JUDUL BUKU
“KEPEMIMPINAN
PEMERINTAHAN DAN KEPAMONGPRAJAAN”
TUGAS RESUME
Diajukan untuk Memenuhi
Salah Satu Tugas Mata Kuliah Teori dan Terapan Kepemimpinan
Pemerintahan dan Kepamongprajaan
KEMENTERIAN
DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA INSTITUT PEMERINTAHAN DALAM NEGERI
PROGRAM
PASCASARJANA 2023
BAB 1 |
(SEJARAH
SINGKAT PAMONG PRAJA DAN KEPAMONGPRAJAAN ) |
1.1. Pendahuluan
Konsep pamong praja diturunkan dari konsep
desentralisasi aliran kontinental yang datang dari Jerman dan Perancis kemudian
masuk ke Indonesia (dahulu Hindia Belanda) memalui Belanda pada masa
penjajahan. Kosa kata pamong praja saat ini hanya digunakan pada Satuan Polisi
Pamong Praja yang ada di daerah otonom, serta pada muscle knowledge ilmu pemerintahan yang dikembangkan di Institut
Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN). Lulusan IPDN awalnya disebut sebagai “Pamong
Praja Muda”.
Dilihat dari etimologisnya (asal-usul kata)
kata pamongpraja merupakan gabungan dari dua kata “Pamong” dan “Praja”. Kata
Pamong (bahasa Jawa) berasal dari kata “emong” yang artinya orang yang diberi
kepercayaan untuk mengasuh, membimbing, memberitahu. Dengan demikian secara
etimologis, kata Pamong Praja diartikan sebagai orang yang dipervaya untuk
membina, mengasuh, mengawasi negara atau pemerintahan.
Konsep pamong praja berkaitan dengan institusi
dan individu yang menjalankan fungsi pemerintahan tertentu, yakni urusan
pemerintahan umum. Sedangkan konsep kepamongprajaan berkaitan dengan aktivitas
dan fungsi pamong praja. Pada dasarnya pamong praja adalah institusi dan
individu pemerintah yang menjalankan urusan pemerintahan yang khusus menyangkut
urusan pemerintahan umum. Konsep kepemimpinan pemerintahan itu sendiri
merupakan partikulasi konsep kepemimpinan secara universal. Komsep kepemimpinan
pamongpraja dalam perjalanannya dipengaruhi oleh konsep desentralisasi yang
berasal dari aliran kontinental (pada masa lalu) dan akan serta dipengaruhi
oleh revolusi industri 4.0.
1.2.
Perkembangan Konsep Pamong Praja dan Kepamongprajaan
·
Pada Masa Sebelum Kemerdekaan
Konsep pamong praja yang pada masa
lalu disebut pangreh praja dikembangkan pada masa pemerintahan Hindia Belanda
dalam bentuk pengangkatan pejabat pemerintah pusat di daerah dengan tujuan
untuk menagwasi jalannya pemerintahan bumi putera agar tetap patuh pada
kebijakan pemerintah pusat. Termasuk didalamnya mengawasi jangan sampai terjadi
pemberontakan di daerah. Jadi, pangreh praja dapat disebut sebagai sebuah korps
dan/atau individu pejabat pemerintah pusat Hindia Belanda yang ada di kerajaan
atau keadipatian yang fungsinya memata-matai kegiatan masyarakat bumi putera.
Setelah masa pemerintahan Hindia
Belanda usai, dan Jepang mulai menguasai wilayah Nusantara, tidak terdapat
banyak kebijakan yang berkaitan dengan kepamongprajaan/ hal itu dikarenakan,
Jepang hanya menjajah sekitar 3,5 tahun.
Bayu Surianingrat mencoba memetakan
antara Europpese BB dengan Inlanse BB dalam bentuk tabel sebagai berikut :
Europeese BB |
Inlandse BB |
Gubernur Jenderal (Gouverneur Generaal) |
- |
Gubernur (Gouverneur) |
- |
Residen (Resident) |
- |
Asisten Residen (Assistant Resident) |
Bupati (Regent) Patih |
Kontrolir (Controleur) |
Wedana (Districthoofd) |
Aspiran Kontrolir (Adspirant Controleur) |
Camat (Onderdistrictshoofd) |
Tabel Perbandingan Europeese BB dan Inlansdse
BB
·
Pada Masa Pemerintahan Orde Lama
Setelah Indonesia Merdeka, untuk
mengahpus kesan bahwa korps pangreh praja menjadi alat untuk mengendalikan
masyarakat secara represif, Presiden Soekarno memerintahkan mengganti istilah
tersebut dengan kata pamong praja. Dengan demikian, diharapkan akan terjadi
perubahan sikap dari korps pamong praja menjadi lebih dekat dengan masyarakat
yang dilayani. Diharapkan pula terjadi perubahan dalam tindakan, yang semula
bersifat reprsif menjadi pendekatan persuasif, yang kemudian menjadi ciri khas
pamong praja.
Tugas korps pamong praja pada awal
kemerdekaan adalah mengawasi jalannya pemerintahan daerah, sehingga dalam
perjalanannya ingin dihapuskan, karena keberadaan korps pamong praja tidak
terlepas dari aliran pemikiran desentralisasi kontinental yang berpusat di
Jerman, kemudian berkembang ke Perancis, Belanda dan Indonesia. Selain itu,
dikarenakan pertimbangan sejarah yakni sebagai kaki tangan penjajah Belanda,
juga disebabkan karnea korps ini menghalangi kebebasan daerah otonom dalam
menjalankan otonominya.
Kemudian dalam perkembangannya,
Pemerintah mengeluarkan Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959 tentang
Pemerintahan Daerah, yang pada butir kelima diatur ketentuan sebagai berikut:
1. Pimpinan pemerintahan didaerah bersifat
dualistis, dalam arti bahwa ada dua pimpinan yang berdiri terpisah, mengenai
dua bidang pekerjaan yang pada hakekatnya sangat erat hubungannya satu sama
lain. Dua bidang itu adalah bidang pemerintahan umum pusat di daerah ditangan
pamong praja dan bidang otonomi dan tugas pembantuan dalam pemerintah ditangan
pemerintah daerah.
2. Pimpinan kedua bidang ini perlu diletakkan
dalam satu tangan.
Berdasarkan ketentuan di atas,
pemerintah ingin menghentikan praktek pemerintahan dualisme di daerah untuk
kemudian diletakkan pada satu tangan yakni kepala daerah sebagai pelaksana asas
desentralisasi. Konsekuensi logis dari kebijakan tersebut maka korps pamong
praja yang merupakan wakil pemerintah pusat di daerah dihapuskan.
·
Pada Masa
Pemerintahan Orde Baru
Keberadaan korps pamong praja
mencapai puncaknya pada saat berlakunya UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang
Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. Korps pamong praja diartkan sebagai pejabat
pemerintah pusat yang berada di daerah dengan tugas utama menjalankan urusan
pemerintahan umum, yang meliputi koordinasi, pembinaan dan pengawasan serta
urusan residual. Namun pada kenyataannya, peran asas dekonsentrasi lebih
dominan dibandingkan asas desentralisasi. Untuk menghilangkan dualisme
pemerintahan yang sudah berjalan sejak zaman kemerdekaan, digunakan prinsip
uniteritorial dan unipersonil.
Melalui kedua prinsip tersebut,
maka jajaran korps pamongpraja pada era ini yakni sebagai berikut:
1) Presiden;
2) Menteri Dalam Negeri;
3) Gubernur Kepala Wilayah Provinsi yang secara
ex-officio dijabat oleh Kepala Daerah Tingkat I serta organisasi pemerintah
daerah yang menangani urusan pemerintahan umum;
4) Bupati/Walikotamadya Kepala Wilayah
Kabupaten/Kota yang secara ex-officio dijabat oleh Kepala Daerah Tingkat II,
serta organisasi pemerintah daerah yang menangani urusan pemerintahan umum;
5) Walikota Administratif (tentatif);
6) Camat Sebagai Kepala Wilayah.
Masing-masing kepala wilayah
dibantu oleh unit-unit pemerintahan dalam rangka asas dekonsentrasi. Di bawah
Gubernur Kepala Wilayah Provinsi masih ada jabatan Pembantu Gubernur yang
sifatnya tentatif, tetapi mereka bukan kepala wilayah. Nama pembantu Gubernur
kemudian diganti menjadi Badan Koordinasi Wilayah (Bakorwil). Demikian pula di
bawah bupati/walikotamadya masih ada jabatan pembantu bupati/walikotamadya atau
patih yang sifatnya tentatif serta bukan merupakan kepala wilayah. Para pejabat
ini juga masuk kategori korps pamong praja karena menjalankan sebagian urusan
pemerintahan umum yang ada di wilayah kerjanya berdasatkan pendelegasian
kewenangan dari kepala wilayah.
Pada masa UU Nomor 5 Tahun 1974,
yang masih merujuk pada UUD 1945 yang asli, Presiden merupakan satu-satunya
mandataris MPR, yang kemudian membangun jaringan pemerintah pusat di daerah
yang dinamakan kepala wilayah yang berkedudukan sebagai penguasa tunggal di
bidang pemerintahan. Ini bagian dari strategi pengendalian negara dari istana
yang dikembangkan era pemerintahan Soeharto.
·
Pada
Masa Pemerintahan Orde Reformasi
Pada masa ini, tidak ada lagi
urusan pemerintahan umum seperti yang digunakan pada Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1974, sehingga yang bertindak sebagai wakil pemerintah pusat di daerah
hanyalah Gubernur. Bupati/Walikota hanya berkedudukan sebagai kepala daerah
saja. Istilah pamong praja hanya melekat pada Satuan Polisi Pamong Praja
sebagai organisasi perangkat daerah yang ebrtugas menegakkan peraturan daerah,
dan tidak terkait dengan konsep pamong praja yang digunakan sejak zaman Belanda
sampai Orde Baru, yakni wakil pemerintah pusat di daerah dengan tugas utama
menjalankan urusan pemerintahan umum yang meliputi koordinasi, pembinaan dan
pengawasan serta urusan residual. Pada Masa Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
yang masuk kategori pamong praja yakni sebagai berikut:
1)
Presiden
2)
Menteri
Dalam Negeri, beserta unit organisasi yang menangani urusan pemerintahan umum
3)
Gubernur
sebagai wakil pemerintah pusat, beserta unit organisasi yang menangani urusan
pemerintahan umum (satpol PP dan Kesbang Linmas) yang pada dasarnya adalah
organisasi perangkat daerah.
Setelah sempat menimbulkan
kontroversi karena konsepnya dianggap bernuansa federalistik, Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999 diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah. Namun, didalmnya tidak mengubah tentang pamong praja. Nama
pamong praja hanya melekat pada Satpol PP dengan nuansa yang sama seperti pada
undang-undang sebelumnya yakni sebagai perangkat daerah, serta digunakan pada
lulusan Institut Pemerintahan Dalam Negeri. Tidak ada ketentuan yang jelas
tentang siapa yang bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan urusan
pemerintahan umum. Meskipun secara implisit, urusan sisa dalam penyelenggaraan
pemerintahan berada di tanagn pemerintah daerah kabupaten/kota.
1.3.
Pamong Praja dan Urusan Pemerintahan Umum
Substansi pemerintahan umum adalah
menangani urusan sisa atau residu yakni urusan pemerintahan yang tidak ada
pengelolanya, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Hal ini dapat
terjadi karena dinamika aktivitas masyarakat seringkali lebih cepat dibanding
dengan praturan perundang-undangan yang mengaturnya. Untuk mencegah terjadinya
kekosongan pemerintaha, maka dibentuk korps pamong praja untuk menanganinya.
Berikut beberapa urusan pemerintahan sisa
menurut beberapa undang-undang :
a.
UU Nomor 5
Tahun 1974 : Seluruh urusan pemerintahan sisa menjadi kewenangan pemerintah
pusat, yang pelaksanaannya didekonsentrasikan kepada kepala wilayah sampai
tingkat kecamatan
b.
UU Nomor
22 Tahun 1999 : Urusan Pemerintahan sisa menjadi kewenangan daerah
kabupaten/kota, yang dapat didelegasikan kepada camat
c.
UU Nomor
32 Tahun 2004 UU Nomor 23 Tahun 2014 : Urusan Pemerintahan sisa menjadi
kewenangan masing-masing susunan pemerintahan. Skala lokal oleh kabupaten,
skala regional oleh provinsi dan skala nasional oleh pemerintah pusat.
BAB II
KEPEMIMPINAN UNIVERSAL
2.1 Berbagai Definisi Kepemimpinan
Kepemimpinan berkaitan dengan kemampuan
seseorang untuk mempengaruhi orang lain, agar mau melakukan atau tidak
melakukan sesuatu yang dikehendaki oleh pemimpin secara sukarela. Perubahan terpenting justru terletak pada konteks kepemimpinan. Bennis
dan Nanus mengemukakan ada tiga konteks kepemimpinan yaitu : Commitment,
Complexity, and Credibility (3С).
Kepemimpinan berkaitan dengan komitmen sesorang
mempengaruhi orang lain dan secara konsisten berpikir dan bertindak untuk
mencapai tujuan organisasi atau kelompok. Kepemimpinan dihadapkan pada
kompleksitas permasalahan yang perlu diatasi melalui berbagai pengambilan
keputusan, yang merupakan inti dari kepemimpinan. Semakin besar organisasi,
maka akan semakin kompleks pula permasalahan yang dihadapi sehingga memerlukan
proses pengambilan keputusan yang semakin canggih.
Kepemimpinan berkaitan dengan kompleksitas (complexity) karena menyangkut proses memimpin dan
mengambil keputusan serta mengantisipasi perubahan lingkungan eksternal yang
berubah sangat cepat dan sulit diprediksi. Seorang pemimpin adalah pengambil
risiko (risk taker), sehingga harus
memiliki kecerdasan, ketegasan, dan kecepatan dalam menghitung segala risiko
yang akan terjadi apabila sebuah keputusan diambil.
Kompleksitas kepemimpinan berbanding terbalik
dengan posisinya, dalam arti semakin tinggi posisi yang didudukinya dalam
sebuah organisasi maka kompleksitas permasalahannya lebih bersifat strategis
dan jangka panjang, sedangkan semakin rendah akan semakin bersifat teknis.
Tetapi hal tersebut dapat saja terbalik apabila seorang pemimpin dalam
menjalankan kepemimpinannya tidak dapat mengkategorikan kompleksitas yang
dihadapi, sehingga waktunya habis untuk mengurus hal teknis yang pada gilirannya
kurang mampu membuat keputusan untuk hal-hal yang bersifat strategis.
Berkaitan dengan defitinisi kepemimpinan ,
Eckman mencoba menginvetarisasi beberapa pandangan beberapa ahli, yang tentunya
belum mencakup semuanya. Definisi tersebut yaitu sebagai berikut :
1) The
creative and directive force morale (munson, 1921)
2) Leadership
is a process of mutual stimulation which, by the successful interpay of
relevant individual differences, controls human energy in the pursuit of a
common pause (pigors. 1935).
3)
The process by which an agent induces a
subordinate to behave in a desired manner (Bennis, 1969).
4) The
presence odf a particular influence relationship between two or more persons
(Hollander & Julian, 1969).
5) Directing
and coordinating the work of group member (Fielder, 1967)
6)
An interpersonal relations in which other
comply between thet want to, not because they have to (Merton, 1969)
7)
Transforming followers, creating visions of the
goals that may be attained, and articulating for the followers the ways to
attain those goals (Bass, 1985).
8)
The process of influencing an organized group
toward accomplishing its goals (Roach and Rehling, 1984).
9)
Action that focus resources to create desirable
opportunities (Campbell, 1991).
10) The
leaders’s job is to create conditions for the team to be effective (Ginnet,
1996).
11)
Leadership is the thing that wins battles
(Patton, 1940).
12)
Leadership is an influence relationship among
leaders and followers who intend real changes that reflect their mutual
purposes. (1991)
Inventarisasi definisi kepemimpinan yang
dikumpulkan Eckman terentang mulai dari tahun 1921 sampai tahun 1991, yang
menunjukkan variasi cukup banyak. Kutipan Eckman tentunya berdasarkan pandangan
para ahli berwibawa pada jammnya yang menggambarkan pola piker masyarakatnya.
Tahun 1921, Munson mengatakan bahwa kepemimpinan itu adalah kekuatan moral yang
kreatif dan direktif. Inti definisi kepemimpinan dari munson adalah kekuatan moral. Tahun 1935, Pigors
mengemukakan definisi tentang kepemimpinan yang menekankan pada proses
mengendalikan enerji manusia untuk mencapai tujuan organisasi. Proses
mengendalikan enerji manusia untuk mencapai tujuan organisasi. Pandangan Pigors
diperkuat oleh Bennis (1959) maupun Roach and Rehling (1984) yang sama-sama
menekankan pentingnya proses pada
kepemimpinan.
2.2 Perkembangan Teori Kepemimpinan
Hersey et al. dan Bryman dalam Thompson
membahas mengenai perkembangan teori kepemimpinan. Mereka menyatakan bahwa:
“Teori Kepemimpinan dapat ditelaah melalui tiga pendekatan yakni: pendekatan
sifat (trait), pendekatan sikap (behavioral) dan pendekatan situasional (situational). Teori kepemimpinan
berasarkan pendekatan sifat dimulai dari teori kepemimpinan The Great Man dikembangkan oleh Carlyle
pada tahun 1741-1907. Teori ini memandang pemimpin sebagai orang yang sangat
hebat (great man) karena memiliki unique hereditary characteristics and
abilities, dimana pemimpin memiliki kualitas yang tinggi (superior) dari pengikutnya, dengan
kelebihan lain dari aspek intelligence,
scholarship, dependability in exercising
responsibility, activity, social participation dan socio economic status. Sifat-sifat
tersebut dapat menjadi faktor penghambat ataupun pendorong dalam situasi
tertentu, sehingga tidak ada yang secara umum dapat dijadikan indikator menjadi
pemimpin yang sukses.
Teori kepemimpinan sikap (behavioral) yang terkenal berasal dari studi Ohio State dan studi
Michigan dari tahun 1945-1960 dengan pengembangan Managerial Grid. Studi ini meneliti perbedaan pemimpin sebagai
pemrakarsa struktur (initiating structure)
dan pertimbangan (consideration).
Pemimpin dengan pemrakarsa struktur mengorganisasi dan menetapkan hubungan
dalam suatu kelompok dengan membentuk saluran dan pola komunikasi yang
ditetapkan dengan baik dan menunjukkan cara penyelesaian pekerjaan.
Teori kepemimpinan dengan pendekatan
situasional memfokuskan pada perilaku anggota kelompok yang diamati dalam
berbagai situasi. Teori dengan pendekatan ini dikembangka oleh Paul Hersey dan
ken Blanchard pada akhir tahun 1970 dan awal tahun 1980. Pendekatan ini
menjelaskan bahwa kepemimpinan dengan pendekatan situasional lebih memberikan
penekanan terhadap kemampuan pengikut. Dalam hal ini pemimpin harus peka
terhadap kebutuhan pengikut.
Teori kepemimpinan selanjutnya adalah
kepemimpinan transformational, sebagai bagian dari paradigm “New Leadership”, yang menekankan pada
aspek kharisma dan emosional kepemimpinan. Tipe kepemimpinan ini sesuai dengan
kebutuhan kelompok pada saat ini, akrena menekankan juga pada pemberdayaan
pengikutnya agar berhasil pada masa ketidakpastian.
Keberhasilan dalam mengelola kepemimpinan
dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal berkaitan
dengan karakter dan kapasitas, sementara faktor eksternal melihat lingkungannya
(ekosistem). Menurut Ferguson dalam Leadership
Skills menyatakan bahwa kualitas pemimpin dapat dipelajari dan ditingkatkan
secara terus menerus. Beberapa karakteristik pemimpin antara lain:
a.
Inovatif
dan Percaya Diri
Pemimpin harus mampu melakukan pekerjaanya,
tetapi kemampuan saja tidak cukup, kepemimpinan sejati membutuhkan kemauan
untuk berani, termasuk berani mempertimbangkan pendekatan yang tidak baisa
terhadap masalah, serta melakukan lebih dari sekadar mengikuti metode yang
telah terbukti benar.
b.
Menghargai
Orang Lain
Meyneimbangkan persaingan denga rasa hormat
mungkin sulit bagi karyawan muda yang ingin maju dengan mengungguli rekan
kerjanya. Tetapi kebanyakn karyawan tidak suka dan tidak menghormati pemimpin
yang hanya memikirkan diri sendiri. Oleh karena itu, sebaiknya tetap low profile ketika masih menjadi karyawan baru di
pekerjaan itu.
c.
Etis
Sangat penting untuk bertindak secara etis
dalam semua aspek kehidupan, di rumah, sekolah, dan di tempat kerja terutama
bagi seorang manajer. Seorang manajer akan mengatur irama seluruh perusahaan.
Karyawan akan terus-menerus memperhatikan kata-kata dan tindakan manajer, jadi
penting untuk bertindak etis dalam setiap kejadian
d.
Sopan
Tempat kerja merupakan tempat orang
berinteraksi. Keterampilan sosial juga penting dalam bisnis. Seorang manajer
sebaiknya melihat wajah orang ketika berbicara, menghindari komentar sakastik,
dan mengendalikan ledakan emosi. Sarkasme dan amarah tidak dapat terima dalam
lingkungan sosial dan bahkan di tempat kerja. Berada dalam posisi sebagai
manajer tidak memberi hak untuk tidak sopan. Riset membuktikan bahwa dua dari
lima CEO baru gagal dalam tugasnya dalam 18 bulan pertama, bukan karena
kompetensi, pengetahuan dan pengalaman, tetapi terlebih karena keangkuhan, ego
dan gaya kepemimpinan yang jauh dari sentuhan model kepemimpinan modern
2.3 Teori Lahirnya Pemimpin
2.3.1
Teori Biologis atau Teori Genetis
Menurut teori biologis atau
genetis, pemimpin lahir akrena adanya bakat yang melekat pada diri seseorang
atau karena memiliki garis ketrunan yang secara prerogatif dimiliki oleh
orang-orang yang tergolong “darah biru” atau ningrat. Seorang pemimpin baik
karena keturunannya maupun talentanya, memilik berbagai keunggulan bawaan yang
kemudian membuatnya menjadi seorang pemimpin besar dan mempu mempengaruhi
banyak orang sehingga memberi warna pada masyarakat dunia. Keunggulan talenta
tersebut dapat berwujud kecerdasan, kekuatan fisik, kearifan sikapnya maupun
gabungan ketiganya.Kelemahan teori ini karena tidak memperhatikan proses
pertumbuhan seseorang
menjadi pemimpin. Seorang pemimpin
tidak tiba-tiba menjadi seorang dewasa yang sudah matang, tetapi melalu proses
yang panjang yang banyak dipengaruhi oleh kondisi sosisal disekelilingnya.
Salah seorang ahli yang menentang
teori biologis adalah Herbert Spencer. Sebagai seorang sosiolog, spencer
mengatakan bahwa : “ you must admit that
the genesis of a great man depends on the long series of complex influences
which has produced the race in which he appears, and the social state into
which that race has slowly grown – before he can remake his society, his
society must make him “
Dari kutipan diatas dapat diperoleh
pemahaman bahwa menurut spencer sebelum seseorang mampu memperbaiki masyarakat,
masyarakat ersangkutan harus membentuknya menjadi pemimpin. Sebab munculnya
orang-orang besar tergantung pada rangakaian panjang pengaruh yang dihasilkan
dalam sebuah persaingan dalam sebuah masyarakat. Dalam bentuknya lebih nyata
dapat dilihat dari ritual yang dianut oleh suku jawa ataupun suku lainnya di
Indonesia.
2.3.2
Teori Sosiologis
Teori ini berpandangan bahwa
seorang pemimpin muncul karena diberi kesempatan oleh lingkungan sosial. Teori
ini menolak bahwa yang dapat menjadi pemimpin hanyalah orang-orang dari
keturunan “darah biru”. Teori ini berkembang seiring dengan pergeseran paham
kedaulatan, dari paham kedaulatan raja ke paham kedaulatan rakyat. Pada paham
kedaulatan rakyat, semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi
pemimpin.
Kekuatan teori sosiologis adalah
terletak pada kemampuannya menjelaskan bahwa semua orang punya kesempatan yang
sama untuk menjadi pemimpin. Teori ini sejalan dengan teori kedaulatan rakyat
dan teori demokrasi. Melalui teori kedaualatan rakyat, maka yang berdaulat
adalah rakyat, sehingga setiap individu sebagai bagian dari rakyat punya
peluang yang sama untuk menduduki jabatan pemimpin politik maupun public.
Disebut sejalan dengan teori demokrasi, karena formula demoktrasi dari Abraham
Lincoln dengan istilah “The Gettysburg
Formula” mengatakan bahwa demokrasi
adalah : “Government of the People, By
the People, for the People.” .
Kelemahan teori ini karena kurang
memperhitungkan adanya talenta yang dimiliki oleh setiap orang. Pembentukan
kualitas kepemimpinan seseorang diserahkan sepenuhnya pada sistem sosial dimana
yang bersangkutan lahir, tumbuh dan berkembang. Kelemahan lainnya adalah bahwa
teori ini tidak mampu menjelaskan fenomena kepemimpinan dinasti yang terjadi
diberbagai negara.
2.3.3 Teori
Eklektik
Teori lahirnya pemimpin secara
eklektik melihat bahwa seseorang dari sejak lahirnya memiliki bakat-bakat
kepemimpinan. Hal tersebut dapat diketahui dari berbagai tes psikologi yang
jenisnya bermacam-macam. Dalam perjalanannnya, bakat dan talenta tersebut dapat
dikembangkan melalui pendidikan dan atau pelatihan serta kesempatan untuk menjalankan
praktek kepemimpinan. Teori ini
merupakan perpaduan antara teori genetis dan teori sosial dengan memanfaatkan
keunggulan masing-masing teori.
Seorang dapat menjadi pemimpin
apabila diberi kesempatan, baik secara sosiologis maupun politis. Pada mas orde
baru, kesempatan orang menjadi pemimpin sangat dibatasi karena dimonopoli oleh
ABRI dan Golkar saja. Pada masa sekarang, kesempatan untuk menjadi pemimpin
pada semua tingkatan dan jenis organisasi terbuka sangat luas dan setara,
sehingga dimungkinkan adanya mobilitas vertical secara cepat. Artinya seseorang
yang bukan siapa-siapa kemudian memenangkan pemilihan kepala daerah (gubernur,
bupati atau walikota) akan mengalami mobilitas vertical dalam kedudukan
sosialnya (from zero to hero), yang
apabila tidak diwaspadai akan mengalami geger budaya (cultural shock).
Teori elektik digunakan secara
meluas dalam melakukan seleksi calon pemimpin organisasi, baik di pemerintah,
tentara, bisnis, maupun politik. Sebagai contoh, seleksi jabatan ASN
berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014.
2.4 Perbandingan Antara Pemimpin dengan Manajer
menurut
Peter F. Drucker, definisi paling sederhana tentang pemimpin adalah mereka yang
mempunyai pengikut. Definisi tersebut sangat umum dan elementer sehingga
berlaku untuk semua jenis organisasi dan lembaga.
Berkaitan
dengan perbedaan antara manajer dengan pemimpin, Bennis and Towsend
mengemukakan delapan perbedaan sebagai berikut:
1)
The
manager administers, the leader innovates;
2)
The
manager is a copt, the leader is an original;
3)
The
manager maintains, the leader develops;
4)
The
manager focuses on systems and structure, the leader fpcuses on people;
5)
The
manager relies on control, the leader inspires trust;
6)
The
manager has a short-term view, the leader has a long-term view;
7)
The
manager asks why an how, the leader asks what and why;
8)
The
manager has her eye on the bottom line, the leader has her eye on the horizon.
Berkaitan
dengan pandangan tentang inovasi, Stauffer mengemukakan bahwa pemimpin inovatif
akan mampu membangun mesin inovasi dengan menciptakan lingkungan yang inovatif.
Asumsi yang digunakan oleh Stauffer tentang inovasi yakni “ jika hal itu tidak dilarang, maka berarti
diizinkan.”
BAB III
KEPEMIMPINAN
PEMERINTAHAN
3.1. Berbagai Paradigma Kepemimpinan Pemerintahan
Gejala Kepemimpinan adalah gejala universal karena ada pada setiap
kelompok masyarakat, baik yang besar, sedang, maupun kecil. Bahkan gejala
kepemimpinan juga ada pada dunia binatang. Kouzes dan Posner dalam kata
pengantar bukunya menyebutkan bahwa “leadership
is everyone’s busniess”. Artinya, kepemimpinan menjadi kepentingan semua
orang, semua golongan, semua organisasi. Pandangan tersebut diperkuat oleh
Kotter yang mengatakan bahwa : “Leaership
is an ageless topic”.
Sebagai gejala universal tidaklah mengherankan apabila banyak sekali
pakar yang menulis buku tentang kepemimpinan. Meskipun demikian, Lojesi
mengatakan secara global telah terjadi krisis kepemimpinan, yang menimpa semua
organisasi, baik bisnis maupun pemerintahan. Oleh karena iitu diperlukan
penelitian, seminar, diskusi, wacana yang lebih luas dan mendalam mengenai kepemimpinan.
Gejala kepemimpinan bersifat universal tetapi sekaligus partikular dan
unik. Dikatakan demikian karena ada karakteristik bersifat umum yang ada pada
setiap gejala kepemimpinan, tetapi sekaligus ada karakteristik unik pula pada
setiap gejala kepemimpinan, tetapi sekaligus ada karakteristik unik pula pada
setiap kelompok entitas yang berbeda-beda. Hal ini disebabkan karena adanya
interaksi antara pemimpin dengan pengikut serta pengalur lingkungan sekitarnya
terhadap sistem dimana pemimpin menjalankan fungsinya.
Koehler dan Pankowsi mengatakan bahwa “government leadership is defined as “ a process of influencing others and directing the course of action
promulgated by legislation”. Koehler dan pakowski menekankan bahwa
kepemimpinan pemerintahan merupakan sebuah proses untuk mempengaruhi orang lain
dan mengarahkan pada tindakan yang diatur menurut peraturan perundang-undangan.
Dengan perkataan lain, kepemimpinan pemerintahan tidak menjalankan tindakannya
atau mengambil keputusan secara bebas berdasarkan intuisis, melainkan harus
sesuai dengan koridor peraturan perundang-undangan, serta didasarkan pada
kewenangan yang dimilikinya. Artinya, kepemimpinan pemerintahan sebagai gejala
partikular memiliki ciri-ciri yang spesifik. Hal ini sejalan dengan pendapat
penulis menekankan bahwa obyek forma ilmu pemerintahan adalah kewenangan atau
kekuasaan yang sah serta pelayanan publik untuk mencapai kesejahteraan
masyarakat.
3.2.
Mengenal “Pemerintah” dan
“Pemerintahan”
Untuk menganalisis kepemimpinan partikular, perlu didalami dan dipahami
sistem sosial dimana pemimpin dan kepemimpinannya berada. Berkaitan dengan
kepemimpinan pemerintahan, dirasa perlu untuk memberikan gambaran singkat
mengenai dunia pemerintahan dengan berbagai karakteristiknya, yang ternyata memiliki
perbedaan signifikan dibanding dunia bisnis atau private, sehingga masuk akal
apabila ada kepemimpinan pemerintahan yang bersifat spesifik pula.
Dari Ensiklopedia Pemerintahan
dan Kewarganegaraan Jilid Kesatu, digambarkan mengenai kronologi pemerintahan
yang dimulai dari tahun 8000 sebelum Masehi sampai sekarang. Pada wal
peradaban, manusia yang semula menjadi pemburu dan peramu, kemudian beralih
dengan memelihara ternak dan bercocok tanam. Mereka dari kelompok pengembara
menjadi kelompok yang menteap, yang kemudian terbentuklah pemerintahan primitif
untuk mengelola pertahanan bersama menghadapi serangan binatang buas maupun
musuh dari kelompok lain.
Dari Ensiklopedia sebagaimana dikemukakan diatas dapat ditarik
pemahaman bahwa pemerintahan muncul terlebih
dahulu, baru kemudian politik, yang berkembang pada tahun 700 sampai
dengan 550 SM di kota-kota Yunani Kuno. Tetapi perkembangan pengetahuan
terakhir selalu menempatkan pemerintahan sebagai bagian dari politik.
Untuk menjalankan pemerintahan perlu dibentuk organisasi pemerintah.
Organisasi pemerintah termasuk kategori sektor publik. Menurut Bevir , “public sector is defined as the portion of
the economy composed of all levels of government and government-cotrolled
enterprises. Therefore, it does not include private company, voluntary
organizations, and households.’’.
Jadi kategori sektor publik dengan sektor privat lebih didasarkan pada
pertimbangan ekonomi.
Pada bagian lain, Bevir menyebutkan bahwa “ the term government comes from the Greek word kubernan”, which means
steering a ship . Bevir membagi pengertian pemerintahan ke dalam dua
pengertian yakni dalam arti sempit sebagai sebuah institusi (government as an institution), sedangkan
dalama rti luas pemerintah diartikan sebagai sebuah proses (government as a process). Dalam konteks
bahasa Indonesia, dibedakan antara pemerintah
sebagai sebuah institusi atau orang yang memerintah, sedangkan pemerintahan
diartikan sebagai sebuah proses atau aktivitas memerintah.
3.3. Perkembangan Pemikiran Tentang Gejala, Tindakan, dan Peristiwa
Pemerintahan di Indonesia
Selama ini apabila
berbicara mengenai pemerintahan selalu dikaitkan dengan politik dan hukum .
sebab terbentuknya pemerintahan modern selalu dimulai dari proses politik, baik
berupa pemilihan umum, prosesi suksesi secara turun temurun ( dalam sebuah
negara berbentuk kerajaan) ataupun akibat adanya perebutan kekuasaan. Pada sisi
lain, dalam penyelenggaraan pemerintahan kemudian akan dikaitkan dengan hukum
yang menjadi dasar bagi bergeraknya pemerintah (sebagai sebuah institusi) dalam
menjalankan proses memerintah (pemerintahan).
Perkembangan pemikiran
tentang gejala dan peristiwa pemerintahan berkaitan erat dengan perkembangan
ilmu pemerintahan yang menjadi dasar untuk menganalisisnya. Secara garis besar
perkembangan ilmu pemerintahan di Indonesia dapat dibagi menjadi enam tahap
sebagai berikut :
1)
Ilmu pemerintahan sebagai bagian dari ilmu hukum
(.... s/d tahun 1950)
2)
Ilmu pemerintahan sebagai bagian dari ilmu politik
(tahun 1950 s/d sekarang);
3)
Ilmu pemerintahan yang disamakan dengan ilmu
administrasi publik (Public Administration).
4)
Ilmu
pemerintahan sebagai ilmu mandiri (tahun 1980 s/d sekarang)
5)
Ilmu
pemerintahan yang dipengaruhi oleh manajemen (tahun 1990 s/d sekarang), yang
memunculkan paradigma good governance.
6)
Ilmu pemerintahan yang dipengaruhi ole teknologi
informatika (tahun 1995 s/d sekarang)
3.4. Perbandingan dan Hubungan Antara Sektor Pemerintah dengan Sektor Privat
dan Sektor Masyarakat
Konsep sektor publik dan
sektor privat merupakan cara untuk mengklasifikasikan peran-peran sosial
(social roles), harapan-harapan sosial, dan pengecualian perorangan dari
harapan yang menempatkan perilaku individual di dalam situasi sosial dan
politik tertentu.
Secara prinsip, yang
membedakan antara sektor publik dengan sektor privat adalah pada maksud (purpose), kondisi-kondisi (conditions) dan tugas-tugas (tasks). Oleh karena itu diperlukan
model-model khusus baik berupa model orisinil ataupun modifikasi dan replikasi
dari model manajemen sektor privat. Steward and Ranson, sebagaimana dikutip
dari buku McKevitt and Lawton, membandingkan karakteristik antara sektor publik
dengan sektor privat dalam bentuk bagan sebagai berikut :
Private Sector
Model
|
Public Sector
Model
|
·
Individual choice in the market
·
Demand and price
·
Closure for private action
·
The equity of the market
·
The search for market satisfactions
·
Customer sovereignty
·
Competition as the instrumen of market
·
Exit as the stimulan
|
·
Collective choice in the polity
·
Need for resources
·
Openness for public action
·
The equity of need
·
The search for justice
·
Citizenship
·
Collective action as the instrument of the polity
·
Coive as the conditional
|
3.5. Kepemimpinan Pemerintahan
Kepemimpinan pada dasarnya
adalah kemampuan, proses, dan pengaruh, yakni kemampuan sesorang untuk mempengaruhi orang lain untuk
menjalankan atau tidak menjalankan apa yang diinginkan oleh pemimpin. Pada sisi
lain, kepemimpinan adalah sebuah proses dan sekaligus hasil, yakni proses berinteraksinya variabel-variabel pembentuk kepemimpinan
yang kemudian memberikan hasil berupa berbagai keputusan untuk mencapai tujuan
tertentu.
Dalam bahasa yang lebih singkat, kepemimpinan
berkaitan dengan :
a)
Proses;
b)
Kemampuan;
c)
Pengaruh;
d) Hasil.
Pandangan di atas sejalan
dengan pendapat Pamudji dalam bukunya berjudul “ Kepemimpinan Pemerintahan di
Indonesia (KPI)” , yang menggambarkan adanya tiga variabel pembentuk
kepemimpinan yakni pemimpin, pengikut, serta situasi dan kondisi dimana
pemimpin tersebut menjalankan kepemimpinannya. Pamudji mengatakan bahwa dalam
mempelajari KPI ( Kepemimpinan Pemerintahan Indonesia) perlu diperhatikan
variabel-variabelnya sebagai berikut :
a. Pemimpin, yaitu
seseorang yang menjalankan fungsi kepemimpinan (leadership);
b. Pengikut, yaitu
sekelompok orang yang berkedudukan untuk mengikuti, atau yang berfungsi
kepengikutan (followership);
c. Situasi dan
kondisi, yaitu keadaan yang melingkungi kepemimpinan dan kepengikutan tersebut.
Pandangan Pamudji tersebut
dipengaruhi model kepemimpinan situasional yang dikembangkan oleh Hersey dan
Blacnhard. Kemudian penulis memasukkan variabel keempat – visi organisasi –
sejalan dengan pandangan dari Wall, Solum dan Sobol, yang menawarkan model
pemimpin visioner (visionary leader)
. mereka menyatakan “bahwa peranan pemimpin baru banyak kemiripannya dengan
konduktor simfoni : menjamin agar semua bagian yang otonom bercampur
bersama-sama secara harmonis menuju tujuan yang tunggal “.
Masuknya variabel keempat yakni visi dan misi organisasi, sangat fungsional
digunakan untuk menganalisis gejala dan peristiwa kepemimpinan pemerintahan.
Selain karena pandangan dari Wall, Solum dan Sobol, sebagaimana dikemukakan di
atas, juga didasarkan pada adanya paradigma baru sektor pemerintahan yakni
paradigma good governance yang
mendorong setiap entitas pemerintahan memiliki visi, misi dan strategi yang
jelas untuk mengantisipasi peruahan lingkungan yang cenderung sulit diprediksi,
salah satu karakteristik entitas pemerintahan
yang menggunakan paradigma good governance adalah memiliki visi
strategis, sehingga hal tersebut terkait langsung dengan kepemimpinan.
Secara partikulat, dunia
pemerintahan memiliki karakteristik yang berbeda dengan dunia bisnis, meskipun
banyak ahli mulai mendekatkan keduanya. Tonggak tulisan mengenai upaya
mendekatan kedua sektor tersebut misalnya dapat dibaca dari karya E.S. Savas
tahun 1987 berjudul “Privatization – The
Key to Better Government “ . melalui
konsep privatisasi yang dikemukana savas, maka perlu dilakukan pemilahan dan
pemilihan kegiatan di sektor publik yang perlu diserahkan kepada atau
dikerjasamakan dengan sektor nprivat maupun masyarakat. Konsekuensi logisnya,
karakteristik kepemimpinan pada organisasi bisnis akan merasuk pada
kepemimpinan sektor publik.
3.6. Variabel Pembentuk Kepemimpinan Pemerintahan
Ada empat variabel yang
membentuk kepemimpinan yakni variabel pemimpin, pengikut, situasi dan kondisi,
serta variabel visi dan misi organisasi. Hubungan keempat variabel tersebut
dapat digambarkan sebagai berikut :
`
Gambar
Empat Variabel Yang Mempengaruhi Kepemimpinan Visioner
·
Variabel Pemimpin
·
Variabel pengikut
·
Variabel situasi dan kondisi
·
Variabel visi dan misi organisasi
BAB IV
KEPEMIMPINAN
PAMONG PRAJA