Rehabilitasi di wilayah pascabencana melibatkan berbagai tindakan, yaitu pemulihan lingkungan di daerah yang terdampak bencana, perbaikan infrastruktur dan fasilitas umum, pemberikan bantuan perbaikan rumah kepada masyarakat, pemulihan aspek sosial dan psikologis, pelayanan kesehatan, rekonsiliasi dan penyelesaian konflik, dan pemulihan keamanan dan ketertiban

Rekonstruksi di wilayah pascabencana melibatkan sejumlah tindakan, yaitu pembangunan kembali infrastruktur dan fasilitas, pengembangan kembali sarana sosial masyarakat, pemulihan kehidupan sosial dan budaya masyarakat, penerapan desain yang sesuai dan penggunaan peralatan yang lebih kuat dan tahan terhadap bencana, melibatkan partisipasi lembaga dan organisasi kemasyarakatan, bisnis, dan masyarakat, dan meningkatkan pelayanan publik.

Untuk mempercepat rekonstruksi seluruh infrastruktur, fasilitas, dan lembaga di wilayah pascabencana, Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menetapkan prioritas dalam pelaksanaan tindakan rekonstruksi seperti yang dijelaskan dalam ayat (1).

Dalam hal penanggulangan bencana tidak hanya dilakukan oleh pemerintah saja akan tetapi, kelompok lain seperti organisasi kemasyarakatan dan dunia usaha sebagai lembaga non pemerintah dan masyarakat dapat turut andil dalam menghadapi permasalahan bencana. Selain itu, entitas atau lembaga terkait dengan mitigasi bencana juga memiliki kewenangan untuk menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan dalam penanggulangan bencana sesuai dengan mandat dan wewenang yang diberikan, dengan mengacu pada panduan yang ditetapkan oleh Kepala BNPB sesuai dengan Pasal 14.

 

2.2.2.4 Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2020 tentang Rencana Induk Penanggulangan Bencana Tahun 2020 – 2044

Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2020 merupakan landasan bagi pemerintah untuk menyusun Rencana Induk Penanggulangan Bencana tahun 2020-2044. Peraturan tersebut menerangkan bahwa TNI, Polri, dan pemerintah daerah semuanya memiliki landasan dalam merencanakan dan melaksanakan tindakan penanggulangan bencana berdasarkan Peraturan Presiden ini. Peraturan ini mencakup visi, misi, tujuan, dan target dalam upaya mengatasi bencana, kebijakan dan strategi penanggulangan bencana, serta serta peta jalan pelaksanaan RIPB Tahun 2020-2044. Rencana Induk Penanggulangan Bencana (RIPB) menjadi komponen dalam perencanaan pembangunan nasional dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah. RIPB ini adalah pedoman nasional yang berlaku selama 25 tahun.

Terdapat dua periode RPJPN, pertama dari tahun 2005 hingga tahun 2025, dan kedua dari tahun 2025 hingga 2045, keduanya tercakup dalam RIPB yang disusun untuk periode 2020–2044. Dokumen ini juga merujuk pada tujuan pembangunan berkelanjutan 2015–2030, kerangka kerja Sendai untuk pengurangan risiko bencana 2015–2030, dan kesepakatan Paris Agreement to the United Nations Framework Convention on Climate Change yang terkait dengan Konvensi Kerangka PBB tentang Perubahan Iklim.

Visi pokok dalam upaya penanggulangan bencana tahun 2020-2044 adalah "Menciptakan ketahanan Indonesia dalam menghadapi bencana untuk mendukung pembangunan yang berkelanjutan." Ketahanan dalam konteks ini merujuk pada kemampuan Indonesia untuk menanggung, menyerap, menyesuaikan diri, dan pulih dari dampak bencana dan perubahan iklim dengan cara yang sesuai, efektif, dan efisien. Misi utamanya, untuk mendukung pencapaian visi ini, dibagi menjadi tiga komponen:

a. Menciptakan penanggulangan bencana yang kuat dan berkelanjutan.

b. Mengembangkan tata kelola penanggulangan bencana yang profesional dan inklusif.

c. Menyelenggarakan penanggulangan darurat bencana dan pemulihan pasca bencana yang optimal.

Tujuan dari RIPB tahun 2020-2044 adalah agar kebijakan pemerintah dalam penanggulangan bencana terencana dan sesuai dengan tujuan yang diharapkan. RIPB merupakan bahan penyusunan perencanaan pembangunan nasional dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah, sehingga kebijakan pemerintah daerah dalam menanggulangi bencana terarah dan terpadu.

 

2.2.2.5 Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2012 tentang  Penanggulangan Bencana Banjir dan Tanah Longsor

Instruksi Presiden ini menjelaskan tentang langkah-langkah dalam mengatasi banjir dan tanah longsor di semua bagian wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Langkah-langkah ini melibatkan fase-fase seperti status kesiagaan darurat, respons darurat, dan transisi dari fase darurat ke fase pemulihan dan perbaikan pasca bencana. Tindakan-tind akan ini mencakup :

a. Mempersiapkan rancangan strategi untuk mengatasi banjir dan tanah longsor;

b. Upaya mencegah dan mengendalikan potensi munculnya banjir dan tanah longsor;

c. Mengoperasikan Pusat Komando untuk banjir dan tanah longsor:

d. Tindakan untuk mengatasi konsekuensi pasca bencana banjir dan tanah longsor (Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2012).

 

2.2.2.6  Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat No 26 Tahun 2015 Tentang Pengalihan Alur Sungai dan/ atau Pemanfaatan Ruas Bekas Sungai

Pengaturan mengenai jalur sungai dan/atau pemanfaatan daerah yang dulu menjadi jalur sungai berdasarkan Pasal 5 dan 7 bertujuan untuk menjaga fungsionalitas sungai, pemanfaatan, serta pengaliran air di dalamnya. Perubahan jalur sungai hanya dapat dilaksanakan setelah memperoleh izin berdasarkan rekomendasi teknis yang diberikan. Penyesuaian jalur sungai dapat dilakukan dalam konteks pengelolaan sungai yang melibatkan kepentingan masyarakat yang dijalankan oleh pihak pemerintah atau pengelolaan sungai yang memiliki implikasi penting sesuai dengan rencana tata ruang wilayah, dapat dilakukan oleh lembaga pemerintah, entitas hukum, atau organisasi sosial.

Wilayah yang sebelumnya merupakan bagian dari sungai dan diubah karena penyesuaian jalur sungai, dapat dimanfaatkan untuk keperluan konservasi, pengendalian banjir, dan pembangunan infrastruktur dan fasilitas publik; dan/atau kegiatan budidaya.

 

2.2.2.7  Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 21 Tahun 2019 Tentang Penanggulanganan Keadaan Darurat Bencana di Provinsi Jawa Timur

Peraturan tersebut memaparkan hal-hal terkait penanggulanganan keadaan darurat bencana di Provinsi Jawa Timur mulai dari penetapan status keadaan darurat bencana yakni kegiatan status tanggap darurat, kegiatan pencarian dan penyelamatan, kegiatan pertolongan darurat, kegiatan evakuasi korban bencana, upaya pengadaan air bersih dan sanitasi, kegiatan pangan bagi korban, pelayanan kesehatan, serta kegiatan penampungan. Di dalam aturan tersebut juga dijelaskan bagaimana tata cara pendanaan pelaksanaan kegiatan untuk penanggulanganan status keadaan darurat bencana. Gubernur memiliki kewenangan untuk mengukuhkan penentuan status darurat bencana di tingkat provinsi. Status darurat bencana yang dimaksud terdiri dari beberapa tingkatan sebagai berikut:

a. Siaga Darurat Bencana;

b. Tanggap Darurat Bencana; dan

c. Transisi Darurat Bencana ke Pemulihan.

Dalam lingkup status tanggap darurat bencana, terdapat berbagai tindakan yang mencakup pencarian serta penyelamatan korban bencana, pemberian pertolongan darurat, proses evakuasi korban, penyediaan air bersih dan fasilitas sanitasi, penyediaan makanan, penyediaan pakaian serta peralatan sekolah, layanan kesehatan, serta penyediaan tempat penampungan sementara atau hunian.

Kegiatan pencarian dan penyelamatan korban bencana, sebagaimana dijelaskan dalam ayat (1) huruf a, mencakup:

a. Perjalanan dinas yang bertujuan untuk mencari dan memberikan pertolongan kepada korban;

b. Kompensasi atau insentif bagi mereka yang terlibat dalam upaya pencarian dan penyelamatan korban;

c. Biaya transportasi bagi tim pencarian dan penyelamatan korban, termasuk penyewaan sarana transportasi darat, sungai/laut, udara, serta pembelian bahan bakar; dan

d. Pengadaan peralatan yang melibatkan pembelian atau penyewaan peralatan yang diperlukan dalam proses pencarian dan penyelamatan.

Kegiatan pertolongan darurat, seperti yang dijelaskan dalam ayat (1) huruf b, untuk mencegah meluasnya dampak bencana, mencakup penyewaan peralatan penanggulangan bencana, pengadaan barang dan layanan, perawatan sanitasi, serta pemberian benih dalam rangka penanganan darurat bencana atau Kejadian Luar Biasa (KLB).

Pendanaan pelaksanaan untuk kegiatan penanggulanganan status Keadaan Darurat Bencana dibebankan pada:

a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;

b. Angggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota;

c. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi; dan

d. Sumber dana lain yang sah dan tidak memiliki kewajiban yang bersifat mengikat. Pelaksanaannya akan mengikuti ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.

 

2.2.2.8 Peraturan Daerah Kabupaten Banyuwangi Nomor 10 Tahun 2013 Tentang Penanggulangan Bencana

Peraturan Daerah Kabupaten Banyuwangi tersebut menjelaskan penanggulangan bencana mencakup langkah-langkah untuk mencegah terjadinya bencana, mengurangi risiko yang dapat ditimbulkan oleh bencana, dan melibatkan berbagai tindakan seperti menetapkan kebijakan pembangunan yang dapat meningkatkan risiko bencana, melakukan tindakan pencegahan, menangani situasi darurat, dan melakukan upaya rehabilitasi. Dalam pelaksanaan tata kelola kolaboratif yang dijalankan oleh tiga aktor utama yakni pemerintah, lembaga non pemerintahan seperti dunia usaha dan organisasi kemasyarakatan, serta masyarakat telah dijelaskan dalam regulasi tersebut peranan dari masing-masing pihak.

Pemerintah Daerah memegang tanggung jawab utama dalam mengatur penanggulangan bencana yang menjadi kewenangan daerah, yang mencakup berbagai aspek seperti pengaturan kebijakan yang sesuai dengan karakteristik wilayah, menetapkan status keadaan darurat, memastikan keselamatan dan perlindungan hak-hak masyarakat yang terdampak oleh bencana, mengurangi risiko bencana, menjalankan pengelolaan sumber daya alam dengan berkelanjutan, mengalokasikan sumber daya keuangan yang mencukupi, melakukan pemulihan pasca bencana, dan mengelola dokumentasi mengenai ancaman dan dampak bencana.

Masyarakat mempunyai tugas pokok untuk menjaga keselarasan, keseimbangan, dan harmoni dalam kelangsungan fungsi lingkungan hidup, berpartisipasi dalam aktivitas penanggulangan bencana dan memberikan informasi yang tepat terkait usaha-usaha penanggulangan bencana. Organisasi kemasyarakatan harus memenuhi tanggung jawab utama yakni mengoordinasikan kerja sama yang dilakukan dengan pemerintah daerah dan BPBD saat terlibat dalam kegiatan penanggulangan bencana kemudian melaporkan kepada lembaga yang memiliki kewenangan mengenai pengumpulan barang serta  dana yang mereka lakukan untuk mendukung inisiatif penanggulangan bencana.

Lembaga bisnis, lembaga internasional dan organisasi asing nonpemerintah diberi kesempatan untuk terlibat dalam usaha penanggulangan bencana, baik secara mandiri maupun dengan berkolaborasi bersama pihak lain dan mendapatkan jaminan perlindungan dari pemerintah untuk staf mereka.

 

2.2.2.9 Peraturan Bupati Banyuwangi Nomor 77 Tahun 2021 Tentang Kedudukan, Susunan Organisasi, Tugas Dan Fungsi Serta Tata Kerja Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Banyuwangi

Peraturan di atas menjelaskan bahwa BPBD merupakan komponen pelaksana dalam ranah pemerintahan terkait penanggulangan bencana. BPBD sebagaimana disebutkan dalam poin pertama dipimpin oleh Kepala Badan yang berkedudukan di bawah dan mempertanggungjawabkan kepada bupati melalui sekretaris daerah yang mana sesuai dengan poin pertama, memiliki tugas untuk memberikan dukungan kepada bupati dalam menjalankan urusan administrasi terkait penanggulangan bencana yang menjadi wewenang daerah dan tugas bantuan yang diberikan kepada kabupaten. Dalam melaksanakan tanggung jawab yang telah dijelaskan pada poin ketiga, BPBD menjalankan fungsi-fungsi sebagai berikut:

a. Merumuskan kebijakan teknis dalam bidang penanggulangan bencana.

b. Menjalankan kebijakan teknis di sektor penanggulangan bencana.

c. Menyusun evaluasi dan pelaporan dalam kerangka penanggulangan bencana serta menjalankan administrasi BPBD.

d. Melaksanakan fungsi-fungsi lain yang ditetapkan oleh Bupati sesuai dengan tugasnya termasuk mengurusi administrasi terkait penanggulangan bencana yang menjadi kewenangan daerah, serta

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

2.2 Kerangka Pemikiran

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Sumber: Diolah Peneliti, 2023

Kerangka berpikir merupakan fondasi dalam memahami permasalahan yang dihadapi. Kerangka berpikir memudahkan pembaca untuk mengetahui alur pemikiran peneliti sehingga dapat dengan mudah memahami isi karya ilmiah yang telah dibuat.  

Berangkat dari permasalahan yang ditemui mengenai bencana banjir yang terjadi di Lingkungan Lebak, peneliti telah menyusun kerangka pemikiran yang berjudul "Collaborative Governance dalam Penanggulangan Bencana Banjir di Lingkungan Lebak Kelurahan Tukang Kayu Kecamatan Banyuwangii Kabupaten Banyuwangi.”

Dari permasalahan tersebut, peneliti memberikan kebijakan-kebijakan sebagai landasan untuk pelaksanaan proses kolaboratif dalam penanggulangan bencana di Lingkungan Lebak. Berlandaskan dari kebijakan tersebut, peneliti menggunakan teori Collaborative dari Ansell dan Gash untuk menganalisis dan mengetahui bagaimana tata kelola kolaboratif dalam penanggulangan banjir yang telah dilaksankan di Lingkungan Lebak serta untuk mewujudkan tata kelola kolaboratif yang efektif dalam penanggulanganan banjir di Lingkungan Lebak, Kelurahan Tukangkayu, Kecamatan Banyuwangi, Kabupaten Banyuwangi dengan menimbang faktor pendukung dan faktor penghambat yang dapat mempengaruhi proses pelaksanaan tata Kelola kolaboratif dalam penanggulangan bencana banjir.


BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

 

 

3.1. Pendekatan penelitian 

John W. Creswell dan John David Creswell (2018) menjelaskan bahwa "Pendekatan penelitian adalah rencana dan prosedur penelitian yang mencakup langkah-langkah dari asumsi umum hingga metode pengumpulan data yang rinci." Pendekatan penelitian merupakan kerangka kerja penting dalam proses penelitian, melibatkan perencanaan dan penyusunan langkah- langkah yang diperlukan untuk mencapai tujuan penelitian. Dimulai dengan merumuskan asumsi dan pemahaman mendalam tentang isu atau fenomena yang akan diteliti, termasuk pemahaman tentang konteks yang lebih luas, seperti latar belakang sejarah, teori-teori yang relevan, dan kerangka kerja konseptual yang akan digunakan.

Setelah asumsi-asumsi terbentuk, langkah-langkah berikutnya mencakup perencanaan metode penelitian yang terperinci, termasuk pemilihan teknik pengumpulan data yang sesuai, analisis data yang akan digunakan, dan strategi interpretasi hasil. Terdapat tiga jenis pendekatan penelitian (Creswell & Creswell, 2018), yaitu:

a. Pendekatan Kualitatif: Suatu penelitian kualitatif merupakan suatu pendekatan untuk mengeksplorasi dan memahami makna individu atau kelompok yang dianggap berasal dari masalah sosial atau kemanusiaan.

b. Pendekatan Kuantitatif: Suatu pendekatan untuk menguji teori-teori objektif dengan menguji hubungan antar variabel-variabel teori.

c. Pendekatan Mix Method: Pendekatan penyelidikan yang melibatkan pengumpulan data kuantitatif dan kualitatif, mengintegrasikan kedua bentuk data, dan menggunakan desain yang berbeda yang mungkin melibatkan asumsi filosofis dan kerangka teoritis.

 

Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif. Sugiyono (2021) mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai suatu pendekatan penelitian yang fokus pada eksplorasi kondisi objek alamiah. Dalam metode ini, peneliti berperan sebagai instrumen utama, dan pengumpulan data dilakukan melalui teknik triangulasi, yakni teknik pengumpulan data yang sifatnya menggabungkan dengandata dan sumber yang telah ada.

Susan Stainback dalam Sugiyono (2021) mengungkapkan bahwa teknik triangulasi yang digunkanan dalam metode kualitatif bukan untuk mencari kebenaran tentang fenomena, tetapi lebih pada peningkatan pemahaman peneliti terhadap apa yang telah ditemukan.

Tujuan dari penelitian kualitatif adalah untuk memahami makna, menggali keunikan, mengonstruksi fenomena, dan menemukan hipotesis. Penelitian ini bersifat deskriptif sehingga data yang terkumpul berupa kata-kata dan gambar tanpa penekanan pada aspek numerik. Sugiyono (2021) juga menjelaskan bahwa metode deskriptif adalah suatu pendekatan yang digunakan untuk menguraikan atau menganalisis hasil penelitian tanpa membuat kesimpulan yang bersifat umum. Hasil yang diperoleh dari penelitian cenderung bersifat kualitatif, dengan analisis yang bersifat induktif atau kualitatif.

Dengan demikian, untuk dapat merinci dengan jelas situasi atau fenomena di lapangan, menyajikan informasi dari peristiwa yang ada, menggali data yang relevan, serta lebih berfokus pada pemahaman hasil pengamatan daripada sekadar mengejar kebenaran absolut, peneliti menggunakan pendekatan penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif untuk melakukan penelitian terhadap penerapan Collaborative Governance yang dilakukan dalam penanggulangan banjir di Lingkungan Lebak, Kelurahan Tukangkayu, Kecamatan Banyuwangi, Kabupaten Banyuwangi.

 

3.2  Operasionalisasi Konsep

Operasioal konsep ialah mekanisme penyederhanaan suatu konsep  hingga menjadi bagian-bagian yang dapat dengan mudah dipahami  serta diukur yang terdapat dalam sebuah penelitian (Ismail, 2015). Tiap-tiap penelitian memerlukan konsep operasionalisasi demi terciptanya pengumpulan data yang tepat dan terukur serta dapat menghindari kesalahpahaman atau pun penyimpangan dalam proses pengumpulan data pada penelitian.

Setiap konsep perlu dicari definisi operasionalnya yakni penjabaran konsep ke dalam bagian-bagian dimensi yang lebih rinci sehingga konsep tersebut dapat terukur. Sugiyono (2021) menjelaskan bahwa "Operasional konsep penelitian merujuk pada atribut atau nilai dari suatu objek yang memiliki variasi tertentu yang telah ditentukan oleh peneliti untuk diselidiki.

Operasional konsep berguna untuk membingkai pertanyaan-pertanyaan yang dituangkan oleh peneliti yang menjadi pedoman dalam melaksanakan kegiatan, observasi di lapangan, membuat pengumpulan data, serta analisis data bisa lebih fokus dan efisien. Sehingga, operasionalisasi konsep dapat mempermudah peneliti dalam melakukan wawancara dan observasi di lapangan untuk dapat tercapainya hasil penelitian yang diharapkan

Pada penelitian ini, peneliti menurunkan konsep “Collaborative Governance” oleh Ansell dan Gash karena berkaitan erat dengan permasalah yang akan diteliti pada penelitian ini. Dimensi yang ingin dicapai ialah terciptanya pemerintahan yang berkolaborasi dengan baik antara para pemangku kepentingan dalam penanggulangan bencana banjir di Lingkungan Lebak, Kelurahan Tukangkayu, Kecamatan Banyuwangi, Kabupaten Banyuwangi. Berikut adalah tabel operasional konsep:

 

Tabel 3. 1
Operasionalisasi Konsep

Konsep

Dimensi

Indikator

1

2

3

Collabrative Governance (Ansell & Gash, 2008)

a. Starting Condition

(Kondisi Awal)

1. Sumber daya dan pengetahuan

2. Insentif

3. Konflik

b. Institusional Design (Desain Institusional)

1. Partisipasi Forum

2. Aturan

3. Transparansi

4. Forum Terbatas

 c. Facilitative Leadership (Kepemimpinan Fasilitatif)

1. Memahami konteks

2. Kompetensi Teknis

3. Kompetensi Rasional

4. Kompetensi Interpersonal

5. Kompetensi Proses Tugas

6. Kompetensi Proses Manusia

7. Karakteristik Pribadi

d. Collaborative Process (Proses Kolaborasi)

1. Face to face dialogue

(dialog tatap muka)

2. Trust Building (Membangun Kepercayaan)

3. Commitment to process (komitmen terhadap proses)

4. Share Understanding

(pemahaman bersama)

5. Intermediate Outcome

(Hasil Sementara)

Sumber: Diolah oleh peneliti berdasarkan konsep (Ansell & Gash, 2008)

 

3.3  Sumber Data dan Informan

3.3.1 Sumber Data

Istilah data mengacu pada kumpulan informasi. Sedangkan, definisi yang lebih rinci mencakup jenis-jenis data itu digabungkan menjadi informasi yang dikumpulkan seperti angka, kata-kata, gambar, video, audio, dan konsep (Given, 2008).

Sumber data dalam penelitian kualitatif dibagi menjadi dua,  yakni data primer dan data sekunder (Sugiyono, 2021). Data merujuk pada fakta empiris atau informasi yang dikumpulkan oleh peneliti dengan tujuan menjawab pertanyaan penelitian atau mengatasi masalah penelitian. Data tersebut diperoleh dari berbagai sumber menggunakan beragam teknik selama berlangsungnya penelitian.

Pengumpulan data dibagi menjadi dua jenis berdasarkan sumbernya, yaitu data primer dan data sekunder, yang merupakan komponen penting dalam penyusunan skripsi. Penelitian ini menggunakan kedua jenis sumber data, yaitu data primer dan data sekunder sebagai berikut :

a. Data primer

Data primer merupakan data yang dikumpulkan secara langsung oleh peneliti dari lokasi dan subjek penelitian yang menjadi fokus. Sesuai dengan pendapat (Sugiyono, 2021) sumber data primer adalah sumber yang memberikan data langsung kepada peneliti. Data primer dikenal sebagai data asli yang bersifat mutakhir. Data ini diperoleh langsung oleh peneliti melalui proses observasi dan wawancara yang diarahkan kepada para informan penelitian.

Informasi yang diperoleh dari wawancara ini dapat mencakup pandangan, pengalaman, dan sudut pandang yang beragam. Selain wawancara, peneliti melakukan observasi untuk dapat mengamati langsung bagaimana situasi dan dinamika proses pelaksanaan Collaborative Governance di Lingkungan Lebak.  

Dalam pelaksanaan penelitian ini peneliti mendapatkan data primer berupa hasil wawancara langsung dengan beberapa narasumber yaitu Kepala Pelaksana BPBD Banyuwangi, Sekretaris BPBD Kabupaten Banyuwangi, Kepala Bidang Perencanaan dan Kesiapsiagaan, Kepala Bidang PUSDALOPS, Kepala Bidang Rehabilitasi dan Rekonstruksi di BPBD Kabupaten Banyuwangi. Selain dengan BPBD, peneliti juga melakukan wawancara langsung dengan Kepala Dinas Pemadam Kekabaran, Kepala Dinas PU pengairan, Kepala DPUCKPP, TNI/POLRI, Camat Banyuwangi, Lurah Tukangkayu, pihak swasta, dan masyarakat yang terlibat dalam penanggulangan bencana banjir untuk mendapatkan data-data yang akurat terkait pelaksanaan Collaborative Governance dalam penanggulangan bencana banjir di lokus penelitian.

Selain melakukan wawancara, pengamatan langsung di lapangan atau observasi juga menjadi bagian yang tak terpisahkan dari sumber data primer. Dengan melakukan observasi ini, peneliti dapat secara langsung mengamati dan mengevaluasi situasi, perilaku, dan dinamika penerapan Collaborative Governance dalam penanggulangan bencana banjir di Lingkungan Lebak yang melibatkan pemerintah, lembaga non pemerintahan seperti dunia usaha dan organisasi kemasyarakatan, serta masyarakat di Lingkungan Lebak.

b. Data sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh oleh peneliti dari berbagai sumber yang telah ada sebelumnya dan berperan sebagai tambahan informasi yang mendukung data primer atau data utama. Dalam penelitian ini, data sekunder dikumpulkan dari laporan, hasil penelitian sebelumnya, buku referensi, arsip, catatan, dokumen (Renstra BPBD, IRBI, LKJIP BPBD, Data kebencanaan 3 tahun terakhir oleh BPBD Kabupaten Banyuwangi, dan laporan kebencanaan nasional oleh BNPB peraturan), jurnal, serta artikel yang relevan dengan masalah yang sedang diteliti oleh peneliti.

Data sekunder dapat digunakan untuk menganalisis dan mengevaluasi penerapan Collaborative Governance yang telah dilakukan oleh  pemerintah, lembaga non pemerintah seperti dunia usaha, dan masyarakat dalam penanggulangan bencana banjir di Lingkungan Lebak.

 

3.3.2 Informan

Menurut (Sugiyono, 2021) informan pada penelitian adalah narasumber yang merujuk pada seseorang yang mengerti dan terikat pada objek penelitian dan dapat memberikan penjelasan tentang pokok bahasan dalam penelitian yang diangkat. Informan tersebut merupakan seseorang atau individu yang dipergunakan untuk memberikan informasi mengenai data tentang kondisi terkait penelitian tersebut (Creswell & Creswell, 2018). Peneliti harus memperhatikan subyek yang memiliiki penguasaan mengenai permasalahan, individu yang memiliki data sesuai permasalahan, dan bersedia untuk membagikan informasi secara valid, lengkap, dan dapat dipertanggungjawabkan dalam memilih informan yang akan digunakan dalam penelitian.

Dalam penelitian ini, digunakan teknik Purposive Sampling dan Snowball Sampling dengan tujuan untuk mendapatkan data yang lebih akurat dan mendalam. Sugiyono (2021) menjelaskan bahwa teknik Purposive Sampling adalah metode pengambilan sampel sumber data yang didasarkan pada pertimbangan khusus sebelumnya. Peneliti memilih informan yang dianggap paham mengenai penanggulanganan banjir di Lingkungan Lebak, Kelurahan Tukangkayu, Kecamatan Banyuwangi, Kabupaten Banyuwangi. 

Teknik Snowball Sampling, yang juga dijelaskan oleh Sugiyono (2021) merupakan metode pengambilan sampel sumber data di mana jumlah awal informan yang terlibat kecil, tetapi seiring berjalannya waktu, jumlahnya bertambah. Teknik Snowball Sampling digunakan untuk memilih sumber data eksternal, seperti masyarakat, dalam organisasi atau kelompok tertentu. Pada penelitian ini digunakan teknik pengumpulan data Snowball Sampling dengan tujuan untuk mendapatkan data atau informasi secara mendalam kepada masyarakat yang terdampak banjir.

Dengan melihat penjelasan di atas, maka peneliti menentukan beberapa informan sebagai perwakilan dari masing-masing unsur pendukung “Collaborative Governance” yakni perwakilan untuk perangkat daerah, lembaga non pemerintahan seperti dunia usaha, serta masyarakat dengan metode Purposive dan Snowball. Informan yang dipilih oleh peneliti beserta jumlahnya pada penelitian ini bersifat tentatif. Berikut adalah tabel jumlah data informan yang akan digunakan oleh peneliti menggunakan teknik Purposive Sampling dan Snowball Sampling:

 

 

 

 




Tabel 3. 2 
Daftar Informan Penelitian

No

Informan

Teknik Pengumpulan Data

Jumlah

Kode

Informan

1

Kepala Pelaksana BPBD Kabupaten Banyuwangi

Purposive Sampling

1

KI1

2

Kepala Dinas Lingkungan Hidup

Purposive Sampling

1

KI2

3

Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik

Purposive Sampling

1

KI3

4

Kepala Bidang Rehabilitasi dan Konstruksi

Purposive Sampling

1

KI4

5

Kepala Bidang Perencanaan dan Kesiapsiagaan Masyarakat relawan PUSDALOPS

Purposive Sampling

1

 

 

KI5

6

Lurah Kelurahan Tukangkayu

Purposive Sampling

1

KI6

7

Camat Banyuwangi

Purposive Sampling

1

KI7

8

Kepala Dinas PU Pengairan Kabupaten Banyuwangi

Purposive Sampling

1

KI8

9

Kepala DPUCKPP Banyuwangi

Purposive Sampling

1

KI9

10

Perwakilan dari  TNI

Purposive Sampling

1

KI10

11

Perwakilan dari Polri

Purposive Sampling

1

KI11

12

Pihak Swasta (Perkebunan di Kawasan hulu Gunung Ijen Banyuwangi)

Purposive Sampling

1

KI12

13

Masyarakat Korban Bencana Banjir di Lingkungan Lebak

Snowball Sampling

 

KI13

JUMLAH

12

 

Sumber: Diolah oleh Peneliti (2023)

 

3.4  Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian adalah sarana yang digunakan oleh peneliti untuk menggumpulkan data. Dalam konteks penelitian kualitatif, Sugiyono (2021) mengemukakan bahwa "Peneliti itu sendiri menjadi instrumen atau alat penelitian." Dalam penelitian yang menggunakan metode kualitatif, peneliti berperan sebagai instrumen utama. Instrumen penelitian memiliki peran dalam menentukan fokus penelitian, mengidentifikasi informan yang menjadi sumber data, mengumpulkan data, menilai kualitas data, menganalisis data, dan menyajikan kesimpulan yang ditemukan selama penelitian berlangsung terkait dengan isu penelitian yang berhubungan dengan Collaborative Governance dalam penanggulangan bencana banjir di Lingkungan Lebak, Banyuwangi. Oleh karena itu, dalam penelitian kualitatif diperlukan pemahaman dan kepiawaian seorang peneliti.

Selain itu, dalam rangka pengumpulan informasi, peneliti juga akan memanfaatkan berbagai alat bantu seperti handphone sebagai alat perekam, laptop, catatan lapangan, pedoman wawancara dan observasi, serta alat dokumentasi lainnya, sedangkan untuk pengumpulan data dokumentasi, akan dilakukan dengan cara menghimpun berbagai jenis informasi, seperti foto-foto, gambar, arsip, data, dan dokumen yang terkait.

Peneliti menggunakan teknik pengumpulan data berupa observasi, wawancara, dan dokumentasi. Instrumen penelitian untuk teknik wawancara dan observasi adalah pedoman wawancara dan observasi yang terdokumentasikan dalam lampiran skripsi ini, sedangkan instrumen penelitian untuk teknik pengumpulan data dokumentasi adalah daftar periksa (checklist) kebutuhan dokumen. Rincian kebutuhan dokumen dapat ditemukan dalam tabel berikut :

Tabel 3. 3 
Daftar Kebutuhan Dokumen Penelitian

No

Jenis Dokumen

Urgensi

Keterangan

1

2

3

4

1. 

Data kasus banjir      dan penanggulanganan bencana banjir 3 tahun terakhir.

Untuk mengetahui kasus dan penanggulangan bencana banjir di Lingkungan Lebak, Banyuwangi selama 3 tahun terakhir.

 

2. 

RPJMD Kabupaten Banyuwangi 2021-2026

Untuk mengetahui Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kabupaten Banyuwangi.

 

3. 

Rencana Penanggulangan Kedaruratan Bencena BPBD 2023.

Untuk mengetahui prosedur penanggulanganan kedaruratan bencana.

 

4. 

Data pihak terlibat dalam kebijakan penanggulanganan banjir

Untuk mengetahui pihak yang

terlibat serta bertanggung jawab  dalam penanggulanganan banjir.

 

5. 

Rencana Strategis BPBD Kabupaten Banyuwangi 2021-2026.

Untuk mengetahui isu-isu strategis, evaluasi kinerja, visi dan misi, serta identifikasi masalah pada BPBD Kabupaten Banyuwangi dalam penanggulangan suatu bencana.

 

6. 

LKJIP BPBD Kabupaten Banyuwangi Tahun 2023.

Untuk mengetahui capaian kineja BPBD Kabupaten Banyuwangi.

 

7. 

Peta Rawan Bencana Banjir Kabupaten Banyuwangi.

Untuk mengetahui dan memetakkan wilayah berisiko bencana banjir.

 

8. 

Rencana Kerja BPBD 2023.

Untuk mengetahui program kerja BPBD dalam periode 1 (satu) tahun.

 

Sumber: Diolah oleh peneliti (2023)

 

3.5  Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang diidentifikasi oleh Sugiyono (2021) berjumlah Teknik yaitu: observasi, wawancara, dan dokumentasi. Dalam konteks penelitian ini, peneliti memutuskan untuk menggunakan ketiga teknik pengumpula3n data tersebut.  Berikut adalah teknik yang digunakan oleh peneliti:

a. Observasi

Menurut Nasution dalam Sugiyono (2021), observasi menjadi landasan bagi semua ilmu pengetahuan. Para ilmuwan hanya dapat mengembangkan karyanya berdasarkan data yang diperoleh dari fakta di lapangan dan realitas dunia, yang diperoleh melalui kegiatan observasi. Oleh karena itu, observasi menjadi suatu kebutuhan esensial dalam penelitian ini, karena peneliti perlu melakukan pengamatan langsung terhadap objek penelitian untuk memperoleh data yang faktual. Selama proses observasi, peneliti mencatat dan mengingat setiap detail yang diamati dan diteliti sehubungan dengan objek penelitian untuk melengkapi data yang mungkin masih kurang atau tidak tersedia. Dalam konteks ini peneliti berencana melakukan pemantauan di salah satu daerah yang mengalami bencana alam, yakni banjir di Lingkungan Lebak, Kelurahan Tukangkayu, Kecamatan Banyuwangi, Kabupaten Banyuwangi.

b. Wawancara

Wawancara adalah metode yang digunakan untuk mengumpulkan informasi melalui interaksi langsung antara pewawancara dengan responden melalui dialog. Wawancara bertujuan untuk memahami pemikiran, pandangan, dan opini responden terkait dengan peristiwa, gejala, fakta, dan realitas yang terjadi di lapangan. Saat menjalankan wawancara, peneliti menyusun pedoman wawancara sebagai panduan untuk mengajukan pertanyaan kepada informan. Esterberg dalam Sugiyono (2021) membagi jenis wawancara menjadi tiga bagian, yaitu :

1) Wawancara terstruktur: Pilihan untuk menggunakan wawancara terstruktur adalah saat peneliti telah memiliki pemahaman yang jelas mengenai informasi yang hendak dikumpulkan.

2) Wawancara Semiterstruktur: Wawancara semiterstruktur memberikan tingkat fleksibilitas yang lebih besar dibandingkan wawancara terstruktur dalam pelaksanaannya.

3) Wawancara tidak berstruktur: Wawancara jenis ini merupakan metode wawancara yang sangat fleksibel, di mana tidak ada panduan wawancara yang disusun secara terstruktur dan menyeluruh dalam proses pengumpulan informasi.

 

Dalam penelitian ini, digunakan metode wawancara semi-terstruktur, yang memberikan fleksibilitas untuk menambah pertanyaan baru sesuai dengan respons informan.

c. Dokumentasi

Dokumentasi sebagaimana yang diuraikan oleh Sugiyono (2021) adalah sebuah metode pengumpulan data yang dilakukan dengan cara mencari data atau dokumen yang sudah ada. Jika dibandingkan dengan metode-metode lainnya, dokumentasi merupakan metode pengumpulan data yang lebih simpel. Bentuk dari dokumentasi dapat mencakup arsip-arsip, laporan tertulis, dan daftar inventaris yang berhubungan dengan informasi yang dibutuhkan oleh peneliti. (Sugiyono, 2021) menyatakan bahwa “Studi dokumen atau metode dokumentasi dalam penelitian kualitatif dapat menjadi pelengkap metode observasi dan wawancara untuk mengumpulkan data.” Teknik dokumentasi yang digunakan pada penelitian ini dapat membantu dalam memperkaya informasi yang dikumpulkan dari wawancara dan menciptakan catatan visual yang penting untuk penelitian.

Dalam konteks penelitian ini, peneliti bertujuan untuk menggali data berupa foto-foto kegiatan, administrasi, rencana penanggulanganan banjir, surat-surat, buku-buku, file, dan bukti-bukti tertulis lainnya yang relevan. Data-data tersebut diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam mendukung pelaksanaan penelitian yang sedang berlangsung.

Semua teknik pengumpulan data ini, termasuk penggunaan wawancara semi-terstruktur,observasi, dan dokumentasi, dilakukan dengan tujuan penelitian yang telah ditentukan, dan pedoman wawancara serta observasi disusun berdasarkan teori yang relevan dengan penelitian serta tujuan penelitian yang telah ditetapkan.

 

3.6  Teknik Analisis Data

Proses analisis data dalam penelitian kualitatif melibatkan langkah-langkah yang dilakukan sebelum, selama, dan setelah penelitian lapangan, sebagaimana dijelaskan oleh (Sugiyono, 2021). Menurut (Miles & Huberman, 1992), yang dikutip oleh (Sugiyono, 2021), menyajikan serangkaian tahapan dalam teknik analisis data yang juga digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini, sebagai berikut:

a. Pengumpulan Data (Data Collection): Langkah pertama dan terpenting adalah mencari informasi, data, dan faktor-faktor yang berhubungan dengan masalah penelitian. Pengumpulan data ini meliputi pengumpulan data dari wawancara yang dilakukan peneliti dengan informan, observasi dari dokumen atau arsip terkait, serta catatan atau rekaman yang terkait.

b. Reduksi Data (Data Reduction): Reduksi data mengacu pada proses merangkum data, memilih elemen-elemen yang esensial, memfokuskan perhatian pada aspek-aspek yang krusial, serta menemukan tema dan pola data. Dengan melakukan reduksi data, data yang telah disusun menjadi lebih terorganisir, sehingga memungkinkan peneliti untuk melanjutkan pengumpulan data sesuai dengan pertanyaan yang diajukan saat wawancara dan informasi yang diperlukan.

c. Penyajian Data (Data Display): Setelah data direduksi atau dirangkum, langkah berikutnya adalah mempresentasikan data tersebut. Dalam penelitian kualitatif, presentasi data dapat dilakukan dalam berbagai bentuk seperti  narasi singkat, diagram, hubungan antar kategori, diagram alir, dan sejenisnya. Dengan cara ini, data dapat disajikan dengan lebih mudah dipahami, membantu dalam pemahaman tentang fenomena yang diamati, dan memungkinkan perencanaan langkah-langkah berikutnya berdasarkan pemahaman yang telah diperoleh.

d. Penarikan Kesimpulan/Verifikasi (Conclusion Drawing/Verification): Penarikan kesimpulan dapat dilakukan berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dengan mempertimbangkan hasil dari wawancara serta dokumen-dokumen awal yang belum siap untuk diolah secara langsung.

Hal ini dilakukan setelah data direduksi dan disajikan, sehingga memungkinkan peneliti untuk merumuskan kesimpulan berdasarkan pemahaman yang lebih mendalam tentang data tersebut. Proses ini membantu peneliti dalam merubah data mentah menjadi pemahaman yang lebih dalam tentang permasalahan penelitian dan memungkinkan mereka untuk menyusun kesimpulan yang relevan dengan hasil penelitian.

 

Gambar 3. 1
Teknik Analisis Data

 

Sumber : Model analisis data interaktif (Miles & Huberman, 1992)

 

3.7      Jadwal dan Lokasi Penelitian 

3.7.1 Jadwal Penelitian 

Penelitian ini akan dilaksanakan berdasarkan dengan Kalender Akademik 2023/2024 yang telah ditandatangani oleh Rektor Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN). Adapun jadwal penelitian yang dibuat oleh peneliti terdapat pada tabel berikut :

No comments:

Post a Comment

buku bimbingan

                                                                                                                                            ...

082126189815

Name

Email *

Message *