BAB I PENDAHULUAN
Meskipun Pemilu langsung hingga 2013 telah
diselenggarakan dua kali di Indonesia, namun pemerintahan yang terbentuk dari
hasil Pemilu tersebut tetap raja menyimpan masalah serius. Demokrasi Indonesia
tetap tidak lepas dari gerogotan korupsi yang telah merusak jalannya
pemerintahan selama ini. Bukan hanya pegawai biasa, oknum jaksa, oknum polisi,
bahkan menteri pun menjadi tersangka kasus korupsi dan akhirnya berakhir di
penjara. Upaya pemberantasan korupsi oleh pemerintah dinilai masih kurang
maksimal sebagaimana terlihat dengan masih banyaknya pejabat negara yang
terlibat kasus korupsi secara terus-menerus.
Kenyataan pahit ini tidak lepas dari
praktek politik kartel partai-partai peserta Pemilu 2009, yang memaksa
partai-partai dan para elit politik untuk tidak menjalankan peran mereka
sebagaimana mestinya, karena dengan begitu dirasakan lebih menguntungkan.
Selain korupsi akut, akibat parch lainnya dari fenomena kartel tersebut adalah
matinya oposisi politik formal, di mana partai politik di luar pemerintahan
kalah kekuatan terhadap koalisi partai pendukung pemerintah. Oposisi politik
berfungsi untuk mengkritisi kebijakan pemerintah yang dinilai tidak sesuai
dengan prinsip-prinsip demokrasi.
BAB 2 PEMERINTAHAN KOALISI DI INDONESIA
A. Pengantar
Setelah reformasi, koalisi menjadi tren
politik dalam sistem pemerintahan di Indonesia. Setelah 32 tahun dikuasai oleh
sistem pemerintahan dengan partai tunggal di masa Orde Baru, pada era reformasi
pemerintahan dibentuk dalam corak koalisi. Faktor penyebab utama adalah tidak
siapnya infrastruktur politik, khususnya partai politik dalam membangun
demokrasi pasca Orde Baru lewat suksesi kepemimpinan yang progresif. Matinya
pembangunan politik di masa lalu membuat sosok pemimpin reformis tidak muncul.
Sosok pemimpin kompeten yang tegas tidak ada untuk dapat menciptakan suatu
pemerintahan yang tunggal lewat pemenangan Pemilu secara signifikan.
B. Pemerintahan Koalisi
Pemerintahan adalah seluruh kegiatan
pelaksanaan undangundang yang dilakukan oleh lembaga dan institusi eksekutif,
yaitu presiden dibantu oleh menteri dengan birokrasi sipil maupun nonsipil di
bawahnya (Salam, 2004: 33). Pemerintahan koalisi merupakan pemerintahan yang
terbentuk dari bergabungnya dua atau lebih partai politik untuk membentuk
pemerintahan, sehingga berujung pada pembagian kekuasaan di kabinet.
Pemerintahan koalisi yang dimaksud pada kesempatan ini adalah pemerintahan
pascapemilu tahun 2009 di Indonesia, yang dikenal dengan Kabinet Indonesia
Bersatu Jilid II.
Sejak pemilihan langsung tahun 2004,
pemerintahan koalisi seolah menjadi solusi terbaik di tengah berbagai persoalan
politik di Indonesia, seperti korupsi, krisis kepemimpinan, konflik internal
partai, kualitas kader partai yang rendah, serta besarnya jumlah partai
politik. Dalam peta politik di mana tidak ada yang "unggul",
pemerintahan koalisi merupakan "jalan aman" untuk menciptakan
pemerintahan yang kuat. Sayangnya pada saat yang sama jalan aman ini menyimpan
bom waktu perpecahan dalam konteks sistem pemerintahan yang efektif.
Tanuwidjaja (2009) melihat gejala ini
sebagai salah satu sebab munculnya politik kartel di Indonesia, di mana partai
pemenang Pemilu punya kepentingan untuk menjaga agar pemerintahan berjalan
stabil dan efisien. Lebih jauh Tanuwidjaja menyatakan bahwa dengan pembagian
kursi kabinet dan kursi komisi, aktor pemenang Pemilu berharap mendapat
dukungan di DPR untuk menjaga agar pemerintah relatif stabil dan efisien,
sementara aktor politik yang kalah memperoleh akses terhadap dana negara maupun
jatah kekuasaan.
Secara pragmatis, faktor yang mendorong
partai-partai untuk berkoalisi dengan partai pernerintah adalah kebutuhan akan
publikasi atau citra politik. Dengan menduduki jabatan di kabinet, partai dan
tokoh partai mendapat peluang menjadi terkenal karena peluang untuk disorot
secara positif oleh media terbuka lebar. Di samping itu, ada juga insentif
posisi jabatan di kabinet dan parlemen yang lebih penting dari publikasi dan
pencitraan (Ambardi, 2009b).
BAB 3 MENGANALISIS PEMBERITAAN
MEDIA
A. Pengantar
Ada beberapa sudut pandang atau pintu
masuk untuk melakukan kajian atas relasi media dan politik, antara lain dari
sudut pandang media sebagai organisasi, efek pemberitaan media terhadap
khalayak, hingga faktor-faktor struktural yang memengaruhi proses produksi
berita sebagai perwujudan dari bertemunya sisi politik media dan sisi
komunikasi dari politik. Buku ini memandang bahwa berita merupakan perwujudan
kepentingan media sebagai institusi politik dalam konteks demokrasi. Dengan
kata lain, berita merupakan wujud sikap politik media terhadap proses dan
struktur politik dalam pemerintahan sesuai dengan fungsinya untuk mengawasi
jalannya kekuasaan.
Kajian ini merupakan studi deskriptif
pemberitaan media dengan memakai metode analisis isi kuantitatif. Dalam
analisis isi, pesan adalah yang utama. Sejalan dengan itu, objek analisis
kajian ini adalah teks berita utama dan tajuk rencana surat kabar nasional.
Lasswell (1965: 44) menyatakan bahwa prosedur analisis isi cocok digunakan
untuk menjelaskan struktur fokus perhatian dalam komunikasi secara kuantitatif.
Para ahli menguraikan beragam tujuan
analisis isi. Tiga tujuan yang relevan pada kesempatan ini adalah: pertama, menjelaskan
beberapa aspek dari materi sumber yang kompleks (contoh: surat kabar) dalam
jumlah besar sehingga hanya analisi isi yang dapat melakukannya; kedua, menguji
hipotesis dan menfasilitasi menarik kesimpulan; dan ketiga, membandingkan
karakteristik antarbudaya berdasarkan data yang ada (Carney, 1972).
B. Analisis Isi
Analisis isi, seperti dijelaskan
Kerlinger, adalah suatu metode untuk mempelajari dan menganalisis praktek
komunikasi secara sistematik, objelctif, dan kuantitatif dengan tujuan untuk
mengukur variabel-variabel tertentu (Wimmer dan Dominick, 2006: 150). Hal yang
kurang-lebih sama dikemukakan oleh Berelson (1952: 18) yang mengatakan analisis
isi sebagai sebuah teknik penelitian untuk memperoleh deskripsi objektif,
sistematik, dan kuantitatif atas pesan manifes dari proses komunikasi. Dan
kedua penjelasan ahli tersebut tampak bahwa ada tiga ciri penting analisis isi,
yaitu: objektif, sistematik, dan kuantitatif. Objektif artinya nilai subjelctif
peneliti tidak boleh masuk dalam analisis yang dilakukan. Selain itu, harus
dapat dipastikan hasil yang sama akan diperoleh jika analisis dilakukan orang
berbeda.
Sistematik artinya proses penelitian
didasarkan pada suatu tahapan dan prosedur yang terukur dan baku, sehingga
dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Setiap unit analisis hanya akan
dikaji dengan menggunakan satu metode analisis yang sama. Sementara itu,
kuantitatif artinya bahwa proses pengambilan kesimpulan dari hasil analisis
dilakukan melalui penghitungan secara matematis dan baku, sehingga dapat
dijamin akurasi dan objektivitas hasil penelitian. Sifat kuantitatif analisis
isi terjadi pada dua tahap, yaitu saat penarikan sampel dan pengukuran, dan
saat analisis data yang sudah kumpulkan (Mitchell, 1967: 238).
Krippendorff (2004: 18) mengemukakan bahwa
analisis isi adalah sebuah teknik penelitian untuk mendapatkan
kesimpulan-kesimpulan yang valid dan replicable tentang teks-teks
dan hal-hal penting terkait lainnya ke dalam konteks yang sesuai dengan
penggunaannya. Untuk memastikan sistematika dan objelctivitas analisisnya,
Krippendorff mengusung istilah replicable dan valid. Replicability merupakan
ciri khas dari suatu pengukuran yang reliable di mana sistematika dan objektivitas
menjadi elemen penting.
Sementara Hostli (1969) mendefenisikan
analisis isi lebih fleksibel, yaitu any technique for making inferences by
objectively and systematically identifying specified characteristics of
messages" (hlm. 14). Jika Kerlinger menyebut analisis isi sebagai
aktivitas mengamati dan menganalisis, Hostli menyebutnya sebagai aktivitas
mengidentifikasi karakteristik-karakteristik khusus dan pesan.
Berita media merupakan satu bentuk pesan.
Untuk melakukan identifikasi karakteristik tersebut, analisis isi membutuhkan
deskripsi unit pengkodean dan kategori yang akan diidentifikasi pada materi isi
objek penelitian. Sejalan dengan itu, Berelson (1952) menyatakan ada tiga
asumsi analisis isi yang perlu diperhatikan, yaitu: pertama, kesimpulan
tentang hubungan antara maksud dengan pesan atau antara pesan dan efeknya
secara valid dapat ditarik; kedua, kajian pesan manifest tersebut
memiliki makna; dan ketiga, deskripsi kuantitatif atas isi komunikasi
tersebut punya arti tersendiri (meaningful).
Sikap politik pers mencerminkan bagaimana
pers memposisikan dirinya terhadap fenomena politik, yang dapat diidentifikasi
dan apa yang disebut Gamson dan Modigliani (1989) sebagai media packages.
Media packages satu peristiwa hingga menjadi berita dapat dipahami sebagai a
set of interpretive packages that give meaning to an issue.
BAB 4 SURAT KABAR SEBAGAI OBJEK KAJIAN TENTANG MEDIA
DI INDONESIA
A. Pengantar
Buku ini mengkaji pers dalam arti sempit,
yaitu surat kabar sebagai bagian dari pers nasional. Pers nasional merupakan
surat kabar yang dioperasikan oleh perusahaan pers nasional dan
dimaksudkan untuk membedakannya dari pers daerah. Pers nasional memiliki kantor
utama di ibu kota negara sebagai pusat institusi pers tersebut clan memiliki
orientasi pemberitaan secara nasional.
Oleh sebab itu, objek kajian yang telah
diobservasi dalam kajian ini adalah tiga surat kabar nasional terbesar, yaitu: Kompas,
Media Indonesia, clan Republika. Kompas merupakan koran nasional terbesar
yang membuatnya sangat berpengaruh dalam pembentukan opini publik, dan dalam
penelitian ini ditempatkan sebagai surat kabar umum. Sementara itu, walaupun
merupakan koran umum, Media Indonesia memiliki ciri tersendiri, yaitu
pemiliknya seorang politisi, bahkan petinggi salah satu partai politik terbesar
di Indonesia. Selanjutnya dari seluruh pers nasional, surat kabar yang paling
berbeda dari kedua surat kabar di atas adalah Republika. Surat kabar ini
lebih ditempatkan sebagai media yang mewakili kepentingan umat Islam, yang
merupakan pemilih mayoritas di Indonesia. Ketiga surat kabar tersebut paling
sering dijadikan sampel penelitian untuk mengkaji performance pers di
Indonesia. Penjelasan berikut membahas sejarah, kepemilikan, sirkulasi, dan
orientasi isi ketiga media tersebut.
B. Kompas
1. Sejarah
Kompas mulai terbit tanggal 28 Juni
1965 (Swantoro, 1990). Awalnya, pada akhir tahun 1964 Partai Katolik memikirkan
untuk menerbitkan sebuah koran. Ketua Partai Katolik saat itu, Frans Seda,
mengakui bahwa dalam keadaan politik saat itu satu-satunya cara yang efektif
untuk memengaruhi opini publik adalah melalui surat kabar. Surat kabar yang
direncanakan itu akan diberi nama Gagasan Baru, namun izin pendiriannya
tidak keluar. Pada saat yang sama, menurut Frans Seda ada kelompok lain yang juga
ingin menerbitkan surat kabar (Intisari). Kelompok ini dimotori oleh
P.K. Ojong dan Jakob Oetama. Kemudian terjadilah penyatuan niat antara kedua
kelompok tersebut-para wartawan Katolik Jawa dan partai Katolikuntuk
mendirikan koran yang kemudian menjadi Kompas (Sudibyo dkk, 2001: 7;
Hill, 1995: 83).
Kompas berhasil mengisi kekosongan
surat kabar di mana ketika itu beberapa surat kabar yang dicap sebagai BPS
(anti-Soekarnois) dan yang memiliki suara-suara anti komunis telah ditutup. Kompas
juga berhasil melewati "badai" politik tahun 1966, yang menjadi
awal terbentuknya Orde Baru. Asosiasi Kompas dengan Partai Katolik
sebelumnya sangat kuat, hingga pada akhirnya pemerintah melakukan difusi partai
politik (kecuali Golkar sebagai partai pemerintah) yang mendorong terbentuknya
dua partai gabungan, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai
Demokrasi Indonesia (PDI) di mana Partai Katolik melebur (Hill, 1995: 83).
Frans Seda mengungkapkan bahwa hubungan akrab antara Partai Katolik dan Kompas
hanya berlangsung hingga tahun 1971, sebelum akhirnya Kompas menjadi
profesional (Sudibyo dkk, 2001: 8) dan kemudian menjadi perusahaan bisnis
seperti sekarang.
Jakob Oetama (1990) menyatakan ada tiga
perubahan besar di bidang politik yang menyebabkan perubahan dalam kehidupan
politik dan sosial ekonomi, serta akhirnya berpengaruh pada perkembangan pers
Indonesia, termasuk Kompas secara khusus. Pertama, pada masa
peralihan awal Orde Baru, kebebasan pers lebih besar sebagai reaksi atas
kondisi sebelumnya. Masa peralihan disertai konflik, suatu situasi yang
menyebabkan pers memberitakan kejadian-kejadian intensif dan memberi
komentar-komentar segar; kedua, peranan partai-partai diperkecil yang
kemudian perannya digantikan oleh tampilnya ABRI dan Golkar. Di sinilah terjadi
peralihan antara koran-koran partisan dan koran-koran independen; ketiga, politik
ekonomi berubah. Ekonomi pembangunan memberi peran yang lebih dominan pada
pemerintah, sekaligus juga pada pasar. Selanjutnya perkembangan ekonomi inilah
yang nantinya mendobrak pekermbangan media hingga memiliki percetakan sendiri,
termasuk Kompas.
Hal yang menjadi perhatian pengamat
terhadap Kompas adalah gaya jurnalistiknya yang dinilai terlalu penuh
dengan kehati-hatian. David Hill (1995) menyebutnya, "...Kompas became
synonymous with a style of subtle, indirect, and implicit criticism, often
dubbed as typically Javanese"' (hlm. 84). Jika hal tersebut muncul
pada awal kelahirannya, tampaknya bisa dipahami mengingat besarnya kemungkinan
untuk mengalami nasib yang sama dengan surat kabar yang sudah ditutup. Oleh
karenanya, walaupun tidak seratus persen berbeda, di masa sekarang ini pasti
telah mengalami perubahan tertentu dalam gaya pemberitaannya.
BAB 5 MEDIA, POLITIK, DAN
PEMBERITAAN OPOSISIONAL
A. Pengantar
Pembahasan bab ini bertujuan untuk
menjelaskan konteks peran oposisional pers terhadap pemerintah di Indonesia.
Bab ini dibagi dalam enam bagian yaitu: pendekatan sistem, fungsi media dalam
demokrasi, media dan oposisi, sistem politik Indonesia, dan sistem pers
Indonesia, serta dimensi kekuatan media untuk pemberitaan oposisional. Terlebih
dahulu akan dijelaskan relasi media dan politik dalam pendekatan sistemik untuk
menunjukkan peran media dalam sistem politik sebagai titik temu antara media
dan politik dalam demokrasi. Hubungan antara sistem media dan sistem politik
dalam sistem sosial (suprasistem) dapat terjadi secara interpenetratif,
bersifat konsensual, maupun konfliktual atau bertentangan.
B. Pendekatan Sistem
Salah satu cara untuk menganalisis relasi
media dan politik adalah dengan pendekatan sistem.1 Sebuah sistem adalah suatu
kumpulan dari
Pendekatan sistem dalam kajian komunikasi
politik (relasi media dan politik) membawa tiga manfaat penting, yaitu:
1)
dapat menghubungkan sejumlah temuan fakta dalam
perspektif yang lebih luas secara kritis;
2)
dapat menghapus penekanan yang terlalu
berlebihan atau pun terlalu rendah pada salah satu unsur dari objek kajian; dan
3)
dapat digunakan untuk studi komparatif lintas
negara dengan melihat konsekuensi-konsekuensi yang bersifat makro (Blumler
& Gurevitch, 1995).
Aspek-aspek yang saling mempengaruhi satu
sama lain di dalam satu lingkungan dan membentuk suatu pola yang lebih besar
dan berbeda dari bagian-bagian lainnya (Littlejohn 2002: 37). Menurut
Parsons, sistem berfungsi mempertahankan eksistensinya lewat pencapaian tugas
adaptasi, tujuan, integrasi, dan pemeliharaan pola (Ritzer dan Goodman, 2004).
Sejalan dengan itu, hubungan media dan politik berdasarkan fungsionalisme-struktural
Parsons berinteraksi dengan pola yang sejajar. Loomis (1960: 32) menyebutnya
sebagai systemic linkage. Keterhubungan sistemik (systemic linkage) merupakan
proses di mana satu atau lebih elemen-elemen dari setidaknya dua sistem
terartikulasikan dalam pola perilaku tertentu sehingga pada tataran atau waktu
tertentu kedua sistem tersebut seolah-olah menjadi satu. Menurut Parsons (1977:
200) hubungan antara sistem ini berlangsung secara interpenetratif dan
saling tergantung. Namun, interpenetrasi tersebut berlangsung secara tertib dan
konsensual.
Dalam pandangan ini, media ditempatkan
sebagai elemen fungsional yang dapat menciptakan keseimbangan sosial dalam
masyarakat. Setiap elemen dalam sistem telah memiliki fungsi masingmasing yang
memungkinkan sistem tersebut tetap eksis. Pendekatan ini juga melihat bahwa
perubahan sosial akan terjadi secara evolutif dan sesuai dengan konsensus
tertentu, sehingga tidak menyebabkan ketegangan dalam sistem. Dengan demikian,
pendekatan sistemik dari Parsons ini kurang menggambarkan suatu realitas yang
dinamis. Dalam prakteknya, kekuasaan politik tidak jarang mengendalikan secara
ketat ruang gerak media. Bahkan lebih parah, sering kali media dikooptasi
menjadi salah satu dari apa yang disebut Louis Althusser sebagai state
apparatuse rezim berkuasa. Dalam konteks ini argumen teori fungsionalisme
terpatahkan, dan cenderung dicurigai sebagai pemikiran yang pro status-quo dan
anti terhadap perubahan.
No comments:
Post a Comment