BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sumber Daya Manusia merupakan aspek
yang sangat penting bagi perusahaan karena Sumber Daya Manusia merupakan
penggerak utama perusahaan, maka sudah seharusnya perusahaan memperhatikan
Sumber Daya Manusianya, terutama pada masalah motivasi, kepuasan kerja,
keterlibatan kerja /penempatan tenaga kerja dan komitmen organisasi terhadap
pegawai. Sehingga pengelolaan sumber daya manusia dapat berjalan sesuai dengan
apa yang diharapkan perusahaan.
Kepuasan kerja dalam teori motivasi
Maslow menempati peringkat yang tinggi. Sebab ia berkaitan dengan tujuan
manusia untuk merealisasikan dan mengaktualisasikan potensi dirinya dalam
pekerjaan. Namun motivasi ini kadang terbendung oleh berbagai ragam kerutinan,
hambatan lingkungan kerja yang kurang seimbang, atau situasi dan perangkat
kerja yang tidak mendukung peningkatan produktivitas kerja.
Dalam hubungannya dengan
pekerjaan atau profesi yang ditekuni setiap pegawai memiliki kemampuan berbeda
untuk menyangga beban pekerjaannya. Interaksi manusia sebagai pekerja dengan
pekerjaan dan lingkungan kerja menyebabkan efek positif ataupun efek negatif.
Sikap positif terhadap pekerjaan membuat karyawan menganggap tekanan dari
pekerjaan sebagai suatu yang memberikan manfaat baginya sehingga dapat
memperlemah terjadinya stres namun sebaliknya bila karyawan tidak mampu
menghadapi tekanan dari pekerjaan maka hal tersebut akan membuat karyawan
mengalami stres.
Penyebab
stres kerja yang dialami pegawai adalah beban pekerjaan yang berlebihan
sehingga dampak dari stres kerja tersebut adalah banyak pekerjaan yang tidak
dapat diselesaikannya dengan tepat waktu, dalam hubungannya dengan rekan kerja
juga mengalami gangguan seperti subjek tidak ingin diajak bicara, marah, tegang
dan sulit untuk berkonsentrasi pada pekerjaannya.
Dari
dampak stres ini akan berakibat pada gangguan kesehatan sehingga berakibat
terhadap kehadiran pegawai sehingga menurunnya disiplin kerja. Kedisiplinan
seorang karyawan dalam suatu perusahaan dapat dilihat dan diukur dari tingkat
kehadiran mereka dalam melakukan suatu pekerjaan.
Kinerja adalah
hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai
dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan
kepadanya (Mangkunegara, 2001: 67). Selain itu, kinerja juga dapat diartikan sebagai suatu hasil dan usaha seseorang yang
dicapai dengan adanya kemampuan dan perbuatan dalam situasi tertentu.
Untuk
mengetahui kinerja pegawai maka perlu dilakukan penilaian kinerja. Penilaian
kinerja individu sangat bermanfaat bagi dinamika pertumbuhan organisasi secara
keseluruhan, melalui penilaian tersebut maka dapat diketahui kondisi sebenarnya
tentang bagaimana kinerja pegawai. Untuk mengetahui
pengaruh absensi atau tingkat kehadiran pegawai dan stres dalam meningkatkan
kinerja pegawai , maka dalam makalah ini penulis mengambil tema : “ ANALISIS
TINGKAT ABSENSI DAN STRES TERHADAP KINERJA PEGAWAI
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah
diatas, maka dapat di identifikasikan masalah sebagai berikut :
1. Pengaruh Tingkat Absensi terhadap
disiplin pegawai.
2. Hubungan antara
Tingkat Absensi dan Stres dalam peningkatan kinerja pegawai.
3. Analisis Tingkat Absensi dan
Stres terhadap Kinerja Pegawai.
C. Pembahasan Masalah
Berdasarkan identifkasi masalah
diatas maka dapat dirumuskan masalah yang akan diuraikan dalam makalah ini
sebagai berikut :
1. Pengertian
Tingkat Absensi dan Tingkat Disiplin Kerja
2. Pengertian dan
Penyebab Stres, Tanda-Tanda Gejala Stres dan Faktor-Faktor Penyebab Stres
Kerja.
3. Pengertian Kinerja,
Pengukuran Kinerja Pegawai, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pencapaian Kinerja
dan Peningkatan Kinerja Pegawai.
4. Pembahasan
Analisis Tingkat Absensi dan Stres Terhadap Kinerja Pegawai yang meliputi :
Strategi Mengurangi Absensi Pegawai, Strategi Insentif dan Langkah-Langkah
Proaktif melalui Inisiatif-Inisiatif, Hubungan Tingkat Kehadiran Karyawan dan
Disiplin Kerja, Dampak Stres Terhadap Kinerja Pegawai, Gejala-Gejala Stres
Kerja, Strategi Manajemen Stres Kerja dan Pendekatan Dalam Mengelola Stres.
BAB II
LANDASAN TEORI
PENGERTIAN TINGKAT ABSENSI, STRES KERJA dan KINERJA
PEGAWAI
A. Pengertian
Tingkat Absensi (Tingkat Kehadiran Karyawan).
Semangat kerja
dapat diukur melalui absensi /presensi pegawai ditempat kerja, tanggung
jawabnya terhadap pekerjaan, disiplin kerja, kerja sama dengan pimpinan atau
teman sejawat dalam organisasi serta tingkat produktivitas kerjanya. (Hasley, 1
992;67).
Untuk mengukur tinggi rendahnya semangat kerja pegawai
dapat melalui unsur-unsur semangat kerja tersebut yang meliputi : Presensi
(tingkat kehadiran), Disiplin Kerja, Kerja Sama, dan Tanggung Jawab.
Presensi
merupakan kehadiran pegawai yang berkenaan dengan tugas dan kewajibannya. Pada
umumnya instasi atau lembaga selalu memperhatikan pegawainya untuk datang dan
pulang tepat waktu, sehingga pekerjaan tidak tertunda. Ketidak hadiran seorang
pegawai akan berpengaruh terhadap produktivitas kerja, sehingga instansi atau
lembaga tidak bisa mencapai tujuan secara optimal.
Presensi
atau kehadiran pegawai dapat diukur melalui :
a. Kehadiran karyawan ditempat kerja.
b. Ketepatan keryawan datang atau
pulang
c. Kehadiran pegawai apabila mendapat
undangan untuk mengikuti kegiatan atau acara dalam instansi.
Dengan adanya
tingkat absensi yang baik maka dapat meningkatkan disiplin pegawai. Sedangkan
yang dimaksud dengan disiplin adalah suatu sikap, tingkah laku dan perbuatan
yang sesuai dengan peraturan dari perusahan atau instansi baik tertulis maupun
tidak (Nitisemito, 1982; 199).
Tingkat
disiplin kerja dapat dilihat dari :
a. Ketepatan waktu,
b. Mampu
memanfaatkan dan menggerakkan perlengkapan dengan baik,
c. Menghasilkan pekerjaan yang
memuaskan,
d. Mengikuti cara kerja
yang ditentukan oleh perusahaan (kepatuhan pada peraturan)
e. Memiliki tanggung jawab yang tinggi.
Agar
perusahaan dapat berjalan dengan baik dan berkembang maka dibuatlah suatu
aturan yaitu yang biasa disebut peraturan perusahaan. Peraturan perusahaan
dapat diartikan ialah suatu kumpulan aturan yang dibuat oleh seorang pemimpin
perusahaan agar terciptanya suatu keteraturan antara para pimpinan dan para
karyawan sehingga terciptanya keselarasan dalam bekerja.
Ketentuan
yang berhubungan dengan waktu dan kehadiran pegawai biasanya diatur dengan
ketentuan-ketentuan sbb :
1. Penetapan
waktu kerja didasarkan kepada kebutuhan-kebutuhan perlu dengan mengindahkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Jumlah
jam kerja bagi karyawan adalah 40 hari seminggu.
3. Jam
istirahat tidak dihitung sebagai jam kerja.
4. Setiap
karyawan wajib hadir dan mulai bekerja pada waktu yang tidak ditetapkan.
5. Kehadiran
karyawan dicatat dengan kartu hadir (lime Card) pada saat maupun pada saat
pulang kerja.
6. Pengisian kartu hadir (Time Card) harus dilakukan oleh
karyawan yang bersangkutan sendiri. Pengisian yang dilakukan oleh orang lain
merupakan pelanggaran kedisiplinan, dan hal tersebut akan dikenakan sanksi
sesuai peraturan yang berlaku.
7. Keterlambatan masuk kerja atau meninggalkan tempat kerja
sebelum jam kerja berakhir dianggap sebagai tindakan ketidak disiplinan dan
merupakan pelanggaran tata tertib, kecuali dengan izin atasan langsung dan
karena alasan-alasan yang dapat diterima.
8. Karyawan yang tidak masuk kerja kerena sakit atau karena
alasan lain yang dapat diterima Perusahaan, wajib memberitahukan kepada
atasannya pada hasil tersebut secara tertulis atau telephone selambat-lambatnya
pada hari kerja berikutnya.
9. Jika tidak hadir kerja karena sakit, maka wajib membawa
surat keterangan dokter setelah Ia wasuk kerja kembali.
Jika ketidak
hadiran karena hal-hal lain, ia diwajibkan membuat pemberitahuan tertulis
dengan alasan yang dapat dipertanggungjawabkan.
10. Karyawan yang tidak mengindahkan kewajiban tersebut
dianggap mungkir dan akan dikenakan sanksi.
B. Pengertian
dan Penyebab Stres Kerja
1. Pengertian Stres :
Menurut Charles
D, Spielberger (dalam Ilandoyo, 2001:63) menyebutkan
bahwa stres adalah tuntutan-tuntutan eksternal yang mengenai seseorang, misalnya
obyek-obyek dalam lingkungan atau suatu stimulus yang secara obyektif adalah
berbahaya. Stres juga biasa diartikan sebagai tekanan, ketegangan atau gangguan
yang tidak menyenangkan yang berasal dari luar diri seseorang.
bahwa stres adalah tuntutan-tuntutan eksternal yang mengenai seseorang, misalnya
obyek-obyek dalam lingkungan atau suatu stimulus yang secara obyektif adalah
berbahaya. Stres juga biasa diartikan sebagai tekanan, ketegangan atau gangguan
yang tidak menyenangkan yang berasal dari luar diri seseorang.
Charles
dan Sharason (1988, hal 29) menjelaskan bahwa stres kerja
terjadi ketika kemampuan individu tidak seimbang atau tidak sesuai
dengan tuntutan dalam lingkungan pekerjaannya. Stres dalam pekerjaan
menimbulkan konsekuensi yang bermacam–macam jenisnya, baik berupa akibat
kognitif, fisiologis maupun keorganisasian. Akibat kognitif dari stres
antara lain adalah ketidakmampuan mengambil keputusan yang sehat, kurang
konsentrasi, sangat peka terhadap kecaman dan rintangan mental. Akibat
fisiologis dari stres antara lain adalah tekanan darah naik, mulut
kering, berkeringat dan sebagainya. Akibat keorganisasian dari stres
antara lain adalah kemangkiran, produktivitas rendah, ketidakpuasan
kerja, menurunnya ketertarikan dan loyalitas terhadap organisasi (Gibson, Ivancevich dan Donnely, 1988).
terjadi ketika kemampuan individu tidak seimbang atau tidak sesuai
dengan tuntutan dalam lingkungan pekerjaannya. Stres dalam pekerjaan
menimbulkan konsekuensi yang bermacam–macam jenisnya, baik berupa akibat
kognitif, fisiologis maupun keorganisasian. Akibat kognitif dari stres
antara lain adalah ketidakmampuan mengambil keputusan yang sehat, kurang
konsentrasi, sangat peka terhadap kecaman dan rintangan mental. Akibat
fisiologis dari stres antara lain adalah tekanan darah naik, mulut
kering, berkeringat dan sebagainya. Akibat keorganisasian dari stres
antara lain adalah kemangkiran, produktivitas rendah, ketidakpuasan
kerja, menurunnya ketertarikan dan loyalitas terhadap organisasi (Gibson, Ivancevich dan Donnely, 1988).
Menurut
penelitian Beker dkk (1987), stres yang dialami oleh seseorang
akan merubah cara kerja sistem kekebalan tubuh. Para peneliti ini juga
menyimpulkan bahwa stres akan menurunkan daya tahan tubuh terhadap
serangan penyakit dengan cara menurunkan jumlah fighting desease cells.
Akibatnya, orang tersebut cenderung sering dan mudah terserang penyakit
yang cenderung lama masa penyembuhannya karena tubuh tidak banyak
memproduksi sel–sel kekebalan tubuh, ataupun sel–sel antibody banyak
yang kalah. Dua orang peneliti yaitu Plaut dan Friedman (1981) berhasil
menemukan hubungan antara stres dengan kesehatan. Hasil penelitian
tersebut membuktikan bahwa stres sangat berpotensi mempertinggi peluang
seseorang untuk terinfeksi penyakit, terkena alergi serta menurunkan
system autoimmune-nya. Selain itu ditemukan pula bukti penurunan respon
antibody tubuh di saat mood seseorang sedang negatif, dan akan meningkat
naik pada saat mood seseorang sedang positif.
akan merubah cara kerja sistem kekebalan tubuh. Para peneliti ini juga
menyimpulkan bahwa stres akan menurunkan daya tahan tubuh terhadap
serangan penyakit dengan cara menurunkan jumlah fighting desease cells.
Akibatnya, orang tersebut cenderung sering dan mudah terserang penyakit
yang cenderung lama masa penyembuhannya karena tubuh tidak banyak
memproduksi sel–sel kekebalan tubuh, ataupun sel–sel antibody banyak
yang kalah. Dua orang peneliti yaitu Plaut dan Friedman (1981) berhasil
menemukan hubungan antara stres dengan kesehatan. Hasil penelitian
tersebut membuktikan bahwa stres sangat berpotensi mempertinggi peluang
seseorang untuk terinfeksi penyakit, terkena alergi serta menurunkan
system autoimmune-nya. Selain itu ditemukan pula bukti penurunan respon
antibody tubuh di saat mood seseorang sedang negatif, dan akan meningkat
naik pada saat mood seseorang sedang positif.
Gibson et al
(dalam Yulianti, 2000:9) mengemukakan bahwa stress kerja
dikonseptualisasi dari beberapa titik pandang, yaitu stres sebagai stimulus, stres
sebagai respon dan stres sebagai stimulus-respon. Stres sebagai stimulus
merupakan pendekatan yang menitikberatkan pada lingkungan. Definisi stimulus
memandang stres sebagai suatu kekuatan yang menekan individu untuk
memberikan tanggapan terhadap stresor. Pendekatan ini memandang stres sebagai
konsekuensi dari interaksi antara stimulus lingkungan dengan respon individu.
Pendekatan stimulus-respon mendefinisikan stres sebagai konsekuensi dari
interaksi antara stimulus lingkungan dengan respon individu. Stres dipandang tidak
sekedar sebuah stimulus atau respon, melainkan stres merupakan hasil interaksi
unik antara kondisi stimulus lingkungan dan kecenderungan individu untuk
memberikan tanggapan.
dikonseptualisasi dari beberapa titik pandang, yaitu stres sebagai stimulus, stres
sebagai respon dan stres sebagai stimulus-respon. Stres sebagai stimulus
merupakan pendekatan yang menitikberatkan pada lingkungan. Definisi stimulus
memandang stres sebagai suatu kekuatan yang menekan individu untuk
memberikan tanggapan terhadap stresor. Pendekatan ini memandang stres sebagai
konsekuensi dari interaksi antara stimulus lingkungan dengan respon individu.
Pendekatan stimulus-respon mendefinisikan stres sebagai konsekuensi dari
interaksi antara stimulus lingkungan dengan respon individu. Stres dipandang tidak
sekedar sebuah stimulus atau respon, melainkan stres merupakan hasil interaksi
unik antara kondisi stimulus lingkungan dan kecenderungan individu untuk
memberikan tanggapan.
Luthans (dalam
Yulianti, 2000:10) mendefinisikan stres sebagai suatu
tanggapan dalam menyesuaikan diri yang dipengaruhi oleh perbedaan individu dan
proses psikologis, sebagai konsekuensi dari tindakan Hngkungan, situasi atau
peristiwa yang terlalu banyak mengadakan tuntutan psikologis dan fisik seseorang,
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa stres kerja timbul karena tuntutan
lingkungan dan tanggapan setiap individu dalam menghadapinya dapat berbeda.
Masalah Stres kerja di dalam organisasi perusahaan menjadi gejala yang penting
diamati sejak mulai timbulnya tuntutan untuk efisien di dalam pekerjaan. Akibat
adanya stres kerja tersebut yaitu orang menjadi nervous, merasakan kecemasan
yang kronis, peningkatan ketegangan pada emosi, proses beriikir dan kondisi fisik
individu. Selain itu, sebagai hasil dari adanya stres kerja karyawan mengalami
beberapa gejala stres yang dapat mengancam dan mengganggu pelaksanaan kerja
mereka, seperti : mudah marah dan agresi, tidak dapat relaks, emosi yang tidak
stabil, sikap tidak mau bekerja sama, perasaan tidak mampu terlibat, dan kesulitan
dalam masalah tidur.
tanggapan dalam menyesuaikan diri yang dipengaruhi oleh perbedaan individu dan
proses psikologis, sebagai konsekuensi dari tindakan Hngkungan, situasi atau
peristiwa yang terlalu banyak mengadakan tuntutan psikologis dan fisik seseorang,
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa stres kerja timbul karena tuntutan
lingkungan dan tanggapan setiap individu dalam menghadapinya dapat berbeda.
Masalah Stres kerja di dalam organisasi perusahaan menjadi gejala yang penting
diamati sejak mulai timbulnya tuntutan untuk efisien di dalam pekerjaan. Akibat
adanya stres kerja tersebut yaitu orang menjadi nervous, merasakan kecemasan
yang kronis, peningkatan ketegangan pada emosi, proses beriikir dan kondisi fisik
individu. Selain itu, sebagai hasil dari adanya stres kerja karyawan mengalami
beberapa gejala stres yang dapat mengancam dan mengganggu pelaksanaan kerja
mereka, seperti : mudah marah dan agresi, tidak dapat relaks, emosi yang tidak
stabil, sikap tidak mau bekerja sama, perasaan tidak mampu terlibat, dan kesulitan
dalam masalah tidur.
Di kalangan
para pakar sampai saat ini belum terdapat kata sepakat dan
kesamaan persepsi tentang batasan stres. Baron & Greenberg (dalam Margiati,
1999:71), mendefinisikan stres sebagai reaksi-reaksi emosional dan psikologis
yang terjadi pada situasi dimana tujuan individu mendapat halangan dan tidak bisa
mengatasinya. Aamodt (dalam Margiati, 1999:71) memandangnya sebagai respon
adaptif yang merupakan karakteristik individual dan konsekuensi dan tindakan
ekstcrnai, situasi atau peristiwa yang terjadi baik secara fisik maupun psikologis.
Berbeda dengan pakar di atas, Landy (dalam Margiati, 1999:71) memahaminya
sebagai ketidakseimbangan keinginan dan kemampuan memenuhinya sehingga
menimbulkan konsekuensi pcnting bagi dirinya. Robbins memberikan definisi
stres sebagai suatu kondisi dinamis di mana individu dihadapkan pada kesempatan,
hambatan dan keinginan dan hasil yang diperoleh sangatlah penling tetapi tidak
dapat dipastikan (Robbins dafam Dwiyanti, 2001:75).
kesamaan persepsi tentang batasan stres. Baron & Greenberg (dalam Margiati,
1999:71), mendefinisikan stres sebagai reaksi-reaksi emosional dan psikologis
yang terjadi pada situasi dimana tujuan individu mendapat halangan dan tidak bisa
mengatasinya. Aamodt (dalam Margiati, 1999:71) memandangnya sebagai respon
adaptif yang merupakan karakteristik individual dan konsekuensi dan tindakan
ekstcrnai, situasi atau peristiwa yang terjadi baik secara fisik maupun psikologis.
Berbeda dengan pakar di atas, Landy (dalam Margiati, 1999:71) memahaminya
sebagai ketidakseimbangan keinginan dan kemampuan memenuhinya sehingga
menimbulkan konsekuensi pcnting bagi dirinya. Robbins memberikan definisi
stres sebagai suatu kondisi dinamis di mana individu dihadapkan pada kesempatan,
hambatan dan keinginan dan hasil yang diperoleh sangatlah penling tetapi tidak
dapat dipastikan (Robbins dafam Dwiyanti, 2001:75).
2. Tanda-tanda Gejala Stres :
Cary Cooper dan
Alison Straw (1995:8-15) mengemukakan gejala stres
dapat berupa tanda-tanda berikut ini:
dapat berupa tanda-tanda berikut ini:
- Fisik, yaitu nafas memburu, mulut dan kerongkongan kering,
tangan
lembab, rnerasa panas, otot-otot tegang, pencemaan terganggu, sembelit, letih yang
tidak beralasan, sakit kepala, salah urat dan gelisah. - Perilaku, yaitu perasaan bingung, cemas dan sedih,
jengkel, saiah paham,
tidak berdaya, tidak mampu berbuat apa-apa, gelisah, gagal, tidak menarik,
kehilangan semangat, sulit konsentrasi, sulit berfikir jemih, sulit membuat
kcputusan, hilangnya kreatifitas, hilangnya gairah dalam penampilan dan
hilangnya minat terhadap orang lain. - Watak dan kepribadian, yaitu sikap hati-hati menjadi
cermat yang
berlebihan, cemas menjadi lekas panik, kurang percaya diri menjadi rawan,
penjengkel menjadi meledak-ledak.
Sedangkan gejala stres di tempat
kerja, yaitu meliputi:
1. Kepuasan kerja rendah
2. Kinerja yang menurun
3. Semangat dan energi menjadi hilang
4. Komunikasi tidak lancar
5. Pengambilan keputusan jelek
6. Kreatifitas dan inovasi kurang
7. Bergulat pada
tugas-tugas yang tidak produktif.
Semua yang disebutkan di atas perlu dilihat dalam
hubungannya dengan
kualitas kerja dan interaksi normal individu sebelumnya.
kualitas kerja dan interaksi normal individu sebelumnya.
Menurut Braham (dalam Handoyo; 2001:68), gejala stres
dapat berupa
tanda-tanda berikut ini:
tanda-tanda berikut ini:
- Fisik, yaitu sulit tidur atau tidur lidak teratur,
sakit kepala, sulit buang air
besar, adanya gangguan pencemaan, radang usus, kuiit gatal-gatal, punggung
terasa sakit, urat-urat pada bahu dan !eher terasa tegang, keringat berlebihan,
berubah selera makan, tekanan darah tinggi atau serangan jantung, kehilangan
energi. - Emosional, yaitu marah-marah, mudah tersinggung dan
terlalu sensitif,
gelisah dan cemas, suasana hati mudah berubah-ubah, sedih, mudah menangis dan depresi, gugup, agresif terhadap orang lain dan mudah bermusuhan serta mudah menyerang, dan kelesuan mental. - Intelektual, yaitu mudah lupa, kacau pikirannya,
daya ingat menurun, sulit
untuk berkonsentrasi, suka melamun berlebihan, pikiran hanya dipenuhi satu
pikiran saja. - Interpersonal, yaitu acuh dan mendiamkan orang lain,
kepercayaan pada
orang lain menurun, mudah mengingkari janji pada orang lain, senang mencari
kesalahan orang lain atau menyerang dengan kata-kata, menutup din secara
berlebihan, dan mudah menyalahkan orang lain.
3. Faktor-faktor Penyebab Stres Kerja
Terdapat dua
faktor penyebab atau sumber munculnya stres atau stres kerja,
yaitu faktor Lingkungan kerja dan faktor personal (Dwiyanti, 2001:75). Faktor
lingkungan kerja dapat berupa kondisi fisik, manajemen kantor maupun hubungan sosial di lingkungan pekerjaan. Sedang faktor personal bisa berupa tipe kepribadian, peristiwa/pengalaman pribadi maupun kondisi sosial-ekonomi
keluarga di mana pribadi berada dan mengembangkan diri.
yaitu faktor Lingkungan kerja dan faktor personal (Dwiyanti, 2001:75). Faktor
lingkungan kerja dapat berupa kondisi fisik, manajemen kantor maupun hubungan sosial di lingkungan pekerjaan. Sedang faktor personal bisa berupa tipe kepribadian, peristiwa/pengalaman pribadi maupun kondisi sosial-ekonomi
keluarga di mana pribadi berada dan mengembangkan diri.
Menurut Davis
dan Newstrom (dalam Margiati, 1999:73) stres kerja disebabkan:
- Adanya tugas yang terlalu banyak. Banyaknya tugas
tidak selalu menjadi
penyebab stres, akan menjadi sumber stres bila banyaknya tugas tidak sebanding dengan kemampuan baik fisik maupun keahlian dan waktu yang tersedia bagi karyawan. - Supervisor yang kurang pandai. Scorang karyawan
dalam menjalankan tugas
sehari-harinya biasanya di hawah bimbingan sekaligus mempertanggung jawabkan kepada supervisor. Jika seorang supervisor pandai dan menguasai tugas bawahan, ia akan membimbing dan memberi pengarahan atau instruksi secara baik dan benar. - Terbatasnya waktu dalam mengerjakan pekerjaan. Karyawan
biasanya mempunyai kemampuan normal menyelesaikan tugas kantor/ perusahaan yang dibebankan kepadanya. Kemampuan bcrkaitan dengan
keahlian, pcngalaman, dan waktu yang dimiliki. Dalam kondisi tertentu, pihak
atasan seringkali memberikan tugas dengan waktu yang lerbatas. Akibatnya,
karyawan dikejar waktu untuk menyelesaikan tugas sesuai tepat waktu yang
ditetapkan atasan. - Kurang mendapat tanggungjawab yang memadai. Faktor
ini berkaitan
dengan hak dan kewajiban karyawan. Atasan sering memberikan tugas kepada
bawahannya tanpa diikuti kewenangan (hak) yang memadai. Sehingga, jika harus mengambil keputusan harus berkonsultasi, kadang menyerahkan sepenuhnya pada atasan. - Ambiguitas
peran. Agar menghasilkan performan yang baik, karyawan perlu
mengetahui tujuan dari pekerjaan, apa yang diharapkan untuk dikerjakan serta
scope dan tanggungjawab dari pekerjaan mereka. Saat tidak ada kepastian tentang definisi kerja dan apa yang diharapkan dari pekerjaannya akan timbul ambiguitas peran. - Perbedaan
nilai dengan perusahaan. Situasi ini biasanya terjadi pada para
karyawan atau manajer yang mempunyai prinsip yang berkaitan dengan profesi
yang digeluti maupun prinsip kemanusiaan yang dijunjung tinggi (altruisme). - Frustrasi.
Dalam lingkungan kerja, perasaan frustrasi memang bisa
disebabkan banyak faktor. Faktor yang diduga berkaitan dengan frustrasi
kerja adalah terhambatnya promosi, ketidakjelasan tugas dan wewenang serta
penilaian/evaluasi staf, ketidakpuasan gaji yang diterima. - Perubahan tipe pekerjaan, khususnya jika hal
terscbul tidak umum. Situasi
ini bisatimbul akibat mutasi yang tidak sesuai dengan keahlian dan jenjang karir
yang di lalui atau mutasi pada perusahaan lain, meskipun dalam satu grup namun lokasinya dan status jabatan serta status perusahaannya berada di bawah
perusahaan pertama. - Konflik peran. Terdapat dua tipe umum konflik peran
yaitu (a) konflik peran
intersender, dimana pegawai berhadapan dengan harapan organisasi terhadapnya yang tidak konsisten dan tidak sesuai; (b) konflik peran intrasender, konflik peran ini kebanyakan terjadi pada karyawan atau manajer yang menduduki jabatan di dua struktur. Akibatnya, jika masing-masing struktur memprioritaskan pekerjaan yang tidak sama, akan berdampak pada karyawan atau manajer yang berada pada posisi dibawahnya, terutama jika mereka harus memilih salah satu alternative.
Dari beberapa
uraian diatas, penulis menyimpulkan bahwa stres merupakan
suatu kondisi ketegangan yang mempengaruhi emosi, proses berfikir dan kondisi
seseorang dimana ia terpaksa memberikan tanggapan melebihi kemampuan
penyesuaian dirinya terhadap suatu tuntutan eksternal (lingkungan). Stres yang
terlalu besar dapat mengancam kemampuan seseorang untuk menghadapi
lingkungannya. Sebagai hasilnya, pada diri para karyawan berkembang berbagai
macam gejala stres yang dapat mengganggu pelaksanaan kerja mereka.
suatu kondisi ketegangan yang mempengaruhi emosi, proses berfikir dan kondisi
seseorang dimana ia terpaksa memberikan tanggapan melebihi kemampuan
penyesuaian dirinya terhadap suatu tuntutan eksternal (lingkungan). Stres yang
terlalu besar dapat mengancam kemampuan seseorang untuk menghadapi
lingkungannya. Sebagai hasilnya, pada diri para karyawan berkembang berbagai
macam gejala stres yang dapat mengganggu pelaksanaan kerja mereka.
C. Kinerja
Pegawai
1. Pengertian Kinerja
Pengertian
Kinerja yaitu suatu hasil kerja yang dihasilkan oleh seorang karyawan diartikan
untuk mencapai tujuan yang diharapkan.
Kinerja adalah sebuah kata dalam bahasa Indonesia dari kata dasar
"kerja" yang menterjemahkan kata dari bahasa asing prestasi. Bisa pula
berarti hasil
kerja.
Pengertian
Kinerja Kinerja dalam organisasi merupakan jawaban dari berhasil atau tidaknya tujuan
organisasi yang telah ditetapkan. Para atasan atau manajer sering tidak
memperhatikan kecuali sudah amat buruk atau segala sesuatu jadi serba salah.
Terlalu sering manajer tidak mengetahui betapa buruknya kinerja telah merosot
sehingga perusahaan / instansi
menghadapi krisis yang serius. Kesan – kesan buruk organisasi yang mendalam
berakibat dan mengabaikan tanda – tanda peringatan adanya kinerja yang merosot.
Menurut Anwar Prabu Mangkunegara (2000:67) dalam
bukunya Manajemen Sumber Daya Manusia Perusahaan, mengemukakan
pengertian kinerja sebagai berikut “Kinerja ( prestasi kerja ) adalah hasil
kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seseorang pegawai dalam
melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya”.
Kemudian menurut Ambar Teguh Sulistiyani (2003 : 223)
“Kinerja seseorang merupakan kombinasi dari kemampuan, usaha dan kesempatan
yang dapat dinilai dari hasil kerjanya”. Maluyu S.P. Hasibuan (2001:34)
mengemukakan “kinerja (prestasi kerja) adalah suatu hasil kerja yang dicapai
seseorang dalam melaksanakan tugas tugas yang dibebankan kepadanya yang
didasarkan atas kecakapan, pengalaman dan kesungguhan serta waktu”.
Menurut John Whitmore (1997 : 104) “Kinerja adalah
pelaksanaan fungsi-fungsi yang dituntut dari seseorang,kinerja adalah suatu
perbuatan, suatu prestasi, suatu pameran umum ketrampikan”.
Menurut Barry Cushway (2002 : 1998) “Kinerja adalah
menilai bagaimana seseorang telah bekerja dibandingkan dengan target yang telah
ditentukan”.
Menurut Veizal Rivai ( 2004 : 309) mengemukakan kinerja
adalah : “ merupakan perilaku yang nyata yang ditampilkan setiap orang sebagai
prestasi kerja yang dihasilkan oleh karyawan sesuai dengan
perannya dalam perusahaan”.
Menurut Robert L. Mathis dan John H. Jackson Terjamahaan
Jimmy Sadeli dan Bayu Prawira (2001 : 78), “menyatakan bahwa kinerja pada
dasarnya adalah apa yang dilakukan atau tidak dilakukan karyawan”.
John Witmore dalam Coaching for Perfomance (1997 : 104)
“kinerja adalah pelaksanaan fungsi-fungsi yang dituntut dari seorang atau suatu
perbuatan, suatu prestasi, suatu pameran umum keterampilan”. Kinerja merupakan
suatu kondisi yang harus diketahui dan dikonfirmasikan kepada pihak tertentu
untuk mengetahui tingkat pencapaian hasil suatu instansi dihubungkan dengan
visi yang diemban suatu organisasi atau perusahaan serta mengetahui dampak
positif dan negative dari suatu kebijakan operasional. Mink (1993 : 76)
mengemukakan pendapatnya bahwa individu yang memiliki kinerja yang tinggi
memiliki beberapa karakteristik, yaitu diantaranya: (a) berorientasi pada prestasi,
(b) memiliki percaya diri, (c) berperngendalian diri, (d) kompetensi.
Selanjutnya peneliti juga akan mengemukakan tentang
definisi kinerja karyawan menurut Bernandin & Russell (1993:135)
yang dikutip oleh Faustino cardoso gomes dalam bukunya yang berjudul Human
Resource Management, Performansi adalah catatan yang dihasilkan dari
fungsi suatu pekerjaan tertentu atau kegiatan selama periode waktu tertentu.
Sedangkan Veithzal Rivai (2006:309) mengatakan bahwa
kinerja merupakan perilaku nyata yang ditampilkan setiap orang sebagai prestasi
kerja yang dihasilkan oleh karyawan sesuai dengan perannya dalam perusahaan.
Berdasarkan uraian tersebut di atas mengungkapkan bahwa
dengan hasil kerja yang dicapai oleh seorang karyawan dalam melakukan suatu pekerjaan
dapat dievaluasi tingkat kinerja pegawainya, maka kinerja karyawan harus dapat
ditentukan dengan pencapaian target selama periode waktu yang dicapai
organisasi.
2. Pengukuran Kinerja Pegawai
Selanjutnya penulis akan mengemukakan ukuran-ukuran dari
Kinerja pegawai yang dikemukakan oleh Bernandin & Russell (1993:135)
yang dikutip oleh Faustino cardoso gomes dalam bukunya Human Resource
Managemen yaitu sebagai berikut :
1. Quantity of work : jumlah kerja
yang dilakukan dalam suatu periode yang ditentukan.
2. Quality of work : kualitas kerja yang dicapai
berdasarkan syarat-syarat kesesuaian dan kesiapanya.
3. Job Knowledge : luasnya pengetahuan mengenai
pekerjaan dan keterampilannya.
4. Creativeness : keaslian gagasan –gagasan yang
dimunculkan dan tindakan-tindakan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang
timbul.
5. Cooperation : kesediaan untuk bekerjasama
dengan orang lain atau sesama anggota organisasi
6. Dependability : kesadaran untuk dapat dipercaya
dalam hal kehadiran dan penyelesaian kerja.
7. Initiative : semangat untuk melaksanakan
tugas-tugas baru dan dalam memperbesar tanggungjawabnya.
8. Personal Qualities : menyangkut kepribadian,
kepemimpinan, keramahtamahan dan integritas pribadi.
Sedangkan Agus Dharma dalam bukunya Manajemen Supervisi
(2003:355) mengatakan ”hampir semua cara pengukuran kinerja mempertimbangkan
hal-hal sebagai berikut.
a. Kuantitas, yaitu jumlah yang harus diselesaikan atau
dicapai. Pengukuran kuantitatif melibatkan perhitungan keluaran dari proses
atau pelaksanaan kegiatan. Ini berkaitan dengan jumlah keluaran yang
dihasilkan.
b. Kualitas, yaitu mutu yang harus dihasilkan (baik
tidaknya). Pengukuran kualitatif keluaran mencerminkan pengukuran ”tingkat kepuasan”,
yaitu seberapa baik penyelesaiannya. Ini berkaitan dengan bentuk keluaran.
c. Ketepatan waktu, yaitu sesuai tidaknya dengan waktu
yang direncanakan. Pengukuran ketepatan waktu merupakan jenis khusus dari
pengukuran kuantitatif yang menentukan ketepatan waktu penyelesaian suatu
kegiatan.
Adapun aspek-aspek standar kinerja menurut A.A.Anwar
Prabu Mangkunegara (2005:18-19) terdiri dari aspek kuantitatif dan aspek
kualitatif.
Aspek
kuantitatif meliputi:
Proses kerja dan kondisi pekerjaan
Waktu yang dipergunakan atau lamanya melaksanakan
pekerjaan,
Jumlah kesalahan dalam melaksanakan pekerjaan, dan
Jumlah dan jenis pemberian pelayanan dalam bekerja.
Sedangkan aspek
kualitatif meliputi:
Ketepatan kerja dan kualitas pekerjaan
Tingkat kemampuan dalam bekerja,
Kemampuan menganlisis data/informasi, kemampuan/
kegagalan menggunakan mesin/peralatan, dan
Kemampuan mengevaluasi (keluhan/keberatan konsumen).
3. Faktor yang
Mempengaruhi Pencapaian Kinerja
Faktor-faktor
penentu pencapaian prestasi kerja atau kinerja individu dalam organisasi
menurut A.A. Anwar Prabu Mangkunegara (2005:16-17) adalah sebagai berikut:
1. Faktor
Individu
Secara
psikologis, individu yang normal adalah individu yang memiliki integritas yang
tinggi antara fungsi psikis (rohani) dan fisiknya (jasmaniah). Dengan adanya
integritas yang tinggi antara fungsi psikis dan fisik, maka individu tersebut
memiliki konsentrasi diri yang baik. Konsentrasi yang baik ini merupakanmodal
utama individu manusia untu mampu mengelola dan mendayagunakan potensi dirinya
secara optimal dalam melaksanakan kegiatan atau aktivitas kerja sehari-hari
dalam mencapai tujuan organisasi.
2. Faktor
Lingkungan Organisasi
Faktor
lingkungan kerja organisasi sangat menunjang bagi individu dalam mencapai prestasi
kerja. Faktor lingkungan organisasi yang dimaksud antara lain uraian jabatan
yang jelas, autoritas yang memadai, target kerja yang menantang, pola
komunikasi kerja efektif, hubungan kerja harmonis, iklim kerja respek dan
dinamis, peluang berkarier dan fasilitas kerja yang relatif memadai.
Dari pendapat
di atas dapat dijelaskan, bahwa faktor individu dan faktor lingkungan
organisasi berpengaruh terhadap kinerja pegawai.
4. Peningkatan Kinerja Pegawai
Dalam rangka peningkatan kinerja pegawai, menurut A.A.
Anwar Prabu Mangkunegara (2005:22-23) terdapat tujuh langkah yang dapat
dilakukan sebagai berikut:
a. Mengetahui adanya kekurangan dalam kinerja.
b. Mengenal kekurangan dan tingkat keseriusan
c. Mengidentifikasikan hal-hal yang mungkin menjadi
penyebab kekurangan, baik yang berhubungan dengan sistem maupun yang
berhubungan dengan pegawai itu sendiri.
d. Mengembangkan rencana tindakan untuk menanggulangi
penyebab kekurangan tersebut.
e. Melakukan rencana tindakan tersebut.
f. Melakukan evaluasi apakah masalah tersebut sudah
teratasi atau belum.
g. Mulai dari awal, apabila perlu.
Bila langkah-langkah tersebut dapat dilaksanakan dengan
baik, maka kinerja pegawai dapat ditingkatkan.
BAB III
PEMBAHASAN
ANALISIS TINGKAT ABSENSI DAN STRES
TERHADAP KINERJA PEGAWAI
Sumber daya
manusia merupakan aset yang sangat berharga bagi perusahaan. Kesuksesan suatu
perusahaan tidak hanya ditentukan oleh kualitas sumber daya manusianya saja,
tetapi juga oleh tingkat kedisiplinan mereka. Kedisiplinan seorang karyawan
dalam suatu perusahaan dapat dilihat dan diukur dari tingkat kehadiran mereka
dalam melakukan suatu pekerjaan, karena tingkat kehadiran adalah salah satu
faktor yang menentukan produktifitas perusahaan.
Riset perilaku organisasi atau perusahaan telah
memfokuskan pada tiga jenis sikap yaitu:
1. Kepuasan kerja (job satisfaction)
Merujuk pada sikap umum seorang individu terhadap
pekerjaannya.
2. Keterlibatan kerja (job involvement)
Merupakan
ukuran derajat sejauh mana seseorang memihak secara psikologis terhadap pekerjaannya
dan menganggap kinerjanya sebagai ukuran harga diri.
3. Komitmen organisasional (organizational commitment)
Adalah derajat
sejauh mana seorang karyawan memihak suatu organisasi \
tertentu dan berniat memelihara keanggotaan dalam organisasi tersebut.
tertentu dan berniat memelihara keanggotaan dalam organisasi tersebut.
Dari ketiga jenis sikap yang menjadi komponen penentuan
sikap pegawai, maka terbentuklah suatu sikap puas/tidaknya seseorang terhadap
pekerjaannya.
A. Strategi mengurangi Absensi Pegawai
Menggunakan
Insentif
Dengan
menggunakan insentif yang diberikan kepada pegawai maka akan dapat mendorong
pegawai rajin masuk kerja tanpa absen sehari pun sepanjang tahun. Insentif ini
dapat berupa inisiatif-inisiatif promosi kesehatan sebagai upaya lebih jauh
untuk memotong absensi sakit. menyediakan sarana penunjang seperti voucher
dan bonus untuk mengurangi tingkat absensi karyawan.
Dengan Insentif
yang ditawarkan berupa undian berhadiah voucher liburan, dan bahkan
mobil baru, untuk mereka yang tidak pernah absen karena sakit. Dengan adanya
insentif ini maka tingkat kehadiran karyawan dapat naik.
Namun,
tanggapan atas penyediaan insentif untuk menekan angka absensi karyawan
tersebut bermacam-macam. Sejumlah perusahaan tidak setuju jika karyawan yang
sakit tetap didorong untuk masuk kerja. Bagi mereka, karyawan yang sakit akan
lebih baik jika istirahat di rumah.
Sejumlah
perusahaan percaya bahwa dengan menyediakan insentif untuk mengurangi angka
absensi, mereka telah mendorong karyawan yang jelas-jelas sedang sakit untuk
tetap masuk kerja.
Langkah-Langkah Proaktif melalui Inisiatif-Inisiatif
Strategi lain --yang diadopsi separo kalangan pengusaha--
untuk mengurangi tingkat absensi adalah dengan mengambil langkah-langkah
proaktif melalui inisiatif-inisiatif. Seperti, pemeriksaan kesehatan,
subsidi keanggotaan pada tempat-tempat kebugaran dan dukungan terhadap karyawan
yang sedang berusaha berhenti merokok.Yang cukup pelik justru, seperti
tercermin dari perbedaan opini di kalangan pengusaha, bagaimana memastikan,
karyawan yang absen itu benar-benar (karena) sakit atau hanya pura-pura
(sakit).
Survei menemukan bahwa lebih dari seperempat responden
percaya, kurang dari 20% absensi staf benar-benar berkaitan dengan kondisi
sakit. Tapi, persentase yang sama berpikir bahwa lebih dari 80% karyawan absen
(hanya) karena sakit ringan atau tidak benar-benar sakit.
Sebagai pembanding, survei lain yang dilakukan organisasi
pengusaha terbesar di Inggris, CBI mengungkapkan bahwa pengusaha percaya, satu
dari 8 karyawan absen karena pura-pura sakit dan mengalami "sakit
rutin" pada awal atau akhir pekan.
Menurut Steve Clements, perbedaan sudut pandang kaum
pengusaha tersebut menggarisbawahi fakta bahwa data tentang penyebab absensi
karyawan memang masih diwarnai dugaan-dugaan.
"Tentu memang ada alasan kuat lain di luar sakit
untuk tak masuk kerja. Tapi, survei mendapati sejumlah pengusaha mempertanyakan
berapa banyak karyawan yang absen dengan penyebab yang jelas."
"Bagi sejumlah organisasi, penyebab utama kehilangan
jam kerja bukanlah absen jangka panjang tapi absen pendek yang sering. Data
yang lebih baik akan membantu perusahaan mencapai target inisiatif-inisiatif
terkait absensi secara lebih efektif, dan memungkinkan para manajer mengelola
isu ini dengan lebih baik.
B. Hubungan Tingkat kehadiran Karyawan dan Disiplin Kerja
Dalam
pelaksanaan disiplin kerja karyawan, peranan pimpinan sangat besar dan
menentukan. Kelemahan pelaksanaan disiplin selama ini adalah lemahnya
pengawasan pimpinan terhadap pembinaan disiplin karyawan. Padahal disiplin
kerja memegang peranan penting bagi kelangsungan kerja organisasi.
Dengan disiplin
kerja yang tinggi dari karyawan akan berdampak positif terhadap tercapai
efektivitas dan efisien kerja yang berarti produktivitas kerja akan tercapai
pula.
Indikator
pertama di atas menyebutkan kepatuhan karyawan terhadap jam-jam kerja kantor.
Ini berarti tingkat kehadiran karyawan juga sangat menentukan produktivitas
kerja. Semakin tinggi tingkat kehadiran karyawan semakin tinggi pula tingkat
keberhasilan organisasi. Oleh karena itu kehadiran karyawan merupakan faktor
penting dalam pelaksanaan disiplin kerja.
Kaitannya
dengan tingkat kehadiran ini, Winaya (1983) memberikan ukuran/kriteria disiplin
karyawan sebagai berikut :
“Bilamana
tingkat absensi atau ketidakhadiran per bulan mencapai 2–3 %,
maka dikatakan karyawan mempunyai disiplin yang tinggi. Bilamana tingkat absensi mencapai 15-20 % per bulan, maka dikatakan disiplin karyawan rendah, dan apabila berada di antara kedua ketentuan di atas, maka tingkat disiplin karyawan dapat dikatakan sedang”.
maka dikatakan karyawan mempunyai disiplin yang tinggi. Bilamana tingkat absensi mencapai 15-20 % per bulan, maka dikatakan disiplin karyawan rendah, dan apabila berada di antara kedua ketentuan di atas, maka tingkat disiplin karyawan dapat dikatakan sedang”.
Ukuran atau
kriteria disiplin karyawan juga dikemukakan oleh Sujono (1985), dengan
memberikan kriteria yang lebih luas sebagai berikut :
“ Disiplin yang
sejati adalah apabila karyawan datang di kantor dengan teratur dan tepat pada
waktunya. Apabila mereka berpakaian serba baik pada tempat bekerjanya. Apabila
mereka menggunakan bahan-bahan dan perlengkapan dengan hati-hati, apabila
mereka menghasilkan jumlah dan kualitas pekerjaan yang memuaskan dan mengikuti
cara bekerja yang ditentukan oleh kantor atau perusahaan dan apabila mereka
menyelesaikan pekerjaan yang sangat tinggi. Ukuran ini harus diperhatikan atas
pekerjaan sehari-hari”.
Dengan kriteria
sekaligus indikator seperti yang disebutkan di atas, maka peranan disiplin
sangat besar pengaruhnya terhadap kinerja karyawan. Dan jika semua kriteria di
atas terpenuhi, maka produktivitas kerja akan semakin tinggi.
C. Dampak Stres terhadap Kinerja Pegawai
Pengaruh stres
kerja ada yang menguntungkan maupun merugikan bagi
perusahaan. Namun pada taraf tertentu pengaruh yang menguntungkan perusahaan
diharapkan akan memacu karyawan untuk dapat menyelesaikan pekerjaan dengan
scbaik-baiknya. Reaksi terhadap stress dapat merupakan reaksi bersifat psikis
maupun fisik. Biasanya pekerja atau karyawan yang stress akan menunjukkan
perubahan perilaku. Perubahan perilaku tcrjadi pada din manusia sebagai usaha
mengatasi stres. Usaha mengatasi stres dapat berupa perilaku melawan stres
(flight) atau freeze (berdiam diri). Dalam kehidupan sehari-hari ketiga reaksi ini
biasanya dilakukan secara bergantian, tergantung situasi dan bentuk stres.
perusahaan. Namun pada taraf tertentu pengaruh yang menguntungkan perusahaan
diharapkan akan memacu karyawan untuk dapat menyelesaikan pekerjaan dengan
scbaik-baiknya. Reaksi terhadap stress dapat merupakan reaksi bersifat psikis
maupun fisik. Biasanya pekerja atau karyawan yang stress akan menunjukkan
perubahan perilaku. Perubahan perilaku tcrjadi pada din manusia sebagai usaha
mengatasi stres. Usaha mengatasi stres dapat berupa perilaku melawan stres
(flight) atau freeze (berdiam diri). Dalam kehidupan sehari-hari ketiga reaksi ini
biasanya dilakukan secara bergantian, tergantung situasi dan bentuk stres.
Gejala-Gejala
Stres Kerja :
Perubahan-perubahan
ini di tempat kerja merupakan gejala-gejala individu yang mengalami stres
antara lain (Margiati, 1999:78-79) : (a) bekerja melewati batas kemampuan, (b)
kelerlambatan masuk kerja yang sering, (c) ketidakhadiran
pekerjaan, (d) kesulitan membuat kepulusan, (e) kesalahan yang sembrono, (f)
kelaiaian menyelesaikan pekerjaan, (g) lupa akan janji yang telah dibuat dan
kegagalan diri sendiri, (h) kesulitan berhubungan dengan orang lain, (i) kerisauan
tentang kesalahan yang dibuat, (j) Menunjukkan gejala fisik seperti pada alat
pencernaan, tekanan darah tinggi, radang kulit, radang pernafasan.
pekerjaan, (d) kesulitan membuat kepulusan, (e) kesalahan yang sembrono, (f)
kelaiaian menyelesaikan pekerjaan, (g) lupa akan janji yang telah dibuat dan
kegagalan diri sendiri, (h) kesulitan berhubungan dengan orang lain, (i) kerisauan
tentang kesalahan yang dibuat, (j) Menunjukkan gejala fisik seperti pada alat
pencernaan, tekanan darah tinggi, radang kulit, radang pernafasan.
Strategi
Manajemen Stres Kerja
Stres dalam
pekerjaan dapat dicegah timbulnya dan dapat dihadapi tanpa
memperoleh dampaknya yang negatif. Manajemen stres lebih daripada sekedar
mengatasinya, yakni betajar menanggulanginya secara adaplif dan efektif. Hampir
sama pentingnya untuk mengetahui apa yang tidak boleh dilakukan dan apa yang
harus dicoba. Sebagian para pengidap stres di tempat kerja akibat persaingan,
sering melampiaskan dengan cara bekerja lebih keras yang berlebihan. Ini
bukanlah cara efektif yang bahkan tidak menghasilkan apa-apa untuk memecahkan
sebab dari stres, justru akan menambah masalah lebih jauh. Sebelum masuk ke
cara-cara yang lebih spesifik untuk mengatasi stressor tertentu, harus
diperhitungkan beberapa pedoman umum untuk memacu perubahan dan
penaggulangan. Pemahaman prinsip dasar, menjadi bagian penting agar seseorang
mampu merancang solusi terhadap masalah yang muncul terutama yang berkait
dengan penyebab stres dalam hubungannya di tempat kerja. Dalam hubungannya
dengan tempat kerja, stres dapat timbul pada beberapa tingkat, berjajar dari
ketidakmampuan bekerja dengan baik dalam peranan tertentu karena
kesalahpahaman atasan atau bawahan. Atau bahkan dari sebab tidak adanya
ketrampilan (khususnya ketrampilan manajemen) hingga sekedar tidak menyukai
seseorang dengan siapa harus bekerja secara dekat (Margiati, 1999:76).
memperoleh dampaknya yang negatif. Manajemen stres lebih daripada sekedar
mengatasinya, yakni betajar menanggulanginya secara adaplif dan efektif. Hampir
sama pentingnya untuk mengetahui apa yang tidak boleh dilakukan dan apa yang
harus dicoba. Sebagian para pengidap stres di tempat kerja akibat persaingan,
sering melampiaskan dengan cara bekerja lebih keras yang berlebihan. Ini
bukanlah cara efektif yang bahkan tidak menghasilkan apa-apa untuk memecahkan
sebab dari stres, justru akan menambah masalah lebih jauh. Sebelum masuk ke
cara-cara yang lebih spesifik untuk mengatasi stressor tertentu, harus
diperhitungkan beberapa pedoman umum untuk memacu perubahan dan
penaggulangan. Pemahaman prinsip dasar, menjadi bagian penting agar seseorang
mampu merancang solusi terhadap masalah yang muncul terutama yang berkait
dengan penyebab stres dalam hubungannya di tempat kerja. Dalam hubungannya
dengan tempat kerja, stres dapat timbul pada beberapa tingkat, berjajar dari
ketidakmampuan bekerja dengan baik dalam peranan tertentu karena
kesalahpahaman atasan atau bawahan. Atau bahkan dari sebab tidak adanya
ketrampilan (khususnya ketrampilan manajemen) hingga sekedar tidak menyukai
seseorang dengan siapa harus bekerja secara dekat (Margiati, 1999:76).
Suprihanto dkk
(2003:63-64) mengatakan bahwa dari sudut pandang
organisasi, manajemen mungkin tidak khawatir jika karyawannya mengalami stres
yang ringan. Alasannya karena pada tingkat stres lertentu akan memberikan akibat
positif, karena hal ini akan mendesak mereka untuk melakukan tugas lebih baik.
Tetapi pada tingkat stres yang tinggi atau stres ringan yang berkepanjangan akan
membuat menurunnya kinerja karyawan. Stres ringan mungkin akan memberikan
keuntungan bagi organisasi, tetapi dari sudut pandang individu hal tersebut bukan
merupakan hal yang diinginkan. Maka manajemen mungkin akan berpikir untuk
memberikan tugas yang menyertakan stress ringan bagi karyawan untuk
memberikan dorongan bagi karyawan, namun sebaliknya itu akan dirasakan
sebagai tekanan oleh si pekerja.
organisasi, manajemen mungkin tidak khawatir jika karyawannya mengalami stres
yang ringan. Alasannya karena pada tingkat stres lertentu akan memberikan akibat
positif, karena hal ini akan mendesak mereka untuk melakukan tugas lebih baik.
Tetapi pada tingkat stres yang tinggi atau stres ringan yang berkepanjangan akan
membuat menurunnya kinerja karyawan. Stres ringan mungkin akan memberikan
keuntungan bagi organisasi, tetapi dari sudut pandang individu hal tersebut bukan
merupakan hal yang diinginkan. Maka manajemen mungkin akan berpikir untuk
memberikan tugas yang menyertakan stress ringan bagi karyawan untuk
memberikan dorongan bagi karyawan, namun sebaliknya itu akan dirasakan
sebagai tekanan oleh si pekerja.
Pendekatan
dalam mengelola stres :
Maka diperlukan
pendekatan yang tepat dalam mengelola stres, ada dua pendekatan yaitu
pendekatan individu dan pendekatan organisasi.
1. Pendekatan
Individual
Seorang
karyawan dapat berusaha sendiri untuk mcngurangi level stresnya.
Strategi yang bersifat individual yang cukup efektif yaitu; pengelolaan waktu,
latihan fisik, latihan relaksasi, dan dukungan sosial. Dengan pengelolaan waktu
yang baik maka seorang karyawan dapat menyelesaikan tugas dengan baik, tanpa
adanya tuntutan kerja yang tergesa-gesa. Dengan latihan fisik dapat meningkatkan
kondisi tubuh agar lebih prima sehingga mampu menghadapi tuntutan tugas yang
berat. Selain itu untuk mengurangi sires yang dihadapi pekerja pcrlu dilakukan
kegiatan-kegiatan santai. Dan sebagai stratcgi terakhir untuk mengurangi stres
adalah dengan roengumpulkan sahabat, kolega, keluarga yang akan dapat
memberikan dukungan dan saran-saran bagi dirinya.
Strategi yang bersifat individual yang cukup efektif yaitu; pengelolaan waktu,
latihan fisik, latihan relaksasi, dan dukungan sosial. Dengan pengelolaan waktu
yang baik maka seorang karyawan dapat menyelesaikan tugas dengan baik, tanpa
adanya tuntutan kerja yang tergesa-gesa. Dengan latihan fisik dapat meningkatkan
kondisi tubuh agar lebih prima sehingga mampu menghadapi tuntutan tugas yang
berat. Selain itu untuk mengurangi sires yang dihadapi pekerja pcrlu dilakukan
kegiatan-kegiatan santai. Dan sebagai stratcgi terakhir untuk mengurangi stres
adalah dengan roengumpulkan sahabat, kolega, keluarga yang akan dapat
memberikan dukungan dan saran-saran bagi dirinya.
2. Pendekatan
Organisasional
Beberapa
penyebab stres adalah tuntutan dari tugas dan peran serta struktur
organisasi yang scmuanya dikendalikan oleh manajemen, schingga faktor-faktor
itu dapat diubah. Oleh karena itu strategi-strategi yang mungkin digunakan oleh
manajemen untuk mengurangi stres karyawannya adalah melalui seleksi dan
penempatan, penetapan tujuan, redesain pekerjaan, pengambilan keputusan
partisipatif, komunikasi organisasional, dan program kesejahteraan. Melalui
strategi tersebut akan menyebabkan karyawan memperoleh pekerjaan yang sesuai
dengan kemampuannya dan mereka bekerja untuk tujuan yang mereka inginkan
serta adanya hubungan interpersonal yang sehat serta perawatan terhadap kondisi
fisik dan mental.
organisasi yang scmuanya dikendalikan oleh manajemen, schingga faktor-faktor
itu dapat diubah. Oleh karena itu strategi-strategi yang mungkin digunakan oleh
manajemen untuk mengurangi stres karyawannya adalah melalui seleksi dan
penempatan, penetapan tujuan, redesain pekerjaan, pengambilan keputusan
partisipatif, komunikasi organisasional, dan program kesejahteraan. Melalui
strategi tersebut akan menyebabkan karyawan memperoleh pekerjaan yang sesuai
dengan kemampuannya dan mereka bekerja untuk tujuan yang mereka inginkan
serta adanya hubungan interpersonal yang sehat serta perawatan terhadap kondisi
fisik dan mental.
Pada umumnya stres kerja lebih banyak merugikan
diri karyawan maupun perusahaan. Pada diri karyawan, konsekuensi tersebut dapat
berupa menurunnya gairah kerja, kecemasan yang tinggi, frustrasi dan sebagainya
(Rice, 1999). Konsekuensi pada karyawan ini tidak hanya berhubungan dengan
aktivitas kerja saja, tetapi dapat meluas ke aktivitas lain di luar pekerjaan.
Seperti tidak dapat tidur dengan tenang, selera makan berkurang, kurang mampu
berkonsentrasi, dan sebagainya.
Sedangkan
Arnold (1986) menyebutkan bahwa ada empat konsekuensi yang dapat terjadi akibat
stres kerja yang dialami oleh individu, yaitu terganggunya kesehatan fisik,
kesehatan psikologis, performance, serta mempengaruhi individu dalam
pengambilan keputusan.
BAB IV
PENUTUP
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan, maka penulis dapat mengambil kesimpulan
sebagai berikut:
Untuk mengukur
tinggi rendahnya semangat kerja pegawai dapat melalui unsur-unsur semangat
kerja tersebut yang meliputi : Presensi (tingkat kehadiran), Disiplin Kerja,
Kerja Sama, dan Tanggung Jawab.
Presensi
merupakan kehadiran pegawai yang berkenaan dengan tugas dan kewajibannya.
Ketidakhadiran seorang pegawai akan berpengaruh terhadap produktivitas kerja,
sehingga instansi atau lembaga tidak bisa mencapai tujuan secara optimal.
Stres merupakan
suatu kondisi ketegangan yang mempengaruhi emosi, proses berfikir dan kondisi
seseorang dimana ia terpaksa memberikan tanggapan melebihi kemampuan
penyesuaian dirinya terhadap suatu tuntutan eksternal (lingkungan). Stres yang
terlalu besar dapat mengancam kemampuan seseorang untuk menghadapi
lingkungannya. Sebagai hasilnya, pada diri para karyawan berkembang berbagai
macam gejala stres yang dapat mengganggu pelaksanaan kerja mereka.
Stress di
tempat kerja mengakibatkan dampak negatif bagi perusahaan dan juga individu.
Oleh karenanya diperlukan kerja sama antara kedua belah pihak untuk
menyelesaikan persoalan stress tersebut. Karena stress yang dihadapi oleh
karyawan berkorelasi dengan penurunan prestasi kerja, peningkatan
ketidakhadiran kerja, serta tendensi mengalami kecelakaan. Perilaku negatif
karyawan yang berpengaruh terhadap organisasi.
Secara singkat
beberapa dampak negatif yang ditimbulkan oleh stress kerja dapat berupa:
1. Terjadinya kekacauan, hambatan baik dalam manajemen
maupun operasional kerja
2. Mengganggu kenormalan aktivitas kerja
3. Menurunkan tingkat produktivitas
4. Menurunkan pemasukan dan keuntungan perusahaan.
Kerugian finansial yang dialami perusahaan karena tidak imbangnya antara
produktivitas dengan biaya yang dikeluarkan untuk membayar gaji, tunjangan, dan
fasilitas lainnya. Banyak karyawan yang tidak masuk kerja dengan berbagai
alasan, atau pekerjaan tidak selesai pada waktunya entah karena kelambanan atau
pun karena banyaknya kesalahan yang berulang.
B. Saran-Saran :
Berdasarkan kesimpulan dari hasil di atas, maka dapat diajukan saran-saran
sebagai berikut :
Sumber daya manusia merupakan aset yang
sangat berharga bagi perusahaan/Departemen/Lembaga maka sudah seharusnya
perusahaan memperhatikan Sumber Daya Manusianya, terutama pada masalah
motivasi, kepuasan kerja, keterlibatan kerja /penempatan tenaga kerja dan
komitmen organisasi terhadap pegawai. Sehingga pengelolaan sumber daya manusia
dapat berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan perusahaan.
Dengan
menggunakan insentif yang diberikan kepada pegawai maka akan dapat mendorong
pegawai rajin masuk kerja. Untuk itu sudah seharusnya agar perusahaan
senantiasa memperhatikan insentif yang diberikan kepada karyawan.
Perusahaan agar
senantiasa mengambil langkah-langkah untuk mengatasi stres kerja yang timbul.
Bagi pegawai untuk mengatasi stres dapat dilakukan dengan
cara sbb :
Pertahankan kesehatan tubuh Anda sebaik mungkin, usahakan
berbagai cara agar anda tidak jatuh sakit, misalnya tidur yang cukup dan
memperbaiki pola makan
Terimalah diri Anda apa adanya, segala kekurangan dan
kelebihan, kegagalan maupun keberhasilan sebagai bagian dari kehidupan Anda
Tetaplah memelihara hubungan persahabatan yang indah
dengan seseorang yang Anda anggap paling bisa diajak curhat
Lakukan tindakan positif dan konstruktif dalam mengatasi
sumber stress Anda di dalam pekerjaan, misalnya segera mencari solusi atas
permasalahan yang dihadapi dalam pekerjaan
Tetaplah memelihara hubungan sosial dengan orang-orang di
luar lingkungan pekerjaan Anda, misalnya dengan tetangga atau kerabat dekat
Berusahalah mempertahankan aktivitas yang kreatif di luar
pekerjaan, misalnya berolahraga atau berekreasi
Melibatkan diri dalam pekerjaan-pekerjaan yang berguna,
misalnya kegiatan sosial dan keagamaan
Kembangkan hobby anda, misalnya memelihara bunga, burung,
memancing dan lain-lain
DAFTAR PUSTAKA
Prof. Dr.
Wibowo, SE.,M.Phil. , 2007. Manajemen Kinerja, Jakarta : PT.
Raja Grafindo Persada.
James A.F. Stoner / Charles Wankel. 1988.
Manajemen, Edisi Ketiga. CV. Intermedia Jakarta.
Purwoto
Wanasentana, DR, Materi Kuliah Evaluasi Kinerja, Program Pascasarjana,
Magister Manajemen, Universitas Krisnadwipayana
I.G.A.K.
Wardani, dll, 2007. Buku Materi Pokok, Teknik Menulis Karya
Ilmiah, , Jakarta : BPK-Pusat Penerbitan UT.
No comments:
Post a Comment