KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan
kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena telah memberikan kekuatan dan kemampuan
sehingga makalah ini bisa selesai tepat pada waktunya. Adapun tujuan dari
penyusunan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Makalah Ilmu Pemerintahan Tentang Pemilu.
Penulis mengucapkan terima
kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan mendukung dalam penyusunan
makalah ini.
Penulis sadar makalah ini
belum sempurna dan memerlukan berbagai perbaikan, oleh karena itu kritik dan
saran yang membangun sangat dibutuhkan.
Akhir kata, semoga makalah
ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan semua pihak.
Jatinangor, Juni
2014
Penulis,
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
Pemilihan umum (pemilu) di Indonesia pada awalnya ditujukan untuk memilih
anggota lembaga perwakilan, yaitu DPR, DPRD, dan DPD. Setelah amandemen ke-IV
UUD 1945 pada 2002, pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres), yang
semula dilakukan oleh MPR, disepakati untuk dilakukan langsung oleh rakyat
sehingga pilpres pun dimasukan ke dalam rezim pemilihan umum. Pilpres sebagai
bagian dari pemilihan umum diadakan pertama kali pada pemilu 2004. pada 2007,
berdasarkan UU No.22 Tahun 2007, pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah (Pilkada) juga dimasukan sebagai bagian dari rezim pemilihan umum.
Ditengah masyarakat, istilah “pemilu” lebih sering merujuk kepada pemilu
legislatif dan pemilu presiden dan wakil presiden yang diadakan lima tahun
sekali.
Pemilihan umum telah dianggap menjadi ukuran demokrasi karena rakyat dapat
berpartisipasi menentukan sikapnya terhadap pemerintahan dan negaranya.
Pemilihan umum adalah suatu hal yang penting dalam kehidupan kenegaraan. Pemilu
adalah pengejewantahan sistem demokrasi, melalui pemilihan umum rakyat memilih
wakilnya untuk duduk dalam parlemen, dan dalam struktur pemerintahan. Ada
negara yang menyelenggarakan pemilihan umum hanya apabila memilih wakil rakyat
duduk dalam parlemen, akan tetapi adapula negara yang juga menyelenggarakan
pemilihan umum untuk memilih para pejabat tinggi negara.
Umumnya yang berperan dalam pemilu dan menjadi peserta pemilu adalah
partai-partai politik. Partai politik yang menyalurkan aspirasi rakyat dan
mengajukan calon-calon untuk dipilih oleh rakyat melalui pemilihan itu. Dalam
ilmu politik dikenal bermacam-macam sistem pemilihan umum, akan tetapi umumnya
berkisar pada dua prinsip pokok, yaitu: singel member constituency (satu daerah
pemilihan memilih satu wakil, biasanya disebut sistem distrik). Multy member
constituenty (satu daerah pemilihan memilih beberapa wakil; biasanya dinamakan
proporsional representation atau sistem perwakilan berimbang).
Di kebanyakan
negar demokrasi, pemilihan umum dianggap lambang, sekaligus tolak ukur, dari
demokrasi itu. Hasil pemilihan umum yang diselenggarakan dalam suasana
keterbukaan dengan kebebasan berpendapat
dan kebebasan berserikat, dianggap mencerminkan walaupun tidak begitu akurat,
partisipasi dan kebebasan masyarakat.
Sekalipun demikian, disadari bahwa pemilihan umum (PEMILU) tidak
merupakan satu-satunya tolak ukur dan perlu dilengkapi dengan pengukuran
beberapa kegiatan lain yang lebih bersifat berkesinambungan, seperti
partisipasi dalam kegiatan partai, lobbying, dan sebagainya.
Di banyak
negara ketiga atau negara yang sedang berkembang beberapa kebebasan seperti
yang dikenal di dunia barat kurang diindahkan. Seperti Indonesia, perkembangan
demokrasi di Indonesia telah mengalami pasang surut. Selama 67 tahun berdirinya
Republik Indonesia ternyata masalah pokok yang kita hadapi adalah bagaimana
dalam masyarakat yang beraneka ragam pola budayanya dapat mempertinggi tingkat
kehidupan ekonomi disamping membina suatu kehidupan sosial dan politik yang
demokratis.pada pokok masalah ini berkisar pada penyusunan suatu sistem politik
dimana kepemimpinaan cukup kuat untuk melaksanakan pembangunan ekonomi serta
nation building, dengan partisipasi rakyat seraya menghindarkan timbulnya
diktator.
Pemilihan umum
juga menunjukkan seberapa besar partisipasi politik masyarakat, terutama di
negara berkembang. Kebanyakan negara ini ingin cepat mengadakan pembangunan
untuk mengejar keterbelakangannya, karena dianggap bahwa berhasil-tidaknya
pembangunan banyak bergantung pada partisipasi rakyat. Ikut sertanya masyarakat
akan membantu penanganan masalah-masalah yang ditimbulkan oleh
perbedaan-perbedaan etnis, budaya, status sosial, ekonomi, budaya, dan
sebagainya. Integritas nasional, pembentukan identitas nasional, serta
loyalitas terhadap negara diharapkan akan ditunjang pertumbuhannya melalui
partisipasi politik.
Di beberapa
negara berkembang partisipasi yang bersifat otonom, artinya lahir dari mereka
sendiri, masih terbatas. Di beberapa
negara yang rakyatnya apatis, pemerintah menghadapi masalah bagaimana
meningkatkan partisipasi itu, sebab jika partisipasi mengalami jalan buntu ,
dapat terjadi dua hal yaitu “anomi” atau justru “ revolusi”. Maka melalui
pemilihan umum yang sering didefenisikan sebagai “ pesta kedaulatan rakyat”, masyarakat dapat
secara aktif menyuarakan aspirasi mereka baik itu ikut berpartisipasi dalam
kegiatan partai, ataupun “menitipkan” dan “mempercayakan” aspirasi mereka pada
salah satu partai peserta PEMILU yang dianggap dapat memenuhi , serta menjalankan
aspirasi masyarakat tyang telah
dipercayakan pada partai tersebut.
Indonesia
sebagai salah satu negara brkembang dan juga sebagai demokrasi yang sedang
berusaha mencapai stabilitas nasional dan memantapkan kehidupan politik juga mengalami gejolak-gejolak sosial dan
politikdalam proses pemilihan umum. Hal inilah yang menjadi latar belakang
penulis dalam menulis makalah (papers) ini, selain sebagai pemenuhan tugas
sistem politik indonesia.
Salah satu aspek yang menentukan keberhasilan pemilikhan umum yang bisa
memberikan kontribusi bagi sistem politik yang demokratis, dan efektif yang
sedang giat-giatnya dilaksanakan adalah sistem proses pemilihan umum yang
luber, yang matang mengenai sistem pemilu proporsional dan pemehaman yang luas
dari pemerintah. Berdasarkan pernyataan ini maka rumusan masalah yang
dikemukakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana
Pengertian Pemilu?
2. Bagaimanakah
sistem pemilu proporsional?
3. Faktor-faktor
apa yang menmjadi kelebihan dan kekurangan pada pemilu sistem proporsiona?
Pemilihan
umum ialah suatu proses pemiliha orang-orang untuk mengisi jabatan-jabatan
politik tertentu, seperti presiden, wakil presiden, wakil rakyat di berbagai
tingkat pemerintahan, sampai yang paling sederhana atau paling kecil yaitu
kepala desa. Pada konteks yang lebih luas, pemilihan umum juga dapat berarti
proses mengisi jabatan –jabatan tertentu. Pemilu merupkan salah satu usaha
untuk mempengaruhi rakyat secara persuasif ( tidak memaksa) dengan melakuka
kegiatan retorika, hubungan kemasyarakatan, komunikasi massa, lobbying, dan
lain-lain. Dalam Negara demokrasi propaganda dan agitasi sangat dikecam, namun
dalam kampanye PEMILU, teknik agitasi dan propaganda banyak juga dipakai oleh
oleh para kandidat sebagai komunikator.
Biasanya
para kandidat akan melakukan kampanye
sebelum pemungutan suara dilakukan selama selang waktu yang telah dientukan.
Dalam kampanye tersebut para kandidat akan berusaha menarik perhatian
masyarakat secara persuasif, menyatakan visi dan misinya untuk memajukan dan
memperjuangkan kesejahteraan rakyat.
Dalam
ilmu politik dikenal berbagai macam system pemilihan umum dengan berbagai
variasinya, akan tetapi umumnya berkisar pada dua prinsip pokok, yaitu :
a) Single
member constituency (
satu daerah pemilihan memilih satu wakil; biasanya disebut system distrik )
b) Multy
member constituency (
satu daerah pemlihan memilih beberapa wakil ; biasanya dinamakan system
perwakilan berimbang atau system proporsional ).
Disamping
itu ada beberapa varian seperti block vote ( BV), alternative vote (AV), system
dua putaran atau two round system(TRS), system pararel, limited vote( LV),
single non- transferable (SNTV),mixed member proportional (MMP), dan single
transferable vote(STV). Tiga yang pertama lebih dekat dengan system distrik,
sedangkan yang lain lebih dekat dengan system proporsional atau semi
proporsional.
Dalam
system distrik, satu wilawah kecil (yaitu distrik pemilihan ) memilah salah
satu wakil tunggal atas dasar pluralitas ( suara terbanyak ). Dalam system
proporsional, satu wilawah besar ( yaitu daerah pemilihan )memilih beberapa
wakil (multi member constituency) perbedaan pokok antara dua system ini ialah
cara menghitung perolehan suara dapat menghasilkan perbedaan dalam komposisi
perwakilan dalam parlemen bagi masing-masing partai politik.
System
distrik merupakan system pemilihan umum yang paling tua dan didasarkan atas
kesatuan geografis. Setiap kesatuan geograis ( yang biasa disebut
“distrik” karena kecilnya daerah yang
tercakup ) memperoleh satu kursi daalm parlemen. Untuk itu Negara dibagi dalam
sejumlah besar distrik pemilihan yang kira-kira sama jumlah penduduknya.
Dalam
system distrik, satu distrik menjadi bagian dari suatu wilawah, satu distrik
hanya berhak atas satu kursi, dan kontestan yang memperoleh suara terbanyak
menjadi pemenang tunggal. Hal ini dinamakan the first past the post (FPTP).
Pemenang tunggal meraih satu kursi. Hal ini terjadi walaupun selisih suara
sangat kecil, suara yang tadinya mendukung kontestan lain diangggap hilang
(wasted) dan tidak dapat membantu partainya untuk menambah jumlah suara partai
di distrik lain.
Dalam
system proporsional, suatu wilayah
dianggap sebagai suatu kesatuan dan
dalam wilayah itu jumlah kursi dibagi sesuai kursi yang diperoleh oleh para kontestan , secara
nasional, tanpa menghiraukan distribusi suara
itu. Dalam system proporsional tidak ada suara yang terbuang atau hilang seperti yang terjadi dalam system
distrik.
System
distrik sering dipakai di Negara yang mempunyai system dwi- partai, seperti
inggris dan Negara bekas jajahannya
seperti India dan Malaysia serta
Amerika. Sedangkan system proporsional sering diselenggarakan dalam Negara
dengan banyak ( multi)partai seperti Belgia, Swedia, Italia, Belanda dan
Indonesia.
Pemilu 2009
yang berlangsung pada tanggal 9 April 2009 sekali lagi telah menorehkan sejarah
baru dalam transformasi pemerintahan di Indonesia. Puluhan ribu calon
legislatif memperebutkan kursi panas di Senayan. Banyak hal yang kemudian
menjadi sorotan dan dianggap sebagai kelemahan pemilu 2009. Kelemahan-kelemahan
tersebut bersifat substantif maupun teknis.
Secara substantif, beberapa hal yang menjadikan pemilu 2009 memiliki kelemahan. Pertama, aturan Pemilu kali ini sangat tidak stabil alias suka berubah-ubah diluar kewenangan KPU, misalnya soal terbitnya Perpu dan putusan MK yang semuanya substansial yaitu pergantian tata cara pemungutan suara dari coblos menjadi contreng. Baik Pemilu 2004 maupun Pemilu 2009 sama-sama memiliki kendala sempitnya waktu persiapan penyelenggaraan pemilu karena undang-undang yang menjadi dasar penyelenggaraan terbit kurang dari 1,5 tahun dari tanggal pemungutan suara. Padahal, idealnya waktu persiapan penyelenggaraan sekitar dua tahun. Kedua, pengaturan untuk Pemilu 2009 jauh lebih rumit, terutama terkait suara terbanyak yang bisa memicu sengketa antarpartai, antarcaleg. Ketiga, dilihat dari partai peserta Pemilu, kali ini jumlahnya terbanyak dalam sejarah yaitu 44 partai 38 partai nasional dan 6 partai lokal. Keempat, pada saat yang bersamaan apatisme rakyat meluas, karena melihat partai-partai politik mempertunjukkan sikap yang tidak sportif ditambah kondisi kesulitan ekonomi. Kelima, citra negatif KPU yang diwariskan dari carut marutnya penyelenggaraan pilkada sebelumnya.
Selain diliputi masalah-masalah yang sifatnya substantif, pemilu 2009 juga tak luput dari masalah teknis. Ketua KPU Abdul Hafiz Anshary di KPU mengungkapkan ada 7 permasalahan dalam pemilu 2009 yakni kurang akuratnya data pemilih, tidak memenuhi persyaratannya calon legislatif, permasalahan parpol internal KPUD yang kurang transparan dan tidak adil terhadap calon-calonnya, dugaan money politics, pelanggaran masa kampanye, dan penghitungan kurang akurat.
Secara substantif, beberapa hal yang menjadikan pemilu 2009 memiliki kelemahan. Pertama, aturan Pemilu kali ini sangat tidak stabil alias suka berubah-ubah diluar kewenangan KPU, misalnya soal terbitnya Perpu dan putusan MK yang semuanya substansial yaitu pergantian tata cara pemungutan suara dari coblos menjadi contreng. Baik Pemilu 2004 maupun Pemilu 2009 sama-sama memiliki kendala sempitnya waktu persiapan penyelenggaraan pemilu karena undang-undang yang menjadi dasar penyelenggaraan terbit kurang dari 1,5 tahun dari tanggal pemungutan suara. Padahal, idealnya waktu persiapan penyelenggaraan sekitar dua tahun. Kedua, pengaturan untuk Pemilu 2009 jauh lebih rumit, terutama terkait suara terbanyak yang bisa memicu sengketa antarpartai, antarcaleg. Ketiga, dilihat dari partai peserta Pemilu, kali ini jumlahnya terbanyak dalam sejarah yaitu 44 partai 38 partai nasional dan 6 partai lokal. Keempat, pada saat yang bersamaan apatisme rakyat meluas, karena melihat partai-partai politik mempertunjukkan sikap yang tidak sportif ditambah kondisi kesulitan ekonomi. Kelima, citra negatif KPU yang diwariskan dari carut marutnya penyelenggaraan pilkada sebelumnya.
Selain diliputi masalah-masalah yang sifatnya substantif, pemilu 2009 juga tak luput dari masalah teknis. Ketua KPU Abdul Hafiz Anshary di KPU mengungkapkan ada 7 permasalahan dalam pemilu 2009 yakni kurang akuratnya data pemilih, tidak memenuhi persyaratannya calon legislatif, permasalahan parpol internal KPUD yang kurang transparan dan tidak adil terhadap calon-calonnya, dugaan money politics, pelanggaran masa kampanye, dan penghitungan kurang akurat.
Terdapat
sebuah kasus yang menjadi sebuah catatan penting bagi jalannya pemilu yang berjalan
di Indonesia ini. Yaitu ketidak beresan dalam penyelenggaraan pemilu 2009.
Ironisnya terdapat warga yang mendapat undangan untuk mencontreng di dua TPS
yang berbeda. Ini sungguh sebuah catatan penting bagi penyelenggara pemilu,
karena masalah teknis seperti ini seharusnya tidak terjadi dalam pesta
demokrasi yang memakan uang rakyat. Sungguh ironis ada dalam satu keluarga saja
ada yang yang terdata dan ada yang tidak terdata sebagai pemilih. Lebih parah
lagi dalam suatu keluarga ada yang tidak sama sekali terdata sebagai pemilih.
Hal ini selain merugikan warga negara karena harus kehilangan hak pilihnya,
penyelenggaraan pemilu ini juga secara tidak langsung meningkatkan angka
golput, baik golput karena memang menganggap pemilu 2009 tidak akan membawa
perubahan berarti maupun golput karena hal-hal yang sebenarnya tidak
diinginkan. Padahal hak pilih setiap warga negara dilindungi oleh undang –
undang dimana semua warga berhak memilih dan menyalurkan aspirasinya, dalam hal
ini melalui pemilihan umum secara langsung.
Menurut data
yang didapat dari Lingkaran Survei Indonesia (LSI),misalnya, menyebutkan ada
sekitar 28 persen pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya. Bila angka ini
benar, maka sebenarnya yang memenangkan pemilu adalah golput. Yang menjadi pertanyaan,
mengapa banyak yang golput? Golput terdiri atas dua genre : golput politik dan
golput teknis. Terhadap meraka yang golput karena pilihan politik, karena
menganggap pemilu tidak berguna, hanya memboroskan anggaran negara, sekedar
sarana bagi partai politik dan calon legislator untuk menyampaikan janji –
janji kosong yang langsung dilupakan ketika sudah melenggang di kursi – kursi
parlemen. Dinegara ini, menggunakan hak memilih (casting vote) masih
dilonstruksikan sebagai hak, belum menjadi kewaajiban sebagaiman halnya di
Australia. Namun bagi yang golput karena teknis-administratif, yaitu tidak
tercantum dalam daftar pemilih tetap (DPT), soal ini harus dicari akar masalah
dan solusinya.
Ada empat
pihak yang patut disalahkan atas banyaknya warga negara yang tidak dapat
menggunakan hak pilih karena soal teknis-administratif. Pertama-tama dan yang
utama adalah KPU dan jajarannya sebagai penyelenggara pemilu. Undang-Undang
Pemilu (UU Nomor 10 Tahun 2008) menyatakan bahwa warga negara yang sudah berusia
17 tahun atau sudah/pernah kawin punya hak memilih.
Untuk
menggunakan hak memilih, pemilih harus didaftar, yang kewajibannya dibebankan
kepada penyelenggara pemilu (KPU dan jajarannya). Model pendaftaran yang dianut
dalam UU Pemilu ada stelsel pasif. Suka atau tidak, semua warga negara yang
telah memenuhi syarat akan didaftar. Hal ini membedakan dengan praktek di
negara-negara maju, seperti Amerika Serikat dan Inggris, yang menggunakan
stelsel aktif. Untuk menggunakan haknya, warga negara yang memenuhi syarat
harus mendaftarkan diri secara aktif. Penyelenggara pemilu tidak akan
memberikan surat suara kepada pemilih yang tidak mendaftar. Bila ada warga
negara yang memenuhi syarat tidak terdaftar, KPU patut disalahkan. KPU bisa
dipersepsikan telah melalaikan kewajiban untuk mendaftar semua pemilih yang
berhak memilih. Pihak yang ingin “menyerang” KPU tinggal menggunakan ketentuan
Pasal 260 dan Pasal 311 UU Pemilu. Pasal 260 mengancam dengan ancaman hukuman
penjara 12-24 bulan terhadap setiap orang (termasuk anggota KPU) yang
menyebabkan orang lain kehilangan hak pilih. Pasal 311 menegaskan tambahan
sepertiga hukuman bila tindak pidana pemilu tersebut dilakukan penyelenggara
pemilu.
Pihak kedua, sejak zaman otoriter hingga demokratis hingga saat ini, data penduduk selalu bermasalah. Birokrasi pemerintahan tidak bekerja untuk mendata penduduk secara lengkap dan valid, yang akan digunakan dalam setiap pemilu. Padahal, pemilu adalah sesuatu yang bisa diprediksi waktunya. Terlebih Indonesia mengatur sistem pemerintahan presidensial, bukan parlementer dimana pemilu bisa diadakan sewaktu-waktu.
Pihak kedua, sejak zaman otoriter hingga demokratis hingga saat ini, data penduduk selalu bermasalah. Birokrasi pemerintahan tidak bekerja untuk mendata penduduk secara lengkap dan valid, yang akan digunakan dalam setiap pemilu. Padahal, pemilu adalah sesuatu yang bisa diprediksi waktunya. Terlebih Indonesia mengatur sistem pemerintahan presidensial, bukan parlementer dimana pemilu bisa diadakan sewaktu-waktu.
Pihak ketiga
yang harus disalahkan adalah partai politik. Undang-Undang Pemilu telah
mengamanatkan bahwa parpol bisa meminta salinan daftar pemilih sementara (DPS)
kepada panitia pemungutan suara (PPS). Tujuannya, parpol bisa mengecek apakah
konstituen atau calon pemilih potensial mereka terdaftar. Nyatanya, banyak
parpol tidak bekerja untuk itu. Bila menjelang hari pemilihan masih ada parpol
yang berteriak bahwa banyak pemilihnya tidak terdaftar, teriakan itu tidak
perlu didengarkan lagi. Undang – Undang Pemilu telah memberikan kesempatan,
tetapi parpol tidak menggunakannya. Jangan karena awak tak pandai menari, lalu
lantai pula yang disalahkan.
Terakhir,
kesalahan patut pula ditimpakan kepada pemilih yang bersangkutan. Undang-undang
telah memberikan kesempatan kepada pemilih untuk menengok dan melongok daftar
pemilih sementara (DPS) sebelum ditetapkan menjadi DPT. Bahkan penetapan DPT
bisa direvisi dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
(Perpu) Nomor 1 Tahun 2009. Maksudnya, lagi-lagi agar mereka yang tidak
terdaftar dapat mendaftarkan diri. Bila pemilih tidak juga terdaftar lantaran
alpa mengecek DPT, mereka harus sadar bahwa konsekuensinya adalah tidak bisa
memilih.
Namun, yang perlu digarisbawahi, derajat kesalahan pemilih paling rendah ketimbang tiga pihak yang lebih dulu disebut. Argumentasinya sederhana, KPU, pemerintah, dan parpol dibayar untuk menyelamatkan suara rakyat. KPU dan jajaran pemerintah memperoleh gaji dari uang rakyat yang disedot negara. Demikian pula parpol yang mendapat sumbangan dari APBN berdasarkan perolehan suara atau kursi masing-masing. Siapa pun yang dibayar negara mempunyai kewajiban terhadap rakyat atau warga negara, begitulah teorinya.
Warga negara sudah seharusnya mendapatkan hak pilihnya dalam pemilu yang berjalan di Indonesia, dimana hak pilih warga secara jelas dalam peraturan komisi pemilihan umum nomor 11 tahun 2008 bab II tentang hak memilih warga negara telah di tertulis yaitu sebagai berikut :
Namun, yang perlu digarisbawahi, derajat kesalahan pemilih paling rendah ketimbang tiga pihak yang lebih dulu disebut. Argumentasinya sederhana, KPU, pemerintah, dan parpol dibayar untuk menyelamatkan suara rakyat. KPU dan jajaran pemerintah memperoleh gaji dari uang rakyat yang disedot negara. Demikian pula parpol yang mendapat sumbangan dari APBN berdasarkan perolehan suara atau kursi masing-masing. Siapa pun yang dibayar negara mempunyai kewajiban terhadap rakyat atau warga negara, begitulah teorinya.
Warga negara sudah seharusnya mendapatkan hak pilihnya dalam pemilu yang berjalan di Indonesia, dimana hak pilih warga secara jelas dalam peraturan komisi pemilihan umum nomor 11 tahun 2008 bab II tentang hak memilih warga negara telah di tertulis yaitu sebagai berikut :
HAK MEMILIH
Pasal 3
1. Warga Negara Indonesia yang pada
hari pemungutan suara telah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih
atau sudah/pernah kawin mempunyai hak memilih.
2. Warga Negara Indonesia sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) didaftar oleh penyelenggara Pemilu dalam daftar pemilih.
Pasal 4
1. Untuk dapat menggunakan hak
memilih, Warga Negara Indonesia harus terdaftar sebagai pemilih.
2. Pemilih sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) yang berada di Luar Negeri hanya memilih calon anggota DPR sesuai
dengan ketentuan Pasal 157 ayat (1) Undang Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang
Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD.
Pasal 5
1. Seorang pemilih hanya didaftar 1
(satu) kali dalam daftar pemilih di PPLN/TPSLN.
2. Apabila seorang pemilih mempunyal
Iebih dari 1 (satu) tempat tinggal, pemilih tersebut harus menentukan satu
diantaranya yang alamatnya sesuai dengan alamat yang tertera dalam tanda
identitas kependudukan (KIP) atau Paspor untuk ditetapkan sebagai tempat
tinggal yang dicantumkan dalam daftar pemilih.
Ini sudah sangat jelas bahwa hak pilih
warga sudah seharusnya di junjung tinggi dalam pelaksanaan pemilu, tidak
seharusnya warga atau rakyat kehilangan hak pilihnya. Hak memberikan suara atau
memilih (right to vote) merupakan hak dasar (basic right) setiap individu/warga
negara yang harus dijamin pemenuhannya oleh Negara. Jaminan terhadap hak ini
telah dituangkan baik dalam Konstitusi (UUD 1945-Amandemen) maupun UU, yakni UU
No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No. 12/2005 tentang Ratifikasi
Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik.
Berjalankah
Asas Luber dan Judil Dalam Pemilu 2009
Pemilu yang
tidak mampu mancapai tujuan hanya akan hanya akan menjadi mekanisme pemberian
legitimasi bagi pemegang kekuasaan negara. Pemilu yang demikian adalah pemilu
yang kehilangan roh demokrasi. Tujuan pemilu itu sendiri adalah terpilihnya
wakil rakyat dan terselenggaranya pemerintahan yang benar – benar yang sesuai
dengan pilihan rakyat. Untuk mencapai tujuan itu pemilu harus dilaksanakan menurut
dengan asas – asas tertentu yang mengikat keseluruhan proses pemilu dan semua
pihak yang terlibat, baik penyelenggara, peserta, pemilih atau bahkan
pemerintah sekalipun. UUD 1945 menentukan bahwa pemilu harus dilaksanakan
secara langsung, umum, bebas, rahasia,jujur,dan adil.
Bagi bangsa
Indonesia, pemilu sudah merupakan bagian dari agenda ketatanegaraan yang
dilaksanakan setiap lima tahun sekali sejak masa Orde Baru. Asas pemilu pada
masa Orde Baru adalah sebatas pada langsung, umum,bebas, dan rahasia atau yang
dikenal dengan asas “luber”. Asas itu lebih diorientasikan kepada cara pemilih
menyampaikan suaranya, yaitu harus secara langsung tanpa diwakilkan, berlaku
umum bagi semua warga negara, dilakukan secara bebas tanpa adanya paksaan, dan
secara rahasia. Namun apabila dilihat dari jalannya pemilu yang telah lalu,
asas ini belum sepenuhnya tercapai karena masih banyak warga yang kehilangan
hak pilihnya. Dengan demikian asas – asas tersebut hanya menjadi dasar
pengaturan mekanisme pelaksanaan pemilihan atau pemungutan suara. Sementara
terhadap penyelenggara pemilu dan peserta pemilu tidak ada asas yang harus
dipatuhi. Salah satu akibatnya adalah terjadinya pengingkaran roh demokrasi
dalam penyelenggaraan pemilu, baik oleh penyelenggara maupun peserta. Penyelenggara
pemilu dalam praktiknya menjadi pemain untuk memenangkan peserta pemilu
tertentu dengan cara-cara yang melanggar aturan dan prinsip demokrasi. Pada
akhirnya, hasil pemilu tidak mencerminkan pilihan rakyat, tetapi hanya menjadi
legitimasi bagi pihak yang sedang berkuasa. Berdasarkan latar belakang
tersebut, dalam Perubahan UUD 1945 dirumuskan bahwa penyelenggaraan pemilu di
samping harus secara langsung, umum, bebas, dan rahasia, juga harus secara
jujur dan adil.
Asas jujur
mengandung arti bahwa pemilu harus dilaksanakan sesuai dengan aturan untuk
memastikan bahwa setiap warga negara yang memiliki hak dapat memilih sesuai
dengan kehendaknya dan setiap suara pemilih memiliki nilai yang sama untuk
menentukan wakil rakyat yang akan terpilih. Sesuai dengan asas jujur, tidak
boleh ada suara pemilih yang dimanipulasi. Ini sangat jelas bahwa hak pilih
sangat dilindungi, namun pemilu yang berjalan saat ini belum sepenuhnya
menjiwai asas pemilu yaitu jujur.
Adapun asas adil adalah perlakuan yang sama terhadap peserta pemilu dan pemilih, tanpa ada pengistimewaan ataupun diskriminasi terhadap peserta atau pemilih tertentu. Asas jujur dan adil mengikat tidak hanya kepada pemilih ataupun peserta pemilu, tetapi juga penyelenggara pemilu.
Adapun asas adil adalah perlakuan yang sama terhadap peserta pemilu dan pemilih, tanpa ada pengistimewaan ataupun diskriminasi terhadap peserta atau pemilih tertentu. Asas jujur dan adil mengikat tidak hanya kepada pemilih ataupun peserta pemilu, tetapi juga penyelenggara pemilu.
Asas jujur dan
adil tidak hanya terwujud dalam mekanisme prosedural pelaksanaan pemilu, tetapi
juga harus terwujud dalam segala tindakan penyelenggara, peserta, pemilih,
bahkan pejabat pemerintah. Dengan demikian asas jujur dan adil menjadi spirit
keseluruhan pelaksanaan pemilu. Namun asas adil yang ada, dalam pemilu yang
telah lalu belum mencerminkan sebuah keadilan yang merata terhadap jalannya
pemilu. Terbukti dengan adanya warga Indonesia yang kehilangaan hak pilihnya.
Hal ini menjadikan warga yang menganggap bahwa pemilu belum sepenuhnya sesuai
dengan asas pemilu, bahkan masih jauh dengan asas pemilu itu sendiri.
Sebuah sistem pada dasarnya adalah suatu organisasi besar yang menjalin
berbagai subjek atau objek serta perangkat kelembagaan dalam suatu tatanan tertentu.
Subjek atau objek pembentuk sebuah sistem dapat berupa orang-orang atau
masyarakat. Kehadiran subjek atau objek semata belumlah cukup untuk membentuk
sebuah sistem, itu baru merupakan himpunan subjek atau objek. Himpunan subjek
atau objek tadi baru membentuk sebuah sistem jika lengkap dengan perangkat
kelembagaan yang mengatur dan menjalin tentang bagaimana subjek-objek bekerja,
berhubungan dan berjalan.
Sebuah sistem sederhana apapun senantiasa mengandung kadar kompleksitas
tertentu. Dari uraian diatas cukup jelas bahwa sebuah sistem bukan sekedar
himpunan suatu subjek atau himpunan suatu objek. Sebuah sistem adalah jalinan
semua itu, mencakup objek dan perangkat-perangkat kelembagaan yang
membentuknya. Selanjutnya perlu disadari bahwa, seringkali suatu sistem tidak
bisa berdiri sendiri, melainkan terkait dengan sistem yang lain.
a. Makna
Pemilu
Makna pemilihan umum yang paling esensial bagi suatu kehidupan politik yang
demokratis adalah sebagai institusi pergantian dan perebutan kekuasaan yang
dilakukan dengan regulasi, norma, dan etika sehingga sirkulasi elite politik
dapat dilakukan secara damai dan beradab.
Lembaga itu adalah produk dari pengalaman sejarah umat manusia dalam
mengelola kekuasaan. Suatu fenomena yang mempunyai daya tarik dan pesona luar
biasa. Siapapun akan amat mudah tergoda untuk tidak hanya berkuasa, tetapi akan
mempertahankan kekuasaan yang dimilikinya. Sedemikian mempesonanya daya tarik
kekuasaan sehingga tataran apa saja kekuasaan tidak akan diserahkan oleh pemilik
kekuasaan tanpa melalui perebutan atau kompetisi.
Selain mempesona, kekuasaan mempunyai daya rusak yang dahsyat. Kekuatan
daya rusak kekuasaan melampaui nilai-nilai yang terkandung dalam ikatan-ikatan
etnis, ras, ikatan persaudaraan, agama dan lainnya. Transformasi dan kompetisi
merebutkan kekuasaan tanpa disertai norma, aturan, dan etika; nilai-nilai dalam
ikatan-ikatan itu seakan tidak berdaya menjinakan kekuasaan. Daya rusak
kekuasaan telah lama diungkap dalam suatu adagium ilmu politik, power tends to
corrupt, absolute power tends to corrupt absoluteny.
Pemilu 2004 adalah pemilu kedua dalam masa transisi demokrasi. Pemilu
mendatang diharapkan dapat menjadi pelajaran dan pengalaman berharga untuk
membangun suatu institusi yang dapat menjamin transfer of power dan power
competition dapat berjalan secara damai dan beradab. Untuk itu, pemilu 2004
harus diatur dalam suatu kerangka regulasi dan etika yang dapat memberi jaminan
agar pemilu tidak saja dapat berlangsung secara jujur dan adil, tetapi juga dapat
menghasilkan wakil-wakil yang kredibel, akuntabel, dan kapabel serta sanggup
menerima kepercayaan dan kehormatan dari rakyat, dalam mengelola kekuasaan yang
dipercayakan kepada mereka untuk mewujudkan kesejahteraan umum.
Agar pemilu 2004 dapat menjadi anggeda pelembagaan proses politik yang
demokratis, diperlukan kesungguhan, terutama dari anggota parlemen, untuk tidak
terjebak dalam permainan politik yang oportunistik, khususnya dalam
memperjuangkan agenda subjektif masing-masing. Orientasi sempit dan egoisme
politik harus dibuang jauh-jauh.
Kerangka hukum perlu didukung niat politik yang sehat sehingga regulasi
bukan sekedar hasil kompromi politik oportunistik dari partai-partai besar
untuk menjaga kepentingannya. Bila hal itu yang terjadi, dikhwatirkan hasil
pemilu akan memperkuat oligarki politik. Karena itu, partisipasi masyarakat
amat diperlukan. Bahkan, tekanan publik perlu dilakukan agar kerangka hukum
yang merupakan aturan permainan benar-benar menjadi sarana menghasilkan pemilu
yang demokratis. Untuk itu, perlu diberikan beberapa catatan mengenai
perkembangan konsensus politik dari peraturan kepentingan di parlemen serta
saran mengenai regulasi penyelenggaraan pemilu yang akan datang.
Pertama, diperlukan penyelenggaraan pemilu yang benar-benar independen.
Parsyaratan ini amat penting bagi terselenggaranya pemilu yang adil dan jujur.
Harapan itu tampaknya memperlihatkan tanda-tanda akan menjadi kenyataan setelah
pansus pemilu menyetujui bahwa kondisi pemilihan umum (KPU) benar-benar menjadi
lembaga independen dan berwewenang penuh dalam menyelenggarakan pemilu.
Sekretariat KPU yang semula mempunyai dua atasan: untuk urusan operasional
bertanggung jawab kepada KPU, telah disatukan dalam struktur yang tidak lagi
bersifat dualistik. Struktur yang sama diterapkan pula ditingkat propinsi serta
kabupaten dan kota.
Kedua, kesepakatan mengenai sistem proporsional terbuka, kesepakatan
partai-partai menerima sistem pemilu proporsional terbuka adalah suatu
kemajuan. Sejak semula, sebenarnya argumen kontra terhadap sistem proporsional
terbuka dengan menyatakan sistem ini terlalu rumit gugur dengan sendirinya.
Begitu suatu masyarakat atau bangsa sepakat memilih sistem demokrasi, saat
itu harus menyadari bahwa mewujudkan tatanan politik yang demokratis itu selain
rumit, diperlukan kesabaran melakukan pendidikan politik bagi rakyat. Sebab,
partai politik bukan saja instrumen untuk melakukan perburuan kekuasaan, tetapi
juga institusi yang mempunyai tugas melakukan pendidikan dan sosialisasi
politik kepada masyarakat.
Ketiga, pengawasan terhadap penyelenggaraan pemilu supaya kebih efektif
dari pemilu 2004. Caranya antara lain, agar pengawas pemilu selain terdiri dari
aparat penegak hukum dan KPU, juga melibatkan unsur-unsur masyarakat. Selain
itu, perlu semacam koordinasi diantara lembaga pemantau dan pengawas pemilu
sehingga tidak tumpang tindih. Pengawasan dilakukan terhadap seluruh tahapan
kegiatan pemilu. Tugas lembaga pengawas adalah menampung, menindak lanjuti,
membuat penyilidikan dan memberi saksi terhadap pelanggaran pemilu.
Keempat, Money politics mencegas habis-habisan permainan uang dalam pemilu
mendatang amat penting sekali. Upaya itu amat perlu dilakukan mengingat money
politics dewasa ini telah merebak luas dan mendalam dalam kehidupan pilih
memilih pemimpin mulai dari elite politik sampai dibeberapa organisasi sosial
dan kemahasiswaan. Karena itu, kontrol terhadap dana kampanye harus lebih
ketat. Misalnya, Batasan sumbangan berupa uang, mengonversikan utang dan
sumbangan barang dalam bentuk perhitungan rupiah, dilarang memperoleh bantuan
dari sumber asing dan APBN/APBD lebih-lebih sumber ilegal dan tentu saja
hukuman pidana yang tegas dan setimpal bagi para pelanggarannya.
Kelima, pendidikan politik perlu segera dilakukan baik oleh organisasi
masyarakat dan partai politik. Bagaimanapun, pemilihan mendatang mengandung
unsur-unsur baru serta detail-detail yang sangat perlu diketahui oleh
masyarakat.
b. Pemilih dan
Hak Pilih
Persyaratan mendasar dari pemerintahan perwakilan daerah adalah bahwa
rakyat mempunyai peluang untuk memilih anggota dewan yang memegang peranan dan
bertanggung jawab dalam proses pemerintahan. Masken Jie (1961) berpendapat
bahwa pemilihan bebas, walaupun bukan puncak dari segalanya, masih merupakan
suatu cara yang bernilai paling tinggi, karena belum ada pihak yang dapat
mencipatakan suatu rancangan politik yang lebih baik dari cara tersebut untuk
kepentingan berbagai kondisi yang diperlukan guna penyelenggaraan pemerintahan
dalam masyarakat manapun. Pertama, pemilihan dapat menciptakan suatu suasana
dimana masyarakat mampu menilai arti dan manfaat sebuah pemerintahan. Kedua,
pemilihan dapat memberikan suksesi yang tertib dalam pemerintahan, melalui
transfer kewenangan yang damai kepada pemimpin yang baru ketika tiba waktunya
bagi pemimpin lama untuk melepaskan jabatannya, baik karena berhalanga tetap
atau karena berakhirnya suatu periode kepemimpinan.
Pada sistem pemerintahan nonperwakilan daerah, peranan warga daerah
terbatas pada hal-hal yang relatif tidak terorganisasi dan tidak langsung dalam
urusan pemerintahan daerahnya. Rakyat harus memainkan peranan yang aktif dan
langsung jika pemerintahan perwakilan diinginkan untuk menjadi dinamis dan
bukan merupakan proses statis. Ada banyak kepentingan dan pengaruh warga daerah
untuk melibatkan diri dalam proses pemerintahan daerah, tetapi yang paling
mendasar adalah melalui pemilihan para wakilnya dalam kepemimpinan daerah.
c. Hak Untuk
Memilih
Suatu hak pilih yang umum merupakan dasar dari pemerintahan perwakilan dan
pengembangannya diberbagai negara merupakan fenomena yang paling penting dalam
kaitannya dengan pemerintahan perwakilan daerah yang modern. Pada abad 19,
banyak negara belum mempunyai proses pemilihan untuk posisi-posisi pada
pemerintahan daerah. Di negara lainnya, hak untuk memilih seringkali dibatasi
pada sejumlah kecil penduduknya. Namun perkembangan selama satu abad terakhir
ini menunjukan adanya kemajuan yang berarti dalam mengalihkan hak dari beberapa
orang saja menjadi hak bagi semua, atau lebih tepat lagi berupa hak bagi hampir
semua, karena pada sistem hak pilih yang paling luas pun masih ada beberapa
diantaranya yang tidak memenuhi syarat untuk memilih.
Dalam banyak hal, hak untuk memilih bagi perwakilan pada lembaga daerah
terbatas pada satu orang yang merupakan warga daerah tersebut. Namun
pengecualiannya dapat dijumpai pada persemakmuran Inggris yang hukum
kewarganegaraannya menyatakan bahwa warga negara dalam persemakmuran manapun
dapat memilih di Inggris Raya, bila ia dinayatakan memenuhi syarat (HMSO,
1965). Dewasa ini sudah menjadi fenomena yang umum untuk memberikan hak pilih
kepada seseorang yang sudah mencapai “umur yang bertanggung jawab”. Ada dua
persyaratan lain yang sering diungkapkan dalam cara yang agak negatif.
Diketahui bahwa sudah menjadi hal yang biasa disetiap negara untuk menghapus
hal pilih dari mereka yang tidak waras atau catat mental dan mereka yang sedang
menjalani hukuman penjara. Demikian pula, ada beberapa negara yang tidak
membolehkan warganya yang telah menjalani masa tahanan dalam penjara selama
waktu yang cukup lama untuk ikut memilih. Di indonesia, mereka yang dihukum
diatas lima tahun tidak diperkenankan mengikuti pemilihan umum.
d. Pemilu Sistem Proporsional
Umumnya ada dua sistem pelaksanaan pemilihan umum yang dipakai, yaitu:
pemilu sistem distrik dan pemilu sistem proporsional. Namun yang akan dibahas
penulis ialah pemilu sistem proporsional.
Sistem ini perjumlah penduduk pemilih misalnya setiap 40.000 penduduk
pemilih memperoleh satu wakil (suara berimbang), sedangkan yang dipilih adalah sekelompok
orang yang diajukan kontekstan pemilu (multy member constituency), sehingga
wakil dan pemilih kurang akrab. Tetapi sisah dapat digabung secara nasional
untuk kursi tambahan, dengan begitu partai kecil dapat dihargai tanpa harus
beraliansi, karena suara pemilih dihargai. Indonesia berada ditengah-tengah
sistem ini (sistem campuran) dalam pemilihan selama orde baru, tetapi sedikit
cenderung agak mirip pada sistem proporsional.
e. Kelemahan dan Kelebihan Sistem Proporsional
Kelemahan
1. Sistem ini mempermudah
fragmentasi partai dan timbulnya partai-partai baru. Sistem ini tidak menjurus
kearah integrasi bermacam-macam golongan dalam masyarakat, mereka lebih
cenderung lebih mempertajam perbedaan-perbedaan yang ada dan kurang terdorong
untuk mencari dan memanfaatkan persamaan-persamaan. Umumnya diaggap bahwa
sistem ini mempunyai akibat memperbanyak jumlah partai;
2. Wakil yang
terpilih merasa dirinya lebih terikat kepada partai dan kurang merasakan
loyalitas kepada daerah yang telah memilihnya. Hal-hal semacam ini partai lebih
menonjol perannya dari pad kepribadian seseorang. Hal ini memperkuat kedudukan
pimpinan partai.
Kelebihan
1. Partai politik
bisa leluasa menentukan siapa yang bakal calon.
2. integritas
secara citra partai lebih “solid” karana para pemilih mendukung atau mencoblos
partai politik serta calonnya.
3. pencalonan
perempuan okeh partai politik sebagai anggota legislatif sebanyak 30 %.
Sejak kemerdekaan hingga tahun 2009
bangsa Indonesia telah menyelenggarakan sepuluh kali pemilihan umum, yaitu
1945,1971,1977,1982,1992,1997,1999,2004 dan 2009. Akan tetapi pemilihan pada
tahun 1955 merupakan pemilihan umum yang dianggap istimewa karena ditengah
suasana kemerdekaan yang masih tidak stabil Indonesia melakukan PEMILU , bahkan
dunia internasional memuji pemilu pada tahun tersebut. Pemilihan umum
berlangsung dengan terbuka, jujur dan fair, meski belum ada sarana komunikasi
secanggih pada saat ini ataupun jaringan kerja KPU.
Semua
pemiliha umum tersebut tidak diselenggarakan dalam situasi yang vacuum,
melainkan berlangsung di dalam lingkungan yang turut menentukan hasil pemilihan
umum itu sendiri. Dari pemilihan umum tersebut juga dapat diketahui adanya
upaya untuk mencari sistem pemilihan umum yang cocok untuk Indonesia.
a.
Zaman Demokrasi Parlementer (1945-1958)
Sebenarnya
pemilu sudah direncanakan sejak bulan oktobere 1945, tetapi baru dilaksanakan
oleh kabinet Burhanuddin Harahap pada tahun 1955. Sistem pemilu yang digunakan
adalah sistem proporsional. Pada waktu sistem itu, sebagaimana yang dicontohkan
oleh Belanda, merupakan satu-satunya sistem pemilu yang dikenal dan dimengerti
oleh para pemimpin negara.
Pemilihan
umum dilakukan dalam suasana khidmat, karena merupakan pemilihan pertama sejak
awal kemerdekaan. Pemilihan umum berlangsung secara demokratis, tidak ada
pembatasan partai, dan tidak ada usaha interversi dari pemerintah terhadap partai-partai
sekalipun kampanye berlangsung seru, terutama antara Masyumi dan PNI. Serta
administrasi teknis berjalan lancar dan jujur.
Pemilihan
umum menghasilkan 27 partai dan satu partai perseorangan, dengan jumlah total
257 kursi. Namun stabilitas politik yang diharapkan dari pemilihan umum tidak
terwujud. Kabinet Ali (I dan II) yang
memerinth selama 2 tahun dan yang terdiri atas koalisi tga besar ,namun
ternyata tidak kompak dalam menghadapi persoalan, terutama yang terkait dengan
konsepsi presiden yang diumumkan pada tanggal 21 Februari 1957.
b.
Zaman Demokrasi Terpimpin (1959-1965)
Sesudah
mencabut maklumat pemerintah November 1945 tentang kebebasan mendirikan partai
, presiden soekarno mengurangi jumlah partai menjadi 10. Kesepuluh ini antara
lain : PNI, Masyumi,NU,PKI, Partai Katolik, Partindo,Partai Murba, PSIIArudji,
IPKI, dan Partai Islam, kemudian ikut dalam pemilu 1971 di masa orde baru. Di
zaman demokrasi terpimpintidak diadakan pemilihan umum.
c. Zaman Demokrasi Pancasila (1965-1998)
Sesudah
runtuhnya rezim demokrasi terpimpin yang semi otoriter ada harapan besar
dikalangan masyarakat untuk dapat mendirikansuatu sistem politik yang demokratis dan stabil. Salah
satu caranya ialah melalui sistem pemilihan umum . pada saat itu
diperbincangkan tidak hanya sistem proporsional yang sudah dikenal lama, tetapi
juga sistem distrik yang di Indonesia masih sangat baru.
Jika meninjau sistem pemilihan umum
di Indonesia dapat ditarik berbagai kesimpulan. Pertama, keputusan untuk tetap
menggunakan sistem proporsional pada tahun 1967 adalah keputusan yang tepat
karena tidak ada distorsi atau kesenjangan antara perolehan suara nasional
dengan jumlah kursi dalam DPR. Kedua, ketentuan di dalam UUD 12945 bahwa DPR dan
presiden tidak dapat saling menjatuhkan merupakan keuntungan, karena tidak ada
lagi fragmentasi karena yang dibenarkan eksistensinya hanya tiga partai saja.
Usaha untuk mendirikan partai baru tidak bermanfaat dan tidak diperbolehkan.
Dengan demikian sejumlah kelemahan dari sistem proporsional telah teratasi.
Namun beberapa kelemahan masih
melekat pada sistem politik ini. Pertama, masih kurang dekatnya hubungan antara
wakil pemerintah dan konstituennya tetap ada. Kedua, dengan dibatasinya jumlah
partai menjadi tiga telah terjadi penyempitan dalam kesempatan untuk memilih
menurut selera dan pendapat masing-masing sehingga dapat dipertanyakan apakah
sipemilih benar-benar mencerminkan, kecenderungan, atau ada pertimbangan lain
yang menjadi pedomannya. Ditambah lagi masalah golput, bagaimanapun juga
gerakan golput telah menunjukkan salah satu kelemahan dari sistem otoriter orde
dan hal itu patut dihargai.
d.
Zaman Reformasi (1998-sekarang)
Seperti dibidang-bidang lain, reformasi membawa beberapa perubahan
fundamental. Pertama, dibukanya kesempatan kembali untuk bergeraknya partai
politik secara bebas, termasuk medirikan partai baru. Kedua, pada pemilu 2004 untuk pertama kalinya
dalam sejarah indonesiadiadakan pemilihan presiden dan wakil presiden dipilih
melaluiMPR. Ketiga, diadakannya pemilihan umum untuk suatu badan baru, yaitu
Dewan Perwakilan Daerah yang akan mewakili kepentingan daerah secara khusus.
Keempat, diadakannya “electoral thresold
“ , yaitu ketentuan bahwa untuk
pememilihan legislatif setiap partai harus meraih minimal 3% jumlah kursi
anggota badan legislatif pusat.
Pemilihan umum merupakan proses
politik yang secara konstitusional bersifat nyata bagi negara demokrasi.
Sebagai sistem, demokrasi nyata-nyatanya telah teruji dan diakui paling
realistik san rasional untuyk mewujudkan tatanan soaial, politik, ekonomi yang
populalis, adil dan beradab, kendati bukan tanpa kelemahan. Begitu tak terbantahkannya
tesis-tesis demokrasi sehingga hampir semua penguasa otoriter dan tiran
menyebut sitem yang digunakannya sebagai sistem demokratis.
Disamping menjadi prasyarat
demokrasi, pemilu juga menjadi pintu masuk atau tahap awal dari proses
perkembangan demokratis. Perjalanan panjang Indonesia dalam
menyelenggarakan pemilu sejak tahun 1955
memberi pelajaran berharga untuk menata kehidupan bangsa kedepan menuju
kehidupan yang lebih baik. Bangsa Indonesia mempunyai komitmen yang kuat untuk menyelenggarakan
pemilu 2004 dengan format berbeda dengan sebelumnya, sehingga azas langsung
umum, bebas, rahasia, jujur dan adil dapat dilaksanakan secara benar, konsekuen
dan dapat dipertanggungjawabkan baik secara hukum, moral, maupun politis.
Dilihat dari sisi keanekaragaman
masyarakat Indonesia dan kondisinya saat ini sistem proporsional tertutup lebih
cocok. Mengutip pendapat dari Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk pemilu dan
demokrasi (PERLUDEM) bahwa sistem pemilu proprosional untuk fenomena politik
Indonesia saat ini lebih menguntungkan. Walaupun sistem pemilu tidak ada yang
terbaik untuk suatu negara, yang terpernting adalah mencari sistem pemilu yang
cocok dan pas dengan suatu negara. Sebelum memutuskan hal tersebut , juga harus
pas dengan instrumen yang lain. Dengan sistem proprosional tertutup nanti biaya
bisa ditekan karena partai politik menjadi satu-satunya pengendali dana
kampanye. Selain itu juga bisa menutup terbukanya peluang persaingan yang tidak
sehat antara para caleg. Bukan berarti sistem proporsional tertutup itu tanpa
prasyarat, kalau tidak nantinya akan terjadi oligarkhi. Meski dibilang tertutup
bukan berarti publik tidak tahu sama sekali. Tetap ada daftar caleg yang
disampaikan kepada KPU untuk diumumkan. Sistem parliamentary thresold (PT)
akan mengurangi drastis jumlah partai di parlemen. Namun dalam multipartai
sederhana tidak berkaitan dengan besaran parliamentary thresold . tujuan adanya
PT adalah ingin menyederhanakan partai dan juga proprosionalitas.
BAB III
PENUTUP
a. Kesimpulan
Hak memberikan suara atau
memilih (right to vote) merupakan hak dasar (basic right) setiap individu/warga
negara yang harus dijamin pemenuhannya oleh Negara. Jaminan terhadap hak ini
telah dituangkan baik dalam Konstitusi (UUD 1945-Amandemen) maupun UU, yakni UU
No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No. 12/2005 tentang Ratifikasi
Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik. Pemilu yang lalu telah menoreh sejarah baru
dalam transformasi pemerintahan di Indonesia, tahun ini jumlah partai politik
terbanyak dalam sejarah pemilu Indonesia yaitu sebanyak 44 partai 38 partai
nasional dan 6 partai lokal. Pemilu lalu banyak sekali kelemahan dan
pelanggaran terhadap hak politik warga. Kelemahannya yaitu masalah yang
bersifat substantif maupun masalah teknis. Kesalahan yang dilakukan oleh
penyelenggara pemilu marupakan kesalahan yang paling utama, namun kesalahan itu
tidak menutup kemungkinan juga dari warga Indonesia itu sendiri.
Pemilu yang sudah berlalu
belum sepenuhnya mencerminkan dengan adanya asas pemilu yaitu asas luber dan
judil. Asas pemilu hanya sebagian kecil saja yang sudah tercermin dan terwujud
dalam pemilu Indonesia. Namun banyak sekali pelanggaran terhadap nilai – nilai
asas luber dan judil. Padahal UUD 1945 telah mentukan bahwa jalannya pemilu
harus dilaksanakan dengan langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Dalam ilmu politik dikenal bermacam-macam sistem
pemilu, akan tetapi umumnya ada dua prinsip pokok yaitu: sistem distrik dan
sistem proporsional, namun pada pemilu 2009 menggunakan sistem pemilu
proporsional. Sebagai catatan penutup perlu dikemukakan, perjalanan yang akan
ditempuh bangsa Indonesia dalam mengukir demokrasi masih amat panjang dan melelahkan.
Kebiasaan melakukan pergantian kekuasaan dan sirkulasi elite penguasa yang
reguler, aman dan beradab hanya dapat dilakukan melalui serangkaian pemilu yang
jujur dan adil.
Politik merupakan kualitas yang paling penting untuk
membangkitkan dan mengorganisasikan minat dan partisipasi rakyat dalam
penyelenggaraan pemerintahan ditingkat daerah. Pada unit pemerintahan yang
lebih besar, politik memegang peranan penting dalam proses pemerintahan
perwakilan. Untuk mewujudkan aspirasi masyarakat guna mewujudkan good
governance. Dalam rangka hal tersebut, diperlukan pengembangan dan penerapan
sistem pertanggung jawaban yang tepat, jelas dan nyata sehingga penyelenggaraan
pemerintah dan pembangunan dapat berlangsung secara berdaya guna, berhasil
guna, bersih dan bertanggung jawab serta bebas KKN.
b. Saran
Jalannya pemilu haruslah
sesuai dengan asas pemilu yang sudah secara jelas ditentukan oleh UUD 1945.
Penyelenggara pemilu (KPU) harus menghindari kesalahan yang dapat merugikan
warga negara, sehingga warga negara merasa tidak dirugikan dan hak politiknya
tidak dilanggaran. Pemerintah harus menjamin hak pilih warga dan melakukan
tindakan terhadap pelanggaran HAM dalam pemilu
DAFTAR PUSTAKA
Alfian. (1992). Pemikiran
dan perubahan politik Indonesia. Jakarta: PT Gramedia.
Poerwantana,
P. K. (1994). Partai Politik Di
Indonesia. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Poesponegoro, M & Notosusanto, N. Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI.
Jakarta: Balai Pustaka.
Ricklefs,
M. C. (2008). Sejarah Indonesia Modern
1200-2008. Jakarta: Serambi.
Roosa,
John. (2008). Dalih Pembunuhan Massal
Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto. Jakarta: Institut Sejarah Sosial
Indonesia dan Hasta Mitra.
Budiardjo, Miriam .2008.dasar-dasar ilmu politik (edisi revisi).Jakarta
: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Prihatmoko, dkk. 2008.Menang
Pemilu Ditengah Oligarki Partai.Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
No comments:
Post a Comment