Thursday, October 29, 2020

MAKALAH BIROKRASI DI INDONESIA

BAB I

PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang

Birokrasi dan politik bagai dua mata uang yang tidak akan pernah terpisahkan satu sama lain. Birokrasi dan politik memang merupakan dua buah institusi yang memiliki karakater yang sangat berbeda, namun harus selalu saling mengisi. Dua karakter yang berbeda antara dua institusi ini pada satu sisi memberikan sebuah ruang yang positif bagi apa yang disebut dengan sinergi, namun acapkali juga tidak dapat dipisahkan dengan aroma perselingkuhan.

Menurut Etzioni-Havely (dalam Savirani:2005) birokrasi adalah organisasi hirarkis pemerintah yang ditunjuk untuk menjalankan tugas melayani kepentingan umum. Ciri khas yang melekat dalam tubuh birokrasi adalah bentuk organisasi yang berjenjang, rekrutmen berdasarkan keahlian, dan bersifat impersonal. Birokrasi juga merupakan unit yang secara perlahan mengalami penguatan, independen, dan kuat. Penguasaan berbagai sumber daya oleh birokrasi menjadikan birokrasi menjadi kekuatan besar yang dimiliki oleh negara. Sedangkan politik merupakan institusi yang disebut juga dengan pusat kekuasaan. Kekuasaan yang dimiliki oleh politik berlangsung dalam berbagai arena, seperti pembuatan, penerapan, dan evaluasi kebijakan publik. Dalam arti yang lebih luas, segala sesuatu yang berkaitan dengan partai, demokrasi, dan kebijakan disebut juga dengan politik.

Sementara birokrasi adalah sebuah institusi yang mapan dengan segala sumber dayanya, namun pada lain sisi sistem kenegaraan mensyaratkan politik masuk sebagai aktor yang mengepalai birokrasi melalui mekanisme politik formal. Oleh karena itu, birokrasi pemerintah tidak bisa dilepaskan dari kegiatan politik. Pada setiap gugusan masyarakat yang membentuk tata pemerintahan formal, tidak bisa dilepaskan dari aspek politik.

Pada gilirannya, birokrasi mau tidak mau harus rela dikepalai oleh mereka yang umumnya bukan berasal dari kalangan birokrasi. Artinya, kepentingan politik dengan sendirnya akan turut bermain dalam sistem penyelenggaraan pemerintah. Persoalan yang mengemuka adalah mampukah kepala daerah memberikan peluang kepada birokrasi yang dipimpinya dengan arif untuk tetap  mengikuti kaidah demokrasi yang normatif.

Dalam berbagai macam pola hubungan antara birokrasi dan politik,  institusi politik -sebagaimana diketahui bersama- terdiri atas orang-orang yang berprilaku politik yang diorganisasikan secara politik oleh kelompok-kelompok kepentingan dan berusaha untuk mempengaruhi pemerintah untuk mengambil dan melaksanakan suatu kebijakan. Oleh karena itu, birokrasi pemerintah secara langsung ataupun tidak langsung selalu berhubungan dengan kelompok kepentingan politik tersebut.

     B.     Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, penulis mengajukan rumusannya masalah secara singkat sebagai berikut:

1.      Apakah yang dimaksud dengan birokrasi?

2.      Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi birokrasi?

3.      Apakah yang dimaksud dengan politik?

4.      Bagaimana birokrasi Indonesia sebelum adanya reformasi birokrasi?

5.      Bagaimana sejarah lahirnya reformasi birokrasi di Indonesia?

 

C.    Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengkaji kembali bagaimana keadaan serta hubungan birokrasi dengan politik di Indonesia. Selain itu, pembuatan makalah ini juga bertujuan untuk mengkaji lebih dalam mengenai bagaimana proses dari reformasi birokrasi itu sendiri di Indonesia yang pada kenyataannya belum berjalan secara efektif.


 

BAB II

PEMBAHASAN

 

A.    Birokrasi

1.      Pengertian Birokrasi

Jika dilihat dari segi bahasa, birokrasi terdiri dari dua kata yaitu biro yang artinya meja dan krasi yang artinya kekuasaan. Birokrasi memiliki dua elemen utama yang dapat membentuk pengertian, yaitu peraturan atau norma formal dan hirarki. Jadi, dapat dikatakan pengertian birokrasi adalah kekuasaan yang bersifat formal yang didasarkan pada peraturan atau undang-undang dan prinsip-prinsip ideal bekerjanya suatu organisasi. Secara etimologi birokrasi berasal dari istilah “buralist” yang dikembangkan oleh Reineer von Stein pada 1821, kemudian menjadi “bureaucracy” yang akhir-akhir ini ditandai dengan cara-cara kerja yang rasional, impersonal dan leglistik (Thoha, 1995 dalam Hariyoso, 2002). Birokrasi dapat dirujuk kepada empat pengertian yaitu,

·          Birokrasi dapat diartikan sebagai kelompok pranata atau lembaga tertentu.

·               Birokrasi dapat diartikan sebagai suatu metoda untuk mengalokasikan sumber daya dalam suatu organisasi.

·              “Kebiroan” atau mutu yang membedakan antara birokrasi dengan jenis organisasi lain. (Downs, 1967 dalam Thoha, 2003)

·             Kelompok orang yang digaji yang berfungsi dalam pemerintahan. (Castle, Suyatno, Nurhadiantomo, 1983)

Birokrasi Ideal Menurut Weber :

Max Weber sebagai bapak birokrasi mengatakan bahwa birokrasi menjadi elemen penting yang menghubungkan ekonomi dengan masyarakat. Weber mengajukan sebuah model birokrasi ideal yang memiliki karakteristik sebagai berikut (dalam Islamy, 2003):

·         Pembagian Kerja (division of labour)

·         Adanya prinsip hierarki wewenang (the principle of hierarchi)

·         Adanya sistem aturan (system of rules)

·         Hubungan Impersonal (formalistic impersonality)

·         Sistem Karier (career system)

 

      2.      Faktor-faktor yang mempengaruhi birokrasi:

      a.       Faktor budaya

·            Budaya dan perilaku koruptif yang sudah terlembaga (“uang administrasi” atau uang “pelicin”)

·         Budaya “sungkan dan tidak enak” dari sisi masyarakat

·         Masyarakat harus menanggung biaya ganda karena zero sum game

·         Internalisasi budaya dalam mekanisme informal yang profesional

 

      b.      Faktor individu

·     Perilaku individu sangat bersifat unik dan tergantung pada mentalitas dan

      moralitas

·     Perilaku individu juga terkait dengan kesempatan yang dimiliki seseorang yang memiliki jabatan dan otoritas

·    Perilaku opportunistik hidup subur dalam sebuah sistem yang korup

·         Individu yang jujur seringkali dianggap menyimpang dan tidak mendapat tempat

 

      c.       Faktor organisasi dan manajemen

·     Meliputi struktur, proses, leadership, kepegawaian dan hubungan antara pemerintah dan masyarakat

·    Struktur birokrasi masih bersifat hirarkis sentralistis dan tidak terdesentralisasi

·     Proses Birokrasi seringkali belum memiliki dan tidak melaksanakan prinsip-prinsip efisiensi, transparansi, efektivitas dan keadilan

·    Birokrasi juga sangat ditentukan oleh peran kepemimpinan yang kredibel

·    Dalam aspek kepegawaian, Birokrasi dipengaruhi oleh rendahnya gaji, proses rekrutmen yang belum memadai, dan kompetensi yang rendah.

·     Hubungan masyarakat dan pemerintah dalam Birokrasi belum setara; pengaduan dan partisipasi masyarakat masih belum memiliki tempat (citizen charter)

 

      d.      Faktor politik

·         Ketidaksetaraan sistem birokrasi dengan sistem politik dan sistem hukum

·         Birokrasi menjadi “Geld Automaten” bagi partai politik

·         Kooptasi pengangkatan jabatan birokrasi oleh partai politik

 

     B.     Politik

1.      Pengertian Politik

Politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara. Pengertian ini merupakan upaya penggabungan antara berbagai definisi yang berbeda mengenai hakikat politik yang dikenal dalam ilmu politik.

Politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun nonkonstitusional.

Di samping itu politik juga dapat ditilik dari sudut pandang berbeda, yaitu antara lain:

·     politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama (teori klasik Aristoteles)

·    politik adalah hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan negara

·     politik merupakan kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan di masyarakat

·     politik adalah segala sesuatu tentang proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik.

Dalam konteks memahami politik perlu dipahami beberapa kunci, antara lain: kekuasaan politik, legitimasi, sistem politik, perilaku politik, partisipasi politik, proses politik, dan juga tidak kalah pentingnya untuk mengetahui seluk beluk tentang partai politik.

 

     C.     Gambaran Umum Birokrasi di Indonesia Sebelum Reformasi

     Birokrasi di Indonesia menurut Karl D Jackson merupakan bureaucratic polity. Model ini merupakan birokrasi dimana negara menjadi akumulasi dari kekuasaan dan menyingkirkan peran masyarakat dari politik dan pemerintahan. Ada pula yang berpendapat bahwa birokrasi di Indonesia merupakan birokrasi Parkinson dan Orwel. Hal ini disampaikan oleh Hans Dieter Evers. Birokrasi Parkinson merujuk pada pertumbuhan jumlah anggota serta pemekaran struktural dalam birokrasi yang tidak terkendali. Birokrasi Orwel merujuk pada pola birokratisasi yang merupakan proses perluasan kekuasaan pemerintah yang dimaksudkan sebagai pengontrol kegiatan ekonomi, politik dan social dengan menggunakan regulasi yang bila perlu ada suatu pemaksaan.

     Dari model yang diutarakan di atas dapat dikatakan bahwa birokrasi yang berkembang di Indonesia pada masa Orde Baru adalah birokrasi yang berbelit-belit, tidak efisien dan mempunyai pegawai birokrat yang makin membengkak.

Keadaan ini pula yang menyebabkan timbulnya penyimpangan-penyimpangan berikut, seperti :

·         Maraknya tindak KKN

·         Tingginya keterlibatan birokrasi dalam partai politik sehingga pelayanan terhadap masyarakat tidak maksimal

·         Pelayanan publik yang diskriminatif

·         Penyalahgunaan wewenang

·         Pengaburan antara pejabat karir dan non-karir

 

 

 

     D.    Sejarah Reformasi Birokasi di Indonesia

      Reformasi politik 1998 adalah pintu gerbang Indonesia menuju sejarah baru dalam dinamika politik nasional. Reformasi politik yang diharapkan dapat beriringan dengan reformasi birokrasi, fakta menunjukan, reformasi birokrasi mengalami hambatan signifikan hingga kini, akibatnya masyarakat tidak dapat banyak memetik manfaat nyata dari reformasi politik 1998.

     Pasca reformasi, ikhtiar untuk melepaskan birokrasi dari kekuatan dan pengaruh politik gencar dilakukan. Kesadaran pentingnya netralitas birokrasi mencuat terus-menerus. BJ Habibie, Presiden saat itu, mengeluarkan PP Nomor 5 Tahun 1999 (PP No.5 Tahun 1999), yang menekankan kenetralan pegawai negeri sipil (PNS) dari partai politik. Aturan ini diperkuat dengan pengesahan UU Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian untuk menggantikan UU Nomor 8 Tahun 1974.

    Saat membentuk yang pertama setelah Gus Dur terpilih, sedang terjadi keributan tentang pengangkatan Sesjen di Departemen Kehutanan dimana sesjen tersebut adalah orang dari partai yang sama dengan menteri kehutanan saat itu. Begitu juga terjadi di beberapa departemen dan di Diknas, BUMN, dan lain-lain. Ada beberapa eselon yang diangkat yang dia merupakan orang dari partai yang sama dengan menteri yang membawahi departemen tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa bagaimana suatu birokrasi pemerintahan tidak terlepas dari intervensi partai politik.

      Kemudian ada pula tindakan presiden Abdurrahman Wahid yang menghapuskan Departemen Penerangan dan Departemen Sosial, dengan alas an bahwa departemen tersebut bermasalah, banyak KKN, dan departemen itu dianggap telah mencampuri hak-hak sipil warga negara.

     Penghapusan dua departemen tersebut dapat dikatakan sesuai dengan prinsip reinventing government atau ada pula yang menganggap hal ini sebagai langkah debirokratiasasi dan dekonstruksi masa lalu yang dianggap terlalu berlebihan mengintervensi kemerdekaan dan kemandirian publik.

     Aturan induk netralitas politik birokrasi Indonesia sudah ada pada pasal 4 Peraturan Pemerintah 1999, yang menyatakan bahwa PNS dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan tidak bertindak diskriminatif, khususnya dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.

     Dalam pemerintahan Megawati, para menteri dalam masa itu melestarikan tradisi Golkar, yaitu semua organisasi pemerintah dikaburkan antara jabatan karier dengan non karier, serta jabatan birokrasi dengan jabatan politik. Hal ini menunjukkan bahwa pada masa ini harapan untuk melakukan reformasi birokrasi tidak akan terlaksana. Hingga pada tahun 2004 barulah dimulai reformasi birokrasi secara riil dengan pembentukan UU.

Birokrasi adalah sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai pemerintah karena telah berpegang pada hierarki dan jenjang jabatan. Fenomena birokrasi selalu ada bersama kita dalam kehidupan kita sehari-hari dan setiap orang seringkali mengeluhkan cara berfungsinya birokrasi sehingga pada akhirnya orang akan mengambil kesimpulan bahwa birokrasi tidak ada manfaatnya karena banyak disalahgunakan oleh pejabat pemerintah (birokratisme) yang merugikan masyarakat.

Birokrasi bukanlah suatu fenomena yang baru bagi kita karena sebenarnya telah ada dalam bentuknya yang sederhana sejak beribu-ribu tahun yang lalu. Namun demikian kecenderungan mengenai konsep dan praktek birokrasi telah mengalami perubahan yang berarti sejak seratus tahun terakhir ini. Dalam Masyarakat yang modern, birokrasi telah menjadi suatu organisasi atau institusi yang penting. Pada masa sebelumnya ukuran negara pada umumnya sangat kecil, namun pada masa kini negara-negara modern memiliki luas wilayah, ruang lingkup organisasi, dan administrasi yang cukup besar dengan berjuta-juta penduduk.

Kajian birokrasi sangat penting dipelajari, karena secara umum dipahami bahwa salah satu institusi atau lembaga, yang paling penting sebagai personifikasi negara adalah pemerintah, sedangkan personifikasi pemerintah itu sendiri adalah perangkat birokrasinya (birokrat).
Membicarakan tentang birokrasi tentunya sangat penting bagi kita untuk mengetahui bagaimana sejarah birokrasi. Birokrasi memiliki asal kata dari Burcau, digunakan pada awal abad ke 13 di Eropa Barat bukan hanya untuk menunjuk pada meja tulis saja, akan tetapi lebih pada kantor, semisal tempat kerja dimana pegawai bekerja. Makna asli dari birokrasi berasal dari Prancis yang artinya pelapis meja. Bentuk birokrasi paling awal terdiri dari tingkatan kasta rohaniawan / tokoh agama. Negara memformulasikan,memaksakan dan menegakkan peraturan dan memungut pajak, memberikan kenaikan kepada sekelompok pegawai yang bertindak untuk menyelenggarakan fungsi tersebut.
           Sangat menarik membicarakan tentang birokrasi, karena dalam realita kehidupan birokrasi terkesan negatif dan menyulitkan dalam melayani masyarakat, padahal para pegawai birokrasi itu dibayar dari duit masyarakat. Dan terkadang wewenang yang diberikan kepada pegawai dari birokrasi disalahgunakan. Misalnya seperti masalah tentang korupsi di dirjen pajak yang hangat-hangatnya dibicarakan akhir-akhir ini. Oleh karena itu sangat diperlukan adanya reformasi birokrasi

 

 

      Pengertian Birokrasi :

Birokrasi berasal dari kata “bureau” yang berarti meja atau kantor;  dan kata “kratia” (cratein) yang berarti pemerintah. Pada mulanya, istilah ini digunakan untuk menunjuk pada suatu sistematika kegiatan kerja yang diatur atau diperintah oleh suatu kantor melalui kegiatan-kegiatan administrasi (Ernawan, 1988). Dalam konsep bahasa Inggris secara umum, birokrasi disebut dengan “civil service”. Selain itu juga sering disebut dengan public sector, public service atau public administration.

Definisi birokrasi telah tercantum dalam kamus awal secara sangat konsisten. Kamus akademi Perancis memasukan kata tersebut pada tahun 1978 dengan arti kekuasaan, pengaruh, dari kepala dan staf biro pemerintahan. Kamus bahasa Jerman edisi 1813, mendefinisikan birokrasi sebagai wewenang atau kekuasaan yang berbagai departemen pemerintah dan cabang-cabangnya memeperebutkan diri untuk mereka sendiri atas sesama warga negara. Kamus teknik bahasa Italia terbit 1823 mengartikan birokrasi sebagai kekuasaan pejabat di dalam administrasi pemerintahan.

Birokrasi berdasarkan definisi yang dikemukakan oleh beberapa ahli adalah suatu sistem kontrol dalam organisasi yang dirancang berdasarkan aturan-aturan yang rasional dan sistematis, dan bertujuan untuk mengkoordinasi dan mengarahkan aktivitas-aktivitas kerja individu dalam rangka penyelesaian tugas-tugas administrasi berskala besar (disarikan dari Blau & Meyer, 1971; Coser & Rosenberg, 1976; Mouzelis, dalam Setiwan,1998).

      Fungsi birokrasi menurut Tjokrowinoto menyatakan ada 4 yaitu :

1.   Fungsi instrumental,yaitu menjabarkan perundang-undangan dan kebijaksanaan public dalam kegiatan-kegiatan rutin untuk memproduksi jasa,pelayanan ,komoditi,atau mewujudkan situasi tertentu.

2.   Fungsi politik,yaitu member input berupa saran, informasi, visi ,dan profesionalisme untuk mempengaruhi sosok kebijaksanaan.

3.   Fungsi katalis Public Interest,yaitu mengartikulasikan aspirasi dan kepentingan public dan mengintegrasikan atau menginkorporasikannya di dalam kebijaksanaan dan keputusan pemerintah

4.   Fungsi Entrepreneural, yaitu memberi inspirasi bagi kegiatan-kegiatan inovatif dan non rutin, mengaktifkan sumber-sumber potensial yang idle, dan menciptakan resources –mix yang optimal untuk mencapai tujuan (Feisal tamin,2002 h,5)

 

     Model Negara dan Birokrasi Pasca Kolonial. 

               Model ini diperkenalkan oleh Anderson (1983). Menurutnya, negara dan birokrasi merupakan kelanjutan dalam pola-pola tertentu yang berasal dari negara kolonial sebelumnya. Dalam hal demikian, model ini mirip dengan konsep negara Beamstenstaat (negara pegawai) versi McVey, yang menunjuk adanya persamaan gaya politik pemerintahan (masa Orde Baru) dengan gaya pemerintahan kolonial Belanda, terutama pada masa-masa akhir tahun 1930-an. Keduanya memperlihatkan ciri-ciri yang sama dalam hal perhatiannya terhadap proses administrasi daripada terhadap proses politik, keahlian teknis, dan pembangunan ekonomi. Sehingga negara menjadi mesin birokrasi yang efisien (the state as efficient bureaucratic machine) Tetapi, berbeda dengan McVey yang lebih menekankan gejala-gejala di permukaan, Anderson lebih menukik dengan memberikan penjelasan teoritis tentang kontradiksi yang tajam antara negara dan bangsa.

            Kontradiksi itu terjadi antara kepentingan-kepentingan negara di satu pihak dengan kepentingan-kepentingan masyarakat yang lebih populis, partisipatoris, dan representatif pada pihak lain. Dalam dua kutub kepentingan terbentang spektrum luas.

 Pertama: kutub kepentingan negara secara penuh mensubordinasikan kepentingan-kepentingan partisipatoris (seperti pada situasi rezim militeris atau kolonialis).

           Kedua: pada kutub yang lain, keadaan ketika negara mengalami disintegrasi, dan kekuasaan sedang bergeser kepada organisasi ekstra negara yang berbasis suka rela dan massal, seperti halnya dalam studi revolusi.

Dalam perspektif modernisasi, model negara pasca kolonial memiliki dua varian.

           Pertama: model ini seharusnya bersifat netral, mewakili kepentingan umum, dan tidak terkait dengan kepentingan-kepentingan golongan tertentu. Karena itu, para pendukungnya, terutama yang duduk dalam pemerintahan, adalah figur-figur modern yang memiliki keahlian tertentu, atau dengan kata lain para teknokrat.

            Kedua: ketika harapan-harapan idealistik dalam varian pertama mulai dilaksanakan, tugas utama negara pasca kolonial dalam mendukung pembangunan nasional  adalah menciptakan tertib politik. Stabilitas suatu negara berfungsi sebagai prasyarat kelangsungan suatu bangsa. Maka, "modern" atau "tidak modern" suatu bangsa bukan ditentukan oleh ada tidaknya lembaga, mekanisme,  atau nilai-nilai demokrasi, melainkan  pada kemampuannya menciptakan dan memelihara stabilitas sosial, politik, dan ekonomi.

 

      Birokrasi Pada Masa Kemerdekaan :

Setelah memperoleh kemerdekaan, Negara ini berusaha mencari format pemerintahan yang cocok untuk kondisi saat itu. Berakhirnya masa pemerintahan kolonial membawa perubahan sosial politik yang sangat berarti bagi kelangsungan sistem birokrasi pemerintahan. Perbedaan pandangan yang terjadi diantara pendiri bangsa di awal masa kemerdekaan tentang bentuk Negara yang akan didirikan, termasuk dalam pengaturan birokrasinya, telah menjurus ke arah disintegrasi bangsa dan keutuhan aparatur pemerintahan.Pada masa awal kemerdekaan, Negara ini mengalami perubahan bentuk  Negara, dan ini yang berimplikasi pada pengaturan aparatur Negara atau birokrasi.Perubahan bentuk Negara dari kesatuan menjadi federal berdasarkan konstitusi RIS melahirkan dilematis dalam cara pengaturan aparatur pemerintah. Setidak-tidaknya terdapat dua persoalan dilematis menyangkut birokrasi pada saat itu.Pertama, bagaimana cara menempatkan pegawai Republik Indonesia yang telah berjasa mempertahankan NKRI, tetapi relatif kurang memiliki keahlian dan pengalaman kerja yang memadai. Kedua, bagaimana menempatkan pegawai yang telah bekerja pada Pemerintah belanda yang memiliki keahlian, tetapi dianggap berkhianat atau tidak loyal terhadap NKRI.Selain perubahan bentuk Negara, berganti-gantinya kabinet mempengaruhi jalannya kinerja pemerintah. Seringnya terjadi pergantian kabinaet menyebabkan birokrasi sangat terfragmentasi secara politik. Kinerja birokrasi sangat ditentukan oleh kekuatan politik yang berkuasa pada saat itu. Di dalam birokrasi tejadi tarik-menarik antar berbagai kepentingan partai politik yang kuat pada masa itu.Banyak kebijakan atau program birokrasi pemerintah yang lebih kental nuansa kepentingan politik dari partai yang sedang berkuasa atau berpengaruh dalam suatu departemen.Dalam memandang model birokrasi yang terjadi seperti ini, Karl D Jackson menyebutnya sebagai bureaucratic polity. Model ini merupakan birokrasi dimana negara menjadi akumulasi dari kekuasaan dan menyingkirkan peran masyarakat dari politik dan  pemerintahan. Jika melihat peta politik  pada  masa orde  lama, peran seorang presiden sangat dominan dalam mengatur segala kebijakan baik Melihat realitas birokrasi di Indonesia, sedikit berbeda dengan pendapat Karl D. Jackson, Richard Robinson dan King  menyebut birokrasi di Indonesia  sebagai bureaucratic Authoritarian. Ada juga yang menyebutnya sebagai birokrasi patrimonial. Pada masa orde baru, sistem politik didominasi atau bahkan dihegemoni oleh Golkar dan ABRI. Kedua kekuatan ini telah menciptakankehidupan politik yang tidak sehat. Hal itu bisa dilihat adanya hegemonic partysystem diistilahkan oleh Afan Gaffar (1999). Sedangkan menurut William Liddle,kekuasaan orde baru terdiri dari (1) kantor kepresidenan yang kuat, (2) militer yang aktif berpolitik, dan (3) birokrasi sebagai pusat pengambilan kebijakan yang tepat.

 

      Birokrasi Pada Masa Orde Lama

         Birokrasi di Indonesia mengalami sejarah yang cukup panjang dan beragam, sejak masa kemerdekaan tahun 1945. Pada masa awal kemerdekaan, ada semacam kesepakatan pendapat bahwa birokrasi merupakan sarana politik yang baik untuk mempersatukan bangsa. Anggapan ini beralasan karena hanya birokrasilah satu-satunya sarana yang dapat menjangkau rakyat sampai ke desa-desa. Semangat kejuangan masih sangat kental mewarnai birokrasi di Indonesia. Para birokrat masih menggelora semangatnya untuk berjuang demi negara dan persatuan bangsanya, sehingga tidak jarang kelompok mayoritas mau mengalah terhadap minoritas demi kesatuan dan persatuan bangsa. Semangat primordial untuk sementara dapat dikesampingkan oleh semangat nasional. Satu-satunya organisasi politik yang bersifat primordial yang mengancam negara dan bangsa Indonesia adalah Partai Komunis Indonesia (PKI). Mereka melakukan pemberontakan untuk menguasai birokrasi pemerintah dan sekaligus mengganti pemerintah yang sah. Pada perjalanan masa berikutnya, birokrasi di Indonesia mulai dihinggapi oleh aspirasi primordial yang kuat. Birokrasi Pemerintah mulai menjadi incaran dari kekuatan-kekuatan politik yang ada. Partai-partai politik mulai melirik untuk menguasai birokrasi pemerintah. Bahkan pada antara tahun 1950-1959, birokrasi pemerintah berada dibawah kepemimpinan partai politik yang menjadi mayoritas di lembaga DPR. DPR  menjadi kuat, tapi sebaliknya lembaga eksekutif di mana birokrasi sebagai pelaksana politik menjadi semakin lemah.

           Hal demikian diakibatkan oleh parta-partai politik yang berdiri pada waktu itu sebagai akibat dari adanya Maklumat 3 Nopember 1945 yang memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk mendirikan partai politik sesuai dengan aspirasinya. Akhirnya partai-partai beramai-ramai ingin menguasai berbagai

departemen maupun kementerian, bahkan tidak jarang terjadi jatuh bangunnya Kabinet pemerintah hanya  dikarenakan oleh tidak meratanya pembagian kementerian yang diinginkan oleh partai-partai. Pada masa ini pula birokrasi mempunyai loyalitas ganda; satu segi kepada partai politik yang didukungnya dan pada sisi lain kepada masyarakat yang dilayaninya. 

Kemudian pada masa antara tahun 1960-1965 birokrasi menjadi incaran 

           kekuatan politik yang ada. Pada saat itu ada tiga kekuatan politik yang cukup besar yaitu, nasionalis, agama dan komunis (Nasakom) yang berusaha berbagi wilayah kekuasaan atau kaplinganya pada berbagai Departemen. Di bawah label Demokrasi Terpimpin, tiga kekuatan politik tersebut membangun akses ke birokrasi pemerintah. Keadaan sistem politik yang primordial membawa pengaruh kuat terhadap birokrasi, sehingga birokrasi pemerintah sudah mulai nampak ke-pemihakannya kepada kekuatan politik yang ada. Lebih tepat dapatdikatakan bahwa birokrasi saat itu sudah terperangkap ke dalam jaring perangkap yang dipasang oleh kekuatan politik Nasakom.

          Hal ini dapat dilihat pada saat meletusnya peristiwa G.30  S/PKI kekuatan komunis telah masuk hampir di seluruh departemen pemerintah, sementara kekuatan nasionalis dan agamahanya mendominasi sebagian kecil dari departemen-departemen yang ada. Kemudian pada masa antara 1965 sampai masa Orde Baru (era pemerintahan  Soeharto), birokrasi lebih jelas kepemihakannya kepada kekuatan sosial politik yang dominan; dalam hal ini Golkar. Salah satu faktor yang menentukan kemenangan Golkar pada enam kali pemilu (sampai 1997) adalah karena peranan birokrasi

yang cukup kuat. Kesadaran politik di masa awal kemerdekaan yang memandang birokrasi sebagai alat pemersatu bangsa yang sangat ampuh, rupanya dipakai pula

pada masa tersebut. Politik  floating-mass  (masa mengambang) men-jadikan

           Birokrasi dapat menjangkau ke seluruh wilayah pelosok desa-desa di tanah air kita ini. Hal ini merupakan potensi kemenangan yang diraih Golkar untuk menguasai birokrasi, apalagi birokrat diperbolehkan untuk menggunakan hak pilihnya (menjadi peserta pemilu) yang pilihannya tidak ada lain kecuali harus memilih Golkar sehingga dengan demikian birokrasi identik dengan Golkar. Dengan menggunakan model 3 jalur yang dikenal dengan jalur ABG (ABRI, Birokrasi dan keluarga Golkar) semakin jelas mengisyaratkan bahwa birokrasi sudah terpolitisir oleh satu kekuatan politik tertentu. Mulai dari Presiden, Menteri, Gubernur dengan segala jajaran di bawahnya duduk di kepengurusan Golkar menunjukkan

betapa sulitnya membedakan antara pemerintah (birokrasi) dan politik (Golkar). KORPRI yang diharapkan menjadi wadah aktivitas  kedinasan seluruh pegawai negeri yang keberadaannya tidak berafiliasi kepada satu kekuatan politk apapun, namun betapa sulitnya mem-pertahankan kenetralannya manakala melihat hanya Golkarlah satu-satunya kekuatan sosial politik yang mempunyai akses ke birokrasi sedang kekuatan politik yang lain hanya berada di luar garis. Angin reformasi mulai bergulir sejak rezim Soeharto jatuh, dan muncul Habibi menggantikannya. Namun kondisi birokrasi di Indonesia tidak jauh berubah, karena semua tahu bahwa naiknya Habibi (1998) menggantikan Soeharto

adalah didukung sepenuhnya oleh Golkar. Kemudian Habibi digantikan oleh duet Gus Dur-Mega memunculkan nuansa baru dibidang pemerintahan termasuk birokrasi, karena pemerintahan Gus Dur disusun atas dasar kompromistis dari hampir semua kekuatan politik yang ada sehingga memunculkan apa yang kemudian dikenal dengan Kabinet Persatuan Nasional atau Kabinet Gotong Royong, di mana para menteri yang duduk di dalamnya terdiri dari unsur partai politik besar yang memperoleh suara signifikan dalam pemilu 1999. Dari sinilah

kemudian wacana tentang birokrasi menjadi marak kembali. Salah satu bentuk gerakan reformasi adalah reformasi di bidang birokrasi.

          Reformasi birokrasi sebagai bagian dari reformasi administrasi, walaupun menyangkut dimensi yang luas dan komplek namun memiliki tujuan yangjelas yaitu meningkatkan administrative performance dari birokrasi pemerintah.  Agenda kebijakan reformasi birokrasi diarahkan untuk memperbaiki kinerja administrasi baik secara individu, kelompok maupun institusi agar dapat mencapai tujuan kerja mereka lebih efektif, lebih ekonomis, dan lebih cepat. Jelasnya, bahwa pandangan ini lebih spesifik lagi ditujukan padapenyempurnaan struktur birokrasi dan perubahan perilaku  aparatnya menjadi  conditio sine qua non bagi upaya peningkatan kinerja birokasi pemerintah. Siagian (1983) melihat pentingnya arah reformasi administrasi di Indonesia lebih ditujukan kepada pengembangan administrativeinfrastructure yang meliputi pengembangan aparat birokrasi, struktur organisasi, sistem dan prosedur kerja. Sedangkan menurut Tjokroamidjojo (1985) ketika menganalisis administrasi pembangunan di Indonesia menegaskan bahwa arah reformasi birokrasi perlu ditujukan ke tujuh wilayah penyempurnaan administrasi yaitu: penyempurnaan  dalam bidang pembiayaan pembangunan; penyempurnaan dalam bidang penyusunan program-program pembangunan di berbagai bidang ekonomi dan non-ekonomi dengan pendekatan integrative (integrative approach); re-orientasi kepegawaian negeri kearah produktivitas, prestasi dan pemecahan masalah; penyempurnaan administrasi untuk mendukung pembangunan daerah; administratif partisipatif yang mendorong kemampuan dan kegairahan masyarakat; kebijaksanaan administratif dalam rangka menjaga stabilitas dalam proses pembangunan; dan bersihnya pelaksanaan administrasi negara (good governance).

 

      Birokrasi Pada Masa Orde Baru

Pada masa antara 1965 sampai masa Orde Baru (era pemerintahan  Soeharto), birokrasi lebih jelas kepemihakannya kepada kekuatan sosial politik yang dominan; dalam hal ini Golkar. Salah satu faktor yang menentukan kemenangan Golkar pada enam kali pemilu (sampai 1997) adalah karena peranan birokrasi yang cukup kuat. Kesadaran politik di masa awal kemerdekaan yang memandang birokrasi sebagai alat pemersatu bangsa yang sangat ampuh, rupanya dipakai pula pada masa tersebut. Politik  floating-mass  (masa mengambang) men-jadikan birokrasi dapat menjangkau ke seluruh wilayah pelosok desa-desa di tanah air kita ini. Pada masa orde baru tersebut terlihat sekali terjadinya politisasi terhadap birokrasi yang seharusnya lebih berfungsi sebagai pelayan masyarakat. Jajaran birokrasi diarahkan sebagai instrument politik kekuasaan Soeharto pada saat itu.Seperti dalam pandangan William Liddle, bahwa Soeharto sebagai politisi yang mempunyai otonomi relatif, merupakan pelaku utama transformasi meski puntidak penuh model pemerintahan yang bersifat pribadi kepada yang lebih terinstitusionalisasi. Birokrasi dijadikan alat mobilisasi masa guna mendukung Soeharto dalam setiap Pemilu. Setiap Pegawai Negeri Sipil (PNS) adalah anggota Partai Golkar. Meskipun pada awalnya, Golkar tidak ingin disebut sebagai partai,tetapi hanya sebagai golongan kekaryaan. Namun permasalahannya, Golkar merupakan kontestan Pemilu dan itu berarti dia adalah partai politik.Pada masa orde baru, pemerintahan yang baik belum terlaksana. Misalnya, saja dalam pelayanan dan pengurusuan administrasi masih saja berbelit-belit danmemerlukan waktu yang lama. Membutuhkan biaya tinggi karena ada pungutan- pungutan liar. Pembangunan fisik pun juga masih sering terbengkalai atau lamban dalam perbaikan.

           Hal ini merupakan potensi kemenangan yang diraih Golkar untuk menguasai birokrasi, apalagi birokrat diperbolehkan untuk menggunakan hak pilihnya (menjadi peserta pemilu) yang pilihannya tidak ada lain kecuali harus memilih Golkar sehingga dengan demikian birokrasi identik dengan Golkar. Dengan menggunakan model 3 jalur yang dikenal dengan jalur ABG (ABRI, Birokrasi dan keluarga Golkar) semakin jelas mengisyaratkan bahwa birokrasi sudah terpolitisir oleh satu kekuatan politik tertentu. Mulai dari Presiden, Menteri, Gubernur dengan segala jajaran di bawahnya duduk di kepengurusan Golkar menunjukkan betapa sulitnya membedakan antara pemerintah (birokrasi) dan politik (Golkar). KORPRI yang diharapkan menjadi wadah aktivitas  kedinasan seluruh pegawai negeri yang keberadaannya tidak berafiliasi kepada satu kekuatan politk apapun, namun betapa sulitnya mem-pertahankan kenetralannya manakala melihat hanya Golkarlah satu-satunya kekuatan sosial politik yang mempunyai akses ke birokrasi sedang kekuatan politik yang lain hanya berada di luar garis. Angin reformasi mulai bergulir sejak rezim Soeharto jatuh, dan muncul Habibi menggantikannya. Namun kondisi birokrasi di Indonesia tidak jauh berubah, karena semua tahu bahwa naiknya Habibi (1998) menggantikan Soeharto adalah didukung sepenuhnya oleh Golkar. Kemudian Habibi digantikan oleh duet Gus Dur-Mega memunculkan nuansa baru dibidang pemerintahan termasuk birokrasi, karena pemerintahan Gus Dur disusun atas dasar kompromistis dari hampir semua kekuatan politik yang ada sehingga memunculkan apa yang kemudian dikenal dengan Kabinet Persatuan Nasional atau Kabinet Gotong Royong, di mana para menteri yang duduk di dalamnya terdiri dari unsur partai politik besar yang memperoleh suara signifikan dalam pemilu 1999. Dari sinilah kemudian wacana tentang birokrasi menjadi marak kembali. Salah satu bentuk gerakan reformasi adalah reformasi di bidang birokrasi. Reformasi birokrasi sebagai bagian dari reformasi administrasi, walaupun menyangkut dimensi yang luas dan komplek namun memiliki tujuan yang jelas yaitu meningkatkan administrative performance dari birokrasi pemerintah.  Agenda kebijakan reformasi birokrasi diarahkan untuk memperbaiki kinerja administrasi baik secara individu, kelompok maupun institusi agar dapat mencapai tujuan kerja mereka lebih efektif, lebih ekonomis, dan lebih cepat. Jelasnya, bahwa pandangan ini lebih spesifik lagi ditujukan pada penyempurnaan struktur birokrasi dan perubahan perilaku  aparatnya menjadi  conditio sine qua non bagi upaya peningkatan kinerja birokasi pemerintah. Siagian (1983) melihat pentingnya arah reformasi administrasi di Indonesia lebih ditujukan kepada pengembangan administrative infrastructure yang meliputi pengembangan aparat birokrasi, struktur organisasi, sistem dan prosedur kerja. Sedangkan menurut Tjokroamidjojo (1985) ketika menganalisis administrasi pembangunan di Indonesia menegaskan bahwa arah reformasi birokrasi perlu ditujukan ke tujuh wilayah penyempurnaan administrasi yaitu: penyempurnaan  dalam bidang pembiayaan pembangunan; penyempurnaan dalam bidang penyusunan program-program pembangunan di berbagai bidang ekonomi dan non-ekonomi dengan pendekatan integrative (integrative approach); re-orientasi kepegawaian negeri kearah produktivitas, prestasi dan pemecahan masalah; penyempurnaan administrasi untuk mendukung pembangunan daerah; administratif partisipatif yang mendorong kemampuan dan kegairahan masyarakat; kebijaksanaan administratif dalam rangka menjaga stabilitas dalam proses pembangunan; dan bersihnya pelaksanaan administrasi negara (good governance).

 

 

      Birokrasi Era Reformasi

Publik mengharapkan bahwa dengan terjadinya Reformasi, akan diikuti pula dengan perubahan besar pada desain kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, baik yang menyangkut dimensi kehidupan politik, sosial, ekonomi maupun kultural. Perubahan struktur, kultur dan paradigma birokrasi dalam berhadapan dengan masyarakat menjadi begitu mendesak untuk segera dilakukan mengingat birokrasi mempunyai kontribusi yang besar terhadap terjadinya krisis multidimensional yang tengah terjadi sampai saat ini. Namun, harapan terbentuknya kinerja birokrasi yang berorientasi pada pelanggan sebagaimana birokrasi di Negara - Negara maju tampaknya masih sulit untuk diwujudkan. Osborne dan Plastrik ( 1997 ) mengemukakan bahwa realitas sosial, politik dan ekonomi yang dihadapi oleh Negara - Negara yang sedang berkembang sering kali berbeda dengan realitas sosial yang ditemukan pada masyarakat di negara maju.Realitas empirik tersebut berlaku pula bagi birokrasi pemerintah, dimana kondisi birokrasi di Negara - Negara berkembang saat ini sama dengan kondisi birokrasiyang dihadapi oleh para reformis di Negara - Negara maju pada sepuluh dekade yang lalu. Persoalan birokrasi di Negara berkembang, seperti merajalelanya korupsi, pengaruh kepentingan politik partisan, sistem Patron-client yang menjadi norma birokrasi sehingga pola perekrutan lebih banyak berdasarkan hubungan personal dari pada faktor kapabilitas, serta birokrasi pemerintah yang digunakan oleh masyarakat sebagai tempat favorit untuk mencari lapangan pekerjaan merupakan sebagian fenomena birokrasi yang terdapat di banyak Negara berkembang, termasuk di Indonesia. Kecenderungan birokrasi untuk bermain politik pada masa reformasi,tampaknya belum sepenuhnya dapat dihilangkan dari kultur birokrasi diIndonesia. Perkembangan birokrasi kontemporer memperlihatkan bahwa arogansi birokrasi sering kali masih terjadi. Kasus Brunei Gate dan Bulog Gate setidak - tidaknya memperlihatkan bahwa pucuk pimpinan birokrasi masih tetap mempraktikkan berbagai tindakan yang tidak transparan dalam proses pengambilan keputusan. Birokrasi yang seharusnya bersifat apolitis, dalam kenyataannya masih saja dijadikan alat politik yang efektif bagi kepentingan - kepentingan golongan atau partai politik tertentu. Terdapat pula kecenderungandari aparat yang kebetulan memperoleh kedudukan atau jabatan strategis dalam birokrasi, terdorong untuk bermain dalam kekuasaan dengan melakukan tindak KKN.

 

      Reformasi Birokrasi

              Reformasi birokrasi harus merupakan bagian dari reformasi sistem dan proses, administrasi negara. Dalam konteks (SANKRI), reformasi administrasi negara dan birokrasi di dalamnya pada hakikinya merupakan transformasi berbagai dimensi nilai yang terkandung dalam konstitusi. Dalam hubungan itu, reformasi birokrasi juga merupakan jawaban atas tuntutan akan tegaknya aparatur pemerintahan yang berdaya guna, berhasil guna, bertanggung jawab, bersih dan bebas KKN memerlukan pendekatan dan dukungan sistem administrasi negara yang mengindahkan nilai dan prinsip-prinsip good governance, dan sumber daya manusia aparatur negara (pejabat politik, dan karier) yang memiliki integritas, kompetensi, dan konsistensi dalam menerapkan prinsip-prinsip tersebut, baik dalam jajaran eksekuti, legislatif, maupun yudikatif. Selain dari unsur aparatur negara tersebut, untuk mewujudkan good governance dibutuhkan juga komitmen dan konsistemsi dari semua pihak, aparatur negara, dunia usaha, dan masyarakat; dan pelaksanaannya di samping menuntut adanya koordinasi yang baik, juga persyaratan integritas, profesionalitas, etos kerja dan moral yang tinggi. Dalam rangka itu, diperlukan pula perubahan perilaku yang sesuai dengan dimensi-dimensi nilai SANKRI, "penegakan hukum yang efektif” (effective law enforcement), serta pengembangan dan penerapan sistem dan pertanggung-jawaban yang tepat, jelas, dan nyata, sehingga penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dapat berlangsung secara berdayaguna dan berhasilguna, bersih dan bertanggung jawab serta bebas KKN.

           Untuk dapat meluruskan kembali birokrasi pada posisi dan misi atau perannya yang sebenamya selaku “pelayan publik” (public servant), diperlukan kemampuan dan kemauan kalangan birokrasi untuk melakukan langkah-langkah reformasi birokrasi yang mencakup perubahan perilaku yang mengedepankan “netralitas, professionalitas, demokratis, transparan, dan mandiri”, disertai perbaikan semangat kerja, cara kerja, dan kinerja terutama dalam pengelolaan kebijakan dan pemberian pelayanan publik, serta komitmen dan pemberdayaan akuntabilitas instansi pemerintah. Untuk memperbaiki cara kerja birokrasi diperlukan birokrasi yang berorientasi pada hasil. Di sinilah peran akuntabilitas dalam menyatukan persepsi anggota organisasi yang beragam sehingga menjadi kekuatan bersama untuk mencapai kemajuan dalam mewujudkan cita-cita dan tujuan NKRI. Selanjutnya, diperlukan sosok pemimpin yang memiliki komitmen dan kompetensi terhadap reformasi administrasi negara secara tepat, termasuk dalam penyusunan agenda dan pelaksanaan kebijakan pemerintahan dan pembangunan yang ditujukan pada kepentingan rakyat, peningkatan ketahanan dan daya saing bangsa. Dalam rangka itu, diperlukan pula reformasi struktural, seperti independensi sistem peradilan dan sistem keuangan negara, disertai upaya peningkatan transparansi dan akuntabilitasnya kepada publik.  Untuk memberantas korupsi diperlukan agenda dan prioritas yang jelas dengan memberikan sanksi kepada pelakunya (law enforcement). Di samping itu perlu dilakukan kampanye kepada masyarakat agar korupsi dipandang sebagai penyakit sosial, tindakan kriminal yang merupakan musuh publik. Pers sebagai kontrol sosial harus diberi kebebasan yang bertanggung jawab dalam mengungkap dan memberitakan tindak korupsi. Pengembangan budaya maIu  harus disertai dengan upaya menumbuhkan budaya bersalah individu dalam dirinya (quilty feeling).

            Akhirnya satu kondisi dasar untuk pemberantasan korupsi adalah suatu keranka hukum nyata dan menegakkan hukum tanpa campur tangan politik. Tujuannya adalah untuk menghindari konflik kepentingan dan intervensi kekuasaan terhadap proses hukum. Reformasi birokrasi akan dapat menjadi syarat pemberantasan korupsi, bila terwujud badan peradilan dan sistem peradilan yang independen, didukung dengan keterbukaan dan sistem pengawasan yang efektif.

 

      BIROKRASI DAN PERKEMBANGANNYA

Secara bahasa, istilah birokrasi berasal dari bahasa prancis”bureau” yang berarti kantor atau meja tulis dan dari bahasa yunani “createin” yang berarti mengatur. Pada mulanya, istilah ini di gunakan untuk menunjuk pada suatu sistematika kegiatan kerja yang di atur yang di perintah oleh suatu kantor melalui kegiatan kegitan administrasi ( ernawan, 1998). Dalam konsep bahasa inggris secara umum, birokrasi disebut dengan civil service. Selain itu juga sering di sebut dengan public sector, public service atau public administration.

Istilah birokrasi sering kali di kaitkan dengan organisasi pemerintah, padahal birokrasi ciptaan Max Weber itu bias terjadi baik di organisasi pemerintah maupun organisasi non pemerintah. Di suatu perusahaan birokrasi itu bisa terjadi. Demikian pula di suatu organisasi yang besar birokrasi akan terjadi. Dalam dunia pemerintahan konsep birokrasi dimaknai sebagai proses dan system yang di ciptakan secara rasional untuk menjamin mekanisme dan system kerja yang teratur, pasti dan mudah dikendalikan.

Sedangkan dalam dunia bisnis, konsep birokrasi diarahkan untuk efisiensi pemakaian sumberdaya dengan pencapaian output dan keuntungan yang optimum.

Kata “birokrasi” dapat mengandung pengertian :

a.     System pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai pemerintah karena telah bepegang pada hierarki dan jenjang jabatan.

b.     Cara bekerja atau pekerjaan yang lamban, serta menurut tata aturan (adat, dsb) yang banyak liku likunya dan sebagainya.

Beberapa definisi birokrasi menurut para ahli :

-          Max weber, mendefinisikan birokrasi sebagai sutau hierarki yang ditetapkan secara jelas dimana pemegang kantor mempunyai fungsi yang sangat spesifik dan mengaplikasikan atau menerapkan aturan universal dalam semngat impoersonalitas yang formalistik.

-       Mifta toha, mendefinisikan birokrasi sebagai system untuk mengatur organisasi yang besar agar diperoleh pengelolahan yang efisien, rasional, dan efektif.

-       Rod Haque (1993), mendefinisikan birokrasi adalah istitusi pemerintahan yang melaksanakan tugas Negara.

-          Kamus besar bahasa Indonesia, birokrasi adalah sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai pemerintah karena telah berpegang pada hierarki dan jenjang jabatan.

-         Wikipedia, birokrasi diartikan sebagai suatu organisasi yang memiliki rantai komando dengan bentuk piramida dimana lebih banyak orang berada ditingkat bawah dari pada tingkat atas. Biasanya ditemui pada instansi yang sifatnya administrative maupun militer.

 

2.      Konsep Birokrasi

     Istilah birokrasi tentu7 sudah tidak asing lagi dikalangan masyarakat, terutama dalam penyediaan pelayanan public atau birokrasi di8identikkan sebagai sesuatu yang lama, bertele-tele, dan rigit (kaku). Hal tersebut karena birokrasi terikat oleh peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Secara umum birokrasi merupakan instrument penting dalam masyarakat modern saat ini yang kehadirannya tak mungkin terelakkan. Dimana birokrasi ini merupakan konsekuensi logis dari tugas Negara (pemerintah) daloam proses penyelenggaraan pelayanan publik.

    Weber (dalam Suradinata, 2002;27) mengatakan bahwa “birokrasi adalah sebagai salah satu sistem otorita yang ditetapkan secararasionaloleh berbagai peraturan”. Birakrasi dimaksudkan untuk mengorganisasi secara teratur suatu pekerjaan yang harus dikerjakan oleh banyak orang. Sejalan dengan itu, Blau dan Page (dalam suradinata, 2002;27) memformulasikan “birokrasi sebagai tipe dari oorganisasi, dimana dimaksudkan untuk mencapai tugas-tugas administrative besar dengan cara mengkoordinasikan secara sistematika pekerjaan orang banyak’”.

       Pelaksanaan birokrasi disetiap Negara itu berbeda-beda tergantung dari sistem pemerintah yang dianut oleh setiap Negara tersebut. Jelas tentu berbeda dengan birokrasi di Negara maju dengan birokrasi di Negara berkembang, dimana di Negara maju birokrasinya sudah tentu bias kita liat lebih bagus proses pelayanan publiknya dibandingkan dengan pelayanan public di Negara berkembang yang proses peyanan publiknya yang lama, kaku, dan bertele-tele. Dimana pelayanan public di Negara berkembang belum bisa dikatakan baik karena proses pelayanan publiknya belum bias di nikmati oleh seluruh lapisan masyarakat karena dipengaruhi oleh beberapa factor seperti sumber daya manusia, kondisi geografis, sumber penerimaan dan teknologi informasi.

 

3.      Ciri-Ciri Birokrasi

    Sebagaimana dapat dilihat dari banyak buku mengenai birokrasi bahwa ciri pokok dari struktur birokrasi seperti yang diuraikan oleh max weber sebagai berikut:

1.      Jabatan administratif  yang terorganisasi/tersusun secara hierarkis.

2.      Setiap jabatan mempunyai wilayah kompetensinya sendiri.

3.      Pegawai negeri ditentukan, tidak dipilih berdasarakan pada kualifikasi teknik yang ditunjukkan dengan ijazah atau ujian.

4.      Pegawai negeri menerima gaji tetap sesuai pangkat atau kedudukannya.

5.    Pekerjaan merupakan karir yang terbatas, atau pada pokoknya pekerjaannya sebagai pegawai negeri.

6.    Para pejabat tidak memiliki kantor sendiri.

7.    Para pejabat sebagai subjek untuk mengontrol dan mendisiplinkan.

8.    Promosi didasarkan pada pertimbangan kemampuan yang melebihi rata-rata.

Selanjutnya, dari pengertian birokrasi, Rourke (1979) memberikan ciri-ciri birokrasi sebagai berikut:

a.    Adanya pembagian kerja secara hierarki dan rinci.

b.    Didasarkan pada aturan-aturan yang tertulis yang diterapkan secara impersonal.

c.      Dijalankan oleh staf yang bekerja full time, seumur hidup dan professional.

d.     Tidak turut memegang kepemilikan atas alat-alat pemerintahan, pekerjaan, keuangan, dan jabatannya.

e.       Hidup dari gaji dan pendapatan yang diterimanya tidak didasarkan secara langsung atas dasar kinerja mereka.

Masih dari pengertian birokrasi, Beetham (1990) mengemukakan bahwa ciri sentral dari birokrasi adalah:

a.    Bagian kerja yang sangat sistematis.

b.      Problema administrasi yang kompleks dipecah-pecah kedalam tugas-tugas yang bersifat berulang dan dapat dikelola, yang masing-masing merupakan wilayah kerja dari unit-unit tertentu.

c.    Dikoordinir dibawah hierarki komando yang bersifat sentralistis.

Eddhi Sudarto, yang mengutip Weber, memberikan ciri-ciri birokrasi sebagai berikut:

a.      Kegiatan sehari-hari yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan organisasi didistribusikan melalui cara yang telah ditentukan, dan dianggap sebagai tugas resmi.

b.      Pengoorganisasian kantor yang mengikutinprinsip hierarki yaitu bahwa unit yang lebih rendah dari sebuah kantor berada dibawah administrator dan pembinaan yang lebih tinggi.

c.       Pelaksanaan tugas diatur oleh suatu sistem peraturan abstrak yang konsisten dan mencakup penerapan aturan tersebut dalam kasus-kasus tertentu.

d.      Seorang pejabat yang ideal melaksanakan tugas-tugasnya tanpa perasaan-perasaan dendam, dan oleh karena itu juga tanpa perasaan kasih saying.

e.       Pekerjaan dalam suatu organisasi birokratis didasar pada kualifikasi teknis dan dilindungi dari kemungkinan pemecatan secara sepihak.

f.       Pengalaman secara universal cenderung mengemukakan bahwa tipe organisasi a dministrative murni yang berciri birokratis dilhat dari sudut pandangan yang semata-mata bersifat teknis, mampu mencapai tingkat efisiensi yang tinggi.

4.      Sejarah Birokrasi di indonesia

a.       Birokrasi Masa Kerajaan

      Sejarah perjalanan birokrasi di Indonesia tidak pernah terlepas dan pengaruh system politik yang berlangsung. Apa pun system politik yang diterapkan selama kurun waktu sejarah pemerintahan di Indonesia, birokrasi tetap memegang peran sentral dalam kehidupan masyarakat. Baik dalam system politik sentralistik maupun system politik yang demokratis sekalipun, seperti yang diterapkan Negara-negara maju, keberadaan birokrasi sulit dijauhkan dari aktivitas-aktivitas dan kepentingan-kepentingan politik pemerintah.

       Sebagian besar wilayah Indonesia sebelum kedatangan bangsa asing pada abad ke-16, menganut sistem kekuasaan dan pengaturan masyarakat yang berbentuk sistem kerajaan. Dalam system kerajaan, puncuk pimpinan ada di tangan raja sebagai pemegang kekuasaan tunggal dan absolut. Segala keputusan ada di tangan raja dan semua masyarakat harus tunduk dan patuh pada kehendak sang raja.

Ciri ciri birokrasi pada masa kerajaan adalah :

-       Penguasa menganggap dan menggunakan administrasi public sebagai urusan pribadi.

-        Administrasi adalah perluasan rumah tangga istananya.

-       Tugas pelayanan di tunjukkan kepada pribadi sang raja.

-       Gaji dari raja kepada pegawai kerajaan pada hakikatnya adalah anugerah yang juga dapat ditarik sewaktu waktu.

-         Para pejabat kerajaan dapat bertindak sekehendak hatinya terhadap rakyat.

b.      Birokrasi Masa Kolonial

       Pelayanan public pada masa pemerintahan kolonial belanda tidak terlepas dari sistem administrasi pemerintahan yang berlangsung pada saat itu. Sistem birokrasi pemerintahan yang dikembangkan colonial justru sepenuhnya ditujukan untuk mendukung semakin berkembangnya pola paternalistic yang telah di jiwai pada era kerajaan.

      Selama pemerintahan colonial berkuasa di Indonesia terjadi dualism sistem birokrasi pemerintahan. Di satu sisi telah mulai diperkenalkan dan diberlakukan sistem administrasi colonial belanda yang mengenal sistem birokrasi dan administrasi modern, sedangkan pada sisi lain, sistem administrasi tradisional  masih tetap dipertahankan pemerintahan colonial.

 

c.       Birokrasi Masa Orde Baru

         Berakhirnya masa pemerintahan kolonialisme di Indonesia membawa perubahan social politik yang sangat berarti bagi kelangsungan sistem birokrasi pemerintahan.perbedaan-perbedaan pandangan yang terjadi di antara pendiri bangsa di awal masa kemerdekaan tentang bentuk Negara yang akan didirikan, termaksud dalam pengaturan birokrasinya.

      Setidak-tidaknya terdapat dua persoalan dilematis menyangkut aparat birokrasi pada saat itu . Pertama, bagaimana cara mendapatkan pegawai Republik Indonesia yang telah berjasa mempertahankan Republik Indonesia, tetapi relative kurang memiliki keahlian dan pengalaman kerja yang memadai. Kedua, bagaimana menempatkan pegawai yang telah bekerja pada pemerintahan belanda yang memiliki keahlian, tetapi dianggap berkhianat atau tidak loyal terhadap Negara Republik Indonesia (Menpan, 1995).

      Pada masa ini akhirnya birokrasi menjadi begitu superior terhadap publik. Semua aspek kehidupan masyarakat hamper dapat dipastikan tersentuh oleh kekuasaan birokrasi. Lembaga perizinan menjadi mekanisme control efektif bagi birokrasi, mulai dari pelayanan akta kelahiran, kartu penduduk, sampai akta kematian, semuanya telah menjadi bagian dari upaya birokrasi untuk mengontrol dan memobilisasi potensi masyarakat bagi kepentingan birokrasi.

 

d.      Birokrasi Di Era Reformasi

           Pada era reformasi sekarang ini, lembaga birokrasi pemerintah baik di pusat maupun daerah masih tergolong besar. Jumlah dan macam jenisnya di pemerintah pusat merupakan tinggalan dari pemerintah Orde Baru. Jumlah kementrian negaranya masih besar karena di pertahankan oleh partai politik sebagai arena bargaining untuk mendukung presiden terpilih, kalau perlu harus di tambah lagi supaya virus parkiston dan Proliferasi tidak bisa sembuh. Demikian partai politik sekarang ini diperkirakan menjadi salah satu penyebab membesarnya lembaga birokrasi pemerintahan.

      Sistem politik yang berubah dari zaman pemerintahan Orde Baru menyadarkan kita bahwa semakin banyaknya partai politik, maka semakin banyak keinginan partai politik pemerintahan birokrasi pemerintah. Orang orang parpol akan menjadi pimpinan lembaga birokrasi pemerintah. Oleh karena itu, perlu diatur sistem hubungan kerja antara jabatan politik, jabatan Negara, dan jabatan birokrasi karier pemerintah. Sampai sekarang ini hubungan dari ketiga jabatan tersebut belum ada tanda-tanda diatur. Adapun yang sekarang ini berlaku adalah cara-cara pemerintahan Pak Harto yang diteruskan oleh pemeintahan yang sekarang ini.

 

     Tujuan Reformasi Birokrasi

            Reformasi birokrasi bertujuan memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada masyarakat, dengan meningkatkan kualitas sumber daya manusia, sehingga bisa memberikan kesejahteraan dan rasa keadilan pada masyarakat banyak. Di sisi lain birokrasi sangat sarat dengan banyak tugas dan fungsi, karena tidak saja hanya terfokus kepada pelayanan publik, tetapi juga bertugas dan berfungsi sebagai motor pembangunan dan aktivitas pemberdayaan. Proses reformasi yang harus dilakukan birokrasi nampaknya bukan hal yang mudah karena harus memformat ulang dengan penuh kritik dan tindakan korektif struktur dan konfigurasi birokrasi itu dari yang serba sakral feodal ke serba rasional dan profesional. Proses reformasi dari berfikir nuansa serba priyayi (ambtenaar) ke arah birokrasi dengan konfigurasi otoritas yang rasional, yang dalam tataran empirik dari budaya minta dilayani menjadi budaya melayani sebagai abdi masyarakat (public service). Menurut konsep birokrasi Weberian bahwa kekuasaan ada pada setiap hirearki jabatan. Semakin tinggi hirearki tersebut semakin tinggi kekuasaannya. Demikian sebaliknya semakin rendah hirearkinya akan semakin rendah pula kekuasaannya. Rakyat adalah paling rendah hirearkinya sehingga ia tidak mempunyai kekuasaan apapun.

            Secara umum bahwa tujuan dari reformasi birokrasi itu sendiri adalah untuk merubah tatanan, sistem, tingkah laku dan arah kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah sebagai penyelenggara negara, yang pada mulanya terkesan bahkan terasa otoriter, penuh dengan KKN diubah ke dalam keadaan birokrasi yang bersih dan netral. Oleh karena itu lembaga Eksekutif yang berperan sebagai pelaksana aturan-aturan yang telah dibuat olehnya (lembaga Eksekutif itu sendiri atas persetujuan Legislatif) serta lembaga-lembaga tinggi negara lainnya yang berwenang untuk membuat kebijakan / peraturan harus dapat mengkoordinir perangkat-perangkat birokrasi yang bersih (bebas kolusi, korupsi dan nepotisme) yang berpihak kepada kepentingan rakyat.

Jadi, Reformasi Birokrasi bertujuan untuk :

1.      Memperbaiki kinerja birokrasi agar lebih efektif dan efisien.

2.      Terciptanya birokrasi yang profesional, netral, terbuka, demokratis, mandiri, serta memiliki integritas dan kompetensi dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya selaku abdi masyarakat dan abdi negara. 

3.      Pemerintah yang bersih (clean government). 

4.      Bebas KKN. 

5.      Meningkatkan kualitas pelayanan terhadap masyarakat.

 

      Strategi Terwujudnya Reformasi Birokrasi

             Menurut Prof. Eko Prasojo, guru besar sekaligus ahli administrasi negara dari FISIP UI, untuk terwujudnya reformasi birokrasi, maka diperlukan strategi-strategi reformasi birokrasi, yaitu :

1.   Level kebijakan, harus diciptakan berbagai kebijakan yang mendorong Birokrasi yang berorientasi pada pemenuhan hak-hak sipil warga (kepastian hukum, batas waktu, prosedur, partisipasi, pengaduan, gugatan).

2.   Level organisational, dilakukan melalui perbaikan proses rekrutmen berbasis kompetensi, pendidikan dan latihan yang sensitif terhadap kepentingan masyarakat, penciptaan Standar Kinerja Individu, Standar Kinerja Tim dan Standar Kinerja Instansi Pemerintah.

3.   Level operasional, dilakukan perbaikan melalui peningkatan service quality meliputi dimensi tangibles, reliability, responsiveness, assurance dan emphaty.

4.  Instansi Pemerintah secara periodik melakukan pengukuran kepuasan pelanggan dan melakukan perbaikan.

           Strategi birokrasi yang profesional dalam pelayanan publik ini ditandai dengan beberapa karakteristik antara lain:

               i.     Perubahan yang besar pada orientasi administrasi negara tradisional menuju ke perhatian yang lebih besar pada pencapaian hasil dan pertanggung jawaban pribadi pimpinan.

             ii.     Keinginan untuk keluar dari birokrasi klasik dan menjadikan organisasi, pegawai, masa pengabdian dan kondisi pekerjaan yang lebih luwes.

           iii.     Tujuan organisasi dan individu pegawai disusun secara jelas sehingga memungkinkan dibuatkannya tolok ukur prestasi lewat indikator kinerjanya masing-masing, termasuk pula sistem evaluasi program-programnya. 

           iv.     Staf pimpinan yang senior dapat memiliki komitmen politik kepada pemerintah yang ada, dan dapat pula bersikap non partisan dan netral. 

             v.     Fungsi-fungsi pemerintah bisa dinilai lewat uji pasar (market test) seperti misalnya dikontrakkan pada pihak ketiga tanpa harus disediakan atau ditangani sendiri oleh pemerintah.

           vi.     Mengurangi peran-peran pemerintah misalnya lewat kegiatan privatisasi. 

         vii.     Birokrasi harus steril dari akomodasi politik yang menghambat efektivitas pemerintahan. 

       viii.     Rekruitmen dan penempatan pejabat birokrasi yang bebas dari kolusi, korupsi dan nepotisme.

 

Selain memerlukan strategi-strategi, diperlukan pula tahapan-tahapan reformasi birokrasi, yaitu meningkatkan pelayanan publik guna mendapatkan kembali kepercayaan rakyat, pelayanan publik yang berorientasi pada pemberdayaan masyarakat, serta perbaikan tingkat kesejahteraan pegawai.

 

      Tahap-tahap Reformasi Birokrasi yang Ideal

            Agar reformasi birokrasi dapat berjalan baik, perlu dilakukan langkah-langkah manajemen perubahan. Manajemen perubahan adalah proses mendiagnosis, menginisialisasi, mengimplementasi, dan mengintegrasi perubahan individu, kelompok, atau organisasi dalam rangka menyesuaikan diri dan mengantisipasi perubahan lingkungannya agar tetap tumbuh, berkembang, dan menghasilkan keuntungan.

Ada tujuh langkah manajemen perubahan yang dikutip dari Harvard Business Essentials tahun 2005, yaitu sebagai berikut:

1.   Memobilisasi energi dan komitmen para anggota organisasi melalui penentuan cita-cita, tantangan, dan solusinya oleh semua anggota organisasi. Pada tahap ini, setiap lini dalam instansi pemerintah harus tahu apa yang dicita-citakan instansi, apa yang mereka hadapi, dan cara menghadapi atau menyelesaikan masalah itu secara bersama-sama. Agar mereka tergerak untuk menjalankan solusi bersama, mereka perlu dilibatkan dalam diskusi dan pengambilan keputusan. 

2.   Mengembangkan visi bersama, bagaimana mengatur dan mengorganisasi diri maupun organisasi agar dapat mencapai apa yang dicita-citakan.

3.   Menentukan kepemimpinan. Di dalam instansi pemerintahan, kepemimpinan biasanya dipegang para pejabat eselon. Padahal, kepemimpinan harus ada pada semua level agar dapat mengontrol perubahan. Pemimpin tertinggi harus memastikan orang-orang yang kompeten dan jujurlah yang berperan sebagai pemimpin pada level-level di bawahnya.

4.   Fokus pada hasil kerja. Langkah itu dilakukan dengan membuat mekanisme asessment yang dapat mengukur hasil kerja tiap pegawai atau tiap tim yang diberi tugas tertentu.

5.   Mulai mengubah unit-unit kecil di instansi kemudian dorong agar perubahan itu menyebar ke unit-unit lain di seluruh instansi.

6.   Membuat peraturan formal, sistem, maupun struktur untuk mengukuhkan perubahan, termasuk cara untuk mengukur perubahan yang terjadi.

7.      Mengawasi dan menyesuaikan strategi untuk merespons permasalahan yang timbul selama proses perubahan berlangsung.

 

 

      Pokok-pokok Reformasi Birokrasi  Pemerintahan

            Reformasi Birokrasi harus dimulai dari penataan kelembagaan dan sumber daya manusia aparatur. Langkah selanjutnya adalah membuat mekanisme, pengaturan, sistem, dan prosedur yang sederhana tidak berbelit-belit, menegakkan akuntabilitas aparatur, meningkatkan dan menciptakan pengawasan yang komprehensif, dan meningkatkan kualitas pelayanan publik menuju pelayanan publik yang berkualitas dan prima. Reformasi birokrasi perlu diprioritaskan pada unit-unit kerja pelayanan publik seperti imigrasi, bea-cukai, pajak, pertanahan, kepolisian, kejaksaan, pemerintahan daerah dan pada institusi atau instansi pemerintah yang rawan KKN, seperti pemerintah pusat/ daerah, kepolisian, kejaksaan, legislatif, yudikatif, dan departemen dengan anggaran besar seperti departemen pendidikan, departemen agama, dan departemen pekerjaan umum.

            Pokok-pokok Pikiran Tentang Reformasi Birokrasi Aparatur Negara dapat digambarkan sebagai berikut :

1.  Penataan Kelembagaan atau Organisasi.

Untuk menata lembaga atau sebuah organisasi ada beberapa hal yang harus dilakukan, diantaranya : perampingan struktur organisasi yang banyak atau kaya fungsi, menciptakan organisasi yang efektif dan efisien, rasional, dan  proporsional, organisasi disusun berdasarkan visi, misi, dan strategi  yang jelas, mengedepankan kompetensi dan profesionalitas dalam pelaksanaan tugas, menerapkan strategi organisasi pembelajaran (learning organization) yang cepat beradaptasi dengan terhadap perubahan.

 

 

 

      2.      Sumber Daya Manusia (SDM) Aparatur

SDM yang ingin dibangun adalah PNS yang profesional, netral, dan sejahtera, manajemen kepegawaian modern, PNS yang profesional, netral, sejahtera, berdaya guna, berhasil guna, produktif, transparan, bersih dan bebas KKN untuk melayani dan memberdayakan masyarakat, jumlah dan komposisi pegawai yang ideal (sesuai dengan tugas, fungsi dan beban kerja yang ada di masing-masing instansi  pemerintah), penerapan sistem dalam manajemen PNS, klasifikasi jabatan, standar kompetensi, sistem diklat yang mantap, standar kinerja, penyusunan pola karier PNS, pola karir terbuka, PNS sebagai perekat dan pemersatu bangsa, membangun sistem manajemen kepegawaian unified berbasis kinerja, dan dukungan pengembangan database kepegawaian, sistem informasi manajemen kepegawaian, sistem remunerasi yang layak dan adil, menuju manajemen modern.

 

      3.      Tata Laksana atau Manajemen.

Ketatalaksanaan aparatur pemerintah disederhanakan, ditandai oleh mekanisme, sistem,  prosedur, dan tata kerja yang tertib, efisien, dan efektif, melalui pengaturan ketatalaksanaan yang sederhana: standar operasi, sistem, prosedur, mekanisme, tatakerja, hubungan kerja dan prosedur pada proses perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, evaluasi dan pengendalian, proses korporatisasi dan privatisasi, pengelolaan sarana dan prasarana kerja, penerapan perkantoran elektronis dan pemanfaatan teknologi informasi (e-government), dan apresiasi kearsipan. Juga penataan birokrasi yang efisien, efektif, transparan, akuntabel, hemat, disiplin, dan penerapan pola hidup sederhana. Efisiensi kinerja aparatur dan peningkatan budaya kerja, terwujudnya sistem dan mekanisme kerja yang efektif dan efisien (dalam administrasi pemerintahan maupun pelayanan kepada masyarakat), sistem kearsipan yang andal (tepat guna, tepat sasaran, tepat waktu, efektif dan efisien), otomatisasi administrasi perkantoran, dan sistem manajemen yang efisien dan efektif. Unit organisasi pemerintah yang mempunyai potensi penerimaan keuangan negara, statusnya didorong menjadi unit korporatisasi dalam bentuk Badan Layanan Umum (BLU), BHMN, BUMD, Perum, Persero, UPT, UPTD, atau bentuk lainnya.

 

      4.      Akuntabilitas Kinerja Aparatur

            Pemahaman tentang akuntabilitas terus ditingkatkan dan diupayakan agar diciptakan Kinerja Instansi pemerintah yang berkualitas tinggi, akuntabel dan bebas KKN, ditandai oleh Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP) yang efektif, sistem dan lingkungan kerja yang kondusif: berdasarkan peraturan dan tertib administrasi, terlaksananya sistem akuntabilitas instansi yang berguna sebagai sarana penilaian kinerja instansi dan individu oleh stakeholders (atasan, masyarakat, dan pihak lain yang berkepentingan) didukung sistem informasi dan pengolahan data elektronik yang terpadu secara nasional dan diterapkan di semua departemen/lembaga di bidang perencanaan dan penganggaran, organisasi dan ketatalaksanaan, kepegawaian, sistem akuntansi keuangan negara yang dikaitkan dengan indikator kinerja dan pelayanan masyarakat, dan aparatur negara yang bebas KKN (kondisi yang terkendali dari praktek-praktek penyalahgunaan kewenangan dan penyimpangan serta pelanggaran disiplin, tingginya kinerja sumber daya aparatur dan kinerja pelayanan publik).

 

      5.      Pengawasan.

              Pengawasan ini dilakukan dengan harapan terbangunnya sistem pengawasan nasional dengan elemen-elemen pengawasan fungsional, pengawasan internal, pengawasan eksternal, dan pengawasan masyarakat, ditandai oleh sistem pengendalian dan pengawasan yang tertib, sisdalmen/waskat, wasnal, dan wasmas, koordinasi, integrasi dan sinkronisasi aparat pengawasan, terbentuknya sistem informasi pengawasan yang mendukung pelaksanaan tindak lanjut, serta jumlah dan kualitas auditor profesional yang memadai, intensitas tindak lanjut pengawasan dan penegakan hukum secara adil dan konsisten.

 

 

 

 

      6.      Pelayanan Publik.

            Pelayanan publik sebagai barometer transparansi dan akuntabilitas, diharapkan dapat didorong upaya mewujudkan pelayanan publik yang prima dalam arti pelayanan yang cepat, tepat, adil, dan akuntabel ditandai oleh pelayanan tidak berbelit-belit, informatif, akomodatif, konsisten, cepat, tepat, efisien, transparan dan akuntabel, menjamin rasa aman, nyaman, dan tertib, kepastian (persyaratan biaya waktu pelayanan dan aturan hukum), dan tidak dijumpai pungutan tidak resmi. Kondisi kelembagaan, SDM aparatur, ketatalaksanaan, dan pengawasan, mampu mendukung penyelenggaraan pelayanan publik yang berkualitas dan mendorong munculnya praktek-praktek pelayanan yang lebih menghargai para pengguna jasa; perubahan paradigma aparatur yang terarah dalam upaya revitalisasi manajemen pembangunan ke arah penyelenggaraan good governance: menjadi entrepreneurial competitive government (pemerintahan yang kompetitif), customer driven dan accountable government (pemerintahan tanggap/ responsive), serta global-cosmopolit orientation government (pemerintahan yang berorientasi global).

 

      7.      Budaya Kerja Produktif, Efisien dan Efektif.

Pelaksanaan Budaya Kerja Produktif, Efisien dan Efektif ini adalah untuk  membangun kultur birokrasi pemerintah yang produktif, efisien, dan efektif terciptanya iklim kerja yang berorientasi pada etos kerja dan produktivitas yang tinggi, melalui Pengembangan Budaya Kerja yang mengubah mindset, pola pikir, sikap dan perilaku serta motivasi kerja; menemukan kembali karakter dan jati diri, membangun birokrat berjiwa entrepreneur, dengan pengembangan budaya kerja yang tinggi (terbentuk pola pikir, sikap, tindak dan perilaku, serta budaya kerja pegawai yang etis, bermoral, profesional, disiplin, hemat, hidup sederhana, jujur, produktif, menghargai waktu, menjadi panutan dan teladan, serta mendapat kepercayaan masyarakat).


      8.      Koordinasi, Integrasi, dan Sinkronisasi

            Koordinasi, Integrasi, dan Sinkronisasi ini perlu ditingkatkan koordinasi program dan pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi, pengawasan dan pengendalian program pendayagunaan aparatur negara.

 

      9.      Best Practices.

            Best practices yaitu mengamati contoh keberhasilan beberapa Pemerintah Daerah dalam melaksanakan reformasi birokrasi dan meningkatkan kualitas pelayanan publik, antara lain Provinsi (DI Yogyakarta, Sumatera Barat, Riau, Bali, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur), Kabupaten (Solok, Tanah Datar, Sidoarjo, Takalar, Sragen, Karanganyar, Sleman, Bantul, Kebumen, Jembrana, Gianyar, dan Tabanan), dan Kota (Balikpapan, Tarakan, Malang, Sawahlunto, dan Pekanbaru). 

BAB IV

PENUTUP

 

      A.    Kesimpulan

Penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan demokratis mensyaratkan kinerja dan akuntabilitas aparatur yang makin meningkat. Hal ini mengindikasikan bahwa reformasi birokrasi merupakan kebutuhan dan harus sejalan dengan perubahan tatanan kehidupan politik, kemasyarakatan, dan dunia usaha. Dalam peta tantangan nasional, regional, dan internasional, aparatur negara dituntut untuk dapat mewujudkan profesionalisme, kompetensi dan akuntabilitas. Pada era globalisasi, aparatur negara harus siap dan mampu menghadapi perubahan yang sangat dinamis dan tantangan persaingan dalam berbagai bidang. Saat ini masyarakat Indonesia sedang memasuki era yang penuh tuntutan perubahan serta antusiasme akan pengubahan. Ini merupakan sesuatu yang di Indonesia tidak dapat dibendung lagi. Oleh karena itu, reformasi di tubuh birokrasi indonesia harus terus dijalankan demi terciptanya pelayanan prima bagi masyarakat seperti yang telah dilakukan oleh departemen keuangan.

 

      B.     Saran

Untuk memayungi reformasi birokrasi, diupayakan penataan perundang-undangan, antara lain dengan menyelesaikan rancangan undang-undang yang telah ada. Dengan demikian, proses reformasi birokrasi dapat berjalan dengan baik dengan adanya legalitas secara hukum dalam pelaksanaannya.

Untuk membangun bangsa yang bermartabat, harus dilakukan bersama oleh pemerintah dan masyarakat dalam menciptakan pemerintah yang lebih baik dari able government ke better government dan trust government. Selain itu, diharapkan masyarakat dapat lebih partisipatif dalam pelaksanaan reformasi birokrasi, prinsip-prinsip good governance, pelayanan publik, penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan yang baik, bersih, dan berwibawa, serta pencegahan dan percepatan pemberantasan korupsi.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 


1. Benveniste, Guy.1997. Birokrasi di Indonesia .Jakarta: PT Raja Grafindo

2. Pramusinto Agus dan Erwan Agus Purwanto. 2009. Reformasi Birokrasi, Kepemimpinan dan Pelayanan Publik

3. Drs. Taufiq Effendi, MBA, “Agenda Strategis Reformasi Birokrasi Menuju Good Governance”,

4. Prof.Dr.Mostopadidjaja AR. 2003. “Reformasi Birokrasi Sebagai syarat Pemberantasan KKN”,

5. Thoha Miftah.2003.Birokrasi dan politik di Indonesia.PT. Raja grafindo persada.Jakarta.

6.  Mustafa Delly. 2013. Birokrasi Pemerintahan. Alfabeta.Bandung

KEPEMIMPINAN PEMERINTAHAN DAN KEPAMONGPRAJAAN

  JUDUL BUKU “KEPEMIMPINAN PEMERINTAHAN DAN KEPAMONGPRAJAAN” TUGAS RESUME   Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah ...

082126189815

Name

Email *

Message *