BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Birokrasi
dan politik bagai dua mata uang yang tidak akan pernah terpisahkan satu sama
lain. Birokrasi dan politik memang merupakan dua buah institusi yang memiliki
karakater yang sangat berbeda, namun harus selalu saling mengisi. Dua karakter
yang berbeda antara dua institusi ini pada satu sisi memberikan sebuah ruang
yang positif bagi apa yang disebut dengan sinergi, namun acapkali juga tidak
dapat dipisahkan dengan aroma perselingkuhan.
Menurut
Etzioni-Havely (dalam Savirani:2005) birokrasi adalah organisasi hirarkis
pemerintah yang ditunjuk untuk menjalankan tugas melayani kepentingan umum.
Ciri khas yang melekat dalam tubuh birokrasi adalah bentuk organisasi yang
berjenjang, rekrutmen berdasarkan keahlian, dan bersifat impersonal. Birokrasi
juga merupakan unit yang secara perlahan mengalami penguatan, independen, dan
kuat. Penguasaan berbagai sumber daya oleh birokrasi menjadikan birokrasi
menjadi kekuatan besar yang dimiliki oleh negara. Sedangkan politik merupakan
institusi yang disebut juga dengan pusat kekuasaan. Kekuasaan yang dimiliki
oleh politik berlangsung dalam berbagai arena, seperti pembuatan, penerapan,
dan evaluasi kebijakan publik. Dalam arti yang lebih luas, segala sesuatu yang
berkaitan dengan partai, demokrasi, dan kebijakan disebut juga dengan politik.
Sementara
birokrasi adalah sebuah institusi yang mapan dengan segala sumber dayanya,
namun pada lain sisi sistem kenegaraan mensyaratkan politik masuk sebagai aktor
yang mengepalai birokrasi melalui mekanisme politik formal. Oleh karena itu,
birokrasi pemerintah tidak bisa dilepaskan dari kegiatan politik. Pada setiap
gugusan masyarakat yang membentuk tata pemerintahan formal, tidak bisa
dilepaskan dari aspek politik.
Pada
gilirannya, birokrasi mau tidak mau harus rela dikepalai oleh mereka yang
umumnya bukan berasal dari kalangan birokrasi. Artinya, kepentingan politik
dengan sendirnya akan turut bermain dalam sistem penyelenggaraan pemerintah.
Persoalan yang mengemuka adalah mampukah kepala daerah memberikan peluang
kepada birokrasi yang dipimpinya dengan arif untuk tetap mengikuti kaidah
demokrasi yang normatif.
Dalam
berbagai macam pola hubungan antara birokrasi dan politik, institusi
politik -sebagaimana diketahui bersama- terdiri atas orang-orang yang
berprilaku politik yang diorganisasikan secara politik oleh kelompok-kelompok
kepentingan dan berusaha untuk mempengaruhi pemerintah untuk mengambil dan
melaksanakan suatu kebijakan. Oleh karena itu, birokrasi pemerintah secara
langsung ataupun tidak langsung selalu berhubungan dengan kelompok kepentingan
politik tersebut.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, penulis mengajukan
rumusannya masalah secara singkat sebagai berikut:
1.
Apakah yang dimaksud dengan birokrasi?
2.
Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi birokrasi?
3.
Apakah yang dimaksud dengan politik?
4.
Bagaimana birokrasi Indonesia sebelum adanya reformasi birokrasi?
5.
Bagaimana sejarah lahirnya reformasi birokrasi di Indonesia?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan
penulisan makalah ini adalah untuk mengkaji kembali bagaimana keadaan serta
hubungan birokrasi dengan politik di Indonesia. Selain itu, pembuatan makalah
ini juga bertujuan untuk mengkaji lebih dalam mengenai bagaimana proses dari
reformasi birokrasi itu sendiri di Indonesia yang pada kenyataannya belum
berjalan secara efektif.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Birokrasi
1.
Pengertian Birokrasi
Jika dilihat
dari segi bahasa, birokrasi terdiri dari dua kata yaitu biro yang
artinya meja dan krasi yang artinya kekuasaan. Birokrasi memiliki dua
elemen utama yang dapat membentuk pengertian, yaitu peraturan atau norma formal
dan hirarki. Jadi, dapat dikatakan pengertian birokrasi adalah kekuasaan yang
bersifat formal yang didasarkan pada peraturan atau undang-undang dan
prinsip-prinsip ideal bekerjanya suatu organisasi. Secara etimologi birokrasi
berasal dari istilah “buralist” yang dikembangkan oleh Reineer von Stein pada
1821, kemudian menjadi “bureaucracy” yang akhir-akhir ini ditandai dengan cara-cara
kerja yang rasional, impersonal dan leglistik (Thoha, 1995 dalam Hariyoso,
2002). Birokrasi dapat dirujuk kepada empat pengertian yaitu,
·
Birokrasi dapat diartikan sebagai
kelompok pranata atau lembaga tertentu.
·
Birokrasi
dapat diartikan sebagai suatu metoda untuk mengalokasikan sumber daya dalam
suatu organisasi.
· “Kebiroan”
atau mutu yang membedakan antara birokrasi dengan jenis organisasi lain.
(Downs, 1967 dalam Thoha, 2003)
· Kelompok
orang yang digaji yang berfungsi dalam pemerintahan. (Castle, Suyatno,
Nurhadiantomo, 1983)
Birokrasi
Ideal Menurut Weber :
Max Weber sebagai bapak birokrasi
mengatakan bahwa birokrasi menjadi elemen penting yang menghubungkan ekonomi
dengan masyarakat. Weber mengajukan sebuah model birokrasi ideal yang memiliki
karakteristik sebagai berikut (dalam Islamy, 2003):
·
Pembagian
Kerja (division of labour)
·
Adanya
prinsip hierarki wewenang (the principle of hierarchi)
·
Adanya
sistem aturan (system of rules)
·
Hubungan
Impersonal (formalistic impersonality)
·
Sistem
Karier (career system)
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi birokrasi:
a.
Faktor budaya
·
Budaya dan perilaku koruptif yang
sudah terlembaga (“uang administrasi” atau uang “pelicin”)
·
Budaya
“sungkan dan tidak enak” dari sisi masyarakat
·
Masyarakat
harus menanggung biaya ganda karena zero sum game
·
Internalisasi
budaya dalam mekanisme informal yang profesional
b. Faktor individu
· Perilaku
individu sangat bersifat unik dan tergantung pada mentalitas dan
moralitas
· Perilaku
individu juga terkait dengan kesempatan yang dimiliki seseorang yang memiliki
jabatan dan otoritas
· Perilaku
opportunistik hidup subur dalam sebuah sistem yang korup
·
Individu
yang jujur seringkali dianggap menyimpang dan tidak mendapat tempat
c. Faktor organisasi dan manajemen
· Meliputi struktur,
proses, leadership, kepegawaian dan hubungan antara
pemerintah dan masyarakat
· Struktur
birokrasi masih bersifat hirarkis sentralistis dan tidak
terdesentralisasi
·
Proses Birokrasi seringkali belum memiliki dan tidak melaksanakan
prinsip-prinsip efisiensi, transparansi, efektivitas dan keadilan
· Birokrasi
juga sangat ditentukan oleh peran kepemimpinan yang kredibel
· Dalam aspek
kepegawaian, Birokrasi dipengaruhi oleh rendahnya gaji, proses rekrutmen
yang belum memadai, dan kompetensi yang rendah.
· Hubungan
masyarakat dan pemerintah dalam Birokrasi belum setara;
pengaduan dan partisipasi masyarakat masih belum memiliki tempat (citizen
charter)
d. Faktor politik
·
Ketidaksetaraan
sistem birokrasi dengan sistem politik dan sistem hukum
·
Birokrasi
menjadi “Geld Automaten” bagi partai politik
·
Kooptasi
pengangkatan jabatan birokrasi oleh partai politik
B. Politik
1. Pengertian Politik
Politik adalah proses
pembentukan dan pembagian kekuasaan
dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan
keputusan, khususnya dalam negara. Pengertian ini merupakan upaya penggabungan antara
berbagai definisi yang berbeda mengenai hakikat politik yang dikenal dalam ilmu politik.
Politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan
secara konstitusional maupun nonkonstitusional.
Di samping
itu politik juga dapat ditilik dari sudut pandang berbeda, yaitu antara lain:
· politik
adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama
(teori klasik Aristoteles)
· politik
adalah hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan negara
· politik
merupakan kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan
kekuasaan di masyarakat
· politik adalah segala sesuatu tentang proses perumusan
dan pelaksanaan kebijakan publik.
Dalam konteks memahami politik perlu dipahami beberapa
kunci, antara lain: kekuasaan politik, legitimasi, sistem politik, perilaku
politik, partisipasi
politik, proses
politik, dan juga tidak
kalah pentingnya untuk mengetahui seluk beluk tentang partai politik.
C. Gambaran Umum Birokrasi di Indonesia Sebelum Reformasi
Birokrasi di Indonesia menurut Karl D
Jackson merupakan bureaucratic polity. Model ini merupakan birokrasi dimana
negara menjadi akumulasi dari kekuasaan dan menyingkirkan peran masyarakat dari
politik dan pemerintahan. Ada pula yang berpendapat bahwa birokrasi di
Indonesia merupakan birokrasi Parkinson dan Orwel. Hal ini disampaikan oleh
Hans Dieter Evers. Birokrasi Parkinson merujuk pada pertumbuhan jumlah anggota
serta pemekaran struktural dalam birokrasi yang tidak terkendali. Birokrasi
Orwel merujuk pada pola birokratisasi yang merupakan proses perluasan kekuasaan
pemerintah yang dimaksudkan sebagai pengontrol kegiatan ekonomi, politik dan
social dengan menggunakan regulasi yang bila perlu ada suatu pemaksaan.
Dari model yang diutarakan di atas dapat
dikatakan bahwa birokrasi yang berkembang di Indonesia pada masa Orde Baru
adalah birokrasi yang berbelit-belit, tidak efisien dan mempunyai pegawai
birokrat yang makin membengkak.
Keadaan ini
pula yang menyebabkan timbulnya penyimpangan-penyimpangan berikut, seperti :
·
Maraknya
tindak KKN
· Tingginya
keterlibatan birokrasi dalam partai politik sehingga pelayanan terhadap
masyarakat tidak maksimal
·
Pelayanan
publik yang diskriminatif
·
Penyalahgunaan
wewenang
·
Pengaburan
antara pejabat karir dan non-karir
D. Sejarah Reformasi Birokasi di Indonesia
Reformasi politik 1998 adalah pintu
gerbang Indonesia menuju sejarah baru dalam dinamika politik nasional.
Reformasi politik yang diharapkan dapat beriringan dengan reformasi birokrasi,
fakta menunjukan, reformasi birokrasi mengalami hambatan signifikan hingga
kini, akibatnya masyarakat tidak dapat banyak memetik manfaat nyata dari
reformasi politik 1998.
Pasca reformasi, ikhtiar untuk melepaskan
birokrasi dari kekuatan dan pengaruh politik gencar dilakukan. Kesadaran
pentingnya netralitas birokrasi mencuat terus-menerus. BJ Habibie, Presiden
saat itu, mengeluarkan PP Nomor 5 Tahun 1999 (PP No.5 Tahun 1999), yang
menekankan kenetralan pegawai negeri sipil (PNS) dari partai politik. Aturan
ini diperkuat dengan pengesahan UU Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok
Kepegawaian untuk menggantikan UU Nomor 8 Tahun 1974.
Saat membentuk yang pertama setelah Gus Dur
terpilih, sedang terjadi keributan tentang pengangkatan Sesjen di Departemen
Kehutanan dimana sesjen tersebut adalah orang dari partai yang sama dengan
menteri kehutanan saat itu. Begitu juga terjadi di beberapa departemen dan di
Diknas, BUMN, dan lain-lain. Ada beberapa eselon yang diangkat yang dia
merupakan orang dari partai yang sama dengan menteri yang membawahi departemen
tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa bagaimana suatu birokrasi pemerintahan
tidak terlepas dari intervensi partai politik.
Kemudian ada pula tindakan presiden
Abdurrahman Wahid yang menghapuskan Departemen Penerangan dan Departemen
Sosial, dengan alas an bahwa departemen tersebut bermasalah, banyak KKN, dan
departemen itu dianggap telah mencampuri hak-hak sipil warga negara.
Penghapusan dua departemen tersebut dapat
dikatakan sesuai dengan prinsip reinventing government atau ada pula yang
menganggap hal ini sebagai langkah debirokratiasasi dan dekonstruksi masa lalu
yang dianggap terlalu berlebihan mengintervensi kemerdekaan dan kemandirian
publik.
Aturan induk netralitas politik birokrasi
Indonesia sudah ada pada pasal 4 Peraturan Pemerintah 1999, yang menyatakan
bahwa PNS dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan tidak
bertindak diskriminatif, khususnya dalam memberikan pelayanan kepada
masyarakat.
Dalam pemerintahan Megawati, para menteri
dalam masa itu melestarikan tradisi Golkar, yaitu semua organisasi pemerintah
dikaburkan antara jabatan karier dengan non karier, serta jabatan birokrasi
dengan jabatan politik. Hal ini menunjukkan bahwa pada masa ini harapan untuk
melakukan reformasi birokrasi tidak akan terlaksana. Hingga pada tahun 2004
barulah dimulai reformasi birokrasi secara riil dengan pembentukan UU.
Birokrasi adalah sistem pemerintahan yang dijalankan
oleh pegawai pemerintah karena telah berpegang pada hierarki dan jenjang
jabatan. Fenomena birokrasi selalu ada bersama kita dalam kehidupan kita
sehari-hari dan setiap orang seringkali mengeluhkan cara berfungsinya birokrasi
sehingga pada akhirnya orang akan mengambil kesimpulan bahwa birokrasi tidak
ada manfaatnya karena banyak disalahgunakan oleh pejabat pemerintah
(birokratisme) yang merugikan masyarakat.
Birokrasi bukanlah suatu fenomena yang baru bagi kita
karena sebenarnya telah ada dalam bentuknya yang sederhana sejak beribu-ribu
tahun yang lalu. Namun demikian kecenderungan mengenai konsep dan praktek
birokrasi telah mengalami perubahan yang berarti sejak seratus tahun terakhir
ini. Dalam Masyarakat yang modern, birokrasi telah menjadi suatu organisasi
atau institusi yang penting. Pada masa sebelumnya ukuran negara pada umumnya
sangat kecil, namun pada masa kini negara-negara modern memiliki luas wilayah,
ruang lingkup organisasi, dan administrasi yang cukup besar dengan berjuta-juta
penduduk.
Kajian birokrasi sangat penting dipelajari, karena
secara umum dipahami bahwa salah satu institusi atau lembaga, yang paling
penting sebagai personifikasi negara adalah pemerintah, sedangkan personifikasi
pemerintah itu sendiri adalah perangkat birokrasinya (birokrat).
Membicarakan tentang birokrasi tentunya sangat penting bagi kita untuk
mengetahui bagaimana sejarah birokrasi. Birokrasi memiliki asal kata dari
Burcau, digunakan pada awal abad ke 13 di Eropa Barat bukan hanya untuk
menunjuk pada meja tulis saja, akan tetapi lebih pada kantor, semisal tempat
kerja dimana pegawai bekerja. Makna asli dari birokrasi berasal dari Prancis
yang artinya pelapis meja. Bentuk birokrasi paling awal terdiri dari tingkatan
kasta rohaniawan / tokoh agama. Negara memformulasikan,memaksakan dan
menegakkan peraturan dan memungut pajak, memberikan kenaikan kepada sekelompok
pegawai yang bertindak untuk menyelenggarakan fungsi tersebut.
Sangat menarik membicarakan tentang
birokrasi, karena dalam realita kehidupan birokrasi terkesan negatif dan
menyulitkan dalam melayani masyarakat, padahal para pegawai birokrasi itu
dibayar dari duit masyarakat. Dan terkadang wewenang yang diberikan kepada
pegawai dari birokrasi disalahgunakan. Misalnya seperti masalah tentang korupsi
di dirjen pajak yang hangat-hangatnya dibicarakan akhir-akhir ini. Oleh karena
itu sangat diperlukan adanya reformasi birokrasi
Pengertian Birokrasi :
Birokrasi berasal dari kata “bureau”
yang berarti meja atau kantor; dan kata “kratia” (cratein) yang berarti
pemerintah. Pada mulanya, istilah ini digunakan untuk menunjuk pada suatu
sistematika kegiatan kerja yang diatur atau diperintah oleh suatu kantor
melalui kegiatan-kegiatan administrasi (Ernawan, 1988). Dalam konsep bahasa
Inggris secara umum, birokrasi disebut dengan “civil service”. Selain itu juga
sering disebut dengan public sector, public service atau public administration.
Definisi birokrasi telah tercantum
dalam kamus awal secara sangat konsisten. Kamus akademi Perancis memasukan kata
tersebut pada tahun 1978 dengan arti kekuasaan, pengaruh, dari kepala dan staf
biro pemerintahan. Kamus bahasa Jerman edisi 1813, mendefinisikan birokrasi
sebagai wewenang atau kekuasaan yang berbagai departemen pemerintah dan
cabang-cabangnya memeperebutkan diri untuk mereka sendiri atas sesama warga
negara. Kamus teknik bahasa Italia terbit 1823 mengartikan birokrasi sebagai
kekuasaan pejabat di dalam administrasi pemerintahan.
Birokrasi berdasarkan definisi yang dikemukakan oleh
beberapa ahli adalah suatu sistem kontrol dalam organisasi yang dirancang
berdasarkan aturan-aturan yang rasional dan sistematis, dan bertujuan untuk
mengkoordinasi dan mengarahkan aktivitas-aktivitas kerja individu dalam rangka
penyelesaian tugas-tugas administrasi berskala besar (disarikan dari Blau &
Meyer, 1971; Coser & Rosenberg, 1976; Mouzelis, dalam Setiwan,1998).
Fungsi birokrasi menurut Tjokrowinoto menyatakan ada
4 yaitu :
1. Fungsi instrumental,yaitu
menjabarkan perundang-undangan dan kebijaksanaan public dalam kegiatan-kegiatan
rutin untuk memproduksi jasa,pelayanan ,komoditi,atau mewujudkan situasi
tertentu.
2. Fungsi
politik,yaitu member input berupa saran, informasi, visi ,dan profesionalisme
untuk mempengaruhi sosok kebijaksanaan.
3. Fungsi katalis
Public Interest,yaitu mengartikulasikan aspirasi dan kepentingan public dan
mengintegrasikan atau menginkorporasikannya di dalam kebijaksanaan dan
keputusan pemerintah
4. Fungsi Entrepreneural,
yaitu memberi inspirasi bagi kegiatan-kegiatan inovatif dan non rutin,
mengaktifkan sumber-sumber potensial yang idle, dan menciptakan resources
–mix yang optimal untuk mencapai tujuan (Feisal tamin,2002 h,5)
Model
Negara dan Birokrasi Pasca Kolonial.
Model
ini diperkenalkan oleh Anderson (1983). Menurutnya, negara dan birokrasi
merupakan kelanjutan dalam pola-pola tertentu yang berasal dari negara kolonial
sebelumnya. Dalam hal demikian, model ini mirip dengan konsep negara
Beamstenstaat (negara pegawai) versi McVey, yang menunjuk adanya persamaan gaya
politik pemerintahan (masa Orde Baru) dengan gaya pemerintahan kolonial
Belanda, terutama pada masa-masa akhir tahun 1930-an. Keduanya memperlihatkan
ciri-ciri yang sama dalam hal perhatiannya terhadap proses administrasi
daripada terhadap proses politik, keahlian teknis, dan pembangunan ekonomi.
Sehingga negara menjadi mesin birokrasi yang efisien (the state as efficient
bureaucratic machine) Tetapi, berbeda dengan McVey yang lebih menekankan
gejala-gejala di permukaan, Anderson lebih menukik dengan memberikan penjelasan
teoritis tentang kontradiksi yang tajam antara negara dan bangsa.
Kontradiksi
itu terjadi antara kepentingan-kepentingan negara di satu pihak dengan
kepentingan-kepentingan masyarakat yang lebih populis, partisipatoris, dan
representatif pada pihak lain. Dalam dua kutub kepentingan terbentang spektrum
luas.
Pertama: kutub kepentingan negara secara
penuh mensubordinasikan kepentingan-kepentingan partisipatoris (seperti pada
situasi rezim militeris atau kolonialis).
Kedua: pada kutub
yang lain, keadaan ketika negara mengalami disintegrasi, dan kekuasaan sedang
bergeser kepada organisasi ekstra negara yang berbasis suka rela dan massal,
seperti halnya dalam studi revolusi.
Dalam perspektif
modernisasi, model negara pasca kolonial memiliki dua varian.
Pertama: model ini
seharusnya bersifat netral, mewakili kepentingan umum, dan tidak terkait dengan
kepentingan-kepentingan golongan tertentu. Karena itu, para pendukungnya,
terutama yang duduk dalam pemerintahan, adalah figur-figur modern yang memiliki
keahlian tertentu, atau dengan kata lain para teknokrat.
Kedua: ketika
harapan-harapan idealistik dalam varian pertama mulai dilaksanakan, tugas utama
negara pasca kolonial dalam mendukung pembangunan nasional adalah
menciptakan tertib politik. Stabilitas suatu negara berfungsi sebagai prasyarat
kelangsungan suatu bangsa. Maka, "modern" atau "tidak
modern" suatu bangsa bukan ditentukan oleh ada tidaknya lembaga,
mekanisme, atau nilai-nilai demokrasi, melainkan pada kemampuannya
menciptakan dan memelihara stabilitas sosial, politik, dan ekonomi.
Birokrasi
Pada Masa Kemerdekaan :
Setelah memperoleh kemerdekaan,
Negara ini berusaha mencari format pemerintahan yang cocok untuk kondisi
saat itu. Berakhirnya masa pemerintahan kolonial membawa perubahan sosial
politik yang sangat berarti bagi kelangsungan sistem birokrasi pemerintahan.
Perbedaan pandangan yang terjadi diantara pendiri bangsa di awal masa
kemerdekaan tentang bentuk Negara yang akan didirikan, termasuk dalam
pengaturan birokrasinya, telah menjurus ke arah disintegrasi bangsa dan
keutuhan aparatur pemerintahan.Pada masa awal kemerdekaan, Negara ini mengalami
perubahan bentuk Negara, dan ini yang berimplikasi pada pengaturan
aparatur Negara atau birokrasi.Perubahan bentuk Negara dari kesatuan menjadi
federal berdasarkan konstitusi RIS melahirkan dilematis dalam cara pengaturan
aparatur pemerintah. Setidak-tidaknya terdapat dua persoalan dilematis
menyangkut birokrasi pada saat itu.Pertama, bagaimana cara menempatkan pegawai
Republik Indonesia yang telah berjasa mempertahankan NKRI, tetapi relatif
kurang memiliki keahlian dan pengalaman kerja yang memadai. Kedua,
bagaimana menempatkan pegawai yang telah bekerja pada Pemerintah belanda yang
memiliki keahlian, tetapi dianggap berkhianat atau tidak loyal terhadap
NKRI.Selain perubahan bentuk Negara, berganti-gantinya kabinet mempengaruhi jalannya
kinerja pemerintah. Seringnya terjadi pergantian kabinaet
menyebabkan birokrasi sangat terfragmentasi secara politik. Kinerja
birokrasi sangat ditentukan oleh kekuatan
politik yang berkuasa pada saat itu. Di dalam birokrasi tejadi tarik-menarik
antar berbagai kepentingan partai politik yang kuat pada masa itu.Banyak
kebijakan atau program birokrasi pemerintah yang lebih kental nuansa
kepentingan politik dari partai yang sedang berkuasa atau berpengaruh dalam
suatu departemen.Dalam memandang model birokrasi yang terjadi seperti ini, Karl
D Jackson menyebutnya sebagai bureaucratic polity. Model ini merupakan
birokrasi dimana negara menjadi akumulasi dari kekuasaan dan menyingkirkan
peran masyarakat dari politik dan
pemerintahan. Jika melihat peta politik pada masa orde
lama, peran seorang presiden sangat dominan dalam mengatur
segala kebijakan baik Melihat realitas birokrasi di Indonesia, sedikit
berbeda dengan pendapat Karl D. Jackson,
Richard Robinson dan King menyebut birokrasi di Indonesia sebagai
bureaucratic Authoritarian. Ada juga yang menyebutnya sebagai
birokrasi patrimonial. Pada masa orde baru, sistem politik didominasi atau
bahkan dihegemoni oleh Golkar dan ABRI. Kedua kekuatan ini telah
menciptakankehidupan politik yang tidak sehat. Hal itu bisa dilihat adanya
hegemonic partysystem diistilahkan oleh Afan Gaffar (1999). Sedangkan menurut
William Liddle,kekuasaan orde baru terdiri
dari (1) kantor kepresidenan yang kuat, (2) militer yang aktif
berpolitik, dan (3) birokrasi sebagai pusat pengambilan kebijakan yang tepat.
Birokrasi Pada Masa Orde Lama
Birokrasi di Indonesia mengalami
sejarah yang cukup panjang dan beragam, sejak masa kemerdekaan tahun 1945.
Pada masa awal kemerdekaan, ada semacam kesepakatan pendapat bahwa birokrasi
merupakan sarana politik yang baik untuk mempersatukan bangsa. Anggapan ini
beralasan karena hanya birokrasilah satu-satunya sarana yang dapat menjangkau
rakyat sampai ke desa-desa. Semangat kejuangan masih sangat kental mewarnai
birokrasi di Indonesia. Para birokrat masih menggelora semangatnya untuk
berjuang demi negara dan persatuan bangsanya, sehingga tidak jarang kelompok
mayoritas mau mengalah terhadap minoritas demi kesatuan dan persatuan bangsa.
Semangat primordial untuk sementara dapat dikesampingkan oleh semangat
nasional. Satu-satunya organisasi politik yang bersifat primordial yang
mengancam negara dan bangsa Indonesia adalah Partai Komunis Indonesia (PKI).
Mereka melakukan pemberontakan untuk menguasai birokrasi pemerintah dan sekaligus
mengganti pemerintah yang sah. Pada perjalanan masa berikutnya, birokrasi di
Indonesia mulai dihinggapi oleh aspirasi primordial yang kuat. Birokrasi
Pemerintah mulai menjadi incaran dari kekuatan-kekuatan politik yang ada.
Partai-partai politik mulai melirik untuk menguasai birokrasi pemerintah.
Bahkan pada antara tahun 1950-1959, birokrasi pemerintah berada dibawah
kepemimpinan partai politik yang menjadi mayoritas di lembaga DPR. DPR
menjadi kuat, tapi sebaliknya lembaga eksekutif di mana birokrasi sebagai
pelaksana politik menjadi semakin lemah.
Hal demikian diakibatkan oleh
parta-partai politik yang berdiri pada waktu itu sebagai akibat dari adanya
Maklumat 3 Nopember 1945 yang memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk
mendirikan partai politik sesuai dengan aspirasinya. Akhirnya partai-partai
beramai-ramai ingin menguasai berbagai
departemen maupun kementerian,
bahkan tidak jarang terjadi jatuh bangunnya Kabinet pemerintah hanya
dikarenakan oleh tidak meratanya pembagian kementerian yang diinginkan oleh
partai-partai. Pada masa ini pula birokrasi mempunyai loyalitas ganda; satu
segi kepada partai politik yang didukungnya dan pada sisi lain kepada
masyarakat yang dilayaninya.
Kemudian pada masa antara tahun
1960-1965 birokrasi menjadi incaran
kekuatan politik yang ada. Pada saat
itu ada tiga kekuatan politik yang cukup besar yaitu, nasionalis, agama dan
komunis (Nasakom) yang berusaha berbagi wilayah kekuasaan atau kaplinganya pada
berbagai Departemen. Di bawah label Demokrasi Terpimpin, tiga kekuatan politik
tersebut membangun akses ke birokrasi pemerintah. Keadaan sistem politik yang
primordial membawa pengaruh kuat terhadap birokrasi, sehingga birokrasi
pemerintah sudah mulai nampak ke-pemihakannya kepada kekuatan politik yang ada.
Lebih tepat dapatdikatakan bahwa birokrasi saat itu sudah terperangkap ke dalam
jaring perangkap yang dipasang oleh kekuatan politik Nasakom.
Hal ini dapat dilihat pada saat
meletusnya peristiwa G.30 S/PKI kekuatan komunis telah masuk hampir di
seluruh departemen pemerintah, sementara kekuatan nasionalis dan agamahanya
mendominasi sebagian kecil dari departemen-departemen yang ada. Kemudian pada
masa antara 1965 sampai masa Orde Baru (era pemerintahan Soeharto),
birokrasi lebih jelas kepemihakannya kepada kekuatan sosial politik yang dominan;
dalam hal ini Golkar. Salah satu faktor yang menentukan kemenangan Golkar pada
enam kali pemilu (sampai 1997) adalah karena peranan birokrasi
yang cukup kuat. Kesadaran
politik di masa awal kemerdekaan yang memandang birokrasi sebagai alat
pemersatu bangsa yang sangat ampuh, rupanya dipakai pula
pada masa tersebut. Politik
floating-mass (masa mengambang) men-jadikan
Birokrasi dapat menjangkau ke
seluruh wilayah pelosok desa-desa di tanah air kita ini. Hal ini merupakan
potensi kemenangan yang diraih Golkar untuk menguasai birokrasi, apalagi
birokrat diperbolehkan untuk menggunakan hak pilihnya (menjadi peserta pemilu) yang
pilihannya tidak ada lain kecuali harus memilih Golkar sehingga dengan demikian
birokrasi identik dengan Golkar. Dengan menggunakan model 3 jalur yang dikenal
dengan jalur ABG (ABRI, Birokrasi dan keluarga Golkar) semakin jelas
mengisyaratkan bahwa birokrasi sudah terpolitisir oleh satu kekuatan politik
tertentu. Mulai dari Presiden, Menteri, Gubernur dengan segala jajaran di
bawahnya duduk di kepengurusan Golkar menunjukkan
betapa sulitnya membedakan antara
pemerintah (birokrasi) dan politik (Golkar). KORPRI yang diharapkan menjadi
wadah aktivitas kedinasan seluruh pegawai negeri yang keberadaannya tidak
berafiliasi kepada satu kekuatan politk apapun, namun betapa sulitnya
mem-pertahankan kenetralannya manakala melihat hanya Golkarlah satu-satunya kekuatan
sosial politik yang mempunyai akses ke birokrasi sedang kekuatan politik yang
lain hanya berada di luar garis. Angin reformasi mulai bergulir sejak rezim
Soeharto jatuh, dan muncul Habibi menggantikannya. Namun kondisi birokrasi di
Indonesia tidak jauh berubah, karena semua tahu bahwa naiknya Habibi (1998)
menggantikan Soeharto
adalah didukung sepenuhnya oleh
Golkar. Kemudian Habibi digantikan oleh duet Gus Dur-Mega memunculkan nuansa
baru dibidang pemerintahan termasuk birokrasi, karena pemerintahan Gus Dur
disusun atas dasar kompromistis dari hampir semua kekuatan politik yang ada
sehingga memunculkan apa yang kemudian dikenal dengan Kabinet Persatuan
Nasional atau Kabinet Gotong Royong, di mana para menteri yang duduk di
dalamnya terdiri dari unsur partai politik besar yang memperoleh suara
signifikan dalam pemilu 1999. Dari sinilah
kemudian wacana tentang birokrasi
menjadi marak kembali. Salah satu bentuk gerakan reformasi adalah reformasi di
bidang birokrasi.
Reformasi birokrasi sebagai bagian
dari reformasi administrasi, walaupun menyangkut dimensi yang luas dan komplek
namun memiliki tujuan yangjelas yaitu meningkatkan administrative performance
dari birokrasi pemerintah. Agenda kebijakan reformasi birokrasi diarahkan
untuk memperbaiki kinerja administrasi baik secara individu, kelompok maupun
institusi agar dapat mencapai tujuan kerja mereka lebih efektif, lebih
ekonomis, dan lebih cepat. Jelasnya, bahwa pandangan ini lebih spesifik lagi
ditujukan padapenyempurnaan struktur birokrasi dan perubahan perilaku
aparatnya menjadi conditio sine qua non bagi upaya peningkatan kinerja
birokasi pemerintah. Siagian (1983) melihat pentingnya arah reformasi
administrasi di Indonesia lebih ditujukan kepada pengembangan administrativeinfrastructure
yang meliputi pengembangan aparat birokrasi, struktur organisasi, sistem dan
prosedur kerja. Sedangkan menurut Tjokroamidjojo (1985) ketika menganalisis
administrasi pembangunan di Indonesia menegaskan bahwa arah reformasi birokrasi
perlu ditujukan ke tujuh wilayah penyempurnaan administrasi yaitu:
penyempurnaan dalam bidang pembiayaan pembangunan; penyempurnaan dalam
bidang penyusunan program-program pembangunan di berbagai bidang ekonomi dan
non-ekonomi dengan pendekatan integrative (integrative approach); re-orientasi
kepegawaian negeri kearah produktivitas, prestasi dan pemecahan masalah;
penyempurnaan administrasi untuk mendukung pembangunan daerah; administratif
partisipatif yang mendorong kemampuan dan kegairahan masyarakat; kebijaksanaan
administratif dalam rangka menjaga stabilitas dalam proses pembangunan; dan
bersihnya pelaksanaan administrasi negara (good governance).
Birokrasi Pada Masa Orde Baru
Pada masa
antara 1965 sampai masa Orde Baru (era pemerintahan Soeharto), birokrasi
lebih jelas kepemihakannya kepada kekuatan sosial politik yang dominan; dalam
hal ini Golkar. Salah satu faktor yang menentukan kemenangan Golkar pada enam
kali pemilu (sampai 1997) adalah karena peranan birokrasi yang cukup kuat.
Kesadaran politik di masa awal kemerdekaan yang memandang birokrasi sebagai
alat pemersatu bangsa yang sangat ampuh, rupanya dipakai pula pada masa
tersebut. Politik floating-mass (masa mengambang)
men-jadikan birokrasi dapat menjangkau ke seluruh wilayah pelosok desa-desa di
tanah air kita ini. Pada masa orde baru tersebut terlihat sekali
terjadinya politisasi terhadap birokrasi
yang seharusnya lebih berfungsi sebagai pelayan masyarakat. Jajaran birokrasi
diarahkan sebagai instrument politik kekuasaan Soeharto pada saat itu.Seperti dalam
pandangan William Liddle, bahwa Soeharto sebagai politisi yang mempunyai
otonomi relatif, merupakan pelaku utama transformasi meski puntidak penuh model
pemerintahan yang bersifat pribadi kepada yang lebih terinstitusionalisasi.
Birokrasi dijadikan alat mobilisasi masa guna mendukung Soeharto dalam setiap
Pemilu. Setiap Pegawai Negeri Sipil (PNS) adalah anggota Partai Golkar.
Meskipun pada awalnya, Golkar tidak ingin disebut sebagai partai,tetapi hanya
sebagai golongan kekaryaan. Namun permasalahannya, Golkar merupakan
kontestan Pemilu dan itu berarti dia adalah partai politik.Pada masa orde baru,
pemerintahan yang baik belum terlaksana. Misalnya, saja dalam pelayanan dan
pengurusuan administrasi masih saja berbelit-belit danmemerlukan waktu yang
lama. Membutuhkan biaya tinggi karena ada pungutan- pungutan liar.
Pembangunan fisik pun juga masih sering terbengkalai atau lamban dalam
perbaikan.
Hal ini merupakan potensi kemenangan
yang diraih Golkar untuk menguasai birokrasi, apalagi birokrat diperbolehkan
untuk menggunakan hak pilihnya (menjadi peserta pemilu) yang pilihannya tidak
ada lain kecuali harus memilih Golkar sehingga dengan demikian birokrasi
identik dengan Golkar. Dengan menggunakan model 3 jalur yang dikenal dengan
jalur ABG (ABRI, Birokrasi dan keluarga Golkar) semakin jelas mengisyaratkan
bahwa birokrasi sudah terpolitisir oleh satu kekuatan politik tertentu. Mulai
dari Presiden, Menteri, Gubernur dengan segala jajaran di bawahnya duduk di
kepengurusan Golkar menunjukkan betapa sulitnya membedakan antara pemerintah
(birokrasi) dan politik (Golkar). KORPRI yang diharapkan menjadi wadah
aktivitas kedinasan seluruh pegawai negeri yang keberadaannya tidak
berafiliasi kepada satu kekuatan politk apapun, namun betapa sulitnya mem-pertahankan
kenetralannya manakala melihat hanya Golkarlah satu-satunya kekuatan sosial
politik yang mempunyai akses ke birokrasi sedang kekuatan politik yang lain
hanya berada di luar garis. Angin reformasi mulai bergulir sejak rezim Soeharto
jatuh, dan muncul Habibi menggantikannya. Namun kondisi birokrasi di Indonesia
tidak jauh berubah, karena semua tahu bahwa naiknya Habibi (1998) menggantikan
Soeharto adalah didukung sepenuhnya oleh Golkar. Kemudian Habibi digantikan
oleh duet Gus Dur-Mega memunculkan nuansa baru dibidang pemerintahan termasuk
birokrasi, karena pemerintahan Gus Dur disusun atas dasar kompromistis dari
hampir semua kekuatan politik yang ada sehingga memunculkan apa yang kemudian
dikenal dengan Kabinet Persatuan Nasional atau Kabinet Gotong Royong, di mana
para menteri yang duduk di dalamnya terdiri dari unsur partai politik besar
yang memperoleh suara signifikan dalam pemilu 1999. Dari sinilah kemudian
wacana tentang birokrasi menjadi marak kembali. Salah satu bentuk gerakan
reformasi adalah reformasi di bidang birokrasi. Reformasi birokrasi sebagai
bagian dari reformasi administrasi, walaupun menyangkut dimensi yang luas dan
komplek namun memiliki tujuan yang jelas yaitu meningkatkan administrative
performance dari birokrasi pemerintah. Agenda kebijakan reformasi
birokrasi diarahkan untuk memperbaiki kinerja administrasi baik secara
individu, kelompok maupun institusi agar dapat mencapai tujuan kerja mereka
lebih efektif, lebih ekonomis, dan lebih cepat. Jelasnya, bahwa pandangan ini
lebih spesifik lagi ditujukan pada penyempurnaan struktur birokrasi dan
perubahan perilaku aparatnya menjadi conditio sine qua non
bagi upaya peningkatan kinerja birokasi pemerintah. Siagian (1983) melihat
pentingnya arah reformasi administrasi di Indonesia lebih ditujukan kepada
pengembangan administrative infrastructure yang meliputi pengembangan aparat
birokrasi, struktur organisasi, sistem dan prosedur kerja. Sedangkan menurut
Tjokroamidjojo (1985) ketika menganalisis administrasi pembangunan di Indonesia
menegaskan bahwa arah reformasi birokrasi perlu ditujukan ke tujuh wilayah
penyempurnaan administrasi yaitu: penyempurnaan dalam bidang pembiayaan
pembangunan; penyempurnaan dalam bidang penyusunan program-program pembangunan
di berbagai bidang ekonomi dan non-ekonomi dengan pendekatan integrative
(integrative approach); re-orientasi kepegawaian negeri kearah produktivitas,
prestasi dan pemecahan masalah; penyempurnaan administrasi untuk mendukung
pembangunan daerah; administratif partisipatif yang mendorong kemampuan dan
kegairahan masyarakat; kebijaksanaan administratif dalam rangka menjaga
stabilitas dalam proses pembangunan; dan bersihnya pelaksanaan administrasi
negara (good governance).
Birokrasi
Era Reformasi
Publik mengharapkan bahwa dengan terjadinya
Reformasi, akan diikuti pula dengan perubahan besar pada desain kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, baik yang menyangkut dimensi
kehidupan politik, sosial, ekonomi maupun kultural. Perubahan struktur, kultur
dan paradigma birokrasi dalam berhadapan dengan masyarakat menjadi begitu
mendesak untuk segera dilakukan mengingat birokrasi mempunyai kontribusi yang
besar terhadap terjadinya krisis multidimensional yang tengah terjadi sampai
saat ini. Namun, harapan terbentuknya kinerja birokrasi yang berorientasi pada
pelanggan sebagaimana birokrasi di Negara - Negara maju tampaknya masih
sulit untuk diwujudkan. Osborne dan Plastrik ( 1997 ) mengemukakan bahwa
realitas sosial, politik dan ekonomi yang dihadapi oleh Negara - Negara yang sedang
berkembang sering kali berbeda dengan realitas sosial yang ditemukan pada
masyarakat di negara maju.Realitas empirik tersebut berlaku pula bagi birokrasi
pemerintah, dimana kondisi birokrasi di Negara - Negara berkembang saat
ini sama dengan kondisi birokrasiyang dihadapi oleh para reformis di Negara -
Negara maju pada sepuluh dekade yang lalu. Persoalan birokrasi di Negara
berkembang, seperti merajalelanya korupsi, pengaruh kepentingan politik
partisan, sistem Patron-client yang menjadi norma birokrasi sehingga pola
perekrutan lebih banyak berdasarkan hubungan personal dari pada faktor
kapabilitas, serta birokrasi pemerintah yang digunakan oleh masyarakat sebagai
tempat favorit untuk mencari lapangan pekerjaan merupakan sebagian fenomena
birokrasi yang terdapat di banyak Negara berkembang,
termasuk di Indonesia. Kecenderungan birokrasi untuk bermain politik
pada masa reformasi,tampaknya belum sepenuhnya dapat dihilangkan dari kultur
birokrasi diIndonesia. Perkembangan birokrasi kontemporer memperlihatkan bahwa
arogansi birokrasi sering kali masih
terjadi. Kasus Brunei Gate dan Bulog Gate setidak - tidaknya
memperlihatkan bahwa pucuk pimpinan birokrasi masih tetap mempraktikkan
berbagai tindakan yang tidak transparan dalam proses pengambilan
keputusan. Birokrasi yang seharusnya bersifat apolitis, dalam kenyataannya
masih saja dijadikan alat politik yang efektif bagi kepentingan
- kepentingan golongan atau partai politik tertentu. Terdapat pula
kecenderungandari aparat yang kebetulan memperoleh kedudukan atau jabatan
strategis dalam birokrasi, terdorong untuk bermain dalam kekuasaan dengan
melakukan tindak KKN.
Reformasi Birokrasi
Reformasi birokrasi harus
merupakan bagian dari reformasi sistem dan proses, administrasi negara. Dalam
konteks (SANKRI), reformasi administrasi negara dan birokrasi di dalamnya pada
hakikinya merupakan transformasi berbagai dimensi nilai yang terkandung dalam
konstitusi. Dalam hubungan itu, reformasi birokrasi juga merupakan jawaban atas
tuntutan akan tegaknya aparatur pemerintahan yang berdaya guna, berhasil guna,
bertanggung jawab, bersih dan bebas KKN memerlukan pendekatan dan dukungan
sistem administrasi negara yang mengindahkan nilai dan prinsip-prinsip good
governance, dan sumber daya manusia aparatur negara (pejabat politik, dan
karier) yang memiliki integritas, kompetensi, dan konsistensi dalam menerapkan
prinsip-prinsip tersebut, baik dalam jajaran eksekuti, legislatif, maupun
yudikatif. Selain dari unsur aparatur negara tersebut, untuk mewujudkan good
governance dibutuhkan juga komitmen dan konsistemsi dari semua pihak, aparatur
negara, dunia usaha, dan masyarakat; dan pelaksanaannya di samping menuntut
adanya koordinasi yang baik, juga persyaratan integritas, profesionalitas, etos
kerja dan moral yang tinggi. Dalam rangka itu, diperlukan pula perubahan
perilaku yang sesuai dengan dimensi-dimensi nilai SANKRI, "penegakan hukum
yang efektif” (effective law enforcement), serta pengembangan dan penerapan
sistem dan pertanggung-jawaban yang tepat, jelas, dan nyata, sehingga
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dapat berlangsung secara
berdayaguna dan berhasilguna, bersih dan bertanggung jawab serta bebas KKN.
Untuk dapat meluruskan kembali
birokrasi pada posisi dan misi atau perannya yang sebenamya selaku “pelayan
publik” (public servant), diperlukan kemampuan dan kemauan kalangan
birokrasi untuk melakukan langkah-langkah reformasi birokrasi yang mencakup
perubahan perilaku yang mengedepankan “netralitas, professionalitas,
demokratis, transparan, dan mandiri”, disertai perbaikan semangat kerja, cara
kerja, dan kinerja terutama dalam pengelolaan kebijakan dan pemberian pelayanan
publik, serta komitmen dan pemberdayaan akuntabilitas instansi pemerintah.
Untuk memperbaiki cara kerja birokrasi diperlukan birokrasi yang berorientasi
pada hasil. Di sinilah peran akuntabilitas dalam menyatukan persepsi anggota
organisasi yang beragam sehingga menjadi kekuatan bersama untuk mencapai
kemajuan dalam mewujudkan cita-cita dan tujuan NKRI. Selanjutnya, diperlukan
sosok pemimpin yang memiliki komitmen dan kompetensi terhadap reformasi
administrasi negara secara tepat, termasuk dalam penyusunan agenda dan
pelaksanaan kebijakan pemerintahan dan pembangunan yang ditujukan pada
kepentingan rakyat, peningkatan ketahanan dan daya saing bangsa. Dalam rangka
itu, diperlukan pula reformasi struktural, seperti independensi sistem
peradilan dan sistem keuangan negara, disertai upaya peningkatan transparansi
dan akuntabilitasnya kepada publik. Untuk memberantas korupsi diperlukan
agenda dan prioritas yang jelas dengan memberikan sanksi kepada pelakunya (law
enforcement). Di samping itu perlu dilakukan kampanye kepada masyarakat
agar korupsi dipandang sebagai penyakit sosial, tindakan kriminal yang
merupakan musuh publik. Pers sebagai kontrol sosial harus diberi kebebasan yang
bertanggung jawab dalam mengungkap dan memberitakan tindak korupsi.
Pengembangan budaya maIu harus disertai dengan upaya menumbuhkan budaya
bersalah individu dalam dirinya (quilty feeling).
Akhirnya satu kondisi dasar untuk
pemberantasan korupsi adalah suatu keranka hukum nyata dan menegakkan hukum
tanpa campur tangan politik. Tujuannya adalah untuk menghindari konflik
kepentingan dan intervensi kekuasaan terhadap proses hukum. Reformasi birokrasi
akan dapat menjadi syarat pemberantasan korupsi, bila terwujud badan peradilan
dan sistem peradilan yang independen, didukung dengan keterbukaan dan sistem
pengawasan yang efektif.
BIROKRASI DAN PERKEMBANGANNYA
Secara bahasa, istilah birokrasi
berasal dari bahasa prancis”bureau” yang berarti kantor atau meja tulis dan
dari bahasa yunani “createin” yang berarti mengatur. Pada mulanya, istilah ini
di gunakan untuk menunjuk pada suatu sistematika kegiatan kerja yang di atur
yang di perintah oleh suatu kantor melalui kegiatan kegitan administrasi (
ernawan, 1998). Dalam konsep bahasa inggris secara umum, birokrasi disebut
dengan civil service. Selain itu juga sering di sebut dengan public sector,
public service atau public administration.
Istilah birokrasi sering kali di
kaitkan dengan organisasi pemerintah, padahal birokrasi ciptaan Max Weber itu
bias terjadi baik di organisasi pemerintah maupun organisasi non pemerintah. Di
suatu perusahaan birokrasi itu bisa terjadi. Demikian pula di suatu organisasi
yang besar birokrasi akan terjadi. Dalam dunia pemerintahan konsep birokrasi
dimaknai sebagai proses dan system yang di ciptakan secara rasional untuk
menjamin mekanisme dan system kerja yang teratur, pasti dan mudah dikendalikan.
Sedangkan dalam dunia bisnis, konsep
birokrasi diarahkan untuk efisiensi pemakaian sumberdaya dengan pencapaian
output dan keuntungan yang optimum.
Kata “birokrasi” dapat mengandung pengertian :
a. System
pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai pemerintah karena telah bepegang pada
hierarki dan jenjang jabatan.
b. Cara bekerja
atau pekerjaan yang lamban, serta menurut tata aturan (adat, dsb) yang banyak
liku likunya dan sebagainya.
Beberapa definisi birokrasi menurut para ahli :
-
Max weber,
mendefinisikan birokrasi sebagai sutau hierarki yang ditetapkan secara jelas
dimana pemegang kantor mempunyai fungsi yang sangat spesifik dan
mengaplikasikan atau menerapkan aturan universal dalam semngat impoersonalitas
yang formalistik.
- Mifta toha,
mendefinisikan birokrasi sebagai system untuk mengatur organisasi yang besar
agar diperoleh pengelolahan yang efisien, rasional, dan efektif.
- Rod Haque
(1993), mendefinisikan birokrasi adalah istitusi pemerintahan yang melaksanakan
tugas Negara.
-
Kamus besar
bahasa Indonesia, birokrasi adalah sistem pemerintahan yang dijalankan oleh
pegawai pemerintah karena telah berpegang pada hierarki dan jenjang jabatan.
- Wikipedia,
birokrasi diartikan sebagai suatu organisasi yang memiliki rantai komando
dengan bentuk piramida dimana lebih banyak orang berada ditingkat bawah dari
pada tingkat atas. Biasanya ditemui pada instansi yang sifatnya administrative
maupun militer.
2.
Konsep
Birokrasi
Istilah birokrasi tentu7 sudah tidak asing lagi dikalangan masyarakat,
terutama dalam penyediaan pelayanan public atau birokrasi di8identikkan sebagai
sesuatu yang lama, bertele-tele, dan rigit (kaku). Hal tersebut karena
birokrasi terikat oleh peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Secara umum
birokrasi merupakan instrument penting dalam masyarakat modern saat ini yang
kehadirannya tak mungkin terelakkan. Dimana birokrasi ini merupakan konsekuensi
logis dari tugas Negara (pemerintah) daloam proses penyelenggaraan pelayanan
publik.
Weber (dalam Suradinata, 2002;27) mengatakan bahwa “birokrasi adalah
sebagai salah satu sistem otorita yang ditetapkan secararasionaloleh berbagai
peraturan”. Birakrasi dimaksudkan untuk mengorganisasi secara teratur suatu
pekerjaan yang harus dikerjakan oleh banyak orang. Sejalan dengan itu, Blau dan
Page (dalam suradinata, 2002;27) memformulasikan “birokrasi sebagai tipe dari
oorganisasi, dimana dimaksudkan untuk mencapai tugas-tugas administrative besar
dengan cara mengkoordinasikan secara sistematika pekerjaan orang banyak’”.
Pelaksanaan birokrasi disetiap Negara
itu berbeda-beda tergantung dari sistem pemerintah yang dianut oleh setiap
Negara tersebut. Jelas tentu berbeda dengan birokrasi di Negara maju dengan
birokrasi di Negara berkembang, dimana di Negara maju birokrasinya sudah tentu
bias kita liat lebih bagus proses pelayanan publiknya dibandingkan dengan
pelayanan public di Negara berkembang yang proses peyanan publiknya yang lama,
kaku, dan bertele-tele. Dimana pelayanan public di Negara berkembang belum bisa
dikatakan baik karena proses pelayanan publiknya belum bias di nikmati oleh
seluruh lapisan masyarakat karena dipengaruhi oleh beberapa factor seperti
sumber daya manusia, kondisi geografis, sumber penerimaan dan teknologi
informasi.
3.
Ciri-Ciri
Birokrasi
Sebagaimana dapat dilihat dari banyak buku mengenai birokrasi bahwa ciri
pokok dari struktur birokrasi seperti yang diuraikan oleh max weber sebagai
berikut:
1.
Jabatan
administratif yang terorganisasi/tersusun secara hierarkis.
2.
Setiap
jabatan mempunyai wilayah kompetensinya sendiri.
3.
Pegawai
negeri ditentukan, tidak dipilih berdasarakan pada kualifikasi teknik yang
ditunjukkan dengan ijazah atau ujian.
4.
Pegawai
negeri menerima gaji tetap sesuai pangkat atau kedudukannya.
5. Pekerjaan
merupakan karir yang terbatas, atau pada pokoknya pekerjaannya sebagai pegawai
negeri.
6. Para pejabat
tidak memiliki kantor sendiri.
7. Para pejabat
sebagai subjek untuk mengontrol dan mendisiplinkan.
8. Promosi
didasarkan pada pertimbangan kemampuan yang melebihi rata-rata.
Selanjutnya, dari pengertian
birokrasi, Rourke (1979) memberikan ciri-ciri birokrasi sebagai berikut:
a. Adanya
pembagian kerja secara hierarki dan rinci.
b. Didasarkan
pada aturan-aturan yang tertulis yang diterapkan secara impersonal.
c. Dijalankan
oleh staf yang bekerja full time, seumur hidup dan professional.
d. Tidak turut
memegang kepemilikan atas alat-alat pemerintahan, pekerjaan, keuangan, dan
jabatannya.
e.
Hidup dari
gaji dan pendapatan yang diterimanya tidak didasarkan secara langsung atas
dasar kinerja mereka.
Masih dari pengertian birokrasi, Beetham
(1990) mengemukakan bahwa ciri sentral dari birokrasi adalah:
a. Bagian kerja
yang sangat sistematis.
b.
Problema
administrasi yang kompleks dipecah-pecah kedalam tugas-tugas yang bersifat
berulang dan dapat dikelola, yang masing-masing merupakan wilayah kerja dari
unit-unit tertentu.
c. Dikoordinir
dibawah hierarki komando yang bersifat sentralistis.
Eddhi Sudarto, yang
mengutip Weber, memberikan ciri-ciri birokrasi sebagai berikut:
a. Kegiatan
sehari-hari yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan organisasi didistribusikan
melalui cara yang telah ditentukan, dan dianggap sebagai tugas resmi.
b. Pengoorganisasian
kantor yang mengikutinprinsip hierarki yaitu bahwa unit yang lebih rendah dari
sebuah kantor berada dibawah administrator dan pembinaan yang lebih tinggi.
c. Pelaksanaan
tugas diatur oleh suatu sistem peraturan abstrak yang konsisten dan mencakup
penerapan aturan tersebut dalam kasus-kasus tertentu.
d. Seorang
pejabat yang ideal melaksanakan tugas-tugasnya tanpa perasaan-perasaan dendam,
dan oleh karena itu juga tanpa perasaan kasih saying.
e. Pekerjaan
dalam suatu organisasi birokratis didasar pada kualifikasi teknis dan
dilindungi dari kemungkinan pemecatan secara sepihak.
f. Pengalaman
secara universal cenderung mengemukakan bahwa tipe organisasi a dministrative
murni yang berciri birokratis dilhat dari sudut pandangan yang semata-mata
bersifat teknis, mampu mencapai tingkat efisiensi yang tinggi.
4.
Sejarah
Birokrasi di indonesia
a.
Birokrasi
Masa Kerajaan
Sejarah perjalanan birokrasi di Indonesia tidak pernah terlepas dan
pengaruh system politik yang berlangsung. Apa pun system politik yang
diterapkan selama kurun waktu sejarah pemerintahan di Indonesia, birokrasi
tetap memegang peran sentral dalam kehidupan masyarakat. Baik dalam system
politik sentralistik maupun system politik yang demokratis sekalipun, seperti
yang diterapkan Negara-negara maju, keberadaan birokrasi sulit dijauhkan dari
aktivitas-aktivitas dan kepentingan-kepentingan politik pemerintah.
Sebagian besar wilayah Indonesia sebelum
kedatangan bangsa asing pada abad ke-16, menganut sistem kekuasaan dan
pengaturan masyarakat yang berbentuk sistem kerajaan. Dalam system kerajaan,
puncuk pimpinan ada di tangan raja sebagai pemegang kekuasaan tunggal dan
absolut. Segala keputusan ada di tangan raja dan semua masyarakat harus tunduk
dan patuh pada kehendak sang raja.
Ciri ciri birokrasi pada masa
kerajaan adalah :
- Penguasa
menganggap dan menggunakan administrasi public sebagai urusan pribadi.
-
Administrasi
adalah perluasan rumah tangga istananya.
- Tugas pelayanan
di tunjukkan kepada pribadi sang raja.
- Gaji dari
raja kepada pegawai kerajaan pada hakikatnya adalah anugerah yang juga dapat
ditarik sewaktu waktu.
- Para pejabat
kerajaan dapat bertindak sekehendak hatinya terhadap rakyat.
b.
Birokrasi
Masa Kolonial
Pelayanan public pada masa pemerintahan
kolonial belanda tidak terlepas dari sistem administrasi pemerintahan yang
berlangsung pada saat itu. Sistem birokrasi pemerintahan yang dikembangkan
colonial justru sepenuhnya ditujukan untuk mendukung semakin berkembangnya pola
paternalistic yang telah di jiwai pada era kerajaan.
Selama pemerintahan
colonial berkuasa di Indonesia terjadi dualism sistem birokrasi pemerintahan.
Di satu sisi telah mulai diperkenalkan dan diberlakukan sistem administrasi
colonial belanda yang mengenal sistem birokrasi dan administrasi modern, sedangkan
pada sisi lain, sistem administrasi tradisional masih tetap dipertahankan
pemerintahan colonial.
c. Birokrasi Masa Orde Baru
Berakhirnya masa pemerintahan kolonialisme
di Indonesia membawa perubahan social politik yang sangat berarti bagi
kelangsungan sistem birokrasi pemerintahan.perbedaan-perbedaan pandangan yang
terjadi di antara pendiri bangsa di awal masa kemerdekaan tentang bentuk Negara
yang akan didirikan, termaksud dalam pengaturan birokrasinya.
Setidak-tidaknya terdapat
dua persoalan dilematis menyangkut aparat birokrasi pada saat itu . Pertama,
bagaimana cara mendapatkan pegawai Republik Indonesia yang telah berjasa
mempertahankan Republik Indonesia, tetapi relative kurang memiliki keahlian dan
pengalaman kerja yang memadai. Kedua, bagaimana menempatkan pegawai yang
telah bekerja pada pemerintahan belanda yang memiliki keahlian, tetapi dianggap
berkhianat atau tidak loyal terhadap Negara Republik Indonesia (Menpan, 1995).
Pada masa ini akhirnya
birokrasi menjadi begitu superior terhadap publik. Semua aspek kehidupan
masyarakat hamper dapat dipastikan tersentuh oleh kekuasaan birokrasi. Lembaga
perizinan menjadi mekanisme control efektif bagi birokrasi, mulai dari
pelayanan akta kelahiran, kartu penduduk, sampai akta kematian, semuanya telah
menjadi bagian dari upaya birokrasi untuk mengontrol dan memobilisasi potensi
masyarakat bagi kepentingan birokrasi.
d. Birokrasi Di Era Reformasi
Pada era reformasi sekarang ini, lembaga
birokrasi pemerintah baik di pusat maupun daerah masih tergolong besar. Jumlah
dan macam jenisnya di pemerintah pusat merupakan tinggalan dari pemerintah Orde
Baru. Jumlah kementrian negaranya masih besar karena di pertahankan oleh partai
politik sebagai arena bargaining untuk mendukung presiden terpilih, kalau perlu
harus di tambah lagi supaya virus parkiston dan Proliferasi tidak bisa sembuh.
Demikian partai politik sekarang ini diperkirakan menjadi salah satu penyebab
membesarnya lembaga birokrasi pemerintahan.
Sistem politik yang
berubah dari zaman pemerintahan Orde Baru menyadarkan kita bahwa semakin
banyaknya partai politik, maka semakin banyak keinginan partai politik
pemerintahan birokrasi pemerintah. Orang orang parpol akan menjadi pimpinan
lembaga birokrasi pemerintah. Oleh karena itu, perlu diatur sistem hubungan
kerja antara jabatan politik, jabatan Negara, dan jabatan birokrasi karier
pemerintah. Sampai sekarang ini hubungan dari ketiga jabatan tersebut belum ada
tanda-tanda diatur. Adapun yang sekarang ini berlaku adalah cara-cara
pemerintahan Pak Harto yang diteruskan oleh pemeintahan yang sekarang ini.
Tujuan Reformasi Birokrasi
Reformasi birokrasi bertujuan memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada
masyarakat, dengan meningkatkan kualitas sumber daya manusia, sehingga
bisa memberikan kesejahteraan dan rasa keadilan pada masyarakat banyak. Di
sisi lain birokrasi sangat sarat dengan banyak tugas dan fungsi, karena
tidak saja hanya terfokus kepada pelayanan publik, tetapi juga bertugas
dan berfungsi sebagai motor pembangunan dan aktivitas pemberdayaan. Proses
reformasi yang harus dilakukan birokrasi nampaknya bukan hal yang mudah
karena harus memformat ulang dengan penuh kritik dan tindakan korektif
struktur dan konfigurasi birokrasi itu dari yang serba sakral feodal ke
serba rasional dan profesional. Proses reformasi dari berfikir nuansa serba
priyayi (ambtenaar) ke arah birokrasi dengan konfigurasi
otoritas yang rasional, yang dalam tataran empirik dari budaya minta
dilayani menjadi budaya melayani sebagai abdi masyarakat (public
service). Menurut konsep birokrasi Weberian bahwa kekuasaan ada pada
setiap hirearki jabatan. Semakin tinggi hirearki tersebut semakin tinggi
kekuasaannya. Demikian sebaliknya semakin rendah hirearkinya akan semakin
rendah pula kekuasaannya. Rakyat adalah paling rendah hirearkinya sehingga ia
tidak mempunyai kekuasaan apapun.
Secara umum bahwa tujuan dari reformasi birokrasi itu sendiri adalah untuk
merubah tatanan, sistem, tingkah laku dan arah kebijakan-kebijakan yang
dikeluarkan oleh pemerintah sebagai penyelenggara negara, yang pada mulanya
terkesan bahkan terasa otoriter, penuh dengan KKN diubah ke dalam keadaan
birokrasi yang bersih dan netral. Oleh karena itu lembaga Eksekutif yang
berperan sebagai pelaksana aturan-aturan yang telah dibuat olehnya (lembaga
Eksekutif itu sendiri atas persetujuan Legislatif) serta lembaga-lembaga tinggi
negara lainnya yang berwenang untuk membuat kebijakan / peraturan harus dapat
mengkoordinir perangkat-perangkat birokrasi yang bersih (bebas kolusi, korupsi
dan nepotisme) yang berpihak kepada kepentingan rakyat.
Jadi, Reformasi Birokrasi bertujuan untuk :
1.
Memperbaiki kinerja birokrasi agar lebih efektif dan efisien.
2.
Terciptanya birokrasi yang profesional, netral, terbuka, demokratis, mandiri,
serta memiliki integritas dan kompetensi dalam melaksanakan tugas dan tanggung
jawabnya selaku abdi masyarakat dan abdi negara.
3.
Pemerintah yang bersih (clean government).
4.
Bebas KKN.
5.
Meningkatkan kualitas pelayanan terhadap masyarakat.
Strategi
Terwujudnya Reformasi Birokrasi
Menurut
Prof. Eko Prasojo, guru besar sekaligus ahli administrasi negara dari FISIP UI,
untuk terwujudnya reformasi birokrasi, maka diperlukan strategi-strategi
reformasi birokrasi, yaitu :
1. Level
kebijakan, harus diciptakan berbagai kebijakan yang mendorong Birokrasi
yang berorientasi pada pemenuhan hak-hak sipil warga (kepastian hukum, batas
waktu, prosedur, partisipasi, pengaduan, gugatan).
2. Level
organisational, dilakukan melalui perbaikan proses rekrutmen berbasis
kompetensi, pendidikan dan latihan yang sensitif terhadap kepentingan
masyarakat, penciptaan Standar Kinerja Individu, Standar Kinerja Tim dan
Standar Kinerja Instansi Pemerintah.
3. Level
operasional, dilakukan perbaikan melalui peningkatan service quality
meliputi dimensi tangibles, reliability, responsiveness, assurance dan
emphaty.
4. Instansi
Pemerintah secara periodik melakukan pengukuran kepuasan pelanggan dan
melakukan perbaikan.
Strategi birokrasi yang profesional
dalam pelayanan publik ini ditandai dengan beberapa karakteristik antara lain:
i. Perubahan yang besar pada orientasi administrasi
negara tradisional menuju ke perhatian yang lebih besar pada pencapaian hasil
dan pertanggung jawaban pribadi pimpinan.
ii. Keinginan untuk keluar dari birokrasi klasik dan
menjadikan organisasi, pegawai, masa pengabdian dan kondisi pekerjaan yang
lebih luwes.
iii. Tujuan organisasi dan individu pegawai disusun
secara jelas sehingga memungkinkan dibuatkannya tolok ukur prestasi lewat
indikator kinerjanya masing-masing, termasuk pula sistem evaluasi
program-programnya.
iv. Staf pimpinan yang senior dapat memiliki komitmen
politik kepada pemerintah yang ada, dan dapat pula bersikap non partisan dan
netral.
v. Fungsi-fungsi pemerintah bisa dinilai lewat uji
pasar (market test) seperti misalnya dikontrakkan pada pihak ketiga tanpa harus
disediakan atau ditangani sendiri oleh pemerintah.
vi. Mengurangi peran-peran pemerintah misalnya lewat
kegiatan privatisasi.
vii. Birokrasi harus steril dari akomodasi politik yang
menghambat efektivitas pemerintahan.
viii. Rekruitmen dan penempatan pejabat birokrasi yang
bebas dari kolusi, korupsi dan nepotisme.
Selain memerlukan strategi-strategi,
diperlukan pula tahapan-tahapan reformasi birokrasi, yaitu meningkatkan
pelayanan publik guna mendapatkan kembali kepercayaan rakyat, pelayanan publik
yang berorientasi pada pemberdayaan masyarakat, serta perbaikan tingkat
kesejahteraan pegawai.
Tahap-tahap Reformasi Birokrasi yang Ideal
Agar reformasi birokrasi dapat berjalan baik, perlu dilakukan langkah-langkah
manajemen perubahan. Manajemen perubahan adalah proses mendiagnosis,
menginisialisasi, mengimplementasi, dan mengintegrasi perubahan individu,
kelompok, atau organisasi dalam rangka menyesuaikan diri dan mengantisipasi
perubahan lingkungannya agar tetap tumbuh, berkembang, dan menghasilkan
keuntungan.
Ada tujuh
langkah manajemen perubahan yang dikutip dari Harvard Business Essentials tahun
2005, yaitu sebagai berikut:
1. Memobilisasi
energi dan komitmen para anggota organisasi melalui penentuan cita-cita,
tantangan, dan solusinya oleh semua anggota organisasi. Pada tahap ini, setiap
lini dalam instansi pemerintah harus tahu apa yang dicita-citakan instansi, apa
yang mereka hadapi, dan cara menghadapi atau menyelesaikan masalah itu secara
bersama-sama. Agar mereka tergerak untuk menjalankan solusi bersama, mereka
perlu dilibatkan dalam diskusi dan pengambilan keputusan.
2. Mengembangkan
visi bersama, bagaimana mengatur dan mengorganisasi diri maupun organisasi agar
dapat mencapai apa yang dicita-citakan.
3. Menentukan
kepemimpinan. Di dalam instansi pemerintahan, kepemimpinan biasanya dipegang
para pejabat eselon. Padahal, kepemimpinan harus ada pada semua level agar
dapat mengontrol perubahan. Pemimpin tertinggi harus memastikan orang-orang yang
kompeten dan jujurlah yang berperan sebagai pemimpin pada level-level di
bawahnya.
4. Fokus
pada hasil kerja. Langkah itu dilakukan dengan membuat mekanisme asessment yang
dapat mengukur hasil kerja tiap pegawai atau tiap tim yang diberi tugas tertentu.
5. Mulai
mengubah unit-unit kecil di instansi kemudian dorong agar perubahan itu
menyebar ke unit-unit lain di seluruh instansi.
6. Membuat
peraturan formal, sistem, maupun struktur untuk mengukuhkan perubahan, termasuk
cara untuk mengukur perubahan yang terjadi.
7.
Mengawasi dan menyesuaikan strategi untuk merespons permasalahan yang timbul
selama proses perubahan berlangsung.
Pokok-pokok Reformasi Birokrasi Pemerintahan
Reformasi Birokrasi harus dimulai dari penataan kelembagaan dan sumber daya
manusia aparatur. Langkah selanjutnya adalah membuat mekanisme, pengaturan,
sistem, dan prosedur yang sederhana tidak berbelit-belit, menegakkan
akuntabilitas aparatur, meningkatkan dan menciptakan pengawasan yang komprehensif,
dan meningkatkan kualitas pelayanan publik menuju pelayanan publik yang
berkualitas dan prima. Reformasi birokrasi perlu diprioritaskan pada unit-unit
kerja pelayanan publik seperti imigrasi, bea-cukai, pajak, pertanahan,
kepolisian, kejaksaan, pemerintahan daerah dan pada institusi atau instansi
pemerintah yang rawan KKN, seperti pemerintah pusat/ daerah, kepolisian,
kejaksaan, legislatif, yudikatif, dan departemen dengan anggaran besar seperti
departemen pendidikan, departemen agama, dan departemen pekerjaan umum.
Pokok-pokok Pikiran Tentang Reformasi Birokrasi Aparatur Negara dapat
digambarkan sebagai berikut :
1. Penataan
Kelembagaan atau Organisasi.
Untuk menata
lembaga atau sebuah organisasi ada beberapa hal yang harus dilakukan, diantaranya
: perampingan struktur organisasi yang banyak atau kaya fungsi, menciptakan
organisasi yang efektif dan efisien, rasional, dan proporsional,
organisasi disusun berdasarkan visi, misi, dan strategi yang jelas,
mengedepankan kompetensi dan profesionalitas dalam pelaksanaan tugas,
menerapkan strategi organisasi pembelajaran (learning organization) yang cepat
beradaptasi dengan terhadap perubahan.
2. Sumber
Daya Manusia (SDM) Aparatur
SDM yang
ingin dibangun adalah PNS yang profesional, netral, dan sejahtera, manajemen
kepegawaian modern, PNS yang profesional, netral, sejahtera, berdaya guna,
berhasil guna, produktif, transparan, bersih dan bebas KKN untuk melayani dan
memberdayakan masyarakat, jumlah dan komposisi pegawai yang ideal (sesuai
dengan tugas, fungsi dan beban kerja yang ada di masing-masing instansi
pemerintah), penerapan sistem dalam manajemen PNS, klasifikasi jabatan, standar
kompetensi, sistem diklat yang mantap, standar kinerja, penyusunan pola karier
PNS, pola karir terbuka, PNS sebagai perekat dan pemersatu bangsa, membangun
sistem manajemen kepegawaian unified berbasis kinerja, dan dukungan
pengembangan database kepegawaian, sistem informasi manajemen kepegawaian,
sistem remunerasi yang layak dan adil, menuju manajemen modern.
3. Tata
Laksana atau Manajemen.
Ketatalaksanaan
aparatur pemerintah disederhanakan, ditandai oleh mekanisme, sistem,
prosedur, dan tata kerja yang tertib, efisien, dan efektif, melalui pengaturan
ketatalaksanaan yang sederhana: standar operasi, sistem, prosedur, mekanisme,
tatakerja, hubungan kerja dan prosedur pada proses perencanaan, pelaksanaan,
pemantauan, evaluasi dan pengendalian, proses korporatisasi dan privatisasi,
pengelolaan sarana dan prasarana kerja, penerapan perkantoran elektronis dan
pemanfaatan teknologi informasi (e-government), dan apresiasi kearsipan. Juga
penataan birokrasi yang efisien, efektif, transparan, akuntabel, hemat,
disiplin, dan penerapan pola hidup sederhana. Efisiensi kinerja aparatur dan
peningkatan budaya kerja, terwujudnya sistem dan mekanisme kerja yang efektif
dan efisien (dalam administrasi pemerintahan maupun pelayanan kepada
masyarakat), sistem kearsipan yang andal (tepat guna, tepat sasaran, tepat
waktu, efektif dan efisien), otomatisasi administrasi perkantoran, dan sistem
manajemen yang efisien dan efektif. Unit organisasi pemerintah yang mempunyai
potensi penerimaan keuangan negara, statusnya didorong menjadi unit
korporatisasi dalam bentuk Badan Layanan Umum (BLU), BHMN, BUMD, Perum, Persero,
UPT, UPTD, atau bentuk lainnya.
4.
Akuntabilitas Kinerja Aparatur
Pemahaman tentang akuntabilitas terus ditingkatkan dan diupayakan agar
diciptakan Kinerja Instansi pemerintah yang berkualitas tinggi, akuntabel dan
bebas KKN, ditandai oleh Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah
(SAKIP) yang efektif, sistem dan lingkungan kerja yang kondusif: berdasarkan
peraturan dan tertib administrasi, terlaksananya sistem akuntabilitas instansi
yang berguna sebagai sarana penilaian kinerja instansi dan individu oleh
stakeholders (atasan, masyarakat, dan pihak lain yang berkepentingan) didukung
sistem informasi dan pengolahan data elektronik yang terpadu secara nasional
dan diterapkan di semua departemen/lembaga di bidang perencanaan dan
penganggaran, organisasi dan ketatalaksanaan, kepegawaian, sistem akuntansi
keuangan negara yang dikaitkan dengan indikator kinerja dan pelayanan
masyarakat, dan aparatur negara yang bebas KKN (kondisi yang terkendali dari
praktek-praktek penyalahgunaan kewenangan dan penyimpangan serta pelanggaran
disiplin, tingginya kinerja sumber daya aparatur dan kinerja pelayanan publik).
5.
Pengawasan.
Pengawasan ini dilakukan dengan harapan
terbangunnya sistem pengawasan nasional dengan elemen-elemen pengawasan
fungsional, pengawasan internal, pengawasan eksternal, dan pengawasan
masyarakat, ditandai oleh sistem pengendalian dan pengawasan yang tertib,
sisdalmen/waskat, wasnal, dan wasmas, koordinasi, integrasi dan sinkronisasi
aparat pengawasan, terbentuknya sistem informasi pengawasan yang mendukung
pelaksanaan tindak lanjut, serta jumlah dan kualitas auditor profesional yang
memadai, intensitas tindak lanjut pengawasan dan penegakan hukum secara adil
dan konsisten.
6. Pelayanan
Publik.
Pelayanan publik sebagai barometer transparansi dan akuntabilitas, diharapkan
dapat didorong upaya mewujudkan pelayanan publik yang prima dalam arti
pelayanan yang cepat, tepat, adil, dan akuntabel ditandai oleh pelayanan tidak
berbelit-belit, informatif, akomodatif, konsisten, cepat, tepat, efisien,
transparan dan akuntabel, menjamin rasa aman, nyaman, dan tertib, kepastian
(persyaratan biaya waktu pelayanan dan aturan hukum), dan tidak dijumpai
pungutan tidak resmi. Kondisi kelembagaan, SDM aparatur, ketatalaksanaan, dan
pengawasan, mampu mendukung penyelenggaraan pelayanan publik yang berkualitas
dan mendorong munculnya praktek-praktek pelayanan yang lebih menghargai para
pengguna jasa; perubahan paradigma aparatur yang terarah dalam upaya
revitalisasi manajemen pembangunan ke arah penyelenggaraan good governance:
menjadi entrepreneurial competitive government (pemerintahan yang kompetitif),
customer driven dan accountable government (pemerintahan tanggap/ responsive),
serta global-cosmopolit orientation government (pemerintahan yang berorientasi
global).
7. Budaya
Kerja Produktif, Efisien dan Efektif.
Pelaksanaan
Budaya Kerja Produktif, Efisien dan Efektif ini adalah untuk membangun
kultur birokrasi pemerintah yang produktif, efisien, dan efektif terciptanya
iklim kerja yang berorientasi pada etos kerja dan produktivitas yang tinggi,
melalui Pengembangan Budaya Kerja yang mengubah mindset, pola pikir, sikap dan
perilaku serta motivasi kerja; menemukan kembali karakter dan jati diri,
membangun birokrat berjiwa entrepreneur, dengan pengembangan budaya kerja yang
tinggi (terbentuk pola pikir, sikap, tindak dan perilaku, serta budaya kerja
pegawai yang etis, bermoral, profesional, disiplin, hemat, hidup sederhana,
jujur, produktif, menghargai waktu, menjadi panutan dan teladan, serta mendapat
kepercayaan masyarakat).
8.
Koordinasi, Integrasi, dan Sinkronisasi
Koordinasi, Integrasi, dan Sinkronisasi ini perlu ditingkatkan koordinasi
program dan pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi, pengawasan dan pengendalian
program pendayagunaan aparatur negara.
9. Best
Practices.
Best practices yaitu mengamati contoh keberhasilan beberapa Pemerintah Daerah
dalam melaksanakan reformasi birokrasi dan meningkatkan kualitas pelayanan
publik, antara lain Provinsi (DI Yogyakarta, Sumatera Barat, Riau, Bali,
Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur), Kabupaten (Solok, Tanah Datar,
Sidoarjo, Takalar, Sragen, Karanganyar, Sleman, Bantul, Kebumen, Jembrana,
Gianyar, dan Tabanan), dan Kota (Balikpapan, Tarakan, Malang, Sawahlunto, dan
Pekanbaru).
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Penyelenggaraan
pemerintahan yang baik dan demokratis mensyaratkan kinerja dan akuntabilitas aparatur yang makin meningkat. Hal ini mengindikasikan bahwa
reformasi birokrasi merupakan kebutuhan dan harus sejalan dengan perubahan
tatanan kehidupan politik, kemasyarakatan, dan dunia usaha. Dalam peta
tantangan nasional, regional, dan internasional, aparatur negara dituntut untuk
dapat mewujudkan profesionalisme, kompetensi dan akuntabilitas. Pada era
globalisasi, aparatur negara harus siap dan mampu menghadapi perubahan yang
sangat dinamis dan tantangan persaingan dalam berbagai bidang. Saat ini
masyarakat Indonesia sedang memasuki era yang penuh tuntutan perubahan serta
antusiasme akan pengubahan. Ini merupakan sesuatu yang di Indonesia tidak dapat
dibendung lagi. Oleh karena itu, reformasi di tubuh birokrasi indonesia harus
terus dijalankan demi terciptanya pelayanan prima bagi masyarakat seperti yang
telah dilakukan oleh departemen keuangan.
B. Saran
Untuk memayungi reformasi birokrasi,
diupayakan penataan perundang-undangan, antara lain dengan menyelesaikan
rancangan undang-undang yang telah ada. Dengan demikian, proses reformasi
birokrasi dapat berjalan dengan baik dengan adanya legalitas secara hukum dalam
pelaksanaannya.
Untuk membangun bangsa yang
bermartabat, harus dilakukan bersama oleh pemerintah dan masyarakat dalam
menciptakan pemerintah yang lebih baik dari able government ke better
government dan trust government. Selain itu, diharapkan masyarakat
dapat lebih partisipatif dalam pelaksanaan reformasi birokrasi, prinsip-prinsip
good governance, pelayanan publik, penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan
yang baik, bersih, dan berwibawa, serta pencegahan dan percepatan pemberantasan
korupsi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Benveniste,
Guy.1997. Birokrasi di Indonesia .Jakarta: PT Raja Grafindo
2. Pramusinto Agus dan Erwan Agus Purwanto. 2009.
Reformasi Birokrasi, Kepemimpinan dan Pelayanan Publik
3. Drs. Taufiq Effendi, MBA, “Agenda Strategis
Reformasi Birokrasi Menuju Good Governance”,
4. Prof.Dr.Mostopadidjaja AR. 2003. “Reformasi
Birokrasi Sebagai syarat Pemberantasan KKN”,
5. Thoha Miftah.2003.Birokrasi dan politik di
Indonesia.PT. Raja grafindo persada.Jakarta.
6. Mustafa
Delly. 2013. Birokrasi Pemerintahan. Alfabeta.Bandung