Wednesday, January 20, 2016

MEDIA DAN POLITIK Sikap Press Terhadap Pemerintahan Koalisi di Indonesia


BAB I PENDAHULUAN
Meskipun Pemilu langsung hingga 2013 telah diselenggarakan dua kali di Indonesia, namun pemerintahan yang terbentuk dari hasil Pemilu tersebut tetap raja menyimpan masalah serius. Demokrasi Indonesia tetap tidak lepas dari gerogotan korupsi yang telah merusak jalannya pemerintahan selama ini. Bukan hanya pegawai biasa, oknum jaksa, oknum polisi, bahkan menteri pun menjadi tersangka kasus korupsi dan akhirnya berakhir di penjara. Upaya pemberantasan korupsi oleh pemerintah dinilai masih kurang maksimal sebagaimana terlihat dengan masih banyaknya pejabat negara yang terlibat kasus korupsi secara terus-menerus.
Kenyataan pahit ini tidak lepas dari praktek politik kartel partai-partai peserta Pemilu 2009, yang memaksa partai-partai dan para elit politik untuk tidak menjalankan peran mereka sebagaimana mestinya, karena dengan begitu dirasakan lebih menguntungkan. Selain korupsi akut, akibat parch lainnya dari fenomena kartel tersebut adalah matinya oposisi politik formal, di mana partai politik di luar pemerintahan kalah kekuatan terhadap koalisi partai pendukung pemerintah. Oposisi politik berfungsi untuk mengkritisi kebijakan pemerintah yang dinilai tidak sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi.




BAB 2 PEMERINTAHAN KOALISI DI INDONESIA

A. Pengantar
Setelah reformasi, koalisi menjadi tren politik dalam sistem pemerintahan di Indonesia. Setelah 32 tahun dikuasai oleh sistem pemerintahan dengan partai tunggal di masa Orde Baru, pada era reformasi pemerintahan dibentuk dalam corak koalisi. Faktor penyebab utama adalah tidak siapnya infrastruktur politik, khususnya partai politik dalam membangun demokrasi pasca Orde Baru lewat suksesi kepemimpinan yang progresif. Matinya pembangunan politik di masa lalu membuat sosok pemimpin reformis tidak muncul. Sosok pemimpin kompeten yang tegas tidak ada untuk dapat menciptakan suatu pemerintahan yang tunggal lewat pemenangan Pemilu secara signifikan.

B. Pemerintahan Koalisi
Pemerintahan adalah seluruh kegiatan pelaksanaan undang­undang yang dilakukan oleh lembaga dan institusi eksekutif, yaitu presiden dibantu oleh menteri dengan birokrasi sipil maupun nonsipil di bawahnya (Salam, 2004: 33). Pemerintahan koalisi merupakan pemerintahan yang terbentuk dari bergabungnya dua atau lebih partai politik untuk membentuk pemerintahan, sehingga berujung pada pembagian kekuasaan di kabinet. Pemerintahan koalisi yang dimaksud pada kesempatan ini adalah pemerintahan pascapemilu tahun 2009 di Indonesia, yang dikenal dengan Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II.
Sejak pemilihan langsung tahun 2004, pemerintahan koalisi seolah menjadi solusi terbaik di tengah berbagai persoalan politik di Indonesia, seperti korupsi, krisis kepemimpinan, konflik internal partai, kualitas kader partai yang rendah, serta besarnya jumlah partai politik. Dalam peta politik di mana tidak ada yang "unggul", pemerintahan koalisi merupakan "jalan aman" untuk menciptakan pemerintahan yang kuat. Sayangnya pada saat yang sama jalan aman ini menyimpan bom waktu perpecahan dalam konteks sistem pemerintahan yang efektif.
Tanuwidjaja (2009) melihat gejala ini sebagai salah satu sebab munculnya politik kartel di Indonesia, di mana partai pemenang Pemilu punya kepentingan untuk menjaga agar pemerintahan berjalan stabil dan efisien. Lebih jauh Tanuwidjaja menyatakan bahwa dengan pembagian kursi kabinet dan kursi komisi, aktor pemenang Pemilu berharap mendapat dukungan di DPR untuk menjaga agar pemerintah relatif stabil dan efisien, sementara aktor politik yang kalah memperoleh akses terhadap dana negara maupun jatah kekuasaan.
Secara pragmatis, faktor yang mendorong partai-partai untuk berkoalisi dengan partai pernerintah adalah kebutuhan akan publikasi atau citra politik. Dengan menduduki jabatan di kabinet, partai dan tokoh partai mendapat peluang menjadi terkenal karena peluang untuk disorot secara positif oleh media terbuka lebar. Di samping itu, ada juga insentif posisi jabatan di kabinet dan parlemen yang lebih penting dari publikasi dan pencitraan (Ambardi, 2009b).
BAB 3 MENGANALISIS PEMBERITAAN MEDIA
A. Pengantar
Ada beberapa sudut pandang atau pintu masuk untuk melakukan kajian atas relasi media dan politik, antara lain dari sudut pandang media sebagai organisasi, efek pemberitaan media terhadap khalayak, hingga faktor-faktor struktural yang memengaruhi proses produksi berita sebagai perwujudan dari bertemunya sisi politik media dan sisi komunikasi dari politik. Buku ini memandang bahwa berita merupakan perwujudan kepentingan media sebagai institusi politik dalam konteks demokrasi. Dengan kata lain, berita merupakan wujud sikap politik media terhadap proses dan struktur politik dalam pemerintahan sesuai dengan fungsinya untuk mengawasi jalannya kekuasaan.
Kajian ini merupakan studi deskriptif pemberitaan media dengan memakai metode analisis isi kuantitatif. Dalam analisis isi, pesan adalah yang utama. Sejalan dengan itu, objek analisis kajian ini adalah teks berita utama dan tajuk rencana surat kabar nasional. Lasswell (1965: 44) menyatakan bahwa prosedur analisis isi cocok digunakan untuk menjelaskan struktur fokus perhatian dalam komunikasi secara kuantitatif.
Para ahli menguraikan beragam tujuan analisis isi. Tiga tujuan yang relevan pada kesempatan ini adalah: pertama, menjelaskan beberapa aspek dari materi sumber yang kompleks (contoh: surat kabar) dalam jumlah besar sehingga hanya analisi isi yang dapat melakukannya; kedua, menguji hipotesis dan menfasilitasi menarik kesimpulan; dan ketiga, membandingkan karakteristik antarbudaya berdasarkan data yang ada (Carney, 1972).

B. Analisis Isi
Analisis isi, seperti dijelaskan Kerlinger, adalah suatu metode untuk mempelajari dan menganalisis praktek komunikasi secara sistematik, objelctif, dan kuantitatif dengan tujuan untuk mengukur variabel-variabel tertentu (Wimmer dan Dominick, 2006: 150). Hal yang kurang-lebih sama dikemukakan oleh Berelson (1952: 18) yang mengatakan analisis isi sebagai sebuah teknik penelitian untuk memperoleh deskripsi objektif, sistematik, dan kuantitatif atas pesan manifes dari proses komunikasi. Dan kedua penjelasan ahli tersebut tampak bahwa ada tiga ciri penting analisis isi, yaitu: objektif, sistematik, dan kuantitatif. Objektif artinya nilai subjelctif peneliti tidak boleh masuk dalam analisis yang dilakukan. Selain itu, harus dapat dipastikan hasil yang sama akan diperoleh jika analisis dilakukan orang berbeda.
Sistematik artinya proses penelitian didasarkan pada suatu tahapan dan prosedur yang terukur dan baku, sehingga dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Setiap unit analisis hanya akan dikaji dengan menggunakan satu metode analisis yang sama. Sementara itu, kuantitatif artinya bahwa proses pengambilan kesimpulan dari hasil analisis dilakukan melalui penghitungan secara matematis dan baku, sehingga dapat dijamin akurasi dan objektivitas hasil penelitian. Sifat kuantitatif analisis isi terjadi pada dua tahap, yaitu saat penarikan sampel dan pengukuran, dan saat analisis data yang sudah kumpulkan (Mitchell, 1967: 238).
Krippendorff (2004: 18) mengemukakan bahwa analisis isi adalah sebuah teknik penelitian untuk mendapatkan kesimpulan-kesimpulan yang valid dan replicable tentang teks-teks dan hal-hal penting terkait lainnya ke dalam konteks yang sesuai dengan penggunaannya. Untuk memastikan sistematika dan objelctivitas analisisnya, Krippendorff mengusung istilah replicable dan valid. Replicability merupakan ciri khas dari suatu pengukuran yang reliable di mana sistematika dan objektivitas menjadi elemen penting.
Sementara Hostli (1969) mendefenisikan analisis isi lebih fleksibel, yaitu any technique for making inferences by objectively and systematically identifying specified characteristics of messages" (hlm. 14). Jika Kerlinger menyebut analisis isi sebagai aktivitas mengamati dan menganalisis, Hostli menyebutnya sebagai aktivitas mengidentifikasi karakteristik-karakteristik khusus dan pesan.
Berita media merupakan satu bentuk pesan. Untuk melakukan identifikasi karakteristik tersebut, analisis isi membutuhkan deskripsi unit pengkodean dan kategori yang akan diidentifikasi pada materi isi objek penelitian. Sejalan dengan itu, Berelson (1952) menyatakan ada tiga asumsi analisis isi yang perlu diperhatikan, yaitu: pertama, kesimpulan tentang hubungan antara maksud dengan pesan atau antara pesan dan efeknya secara valid dapat ditarik; kedua, kajian pesan manifest tersebut memiliki makna; dan ketiga, deskripsi kuantitatif atas isi komunikasi tersebut punya arti tersendiri (meaningful).
Sikap politik pers mencerminkan bagaimana pers memposisikan dirinya terhadap fenomena politik, yang dapat diidentifikasi dan apa yang disebut Gamson dan Modigliani (1989) sebagai media packages. Media packages satu peristiwa hingga menjadi berita dapat dipahami sebagai a set of interpretive packages that give meaning to an issue.



BAB 4 SURAT KABAR SEBAGAI OBJEK KAJIAN TENTANG MEDIA
DI INDONESIA
A. Pengantar
Buku ini mengkaji pers dalam arti sempit, yaitu surat kabar sebagai bagian dari pers nasional. Pers nasional merupakan surat kabar yang dioperasikan oleh perusahaan pers nasional dan dimaksudkan untuk membedakannya dari pers daerah. Pers nasional memiliki kantor utama di ibu kota negara sebagai pusat institusi pers tersebut clan memiliki orientasi pemberitaan secara nasional.
Oleh sebab itu, objek kajian yang telah diobservasi dalam kajian ini adalah tiga surat kabar nasional terbesar, yaitu: Kompas, Media Indonesia, clan Republika. Kompas merupakan koran nasional terbesar yang membuatnya sangat berpengaruh dalam pembentukan opini publik, dan dalam penelitian ini ditempatkan sebagai surat kabar umum. Sementara itu, walaupun merupakan koran umum, Media Indonesia memiliki ciri tersendiri, yaitu pemiliknya seorang politisi, bahkan petinggi salah satu partai politik terbesar di Indonesia. Selanjutnya dari seluruh pers nasional, surat kabar yang paling berbeda dari kedua surat kabar di atas adalah Republika. Surat kabar ini lebih ditempatkan sebagai media yang mewakili kepentingan umat Islam, yang merupakan pemilih mayoritas di Indonesia. Ketiga surat kabar tersebut paling sering dijadikan sampel penelitian untuk mengkaji performance pers di Indonesia. Penjelasan berikut membahas sejarah, kepemilikan, sirkulasi, dan orientasi isi ketiga media tersebut.

B. Kompas
1. Sejarah
Kompas mulai terbit tanggal 28 Juni 1965 (Swantoro, 1990). Awalnya, pada akhir tahun 1964 Partai Katolik memikirkan untuk menerbitkan sebuah koran. Ketua Partai Katolik saat itu, Frans Seda, mengakui bahwa dalam keadaan politik saat itu satu-satunya cara yang efektif untuk memengaruhi opini publik adalah melalui surat kabar. Surat kabar yang direncanakan itu akan diberi nama Gagasan Baru, namun izin pendiriannya tidak keluar. Pada saat yang sama, menurut Frans Seda ada kelompok lain yang juga ingin menerbitkan surat kabar (Intisari). Kelompok ini dimotori oleh P.K. Ojong dan Jakob Oetama. Kemudian terjadilah penyatuan niat antara kedua kelompok tersebut-para wartawan Katolik Jawa dan partai Katolik­untuk mendirikan koran yang kemudian menjadi Kompas (Sudibyo dkk, 2001: 7; Hill, 1995: 83).
Kompas berhasil mengisi kekosongan surat kabar di mana ketika itu beberapa surat kabar yang dicap sebagai BPS (anti-Soekarnois) dan yang memiliki suara-suara anti komunis telah ditutup. Kompas juga berhasil melewati "badai" politik tahun 1966, yang menjadi awal terbentuknya Orde Baru. Asosiasi Kompas dengan Partai Katolik sebelumnya sangat kuat, hingga pada akhirnya pemerintah melakukan difusi partai politik (kecuali Golkar sebagai partai pemerintah) yang mendorong terbentuknya dua partai gabungan, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di mana Partai Katolik melebur (Hill, 1995: 83). Frans Seda mengungkapkan bahwa hubungan akrab antara Partai Katolik dan Kompas hanya berlangsung hingga tahun 1971, sebelum akhirnya Kompas menjadi profesional (Sudibyo dkk, 2001: 8) dan kemudian menjadi perusahaan bisnis seperti sekarang.
Jakob Oetama (1990) menyatakan ada tiga perubahan besar di bidang politik yang menyebabkan perubahan dalam kehidupan politik dan sosial ekonomi, serta akhirnya berpengaruh pada perkembangan pers Indonesia, termasuk Kompas secara khusus. Pertama, pada masa peralihan awal Orde Baru, kebebasan pers lebih besar sebagai reaksi atas kondisi sebelumnya. Masa peralihan disertai konflik, suatu situasi yang menyebabkan pers memberitakan kejadian-kejadian intensif dan memberi komentar-komentar segar; kedua, peranan partai-partai diperkecil yang kemudian perannya digantikan oleh tampilnya ABRI dan Golkar. Di sinilah terjadi peralihan antara koran-koran partisan dan koran-koran independen; ketiga, politik ekonomi berubah. Ekonomi pembangunan memberi peran yang lebih dominan pada pemerintah, sekaligus juga pada pasar. Selanjutnya perkembangan ekonomi inilah yang nantinya mendobrak pekermbangan media hingga memiliki percetakan sendiri, termasuk Kompas.
Hal yang menjadi perhatian pengamat terhadap Kompas adalah gaya jurnalistiknya yang dinilai terlalu penuh dengan kehati-hatian. David Hill (1995) menyebutnya, "...Kompas became synonymous with a style of subtle, indirect, and implicit criticism, often dubbed as typically Javanese"' (hlm. 84). Jika hal tersebut muncul pada awal kelahirannya, tampaknya bisa dipahami mengingat besarnya kemungkinan untuk mengalami nasib yang sama dengan surat kabar yang sudah ditutup. Oleh karenanya, walaupun tidak seratus persen berbeda, di masa sekarang ini pasti telah mengalami perubahan tertentu dalam gaya pemberitaannya.

BAB 5 MEDIA, POLITIK, DAN PEMBERITAAN OPOSISIONAL
A. Pengantar
Pembahasan bab ini bertujuan untuk menjelaskan konteks peran oposisional pers terhadap pemerintah di Indonesia. Bab ini dibagi dalam enam bagian yaitu: pendekatan sistem, fungsi media dalam demokrasi, media dan oposisi, sistem politik Indonesia, dan sistem pers Indonesia, serta dimensi kekuatan media untuk pemberitaan oposisional. Terlebih dahulu akan dijelaskan relasi media dan politik dalam pendekatan sistemik untuk menunjukkan peran media dalam sistem politik sebagai titik temu antara media dan politik dalam demokrasi. Hubungan antara sistem media dan sistem politik dalam sistem sosial (suprasistem) dapat terjadi secara interpenetratif, bersifat konsensual, maupun konfliktual atau bertentangan.

B. Pendekatan Sistem
Salah satu cara untuk menganalisis relasi media dan politik adalah dengan pendekatan sistem.1 Sebuah sistem adalah suatu kumpulan dari
Pendekatan sistem dalam kajian komunikasi politik (relasi media dan politik) membawa tiga manfaat penting, yaitu:
1)        dapat menghubungkan sejumlah temuan fakta dalam perspektif yang lebih luas secara kritis;
2)        dapat menghapus penekanan yang terlalu berlebihan atau pun terlalu rendah pada salah satu unsur dari objek kajian; dan
3)        dapat digunakan untuk studi komparatif lintas negara dengan melihat konsekuensi-konsekuensi yang bersifat makro (Blumler & Gurevitch, 1995).
Aspek-aspek yang saling mempengaruhi satu sama lain di dalam satu lingkungan dan membentuk suatu pola yang lebih besar dan berbeda dari bagian-bagian lainnya (Littlejohn 2002: 37). Menurut Parsons, sistem berfungsi mempertahankan eksistensinya lewat pencapaian tugas adaptasi, tujuan, integrasi, dan pemeliharaan pola (Ritzer dan Goodman, 2004). Sejalan dengan itu, hubungan media dan politik berdasarkan fungsionalisme-struktural Parsons berinteraksi dengan pola yang sejajar. Loomis (1960: 32) menyebutnya sebagai systemic linkage. Keterhubungan sistemik (systemic linkage) merupakan proses di mana satu atau lebih elemen-elemen dari setidaknya dua sistem terartikulasikan dalam pola perilaku tertentu sehingga pada tataran atau waktu tertentu kedua sistem tersebut seolah-olah menjadi satu. Menurut Parsons (1977: 200) hubungan antara sistem ini berlangsung secara interpenetratif dan saling tergantung. Namun, interpenetrasi tersebut berlangsung secara tertib dan konsensual.
Dalam pandangan ini, media ditempatkan sebagai elemen fungsional yang dapat menciptakan keseimbangan sosial dalam masyarakat. Setiap elemen dalam sistem telah memiliki fungsi masing­masing yang memungkinkan sistem tersebut tetap eksis. Pendekatan ini juga melihat bahwa perubahan sosial akan terjadi secara evolutif dan sesuai dengan konsensus tertentu, sehingga tidak menyebabkan ketegangan dalam sistem. Dengan demikian, pendekatan sistemik dari Parsons ini kurang menggambarkan suatu realitas yang dinamis. Dalam prakteknya, kekuasaan politik tidak jarang mengendalikan secara ketat ruang gerak media. Bahkan lebih parah, sering kali media dikooptasi menjadi salah satu dari apa yang disebut Louis Althusser sebagai state apparatuse rezim berkuasa. Dalam konteks ini argumen teori fungsionalisme terpatahkan, dan cenderung dicurigai sebagai pemikiran yang pro status-quo dan anti terhadap perubahan.

No comments:

Post a Comment

buku bimbingan

                                                                                                                                            ...

082126189815

Name

Email *

Message *