MAKALAH
PERATURAN KEUANGAN DAERAH TENTANG DANA ALOKASI KHUSUS

Disusun
Oleh
NAMA : SYAHPUTRA UMAR LUBIS
NPP : 22.0180
KELAS : D-4
INSTITUT PEMERINTAHAN DALAM NEGERI
JATINANGOR
2014
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Adanya
implementasi otonomi daerah dan desentralisasi fiskal di Indonesia yang
ditandai dengan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-undang Nomor 25
Tahun 1999 yang kemudian direvisi dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dan
Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004, membawa implikasi tersendiri dalam proses
pembangunan di daerah, yaitu dengan adanya perubahan pola penerimaan dan
pengeluaran daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Urusan
wajib/kewenangan yang begitu luas diserahkan ke daerah membawa konsekuensi
terhadap pembiayaan, sedangkan bila daerah mengandalkan penerimaan dan
pendapatan asli daerah atau PAD maka membiayai seluruh urusan wajib yang
diserahkan pemerintah tersebut masih sangatlah kurang, untuk itu perlu adanya
dana pusat yang diserahkan ke daerah dalam upaya mengurangi ketimpangan baik
vertikal maupun horizontal dan dana tersebut dalam peraturan perundang-undangan
dinamakan Dana Perimbangan.
Sesuai dengan
namanya, Dana Perimbangan menurut Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 adalah dana
yang bersumber dari Pendapatan APBN yang dialokasikan ke daerah untuk mendanai
kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi. Dana Perimbangan itu
meliputi Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus
(DAK).
Dalam
pelaksanaannya, kebijakan otonomi daerah didukung pula oleh perimbangan
keuangan antara pusat dan daerah, sebagaimana diatur dalam UU No.25 Tahun 1999
(diganti dengan UU No. 33 Tahun 2004) tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat-Daerah. Dalam UU tersebut yang dimaksud dengan perimbangan
keuangan pusat dan daerah adalah suatu sistem pembiayaan pemerintah dalam
kerangka Negara kesatuan, yang mencakup pembagian keuangan antara Pemerintah
Pusat dan Daerah serta pemerataan antardaerah secara proporsional, demokrartis,
adil dan transparan dengan memperhatikan potensi, kondisi dan kebutuhan daerah
sejalan dengan kewajiban dan pembagian kewenangan serta tata acara
penyelenggaraan kewenangan tersebut, termasuk pengelolaan dan pengawasan
keuangannya (Saragih, 2003).
Wujud dari
perimbangan keuangan tersebut adalah adanya dana perimbangan yang bersumber
dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah untuk mendanai kebutuhan
Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi. Dana Perimbangan terdiri dari
Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Dana Bagi Hasil yang
bersumber dari pajak dan sumber daya alam. Ketiga jenis dana tersebut bersama
dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan sumber dana daerah yang digunakan
untuk menyelenggarakan pemerintahan di tingkat daerah. Setiap jenis dana
perimbangan memiliki fungsinya masing-masing. Dana Bagi Hasil berperan sebagai
penyeimbang fiskal antara pusat dan daerah dari pajak yang dibagihasilkan. DAU
berperan sebagai pemerata fiskal antardaerah (fiscal equalization) di
Indonesia. Dana Alokasi Umum dialokasikan dengan tujuan pemerataan dengan
memperhatikan potensi daerah, luas daerah, keadaan geografi, jumlah penduduk
dan tingkat pendapatan masyarakat di daerah (Widjaja, 2002). Dan DAK berperan
sebagai dana yang didasarkan pada kebijakan yang bersifat darurat (Saragih,
2003).
BAB II
PEMBAHASAN
A. DANA ALOKASI KHUSUS (DAK)
1. Pengertian Dana Alokasi Khusus (Dak)
Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah dana
yang berasal dari APBN, yang dialokasikan kepada daerah untuk membantu
membiayai kebutuhan tertentu. Dana Alokasi Khusus dapat dialokasikan dari APBN
kepada Daerah tertentu untuk membiayai dana dalam APBN, yang dimaksud sebagai
daerah tertentu adalah daerah-daerah yang mempunyai kebutuhan yang bersifat
khusus.
Dana Alokasi
Khusus (DAK) adalah alokasi dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara kepada provinsi atau kabupaten/kota tertentu
dengan tujuan untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan Pemerintah
Daerah dan sesuai dengan prioritas nasional.
Dana Alokasi
Khusus (DAK) digunakan untuk membiayai
investasi pengadaan dan atau peningkatan prasarana dan sarana fisik secara
ekonomis untuk jangka panjang. Dalam keadaan tertentu, Dana Alokasi Khusus
dapat membantu biaya pengoperasian dan pemeliharaan prasarana dan sarana
tertentu untuk periode terbatas, tidak melebihi 3 (tiga) tahun.
2.
Bentuk Dana Alokasi Khusus
Dana Alokasi
Khusus dialokasikan kepada daerah tertentu berdasarkan usulan daerah yang
berisi usulan-usulan kegiatan dan sumber-sumber pembiayaannya yang diajukan kepada
Menteri Teknis oleh daerah tersebut. Bentuknya dapat berupa rencana suatu
proyek atau kegiatan tertentu atau dapat berbentuk dokumen program rencana
pengeluaran tahunan dan multi tahunan untuk sektor-sektor serta sumber-sumber
pembiayaannya.
Bentuk usulan
daerah tersebut berpedoman pada kebijakan instansi teknik terkait. Kecuali
usulan tentang proyek/kegiatan reboisasi yang dibiayai dari bagian dana
reboisasi.
Dalam
sektor/kegiatan yang disusulkan oleh daerah termasuk dalam kebutuhan yang tidak
dapat diperhitungkan (tidak dapat diperkirakan secara umum dengan menggunakan
rumus alokasi umum) maka daerah perlu membuktikan bahwa daerah kurang mampu
membiayai seluruh pengeluaran usulan kegiatan tersebut dari Pendapatan Asli
Daerah, Bagian Daerah dari Pajak Bumi dan Bangunan, Bagian Daerah dari Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, Bagian Daerah dari Penerimaan Sumber
Daya Alam, Dana Alokasi Umum, Pinjaman Daerah, dan lain-lain penerimaan yang
sah, yang penggunaannya dapat ditentukan sepenuhnya oelh Daerah.
Pengalokasian
Dana Alokasi Khusus kepada Daerah ditetapkan oleh Menteri Keuangan Setelah
memperhatikan pertimbangan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah, Menteri
Teknis terkait dan Instansi yang membidangi perencanaan pembangunan nasional.
3.
Penggunaan Dana Alokasi Khusus
Pengalaman
praktis penggunaan DAK sebagai instrumen kebijakan misalnya:
Ø Pertama, dipakai dalam kebijakan trasfer
fiscal untuk mendorong suatu kegiatan agar sungguh-sungguh dilaksanakan
oleh daerah.
Ø Kedua, penyediaan biaya pelayanan dasar (basic services) oleh daerah cenderung minimal atau dibawah
standar. Dalam alokasi DAK tersebut Pusat menghendaki adanya benefit spillover effect sehingga
meningkatkan standar umum.
Ø Ketiga, alokasi dana melalui DAK biasanya memerlukan kontribusi dana dari
daerah yang bersangkutan, semacam matching
grant.
4.
Penyaluran Dana Alokasi Khusus
Ketentuan
tentang penyaluran Dana Alokasi Khusus kepada Daerah ditetapkan oleh Menteri
Keuangan. Ketentuan pelaksanaan penyaluran Dana Alokasi Khusus ini diatur lebih
lanjut dengan Keputusan Menteri Keuangan, yaitu Keputusan Menteri Keuangan
Nomor 553/KMK.03/2000 tentang Tata Cara Penyaluran Dana Alokasi Umum dan Dana
Alokasi Khusus sebagaimana telah diubah dengan keputusan Menteri Keuangan Nomor
655/KMK.02/2000 tanggal 27 Desember 2001 tentang Perubahan atas Keputusan
Menteri Keuangan Nomor 553/KMK.03/2000 tentang Tata Cara Penyaluran Dana
Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus.
Menurut Pasal 1 Peraturan Pemerintah
Nomor 58 Tahun 2005, keuangan daerah adalah “Semua hak dan kewajiban yang dapat
dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu, baik uang maupun barang yang
dijadikan milik daerah berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban daerah
tersebut”.Dari uraian di atas, dapat diambil kata kunci dari keuangan daerah
adalah hak dan kewajiban. Hak merupakan hak daerah untuk mencari sumber
pendapatan daerah berupa pungutan pajak daerah, retribusi daerah atau sumber
penerimaan lain-lain yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang
berlaku. Sedangkan kewajiban adalah kewajiban daerah untuk mengeluarkan uang
dalam rangka melaksanakan semua urusan pemerintah di daerah (Mamesah, 1995:5).
Salah satu faktor penting untuk melaksanakan
urusan rumah tangga daerah adalah kemampuan keuangan daerah. Dengan kata lain
faktor keuangan merupakan faktor yang mempengaruhi tingkat kemampuan daerah
dalam melaksanakan otonomi. Sehubungan dengan pentingnya posisi keuangan daerah
ini Pamudji dalam Kaho (2007:138-139) menegaskan:
“Pemerintah daerah tidak akan dapat melaksanakan
fungsinya dengan efektif dan efisien tanpa biaya yang cukup untuk memberikan
pelayanan dan pembangunan Dan keuangan inilah merupakan dalam satu dasar
kriteria untuk mengetahui secara nyata kemampuan daerah dalam mengurus rumah
tangganya sendiri”.
Sementara itu, untuk dapat memiliki
keuangan yang memadai dengan sendirinya daerah membutuhkan sumber keuangan yang
cukup pula. Lains dalam Kaho (2007:139-140) merinci ada beberapa cara yang bisa
dilakukan oleh daerah untuk memperoleh keuangannya, antara lain:
1)
Daerah dapat mengumpulkan dana dari
pajak daerah yang sudah direstui oleh Pemerintah Pusat;
2)
Pemerintah daerah dapat melakukan
pinjaman dari pihak ketiga, pasar uang atau Bank atau melalui pemerintah pusat;
3)
Daerah dapat ikut ambil bagian dalam
pendapatan pajak sentral yang dipungut daerah, misalnya sekian persen dari
pendapatan sentral tersebut (melalui bagi hasil);
4)
Pemerintah daerah dapat menambah
tarif pajak setral tertentu; dan
5)
Pemerintah daerah dapat menerima
bantuan atau subsidi dari Pemerintah Pusat.
Dalam melaksanakan keuangan daerah
perlu dibuatkan suatu perencanaan agar seluruh kegiatan yang akan dilaksanakan
dapat dikelola dengan baik. Bentuk perencanaan keuangan daerah inilah yang
dikenal dengan istilah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD),
sebagaimana telah digariskan dalam Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. APBD
adalah suatu rencana keuangan tahunan daerah yang ditetapkan berdasarkan
peraturan daerah.Seperti halnya dalam kebijakan APBN, jika Pemerintah daerah
menetapkan bahwa kebijakan anggarannya bersifat ekspansif, artinya APBD akan
diprioritaskan untuk menstimulasi perekonomian daerah melalui pengeluaran
pembangunan (development budget). Sebaliknya, jika pemerintah daerah
menetapkan kebijakan APBD bersifat kontraksi, maka APBD kurang dapat
diharapkan untuk menggerakkan perekonomian daerah, karena anggaran pembangunan
jumlahnya relatif kecil dibandingkan dengan belanja rutin daerah (Saragih,
2003:82).
Menurut Mamesah (1995:16) APBD
sebagai sarana atau alat utama dalam menjalankan otonomi daerah yang nyata dan
bertanggung jawab, karena fungsi APBD adalah sebagai berikut:
1)
Menentukan jumlah pajak yang
dibebankan kepada rakyat dari daerah yang bersangkutan;
2)
Merupakan suatu sarana untuk
mewujudkan otonomi;
3)
Memberikan isi dan arti tanggung
jawab pemerintah daerah umumnya dan kepala daerah khususnya, karena APBD itu
menggambarkan seluruh kebijaksanaan pemerintah daerah;
4)
Merupakan suatu sarana untuk
melaksanakan pengawasan terhadap daerah dengan cara yang lebih mudah dan
berhasil guna; dan
5)
Merupakan suatu pemberian kuasa
kepada kepala daerah dalam batas-batas tertentu.
Pengelolaan keuangan daerah yang
berkaitan dengan pelaksanaan desentralisasi diatur secara mendetail dalam
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 (yang kemudian dilengkapi
dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007) menyatakan bahwa
dalam pelaksanaan desentralisasi daerah, pemerintah daerah berhak
menyelenggarakan pengelolaan keuangan daerah, yang komponen-komponennya
sebagaimana tertuang dalam struktur APBD antara lain terdiri dari:
2.Pendapatan Daerah
Pendapatan Daerah adalah hak
Pemerintah Daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih dalam
periode tahun bersangkutan. Pendapatan Daerah bersumber dari:
A.Pendapatan Asli Daerah;
Pendapatan Asli Daerah merupakan
modal dasar Pemerintah Daerah dalam mendapatkan dana pembangunan dan memenuhi
belanja daerah (Widjaja, 1998:42). Definisi lain seperti dalam Undang-undang
No. 32 Tahun 2004, Pendapatan Asli Daerah merupakan penerimaan yang diperoleh
dari sumber-sumber dalam wilayahnya sendiri yang dipungut berdasarkan Peraturan
Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dan tentunya
pendapatan tersebut diperoleh dari hasil yang berada dalam wilayahnya sendiri.
Menurut Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004, Sumber PAD
antara lain terdiri dari:
1)
Hasil pajak daerah, yaitu pungutan
yang dilakukan oleh pemerintah Daerah kepada semua obyek pajak, seperti
orang/badan, benda bergerak/tidak bergerak;
2)
Hasil retribusi daerah, yaitu
pungutan yang dilakukan sehubungan dengan suatu jasa/fasilitas yang berlaku
oleh Pemerintah Daerah secara langsung dan nyata;
3)
Hasil pengelolaan kekayaan daerah
yang dipisahkan, antara lain:
a)
Bagian laba atas penyertaan modal
pada perusahaan milik daerah/BUMD;
b)
Bagian laba atas penyertaan modal
pada perusahaan milik pemerintah/BUMN;
c)
Bagian laba atas penyertaan modal
pada perusahaan milik swasta atau kelompok usaha masyarakat;
4)
Lain-lain PAD yang sah, antara lain:
a)
Hasil penjualan kekayaan daerah yang
tidak dipisahkan;
b)
Jasa giro;
c)
Pendapatan bunga;
d)
Penerimaan atas tuntutan ganti
kerugian daerah;
e)
Penerimaan komisi, potongan ataupun
bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau
jasa oleh daerah;
f)
Penerimaan keuntungan dari selisih
nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing;
g)
Pendapatan denda atas keterlambatan
pelaksanaan pekerjaan;
h)
Pendapatan denda pajak;
i)
Pendapatan denda retribusi;
j)
Pendapatan hasil eksekusi atas
jaminan;
k)
Pendapatan dari pengembalian;
l)
Fasilitas sosial dan fasilitas umum;
m)
Pendapatan dari penyelenggaraan
pendidikan dan pelatihan; dan
n)
Pendapatan dari angsuran/cicilan
penjualan.
Pemberian sumber PAD bagi daerah ini
bertujuan untuk memberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah untuk mendanai
pelaksanaan otonomi daerah sesuai dengan potensi Daerah sebagai perwujudan
desentralisasi.
Menurut Mahi (2000:58), pendapatan asli daerah belum
bisa diandalkan sebagai sumber pembiayaan utama otonomi daerah kabupaten/kota
disebabkan oleh beberapa hal berikut.
1) Relatif rendahnya basis
pajak/retribusi daerah.
2) Perannya yang tergolong kecil
dalam total penerimaan daerah.
3) Kemampuan administrasi pemungutan
di daerah masih rendah.
4) Kemampuan perencanaan dan
pengawasan keuangan yang lemah.
B.Dana Perimbangan
Dana Perimbangan dikeluarkan
bertujuan untuk mengurangi kesenjangan fiskal antara Pemerintah dan
Pemerintahan Daerah dan antar-Pemerintah Daerah. Pasal 10, UU No. 33 Tahun 2004
mengatur tentang Dana Perimbangan yang setiap tahun ditetapkan untuk menjadi
hak Pemerintah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota terdiri dari:
1) Dana Bagi Hasil, bagian Daerah
bersumber dari penerimaan pajak dan penerimaan dari sumber daya alam;
a) Dana Bagi Hasil Pajak yang
bersumber dari:
- Pajak Bumi dan
Bangunan (PBB);
- Bea Perolehan
Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB);
- Pajak
Penghasilan (PPh) Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri
dan PPh Pasal 21.
b) Dana Bagi Hasil Bukan Pajak
yang bersumber dari sumber daya alam, berasal dari:
- kehutanan;
- pertambangan
umum;
- perikanan;
- pertambangan
minyak bumi;
- pertambangan gas
bumi; dan
- pertambangan
panas bumi.
B. DANA ALOKASI UMUM (DAU)
1. Pengertian Dana Alokasi Umum (DAU)
Dana Alokasi Umum (DAU) adalah dana
yang bersumber dari penerimaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
yang dialokasikan kepada daerah dalam bentuk block grant yang pemanfaatannya diserahkan sepenuhnya kepada
daerah.
Dana Alokasi Umum (DAU) merupakan
salah satu transfer dana Pemerintah kepada pemerintah daerah yang bersumber
dari pendapatan APBN, yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan
keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan
desentralisasi.
Dana Alokasi
Umum (DAU) adalah sejumlah dana yang dialokasikan
kepada setiap Daerah Otonom (provinsi/kabupaten/kota) di Indonesia setiap tahunnya
sebagai dana pembangunan yang bertujuan sebagai pemerataan kemampuan keuangan
antar daerah untuk mendanai kebutuhan Daerah Otonom dalam rangka pelaksanaan
desentralisasi.
Dana Alokasi Umum (DAU) bersifat “Block
Grant” yang berarti penggunaannya diserahkan kepada daerah sesuai dengan
prioritas dan kebutuhan daerah untuk peningkatan pelayanan kepada masyarakat
dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah.
2. Penerapan Pengalokasian
Besarnya Dana
Alokasi Umum diterapkan sekurang-kurangnya 25% dari penerimaan dalam negeri
yang dterapkan dalam APBN. DAU ini merupakan seluruh alokasi umum Daerah
Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota. Kenaikan Dana Alokasi Umum akan sejalan
dengan penyerahan dan pengalihan kewenangan Pemerintah Pusat kepada Daerah
dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
Dana Alokasi
Umum terdiri dari:
Ø Dana Alokasi Umum untuk Daerah Provinsi
Ø Dana Alokasi Umum untuk Daerah
Kabupaten/Kota.
Jumlah Dana Alokasi Umum bagi semua
Daerah Provinsi dan Jumlah dana Alokasi Umum bagi semua Daerah Kabupaten/Kota
masing-masing ditetapkan setiap tahun dalam APBN. Dana Alokasi Umum untuk suatu
Daerah Provinsi tertentu ditetapkan berdasarkan jumlah Dana Alokasi Umum untuk
suatu daerah provinsi yang ditetapkan dalam APBN dikalikan dengan rasio bobot
daerah provinsi yang bersangkutan, terhadap jumlah bobot seluruh provinsi.
Porsi Daerah Provinsi ini merupakan persentase bobot daerah provinsi yang
bersangkutan terhadap jumlah bobot semua daerah provinsi di seluruh Indonesia.
Dana Alokasi Umum untuk suatu daerah
Kabupaten/Kota tertentu ditetapkan berdasarkan perkalian jumlah Dana Alokasi
Umum untuk seluruh daerah Kabupaten/kota yang ditetapkan dalam APBN dengan
porsi daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan.
Berdasarkan
tentang dana perimbangan, maka kebutuhan wilayah otonomi daerah merupakan
perkalian dari total pengeluaran daerah rata-rata dengan penjumlahan dari
indeks: penduduk, luas daerah, kemiskinan relatif dan kenaikan harga setelah
dikalikan dengan bobot masing-masing indeks.
Sedangkan
potensi ekonomi daerah dihitung berdasarkan perkiraan penjumlahan penerimaan
daerah yang berasal dari PAD, Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak Atas
Tanah dan Bangunan, Pajak Penghasilan dan Bagi Hasil Sumber Daya Alam, yang
dituliskan sebagai berikut:
PAD + PBB + BPHTB +
BHSDA + PPH
Bobot daerah
adalah proporsi kebutuhan dana alokasi umum suatu daerah dengan total kebutuhan
dana alokasi umum suatu daerah.
Hasil
Perhitungan Dana Alokasi Umum untuk masing-masing Daerah ditetapkan dengan
Keputusan Presiden berdasarkan usulan Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah.
3. Tata
Cara Penyaluran DAU
Hasil perhitungan Dana Alokasi Umum untuk masing-masing
daerah ditetapkan dengan keputusan Presiden berdasarkan usulan Dewan
Pertimbangan Otonomi Daerah.
Usulan Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah setelah
mempertimbangkan faktor penyeimbang. Faktor Penyeimbang adalah suatu mekanisme
untuk memperhitungkan dari kemungkinan penurunan kemampuan daerah dalam
pembiayaan beban pengeluaran yang akan menjadi tanggung jawab daerah.
Usulan Dewan Alokasi Umum untuk masing-masing daerah
disampaikan oleh Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah. Penyaluran Dana Alokasi
Umum kepada masing-masing kas daerah dilaksanakan oleh Menteri Keuangan secara
berkala.
4.
Pelaporan Penggunaan DAU
Gubernur
melaporkan penggunaan DAU untuk Provinsi setiap triwulan kepada Menteri
Keuangan dan Menteri Dalam Negeri, paling lambat satu bulan setelah berakhirnya
triwulan yang bersangkutan. Ketentuan ini juga berlaku kepada Bupati/Walikota
dengan tambahan berupa tembusan pada Gubernur selaku Wakil Pemerintah Pusat di
daerah.
5. DAU
Dalam Masa Peralihan
Dalam masa
peralihan dengan berlakunya PP No. 104 tahun 2000, pelaksanaan alokasi Dana
Alokasi Umum disesuaikan dengan proses penataan organisasi pemerintahan daerah
dan proses pengalihan pegawai ke daerah. Dana Alokasi Umum ini dialokasikan
kepada daerah dengan memperhatikan jumlah pegawai yang telah sepenuhnya menjadi
beban daerah, baik pegawai yang telah berstatus sebagai pegawai pemerintah
pusat yang dialihkan menjadi pegawai daerah. Dalam hal pegawai pemerintah pusat
yang telah ditetapkan untuk dialihkan kepada daerah belum sepenuhnya menjadi
beban daerah, pembayaran gaji pegawai tersebut diperhitungkan dengan Dana
Alokasi Umum bagi daerah yang bersangkutan. Jangka waktu masa peralihan adalah
sampai dengan semua pegawai pemerintah pusat yang telah ditetapkan untuk
dialihkan kepada daerah telah sepenuhnya menjadi beban daerah yang
bersangkutan.
Otonomi daerah dan termasuk di
dalamnya desentralisasi fiskal mengharuskan daerah mempunyai kemandirian
keuangan yang tinggi. Beberapa daerah dengan sumber daya yang dimiliki mampu
menyelenggarakan otonomi daerah, namun tidak tertutup kemungkinan ada beberapa
daerah akan menghadapi kesulitan dalam menyelenggarakan tugas desentralisasi,
mengingat keterbatasan sumber daya yang dimiliki (Bappenas, 2003:1).
`Menurut Saragih (2003:83), yang
dimaksud dengan desentralisasi fiskal adalah suatu proses distribusi anggaran
dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi kepada pemerintahan yang lebih
rendah, untuk mendukung fungsi atau tugas pemerintahan dan pelayanan publik,
sesuai dengan banyaknya kewenangan bidang pemerintahan yang dilimpahkan. Dan
dalam pelaksanaannya, prinsip money should follow function merupakan
salah satu prinsip yang harus diperhatikan dan dilaksanakan.
Desentralisasi Fiskal dalam otonomi
daerah ditujukan untuk menciptakan kemandirian daerah. Sidik (2002:1)
menyatakan bahwa dalam era ini, pemerintah daerah diharapkan mampu menggali dan
mengoptimalkan potensi (keuangan lokal), khususnya pendapatan asli daerah.
Pemerintah daerah diharapkan mampu mengurangi ketergantungan terhadap
pemerintah pusat mengingat ketergantungan semacam ini akan mengurangi
kreatifitas lokal untuk mengambil kebijakan terkait dengan penerimaan lokal
yang lebih efisien.Menurut Sidik (2002:2), ada tiga sumber daya yang harus
mampu dikelola oleh pemerintah daerah guna mencapai tujuan yang telah
ditentukan, yakni pengelolaan atas pegawai, keuangan, dan kelembagaan.
Kemampuan pemerintah daerah untuk menyediakan layanan publik dan menjalankan
pembangunan sangat tergantung pada kemampuan keuangannya. Tanpa uang,
pemerintah daerah tidak dapat membayar pegawai, perlengkapan dan peralatan,
serta berbagai kontrak penyediaan layanan lokal, dan lain sebagainya.
Desentralisasi fiskal dan devolusi tampak sebagai dua sisi yang berbeda dari
satu koin mata uang yang sama sehingga desentralisasi fiskal menuntut adanya
devolusi, dan begitu pula sebaliknya.
Menurut Muluk (2005), desentralisasi
fiskal pada dasarnya berkaitan dengan dua hal pokok, yakni kemandirian daerah
dalam memutuskan pengeluaran guna menyelenggarakan layanan publik dan
pembangunan, dan kemandirian daerah dalam memperoleh pendapatan untuk membiayai
pengeluaran tersebut. Selain persoalan desentralisasi fiskal, daerah pada
dasarnya juga menghadapi persoalan internal yang menyangkut kesanggupan daerah
mengelola keuangan daerahnya berdasarkan prinsip 5E, yakni: efficient,
effective, economic, equal, excellent.
2.Potensi Fiskal
Potensi fiskal merupakan kemampuan
daerah dalam menghimpun dana melalui sumber-sumber yang sah. Potensi fiskal
daerah tercermin dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang meliputi pajak daerah,
retribusi daerah, laba BUMD, dan lain-lain pendapatan yang sah. Salah satu
wujud desentralisasi fiskal adalah pemberian sumber-sumber penerimaan bagi
daerah yang dapat digali dan digunakan sendiri sesuai potensinya masing-masing
(Firmansyah, 2006:41).
Menurut Halim, (2002:320) upaya
peningkatan pendapatan daerah tidak terlepas dari 2 (dua) hal pokok, yaitu:
A.
Potensi sumber-sumber PAD,
terdiri
dari:
1. Potensi sumber daya alam
Potensi sumber daya alam adalah
kekayaan alam yang dimiliki atau ditemukan di daerah yang pengelolaanya
dikuasai oleh daerah. Sumber daya alam terdiri dari sumber daya alam yang tidak
dapat diperbaharui, sumber daya alam yang dapat diperbaharui, dan sumber daya
alam yang dapat pulih. Secara teoritis, sumber daya alam yang tidak dapat
diperbaharui akan berkurang potensinya sesuai jumlah penggalian dan
pengolahannya yang pada gilirannya cepat lambat potensinya akan habis.
Contohnya bahan tambang galian golongan C.
Yang patut diperhatikan adalah sumber
daya alam yang dapat diperbaharui, yang mana sangat memerlukan sebuah
kebijakan dalam pemanfaatannya. Bila dimanfaatkan secara benar akan memberikan
keuntungan pada masa sekarang dan yang akan datang. Pemanfaatannya harus
disertakan dengan konservasi atau pelestarian, terutama melalui usaha budidaya.
Contohnya adalah sumber daya hasil hutan, perkebunan, pertanian, peternakan dan
perikanan.
Selanjutnya sumber daya alam yang
dapat pulih adalah sumber daya alam yang potensinya dapat berubah-ubah
sesuai dengan kondisi lingkungan atau musim. Contohnya adalah potensi air bawah
tanah dan air permukaan. Pada musim kemarau, potensinya dapat menyusut karena
berbagai sifat seperti pengeboran, penguapan atau perembesan. Khusus bagi
sumber daya alam kelompok ini yang patut diperhatikan adalah menghindari
terjadinya pencemaran.
2. Potensi sumber daya manusia
Potensi sumber daya manusia dapat
dilihat dari kuantitas maupun kualitasnya. Kualitas sumber daya manusia
tercermin dari jumlah penduduk secara kuantitas SDM cukup besar, namun dilihat
dari kualitasnya relatif masih rendah. Kualitas SDM yang masih rendah ini
diukur dari tingkat pendidikan (angka melek huruf dan lama sekolah) dan derajat
kesehatannya (usia harapan hidup), serta daya beli masyarakat. Dewasa ini,
ukuran yang digunakan untuk menentukan kualitas SDM diantaranya adalah Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI).
3. Potensi sumber daya buatan
Potensi sumber daya buatan adalah
seluruh hasil karya manusia dalam wujud fisik, seperti prasarana dan sarana
produksi, perhubungan (transportasi dan komunikasi), bangunan/gedung dan
lain-lain. Hampir seluruh potensi sumber daya buatan yang dibangun oleh
Pemerintah, swasta maupun masyarakat merupakan potensi daerah yang dapat
dikembangkan sebagai sumber pendapatan asli daerah. Potensi jenis ini tampaknya
relatif lebih mudah untuk dikembangkan karena potensinya dapat dijadikan objek
pajak daerah ataupun retribusi daerah.
4. Potensi sumber daya kelembagaan
Yang dimaksud sumber daya
kelembagaan adalah hasil karya manusia non-fisik berupa organisasi
pemerintahan, kemasyarakatan, perusahaan, peraturan perundang-undangan maupun
nilai-nilai yang menjadi pedoman masyarakat dalam berperilaku.
Keberadaan sumber daya kelembagaan
ini tidak dapat diabaikan dalam kaitannya dengan upaya peningkatan PAD, sebab
sumber daya kelembagaan inilah yang dapat melaksanakan operasional kegiatan
untuk meningkatkan PAD tersebut. Di sini sistem manajemen pemerintahan,
khususnya yang menangani tentang keuangan daerah sangat penting dalam
melaksanakan dan menopang penggalian sumber-sumber keuangan maupun
pemanfaatannya.
Dalam hal ini, peranan organisasi
pengelola dinilai sangat penting. Sebagai organisasi pengelola PAD adalah Dinas
Pendapatan Daerah (Dipenda) yang secara khusus dan bersama-sama instansi
terkait bertugas untuk melakukan pendataan, penagihan, dan penyetoran PAD.
Dipenda sebagai organisasi pengelola PAD mempunyai tugas antara lain
meningkatkan PAD.
B. Faktor-faktor pendukung
Potensi sumber-sumber PAD adalah seluruh obyek yang
dapat memberikan kontribusi terhadap jumlah PAD. Sementara faktor pendukungnya
adalah kemampuan penyelenggara administrasinya. Ukuran yang dapat digunakan
untuk pengukuran perekonomian daerah adalah rata-rata pendapatan per-kapita
atau rata-rata daya beli penduduk di daerah tersebut. Dengan kata lain
tergantung tingkat kesejahteraan masyarakatnya. Faktor pendukung yang lain
adalah:
1) Letak geografis wilayah;
2) Kesuburan tanah;
3) Kekayaan hasil-hasil tambang;
4) Jumlah penduduk; dan
5) Usaha-usaha ekonomi produktif
sebagai lapangan kerja dan berusaha.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah alokasi dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara kepada provinsi atau kabupaten/kota tertentu dengan tujuan untuk
mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan Pemerintah Daerah dan sesuai
dengan prioritas nasional.
Dana Alokasi Khusus (DAK) digunakan untuk membiayai investasi pengadaan
dan atau peningkatan prasarana dan sarana fisik secara ekonomis untuk jangka
panjang. Dalam keadaan tertentu, Dana Alokasi Khusus dapat membantu biaya
pengoperasian dan pemeliharaan prasarana dan sarana tertentu untuk periode
terbatas, tidak melebihi 3 (tiga) tahun.
Dana Alokasi
Khusus dialokasikan kepada daerah tertentu berdasarkan usulan daerah yang
berisi usulan-usulan kegiatan dan sumber-sumber pembiayaannya yang diajukan
kepada Menteri Teknis oleh daerah tersebut. Bentuknya dapat berupa rencana
suatu proyek atau kegiatan tertentu atau dapat berbentuk dokumen program
rencana pengeluaran tahunan dan multi tahunan untuk sektor-sektor serta
sumber-sumber pembiayaannya.
Bentuk usulan
daerah tersebut berpedoman pada kebijakan instansi teknik terkait. Kecuali
usulan tentang proyek/kegiatan reboisasi yang dibiayai dari bagian dana
reboisasi.
Dalam
sektor/kegiatan yang disusulkan oleh daerah termasuk dalam kebutuhan yang tidak
dapat diperhitungkan (tidak dapat diperkirakan secara umum dengan menggunakan
rumus alokasi umum) maka daerah perlu membuktikan bahwa daerah kurang mampu
membiayai seluruh pengeluaran usulan kegiatan tersebut dari Pendapatan Asli
Daerah, Bagian Daerah dari Pajak Bumi dan Bangunan, Bagian Daerah dari Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, Bagian Daerah dari Penerimaan Sumber
Daya Alam, Dana Alokasi Umum, Pinjaman Daerah, dan lain-lain penerimaan yang
sah, yang penggunaannya dapat ditentukan sepenuhnya oelh Daerah.
DAFTAR
PUSTAKA
Kristiadi, J.B., 2006, “Preface”, Budget
Performance: Capacity Building for Effective Public Finance, Departemen
Keuangan RI, Bundesministerium für wirtschaftliche Zusammenarbeit und
Entwicklung, GTZ, InWEnt, dan PPE-FE-UGM.
Pakpahan, Arlen T., 2006, “Local Financial and
Business Climate”, Budget Accountability, Reporting, and Auditing, Departemen
Keuangan RI, Bundesministerium für wirtschaftliche Zusammenarbeit und
Entwicklung, GTZ, InWEnt, dan PPE-FE-UGM, 8-11 Mei 2006, Yogyakarta.
Penelitian dan Pengembangan Ekonomi Universitas Gadjah
Mada, 2005, “Strengthening Core Local Government Competencies”, Modul
Pelatihan.
No comments:
Post a Comment