Tuesday, January 26, 2016

peraturan keuangan daerah



MAKALAH
PERATURAN KEUANGAN DAERAH TENTANG DANA ALOKASI KHUSUS









Disusun Oleh
NAMA            : SYAHPUTRA UMAR LUBIS
NPP                 : 22.0180
KELAS           : D-4












INSTITUT PEMERINTAHAN DALAM NEGERI
JATINANGOR
2014



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Adanya implementasi otonomi daerah dan desentralisasi fiskal di Indonesia yang ditandai dengan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 yang kemudian direvisi dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004, membawa implikasi tersendiri dalam proses pembangunan di daerah, yaitu dengan adanya perubahan pola penerimaan dan pengeluaran daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Urusan wajib/kewenangan yang begitu luas diserahkan ke daerah membawa konsekuensi terhadap pembiayaan, sedangkan bila daerah mengandalkan penerimaan dan pendapatan asli daerah atau PAD maka membiayai seluruh urusan wajib yang diserahkan pemerintah tersebut masih sangatlah kurang, untuk itu perlu adanya dana pusat yang diserahkan ke daerah dalam upaya mengurangi ketimpangan baik vertikal maupun horizontal dan dana tersebut dalam peraturan perundang-undangan dinamakan Dana Perimbangan.
Sesuai dengan namanya, Dana Perimbangan menurut Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 adalah dana yang bersumber dari Pendapatan APBN yang dialokasikan ke daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi. Dana Perimbangan itu meliputi Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK).
Dalam pelaksanaannya, kebijakan otonomi daerah didukung pula oleh perimbangan keuangan antara pusat dan daerah, sebagaimana diatur dalam UU No.25 Tahun 1999 (diganti dengan UU No. 33 Tahun 2004) tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat-Daerah. Dalam UU tersebut yang dimaksud dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah adalah suatu sistem pembiayaan pemerintah dalam kerangka Negara kesatuan, yang mencakup pembagian keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah serta pemerataan antardaerah secara proporsional, demokrartis, adil dan transparan dengan memperhatikan potensi, kondisi dan kebutuhan daerah sejalan dengan kewajiban dan pembagian kewenangan serta tata acara penyelenggaraan kewenangan tersebut, termasuk pengelolaan dan pengawasan keuangannya (Saragih, 2003).
Wujud dari perimbangan keuangan tersebut adalah adanya dana perimbangan yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi. Dana Perimbangan terdiri dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Dana Bagi Hasil yang bersumber dari pajak dan sumber daya alam. Ketiga jenis dana tersebut bersama dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan sumber dana daerah yang digunakan untuk menyelenggarakan pemerintahan di tingkat daerah. Setiap jenis dana perimbangan memiliki fungsinya masing-masing. Dana Bagi Hasil berperan sebagai penyeimbang fiskal antara pusat dan daerah dari pajak yang dibagihasilkan. DAU berperan sebagai pemerata fiskal antardaerah (fiscal equalization) di Indonesia. Dana Alokasi Umum dialokasikan dengan tujuan pemerataan dengan memperhatikan potensi daerah, luas daerah, keadaan geografi, jumlah penduduk dan tingkat pendapatan masyarakat di daerah (Widjaja, 2002). Dan DAK berperan sebagai dana yang didasarkan pada kebijakan yang bersifat darurat (Saragih, 2003).




BAB II
PEMBAHASAN


A.     DANA ALOKASI KHUSUS (DAK)
1.      Pengertian Dana Alokasi Khusus (Dak)
Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah dana yang berasal dari APBN, yang dialokasikan kepada daerah untuk membantu membiayai kebutuhan tertentu. Dana Alokasi Khusus dapat dialokasikan dari APBN kepada Daerah tertentu untuk membiayai dana dalam APBN, yang dimaksud sebagai daerah tertentu adalah daerah-daerah yang mempunyai kebutuhan yang bersifat khusus.
Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah alokasi dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara kepada provinsi atau kabupaten/kota tertentu dengan tujuan untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan Pemerintah Daerah dan sesuai dengan prioritas nasional.
Dana Alokasi Khusus (DAK) digunakan untuk membiayai investasi pengadaan dan atau peningkatan prasarana dan sarana fisik secara ekonomis untuk jangka panjang. Dalam keadaan tertentu, Dana Alokasi Khusus dapat membantu biaya pengoperasian dan pemeliharaan prasarana dan sarana tertentu untuk periode terbatas, tidak melebihi 3 (tiga) tahun.
2.      Bentuk Dana Alokasi Khusus
Dana Alokasi Khusus dialokasikan kepada daerah tertentu berdasarkan usulan daerah yang berisi usulan-usulan kegiatan dan sumber-sumber pembiayaannya yang diajukan kepada Menteri Teknis oleh daerah tersebut. Bentuknya dapat berupa rencana suatu proyek atau kegiatan tertentu atau dapat berbentuk dokumen program rencana pengeluaran tahunan dan multi tahunan untuk sektor-sektor serta sumber-sumber pembiayaannya.
Bentuk usulan daerah tersebut berpedoman pada kebijakan instansi teknik terkait. Kecuali usulan tentang proyek/kegiatan reboisasi yang dibiayai dari bagian dana reboisasi.
Dalam sektor/kegiatan yang disusulkan oleh daerah termasuk dalam kebutuhan yang tidak dapat diperhitungkan (tidak dapat diperkirakan secara umum dengan menggunakan rumus alokasi umum) maka daerah perlu membuktikan bahwa daerah kurang mampu membiayai seluruh pengeluaran usulan kegiatan tersebut dari Pendapatan Asli Daerah, Bagian Daerah dari Pajak Bumi dan Bangunan, Bagian Daerah dari Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, Bagian Daerah dari Penerimaan Sumber Daya Alam, Dana Alokasi Umum, Pinjaman Daerah, dan lain-lain penerimaan yang sah, yang penggunaannya dapat ditentukan sepenuhnya oelh Daerah.
Pengalokasian Dana Alokasi Khusus kepada Daerah ditetapkan oleh Menteri Keuangan Setelah memperhatikan pertimbangan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah, Menteri Teknis terkait dan Instansi yang membidangi perencanaan pembangunan nasional.  
3.      Penggunaan Dana Alokasi Khusus
Pengalaman praktis penggunaan DAK sebagai instrumen kebijakan misalnya:
Ø  Pertama, dipakai dalam kebijakan trasfer fiscal untuk mendorong suatu kegiatan agar sungguh-sungguh dilaksanakan oleh daerah.
Ø  Kedua, penyediaan biaya pelayanan dasar (basic services) oleh daerah cenderung minimal atau dibawah standar. Dalam alokasi DAK tersebut Pusat menghendaki adanya benefit spillover effect sehingga meningkatkan standar umum.
Ø  Ketiga, alokasi dana melalui DAK biasanya memerlukan kontribusi dana dari daerah yang bersangkutan, semacam matching grant.
4.      Penyaluran Dana Alokasi Khusus
Ketentuan tentang penyaluran Dana Alokasi Khusus kepada Daerah ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Ketentuan pelaksanaan penyaluran Dana Alokasi Khusus ini diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri Keuangan, yaitu Keputusan Menteri Keuangan Nomor 553/KMK.03/2000 tentang Tata Cara Penyaluran Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus sebagaimana telah diubah dengan keputusan Menteri Keuangan Nomor 655/KMK.02/2000 tanggal 27 Desember 2001 tentang Perubahan atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 553/KMK.03/2000 tentang Tata Cara Penyaluran Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus.

Menurut Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005, keuangan daerah adalah “Semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu, baik uang maupun barang yang dijadikan milik daerah berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban daerah tersebut”.Dari uraian di atas, dapat diambil kata kunci dari keuangan daerah adalah hak dan kewajiban. Hak merupakan hak daerah untuk mencari sumber pendapatan daerah berupa pungutan pajak daerah, retribusi daerah atau sumber penerimaan lain-lain yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan kewajiban adalah kewajiban daerah untuk mengeluarkan uang dalam rangka melaksanakan semua urusan pemerintah di daerah (Mamesah, 1995:5).
Salah satu faktor penting untuk melaksanakan urusan rumah tangga daerah adalah kemampuan keuangan daerah. Dengan kata lain faktor keuangan merupakan faktor yang mempengaruhi tingkat kemampuan daerah dalam melaksanakan otonomi. Sehubungan dengan pentingnya posisi keuangan daerah ini Pamudji dalam Kaho (2007:138-139) menegaskan:
“Pemerintah daerah tidak akan dapat melaksanakan fungsinya dengan efektif dan efisien tanpa biaya yang cukup untuk memberikan pelayanan dan pembangunan Dan keuangan inilah merupakan dalam satu dasar kriteria untuk mengetahui secara nyata kemampuan daerah dalam mengurus rumah tangganya sendiri”.

Sementara itu, untuk dapat memiliki keuangan yang memadai dengan sendirinya daerah membutuhkan sumber keuangan yang cukup pula. Lains dalam Kaho (2007:139-140) merinci ada beberapa cara yang bisa dilakukan oleh daerah untuk memperoleh keuangannya, antara lain:
1)            Daerah dapat mengumpulkan dana dari pajak daerah yang sudah direstui oleh Pemerintah Pusat;
2)            Pemerintah daerah dapat melakukan pinjaman dari pihak ketiga, pasar uang atau Bank atau melalui pemerintah pusat;
3)            Daerah dapat ikut ambil bagian dalam pendapatan pajak sentral yang dipungut daerah, misalnya sekian persen dari pendapatan sentral tersebut (melalui bagi hasil);
4)            Pemerintah daerah dapat menambah tarif pajak setral tertentu; dan
5)            Pemerintah daerah dapat menerima bantuan atau subsidi dari Pemerintah Pusat.
Dalam melaksanakan keuangan daerah perlu dibuatkan suatu perencanaan agar seluruh kegiatan yang akan dilaksanakan dapat dikelola dengan baik. Bentuk perencanaan keuangan daerah inilah yang dikenal dengan istilah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), sebagaimana telah digariskan dalam Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. APBD adalah suatu rencana keuangan tahunan daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah.Seperti halnya dalam kebijakan APBN, jika Pemerintah daerah menetapkan bahwa kebijakan anggarannya bersifat ekspansif, artinya APBD akan diprioritaskan untuk menstimulasi perekonomian daerah melalui pengeluaran pembangunan (development budget). Sebaliknya, jika pemerintah daerah menetapkan kebijakan APBD bersifat kontraksi, maka APBD kurang dapat diharapkan untuk menggerakkan perekonomian daerah, karena anggaran pembangunan jumlahnya relatif kecil dibandingkan dengan belanja rutin daerah (Saragih, 2003:82).
Menurut Mamesah (1995:16) APBD sebagai sarana atau alat utama dalam menjalankan otonomi daerah yang nyata dan bertanggung jawab, karena fungsi APBD adalah sebagai berikut:
1)             Menentukan jumlah pajak yang dibebankan kepada rakyat dari daerah yang bersangkutan;
2)             Merupakan suatu sarana untuk mewujudkan otonomi;
3)             Memberikan isi dan arti tanggung jawab pemerintah daerah umumnya dan kepala daerah khususnya, karena APBD itu menggambarkan seluruh kebijaksanaan pemerintah daerah;
4)             Merupakan suatu sarana untuk melaksanakan pengawasan terhadap daerah dengan cara yang lebih mudah dan berhasil guna; dan
5)             Merupakan suatu pemberian kuasa kepada kepala daerah dalam batas-batas tertentu.
Pengelolaan keuangan daerah yang berkaitan dengan pelaksanaan desentralisasi diatur secara mendetail dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 (yang kemudian dilengkapi dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007) menyatakan bahwa dalam pelaksanaan desentralisasi daerah, pemerintah daerah berhak menyelenggarakan pengelolaan keuangan daerah, yang komponen-komponennya sebagaimana tertuang dalam struktur APBD antara lain terdiri dari:


2.Pendapatan Daerah
Pendapatan Daerah adalah hak Pemerintah Daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih dalam periode tahun bersangkutan. Pendapatan Daerah bersumber dari:

A.Pendapatan Asli Daerah;
Pendapatan Asli Daerah merupakan modal dasar Pemerintah Daerah dalam mendapatkan dana pembangunan dan memenuhi belanja daerah (Widjaja, 1998:42). Definisi lain seperti dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2004, Pendapatan Asli Daerah merupakan penerimaan yang diperoleh dari sumber-sumber dalam wilayahnya sendiri yang dipungut berdasarkan Peraturan Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dan tentunya pendapatan tersebut diperoleh dari hasil yang berada dalam wilayahnya sendiri.
Menurut Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004, Sumber PAD antara lain terdiri dari:
1)          Hasil pajak daerah, yaitu pungutan yang dilakukan oleh pemerintah Daerah kepada semua obyek pajak, seperti orang/badan, benda bergerak/tidak bergerak;
2)          Hasil retribusi daerah, yaitu pungutan yang dilakukan sehubungan dengan suatu jasa/fasilitas yang berlaku oleh Pemerintah Daerah secara langsung dan nyata;
3)          Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, antara lain:
a)          Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik daerah/BUMD;
b)          Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik pemerintah/BUMN;
c)          Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik swasta atau kelompok usaha masyarakat;
4)          Lain-lain PAD yang sah, antara lain:
a)          Hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan;
b)          Jasa giro;
c)          Pendapatan bunga;
d)         Penerimaan atas tuntutan ganti kerugian daerah;
e)          Penerimaan komisi, potongan ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah;
f)           Penerimaan keuntungan dari selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing;
g)          Pendapatan denda atas keterlambatan pelaksanaan pekerjaan;
h)          Pendapatan denda pajak;
i)            Pendapatan denda retribusi;
j)            Pendapatan hasil eksekusi atas jaminan;
k)          Pendapatan dari pengembalian;
l)            Fasilitas sosial dan fasilitas umum;
m)        Pendapatan dari penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan; dan
n)          Pendapatan dari angsuran/cicilan penjualan.
Pemberian sumber PAD bagi daerah ini bertujuan untuk memberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah untuk mendanai pelaksanaan otonomi daerah sesuai dengan potensi Daerah sebagai perwujudan desentralisasi.
Menurut Mahi (2000:58), pendapatan asli daerah belum bisa diandalkan sebagai sumber pembiayaan utama otonomi daerah kabupaten/kota disebabkan oleh beberapa hal berikut.
1)    Relatif rendahnya basis pajak/retribusi daerah.
2)    Perannya yang tergolong kecil dalam total penerimaan daerah.
3)    Kemampuan administrasi pemungutan di daerah masih rendah.
4)    Kemampuan perencanaan dan pengawasan keuangan yang lemah.

B.Dana Perimbangan
Dana Perimbangan dikeluarkan bertujuan untuk mengurangi kesenjangan fiskal antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah dan antar-Pemerintah Daerah. Pasal 10, UU No. 33 Tahun 2004 mengatur tentang Dana Perimbangan yang setiap tahun ditetapkan untuk menjadi hak Pemerintah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota terdiri dari:
1)    Dana Bagi Hasil, bagian Daerah bersumber dari penerimaan pajak dan penerimaan dari sumber daya alam;
a)     Dana Bagi Hasil Pajak yang bersumber dari:
-       Pajak Bumi dan Bangunan (PBB);
-       Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB);
-       Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21.
b)     Dana Bagi Hasil Bukan Pajak yang bersumber dari sumber daya alam, berasal dari:
-       kehutanan;
-       pertambangan umum;
-       perikanan;
-       pertambangan minyak bumi;
-       pertambangan gas bumi; dan
-       pertambangan panas bumi.

B.    DANA ALOKASI UMUM (DAU)
1.      Pengertian Dana Alokasi Umum (DAU)
Dana Alokasi Umum (DAU) adalah dana yang bersumber dari penerimaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan kepada daerah dalam bentuk block grant yang pemanfaatannya diserahkan sepenuhnya kepada daerah.
Dana Alokasi Umum (DAU) merupakan salah satu transfer dana Pemerintah kepada pemerintah daerah yang bersumber dari pendapatan APBN, yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
Dana Alokasi Umum (DAU) adalah sejumlah dana yang dialokasikan kepada setiap Daerah Otonom (provinsi/kabupaten/kota) di Indonesia setiap tahunnya sebagai dana pembangunan yang bertujuan sebagai pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan Daerah Otonom dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
Dana Alokasi Umum (DAU) bersifat “Block Grant” yang berarti penggunaannya diserahkan kepada daerah sesuai dengan prioritas dan kebutuhan daerah untuk peningkatan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah.
2.      Penerapan Pengalokasian
Besarnya Dana Alokasi Umum diterapkan sekurang-kurangnya 25% dari penerimaan dalam negeri yang dterapkan dalam APBN. DAU ini merupakan seluruh alokasi umum Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota. Kenaikan Dana Alokasi Umum akan sejalan dengan penyerahan dan pengalihan kewenangan Pemerintah Pusat kepada Daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
Dana Alokasi Umum terdiri dari:
Ø  Dana Alokasi Umum untuk Daerah Provinsi
Ø  Dana Alokasi Umum untuk Daerah Kabupaten/Kota.
Jumlah Dana Alokasi Umum bagi semua Daerah Provinsi dan Jumlah dana Alokasi Umum bagi semua Daerah Kabupaten/Kota masing-masing ditetapkan setiap tahun dalam APBN. Dana Alokasi Umum untuk suatu Daerah Provinsi tertentu ditetapkan berdasarkan jumlah Dana Alokasi Umum untuk suatu daerah provinsi yang ditetapkan dalam APBN dikalikan dengan rasio bobot daerah provinsi yang bersangkutan, terhadap jumlah bobot seluruh provinsi. Porsi Daerah Provinsi ini merupakan persentase bobot daerah provinsi yang bersangkutan terhadap jumlah bobot semua daerah provinsi di seluruh Indonesia.
Dana Alokasi Umum untuk suatu daerah Kabupaten/Kota tertentu ditetapkan berdasarkan perkalian jumlah Dana Alokasi Umum untuk seluruh daerah Kabupaten/kota yang ditetapkan dalam APBN dengan porsi daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan.
Berdasarkan tentang dana perimbangan, maka kebutuhan wilayah otonomi daerah merupakan perkalian dari total pengeluaran daerah rata-rata dengan penjumlahan dari indeks: penduduk, luas daerah, kemiskinan relatif dan kenaikan harga setelah dikalikan dengan bobot masing-masing indeks.
Sedangkan potensi ekonomi daerah dihitung berdasarkan perkiraan penjumlahan penerimaan daerah yang berasal dari PAD, Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, Pajak Penghasilan dan Bagi Hasil Sumber Daya Alam, yang dituliskan sebagai berikut:
                        PAD + PBB + BPHTB + BHSDA + PPH
Bobot daerah adalah proporsi kebutuhan dana alokasi umum suatu daerah dengan total kebutuhan dana alokasi umum suatu daerah.
Hasil Perhitungan Dana Alokasi Umum untuk masing-masing Daerah ditetapkan dengan Keputusan Presiden berdasarkan usulan Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah.
3.      Tata Cara Penyaluran DAU
Hasil perhitungan Dana Alokasi Umum untuk masing-masing daerah ditetapkan dengan keputusan Presiden berdasarkan usulan Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah.
Usulan Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah setelah mempertimbangkan faktor penyeimbang. Faktor Penyeimbang adalah suatu mekanisme untuk memperhitungkan dari kemungkinan penurunan kemampuan daerah dalam pembiayaan beban pengeluaran yang akan menjadi tanggung jawab daerah.
Usulan Dewan Alokasi Umum untuk masing-masing daerah disampaikan oleh Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah. Penyaluran Dana Alokasi Umum kepada masing-masing kas daerah dilaksanakan oleh Menteri Keuangan secara berkala.
4.      Pelaporan Penggunaan DAU
Gubernur melaporkan penggunaan DAU untuk Provinsi setiap triwulan kepada Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri, paling lambat satu bulan setelah berakhirnya triwulan yang bersangkutan. Ketentuan ini juga berlaku kepada Bupati/Walikota dengan tambahan berupa tembusan pada Gubernur selaku Wakil Pemerintah Pusat di daerah.

5.      DAU Dalam Masa Peralihan
Dalam masa peralihan dengan berlakunya PP No. 104 tahun 2000, pelaksanaan alokasi Dana Alokasi Umum disesuaikan dengan proses penataan organisasi pemerintahan daerah dan proses pengalihan pegawai ke daerah. Dana Alokasi Umum ini dialokasikan kepada daerah dengan memperhatikan jumlah pegawai yang telah sepenuhnya menjadi beban daerah, baik pegawai yang telah berstatus sebagai pegawai pemerintah pusat yang dialihkan menjadi pegawai daerah. Dalam hal pegawai pemerintah pusat yang telah ditetapkan untuk dialihkan kepada daerah belum sepenuhnya menjadi beban daerah, pembayaran gaji pegawai tersebut diperhitungkan dengan Dana Alokasi Umum bagi daerah yang bersangkutan. Jangka waktu masa peralihan adalah sampai dengan semua pegawai pemerintah pusat yang telah ditetapkan untuk dialihkan kepada daerah telah sepenuhnya menjadi beban daerah yang bersangkutan. 

Otonomi daerah dan termasuk di dalamnya desentralisasi fiskal mengharuskan daerah mempunyai kemandirian keuangan yang tinggi. Beberapa daerah dengan sumber daya yang dimiliki mampu menyelenggarakan otonomi daerah, namun tidak tertutup kemungkinan ada beberapa daerah akan menghadapi kesulitan dalam menyelenggarakan tugas desentralisasi, mengingat keterbatasan sumber daya yang dimiliki (Bappenas, 2003:1).
`Menurut Saragih (2003:83), yang dimaksud dengan desentralisasi fiskal adalah suatu proses distribusi anggaran dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi kepada pemerintahan yang lebih rendah, untuk mendukung fungsi atau tugas pemerintahan dan pelayanan publik, sesuai dengan banyaknya kewenangan bidang pemerintahan yang dilimpahkan. Dan dalam pelaksanaannya, prinsip money should follow function merupakan salah satu prinsip yang harus diperhatikan dan dilaksanakan.
Desentralisasi Fiskal dalam otonomi daerah ditujukan untuk menciptakan kemandirian daerah. Sidik (2002:1) menyatakan bahwa dalam era ini, pemerintah daerah diharapkan mampu menggali dan mengoptimalkan potensi (keuangan lokal), khususnya pendapatan asli daerah. Pemerintah daerah diharapkan mampu mengurangi ketergantungan terhadap pemerintah pusat mengingat ketergantungan semacam ini akan mengurangi kreatifitas lokal untuk mengambil kebijakan terkait dengan penerimaan lokal yang lebih efisien.Menurut Sidik (2002:2), ada tiga sumber daya yang harus mampu dikelola oleh pemerintah daerah guna mencapai tujuan yang telah ditentukan, yakni pengelolaan atas pegawai, keuangan, dan kelembagaan. Kemampuan pemerintah daerah untuk menyediakan layanan publik dan menjalankan pembangunan sangat tergantung pada kemampuan keuangannya. Tanpa uang, pemerintah daerah tidak dapat membayar pegawai, perlengkapan dan peralatan, serta berbagai kontrak penyediaan layanan lokal, dan lain sebagainya. Desentralisasi fiskal dan devolusi tampak sebagai dua sisi yang berbeda dari satu koin mata uang yang sama sehingga desentralisasi fiskal menuntut adanya devolusi, dan begitu pula sebaliknya.
Menurut Muluk (2005), desentralisasi fiskal pada dasarnya berkaitan dengan dua hal pokok, yakni kemandirian daerah dalam memutuskan pengeluaran guna menyelenggarakan layanan publik dan pembangunan, dan kemandirian daerah dalam memperoleh pendapatan untuk membiayai pengeluaran tersebut. Selain persoalan desentralisasi fiskal, daerah pada dasarnya juga menghadapi persoalan internal yang menyangkut kesanggupan daerah mengelola keuangan daerahnya berdasarkan prinsip 5E, yakni: efficient, effective, economic, equal, excellent.
 2.Potensi Fiskal
Potensi fiskal merupakan kemampuan daerah dalam menghimpun dana melalui sumber-sumber yang sah. Potensi fiskal daerah tercermin dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang meliputi pajak daerah, retribusi daerah, laba BUMD, dan lain-lain pendapatan yang sah. Salah satu wujud desentralisasi fiskal adalah pemberian sumber-sumber penerimaan bagi daerah yang dapat digali dan digunakan sendiri sesuai potensinya masing-masing (Firmansyah, 2006:41).
Menurut Halim, (2002:320) upaya peningkatan pendapatan daerah tidak terlepas dari 2 (dua) hal pokok, yaitu:

A.    Potensi sumber-sumber PAD,
terdiri dari:
1.   Potensi sumber daya alam
Potensi sumber daya alam adalah kekayaan alam yang dimiliki atau ditemukan di daerah yang pengelolaanya dikuasai oleh daerah. Sumber daya alam terdiri dari sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui, sumber daya alam yang dapat diperbaharui, dan sumber daya alam yang dapat pulih. Secara teoritis, sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui akan berkurang potensinya sesuai jumlah penggalian dan pengolahannya yang pada gilirannya cepat lambat potensinya akan habis. Contohnya bahan tambang galian golongan C.
Yang patut diperhatikan adalah sumber daya alam yang dapat diperbaharui, yang mana sangat memerlukan sebuah kebijakan dalam pemanfaatannya. Bila dimanfaatkan secara benar akan memberikan keuntungan pada masa sekarang dan yang akan datang. Pemanfaatannya harus disertakan dengan konservasi atau pelestarian, terutama melalui usaha budidaya. Contohnya adalah sumber daya hasil hutan, perkebunan, pertanian, peternakan dan perikanan.
Selanjutnya sumber daya alam yang dapat pulih adalah sumber daya alam yang potensinya dapat berubah-ubah sesuai dengan kondisi lingkungan atau musim. Contohnya adalah potensi air bawah tanah dan air permukaan. Pada musim kemarau, potensinya dapat menyusut karena berbagai sifat seperti pengeboran, penguapan atau perembesan. Khusus bagi sumber daya alam kelompok ini yang patut diperhatikan adalah menghindari terjadinya pencemaran.
2.   Potensi sumber daya manusia
Potensi sumber daya manusia dapat dilihat dari kuantitas maupun kualitasnya. Kualitas sumber daya manusia tercermin dari jumlah penduduk secara kuantitas SDM cukup besar, namun dilihat dari kualitasnya relatif masih rendah. Kualitas SDM yang masih rendah ini diukur dari tingkat pendidikan (angka melek huruf dan lama sekolah) dan derajat kesehatannya (usia harapan hidup), serta daya beli masyarakat. Dewasa ini, ukuran yang digunakan untuk menentukan kualitas SDM diantaranya adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI). 
3.   Potensi sumber daya buatan
Potensi sumber daya buatan adalah seluruh hasil karya manusia dalam wujud fisik, seperti prasarana dan sarana produksi, perhubungan (transportasi dan komunikasi), bangunan/gedung dan lain-lain. Hampir seluruh potensi sumber daya buatan yang dibangun oleh Pemerintah, swasta maupun masyarakat merupakan potensi daerah yang dapat dikembangkan sebagai sumber pendapatan asli daerah. Potensi jenis ini tampaknya relatif lebih mudah untuk dikembangkan karena potensinya dapat dijadikan objek pajak daerah ataupun retribusi daerah.
4.   Potensi sumber daya kelembagaan
Yang dimaksud sumber daya kelembagaan adalah hasil karya manusia non-fisik berupa organisasi pemerintahan, kemasyarakatan, perusahaan, peraturan perundang-undangan maupun nilai-nilai yang menjadi pedoman masyarakat dalam berperilaku.
Keberadaan sumber daya kelembagaan ini tidak dapat diabaikan dalam kaitannya dengan upaya peningkatan PAD, sebab sumber daya kelembagaan inilah yang dapat melaksanakan operasional kegiatan untuk meningkatkan PAD tersebut. Di sini sistem manajemen pemerintahan, khususnya yang menangani tentang keuangan daerah sangat penting dalam melaksanakan dan menopang penggalian sumber-sumber keuangan maupun pemanfaatannya.
Dalam hal ini, peranan organisasi pengelola dinilai sangat penting. Sebagai organisasi pengelola PAD adalah Dinas Pendapatan Daerah (Dipenda) yang secara khusus dan bersama-sama instansi terkait bertugas untuk melakukan pendataan, penagihan, dan penyetoran PAD. Dipenda sebagai organisasi pengelola PAD mempunyai tugas antara lain meningkatkan PAD.

B.  Faktor-faktor pendukung
Potensi sumber-sumber PAD adalah seluruh obyek yang dapat memberikan kontribusi terhadap jumlah PAD. Sementara faktor pendukungnya adalah kemampuan penyelenggara administrasinya. Ukuran yang dapat digunakan untuk pengukuran perekonomian daerah adalah rata-rata pendapatan per-kapita atau rata-rata daya beli penduduk di daerah tersebut. Dengan kata lain tergantung tingkat kesejahteraan masyarakatnya. Faktor pendukung yang lain adalah:
1)    Letak geografis wilayah;
2)    Kesuburan tanah;
3)    Kekayaan hasil-hasil tambang;
4)    Jumlah penduduk; dan
5)    Usaha-usaha ekonomi produktif sebagai lapangan kerja dan berusaha.


BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah alokasi dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara kepada provinsi atau kabupaten/kota tertentu dengan tujuan untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan Pemerintah Daerah dan sesuai dengan prioritas nasional.
Dana Alokasi Khusus (DAK) digunakan untuk membiayai investasi pengadaan dan atau peningkatan prasarana dan sarana fisik secara ekonomis untuk jangka panjang. Dalam keadaan tertentu, Dana Alokasi Khusus dapat membantu biaya pengoperasian dan pemeliharaan prasarana dan sarana tertentu untuk periode terbatas, tidak melebihi 3 (tiga) tahun.
Dana Alokasi Khusus dialokasikan kepada daerah tertentu berdasarkan usulan daerah yang berisi usulan-usulan kegiatan dan sumber-sumber pembiayaannya yang diajukan kepada Menteri Teknis oleh daerah tersebut. Bentuknya dapat berupa rencana suatu proyek atau kegiatan tertentu atau dapat berbentuk dokumen program rencana pengeluaran tahunan dan multi tahunan untuk sektor-sektor serta sumber-sumber pembiayaannya.
Bentuk usulan daerah tersebut berpedoman pada kebijakan instansi teknik terkait. Kecuali usulan tentang proyek/kegiatan reboisasi yang dibiayai dari bagian dana reboisasi.
Dalam sektor/kegiatan yang disusulkan oleh daerah termasuk dalam kebutuhan yang tidak dapat diperhitungkan (tidak dapat diperkirakan secara umum dengan menggunakan rumus alokasi umum) maka daerah perlu membuktikan bahwa daerah kurang mampu membiayai seluruh pengeluaran usulan kegiatan tersebut dari Pendapatan Asli Daerah, Bagian Daerah dari Pajak Bumi dan Bangunan, Bagian Daerah dari Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, Bagian Daerah dari Penerimaan Sumber Daya Alam, Dana Alokasi Umum, Pinjaman Daerah, dan lain-lain penerimaan yang sah, yang penggunaannya dapat ditentukan sepenuhnya oelh Daerah.


DAFTAR PUSTAKA

Kristiadi, J.B., 2006, Preface”, Budget Performance: Capacity Building for Effective Public Finance, Departemen Keuangan RI, Bundesministerium für wirtschaftliche Zusammenarbeit und Entwicklung, GTZ, InWEnt, dan PPE-FE-UGM.

Pakpahan, Arlen T., 2006, “Local Financial and Business Climate”, Budget Accountability, Reporting, and Auditing, Departemen Keuangan RI, Bundesministerium für wirtschaftliche Zusammenarbeit und Entwicklung, GTZ, InWEnt, dan PPE-FE-UGM, 8-11 Mei 2006, Yogyakarta.

Penelitian dan Pengembangan Ekonomi Universitas Gadjah Mada, 2005, “Strengthening Core Local Government Competencies”, Modul Pelatihan.


No comments:

Post a Comment

buku bimbingan

                                                                                                                                            ...

082126189815

Name

Email *

Message *