BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Otonomi daerah menjadi
sesuatu yang disakralkan pasca Reformasi 1998, banyaknya perdebatan seputar
otonomi daerah sebagai manifestasi dari desentralisasi kekuasaan pemerintahan
mendorong Pemerintah untuk secara sungguh‐sungguh merealisasikan
konsep otonomi daerah secara jujur, penuh kerelaan dan konsekuen mengingat
wacana dan konsep otonomi daerah memiliki sejarah yang sangat panjang seiring
berdirinya Republik ini. Menurut aspek yuridis formal, sejak pertama kali
muncul dalam UU No. 1 tahun 1945 sampai dengan UU No. 5 tahun 1974, semangat
otonomi daerah sudah kelihatan dan menjadi dasar hukum pelaksanaan pemerintahan
di daerah. Hanya saja semangat para penyelenggara pemerintahan masih jauh dari
idealisme konsep otonomi daerah itu sendiri. Bahasa yang digunakan juga belum
seringkas dan selugas otonomi daerah, masih seputar bagaimana mengatur urusan
rumah tangga (Marbun, 2005:45).
Indonesia adalah
Negara Kesatuan yang berbentuk Republik yang terdiri dari provinsi-provinsi dan
kabupaten/kota yang merupakan daerah otonom dan memiliki hak otonomi daerah
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan
Daerah. Hak otonomi bukan berarti untuk memecah daerah-daerah yang ada di
Indonesia melainkan untuk lebih memajukan daerah dengan melibatkan peran aktif
masyarakat daerah, peran aktif masyarakat di daerah dapat dilakukan dengan cara
pemberian otonomi tersebut. Otonomi daerah merupakan salah satu kebijakan
pengembangan wilayah yang mencoba merubah sistem sentralistik menjadi
desentralistik. Melalui kebijakan ini, diharapkan dapat mempercepat proses
pembangunan pada tingkat lokal, memberi ruang gerak pada bidang politik,
pengelolaan keuangan daerah dan efisiensi pemanfaatan sumber daya daerah
untuk kepentingan masyarakat lokal, sehingga muncul formulasi dan model
pembangunan daerah yang efisien dan terdesentralisasi.
Sejak tahun 1945
sampai era Orde Baru, pemerintahan bersifat sentral dan di era Reformasi ini
diganti dengan asas desentralisasi atau otonomi yang pertama kali diturunkan
berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU
No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Daerah, yang kemudian dilanjutkan dengan UU No.32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah dan UU No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah. Pemerintah
pusat memberikan keleluasaan kepada masyarakatnya untuk mengelola dan
memanajemen potensi yang dimiliki masing-masing daerah yang diwadahi
oleh pemerintah daerah. Bagian Penjelasan Umum Undang-undang
No. 32 Tahun 2004 menyatakan bahwa:
Prinsip otonomi daerah menggunakan
prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus
dan mengatur semua urusan Pemerintahan di luar yang menjadi urusan Pemerintah
yang ditetapkan dalam undang-undang ini. Daerah memiliki kewenangan membuat
kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa,
dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan
rakyat.
Dalam perkembangannya, konsepsi mengenai otonomi daerah
yang pada dasarnya merupakan sistem Pemerintahan desentralisasi atau tidak dari
pusat sering terjadi kesalahpahaman dalam menjalankannya. Apakah hal tersebut
dikarenakan masih minimnya pengetahuan mengenai konsep desentralisasi, atau
mungkin karena kurang siapnya baik itu masyarakat atau pemimpin daerah dalam
menjalankan proses otonomi daerah. Berangkat dari kenyataan‐kenyataan tersebut, tulisan ini berusaha untuk menelaah kembali makna
otonomi daerah, baik sebagai sebuah konsep maupun sebagai sebuah sistem yang
dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang yang berlaku. Hal inilah yang menjadi
ketertarikan penulis untuk mengkaji lebih dalam mengenai hal tersebut, dengan mengangkat
judul “Otonomi Daerah di Indonesia Pada Masa Reformasi”.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Latar
Belakang Otonomi Daerah
Kebijakan otonomi
daerah lahir ditengah gejolak tuntutan berbagai daerah terhadap berbagai
kewenangan yang selama 20 tahun Pemerintahan Orde Barumenjalankan mesin
sentralistiknya. UU No. 5 tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah yang
kemudian disusul dengan UU No. 5 tahun 1979
tentang Pemerintahan Desa menjadi tiang utama tegaknya sentralisasi kekuasaan
Orde Baru. Semua mesin partisipasi dan prakarsa yang sebelumnya tumbuh sebelum
Orde Baru berkuasa, secara perlahan dilumpuhkan dibawah kontrol kekuasaan.
Stabilitas politik demi kelangsungan investasi ekonomi (pertumbuhan) menjadi
alasan pertama bagi Orde Baru untuk mematahkan setiap gerak prakarsa yang
tumbuh dari rakyat. Paling tidak ada dua faktor yang berperan kuat dalam
mendorong lahirnya kebijakan otonomi daerah berupa UU No. 22/1999. Pertama,
faktor internal yang didorong oleh berbagai protes atas kebijakan politik sentralisme
di masa lalu. Kedua, adalah faktor eksternal yang dipengaruhi oleh dorongan
internasional terhadap kepentingan investasi terutama untuk efisiensi dari
biaya investasi yang tinggi sebagai akibat korupsi dan rantai birokrasi yang
panjang.
Selama lima tahun
pelaksanaan UU No. 22 tahun 1999, otonomi daerah telah menjadi kebutuhan
politik yang penting untuk memajukan kehidupan demokrasi. Bukan hanya kenyataan
bahwa masyarakat Indonesia sangat heterogen dari segi perkembangan politiknya,
namun juga otonomi sudah menjadi alas bagi tumbuhnya dinamika politik yang
diharapkan akan mendorong lahirnya prakarsa dan keadilan. Walaupun ada upaya
kritis bahwa otonomi daerah tetap dipahami sebagai jalan lurus bagi eksploitasi
dan investasi, namun sebagai upaya membangun prakarsa ditengah-tengah surutnya
kemauan baik (good will) penguasa, maka otonomi daerah dapat menjadi
jalan alternatif bagi tumbuhnya harapan bagi kemajuan daerah.
Pada saat rakyat
Indonesia disibukkan dengan pelaksanakan Pemilu 2004, Departemen Dalam Negeri
(Depdagri) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melakukan revisi terhadap UU No.
22 tahun 1999. Dilihat dari proses penyusunan revisi, paling tidak ada dua
cacat yang dibawa oleh UU yang baru (UU No. 32 tahun 2004) yakni, proses
penyusunan yang tergesa-gesa dan tertutup ditengah-tengah rakyat sedang
melakukan hajatan besar pemilu. Padahal UU otonomi daerah adalah kebijakan yang
sangat penting dan menyangkut tentang kualitas pelaksanaan partisipasi rakyat
dan pelembagaan demokrasi. Kedua, UU tersebut disusun oleh DPR hasil pemilu
2004 dimana pada waktu penyusunan revisi tersebut anggota DPR sudah mau
demisioner. Tanggal 29 September 2004 bersamaan dengan berakhirnya masa jabatan
anggota DPR periode 1999-2004, Sidang Paripurna DPR menyetujui rancangan
perubahan (revisi) terhadap UU No. 22 tahun 1999 menjadi UU No. 32 tahun
2004. Tanggal 1 Oktober anggota DPR baru hasil pemilu 2004 dilantik.
Secara de facto DPR pemilu 1999 sudah kehilangan relevansinya untuk
menyusun dan mengagendakan pembahasan kebijakan yang sangat krusial.
Tibalah saatnya
Pemerintahan diuji kesungguhannya untuk menjalankan amanat politik rakyat,
termasuk komitmennya mengenai pelaksanaan desentralisasi. Pasang surut
desentralisasi yang diwarnai dengan tarik ulur kepentingan pusat dan daerah
harus segera digantikan dengan penciptaan sistem Pemerintahan di tingkat lokal
yang demokratis. Sehubungan dengan itu, maka diperlukan upaya yang
sistematis untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap pelaksanaan
desentralisasi yang berlangsung selama ini. Dibutuhkan indikator desentralisasi
yang membuka ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam berbagai
aktivitas politik di tingkat lokal (political equality), mengedepankan
pelayanan kepada kepentingan publik (local accountability), dan meningkatkan
akselerasi pembangunan sosial ekonomi yang berbasis pada kebutuhan masyarakat
setempat (local responsibility). Selain harus tercermin dalam produk
kebijakan, indikator-indikator itu juga harus terimplementasi dalam praktek
desentralisasi yang dijalankan oleh Pemerintahan lokal.
B. Implikasi
Kebijakan Otonomi Daerah di bidang Politik, Ekonomi dan Pendidikan
1. Bidang
Politik
Kebijaksanaan otonomi
daerah yang baru membawa implikasi yang luasdiantaranya terhadap pembinaan
birokrasi di daerah, sekalipun segala sesuatu yang menyangkut masalah
kepegawaian masih tetap menggunakan peraturan perundangan yang sudah ada, yaitu
Undang-Undang Pokok Kepegawaian. Hal ini dinyatakan dengan tegas
dalam pasal 75 UU no.22 tahun 1999 yang menyatakan “ Norma, standar dan
prosedur mengenai pengangkatan, pemindahan, pemberhentian, penetapan pensiun,
gaji, tunjangan, kesejahteraan, hak dan kewajiban, serta kedudukan hukum
pegawai negeri sipil daerah, ditetapkan dengan perundang-undangan.
2. Bidang
Ekonomi
Sektor perekonomian
sangat sensitif apabila dihubungkan dengan proses otonomi daerah. Pembangunan
ekonomi suatu daerah seharusnya lebih baik apabila diselenggarakan dengan
konsep desentralisasi. Pembangunan ekonomi adalah suatu proses dimana suatu
masyarakat menciptakan suatu lingkungan yang mempengaruhi hasil-hasil indikator
ekonomi seperti kenaikan kesempatan kerja. Lingkungan yang dimaksud sebagai
sumber daya perencanaan meliputi lingkungan fisik, peraturan dan perilaku
(Blakley, 1989)
3. Bidang
Pendidikan
Desentralisasi
pendidikan secara konseptual dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu, pertama
desentralisasi kewenangan disektor pendidikan dan kedua desentralisasi
pendidikan dengan fokus pada pemberian kewenangan yang lebih besar ditingkat
sekolah. Konsep pertama berkaitan dengan penyelenggaraan Pemerintah dari pusat
ke daerah sebagai wujud dari demokratisasi, kebijakaan yang dimaksud lebih
pada kebijakaan pendidikan dan aspek pendanaannya dari Pemerintah pusat ke
daerah. Pada konsep kedua lebih fokus terhadap pemberian kewenangan yang lebih
besar ditingkat manejemen sekolah untuk meningkatkan kualitas pendidikannya.
C. Permasalahan
Dan Upaya Mengatasi Masalah Yang Terjadi Dalam Otonomi Daerah Pada Masa
Reformasi
1. Permasalahan
Yang Timbul Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah
Dalam UU No. 32 tahun
2004 pasal 1 ayat 5, pengertian otonomi daerah adalah hak, wewenang dan
kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan Pemerintah
dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Setelah berlakunya peraturan tersebut, daerah diberi berbagai kewenangan untuk
mengatur urusan rumah tangganya, hal ini menimbulkan berbagai masalah timbul
akibat kewenangan tersebut. Permasalahan yang timbul antara lain:
a.) Kondisi
SDM aparatur pemerintahan yang belum menunjang sepenuhnya
pelaksanaan otonomi daerah.
Penyelenggaraan
otonomi daerah yang baik haruslah didukung oleh kondisi SDM
aparatur pemerintah yang memiliki kualitas yang cakap sehingga dapat
menjalankan berbagai kewenangan pemerintah daerah. Namun sayangnya hal ini
cukup sulit untuk diwujudkan. Pentingnya posisi manusia karena manusia
merupakan unsur dinamis dalam organisasi yang bertindak/berfungsi sebagai subjek
penggerak roda organisasi Pemerintahan. Oleh sebab itu kualitas mentalitas
dan kapasitas manusia yang kurang memadai dengan sendirinya melahirkan impikasi
yang kurang menguntungkan bagi penyelenggaraan otonomi daerah. Manusia
pelaksana Pemerintah daerah dapat di kelompokkan menjadi:
1.) Pemerintah
daerah yang terdiri dari kepala daerah dan dewan perwakilan daerah (DPRD).
Dalam kenyataan syarat syarat yang di tentukan bagi seorang kepala daerah belum
cukup menjamin tuntutan kualitas yang ada.
2.) Alat-alat
perlengkapan daerah yakni aparatur daerah dan pegawai daerah.
3.) Rakyat
daerah yakni sebagai komponen environmental (lingkungan)yang merupakan sumber
energi terpenting bagi daerah sebagai organisasi yang bersifat terbuka.
Para aparatur
Pemerintah daerah pada umumnya memiliki kualitas yang belum memadai, hal ini
juga disebabkan oleh kurangnya kemampuan daerah dalam merekrut pegawai baru
yang berada di luar struktur Pemerintahan sebelumnya. Menurut Widjaja (2003:37)
Daerah mempunyai kewenangan untuk mengangkat perangkat daerah, namun belum
cukup jelas kewenangannya untuk merekrut perangkat daerah baru yang berada di
luar struktur Pemerintahan sebelumnya, misalnya merekrut dari kalangan LSM,
Perguruan Tinggi, kalangan Swasta Profesional dan lain-lain. Hal ini
menyebabkan daerah sulit untuk mendapatkan calon-calon pegawai yang cakap.
b.) Bergesernya
Korupsi Dari Pusat Ke Daerah
Korupsi yang awalnya
terjadi pada Pemerintah pusat bergeser ke daerah karena daerah diberikan
wewenang sendiri dalam mengatur keuangannya. Banyak pejabat daerah yang masih
mempunyai kebiasaan menghambur-hamburkan uang rakyat untuk ke luar Negeri
dengan alasan studi banding. Otonomi daerah memberikan kewenangan yang
sangat penting bagi kepala daerah. Hal ini juga menyebabkan adanya kedekatan
pribadi antara kepala daerah dan pengusaha yang ingin berinvestasi di daerah.
Dengan begitu maka akan terjadi pemerasan dan penyuapan.
c.) Eksploitasi
Pendapatan Daerah
Salah satu konsekuensi
otonomi adalah kewenangan daerah yang lebih besar dalam pengelolaan
keuangannya, mulai dari proses pengumpulan pendapatan sampai pada alokasi
pemanfaatan pendapatan daerah tersebut. Dalam kewenangan semacam ini sebenarnya
sudah muncul inherent risk, risiko bawaan, bahwa daerah akan
melakukan upaya maksimalisasi, bukan optimalisasi, perolehan pendapatan daerah.
Upaya ini didorong oleh kenyataan bahwa daerah harus mempunyai dana yang cukup
untuk melakukan kegiatan, baik itu rutin maupun pembangunan. Daerah harus
membayar seluruh gaji seluruh pegawai daerah, pegawai pusat yang statusnya
dialihkan menjadi pegawai daerah, dan anggota legislatif daerah. Di samping itu
daerah juga dituntut untuk tetap menyelenggarakan jasa-jasa publik dan kegiatan
pembangunan yang membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Dengan alasan di atas,
biasanya Pemerintah daerah kemudian berusaha mencari pendapatan daerah sebanyak
mungkin, seperti melalui pemungutan pajak, retribusi, hingga eksploitasi daerah
yang maksimal.
d.) Kurangnya
Pemahaman Terhadap Konsep Desentralisasi Dan Otonomi Daerah
Pasal 18 UUD 1945
menyebutkan bahwa Indonesia adalah Negara Kesatuan yang terdesentralisasi.
Pada kenyataan pemahaman terhadap desentralisasi dan otonomi daerah masih
kurang. Pemerintah pusat dan Pemerintah daerah masih belum memaksimalkan
perannya dalam Pemerintahan. Mentalitas dari aparat Pemerintah baik pusat
maupun daerah masih belum mengalami perubahan yang mendasar. Hal ini terjadi
karena perubahan sistem tidak dibarengi penguatan kualitas sumber daya manusia
yang menunjang sistem Pemerintahan yang baru. Pelayanan publik yang diharapkan,
yaitu birokrasi yang sepenuhnya mendedikasikan diri untuk untuk memenuhi
kebutuhan rakyat sebagai pengguna jasa adalah pelayanan publik yang ideal.
Untuk merealisasikan bentuk pelayanan publik yang sesuai dengan asas
desentralisasi diperlukan perubahan paradigma secara radikal dari aparat
birokrasi sebagai unsur utama dalam pencapaian tata Pemerintahan lokal.
e.) Penyediaan
Aturan Pelaksanaan Otonomi Daerah Yang Belum Memadai
Pada awalnya peraturan
mengenai pelaksanaan otonomi daerah di tetapkan dalam Ketetapan MPR-RI
Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan,
Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan; serta
Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Selanjutnya lahirlah UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah
selanjutnya UU No. 25/1999 yang mengatur hubungan keuangan pusat dan daerah,
menggantikan UU No. 5/1974 yang sentralistik. Undang-undang nomor 22 tahun 1999
tentang Pemerintah daerah, ditetapkan berdasarkan kuatnya tuntutan masyarakat
akan perlunya mengatur diri sendiri sebagai dampak negatif dari sentralisasi
yang dirasakan terlalu lama semasa Orde Baru. Oleh karena tuntutan masyarakat
itu terlalu mendesak dan harus direspon dalam waktu singkat, maka Pemerintah
dengan persetujuan DPR-RI mengeluarkan undang-undang tentang Pemerintah daerah.
Namun sesuai dengan prosesnya yang mendesak, tentu saja materi isi dan
substansinya masih banyak kekurangan dan kelemahan dan perlu diantisipasi oleh
daerah. (Widjaja, 1999:1-2).
Menurut Widjaja
(2003:35-37) ada beberapa hal yang harus dicermati mengenai peraturan
pelaksanaan Pemerintah daerah yang telah di susun, antara lain:
1. Pembagian Daerah.
2. Pembentukan
dan Susunan Daerah
3. Kewenangan Daerah
4. Bentuk
dan Susunan Pemerintah Daerah
f.) Potensi
Munculnya Konflik Antar Daerah
Dengan pelaksanaan
otonomi daerah muncul gejala etno-sentrisme atau fenomena primordial kedaerahan
semakin kuat. Indikasi etno-sentrisme ini terlihat dalam beberapa
kebijakan di daerah yang menyangkut pemekaran daerah, pemilihan kepala
daerah, rekruitmen birokrasi lokal dan pembuatan kebijakan
lainnya. Selain itu, ancaman disintegrasi juga dapat memicu sebuah
konflik. Dengan adanya pelimpahan pelimpahan wewenang kepada daerah menyebabkan
daerah menjadi terbagi-bagi dan muncul kesenjangan yakni ketimpangan
pembangunan antara daerah yang sumber dayanya kaya dengan daerah yang hanya
memiliki sumber daya alam yang sedikit.
Adanya potensi
sumber daya alam di suatu wilayah, juga rawan menimbulkan perebutan dalam
menentukan batas wilayah masing-masing. Konflik horizontal sangat mudah
tersulut. Di era otonomi daerah tuntutan pemekaran wilayah juga semakin kencang
dimana-mana. Pemekaran ini telah menjadikan NKRI terkerat-kerat menjadi wilayah
yang berkeping-keping. Satu provinsi pecah menjadi dua-tiga provinsi, satu
kabupaten pecah menjadi dua-tiga kabupaten, dan seterusnya, semakin
berkeping-keping NKRI semakin mudah separatisme dan perpecahan terjadi.
2. Upaya
Mengatasi Masalah Yang Terjadi Dalam Otonomi Daerah Pada Masa Reformasi
Beberapa upaya yang
dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan dalam otonomi daerah adalah
sebagai berikut :
a.) Pemerintah
pusat harus melaksanakan otonomi daerah dengan penuh keikhlasan agar daerah
dapat memperoleh hak untuk mengolah sumber daya di daerah secara optimal.
b.) Bahwa
tujuan dan semangat yang melandasi otonomi daerah adalah hasrat untuk menggali
sendiri pendapatan daerahnya serta kewenangan untuk meningkatkan PAD
masing-masing daerah menuju peningkatan kesejahteraan masing-masing daerah
menuju peningkatan masyarakat daerah, oleh karena itu untuk mencegah
kondisi disintesif, pemda dalam rangka otonomi daerah perlu mengembangkan
strategi efesiensi dalam segala bidang.
c.) Untuk
menopang pelaksanaan otonomi daerah perlu dikembangkan ekonomi kerakyatan
secara sistematis, mensinergikan kegiatan lembaga/institusiriset pada PTN/PTS
di daerah dengan industri kecil menengah dan tradisional.
d.) Merekomendasikan
kepada pemerintah untuk memperbaiki dasar-dasar ekonomi yang sudah rapuh,
dengan mengembangkan usaha kecil/menengah dan koperasi menjadi lebih produktif
serta berupaya terus untuk memberantas kemiskinan structural.
e.) Memanfaatkan
dan mengelola sumber daya alam dengan baik agar supaya sumber kekayaan yang
tersebut dapat dimanfaatkan secara optimal dan secara lestari.
f.) Mendorong
desentralisasi pembangunan daerah, mendayagunakan lembaga di daerah khususnya
DPRD untuk memiliki wewenang dan kemandirian dalam membuat produk hukum
pembangunan di daerah. Ketentuan-ketentuan yang menyangkut perizinan,
pengelolaan, pendayagunaan dan lain sebagainya yang berkaitan dengan masalah
pembangunan yang di rumuskan oleh DPRD dan pemerintah daerah.
BAB III
KESIMPULAN
Otonomi daerah adalah suatu keadaan yang
memungkinkan daerah dapat mengaktualisasikan segala potensi terbaik yang
dimilikinya secara optimal. Pemberian
otonomi daerah adalah mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui
peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran masyarakat serta peningkatan
daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan,
keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan RepublikIndonesia, sehingga
pada hakikatnya tujuan otonomi daerah adalah untuk memberdayakan daerah
dan mensejahterakan rakyat.
Implementasi otonomi daerah telah
memasuki era baru setelah Pemerintah dan DPR sepakat untuk mengesahkan UU Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Sejalan dengan
diberlakukannya undang-undang otonomi tersebut memberikan kewenangan
penyelenggaraan Pemerintah daerah yang lebih luas. Hal ini dapat terlihat dari beberapa aspek, diantaranya adalah
aspek politik, ekonomi dan pendidikan. Dalam Desentralisasi politik
adanya sebuah birokrasi yang muncul, dalampendidikan otonomi
daerah menempatkan sekolah sebagai garis depan dalam berperilaku untuk
mengelola pendidikan. Desentralisasi juga memberikan apresiasi terhadap
perbedaan kemampuan dan keberanekaragaman kondisi daerah dan
rakyatnya. Dalam bidang ekonomi diharapkan munculnya kemandirian dalam
mengelola keuangan daerah.
Sejalan dengan itu,
Pemerintah Daerah harus dapat mendayagunakan potensi sumber daya daerah secara
optimal. Dengan semakin berkurangnya tingkat ketergantungan Pemerintah Daerah
terhadap Pemerintah Pusat, Daerah dituntut mampu meningkatkan profesionalisme
aparatur Pemerintah Daerah, melaksanakan reformasi akuntansi keuangan daerah
dan manajemen keuangan daerah, melaksanakan perencanaan strategik secara benar,
sehingga akan memacu terwujudnya otonomi daerah yang nyata, dinamis, serasi,
dan bertanggung jawab.
Adapun dampak negatif dari otonomi
daerah adalah munculnya kesempatan bagi oknum-oknum di tingkat daerah untuk
melakukan berbagai pelanggaran, munculnya pertentangan antara pemerintah daerah
dengan pusat, serta timbulnya kesenjangan antara daerah yang pendapatannya
tinggi dengan daerah yang masih berkembang. Bisa dilihat bahwa masih
banyak permasalahan yang mengiringi berjalannya otonomi daerah di Indonesia.
Permasalahan-permasalahan itu tentu harus dicari penyelesaiannya agar tujuan
awal dari otonomi daerah dapat tercapai dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Marbun, B. (2005). Otonomi Daerah 1945‐2005 Proses dan Realita Perkembangan Otda Sejak Zaman Kolonial sampai Saat
Ini. Jakarta: Pustaka Sinar harapan.
Nazara, C.M. (2006). Dampak Otonomi Daerah
Terhadap Pemekaran Provinsi Banten.Skripsi pada FEM IPB Bogor: tidak
diterbitkan.
Rosyada, D. et al. (2005). Demokrasi,
Hak Asasi Manusia &Masyarakat Madani. Jakarta: Tim Icce Uin Jakarta dan
Prenada Media.
Salam, D. (2004). Otonomi Daerah, Dalam
Perspektif Lingkungan, Nilai dan Sumber Daya. Bandung: Djambatan.
Sam, C. dkk. (2008). Kebijakan Pendidikan Era
Otonomi Daerah. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Sarundajang. (1999). Arus Balik Kekuasaan
Pusat ke Daerah. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Soejito, I. (1981). Hubungan Pemerintah Pusat
dan Pemerintah Daerah. Jakarta: Bina Aksara.
Syahrir. dkk. (2001). Pemulihan Ekonomi dan
Otonomi Daerah(refleksi pemikiran partai golkar. Jakarta: LASPI.
Widarta. (2001). Cara Mudah Memahami Otonomi
Daerah. Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama.
Widjaja, H. (2003). Pemerintah Desa/marga
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Widjaja, H. (2003). Titik Berat Otonomi pada
Daerah Tingkat II. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
No comments:
Post a Comment