BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) merupakan negara yang memiliki keanekargaman sosial dan budaya yang
meliputi suku,bangsa,agama,ras dan antar golongan sehingga keanekaragman
tersebut menjadi suatu ciri khas kebudayaan bangsa indonesia dengan
beranekaragaman suku dan latar belakang kebudyaan yang berbeda-beda kira menjadi
dapat menjadi simbol pemersatu bangsa indonesia,namun kadang juga dengan adanya
keanekaraman ini dapat dimanfaatka oleh orang-orang tertentu memuluskan
ambisinya dengan membuka ruang konflik yang besar dalam tataran masyarakat maka
dengan dalam merancang sebuah proses pembagunan negara indonesia sering
mengalami gangguan atau hambatan baik itu muncul akibat dari faktor eksternal
maupun dari dalam negeri itu sendiri antara lain di karenakan indonesia terdiri
dari beranekaragaman suku dan budaya di semua daerah.salah satu faktor penyebab
yang layak di soroti ialah mengenai konflik sosial antar suku, konflik antar
agama,hingga konflik antar organisasi kemasyarakatan dan lainnya dan sebagainya
bisa terjadi gangguan keamanan yang menghambat upaya dalam pembangunan nasional
pada umumnya dan daerah pada khususnya.simmel(1965.56) memandang “pertikaian
atau konflik sosial sebagai gejalah yang tidak mungkin dihindari dalam
masyarakat”.
Sebenarnya
dalam pembukaan undang-undang dasar(UUD) 1945 tercantum bahwa NKRI adalah
negara yang melindungi sengenap bangsa dan seluruh tumpah dara indonesia.hal
ini merupakan suatu dasar dan menjadi kunci keberhasilan pemerintah dalam
menjalankan pembagunan nasional dan juga kehidupan berdemokrasi ,namun dalam
kenyataannya upaya untuk melindungi segenap bangsa indonesia.hal ini merupakan
suatu pembahasan mengenai’pemikiran dalam menjalankan pembagunan nasional dan
juga kehidupan berdemokrasi, namun dalam kenyataannya upaya untuk melindungi
segenap.
Bangsa indonesia menjadi slogan kosong yang
dimana berlaku secara teoritis, sedangkan prakteknya dalam kehidupan
sehari-hari tidak dapat di laksanakan dengan baik,maka dengan itu sekalipun
demikian untuk mencega masalah konflik sosial yang terjadi secara khusus
pemerintah harus mampu mengatasih mengantisipasnya dan harus pekah terhadap
setiap konflik yang terjadi di tenga-tenga masyarakat disamping,pemerintah
harus mampu mengelola isu-isu dengan baik,di samping itu diperlukan kebijakan
sosial-ekonomi kusus terhadap daerah-daerah yang di anggap rawan.
Undang-Undang (UU) nomor 7 tahun 2012 tentang penanganan
konflik sosial pasal 1 mengatakan bahwa:
Konflik sosial yang di sebut konflik adalah perseteruan
dan/atau benturan fisik dengan kekerasan antar dua kelompok masyarakat atau
lebih yang mengakibatkan ketidakamanan dan disintegrasi sosial sehingga
menganggu stabilitas nasional dan menghambat pembagunan nasional .
Keanekaragaman
suku,agama,ras dan budaya indonesia jumlah penduduk lebih dari 230 juta jiwa, pada
satu sisi merupakan suatu kekayaan bangsa yang secara lansung ataupun tidak
langsung maka dengan itu arah
pembangunan di provinsi papua yang di terapkan selama ini selalu mengacu pada kebijakan dan arah
pembangunan yang di turunkan oleh pemerintah pusat secara nasional terutama
selama pemerintahan orde baru.
Kebijakan
dan arah pembangunan secara nasional yang menyeragamkan seluruh wilayah
provinsi telah menyebabkan terjadinya penyimpangan dan perubahan mendasar di
dalam kehidupan masyarakat papua yang sering diikuti dengan benturan-benturan
yang dimana dapat menempatkan masyarakat
papua pada kondisi yang kurang beruntung dalam pembangunan itu sendiri realitas
pembagunan provinsi papua,yang dilakukan selama,masih penempatkan papua sebagai
wilayah dengan presentase jumlah penduduk masih tertinggi di indonesia,yang
tidak perlu terjadi apabila kebijakan pembagunan yang di terapkan dan lebih
berpihak pada masyarakat. Otonomi Khusus (Otsus) yang di payungi dengan UU no
21 tahun 2001, merupakan kepedulian pemerintahan indonesia secara sunggu-sunggu
untuk membangun papua dengan berpatokan atau berorientasi pada karakteristik
sosial dan budaya papua masyarakat papua, maka dengan itu dengan adanya otonomi
khusus di papua sangat memberi peluang bagi masyarakat papua untuk dapat
berkembangnya masyarakat dan wilayah papua secara komprehensif sehingga
tertinggalnya keterbelakangan dapat di atasi dengan kerangka pembangunan yang
tepat, dan spesifik lokasi dan daerah yang tepat dan terarah dan menuju ke
pembangunan yang lebih baik.
Kabupaten
Mimika adalah salah satu kabupaten di provinsi papua,indonesia, ibu kota
kabupaten ini terletak di Mimika. Pada tanggal 18 maret tahun 2000 di
resmikanlah perubahan status dari kabupaten administratif menjadi kabupaten
definitif oleh gubernur provinsi papua Drs.J.P Salossa.M.Si berdasarkan
Undang-Undang no.45 tahun 1999(Kum,2012:2). Di kabupaten ini terletak kecamatan
tembagapura, tempat tambang emas terbesar di dunia milik PT. Freeport indonesia
berada.kabupaten Mimika memiliki luas sekitar
21.633.00 km atau 4,75% dari luas wilayah provinsi papua dengan
topografi dataran tinggi dan rendah.
Kabupaten
Mimika terletak dibagian selatan provinsi papua.kabupaten ini semula adalah
bagian dari kabupaten fak-fak dan dimekarkan sebagai kabupaten administratif
pada tahun 1996, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 54 tahun 1996. Kemudia
pada tahun 2000 Mimika beralih status menjadi kabupaten, yang berarti menjadi
daerah otonom.
Penduduk
asli Mimika terdiri dari berbagai macam suku. Namun suku yang terbesar adalah
suku kamoro dan amungme. Disamping itu ada suku-suku yang dianggap “kerabat”pula oleh kedua suku tersebut adalah
suku dani, moni, lani, damal, nduga, ekari, delem, kupel dan ngamun. Suku
amungme mendiami wilayah bagian selatan pegunungan tengah papua atau di bagian
wilayah mimika. Kesatuan wilayah tempat tinggal masyarakat amungme di sebut
amungsa. Sedangkan suku kamoro.menempati wilayah selatan yang terdiri dari
dataran rendah.tanah amungsa juga didiami oleh suku-suku lain seperti: moni, lani,
damal, nduga, dan ekari yang berasal dari kabupaten jayawijaya. Mata
pencaharian penduduk kabupaten mimika sekarang ini cukup beranekaragam seiring
dengan perkembangan pemerintahan, perdagangan
dan pertambangan (freeport). Penduduk
yang perdiam di tembagapura dan kuala kencana, sudah di pastikan adalah
karyawan freeport yang berjumlah 17.000 jiwa. Selebihnya terdiri dari pegawai
negeri/TNI, petani/nelayan dan pedagang/pengusaha. Penduduk aslinya baik
amungme dan kamoro serta suku-suku kekerabatan lain, sebagian besar masih hidup
dengan matapencaharian meramu atau bertani, dan sebagian masih nomaden, mencari
makan dengan berburu, menangkap ikan dan
memangkur sagu (sebagai makanan pokok)
Gambar
1.1
Pembagian
Dana 1%
Dani, Damal, Nduga, Mee, Moni
|
Amungme dan
kamoro
|
PTFI
|
(pembagian
dana hibah 1%)
Konflik
sosial (perang adat) antar suku di papua merupakan sebuah realitas yang
berkembang secara alamiah dalam kehidupan masyrakat adat papua sejak
turun-temurun. Hingga kini, perang suku memegang peranan yang sangat penting
dalam proses penyelesaian masalah di wilayah pegunungan papua. Tetapi juga
secara khusus di wilayah kabupaten mimika.penurunan frekuensi perang antar suku
di papua terjadi di ahkir tahun 1940 dan mengarah pada perlawanan perang
melawan penjaja (belanda-jepang). Pengkondisian kabupaten mimika sebagai daerah
konflik telah berlangsung sejak PT. Freeport (PTF) beroperasi (1967) sebelum
papua di integrasikan melalui sebuah penentuan pendapat rakyat (PEPERA) yang
tidak demokratis dan tidak memenuhi standar internasional yang di yakini oleh PBB
pada tahun 1969 operasi ini didukung oleh rejim orde baru yang meliteristik.
Yang menjadikan kabupaten mimika (timika) tembagapura sebagai pusat pertumbuhan
ekonomi yang menjadikannya sebuah objek vital nasional (OBVITASNA). Karena
statusnya sebagai sebuah OBVITASNA, konsentrasi pasukan TNI dan POLRI di
wilayah kontrak karya freeport (contract
of work) benar-benar meroket sejak freeport beroperasi. Sampai-sampai
kekuatan Militer di Wilayah operasi disejajarkan dengan sebuah kekuatan pada
Komando Daerah Militer (KODAM), dalam masyarakat disebut KODAM Freeport.
“Kedekatan” hubungan TNI-Freeport-POLRI mengakibatkan Freeport menganggarkan
pos-pos dana khusus bagi kepentingan “keamanan”. Selama hubungan ini
berlangsung telah terjadi begitu banyak kasus kejahatan kemanusiaan yang
dilakukan oleh TNI-POLRI, termasuk kejahatan lain yang dilakukan oleh Freeport
sendiri (menyangkut kasus-kasus lingkungan hidup dan dukungan logistik lain
dalam “operasi-operasi militer tertentu”).
Kompleksitas
masalah yang ada di Timika, tidak mendapat perhatian serius dari Pemerintah
Daerah setempat maupun PTFI Company.kondisi ini di biarkan berkembang dengan
subur dari waktu ke waktu.masalah yang ditimbulkan oleh konflik sosial antar
suku di kabupaten mimika bukan hanya menimbulkan kerugian harta benda dan
kehilangan nyawa terhadap suku-suku yang bertikai saja tetapi juga menyebabkan
kehilangan nyawa bagi suku-suku lain yang berada di sekitarnya yang mengalami
gangguan terhadap kejiwaan masyarakat disekitar situ, yang menyebabkan rasa
tidak aman dalam melakukan aktivitas keseharian mereka.dengan adanya rasa tidak
aman dalam melakukan aktivitas inilah yang menyebabkan adanya hambatan dalam
pembagunan. Contohnya penerbangan di
bandara mozes kilangin harus dihentikan sementara akibat lokasi perang suku dan
bandara yang memiliki jarak sangat dekat. Kantor DPRD mimika untuk sementara
tidak difungsikan akibat kerusakan yang di lakukan oleh massa. Pemerintah juga
lambat dalam mengambil sebuah keputusan dalam mengatsi atau menyelesaikan
konflik sosial antar suku di kabupaten mimika.
Kegiatan
PTFI yang merupakan perusahan multinasional yang sangat moderen peralatannya
menimbulkan perubahan sosial yang sangat cepat di kawasan kabupaten mimika. Ini
berarti faktor-faktor materil nampak lebih nyata pengaruhnya terhadap perubahan
sosial. Karena penggunaan alat-alat canggih memerlukan prasarana yang memadai
dan penyesuaian sikap mental manusianya atau apalagi dengan adanya perubahan
lingkungan hidup yang berpengaruh langsung terhadap sumber mata pencaharian
penduduk.diperlukan perubahan nilai secara signifikan agar masyarakat tetap
bisa bertahan hidup
Perubahan
yang demikian cepat melahirkan konflik-konflik sosial yang makin tajam.
Karena ketegangan meningkat.meningkatnya ketegangan di sebabkan situasi sosial
yakni di dalam berinteraksi antar masyarakat dengan masyarakat, masyarakat dan
pemerintah maupun antara masyarakat PTFI masing-masing mendapatkan keuntungan
sedangkan masyarakat sendiri merasa di rugikan sehingga,mengandung potensi
konflik berupa persaingan dan tradisi peperangan antar suku sebagai perusahan
modern PTFI di tuntut untuk bertindak secara rasional.sedangkan masyarakat
sekitar masih masyarakat masih sangat tradisional sementara itu
perubahan-perubahan yang tidak terhindarkan sehingga masyarakat adat makin sulit beradaptasi
dengan situasi maupun nilai-nilai baru.
Dari
sisi lain,theo van dan broek melihat bahwa sikap masyrakat terhadap PT.Freeport
( PTFI) mendua. Pada satu sisi menghendaki PTFI angka kaki dari tanah mereka
atau dari kabupaten mimika pada sisi lain,masyrakat menuntut suatu dialog
terbuka dengan perusahan tersebut. Atas dasar kenyataan ini Van dan Broek
(1996:10) menyatakan Bahwa
Masalah
bukan hanya terletak pada PTFI, tetapi juga pada perasaan masyarakat, mereka
tidak siap menempatkan diri dalam segala perubahan yang terjadi. Ada kesan
bahwa yang terjadi selama 30 tahun terakhir ini begitu cepat,sehingga
mebinggunkan masyarakat setempat. Masyarakat asli kurang diberi kesempatan
itu,sehingga mereka merasa kewalahan.
Pada
umunya orang kurang menyadari bahwa penerapan teknoligi maju yang cenderung
eksploitatif dan ekspansif itu tidak hanya menyebabkan perubahan pada
lingkungan hidup alam melainkan lebih parah adalah perubahan lingkungan hidup
sosial dan kebudayaan yang dapat menajdi kekuatan pembaharuan yang dmana
masyarakat dapat menapilkan pmbaharuan sering mendapatkan reaksi pro dan
kontrak.dimana reaksi kontrak dapat muncul dalam bentuk kekacauan atau
pemberontakan, kerusuhan atau menunggu saat turunnya ratu adil dengan melakukan
gerakan sosial dari permasalahan-permasalahan inilah yang menyebabkan penulis
mengambil judul tentang “PENGARUH
KONFLIK ANTAR SUKU TERHADAP PEMBANGUNAN DI KABUPATEN MIMIKA PROVINSI PAPUA’’
Dari
beberapa pokok permasalahan diatas kini muncul pernyataan sebagai berikut :
1.
Mengapa konflik antar suku sering terjadi di
kabupaten mimika?
2.
Bagaiamana keterlibatan pemerintah daerah dan
staekholder lainnya dalam mengatsi konflik sosial antar suku di kabupaten
mimika?
3.
Bagaimana keterlibatan lembaga masyarakat
amungme (LEMASA), lembaga masyarakat kamoro (LEMASKO) dan Yayasan Hak Asasi
Manusia dan Anti Kekerasan (YAHAMAK) dalam menilai dan mengkaji konflk yang
terus terjadi di Kabupaten Mimika?
4.
Bagaimana keterlibatan tokoh agama (gereja)
dalam menyikapi konflik sosial di Kabupaten Mimika ?
5.
Apa yang menyebabkan sehingga sering terjadi
konflik di Kabupaten Mimika?
Dari
beberapa pernyataan di atas menunjukan bahwa keterlibatan semua pemangku
kepentingan sangat besar dalam meredam konflik sosial di mimika, sehingga sudah
semestinya upaya penyelesaian?
Dari
beberapa pertanyaan diatas menunjukan bahwa keterlibatan semua di Mimika. sehingga sudah semestinya upaya
penyelesaian konflik sosial yang melibatkan hukum adat tidak perlu dilakukan
dalam lingkup masyarakat yang menganut peradaban modern, karena hukum adat hanya berlaku dalam
ringkatan masyrakat yanag berada di satu wilayah tertentu,tidak seharusnya
hukum adat diperlakukan di masyarakat yang majemuk seperti kabupaten Mimika
saat ini.
1.2. Permasalahan
1.2.1. Identifikasi Masalah
Sesuai dengan penjelasan pada latar belakang penelitian
diatas, maka dalam penulisan rancangan penelitian ini penulis
mengindentifikasikan masalah-masalah yang menjadi pemicu konflik sosial antar
suku serta pengaruhnya terhadap kebijakan pembagunan di kabupaten Mimika
provinsi Papua adalah sebagai
Berikut:
1. Adanya
rasa tidak aman,rasa takut, kekhawatiran kerusakan lingkungan,kerugian harta
benda,korban jiwa dan trauma yang dialami oleh masyarakat ;
2. Adanya
diskriminasi dalam pengelolahan dana hibah dari PT Freeport indonesia yang di
kelolah oleh LPM-AK (Lembaga Pengembangan Masyarakat-Amungme Kamoro) dapat
melahirkan kecemburuan sosial dalam suku-suku kekerabatan (suku :
Mee,Moni,Nduga,Damal,Dani) terhadap suku pemilik hak ulayat resmi ( suku
Amungme dan Kamoro):
3. Kurangnya
perhatian pemerintahan Daerah dalam menyelesaikan Konflik sosial antar suku
dapat mempengaruhi upaya pembangunan masyarakat yang dilakukan pemerintah
daerah dalam terwujudnya kesejahteraan masyarakat di Kabupaten Mimika;
4. Pemerintah
kurang peka dalam menyelesaikan konflik yang terjadi hampir tiap tahun di
kabupaten Mimika
5. Penyelesaian
konflik sosial antar suku di Kabupaten Mimika masih menggunakan hukum adat.
1.2.2.
Pembatasan Masalah
Untuka
memudahkan peneliti dalam menganalisa permasalahan ini. Maka masalah perlu
dipersempit dengan melakukan pembatasan masalah dalam penulisan usulan
penelitian ini. Sehingga penulis hanya akan membahas masalah yang terkait
dengan adanya rasa tidak aman,diskriminasi dan kurangnya perhatian dirasakan
oleh masyarakat, terhadap peran pemerintahan dalam menyelesaikan konflik antar
suku dengan serius yang sering terjadi serta dampaknya terhadap pembangunan di
Distrik Kwamki Narama khususnya dan Kabupaten Mimika pada umumnya.
1.2.3
Rumusan Masalah
Mengamati identifikasi masalah diatas,maka penulis dapat merumuskan
masalah adalah sebagai berikut:
1. Bagaiman
peran Pemerintah swasta, lembaga adat, serta tokoh agama dalam mengatasi
konflik social antar suku di kabupaten Mimika
2. Kendala
apa yang mengakibatkan sehingga terjadinya konflik antar suku di kabupaten
mimika ?
3. Bagaimana
upaya pemerintah utntuk menyelesaikan konflik yang terjadi ?
1.3.
Maksud dan Tujuan
1.3.1. Maksud
Maksud dari pelaksanaan magang yang dilakukan adalah
untuk:
1. Mengetahui
dan menganalisis peran pemerintah, swasta,lembaga adat serta tokoh agama dalam
mengatasi konflk sosial antar suku di Kabupaten Mimika Provinsi Papua
2. Mengetahui
dan mengabalisis akar permasalahan dari konflik sosial antar suku dan
penyelesaian atau memecahkan konflik antar suku.
1.3.2 Tujuan
Tujuan dari kegiatan magang yang
dilakukan di Kabupaten Mimika Provinsi Papua adalah sebagai berikut:
1. Dapatkah
kebijakan Pembangunan di Pemerintah Kabupaten Mimika menyelesaikan konflik
sosial antar suku.
2. Upaya
Pemerintah Daerah Kabupaten Mimika Dalam mengatasi konflik sosial antar suku
1.4 Kegunaan
1.4.1
Kegunaan Teoritis
Menambah
rujukan teori tentang trauma pada masyrakat karenan adanya konflik atau perang
yang membuat masyarakat atau warga setempat resa dan terganggu dengan konlfik
yang terjadi
1.4.2 Kegunaan Praktis dan Lokasi Magang
Hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi lembaga
institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) terutama bagi praja sebagai bahan
bacaan dalam mengkaji dan mempelajari masalah-masalah yang sering terjadi dalam
masyarakat sehingga praja sebagai aparatur pemerintaha dalam mengambil atau
membuat kebijakan yang tepat.
1.5.
Definisi Konsep Praktis Dan Operasionalisasi Konsep
1.5.1 Konflik
Konflik adalah
perseteruan atau benturan fisik dengan kekerasan antar dua kelompok masyarakat
atau lebih yang berlangsung dalam waktu tertentu dan berdampak luas yang
mengakibatkan ketidak amanan dan disintegrasi sosial sehingga mengganggu
stabilitas nasional menghambat pembagunan di kabupaten mimika.
Perang suku yang sering terjadi
dikabupaten Mimika antara
Suku-suku
pedalaman (suku; Amungme, Dani, Moni, Mee, Nduga, Damal) merupakan konflik antar
suku pedalaman yang bertikai dengan menggunakan alat perang tradisional seperti
anak panah dan busur, dimana dalam penyelesaiannya ,menggunakan hukum adat.
Perang suku sudah terjadi sejak zaman nenek moyang, dianggap sebagai salah satu
solusi dalam penyelesaian masalah (segala masalah hanya dapat diselesaikan
melalui perang suku) atau dalam istilahnya “angkat panah’’ keenam suku ini
merupakan suku-suku kekerabat dimana memiliki kesamaan dalam kebudayaan, dan
adat-istiadat dan mereka percaya bahwa mereka berasal dari satu nene moyang.
Misalnya perang suku yang terjadi di distrik kwamki narama (dulu Kwamki Lama)
antara suku dani dan suku damal secar tidak langsung adanya keterlibatan di
suku-suku kekerabatan lainnya dimana mereka bagi dalam kubu dimana suku Amungme
dan Mee gabung ke kubu Dani dn suku Nduga dan Moni gabung kubu Damal.
1.5.2 Pembagunan
Pembagunan adalah: untuk kepentingan umum. Pembagunan
untuk kepentingan ini harus terus diupayakan pelaksanaannya seiring dengan
semakin bertambahnya jumlah penduduk sehingga negara kita dapat mencapai
tingkat kemakmuran yang lebih memadai.Penduduk yang semakin bertambah dengan
tingkat kemakmuran yang semakin baik,tentunya membutuhkan berbagai fasilitas
umum, seperti jaringan transportasi,fasilitas pendidikan,peribadatan,sarana
olahraga,fasilitas komunikasi,fasilitas keselamatan umum,dan sebagainya.
Pembagunan fasilitas-fasilitas umum seperti tersebut di
atas memerlukan tanah sebagai wadahnya,pada saat persediaan tanah masih luas,
pembagunan fasilitas umum tersebut tidak menemui masalah.Tetapi,persoalannya
tanah merupakan sumber daya alam yang sifatnya terbatas dan tidak pernah
bertambah luasnya.Tanah yang tersedia sudah banyak yang dilekati dengan hak (
tanah hak).Sementara itu,tanah negara sudah sangat terbatas persediannya.
Pada masa sekarang ini adalah sangat sulit untuk
dilakukan pembagunan demi kepentingan umum di atas tanah negara.Dan,sebagai
jalan keluar yang ditempuh adalah dengan mengambil tanah-tanah
hak.Kegiatan”mengambil” tanah(oleh pemerintah dalam rangka pelaksanaan
pembagunan untuk kepentingan umum) inilah yang kemudian disebut dengan
pengadaan tanah. Hal ini sudah diterapkan negara dalam perpres RI No.65 Tahun
2006.Perpres ini merupakan pembaharuan dari pepres sebelumnya,yakni perpres
No.36 tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum.
No comments:
Post a Comment