KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan
kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena telah memberikan kekuatan dan kemampuan
sehingga makalah ini bisa selesai tepat pada waktunya. Adapun tujuan dari
penyusunan makalah ini adalah untuk memenuhi Makalah Dinamika Pemerintahan.
Penulis mengucapkan terima
kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan mendukung dalam penyusunan
makalah ini.
Penulis sadar makalah ini
belum sempurna dan memerlukan berbagai perbaikan, oleh karena itu kritik dan
saran yang membangun sangat dibutuhkan.
Akhir kata, semoga makalah
ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan semua pihak.
Jatinangor, Mei
2014
Penulis,
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Salah satu muatan paling penting dari suatu undang-undang
dasar (konstitusi) adalah bagaimana penyelenggaraan kekuasaan negara itu
dijalankan oleh organ-organ negara. Organ atau lembaga negara merupakan
subsistem dari keseluruhan sistem penyelenggaraan kekuasaan negara. Sistem
penyelenggaraan kekuasaan negara menyangkut mekanisme dan tata kerja antar
organ-organ negara itu sebagai satu kesatuan yang utuh dalam menjalankan
kekuasaan negara. Sistem penyelenggaraan kekuasaan negara menggambarkan secara
utuh mekanisme kerja lembaga-lembaga negara yang diberi kekuasaan untuk
mencapai tujuan negara.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
sebelum dan setelah perubahan mengandung beberapa prinsip yang memiliki
perbedaan-perbedaan mendasar. Perubahan atas sistem penyelenggaraan kekuasaan
yang dilakukan melalui perubahan UUD 1945, adalah upaya untuk menutupi berbagai
kelemahan yang terkandung dalam UUD 1945 sebelum perubahan yang dirasakan dalam
praktek ketatanegaraan selama ini. Karena itu arah perubahan yang dilakukan
adalah antara lain mempertegas beberapa prinsip penyelenggaraan kekuasaan
negara sebelum perubahan yaitu prinsip negara hukum (rechtsstaat) dan
prinsip sistem konstitusional (constitutional system), menata kembali
lembaga-lembaga negara yang ada dan membentuk beberapa lembaga negara yang baru
agar sesuai dengan sistem konstitusional dan prinsip-prinsip negara berdasar
atas hukum. Perubahan ini tidak merubah sistematika UUD 1945 sebelumnya untuk
menjaga aspek kesejarahan dan orisinalitas dari UUD 1945. Perubahan terutama
ditujukan pada penyempurnaan pada sisi kedudukan dan kewenangan masing-masing
lembaga negara disesuaikan dengan perkembangan negara demokrasi modern.
BAB II
PEMBAHASAN
A. DINAMIKA PEMERINTAHAN ORDE BARU
1.
Latar Belakang Lahirnya Orde Baru.
Surat
Perintah Sebelas Maret (SP 11 Maret) merupakan dasar lahirnya suatu
pemerintahan yang kemudian disebut dengan nama orde baru. Surat perintah yang
beradasal dari Presiden Soekamo tanggal 11 Maret 1966 ditujukan kepada Letnan
Jenderal Soeharto yang bertugas atas nama presiden untuk mengambil tindakan
guna menjamin keamanan dan ketertiban negara.
Langkah-langkah yang diambil setelah adanya supersemar adalah
Langkah-langkah yang diambil setelah adanya supersemar adalah
1. Membubarkan PKI dan ormasnya pada 12
Maret 1966.
2. Mengamankan menteri-menteri dalam
Kabinet Dwikora yang terlibat dalam G-30-S/PKI yaitu, (1) Soebandrio, (2) Dr.
Chaerul Shaleh, (3) Ir. Setiadi Reksoprojo, (4) Sumarjo, (5) Oei Tju Tat,SH,
(6) Ir.Surachman, (7) Yusuf Muda Dalam, (8) Armunanto, (9) Sutomo Marto
Pradata, (10) A.Sastra Winata, SH., (11) Mayjen Achmadi, (12) Drs. Mochammad
Achadi, (13) Letkol. Syafei, (14) J.K. Tumakaka, (15) Mayjen Dr. Soemarno.
3. Pengemban Supersemar, pada 18 Maret
1966 menunjuk beberapa menteri ad interim guna mengisi pos-pos menteri yang
kosong.
Langkah
yang dilakukan Orde Baru adalah mengadakan pembersihan ditubuh Kabinet Dwikora
yang disempurnakan, yaitu dengan mengadakan sidang DPR-GR yang dihadiri oleh
ratusan mahasiswa yang membacakan nota politiknya. Pada 17 Mei 1966 DPR-GR
berhasil menyusun kepengurusan DPR-GR dan berhasil membersihkan anggotanya
dengan memecat 65 anggota yang mewakili Partai Komunis Indonesia.
Sejak
tanggal 22 Oktober 1965 sebenamya status keanggotaan DPR-GR yang mendukung
G-30-S/PKI dibekukan. Kabinet Dwikora mengalami beberapa kali perombakan untuk
menghilangkan pengaruh menteri yang diduga terlibat G-30-S/PKI. Namun tuntutan
terhadap pemerintah untuk melakukan perubahan politik terus berlangsung,
seperti aksi mahasiswa di gedung DPR-GR tanggal 2 Mei 1966. Sebagai reaksi
tekanan berbagai pihak, Presiden Soekamo secara sukarela menyampaikan pidato
pertanggungjawaban pada 22 Juni 1966, pada saat pelantikan pimpinan MPRS. Namun
pidato pertanggungjawaban yang berjudul "Nawaksara" itu tidak
diterima MPRS.
Sejak
pertengahan tahun 1966, perkembangan politik nasional semakin kompleks. Melalui
Tap MPRS No. XIII/MPRS/1966, Letjen Soeharto ditugasi untuk membentuk Kabinet
Ampera. Akibatnya dualisme kepemimpianan nasional mulai terjadi. Kabinet Ampera
dibentuk melalui Keppres No. 163 tanggal 25 Juli 1966 yang ditandatangani
Presiden Soekamo.
Selanjutnya MPRS mengadakan sidang. Pada 25 Juli 1966 Presiden Soekarno melaksanakan Ketetapan MPRS No. XIII/MPRS/1966 tentang Kabinet Ampera dan membubarkan Kabinet Dwikora. Kabinet Dwikora dibangan dalam tiga unsur yaitu (1) Pimpinan kabinet: Presiden Soekamo;(2) Lima orang Menteri Utama yang merupakan suatu presedium;(3) Anggota kabinet terdiri dari 24 menteri. Tugas pokok kabinet Ampera disebut "Dwi Dharma" yaitu : (1) mewujudkan stabilitas politik (2) menciptakan stabilitas ekonomi.
Kabinet Ampera dirombak pada tanggal 11 Oktober 1966, jabatan presiden tetap Soekarno. Namun, Letnan Jenderal Soeharto diangkat sebagai perdana menteri yang memiliki kekuasaan eksekutif dalam Kabinet Ampera yang disempumakan.
Selanjutnya MPRS mengadakan sidang. Pada 25 Juli 1966 Presiden Soekarno melaksanakan Ketetapan MPRS No. XIII/MPRS/1966 tentang Kabinet Ampera dan membubarkan Kabinet Dwikora. Kabinet Dwikora dibangan dalam tiga unsur yaitu (1) Pimpinan kabinet: Presiden Soekamo;(2) Lima orang Menteri Utama yang merupakan suatu presedium;(3) Anggota kabinet terdiri dari 24 menteri. Tugas pokok kabinet Ampera disebut "Dwi Dharma" yaitu : (1) mewujudkan stabilitas politik (2) menciptakan stabilitas ekonomi.
Kabinet Ampera dirombak pada tanggal 11 Oktober 1966, jabatan presiden tetap Soekarno. Namun, Letnan Jenderal Soeharto diangkat sebagai perdana menteri yang memiliki kekuasaan eksekutif dalam Kabinet Ampera yang disempumakan.
Melalui
Sidang Istimewa pada 7-12 Maret 1967 , Majlis Permusyawaratan Rakyat Sementara
berhasil merumuskan ketetapan Nomor : XXXIII/MPRS/1967 yang berisi hal-hal
sebagai berikut:
(1)
Mencabut kekuasaan pemerintahan dari tangan Presiden Soekarno;
(2)
Menarik kembali mandat MPRS dari Presiden Soekarno dengan segala kekuasaannya
sesuai UUD 1945;(3) Mengangkat pengemban Tap Nomor IX/MPRS/1966 tentang
supersemar itu sebagai pejabat presiden hingga terpilihnya presiden menurut
hasil pemilihan umum. Pada akhir Sidang Istimewa MPRS, 12 Maret 1967, Jenderal
Soeharto dilantik dan diambil sumpah oleh Ketua MPRS Jenderal TN1 Abdul Haris
Nasution.
Masyarakat
luas yang terdiri dari berbagai unsur seperti kalangan partai politik,
organisasi massa, perorangan, pemuda, mahasiswa, pelajar, kaum wanita secara
kompak membentuk kesatuan aksi dalam bentuk Front Pancasila untuk menghancurkan
para pendukung G30S/PKI yang diduga melakukan pemberontakan terhadap negara
dengan menuntut agar ada penyelesaian politik terhadap mereka yang terlibat
dalam gerakan pemberontakan tersebut. Kesatuan aksi ini kemudian terkenal
dengan sebutan angkatan 66 antara lain Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia
(KAMI), Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), Kesatuan Aksi Sarjana
Indonesia (KASI), Kesatuan Aksi Wanita Indonesia (KAWI), dan lain-lain.
2.
Perkembangan Kekuasaan Orde Baru
Dengan
surat perintah 11 Maret 1966 Soeharto mengatasi keadaan yang serba tidak
menentu dan sulit terkendali sebagai dampak peristiwa G30S/PKI negara dilanda
instabilitas politik akibat tidak tegasnya kepemimpinan Presiden Soekarno dalam
mengambil keputusan atas peristiwa tersebut. Sementara partai-partai politik
terpecah belah dalam kelompok-kelompok yang saling bertentangan, antara
penentang dan pendukung kebijakan Presiden Soekarno.
Pada 20 Pebruari 1967 Presiden Soekarno menyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada Soeharto yang kemudian dikukuhkan di dalam Sidang Istimewa MPRS dalam ketetapan nomor XXXIII/MPRS/1967 mencabut kekuasaan pemerintahan negara dari Presiden Soekarno dan mengangkat Soeharto sebagai pejabat presiden Republik Indonesia. Adanya ketetapan ini maka situasi konflik yang merupakan sumber instabilitas politik nasional telah berakhir secara konstitusional.
Pada 20 Pebruari 1967 Presiden Soekarno menyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada Soeharto yang kemudian dikukuhkan di dalam Sidang Istimewa MPRS dalam ketetapan nomor XXXIII/MPRS/1967 mencabut kekuasaan pemerintahan negara dari Presiden Soekarno dan mengangkat Soeharto sebagai pejabat presiden Republik Indonesia. Adanya ketetapan ini maka situasi konflik yang merupakan sumber instabilitas politik nasional telah berakhir secara konstitusional.
Kondisi
politik negara sudah mulai kondusif namun demikian kristalisasi Orde Baru belum
selesai maka diperlukan penataan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam
kerangka Orde Baru. Dengan demikian langkah awal diperlukan stabilitas nasional
yang dinamis untuk mendukung kehidupan politik yang berlandaskan Pancasila dan
UUD 1945. Kemudian dibuatlah suatu pengertian bahwa Orde Baru adalah tatanan
seluruh kehidupan rakyat, bangsa, dan negara yang diletakkan pada kemurnian
pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 atau sebagai koreksi terhadap
penyelewengan-penyelewengan yang terjadi dimasa lampau.
Perjuangan
rakyat seperti yang dikemukan para pelajar dan mahasiswa dalam demonstrasi pada
8 Januari 1966 menuju gedung sekretariat negara dan dilajutkan pada 12 Januari
1966 berbagai kesatuan aksi yang tergabung dalam Front Pancasila
berdemonstrasoi di depan gedung DPR-GR yang menuntut penyelesaian stabilitas
negara pasca peristiwa G30S/PKI yang dikenal dengan Tiga Tuntutan Rakyat
(Tritura) yaitu: (1) pembubaran PKI beserta organisasi massanya (2) pembersihan
Kabinet Dwi Kora (3) Penurunan harga-harga barang.
Pada
hakekatnya tuntutan rakyat tersebut merupakan keinginan rakyat yang mendalam
untuk melaksanakan kehidupan bernegara sesuai dengan aspirasi kehidupan dalam
situasi yang kongret. Kemudian direspon oleh MPRS dengan membuat keputusan
sebagai berikut: (1) Pengukuhan tindakan pengemban surat perintah sebelas maret
yang membubarkan PKI berserta ormas-ormasnya, dengan ketetapan nomor
IV/MPRS/1966 dan nomor IX/MPRS/1966 (2) pelarangan faham dan ajaran Komunisme,
Marxisme, Leninsme di Indonesia, dengan ketetapan nomor XXV/MPRS/1966; (3)
pelurusan kembali tertib konstitusional berdasarkan Pancasila dan tertib hukum
dengan ketetapan nomor XX/MPRS/1966.
Usaha
penataan kembali kehidupan politik pada awal 1968 dengan penyegaran anggota
DPR-Gotong Royong yang bertujuan untuk menumbuhkan hak-hak demokrasi dan mencerminkan
kekuatan-kekuatan yang ada dalam masyarakat. Komposisi anggota DPR terdiri dari
wakil-wakil partai politik dan golongan karya. Kemudian dilanjutkan pada tahap
penyederhanaan kehidupan kepartaian, keormasan, dan kekaryaan dengan cara
pengelompokan partai-partai politik dan golongan karya. Usaha ini dimulai tahun
1970 dengan mengadakan serangkaian konsultasi dengan pimpinan partai-partai
politik. Hasil konsultasi itu maka muncullah tiga kelompok di DPR yaitu: (1)
Kelompok Demokrasi Pembangunan yang terdiri dari partai politik PNI, Parkindo,
Partai Katolik, IPKI, dan Murba; (2) Kelompok Persatuan Pembangunan yang
terdiri dari partai politik Partai NU, Partai Muslimin Indonesia, PSII, dan
Perti; (3) Kelompok organisasi profesi seperti organisasi buruh, organisasi
pemuda, organisasi petani dan nelayan, organisasi seniman, dan lain-lain yang
tergabung dalam kelompok Golongan Karya.
Sebagai
negara berkedaulatan rakyat maka Orde Baru mulai menyiapkan menghadapi
pemilihan umum. Pada 23 Mei 1970, Presiden Soeharto dengan surat keputusan
nomor 43 telah menetapkan organisasi-organisasi yang dapat ikut serta dalam
pemilihan umum dan anggota DPR/DPRD yang diangkat. Organisasi politik yang
dapat ikut pemilihan umum yaitu partai politik yang pada waktu pemilihan umum
sudah ada dan diakui serta memiliki wakil di DPR/DPRD. Partai-partai itu adalah
(1) Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia; (2) Murba; (3) Nahdlatul Ulama; (4)
Partai Islam Persatuan Tarbiyah Islam; (5) Partai Katolik; (6) Partai Kresten
Indonesia; (7) Partai Muslimin Indonesia; (8) Partai Nasional Indonesia; (9)
Partai Syarikat Islam Indonesia; dan (10) organsiasi golongan karya yang dapat
ikut serta dalam pemilihan umum adalah Sekretariat Bersama Golongan Karya
(Sekber Golkar).
3.
Kebijakan Pemerintah Orde Baru
Tujuan
perjuangan Orde Baru adalah menegakkan tata kehidupan bernegara yang didasarkan
atas kemurnian pelaksanaan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.
Sejalan
dengan tujuan tersebut maka ketika kondisi politik bangsa Indonesia mulai
stabil untuk melaksanankan amanat masyarakat maka pemerintah mencanangkan
pembangunan nasional yang diupakan melalui program pembangunan jangka pendek
dan pembangunan jangka panjang. Pembangunan jangka pendek dirancang melalui
pembangunan lima tahun (Pelita) yang didalamnya memiliki misi pembangunan dalam
rangka mencapai tingkat kesejahteraan bangsa Indonesia.
Pada
masa ini pengertian pembangunan nasional adalah suatu rangkaian upaya
pembangunan yang berkesinambungan yang meliputi seluruh kehidupan masyarakat,
bangsa, dan negara. Pembangunan nasional dilakukan untuk melaksanakan tugas
mewujudkan tujuan nasioanl yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945 yaitu
melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, meningkatkan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan
sosial.
Dalam
usaha mewujudkan tujuan nasional maka Majlis Permusyawaratan Rakyat sejak tahun
1973-1978-1983-1988-1993 menetapkan garis-garis besar haluan negara (GBHN).
GBHN merupakan pola umum pembangunan nasional dengan rangkaian
program-programnya yang kemudian dijabarkan dalam rencana pembangunan lima
tahun (Repelita). Adapun Repelita yang berisi program-program kongkrit yang
kakan dilaksanakan dalam kurun waktu lima tahun, dalam repelita ini dimulai
sejak tahun 1969 sebagai awal pelaksaan pembangunan jangka pendek dan jangka
panjang. Kemudian terkenal dengan konsep Pembangunan Jangka Panjang Tahap I
(1969-1994) menurut indikator saat itu pembangunan dianggap telah berhasil
memajukan segenap aspek kehidupan bangsan dan telah meletakkan landasan yang
cukup kuat bagi bangsa Indonesia untuk memasuki Pembangunan Jangka Panjang
Tahap II (1995-2020).
Pemerintahan
Orde Baru senantiasa berpedoman pada tiga konsep pembangunan nasional yang
terkenal dengan sebutan Trilogi Pembangunan, yaitu : (1) pemerataan pembangunan
dan hasil-hasilnya yang menuju pada terciptanya keadilan sosial bagi seluruh
rakyat; (2) pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi; dan (3) stabilitas nasional
yang sehat dan dinamis.
Konsekuensi dari pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi sbagi akibat pelaksanaan pembangunan tidak akan bermakna apabila tidak diimbangi dengan pemerataan pembangunan. Oleh karena itu sejak Pembangunan Lima Tahun Tahap III (1 April 1979-31 Maret 1984) maka pemerintahan Orde Baru menetapkan Delapan Jalur Pemerataan, yaitu : (1) pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat, khususnya pangan, sandang, dan perumahan; (2) pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan dan pelayanan kesehatan; (3) pemerataan pembagian pendapatan; (4) pemerataan kesempatan kerja; (5) pemerataan kesempatan berusaha; (6) pemerataan kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan, khususnya bagi generasi muda dan kaum wanita; (7) pemerataan penyebaran pembangunan di seluruh wilayah tanah air; dan (8) pemerataan kesempatan memperoleh keadilan.
Konsekuensi dari pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi sbagi akibat pelaksanaan pembangunan tidak akan bermakna apabila tidak diimbangi dengan pemerataan pembangunan. Oleh karena itu sejak Pembangunan Lima Tahun Tahap III (1 April 1979-31 Maret 1984) maka pemerintahan Orde Baru menetapkan Delapan Jalur Pemerataan, yaitu : (1) pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat, khususnya pangan, sandang, dan perumahan; (2) pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan dan pelayanan kesehatan; (3) pemerataan pembagian pendapatan; (4) pemerataan kesempatan kerja; (5) pemerataan kesempatan berusaha; (6) pemerataan kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan, khususnya bagi generasi muda dan kaum wanita; (7) pemerataan penyebaran pembangunan di seluruh wilayah tanah air; dan (8) pemerataan kesempatan memperoleh keadilan.
B. PROSES MENGUATNYA PERAN NEGARA PADA MASA ORDE BARU
Berkuasanya
Orde Baru ternyata menimbulkan banyak perubahan yang dicapai bangsa Indonesia
melalui tahapan pembangunan di segala bidang. Pemerintahan Orde Baru berusaha
meningkatkan peran negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga
langkah-langkah yang diambil adalah mencapai stabilitas ekonomi dan politik.
Merujuk
hasil Sidang Umum IV MPRS yang mengambil suatu keputusan untuk menugaskan
Jenderal Soeharto selaku pengembang Surat Perintah Sebelas Maret yang sudah
ditingkatkan menjadi ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966 untuk membentuk kabinet
baru.
Kabinet
baru diberi nama Kabinet Ampera yang merupakan singkatan dari Kabinet Amanat
Penderitaan Rakyat selanjutnya diberi tugas untuk menciptakan stabilitas
politik dan ekonomi sebagai persyaratan dalam melaksanakan pembangunan
nasional. Tugas ini yang dikelak terkenal dengan sebutan ”Dwi Darma Kabinet Ampera”.
Sedangkan program kerja terkenal dengan sebutan Catur Karya Kabinet Ampera,
yaitu: (1) memperbaiki kehidupan rakyat terutama dibidang sandang dan pangan;
(2) melaksanakan pemilihan umum dalam batas waktu seperti yang tercantum dalam
ketetapan MPRS No. XI/MPRS/1966 yaitu pada 5 Juli 1968;(3) Melaksanakan politik
luar negeri yang bebas aktif untuk kepentingan nasional, sesuai dengan Tap No.
XI/MPRS/1966; (4) melanjutkan perjuangan anti imperialisme dan kolonialisme
dalam segala bentuk dan manifestasinya.
Pada
21 Maret 1968 Jenderal Soeharto selaku Pejabat Presiden menyampaikan laporan
kepada Sidang Umum V MPRS Tahun 1968 tentang pelaksanaan Dwi Darma dan Catur
Karya Kabinet Ampera, yang dilaporkan pertama kali bahwa telah dilaksanakan
usaha mendudukkan kembali posisi, fungsi, dan hubungan antar lembaga negara
tertinggi sesuai dengan yang diatur dalam UUD 1945.
C. PEMBANGUNAN NASIONAL INDONESIA MASA ORDE BARU
1.
Stabilitas dan Rehabilitasi Ekonomi
Pada
masa awal Orde Baru program khusus pemerintah semata-mata ditujukan untuk
menyelamatkan ekonomi nasional, dalam bentuk memberantas korupsi, menyelamatkan
keuangan negara dan mengamankan kebutuhan pokok pangan rakyat. Dengan
membumbung tinggi harga kebutuhan pokok pada awal 1966 dan tingkat inflasi 650
% setahun membuat pemerintah tidak dapat melaksanakan pembangunan dengan
segera, tetapi harus didahulukan dengan melaksanakan stabilisasi dan
rehabilitasi ekonomi.
Kemudian
MPRS menggariskan tiga program yang harus dilaksanakan pemerintah secara
bertahap, yaitu program penyelamatan, program stabilisasi, dan program
pembangunan. Adapun program stabilisasi dan rehabilitasi merupakan program
jangka pendek dengan skala prioritas: (1) pengendalian inflasi; (2) pencukupan
kebutuhan pangan; (3) rahabilitasi prasarana ekonomi; (4) peningkaan kegiatan
ekspor.
Oleh
karena itu pemerintah mengeluarkan beberapa peraturan penting pada bulan
Oktober 1966 yang memuat pokok usaha, yaitu: (1) anggaran belanja yang
berimbang untuk menghilangkan salah satu sebab bagi inflasi yaitu difisit dalam
anggaran belanja; (2) pengekangan perluasan kredit untuk usaha-usaha produktif
meliputi pangan, ekspor, prasarana dan industri; (3) penundaan pembayaran
utang-utang luar negeri serta usaha untuk mendapatkan kredit baru; (4)
penanaman modal asing guna memberi kesempatan pada luar negeri untuk membuka
alam Indonesia supaya membuka kesempatan kerja dan membantu usaha peningkatan
pendapatan nasional.
2.
Pembangunan Sebelum Pelaksanaan Pembangunan Lima Tahun (Pelita)
Kebijakan
yang dimulai sejak oktober 1966 hingga pertengahan tahun 1968 yaitu kebijakan
stabilisasi yang bersifat operasional penyelamatan dengan tujuan menertibkan
penggunaan keuangan negara.
Prioritas
utama yang dilakukan dengan tindakan mengambil uang yang menjadi hak negara dan
menertibkan prosedur-prosedur keuangan.Hasil-hasil positif yang telah dicapai
oleh pemerintah sebagai berikut: (1) berhasil mengembalikan uang negara sebesar
US $ 9.571.586,33; Yen 145.381.442; dan Rp. 494.947.761,37; (2) dapat
mengembalikan emas seberat 1.005.403 kg; (3) berhasil pula mengembalikan perak
seberat 100 kg.
Tindakan
pemerintah untuk perbaikan ekonomi adalah sebagai berikut: (1) mengadakan
operasi pajak diutamakan di kota-kota besar untuk meneliti sampai sejauhmana
perusahaan besar milik negara dan swasta memenuhi kewajiban bayar pajak; (2)
penghematan pengeluaran dibidang pemerintahan, khususnya untuk pengeluaran yang
konsumtif dan rutin serta penghapusan terhadap subsidi perusahaan-perusahaan;
(3) kredit bank dibatasi dan kredit impor dihapuskan. Kredit ekspor diberikan
apabila bank yakin akan terlangsungnya ekspor.
Usaha
mencukupi kebutuhan pangan dilakukan pemerintah dengan memperhatikan
peningkatan produksi pangan di dalam negeri khususnya beras, untuk meningkatkan
produksi beras diselenggarakan bimbingan masal (bimas) dan intensifikasi masal
(inmas) yang meliputi perbaikan prasarana irigasi, penggunaan bibit unggul
seperti jenis padi PB-5 dan PB-8, penyediaan pupuk dan obat-obatan merupakan
keharusan serta penyuluhan penanaman padi secara teknis.
Dampak
dari bimas dan inmas tersebut pada tahun 1967 produksi padi menunjukkan
kenaikan 3 % dan pada tahun 1968 naik menjadi 5 %. Peningkatan produksi pangan
pada tahun 1968 disebabkann oleh adanya perubahan kebijakan dalam penggunaan
bea masuk untuk berbagai macam tekstil dengan tujuan untuk memberikan proteksi
pada produksi dalam negeri.
Kemajuan ekonomi yang berhasil dicapai oleh pemerintah dari laju inflasi 650 % menjadi 120 % pada tahun 1967. Pemerintah masih mengalami kesulitan mengelola keuangan negara dampak dari utang-utang peninggalan Orde Lama yang mencapai US $ 2,2 – 2,7 milyar sehingga kesulitan menurunkan laju inflasi ke titik yang lebih aman dalam perekonomian Indonesia. Akibatnya situasi ekonomi dan keuangan masih meprihatinkan, oleh karena itu pemerintah Orde Baru meminta kepada negara-negara kreditor untuk menunda pembayaran utang-utang tersebut.
Kemajuan ekonomi yang berhasil dicapai oleh pemerintah dari laju inflasi 650 % menjadi 120 % pada tahun 1967. Pemerintah masih mengalami kesulitan mengelola keuangan negara dampak dari utang-utang peninggalan Orde Lama yang mencapai US $ 2,2 – 2,7 milyar sehingga kesulitan menurunkan laju inflasi ke titik yang lebih aman dalam perekonomian Indonesia. Akibatnya situasi ekonomi dan keuangan masih meprihatinkan, oleh karena itu pemerintah Orde Baru meminta kepada negara-negara kreditor untuk menunda pembayaran utang-utang tersebut.
Pada
tanggal 19-30 September 1966 di kota Tokyo-Jepang diadakan perundingan
Indonesia dengan para negara kreditor Perancis, Inggris, Italia, Jerman Barat,
Belanda, Amerika Serikat yang disponsori oleh Japang, pada kesempatan ini
pemerintah Indonesia mengemukakan bahwa devisa ekspor sebagai pembayaran utang,
tetapi perlu untuk mengimpor bahan-bahan baku, suku cadang, dan sebagainya agar
keadaan ekonomi Indonesia bisa menjadi lebih baik lagi. Para negara kreditor
menanggapi dengan serius apa yang telah dikemukakan pemerintah Indonesia maka
perlu ditindaklanjuti dengan pertemuan lagi dalam pertemuan di Paris-Perancis
yang menghasilkan: (1) utang Indonesia yang seharusnya dibayar tahun 1968
ditunda pembayarannya hingga tahun 1972-1978; (2) Utang yang seharusnya dibayar
tahun 1969 dan 1970 dipertimbangkan untuk ditunda pembayarannya dengan syarat
yang sama lunaknya dengan utang-utang yang seharusnya dibayar dalam tahun 1968.
Perundingan antara Indonesia dengan para kreditor itu kemudian dikenal dengan
istilah Tokyo Club dan Paris Club.
Berdirinya
IGGI (Inter Govermental Group fo Indonesia) bermula dari lanjutan pertemuan
Paris Cub antara Indonesia dengan para kreditor yang dilaksanakan di Kota
Amsterdam-Belanda pada 23-24 Pebruari 1967 pertemuan ini membicarkan kebutuhan
Indonesia akan bantuan luar negeri serta kemungkinan-kemungkinan memberi
bantuan dengan syarat lunak. Hasilnya memperoleh bantuan untuk melangsungkan
pembangunan dan penangguhan serta memberi keringanan syarat-syarat pembayaran
kembali utang-utang peninggalan Orde Lama.
Pinjaman-pinjaman
dari luar negeri digunakan untuk tiga macam hal yang disebut dengan Bukti
Ekspor (BE), yaitu : (1) impor, (2) proyek-proyek pembangunan, dan (3) pangan.
Bukti Ekspor dapat digunakan untuk impor barang-barang ekonomi seperti suku
cadang, pupuk, dan obat hama. Bukti Ekspor untuk impor pangan memungkinkan
devisa pemerintah bisa digunakan untuk keperluan lain yang lebih produktif.
Bukti Ekspor yang diwujudkan dalam bentuk barang-barang konsumtif itu dijual
oleh pemerintah dan hasilnya dimasukkan dalam Anggaran Belanja Pemerintah dan
kemudian dipakai untuk anggaran pembangunan. Sehingga anggaran pembangunan
dalam bentuk rupiah itu berasal dari penjualan barang-barang konsumtif. Dengan
demikian bantuan luar negeri dismpaing untuk mengimpor barang-barang yang perlu
dan hasil penjualannya dipakai pula untuk membiayai pembangunan pula.
Dalam perkembangan sistem pemerintahan presidensial di negara
Indonesia (terutama setelah amandemen UUD 1945) terdapat perubahan-perubahan
sesuai dengan dinamika sistem pemerintahan di Indonesia. Hal itu diperuntukkan
dalam memperbaiki sistem presidensial yang lama. Perubahan baru tersebut antara
lain, adanya pemilihan presiden langsung, sistem bikameral, mekanisme cheks and
balance dan pemberian kekuasaan yang lebih besar pada parlemen untuk melakukan
pengawasan dan fungsi anggaran.
Secara umum dengan dilaksanakannya amandemen Undang-Undang
Dasar 1945 pada era reformasi, telah banyak membawa perubahan yang mendasar
baik terhadap ketatanegaraan (kedudukan lembaga-lembaga negara), sistem
politik, hukum, hak asasi manusia, pertahanan keamanan dan sebagainya. Berikut
ini dapat dilihat perbandingan model sistem pemerintahan negara republik
Indonesia pada masa orde baru dan pada masa reformasi.
- Masa Orde Baru (1966-1998)
Orde baru lahir dengan diawali berhasilnya penumpasan
terhadap G.30.S/PKI pada tanggal 1 Oktober 1965. Orde baru sendiri adalah suatu
tatanan perikehidupan yang mempunyai sikap mental positif untuk mengabdi kepada
kepentingan rakyat, dalam rangka mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia untuk
mencapai suatu masyarakat adil dan makmur baik material maupun spiritual
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 melalui pembangunan di segala bidang kehidupan.
Orde Baru bertekad untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan
konsekuen. Orde Baru ingin mengadakan ‘koreksi total’ terhadap sistem
pemerintahan Orde Lama.
Pada tanggal 11 Maret 1966, Presiden Soekarno mengeluarkan
surat perintah kepada Letjen Soeharto atas nama presiden untuk mengambil
tindakan yang dianggap perlu guna mengamankan pelaksanaan UUD 1945 secara murni
dan konsekuen, untuk menegakkan RI berdasarkan hukum dan konstitusi. Maka
tanggal 12 Maret 1966, dikeluarkanlah Kepres No. 1/3/1966 yang berisi
pembubaran PKI, ormas-ormasnya dan PKI sebagai organisasi terlarang di
Indonesia serta mengamankan beberapa menteri yang terindikasi terkait kasus
PKI. (Erman Muchjidin, 1986:58-59).
Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden
Soeharto di Indonesia. Orde Baru menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era
pemerintahan Soekarno. Orde Baru berlangsung dari tahun 1966 hingga 1998. Pada
tahun 1968, MPR secara resmi melantik Soeharto untuk masa jabatan 5 tahun
sebagai presiden, dan dia kemudian dilantik kembali secara berturut-turut pada
tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998.
Di dalam Penjelasan UUD 1945, dicantumkan pokok-pokok Sistem
Pemerintahan Negara Republik Indonesia pada era Orde baru, antara lain sebagai
berikut :
- Indonesia adalah negara hukum (rechtssaat)
Negara Indonesia berdasar atas hukum (rechtsstaat),
tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsaat). Ini mengandung arti
bahwa negara, termasuk di dalamnya pemerintah dan lembaga-lembaga negara lain,
dalam melaksanakan tugasnya/ tindakan apapun harus dilandasi oleh hukum dan
dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.
- Sistem Pemerintahan Presidensiil
Sistem pemerintahan pada orde baru adalah presidensiil karena
kepala negara sekaligus sebagai kepala pemerintah dan menteri-menteri
bertanggung jawab kepada presiden. Tetapi dalam kenyataan, kedudukan presiden
terlalu kuat. Presiden mengendalikan peranan paling kuat dalam pemerintahan.
- Sistem Konstitusional
Pemerintahan berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar).
Sistem ini memberikan ketegasan cara pengendalian pemerintahan negara yang
dibatasi oleh ketentuan konstitusi, dengan sendirinya juga ketentuan dalam
hukum lain yang merupakan produk konstitusional, seperti Ketetapan-Ketetapan
MPR, Undang-undang, Peraturan Pemerintah, dan sebagainya. Diadakan tata urutan
terhadap peraturan perundang-undangan. Berdasarkan pada TAP MPRS No.
XX/MPRS/1966 urutannya adalah sebagai berikut :
- UUD 1945
- Ketetapan MPR
- UU
- Peraturan Pemerintah
- Kepres
- Peraturan pelaksana lainnya, misalnya Keputusan Menteri, Instruksi Menteri, Instruksi Presiden dan Peraturan Daerah. (Erman Muchjidin,1986:70-71).
- Kekuasaan negara tertinggi di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Kedaulatan rakyat dipegang oleh suatu badan yang bernama MPR
sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia Tugas Majelis adalah:
- Menetapkan Undang-Undang Dasar,
- Menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara,
- Mengangkat kepala negara (Presiden) dan wakil kepala negara (wakil presiden).
Majelis inilah yang memegang kekuasaan negara tertinggi,
sedang Presiden harus menjalankan haluan negara menurut garis-garis besar yang
telah ditetapkan oleh Majelis. Presiden yang diangkat oleh Majelis, tunduk dan
bertanggungjawab kepada Majelis. Presiden adalah “mandataris” dari Majelis yang
berkewajiban menjalankan ketetapan-ketetapan Majelis.
- Presiden ialah penyelenggara pemerintah Negara yang tertinggi menurut UUD
Dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan negara, tanggung
jawab penuh ada di tangan Presiden. Hal itu karena Presiden bukan saja dilantik
oleh Majelis, tetapi juga dipercaya dan diberi tugas untuk melaksanakan
kebijaksanaan rakyat yang berupa Garis-garis Besar Haluan Negara ataupun
ketetapan MPR lainnya.
- Presiden tidak bertanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Kedudukan Presiden dengan DPR adalah sejajar. Dalam hal
pembentukan undang-undang dan menetapkan APBN, Presiden harus mendapat
persetujuan dari DPR. Oleh karena itu, Presiden harus bekerja sama dengan DPR.
Presiden tidak bertanggung jawab kepada Dewan, artinya kedudukan Presiden tidak
tergantung dari Dewan. Presiden tidak dapat membubarkan DPR seperti dalam
kabinet parlementer, dan DPR pun tidak dapat menjatuhkan Presiden.
- Menteri negara ialah pembantu Presiden, menteri negara tidak bertanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Presiden memilih, mengangkat dan memberhentikan
menteri-menteri negara. Menteri-menteri itu tidak bertanggung jawab kapada DPR
dan kedudukannya tidak tergantung dari Dewan., tetapi tergantung pada Presiden.
Menteri-menteri merupakan pembantu presiden.
- Kekuasaan Kepala Negara tidak tak terbatas.
Meskipun kepala negara tidak bertanggung jawab kepada DPR,
tetapi bukan berarti ia “diktator” atau tidak terbatas. Presiden, selain harus
bertanggung jawab kepada MPR, juga harus memperhatikan sungguh-sungguh suara-suara
dari DPR karena DPR berhak mengadakan pengawasan terhadap Presiden (DPR adalah
anggota MPR). DPR juga mempunyai wewenang mengajukan usul kepada MPR untuk
mengadakan sidang istimewa guna meminta pertanggungjawaban Presiden, apabila
dianggap sungguh-sungguh melanggar hukum berupa pengkhianatan terhadap negara,
korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tarcela.
- Sistem Kepartaian
Sistem kepartaian menggunakan sistem multipartai, tetapi
hanya ada 3 partai, yaitu Golkar, PDI, dan PPP. Secara faktual hanya ada 1
partai yang memegang kendali yaitu partai Golkar dibawah pimpinan Presiden
Soeharto.
- Masa Reformasi (1998-sekarang)
Munculnya Era Reformasi ini menyusul jatuhnya pemerintah Orde
Baru tahun 1998. Krisis finansial Asia yang menyebabkan ekonomi Indonesia
melemah dan semakin besarnya ketidak puasan masyarakat Indonesia terhadap
pemerintahan pimpinan Soeharto saat itu menyebabkan terjadinya demonstrasi
besar-besaran yang dilakukan berbagai organ aksi mahasiswa di berbagai wilayah Indonesia.
Pemerintahan Soeharto semakin disorot setelah Tragedi
Trisakti pada 12 Mei 1998 yang kemudian memicu Kerusuhan Mei 1998 sehari
setelahnya. Gerakan mahasiswa pun meluas hampir diseluruh Indonesia. Di bawah
tekanan yang besar dari dalam maupun luar negeri, Soeharto akhirnya memilih
untuk mengundurkan diri dari jabatannya.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Pokok-pokok sistem pemerintahan negara Indonesia berdasarkan
UUD 1945 sebelum diamandemen atau pada masa orde baru tertuang dalam Penjelasan
UUD 1945 tentang tujuh kunci pokok sistem pemerintahan negara tersebut sebagai
berikut.
- Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat).
- Sistem Konstitusional.
- Kekuasaan negara yang tertinggi di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat.
- Presiden adalah penyelenggara pemerintah negara yang tertinggi dibawah Majelis Permusyawaratan Rakyat.
- Presiden tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
- Menteri negara ialah pembantu presiden, menteri negara tidak bertanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
- Kekuasaan kepala negara tidak tak terbatas.
Berdasarkan tujuh kunci pokok sistem pemerintahan, sistem
pemerintahan Indonesia menurut UUD 1945 menganut sistem pemerintahan
presidensial. Sistem pemerintahan ini dijalankan semasa pemerintahan Orde Baru
di bawah kepemimpinan Presiden Suharto. Ciri dari sistem pemerintahan masa itu
adalah adanya kekuasaan yang amat besar pada lembaga kepresidenan. Hamper semua
kewenangan presiden yang di atur menurut UUD 1945 tersebut dilakukan tanpa
melibatkan pertimbangan atau persetujuan DPR sebagai wakil rakyat.
Sekarang ini sistem pemerintahan di Indonesia masih dalam
masa transisi. Sebelum diberlakukannya sistem pemerintahan baru berdasarkan UUD
1945 hasil amandemen keempat tahun 2002, sistem pemerintahan Indonesia masih
mendasarkan pada UUD 1945 dengan beberapa perubahan seiring dengan adanya
transisi menuju sistem pemerintahan yang baru.
Pokok-pokok sistem pemerintahan Indonesia pada masa reformasi
adalah sebagai berikut.
- Bentuk negara kesatuan dengan prinsip otonomi daerah yang luas. Wilayah negara terbagi dalam beberapa provinsi.
- Bentuk pemerintahan adalah republik, sedangkan sistem pemerintahan presidensial.
- Presiden adalah kepala negara dan sekaligus kepala pemerintahan. Presiden dan wakil presiden dipilih dan diangkat oleh MPR untuk masa jabatan lima tahun. Untuk masa jabatan 2004-2009, presiden dan wakil presiden akan dipilih secara langsung oleh rakyat dalam satu paket.
- Kabinet atau menteri diangkat oleh presiden dan bertanggung jawab kepada presiden.
- Parlemen terdiri atas dua bagian (bikameral), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Para anggota dewan merupakan anggota MPR. DPR memiliki kekuasaan legislatif dan kekuasaan mengawasi jalannya pemerintahan.
- Kekuasaan yudikatif dijalankan oleh Makamah Agung dan badan peradilan dibawahnya.
Dengan demikian, ada perubahan-perubahan baru dalam sistem
pemerintahan Indonesia. Hal itu diperuntukan dalam memperbaiki sistem
presidensial yang lama. Perubahan baru tersebut, antara lain adanya pemilihan
secara langsung, sistem bikameral, mekanisme cheks and balance, dan pemberian
kekuasaan yang lebih besar kepada parlemen untuk melakukan pengawasan dan
fungsi anggaran.
DAFTAR PUSTAKA
Soehino.
1992. Hukum Tata Negara Indonesia. Yogyakarta : Liberty.
Undang-Undang Dasar RI 1945 Hasil Amandemen Pertama-Keempat.
No comments:
Post a Comment