KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan
kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat-Nya yang dilimpahkan kepada
penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Pemisahan
Kekuasaan Negara” yang merupakan salah satu tugas Pengantar Ilmu Pemerintahan.
Dalam makalah ini membahas tentang perubahan sosial yang berhubungan dengan
dinamika pemerintahan dan dinamika pemerinyahan Indonesia.
Penulis mengharapkan makalah ini
dapat menjadi manfaat dan dapat menambah ilmu pengetahuan para pembaca dan
penulis sendiri. Penulis menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan, karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari para
pembaca yang bersifat membangun sehingga penulis sehingga penulis demi
kesempurnaan makalah ini.
Jatinangor,
juni 2014
Penulis
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pemisahan
kekuasaan dalam arti material adalah pemisahan kekuasaan yang dipertahankan
dengan jelas dalam tugas-tugas kenegaraan di bidang legislatif, eksekutif dan
yudikatif. Sedangkan pemisahan dalam arti formal adalah pembagian kekuasaan
yang tidak dipertahankan secara tegas. Pembagian kekuasaan terdiri dari dua
kata, yaitu “pembagian” dan “kekuasaan”. Menurut kamus besar bahasa Indonesia
(KBBI) pembagian memiliki pengertian proses menceraikan menjadi beberapa bagian
atau memecahkan (sesuatu) lalu memberikannya kepada pihak lain. Sedangkan
kekuasaan adalah wewenang atas sesuatu atau untuk menentukan (memerintah,
mewakili, mengurus, dsb) sesuatu.
Sehingga
secara harfiah pemisahan kekuasaan adalah proses menceraikan wewenang yang
dimiliki oleh Negara untuk (memerintah, mewakili, mengurus, dsb) menjadi
beberapa bagian (legislatif, eksekutif, dan yudikatif) untuk diberikan kepada
beberapa lembaga Negara untuk menghindari pemusatan kekuasaan (wewenang) pada
satu pihak/ lembaga.
Sistem pemisahan kekuasaan di negara Republik
Indonesia jelas dipengaruhi oleh ajaran Trias Politica yang bertujuan untuk
memberantas tindakan sewenang-wenang penguasa dan untuk menjamin kebebasan
rakyat. Sistem pemisahan kekuasaan di negara Republik Indonesia jelas
dipengaruhi oleh ajaran Trias Politica yang bertujuan untuk memberantas
tindakan sewenang-wenang penguasa dan untuk menjamin kebebasan rakyat.
Undang-undang Dasar 1945 menganut ajaran Trias
Politica karena memang dalam UUD 1945 kekuasaan negara dipisah-pisahkan, dan
masing-masing kekuasaan negara terdiri dari Badan legislatif, yaitu badan yang
bertugas membentuk Undang-undang, Badan eksekutif yaitu badan yang bertugas
melaksanakan undang-undang, Badan judikatif, yaitu badan yang bertugas
mengawasi pelaksanaan Undang-undang, memeriksa dan megadilinya.
1.2 Rumusan
Masalah
Masalah yang di bahas dalam makalah
ini adalah
1.
Apa pengertian dari pemisahan kekuasaan
negara ?
2.
Apa saja teori pemisahan kekuasaan
menurut John Locke ?
3.
Apa konsep Trias Politica
Montesquieu ?
4.
Apa konsep pemisahan kekuasaan dan
pembagian kekuasaan ?
5.
Bagaimana pembagian kekuasaan di
Indonesia ?
6.
Bagaimana sistem pemisahan kekuasaan
Negara Republik Indonesia menurut UUD 1945 ?
1.3 Tujuan
Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini
adalah untuk :
1.
Memahami pengertian pemisahan kekuasaan
negara
2.
Mengetahui dan memahami teori kekuasaan
menurut John Locke
3.
Mengetahui dan memahami konsep Trias
Politica Montesquieu
4.
Mengetahui dan memahami konsep pemisahan
kekuasaan dan pembagian kekuasaan
5.
Memahami pembagian kekuasaan di
Indonesia
6.
Memahami sistem pemisahan kekuasaan
Negara Republik Indonesia menurut UUD 1945
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Pemisahan Kekuasaan Negara
Dalam sebuah praktek ketatanegaraan
tidak jarang terjadi pemusatan kekuasaan pada satu tangan, sehingga terjadi
pengelolaan sistem pemerintahan yang dilakukan secara absolut atau otoriter,
sebut saja misalnya seperti dalam bentuk monarki dimana kekuasaan berada
ditangan seorang raja. Maka untuk menghindari hal tersebut perlu adanya
pembagian/pemisahan kekuasaan, sehingga terjadi kontrol dan keseimbangan
diantara lembaga pemegang kekuasaan.
Pemisahan
kekuasaan dalam arti material adalah pemisahan kekuasaan yang dipertahankan
dengan jelas dalam tugas-tugas kenegaraan di bidang legislatif, eksekutif dan
yudikatif. Sedangkan pemisahan dalam arti formal adalah pembagian kekuasaan
yang tidak dipertahankan secara tegas. Prof.Dr. Ismail Suny, SH, MCL dalam
bukunya “Pergeseran Kekuasaan Eksekutif” berkesimpulan bahwa pemisahan
kekuasaan dalam arti material sepantasnya disebut separation of powers
(pemisahan kekuasaan), sedangkan pemisahan kekuasaan dalam arti formal
sebaiknya disebut division of powers (pembagian kekuasaan).
Suny
juga berpendapat bahwa pemisahan kekuasaan dalam arti material hanya terdapat
di Amerika Serikat, sedangkan di Inggris dan negara-negara Eropa Barat umumnya
berlaku pemisahan kekuasaan dalam arti formal. Meskipun demikian, alat-alat
perlengkapan negara tetap dapat dibedakan. Apabila dalam sistem Republik rakyat
di negara-negara Eropa Timur dan Tengah sama sekali menolak prinsip pemisahan
kekuasaan, maka UUD 1945 membagi perihal kekuasaan negara itu dalam alat-alat
perlengkapan negara yang memegang ketiga kekuasaan itu tanpa menekankan
pemisahannya.
Pemisahan kekuasaan negara Indonesia
bertujuan untuk mempermudah dalam pengaturan negara, setiap pejabat pemerintah
mempunyai tugas yang sudah ditentukan dan disepakati oleh negara. Pemisahan
kekuasaan ini diatur dari yang paling bawah hingga yang paling atas dalam suatu
negara.
Prof. Jennings membedakan antara
pemisahan kekuasaan
dalam arti materiil dan pemisahan kekuasaan dalam arti formal. Adapun yang
dimaksudkannya dengan pemisahan kekuasaan dalam arti materiil ialah pemisahan
kekuasaan dalam arti pembagian kekuasaan itu dipertahankan dengan tegas dalam
tugas-tugas kenegaraan yang dengan jelas memperlihatkan adanya pemisahan
kekuasaan itu kepada tiga bagian: legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
Sedangkan yang dimaksudkannya dengan pemisahan kekuasaan dalam arti formal
ialah jika pembagian kekuasaan itu tidak dipertahankan dengan tegas.
Prof. Dr. Ismail Suny S.H., M.C.L.
dalam bukunya yang berjudul Pergeseran kekuasaan Eksekutif mengambil
kesimpulan, bahwa pemisahan kekuasaan dalam arti materiil sepantasnya disebut
separation of powers (pemisahan kekuasaan), sedangkan dalam arti formal
sebaiknya disebut division of power (pembagian kekuasaan). Ismail Suny juga
berpendapat bahwa pemisahan kekuasan dalam arti materiil paling banyak hanya
terdapat di Amerika Serikat, sedangkan di Inggris dan Uni Soviet terdapat
pemisahan kekuasaan dalam arti formal. Dengan kata lain, di Amerika Serikat
terdapat separation of power, sedangkan di Inggris dan Uni Soviet terdapat
division of power.
Pembagian kekuasaan terdiri dari dua
kata, yaitu “pembagian” dan “kekuasaan”. Menurut kamus besar bahasa Indonesia
(KBBI) pembagian memiliki pengertian proses menceraikan menjadi beberapa bagian
atau memecahkan (sesuatu) lalu memberikannya kepada pihak lain. Sedangkan
kekuasaan adalah wewenang atas sesuatu atau untuk menentukan (memerintah,
mewakili, mengurus, dsb) sesuatu. Sehingga secara harfiah pembagian kekuasaan
adalah proses menceraikan wewenang yang dimiliki oleh Negara untuk (memerintah,
mewakili, mengurus, dsb) menjadi beberapa bagian (legislatif, eksekutif, dan
yudikatif) untuk diberikan kepada beberapa lembaga Negara untuk menghindari
pemusatan kekuasaan (wewenang) pada satu pihak/ lembaga.
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim memaknai
pembagian kekuasaan berarti bahwa kekuasaan itu memang dibagi-bagi dalam
beberapa bagian (legislatif, eksekutif dan yudikatif), tetapi tidak dipisahkan.
Hal ini membawa konsekuensi bahwa diantara bagian-bagian itu dimungkinkan ada
koordinasi atau kerjasama. Berbeda dengan pendapat dari Jimly Asshiddiqie yang
mengatakan kekuasaan selalu harus dibatasi dengan cara memisah-misahkan
kekuasaan ke dalam cabang-cabang yang bersifat checks dan balances dalam
kedudukan yang sederajat dan saling mengimbangi serta mengendalikan satu sama
lain, namun keduanya ada kesamaan, yaitu memungkinkan adanya koordinasi atau
kerjasama.
Selain itu pembagian kekuasaan baik
dalam arti pembagian atau pemisahan yang diungkapkan dari keduanya juga mempunyai
tujuan yang sama yaitu untuk membatasi kekuasaan sehingga tidak terjadi
pemusatan kekuasaan pada satu tangan yang memungkinkan terjadinya
kesewanang-wenangan.
Pada
hakekatnya pembagian kekuasaan dapat dibagi ke dalam dua cara, yaitu :
§ Secara
vertikal, yaitu pembagian kekuasaan menurut tingkatnya. Maksudnya pembagian
kekuasaan antara beberapa tingkat pemerintahan, misalnya antara pemerintah
pusat dengan dan pemerintah daerah dalam negara kesatuan, atau antara
pemerintah federal dan pemerintah negara bagian dalam suatu suatu negara
federal.
§ Secara
horizontal, yaitu pembagian kekuasaan menurut fungsinya. Dalam pembagian ini
lebih menitikberatkan pada pembedaan antara fungsi pemerintahan yang bersifat
legislatif, eksekutif dan yudikatif.
2.2 Pemisahan
Kekuasaan Menurut John Locke
Teori Pemisahan Kekuasaan adalah
menjadi kebiasaan di Eropa Barat untuk membagi tugas pemerintahan ke dalam Tiga
Bidang Kekuasaan, diantaranya sebagai berikut:
1.
Kekuasaan Legislatif, kekuasaan untuk
membuat undang-undang.
2.
kekuasaan Eksekutif, kekuasaan untuk
menjalankan undang-undang.
3.
Kekuasaan Yudikatif, kekuasaan untuk
mempertahankan undang-undang (kekuasaan untuk mengadili).
Pemisahan ketiga kekuasaan ini
sering kita temui dalam sistem ketatanegaraan di berbagai negara, walaupun
batas pembagian itu tidak selalu sempurna, karena kadang-kadang satu sama
lainnya tidak benar-benar terpisah, bahkan saling mempengaruhi. Orang yang
mengemukakan teori pemisahan kekuasaan negara adalah John Locke dan
Montesquieu. John Locke seorang ahli ketatanegaraan Inggris, ia adalah orang
pertama yang dianggap membicarakan teori ini.
John Locke, dalam bukunya yang
berjudul “Two Treaties of Goverment” mengusulkan agar kekuasaan di dalam negara
itu dibagi dalam organ-organ negara yang mempunyai fungsi yang berbeda-beda.
Menurut beliau agar pemerintah tidak sewenang-wenang. Pendapat John Locke
inilah yang mendasari muncul teori pembagian kekuasaan sebagai gagasan awal
untuk menghindari adanya pemusatan kekuasaan (absolut) dalam suatu negara.
Dalam bukunya yang berjudul Two
Treatises on Civil Government (1690), John Locke memisahkan kekuasaan dari
tiap-tiap negara dalam:
1.
Kekuasaan Legislatif, kekuasaan untuk
membuat undang-undang.
2.
Kekuasaan Eksekutif, kekuasaan untuk
melaksanakan undang-undang.
3.
Kekuasaan Federatif, kekuasaan
mengadakan perserikatan dan aliansi serta segala tindakan dengan semua orang
dan badan-badan di luar negeri.
Menurut John Locke, ketiga kekuasaan
ini harus dipisahkan satu dari yang lainnya. Setengah abad kemudian dengan diilhami
oleh pembagian kekuasaan dari John Locke, Montesquieu (1689-1755) seorang
pengarang, ahli politik dan filsafat Prancis menulis sebuah buku yang berjudul
L’Esprit des lois (Jiwa Undang-undang) yang diterbitkan di Jenewa pada tahun
1748 (2 jilid).
Dalam hasil karya ini Montesquieu
menulis tentang Konstitusi Inggris, yang antara lain mengatakan, bahwa dalam
setiap pemerintahan terdapat 3 jenis kekuasaan yang diperincinya dalam:
kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan Yudikatif. Ketiga
kekuasaan ini melaksanakan semata-mata dan selengkap-lengkapnya kekuasaan yang
ditentukan padanya masing-masing.
Menurut Montesquieu dalam suatu sistem pemerintahan
negara, ketiga jenis kekuasaan itu harus terpisah, baik mengenai fungsi (tugas)
maupun mengenai alat kelengkapan (organ) yang melaksanakan:
1.
Kekuasaan Legislatif, dilaksanakan oleh
suatu badan perwakilan rakyat (parlemen).
2.
Kekuasaan Eksekutif, dilaksanakan oleh
pemerintah (presiden atau raja dengan bantuan menteri-menteri atau kabinet).
3.
Kekuasaan Yudikatif, dilaksanakan oleh
badan peradilan (Mahkamah Agung dan pengadilan bawahannya).
2.3 Konsep Trias
Politica Montesquieu
Menurut Montesquieu seorang pemikir
berkebangsaan Perancis mengemukakan teorinya yang disebut trias politica. Dalam
bukunya yang berjudul “L’esprit des Lois” pada tahun 1748 menawarkan alternatif
yang agak berbeda dari pendapat John Locke.
Menurut Montesquieu untuk tegaknya
negara demokrasi perlu diadakan pemisahan kekuasaan negara ke dalam 3 organ,
yaitu:
1.
Kekuasaan Legislatif (membuat
undang-undang).
2.
Kekuasaan Eksekutif (melaksanakan
undang-undang).
3.
Kekuasaaan yudikatif (mengadili bila
terjadi pelanggaran atas undang-undang).
Konsep yang dikemukakan oleh John
Locke dengan konsep yang dikemukakan oleh Montesquieu pada dasarnya memiliki
perbedaan, yaitu:
·
Menurut John Locke kekuasaan eksekutif
merupakan kekuasaan yang mencakup kekuasaan yuikatif
karena mengadili itu berarti melaksanakan undang-undang, sedangkan kekuasaan federatif
(hubungan luar negeri) merupakan kekuasaan yang berdiri sendiri.
·
Menurut Montesquieu kekuasaan eksekutif
mencakup kekuasaan ferderatif karena melakukan hubungan luar negeri itu
termasuk kekuasaan eksekutif, sedangkan kekuasaan yudikatif harus merupakan
kekuasaan yang berdiri sendiri dan terpisah dari eksekutif.
·
Pada kenyataannya ternyata, sejarah
menunjukkan bahwa cara pembagian kekuasaan yang dikemukakan Montesquieu yang lebih diterima. Kekuasaan
ferderatif diberbagai negara sekarang ini dilakukan oleh eksekutif melalui
Departemen Luar Negerinya masing-masing.
Seperti
halnya dalam praktek ketatanegaraan Indonesia selama ini. Mengenai pembagian
kekuasaan seperti yang dikemukakan Montesquieu, yang membagi kekuasaan itu
menjadi tiga kekuasaan, yaitu: legislatif, eksekutif, dan yudikatif, Jimly
Asshiddiqie menjelaskan lagi mengenai cabang-cabang dari kekuasaan-kekuasaan
itu.
Cabang kekuasaan legislatif terdiri dari:
·
Fungsi Pengaturan (Legislasi).
·
Fungsi Pengawasan (Control).
·
Fungsi Perwakilan (Representasi).Fungsi
Pengaturan (Legislasi).
Kekuasaan
Eksekutif juga mempunyai cabang kekuasaan yang meliputi :
·
Sistem Pemerintahan.
·
Kementerian Negara.
Begitu
juga dengan kekuasaan Yudikatif mempunyai cabang kekuasaan sebagai berikut:
·
Kedudukan Kekuasaan Kehakiman.
·
Prinsip Pokok Kehakiman.
·
Struktur Organisasi Kehakiman
Jadi menurut Jimly Asshiddiqie
kekuasaan itu masing-masing mempunyai cabang kekuasaan sebagai bagian dari
kekuasaan yang dipegang oleh lembaga negara dalam penyelenggaraan negara. Isi
ajaran Montesquieu ini adalah mengenai pemisahan kekuasaan negara (the
separation of power) yang lebih terkenal dengan istilah Trias Politica istilah
yang diberikan oleh immanuel Kant.
Keharusan pemisahan kekuasaan negara menjadi tiga
jenis itu adalah agar tindakan sewenang-wenang oleh raja
dapat dihindarkan. Isi ajaran Montesquieu berpangkal pada pemisahan
kekuasaan negara (separation of powers) yang terkenal dengan istilah “Trias
Politica”. Keharusan pemisahan kekuasaan negara menjadi tiga jenis itu
adalah untuk membendung kesewenang-wenangan raja.
Kekuasaan membuat undang-undang
(legislatif) harus dipegang oleh badan yang berhak khusus untuk itu. Dalam
negara demokratis, kekuasaan tertinggi untuk menyusun undang-undang itu
sepantasnya dipegang oleh badan perwakilan rakyat. Sedangkan kekuasaan
melaksanakan undang-undang harus dipegang oleh badan lain, yaitu badan
eksekutif. Dan kekuasaan yudikatif (kekuasaan yustisi, kehakiman) adalah
kekuasaan yang berkewajiban memertahankan undang-undang dan berhak memberikan
peradilan kepada rakyat.
Badan yudikatiflah yang berkuasa
memutuskan perkara, menjatuhkan hukuman terhadap setiap pelanggaran
undang-undang yang telah diadakan oleh badan legislatif dan dilaksanakan oleh
badan eksekutif. Walaupun para hakim pada umumnya diangkat oleh kepala negara
(eksekutif), mereka berkedudukan istimewa, tidak diperintah oleh kepala negara
yang mengangkatnya dan bahkan berhak menghukum kepala negara jika melakukan
pelanggaran hukum.
Inilah perbedaan mendasar pandangan
Montesquieu dan John Locke yang memasukkan kekuasaan yudikatif ke dalam
kekuasasan eksekutif. Montesquieu memandang badan peradilan sebagai kekuasaan
independen. Kekuasaan federatif menurut pembagian John Locke justru dimasukkan Montesquieu
sebagai bagian dari kekuasaan eksekutif.
Istilah Trias Politica berasal dari
bahasa Yunani yang artinya “Politik Tiga Serangkai”. Menurut ajaran Trias
Politica dalam tiap pemerintahan negara harus ada tiga jenis kekuasaan yang
tidak dapat dipegang oleh satu tangan saja, melainkan masing-masing kekuasaan
itu harus terpisah.Ajar Trias Politica ini nyata-nyata bertentangan dengan
kekuasaan yang bersimaharajalela pada zaman Feodalisme dalam abad pertengahan.
Pada zaman itu yang memegang ketiga kekuasaan dalam negara ialah seorang raja,
yang membuat sendiri undang-undang, menjalankannya, dan menghukum segala
pelanggaran atas undang-undang yang dibuat dan dijalankan oleh raja tersebut.
Monopoli atas ketiga kekuasaan
tersebut dapat dibuktikan dalam semboyan Raja Louis XIV “L’Etat Cest moi”
(negara adalah saya), kekuasaannya berlangsung hingga permulaan abad XVII.
Setelah pecah Revolusi Prancis pada tahun 1789, barulah paham tentang kekuasaan
yang tertumpuk ditangan raja menjadi lenyap. Ketika itu pula timbul gagasan
baru mengenai pemisahan kekuasaan yang dipelopori oleh Montesquieu.
Pada
intinya, ajaran Trias Politica isinya adalah sebagai berikut:
·
Kekuasaan Legislatif (Legislative
Powers)
Kekuasaan untuk membuat
undang-undang harus terletak dalam suatu badan yang memiliki wewenang khusus
untuk itu. Jika penyusunan undang-undang tidak diletakkan pada suatu badan
tertentu, maka memungkinkan tiap golongan atau tiap orang mengadakan
undang-undang untuk kepentingannya sendiri.
Di dalam negara demokrasi yang
peraturan perundangan harus berdasarkan kedaulatan rakyat, maka badan
perwakilan rakyat harus dianggap sebagai badan yang mempunyai kekuasaan
tertinggi untuk menyusun undang-undang, badan inilah yang disebut legislatif.
Legislatif penting sekali dalam susunan kenegaraan, karena undang-undang ibarat
tiang yang menegakkan hidup perumahan negara dan sebagai alat yang menjadi
pedoman hidup bagi masyarakat dan negara.
Sebagai badan pembentuk
undang-undang, maka legislatif hanya berhak untuk membentuk undang-undang saja,
tidak boleh melaksanakannya. Untuk menjalankan undang-undang itu harus
diserahkan kepada suatu badan lain. Yaitu badan yang memiliki kekuasaan untuk melaksanakan
undang-undang atau “Eksekutif”.
·
Kekuasaan Eksekutif (Executive
Powers)
Kekuasaan menjalankan undang-undang
itu dipegang oleh kepala negara. Kepala negara tentu tidak dapat dengan
sendirinya menjalankan segala undang-undang ini. Oleh karena itu, kekuasaan
kepala negara dilimpahkannya (didelegasikan) kepada pejabat-pejabat
pemerintah/negara yang bersama-sama dalam suatu badan pelaksana undang undang
(badan eksekutif). Badan inilah yang berkewajiban menjalankan kekuasaan
legislatif.
·
Kekuasan Yudikatif atau kekuasaan
kehakiman (Judicative Powers)
Kekuasaan Yudikatif atau kekuasaan
yustisi (kehakiman) ialah kekuasaan yang berkewajiban mempertahankan undang-undang
dan berhak untuk memberikan peradilan kepada rakyat. Badan Yudikatiflah yang
berkuasa memutuskan perkara, menjatuhi hukuman terhadap setiap pelanggaran
undang-undang yang telah diadakan dan dijalankan. Walaupun para hakim biasanya
diangkat oleh kepala negara (Eksekutif) tetapi mereka mempunyai kedudukan yang
istimewa dan mempunyai hak tersendiri, karena ia tidak diperintah oleh kepala
negara yang mengangkatnya, bahkan ia adalah badan yang berhak menghukum kepala
negara, jika melanggar hukum.
·
Kecaman Terhadap Montesquieu
Pendapat Montesquieu bertentangan
dengan kenyataan yang berlaku di Inggris pada masa itu. Pada tahun 1732, ketika
Montesquieu berada di Inggris, dinegara ini terdapat lebih banyak kebebasan
jika dibandingkan dengan banyak negara
lainnya di Eropa. Perlu diketahui, sekitar tahun 1732 itu Montesquieu sedang
mengembara meninggalkan tanah airnya, Prancis, yang sedang menentang despotisme
(pemerintahan yang lalim) dari Raja Louis XIV. Oleh karena itu, jika ia menulis
tentang negara Inggris yang agak berlainan dengan keadaan yang sebenarnya
berlaku di Inggris, maka latar belakangnya ialah bahwa Montesquieu sendiri
ingin menggulingkan kekuasaan absolut yang pada waktu itu berlaku di Prancis.
Seorang ahli konstitusi yang pernah
turut serta dalam pembuatan beberapa konstitusi dari bekas jajahan Inggris di
Asia Tenggara yaitu Sir Ivor Jennings, dalam bukunya yang berjudul The Law and
Constitution, membantah pendapat Montesquieu memang tak pernah berlaku dalam sistem pemerintahan
Inggris yang parlementer. Selain menyangga pendapat Montesquieu mengenai
berlakunya perinsip Trias Politica dalam sistem ketatanegaraan Inggris, Prof.
Jennings juga memberikan lebih lanjut tentang pemisahan kekuasaan (the
separation of powers).
Akan tetapi, walaupun Trias Politica
ini dinegara-negara lainnya tidak dilaksanakan secara konsekuen seperti halnya
di Amerika Serikat, namun alat-alat perlengkapan dari negara-negara yang
melaksanakan tugas-tugas ini dapat dibeda-bedakan. Apabila dalam sistem
republik, rakyat di Eropa Timur dan Tengah menolak sama sekali prinsip
pemisahan kekuasaan, maka UUD 1945 membagi dalam pasal-pasal tersendiri
mengenai tiap-tiap kelengkapan negara yang tiga itu, tetapi dengan tidak
menekankan kepada pemisahannya.
2.4 Konsep
Pemisahan Kekuasaan dan Pembagian Kekuasaan
Seiring dengan perkembangan zaman
dan ilmu pengetahuan kehidupan bernegara mengalami banyak perubahan. Konsep
negara mulai mengalami pergeseran yang pada awalnya negara merupakan negara
yang berdasarkan pada kekuasan beralih pada konsep negara yang mendasarkan atas
hukum (rechtstaat). Para ahli sepakat bahwa salah satu ciri dari sebuah
negara hukum adalah adanya konsep pembatasan kekuasaan. Pembatasan kekuasaan
menjadi syarat mutlak sebuah negara hukum yang demokratis. Adanya pembatasan
kekuasaan sebagai perwujudan prinsip konstitusionalisme yang melindungi hak-hak
rakyat.
Konsep pemisahan kekuasaan lahir
dari keinginan membatasi kekuasaan para raja yang bersifat absolut di Eropa.
Ide mengenai pembatasan kekuasaan ini dihembuskan oleh John Locke dan
Montesquieu. Montesquieu menggambarkan konsep pemisahan kekuasaan (Trias
Politica) yang berlaku di Inggris meliputi kekuasaan Raja (eksekutif), Parlemen
(legislatif), dan Majelis (judikatif).
Montesquieu menilai kekuasaan raja
sangat tumpang tindih dan dapat melakukan kewenangan apapun. Sehingga konsep
pemisahan kekuasaan menurut hematnya harus dilaksanakan secara tegas, kaku, dan
mutlak. Pandangan ini sesungguhnya bukan untuk membatasi kekuasaan secara
mutlak melainkan mencegah adanya kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh salah
satu cabang kekuasaan.
Pemikir Inggris John Locke
mengemukakan konsepnya mengenai pemisahan kekuasaan dalam bukunya Two
Treaties on Civil Government. Menurut Locke kekuasaan negara dibagi menjadi
tiga yakni: kekuasaan legislatif (membuat peraturan undang-undang), kekuasaan
eksekutif (melaksanakan undang-undang yang di dalamnya termasuk kekuasaan
mengadili), dan kekuasaan federatif (kekuasaan yang meliputi segala tindakan
untuk mengamankan negara).
Sedangkan Van Vollenhoven membagi
fungsi kekuasaan negara menjadi empat bagian yang dikenal dengan “catur
praja”, yakni:
1.
Regeling (fungsi legislatif);
2.
Bestuur (fungsi eksekutif);
3.
Rechtspraak (fungsi judikatif); dan
4.
Politie (fungsi keamanan dan ketertiban
negara)
Ketiga kekuasaan tersebut
(eksekutif, judikatif, dan legislatif) secara ideal melakukan sinergi sehingga
akan menciptakan pemerintahan yang demokratis dan equal. Akan kurang
tepat ketika kita memandang konsep trias politika sebagai konsep pemisahan
kekuasaan. Hal ini dapat menimbulkan penafsiran yang berbahaya ketika
masing-masing cabang kekuasan merasa mandiri dan dapat berubah menjadi
superioritas antar lembaga. Pada akhirnya akan menciptakan absolutisme baru di
tiap lembaga.
Istilah yang digunakan dalam bahasa
indonesia sebagai penerjemahan konsep trias politika adalah pemisahan
kekuasaan. Namun jika kita menilik pada pelaksanaan trias politica sebagai yang
dicitakan ideal oleh Montesquieu di Inggris ternyata tiap-tiap kekuasaan tidak
dapat terpisah. Akan lebih tepat jika konsep ini disebut sebagai pembagian
kekuasaan (distribution of power). Sebab tak ada kekuasaan yang berdiri
sendiri. Kekuasaan eksekutif pun memiliki kekuasaan legislatif maupun
judikatif.
Sebagaimana dinyatakan oleh Kelsen
yang hanya melihat pelaksanaan kekuasan dalam pemerintahan hanya ada dua yakni
membentuk undang-undang dan menjalankan undang. Kekuasaan yang ada tidak
dipisahkan melainkan didistribusikan ke tiap-tiap cabang kekuasaan. Setiap
cabang kekuasaan menjalankan tugas dan fungsi masing-masing tanpa harus
menimbulkan absolutisme di tiap cabang. Seperti yang diberlakukan di Amerika, separation
of power antara presiden, supreme court, dan senat.
Pemisahan kekuasaan juga disebut
dengan istilah trias politica
adalah sebuah ide bahwa sebuah pemerintahan
berdaulat harus dipisahkan antara dua atau lebih kesatuan kuat yang bebas,
mencegah satu orang atau kelompok mendapatkan kuasa yang terlalu banyak.
Pemisahan kekuasaan merupakan suatu cara pembagian dalam tubuh pemerintahan
agar tidak ada penyalahgunaan kekuasaan, antara legislatif, eksekutif dan yudikatif.
Pemisahan kekuasaan juga merupakan suatu prinsip normatif bahwa
kekuasaan-kekuasaan itu sebaiknya tidak diserahkan kepada orang yang sama,
untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa. Contoh negara
yang menerapkan pemisahan kekuasaan ini adalah Amerika Serikat.
2.5 Pembagian
Kekuasaan di Indonesia
Dalam ketatanegaraan Indonesia
sendiri, istilah “pemisahan kekuasaan” (separation of power) itu sendiri
cenderung dikonotasikan dengan pendapat Montesquieu secara absolut. Konsep pemisahan
kekuasaan tersebut dibedakan secara diametral dari konsep pembagian kekuasaan
(division of power) yang dikaitkan dengan sistem supremasi MPR yang secara
mutlak menolak ide pemisahan kekuasaan ala trias politica Monstesquieu.
Dalam sidang-sidang BPUPKI 1945,
Soepomo misalnya menegaskan bahwa UUD 1945 tidak menganut doktrin trias
politica dalam arti paham pemisahan kekuasaan, melainkan menganut sistem
pembagian kekuasaan. Di sisi lain Jimly Asshiddiqie, berpendapat bahwa setelah
adanya perubahan UUD 1945 selama empat kali, dapat dikatakan sistem konstitusi
kita telah menganut doktrin pemisahan itu secara nyata.
Beberapa
yang mendukung hal itu antara lain adalah :
·
adanya pergeseran kekuasaan legislatif
dari tangan Presiden ke DPR.
·
diadopsinya sistem pengujian
konstitusional atas undang-undang sebagai produk legislatif oleh Mahkamah
Konstitusi. Dimana sebelumnya undang-undang tidak dapat diganggu gugat, hakim
hanya dapat menerapkan undang-undang dan tidak boleh menilai undang-undang.
·
diakui bahwa lembaga pelaksana
kedaulatan rakyat itu tidak hanya MPR, melainkan semua lembaga negara baik
secara langsung atau tidak langsung merupakan penjelmaan kedaulatan rakyat.
·
MPR tidak lagi berkedudukan sebagai
lembaga tertinggi negara, namun sebagai lembaga negara yang sederajat dengan
lembaga negara lainnya.
·
hubungan-hubungan antar lembaga negara
itu bersifat saling mengendalikan satu sama lain sesuai dengan prinsip checks
and balances.
Jadi berdasarkan kelima alasan
tersebut, maka UUD 1945 tidak lagi dapat dikatakan menganut prinsip pembagian
kekuasaan yang bersifat vertikal maupun menganut ajaran trias politica
Montesquieu yang memisahkan cabang-cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan
yudikatif secara mutlak dan tanpa diiringi oleh hubungan yang saling mengendalikan
satu sama lain. Dengan perkataan lain, sistem baru yang dianut oleh UUD 1945
pasca perubahan keempat adalah sistem pemisahan kekuasaan berdasarkan prinsip
checks and balances, sehingga masih ada koordinasi antar lembaga negara.
·
Latar Belakang Checks and Balances
di Indonesia
Penyelenggaraan kedaulatan rakyat
sebelum perubahan UUD 1945 melalui sistem MPR dengan prinsip terwakili telah
menimbulkan kekuasaan bagi presiden yang demikian besar dalam segala hal
termasuk pembentukan MPR. Periode orde lama (1959-1965), seluruh anggota MPR(S)
dipilih dan diangkat langsung oleh Presiden. Tidak jauh berbeda pula pada masa
orde baru (1966-1998) dari 1000 orang jumlah anggota MPR, 600 orang dipilih dan
ditentukan oleh Presiden. Hal tersebut menunjukan bahwa pada masa-masa itu MPR
seakan-akan hanya menjadi alat untuk mempertahankan penguasa pemerintahan
(presiden), yang mana pada masa itu kewenangan untuk memilih dan mengangkat
Presiden dan/ atau Wakil Presiden berada di tangan MPR.
Padahal MPR itu sendiri dipilih dan
diangkat oleh Presiden sendiri, sehingga siapa yang menguasai suara di MPR maka
akan dapat mempertahankan kekuasaannya. Pengangkatan anggota MPR dari unsur
Utusan Daerah dan unsur Utusan Golongan bagi pembentukan MPR dalam jumlah yang
demikian besar juga dapat dilihat sebagai penyimpangan konstitusional, karena
secara logika dalam hal kenyataan juga terlihat wakil yang diangkat akan patuh
dan loyal kepada pihak yang mengangkatnya, sehingga wakil tersebut tidak lagi
mengemban kepentingan daerah atau golongan yang diwakilinya.
Akibatnya adalah wakil-wakil yang
diangkat itu tidak lagi memiliki hubungan dengan yang diwakilinya. Namun
terkait dengan hal itu, Presiden sendiri merupakan mandataris MPR yang harus
bertanggung jawab kepadanya. Berdasarkan hal tersebut maka hubungan antara MPR
dengan Presiden sangat sulit dilihat sebagai hubungan vertikal atau horizontal,
jika terlepas dari MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara dan Presiden sebagai
Lembaga Negara yang jelas mempunyai hubungan vertikal. Maka idealnya seluruh
anggota MPR itu diplih rakyat melalui Pemilu.
Dan di sisi lain sesuai dengan
ketentuan UUD 1945, keberadaan MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara, dianggap
sebagai pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakayat. Konstruksi ini menunjukkan
bahwa MPR merupakan Majelis yang mewakili kedudukan rakyat sehingga menjadikan
lembaga tersebut sebagai sentral kekuasaan, yang mengatasi cabang-cabang
kekuasaan lainnya. Adanya satu lembaga yang berkedudukan paling tinggi membawa
konsekuensi seluruh kekuasaan lembaga-lembaga penyelenggara negara yang berada
di bawahnya harus bertanggung jawab kepada MPR. Akibatnya konsep keseimbangan
antara elemen-elemen penyelenggara negara atau sering disebut checks and
balances system antar lembaga tinggi negara tidak dapat dijalankan.
Pada sistem MPR tersebut, juga menimbulkan kekuasaan
bagi presiden yang demikian besar dalam pembentukan undang-undang (fungsi
Legislasi) yang seharusnya dipegang DPR. Hal tersebut dapat dilihat dari
rumusan pasal 5 ayat (1) naskah asli UUD 1945 yang berbunyi: “Presiden memegang
kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”.
Berdasarkan rumusan tersebut, dapat dilihat bahwa MPR mendistribusikan
kekuasaan membentuk undang-undang kepada Presiden, atau setidaknya memberikan
kewenangan yang lebih kepada Presiden dalam fungsi legislasi dari pada DPR.
Karena keadaan yang demikian sehingga pengawasan dan keseimbangan antar lembaga
tinggi negara sangat lemah sekali.
Orde reformasi yang dimulai pada bulan Mei 1998,
yang terjadi karena berbagai krisis, baik krisis ekonomi, politik maupun moral.
Gerakan reformasi itu membawa berbagai tuntutan, diantaranya adalah Amandemen
UUD 1945, penghapusan doktrin dwi fungsi ABRI, penegakan hukum, HAM, dan
pemberantasan KKN, serta mewujudkan kehidupan yang demokratis. Tuntutan itu
muncul karena masyarakat menginginkan perubahan dalam sistem dan struktur
ketatanegaraan Indonesia untuk memuwujdkan pemerintahan negara yang demokratis
dengan menjamin hak asasi warga negaranya.
Hasil nyata dari reformasi adalah
dengan adanya perubahan UUD 1945 yang dilatar belakagi dengan adanya beberapa
alasan, yaitu:
·
Kekuasaan tertinggi di tangan MPR.
·
Kekuasaan yang sangat besar pada
Presiden.
·
Pasal-pasal yang sifatnya terlalu
“luwes” sehingga dapat menimbulkan multi tafsir.
·
Kewenangan pada Presiden untuk mengatur
hal-hal penting dengan undang-undang.
·
Rumusan UUD 1945 tentang semangat
penyelenggaraan negara belum cukup didukung ketentuan konstitusi.
Hal-hal tersebut merupakan penyebab mengapa
keseimbangan dan pengawasan terhadap lembaga penyelenggara negara dianggap
sangat kurang (checks and balances system) tidak dapat berjalan sehingga harus
dilakukan Perubahan UUD 1945 untuk mengatasi hal tersebut.
Perubahan UUD 1945 yang terjadi selama empat kali
yang berlangsung secara berturutan pada tahun 1999, 2000, 2001 dan 2002 telah
membawa dampak yang besar terhadap stuktur ketatanegaraan dan sistem
penyelenggaraan negara yang sangat besar dan mendasar.
Perubahan itu diantara adalah menempatkan MPR
sebagai lembaga negara yang mempunyai kedudukan yang sederajat dengan Lembaga
Negara lainnya tidak lagi sebagai Lembaga Tertinggi Negara, pergeseran
kewenangan membentuk undang-undang dari Presiden kepada DPR, pemilihan Presiden
dan Wakil Presiden secara langsung, mempetegas penerapan sistem presidensiil,
pengaturan HAM, munculnya beberapa lembaga baru seperti Mahkamah Konstitusi dan
Komisi Yudisial, dan lain sebagainya.
Terkait dengan perubahan kedudukan MPR setelah
adanya Perubahan UUD 1945 Abdy Yuhana menjelaskan bahwa berdasarkan rumusan
dari ketentuan Pasal 1 Ayat (2) UUD Negara RI Tahun 1945 yang berbunyi
“Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang
Dasar” yang merupakan perubahan terhadap ketentuan Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945
sebelumnya yang berbunyi “Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan
sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”.
Dari hasil perubahan tersebut dapat
dilihat bahwa konsep kedaulatan rakyat dilakukan oleh suatu Lembaga Tertinggi
Negara, yaitu MPR yang dianggap sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia,
sekarang melalui ketentuan tersebut telah dikembalikan kepada kepada rakyat
untuk dilaksanakan sendiri. Konsekuensi dari ketentuan baru itu adalah hilangnya
Lembaga Tertinggi Negara MPR yang selama ini dipandang sebagai pemegang
sepenuhnya kedaulatan rakyat. Hal ini merupakan suatu perubahan yang bersifat
fundamental dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, dengan begitu maka prinsip
supremasi MPR telah berganti dengan prinsip keseimbangan antar lembaga negara
(checks and balances).
Rumusan tersebut juga memang sengaja
dibuat sedemikian rupa untuk membuka kemungkinan diselenggarakannya pemilihan
presiden secara langsung, agar sesuai dengan kehendak untuk menerapkan sistem
pemerintahan presidensial. Ni’matul Huda juga berpendapat bahwa dengan adanya
pergeseran kewenangan membentuk undang-undang itu, maka sesungguhnya
ditinggalkan pula teori “pembagian kekuasaan” (distribution of power) dengan
prinsip supremasi MPR menjadi “pemisahan kekuasaan” (seperation of power)
dengan prinsip checks and balances sebagai ciri melekatnya.
Hal ini juga merupakan penjabaran
lebih jauh dari kesepakatan untuk memperkuat sistem presidensial. Dari dua
pendapat tersebut maka dapat simpulkan bahwa Negara Indonesia berdasarkan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 hasil perubahan telah
menganut teori “pemisahan kekuasaan” (seperation of power) untuk menjamin
prinsip checks and balances demi tercapainya pemerintahan yang demokratis yang
merupakan tuntutan dan cita-cita reformasi.
2.6 Sistim PemIsahan
Kekuasaan Negara Republik Indonesia Menurut UUD 1945
Pembagian kekuasaan pemerintahan seperti didapat
garis-garis besarnya dalam susunan ketatanegaraan menurut Undang-Undang Dasar
1945 adalah bersumber kepada susunan ketatanegaraan Indonesia asli, yang
dipengaruhi besar oleh pikiran-pikiran falsafah negara Inggris, Perancis, Arab,
Amerika Serikat dan Soviet Rusia. Aliran pikiran itu oleh Indonesia dan yang
datang dari luar, diperhatikan sungguh-sungguh dalam pengupasan ketatanegaraan
ini, semata-mata untuk menjelaskan pembagian kekuasaan pemerintahan menurut
konstitusi proklamasi.
Pembagian kekuasaan pemerintah Republik Indonesia
1945 berdasarkan ajaran pembagian kekuasaan yang dikenal garis-garis besarnya
dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia; tetapi pengaruh dari luar; diambil
tindakan atas tiga kekuasaan, yang dinamai Trias Politica, seperti dikenal
dalam sejarah kontitusi di Eropa Barat dan amerika Serikat.
Sistem ketatanegaraan Republik
Indonesia menurut UUD 1945, tidak menganut suatu sistem negara manapun, tetapi
adalah suatu sistem khas menurut kepribadian bangsa indonesia, namun sistem
ketatanegaraan Republik indonesia tidak terlepas dari ajaran Trias Politica Montesquieu.
Ajaran trias politica tersebut adalah ajaran tentang pemisahan kekuasaan negara
menjadi tiga yaitu Legislatif, Eksekutif, dan Judikatif yang kemudian
masing-masing kekuasaan tersebut dalam pelaksanaannya diserahkan kepada satu
badan mandiri, artinya masing-masing badan itu satu sama lain tidak dapat
saling mempengaruhi dan tidak dapat saling meminta pertanggung jawaban.
Apabila ajaran trias politika diartikan suatu ajaran
pemisahan kekuasaan maka jelas Undang-undang Dasar 1945 menganut ajaran tersbut,
oleh karena memang dalam UUD 1945 kekuasaan negara dipisah-pisahkan, dan
masing-masing kekuasaan negara tersebut pelaksanaannya diserahkan kepada suatu
alat perlengkapan negara. Susunan organisasi negara adalah alat-alat
perlengkapan negara atau lembaga-lembaga negara yang diatur dalam UUD 1945 baik
baik sebelum maupun sesudah perubahan.
Susunan organisasi negara yang diatur dalam UUD 1945
sebelum perubahan yaitu :
·
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
·
Presiden
·
Dewan Pertimbagan Agung (DPA)
·
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
·
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
·
Mahkmah Agung (MA
Badan-badan kenegaraan itu disebut lembaga-lembaga
Negara. Sebelum perubahan UUD 1945 lembaga-lembaga Negara tersebut
diklasifikasikan, yaitu MPR adalah lembaga tertinggi Negara, sedangkan
lembaga-lembaga kenegaraan lainnya seperti presiden, DPR, BPK, DPA dan MA
disebut sebagai lembaga tinggi Negara.
Sementara itu menurut hasil perubahan
lembaga-lembaga negara yang terdapat dalam UUD 1945 adalah sebagai berikut:
·
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
·
Presiden
·
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
·
Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
·
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
·
Mahkmah Agung (MA)
·
Mahkamah Konstitusi (MK)
Secara institusional, lembaga-lembaga negara
merupakan lembaga kenegaraan yang berdiri sendiri yang satu tidak merupakan
bagian dari yang lain. Akan tetapi, dalam menjalankan kekuasaan atau
wewenangnya, lembaga Negara tidak terlepas atau terpisah secara mutlak dengan
lembaga negara lain, hal itu menunjukan bahwa UUD 1945 tidak menganut doktrin
pemisahan kekuasaan.
Dengan perkataan lain, UUD 1945
menganut asas pembagian kekuasaan dengan menunjuk pada jumlah badan-badan
kenegaraan yang diatur didalamnya serta hubungan kekuasaan diantara badan-badan
kenegaraan yang ada, yaitu;
A.
Sebelum Perubahan
·
MPR, sebagai pelaksana kedaulatan
rakyat, mempunyai kekuasaan untuk menetapkan UUD, GBHN, memilih Presiden dan
Wakil Presiden serta mengubah UUD
·
Presiden, yang berkedudukan dibawah MPR,
mempunyai kekuasaan yang luas yang dapat digolongkan kedalam beberapa jenis:
·
Kekuasaan penyelenggaran pemerintahan;
·
Kekuasaan didalam bidang perundang
undangan, menetapakn PP, Perpu;
·
Kekuasaan dalam bidang yustisial,
berkaitan dengan pemberian grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi;
·
Kekuasaan dalam bidang hubungan luar
negeri, yaitu menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan
Negara lain, mengangkat duta dan konsul.
·
DPR, sebagai pelaksana kedaulatan rakyat
mempunyai kekuasaan utama, yaitu kekuasaan membentuk undang-undang
(bersama-sama Presiden dan mengawasi tindakan presiden.
·
DPA, yang berkedudukan sebagai badan
penasehat Presiden, berkewajiban memberikan jawaban atas pertanyaan presiden
dan berhak mengajukan usul kepada pemerintah
·
BPK, sebagai “counterpart” terkuat DPR,
mempunyai kekuasaan untuk memeriksa tanggung jawab keuangan Negara dan hasil
pemeriksaannya diberitahukan kepada DPR.
·
MA, sebagai badan kehakiman yang
tertinggi yang didalam menjalankan tugasnya tidak boleh dipengaruhi oleh
kekuasaan pemerintah.
B.
Setelah Perubahan
·
MPR, Lembaga tinggi negara sejajar
kedudukannya dengan lembaga tinggi negara lainnya seperti Presiden, DPR, DPD,
MA, MK, BPK, menghilangkan kewenangannya menetapkan GBHN, menghilangkan
kewenangannya mengangkat Presiden (karena presiden dipilih secara langsung
melalui pemilu), tetap berwenang menetapkan dan mengubah UUD, susunan
keanggotaanya berubah, yaitu terdiri dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan
angota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih secara langsung melalui pemilu.
·
DPR, Posisi dan kewenangannya diperkuat,
mempunyai kekuasan membentuk UU (sebelumnya ada di tangan presiden, sedangkan
DPR hanya memberikan persetujuan saja) sementara pemerintah berhak mengajukan
RUU, Proses dan mekanisme membentuk UU antara DPR dan Pemerintah, Mempertegas
fungsi DPR, yaitu: fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan
sebagai mekanisme kontrol antar lembaga negara.
·
DPD, Lembaga negara baru sebagai langkah
akomodasi bagi keterwakilan kepentingan daerah dalam badan perwakilan tingkat
nasional setelah ditiadakannya utusan daerah dan utusan golongan yang diangkat
sebagai anggota MPR, keberadaanya dimaksudkan untuk memperkuat kesatuan negara
Republik Indonesia, dipilih secara langsung oleh masyarakat di daerah melalui
pemilu, mempunyai kewenangan mengajukan dan ikut membahas RUU yang berkaitan
dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, RUU lain yang berkait dengan
kepentingan daerah.
·
BPK, Anggota BPK dipilih DPR dengan
memperhatikan pertimbangan DPD, berwenang mengawasi dan memeriksa pengelolaan
keuangan negara (APBN) dan daerah (APBD) serta menyampaikan hasil pemeriksaan
kepada DPR dan DPD dan ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum, berkedudukan
di ibukota negara dan memiliki perwakilan di setiap provinsi, mengintegrasi
peran BPKP sebagai instansi pengawas internal departemen yang bersangkutan ke
dalam BPK.
·
Presiden, Membatasi beberapa kekuasaan
presiden dengan memperbaiki tata cara pemilihan dan pemberhentian presiden
dalam masa jabatannya serta memperkuat sistem pemerintahan presidensial,
Kekuasaan legislatif sepenuhnya diserahkan kepada DPR, Membatasi masa jabatan
presiden maksimum menjadi dua periode saja, Kewenangan pengangkatan duta dan
menerima duta harus memperhatikan pertimbangan DPR, kewenangan pemberian grasi,
amnesti dan abolisi harus memperhatikan pertimbangan DPR, memperbaiki syarat
dan mekanisme pengangkatan calon presiden dan wakil presiden menjadi dipilih
secara langsung oleh rakyat melui pemilu, juga mengenai pemberhentian jabatan
presiden dalam masa jabatannya.
·
Mahkmah Agung, Lembaga negara yang
melakukan kekuasaan kekuasaan kehakiman, yaitu kekuasaan yang menyelenggarakan
peradilan untuk menegakkan hukum dan keadilan [Pasal 24 ayat (1)], berwenang
mengadili pada tingkat kasasi, menguji peaturan perundang-undangan di bawah
Undang-undang dan wewenang lain yang diberikan Undang-undang.di bawahnya
terdapat badan-badan peradilan dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan
Peradilan Agama, lingkungan Peradilan militer dan lingkungan Peradilan Tata
Usaha Negara (PTUN), badan-badan lain yang yang fungsinya berkaitan dengan
kekuasaan kehakiman diatur dalam Undang-undang seperti : Kejaksaan, Kepolisian,
Advokat/Pengacara dan lain-lain.
·
Mahkamah Konstitusi, Keberadaanya
dimaksudkan sebagai penjaga kemurnian konstitusi (the guardian of the
constitution), Mempunyai kewenangan: Menguji UU terhadap UUD, Memutus
sengketa kewenangan antar lembaga negara, memutus pembubaran partai politik,
memutus sengketa hasil pemilu dan memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai
dugaan pelanggaran oleh presiden dan atau wakil presiden menurut UUD, Hakim
Konstitusi terdiri dari 9 orang yang diajukan masing-masing oleh Mahkamah
Agung, DPR dan pemerintah dan ditetapkan oleh Presiden, sehingga mencerminkan
perwakilan dari 3 cabang kekuasaan negara yaitu yudikatif, legislatif, dan
eksekutif.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pemisahan
kekuasaan dalam arti material adalah pemisahan kekuasaan yang dipertahankan
dengan jelas dalam tugas-tugas kenegaraan di bidang legislatif, eksekutif dan
yudikatif. Sedangkan pemisahan dalam arti formal adalah pembagian kekuasaan
yang tidak dipertahankan secara tegas. Prof.Dr. Ismail Suny, SH, MCL dalam
bukunya “Pergeseran Kekuasaan Eksekutif” berkesimpulan bahwa pemisahan
kekuasaan dalam arti material sepantasnya disebut separation of powers
(pemisahan kekuasaan), sedangkan pemisahan kekuasaan dalam arti formal
sebaiknya disebut division of powers (pembagian kekuasaan).
Sistem pembagian kekuasaan di negara Republik
Indonesia jelas dipengaruhi oleh ajaran Trias Politica yang bertujuan untuk
memberantas tindakan sewenang-wenang penguasa dan untuk menjamin kebebasan
rakyat. Undang-undang Dasar 1945 menganut ajaran Trias Politica karena memang
dalam UUD 1945 kekuasaan negara dipisah-pisahkan, dan masing-masing kekuasaan
negara terdiri dari Badan legislatif, yaitu badan yang bertugas membentuk
Undang-undang, Badan eksekutif yaitu badan yang bertugas melaksanakan
undang-undang, Badan judikatif, yaitu badan yang bertugas mengawasi pelaksanaan
Undang-undang, memeriksa dan megadilinya.
Menurut UUD 1945 penyelenggaran negara pelaksanaannya
diserahkan kepada suatu alat perlengkapan negara seperti Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR), Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan
Perwakilan Daerah (DPD), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Mahkmah Agung (MA),
Mahkamah Konstitusi (MK).
DAFTAR PUSTAKA
C.S.T.
Kansil, Ilmu Negara, Jakarta, PT. Pradnya Paramita, 2007
Abdy
Yuhana, Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pasca Perubahan UUD 1945, Bandung,
Fokusmedia, 2007
Soehino,
Hukum Tatanegara, Yogyakarta, Liberty, 1985 Ndraha, Taliziduhu, 2000, Diktat
Kuliah Ilmu Pemerintahan, Program Pasca Sarjana UNPAD, Bandung
Inu,
Kencana Syafiie, 2001, Pengantar Ilmu Pemerintahan, Refika Aditama,
Bandung