Monday, January 5, 2015

MAKALAH PEMISAH KEKUASAAN NEGARA

KATA PENGANTAR


            Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat-Nya yang dilimpahkan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Pemisahan Kekuasaan Negara” yang merupakan salah satu tugas Pengantar Ilmu Pemerintahan. Dalam makalah ini membahas tentang perubahan sosial yang berhubungan dengan dinamika pemerintahan dan dinamika pemerinyahan Indonesia.
            Penulis mengharapkan makalah ini dapat menjadi manfaat dan dapat menambah ilmu pengetahuan para pembaca dan penulis sendiri. Penulis menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca yang bersifat membangun sehingga penulis sehingga penulis demi kesempurnaan makalah ini.

Jatinangor, juni 2014



Penulis











DAFTAR ISI









BAB I

PENDAHULUAN


1.1       Latar Belakang

                        Pemisahan kekuasaan dalam arti material adalah pemisahan kekuasaan yang dipertahankan dengan jelas dalam tugas-tugas kenegaraan di bidang legislatif, eksekutif dan yudikatif. Sedangkan pemisahan dalam arti formal adalah pembagian kekuasaan yang tidak dipertahankan secara tegas. Pembagian kekuasaan terdiri dari dua kata, yaitu “pembagian” dan “kekuasaan”. Menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) pembagian memiliki pengertian proses menceraikan menjadi beberapa bagian atau memecahkan (sesuatu) lalu memberikannya kepada pihak lain. Sedangkan kekuasaan adalah wewenang atas sesuatu atau untuk menentukan (memerintah, mewakili, mengurus, dsb) sesuatu.
                        Sehingga secara harfiah pemisahan kekuasaan adalah proses menceraikan wewenang yang dimiliki oleh Negara untuk (memerintah, mewakili, mengurus, dsb) menjadi beberapa bagian (legislatif, eksekutif, dan yudikatif) untuk diberikan kepada beberapa lembaga Negara untuk menghindari pemusatan kekuasaan (wewenang) pada satu pihak/ lembaga.
Sistem pemisahan kekuasaan di negara Republik Indonesia jelas dipengaruhi oleh ajaran Trias Politica yang bertujuan untuk memberantas tindakan sewenang-wenang penguasa dan untuk menjamin kebebasan rakyat. Sistem pemisahan kekuasaan di negara Republik Indonesia jelas dipengaruhi oleh ajaran Trias Politica yang bertujuan untuk memberantas tindakan sewenang-wenang penguasa dan untuk menjamin kebebasan rakyat.
Undang-undang Dasar 1945 menganut ajaran Trias Politica karena memang dalam UUD 1945 kekuasaan negara dipisah-pisahkan, dan masing-masing kekuasaan negara terdiri dari Badan legislatif, yaitu badan yang bertugas membentuk Undang-undang, Badan eksekutif yaitu badan yang bertugas melaksanakan undang-undang, Badan judikatif, yaitu badan yang bertugas mengawasi pelaksanaan Undang-undang, memeriksa dan megadilinya.


1.2       Rumusan Masalah

            Masalah yang di bahas dalam makalah ini adalah
1.      Apa pengertian dari pemisahan kekuasaan negara ?
2.      Apa saja teori pemisahan kekuasaan menurut John Locke ?
3.      Apa konsep Trias Politica Montesquieu ?
4.      Apa konsep pemisahan kekuasaan dan pembagian kekuasaan ?
5.      Bagaimana pembagian kekuasaan di Indonesia ?
6.      Bagaimana sistem pemisahan kekuasaan Negara Republik Indonesia menurut UUD 1945 ?

1.3       Tujuan Penulisan

            Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk :
1.      Memahami pengertian pemisahan kekuasaan negara
2.      Mengetahui dan memahami teori kekuasaan menurut John Locke
3.      Mengetahui dan memahami konsep Trias Politica Montesquieu
4.      Mengetahui dan memahami konsep pemisahan kekuasaan dan pembagian kekuasaan
5.      Memahami pembagian kekuasaan di Indonesia
6.      Memahami sistem pemisahan kekuasaan Negara Republik Indonesia menurut UUD 1945









BAB II

PEMBAHASAN


2.1       Pengertian Pemisahan Kekuasaan Negara

            Dalam sebuah praktek ketatanegaraan tidak jarang terjadi pemusatan kekuasaan pada satu tangan, sehingga terjadi pengelolaan sistem pemerintahan yang dilakukan secara absolut atau otoriter, sebut saja misalnya seperti dalam bentuk monarki dimana kekuasaan berada ditangan seorang raja. Maka untuk menghindari hal tersebut perlu adanya pembagian/pemisahan kekuasaan, sehingga terjadi kontrol dan keseimbangan diantara lembaga pemegang kekuasaan.
                        Pemisahan kekuasaan dalam arti material adalah pemisahan kekuasaan yang dipertahankan dengan jelas dalam tugas-tugas kenegaraan di bidang legislatif, eksekutif dan yudikatif. Sedangkan pemisahan dalam arti formal adalah pembagian kekuasaan yang tidak dipertahankan secara tegas. Prof.Dr. Ismail Suny, SH, MCL dalam bukunya “Pergeseran Kekuasaan Eksekutif” berkesimpulan bahwa pemisahan kekuasaan dalam arti material sepantasnya disebut separation of powers (pemisahan kekuasaan), sedangkan pemisahan kekuasaan dalam arti formal sebaiknya disebut division of powers (pembagian kekuasaan).
                        Suny juga berpendapat bahwa pemisahan kekuasaan dalam arti material hanya terdapat di Amerika Serikat, sedangkan di Inggris dan negara-negara Eropa Barat umumnya berlaku pemisahan kekuasaan dalam arti formal. Meskipun demikian, alat-alat perlengkapan negara tetap dapat dibedakan. Apabila dalam sistem Republik rakyat di negara-negara Eropa Timur dan Tengah sama sekali menolak prinsip pemisahan kekuasaan, maka UUD 1945 membagi perihal kekuasaan negara itu dalam alat-alat perlengkapan negara yang memegang ketiga kekuasaan itu tanpa menekankan pemisahannya.
            Pemisahan kekuasaan negara Indonesia bertujuan untuk mempermudah dalam pengaturan negara, setiap pejabat pemerintah mempunyai tugas yang sudah ditentukan dan disepakati oleh negara. Pemisahan kekuasaan ini diatur dari yang paling bawah hingga yang paling atas dalam suatu negara.
            Prof. Jennings membedakan antara pemisahan kekuasaan dalam arti materiil dan pemisahan kekuasaan dalam arti formal. Adapun yang dimaksudkannya dengan pemisahan kekuasaan dalam arti materiil ialah pemisahan kekuasaan dalam arti pembagian kekuasaan itu dipertahankan dengan tegas dalam tugas-tugas kenegaraan yang dengan jelas memperlihatkan adanya pemisahan kekuasaan itu kepada tiga bagian: legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Sedangkan yang dimaksudkannya dengan pemisahan kekuasaan dalam arti formal ialah jika pembagian kekuasaan itu tidak dipertahankan dengan tegas.
            Prof. Dr. Ismail Suny S.H., M.C.L. dalam bukunya yang berjudul Pergeseran kekuasaan Eksekutif mengambil kesimpulan, bahwa pemisahan kekuasaan dalam arti materiil sepantasnya disebut separation of powers (pemisahan kekuasaan), sedangkan dalam arti formal sebaiknya disebut division of power (pembagian kekuasaan). Ismail Suny juga berpendapat bahwa pemisahan kekuasan dalam arti materiil paling banyak hanya terdapat di Amerika Serikat, sedangkan di Inggris dan Uni Soviet terdapat pemisahan kekuasaan dalam arti formal. Dengan kata lain, di Amerika Serikat terdapat separation of power, sedangkan di Inggris dan Uni Soviet terdapat division of power.
            Pembagian kekuasaan terdiri dari dua kata, yaitu “pembagian” dan “kekuasaan”. Menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) pembagian memiliki pengertian proses menceraikan menjadi beberapa bagian atau memecahkan (sesuatu) lalu memberikannya kepada pihak lain. Sedangkan kekuasaan adalah wewenang atas sesuatu atau untuk menentukan (memerintah, mewakili, mengurus, dsb) sesuatu. Sehingga secara harfiah pembagian kekuasaan adalah proses menceraikan wewenang yang dimiliki oleh Negara untuk (memerintah, mewakili, mengurus, dsb) menjadi beberapa bagian (legislatif, eksekutif, dan yudikatif) untuk diberikan kepada beberapa lembaga Negara untuk menghindari pemusatan kekuasaan (wewenang) pada satu pihak/ lembaga.
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim memaknai pembagian kekuasaan berarti bahwa kekuasaan itu memang dibagi-bagi dalam beberapa bagian (legislatif, eksekutif dan yudikatif), tetapi tidak dipisahkan. Hal ini membawa konsekuensi bahwa diantara bagian-bagian itu dimungkinkan ada koordinasi atau kerjasama. Berbeda dengan pendapat dari Jimly Asshiddiqie yang mengatakan kekuasaan selalu harus dibatasi dengan cara memisah-misahkan kekuasaan ke dalam cabang-cabang yang bersifat checks dan balances dalam kedudukan yang sederajat dan saling mengimbangi serta mengendalikan satu sama lain, namun keduanya ada kesamaan, yaitu memungkinkan adanya koordinasi atau kerjasama.
            Selain itu pembagian kekuasaan baik dalam arti pembagian atau pemisahan yang diungkapkan dari keduanya juga mempunyai tujuan yang sama yaitu untuk membatasi kekuasaan sehingga tidak terjadi pemusatan kekuasaan pada satu tangan yang memungkinkan terjadinya kesewanang-wenangan.
Pada hakekatnya pembagian kekuasaan dapat dibagi ke dalam dua cara, yaitu :
§  Secara vertikal, yaitu pembagian kekuasaan menurut tingkatnya. Maksudnya pembagian kekuasaan antara beberapa tingkat pemerintahan, misalnya antara pemerintah pusat dengan dan pemerintah daerah dalam negara kesatuan, atau antara pemerintah federal dan pemerintah negara bagian dalam suatu suatu negara federal.
§  Secara horizontal, yaitu pembagian kekuasaan menurut fungsinya. Dalam pembagian ini lebih menitikberatkan pada pembedaan antara fungsi pemerintahan yang bersifat legislatif, eksekutif dan yudikatif.

2.2       Pemisahan Kekuasaan Menurut John Locke

            Teori Pemisahan Kekuasaan adalah menjadi kebiasaan di Eropa Barat untuk membagi tugas pemerintahan ke dalam Tiga Bidang Kekuasaan, diantaranya sebagai berikut:
1.      Kekuasaan Legislatif, kekuasaan untuk membuat undang-undang.
2.      kekuasaan Eksekutif, kekuasaan untuk menjalankan undang-undang.
3.      Kekuasaan Yudikatif, kekuasaan untuk mempertahankan undang-undang (kekuasaan untuk mengadili).

            Pemisahan ketiga kekuasaan ini sering kita temui dalam sistem ketatanegaraan di berbagai negara, walaupun batas pembagian itu tidak selalu sempurna, karena kadang-kadang satu sama lainnya tidak benar-benar terpisah, bahkan saling mempengaruhi. Orang yang mengemukakan teori pemisahan kekuasaan negara adalah John Locke dan Montesquieu. John Locke seorang ahli ketatanegaraan Inggris, ia adalah orang pertama yang dianggap membicarakan teori ini.
            John Locke, dalam bukunya yang berjudul “Two Treaties of Goverment” mengusulkan agar kekuasaan di dalam negara itu dibagi dalam organ-organ negara yang mempunyai fungsi yang berbeda-beda. Menurut beliau agar pemerintah tidak sewenang-wenang. Pendapat John Locke inilah yang mendasari muncul teori pembagian kekuasaan sebagai gagasan awal untuk menghindari adanya pemusatan kekuasaan (absolut) dalam suatu negara.
            Dalam bukunya yang berjudul Two Treatises on Civil Government (1690), John Locke memisahkan kekuasaan dari tiap-tiap negara dalam:
1.      Kekuasaan Legislatif, kekuasaan untuk membuat undang-undang.
2.      Kekuasaan Eksekutif, kekuasaan untuk melaksanakan undang-undang.
3.      Kekuasaan Federatif, kekuasaan mengadakan perserikatan dan aliansi serta segala tindakan dengan semua orang dan badan-badan di luar negeri.

            Menurut John Locke, ketiga kekuasaan ini harus dipisahkan satu dari yang lainnya. Setengah abad kemudian dengan diilhami oleh pembagian kekuasaan dari John Locke, Montesquieu (1689-1755) seorang pengarang, ahli politik dan filsafat Prancis menulis sebuah buku yang berjudul L’Esprit des lois (Jiwa Undang-undang) yang diterbitkan di Jenewa pada tahun 1748 (2 jilid).
            Dalam hasil karya ini Montesquieu menulis tentang Konstitusi Inggris, yang antara lain mengatakan, bahwa dalam setiap pemerintahan terdapat 3 jenis kekuasaan yang diperincinya dalam: kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan Yudikatif. Ketiga kekuasaan ini melaksanakan semata-mata dan selengkap-lengkapnya kekuasaan yang ditentukan padanya masing-masing.
            Menurut Montesquieu dalam suatu sistem pemerintahan negara, ketiga jenis kekuasaan itu harus terpisah, baik mengenai fungsi (tugas) maupun mengenai alat kelengkapan (organ) yang melaksanakan:
1.      Kekuasaan Legislatif, dilaksanakan oleh suatu badan perwakilan rakyat (parlemen).
2.      Kekuasaan Eksekutif, dilaksanakan oleh pemerintah (presiden atau raja dengan bantuan menteri-menteri atau kabinet).
3.      Kekuasaan Yudikatif, dilaksanakan oleh badan peradilan (Mahkamah Agung dan pengadilan bawahannya).

2.3       Konsep Trias Politica Montesquieu

            Menurut Montesquieu seorang pemikir berkebangsaan Perancis mengemukakan teorinya yang disebut trias politica. Dalam bukunya yang berjudul “L’esprit des Lois” pada tahun 1748 menawarkan alternatif yang agak berbeda dari pendapat John Locke.
            Menurut Montesquieu untuk tegaknya negara demokrasi perlu diadakan pemisahan kekuasaan negara ke dalam 3 organ, yaitu:
1.      Kekuasaan Legislatif (membuat undang-undang).
2.      Kekuasaan Eksekutif (melaksanakan undang-undang).
3.      Kekuasaaan yudikatif (mengadili bila terjadi pelanggaran atas undang-undang).
            Konsep yang dikemukakan oleh John Locke dengan konsep yang dikemukakan oleh Montesquieu pada dasarnya memiliki perbedaan, yaitu:
·         Menurut John Locke kekuasaan eksekutif merupakan kekuasaan yang mencakup kekuasaan        yuikatif karena mengadili itu berarti melaksanakan undang-undang, sedangkan kekuasaan federatif (hubungan luar negeri) merupakan kekuasaan yang berdiri sendiri.
·         Menurut Montesquieu kekuasaan eksekutif mencakup kekuasaan ferderatif karena melakukan hubungan luar negeri itu termasuk kekuasaan eksekutif, sedangkan kekuasaan yudikatif harus merupakan kekuasaan yang berdiri sendiri dan terpisah dari eksekutif.
·         Pada kenyataannya ternyata, sejarah menunjukkan bahwa cara pembagian kekuasaan yang           dikemukakan Montesquieu yang lebih diterima. Kekuasaan ferderatif diberbagai negara sekarang ini dilakukan oleh eksekutif melalui Departemen Luar Negerinya masing-masing.
                        Seperti halnya dalam praktek ketatanegaraan Indonesia selama ini. Mengenai pembagian kekuasaan seperti yang dikemukakan Montesquieu, yang membagi kekuasaan itu menjadi tiga kekuasaan, yaitu: legislatif, eksekutif, dan yudikatif, Jimly Asshiddiqie menjelaskan lagi mengenai cabang-cabang dari kekuasaan-kekuasaan itu.
            Cabang kekuasaan legislatif terdiri dari:
·         Fungsi Pengaturan (Legislasi).
·         Fungsi Pengawasan (Control).
·         Fungsi Perwakilan (Representasi).Fungsi Pengaturan (Legislasi).
Kekuasaan Eksekutif juga mempunyai cabang kekuasaan yang meliputi :
·           Sistem Pemerintahan.
·           Kementerian Negara.
Begitu juga dengan kekuasaan Yudikatif mempunyai cabang kekuasaan sebagai berikut:
·         Kedudukan Kekuasaan Kehakiman.
·         Prinsip Pokok Kehakiman.
·         Struktur Organisasi Kehakiman

            Jadi menurut Jimly Asshiddiqie kekuasaan itu masing-masing mempunyai cabang kekuasaan sebagai bagian dari kekuasaan yang dipegang oleh lembaga negara dalam penyelenggaraan negara. Isi ajaran Montesquieu ini adalah mengenai pemisahan kekuasaan negara (the separation of power) yang lebih terkenal dengan istilah Trias Politica istilah yang diberikan oleh immanuel Kant.
Keharusan pemisahan kekuasaan negara menjadi tiga jenis itu adalah agar tindakan sewenang-wenang oleh raja dapat dihindarkan. Isi ajaran Montesquieu berpangkal pada pemisahan kekuasaan negara (separation of powers) yang terkenal dengan istilah “Trias Politica”. Keharusan pemisahan kekuasaan negara menjadi tiga jenis itu adalah untuk membendung kesewenang-wenangan raja.
            Kekuasaan membuat undang-undang (legislatif) harus dipegang oleh badan yang berhak khusus untuk itu. Dalam negara demokratis, kekuasaan tertinggi untuk menyusun undang-undang itu sepantasnya dipegang oleh badan perwakilan rakyat. Sedangkan kekuasaan melaksanakan undang-undang harus dipegang oleh badan lain, yaitu badan eksekutif. Dan kekuasaan yudikatif (kekuasaan yustisi, kehakiman) adalah kekuasaan yang berkewajiban memertahankan undang-undang dan berhak memberikan peradilan kepada rakyat.
            Badan yudikatiflah yang berkuasa memutuskan perkara, menjatuhkan hukuman terhadap setiap pelanggaran undang-undang yang telah diadakan oleh badan legislatif dan dilaksanakan oleh badan eksekutif. Walaupun para hakim pada umumnya diangkat oleh kepala negara (eksekutif), mereka berkedudukan istimewa, tidak diperintah oleh kepala negara yang mengangkatnya dan bahkan berhak menghukum kepala negara jika melakukan pelanggaran hukum.
            Inilah perbedaan mendasar pandangan Montesquieu dan John Locke yang memasukkan kekuasaan yudikatif ke dalam kekuasasan eksekutif. Montesquieu memandang badan peradilan sebagai kekuasaan independen. Kekuasaan federatif menurut pembagian John Locke justru dimasukkan Montesquieu sebagai bagian dari kekuasaan eksekutif.
            Istilah Trias Politica berasal dari bahasa Yunani yang artinya “Politik Tiga Serangkai”. Menurut ajaran Trias Politica dalam tiap pemerintahan negara harus ada tiga jenis kekuasaan yang tidak dapat dipegang oleh satu tangan saja, melainkan masing-masing kekuasaan itu harus terpisah.Ajar Trias Politica ini nyata-nyata bertentangan dengan kekuasaan yang bersimaharajalela pada zaman Feodalisme dalam abad pertengahan. Pada zaman itu yang memegang ketiga kekuasaan dalam negara ialah seorang raja, yang membuat sendiri undang-undang, menjalankannya, dan menghukum segala pelanggaran atas undang-undang yang dibuat dan dijalankan oleh raja tersebut.
            Monopoli atas ketiga kekuasaan tersebut dapat dibuktikan dalam semboyan Raja Louis XIV “L’Etat Cest moi” (negara adalah saya), kekuasaannya berlangsung hingga permulaan abad XVII. Setelah pecah Revolusi Prancis pada tahun 1789, barulah paham tentang kekuasaan yang tertumpuk ditangan raja menjadi lenyap. Ketika itu pula timbul gagasan baru mengenai pemisahan kekuasaan yang dipelopori oleh Montesquieu.
Pada intinya, ajaran Trias Politica isinya adalah sebagai berikut:
·         Kekuasaan Legislatif (Legislative Powers)
            Kekuasaan untuk membuat undang-undang harus terletak dalam suatu badan yang memiliki wewenang khusus untuk itu. Jika penyusunan undang-undang tidak diletakkan pada suatu badan tertentu, maka memungkinkan tiap golongan atau tiap orang mengadakan undang-undang untuk kepentingannya sendiri.
            Di dalam negara demokrasi yang peraturan perundangan harus berdasarkan kedaulatan rakyat, maka badan perwakilan rakyat harus dianggap sebagai badan yang mempunyai kekuasaan tertinggi untuk menyusun undang-undang, badan inilah yang disebut legislatif. Legislatif penting sekali dalam susunan kenegaraan, karena undang-undang ibarat tiang yang menegakkan hidup perumahan negara dan sebagai alat yang menjadi pedoman hidup bagi masyarakat dan negara.
            Sebagai badan pembentuk undang-undang, maka legislatif hanya berhak untuk membentuk undang-undang saja, tidak boleh melaksanakannya. Untuk menjalankan undang-undang itu harus diserahkan kepada suatu badan lain. Yaitu badan yang memiliki kekuasaan untuk melaksanakan undang-undang atau “Eksekutif”.
·        Kekuasaan Eksekutif (Executive Powers)
            Kekuasaan menjalankan undang-undang itu dipegang oleh kepala negara. Kepala negara tentu tidak dapat dengan sendirinya menjalankan segala undang-undang ini. Oleh karena itu, kekuasaan kepala negara dilimpahkannya (didelegasikan) kepada pejabat-pejabat pemerintah/negara yang bersama-sama dalam suatu badan pelaksana undang undang (badan eksekutif). Badan inilah yang berkewajiban menjalankan kekuasaan legislatif.
·         Kekuasan Yudikatif atau kekuasaan kehakiman (Judicative Powers)
            Kekuasaan Yudikatif atau kekuasaan yustisi (kehakiman) ialah kekuasaan yang berkewajiban mempertahankan undang-undang dan berhak untuk memberikan peradilan kepada rakyat. Badan Yudikatiflah yang berkuasa memutuskan perkara, menjatuhi hukuman terhadap setiap pelanggaran undang-undang yang telah diadakan dan dijalankan. Walaupun para hakim biasanya diangkat oleh kepala negara (Eksekutif) tetapi mereka mempunyai kedudukan yang istimewa dan mempunyai hak tersendiri, karena ia tidak diperintah oleh kepala negara yang mengangkatnya, bahkan ia adalah badan yang berhak menghukum kepala negara, jika melanggar hukum.
· Kecaman Terhadap Montesquieu
            Pendapat Montesquieu bertentangan dengan kenyataan yang berlaku di Inggris pada masa itu. Pada tahun 1732, ketika Montesquieu berada di Inggris, dinegara ini terdapat lebih banyak kebebasan jika dibandingkan dengan banyak negara lainnya di Eropa. Perlu diketahui, sekitar tahun 1732 itu Montesquieu sedang mengembara meninggalkan tanah airnya, Prancis, yang sedang menentang despotisme (pemerintahan yang lalim) dari Raja Louis XIV. Oleh karena itu, jika ia menulis tentang negara Inggris yang agak berlainan dengan keadaan yang sebenarnya berlaku di Inggris, maka latar belakangnya ialah bahwa Montesquieu sendiri ingin menggulingkan kekuasaan absolut yang pada waktu itu berlaku di Prancis.
            Seorang ahli konstitusi yang pernah turut serta dalam pembuatan beberapa konstitusi dari bekas jajahan Inggris di Asia Tenggara yaitu Sir Ivor Jennings, dalam bukunya yang berjudul The Law and Constitution, membantah pendapat Montesquieu memang tak pernah berlaku dalam sistem pemerintahan Inggris yang parlementer. Selain menyangga pendapat Montesquieu mengenai berlakunya perinsip Trias Politica dalam sistem ketatanegaraan Inggris, Prof. Jennings juga memberikan lebih lanjut tentang pemisahan kekuasaan (the separation of powers).
            Akan tetapi, walaupun Trias Politica ini dinegara-negara lainnya tidak dilaksanakan secara konsekuen seperti halnya di Amerika Serikat, namun alat-alat perlengkapan dari negara-negara yang melaksanakan tugas-tugas ini dapat dibeda-bedakan. Apabila dalam sistem republik, rakyat di Eropa Timur dan Tengah menolak sama sekali prinsip pemisahan kekuasaan, maka UUD 1945 membagi dalam pasal-pasal tersendiri mengenai tiap-tiap kelengkapan negara yang tiga itu, tetapi dengan tidak menekankan kepada pemisahannya.
           

2.4       Konsep Pemisahan Kekuasaan dan Pembagian Kekuasaan

            Seiring dengan perkembangan zaman dan ilmu pengetahuan kehidupan bernegara mengalami banyak perubahan. Konsep negara mulai mengalami pergeseran yang pada awalnya negara merupakan negara yang berdasarkan pada kekuasan beralih pada konsep negara yang mendasarkan atas hukum (rechtstaat). Para ahli sepakat bahwa salah satu ciri dari sebuah negara hukum adalah adanya konsep pembatasan kekuasaan. Pembatasan kekuasaan menjadi syarat mutlak sebuah negara hukum yang demokratis. Adanya pembatasan kekuasaan sebagai perwujudan prinsip konstitusionalisme yang melindungi hak-hak rakyat.
            Konsep pemisahan kekuasaan lahir dari keinginan membatasi kekuasaan para raja yang bersifat absolut di Eropa. Ide mengenai pembatasan kekuasaan ini dihembuskan oleh John Locke dan Montesquieu. Montesquieu menggambarkan konsep pemisahan kekuasaan (Trias Politica) yang berlaku di Inggris meliputi kekuasaan Raja (eksekutif), Parlemen (legislatif), dan Majelis (judikatif).
            Montesquieu menilai kekuasaan raja sangat tumpang tindih dan dapat melakukan kewenangan apapun. Sehingga konsep pemisahan kekuasaan menurut hematnya harus dilaksanakan secara tegas, kaku, dan mutlak. Pandangan ini sesungguhnya bukan untuk membatasi kekuasaan secara mutlak melainkan mencegah adanya kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh salah satu cabang kekuasaan.
            Pemikir Inggris John Locke mengemukakan konsepnya mengenai pemisahan kekuasaan dalam bukunya Two Treaties on Civil Government. Menurut Locke kekuasaan negara dibagi menjadi tiga yakni: kekuasaan legislatif (membuat peraturan undang-undang), kekuasaan eksekutif (melaksanakan undang-undang yang di dalamnya termasuk kekuasaan mengadili), dan kekuasaan federatif (kekuasaan yang meliputi segala tindakan untuk mengamankan negara). 
            Sedangkan Van Vollenhoven membagi fungsi kekuasaan negara menjadi empat bagian yang dikenal dengan “catur praja”, yakni:
1.      Regeling (fungsi legislatif);
2.      Bestuur (fungsi eksekutif);
3.      Rechtspraak (fungsi judikatif); dan
4.      Politie (fungsi keamanan dan ketertiban negara)

            Ketiga kekuasaan tersebut (eksekutif, judikatif, dan legislatif) secara ideal melakukan sinergi sehingga akan menciptakan pemerintahan yang demokratis dan equal. Akan kurang tepat ketika kita memandang konsep trias politika sebagai konsep pemisahan kekuasaan. Hal ini dapat menimbulkan penafsiran yang berbahaya ketika masing-masing cabang kekuasan merasa mandiri dan dapat berubah menjadi superioritas antar lembaga. Pada akhirnya akan menciptakan absolutisme baru di tiap lembaga.
            Istilah yang digunakan dalam bahasa indonesia sebagai penerjemahan konsep trias politika adalah pemisahan kekuasaan. Namun jika kita menilik pada pelaksanaan trias politica sebagai yang dicitakan ideal oleh Montesquieu di Inggris ternyata tiap-tiap kekuasaan tidak dapat terpisah. Akan lebih tepat jika konsep ini disebut sebagai pembagian kekuasaan (distribution of power). Sebab tak ada kekuasaan yang berdiri sendiri. Kekuasaan eksekutif pun memiliki kekuasaan legislatif maupun judikatif. 
            Sebagaimana dinyatakan oleh Kelsen yang hanya melihat pelaksanaan kekuasan dalam pemerintahan hanya ada dua yakni membentuk undang-undang dan menjalankan undang. Kekuasaan yang ada tidak dipisahkan melainkan didistribusikan ke tiap-tiap cabang kekuasaan. Setiap cabang kekuasaan menjalankan tugas dan fungsi masing-masing tanpa harus menimbulkan absolutisme di tiap cabang. Seperti yang diberlakukan di Amerika, separation of power antara presiden, supreme court, dan senat.
            Pemisahan kekuasaan juga disebut dengan istilah trias politica adalah sebuah ide bahwa sebuah pemerintahan berdaulat harus dipisahkan antara dua atau lebih kesatuan kuat yang bebas, mencegah satu orang atau kelompok mendapatkan kuasa yang terlalu banyak. Pemisahan kekuasaan merupakan suatu cara pembagian dalam tubuh pemerintahan agar tidak ada penyalahgunaan kekuasaan, antara legislatif, eksekutif dan yudikatif. Pemisahan kekuasaan juga merupakan suatu prinsip normatif bahwa kekuasaan-kekuasaan itu sebaiknya tidak diserahkan kepada orang yang sama, untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa. Contoh negara yang menerapkan pemisahan kekuasaan ini adalah Amerika Serikat.

2.5       Pembagian Kekuasaan di Indonesia

            Dalam ketatanegaraan Indonesia sendiri, istilah “pemisahan kekuasaan” (separation of power) itu sendiri cenderung dikonotasikan dengan pendapat Montesquieu secara absolut. Konsep pemisahan kekuasaan tersebut dibedakan secara diametral dari konsep pembagian kekuasaan (division of power) yang dikaitkan dengan sistem supremasi MPR yang secara mutlak menolak ide pemisahan kekuasaan ala trias politica Monstesquieu.
            Dalam sidang-sidang BPUPKI 1945, Soepomo misalnya menegaskan bahwa UUD 1945 tidak menganut doktrin trias politica dalam arti paham pemisahan kekuasaan, melainkan menganut sistem pembagian kekuasaan. Di sisi lain Jimly Asshiddiqie, berpendapat bahwa setelah adanya perubahan UUD 1945 selama empat kali, dapat dikatakan sistem konstitusi kita telah menganut doktrin pemisahan itu secara nyata.
Beberapa yang mendukung hal itu antara lain adalah :
·         adanya pergeseran kekuasaan legislatif dari tangan Presiden ke DPR.
·         diadopsinya sistem pengujian konstitusional atas undang-undang sebagai produk legislatif oleh Mahkamah Konstitusi. Dimana sebelumnya undang-undang tidak dapat diganggu gugat, hakim hanya dapat menerapkan undang-undang dan tidak boleh menilai undang-undang.
·         diakui bahwa lembaga pelaksana kedaulatan rakyat itu tidak hanya MPR, melainkan semua lembaga negara baik secara langsung atau tidak langsung merupakan penjelmaan kedaulatan rakyat.
·         MPR tidak lagi berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara, namun sebagai lembaga negara yang sederajat dengan lembaga negara lainnya.
·         hubungan-hubungan antar lembaga negara itu bersifat saling mengendalikan satu sama lain sesuai dengan prinsip checks and balances.

            Jadi berdasarkan kelima alasan tersebut, maka UUD 1945 tidak lagi dapat dikatakan menganut prinsip pembagian kekuasaan yang bersifat vertikal maupun menganut ajaran trias politica Montesquieu yang memisahkan cabang-cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif secara mutlak dan tanpa diiringi oleh hubungan yang saling mengendalikan satu sama lain. Dengan perkataan lain, sistem baru yang dianut oleh UUD 1945 pasca perubahan keempat adalah sistem pemisahan kekuasaan berdasarkan prinsip checks and balances, sehingga masih ada koordinasi antar lembaga negara.

·         Latar Belakang Checks and Balances di Indonesia
            Penyelenggaraan kedaulatan rakyat sebelum perubahan UUD 1945 melalui sistem MPR dengan prinsip terwakili telah menimbulkan kekuasaan bagi presiden yang demikian besar dalam segala hal termasuk pembentukan MPR. Periode orde lama (1959-1965), seluruh anggota MPR(S) dipilih dan diangkat langsung oleh Presiden. Tidak jauh berbeda pula pada masa orde baru (1966-1998) dari 1000 orang jumlah anggota MPR, 600 orang dipilih dan ditentukan oleh Presiden. Hal tersebut menunjukan bahwa pada masa-masa itu MPR seakan-akan hanya menjadi alat untuk mempertahankan penguasa pemerintahan (presiden), yang mana pada masa itu kewenangan untuk memilih dan mengangkat Presiden dan/ atau Wakil Presiden berada di tangan MPR.
            Padahal MPR itu sendiri dipilih dan diangkat oleh Presiden sendiri, sehingga siapa yang menguasai suara di MPR maka akan dapat mempertahankan kekuasaannya. Pengangkatan anggota MPR dari unsur Utusan Daerah dan unsur Utusan Golongan bagi pembentukan MPR dalam jumlah yang demikian besar juga dapat dilihat sebagai penyimpangan konstitusional, karena secara logika dalam hal kenyataan juga terlihat wakil yang diangkat akan patuh dan loyal kepada pihak yang mengangkatnya, sehingga wakil tersebut tidak lagi mengemban kepentingan daerah atau golongan yang diwakilinya.
            Akibatnya adalah wakil-wakil yang diangkat itu tidak lagi memiliki hubungan dengan yang diwakilinya. Namun terkait dengan hal itu, Presiden sendiri merupakan mandataris MPR yang harus bertanggung jawab kepadanya. Berdasarkan hal tersebut maka hubungan antara MPR dengan Presiden sangat sulit dilihat sebagai hubungan vertikal atau horizontal, jika terlepas dari MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara dan Presiden sebagai Lembaga Negara yang jelas mempunyai hubungan vertikal. Maka idealnya seluruh anggota MPR itu diplih rakyat melalui Pemilu.
            Dan di sisi lain sesuai dengan ketentuan UUD 1945, keberadaan MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara, dianggap sebagai pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakayat. Konstruksi ini menunjukkan bahwa MPR merupakan Majelis yang mewakili kedudukan rakyat sehingga menjadikan lembaga tersebut sebagai sentral kekuasaan, yang mengatasi cabang-cabang kekuasaan lainnya. Adanya satu lembaga yang berkedudukan paling tinggi membawa konsekuensi seluruh kekuasaan lembaga-lembaga penyelenggara negara yang berada di bawahnya harus bertanggung jawab kepada MPR. Akibatnya konsep keseimbangan antara elemen-elemen penyelenggara negara atau sering disebut checks and balances system antar lembaga tinggi negara tidak dapat dijalankan.
Pada sistem MPR tersebut, juga menimbulkan kekuasaan bagi presiden yang demikian besar dalam pembentukan undang-undang (fungsi Legislasi) yang seharusnya dipegang DPR. Hal tersebut dapat dilihat dari rumusan pasal 5 ayat (1) naskah asli UUD 1945 yang berbunyi: “Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”. Berdasarkan rumusan tersebut, dapat dilihat bahwa MPR mendistribusikan kekuasaan membentuk undang-undang kepada Presiden, atau setidaknya memberikan kewenangan yang lebih kepada Presiden dalam fungsi legislasi dari pada DPR. Karena keadaan yang demikian sehingga pengawasan dan keseimbangan antar lembaga tinggi negara sangat lemah sekali.
Orde reformasi yang dimulai pada bulan Mei 1998, yang terjadi karena berbagai krisis, baik krisis ekonomi, politik maupun moral. Gerakan reformasi itu membawa berbagai tuntutan, diantaranya adalah Amandemen UUD 1945, penghapusan doktrin dwi fungsi ABRI, penegakan hukum, HAM, dan pemberantasan KKN, serta mewujudkan kehidupan yang demokratis. Tuntutan itu muncul karena masyarakat menginginkan perubahan dalam sistem dan struktur ketatanegaraan Indonesia untuk memuwujdkan pemerintahan negara yang demokratis dengan menjamin hak asasi warga negaranya.
            Hasil nyata dari reformasi adalah dengan adanya perubahan UUD 1945 yang dilatar belakagi dengan adanya beberapa alasan, yaitu:
·         Kekuasaan tertinggi di tangan MPR.
·         Kekuasaan yang sangat besar pada Presiden.
·         Pasal-pasal yang sifatnya terlalu “luwes” sehingga dapat menimbulkan multi tafsir.
·         Kewenangan pada Presiden untuk mengatur hal-hal penting dengan undang-undang.
·         Rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggaraan negara belum cukup didukung ketentuan konstitusi.

Hal-hal tersebut merupakan penyebab mengapa keseimbangan dan pengawasan terhadap lembaga penyelenggara negara dianggap sangat kurang (checks and balances system) tidak dapat berjalan sehingga harus dilakukan Perubahan UUD 1945 untuk mengatasi hal tersebut.
Perubahan UUD 1945 yang terjadi selama empat kali yang berlangsung secara berturutan pada tahun 1999, 2000, 2001 dan 2002 telah membawa dampak yang besar terhadap stuktur ketatanegaraan dan sistem penyelenggaraan negara yang sangat besar dan mendasar.
Perubahan itu diantara adalah menempatkan MPR sebagai lembaga negara yang mempunyai kedudukan yang sederajat dengan Lembaga Negara lainnya tidak lagi sebagai Lembaga Tertinggi Negara, pergeseran kewenangan membentuk undang-undang dari Presiden kepada DPR, pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung, mempetegas penerapan sistem presidensiil, pengaturan HAM, munculnya beberapa lembaga baru seperti Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial, dan lain sebagainya.
Terkait dengan perubahan kedudukan MPR setelah adanya Perubahan UUD 1945 Abdy Yuhana menjelaskan bahwa berdasarkan rumusan dari ketentuan Pasal 1 Ayat (2) UUD Negara RI Tahun 1945 yang berbunyi “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar” yang merupakan perubahan terhadap ketentuan Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 sebelumnya yang berbunyi “Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”.
            Dari hasil perubahan tersebut dapat dilihat bahwa konsep kedaulatan rakyat dilakukan oleh suatu Lembaga Tertinggi Negara, yaitu MPR yang dianggap sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia, sekarang melalui ketentuan tersebut telah dikembalikan kepada kepada rakyat untuk dilaksanakan sendiri. Konsekuensi dari ketentuan baru itu adalah hilangnya Lembaga Tertinggi Negara MPR yang selama ini dipandang sebagai pemegang sepenuhnya kedaulatan rakyat. Hal ini merupakan suatu perubahan yang bersifat fundamental dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, dengan begitu maka prinsip supremasi MPR telah berganti dengan prinsip keseimbangan antar lembaga negara (checks and balances).
            Rumusan tersebut juga memang sengaja dibuat sedemikian rupa untuk membuka kemungkinan diselenggarakannya pemilihan presiden secara langsung, agar sesuai dengan kehendak untuk menerapkan sistem pemerintahan presidensial. Ni’matul Huda juga berpendapat bahwa dengan adanya pergeseran kewenangan membentuk undang-undang itu, maka sesungguhnya ditinggalkan pula teori “pembagian kekuasaan” (distribution of power) dengan prinsip supremasi MPR menjadi “pemisahan kekuasaan” (seperation of power) dengan prinsip checks and balances sebagai ciri melekatnya.
            Hal ini juga merupakan penjabaran lebih jauh dari kesepakatan untuk memperkuat sistem presidensial. Dari dua pendapat tersebut maka dapat simpulkan bahwa Negara Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 hasil perubahan telah menganut teori “pemisahan kekuasaan” (seperation of power) untuk menjamin prinsip checks and balances demi tercapainya pemerintahan yang demokratis yang merupakan tuntutan dan cita-cita reformasi.

2.6 Sistim PemIsahan Kekuasaan Negara Republik Indonesia Menurut UUD 1945

Pembagian kekuasaan pemerintahan seperti didapat garis-garis besarnya dalam susunan ketatanegaraan menurut Undang-Undang Dasar 1945 adalah bersumber kepada susunan ketatanegaraan Indonesia asli, yang dipengaruhi besar oleh pikiran-pikiran falsafah negara Inggris, Perancis, Arab, Amerika Serikat dan Soviet Rusia. Aliran pikiran itu oleh Indonesia dan yang datang dari luar, diperhatikan sungguh-sungguh dalam pengupasan ketatanegaraan ini, semata-mata untuk menjelaskan pembagian kekuasaan pemerintahan menurut konstitusi proklamasi.
Pembagian kekuasaan pemerintah Republik Indonesia 1945 berdasarkan ajaran pembagian kekuasaan yang dikenal garis-garis besarnya dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia; tetapi pengaruh dari luar; diambil tindakan atas tiga kekuasaan, yang dinamai Trias Politica, seperti dikenal dalam sejarah kontitusi di Eropa Barat dan amerika Serikat.
            Sistem ketatanegaraan Republik Indonesia menurut UUD 1945, tidak menganut suatu sistem negara manapun, tetapi adalah suatu sistem khas menurut kepribadian bangsa indonesia, namun sistem ketatanegaraan Republik indonesia tidak terlepas dari ajaran Trias Politica Montesquieu. Ajaran trias politica tersebut adalah ajaran tentang pemisahan kekuasaan negara menjadi tiga yaitu Legislatif, Eksekutif, dan Judikatif  yang kemudian masing-masing kekuasaan tersebut dalam pelaksanaannya diserahkan kepada satu badan mandiri, artinya masing-masing badan itu satu sama lain tidak dapat saling mempengaruhi dan tidak dapat saling meminta pertanggung jawaban.
Apabila ajaran trias politika diartikan suatu ajaran pemisahan kekuasaan maka jelas Undang-undang Dasar 1945 menganut ajaran tersbut, oleh karena memang dalam UUD 1945 kekuasaan negara dipisah-pisahkan, dan masing-masing kekuasaan negara tersebut pelaksanaannya diserahkan kepada suatu alat perlengkapan negara. Susunan organisasi negara adalah alat-alat perlengkapan negara atau lembaga-lembaga negara yang diatur dalam UUD 1945 baik baik sebelum maupun sesudah perubahan.

Susunan organisasi negara yang diatur dalam UUD 1945 sebelum perubahan yaitu :
·         Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
·         Presiden
·         Dewan Pertimbagan Agung (DPA)
·         Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
·         Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
·         Mahkmah Agung (MA
Badan-badan kenegaraan itu disebut lembaga-lembaga Negara. Sebelum perubahan UUD 1945 lembaga-lembaga Negara tersebut diklasifikasikan, yaitu MPR adalah lembaga tertinggi Negara, sedangkan lembaga-lembaga kenegaraan lainnya seperti presiden, DPR, BPK, DPA dan MA disebut sebagai lembaga tinggi Negara.
Sementara itu menurut hasil perubahan lembaga-lembaga negara yang terdapat dalam UUD 1945 adalah sebagai berikut:
·         Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
·         Presiden
·         Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
·         Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
·         Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
·         Mahkmah Agung (MA)
·         Mahkamah Konstitusi (MK)

Secara institusional, lembaga-lembaga negara merupakan lembaga kenegaraan yang berdiri sendiri yang satu tidak merupakan bagian dari yang lain. Akan tetapi, dalam menjalankan kekuasaan atau wewenangnya, lembaga Negara tidak terlepas atau terpisah secara mutlak dengan lembaga negara lain, hal itu menunjukan bahwa UUD 1945 tidak menganut doktrin pemisahan kekuasaan.
            Dengan perkataan lain, UUD 1945 menganut asas pembagian kekuasaan dengan menunjuk pada jumlah badan-badan kenegaraan yang diatur didalamnya serta hubungan kekuasaan diantara badan-badan kenegaraan yang ada, yaitu;

A. Sebelum Perubahan
·         MPR, sebagai pelaksana kedaulatan rakyat, mempunyai kekuasaan untuk menetapkan UUD, GBHN, memilih Presiden dan Wakil Presiden serta mengubah UUD
·         Presiden, yang berkedudukan dibawah MPR, mempunyai kekuasaan yang luas yang dapat digolongkan kedalam beberapa jenis:
·         Kekuasaan penyelenggaran pemerintahan;
·         Kekuasaan didalam bidang perundang undangan, menetapakn PP, Perpu;
·         Kekuasaan dalam bidang yustisial, berkaitan dengan pemberian grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi;
·         Kekuasaan dalam bidang hubungan luar negeri, yaitu menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain, mengangkat duta dan konsul.
·         DPR, sebagai pelaksana kedaulatan rakyat mempunyai kekuasaan utama, yaitu kekuasaan membentuk undang-undang (bersama-sama Presiden dan mengawasi tindakan presiden.
·         DPA, yang berkedudukan sebagai badan penasehat Presiden, berkewajiban memberikan jawaban atas pertanyaan presiden dan berhak mengajukan usul kepada pemerintah
·         BPK, sebagai “counterpart” terkuat DPR, mempunyai kekuasaan untuk memeriksa tanggung jawab keuangan Negara dan hasil pemeriksaannya diberitahukan kepada DPR.
·         MA, sebagai badan kehakiman yang tertinggi yang didalam menjalankan tugasnya tidak boleh dipengaruhi oleh kekuasaan pemerintah.

B. Setelah Perubahan
·         MPR, Lembaga tinggi negara sejajar kedudukannya dengan lembaga tinggi negara lainnya seperti Presiden, DPR, DPD, MA, MK, BPK, menghilangkan kewenangannya menetapkan GBHN, menghilangkan kewenangannya mengangkat Presiden (karena presiden dipilih secara langsung melalui pemilu), tetap berwenang menetapkan dan mengubah UUD, susunan keanggotaanya berubah, yaitu terdiri dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan angota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih secara langsung melalui pemilu.
·         DPR, Posisi dan kewenangannya diperkuat, mempunyai kekuasan membentuk UU (sebelumnya ada di tangan presiden, sedangkan DPR hanya memberikan persetujuan saja) sementara pemerintah berhak mengajukan RUU, Proses dan mekanisme membentuk UU antara DPR dan Pemerintah, Mempertegas fungsi DPR, yaitu: fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan sebagai mekanisme kontrol antar lembaga negara.
·         DPD, Lembaga negara baru sebagai langkah akomodasi bagi keterwakilan kepentingan daerah dalam badan perwakilan tingkat nasional setelah ditiadakannya utusan daerah dan utusan golongan yang diangkat sebagai anggota MPR, keberadaanya dimaksudkan untuk memperkuat kesatuan negara Republik Indonesia, dipilih secara langsung oleh masyarakat di daerah melalui pemilu, mempunyai kewenangan mengajukan dan ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, RUU lain yang berkait dengan kepentingan daerah.
·         BPK, Anggota BPK dipilih DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD, berwenang mengawasi dan memeriksa pengelolaan keuangan negara (APBN) dan daerah (APBD) serta menyampaikan hasil pemeriksaan kepada DPR dan DPD dan ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum, berkedudukan di ibukota negara dan memiliki perwakilan di setiap provinsi, mengintegrasi peran BPKP sebagai instansi pengawas internal departemen yang bersangkutan ke dalam BPK.
·         Presiden, Membatasi beberapa kekuasaan presiden dengan memperbaiki tata cara pemilihan dan pemberhentian presiden dalam masa jabatannya serta memperkuat sistem pemerintahan presidensial, Kekuasaan legislatif sepenuhnya diserahkan kepada DPR, Membatasi masa jabatan presiden maksimum menjadi dua periode saja, Kewenangan pengangkatan duta dan menerima duta harus memperhatikan pertimbangan DPR, kewenangan pemberian grasi, amnesti dan abolisi harus memperhatikan pertimbangan DPR, memperbaiki syarat dan mekanisme pengangkatan calon presiden dan wakil presiden menjadi dipilih secara langsung oleh rakyat melui pemilu, juga mengenai pemberhentian jabatan presiden dalam masa jabatannya.
·         Mahkmah Agung, Lembaga negara yang melakukan kekuasaan kekuasaan kehakiman, yaitu kekuasaan yang menyelenggarakan peradilan untuk menegakkan hukum dan keadilan [Pasal 24 ayat (1)], berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peaturan perundang-undangan di bawah Undang-undang dan wewenang lain yang diberikan Undang-undang.di bawahnya terdapat badan-badan peradilan dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan militer dan lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN), badan-badan lain yang yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam Undang-undang seperti : Kejaksaan, Kepolisian, Advokat/Pengacara dan lain-lain.
·         Mahkamah Konstitusi, Keberadaanya dimaksudkan sebagai penjaga kemurnian konstitusi (the guardian of the constitution), Mempunyai kewenangan: Menguji UU terhadap UUD, Memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, memutus sengketa hasil pemilu dan memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh presiden dan atau wakil presiden menurut UUD, Hakim Konstitusi terdiri dari 9 orang yang diajukan masing-masing oleh Mahkamah Agung, DPR dan pemerintah dan ditetapkan oleh Presiden, sehingga mencerminkan perwakilan dari 3 cabang kekuasaan negara yaitu yudikatif, legislatif, dan eksekutif.





BAB III

PENUTUP


3.1       Kesimpulan

                        Pemisahan kekuasaan dalam arti material adalah pemisahan kekuasaan yang dipertahankan dengan jelas dalam tugas-tugas kenegaraan di bidang legislatif, eksekutif dan yudikatif. Sedangkan pemisahan dalam arti formal adalah pembagian kekuasaan yang tidak dipertahankan secara tegas. Prof.Dr. Ismail Suny, SH, MCL dalam bukunya “Pergeseran Kekuasaan Eksekutif” berkesimpulan bahwa pemisahan kekuasaan dalam arti material sepantasnya disebut separation of powers (pemisahan kekuasaan), sedangkan pemisahan kekuasaan dalam arti formal sebaiknya disebut division of powers (pembagian kekuasaan).
Sistem pembagian kekuasaan di negara Republik Indonesia jelas dipengaruhi oleh ajaran Trias Politica yang bertujuan untuk memberantas tindakan sewenang-wenang penguasa dan untuk menjamin kebebasan rakyat. Undang-undang Dasar 1945 menganut ajaran Trias Politica karena memang dalam UUD 1945 kekuasaan negara dipisah-pisahkan, dan masing-masing kekuasaan negara terdiri dari Badan legislatif, yaitu badan yang bertugas membentuk Undang-undang, Badan eksekutif yaitu badan yang bertugas melaksanakan undang-undang, Badan judikatif, yaitu badan yang bertugas mengawasi pelaksanaan Undang-undang, memeriksa dan megadilinya.
Menurut UUD 1945 penyelenggaran negara pelaksanaannya diserahkan kepada suatu alat perlengkapan negara seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Mahkmah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK).






DAFTAR PUSTAKA



C.S.T. Kansil, Ilmu Negara, Jakarta, PT. Pradnya Paramita, 2007

Abdy Yuhana, Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pasca Perubahan UUD 1945, Bandung,
            Fokusmedia, 2007

Soehino, Hukum Tatanegara, Yogyakarta, Liberty, 1985 Ndraha, Taliziduhu, 2000, Diktat Kuliah Ilmu Pemerintahan, Program Pasca Sarjana UNPAD, Bandung

Inu, Kencana Syafiie, 2001, Pengantar Ilmu Pemerintahan, Refika Aditama, Bandung


KEPEMIMPINAN PEMERINTAHAN DAN KEPAMONGPRAJAAN

  JUDUL BUKU “KEPEMIMPINAN PEMERINTAHAN DAN KEPAMONGPRAJAAN” TUGAS RESUME   Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah ...

082126189815

Name

Email *

Message *