Tuesday, November 21, 2023

KEPEMIMPINAN PEMERINTAHAN DAN KEPAMONGPRAJAAN

 

JUDUL BUKU

“KEPEMIMPINAN PEMERINTAHAN DAN KEPAMONGPRAJAAN”

TUGAS RESUME

 

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Teori dan Terapan Kepemimpinan Pemerintahan dan Kepamongprajaan

 

 


 

 

 

KEMENTERIAN DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA INSTITUT PEMERINTAHAN DALAM NEGERI

PROGRAM PASCASARJANA 2023


BAB 1

(SEJARAH SINGKAT PAMONG PRAJA DAN KEPAMONGPRAJAAN )

 

 

1.1.  Pendahuluan

Konsep pamong praja diturunkan dari konsep desentralisasi aliran kontinental yang datang dari Jerman dan Perancis kemudian masuk ke Indonesia (dahulu Hindia Belanda) memalui Belanda pada masa penjajahan. Kosa kata pamong praja saat ini hanya digunakan pada Satuan Polisi Pamong Praja yang ada di daerah otonom, serta pada muscle knowledge ilmu pemerintahan yang dikembangkan di Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN). Lulusan IPDN awalnya disebut sebagai “Pamong Praja Muda”.

Dilihat dari etimologisnya (asal-usul kata) kata pamongpraja merupakan gabungan dari dua kata “Pamong” dan “Praja”. Kata Pamong (bahasa Jawa) berasal dari kata “emong” yang artinya orang yang diberi kepercayaan untuk mengasuh, membimbing, memberitahu. Dengan demikian secara etimologis, kata Pamong Praja diartikan sebagai orang yang dipervaya untuk membina, mengasuh, mengawasi negara atau pemerintahan.

Konsep pamong praja berkaitan dengan institusi dan individu yang menjalankan fungsi pemerintahan tertentu, yakni urusan pemerintahan umum. Sedangkan konsep kepamongprajaan berkaitan dengan aktivitas dan fungsi pamong praja. Pada dasarnya pamong praja adalah institusi dan individu pemerintah yang menjalankan urusan pemerintahan yang khusus menyangkut urusan pemerintahan umum. Konsep kepemimpinan pemerintahan itu sendiri merupakan partikulasi konsep kepemimpinan secara universal. Komsep kepemimpinan pamongpraja dalam perjalanannya dipengaruhi oleh konsep desentralisasi yang berasal dari aliran kontinental (pada masa lalu) dan akan serta dipengaruhi oleh revolusi industri 4.0.

1.2.  Perkembangan Konsep Pamong Praja dan Kepamongprajaan

·          Pada Masa Sebelum Kemerdekaan

Konsep pamong praja yang pada masa lalu disebut pangreh praja dikembangkan pada masa pemerintahan Hindia Belanda dalam bentuk pengangkatan pejabat pemerintah pusat di daerah dengan tujuan untuk menagwasi jalannya pemerintahan bumi putera agar tetap patuh pada kebijakan pemerintah pusat. Termasuk didalamnya mengawasi jangan sampai terjadi pemberontakan di daerah. Jadi, pangreh praja dapat disebut sebagai sebuah korps dan/atau individu pejabat pemerintah pusat Hindia Belanda yang ada di kerajaan atau keadipatian yang fungsinya memata-matai kegiatan masyarakat bumi putera.

Setelah masa pemerintahan Hindia Belanda usai, dan Jepang mulai menguasai wilayah Nusantara, tidak terdapat banyak kebijakan yang berkaitan dengan kepamongprajaan/ hal itu dikarenakan, Jepang hanya menjajah sekitar 3,5 tahun.

Bayu Surianingrat mencoba memetakan antara Europpese BB dengan Inlanse BB dalam bentuk tabel sebagai berikut :

Europeese BB

Inlandse BB

Gubernur Jenderal (Gouverneur Generaal)

-

Gubernur (Gouverneur)

-

Residen (Resident)

-

Asisten Residen (Assistant Resident)

Bupati (Regent)

Patih

Kontrolir (Controleur)

Wedana (Districthoofd)

Aspiran Kontrolir (Adspirant Controleur)

Camat (Onderdistrictshoofd)

Tabel Perbandingan Europeese BB dan Inlansdse BB

 

·          Pada Masa Pemerintahan Orde Lama

Setelah Indonesia Merdeka, untuk mengahpus kesan bahwa korps pangreh praja menjadi alat untuk mengendalikan masyarakat secara represif, Presiden Soekarno memerintahkan mengganti istilah tersebut dengan kata pamong praja. Dengan demikian, diharapkan akan terjadi perubahan sikap dari korps pamong praja menjadi lebih dekat dengan masyarakat yang dilayani. Diharapkan pula terjadi perubahan dalam tindakan, yang semula bersifat reprsif menjadi pendekatan persuasif, yang kemudian menjadi ciri khas pamong praja.

Tugas korps pamong praja pada awal kemerdekaan adalah mengawasi jalannya pemerintahan daerah, sehingga dalam perjalanannya ingin dihapuskan, karena keberadaan korps pamong praja tidak terlepas dari aliran pemikiran desentralisasi kontinental yang berpusat di Jerman, kemudian berkembang ke Perancis, Belanda dan Indonesia. Selain itu, dikarenakan pertimbangan sejarah yakni sebagai kaki tangan penjajah Belanda, juga disebabkan karnea korps ini menghalangi kebebasan daerah otonom dalam menjalankan otonominya.

Kemudian dalam perkembangannya, Pemerintah mengeluarkan Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959 tentang Pemerintahan Daerah, yang pada butir kelima diatur ketentuan sebagai berikut:

1.      Pimpinan pemerintahan didaerah bersifat dualistis, dalam arti bahwa ada dua pimpinan yang berdiri terpisah, mengenai dua bidang pekerjaan yang pada hakekatnya sangat erat hubungannya satu sama lain. Dua bidang itu adalah bidang pemerintahan umum pusat di daerah ditangan pamong praja dan bidang otonomi dan tugas pembantuan dalam pemerintah ditangan pemerintah daerah.

2.      Pimpinan kedua bidang ini perlu diletakkan dalam satu tangan.

Berdasarkan ketentuan di atas, pemerintah ingin menghentikan praktek pemerintahan dualisme di daerah untuk kemudian diletakkan pada satu tangan yakni kepala daerah sebagai pelaksana asas desentralisasi. Konsekuensi logis dari kebijakan tersebut maka korps pamong praja yang merupakan wakil pemerintah pusat di daerah dihapuskan.

 

·           Pada Masa Pemerintahan Orde Baru

Keberadaan korps pamong praja mencapai puncaknya pada saat berlakunya UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. Korps pamong praja diartkan sebagai pejabat pemerintah pusat yang berada di daerah dengan tugas utama menjalankan urusan pemerintahan umum, yang meliputi koordinasi, pembinaan dan pengawasan serta urusan residual. Namun pada kenyataannya, peran asas dekonsentrasi lebih dominan dibandingkan asas desentralisasi. Untuk menghilangkan dualisme pemerintahan yang sudah berjalan sejak zaman kemerdekaan, digunakan prinsip uniteritorial dan unipersonil.

Melalui kedua prinsip tersebut, maka jajaran korps pamongpraja pada era ini yakni sebagai berikut:

1)      Presiden;

2)      Menteri Dalam Negeri;

3)      Gubernur Kepala Wilayah Provinsi yang secara ex-officio dijabat oleh Kepala Daerah Tingkat I serta organisasi pemerintah daerah yang menangani urusan pemerintahan umum;

4)      Bupati/Walikotamadya Kepala Wilayah Kabupaten/Kota yang secara ex-officio dijabat oleh Kepala Daerah Tingkat II, serta organisasi pemerintah daerah yang menangani urusan pemerintahan umum;

5)      Walikota Administratif (tentatif);

6)      Camat Sebagai Kepala Wilayah.

                                   

Masing-masing kepala wilayah dibantu oleh unit-unit pemerintahan dalam rangka asas dekonsentrasi. Di bawah Gubernur Kepala Wilayah Provinsi masih ada jabatan Pembantu Gubernur yang sifatnya tentatif, tetapi mereka bukan kepala wilayah. Nama pembantu Gubernur kemudian diganti menjadi Badan Koordinasi Wilayah (Bakorwil). Demikian pula di bawah bupati/walikotamadya masih ada jabatan pembantu bupati/walikotamadya atau patih yang sifatnya tentatif serta bukan merupakan kepala wilayah. Para pejabat ini juga masuk kategori korps pamong praja karena menjalankan sebagian urusan pemerintahan umum yang ada di wilayah kerjanya berdasatkan pendelegasian kewenangan dari kepala wilayah. 

Pada masa UU Nomor 5 Tahun 1974, yang masih merujuk pada UUD 1945 yang asli, Presiden merupakan satu-satunya mandataris MPR, yang kemudian membangun jaringan pemerintah pusat di daerah yang dinamakan kepala wilayah yang berkedudukan sebagai penguasa tunggal di bidang pemerintahan. Ini bagian dari strategi pengendalian negara dari istana yang dikembangkan era pemerintahan Soeharto.

                                   

 

·          Pada Masa Pemerintahan Orde Reformasi

 

Pada masa ini, tidak ada lagi urusan pemerintahan umum seperti yang digunakan pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, sehingga yang bertindak sebagai wakil pemerintah pusat di daerah hanyalah Gubernur. Bupati/Walikota hanya berkedudukan sebagai kepala daerah saja. Istilah pamong praja hanya melekat pada Satuan Polisi Pamong Praja sebagai organisasi perangkat daerah yang ebrtugas menegakkan peraturan daerah, dan tidak terkait dengan konsep pamong praja yang digunakan sejak zaman Belanda sampai Orde Baru, yakni wakil pemerintah pusat di daerah dengan tugas utama menjalankan urusan pemerintahan umum yang meliputi koordinasi, pembinaan dan pengawasan serta urusan residual. Pada Masa Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang masuk kategori pamong praja yakni sebagai berikut:

1)      Presiden

2)      Menteri Dalam Negeri, beserta unit organisasi yang menangani urusan pemerintahan umum

3)      Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat, beserta unit organisasi yang menangani urusan pemerintahan umum (satpol PP dan Kesbang Linmas) yang pada dasarnya adalah organisasi perangkat daerah.

 

Setelah sempat menimbulkan kontroversi karena konsepnya dianggap bernuansa federalistik, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Namun, didalmnya tidak mengubah tentang pamong praja. Nama pamong praja hanya melekat pada Satpol PP dengan nuansa yang sama seperti pada undang-undang sebelumnya yakni sebagai perangkat daerah, serta digunakan pada lulusan Institut Pemerintahan Dalam Negeri. Tidak ada ketentuan yang jelas tentang siapa yang bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan urusan pemerintahan umum. Meskipun secara implisit, urusan sisa dalam penyelenggaraan pemerintahan berada di tanagn pemerintah daerah kabupaten/kota.

1.3.  Pamong Praja dan Urusan Pemerintahan Umum

Substansi pemerintahan umum adalah menangani urusan sisa atau residu yakni urusan pemerintahan yang tidak ada pengelolanya, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Hal ini dapat terjadi karena dinamika aktivitas masyarakat seringkali lebih cepat dibanding dengan praturan perundang-undangan yang mengaturnya. Untuk mencegah terjadinya kekosongan pemerintaha, maka dibentuk korps pamong praja untuk menanganinya.

 Berikut beberapa urusan pemerintahan sisa menurut beberapa undang-undang :

a.      UU Nomor 5 Tahun 1974 : Seluruh urusan pemerintahan sisa menjadi kewenangan pemerintah pusat, yang pelaksanaannya didekonsentrasikan kepada kepala wilayah sampai tingkat kecamatan

b.      UU Nomor 22 Tahun 1999 : Urusan Pemerintahan sisa menjadi kewenangan daerah kabupaten/kota, yang dapat didelegasikan kepada camat

c.      UU Nomor 32 Tahun 2004 UU Nomor 23 Tahun 2014 : Urusan Pemerintahan sisa menjadi kewenangan masing-masing susunan pemerintahan. Skala lokal oleh kabupaten, skala regional oleh provinsi dan skala nasional oleh pemerintah pusat.

 


BAB II

KEPEMIMPINAN UNIVERSAL

 

 

2.1  Berbagai Definisi Kepemimpinan

Kepemimpinan berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk mempengaruhi orang lain, agar mau melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang dikehendaki oleh pemimpin secara sukarela. Perubahan terpenting justru terletak pada konteks kepemimpinan. Bennis dan Nanus mengemukakan ada tiga konteks kepemimpinan yaitu : Commitment, Complexity, and Credibility (3С).

Kepemimpinan berkaitan dengan komitmen sesorang mempengaruhi orang lain dan secara konsisten berpikir dan bertindak untuk mencapai tujuan organisasi atau kelompok. Kepemimpinan dihadapkan pada kompleksitas permasalahan yang perlu diatasi melalui berbagai pengambilan keputusan, yang merupakan inti dari kepemimpinan. Semakin besar organisasi, maka akan semakin kompleks pula permasalahan yang dihadapi sehingga memerlukan proses pengambilan keputusan yang semakin canggih.

Kepemimpinan berkaitan dengan kompleksitas (complexity)  karena menyangkut proses memimpin dan mengambil keputusan serta mengantisipasi perubahan lingkungan eksternal yang berubah sangat cepat dan sulit diprediksi. Seorang pemimpin adalah pengambil risiko (risk taker), sehingga harus memiliki kecerdasan, ketegasan, dan kecepatan dalam menghitung segala risiko yang akan terjadi apabila sebuah keputusan diambil.

Kompleksitas kepemimpinan berbanding terbalik dengan posisinya, dalam arti semakin tinggi posisi yang didudukinya dalam sebuah organisasi maka kompleksitas permasalahannya lebih bersifat strategis dan jangka panjang, sedangkan semakin rendah akan semakin bersifat teknis. Tetapi hal tersebut dapat saja terbalik apabila seorang pemimpin dalam menjalankan kepemimpinannya tidak dapat mengkategorikan kompleksitas yang dihadapi, sehingga waktunya habis untuk mengurus hal teknis yang pada gilirannya kurang mampu membuat keputusan untuk hal-hal yang bersifat strategis.

Berkaitan dengan defitinisi kepemimpinan , Eckman mencoba menginvetarisasi beberapa pandangan beberapa ahli, yang tentunya belum mencakup semuanya. Definisi tersebut yaitu sebagai berikut :

1)      The creative and directive force morale (munson, 1921)

2)      Leadership is a process of mutual stimulation which, by the successful interpay of relevant individual differences, controls human energy in the pursuit of a common pause (pigors. 1935).

3)      The process by which an agent induces a subordinate to behave in a desired manner (Bennis, 1969).

4)      The presence odf a particular influence relationship between two or more persons (Hollander & Julian, 1969).

5)      Directing and coordinating the work of group member (Fielder, 1967)

6)      An interpersonal relations in which other comply between thet want to, not because they have to (Merton, 1969)

7)      Transforming followers, creating visions of the goals that may be attained, and articulating for the followers the ways to attain those goals (Bass, 1985).

8)      The process of influencing an organized group toward accomplishing its goals (Roach and Rehling, 1984).

9)      Action that focus resources to create desirable opportunities (Campbell, 1991).

10)  The leaders’s job is to create conditions for the team to be effective (Ginnet, 1996).

11)  Leadership is the thing that wins battles (Patton, 1940).

12)  Leadership is an influence relationship among leaders and followers who intend real changes that reflect their mutual purposes. (1991)

Inventarisasi definisi kepemimpinan yang dikumpulkan Eckman terentang mulai dari tahun 1921 sampai tahun 1991, yang menunjukkan variasi cukup banyak. Kutipan Eckman tentunya berdasarkan pandangan para ahli berwibawa pada jammnya yang menggambarkan pola piker masyarakatnya. Tahun 1921, Munson mengatakan bahwa kepemimpinan itu adalah kekuatan moral yang kreatif dan direktif. Inti definisi kepemimpinan dari munson adalah kekuatan moral. Tahun 1935, Pigors mengemukakan definisi tentang kepemimpinan yang menekankan pada proses mengendalikan enerji manusia untuk mencapai tujuan organisasi. Proses mengendalikan enerji manusia untuk mencapai tujuan organisasi. Pandangan Pigors diperkuat oleh Bennis (1959) maupun Roach and Rehling (1984) yang sama-sama menekankan pentingnya proses pada kepemimpinan.

 

2.2  Perkembangan Teori Kepemimpinan

Hersey et al. dan Bryman dalam Thompson membahas mengenai perkembangan teori kepemimpinan. Mereka menyatakan bahwa: “Teori Kepemimpinan dapat ditelaah melalui tiga pendekatan yakni: pendekatan sifat (trait), pendekatan sikap (behavioral) dan pendekatan situasional (situational). Teori kepemimpinan berasarkan pendekatan sifat dimulai dari teori kepemimpinan The Great Man dikembangkan oleh Carlyle pada tahun 1741-1907. Teori ini memandang pemimpin sebagai orang yang sangat hebat (great man) karena memiliki unique hereditary characteristics and abilities, dimana pemimpin memiliki kualitas yang tinggi (superior) dari pengikutnya, dengan kelebihan lain dari aspek intelligence, scholarship, dependability in exercising responsibility, activity, social participation dan socio economic status. Sifat-sifat tersebut dapat menjadi faktor penghambat ataupun pendorong dalam situasi tertentu, sehingga tidak ada yang secara umum dapat dijadikan indikator menjadi pemimpin yang sukses.

Teori kepemimpinan sikap (behavioral) yang terkenal berasal dari studi Ohio State dan studi Michigan dari tahun 1945-1960 dengan pengembangan Managerial Grid. Studi ini meneliti perbedaan pemimpin sebagai pemrakarsa struktur (initiating structure) dan pertimbangan (consideration). Pemimpin dengan pemrakarsa struktur mengorganisasi dan menetapkan hubungan dalam suatu kelompok dengan membentuk saluran dan pola komunikasi yang ditetapkan dengan baik dan menunjukkan cara penyelesaian pekerjaan.

Teori kepemimpinan dengan pendekatan situasional memfokuskan pada perilaku anggota kelompok yang diamati dalam berbagai situasi. Teori dengan pendekatan ini dikembangka oleh Paul Hersey dan ken Blanchard pada akhir tahun 1970 dan awal tahun 1980. Pendekatan ini menjelaskan bahwa kepemimpinan dengan pendekatan situasional lebih memberikan penekanan terhadap kemampuan pengikut. Dalam hal ini pemimpin harus peka terhadap kebutuhan pengikut.

Teori kepemimpinan selanjutnya adalah kepemimpinan transformational, sebagai bagian dari paradigm “New Leadership”, yang menekankan pada aspek kharisma dan emosional kepemimpinan. Tipe kepemimpinan ini sesuai dengan kebutuhan kelompok pada saat ini, akrena menekankan juga pada pemberdayaan pengikutnya agar berhasil pada masa ketidakpastian.

Keberhasilan dalam mengelola kepemimpinan dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal berkaitan dengan karakter dan kapasitas, sementara faktor eksternal melihat lingkungannya (ekosistem). Menurut Ferguson dalam Leadership Skills menyatakan bahwa kualitas pemimpin dapat dipelajari dan ditingkatkan secara terus menerus. Beberapa karakteristik pemimpin antara lain:

a.       Inovatif dan Percaya Diri

Pemimpin harus mampu melakukan pekerjaanya, tetapi kemampuan saja tidak cukup, kepemimpinan sejati membutuhkan kemauan untuk berani, termasuk berani mempertimbangkan pendekatan yang tidak baisa terhadap masalah, serta melakukan lebih dari sekadar mengikuti metode yang telah terbukti benar.

b.      Menghargai Orang Lain

Meyneimbangkan persaingan denga rasa hormat mungkin sulit bagi karyawan muda yang ingin maju dengan mengungguli rekan kerjanya. Tetapi kebanyakn karyawan tidak suka dan tidak menghormati pemimpin yang hanya memikirkan diri sendiri. Oleh karena itu, sebaiknya tetap low profile  ketika masih menjadi karyawan baru di pekerjaan itu.

c.       Etis

Sangat penting untuk bertindak secara etis dalam semua aspek kehidupan, di rumah, sekolah, dan di tempat kerja terutama bagi seorang manajer. Seorang manajer akan mengatur irama seluruh perusahaan. Karyawan akan terus-menerus memperhatikan kata-kata dan tindakan manajer, jadi penting untuk bertindak etis dalam setiap kejadian

d.      Sopan

Tempat kerja merupakan tempat orang berinteraksi. Keterampilan sosial juga penting dalam bisnis. Seorang manajer sebaiknya melihat wajah orang ketika berbicara, menghindari komentar sakastik, dan mengendalikan ledakan emosi. Sarkasme dan amarah tidak dapat terima dalam lingkungan sosial dan bahkan di tempat kerja. Berada dalam posisi sebagai manajer tidak memberi hak untuk tidak sopan. Riset membuktikan bahwa dua dari lima CEO baru gagal dalam tugasnya dalam 18 bulan pertama, bukan karena kompetensi, pengetahuan dan pengalaman, tetapi terlebih karena keangkuhan, ego dan gaya kepemimpinan yang jauh dari sentuhan model kepemimpinan modern

 

 

2.3  Teori Lahirnya Pemimpin

2.3.1 Teori Biologis atau Teori Genetis

Menurut teori biologis atau genetis, pemimpin lahir akrena adanya bakat yang melekat pada diri seseorang atau karena memiliki garis ketrunan yang secara prerogatif dimiliki oleh orang-orang yang tergolong “darah biru” atau ningrat. Seorang pemimpin baik karena keturunannya maupun talentanya, memilik berbagai keunggulan bawaan yang kemudian membuatnya menjadi seorang pemimpin besar dan mempu mempengaruhi banyak orang sehingga memberi warna pada masyarakat dunia. Keunggulan talenta tersebut dapat berwujud kecerdasan, kekuatan fisik, kearifan sikapnya maupun gabungan ketiganya.Kelemahan teori ini karena tidak memperhatikan proses pertumbuhan seseorang

menjadi pemimpin. Seorang pemimpin tidak tiba-tiba menjadi seorang dewasa yang sudah matang, tetapi melalu proses yang panjang yang banyak dipengaruhi oleh kondisi sosisal disekelilingnya.

Salah seorang ahli yang menentang teori biologis adalah Herbert Spencer. Sebagai seorang sosiolog, spencer mengatakan bahwa : “ you must admit that the genesis of a great man depends on the long series of complex influences which has produced the race in which he appears, and the social state into which that race has slowly grown – before he can remake his society, his society must make him

Dari kutipan diatas dapat diperoleh pemahaman bahwa menurut spencer sebelum seseorang mampu memperbaiki masyarakat, masyarakat ersangkutan harus membentuknya menjadi pemimpin. Sebab munculnya orang-orang besar tergantung pada rangakaian panjang pengaruh yang dihasilkan dalam sebuah persaingan dalam sebuah masyarakat. Dalam bentuknya lebih nyata dapat dilihat dari ritual yang dianut oleh suku jawa ataupun suku lainnya di Indonesia.

 

 

2.3.2 Teori Sosiologis

Teori ini berpandangan bahwa seorang pemimpin muncul karena diberi kesempatan oleh lingkungan sosial. Teori ini menolak bahwa yang dapat menjadi pemimpin hanyalah orang-orang dari keturunan “darah biru”. Teori ini berkembang seiring dengan pergeseran paham kedaulatan, dari paham kedaulatan raja ke paham kedaulatan rakyat. Pada paham kedaulatan rakyat, semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi pemimpin.

Kekuatan teori sosiologis adalah terletak pada kemampuannya menjelaskan bahwa semua orang punya kesempatan yang sama untuk menjadi pemimpin. Teori ini sejalan dengan teori kedaulatan rakyat dan teori demokrasi. Melalui teori kedaualatan rakyat, maka yang berdaulat adalah rakyat, sehingga setiap individu sebagai bagian dari rakyat punya peluang yang sama untuk menduduki jabatan pemimpin politik maupun public. Disebut sejalan dengan teori demokrasi, karena formula demoktrasi dari Abraham Lincoln dengan istilah “The Gettysburg Formula”  mengatakan bahwa demokrasi adalah : “Government of the People, By the People, for the People.” .

Kelemahan teori ini karena kurang memperhitungkan adanya talenta yang dimiliki oleh setiap orang. Pembentukan kualitas kepemimpinan seseorang diserahkan sepenuhnya pada sistem sosial dimana yang bersangkutan lahir, tumbuh dan berkembang. Kelemahan lainnya adalah bahwa teori ini tidak mampu menjelaskan fenomena kepemimpinan dinasti yang terjadi diberbagai negara.

 

2.3.3   Teori Eklektik

Teori lahirnya pemimpin secara eklektik melihat bahwa seseorang dari sejak lahirnya memiliki bakat-bakat kepemimpinan. Hal tersebut dapat diketahui dari berbagai tes psikologi yang jenisnya bermacam-macam. Dalam perjalanannnya, bakat dan talenta tersebut dapat dikembangkan melalui pendidikan dan atau pelatihan serta kesempatan untuk menjalankan praktek kepemimpinan.  Teori ini merupakan perpaduan antara teori genetis dan teori sosial dengan memanfaatkan keunggulan masing-masing teori.

Seorang dapat menjadi pemimpin apabila diberi kesempatan, baik secara sosiologis maupun politis. Pada mas orde baru, kesempatan orang menjadi pemimpin sangat dibatasi karena dimonopoli oleh ABRI dan Golkar saja. Pada masa sekarang, kesempatan untuk menjadi pemimpin pada semua tingkatan dan jenis organisasi terbuka sangat luas dan setara, sehingga dimungkinkan adanya mobilitas vertical secara cepat. Artinya seseorang yang bukan siapa-siapa kemudian memenangkan pemilihan kepala daerah (gubernur, bupati atau walikota) akan mengalami mobilitas vertical dalam kedudukan sosialnya (from zero to hero), yang apabila tidak diwaspadai akan mengalami geger budaya (cultural shock).

Teori elektik digunakan secara meluas dalam melakukan seleksi calon pemimpin organisasi, baik di pemerintah, tentara, bisnis, maupun politik. Sebagai contoh, seleksi jabatan ASN berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014.

2.4  Perbandingan Antara Pemimpin dengan Manajer

menurut Peter F. Drucker, definisi paling sederhana tentang pemimpin adalah mereka yang mempunyai pengikut. Definisi tersebut sangat umum dan elementer sehingga berlaku untuk semua jenis organisasi dan lembaga.

Berkaitan dengan perbedaan antara manajer dengan pemimpin, Bennis and Towsend mengemukakan delapan perbedaan sebagai berikut:

1)      The manager administers, the leader innovates;

2)      The manager is a copt, the leader is an original;

3)      The manager maintains, the leader develops;

4)      The manager focuses on systems and structure, the leader fpcuses on people;

5)      The manager relies on control, the leader inspires trust;

6)      The manager has a short-term view, the leader has a long-term view;

7)      The manager asks why an how, the leader asks what and why;

8)      The manager has her eye on the bottom line, the leader has her eye on the horizon.

Berkaitan dengan pandangan tentang inovasi, Stauffer mengemukakan bahwa pemimpin inovatif akan mampu membangun mesin inovasi dengan menciptakan lingkungan yang inovatif. Asumsi yang digunakan oleh Stauffer tentang inovasi yakni “ jika hal itu tidak dilarang, maka berarti diizinkan.”

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

KEPEMIMPINAN PEMERINTAHAN

 

3.1.  Berbagai Paradigma Kepemimpinan Pemerintahan

Gejala Kepemimpinan adalah gejala universal karena ada pada setiap kelompok masyarakat, baik yang besar, sedang, maupun kecil. Bahkan gejala kepemimpinan juga ada pada dunia binatang. Kouzes dan Posner dalam kata pengantar bukunya menyebutkan bahwa “leadership is everyone’s busniess”. Artinya, kepemimpinan menjadi kepentingan semua orang, semua golongan, semua organisasi. Pandangan tersebut diperkuat oleh Kotter yang mengatakan bahwa : “Leaership is an ageless topic”.

Sebagai gejala universal tidaklah mengherankan apabila banyak sekali pakar yang menulis buku tentang kepemimpinan. Meskipun demikian, Lojesi mengatakan secara global telah terjadi krisis kepemimpinan, yang menimpa semua organisasi, baik bisnis maupun pemerintahan. Oleh karena iitu diperlukan penelitian, seminar, diskusi, wacana yang lebih luas dan mendalam mengenai kepemimpinan.

Gejala kepemimpinan bersifat universal tetapi sekaligus partikular dan unik. Dikatakan demikian karena ada karakteristik bersifat umum yang ada pada setiap gejala kepemimpinan, tetapi sekaligus ada karakteristik unik pula pada setiap gejala kepemimpinan, tetapi sekaligus ada karakteristik unik pula pada setiap kelompok entitas yang berbeda-beda. Hal ini disebabkan karena adanya interaksi antara pemimpin dengan pengikut serta pengalur lingkungan sekitarnya terhadap sistem dimana pemimpin menjalankan fungsinya.

Koehler dan Pankowsi mengatakan bahwa “government leadership is defined as a process of influencing others and directing the course of action promulgated by legislation”. Koehler dan pakowski menekankan bahwa kepemimpinan pemerintahan merupakan sebuah proses untuk mempengaruhi orang lain dan mengarahkan pada tindakan yang diatur menurut peraturan perundang-undangan. Dengan perkataan lain, kepemimpinan pemerintahan tidak menjalankan tindakannya atau mengambil keputusan secara bebas berdasarkan intuisis, melainkan harus sesuai dengan koridor peraturan perundang-undangan, serta didasarkan pada kewenangan yang dimilikinya. Artinya, kepemimpinan pemerintahan sebagai gejala partikular memiliki ciri-ciri yang spesifik. Hal ini sejalan dengan pendapat penulis menekankan bahwa obyek forma ilmu pemerintahan adalah kewenangan atau kekuasaan yang sah serta pelayanan publik untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.

 

 

 

3.2.  Mengenal “Pemerintah” dan “Pemerintahan”

Untuk menganalisis kepemimpinan partikular, perlu didalami dan dipahami sistem sosial dimana pemimpin dan kepemimpinannya berada. Berkaitan dengan kepemimpinan pemerintahan, dirasa perlu untuk memberikan gambaran singkat mengenai dunia pemerintahan dengan berbagai karakteristiknya, yang ternyata memiliki perbedaan signifikan dibanding dunia bisnis atau private, sehingga masuk akal apabila ada kepemimpinan pemerintahan yang bersifat spesifik pula.

Dari Ensiklopedia  Pemerintahan dan Kewarganegaraan Jilid Kesatu, digambarkan mengenai kronologi pemerintahan yang dimulai dari tahun 8000 sebelum Masehi sampai sekarang. Pada wal peradaban, manusia yang semula menjadi pemburu dan peramu, kemudian beralih dengan memelihara ternak dan bercocok tanam. Mereka dari kelompok pengembara menjadi kelompok yang menteap, yang kemudian terbentuklah pemerintahan primitif untuk mengelola pertahanan bersama menghadapi serangan binatang buas maupun musuh dari kelompok lain.

Dari Ensiklopedia sebagaimana dikemukakan diatas dapat ditarik pemahaman bahwa pemerintahan muncul terlebih  dahulu, baru kemudian politik, yang berkembang pada tahun 700 sampai dengan 550 SM di kota-kota Yunani Kuno. Tetapi perkembangan pengetahuan terakhir selalu menempatkan pemerintahan sebagai bagian dari politik.

Untuk menjalankan pemerintahan perlu dibentuk organisasi pemerintah. Organisasi pemerintah termasuk kategori sektor publik. Menurut Bevir , “public sector is defined as the portion of the economy composed of all levels of government and government-cotrolled enterprises. Therefore, it does not include private company, voluntary organizations, and households.’’.  Jadi kategori sektor publik dengan sektor privat lebih didasarkan pada pertimbangan ekonomi.

Pada bagian lain, Bevir menyebutkan bahwa “ the term government comes from the Greek word kubernan”, which means steering a ship . Bevir membagi pengertian pemerintahan ke dalam dua pengertian yakni dalam arti sempit sebagai sebuah institusi (government as an institution), sedangkan dalama rti luas pemerintah diartikan sebagai sebuah proses (government as a process). Dalam konteks bahasa Indonesia, dibedakan antara pemerintah sebagai sebuah institusi atau orang yang memerintah, sedangkan  pemerintahan diartikan sebagai sebuah proses atau aktivitas memerintah.

 

3.3.  Perkembangan Pemikiran Tentang Gejala, Tindakan, dan Peristiwa Pemerintahan di Indonesia

Selama ini apabila berbicara mengenai pemerintahan selalu dikaitkan dengan politik dan hukum . sebab terbentuknya pemerintahan modern selalu dimulai dari proses politik, baik berupa pemilihan umum, prosesi suksesi secara turun temurun ( dalam sebuah negara berbentuk kerajaan) ataupun akibat adanya perebutan kekuasaan. Pada sisi lain, dalam penyelenggaraan pemerintahan kemudian akan dikaitkan dengan hukum yang menjadi dasar bagi bergeraknya pemerintah (sebagai sebuah institusi) dalam menjalankan proses memerintah (pemerintahan).

Perkembangan pemikiran tentang gejala dan peristiwa pemerintahan berkaitan erat dengan perkembangan ilmu pemerintahan yang menjadi dasar untuk menganalisisnya. Secara garis besar perkembangan ilmu pemerintahan di Indonesia dapat dibagi menjadi enam tahap sebagai berikut :

1)      Ilmu pemerintahan sebagai bagian dari ilmu hukum (.... s/d tahun 1950)

2)      Ilmu pemerintahan sebagai bagian dari ilmu politik (tahun 1950 s/d sekarang);

3)      Ilmu pemerintahan yang disamakan dengan ilmu administrasi publik (Public Administration).

4)       Ilmu pemerintahan sebagai ilmu mandiri (tahun 1980 s/d sekarang)

5)       Ilmu pemerintahan yang dipengaruhi oleh manajemen (tahun 1990 s/d sekarang), yang memunculkan paradigma good governance.

6)      Ilmu pemerintahan yang dipengaruhi ole teknologi informatika (tahun 1995 s/d sekarang)

 

3.4.  Perbandingan dan Hubungan Antara Sektor Pemerintah dengan Sektor Privat dan Sektor Masyarakat

Konsep sektor publik dan sektor privat merupakan cara untuk mengklasifikasikan peran-peran sosial (social roles), harapan-harapan sosial, dan pengecualian perorangan dari harapan yang menempatkan perilaku individual di dalam situasi sosial dan politik tertentu.

Secara prinsip, yang membedakan antara sektor publik dengan sektor privat adalah pada maksud (purpose), kondisi-kondisi (conditions) dan tugas-tugas (tasks). Oleh karena itu diperlukan model-model khusus baik berupa model orisinil ataupun modifikasi dan replikasi dari model manajemen sektor privat. Steward and Ranson, sebagaimana dikutip dari buku McKevitt and Lawton, membandingkan karakteristik antara sektor publik dengan sektor privat dalam bentuk bagan sebagai berikut :

Private Sector Model

Public Sector Model

·         Individual choice in the market

·         Demand and price

·         Closure for private action

·         The equity of the market

·         The search for market satisfactions

·         Customer sovereignty

·         Competition as the instrumen of market

·         Exit as the stimulan

·         Collective choice in the polity

·         Need for resources

·         Openness for public action

·         The equity of need

·         The search for justice

·         Citizenship

·         Collective action as the instrument of the polity

·         Coive as the conditional

 

3.5.  Kepemimpinan Pemerintahan

Kepemimpinan pada dasarnya adalah kemampuan, proses, dan pengaruh, yakni kemampuan sesorang untuk mempengaruhi orang lain untuk menjalankan atau tidak menjalankan apa yang diinginkan oleh pemimpin. Pada sisi lain, kepemimpinan adalah sebuah proses dan sekaligus hasil, yakni proses berinteraksinya variabel-variabel pembentuk kepemimpinan yang kemudian memberikan hasil berupa berbagai keputusan untuk mencapai tujuan tertentu.

Dalam bahasa yang lebih singkat, kepemimpinan berkaitan dengan :

a)      Proses;

b)      Kemampuan;

c)      Pengaruh;

d)     Hasil.

Pandangan di atas sejalan dengan pendapat Pamudji dalam bukunya berjudul “ Kepemimpinan Pemerintahan di Indonesia (KPI)” , yang menggambarkan adanya tiga variabel pembentuk kepemimpinan yakni pemimpin, pengikut, serta situasi dan kondisi dimana pemimpin tersebut menjalankan kepemimpinannya. Pamudji mengatakan bahwa dalam mempelajari KPI ( Kepemimpinan Pemerintahan Indonesia) perlu diperhatikan variabel-variabelnya sebagai berikut :

a.       Pemimpin, yaitu seseorang yang menjalankan fungsi kepemimpinan (leadership);

b.      Pengikut, yaitu sekelompok orang yang berkedudukan untuk mengikuti, atau yang berfungsi kepengikutan (followership);

c.       Situasi dan kondisi, yaitu keadaan yang melingkungi kepemimpinan dan kepengikutan tersebut.

Pandangan Pamudji tersebut dipengaruhi model kepemimpinan situasional yang dikembangkan oleh Hersey dan Blacnhard. Kemudian penulis memasukkan variabel keempat – visi organisasi – sejalan dengan pandangan dari Wall, Solum dan Sobol, yang menawarkan model pemimpin visioner (visionary leader) . mereka menyatakan “bahwa peranan pemimpin baru banyak kemiripannya dengan konduktor simfoni : menjamin agar semua bagian yang otonom bercampur bersama-sama secara harmonis menuju tujuan yang tunggal “.

Masuknya variabel keempat yakni visi dan misi organisasi, sangat fungsional digunakan untuk menganalisis gejala dan peristiwa kepemimpinan pemerintahan. Selain karena pandangan dari Wall, Solum dan Sobol, sebagaimana dikemukakan di atas, juga didasarkan pada adanya paradigma baru sektor pemerintahan yakni paradigma good governance yang mendorong setiap entitas pemerintahan memiliki visi, misi dan strategi yang jelas untuk mengantisipasi peruahan lingkungan yang cenderung sulit diprediksi, salah satu karakteristik entitas pemerintahan  yang menggunakan paradigma good governance adalah memiliki visi strategis, sehingga hal tersebut terkait langsung dengan kepemimpinan.

Secara partikulat, dunia pemerintahan memiliki karakteristik yang berbeda dengan dunia bisnis, meskipun banyak ahli mulai mendekatkan keduanya. Tonggak tulisan mengenai upaya mendekatan kedua sektor tersebut misalnya dapat dibaca dari karya E.S. Savas tahun 1987 berjudul “Privatization – The Key to Better Government “ .  melalui konsep privatisasi yang dikemukana savas, maka perlu dilakukan pemilahan dan pemilihan kegiatan di sektor publik yang perlu diserahkan kepada atau dikerjasamakan dengan sektor nprivat maupun masyarakat. Konsekuensi logisnya, karakteristik kepemimpinan pada organisasi bisnis akan merasuk pada kepemimpinan sektor publik.

3.6.  Variabel Pembentuk Kepemimpinan Pemerintahan

Ada empat variabel yang membentuk kepemimpinan yakni variabel pemimpin, pengikut, situasi dan kondisi, serta variabel visi dan misi organisasi. Hubungan keempat variabel tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :

`

Gambar Empat Variabel Yang Mempengaruhi Kepemimpinan Visioner

 

·         Variabel Pemimpin

·         Variabel pengikut

·         Variabel situasi dan kondisi

·         Variabel visi dan misi organisasi

 

 

BAB IV

KEPEMIMPINAN PAMONG PRAJA

 

4.1.  Pendahuluan

Kompetensi dasar yang dimiliki korps pamong praja adalah kepemimpinan, kepemimpinan yang dimaksudkan disini adalah kepemimpinan pamong praja sebagai bagian dari kepemimpinan pemerintahan, dengan karakteristik yang spesifik. Pemerintah adalah sebuah organisasi formal yang kompleks. Selain memiliki ciri-ciri umum seperti organisasi lainnya, organisasi pemerintah memiliki ciri-ciri khusus antara lain dominannya pertimbangan politik serta hubungan hierarkhis yang sangat kental. Nilai utama yang dijalankan organisasi pemerintah adalah mencari manfaat dan dukungan politik (benefit and political support). Manfaat yang dimaksudkan di sini adalah manfaat bagi kepentingan masyarakat luas, bukan manfaat bagi individu.

Pada Organisasi Pemerintah, Pimpinannya tidak hanya menjalankan satu jenis kepemimpinan, melainkan dua jenis yakni : a) Kepemimpinan Organisasional; dan b) Kepemimpinan Sosial. Perlu dikemukakan pandangan Koehler & Pankowski mengenai definisi kepemimpinan pemerintahan (government leadership) yaitu sebagai berikut : “ a process of influencing other and directing the course of action promulgated by legislation. “. Jadi kepemimpinan pemerintahan adalah sebuah proses mempengaruhi orang lain dan mengarahkannya pada serangkaian tindakan yang diatur menurut peraturan perundang-undangan. Artinya apa yang dierjakan pemimpin pemerintahan berdasarkan kewenangan yang dimiliki sebagai sebuah kekuasaan yang terlegitimasi (legitimate power).

Pola kepemimpinan pamong praja merupakan perpaduan antara kepemimpinan pemerintahan, nilai-nilai dalam kode kehormatan Hasta Budi Bakti, dan nilai-nilai kebudayaan setempat. Kepemimpinan Pamong Praja merupakan partikulasi dari kepemimpinan pemerintahan, sedangkan kepemimpinan pemerintahan merupakan partikulasi kepemimpinan universal.

Konsep pamong praja berasal dari aliran pemikiran desentralisasi Eropa Kontinental. Konsep ini tidak dikenal pada desentralisasi aliran anglo saxon. Model analisisnya yang sudah disederhanakan dalam bentuk gambar sebagai berikut :

 

Gambar Kedudukan Konsep Kepemimpinan Pamong Praja

 

4.2.    Analisis Kepemimpinan Pamong Praja Berdasarkan Bakti (Pengamal Pancasila)

Kepemimpinan Pamong Praja yang dikembangkan di indonesia sudah selayaknya berbasis pada Pancasila ideologi bangsa. Sebuah teori, konsep, aliran disusun berdasarkan asumsi tertentu. Tulisan-tulisan dari negara kapitalis secara eksplisit maupun implisit membawa ideologi kapitalis didalamnya. Bahwa sebuah ilmu dengan teori-teori didalamnya yang dituntut untuk bebas nilai (value-free) hanya relevan dengan ilmu-ilmu alam dan eksakta, sedangkan pada ilmu sosial justru sarat dengan nilai (value-laden).

Butir pertama dari Hasta Budi Bhakti berkaitan dengan pengalaman pancasila sebagai ideologi bangsa. Oleh karena itu, para penyelenggara negara baik di pusat maupun di daerah harus secara konsisten menggunakannya dalam kegiatan berpemerintahan sehari-hari maupun dalam membuat kebijakan umum.

4.3.    Analisis Kepemimpinan Pamong Praja Berdasarkan Bakti (Pembimbing Masyarakat)

Kepemimpinan pamong praja sebagai partikulasi dari teori kepemimpinan pemerintahan juga menggunakan konsep tersebut. Artinya korps pamong praja mempunyai tugas memimpin masyarakat. Pada bakti kedua menekankan perannya sebagai pembimbing masyarakat. Posisi pembimbing masyarakat sifatnya sangat dinamis, karena tergantung pada tipologi, kualitas dan karakteristik masyarakatnya.

Yudi Latif di harian kompas menekankan bahwa diantara berbagai perubahan yang sangat cepat dan masif seperti sekarang ini harus dikembangkan “titik temu” (common ground) yang dapat menyatukan keragaman menjadi pelangi yang indah. Pancasila melalui berbagai percobaan menghapus dan menggantinya telah teruji mampu menjadi wadah bangsa indonesia yang sangat heterogen dilihar dari asal usul suku, agama, pendidikan, mata pencaharian, maupun adat-istiadatnya.

4.4.    Analisis Kepemimpinan Pamong Praja Berdasarkan Bakti (Penggerak Masyarakat)

Konsep lama mengenai kepemimpinan adalah “doing things through other people.” Menyiratkan bahwa salah satu ciri pemimpin adalah menggerakan orang lain untuk mencapai tujuan. Kepemimpinan pamong praja sebagai derivasi dari kepemimpinan pemerintahan menggerakan masyarakat untuk mencapai tujuan negara dan tujuan pemerintahan, yang pada ujungnya untuk menciptakan kesejahteraan dan kebahagiaan.

Masyarakat dalam konteks organisasi pemerintah bukanlah pekerja dalam sebuah organisasi, sehingga keterikatannya pada norma-norma tidak seperti pada organisasi. Faktor non-finansial penting untuk menggerakan masyarakat justru perlu memperoleh tekanan, karena tidak semua yang berkaitan dengan masyarakat harus dikalkulasi dengan uang. Rasa percaya, rasa hormat menjadi faktor penting dalam menentukan keberhasilan menggerakan masyarakat.

 

4.5.    Analisis Kepemimpinan Pamong Praja Berbasis Kearifan Lokal

Negara Indonesia di huni oleh 1.340 suku bangsa, baik yang besar maupun yang kecil. Masing-masing suku sebenarnya memiliki kearifan lokal tentang kepemimpinan. Tetapi konsep dan teorinya kurang digali secara ilmiah oleh para ahli Indonesia. Padahal tanpa disadari seringkali konsepnya melampaui jaman. Sebagai contoh misalnya pemimpin di Suku Dayak dituntut untuk memiliki enam karakter yakni :

1)      Mamut menteng (gagah perkasa dalam sikap dan perbuatan);

2)      Harati (pandai)

3)      Bakena (tampan/cantik, dan bijaksana);

4)      Bahadat (beradat);

5)      Bakaji (berilmu tinggi dalam spiritual);

6)      Barendeng (mampu mendengarkan informasi dan kebutuhan warga).

Keberadaan negara Indonesia saat ini tidak dapat dilepaskan dari tanah Nusantara yang dibangun dan disatukan oleh Kerajaan Majapahir pada masa kepemimpinan Mahapatih Gajah Mada, dalam kitab nagara kertagama yang ditulis oleh Mpu Prapanca disebutkan ada limabelas sifat kepemimpinan Gajah Mada yaitu sebagai berikut :

1)      Ya Wijina, artinya bijaksana dan penuh hikmah dalam menghadapi berbagai kesukaran, sehingga akhirnya berhasil menciptakan ketentraman.

2)      Ya Matriwira, artinya pembela negara yang berani tiada tara (bela diri, bela bangsa, bela negara).

3)      Wicaksareng karsa, artinya bijaksana dalam segala tindakan.

4)      Natangwan,  artinya memperoleh kepercayaan karena rasa tanggung jawabnya yang besar dan selalu menjungjung tinggi kepercayaan yang dicerikan kepadanya.

5)      Satya Bhakti Aprabhu, artinya bersifat setia dengan hati tulus ikhlas kepada negara.

6)      Wagni wak, artinya pandai berpidato dan berdiplomasi mempertahankan atau meyakinkan sesuatu

7)      Sarjawopasama, artinya murah hati, berbudi pekerti baik, berhasi emas, bermuka manis dan penyabar.

8)      Tan Halana, artinya murah hati, berbudi pekerti baik, berhati emas, bermuka manis dan penyabar.

9)      Dhirotsaka, artinya terus menerus bekerja rajin dan sungguh-sungguh.

10)  Dwiyacita, artinya mau mendengarkan pendapat orang lain dan mau bermusyawarah.

11)  Tan Satrisna, artinya tidak mempunyai pamrih pribadi untuk menikmati kesenangannya bersifat gairah dan birahi.

12)  Sih Samstabhuana, artinya menyayangi seluruh dunia serta alam semesta.

13)  Ginong Praditira, artinya selalu mengerjakan yang baik dan membuang yang buruk serta selalu mawas diri.

14)  Sumantri, artinya menjadi ksatria yang jujur, baik dan santun.

15)  Anarsaken Musuh,  artinya bertindak memusnahkan lawan, tetapi senantiasa menjalankan politik kasih sayang , namun tak gentar menghadapi musuh yang mengganggu kedaulatan dan integritas negara

 

KEPEMIMPINAN PEMERINTAHAN DAN KEPAMONGPRAJAAN

  JUDUL BUKU “KEPEMIMPINAN PEMERINTAHAN DAN KEPAMONGPRAJAAN” TUGAS RESUME   Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah ...

082126189815

Name

Email *

Message *