Monday, October 24, 2016

DAFTAR NAMA PEJABAT & PENGASUH IPDN JATINANGOR

MAKALAH

REFORMASI DI BIDANG PENDAPATAN DAERAH
Description: LOGO IPDN WARNA

KELOMPOK                    : III

KELAS                             : D 5


NAMA-NAMA                                      NPP     

1. ANDI YAYAT HIDAYAT               22.0952
2. FRANSISKUS WAHAFIMU         22. 1918
3. MAULIDEVA ROHMADITA          22.0877
4. RAMDHANI ADHI PRADANA      22.1029
5. SYAHPUTRA UMAR LUBIS        22.0108


INSTITUT PEMERINTAHAN DALAM NEGERI
Jatinangor, 2014

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.  Latar Belakang
Konsep otonomi daerah dewasa ini, diikuti dengan adanya perubahan-perubahan, baik dalam peraturan perundang-undangan maupun sistem pemerintahan. Sebelumnya sistem pemerintahan kita lebih bersifat sentralistik, dimana daerah tidak diberi peluang dan kesempatan unruk  mengembangkan urusan rumah tangganya sendiri. Bertambahnya kewenangan yang diserahkan kepada daerah saat ini, secara otomatis merubah sistem pemerintahan, kebijakan, program serta cara pandang dan sikap para pelaksana pemerintahan di daerah. Peralihan dari sistem sentralisasi ke sistem desentralisasi diartikan sebagai adanya suatu pelimpahan wewenang dan tanggung jawab dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, sejalan dengan itu maka daerah dengan sendirinya menentukan semua kewenangan terkait pengaturan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) dari hasil yang diperoleh daerahnya sendiri.
Keberlakuan sistem sentralisasi yang diterapkan di Indonesia menyebabkan Pendapatan daerah disetiap daerah di Indonesia terpusat. Hal tersebut disebabkan karena pendapatan yang diperoleh daerah harus terlebih dahulu diserahkan kepada pemerintah pusat. Sistem sentralisasi yang digunakan menyebabkan aparatur pemerintah pusat kurang dapat mengelola sumber daya yang dimiliki dengan baik, sehingga banyak merugikan sebagian besar masyarakat Indonesia. Besarnya sumber daya alam Indonesia tidak diiringi oleh mental dan moral aparatur pemerintah yang baik dan bertanggung jawab terhadap pengelolaan kekayaan Negara. Penyimpangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) terjadi hampir disetiap departemen setiap tahunnya. Aparatur pemerintah yang seharusnya melaksanakan tugas untuk melayani dan mengelola sumber daya yang ada, justru sebaliknya melakukan tindakan-tindakan yang tidak terpuji yang hanya mementingkan diri pribadi.
Penerapan sistem desentralisasi atau otonomi daerah diharapkan daerah dapat mengelola dan membangun daerahnya sendiri berkaitan dengan hasil yang diperoleh dari pengelolaan sumber daya yang tersedia pada masing-masing daerahnya. Tindakan aparatur dan kemampuan dana yang tersedia dari pendapatan daerah akan secara konkrit terlihat oleh masyarakat apabila terdapat hal-hal yang dilakukan oleh aparatur baik yang sifatnya positif maupun negatif. Demikian juga pembangunan daerah, pasca diberlakukannya otonomi daerah secara otomatis menjadi tanggung jawab penuh masing-masing pejabat daerah yang melaksanakan pembangunan disegala aspek kehidupan masyarakat. Pembangunan daerah akan dimonitor oleh masyarakat dengan menilai besar Pendapatan Daerah dengan hasil konkrit pembangunan didaerah tersebut.
1.1.2.  Rumusan Masalah
Uraian-uraian diatas mendeskripsikan perubahan yang secara mendasari dalam peanganggaran daerah, berdasarkan uraian-uraian diatas maka dapat dirumuskan masalah terkait penganggaran daerah adalah sebagai berikut:
1.    Apa yang dimaksud dengan pendapatan daerah?
2.    Apakah aturan-aturan yang mendasari pelaksanaan reformasi penganggaran daerah?
3.    bagaiman reformasi yang terjadi dalam pendapatan daerah?

1.1.2. Tujuan
Makalah merupakan sarana informasi terkini yang memudahkan pembaca dalam mencari maupun mempelajari suatu masalah sehingga dapat mempermudah pembaca dalam menginterpretasikan suatu masalah. Makalah ini memiliki tujuan adalah sebagai berikut:
1.    Untuk bahan informasi dalam mengkaji masalah-masalah terkait reformasi pendapatan daerah.
2.     Sebagai bahan referensi dalam reformasi terkait pendapatan daerah.
3.    Mempermudah pembaca dalam mengkaji masalah reformasi keuangan daerah.
















BAB II
PEMBAHASAN
2.1.  Pengertian
Reformasi secara etimologis berasal dari kata “reformation” dengan akar kata “reform” yang secara semantik bermakna “make or become better by removing or putting right what is bad or wrong”. Reformasi merupakan bagian dari dinamika masyarakat, dalam arti bahwa perkembangan akan menyebabkan tuntutan terhadap pembaharuan dan perubahan untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan perkembangan tersebut.  Reformasi juga bermakna sebagai suatu perubahan tanpa merusak (to change without destroying) atau perubahan dengan memelihara (to change while  preserving). Dalam hal ini, proses reformasi bukanlah proses perubahan yang radikal dan berlangsung dalam jangka waktu singkat, tetapi merupakan proses perubahan yang terencana dan bertahap.
Makna reformasi dewasa ini banyak disalah artikan sehingga gerakan masyarakat yang melakukan perubahan yang mengatasnamakan gerakan reformasi juga tidak sesuai dengan gerakan reformasi itu sendiri. Hal ini terbukti dengan maraknya gerakan masyarakat dengan mengatasnamakan gerakan reformasi, melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan makna reformasi itu sendiri.
Secara harfiah reformasi memiliki makna suatu gerakan untuk memformat ulang, menata ulang atau menata kembali hal-hal yang menyimpang untuk dikembalikan pada format atau bentuk semula sesuai dengan nilai-nilai ideal yang dicita-citakan rakyat.
Pendapatan daerah merupakan semua penerimaan uang melalui rekening kas umum daerah yang menambah ekuitas dana lancar yang merupakan hak pemerintah daerah dalam 1 (satu) tahun anggaran yang tidak perlu dibayar kembali oleh daerah. Sehubungan dengan hal tersebut, endapatan daerah yang dianggarkan dalam Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) merupakan perkiraan yang terukur secara rasional yang dapat dicapai untuk setiap sumber pendapatan.
Seluruh pendapatan daerah yang dianggarkan dalam APBD dianggarkan secara bruto, yang mempunyai makna bahwa jumlah pendapatan yang dianggarkan tidak boleh dikurangi dengan belanja yang digunakan dalam rangka menghasilkan pendapatan tersebut dan/atau dikurangi dengan bagian pemerintah pusat/daerah lain dalam rangka bagi hasil. Pendapatan Daerah menjadi hak Pemerintah Daerah yang diakui sebagai penambahan nilai kekayaan bersih dalam periode tahun bersangkutan.
Menurut Undang-Undang No.32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, sumber-sumber pendapatan daerah terdiri dari:
1.      Pendapatan asli daerah yang meliputi Hasil pajak daerah, Hasil retribusi daerah, Hasil perusahaan milik daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan Lain-lain pendapatan daerah yang sah.
2.      Dana perimbangan, terdiri dari Dana bagi hasil yang bersumber dari pajak dan sumber daya alam, Dana alokasi umum, Dana alokasi khusus.
3.      Lain-lain penerimaan daerah yang sah meliputi Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum, dan Dana Alokasi Khusus.

1.1.1. Pendapatan Asli Daerah
Salah satu reformasi pendapatan daerah yang dilakukan oleh pemerintah adalah menerbitkan Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang pajak dan retribusi daerah. Pada tanggal 18 Agustus 2009, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia telah menyetujui dan mengesahkan Rancangan Undang-undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (RUU PDRD) menjadi Undang-undang, sebagai pengganti dari Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 dan Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000. Pengesahan Undang-undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD) ini sangat strategis dan mendasar di bidang desentralisasi fiskal, karena terdapat perubahan kebijakan yang cukup fundamental dalam penataan kembali hubungan keuangan antara Pusat dan Daerah. Undang-undang yang telah diberlakukan pada tanggal 1 Januari 2010.
UU PDRD ini mempunyai tujuan sebagai berikut Memberikan kewenangan yang lebih besar kepada daerah dalam perpajakan dan retribusi sejalan dengan semakin besarnya tanggung jawab daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat, Meningkatkan akuntabilitas daerah dalam penyediaan layanan dan penyelenggaraan pemerintahan dan sekaligus memperkuat otonomi daerah, Memberikan kepastian bagi dunia usaha mengenai jenis-jenis pungutan daerah dan sekaligus memperkuat dasar hukum pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah.
Ada beberapa prinsip pengaturan pajak daerah dan retribusi daerah yang dipergunakan dalam penyusunan UU ini, yaitu Pemberian kewenangan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah tidak terlalu membebani rakyat dan relatif netral terhadap fiskal nasional, Jenis pajak dan retribusi yang dapat dipungut oleh daerah hanya yang ditetapkan dalam Undang-undang (Closed-List), Pemberian kewenangan kepada daerah untuk menetapkan tarif pajak daerah dalam batas tarif minimum dan maksimum yang ditetapkan dalam Undang-undang, Pemerintah daerah dapat tidak memungut jenis pajak dan retribusi yang tercantum dalam undang-undang sesuai kebijakan pemerintahan daerah, Pengawasan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah dilakukan secara preventif dan korektif. Rancangan Peraturan Daerah yang mengatur pajak dan retribusi harus mendapat persetujuan Pemerintah sebelum ditetapkan menjadi Perda. Pelanggaran terhadap aturan tersebut dikenakan sanksi.
Menurut undang-undang ini terdapat penambahan jenis pajak daerah yaitu 4 jenis pajak daerah masing-masing 1 jenis pajak provinsi dan 3 jenis pajak kabupaten/kota. Dengan tambahan tersebut, secara keseluruhan terdapat 16 jenis pajak daerah, yaitu 5 jenis pajak provinsi dan 11 jenis pajak kabupaten/kota. Jenis pajak provinsi yang baru adalah Pajak Rokok, sedangkan 3 jenis pajak kabupaten/kota yang baru adalah PBB Perdesaan dan Perkotaan, BPHTB, dan Pajak Sarang Burung Walet. Selain itu, untuk kabupaten/kota ada penambahan 1 jenis pajak yaitu Pajak Air Tanah yang sebelumnya merupakan pajak provinsi.
Pajak Rokok yang merupakan kewenangan provinsi dikenakan atas cukai rokok yang ditetapkan oleh Pemerintah. Hasil penerimaan Pajak Rokok tersebut sebesar 70% dibagi hasilkan kepada kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan. Walaupun pajak ini merupakan jenis pajak baru, namun diperkirakan pengenaan Pajak Rokok tidak terlalu membebani masyarakat karena rokok bukan merupakan barang kebutuhan pokok dan bahkan pada tingkat tertentu konsumsinya perlu dikendalikan.
Di pihak lain, pengenaan pajak ini tidak terlalu berdampak pada industri rokok karena beban Pajak Rokok akan disesuaikan dengan kebijakan strategis di bidang cukai nasional dan besarannya disesuaikan dengan daya pikul industri rokok mengikuti natural growth (pertumbuhan alamiah) dari industri tersebut.
PBB Perdesaan dan Perkotaan menjadi pajak kabupaten/ kota yang Selama ini merupakan pajak pusat, namun hampir seluruh penerimaannya diserahkan kepada daerah. Untuk meningkatkan akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah, khusus PBB sektor perdesaan dan perkotaan dialihkan menjadi pajak daerah. Sedangkan PBB sektor perkebunan, perhutanan, dan pertambangan masih merupakan pajak pusat. Dengan dijadikannya PBB Perdesaan dan Perkotaan menjadi pajak daerah, maka penerimaan jenis pajak ini akan diperhitungkan sebagai pendapatan asli daerah (PAD). Demikian juga Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) yang selama ini BPHTB merupakan pajak pusat, namun seluruh hasilnya diserahkan kepada daerah. Untuk meningkatkan akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah, BPHTB dialihkan menjadi pajak daerah. Penetapan BPHTB sebagai pajak daerah akan meningkatkan PAD Upaya pemerintah untuk mengalihkan pajak PBB dan BPHTB menjadi pajak daerah semata-mata untuk mendaya gunakan pemerintah kabupaten kota agar dapat berinovasi mengembangkan daerah sesuai dengan potensi yang dimiliki, sekaligus untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat. Namun kenyataannya banyak pemerintah daerah kabupaten/kota yang belum siap untuk melaksanakan amanat UU yang dimaksud, melalui kementerian keuangan ( yang saat itu melakukan pemungutan PBB dan BPHTB ) memfasilitasi agar pemerintah kabupaten/kota segara siap untuk melaksanakan kegiatan dimaksud dengan menetapkan beberapa kabupaten/kota sebagai daerah percontohan pemungutan PBB dan BPHTB dengan memberikan bantuan fasilitasi maupun sarana dan prasarana. Ketidak siapan daerah kabupaten/kota diantaranya menyangkut Kelembagaan Pengelola PBB dan BPHTB utamanya di tingkat desa/kalurahan/dan kecamatan, kualitas sumber daya manusia yang masih rendah terbatasnya sarana prasarana termasuk sistem dan prosedur pemungutan PBB dan BPHTB belum banyak di pahami oleh aparat pelaksana dilapangan.
Untuk itu pemerintah kabupaten/kota perlu segera mempersiapkan keterbatasan– keterbatasan tersebut agar durasi waktu yang telah di tetapkan UU yakni 3 (tiga) Tahun setelah ditetapkan UU telah dapat di implementasikan di semua kabupaten / kota di indonesia. Satu hal yang tidak kalah penting agar implementasi PBB dan BPHTB di kabupaten / kota berjalan dengan baik di perlukan sinergitas di antara sub sistem yang terkait dalam kegiatan dimaksud antara lain jajaran pemerintah kabupaten / kota, kantor pertanahan kabupaten / kota, Camat, dan Kepala Desa/ Kalurahan dan yang tak kalah peting juga adalah Notaris / PPAT yang bertugas di seluruh kabupaten / Kota. Dengan sinergitas masing – masing sub sistem ini akan dapat mengoptimalkan pendapatan asli daerah (PAD) kabupaten/kota dan apabila di tangani secara intensif dan sungguh-sungguh atas kewenangan yang diberikan oleh pemerintah kepada daerah kabupaten / kota ini dilaksanakan akan menjadi sumber pendapatan asli daerah (PAD) yang primadona untuk masa – masa yang akan datang.
1.1.2.  Dana Perimbangan
Sesuai pasal 5 UU No. 33 tahun 2004, sumber pendapatan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi terdiri dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan, dan Lain-lain Pendapatan Yang Sah. Penyerahan urusan dan pemberian sumber pendanaan dalam bentuk kebijakan perimbangan keuangan pada daerah otonom, pada hakekatnya ditujukan untuk memberikan keleluasaan bagi pemerintah daerah dalam menyikapi aspirasi masyarakat dan prioritas daerah guna mempercepat upaya peningkatan kesejahteraan dan pelayanan umum kepada masyarakat di daerah, serta secara lebih luas diharapkan berdampak pada pertumbuhan dan perkembangan ekonomi daerah.
Kebijakan perimbangan keuangan atau ditekankan pada empat tujuan utama, yaitu:
 (a) memberikan sumber dana bagi daerah otonom untuk melaksanakan urusan yang diserahkan yang menjadi tanggungjawabnya;
 (b) mengurangi kesenjangan fiskal antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, dan antar pemerintah daerah,
(c) meningkatkan kesejahteraan dan pelayanan publik dan mengurangi kesenjangan kesejahteraan dan pelayanan publik antar daerah; serta
(d) meningkatkan efisiensi, efektifitas dan akuntabilitas pengelolaan sumber daya daerah, khususnya sumber daya keuangan.
Dana perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi, yang terdiri atas Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Dana Perimbangan selain dimaksudkan untuk membantu daerah dalam mendanai kewenangannya, juga bertujuan untuk mengurangi ketimpangan sumber pendanaan pemerintahan antara pusat dan daerah serta untuk mengurangi kesenjangan pendanaan pemerintahan antar daerah.


1.1.3.  Lain-Lain Pendapatan Daerah Yang Sah
Lain-lain pendapatan asli daerah yang sah relatif sulit diprediksi besarannya mengingat adanya faktor ketidakpastian seperti misalnya pendapatan yang berasal dari hibah, hadiah, bunga tabungan, bagi laba perusahaan dan bantuan berupa uang, barang, dan/atau jasa yang berasal dari pemerintah, masyarakat, serta badan usaha dalam negeri atau luar negeri yang tidak mengikat.















BAB III
PENUTUP
3.1.  Kesimpulan
Berdasarkan kajian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa pendapatan daerah meliputi semua penerimaan uang melalui rekening kas umum daerah yang menambah ekuitas dana lancar yang merupakan hak pemerintah daerah dalam 1 (satu) tahun anggaran yang tidak perlu dibayar kembali oleh daerah.
Menurut Undang-Undang No.32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, sumber-sumber pendapatan daerah terdiri dari:
1.      Pendapatan asli daerah yang meliputi Hasil pajak daerah, Hasil retribusi daerah, Hasil perusahaan milik daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan Lain-lain pendapatan daerah yang sah.
2.      Dana perimbangan, terdiri dari Dana bagi hasil yang bersumber dari pajak dan sumber daya alam, Dana alokasi umum, Dana alokasi khusus.
3.      Lain-lain penerimaan daerah yang sah meliputi Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum, dan Dana Alokasi Khusus.
Reformasi yang kontras dilakukan adalah sebagai berikut:
1.      Reformasi pendapatan daerah yang dilakukan oleh pemerintah adalah menerbitkan Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang pajak dan retribusi daerah;
2.      Mengeluarkan pinjaman daerah dari pendapatan daerah menjadi pos pembiayaan yaitu penerimaan pembiayaan; dan
3.      Basis kas diarahkan menuju basis akrual;

3.2. Saran
Dalam reformasi pendapatan daerah pemerintah daerah banyak melakukan perbaikan guna memperbaiki segala kesalahan terkait pengelolaan pendapatan daerah daerah pemerintah daerah harus mampu mengatasi kebocoran pendapatan daerah, yang dilakukan dengan cara:
1.      Melakukan audit baik rutin maupun insidental;
2.      Memperbaiki sistem akuntansi pemerintah daerah;
3.      Memberikan penghargaan yang memadai bagi masyarakat yang taat pajak dan hukuman (sanksi) yang berat bagi yang tidak mematuhi;dan
4.      Meningkatkan disiplin dan moralitas pegawai yang terlibat dalam pemungutan pendapatan.



























DAFTAR PUSTAKA

Soleh, Chatib dan Heru Rochmansjah. 2010. Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Sebuah Pendekatan Struktural Menuju Tata Kelola Pemerintahan Yang Baik. FOKUSMEDIA Bandung.
http://keuda.kemendagri.go.id/artikel/detail/24-dana-perimbangan--sumber-pendapatan-daerah-terbesar

No comments:

Post a Comment

buku bimbingan

                                                                                                                                            ...

082126189815

Name

Email *

Message *