Thursday, October 16, 2014

MAKALAH DINAMIKA PEMERINTAHAN



KATA PENGANTAR



Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena telah memberikan kekuatan dan kemampuan sehingga makalah ini bisa selesai tepat pada waktunya. Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini adalah untuk memenuhi Makalah Dinamika Pemerintahan.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan mendukung dalam penyusunan makalah ini.
Penulis sadar makalah ini belum sempurna dan memerlukan berbagai perbaikan, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat dibutuhkan.
Akhir kata, semoga  makalah  ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan semua pihak.



Jatinangor,   Mei 2014


Penulis,




DAFTAR ISI





BAB I

PENDAHULUAN


LATAR BELAKANG

Salah satu muatan paling penting dari suatu undang-undang dasar (konstitusi) adalah bagaimana penyelenggaraan kekuasaan negara itu dijalankan oleh organ-organ negara. Organ atau lembaga negara merupakan subsistem dari keseluruhan sistem penyelenggaraan kekuasaan negara. Sistem penyelenggaraan kekuasaan negara menyangkut mekanisme dan tata kerja antar organ-organ negara itu sebagai satu kesatuan yang utuh dalam menjalankan kekuasaan negara. Sistem penyelenggaraan kekuasaan negara menggambarkan secara utuh mekanisme kerja lembaga-lembaga negara yang diberi kekuasaan untuk mencapai tujuan negara.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebelum dan setelah perubahan mengandung beberapa prinsip yang memiliki perbedaan-perbedaan mendasar. Perubahan atas sistem penyelenggaraan kekuasaan yang dilakukan melalui perubahan UUD 1945, adalah upaya untuk menutupi berbagai kelemahan yang terkandung dalam UUD 1945 sebelum perubahan yang dirasakan dalam praktek ketatanegaraan selama ini. Karena itu arah perubahan yang dilakukan adalah antara lain mempertegas beberapa prinsip penyelenggaraan kekuasaan negara sebelum perubahan yaitu prinsip negara hukum (rechtsstaat) dan prinsip sistem konstitusional (constitutional system), menata kembali lembaga-lembaga negara yang ada dan membentuk beberapa lembaga negara yang baru agar sesuai dengan sistem konstitusional dan prinsip-prinsip negara berdasar atas hukum. Perubahan ini tidak merubah sistematika UUD 1945 sebelumnya untuk menjaga aspek kesejarahan dan orisinalitas dari UUD 1945. Perubahan terutama ditujukan pada penyempurnaan pada sisi kedudukan dan kewenangan masing-masing lembaga negara disesuaikan dengan perkembangan negara demokrasi modern.




BAB II

PEMBAHASAN


A. DINAMIKA PEMERINTAHAN ORDE BARU

1. Latar Belakang Lahirnya Orde Baru.
Surat Perintah Sebelas Maret (SP 11 Maret) merupakan dasar lahirnya suatu pemerintahan yang kemudian disebut dengan nama orde baru. Surat perintah yang beradasal dari Presiden Soekamo tanggal 11 Maret 1966 ditujukan kepada Letnan Jenderal Soeharto yang bertugas atas nama presiden untuk mengambil tindakan guna menjamin keamanan dan ketertiban negara.
Langkah-langkah yang diambil setelah adanya supersemar adalah
1.    Membubarkan PKI dan ormasnya pada 12 Maret 1966.
2.    Mengamankan menteri-menteri dalam Kabinet Dwikora yang terlibat dalam G-30-S/PKI yaitu, (1) Soebandrio, (2) Dr. Chaerul Shaleh, (3) Ir. Setiadi Reksoprojo, (4) Sumarjo, (5) Oei Tju Tat,SH, (6) Ir.Surachman, (7) Yusuf Muda Dalam, (8) Armunanto, (9) Sutomo Marto Pradata, (10) A.Sastra Winata, SH., (11) Mayjen Achmadi, (12) Drs. Mochammad Achadi, (13) Letkol. Syafei, (14) J.K. Tumakaka, (15) Mayjen Dr. Soemarno.
3.    Pengemban Supersemar, pada 18 Maret 1966 menunjuk beberapa menteri ad interim guna mengisi pos-pos menteri yang kosong.
Langkah yang dilakukan Orde Baru adalah mengadakan pembersihan ditubuh Kabinet Dwikora yang disempurnakan, yaitu dengan mengadakan sidang DPR-GR yang dihadiri oleh ratusan mahasiswa yang membacakan nota politiknya. Pada 17 Mei 1966 DPR-GR berhasil menyusun kepengurusan DPR-GR dan berhasil membersihkan anggotanya dengan memecat 65 anggota yang mewakili Partai Komunis Indonesia.
Sejak tanggal 22 Oktober 1965 sebenamya status keanggotaan DPR-GR yang mendukung G-30-S/PKI dibekukan. Kabinet Dwikora mengalami beberapa kali perombakan untuk menghilangkan pengaruh menteri yang diduga terlibat G-30-S/PKI. Namun tuntutan terhadap pemerintah untuk melakukan perubahan politik terus berlangsung, seperti aksi mahasiswa di gedung DPR-GR tanggal 2 Mei 1966. Sebagai reaksi tekanan berbagai pihak, Presiden Soekamo secara sukarela menyampaikan pidato pertanggungjawaban pada 22 Juni 1966, pada saat pelantikan pimpinan MPRS. Namun pidato pertanggungjawaban yang berjudul "Nawaksara" itu tidak diterima MPRS.
Sejak pertengahan tahun 1966, perkembangan politik nasional semakin kompleks. Melalui Tap MPRS No. XIII/MPRS/1966, Letjen Soeharto ditugasi untuk membentuk Kabinet Ampera. Akibatnya dualisme kepemimpianan nasional mulai terjadi. Kabinet Ampera dibentuk melalui Keppres No. 163 tanggal 25 Juli 1966 yang ditandatangani Presiden Soekamo.
Selanjutnya MPRS mengadakan sidang. Pada 25 Juli 1966 Presiden Soekarno melaksanakan Ketetapan MPRS No. XIII/MPRS/1966 tentang Kabinet Ampera dan membubarkan Kabinet Dwikora. Kabinet Dwikora dibangan dalam tiga unsur yaitu (1) Pimpinan kabinet: Presiden Soekamo;(2) Lima orang Menteri Utama yang merupakan suatu presedium;(3) Anggota kabinet terdiri dari 24 menteri. Tugas pokok kabinet Ampera disebut "Dwi Dharma" yaitu : (1) mewujudkan stabilitas politik (2) menciptakan stabilitas ekonomi.
Kabinet Ampera dirombak pada tanggal 11 Oktober 1966, jabatan presiden tetap Soekarno. Namun, Letnan Jenderal Soeharto diangkat sebagai perdana menteri yang memiliki kekuasaan eksekutif dalam Kabinet Ampera yang disempumakan.
Melalui Sidang Istimewa pada 7-12 Maret 1967 , Majlis Permusyawaratan Rakyat Sementara berhasil merumuskan ketetapan Nomor : XXXIII/MPRS/1967 yang berisi hal-hal sebagai berikut:
(1) Mencabut kekuasaan pemerintahan dari tangan Presiden Soekarno;
(2) Menarik kembali mandat MPRS dari Presiden Soekarno dengan segala kekuasaannya sesuai UUD 1945;(3) Mengangkat pengemban Tap Nomor IX/MPRS/1966 tentang supersemar itu sebagai pejabat presiden hingga terpilihnya presiden menurut hasil pemilihan umum. Pada akhir Sidang Istimewa MPRS, 12 Maret 1967, Jenderal Soeharto dilantik dan diambil sumpah oleh Ketua MPRS Jenderal TN1 Abdul Haris Nasution.
Masyarakat luas yang terdiri dari berbagai unsur seperti kalangan partai politik, organisasi massa, perorangan, pemuda, mahasiswa, pelajar, kaum wanita secara kompak membentuk kesatuan aksi dalam bentuk Front Pancasila untuk menghancurkan para pendukung G30S/PKI yang diduga melakukan pemberontakan terhadap negara dengan menuntut agar ada penyelesaian politik terhadap mereka yang terlibat dalam gerakan pemberontakan tersebut. Kesatuan aksi ini kemudian terkenal dengan sebutan angkatan 66 antara lain Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI), Kesatuan Aksi Wanita Indonesia (KAWI), dan lain-lain.

2. Perkembangan Kekuasaan Orde Baru
Dengan surat perintah 11 Maret 1966 Soeharto mengatasi keadaan yang serba tidak menentu dan sulit terkendali sebagai dampak peristiwa G30S/PKI negara dilanda instabilitas politik akibat tidak tegasnya kepemimpinan Presiden Soekarno dalam mengambil keputusan atas peristiwa tersebut. Sementara partai-partai politik terpecah belah dalam kelompok-kelompok yang saling bertentangan, antara penentang dan pendukung kebijakan Presiden Soekarno.
Pada 20 Pebruari 1967 Presiden Soekarno menyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada Soeharto yang kemudian dikukuhkan di dalam Sidang Istimewa MPRS dalam ketetapan nomor XXXIII/MPRS/1967 mencabut kekuasaan pemerintahan negara dari Presiden Soekarno dan mengangkat Soeharto sebagai pejabat presiden Republik Indonesia. Adanya ketetapan ini maka situasi konflik yang merupakan sumber instabilitas politik nasional telah berakhir secara konstitusional.
Kondisi politik negara sudah mulai kondusif namun demikian kristalisasi Orde Baru belum selesai maka diperlukan penataan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam kerangka Orde Baru. Dengan demikian langkah awal diperlukan stabilitas nasional yang dinamis untuk mendukung kehidupan politik yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945. Kemudian dibuatlah suatu pengertian bahwa Orde Baru adalah tatanan seluruh kehidupan rakyat, bangsa, dan negara yang diletakkan pada kemurnian pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 atau sebagai koreksi terhadap penyelewengan-penyelewengan yang terjadi dimasa lampau.
Perjuangan rakyat seperti yang dikemukan para pelajar dan mahasiswa dalam demonstrasi pada 8 Januari 1966 menuju gedung sekretariat negara dan dilajutkan pada 12 Januari 1966 berbagai kesatuan aksi yang tergabung dalam Front Pancasila berdemonstrasoi di depan gedung DPR-GR yang menuntut penyelesaian stabilitas negara pasca peristiwa G30S/PKI yang dikenal dengan Tiga Tuntutan Rakyat (Tritura) yaitu: (1) pembubaran PKI beserta organisasi massanya (2) pembersihan Kabinet Dwi Kora (3) Penurunan harga-harga barang.
Pada hakekatnya tuntutan rakyat tersebut merupakan keinginan rakyat yang mendalam untuk melaksanakan kehidupan bernegara sesuai dengan aspirasi kehidupan dalam situasi yang kongret. Kemudian direspon oleh MPRS dengan membuat keputusan sebagai berikut: (1) Pengukuhan tindakan pengemban surat perintah sebelas maret yang membubarkan PKI berserta ormas-ormasnya, dengan ketetapan nomor IV/MPRS/1966 dan nomor IX/MPRS/1966 (2) pelarangan faham dan ajaran Komunisme, Marxisme, Leninsme di Indonesia, dengan ketetapan nomor XXV/MPRS/1966; (3) pelurusan kembali tertib konstitusional berdasarkan Pancasila dan tertib hukum dengan ketetapan nomor XX/MPRS/1966.
Usaha penataan kembali kehidupan politik pada awal 1968 dengan penyegaran anggota DPR-Gotong Royong yang bertujuan untuk menumbuhkan hak-hak demokrasi dan mencerminkan kekuatan-kekuatan yang ada dalam masyarakat. Komposisi anggota DPR terdiri dari wakil-wakil partai politik dan golongan karya. Kemudian dilanjutkan pada tahap penyederhanaan kehidupan kepartaian, keormasan, dan kekaryaan dengan cara pengelompokan partai-partai politik dan golongan karya. Usaha ini dimulai tahun 1970 dengan mengadakan serangkaian konsultasi dengan pimpinan partai-partai politik. Hasil konsultasi itu maka muncullah tiga kelompok di DPR yaitu: (1) Kelompok Demokrasi Pembangunan yang terdiri dari partai politik PNI, Parkindo, Partai Katolik, IPKI, dan Murba; (2) Kelompok Persatuan Pembangunan yang terdiri dari partai politik Partai NU, Partai Muslimin Indonesia, PSII, dan Perti; (3) Kelompok organisasi profesi seperti organisasi buruh, organisasi pemuda, organisasi petani dan nelayan, organisasi seniman, dan lain-lain yang tergabung dalam kelompok Golongan Karya.
Sebagai negara berkedaulatan rakyat maka Orde Baru mulai menyiapkan menghadapi pemilihan umum. Pada 23 Mei 1970, Presiden Soeharto dengan surat keputusan nomor 43 telah menetapkan organisasi-organisasi yang dapat ikut serta dalam pemilihan umum dan anggota DPR/DPRD yang diangkat. Organisasi politik yang dapat ikut pemilihan umum yaitu partai politik yang pada waktu pemilihan umum sudah ada dan diakui serta memiliki wakil di DPR/DPRD. Partai-partai itu adalah (1) Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia; (2) Murba; (3) Nahdlatul Ulama; (4) Partai Islam Persatuan Tarbiyah Islam; (5) Partai Katolik; (6) Partai Kresten Indonesia; (7) Partai Muslimin Indonesia; (8) Partai Nasional Indonesia; (9) Partai Syarikat Islam Indonesia; dan (10) organsiasi golongan karya yang dapat ikut serta dalam pemilihan umum adalah Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar).


3. Kebijakan Pemerintah Orde Baru
Tujuan perjuangan Orde Baru adalah menegakkan tata kehidupan bernegara yang didasarkan atas kemurnian pelaksanaan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.
Sejalan dengan tujuan tersebut maka ketika kondisi politik bangsa Indonesia mulai stabil untuk melaksanankan amanat masyarakat maka pemerintah mencanangkan pembangunan nasional yang diupakan melalui program pembangunan jangka pendek dan pembangunan jangka panjang. Pembangunan jangka pendek dirancang melalui pembangunan lima tahun (Pelita) yang didalamnya memiliki misi pembangunan dalam rangka mencapai tingkat kesejahteraan bangsa Indonesia.
Pada masa ini pengertian pembangunan nasional adalah suatu rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan yang meliputi seluruh kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara. Pembangunan nasional dilakukan untuk melaksanakan tugas mewujudkan tujuan nasioanl yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945 yaitu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, meningkatkan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Dalam usaha mewujudkan tujuan nasional maka Majlis Permusyawaratan Rakyat sejak tahun 1973-1978-1983-1988-1993 menetapkan garis-garis besar haluan negara (GBHN). GBHN merupakan pola umum pembangunan nasional dengan rangkaian program-programnya yang kemudian dijabarkan dalam rencana pembangunan lima tahun (Repelita). Adapun Repelita yang berisi program-program kongkrit yang kakan dilaksanakan dalam kurun waktu lima tahun, dalam repelita ini dimulai sejak tahun 1969 sebagai awal pelaksaan pembangunan jangka pendek dan jangka panjang. Kemudian terkenal dengan konsep Pembangunan Jangka Panjang Tahap I (1969-1994) menurut indikator saat itu pembangunan dianggap telah berhasil memajukan segenap aspek kehidupan bangsan dan telah meletakkan landasan yang cukup kuat bagi bangsa Indonesia untuk memasuki Pembangunan Jangka Panjang Tahap II (1995-2020).
Pemerintahan Orde Baru senantiasa berpedoman pada tiga konsep pembangunan nasional yang terkenal dengan sebutan Trilogi Pembangunan, yaitu : (1) pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya yang menuju pada terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat; (2) pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi; dan (3) stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.
Konsekuensi dari pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi sbagi akibat pelaksanaan pembangunan tidak akan bermakna apabila tidak diimbangi dengan pemerataan pembangunan. Oleh karena itu sejak Pembangunan Lima Tahun Tahap III (1 April 1979-31 Maret 1984) maka pemerintahan Orde Baru menetapkan Delapan Jalur Pemerataan, yaitu : (1) pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat, khususnya pangan, sandang, dan perumahan; (2) pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan dan pelayanan kesehatan; (3) pemerataan pembagian pendapatan; (4) pemerataan kesempatan kerja; (5) pemerataan kesempatan berusaha; (6) pemerataan kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan, khususnya bagi generasi muda dan kaum wanita; (7) pemerataan penyebaran pembangunan di seluruh wilayah tanah air; dan (8) pemerataan kesempatan memperoleh keadilan.

B. PROSES MENGUATNYA PERAN NEGARA PADA MASA ORDE BARU

Berkuasanya Orde Baru ternyata menimbulkan banyak perubahan yang dicapai bangsa Indonesia melalui tahapan pembangunan di segala bidang. Pemerintahan Orde Baru berusaha meningkatkan peran negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga langkah-langkah yang diambil adalah mencapai stabilitas ekonomi dan politik.
Merujuk hasil Sidang Umum IV MPRS yang mengambil suatu keputusan untuk menugaskan Jenderal Soeharto selaku pengembang Surat Perintah Sebelas Maret yang sudah ditingkatkan menjadi ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966 untuk membentuk kabinet baru.
Kabinet baru diberi nama Kabinet Ampera yang merupakan singkatan dari Kabinet Amanat Penderitaan Rakyat selanjutnya diberi tugas untuk menciptakan stabilitas politik dan ekonomi sebagai persyaratan dalam melaksanakan pembangunan nasional. Tugas ini yang dikelak terkenal dengan sebutan ”Dwi Darma Kabinet Ampera”. Sedangkan program kerja terkenal dengan sebutan Catur Karya Kabinet Ampera, yaitu: (1) memperbaiki kehidupan rakyat terutama dibidang sandang dan pangan; (2) melaksanakan pemilihan umum dalam batas waktu seperti yang tercantum dalam ketetapan MPRS No. XI/MPRS/1966 yaitu pada 5 Juli 1968;(3) Melaksanakan politik luar negeri yang bebas aktif untuk kepentingan nasional, sesuai dengan Tap No. XI/MPRS/1966; (4) melanjutkan perjuangan anti imperialisme dan kolonialisme dalam segala bentuk dan manifestasinya.
Pada 21 Maret 1968 Jenderal Soeharto selaku Pejabat Presiden menyampaikan laporan kepada Sidang Umum V MPRS Tahun 1968 tentang pelaksanaan Dwi Darma dan Catur Karya Kabinet Ampera, yang dilaporkan pertama kali bahwa telah dilaksanakan usaha mendudukkan kembali posisi, fungsi, dan hubungan antar lembaga negara tertinggi sesuai dengan yang diatur dalam UUD 1945.


C. PEMBANGUNAN NASIONAL INDONESIA MASA ORDE BARU

1. Stabilitas dan Rehabilitasi Ekonomi
Pada masa awal Orde Baru program khusus pemerintah semata-mata ditujukan untuk menyelamatkan ekonomi nasional, dalam bentuk memberantas korupsi, menyelamatkan keuangan negara dan mengamankan kebutuhan pokok pangan rakyat. Dengan membumbung tinggi harga kebutuhan pokok pada awal 1966 dan tingkat inflasi 650 % setahun membuat pemerintah tidak dapat melaksanakan pembangunan dengan segera, tetapi harus didahulukan dengan melaksanakan stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi.
Kemudian MPRS menggariskan tiga program yang harus dilaksanakan pemerintah secara bertahap, yaitu program penyelamatan, program stabilisasi, dan program pembangunan. Adapun program stabilisasi dan rehabilitasi merupakan program jangka pendek dengan skala prioritas: (1) pengendalian inflasi; (2) pencukupan kebutuhan pangan; (3) rahabilitasi prasarana ekonomi; (4) peningkaan kegiatan ekspor.
Oleh karena itu pemerintah mengeluarkan beberapa peraturan penting pada bulan Oktober 1966 yang memuat pokok usaha, yaitu: (1) anggaran belanja yang berimbang untuk menghilangkan salah satu sebab bagi inflasi yaitu difisit dalam anggaran belanja; (2) pengekangan perluasan kredit untuk usaha-usaha produktif meliputi pangan, ekspor, prasarana dan industri; (3) penundaan pembayaran utang-utang luar negeri serta usaha untuk mendapatkan kredit baru; (4) penanaman modal asing guna memberi kesempatan pada luar negeri untuk membuka alam Indonesia supaya membuka kesempatan kerja dan membantu usaha peningkatan pendapatan nasional.
2. Pembangunan Sebelum Pelaksanaan Pembangunan Lima Tahun (Pelita)
Kebijakan yang dimulai sejak oktober 1966 hingga pertengahan tahun 1968 yaitu kebijakan stabilisasi yang bersifat operasional penyelamatan dengan tujuan menertibkan penggunaan keuangan negara.
Prioritas utama yang dilakukan dengan tindakan mengambil uang yang menjadi hak negara dan menertibkan prosedur-prosedur keuangan.Hasil-hasil positif yang telah dicapai oleh pemerintah sebagai berikut: (1) berhasil mengembalikan uang negara sebesar US $ 9.571.586,33; Yen 145.381.442; dan Rp. 494.947.761,37; (2) dapat mengembalikan emas seberat 1.005.403 kg; (3) berhasil pula mengembalikan perak seberat 100 kg.
Tindakan pemerintah untuk perbaikan ekonomi adalah sebagai berikut: (1) mengadakan operasi pajak diutamakan di kota-kota besar untuk meneliti sampai sejauhmana perusahaan besar milik negara dan swasta memenuhi kewajiban bayar pajak; (2) penghematan pengeluaran dibidang pemerintahan, khususnya untuk pengeluaran yang konsumtif dan rutin serta penghapusan terhadap subsidi perusahaan-perusahaan; (3) kredit bank dibatasi dan kredit impor dihapuskan. Kredit ekspor diberikan apabila bank yakin akan terlangsungnya ekspor.
Usaha mencukupi kebutuhan pangan dilakukan pemerintah dengan memperhatikan peningkatan produksi pangan di dalam negeri khususnya beras, untuk meningkatkan produksi beras diselenggarakan bimbingan masal (bimas) dan intensifikasi masal (inmas) yang meliputi perbaikan prasarana irigasi, penggunaan bibit unggul seperti jenis padi PB-5 dan PB-8, penyediaan pupuk dan obat-obatan merupakan keharusan serta penyuluhan penanaman padi secara teknis.
Dampak dari bimas dan inmas tersebut pada tahun 1967 produksi padi menunjukkan kenaikan 3 % dan pada tahun 1968 naik menjadi 5 %. Peningkatan produksi pangan pada tahun 1968 disebabkann oleh adanya perubahan kebijakan dalam penggunaan bea masuk untuk berbagai macam tekstil dengan tujuan untuk memberikan proteksi pada produksi dalam negeri.
Kemajuan ekonomi yang berhasil dicapai oleh pemerintah dari laju inflasi 650 % menjadi 120 % pada tahun 1967. Pemerintah masih mengalami kesulitan mengelola keuangan negara dampak dari utang-utang peninggalan Orde Lama yang mencapai US $ 2,2 – 2,7 milyar sehingga kesulitan menurunkan laju inflasi ke titik yang lebih aman dalam perekonomian Indonesia. Akibatnya situasi ekonomi dan keuangan masih meprihatinkan, oleh karena itu pemerintah Orde Baru meminta kepada negara-negara kreditor untuk menunda pembayaran utang-utang tersebut.
Pada tanggal 19-30 September 1966 di kota Tokyo-Jepang diadakan perundingan Indonesia dengan para negara kreditor Perancis, Inggris, Italia, Jerman Barat, Belanda, Amerika Serikat yang disponsori oleh Japang, pada kesempatan ini pemerintah Indonesia mengemukakan bahwa devisa ekspor sebagai pembayaran utang, tetapi perlu untuk mengimpor bahan-bahan baku, suku cadang, dan sebagainya agar keadaan ekonomi Indonesia bisa menjadi lebih baik lagi. Para negara kreditor menanggapi dengan serius apa yang telah dikemukakan pemerintah Indonesia maka perlu ditindaklanjuti dengan pertemuan lagi dalam pertemuan di Paris-Perancis yang menghasilkan: (1) utang Indonesia yang seharusnya dibayar tahun 1968 ditunda pembayarannya hingga tahun 1972-1978; (2) Utang yang seharusnya dibayar tahun 1969 dan 1970 dipertimbangkan untuk ditunda pembayarannya dengan syarat yang sama lunaknya dengan utang-utang yang seharusnya dibayar dalam tahun 1968. Perundingan antara Indonesia dengan para kreditor itu kemudian dikenal dengan istilah Tokyo Club dan Paris Club.
Berdirinya IGGI (Inter Govermental Group fo Indonesia) bermula dari lanjutan pertemuan Paris Cub antara Indonesia dengan para kreditor yang dilaksanakan di Kota Amsterdam-Belanda pada 23-24 Pebruari 1967 pertemuan ini membicarkan kebutuhan Indonesia akan bantuan luar negeri serta kemungkinan-kemungkinan memberi bantuan dengan syarat lunak. Hasilnya memperoleh bantuan untuk melangsungkan pembangunan dan penangguhan serta memberi keringanan syarat-syarat pembayaran kembali utang-utang peninggalan Orde Lama.
Pinjaman-pinjaman dari luar negeri digunakan untuk tiga macam hal yang disebut dengan Bukti Ekspor (BE), yaitu : (1) impor, (2) proyek-proyek pembangunan, dan (3) pangan. Bukti Ekspor dapat digunakan untuk impor barang-barang ekonomi seperti suku cadang, pupuk, dan obat hama. Bukti Ekspor untuk impor pangan memungkinkan devisa pemerintah bisa digunakan untuk keperluan lain yang lebih produktif. Bukti Ekspor yang diwujudkan dalam bentuk barang-barang konsumtif itu dijual oleh pemerintah dan hasilnya dimasukkan dalam Anggaran Belanja Pemerintah dan kemudian dipakai untuk anggaran pembangunan. Sehingga anggaran pembangunan dalam bentuk rupiah itu berasal dari penjualan barang-barang konsumtif. Dengan demikian bantuan luar negeri dismpaing untuk mengimpor barang-barang yang perlu dan hasil penjualannya dipakai pula untuk membiayai pembangunan pula.
Dalam perkembangan sistem pemerintahan presidensial di negara Indonesia (terutama setelah amandemen UUD 1945) terdapat perubahan-perubahan sesuai dengan dinamika sistem pemerintahan di Indonesia. Hal itu diperuntukkan dalam memperbaiki sistem presidensial yang lama. Perubahan baru tersebut antara lain, adanya pemilihan presiden langsung, sistem bikameral, mekanisme cheks and balance dan pemberian kekuasaan yang lebih besar pada parlemen untuk melakukan pengawasan dan fungsi anggaran.
Secara umum dengan dilaksanakannya amandemen Undang-Undang Dasar 1945 pada era reformasi, telah banyak membawa perubahan yang mendasar baik terhadap ketatanegaraan (kedudukan lembaga-lembaga negara), sistem politik, hukum, hak asasi manusia, pertahanan keamanan dan sebagainya. Berikut ini dapat dilihat perbandingan model sistem pemerintahan negara republik Indonesia pada masa orde baru dan pada masa reformasi.
  1. Masa Orde Baru (1966-1998)
Orde baru lahir dengan diawali berhasilnya penumpasan terhadap G.30.S/PKI pada tanggal 1 Oktober 1965. Orde baru sendiri adalah suatu tatanan perikehidupan yang mempunyai sikap mental positif untuk mengabdi kepada kepentingan rakyat, dalam rangka mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia untuk mencapai suatu masyarakat adil dan makmur baik material maupun spiritual berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 melalui pembangunan di segala bidang kehidupan. Orde Baru bertekad untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Orde Baru ingin mengadakan ‘koreksi total’ terhadap sistem pemerintahan Orde Lama.
Pada tanggal 11 Maret 1966, Presiden Soekarno mengeluarkan surat perintah kepada Letjen Soeharto atas nama presiden untuk mengambil tindakan yang dianggap perlu guna mengamankan pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan konsekuen, untuk menegakkan RI berdasarkan hukum dan konstitusi. Maka tanggal 12 Maret 1966, dikeluarkanlah Kepres No. 1/3/1966 yang berisi pembubaran PKI, ormas-ormasnya dan PKI sebagai organisasi terlarang di Indonesia serta mengamankan beberapa menteri yang terindikasi terkait kasus PKI. (Erman Muchjidin, 1986:58-59).
Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia. Orde Baru menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era pemerintahan Soekarno. Orde Baru berlangsung dari tahun 1966 hingga 1998. Pada tahun 1968, MPR secara resmi melantik Soeharto untuk masa jabatan 5 tahun sebagai presiden, dan dia kemudian dilantik kembali secara berturut-turut pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998.
Di dalam Penjelasan UUD 1945, dicantumkan pokok-pokok Sistem Pemerintahan Negara Republik Indonesia pada era Orde baru, antara lain sebagai berikut :
  1. Indonesia adalah negara hukum (rechtssaat)
Negara Indonesia berdasar atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsaat). Ini mengandung arti bahwa negara, termasuk di dalamnya pemerintah dan lembaga-lembaga negara lain, dalam melaksanakan tugasnya/ tindakan apapun harus dilandasi oleh hukum dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.
  1. Sistem Pemerintahan Presidensiil
Sistem pemerintahan pada orde baru adalah presidensiil karena kepala negara sekaligus sebagai kepala pemerintah dan menteri-menteri bertanggung jawab kepada presiden. Tetapi dalam kenyataan, kedudukan presiden terlalu kuat. Presiden mengendalikan peranan paling kuat dalam pemerintahan.
  1. Sistem Konstitusional
Pemerintahan berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar). Sistem ini memberikan ketegasan cara pengendalian pemerintahan negara yang dibatasi oleh ketentuan konstitusi, dengan sendirinya juga ketentuan dalam hukum lain yang merupakan produk konstitusional, seperti Ketetapan-Ketetapan MPR, Undang-undang, Peraturan Pemerintah, dan sebagainya. Diadakan tata urutan terhadap peraturan perundang-undangan. Berdasarkan pada TAP MPRS No. XX/MPRS/1966 urutannya adalah sebagai berikut :
  1. UUD 1945
  2. Ketetapan MPR
  3. UU
  4. Peraturan Pemerintah
  5. Kepres
  6. Peraturan pelaksana lainnya, misalnya Keputusan Menteri, Instruksi Menteri, Instruksi Presiden dan Peraturan Daerah. (Erman Muchjidin,1986:70-71).
  1. Kekuasaan negara tertinggi di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Kedaulatan rakyat dipegang oleh suatu badan yang bernama MPR sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia Tugas Majelis adalah:
  1. Menetapkan Undang-Undang Dasar,
  2. Menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara,
  3. Mengangkat kepala negara (Presiden) dan wakil kepala negara (wakil presiden).
Majelis inilah yang memegang kekuasaan negara tertinggi, sedang Presiden harus menjalankan haluan negara menurut garis-garis besar yang telah ditetapkan oleh Majelis. Presiden yang diangkat oleh Majelis, tunduk dan bertanggungjawab kepada Majelis. Presiden adalah “mandataris” dari Majelis yang berkewajiban menjalankan ketetapan-ketetapan Majelis.
  1. Presiden ialah penyelenggara pemerintah Negara yang tertinggi menurut UUD
Dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan negara, tanggung jawab penuh ada di tangan Presiden. Hal itu karena Presiden bukan saja dilantik oleh Majelis, tetapi juga dipercaya dan diberi tugas untuk melaksanakan kebijaksanaan rakyat yang berupa Garis-garis Besar Haluan Negara ataupun ketetapan MPR lainnya.
  1. Presiden tidak bertanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Kedudukan Presiden dengan DPR adalah sejajar. Dalam hal pembentukan undang-undang dan menetapkan APBN, Presiden harus mendapat persetujuan dari DPR. Oleh karena itu, Presiden harus bekerja sama dengan DPR. Presiden tidak bertanggung jawab kepada Dewan, artinya kedudukan Presiden tidak tergantung dari Dewan. Presiden tidak dapat membubarkan DPR seperti dalam kabinet parlementer, dan DPR pun tidak dapat menjatuhkan Presiden.
  1. Menteri negara ialah pembantu Presiden, menteri negara tidak bertanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Presiden memilih, mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri negara. Menteri-menteri itu tidak bertanggung jawab kapada DPR dan kedudukannya tidak tergantung dari Dewan., tetapi tergantung pada Presiden. Menteri-menteri merupakan pembantu presiden.
  1. Kekuasaan Kepala Negara tidak tak terbatas.
Meskipun kepala negara tidak bertanggung jawab kepada DPR, tetapi bukan berarti ia “diktator” atau tidak terbatas. Presiden, selain harus bertanggung jawab kepada MPR, juga harus memperhatikan sungguh-sungguh suara-suara dari DPR karena DPR berhak mengadakan pengawasan terhadap Presiden (DPR adalah anggota MPR). DPR juga mempunyai wewenang mengajukan usul kepada MPR untuk mengadakan sidang istimewa guna meminta pertanggungjawaban Presiden, apabila dianggap sungguh-sungguh melanggar hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tarcela.
  1. Sistem Kepartaian
Sistem kepartaian menggunakan sistem multipartai, tetapi hanya ada 3 partai, yaitu Golkar, PDI, dan PPP. Secara faktual hanya ada 1 partai yang memegang kendali yaitu partai Golkar dibawah pimpinan Presiden Soeharto.
  1. Masa Reformasi (1998-sekarang)
Munculnya Era Reformasi ini menyusul jatuhnya pemerintah Orde Baru tahun 1998. Krisis finansial Asia yang menyebabkan ekonomi Indonesia melemah dan semakin besarnya ketidak puasan masyarakat Indonesia terhadap pemerintahan pimpinan Soeharto saat itu menyebabkan terjadinya demonstrasi besar-besaran yang dilakukan berbagai organ aksi mahasiswa di berbagai wilayah Indonesia.
Pemerintahan Soeharto semakin disorot setelah Tragedi Trisakti pada 12 Mei 1998 yang kemudian memicu Kerusuhan Mei 1998 sehari setelahnya. Gerakan mahasiswa pun meluas hampir diseluruh Indonesia. Di bawah tekanan yang besar dari dalam maupun luar negeri, Soeharto akhirnya memilih untuk mengundurkan diri dari jabatannya.



BAB III

PENUTUP


KESIMPULAN

Pokok-pokok sistem pemerintahan negara Indonesia berdasarkan UUD 1945 sebelum diamandemen atau pada masa orde baru tertuang dalam Penjelasan UUD 1945 tentang tujuh kunci pokok sistem pemerintahan negara tersebut sebagai berikut.
  1. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat).
  2. Sistem Konstitusional.
  3. Kekuasaan negara yang tertinggi di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat.
  4. Presiden adalah penyelenggara pemerintah negara yang tertinggi dibawah Majelis Permusyawaratan Rakyat.
  5. Presiden tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
  6. Menteri negara ialah pembantu presiden, menteri negara tidak bertanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
  7. Kekuasaan kepala negara tidak tak terbatas.
Berdasarkan tujuh kunci pokok sistem pemerintahan, sistem pemerintahan Indonesia menurut UUD 1945 menganut sistem pemerintahan presidensial. Sistem pemerintahan ini dijalankan semasa pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Suharto. Ciri dari sistem pemerintahan masa itu adalah adanya kekuasaan yang amat besar pada lembaga kepresidenan. Hamper semua kewenangan presiden yang di atur menurut UUD 1945 tersebut dilakukan tanpa melibatkan pertimbangan atau persetujuan DPR sebagai wakil rakyat.
Sekarang ini sistem pemerintahan di Indonesia masih dalam masa transisi. Sebelum diberlakukannya sistem pemerintahan baru berdasarkan UUD 1945 hasil amandemen keempat tahun 2002, sistem pemerintahan Indonesia masih mendasarkan pada UUD 1945 dengan beberapa perubahan seiring dengan adanya transisi menuju sistem pemerintahan yang baru.
Pokok-pokok sistem pemerintahan Indonesia pada masa reformasi adalah sebagai berikut.
  1. Bentuk negara kesatuan dengan prinsip otonomi daerah yang luas. Wilayah negara terbagi dalam beberapa provinsi.
  2. Bentuk pemerintahan adalah republik, sedangkan sistem pemerintahan presidensial.
  3. Presiden adalah kepala negara dan sekaligus kepala pemerintahan. Presiden dan wakil presiden dipilih dan diangkat oleh MPR untuk masa jabatan lima tahun. Untuk masa jabatan 2004-2009, presiden dan wakil presiden akan dipilih secara langsung oleh rakyat dalam satu paket.
  4. Kabinet atau menteri diangkat oleh presiden dan bertanggung jawab kepada presiden.
  5. Parlemen terdiri atas dua bagian (bikameral), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Para anggota dewan merupakan anggota MPR. DPR memiliki kekuasaan legislatif dan kekuasaan mengawasi jalannya pemerintahan.
  6. Kekuasaan yudikatif dijalankan oleh Makamah Agung dan badan peradilan dibawahnya.
Dengan demikian, ada perubahan-perubahan baru dalam sistem pemerintahan Indonesia. Hal itu diperuntukan dalam memperbaiki sistem presidensial yang lama. Perubahan baru tersebut, antara lain adanya pemilihan secara langsung, sistem bikameral, mekanisme cheks and balance, dan pemberian kekuasaan yang lebih besar kepada parlemen untuk melakukan pengawasan dan fungsi anggaran.





DAFTAR PUSTAKA


Soehino. 1992. Hukum Tata Negara Indonesia. Yogyakarta : Liberty.
Undang-Undang Dasar RI 1945 Hasil Amandemen Pertama-Keempat.

No comments:

Post a Comment

buku bimbingan

                                                                                                                                            ...

082126189815

Name

Email *

Message *