KATA PENGANTAR
Puji syukur kami
panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena telah memberikan kekuatan dan kemampuan
sehingga makalah ini bisa selesai tepat pada waktunya. Adapun tujuan dari
penyusunan makalah ini adalah untuk memenuhi Makalah Kedaulatan Negara
Indonesia dibidang Ketahanan Pangan.
Penulis mengucapkan
terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan mendukung dalam
penyusunan makalah ini.
Penulis sadar makalah
ini belum sempurna dan memerlukan berbagai perbaikan, oleh karena itu kritik
dan saran yang membangun sangat dibutuhkan.
Akhir kata, semoga makalah
ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan semua pihak.
Jatinangor,
Juni 2014
Penulis,
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pangan merupakan komoditas penting dan strategis bagi bangsa
Indonesia mengingat pangan adalah kebutuhan dasar manusia yang harus dipenuhi
oleh pemerintah dan masyarakat secara bersama-sama seperti diamanatkan
oleh Undang Undang Nomor 7 tahun 1996 tentang pangan. Dalam UU tersebut
disebutkan Pemerintah menyelenggarakan pengaturan, pembinaan, pengendalian dan
pengawasan, sementara masyarakat menyelenggarakan proses produksi dan
penyediaan, perdagangan, distribusi serta berperan sebagai konsumen yang berhak
memperoleh pangan yang cukup dalam jumlah dan mutu, aman, bergizi, beragam,
merata, dan terjangkau oleh daya beli mereka.
Peraturan Pemerintah No.68 Tahun 2002 tentang Ketahanan
Pangan sebagai peraturan pelaksanaan UU No.7 tahun 1996 menegaskan bahwa untuk
memenuhi kebutuhan konsumsi yang terus berkembang dari waktu ke waktu,
upaya penyediaan pangan dilakukan dengan mengembangkan sistem produksi pangan
yang berbasis pada sumber daya, kelembagaan, dan budaya lokal, mengembangkan
efisiensi sistem usaha pangan, mengembangkan teknologi produksi pangan,
mengembangkan sarana dan prasarana produksi pangan dan mempertahankan dan
mengembangkan lahan produktif. Di PP tersebut juga disebutkan dalam rangka
pemerataan ketersediaan pangan ke seluruh wilayah dilakukan distribusi pangan
melalui upaya pengembangan sistem distribusi pangan secara efisien, dapat
mempertahankan keamanan, mutu dan gizi pangan serta menjamin keamanan
distribusi pangan.
Disamping itu, untuk meningkatkan ketahanan pangan dilakukan
diversifikasi pangan dengan memperhatikan sumberdaya, kelembagaan dan budaya
lokal melalui peningkatan teknologi pengolahan dan produk pangan dan
peningkatan kesadaran masyarakat untuk mengkonsumsi anekaragam pangan dengan
gizi seimbang. PP Ketahanan Pangan juga menggarisbawahi untuk mewujudkan
ketahanan pangan dilakukan pengembangan sumber daya manusia yang meliputi
pendidikan dan pelatihan di bidang pangan, penyebarluasan ilmu pengetahuan dan
teknologi di bidang pangan dan penyuluhan di bidang pangan. Di samping itu,
kerjasama internasional juga dilakukan dalam bidang produksi, perdagangan
dan distribusi pangan, cadangan pangan, pencegahan dan penanggulangan masalah
pangan serta riset dan teknologi pangan.
Dari uraian di atas terlihat ketahanan pangan
berdimensi sangat luas dan melibatkan banyak sektor pembangunan. Keberhasilan
pembangunan ketahanan pangan sangat ditentukan tidak hanya oleh performa salah
satu sektor saja tetapi juga oleh sektor lainnya. Dengan demikian sinergi
antar sektor, sinergi pemerintah dan masyarakat (termasuk dunia usaha)
merupakan kunci keberhasilan pembangunan ketahanan pangan.
Menyadari hal tersebut di atas, Pemerintah pada tahun 2001
telah membentuk Dewan Ketahanan Pangan ( DKP) diketuai oleh Presiden RI dan Menteri
Pertanian sebagai Ketua Harian DKP. DKP terdiri dari 13 Menteri termasuk
Menteri Riset dan Teknologi dan 2 Kepala LPND. Dalam pelaksanaan
sehari-hari, DKP dibantu oleh Badan Bimas Ketahanan Pangan Deptan, Tim
Ahli Eselon I Menteri Terkait (termasuk Staf Ahli Bidang Pangan KRT), Tim
Teknis dan Pokja.
Peraturan Pemerintah No.68 Tahun 2002 tentang ketahanan
pangan pasal 9 menyebutkan: (1) penganekaragaman pangan diselenggarakan untuk
meningkatkan ketahanan pangan dengan memperhatikan sumber daya, kelembagaan,
dan budaya lokal, (2) penganekaragaman pangan sebagaimana dimaksudkan dalam
ayat1 dilakukan dengan a. Meningkatkan keragaman pangan, b. Mengembangkan
teknologi pengolahan dan produk pertanian dan c. Meningkatkan kesadaran
masyarakat untuk mengkonsumsi anekaragam pangan dengan prrinsip gizi berimbang.
Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas maka Penulis mengambil titik
permasalahan mengenai Kedaulatan Negara Indonesia di Bidang Ketahan Pangan.
BAB II
PEMBAHASAN
Kedaulatan Negara Indonesia di Bidang Ketahan Pangan
Indonesia, sebagai sebuah nation state dengan mayoritas
penduduknya beragama Islam baru saja merayakan dua kemenangan sekaligus. Kemenangan pertama adalah terlepasnya
bangsa Indonesia dari belenggu penjajahan, yang sudah kita nikmati dan
peringati sepanjang 67 tahun. Sepanjang 67 tahun itu pula-lah Indonesia menjadi
sebuah negara yang berdaulat. Kemenangan
kedua adalah keberhasilan menuntaskan puasa ramadhan menuju kesucian
kembali (fitri) sebagai manusia. Ragam kemenangan ini termanifestasi dalam
berbagai bentuk perayaan yang bisa jadi menghabiskan puluhan bahkan ratusan
milyar. Tradisi perayaan 17-an tingkat kampung, kalurahan, kecamatan,
kabupaten, provinsi hingga tingkat nasional dengan berbagai atraksi, termasuk
atraksi & manuver pesawat tempur TNI
beriringan dengan tradisi mudik yang ‘menghamburkan’ banyak energi
adalah biaya yang harus dibayarkan dalam merayakan dua kemenangan sekaligus.
Pertanyaan yang kemudian diajukan
secara kritis adalah apakah benar bahwa Indonesia sebagai nation state sudah benar-benar berdaulat? Apabila sudah, apakah
kedaulatan negara ini sudah ditunjukkan oleh penyelenggara negara melalui
terjaminnya kebutuhan pangan bagi seluruh penduduknya? Pertanyaan ini perlu
diajukan mengingat perayaan dua kemenangan kita seolah menafikan terancamnya
berbagai krisis pangan yang selalu menghantui bangsa ini. saat. Realitas yang
menunjukkan bahwa setiap tahun kita mengimpor lebih dari 200.000 ekor sapi, 40%
kebutuhan gula, 50% kebutuhan garam, 71% kebutuhan kedelai, 90% kebutuhan susu
dan ratusan ribu - jutaan ton beras, sejatinya adalah ancaman krisis pangan
yang begitu menyesakkan.
Sebagai negara yang berdaulat,
Indonesia berkehendak untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah
Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial. Tujuan Negara sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945,
jelas merupakan misi utama Indonesia sebagai negara berdaulat. Perlindungan
terhadap segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, tidak terbatas pada
perlindungan wilayah/teritori negara dari gangguan musuh & ancaman negara
lain, tetapi juga perlindungan terhadap ancaman krisis pangan bagi penduduknya
secara berkelanjutan.
Selama ini perlindungan terhadap
ancaman krisis pangan selalu dibaca sebagai keberhasilan negara dalam
menciptakan ketahanan pangan. Dalam hal ini ketahanan pangan dimaknai sebagai kondisi
terpenuhinya pangan bagi seluruh
penduduk, yang tercermin dari tersedianya pangan secara cukup- baik dalam jumlah
maupun mutunya-, aman, merata, dan
terjangkau. Tidak
perduli apakah ketersediaan pangan tersebut tercukupi oleh produksi nasional
ataupun oleh membanjirnya produk impor. Pemaknaan inilah yang menjadikan negara ini selalu
bergantung pada negara lain untuk mencukupi kebutuhan pangan nasional. Padahal
potensi wilayah dengan luas lahan kering sekitar 148 juta ha dan lahan
basah termasuk lahan sawah sekitar 42,9 juta ha (Sabiham, 2007), sangat memungkinkan Indonesia mampu
berdaulat dalam penyediaan pangan.
Setelah 67 tahun bangsa Indonesia
berdaulat secara politik, sudah selayaknya dan sudah seharusnya negara ini
mampu mewujudkan kedaulatan pangan sebagai wujud berdaulat secara ekonomi.
Kedaulatan pangan dimaknai sebagai suatu hak setiap bangsa dan setiap rakyat
untuk memproduksi pangan secara mandiri dan hak untuk menetapkan sistem
pertanian, peternakan, dan perikanan tanpa adanya subordinasi dari kekuatan
pasar. Untuk mewujudkan kedaulatan pangan, diperlukan: (1) pembaruan pgraria;
(2) penguatan akses rakyat terhadap pangan; (3) penggunaan sumberdaya alam
secara berkelanjutan; (4) pangan untuk pangan, tidak sekadar komoditas yang
diperdagangkan; (5) pembatasan penguasaan pangan oleh korporasi; (6) larangan
penggunaan pangan sebagai senjata; dan (7)pemberian akses petani dalam
perumusan kebijakan pertanian. Kedaulatan pangan merupakan prasyarat dari
ketahanan pangan. Mustahil tercipta ketahanan pangan kalau suatu bangsa dan
rakyatnya tidak memiliki kedaulatan atas proses produksi dan konsumsi pangannya
(SPI, 2008). Kondisi inilah yang saat ini terjadi di negeri agraris
ini.
Kedaulatan negara secara politis ataupun sering terungkap
sebagai kedaulatan politik, sesungguhnya tidak akan terwujud tanpa kehadiran
kedaulatan pangan yang merupakan satu esensi perwujudan perlindungan segenap
bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. Untuk itu, dua kemenangan sekaligus
ini dapat dijadikan momentum untuk secara bersama-sama mewujudkan kedaulatan
pangan di dalam NKRI yang berdaulat.
Sistem pendukung on
farm (produksi) yang prima ini dapat dilakukan dengan sedikit modifikasi
seperti menekankan pada peremajaan pabrik-pabrik pupuk yang ada, pembangunan
dan perawatan sistem irigasi, serta reboisasi hutan penyangga suplai air.
Selain itu, payung konstitusional yang mengamanahkan telah menghadirkan sistem
penyuluhan yang baik. Sebagai contoh
Undang-undang No 16 tahun 2006 Tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan
dan Kehutanan. Lahirnya Undang-undang ini dilandaskan pada kesadaran bersama
tentang perlunya meningkatkan pembangunan pertanian (dalam arti luas) termasuk
salah satunya dalam hal menjaga ketahanan dan kedaulatan pangan nasional.
Melalui undang-undang ini diharapkan sistem penyuluhan yang sinergis dan
terintegrasi dari pusat sampai daerah bisa terjadi untuk memacu peningkatan
produktivitas pertanian nasiona.
Sistem Pendukung yang Efektif
Menciptakan supporting
system yang efektif cukup sulit di lapangan. Kesulitan itu terletak pada
beberapa kendala utama.
Pertama, lemahnya sinergisasi kementerian-kementerian dan instansi pemerintah
yang terlibat dalam eksekusi kebijakan di lapangan dan pandangan ego sektoral
yang masih sangat kental hadir dalam perilaku birokrasi pemerintah. Tantangan
kedua yang tak kalah besar adalah kondisi birokrasi yang tidak kondusif untuk
bisa mengawal implementasi kebijakan dan program ketahanan pangan di lapangan.
Secara umum karakteristik birokrasi yang menyulitkan implementasi kebijakan
secara efektif adalah inefisiensi dan biaya transaksi tinggi dengan vested interest sebagai pelayan publik
yang sangat minimalis, serta kapasitas admnistrasi yang rendah dalam manajemen
publik.
Visi pertanian ke depan bukan pembangunan pertanian, tetapi
membangun pertanian untuk mewujudkan Indonesia sejahtera, demokratis dan
berkeadilan. Untuk menuju ke
sana ada tiga misi yang harus ditempuh antara lain mensejahterakan petani,
nelayan, rakyat dan pelaku pembangunan pertanian. Misi lain dalam membangun pertanian ke depan adalah dengan, menjadikan pertanian
sebagai prime over
pembangunan pertanian, bukan ekonomi
sebagai prime over
komponennya pertanian. Untuk itu, pertanian tidak bisa menjadi penyedia makanan
murah, penyedia bahan baku murah, penyedia SDM murah melainkan harus punya
harga diri untuk pembangunan pertanian.
Ketahanan pangan dan swasembada adalah dua hal yang berbeda.
Tingginya tingkat urbanisasi menyebabkan naiknya tingkat kemiskinan perkotaan,
yang sangat membutuhkan pangan murah. Untuk pemenuhan ketahanan pangan kota,
tidak mudah bagi Indonesia untuk mengabaikan perdagangan pangan global,
kecuali ketergantungan pada produksi pangan domestik bisa menjamin harga pangan
murah bagi kaum miskin kota. Tapi pada saat yang sama harus
menghadapi cara bagaimana memproteksi petani
kecil dan miskin dari dampak perdagangan pangan global. Dilema bagi Indonesia
adalah bahwa petani tidak banyak menikmati harga dasar pangan yang adil.
Sayangnya harga yang adil bagi petani identik dengan naiknya harga pangan.
Sedangkan kaum miskin kota, yang semakin meningkat dari tahun ke tahun justru
membutuhkan pangan yang murah, demi akses yang lebih baik bagi kaum miskin.
Produksi pangan harus senantiasa ditingkatkan dengan berbagai
uapaya, mengingat kenyataan yang ada tidak bisa dihindari dari waktu ke waktu
yaitu ternjadinya penyusutan lahan produktif baik akibat adanya konversi (alih
fungsi dari lahan pertanian ke non pertanian) maupun menurunnya kualitas lahan yang
ada. Di sisi lain, laju perkembangan jumlah penduduk di Indonesia terus
meningkat (sekitar 1.49 %. per tahun) Semua ini menyebabkan
terjadinya peningkatan kebutuhan pangan yang terus melaju pesat.
Upaya peningkatan produksi pangan dengan perbaikan teknologi
bercocok tanam seakan sudah memasuki titik jenuh. Sebagai ilustrasi, penambahan
jumlah pupuk apapun seakan sudah tidak mampu memacu produksi tanaman yang
relatif stagnan. Hal ini
sesuai dengan hukum marginal produksi
dimana pada saat produksi mencapai maksimum, maka marginal produksi
(peningkatan setiap 1 unit yang diproduksi) adalah nol. Sehingga apabila lahan telah melalui fase tersebut,
jumlah produksi akan menurun karena marginal produknya bernilai negatif. Untuk
itulah, satu-satunya cara yang bisa dilakukan saat ini adalah dengan menanam
padi yang mempunyai potensi produksi yang lebih tinggi melalui perbaikan
potensi genetiknya.
Di lain pihak, kehilangan hasil tentu saja harus bisa
diminimalisasi dan ditekan sekecil mungkin, baik saat panen maupun pasca panen.
Kehilangan hasil panen dan pasca panen saat ini masih tinggi, yaitu sekitar
20.5 % (BPS, 1995). Oleh
karena itu, upaya peningkatan produksi pangan harus dibarengi dengan usaha
mengurangi tingkat kehilangan hasil. pemerintah
memberikan bantuan subsidi petani tidak hanya berupa pupuk dan sarana produksi
lainnya saja melainkan juga pada benih hibrida.
Ada secercah harapan ketika bioteknologi diyakini mampu
menyelamatkan umat manusia dari kelangkaan pangan dan kelaparan di dunia.
Melalui bioteknologi, hasil produksi tanaman dapat ditingkatkan minimal 10%. Namun, harapan tinggal harapan
ketika sektor pertanian tidak cukup akrab dengan bioteknologi. Food and Agriculture Organization (FAO)
baru-baru ini merilis data jumlah penduduk dunia yang kelaparan mencapai lebih
dari 850 juta jiwa. Harga pangan pun melonjak dua kali lipat hanya dalam 2
tahun terakhir. Selain kekurangan pangan kronis, defisiensi mikronutrien
menjadi momok karena kualitas dan diversitas pangan yang dikonsumsi sangat
buruk. Padahal FAO memproyeksikan akan terdapat 2 miliar penduduk Bumi yang
butuh makan dalam 30 tahun ke depan.
Di sisi lain, produktivitas pertanian dunia, khususnya di
negara-negara agraris pemasok produk pangan tidak meningkat secara simultan
seiring dengan pertumbuhan penduduk. Padahal, Revolusi Hijau telah mengajarkan
pentingnya inovasi teknologi, seperti benih unggul, pupuk, pestisida, dan
mekanisasi pertanian untuk mendongrak efisiensi usaha tani.Jelas, bertahan
dengan usaha tani konvensional tidak akan memberikan hasil lebih baik di tengah
tekanan peningkatan kebutuhan pangan yang terus-menerus. Bagi Indonesia,
seharusnya kondisi ini menjadi peluang mengingat potensi sektor pertanian masih
mungkin dilipatgandakan. Kendalanya
bukan lagi menjadi rahasia. Indonesia belum siap memanfaatkan produk
bioteknologi pada tanaman pangan karena kendala instrumen kebijakan yang tidak
lengkap.Bioteknologi menjadi sebuah nilai tambah ketika lahan di negara itu
tidak lagi dapat diandalkan untuk mendongrak peningkatan hasil produksi
pertanian.
Kondisi iklim yang ekstrim di berbagai belahan dunia
baru-baru ini secara langsung dan tidak langsung dapat mempengaruhi
ketersediaan pangan. Kekeringan yang berkepanjangan, kebakaran hutan, banjir
serta bencana alam lainnya di berbagai wilayah dunia terutama di sentra-sentra
produksi pangan, sangat mempengaruhi ketersediaan gandum dan tanaman
bijian-bijian lainnya yang tentu saja berdampak pada ketersediaan produk pangan
tersebut untuk marketing season 2010/2011.
Menurut FAO jumlah penduduk dunia yang menderita kelaparan
pada tahun 2010 mencapai 925 juta orang. Situasi ini diperparah dengan semakin
berkurangnya investasi di sektor pertanian yang sudah berlangsung selama 20
tahun terakhir, sementara sektor pertanian menyumbang 70% dari lapangan kerja
baik secara langsung maupun tidak langsung.
Kekhawatiran akan makin menurunnya kualitas hidup
masyarakat, bahaya kelaparan, kekurangan gizi dan akibat-akibat negatif lain
dari permasalahan tersebut secara keseluruhan akan menghambat pencapaian goal
pertama dari Millennium Development Goals (MDGs) yakni eradication of poverty
and extreme hunger.
Bagi Indonesia, masalah ketahanan pangan sangatlah krusial.
Pangan merupakan basic human need yang tidak ada substitusinya. Indonesia
memandang kebijakan pertanian baik di tingkat nasional, regional dan global
perlu ditata ulang. Persoalan ketahanan pangan dan pembangunan pertanian harus
kembali menjadi fokus dari arus utama pembangunan nasional dan global. Oleh
karena itu Indonesia mengambil peran aktif dalam menggalang upaya bersama
mewujudkan ketahanan pangan global dan regional.
Upaya mengarusutamakan dimensi pembangunan pertanian,
ketahanan pangan dan pengentasan kemiskinan Indonesia selaku koordinator G-33
secara aktif mengedepankan isu food security, rural development dan livelihood
security sebagai bagian dari hak negara berkembang untuk melindungi petani
kecil dari dampak negatif masuknya produk-produk pertanian murah dan bersubsidi
dari negara maju, melalui mekanisme special products dan special safeguard
mechanism.
Sebagai negara dengan komitmen yang tinggi untuk menjaga
stabilitas ketahanan pangan global, Indonesia juga telah menandatangani Letter
of Intent (LoI) dengan FAO pada bulan Maret 2009 sebagai bentuk dukungan
Indonesia terhadap berbagai program peningkatan ketahanan pangan global dan
pembangunan pertanian negara-negara berkembang lainnya. terutama dalam
kerangka Kerjasama Selatan-Selatan (South-South Cooperation), kerjasama teknis
negara-negara berkembang (KTNB/TCDC) dan pencapaian goal dari MDGs.
Penandatanganan LoI ini juga diharapkan akan semakin memperkuat peran Indonesia
dalam membantu peningkatan pembangunan pertanian di negara-negara berkembang,
terutama di negara-negara Asia Pasifik dan Afrika yang telah berjalan sejak
tahun 1980.
Sementara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah
mengutarakan ada sembilan masalah terkait ketahanan pangan yang dihadapi oleh
Indonesia seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk Indonesia menjadi 235-240
juta pascasensus penduduk 2010.
Permasalahan itu diantaranya sinergi dan sistem yang
terintegrasi diperlukan untuk dapat mengelola keamanan makanan, energi dan air
sehingga tidak menimbulkan masalah di masa kini dan mendatang. Selain itu upaya
untuk meningkatkan sejumlah komoditas unggulan pertanian --beras, jagung,
kedelai, gula dan daging sapi-- menuju swasembada dan swasembada berkelanjutan.
Juga sistem cadangan dan distribusi serta rantai pasokan dan logistik nasional
yang efisien.
Masalah lainnya adalah kekurangan produksi di sejumlah
daerah. Dan terpenting adalah stabilitas harga. Sementara koordinasi antara
peneliti dan kalangan industri sehingga permasalahan lainnya yaitu
penganekaragaman konsumsi pangan serta mekanisme pasar pasokan pangan.
ARAH PEMBANGUNAN KETAHANAN PANGAN 2013
Memasuki tahun 2013 kekhawatiran semakin parahnya krisis
pangan menghantui sebagian besar negara-negara di dunia termasuk Indonesia.
Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) PBB mengingatkan krisis pangan seperti
yang terjadi pada 2007/2008 bisa berulang pada tahun 2013. Untuk mencegah
krisis pangan di Indonesia, ketahanan pangan mutlak diperkuat. Beberapa
komoditas seperti kedelai dan daging tergolong rawan.
Menurut FAO, krisis pangan terjadi karena komoditas pangan
tidak terkelola dengan baik. Setiap negara mengupayakan penyelamatan sendiri.
Negara-negara yang dikenal pengekspor beras seperti Thailand dan Vietnam mulai
mengamankan terlebih dahulu kebutuhan dalam negeri. Mencermati fenomena ini,
pemerintah Indonesia patut melakukan peningkatan produksi pangan secara berkelanjutan.
Kemandirian pangan dan surplus produksi beras sebanyak 10 juta ton tahun 2014
harus dicapai.
Belum
Mantap
Pemerintah harus mendorong masyarakat untuk semakin memahami
dan memaknai pentingnya ketahanan pangan dalam pembangunan ekonomi nasional, meskipun
pemerintah kerap mengklaim Indonesia telah berhasil mencapai swasembada pada
beberapa komoditas pangan tertentu. Namun harus diakui pencapaian swasembada
belum mantap karena amat riskan digoyang krisis ekonomi.
Untuk itu setidaknya ada lima masalah mendasar yang menjadi
alasan penting menentukan arah pembangunan ketahanan pangan 2013. Yaitu:
Pertama, pangan adalah bagian dari basic human need yang tidak ada
substitusinya. Kedua, pertumbuhan penduduk yang masih tinggi, disadari atau
tidak, mendorong terjadinya peningkatan kebutuhan terhadap pangan (growing
demand). Selain itu, peningkatan jumlah the middle class yang berhilir pada
peningkatan konsumsi pangan yang lebih banyak. Ketiga, kerusakan lingkungan
yang diakibatkan antara lain oleh climate change yang sudah mengganggu produksi
dan produktivitas pangan nasional. Keempat, kompetisi antara sumber energi (bio
fuel) dan sumber pangan yang dapat mengganggu suplai pangan. Kelima, pentingnya
kemandirian pangan berkelanjutan serta masih adanya kerentanan dan kerawanan
(baca krisis) pangan di berbagai daerah.
Kelima hal mendasar itu mengindikasikan pentingnya sinergi
antara pemerintah pusat, daerah dan pelaku usaha untuk peningkatan produksi
komoditas pangan. Jika hanya mengandalkan peningkatan produksi untuk pencapaian
surplus beras sebanyak 10 juta ton, setidaknya sektor pertanian membutuhkan
tambahan 2 juta hektare (ha) lahan baru. Namun pencetakan sawah baru untuk
mengembangkan tanaman pangan dan menjamin ketahanan pangan di masa depan adalah
pekerjaan yang relatif sulit dan membutuhkan biaya besar.
Saat ini kondisi lahan pertanian, termasuk persawahan,
sangat mengkhawatirkan karena terus dikonversi atau beralih fungsi menjadi
nonpertanian, seperti permukiman, perdagangan, industri, dan jalan. Berkurangnya
lahan sudah pasti akan berpengaruh pada aktivitas sektor pertanian dan
berkorelasi positif pada defisit kebutuhan tenaga kerja. Yang dapat melahirkan
lebih banyak lagi pengangguran karena lahan pertanian semakin sempit yang
memaksa pelaku sektor ini meninggalkan pertanian.
Di setiap provinsi belakangan ini penggunaan kenderaan
bermotor roda empat yang jumlahnya meningkat secara signifikan membutuhkan
penambahan jalan untuk kelancaran lalu lintas. Setiap membuka jalan baru, akan
ada konversi lahan berkali lipat. Pembangunan jalan tol misalnya yang memakan
lahan sawah akan diikuti pembangunan lainnya di sepanjang jalan tol, antara
lain untuk permukiman, pusat perdagangan dan perkantoran. Selain itu,
kepemilikan lahan sawah juga sangat kecil, rata-rata di bawah 0,5 ha per
petani. Akibatnya, sampai kapan pun tidak akan membuat petani sejahtera.
Bahkan, kondisi ini memacu penjualan lahan sawah untuk keperluan nonpertanian.
Lahan pertanian yang dikonversi diperkirakan mencapai 100.000 ha per tahun.
Meski pemerintah dan DPR sudah mengesahkan Undang-Undang tentang Perlindungan
Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, namun penerapannya tidak mudah. Tata
ruang di daerah yang sering berubah-ubah dan tidak konsisten berdampak pada
pembangunan sektor pertanian.
Di sisi lain, petani mewariskan lahan kepada anak-anaknya
dalan luasan yang semakin kecil sehingga tidak efisien, yang akhirnya dijual
karena tidak menguntungkan. Pemerintah patut memikirkan solusi agar keluarga
petani tidak membagi-bagi lahan tetapi membagi penghasilan.
Upaya penambahan lahan untuk pencetakan sawah baru guna
mengatasi laju konversi lahan yang kian masif belakangan ini patut menjadi
program kerja pemerintah. Data yang tersedia di BPN (Badan Pertanahan Nasional)
lahan tidur yang tersedia saat ini di seluruh Tanah Air ada sekitar 7,3 juta ha
yang bisa dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian. Kementerian Pertanian dapat
juga bekerja sama dengan PT Perhutani untuk memanfaatkan lahan di bawah kendali
Perhutani untuk penguatan di sektor hilir. Di Pulau Jawa saja BUMN ini memiliki
lahan seluas 2,4 juta ha. Jika pemerintah bisa memanfaatkan paling tidak
500.000 ha tanaman hutan milik Perhutani untuk dikombinasikan dengan tanaman
pangan akan dapat memperkuat ketahanan pangan nasional
Kinerja Semakin Baik
Kita menyayangkan kenyataan masih sempitnya perspektif para
kepala daerah di sejumlah kabupaten/kota terkait dengan ketahanan pangan.
Mereka belum memaknai ketahanan pangan untuk kepentingan nasional. Namun baru
sekedar untuk kepentingan daerahnya semata sehingga penganggaran biaya program
kerja penguatan ketahanan pangan sering dalam jumlah yang relatif kecil.
Sebagai negara agraris yang dikenal dengan jargon gemah
ripah loh jinawi, Indonesia sesungguhnya menjanjikan surplus produksi beras dan
pangan lainnya yang dapat diandalkan untuk penguatan ketahanan pangan berbasis
kedaulatan pangan. Sejak ratusan tahun lalu petani di negeri ini sudah mengenal
pertanian padi dan membangun lumbung padi untuk menjaga ketersediaan pangan
manakala ada bencana. Dengan program kerja Badan Ketahanan Pangan Kementan yang
belakangan ini menunjukkan kinerja yang semakin baik, kini lumbung pangan tidak
hanya ada di Pulau Jawa, di luar Jawa pun sudah banyak dibangun lumbung pangan
guna mengawal ketahanan pangan berkelanjutan dan mencegah kerentanan dan
kerawanan pangan di berbagai daerah.
Sayangnya pembangunan lumbung pangan yang sudah banyak
menyedot anggaran belanja negara belum berfungsi dengan baik karena petani kini
tidak terbiasa lagi menyimpan hasil panennya di lumbung yang dibangun
pemerintah. Padi (beras) sebagai makanan pokok tingkat konsumsinya ditengah
warga masih tetap tinggi sehingga tidak sempat lagi disimpan dalam lumbung.
Sebaliknya, pangan berbasis umbi-umbian belum dapat berkembang secara optimal
baik dari segi budi dayanya maupun teknologi pengolahan untuk mengatrol
citranya di tengah masyarakat. Pembudidayaan tanaman pangan masih
terkonsentrasi pada beberapa komoditas strategis dan umbi-umbian kerap
dianaktirikan. Lima pangan strategis tetap berpusat pada beras, kedelai,
jagung, gula dan daging, diikuti dengan laju konsumsi produk olahan gandum yang
meningkat secara signifikan sehingga harus diimpor dalam jumlah banyak setiap
tahun. Gandum sebagai pangan subtropis kini semakin menjadi tren konsumsi warga
Indonesia.
Untuk memperkuat arah pembangunan ketahanan pangan 2013,
wajib hukumnya pemerintah kembali memperhatikan berbagai pangan potensial
wilayah sehingga kita bisa lebih berdaulat di bidang pangan. Pemerintah juga
harus melakukan perubahan paradigma pembangunan pertanian dari orientasi
produksi ke orientasi petani. Sudah lama petani dibelenggu oleh pemerintah -
mulai Orde Lama hingga Orde Reformasi - hanya sekedar obyek kebijakan yang
perumusnya kerap belum mengenal dan memahami seluk beluk pertanian. Sekedar
menyebut contoh kreativitas petani dikebiri melalui undang-undang, hak dan
kedaulatan petani tergerus atas sumber daya produktif. Yang paling menyedihkan
adalah petani dibiarkan bersaing di pasar bebas tanpa pendampingan.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Istilah ketahanan pangan dalam kebijaksanaan dunia, pertama
kali digunakan pada tahun 1971 oleh PBB, tetapi Inodonesia secara formal baru
mengadopsi ketahanan pangan dalam kebijakan dan program pada tahun 1992, yang
kemudian definisi ketahanan pangan pada undang-undang pangan no:7 ada pada
tahun 1996.
Ketahanan pangan merupakan basis utama dalam mewujudkan
ketahanan ekonomi, ketahanan nasional yang berkelanjutan. Ketahanan
pangan merupakan sinergi dan interaksi utama dari subsistem ketersediaan,
distribusi dan konsumsi, dimana dalam mencapai ketahanan pangan dapat dilakukan
alternatif pilihan apakah swasembada atau kecukupan. Dalam pencapaian
swasembada perlu difokuskan pada terwujudnya ketahanan pangan.
Dalam pengembangannya, teknologi pangan diharapkan mampu memfasilitasi
program pasca panen dan pengolahan hasil pertanian, serta dapat secara efektif
mendukung kebijakan strategi ketahanan pangan.
Mengacu pada permasalahan dan program pengolahan dan
pemasaran hasil pertanian serta kebijakan strategi ketahanan pangan
(ketersediaan, distribusi dan konsumsi), dan keberhasilan swasta (kasus
Garudafood) dan daerah (kasus Pemerintah Daerah Gorontalo) dalam pengembangan
agribisnis jagung dapat dirumuskan kebijakan strategis pengembangan teknologi
pangan. Kebijakan strategis tersebut mencakup aspek pengembangan kualifikasi
teknologi; keterpaduan pengolahan dan pemasaran; relevansi dan efektivitas
teknologi; pemberian otonomi luas kepada daerah; pelibatan swasta/pemilihan
komoditas prospektif berbasis pemberdayaan/dan pengembangan jaringan kerja
secara luas; pengembangan program kemitraan berawal/berbasis pemasaran; dan
pengembangan program Primatani berbasis industri pengolahan.
Saran
Adapun saran yang bisa di berikan adalah sebaiknya
pemerintah lebih memperhatikan masalah ketahanan pangan yang ada di Indonesia.
Karena masih banyak masyarakat yang belum memahami bagaimana cara atau strategi
yang baik guna menjaga ketahanan pangan mereka.
DAFTAR PUSTAKA
Ariani, Mewa. 2006. Diversifikasi
Pangan di Indonesia : Antara Harapan dan Kenyataan. Forum Agro Ekonomi,
Jakarta.
Azyumardi, Azra. 2008. Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta.
ICCE.
Khumaidi. 1997.
Beras Sebagai Pangan Pokok Indonesia, Keunikan dan Tantangannya. Pidato
Orasi Guru Besar Ilmu Gizi. IPB, Bogor.
Rahaditya, R. 2010. Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan
Tinggi. Jakarta: Pustaka Mandiri.
Rini Ningsih. 2006. Pendidikan Kewarganegaraan 5. Jakarta :
Yudistira.
Siagian, M. 2009. Pendidikan Kewarganegaraan. Bervisi Global dengan Paradigma
Humanistik. Vol. 2, No. 2.
Winarno, 2010. Paradigma Baru Pendidikan Kewarganegaraan (edisi kedua)
Jakarta: Bumi Aksara.
http://kanopi-feui.blogspot.com/2012/04/kajian-post-beras-dan-masalah-ketahanan.html
No comments:
Post a Comment