BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
belakang
Tata laksana pemerintahan yang baik adalah
seperangkat proses yang diberlakukan dalam organisasi baik swasta maupun negeri
untuk menentukan keputusan. Tata laksana pemerintahan yang baik ini walaupun
tidak dapat menjamin sepenuhnya segala sesuatu akan menjadi sempurna - namun,
apabila dipatuhi jelas dapat mengurangi penyalah-gunaan kekuasaan dan korupsi. Banyak badan-badan donor internasional,
seperti IMF dan Bank Dunia, mensyaratkan diberlakukannya unsur-unsur tata
laksana pemerintahan yang baik sebagai dasar bantuan dan pinjaman yang akan
mereka berikan.
Istilah good governance ini merupakan wacana yang
mengiringi gerakan reformasi. Wacana good governance seringkali dikaitkan
dengan tuntutan akan pengelolaan pemerintah yang profesional, akuntabel, dan
bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Pemerintahan yang bersih dari
KKN adalah bagian penting dari pembangunan demokrasi, HAM, dan masyarakat
madani di Indonesia.
B. Rumusan
masalah
1.
Apa
pengertian dari good governance?
2.
Apa
sajakah prinsip-prinsip pokok dalam mewujudkan good governance?
3.
Bagaimana
cara mengelola tata pemerintahan yang baik dalam sistem pemerintahan suatu
negara?
C. Tujuan
Dengan disusunnya makalah ini, diharapkan Saudara
mampu untuk:
1.
Memahami
pengertian good governance.
2.
Memahami
pentingnya prinsip-prinsip good governance dalam tata kelola pemerintahan yang
akuntabel.
3.
Memahami
kebijakan pemerintah terkait dengan paradigma good governance.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Konsepsi Good Governance
Pemerintah atau government dalam
bahasa Inggris adalah: "The auhoritative direction and
administration of the affairs of men/women in a na-loft, state, city,
etc." Atau dalam bahasa Indonesia berarti "Pengarahan dan
idministrasi yang berwenang atas kegiatan orang-orang dalam sebuah neg-ira,
negara bagian, kota, dan sebagainya." Bisa juga berarti "The
governing )Ody of nation, state, city, etc." Atau lembaga atau
badan yang menyeleng-[arakan pemerintahan negara, negara bagian atau kota, dan
sebagainya.
Sedangkan istilah "kepemerintahan" atau
dalam bahasa Inggris "governance" adalah "The
act, fact, manner of governing," berarti: tindakan, fakta, pola,
dan kegiatan atau penyelenggaraan pemerintahan." Dengan demikian 'governance adalah
suatu kegiatan (proses), sebagaimana dikemukakan oleh Kooiman (l993) bahwa govrrnanco lebih
merupakan "...serangkaian proses interaksi sosial politik antara
pemerintahan dengan masyarakat dalam berbagai bidang yang berkaitan dengan
kepentingan masyarakat dan intervensi pemerintah atas kepentingan-kepentingan
tersebut.”
Istilah "governance" tidak
hanya berarti kepemerintahan sebagai suatu kegiatan, tetapi juga mengandung
arti pengurusan, pengelolaan, pengarah-an, pembinaan penyelenggaraan serta bisa
juga diartikan pemerintahan. Oleh karena itu tidak mengherankan apabila
terdapat istilah public governance, private governance, corporate
governance, dan banking governance. Governancesebagai
terjemahan dan pemerintahan kemudian berkembang dan menjadi populer dengan
sebutan kepemerintahan atau tata kelola, se-dangkan praktik terbaiknya disebut
kepemerintahan atau tata kelola yang baik (good governance).
Secara konseptual, pengertian kata baik (good) dalam
istilah kepemerintahan yang baik (good governance) mengandung
dua pemahaman:
a.
Nilai
yang menjunjung tinggi keinginan/kehendak rakyat, dan nilai-nilai yang dapat
meningkatkan kemampuaa rakyat dalam mencapai tujuan (nasional) kemandirian,
pembangunarr berkelanjutan, dan keadilan sosial.
b.
Aspek
fungsional dari pemerintah yang efektif dan efisien dalam pelaksanaan tugasnya
untuk mencapai tujuan tersebut.
Selanjutnya,
lembaga administrasi negara mengemukakan bahwa good governance berorientasi
pada:
a.
Orientasi
ideal negara yang diarahkan pada pencapaian tujuan nasional.
b.
Pemerintahan
yang berfungsi secara ideal, yaitu secara efektif dan efisien dalam melakukan
upaya mencapai tujuan nasional. Orientasi pertama mengacu pada demokratisasi
dalam kehidupan bernegara dengan ele men-elemen konstitusinya seperti: legitimacy (apakah
pemerintah d/pi-lih oleh dan mendapat kepercayaan dari rakyatnya), accountability
scur-ing of human right, autonomy, and devolution of power dan assurance of
civian control. Sedangkan orientasi kedua, bergantung pada sejauh mana
struktur serta mekanisme politik dan administrasinya berfungs/ so cara efektif
dan efisien.
Lembaga Administrasi Negara (2000) menyimpulkan bahwa
wujud gooey governance adalah menyelenggarakan
pemerintahan negara yang solid dan bertanggung jawab, serta efisien
dan efektif, dengan menjaga kesinergisan interaksi yang konstruktif diantara
domain domain negara, sektor swasta, dam masyarakat.
Selain itu, Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000
merumuskan arti good governance sebagai berikut: Kepemerintahan yang mengemban
menerapkan prinsip-prinsip profesionalitas, akuntaDintas, transparansi,
)dayanan prima, demokrasi, efisiensi, efektivitas, supremasi hukum, dan lapat
diterima oleh seluruh masyarakat."
Dengan demikian, pada dasarnya pihak-pihak yang
berkepentingan lalam kepemerintahan(governance stakeholders) dapat
dikelompokkan rienjadi tiga kategori, yaitu :
1. Negara/Pemerintahan. Konsepsi kepemerintahan pada
dasarnya adalah kegiatan kenegaraan, tetapi lebih jauh darr itu melibatkan pula
sektor swasta dan kelembagaan masyarakat madani.
2. Sektor Swasta. Pelaku sektor swasta mencakup
perusahaan swasta yang aktif dalam interaksi sistem pasar, seperti: industri
pengelolaan perda-gangan, perbankan, dan koperasi, termasuk kegiatan sektor
informal.
3. Masyarakat Madani. Kelompok masyarakat dalam konteks
kenegaraan pada dasarnya berada di antara atau di tengah-tengah antara
pemerintah dan perorangan, yang mencakup baik perseorangan maupun kelompok
masyarakat yang berinteraksi secara sosial, politik, dan ekonomi.
B. Pengertian Pemerintahan
Pemerintahan secara popular sering disebut dengan good
governance. Istilah Good governance ini secara umum diterjemahkan dengan
pemerintahan yang baik, meskipun istilah aslinya memandang luas dimensi
governance tidak sebatas hanya menjadi pemerintahan saja. Selain itu good
governance dapat juga diartikan sebagai tindakan atau tingkah laku yang
didasarkan pada nilai-nilai yang bersifat mengarahkan, mengendalikan, atau
mempengaruhi masalah publik untuk mewujudkan nilai-nilai itu dalam tindakan dan
kehidupan keseharian. Sedangkan pemerintahan dalam artian umum adalah
lembaga atau badan-badan publik dalam menjalankan fungsinya untuk mencapai
tujuan Negara. Pemerintahan dalam artian luas adalah segala kegiatan
badan-badan publik yang meliputi kegiatan legislatif, eksekutif, dan yudikatif
dalam usaha mencapai tujuan Negara. Pada dasarnya konsep good governance
memberikan rekomendasi pada system pemerintahan yang menekankan kesetaraan
antara lembaga-lembaga Negara baik di tingkat pusat maupun daerah, sektor
swasta dan masyarakat madani.
Karakteristik Dasar Good Governance
Ada
tiga karakteristik dasar good governance:
1. Diakuinya semangat pluralisme. Artinya, pluralitas
telah menjadi se-buah keniscayaan yang tidak dapat dielakkan sehingga mau tidak
mau, pluralitas telah menjadi suatu kaidah yang abadi. Dengan kata lain, pluralitas
merupakan sesuatu yang kodrati (given) dalam kehidupan. Pluralisme
bertujuan mencerdaskan umat melalui perbedaan konstruktif dan dinamis, dan
merupakan sumber dan motivator terwujudnya kreativitas yang terancam
keberadaannya jika tidak terdapat perbedaan. Satu hal yang menjadi catatan
penting bagi kita adalah sebuah peradaban yang kosmopolit akan tercipta apabila
manusia memiliki sikap inklusif dan kemampuan (ability)menyesuaikan
diri terhadap lingkungan sekitar. Namun, dengan catatan, identitas sejati atas
parameter-parameter otentik agama tetap terjaga.
2. Tingginya sikap lolcransi, baik terhadap saudara
sesama agama maupun terhadap umat agama lain. Secara sederhana, Toleransi dapat
diartikan sebagai sikap suka mendengar dan menghargai pendapat dan pendirian
orang lain. Senada dengan hal itu, Quraish Shihab menyatakan bahwa agama tidak
semata-mata mempertahankan kelestariannya sebagai sebuah agama, namun juga
mengakui eksistensi agama lain dengan memberinya hak hidup, berdampingan, dan saling
menghormati.
3. Tegaknya prinsip demokrasi. Demokrasi bukan sekadar
kebebasan dan persaingan, demokrasi juga merupakan suatu pilihan untuk
bersama-sama membangun dan memperjuangkan perikehidupan warga dan ma-syarakat
yang semakin sejahtera.
Masyarakat madani
mempunyai ciri-ciri ketakwaan yangtinggi kepada Tuhan, hidup berdasarkan sains
dan teknologi, berpendidikan tinggi, menga-malkan nilai hidup modern dan
progresif, mengamalkan nilai kewarganega-raan, akhlak, dan moral yang baik,
mempunyai pengaruh yang luas dalam proses membuat keputusan, serta menentukan
nasib masa depan yang baik melalui kegiatan sosial, politik, dan lembaga
masyarakat
C.
Prinsip-prinsip
pemerintahan yang baik
Pemerintah adalah organisasi yang memiliki kekuasaan
untuk membuat dan menerapkan hukum serta undang-undang di wilayah tertentu.
Berikut sembilan aspek fundamental (asas) dalam perwujudan good governance,
yaitu :
1.
Partisipasi (Participation)
Semua warga negara berhak terlibat dalam keputusan,
baik langsung maupun melalui lembaga perwakilan yang sah untuk mewakili
kepentingan mereka. Paradigma sebagai center for public harus diikuti dengan
berbagai aturan sehingga proses sebuah usaha dapat dilakukan dengan baik dan
efisien, selain itu pemerintah juga harus menjadi public server dengan
memberikan pelayanan yang baik, efektive, efisien, tepat waktu serta dengan
biaya yang murah, sehingga mereka memiliki kepercayaan dari masyarakat.
Partisipasi masyarakat sangat berperan besar dalam pembangunan, salah satunya
diwujudkan dengan pajak.
2.
Penegakan Hukum (Rule of Law)
Penegakan hukum adalah pengelolaan pemerintah yang
profesional dan harus didukung oleh penegakan hukum yang berwibawa. Penegakan
hukum sangat berguna untuk menjaga stabilitas nasional. Karena suatu hukum
bersifat tegas dan mengikat. Perwujudan good governance harus di imbangi dengan
komitmen pemerintah untuk menegakkan hukum yang mengandung unsur-unsur sebagai
berikut :
· Supremasi Hukum, yakni setiap tindakan unsur-unsur
kekuasaan negara dan peluang partisipasi masyarakat dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara didasarkan pada hukum dan peraturan yang jelas dan tega dan
dijamain pelaksanaannya secara benar serta independen.
· Kepastian hukum, bahwa setiap kehidupan berbangsa dan
bernegara diatur oleh hukum yang jelas dan pasti, tidak duplikasi dan tidak
bertentangan antara satu dengan lainnya.
· Hukum yang responsive, yakni aturan-aturan hukum
disusun berdasarkan aspirasi msyarakat luas, dan mampu mengakomodasi berbagai
kebutuhan publik secara adil.
· Penegakan hukum yang konsisten dan nondiskriminatif,
yakni penegakan hukum yang berlaku untuk semua orang tanpa pandang bulu jabatan
maupun status sosialnya sebagai contoh aparat penegak hukum yang melanggar
kedisiplinan dan hukum wajib dikenakan sanksi.
· Independensi peradilan, yakni peradilan yang
independen bebas dari pengaruh penguasa atau pengaruh lainnya.
Sayangnya, di negara kita independensi peradilan belum begitu baik dan
dinodai oleh aparat penegak hukum sendiri, sebagai contoh kecilnya yaitu kasus
suap jaksa.
3.
Tranparasi (Transparency)
Akibat tidak adanya prinsip transparansi ini bangsa
indonesia terjebak dalam kubangan korupsi yang sangat parah. Salah satu yang
dapat menimbulkan dan memberi ruang gerak kegiatan korupsi adalah manajemen
pemerintahan yang tidak baik. Dalam pengelolaan negara, Goffer berpendapat
bahwa terdapat delapan unsur yang harus dilakukan secara transparasi, yaitu :
·
Penetapan
posisi dan jabatan.
·
Kekayaan
pejabat publik.
·
Pemberian
penghargaan.
·
Penetapan
kebijakan yang terkait dengan pencerahan kehidupan.
·
Kesehatan.
·
Moralitas
para pejabat dan aparatur pelayanan publik.
·
Keamanan
dan ketertiban.
·
Kebijakan
strategis untuk pencerahan kehidupan masyarakat.
4.
Responsif (Responsiveness)
Asas responsif adalah bahwa pemerintah harus tanggap
terhadap persoalan-persoalan masyarakat secara umum. Pemerintah harus memenuhi
kebutuhan masyarakatnya, bukan menunggu masyarakat menyampaikan aspirasinya,
tetapi pemerintah harus proaktif dalam mempelajari dan mengalisa
kebutuhan-kebutuhan masyarakat. Jadi setiap unsur pemerintah harus memiliki dua
etika yaitu etika individual yang menuntut pemerintah agar memiliki kriteria
kapabilitas dan loyalitas profesional. Dan etika sosial yang menuntut
pemerintah memiliki sensitifitas terhadap berbagai kebutuhan pubik. Orientasi
kesepakatan atau Konsensus (Consensus Orientation).
Asas konsensus adalah bahwa setiap keputusan apapun
harus dilakukan melalui proses musyawarah. Cara pengambilan keputusan secara
konsensus akan mengikat sebagianbesar komponen yang bermusyawarah dalam upaya
mewujudkan efektifitas pelaksanaan keputusan. Semakin banyak yang terlibat
dalam proses pengambilan keputusan maka akan semakin banyak aspirasi dan
kebutuhan masyarakat yang terwakili selain itu semakin banyak yang melakukan
pengawasan serta kontrol terhadap kebijakan-kebijakan umum maka akan semakin
tinggi tingkat kehati-hatiannya dan akuntanbilitas pelaksanaannya dapat
semakin di pertanggungjawabkan.
5.
Keadilan dan Kesetaraan (Equity)
Asas kesetaraan dan keadilan adalah kesamaan dalam
perlakuan dan pelayanan publik. Pemerintah harus bersikap dan berprilaku adil
dalam memberikan pelayanan terhadap publik tanpa mengenal perbedaan kedudukan,
keyakinan, suku, dan kelas sosial.
6.
Efektivitas (Effectifeness) dan Efisiensi (Efficiency)
Yaitu pemerintah harus berdaya guna dan berhasil guna.
Kriteria efektivitas biasanya diukur dengan parameter produk yang dapat
menjangkau sebesar-besarnya kepentingan masyarakat dari berbagai kelopok dan
lapisan sosial. Sedangkan asas efisiensi umumnya diukur dengan rasionalitas
biaya pembangunan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Semakin kecil biaya yang
dipakai untuk mencapai tujuan dan sasaran maka pemerintah dalam kategori
efisien.
7.
Akuntabilitas (Accountability)
Asas akuntabilitas adalah pertanggungjawaban pejabat
publik terhadap masyarakat yang memberinya kewenangan untuk mengurusi
kepentingan mereka. Setiap pejabat publik dituntut untuk
mempertanggungjawabkan semua kebijakan, perbuatan, moral, maupun netralitas
sikapnya terhadap masyarakat. Inilah yang dituntut dalam asas akuntabilitas
dalam upaya menuju pemerintahan yang bersih dan berwibawa.
8.
Visi Strategis (Strategic Vision)
Visi strategis adalah pandangan-pandangan strategis
untuk menghadapi masa yang akan datang. Kualifikasi ini menjadi penting dalam
rangka realisasi good governance. Dengan kata lain, kebijakan apapun yang akan
diambil saat ini, harus diperhitungkan akibatnya pada sepuluh atau dua puluh
tahun ke depan. Tidak sekedar memiliki agenda strategis untuk masa yang akan
datang, seorang yang menempati jabatan publik atau lembaga profesional lainnya
harus mempunyai kemampuan menganalisis persoalan dan tantangan yang akan
dihadapi oleh lembaga yang dipimpinnya.
D.
Good governance dan kontrol sosial
Untuk mewujudkan pemerintahan yang baik berdasarkan prinsip-prinsip
pokok goodgovernance, setidaknya harus melakukan lima aspek pelaksanaan
prioritas program, yakni :
1.
Penguatan fungsi dan Peran Lembaga Perwakilan
Penguatan peran lembaga perwakilan rakyat, MPR, DPR,
DPRD, mutlak dilakukan dalam rangka peningkatan fungsi mereka sebagai
pengontrol jalannya pemerintahan. Selain melakukan check and balances , lembaga
legislatif juga harus mampu menyerap dan mengartikulasikan aspirasi masyarakat
dalam bentuk usulan pembangunan yang berorientasi pada kepentingan masyarakat
kepada lembaga eksekitif.
2.
Kemandirian Lembaga Peradilan
Kesan yang paling buruk dari pemerintahan orde baru
adalah ketidak mandirian lembaga peradilan. Intervensi eksekutif terhadap
yudikatif masih sangat kuat,sehingga peradilan tidak mampu menjadi pilar
terdepan dalam penegakan asas rule of law. Hakim, jaksa dan polisi tidak bisa
dengan leluasa menetapkan perkara. Era reformasi sebagai era pembaharuan juga
masih belum memberikan angin segar bagi independensi lembaga peradilan, karna
mainstream pembaharuan independensi lembaga peradilan sampai saat ini belum
jelas. Untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa berdasarkan
prinsip good governance, peningkatan profesionalitas aparat penegak
hukum dan kemandirian lembaga peradilan mutlak dilakukan. Akuntabilitas aparat
penegak hukum dan lembaga yudikatif merupakan pilar yang menentukan dalam
penegakan hukum dan keadilan.
3.
Aparatur Pemerintah yang Profesional dan Penuh Integritas
Birokrasi di Indonesia tidak hanya dikenal buruk dalam
memberikan pelayanan publik, tapi juga telah memberi peluang berkembangnya
praktik-praktik kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN). Dengan demikian
pembaharuan konsep, mekanisme dan paradigma aparatur negara dari birokrasi
elitis menjadi birokrasi populis (pelayanan rakyat) harus dibarengi ddengan
peningkatan profesionalitas dan integritas moral jajaran birokrasi pemerintah.
Akuntabilitas jajaran birokrasi akan berdampak pada naiknya akuntabilitas dan
legitimasi birokrasi itu sendiri. Aparatur birokrasi yang mempunyai karakter
tersebut dapat bersinergi dengan pelayanan birokrasi secara cepat, efektif, dan
berkualitas.
4.
Masyarakat Madani yang Kuat dan Partisipatif
Peningkatan partisipasi masyarakat adalah unsur
penting dalam merealisasikan pemerintahan yang bersih dan berwibawa.
Partisipasi masyarakat dalam proses kebijakan publik mutlak dilakukan dan
difasilitasi oleh negara. Masyarakat mempunyai hak untuk menyampaikan usulan,
mendapat informasi, dan hak untuk melakukan kritik terhadap berbagai kebijakan
pemerintah. Kritik dapat dilakukan melalui lembaga-lembaga perwakilan, pers
maupun dilakukan secara langsung lewat dialog-dialog terbuka dengan jajaran
birokrasi bersama LSM, partai politik, maupun organisasi sosial lainnya.
Peningkatan Kesejahteraan Rakyat dalam Kerangka Otonomi Daerah.
Salah satu kelemahan dari pemerintahan masa lalu
adalah kuatnya sentralisasi kekuasaan pada pemerintah pusat, sehingga
potensi-potensi daerah dikelola oleh pemerintah pusat. Kebijakan ini
menimbulkan akses yang amat parah, karena banyak daerah yang amat kaya dengan
sumber daya alamnya, justru menjadi kantong-kantong kemiskinan nasional. Untuk
merealisasikan prinsip-prinsip good governance, kebijaksanaan ekonomi daerah
dapat dijadikan sebagai media transformasi pewujudan model pemerintahan yang
menopang tumbuhnya kultur demokrasi di Indonesia. Lahirnya UU No. 32 Tahun 2004
tentang pemerintahan daerah telah memberikan wewenang pada daerah untuk
melakukan pengelolaan dan memajukan masyarakat dalam politik, ekonomi, sosial,
dan budaya dalam kerangka menjaga keutuhan NKRI. Dengan pelaksanaan otonomi
daerah pencapaian tingkat kesejahteraan dapat diwujudkan secara lebih cepat
agar pada akhirnya akan mendorong kemandirian masyarakat.
Implementasi otonomi daerah di Indonesia dapat dilihat
sebagai sebuah strategi yang memiliki tujuan ganda. Pertama, diberlakukannya
otonomi daerah merupakan strategi dalam merespons tuntutan masyarakat di daerah
terhadap tiga permasalahan utama, yaitu sharing of powers, distribution of
incomes, dan kemandirian sistem manajemen di daerah. Kedua, otonomi daerah
dimaksudkan sebagai strategi untuk memperkuat perekonomian daerah dalam
memperkokoh perekonomian nasional menuju kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
Demikian pula dengan semakin besarnya partisipasi
masyarakat, desentralisasi kemudian akan mempengaruhi komponen pemerintahan
lainnya, seperti bergesernya orientasi pemerintah dari command and control
menjadi berorientasi pada demand (tuntutan) and public needs (kebutuhan
public). Orientasi inilah kemudian akan menjadi dasar bagi pelaksanaan peran
pemerintah sebagi stimulator, fasilitator, koordinator dan entrepreneur
(wirausaha) dalam proses pembagunan. Oleh karenanya, otonomi daerah akan
menjadi formulasi yang tepat apabila diikuti dengan serangkaian perubahan di
sektor publik. Dimensi reformasi sektor publik tidak saja sekedar perubahan
format institusi, akan tetapi mencakup pembaharuan alat-alat yang digunakan
untuk mendukung berjalannya lembaga-lembaga publik tersebut secara ekonomis,
efisien, efektif, transparan dan akuntabel sehingga cita-cita mewujudkan good
governance benar-benar akan tercapai. Cara untuk menggunakan khazanah kekayaan
negara itu dengan sebaik-baiknya ialah:
· Melibatkan rakyat atau paling tidak orang miskin untuk
memiliki saham dalam mengusahakan pengeluaran khazanah itu. Dengan diberikan
saham kepada mereka secara subsidi dari pemerintah.
· Membuat perusahaan untuk mengusahakan pengeluaran
kekayaan bumi tsb, supaya hasilnya merata dan melimpah-ruah kepada negara dan
rakyat, sekaligus menambah pendapatan rakyat.
· Good Governance dan Gerakan
Antikorupsi. Korupsi adalah tingkah laku individu yang menggunakan
wewenang dan jabatan guna meraih keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum
dan Negara secara spesifik. Korupsi menjadi penyebab ekonomi menjadi berbiaya
tinggi, politik yang tidak sehat, dan kemerosotan moral bangsa yang terus -
menerus merosot.
1) Gerakan Antikorupsi
CEREMY Pope menawarkan strategi untuk memberantas korupsi
yang mengedepankan control kepada dua unsur paling berperan di dalam tindak
korupsi. Pertama, peluang korupsi; kedua, keinginan korupsi. Menurutnya,
korupsi terjadi jika peluang dan keinginan dalam waktu bersamaan. Peluang dapat
dikurangi dengan cara membalikkan siasat ”laba tinggi, risiko rendah” menjadi
“laba rendah, risiko tinggi”; dengan cara menegakkan hukum dan menakuti secara
efektif, dan menegakka mekanisme akuntabilitas.
Penanggulangan
tindakan korupsi dapat dilakukan antara lain dengan:
Pertama,
adanya political will dan political action dari pejabat Negara dan pimpinan
lembaga pemerintah pada setiap satuan kerja organisasi untuk melakukan langkah
proaktif pencegahan dan pemberantasan perilaku dan tindak pidana korupsi. Tanpa
kemauan kuat pemerintah untuk memberantas korupsi di segala lini pemerintahan,
kampanye pemberantasan korupsi hanya slogan kosong belaka.
Kedua,
penegakan hokum secara tegas dan berat. Proses eksekusi mati bagi koruptor di
Cina, misalnya, telah membuat sejumlah pejabat tinggi dan pengusaha di negeri
itu menjadi jera untuk melakukan tindak korupsi. Hal yang sama terjadi pula di
Negara-negara maju di Asia, seperti Korea Selatan, Singapura, dan Jepang
termasuk Negara yang tidak kenal kompromi dengan pelaku korupsi. Tindakan
tersebut merupakan shock therapy untuk membuat tindakan korupsi berhenti.
Ketiga,
membangun lembaga-lembaga yang mendukung upaya pencegahan korupsi, misalnya,
Komisi Ombudsman sebagai lembaga yang memeriksa pengaduan pelayanan
administrasi publik yang buruk. Pada beberapa Negara, mandat Ombudsman mencakup
pemeriksaan dan inspeksi atas sistem administrasi pemerintah dalam hal
kemampuannya mencegah tindakan korupsi aparat birokrasi. Di Indonesia telah di
bentuk Komisi Pemberantas Korupsi (KPK), Tim Penuntasan Tindak Pidana Korupsi
(Timtastipikor) dengan tugas melakukan investigasi individu dan lembaga, khususnya
aparatur di pemerintah yang melakukan korupsi. Selain lembaga bentukan
pemerintah, masyarakat juga membentuk lembaga yang mengemban misi tersebut,
seperti Indonesia Corruption Watch (ICW) dan lembaga sejenis.
Keempat,
membangun mekanisme penyelenggaraan pemerintahan yang menjamin terlaksananya
praktik good governance, baik di sektor pemerintah, swasta atau organisasi
kemasyarakatan.
Kelima,
memberikan pendidikan antikorupsi, baik melalui pendidikan formal maupun
pendidikan nonformal. Dalam pendidikan formal, sejak pendidikan dasar sampai
perguruan tinggi diajarkan bahwa nilai korupsi adalah bentuk lain dari
kejahatan.
Keenam, gerakan agama antikorupsi, yaitu gerakan
membangun kesadaran keagamaan dan mengembangkan spiritualitas antikorupsi.
2)
Tata kelola kepemerintahan yang baik dan kinerja birokrasi pelayanan publik
Pelayanan umum atau pelayanan publik adalah pemberian
jasa, baik oleh pemerintah, pihak swasta atas nama pemerintah maupun pihak
swasta kepada masyarakat, dengan atau tanpa pembayaran guna memenuhi kebutuhan
atau kepentingan masyarakat. Dengan demikian, yang bisa memberikan pelayanan
publik kepada masyarakat luas bukan hanya instasi pemerintah, melainkan juga
pihak swasta. Pelayanan publik yang dijalankan oleh instasi pemerintah bermotif
sosial dan politik, yakni menjalankan tugas pokok serta juga mencari dukungan
suara. Sedangkan, pelayanan publik oleh pihak swasta bermotif ekonomi, yakni
mencari keuntungan. Ada beberapa alasan mengapa pelayanan publik menjadi
titik strategis untuk memulai pengembangan dan penerapan good governance di
Indonesia :
· Pertama, pelayanan publik selama ini menjadi area di
mana Negara yang di wakili pemerintah berinteraksi dengan lembaga
nonpemerintah. Keberhasilan dalam pelayanan publik akan mendorong tingginya
dukungan masyarakat terhadap kerja birokrasi.
· Kedua, pelayanan publik adalah wilayah dimana berbagai
aspek good and clean governance bisa diartikulasikan secara lebih mudah.
· Ketiga, pelayanan publik melibatkan kepentingan semua
unsur governance, yaitu pemerintah, masyarakat, dan mekanisme pasar. Dengan
demikian, pelayanan publik menjadi tidak pangkal efektifnya kinerja birokrasi.
Kinerja birokrasi
adalah ukuran kuantitatif dan kualitatif yang menggambarkan tingkat pencapaian
sasaran atau tujuan yang telah ditetapkan dengan memperhitungkan elemen-elemen
indikator sebagai berikut ini :
· Indikator masukan (inputs), adalah segala sesuatu yang
dibutuhkan agar birokrasi mampu menghasilkan produknya, baik barang atau jasa,
yang meliputi sumber daya manusia, informasi, kebijakan dan sebagainya.
· Indikator proses (process), yaitu sesuatu yang
berkaitan dengan proses pekerjaan berkaitan dengan kesesuaian antara
perencanaan dengan pelaksanaan yang diharapkan langsung dicapai dari suatu
kegiatan yang berupa fisik ataupun nonfisik.
· Indikator produk (outputs), yaitu sesuai yang
diharapkan langsung dicapai dari suatu kegiatan yang berupa fisik maupun
nonfisik.
· Indikator hasil (outcomes), adalah segala sesuatu yang
mencerminkan berfungsinya produk kegiatan pada jangka menengah (efek langsung).
· Indicator manfaat (benefit), adalah segala sesuatu
yang terkait dengan tujuan akhir dari pelaksanan kegiatan.
· Indikator dampak (impacts), adalah pengaruh yang
ditimbulkan, baik positif maupun negatif pada setiap tingkatan indikator
berdasarkan asumsi yang telah di tetapkan.
Kaitan Prinsip-Prinsip Good Governance dalam Pelayanan
Publik
Menerapkan praktik
good governance dapat dilakukan secara bertahap sesuai dengan kapasitas
pemerintah, masyarakat sipil, dan mekanisme pasar. Salah satu pilihan strategis
untuk menerapkan good governance di Indonesia adalah melalui penyelenggaraan
pelayanan publik. Ada beberapa pertimbangan mengapa pelayanan publik menjadi
strategis untuk memulai menerapkan good governance.
Pelayanan publik
sebagai penggerak utama juga dianggap penting oleh semua aktor dari unsur good
governance. Para pejabat publik, unsur-unsur dalam masyarakat sipil dan dunia
usaha sama-sama memiliki kepentingan terhadap perbaikan kinerja pelayanan
publik.
Ada tiga alasan
penting yang melatar-belakangi bahwa pembaharuan pelayanan publik dapat
mendorong praktik good governance di Indonesia. Pertama, perbaikan kinerja
pelayanan publik dinilai penting oleh stakeholders, yaitu pemerintah , warga,
dan sektor usaha. Kedua, pelayanan publik adalah ranah dari ketiga unsur
governance melakukan interaksi yang sangat intensif. Ketiga, nilai-nilai yang
selama ini mencirikan praktik good governance diterjemahkan secara lebih mudah
dan nyata melalui pelayanan public.
Fenomena pelayanan
publik oleh birokrasi pemerintahan sarat dengan permasalahan, misalnya prosedur
pelayanan yang bertele-tele, ketidakpastian waktu dan harga yang menyebabkan
pelayanan menjadi sulit dijangkau secara wajar oleh masyarakat. Hal ini
menyebabkan terjadi ketidakpercayaan kepada pemberi pelayanan dalam hal ini
birokrasi sehingga masyarakat mencari jalan alternatif untuk mendapatkan
pelayanan melalui cara tertentu yaitu dengan memberikan biaya tambahan.
Dalam pemberian
pelayanan publik, disamping permasalahan diatas, juga tentang cara pelayanan
yang diterima oleh masyarakat yang sering melecehkan martabatnya sebagai warga
Negara. Masyarakat ditempatkan sebagai klien yang membutuhkan bantuan pejabat
birokrasi, sehingga harus tunduk pada ketentuan birokrasi dan kemauan dari para
pejabatnya. Hal ini terjadi karna budaya yang berkembang dalam birokrasi selama
ini bukan budaya pelayanan, tetapi lebih mengarah kepada budaya kekuasaan.
Upaya untuk
menghubungkan tata-pemerintahan yang baik dengan pelayanan publik barangkali
bukan merupakan hal yang baru. Namun keterkaitan antara konsep good-governance
(tata-pemerintahan yang baik) dengan konsep public service (pelayanan publik)
tentu sudah cukup jelas logikanya publik dengan sebaik-baiknya.
Argumentasi lain yang
membuktikan betapa pentingnya pelayanan publik ialah keterkaitannya dengan
tingkat kesejahteraan rakyat. Inilah yang tampaknya harus dilihat secara jernih
karena di negara-negara berkembang kesadaran para birokrat untuk memberikan
pelayanan yang terbaik kepada masyarakat masih sangat rendah.
Secara garis besar,
permasalahan penerapan Good Governance meliputi :
1.
Reformasi
birokrasi belum berjalan sesuai dengan tuntutan masyarakat;
2.
Tingginya
kompleksitas permasalahan dalam mencari solusi perbaikan;
3.
Masih
tingginya tingkat penyalahgunaan wewenang, banyaknya praktek KKN, dan masih
lemahnya pengawasan terhadap kinerja aparatur;
4.
Makin
meningkatnya tuntutan akan partisipasi masyarakat dalam kebijakan publik;
5.
Meningkatnya
tuntutan penerapan prinsip-prinsip tata kepemerintahan yang baik antara lain
transparansi, akuntabilitas dan kualitas kinerja publik serta taat pada hukum;
6.
Meningkatnya
tuntutan dalam pelimpahan tanggung jawab, kewenangan dan pengambilan keputusan
dalam era desentralisasi;
7.
Rendahnya
kinerja sumberdaya manusia dan kelembagaan aparatur; sistem kelembagaan
(organisasi) dan ketatalaksanaan (manajemen) pemerintahan daerah yang belum
memadai;
Untuk mengatasi
permasalahan tersebut dalam buku van walt yang berjudul changing public
services values mengatakan bahwa para birokrat bekerja dalam sebuah
bermuatan nilai dan lingkungan yang yang didorong oleh sejumlah nilai.
nilai-nilai ini yang menjadi pijakan dalam segala aktivitas birokrasi saat
memberi pelayanan publik.
3)
Faktor – faktor yang Mempengaruhi Kinerja Birokrasi
Kinerja birokrasi di masa depan akan dipengaruhi oleh
faktor- faktor berikut ini:
·
Struktur
biroksasi sebagai hubungan internal yang berkaitan dengan fungsi yang
menjalankan aktivitas birokrasi.
·
Kebijakan
pengelolaan, berupa visi, misi, tujuan, sasaran, dan tujuan dalam perencanaan
strategis pada birokrasi.
·
Sumber
daya manusia, yang berkaitan dengan kualitas kerja dan kapasitas diri untuk
bekerja dan berkarya secara optimal.
·
Sistem
informasi manajemen, yang berhubungan dengan pengelolaan data base dalam
kerangka mempertinggi kinerja birokrasi. Sarana dan prasarana yang dimiliki,
yang berhubungan dengan penggunaan teknologi bagi penyelenggaraan birokrasi
pada setiap aktifitas birokrasi.
Hubungan
antara Clean and Good Governance dengan gerakan Anti Korupsi
Clean and good governance meniscayakan adanya
transparansi disegala bidang. Hal ini untuk mengikis budaya korupsi yang
mengakibatkan kebocoran anggaran dalam penggunaan uang negara untuk kepentingan
individu atau golongan bukan untuk kesejahteraan rakyat.
Dalam menciptakan situasi perang
terhadap korupsi Didin S Damanhuri menyusun grand design:
Pertama, apapun kebijakan antikorupsi yang diambil,
haruslah disadari bahwa kebijakan dan langkah-langkah tersebut hendaknya
ditempatkan sebagai ''totok nadi'' yang strategis, berkelanjutan, dan paling
bertanggung jawab di antara semua langkah total football, estafet dari semua
pihak yang peduli terhadap pemberantasan korupsi, baik dari kaum agamawan,
akademisi, parlemen, LSM, pers, dunia internasional, dan seterusnya
Kedua, menghindari politik belah bambu yang menggunakan
KPTPK, Kejaksaan, dan Polri untuk memburu pihak-pihak yang secara politis harus
dikalahkan dan membiarkan pihak-pihak yang dianggap kawan politik.
Ketiga, keseriusan untuk mencari solusi terbebasnya TNI
dan Polri dari dunia politik dan bisnis secara tuntas.
Keempat, euforia elite politik di pusat dan daerah dalam
menikmati kebebasan politik, kebebasan berpendapat, dan kebebasan pers yang
seharusnya semakin mendewasakan kehidupan berdemokrasi yang ujung-ujungnya juga
mampu membangkitkan kembali kehidupan ekonomi dengan ukuran rakyat yang semakin
sejahtera.
D.
Hubungan Antara Good and Clean Governance Dengan
Kinerja Birokrasi Pelayanan Publik.
Dalam rangka menyelamatkan
keuangan negara, banyak upaya pemerintah yang sudah dilaksanakan diantaranya
Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan diperkuat
dengan Undang-Undang Nomor 15 tahun 2004 tentang pengelolaan dan
pertanggungjawaban keuangan negara.
Kemudian dengan terbitnya
Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern
Pemerintah semakin jelas keseriusan pemerintah dalam hal pembenahan sistem
pengelolaan keuangan negara, mengutip pendapat pakar bahwa selama ini yang
diterapkan nampaknya masih lemah dan cenderung membuka peluang yang sangat
besar bagi terjadinya penyimpangan dalam pelaksanaan anggaran.
Penerapan PP Nomor 60 Tahun 2008
bukan hanya tanggungjawab BPKP tetapi seluruh instansi pemerintah guna
mewujudkan Good Governance untuk menuju Clean Government. Sebagaimana
diamanatkan dalam pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) PP 60 tahun 2008 jelas bahwa
BPKP mempunyai tugas yang cukup berat.
Tentu bukan soal yang mudah dalam
mempersiapkan personil yang dapat melaksanakan tugas tersebut, perlu adanya
kesepahaman dalam mencermati secara komprehensif apa yang tertuang dalam PP
tersebut.
Dengan tiga pilar pelayanan
public menjadi titik setrategis untuk memulai pengembangan dan penerapan Clean
and good governance di Indonesia. Tiga pilar tersebut yakni:
1. Pelayanan publik selama ini
menjadi tempat dimana negara yang diwakili pemerintah berinteraksi dengan
lembaga non pemerintah.
2. Pelayanan publik tempat dimana berbagai aspek Clean
and good governance dapat diartikulasikan lebih mudah.
3. Pelayanan publik melibatkan semua
unsur yaitu pemerintah, masyarakat dan mekanisme pasar.
E.
Penerapan
Prinsip Good Governance pada Sektor Publik
Di dalam berbagai analisis dikemukakan, ada
keterkaitan antara krisis ekonomi, krisis finansial dan krisis yang berkepanjangan di berbagai
negara dengan lemahya corporate governance.
Corporate governance adalah seperangkat tata
hubungan diantara manajemen, direksi, dewan komisaris, pemegang saham dan para
pemangku kepentingan (stakeholders) lainnya yang mengatur dan mengarahkan
kegiatan perusahaan (OECD, 2004).
Good Corporate Governance (GCG) diperlukan
untuk menjaga kelangsungan hidup perusahaan melalui pengelolaan yang didasarkan
pada asas transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi serta
kewajaran dan kesetaraan. Di tahun 2007 Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) dengan PT Multi Utama Indojasa melaksanakan kegiatan studi Implementasi
Good Corporate Governance (GCG) di Sektor swasta, BUMN dan
BUMD. Studi ini ditujukan untuk memperoleh gambaran awal (baseline) yang
komprehensif tentang pelaksanaan prinsip-prinsip GCG di Sektor swasta,
BUMN dan BUMD di Indonesia yang dari waktu ke waktu bisa digunakan sebagai data
pembanding dengan kondisi di masa depan.
Studi dilakukan dengan 3 (tiga) metode, yaitu (1) penyebaran
kuesioner kepada responden, (2) wawancara mendalam dengan pimpinan perusahaan
yang menangani implementasi GCG, dan (3) penelusuran dokumen perusahaan.
Perusahaan yang terlibat dalam studi ini adalah 66 perusahaan, yang terdiri
dari 37 perusahaan swasta yang sudah go public, 17 perusahaan BUMN (12
diantaranya sudah go public), dan 12 perusahaan BUMD. Dari setiap perusahaan,
diambil sekitar 27 responden, mulai dari Preskom hingga karyawan
non-manajerial, serta pihak-pihak eksternal dari perusahaan seperti pelanggan,
pemasok, perusahaan asuransi, auditor eksternal, investor institusi, lembaga
pembiayaan dan perusahaan afiliasi.
Data dari kuesioner diolah dan dianalisis secara
kuantitatif, sedangkan hasil wawancara mendalam dan penelusuran dokumen diolah
dan dianalisis secara kualitatif. Analisis implementasi GCG dilakukan dengan
mengukur implementasi berdasarkan prinsip-prinsip GCG yaitu transparansi,
akuntabilitas, responsibilitas, independensi, dan fairness, serta berdasarkan
kerangka kerja GCG yaitu compliance, conformance, dan performance. Selain itu,
secara khusus dilihat aspek code of conduct, pencegahan korupsi dan disclosure.
Dari hasil studi diketahui bahwa secara umum implementasi GCG pada
perusahaan-perusahaan yang menjadi responden sudah sangat baik. Hal ini dapat
dilihat dari Indeks GCG yang didapat, baik berdasarkan prinsip-prinsip GCG yang
mencapai angka 88,89 maupun berdasarkan kerangka kerja implementasi GCG
(compliance, conformance dan performance) yang mencapai 90,41. Demikian juga untuk
aspek code of conduct, pencegahan korupsi, dan disclosure.
Hal ini berarti secara rata-rata, hampir 90% dari
prinsip-prinsip GCG sudah dilaksanakan oleh perusahaan responden. Dari
prinsip-prinsip GCG, ada satu prinsip yang relatif lemah yaitu responsibilitas.
Lemahnya implementasi prinsip ini berkenaan dengan masih lemahnya implementasi
dalam pembentukan komite-komite fungsional di bawah Komisaris. Sebagian
perusahaan responden hanya memiliki Komite Audit, Komite Nominasi dan
Remunerasi serta Komite Manajemen Resiko, sedangkan komite-komite lainnya
seperti Komite Asuransi, Komite Kepatuhan, Komite Eksekutif, dan Komite GCG,
masih banyak yang belum memilikinya. Adapun prinsip yang sudah relatif kuat
adalah prinsip transparansi dan fairness.
Ini menunjukkan perusahaan telah berupaya untuk lebih
transparan dan fair kepada stakeholder. Jika dilihat berdasarkan kerangka kerja
GCG, aspek yang masih lemah adalah aspek compliance pada sisi Board dan
conformance pada sisi Karyawan. Pada sisi Board, kelemahannya selain pada
pembentukan komite-komite, juga pada implementasi pencegahan benturan
kepentingan, dan peningkatan kerjasama dengan penegak hukum. Sedangkan pada
sisi karyawan, berkaitan dengan penandatanganan pernyataan kepatuhan kepada
Pedoman Perilaku dan Peraturan Perusahaan. Indeks code of conduct adalah 88,77.
Artinya secara umum perusahaan telah memiliki code of conduct dan telah memuat
beberapa hal yang berkaitan dengan implementasi prinsip-prinsip GCG. Namun yang
masih perlu diperbaiki dalam code of conduct ini adalah sosialisasi kepada
pihak eksternal seperti pelanggan, pemasok dan perusahaan asuransi.
Indeks pencegahan korupsi adalah 89,39, yang berarti
sudah cukup baik. Namun beberapa hal yang perlu didorong adalah pengawasan
terhadap pelaksanaan dari tindakan yang berpotensi terhadap terjadinya benturan
kepentingan. Selain itu, masih belum adanya kerjasama antara perusahaan dengan
lembaga penegak hukum dalam mengembangkan sistem pencegahan korupsi. Indeks
untuk disclosure ini adalah 92,42. Aspek ini termasuk yang menonjol dan menjadi
perhatian utama dari responden, terutama bagi perusahaan yang sudah go public.
Aspek ini menjadi sangat diprioritaskan oleh perusahaan karena kinerja pada
aspek ini dapat dinilai dan dirasakan oleh pihak luar. Untuk analisis,
perusahaan responden dibagi dalam 4 (empat) kelompok, yaitu BUMN/BUMD Lembaga
Keuangan, BUMN/BUMD Non Lembaga Keuangan, Swasta Lembaga Keuangan,
dan Swasta Non Lembaga Keuangan.
Pembagian ini untuk memudahkan analisis serta agar
perbandingan antar perusahaan dapat dilakukan lebih fair. Hasil studi
menunjukkan bahwa swasta lembaga keuangan memiliki indeks yang paling
tinggi dibanding kelompok yang lain, baik berdasarkan prinsip-prinsip GCG
maupun berdasarkan compliance, conformance, dan performance. Selain itu,
kelompok ini juga memiliki indeks yang paling tinggi untuk code of conduct dan
pencegahan korupsi.
Namun untuk disclosure, indeks tertinggi diraih
kelompok swasta non lembaga keuangan. Secara umum implementasi di
perusahaan yang bergerak di sektor keuangan, baik perusahaan swasta
BUMN/BUMD lebih baik dibanding perusahaan non lembaga keuangan. Selain itu,
implementasi di perusahaan yang swastalebih baik dibanding
BUMN/BUMD. Demikian pula, perusahaan yang sudah terbuka (go public) lebih baik
dibanding perusahaan yang belum go public. Berdasarkan kerangka kerja GCG,
aspek compliance cukup lemah pada kelompok perusahaan non lembaga keuangan. Hal
ini dikarenakan oleh banyaknya perusahaan yang belum melengkapi komite-komite
fungsionalnya. Selain itu, masih kurangnya tindakan komisaris terhadap
(potensi) benturan kepentingan yang menyangkut dirinya. Sebaliknya, aspek-aspek
tersebut sangat diperhatikan oleh perusahaan-perusahaan yang bergerak
di sektor keuangan, sehingga lembaga keuangan lebih patuh dibanding perusahaan
non lembaga keuangan. Sebagai rekomendasi, untuk meningkatkan kualitas
implementasi GCG, perusahaan-perusahaan perlu didorong untuk lebih patuh dalam
membentuk berbagai komite fungsional yang diperlukan
dalam penerapan GCG. Lembaga-lembaga yang berfungsi mengawasi dan
membina seperti Bank Indonesia, Menneg BUMN dan Bapepam LK agar lebih proaktif
dalam mengawasi implementasi GCG terutama berkaitan dengan potensi terjadinya
benturan kepentingan.
Selain itu, perlu diterbitkan peraturan yang dapat
memaksa perusahaan sawsta yang belum terbuka dan BUMD untuk menerapkan GCG.
Implementasi Good Goverment dan Clean Goverment pada institusi
pemerintah terutama yang berkaitan dengan pelayanan publik seperti Ditjen
Pajak, Bea Cukai, Imigrasi, BPN, Institusi yang mengeluarkan perizinan, dan
institusi penegak hukum. Hal ini untuk mendorong badan usaha lebih konsisten
dalam menerapkan GCG serta untuk menciptakan iklam usaha yang lebih sehat,
kondusif dan kompetitif. Dalam rangka meningkatkan kerjasama perusahaan dengan
lembaga penegak hukum dalam upaya pencegahan korupsi, diperlukan rumusan bentuk
dan metode kerjasama yang dapat dilakukan dan mendorong perusahaan untuk
melakukan kerjasama dengan lembaga penegak hukum.
Perlu adanya sosialisasi yang intensif tentang pedoman
umum GCG, penyusunan code of conduct, kaitan GCG dengan pencegahan korupsi, dan
best practises dalam penerapan GCG melalui berbagai media.
Struktur Organisasi dan Manajemen Perubahan dalam Good
Governance
Menurut Lukman Hakim Saifuddin, (2004) good governance (G)
di Indonesia adalah penyelenggaraan peerintahan yang baik yang dapat diartikan
sebagai suatu mekanisme pengelolaan sumber daya dengan substansi dan
implementasi yang diarahkan untuk mencapai pembangunan yang efisien dan efektif
secara adil. Oleh karena itu, good governance akan tercipta di
antara unsur-unsur negara dan institusi kemasyarakatan (ormas, LSM, pers,
lembaga profesi, lembaga usaha swasta, dan lain-lain) memiliki keseimbangan
dalam proses checks and balances dan tidak boleh satu pun di
antara mereka yang memiliki kontrol absolute.
Pengembangan publil good governance di
Indonesia akan menunjuk pada sekumpulan nilai (cluster of values), yang
notabane sudah lama hidup dan berkembang di masyarakat Indonesia. Sekumpulan
nilai yang dimaksud tersebut adalah 11 (sebelas) nilai good governance yakni
(1) check and balances, (2) decentralization; (3) effectiveness; (4) efficiency,
(5) equity, (6) human rights protection, (7) integrity,
(8)participation, (9) pluralism, (10) predictability,
(11) rule of law, dan (12) transparency.
Pertanyaan yang muncul kemudian dalam implementasinya
adalah bagaimana mendekati, mengidentifikasi, mengurai, dan mengupayakan
pemecahan persoalan penegakan good governance. Menurut Lukman
Hakim, ada tiga faktor determinan pencapaian good governance, yakni
lembaga atau pranata (institutions/system), sumber daya manusia (human
factor), dan budaya (cultures).
Terkait dengan tiga faktor determinan tersebut, pada
subbab ini akan dibahas tentang lembaga atau pranata, budaya dan sumber daya
manusia dalam dua bagian, yaitu struktur organisasi dalam good
governance dan manajemen perubahan yang diperlukan oleh organisasi.
1. Struktur
Organisasi dalam Good Governance
Globalisasi
dan perkambangan informasi akan mempercepat perubahan organisasi. Menurut Tulis
(2000), perubahan terhadap sumber daya manusia sebesar 10 persen saja dapat
mengubah struktur organisasi, selain perubahan ang disebabkan faktor teknologi,
ekonomi, politik, dan sosial. Praktik manajemen yang lama baik menyangkut
struktur organisasi, personel, dan tugas pokok, akan menyebabkan resistensi
terhadap perubahan dan menyebabkan sulitnya melakukan restrukturisasi
organisasi dalam rangka mencapai efisiensi. Dalam rangka menghadapi perubahan
yang begitu cepat, maka beberapa hal yang penting dilakukan adalah :
a. Memelihara
kesadaran yang tinggi akan urgensi
Perubahan besar dalam organisasi, baik struktur dan
budaya tidak akan pernah sukses bila organisasi tersebut cepat puas. Kesadaran
tinggi akan tingkat urgensi yaitu memahami hak yang mendesak dan menempatkannya
sebagai prioritas dalam menghadapinya, sangat membantu proses mengatasi masalah
dan langkah perubahan yang besar. Peningkatan fungsi organisasi akan
menyebabkan tingginya tingkat organisasi. Untuk memelihara urgensi tingkat
tinggi maka diperlukan sistem informasi manajemen yang menyangkut sistem
informasi akuntansi, untuk keuangan, sistem informasi sumber daya manusia (SDM)
untuk mengukur kinerja SDM, dan sistem informasi lain yang diperlukan oleh organisasi.
Sistem informasi ini akan menjamin kecermatan dan kejelian data, sehingga data
yang digunakan untuk pengambilan keputusan yang valid.
b. Penyusunan
pranata organisasi
Misi dan tujuan setiap organisasi sektor publik adalah
memuaskan para pihak yang berkepentingan dengan pelayanan publik serta
melestarikan tingkat kepuasan masyarakat. Tanangan untuk mencapai kepuasan
adalah melalui mutu pelayanan yang prima atas pelayanan dan kepercayaan publik.
Permasalahan dalam peningkatan mutu ini pada birokrasi terkendala dengan sumber
informasi yang terbatas, tingkat pengetahuan aparat yang tidak memadai, budaya
birokrasi, dan pengambilan keputusan yang tidak efektif karena delegasi
wewenang yang tidak optimal serta tidak adanya insentif dan berkorelasi dengan sistem
penggajian.
Permasalahan dalam penyusunan pranata organisasi
adalah masalah keagenan, yaitu kebijaksanaan yang salah dan berjalan
terus-menrus, program yang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat, serta
pekerjaan yang tidak berkonstruksi terhadap pencapaian tujuan organisasi.
Singkatnya, tantangan utama dalam mendesain dan pengembangan pranata organisasi
pemerintah dan sistem nasional adalah mengoptimalkan informasi pengambilan
keputusan serta menciptakan sistem penggajian yang sepadan dengan kinerja.
Perbaikan sistem informasi dan sistem penggajian berbasis kinerja ini akan
meningkatkan mutu layanan dan kepercayaan publik.
c. Perubahan
Struktur Organisasi
Perubahan kondisi pasar, teknologi, sistem sosial,
regulasi, dan pelaksanaan Good Governance dapat memengaruhi
struktur pengembangan organisasi. Untuk perubahan struktur organisasi perlu
dilakukan analisis biaya dan manfaat terhadap pengaruh pelayanan public
terhadap organisasi melalui perubahan yang bersifat strategis.
Perubahan struktur organisasi mencakup tiga unsur
sebagai determinan, yaitu: (a) sistem pendapatan wewenang, tugas pokok, fungsi
dan tanggung jawab, (b) sistem balas jasa yang sepadan, dan (c) sistem evaluasi
indikator atau pengukuran kinerja untuk individu dan unit organisasi.
Masalah utama dalam perubahan struktur organisasi
adalah meyakinkan diri bahwa pengambilan keputusan dan akuntabilitas semua
pihak yang berkepentingan terhadap organisasi mempunyai informasi dan
pengetahuan yang relevan mengambil keputusan yang baik dan benar serta adanya
insentif sepadan yang menggunakan informasi secara produktif dan terpercaya.
Perubahan lingkungan yang berpengaruh terhadap perubahan struktur
organisasi, biaya, dan manfaat langsung maupun tidak langsung harus dianalisis
secara cermat dan hati-hati.
Dalam
rangka pelaksanaan GG, makia organisasi modern dapat melakukan :
1. Kesadaran
yang tinggi terhadap tingkat urgensi
2. Kerja
sama tim yang baik dalam tatanan staf dan manajemen
3. Bisa
menciptakan dan mengomunikasikan visi, misi, dan program dengan baik
4. Pemberdayaan
semua karyawan dengan memerhatikan minat dan bakat
5. Memberikan
delegasi wewenang dengan efektif
6. Mengurangi
ketergantungan yang tidak perlu, dan
7. Mengembangkan
budaya organisasi yang adaptif dan penggunaan analisis kinerja
Manajemen Perubahan
Sesuai dengan pertimbangan TAP MPR RI Nomor
II/MPR/1999, masalah krisis multidimensi yang melanda negara Indonesia
merupakan penghambat perwujudan cita-cita dan tujuan nasional. Reformasi di
segala bidang, diharapkan dapat menjadi suatu langkah penyelamatan, pemulihan,
pemantapan dan pengembangan pembangunan serta penguatan kepercayaan diri
Kemampuan para pemimpin penyelenggara pemerintahan dan
masyarakat yang mengelola perubahan menjadi sangat krisis dan strategis,
terutama sensitifitas dan responsibilitas terhadap tanda dan waktu perubahan
tersebut diperlukan, khususnya dalam langkah penyelamatan, pemulihan, dan
pengembangan. Ada dua hal yang perlu ditekankan dalam manajemen perubahan,
yaitu mengapa ada perubahan yang berhasil dan ada yang gagal?
Perubahan yang gagal disebabkan oleh beberapa faktor
yaitu :
a.
Terlalu
cepat puas
b.
Team
work yang gagal
c.
Merumuskan
visi, misi, dan program dengan kurang tepat
d.
Gagal
menciptakan harapan sukses kepada seluruh anggota organisasi
e.
Menganggap
perubahan sudah selesai dan hanya sekali memerlukan perubahan, dan
f.
Tidak
bisa mengubah symbol, nilai, sikap dan norma organisasi dari yang lama menjadi
budaya yang baru dalam organisasi.
Untuk mengurangi kegagalan dalam perubahan budaya
organisasi, maka harus dihilangkan atau dikurangi dampak negatif dari perubahan
seperti bubarnya organisasi, kehilangan pasar dan kepuasaan pelanggan,
penurunan gaji dan harus dikikis dengan menjelaskan mengapa organisasi perlu
mengadakan perubahan, bagaimana tahap perubahan, bagaimana hasil akhir dari
perubahan, dan bagaimana peran serta dari setiap anggota organisasi dalam
perubahan. Untuk mencapai keberhasilan dalam perubahan, ada beberapa hal yang
diperlukan, yaitu :
1.
Menetapkan
strategi, pentingnya, dan tahapan perubahan
2.
Mengembangkan
semangat kerja sama tim yang tinggi
3.
Mengembangkan
strategi komunikasi untuk menyampaikan visi, misi, program perubahan, sehingga anggota dapat
termotivasi, dan
4.
Memberdayakan
setiap anggota organisasi sesuai dengan kompetensi minat, dan bakat.
Good
Governance dalam Kerangka Otonomi Daerah
Upaya pelaksanaan tata pemerintahan yang baik, UU No
32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah merupakan salah salu instrumen yang
merefleksikan keinginan Pemerintah unluk melaksanakan tata pemerintahan yang
baik dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Hal ini dapat dilihat dari
indikator upaya penegakan hukum, transparansi dan penciptaan partisipasi. Dalam
hal penegakan hukum, UU No. 32 Tahun 2004 telah mengatur secara tegas upaya
hukum bagi para penyelenggara pemerintahan daerah yang diindikasikan melakukan
penyimpangan.
Dari sistem penyelenggaraan pemerintahan
sekurang-kurangnya terdapat 7 elemen penyelenggaraan pemerintahan yang saling
mendukung tergantung dari bersinergi satu sarna lainnya, yaitu :
1.
Urusan Pemerintahan;
2.
Kelembagaan;
3
Personil;
4.
Keuangan;
5.
Perwakilan;
6.
Pelayanan Publik dari
7.
Pengawasan.
Ketujuh elemen di atas merupakan elemen dasar yang
akan ditata dari dikembangkan serta direvitalisasi dalam koridor UU No. 32
Tahun 2004. Namun disamping penataan terhadap tujuan elemen dasar diatas,
terdapat juga hal-hal yang bersifat kondisional yang akan menjadi bagian yang
tidak terpisahkan dari grand strategi yang merupakan kebutuhan nyata dalam
rangka penataan otonomi daerah di Indonesia secara keseluruhan yaitu penataan
Otonomi Khusus NAD
dari
Papua, penataan daerah dari wilayah perbatasan , serta pemberdayaan masyarakat.
Setiap elemen tersebut disusun penataannya dengan
langkah-langkah menyusun target ideal yang harus dicapai, memotret kondisi
senyatanya dari mengidentifikasi gap yang ada antara target yang ingin dicapai
dibandingkan kondisi rill yang ada saat ini.
Meskipun dalam pencapaian Good Governance rakyat
sangat berperan, dalam pembentukan peraturan rakyat mempunyai hak untuk
menyampaikan aspirasi, namun peran negara sebagai organisasi yang bertujuan
mensejahterakan rakyat tetap menjadi prioritas. Untuk menghindari kesenjangan
didalam masyarakat pemerinah mempunyai peran yang sangat penting. Kebijakan
publik banyak dibuat dengan menafikan faktor rakyat yang menjadi dasar absahnya
sebuahnegara. UU no 32 tahun 2004 yang memberikan hak otonami kepada daerah
juga menjadi salah satu bentuk bahwa rakyat diberi kewenangan untuk mengatur
dan menentukan arah perkembangan daerahnya sendiri. Dari pemilihan kepala
daerah, perimbangan keuangan pusat dan daerah (UU no 25 tahun 1999). Peraturan
daerah pun telah masuk dalam Tata urutan peraturan perundang - undangan
nasional (UU no 10 tahun 2004), Pengawasan oleh masyarakat.
Sementara itu dalam upaya mewujudkan transparansi
dalam penyelenggaran pemerintahan diatur dalam Pasa127 ayat (2), yang
menegaskan bahwa sistem akuntabilitas dilaksanakan dengan kewajiban Kepala
Daerah untuk memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada
Pemerintahan, dan memberikan laporan keterangan pertanggungjawaban kepada DPRD,
serta menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada
masyarakat.
Sistem akuntabilitas semacam ini maka terdapat
keuntungan yang dapat diperoleh yakni, akuntabilitas lebih dapat terukur tidak
hanya dilihat dari sudut pandang politis semata. Hal ini merupakan antitesis
sistem akuntabilitas dalam UU No. 22 Tahun 1999 dimana penilaian terhadap
laporan pertanggungjawaban kepala daerah oleh DPRD seringkali tidak berdasarkan
pada indikator-indikator yang tidak jelas. Karena akuntabilitas didasarkan pada
indikator kinerja yang terukur,maka laporan keterangan penyelenggaraan
pemerintahan daerah tidak mempunyai
dampak
politis ditolak atau diterima. Dengan demikian maka stabilitas
penyelenggaraanpemerintahan daerah dapat lebih terjaga.
Masyarakat memiliki hak untuk melakukan pengawasan
terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah. Pelaksanaan pengawasan oleh
masyarakat dapat dilakukan oleh masyarakat sebagai perorangan, kelompok maupun
organisasi dengan cara: Pemberian informasi adanya indikasi terjadinya korupsi,
kolusi atau nepotisme di lingkungan pemerintah daerah maupun DPRD. Penyampaian
pendapat dan saran mengenai perbaikan, penyempurnaan baik preventif maupun
represif atas masalah.
Informasi dan pendapat tersebut disampaikan kepada
pejabat yang berwenang dan atau instansi yang terkait. Menurut Pasal 16 Keppres
No. 74 Tahun 2001, masyarakat berhak memperoleh informasi perkembangan
penyelesaian masalah yang diadukan kepada pejabat yang berwenang. Pasal
tersebut berusaha untuk memberikan kekuatan kepada masyarakat dalam menjalankan
pengawasan.
Mewujudkan Good Governance di Indonesia
Mewujudkan konsep good
governance dapat dilakukan dengan mencapai keadaan yang baik dan sinergi antara
pemerintah, sektor swasta dan masyarakat sipil dalam pengelolaan sumber-sumber
alam, sosial, lingkungan dan ekonomi. Prasyarat minimal untuk mencapai good
governance adalah adanya transparansi, akuntabilitas, partisipasi, pemberdayaan
hukum, efektifitas dan efisiensi, dan keadilan. Kebijakan publik yang
dikeluarkan oleh pemerintah harus transparan, efektif dan efisien, serta mampu
menjawab ketentuan dasar keadilan. Sebagai bentuk penyelenggaraan negara yang
baik maka harus keterlibatan masyarakat di setiap jenjang proses pengambilan
keputusan (Hunja, 2009).
Konsep good governance dapat diartikan menjadi acuan untuk proses dan struktur hubungan politik dan sosial ekonomi yang baik.
Human interest adalah faktor terkuat yang saat ini mempengaruhi baik buruknya dan tercapai atau tidaknya sebuah negara serta pemerintahan yang baik. Sudah menjadi bagian hidup yang tidak bisa dipisahkan bahwa setiap manusia memiliki kepentingan. Baik kepentingan individu, kelompok, dan/atau kepentingan masyarakat nasional bahkan internasional. Dalam rangka mewujudkan setiap kepentingan tersebut selalu terjadi benturan. Begitu juga dalam merealisasikan apa yang namanya “good governance” benturan kepentingan selalu lawan utama. Kepentingan melahirkan jarak dan sekat antar individu dan kelompok yang membuat sulit tercapainya kata “sepakat”.
Good governance pada dasarnya adalah suatu konsep yang mengacu kepada proses pencapaian keputusan dan pelaksanaannya yang dapat dipertanggungjawabkan secara bersama. Sebagai suatu konsensus yang dicapai oleh pemerintah, warga negara, dan sektor swasta bagi penyelenggaraan pemerintahaan dalam suatu negara.
Negara berperan memberikan
pelayanan demi kesejahteraan rakyat dengan sistem peradilan yang baik dan
sistem pemerintahan yang dapat dipertanggungjawaban kepada publik. Meruju pada
3 (tiga) pilar pembangunan berkelanjutan.
Dalam pembangunan ekonomi,
lingkungan, dan pembangunan manusia. Good governance menyentuh 3 (tiga) pihak
yaitu pihak pemerintah (penyelenggara negara), pihak korporat atau dunia usaha
(penggerak ekonomi), dan masyarakat sipil (menemukan kesesuaiannya). Ketiga
pihak tersebut saling berperan dan mempengaruhi dalam penyelenggaraan negara
yang baik. Sinkronisasi dan harmonisasi antar pihak tersebut menjadi jawaban
besar. Namun dengan keadaan Indonesia saat ini masih sulit untuk bisa terjadi
(Efendi, 2005).
Dengan berbagai statement negatif yang dilontarkan terhadap pemerintah atas keadaan Indonesia saat ini. Banyak hal mendasar yang harus diperbaiki, yang berpengaruh terhadap clean and good governance, diantaranya (Efendi, 2005):
Dengan berbagai statement negatif yang dilontarkan terhadap pemerintah atas keadaan Indonesia saat ini. Banyak hal mendasar yang harus diperbaiki, yang berpengaruh terhadap clean and good governance, diantaranya (Efendi, 2005):
1. Integritas Pelaku Pemerintahan
Peran pemerintah yang sangat berpengaruh, maka integritas dari para pelaku pemerintahan cukup tinggi tidak akan terpengaruh walaupun ada kesempatan untuk melakukan penyimpangan misalnya korupsi.
2. Kondisi Politik dalam Negeri
Jangan menjadi dianggap lumrah setiap hambatan dan masalah yang dihadirkan oleh politik. Bagi terwujudnya good governance konsep politik yang tidak/kurang demokratis yang berimplikasi pada berbagai persoalan di lapangan. Maka tentu harus segera dilakukan perbaikan.
3. Kondisi
Ekonomi Masyarakat
Krisis ekonomi bisa melahirkan berbagai masalah sosial yang bila tidak teratasi akan mengganggu kinerja pemerintahan secara menyeluruh.
Krisis ekonomi bisa melahirkan berbagai masalah sosial yang bila tidak teratasi akan mengganggu kinerja pemerintahan secara menyeluruh.
4. Kondisi Sosial Masyarakat
Masyarakat yang solid dan berpartisipasi aktif akan sangat menentukan berbagai kebijakan pemerintahan. Khususnya dalam proses penyelenggaraan pemerintahan yang merupakan perwujudan riil good governance. Masyarakat juga menjalankan fungsi pengawasan yang efektif dalam pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan. Namun jika masyarakat yang belum berdaya di hadapan negara, dan masih banyak timbul masalah sosial di dalamnya seperti konflik dan anarkisme kelompok, akan sangat kecil kemungkinan good governance bisa ditegakkan.
5. Sistem Hukum
Menjadi bagian yang tidak terpisahkan disetiap penyelenggaraan negara. Hukum merupakan faktor penting dalam penegakan good governance. Kelemahan sistem hukum akan berpengaruh besar terhadap kinerja pemerintahan secara keseluruhan. Good governanance tidak akan berjalan dengan baik di atas sistem hukum yang lemah. Oleh karena itu penguatan sistim hukum atau reformasi hukum merupakan kebutuhan mutlak bagi terwujudnya good governance.
Mencari orang yang jujur dan memilik integritas tinggi sama halnya dengan mencari jarum dalam tumpukan jerami. Memilih aparatur atau pelaku pemerintahan yang unggul akan berpengaruh baik dengan penyelenggaraan negara. Korupsi yang masih tetap eksis sampai saat ini adalah salahsatu faktor yang mempersulit dicapainya good governance. Pemberantasan Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) menjadi agenda wajib yang tidak pernah lelah untuk dilakukan. Inilah satu hal yang tidak boleh dilewatkan untuk mencapai pemerintahan yang baik.
Mencegah (preventif) dan menanggulangi (represif) adalah dua upaya yang dilakukan. Pencegahan dilakukan dengan memberi jaminan hukum bagi perwujudan pemerintahan terbuka (open government). Jaminan kepada hak publik seperti hak mengamati perilaku pejabat, hak memperoleh akses informasi, hak berpartisipasi dalam pengambilan keputusan dan hak mengajukan keberatan bila ketiga hak di atas tidak dipenuhi secara memadai. Jaminan yang diberikan jika memang benar-benar bisa disosialisasikan dengan baik kepada masyarakat (Hardjasoemantri, 2003).
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Good
governance adalah pelaksanaan politik, ekonomi, dan administrasi dalam
mengelola masalah-masalah bangsa. Pelaksanaan kewenangan tersebut dapat
dikatakan baik (good atau sound) jika dilakukan dengan efektif dan efisien,
responsif terhadap kebutuhan rakyat, dalam suasana demokratis, akuntabel, serta
transparan. Prinsi-prinsip tersebut tidak hanya terbatas dilakukan dikalangan
birokrasi pemerintahan, tetapi juga di sektor swasta dan
lembaga-lembaga nonpemerintah.
Untuk
merealisasikan pemerintahan yang profesional dan akuntabel yang bersandar pada
prinsip-prinsip good governance, Lembaga Administrasi Negara (LAN) merumuskan
sembilan aspek fundamental (asas) dalam good governance yang harus
diperhatikan, yaitu:
1. Partisipasi
(participation).
2. Penegak
hukum (rule of law).
3. Transparansi
(transparency).
4. Responsif
(resposiveness).
5. Orientasi
kesepakatan (consensus orientation).
6. Keadilan
(equity).
7. Efektivitas
(effectiveness) dan efisiensi (eficiency).
8. Akuntabilitas
(accountability).
9. Visi
strategis (strategic vision).
Untuk mewujudkan pemerintahan yang baik, maka
setidaknya dapat dilakukan melalui pelaksanaan prioritas program, yakni:
1. Penguatan
fungsi dan peran lembaga perwakilan.
2. Kemandirian
lembaga peradilan.
3. Profesionalitas
dan integritas aparatur pemerintah.
4. Penguatan
partisipasi masyarakat madani (civil society).
5. Peningkatan
kesejahteraan rakyat dalam kerangka otonomi daerah.
Pelayanan umum atau pelayanan publik adalah pemberian
jasa, baik oleh pemerintah, pihak swasta atas nama pemerintah maupun pihak
swasta kepada masyarakat, dengan atau tanpa pembayaran guna memenuhi kebutuhan
atau kepentingan masyarakat.
No comments:
Post a Comment