KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena telah
memberikan kekuatan dan kemampuan sehingga makalah ini bisa selesai tepat pada
waktunya. Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas
Makalah Tentang
Kesultan Lingga Kepulauan Riau.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
dan mendukung dalam penyusunan makalah ini.
Penulis sadar makalah ini belum sempurna dan memerlukan berbagai
perbaikan, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat dibutuhkan.
Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan
semua pihak.
Jatinangor, Juni 2014
Penulis,
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
Kesultanan
Lingga-Kepulauan Riau ialah sebuah kerajaan Islam di Kepulauan Lingga, Kepulauan Riau, Indonesia
yang merupakan pecahan daripada Kesultanan
Johor. Kesultanan ini dibentuk berdasarkan perjanjian antara United
Kingdom dan Belanda
pada tahun 1824,
dengan Sultan Abdul Rahman Muazzam Shah
sebagai sultan pertamanya. Kesultanan ini dihapuskan oleh pemerintah kolonial Belanda pada 3 Februari
1911.
Kesultanan Lingga-Kepulauan Riau
memainkan peranan yang penting dalam perkembangan bahasa
Melayu sehingga menjadi bentuk bahasa
Indonesia kini. Pada masa kesultanan ini, bahasa
Melayu menjadi sebuah bahasa baku yang kaya dengan kesusasteraan
serta memiliki kamus
ekabahasa sendiri dan sejajar dengan bahasa-bahasa lain yang besar di dunia.
Tokoh besar di belakang perkembangan pesat bahasa Melayu
ini adalah Raja Ali Haji, seorang pujangga dan ahli
sejarah yang berketurunan Melayu-Bugis.
Masalah yang di bahas
dalam makalah ini adalah
1.
Apa Sejarah Kesultan Kepulauan Riau?
2.
Bagaimana Sejarah tentang Kesultanan Kepulauan
Riau?
BAB II
PEMBAHASAN
A. SEJARAH KESULTAN KEPULAUAN RIAU
Kesultanan Kepulauan Riau-Lingga merupakan sebuah kesultanan yang kini
terletak di wilayah Provinsi
Kepulauan Kepulauan Riau (Kepri). Sejarah awal Kesultanan Kepulauan
Riau-Lingga ditandai pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Syah yang naik
sebagai sultan di Kesultanan Johor,
Kepulauan Riau-Lingga, dan Pahang
(Kesultanan Johor) pada 1761. Ketika memerintah
beliau memindahkan pusat pemerintahan Kesultanan Melayu Kepulauan Riau dari
Kepulauan Riau Lama (Ulu Kepulauan Riau di Pulau Bintan)
ke Daik di Pulau Lingga pada 1788 (Hikmat Ishak, 2001:52). Di Lingga inilah
Sultan Mahmud Syah membangun istana dan melaksanakan pemerintahan serta
mengatur kembali perdagangan sebagai komoditi, khususnya lada dan timah dengan
Inggris yang dilakukan secara gelap (Hikmat Ishak, 2001:52). Awalnya Kesultanan
Kepulauan Riau-Lingga menjadi satu dengan Kesultanan
Johor di Malaka. Tetapi akibat dari ditandatanganinya Treaty of London
(Traktat London), wilayah kekuasaan dari Kesultanan
Johor, Kepulauan Riau-Lingga, dan Pahang
dibagi menjadi dua, sebagian masuk ke wilayah pendudukan Inggris di Semenanjung
Malaka sampai Singapura, dan sebagian lainnya masuk ke wilayah pendudukan Pemerintah
Hindia Belanda. Kawasan yang masuk ke wilayah pendudukan Pemerintah Hindia
Belanda ini salah satunya kemudian berkembang dengan nama Kesultanan Kepulauan
Riau-Lingga. Sehingga sejarah terbentuknya Kesultanan Kepulauan Riau-Lingga,
jika ditelusuri berawal dari ditandatanganinya Traktat London.
Permasalahan pembagian wilayah Kesultanan Johor bukan menjadi masalah
pertama kali yang tercatat dalam sejarah Kesultanan Kepulauan Riau-Lingga.
Sebelum masalah pembagian wilayah, Kesultanan Kepulauan Riau-Lingga yang saat
itu masih di bawah wilayah kekuasaan Kesultanan Johor, Kepulauan Riau-Lingga,
dan Pahang menghadapi masalah seputar suksesi kepemimpinan (perebutan tahta) di
Kesultanan Kepulauan Riau-Lingga. Suksesi ini perlu dituliskan karena sultan
pertama yang memerintah Kesultanan Kepulauan Riau-Lingga, telah naik tahta
sebelum Kesultanan Kepulauan Riau-Lingga dipisahkan dari wilayah Kesultanan
Johor, Kepulauan Riau-Lingga, dan Pahang.

Sisa-sisa peninggalan Istana Kesultan Kepulauan Riau-Lingga di Daik
Suksesi perebutan tahta dimulai ketika pemegang tahta Kesultanan Johor,
Kepulauan Riau-Lingga dan Pahang, yaitu Sultan Mahmud Syah meninggal pada 12
Januari 1812 (Aswandi Syahri & Raja Murad, 2006:8). Pasca meninggalnya sang
sultan, muncul perdebatan seputar pengganti kedudukan sultan. Perdebatan muncul
karena Sultan Mahmud Syah mempunyai dua anak laki-laki, yaitu Tengku Husin dan
Tengku Abdulrahman. Tengku Husin merupakan anak Sultan Mahmud Syah hasil dari
pernikahan dengan Encek Makoh, anak perempuan seorang bangsawan Bugis bernama
Daeng Maturung alias Encek Jakfar dan istrinya yang bernama Encek Halimah
(Aswandi Syahri & Raja Murad, 2006:9). Sedangkan Tengku Abdulrahman
merupakan anak Sultan Mahmud Syah hasil dari pernikahan dengan Encek Maryam,
anak perempuan seorang bangsawan Bugis bernama Bandar Hasan dan istrinya
bernama Encek Sanay, seorang perempuan yang berasal dari Bali (Aswandi Syahri
& Raja Murad, 2006:9). Selain kedua istrinya tersebut, Sultan Mahmud Syah
juga menikah dengan dua orang perempuan lainnya, yaitu Engku Puan, anak Tun
Abdul Majid Bendahara Paduka Raja Pahang (wafat pada 1803) dan Raja Hamidah
atau lebih dikenal dengan Engku Puteri, anak Yang
Dipertuan Muda Raja Haji dengan Tengku Perak. Tetapi dari kedua istrinya ini,
Sultan Mahmud Syah tidak dikaruniai anak laki-laki (Aswandi Syahri & Raja
Murad, 2006:9).
Suksesi seputar pengganti almarhum Sultan Mahmud Syah semakin menjadi
ketika Belanda dan Inggris turut campur tangan dalam masalah ini. Kini suksesi
kepemimpinan bukan lagi sekadar menentukan siapa pengganti sang sultan, tetapi
telah diwarnai pengaruh politis yang penuh kepentingan baik oleh Inggris maupun
Belanda. Inggris mulai mencoba menanamkan pengaruh dengan mendukung pencalonan
Tengku Husin sebagai Sultan di Kesultanan Johor, Kepulauan Riau-Lingga, dan
Pahang. Secara sepihak, Inggris akhirnya menabalkan Tengku Husin sebagai sultan
di Kesultanan Johor, Kepulauan Riau-Lingga, dan Pahang dengan nama Sultan Husin
Muazzam Syah di Singapura (Netscher, E., 2002:437). Penanaman pengaruh Inggris
di lingkungan Kesultanan Johor, Kepulauan Riau-Lingga, dan Pahang, sebenarnya
merupakan usaha kedua Inggris setelah sebelumnya pada 1795, Inggris yang
menguasai Malaka mengakui Kepulauan
Riau sebagai kerajaan merdeka (Hikmat Ishak, 2001:39). Perjanjian Den Haag pada 1795 membuat Inggris dengan mudah mendapatkan
Malaka (Hasan Junus, 2002 :179).
Thomas Stamford Rafles sebagai Letnan-Gubernur Jawa dan taklukannya
semakin gencar menanamkan pengaruh di lingkungan Kesultanan Johor, Kepulauan
Riau-Lingga, Pahang. Di samping menabalkan Sultan Husin di Singapura, Rafles
juga berupaya menjalin kerjasama dengan Sultan
Abdulrahman yang telah ditabalkan oleh Yang Dipertuan Muda Raja Jaafar (Yang
Dipertuan Kepulauan Riau) (Aswandi Syahri & Raja Murad, 2006:13). Kerjasama dilakukan melalui surat yang
ditandatangani dan dicap Sir T.S. Rafles bertanggal Batavia, 10 November 1813.
Langkah Inggris untuk menanamkan pengaruh di lingkungan Kesultanan Johor,
Kepulauan Riau-Lingga, dan Pahang ternyata sangat bermanfaat, karena pada 1818
terjadi penandatanganan Treaty of Vienna (Traktat Vienna) yang memberikan
konsekuensi langsung bahwa Inggris kehilangan hak atas Pulau Jawa (Aswandi
Syahri & Raja Murad, 2006:13).
Selain kehilangan Pulau Jawa,
implikasi langsung bagi Inggris pasca penandatanganan Traktat Vienna adalah
penyerahan Malaka pada Komisaris-Komisaris Belanda pada September 1818
(Netscher, E., 2002:437). Pasca penyerahan tersebut Residen Inggris di
Malaka, William Farquhar membuat perjanjian dagang dengan Sultan Abdulrahman
Syah. Perjanjian dagang ini
ditandatangani pada 9 Agustus 1918 (Aswandi Syahri & Raja Murad, 2006:15).
Perjanjian dagang ini jelas memperlihatkan tentang kekuatan diplomasi Inggris.
Pasalnya dalam waktu yang hampir bersamaan (sekitar setengah tahun), Inggris
telah mendapatkan kesepakatan dagang antar dua orang yang sama-sama mengaku
sebagai pewaris sah tahta di Kesultanan Johor, Kepulauan Riau-Lingga, dan
Pahang. Inggris telah membuat kesepakatan dengan Sultan Abdulrahman
sekaligus Sultan Husin.
Perjanjian perdagangan yang dilakukan pada dua sultan ini kembali
dikuatkan oleh Inggris pada 30 Januari 1819. Seperti dikutip dalam buku Belanda
di Johor dan Siak 1602-1865 (2002), Pasal-pasal sementara dari persetujuan
tanggal 30 Januari 1819, antara Yang Terhormat Sir T.S. Raffles atas nama
O.I.C. Inggeris dan Datuk Tumenggung dari Sri Maharaja Abdul Rahman, Kepala di
Singapura dan taklukannya, untuk dirinya sendiri dan Sultan Husin Muazzam Syah
(Netscher, E., 2002:438).
Aksi diplomasi yang gencar dilakukan oleh Inggris membuat Belanda
melakukan langkah diplomasi serupa. Selama tahun suksesi kepemimpinan
(1812-1818), Inggris memang memainkan peran di Kesultanan Johor-Kepulauan
Riau-Lingga, dan Pahang. Belanda baru mengikat perjanjian dagang sekaligus
pengalihan kekuasaan Kesultanan Johor-Kepulauan Riau-Lingga, dan Pahang pasca
penandatanganan Traktat Vienna pada 1818. Traktat Vienna dianggap Belanda
sebagai legitimasi secara hukum bahwa kemerdekaan Kepulauan Riau yang telah
diberikan oleh Inggris pada 1795 menjadi luntur. Sebagai langkah stategis untuk
menghalangi diplomasi Inggris, Belanda mengikat Kesultanan Johor, Kepulauan
Riau-Lingga, dan Pahang dengan sebuah perjanjian yang ditandatangani pada 27
November 1818. Secara umum isi perjanjian adalah pengakuan bahwa Belanda
merupakan penguasa tertinggi di Kepulauan Riau, hanya bangsa Belanda yang
diizinkan berdagang dengan Kepulauan Riau, dan pengangkatan sultan-sultan
Kepulauan Riau harus dengan izin Belanda (Hikmat Ishak, 2001:40). Perjanjian
ini ditandatangani oleh Yang Dipertuan Muda Raja Jaafar atas nama Sultan
Abdulrahman (Aswandi Syahri & Raja Murad, 2006:16).
Melihat sikap penguasa di Kepulauan Riau ini, berarti secara hukum,
Sultan Abdulrahman baru naik tahta secara resmi pada 1818. Alasannya, sebelum
dilakukan perjanjian dagang yang mengikat dengan Belanda, pihak Kesultanan
Johor, Kepulauan Riau-Lingga, dan Pahang masih membuka pintu pada dua
kolonialis, Inggris dan Belanda. Tetapi setelah Traktat Vienna, penguasa
Kesultanan Johor, Kepulauan Riau-Lingga, dan Pahang hanya membuka pintu
perjanjian dengan pihak Belanda, bahkan mengakui kedaulatan Belanda dan berada
di bawah Pemerintahan Hindia Belanda. Dengan pengakuan ini dapat dipastikan
upaya Inggris untuk merangkul penguasa Kesultanan Johor, Kepulauan Riau-Lingga,
dan Pahang yang berada di Kepulauan Riau telah tertutup.
Inggris kemudian mengalihkan perhatian dengan menjemput Tengku Husin dan
menabalkannya secara resmi di Singapura. Penabalan Tengku Husin dilakukan pada
6 Februari 1819 atas nama Gubernur Jenderal Benggala dengan gelar Husin Muazzam
Syah, Sultan Singapura dan Johor (Aswandi Syahri & Raja Murad, 2006:16).
Sebagai konsekuensi, Ingris memberikan perlindungan kepada pihak keluarga
Sultan Husin, tetapi Inggris mendapatkan Singapura dan berhak mengibarkan
bendera The Union Jack (Netscher, E., 2002:438-441 dan 453-454)
Penabalan dua orang sultan yang sebenarnya berasal dari satu kesultanan
yang sama, membuat pihak kolonialis telah berhasil memecah Kesultanan Johor,
Kepulauan Riau-Lingga, dan Pahang. Meskipun secara hukum penabalan kedua sultan
ini dianggap sah, tetapi secara adat sebenarnya tidak ada satupun di antara kedua
sultan ini yang telah sah ditabalkan sebagai sultan di Kesultanan Johor,
Kepulauan Riau-Lingga, dan Pahang. Menurut adat di Kesultanan Johor, Kepulauan
Riau-Lingga, dan Pahang, seseorang dianggap sah menjadi sultan apabila dalam
penabalannya dilakukan dengan menggunakan regalia Kesultanan Johor, Kepulauan
Riau-Lingga, dan Pahang (Aswandi Syahri & Raja Murad, 2006:16). 

Cogan
Permasalahan yang dihadapi kedua orang yang mengaku sebagai sultan ini
adalah sama-sama tidak menyertakan regalia dalam masing-masing prosesi
penabalan. Ketiadaan regalia karena regalia Kesultanan Johor, Kepulauan
Riau-Lingga, dan Pahang tersebut berada di tangan Engku Puteri,
istri ke-empat Sultan Mahmud Syah yang tinggal di Pulau
Penyengat (Aswandi Syahri & Raja Murad, 2006:16). Seperti
ditulis dalam buku Cogan: Regalia Kerajaan Johor-Kepulauan Riau-Lingga-dan
Pahang (2006), kedudukan regalia dalam adat Kesultanan Johor, Kepulauan
Riau-Lingga, dan Pahang mendapat tempat yang sangat penting karena peralatan
tersebut merupakan simbol yang melambangkan kebesaran, kekuasaan, simbol magis
yang mempengaruhi kosmos, dan dapat mengembalikan keseimbangan alam dan
gejolak sosial. Bahkan dalam konsep legitimasi politik Kesultanan Johor,
Kepulauan Riau-Lingga, dan Pahang, regalia disebut juga kesultanan dan
kekuasaan pemerintah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa merebut regalia sama
dengan merebut kesultanan, pemerintah, atau kekuasaan. Dan mengembalikan
regalia, berarti mengembalikan kesultanan dan pemerintah yang berdaulat kepada
pengganti sultan yang dipilih dan berhak. Di antara alat-alat kebesaran ini
yang terpenting adalah cogan atau sirih besar, yaitu sebuah
tombak kebesaran yang menyerupai sirih yang terbuat dari emas dan tulang perak.
Selain itu ada pula seperangkat alat musik nobat
royal orkestra, beberapa buah pedang, keris, ketor, pahar, dan tempat sirih,
serta sejumlah benda perhiasan lainnya yang sebagian besar terbuat dari emas
yang berhiaskan batu permata (Aswandi Syahri & Raja Murad, 2006:7).

Ketor (kanan) dan Sisa-sisa Nobat Kesultanan Kepulauan Riau-Lingga di Rumah Sotoh Mesjid Pulau Penyengat (kiri).
Sebenarnya baik dari pihak Sultan Abdulrahman dan Sultan Husin, telah
mengupayakan berbagai cara untuk mendapatkan regalia tersebut. Bahkan sejak
1810, Yang Dipertuan Muda Raja Jaafar atas nama Sultan Abdulrahman telah
berkali-kali membujuk Engku Puteri untuk menyerahkan regalia. Di sisi lain
Sultan Husin dengan bantuan Inggris juga melakukan upaya serupa. Inggris
berusaha membujuk Engku Puteri dengan uang sejumlah 50.000 Ringgit Spanyol
(Netscher, E., 2002:458). Upaya ini gagal karena Engku Puteri tetap tidak mau
menyerahkan regalia kepada Sultan Husin.
Di pihak lain, setelah berbagai cara dilakukan oleh Yang Dipertuan Muda
Raja Jaafar tidak berhasil, Sultan Abdulrahman merasa tidak berhak atas
kedudukannya sebagai Sultan di Kesultanan Johor, Kepulauan Riau-Lingga, dan
Pahang. Oleh karena itu, sebelum regalia berada di tangannya, beliau menyingkir
dari Lingga
ke Terengganu
dengan alasan akan melangsungkan pernikahan (Netscher, E., 2002:457-458).
Belanda yang membawahi Kesultanan Johor, Kepulauan Riau-Lingga, dan Pahang
tidak mau kehilangan momentum menanamkan pengaruh hanya karena ketiadaan
regalia sebagai legalitas adat pengangkatan seorang sultan. Maka Gubernur
Belanda di Malaka, Timmerman Tyssen dan Adirian Koek dengan kekuatan senjata
menyerbu ke Pulau Penyengat pada Oktober 1822 dan
merebut regalia dari tangan Engku Puteri secara paksa, kemudian menyimpannya di
Benteng Kroonprins (putera mahkota) di Tanjungpinang
(Aswandi Syahri & Raja Murad, 2006:17). Di kemudian hari peristiwa
penyerbuan ini dilaporkan oleh Engku Puteri dalam sebuah surat kepada Gubernur
Jenderal Hindia Belanda, van der Capellen yang bermukim di Batavia (Aswandi
Syahri & Raja Murad, 2006:18). Akhirnya dengan regalia yang telah berada di
tangan Belanda, Sultan Abdulrahman dijemput dari Terengganu
dan ditabalkan sebagai Sultan Johor, Kepulauan Riau-Lingga, dan Pahang pada 27
November 1822 (Aswandi Syahri & Raja Murad, 2006:18).
Kini legitimasi sebagai sultan di Kesultanan Johor, Kepulauan
Riau-Lingga, dan Pahang telah resmi dipegang oleh Sultan Abdulrahman. Inggris
yang berada di kubu Sultan Husin semakin tidak mempunyai pengaruh lagi di
Kesultanan Johor, Kepulauan Riau-Lingga, dan Pahang. Kehilangan pengaruh ini semakin bertambah ketika
Traktat London ditandatangani pada 1824.
Traktat London merupakan perundingan antara wakil dari Pemerintah
Britania Raya (Inggris) dengan Kerajaan Belanda. Seperti ditulis dalam buku Belanda
di Johor dan Siak 1602-1865 (2002), perundingan tersebut dilakukan
di London di mana masing-masing pihak diwakili oleh H. Hegel dan
A.R. Falck dari pihak Belanda, sedang G. Canning dan C.W.W. Wynn dari pihak
Inggris. Di dalam perundingan yang telah dimulai sejak akhir 1823 tersebut,
Inggris sejak awal telah menetapkan bahwa Malaka dan daerah sekitarnya termasuk
Singapura akan berada di bawah kekuasaan Inggris. Sedang wakil dari Belanda,
menginginkan bahwa kedua belah pihak akan berpegang pada garis yang dimulai
dari pintu masuk ke Selat Malaka sejajar dengan Kedah atau 6˚ LU dan berakhir
di Laut Cina Selatan pada ujung Selat Singapura, dan memasukkan pulau tersebut
ke pihak Utara (Inggris), sedangkan pulau-pulau Karimun,
Batam,
Bintan, dan Kepulauan Riau ke sebelah
selatan garis (pihak Selatan atau Belanda). Pembagian wilayah pendudukan
untuk Inggris dan Belanda, secara tersurat dapat dilihat dalam Traktat London
yang ditandatangani pada 17 Maret 1824. Isi Traktat London tersebut, antara
lain:
Pasal
10.
Kota dan benteng
Melaka beserta rantau jajahan takluknya dengan ini diserahkan kepada
Kemaharajaan Britania Raya dan Raja Kerajaan Belanda berjanji, untuk dirinya
dan untuk rakyatnya, tidak akan pernah mendirikan kantor dalam bahagian
Semenanjung Melaka atau memperbuat perjanjian dengan raja-raja Melayu,
kepala-kepala negara yang berkedudukan di semenanjung itu.
Pasal
12.
Z.M. Raja
Belanda tidak akan mencampuri mengenai pendudukan Pulau Singapura oleh
Kemaharajaan Britania Raya.
Imbangan dari
itu, maka Kemaharajaan Britania Raya tidak akan mendirikan kantor di Kepulauan Karimun, atau di Pulau Batam, Bintan, Lingga atau lain-lain
pulau yang terletak di sebelah Selatan Selat Singapura, dan tidak akan
memperbuat perjanjian dengan kepala-kepala yang ada di situ.
Pasal
13.
Semua koloni,
hak milik dan etablisemen, sebagai akibat pasal-pasal di atas ikut diserahkan,
kepada perwira-perwira yang berkedaulatan pada tanggal 1 Maret 1825. d.s.b.
(Netscher, E., 2002:465-466).
Pembagian wilayah pendudukan oleh Inggris dan Belanda, secara langsung
berimplikasi pada kekuasaan wilayah Kesultanan Johor, Kepulauan Riau-Lingga,
dan Pahang. Jika mengacu pada pembagian Traktat London, wilayah Kesultanan
Johor, Kepulauan Riau-Lingga, dan Pahang termasuk ke dalam wilayah Inggris
sekaligus Belanda. Sedangkan sebagian dari isi Traktat London menyebutkan bahwa
di wilayah Inggris, Belanda tidak diperkenankan untuk menempatkan wakil atau
berhubungan dengan para sultan yang memerintah kawasan Inggris tersebut.
Peraturan serupa juga ditetapkan di wilayah Belanda. Sehingga jalan
satu-satunya adalah membagi wilayah kekuasaan Kesultanan Johor, Kepulauan
Riau-Lingga, dan Pahang berdasarkan pembagian daerah pendudukan yang telah
diatur dalam Traktat London. Berawal dari pemecahan wilayah Kesultanan Johor,
Kepulauan Riau-Lingga, dan Pahang inilah, maka berdirilah Kesultanan Kepulauan
Riau-Lingga yang termasuk ke dalam wilayah kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda.
Dan Sultan Abdulrahman ditetapkan sebagai sultan pertama Kesultanan Kepulauan
Riau-Lingga.
Pemerintahan Sultan Abdulrahman yang bergelar Sultan Abdulrahman Muadzam
Syah ditandai dengan berkuasanya Belanda secara penuh di Kesultanan Kepulauan
Riau-Lingga. Segala sesuatu yang berhubungan dengan politik, pemerintahan,
sampai perdagangan harus sepengatahuan dan seizin Belanda. Belanda pula yang
akhirnya bertindak sebagai pengatur, bahkan untuk urusan pengangkatan dan
pemberhentian seorang sultan dan Yang Dipertuan Muda di Kepulauan Riau.
Campur tangan Belanda di Kesultanan Kepulauan Riau-Lingga mulai dirasakan
secara langsung ketika Belanda memaksakan untuk memperbaharui kontrak yang
telah disepakati pada 10 November 1784 dan 27 November 1818 (Netscher, E.,
2002:482). Seperti ditulis dalam buku Belanda di Johor dan Siak 1602-1865 (2002),
Belanda mengikat Kesultanan Kepulauan Riau-Lingga dengan sebuah kontrak
yang ditandatangani pada 29 Oktober 1830. Isi perjanjian tersebut antara lain:
Bahwa Kesultanan Kepulauan Riau-Lingga hanya merupakan pinjaman dari Pemerintah
Hindia Belanda; sultan diharuskan mengucapkan sumpah setia pada Pemerintah
Hindia Belanda; pergantian sultan maupun Yang Dipertuan Muda di Kepulauan Riau
harus melalui persetujuan Pemerintah Hindia Belanda; sultan harus berjanji
untuk tidak menjalin kerjasama dengan bangsa lain tanpa sepengetahuan
Pemerintah Hindia Belanda; ditempatkan seorang residen di Kepulauan Riau (Tanjungpinang); dalam perkara penting yang menyangkut
pengadilan, sultan harus meminta nasehat residen; orang Eropa, Amerika, rakyat
Pemerintah Belanda, dan penduduk Tanjungpinang tidak berada di bawah hukum
sultan, dan Pemerintah Hindia Belanda bebas mengambil kayu di hutan (Netscher,
E., 2002:482-487).
Seperti ditulis dalam buku Engku Puteri Raja Hamidah: Pemegang Regalia
Kerajaan Kepulauan Riau (2002), arsitek dari kontrak politik 29 Oktober
1830 adalah Residen Kepulauan Riau, C.P.J. Elout. Elout merupakan seorang
residen yang piawai dalam mengatasi masalah-masalah yang berhubungan dengan
Kesultanan Kepulauan Riau-Lingga. Eliza Netscher, residen pengganti setelah
Elout menambahkan bahwa dipertahankannya Elout di Kepulauan Riau karena ia
mempunyai hubungan baik dengan para sultan Melayu dan pengaruhnya sangat besar
di Kepulauan Riau. Berkat Elout pula, untuk pertama kalinya dibuat sebuah surat
perjanjian dibuat setelah Kesultanan Johor, Kepulauan Riau-Lingga, dan Pahang
dipecah dan salah satunya menajdi Kesultanan Kepulauan Riau-Lingga (Hasan
Junus, 2002:197-198).
Pada 18 Desember 1931 Yang Dipertuan Muda Kepulauan Riau Raja Jaafar
meninggal dunia. Maka sesuai dengan kontrak (perjanjian) pada 29 Oktober 1930,
dipilih pengganti beliau, yaitu Tengku Abdul Rahman Yang Dipertuan Muda di
Kepulauan Riau (Netscher, E., 2002:489). Pada 9 Agustus 1932, Sultan
Abdulrahman Muadzam Syah meninggal dunia dan digantikan oleh Tengku Muhammad
yang bergelar Sultan Muhammad Syah. Sebagaimana pendahulunya, Sultan Muhammad
Syah juga melakukan sumpah setia pada Pemerintah Hindia Belanda. Proses
pengambilan sumpah dilakukan pada 29 Maret 1834 (Netscher, E., 2002:489).
Pemerintahan Sultan Muhammad Syah ditandai dengan pembasmian secara
berkala para perompak (lanun) yang mengacau di wilayah maritim Kesultanan
Kepulauan Riau-Lingga (Netscher, E., 2002:489). Para perompak ini telah mengacau alur perdagangan dari dan ke luar
Kesultanan Kepulauan Riau-Lingga. Akibatnya pada masa pemerintahan Sultan
Muhammad Syah perdagangan di Kepulauan Riau-Lingga mengalami kemerosotan.
Berkat campur tangan Belanda yang bekerjasama dengan Sultan Muhammad Syah, aksi
perompakan ini telah jauh berkurang dalam tahun 1837, sehingga perdagangan bisa
dipulihkan kembali (Netscher, E., 2002:495).
Pada 20 Juli 1841 Sultan
Muhammad Syah meninggal dunia dan digantikan oleh Sultan Mahmud Muzhafar Syah
melalui prosesi penabalan yang dilakukan pada 5 Januari 1843 (Netscher, E.,
2002:495-496). Sebenarnya sebelum Sultan Muhammad Syah meninggal dunia, beliau
telah menyiapkan puteranya sebagai pengganti. Hanya saja putera tersebut baru
berumur 18 tahun, sehingga dianggap belum pantas untuk menjadi seorang sultan.
Sebagai seorang yang diproyeksikan mengganti kedudukan sultan, putera ini
kemudian belajar tentang segala urusan yang menyangkut kesultanan (Netscher,
E., 2002:495). Baru pada 5 Januari 1843, Sultan Mahmud Muzhafar Syah resmi
ditabalkan sebagai sultan untuk menggantikan ayahnya, Sultan Muhammad Syah.
Menurut buku Belanda di
Johor dan Siak 1602-1865 (2002), pada 17 Juni 1844, Yang Dipertuan Muda
Abdulrahman meninggal dunia. Berdasarkan perjanjian pada 29 Oktober 1830,
dengan persetujuan Pemerintah Hindia Belanda, Sultan Muhammad Syah harus
mengangkat pengganti. Akan tetapi kesempatan ini justru digunakan oleh Sultan
Muhammad Syah untuk berusaha menghapuskan lembaga Yang Dipertuan Muda di
Kepulauan Riau yang merupakan institusi yang mempunyai hak prerogratif dan
dipegang oleh bangsawan dari Bugis. Residen A.L. Andriesse yang merupakan
kepanjangan tangan dari Pemerintah Hindia Belanda, berusaha menghalangi maksud
dari Sultan Muhammad Syah ini dengan alasan bertentangan dengan perjanjian 29
Oktober 1830. Sultan Muhammad Syah akhirnya mengalah dan mengangkat Raja Ali,
saudara tertua dari Raja Abdulrahman pada April 1845 (Netscher, E., 2002:497-498).
Pada dasarnya Sultan Mahmud
Muzhafar Syah merupakan sosok sultan yang sulit diatur oleh Pemerintah Hindia
Belanda melalui kepanjangan tangan seorang Residen di Kepulauan Riau
(Tanjungpinang) yaitu A.L. Andriesse. Menurut buku Belanda di Johor dan Siak
1602-1865 (2002), Sultan Mahmud Muzhafar Syah adalah seorang sultan yang
gemar berkeliling dengan orang Eropa dan Persia ke Singapura. Di sana sultan
bergaul dengan banyak orang Eropa dan mulai terpengaruh dengan gaya hidup
Eropa. Kebiasaan beliau yang sering datang ke Singapura tentu saja mengusik
Pemerintahan Inggris yang menguasai Singapura. Akibatnya hubungan
Inggris-Kesultanan Kepulauan Riau-Lingga-Belanda sempat tegang karena Inggris
menuduh Sultan Mahmud Muzhafar Syah telah turut campur tangan di wilayah
semenanjung, padahal hal itu melanggar Traktat London 1824. Sedang bagi Sultan
Mahmud Muzhafar Syah, seringnya beliau datang ke Singapura karena merasa bahwa
penguasa Terengganu merupakan saudara sedarah dari pihak Kesultanan Kepulauan
Riau-Lingga. Bahkan karena masih merasa menjadi bagian dari Kesultanan Johor,
Kepulauan Riau-Lingga, dan Pahang, Sultan Mahmud Muzhafar Syah merasa berhak
untuk menarik Johor dan Terengganu ke dalam wilayah kekuasaannya karena sultan
merasa sebagai pewaris tahta yang sah atas Kesutanan Johor, Kepulauan
Riau-Lingga, dan Pahang. Tindakan ini membuat Pemerintah Hindia Belanda melalui
Residen Kepulauan Riau menegur dengan sangat keras pada Sultan Mahmud Muzhafar
Syah. Belanda menganggap bahwa tindakan Sultan Mahmud Muzhafar Syah bisa memicu
konflik dengan Inggris sebagaimana telah diatur dalam Traktat London 1824.
Akhirnya Gubernur Jenderal Hindia Belanda menulis surat secara resmi kepada
Sultan Mahmud Muzhafar Syah tertanggal 7 April 1854 agar menghentikan kunjungannya
ke Singapura dan negeri-negeri tetangganya di Semenanjung Melayu dan meminta
supaya segera kembali ke Lingga. Teguran keras dari Pemerintah Hindia Belanda
ini tidak membuat Sultan Mahmud Muzhafar Syah menghentikan kunjungannya ke
Singapura. Pada 30 Agustus 1857 Sultan Mahmud Muzhafar Syah berangkat ke
Singapura dengan tidak meminta izin dari Gubernur Jenderal de Graaf dan tidak
mengindahkan larangan dari Residen Kepulauan Riau. Atas ketidakpatuhan ini,
maka berdasarkan Manifest Atas Nama Raja! Gubernur Jenderal Hindia Belanda
yang dikeluarkan di Buitenzorg (sekarang Bogor) tertanggal 23 September 1857,
maka Sultan Mahmud Muzhafar Syah dengan ini dinyatakan telah gugur pinjamannya
terhadap Kerajaan Lingga, Kepulauan Riau, dan rantau jajahan taklukannya. Dengan
kata lain, mulai 23 September 1857, Sultan Mahmud Muzhafar Syah dimakzulkan
oleh Pemerintah Hindia Belanda. Sebagai pengganti Sultan Mahmud Muzhafar Syah,
diangkatlah Tengku Sulaiman yang bergelar Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah serta
mengangkat Raja Abdullah Haji sebagai Yang Dipertuan Muda di Kepulauan Riau
dengan gelar Sultan Alaudinsyah (Netscher, E., 2002:497-510).
Pemakzulan Sultan Mahmud Muzhafar Syah ternyata berimbas panjang.
Beberapa kalangan yang tidak setuju dengan pemakzulan tersebut melancarkan
protes, bahkan perlawanan. Salah satunya adalah perlawanan yang meletus di
Reteh (kemudian dikenal sebagai Perang Reteh) di bawah pimpinan Panglima Sulung
(Hikmat Ishak, 2001:40-41).

Panglima Sulung
Pasca pemerintahan Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah, Kesultanan Kepulauan
Riau-Lingga diperintah oleh Abdul Rahman II Muadzam Syah (18851911). Ketika beliau
memerintah, pada 1894 terdapat semacam perkumpulan para cendekiawan yang
disebut Rusydiah Klub dengan dua sarana penunjang: Percetakan Mathba`at al
Kepulauan Riauwiyah, serta sebuah perpustakaan Kutub
Kanah Marhum Ahmadi (Hikmat Ishak, 2001:41). Pada masa pemerintahan Sultan Abdul
Rahman II Muadzam Syah ini pula, pusat Kesultanan Kepulauan Riau-Lingga secara
resmi dipindahkan dari Lingga ke Penyengat pada 1900. Sebagaimana sultan
sebelumnya, sultan terakhir Kesultanan Kepulauan Riau-Lingga ini memang
dikenal karena ketidakpatuhannya pada Pemerintah Hindia Belanda. Salah satu
sikap ketidakpatuhannya pada Pemerintah Hindia Belanda ditunjukkan dengan
pengibaran bendera Kesultanan Kepulauan Riau-Lingga di Istana Abdul Rahman II
Muadzam Syah di Pulau Penyengat, bukannya pengibaran bendera Belanda
sebagaimana yang telah dilakukan setiap tahun. Peristiwa ini mendapat
peringatan keras dari Residen Kepulauan Riau yang berada di Tanjungpinang.
Peristiwa yang terjadi pada 1906 ini dikenal dengan Peristiwa Bendera 1906
(Hikmat Ishak, 2001:42 dan 56).
Akhir dari Kesultanan
Kepulauan Riau-Lingga terjadi pada 1911. Saat itu Residen Kepulauan Riau, G.P.
de Bruin Kops, membacakan surat pemberhentian Sultan Abdul Rahman II Muadzam
Syah dan Tengku Besar atau Tengku Umar di Gedung Rusydiah Klub dengan alasan
sultan dan para petingi Kesultanan Kepulauan Riau-Lingga menyingkir ke Johor
dan Singapura, di mana kedua wilayah tersebut menurut Traktat London merupakan
wilayah kekuasaan Inggris (Hikmat Ishak, 2001:56). Sehingga Belanda
menyimpulkan bahwa Kesultanan Kepulauan Riau-Lingga tidak tunduk lagi kepada
kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda. Menurut buku Cogan: Regalia Kerajaan
Johor-Kepulauan Riau-Lingga-dan Pahang (2006), sebelum terjadi
eksodus besar-besaran ke Singapura dan Semenanjung Malaka, Pemerintah Hindia
Belanda pada 3 Februari 1911 telah mendaratkan kapal di perairan Pulau
Penyengat beserta puluhan sekoci dan marsose. Kekuatan tempur ini didatangkan
karena sebelumnya pada 1910, Sultan Abdul Rahman II Muadzam Syah menolak untuk
menandatangani kontrak politik baru dengan dengan Pemerintah Hindia Belanda.
Ketegangan politik memaksa Pemerintah Hindia Belanda mendatangkan kekuatan
bersenjata ke Pulau Penyengat dan memaksakan penandatanganan kontak politik
baru. Kepanikan yang terjadi di Pulau Penyengat menyebabkan keluarga Kesultanan
Kepulauan Riau-Lingga dan sebagian besar penduduknya melarikan diri (eksodus)
ke wilayah Inggris, yaitu ke Singapura dan daerah Semenanjung Malaka (Aswandi
Syahri & Raja Murad, 2006 :33-34). Akhirnya melalui Staatsblad
No. 19 tahun 1913 secara resmi Pemerintah Hindia Belanda menghapuskan
Kesultanan Kepulauan Riau-Lingga (Aswandi Syahri & Raja Murad,
2006 :33). Mulai tahun itu pula berakhirlah sudah kelangsungan
hidup Kesultanan Kepulauan Riau-Lingga.
B. SILSILAH
Di bawah ini merupakan
silsilah para sultan yang pernah memerintah di Kesultanan Kepulauan
Riau-Lingga:
- Sultan Abdulrahman Muadzam Syah (18181832)
- Sultan Muhammad Syah (18321841)
- Sultan Mahmud Muzhafar Syah (18431857)
- Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah (18571883) (Netscher, E., 2002:438-510).
- Sultan Abdulrahman II Muadzam Syah (18851911) (http://id.wikipedia.org/).

Silsilah para sultan di Kesultanan Kepulauan Riau-Lingga
C. SISTEM PEMERINTAHAN
Ada dua kepala pemerintahan di Kesultanan Kepulauan
Riau-Lingga. Pertama adalah sultan (secara de jure) yang berkedudukan di
Daik (Lingga) kemudian pindah ke Pulau Penyengat (Hikmat Ishak, 2001:39 dan
41). Kedua adalah Yang Dipertuan Muda di Kepulauan Riau yang berkedudukan di
Pulau Penyengat (Hikmat Ishak, 2001:53). Yang Dipertuan Muda di Kepulauan Riau
merupakan kedudukan yang menjadi hak turun-temurun bagi bangsawan Bugis di
Kesultanan Kepulauan Riau-Lingga (Netscher, E., 2002:497-498). Yang Dipertuan
Muda di Kepulauan Riau mempunyai hak prerogratif (de facto) dan tidak
jarang mampu memainkan peran sultan. Kedudukan Yang Dipertuan Muda di Kepulauan
Riau berada di bawah kedudukan seorang sultan (Netscher, E., 2002:483). Akan
tetapi pada prakteknya fungsi Yang Dipertuan Muda di Kepulauan Riau ini mampu
menggantikan posisi sultan. Sebut saja Yang Dipertuan Muda di Kepulauan Riau
Raja Jaafar yang menjadi pemangku jabatan sultan ketika Kesultanan Kepulauan
Riau-Lingga diperintah oleh Sultan Abdulrahman Muadzam Syah. Sepakterjang Yang
Dipertuan Muda Raja Jaafar justru terlihat lebih dominan daripada Sultan
Abdulrahman Muadzam Syah sendiri. Yang Dipertuan Muda Raja Jaafar merupakan
orang yang menabalkan Sultan Abdulrahman Muadzam Syah (Aswandi Syahri &
Raja Murad, 2006:13). Beliau juga menjadi pihak yang paling keras berusaha
untuk mendapatkan regalia (lambang kebesaran) (Netscher, E., 2002:457). Beliau
juga menjadi orang yang memainkan peran penting dalam berbagai perjanjian
dengan Inggris maupun Belanda (Netscher, E., 2002:488).
Sedangkan untuk kedudukan seorang sultan, secara
umum, sejak sultan pertama sampai dengan sultan terakhir yang memerintah
Kesultanan Kepulauan Riau-Lingga, sistem pemerintahan di Kesultanan Kepulauan
Riau-Lingga sepenuhnya berada di bawah pengaruh Pemerintah Hindia Belanda.
Sultan memang menjadi orang yang mempunyai kedudukan paling tinggi di
Kesultanan Kepulauan Riau-Lingga, tetapi masih berada di bawah kontrol langsung
seorang residen yang ditempatkan di Tanjungpinang. Segala urusan yang berkenaan
langsung dengan kesultanan, harus sepengetahuan residen sebagai kepanjangan
tangan dari Pemerintah Hindia Belanda (Netscher, E., 2002:484).
Secara tertulis sistem pemerintahan di Kesultanan
Kepulauan Riau-Lingga dimulai ketika kontrak politik (perjanjian) antara
Kesultanan Kepulauan Riau-Lingga dan Pemerintah Hindia Belanda ditandatangani
pada 29 Oktober 1930. Seperti ditulis dalam buku Belanda di Johor dan Siak
1602-1865 (2002), secara spesifik, rincian dari perjanjian tentang
pengaturan sistem pemerintahan tersebut antara lain: Bahwa Kesultanan Kepulauan
Riau-Lingga hanya merupakan pinjaman dari Pemerintah Hindia Belanda; sultan
diharuskan mengucapkan sumpah setia pada Pemerintah Hindia Belanda; pergantian
sultan maupun Yang Dipertuan Agung Kepulauan Riau harus melalui persetujuan
Pemerintah Hindia Belanda; sultan harus berjanji untuk tidak menjalin kerjasama
dengan bangsa lain tanpa sepengetahuan Pemerintah Hindia Belanda; ditempatkan
seorang residen di Kepulauan Riau (Tanjungpinang); dalam perkara penting yang
menyangkut pengadilan, sultan harus meminta nasehat residen; orang Eropa,
Amerika, rakyat Pemerintah Belanda, dan penduduk Tanjungpinang tidak berada di
bawah hukum sultan, dan Pemerintah Hindia Belanda bebas mengambil kayu di hutan
(Netscher, E., 2002:482-487).
Jika dilihat dari kontrak politik 29 Oktober 1930
tersebut jelas terlihat bahwa Kesultanan Kepulauan Riau-Lingga mutlak berada di
bawah pengaruh Pemerintah Hindia Belanda. Segala keputusan penting harus
sepengetahuan residen yang ditempatkan di Tanjungpinang. Bahkan jika seorang
sultan akan keluar dari wilayah Kesultanan Kepulauan Riau-Lingga, dia harus
meminta izin kepada residen. Keputusan untuk pergi dan tidaknya seorang sultan
berada di tangan seorang residen. Jika hal ini tidak dipatuhi, maka terguran
keras bahkan hukuman dimakzulkan bisa dikenakan pada seorang sultan. Seperti
yang dialami oleh Sultan Mahmud Muzhafar Syah yang dianggap tidak mengindahkan
larangan dari Pemerintah Hindia Belanda agar tidak melakukan kunjungan ke
Singapura (Netscher, E., 2002:497-510).
D. WILAYAH KEKUASAAN
Menurut buku Engku Puteri Raja Hamidah: Pemegang Regalia Kerajaan
Kepulauan Riau (2002) yang berpedoman pada Surat-surat Perjanjian atau
Kontrak Politik sebagaimana tertera dalam himpunan surat-surat perjanjian yang
berjudul Surat-surat Perdjandjian Antara Kesultanan Kepulauan Riau dengan
Pemerintah-pemerintah VOC dan Hindia Belanda 1784-1909 (Arsip Nasional
Republik Indonesia, Djakarta, 1970), wilayah kekuasaan Kesultanan Kepulauan
Riau-Lingga meliputi seluruh Kabupaten Kepulauan Kepulauan Riau sebelum terjadi
pemekaran daerah ditambah dengan beberapa emirat (pemerintahan [negeri, negara]
yang dikepalai oleh seorang emir atau kepala pemerintahan) seperti Mandah yang
terdiri dari Igal, Gaul, Reteh, dan Mandah yang pada mulanya termasuk ke dalam
daerah Inderagiri, tetapi kemudian dibagi lagi menjadi Inderagiri
Hilir (Hasan Junus, 2002:9).
E. KEHIDUPAN SOSIAL-BUDAYA
Wilayah Kesultanan Kepulauan Riau-Lingga merupakan daerah yang potensial
sebagai bandar perdagangan. Minimal ada dua komoditi yang berasal dari
Kesultanan Kepulauan Riau-Lingga, yaitu rempah-rempah (terutama lada) dan
timah. Belanda telah menguasai sektor perdagangan (perekonomian) di Kesultanan
Kepulauan Riau-Lingga, bahkan sebelum Kesultanan Kepulauan Riau-Lingga
dipisahkan dari Kesultanan Johor, Kepulauan Riau-Lingga, dan Pahang sebagai
konsekuensi Traktat London 1824. Belanda sanggup mengikatkan kekuatan yang
sangat kuat di wilayah ini karena kemenangan atas beberapa peperangan yang
dikenal sebagai Perang Kepulauan Riau-Belanda. Salah satu peperangan yang sangat
dikenal adalah perang antara Belanda dan Raja Haji. Perlawanan yang dilakukan
Raja Haji di sekitar perairan Tanjungpinang bahkan berhasil mematahkan kekuatan
Belanda dan menyerang sampai Malaka (Hikmat Ishak, 2001:50-51). Akan tetapi
pada Juni 1784, Raja Haji tewas di Teluk Ketapang dan bergelar Marhum Teluk
Ketapang (Hasan Junus, 2002:179). Pasca kematian Raja Haji, pada November 1784,
Belanda mengikat Kepulauan Riau dengan suatu perjanjian (Hikmat Ishak,
2001:50-51).

Raja Haji Fisabilillah
Perjanjian yang dilakukan Belanda dengan Kepulauan Riau pasca kekalahan
Raja Haji, dirasakan sangat merugikan pihak Kepulauan Riau. Seperti ditulis
dalam buku Warisan Kepulauan Riau: Tanah Melayu Indonesia yang Legendaris
(2001), Belanda memaksakan perjanjian dengan Sultan Mahmud Syah pada 1784.
Perjanjian ini terdiri atas 14 pasal yang secara singkat memberikan batasan
kepada Kepulauan Riau dalam berbagai bidang. Misalnya saja Belanda bebas
mengatur perdagangan di daerah ini dan membuka kantornya di Tanjungpinang. Setiap
kapal asing yang melewati daerah ini harus mendapatkan izin dari Belanda. Hanya
Belanda yang boleh membawa timah dan rempah-rempah (Hikmat Ishak, 2001:51).

Pendaratan pasukan Belanda di Pulau Penyengat pada 1783
Kekuatan Belanda mulai melemah
ketika VOC dinyatakan bangkrut pada 1799. Mulai saat itulah Inggris mengambil
alih peran Belanda di Kepulauan Riau. Kebetulan pula Inggris melakukan cara
moderat dalam memperlakukan Kesultanan Johor, Kepulauan Riau-Lingga, dan Pahang
di Kepulauan Riau. Selain mengusai Malaka pada 1795, Inggris juga mengakui
Kepulauan Riau sebagai kerajaan merdeka (Hikmat Ishak, 2001:39). Inggris juga
membebaskan para pedagang di Kepulauan Riau (terutama pedagang lada) untuk
melakukan perdagangan dengan Inggris tanpa adanya ikatan atau perjanjian yang
merugikan. Awalnya hubungan dagang antara Inggris dan pihak Kesultanan Johor,
Kepulauan Riau-Lingga, dan Pahang di Kepulauan Riau ini berjalan dengan
rahasia. Tetapi lama-kelamaan transaksi ini dilakukan secara terang-terangan.
Dibukanya tambang timah di Pulau Karimun dan
Kundur pada 1801 dan Pulau Singkep secara besar-besaran membuat kehidupan
perekonomian semakin meningkat (Hikmat Ishak, 2001:52-53). Pada saat yang
hampir bersamaan Pulau Penyengat mulai dibuka. Mula-mula Pulau Penyengat
dijadikan kediaman dari Engku Puteri Raja Hamidah, istri ke-empat dari sultan
Mahmud Syah. Pada perkembangannya kemudian, Pulau Penyengat dijadikan tempat
resmi kedudukan Yang Dipertuan Muda Kepulauan Riau Raja Jaafar. Di pulau
inilah pada 1808, Raja Ali Haji
dilahirkan (Hikmat Ishak, 2001:53).

Makan Engku Puteri di Pulau Penyengat
Raja Ali Haji merupakan sastrawan besar di Kesultanan Kepulauan
Riau-Lingga. Beliau dikenal sebagai budayawan paling prolific dengan
karya-karya yang beraliran sastra, sejarah, hukum, dan bahasa (Raja Ali Haji, 2002:i). Berbagai karya tulis telah
dihasilkannya, antara lain: Silsilah Melayu dan Bugis, Tuhfat
Al-Nafis, Bustan Al-Katibin (1845), Kitab
Pengetahuan Bahasa, Tsamarat Al-Muhimma, Sinar Gemala Mestika
Alam, Syair Abdul Muluk, Suluh Pegawai, Siti Shianah Shahib Al Fatut
wal-Amanah, dan Gurindam Dua
Belas (Hasan Junus, 2002:180).
Tuhfat Al-Nafis misalnya merupakan salah satu karya Raja Ali Haji
yang masuk ke dalam genre sastra sekaligus sejarah. Secara garis besar Tuhfat
Al-Nafis berisikan sejarah dan hubungan antara orang Melayu-Bugis dalam
percaturan politik dengan berbagai kekuasaan di kawasan yang kini meliputi
Singapura, Malaysia, sebagian Kalimantan, serta Sumatera. Adapun pusat
penceritaannya adalah kawasan Kesultanan Kepulauan Riau-Lingga (Raja Ali Haji,
2002:vii).
Raja Ali Haji berperan penting bagi pengembangan bahasa Melayu. Masa
hidup beliau (1809-1872) dihabiskan dengan kembali menuliskan dan mengembangkan
bahasa Melayu lewat berbagai sudut panda, sejarah, sastra, budaya, dan hukum.
Kemajuan pengembangan bahasa di masa Raja Ali Haji masih hidup maupun pasca beliau
wafat, salah satunya karena didukung oleh adanya perkumpulan para cendekiawan
yang disebut Rusydiah Klub dengan dua sarana penunjang: Percetakan Mathba`at al
Kepulauan Riauwiyah, serta sebuah perpustakaan Kutub Kanah Marhum Ahmadi
(Hikmat Ishak, 2001:41). Sayangnya kegemilangan dalam hal pengembangan bahasa
di era pemerintahan Sultan Abdul Rahman II Muadzam Syah (18851911) ini mengalami
kemunduran karena pada 1913, Kesultanan Kepulauan Riau-Lingga dihapuskan oleh
Pemerintah Hindia Belanda. Meskipun demikian Pemerintah Hindia Belanda tetap
mempertahankan keberadaaan Rusydiah Klub yang bergerak di ranah kebudayaan
(Hasan Junus, 2002:181).
(Tunggul
Tauladan/Ker/02/08-2009)
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Kesultanan Kepulauan Riau-Lingga merupakan sebuah kesultanan yang kini
terletak di wilayah Provinsi
Kepulauan Kepulauan Riau (Kepri). Sejarah awal Kesultanan Kepulauan
Riau-Lingga ditandai pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Syah yang naik
sebagai sultan di Kesultanan Johor,
Kepulauan Riau-Lingga, dan Pahang
(Kesultanan Johor) pada 1761. Ketika memerintah
beliau memindahkan pusat pemerintahan Kesultanan Melayu Kepulauan Riau dari
Kepulauan Riau Lama (Ulu Kepulauan Riau di Pulau Bintan)
ke Daik di Pulau Lingga pada 1788 (Hikmat Ishak, 2001:52). Di Lingga inilah
Sultan Mahmud Syah membangun istana dan melaksanakan pemerintahan serta
mengatur kembali perdagangan sebagai komoditi, khususnya lada dan timah dengan
Inggris yang dilakukan secara gelap (Hikmat Ishak, 2001:52).
Permasalahan pembagian wilayah Kesultanan Johor bukan menjadi masalah
pertama kali yang tercatat dalam sejarah Kesultanan Kepulauan Riau-Lingga. Sebelum
masalah pembagian wilayah, Kesultanan Kepulauan Riau-Lingga yang saat itu masih
di bawah wilayah kekuasaan Kesultanan Johor, Kepulauan Riau-Lingga, dan Pahang
menghadapi masalah seputar suksesi kepemimpinan (perebutan tahta) di Kesultanan
Kepulauan Riau-Lingga. Suksesi ini perlu dituliskan karena sultan pertama yang
memerintah Kesultanan Kepulauan Riau-Lingga, telah naik tahta sebelum
Kesultanan Kepulauan Riau-Lingga dipisahkan dari wilayah Kesultanan Johor,
Kepulauan Riau-Lingga, dan Pahang.
DAFTAR PUSTAKA
Aswandi Syahri & Raja Murad. 2006. Cogan:
Regalia Kerajaan Johor-Kepulauan Riau-Lingga-dan Pahang. Provinsi Kepulauan Kepulauan Riau: Dinas Pariwisata Seni
dan Budaya Provinsi Kepulauan Kepulauan Riau.
Hasan Junus. 2002. Engku Puteri Raja Hamidah:
Pemegang Regalia Kerajaan Kepulauan Riau. Kepulauan Riau: Unri Press.
Hikmat Ishak. 2001. Warisan Kepulauan Riau: Tanah
Melayu Indonesia yang Legendaris. Pekanbaru: Yayasan Warisan Kepulauan
Riau.
Netscher, E. 1870. De Nederlanders in Djohor en
Siak 1602 tot 1865. Diterjemahkan dari Bahasa Belanda ke Bahasa Indonesia oleh Wan Ghalib dkk. 2002. Belanda
di Johor dan Siak 1602-1865. Pemerintah Daerah Kabupaten Siak dan Yayasan
Arkeologi dan Sejarah Bina Pusaka.
Raja Ali Haji. 2002. Tuhfat Al-Nafis: Sejarah
Kepulauan Riau-Lingga dan Daerah Taklukannya. Kepulauan Riau: Yayasan
Khazanah Melayu.
Artikel di Internet
Kesultanan Kepulauan Riau-Lingga, tersedia di http://id.wikipedia.org/.
Diakses pada 20 Agustus 2009.
Sumber Foto
Aswandi Syahri & Raja Murad. 2006. Cogan:
Regalia Kerajaan Johor-Kepulauan Riau-Lingga-dan Pahang. Provinsi Kepulauan Kepulauan Riau: Dinas
Pariwisata Seni dan Budaya Provinsi Kepulauan Kepulauan Riau.
Hikmat Ishak. 2001. Warisan Kepulauan Riau: Tanah
Melayu Indonesia yang Legendaris. Pekanbaru: Yayasan Warisan Kepulauan
Riau.
Rida K. Liamsi. Engku Puteri Perempuan yang Melawan
dengan Seribu Kata tersedia di http://www.rajaalihaji.com/=.
Diakses pada 29 Agustus 2009.
Virginia Matheson (2). Mahmud, Sultan of Kepulauan
Riau and Lingga (1823-1864) tersedia di http://rajaalihaji.com/=.
Diakses pada 29 Agustus 2009.
No comments:
Post a Comment