KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan
kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena telah memberikan kekuatan dan kemampuan
sehingga makalah ini bisa selesai tepat pada waktunya. Adapun tujuan dari
penyusunan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Makalah Pandangan Islam Terhadap Model
Pemerintahan.
Penulis mengucapkan terima
kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan mendukung dalam penyusunan
makalah ini.
Penulis sadar makalah ini
belum sempurna dan memerlukan berbagai perbaikan, oleh karena itu kritik dan
saran yang membangun sangat dibutuhkan.
Akhir kata, semoga makalah
ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan semua pihak.
Jatinangor,
Januari 2015
Penulis,
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
Bentuk
pemerintahan Islam adalah pemerintahan yang merujuk kepada syariat. Konstitusinya
tercermin dalam prinsip-prinsip Islam dan hukum-hukum syariat yang disebutkan
di dalam Al-Qur’an dan dijelaskan Sunnah Nabawy, baik mengenai aqidah, ibadah,
akhlak, mu’amalah maupun berbagai macam hubungan. Oleh karena itu hukum yang
berlaku harus selalu bersumber dan merujuk kepada hukum yang telah ditetapkan
oleh Allah SWT. Kemudian pemerintahan yang dipimpin oleh seorang ulil amri yang
dipilih oleh rakyat, untuk menjalankan tugas-tugas kepemerintahan guna
terciptanya kondisi masyarakat yang sehat (moral dan fisik) serta sejahtera.
Sengaja
ataupun tidak pengaburan mengenai konsep pemerintahan Islam telah terjadi dan
semakin meluas. Sebagai contoh sekitar dua tahun silam terbitnya buku yang
berjudul “ilusi negara Islam”, telah menggambarkan setiap gerakan yang berusaha
mewujudkan penerapan syariat pada setiap pribadi muslim hingga pada tingkat
masyarakat luas, seperti ikhwanul muslimin, HTI dan salafi sebagai sumber
inspirasi dari terjadinya berbagai kekerasan di negeri ini. Hal seperti ini
membuat paradigma seolah Islam adalah sumber dari segala tindak kekerasan.
Sehingga konsep pemerintahan yang berasaskan Islam harus segera ditolak, karena
hanya akan memunculkan sistem “totalitarisme” yang pasti akan menuju kepada
kediktatoran.(Pendapat seperti ini muncul karena melihat beberapa corak
pemerintahan yang ada pada negara timur tengah, namun perlu kita perjelas bahwa
walau negara-negara timur tengah menyatakan islam sebagai agama negara. akan
tetapi sistem pemerintahan yang ada di sana belumlah bisa dikatakan sebagai
pemerintahan Islam.)
§ Bagaimana Pandangan
Islam terhadap Model Pemerintahan?
§ Bagaimana
Sistem pemerintahan dalam Islam yang bukan republik dan juga bukan demokrasi ?
§ Bagaimana
Sistem pemerintahan Islam bukan kerajaan (monarki) ?
§ Bagaimana
Sistem pemerintahan dalam Islam bukan imperium ?
§ Bagaimana
Sistem pemerintahan Islam bukan federasi ?
§ Jelaskan
sistem Pemerintahan Islam dan Pemerintahan Sekuler?
BAB II
PEMBAHASAN
Sistem
Pemerintahan Islam adalah Sistem Khilafah yang Telah Diwajibkan oleh Rabb
Semesata Alam Bukan Sistem Republik, Demokrasi, Kerajaan, Imperium ataupun
Federasi.
Apa yang
terjadi di Suria sejak lebih dari satu setengah tahun lalu memiliki tema yang
sama. Yaitu bahwa rezim Ba’ats penjahat dan negara-negara besar di dunia
berkonspirasi melawan rakyat kita di Suria supaya Suria tidak keluar dari
kontrol mereka. Yaitu supaya Suria tetap sebagaimana adanya sebagai negara yang
tunduk, mengekor dan menjaga perbatasan negara Yahudi. Negara-negara itu mulai
menetapkan berbagai syarat dan karakteristik untuk Suria pasca Asad. Maka dari
mimbar-mimbar TV channel upahan dan melalui mulut oposisi yang berjuang dari
hotel bintang lima diumumkanlah bahwa masa depan Suria akan menjadi negara
demokrasi sipil dan bahwa masalah di Suria adalah masalah menjatuhkan atau
mengusir kepala rezim dan membentuk pemerintahan yang tidak menindas siapa pun
dan mereka klaim secara dusta sebagai tuntutan masyarakat. Akan tetapi warga
kita tetap tegar menghadapi alat-alat pembunuhan dan penghancuran dan tidak
memandang selain Islam dan pemerintahan menurut apa yang telah diturunkan oleh
Allah SWT sebagai masa depan untuk Suria. Mereka mengungkapkan hal itu dalam
berbagai demonstrasi yang dilupakan oleh media-media massa. Hal itu tampak
jelas pada nama-nama kesatuan pasukan, panji dan slogan-slogan.
Kami di
Hizbut Tahrir menjelaskan kepada kaum Muslimin di Suria dan di seluruh negeri
kaum Muslimin tentang bentuk pemerintahan Islam agar permasalahannya
bertransformasi dari slogan-slogan yang mereka harapkan kembalinya menjadi
fakta riil dan jelas di dalam benak mereka, tertanam kuat di dalam pikiran
mereka dan mereka curahkan semua daya upaya untuk menancapkan dan
merealisasinya.
1. Sistem pemerintahan dalam Islam adalah sistem Khilafah
Khilafah
secara syar’i adalah kepemimpiman umum bagi kaum Muslimin seluruhnya di dunia
untuk menegakkan hukum-hukum syara’ islami dan mengemban dakwah Islam ke
seluruh dunia. Khilafah adalah imamah itu sendiri. Khilafah adalah bentuk
pemerintahan yang dinyatakan oleh hukum-hukum syara’ agar menjadi daulah Islam
sebagaimana yang didirikan oleh Rasulullah saw di Madinah al-Munawarah, dan
sebagaimana yang ditempuh oleh para sahabat yang mulia setelah beliau.
Pandangan ini dibawa oleh dalil-dalil al-Quran, as-Sunnah dan yang menjadi
kesepakatan ijmak sahabat. Tidak ada yang menyelisihinya di dalam umat ini
seluruhnya kecuali orang yang dididik berdasarkan tsaqafah kafir imperialis
yang telah menghancurkan daulah Khilafah dan memecah belah negeri kaum
Muslimin.
Sistem
republik demokrasi adalah sistem buatan manusia yang tegak di atas asas
pemisahan agama dari kehidupan dan menetapkan kedaulatan sebagai milik rakyat.
Jadi rakyatlah yang memiliki hak menetapkan hukum dan syariat. Rakyat yang
memiliki hak mendatangkan penguasa dan mencopotnya. Rakyat pula yang memiliki
hak menetapkan konstitusi dan undang-undang. Sementara sistem pemerintahan
Islam itu berdiri di atas asas akidah islamiyah dan berdasarkan hukum-hukum
syara’. Kedaulatan dalam sistem pemerintahan Islam adalah milik syara’ bukan
milik rakyat. Umat maupun khalifah tidak memiliki hak membuat hukum. Yang
menetapkan hukum adalah Allah SWT. Akan tetapi Islam menetapkan kekuasaan dan
pemerintahan menjadi milik umat. Umat lah yang memilih orang yang memerintah
umat dengan islam dan mereka baiat untuk menjalankan hal itu. Selama khalifah
menegakkan syariah, dan menerapkan hukum-hukum Islam maka dia tetap menjadi
khlaifah berapapun lamanya masa jabatan khilafahnya. Dan kapan saja ia tidak
menerapkan hukum Islam maka masa pemerintahannya berakhir meski baru satu hari
atau satu bulan, dan ia wajib dicopot. Dari situ kita memandang bahwa ada
kontradiksi yang besar antara kedua sistem (Republik demokrasi dengan Khilafah)
dalam hal asas dan bentuk masing-masingnya. Atas dasar itu, maka tidak boleh
sama sekali dikatakan bahwa sistem Islam adalah sistem republik, atau bahwa
Islam menyetujui demokrasi.
Ada yang
mengatakan bahwasanya demokrasi sesuai dengan ajaran Islam. Adapula yang
berpendapat demokrasi adalah bentuk kekufuran dan bertentangan dengan Islam.
Oleh karenanya, sebelum kita mengkaji lebih lanjut. Alangkah lebih baik kita
melihat kembali seperti apa pemahaman demokrasi menurut negeri asal lahirnya
demokrasi ini.
Karena,
apabila orang Eropa atau Amerika berbicara tentang “demokrasi”, “liberalisme”,
“sosialisme”, “teokrasi”, pemerintahan parlementer, dan lain-lain. Ia
mempergunakan istilah-istilah di dalam lingkungan pengalaman sejarah Barat. Di
dalam lingkungan ini istilah-istilah itu dapat segera menimbulkan gambaran di
dalam pikiran tentang apa yang sebenarnya telah terjadi atau mungkin akan
terjadi di dalam perkembangan sejarah Barat, dan karena itu dapat melewati
perubaha-perubahan yang ditimpakan oleh jaman ke atas semua konsep yang di buat
oleh manusia.
Bahkan lebih
dari itu, pemahaman konsep tersebut berubah-ubah – yakni kenyataan bahwa banyak
istilah politik yang dipakai kini mengandung makna yang berlainan dengan makna
yang diberikan orang pada awalnya – , sehingga terdapat urgensi karena
peristilahan politik ini adalah suatu hal yang memerlukan peninjauan kembali
dan penyesuaian kembali.
Namun
pengertian yang bersifat dapat berubah-ubah ini menjadi “lenyap”, karena suatu
konsep politik yang sudah jadi itu dipinjam oleh bangsa lain yang memiliki
suatu peradaban yang berlainan, dan telah melewati pengalaman-pengalaman
sejarah yang berbeda pula. Bagi bangsa tersebut, istilah atau sistem politik
itu mempunyai makna yang mutlak dan tidak berubah-ubah dan karena itu tidak
dipertimbangkan kenyataan evolusinya di dalam sejarah. Sebagai akibatnya, paham
politik menjadi beku dankaku.Untuk lebih mudah
memahaminya, maka kita akan lihat bagaimana Barat memahami demokrasi tersebut.
Di sebagian
besar dunia Barat, meski tidak seluruhnya, sampai saat ini istilah demokrasi
digunakan dalam arti yang melekat pada Revolusi Prancis, yaitu: asas persamaan
sosial politik bagi semua warga negara, dan asas persamaan oleh seluruh
penduduk yang dewasa dengan perantaraan wakil-wakil yang dipilih mereka,
berdasarkan “seorang punya satu suara” (one man one vote).
Dalam artian
lain, istilah ini meliputi hak rakyat yang tak terbatas untuk membuat
undang-undang dengan suara terbanyak mengenai semua hal yang menyangkut
kehidupan bersama. Jadi, “kemauan rakyat”, setidak-tidaknyanya di dalam teori
sebagai sesuatu yang bebas dari semua tekanan pihak luar, yang berdaulat
sendiri dan bertanggung jawab kepada diri sendiri.
Jelaslah
bahwa konsep demokrasi ini jauh sekali berbeda dengan apa yang dimaksud oleh
pencipta istilah itu, yakni bangsa Yunani Kuno. Bagi mereka “pemerintahan dari
atau oleh rakyat” (yang dimaksud oleh kata demokrasi) mengandung arti suatu
pemerintahan yang sangat oligarkis bentuknya. Di dalam “negara-kota” mereka,
istilah rakyat sama artinya dengan “warga negara”, yaitu penduduk negara yang
dilahirkan bebas, yang jarang sekali melebihi sepersepuluh dari jumlah
penduduk. Selebihnya adalah budak dan sahaya yang tidak dibolehkan melakukan
lain dari pekerjaan tangan, meskipun mereka kerap kali diwajibkan untuk dinas
militer, mereka tidak mempunyai hak-hak sebagai warga negara sama sekali. Hanya
lapisan paling atas dan tipis dari penduduk – yang disebut warga negara – yang
mempunyai hak pilh aktif dan pasif. Dengan demikian semua kekuasaan politik
terpusat di tangan mereka.
Maka bila
dipandang dari pespektif sejarah, demokrasi seperti yang dipahami oleh bangsa
Barat modern sebenarnya lebih dekat kepada konsep Islam tentang kebebasan dari
pada konsep Yunani Kuno. Islam menegaskan bahwa manusia sama dan karena itu harus
diberi kesempatan yang sama untuk mengembangkan dan mengaktualisasikan dirinya.
Disamping itu, Islam juga mewajibkan kaum muslimin menundukan
keputusan-keputusan mereka berdasarkan tuntunan Hukum Allah yang diwahyukan di
dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Suatu kewajiban yang memberi batas-batas tertentu
bagi hak masyarkat dalam membuat undang-undang serta tidak memberikan kekuasaan
absolut bagi “kemauan rakyat”, yang telah merupakan suatu bagian yang integral
dan konsep Barat mengenai demokrasi.
Jelaslah
bahwa sistem pemerintahan Islam bukanlah demokrasi, demokrasi sendiri bisa
dikatakan suatu pemahaman yang abstrak. Karena dengan membaca uraian diatas
bagaimana istilah demokrasi tentang kebebasan digunakan dengan makna yang amat
berlainan. Maka penerapannya pada politik Islam pasti akan menimbulkan suasana
kesamar-samaran dan kecenderungan seperti “aksi tipuan sulap” dengan kata-kata
indah namun tidak tepat sasaran. Berbeda sekali dengan konsep Islam yang jelas.
Sistem
pemerintahan Islam tidak mengakui sistem kerajaan (monarkhi) dan tidak
menyerupai sistem monarkhi. Sistem monarkhi, pemerintahannya bersifat turun
temurun, diwarisi anak dari bapaknya sebagaimana anak mewarisi harta
peninggalan bapak. Sistem monarkhi memberi Raja keistimewaan dan hak-hak
khusus, yang tidak boleh disentuh. Sementara sistem Islam tidak mengkhususkan
khalifah atau imam dengan suatu keistimewaan atau hak-hak khusus. Khalifah
tidak memiliki sesuatu kecuali sama seperti yang dimiliki oleh
individu-individu umat. Sistem pemrintahan Islam tidak diwariskan. Khalifah
bukan seorang raja, melainkan dia adalah wakil dari umat dalam urusan
pemerintahan dan kekuasaan. Ia dipilih dan dibaiat oleh umat dengan keridhaan
untuk menerapkan syariah Allah kepada umat. Khalifah dalam seluruh tindakan,
kebijakan, keputusan dan pemeliharaannya terhadap urusan dan kemaslahatan umat
terikat dengan hukum-hukum syara’.
Sistem
imperium sangat jauh dari Islam. Sebab sistem imperium tidak menyamakan
diantara golongan masyarakat di wilayah-wilayah imperium dalam hukum.
Sebaliknya imperium menetapkan keistimewaan untuk pusat imperium dalam hal
pemerintahan, keuangan dan perekonomian. Metode Islam dalam pemerintahan adalah
menyamakan antara semua rakyat yang diperintah di seluruh bagian daulah,
mengingkari sektarianisme rasial, memberi kepada non muslim yang menjadi warga
negara seluruh hak-hak dan kewajiban syar’i mereka, sehingga mereka memiliki
hak dan kewajiban seperti yang dimiliki oleh kaum muslimin secara adil. Maka
dengan persamaan ini sistem pemerintahan Islam berbeda dari imperium. Dengan
sistem ini, sistem pemerintahan Islam tidak menjadikan daerah-daerah sebagai
jajahan. Sumber daya tidak dikumpulkan di pusat untuk manfaat pusat saja.
Sebaliknya seluruh bagian daulah dijadikan sebagai satu kesatuan betapapun jauh
jaraknya dan betapapun beragam suku dan bangsanya. Setiap daerah dinilai
sebagai bagian integral dari tubuh daulah. Penduduknya memiliki seluruh hak yang
dimiliki oleh penduduk pusat, atau daerah lain manapun. Kekuasaan pemerintahan,
sistem dan hukumnya adalah sama untuk seluruh daerah.
Daerah-daerahnya
terpisah dengan kemerdekaan sendiri, dan menyatu dalam pemeritahan umum
(federal). Akan tetapi sistem pemerintahan Islam adalah sistem kesatuan, di
dalamnya berbagai daerah dan propinsi dinilai sebagai bagian dari satu negara
yang sama. Keuangan daerah-daerah semuanya dinilai sebagai satu keuangan dan
satu neraca (anggaran) yang dibelanjakan untuk kemaslahatan seluruh rakyat.
Sistem pemerintahan Islam merupakan satu kesatuan yang sempurna, dimana
kekuasaan tertinggi dibatasi hanya di pusat umum dan ditetapkan memiliki
kontrol dan kekuasaan terhadap semua bagian daulah kecil ataupun besar. Tidak
diperkenankan adanya kemerdekaan untuk bagian manapun dari bagian daulah
sehingga bagian-bagian daulah tidak tercerai berai.
Maka mari
kita tegaskan bersama, bahwasanya hal tersebut adalah suatu kekeliruan yang
sangat nyata. Sesungguhnya apa yang digambarkan oleh orang-orang semacam yang
menerbitkan buku tersebut, hanyalah manifestasi dari pada imajinasi ketakutan
mereka terhadap penerapan syariat.
Kewajiban
kita adalah untuk senantiasa taat kepada Allah, barangsiapa terdapat keimanan
dihatinya sungguh ia tidak akan menyanggah hal ini. Termasuk kepadanya tuntutan
dari iman adalah menerima serta ikhlas dengan segala ketentuan-ketentuan yang
telah ditetapkan Allah, dalam hal ini menjalankan syariat menjadi hal yang
wajib untuk dilaksanakan. Oleh karenanya perlulah dipertanyakan keimanan
pribadi yang enggan menerapkan syariat dalam kehidupannya.
Konsep
pemerintahan Islam adalah sebagaimana dijelaskan dalam nash Al-Qur’an, yakni
pada surat An-Nisaa’ ayat 58-59. Bahwa pemerintahan Islam berdasarkan kepada
tiga aturan penting yakni taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Taat kepada yang
memegang kekuasaan di antara umat dan mengambalikan kepada Allah dan Rasul-Nya,
jika terjadi perselisihan dengan pihak yang berkuasa.
Perihal
ketentuan pemerintahan dalam syariat yang berupa nash, ia tidak menjelaskan
seluruh permasalahan secara terperinci, akan tetapi yang disebutkan adalah
pokok-pokok ataupun kerangka sebagai pondasi dasar dan aturan main yang jelas.
Dan dalam hal terperinci tersebut dilakukanlah proses ijtihad yang tidak keluar
dalam kerangka syariat. Hal ini menunjukan keluasan hukum syariat yang memang
mampu untuk diterapkan dalam setiap masa. Kenapa seperti itu! Karena
permasalahan politik dan negara adalah permasalahan yang selalu berkembang dari
masa-kemasa bahkan setiap hari persoalan baru dalam pemerintahan bisa selalu
muncul. Pemerintahan yang ideal selalu bisa beradaptasi dalam artian
menyesuaikan setiap permasalahan tanpa mengganggu konstistusi serta tatanan
kenegaraan. Maka bisa dikatakan bahwa pemerintahan Islam selalu memperhatikan
kondisi aktual dan mampu menerapkan kebijakannya selaras dengan perkembangan
jaman.
Hal ini
penah ditunjukan pada pemerintahan Khulafaur Rasyidin. Sebagaimana kita ketahui
bahwa ke empat masa pemerintahan khalifah ini, adalah pemerintahan yang
melukiskan dan bentuk representasi dari pemerintahan Islam. Jika kita pelajari
bahwa kebijakan-kebijakan dalam setiap masa khalifah ini memiliki beberapa
perbedaan yang dipengaruhi perkembangan kondisi negeri. Sebagai contoh, adalah
kebijakan khalifah Umar bin Khattab yang tidak memberikan tanah hasil rampasan
perang (ghanimah) kepada para tentara, akan tetapi seluruh tanah tersebut
diserahkan dan dikelola pemerintah. Sebagai gantinya para prajurit mendapat
penghasilan tetap dari pemerintah. Karena sebelumnya sejak masa Nabi tanah
kekuasaan hasil perang, dibagi persekian persen untuk para prajurit -sahabat
yang turut berperang – dan sisanya baru diserahkan kepada pemerintahan.
Kebijakan ini diambil salah satunya karena alasan daerah kekuasaan Islam yang
sudah semakin luas karena penaklukan negeri-negeri, sehingga tidak mungkin
seluruh tanah tersebut diserahkan kepada para prajurit. Serta kebutuhan
pemerintahan akan pertahanan dari pihak luar, sehingga dibentuklah prajurit
professional yang dibrikan tunjangan oleh pemerintah.
6. Pemerintahan Islam dan Pemerintahan Sekuler
Pemerintahan
Islam jauh berbeda dengan pemahaman yang berkembang di Barat. Maka penggunaan
teori maupun istilah Barat, seperti demokrasi, sosialis, liberal dan semacamnya
tidak akan mampu menggambarkan konsep pemerintahan Islam secara sempurna. Namun
anehnya, tidak jarang kita dapatkan di dalam tulisan-tulisan sosok yang mengaku
sebagai cendekiawan Islam modern, memberikan pernyataan bahwa “pemerintahan
Islam itu adalah suatu pemerintahan yang demokratis”, atau malahan ada yang
berkata bahwa pemerintahan Islam bertujuan menegakan suatu masyarakat
“sosialis”. Hal seperti ini dapat mengakibatkan distorsi pemahaman tentang
konsep pemerintahan Islam yang sebenarnya.
Sekulerisme
itu adalah asas yang bertolak belakang dengan Islam. Akan tetapi terdapat
beberapa orang di negeri ini yang berupaya memperjuangkan asas sekulerisme ini.
Selalu saja bagi mereka asas sekulerisme (keduniaan) yang secara otomatis
diidentifikasi sebagai kemajuan (progress). Maka setiap anjuran untuk memandang
politik praktis dan perencanaan sosial ekonomi dalam sudut pandang keagamaan,
dituding sebagai suatu sikap reaksioner, atau setidak-tidaknya sebagai
“idealisme yang tidak praktis”. Tampaknya, saat ini tidak sedikit pula
cendikiawan muslim mempunyai pendapat serupa. Dan dalam hal ini kentara sekali
pengaruh dari pemikiran Barat.
Sesungguhnya
berkembangnya pemahaman sekuler ini di Barat, disebabkan oleh hal-hal di dalam
lingkungan mereka sendiri, bangsa-bangsa Barat telah dikecewakan oleh agama
(agama mereka). Sehingga wajar saja jika mereka berupaya sedemikian rupa untuk
memisahkan agama dengan urusan pemerintahan. Upaya untuk meniru sistem Barat
ini, dengan menganggap segala yang berasal dari Barat adalah “up to date”
adalah bentuk dari kelemahan dan kebodohan. Suatu kesalahan jika berupaya
menerapkan asas tersebut kepada negeri kita, karena bangsa kita tidak pernah
mengalami apa yang dahulu dialami oleh bangsa Barat.
Kemudian dalam
pemerintahan sekuler, segala keputusan dan ketentuan tidak berlandaskan atau
paling tidak memperhaitkan pada hukum moral atau akhlak. Tetapi berlandaskan
dan hanya melihat berdasarkan kepentingannya sendiri (expediency) sebagai
satu-satunya kewajiban yang di bawahnya pemerintahan harus ditundukan. Dan
suatu kepastian bahwa pendapat apa yang menjadi kepentingan sendiri itu pasti
berbeda-beda pada tiap kelompok, partai, bangsa dan masyarakat. Maka pastilah
terjadi kepentingan yang membingungkan dalam perkara politik (nasional maupun
internasional). Sebab telah jelas, apa yang dinilai sebagai kepentingan sendiri
oleh suatu kelompok atau bangsa, tidak selamanya sama dan sebangun dengan
kepentingan kelompok atau bangsa lain.
Pemerintahan
sekuler inilah yang tidak menundukan dirinya pada tuntutan moral yang obyektif.
Akan tetapi semua berupaya memperjuangkan kepentingan masing-masing yang sudah
pasti berbenturan antara satu sama lain. Sehingga makin genjar pertentangan ide
terjadi antara mereka tantang apa yang benar dan apa yang salah di dalam
hubungan manusia, dikarenakan kacamata berfikir mereka adalah tercapainya
kepentingan itu. Pendeknya, di dalam pemerintahan sekuler yang modern pada saat
ini: tidak terdapat norma yang kokoh yang mampu digunakan untuk membedakan
antara yang baik dan yang buruk, dan antara yang benar dan yang salah. Inilah
yang ungkapan yang dijelaskan oleh Muhammad Assad.
Jadi
satu-satunya kriteria yang mungkin adalah “kepentingan bangsa”. Tetapi karena
tidak ada satu ukuran yang obyektif dalam nilai-nilai kesusilaan, maka berbagai
kelompok manusia – bahkan di dalam suatu bangsa – mungkin dan biasanya memiliki
pandangan yang berlainan tentang apa yang merupakan kepentingan utama suatu
bangsa. Seorang kapitalis dengan amat tulusnya percaya, bahwa peradaban manusia
akan hancur jika liberalisme ekonomi digantikan oleh sosialisme. Sementara,
seorang sosialis dengan amat tulusnya pula berpendapat, bahwa peradaban itu
dapat dipelihara hanya dengan kapitalisme telah diganti dengan sosialisme. Mereka
masing-masing memiliki pandangan kesusilaannya sendiri, yakni konsep tentang
apa yang patut atau tidak patut dilakukan terhadap orang lain. Dan pandangan
kesusilaan ini tergantung hanya pada pandangan ekonominya semata. Akibatnya:
kekacauan di dalam hubungan timbal balik antar mereka.
Dengan kata
lain pemerintahan sekuler adalah pemerintahan yang rapuh dari dalam, karena
tidak adanya kesatuan yang mampu mengikat mereka.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Sistem
Pemerintahan Islam adalah Sistem Khilafah yang Telah Diwajibkan oleh Rabb
Semesata Alam Bukan Sistem Republik, Demokrasi, Kerajaan, Imperium ataupun
Federasi.
Sistem pemerintahan dalam
Islam adalah sistem Khilafah
Khilafah
secara syar’i adalah kepemimpiman umum bagi kaum Muslimin seluruhnya di dunia untuk
menegakkan hukum-hukum syara’ islami dan mengemban dakwah Islam ke seluruh
dunia. Khilafah adalah imamah itu sendiri.
Sistem pemerintahan dalam
Islam bukanlah republik dan juga bukan demokrasi
Sistem
republik demokrasi adalah sistem buatan manusia yang tegak di atas asas
pemisahan agama dari kehidupan dan menetapkan kedaulatan sebagai milik rakyat.
Jadi rakyatlah yang memiliki hak menetapkan hukum dan syariat.
Sistem pemerintahan Islam
bukan kerajaan (monarkhi)
Sistem
pemerintahan Islam tidak mengakui sistem kerajaan (monarkhi) dan tidak
menyerupai sistem monarkhi. Sistem monarkhi, pemerintahannya bersifat turun
temurun, diwarisi anak dari bapaknya sebagaimana anak mewarisi harta
peninggalan bapak. Sistem monarkhi memberi Raja keistimewaan dan hak-hak khusus,
yang tidak boleh disentuh.
Sistem pemerintahan dalam
Islam bukan imperium
Sistem
imperium sangat jauh dari Islam. Sebab sistem imperium tidak menyamakan
diantara golongan masyarakat di wilayah-wilayah imperium dalam hukum.
Sebaliknya imperium menetapkan keistimewaan untuk pusat imperium dalam hal
pemerintahan, keuangan dan perekonomian.
DAFTAR PUSTAKA
Dar al-Fikr,
2005,Bernegara Perspektif Islam, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1999,
As-Shiddiqie,
Jimly, Islam dan Kedaulatan Rakyat, Jakarta: GIP, 1995.
Effendy,
Bahtiar, Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di
Indonesia, Jakarta: Paramadina,1998.
Madjid,
Nurcholish, Cita-cita Politik Islam Era Reformasi, Jakarta:Paramadina, 1999.
Zallum,
Abdul Qadim, Nidhamul Hukmi fil Islam, diterj. Maghfur, Sistem Pemerintahan
Islam, Bangil: Al-Izzah, 2002
No comments:
Post a Comment