KELOMPOK : III
KELAS : D 5
NAMA-NAMA NPP
1. ANDI YAYAT HIDAYAT 22.0952
2. FRANSISKUS WAHAFIMU 22. 1918
3. MAULIDEVA ROHMADITA 22.0877
4. RAMDHANI ADHI PRADANA 22.1029
5. SYAHPUTRA UMAR LUBIS 22.0108
INSTITUT PEMERINTAHAN DALAM NEGERI
Jatinangor, 2014
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Konsep otonomi daerah dewasa ini,
diikuti dengan adanya perubahan-perubahan, baik dalam peraturan
perundang-undangan maupun sistem pemerintahan. Sebelumnya sistem pemerintahan
kita lebih bersifat sentralistik, dimana daerah tidak diberi peluang dan
kesempatan unruk mengembangkan urusan rumah tangganya sendiri.
Bertambahnya kewenangan yang diserahkan kepada daerah saat ini, secara otomatis
merubah sistem pemerintahan, kebijakan, program serta cara pandang dan sikap
para pelaksana pemerintahan di daerah. Peralihan dari sistem sentralisasi ke
sistem desentralisasi diartikan sebagai adanya suatu pelimpahan wewenang dan
tanggung jawab dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, sejalan dengan itu
maka daerah dengan sendirinya menentukan semua kewenangan terkait pengaturan
Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) dari hasil yang diperoleh daerahnya
sendiri.
Keberlakuan sistem sentralisasi yang
diterapkan di Indonesia menyebabkan Pendapatan daerah disetiap daerah di
Indonesia terpusat. Hal tersebut disebabkan karena pendapatan yang diperoleh
daerah harus terlebih dahulu diserahkan kepada pemerintah pusat. Sistem
sentralisasi yang digunakan menyebabkan aparatur pemerintah pusat kurang dapat
mengelola sumber daya yang dimiliki dengan baik, sehingga banyak merugikan
sebagian besar masyarakat Indonesia. Besarnya sumber daya alam Indonesia tidak
diiringi oleh mental dan moral aparatur pemerintah yang baik dan bertanggung
jawab terhadap pengelolaan kekayaan Negara. Penyimpangan Anggaran Pendapatan
Belanja Negara (APBN) terjadi hampir disetiap departemen setiap tahunnya.
Aparatur pemerintah yang seharusnya melaksanakan tugas untuk melayani dan
mengelola sumber daya yang ada, justru sebaliknya melakukan tindakan-tindakan
yang tidak terpuji yang hanya mementingkan diri pribadi.
Penerapan sistem desentralisasi atau
otonomi daerah diharapkan daerah dapat mengelola dan membangun daerahnya
sendiri berkaitan dengan hasil yang diperoleh dari pengelolaan sumber daya yang
tersedia pada masing-masing daerahnya. Tindakan aparatur dan kemampuan dana
yang tersedia dari pendapatan daerah akan secara konkrit terlihat oleh
masyarakat apabila terdapat hal-hal yang dilakukan oleh aparatur baik yang
sifatnya positif maupun negatif. Demikian juga pembangunan daerah, pasca
diberlakukannya otonomi daerah secara otomatis menjadi tanggung jawab penuh
masing-masing pejabat daerah yang melaksanakan pembangunan disegala aspek
kehidupan masyarakat. Pembangunan daerah akan dimonitor oleh masyarakat dengan
menilai besar Pendapatan Daerah dengan hasil konkrit pembangunan didaerah
tersebut.
1.1.2. Rumusan Masalah
Uraian-uraian
diatas mendeskripsikan perubahan yang secara mendasari dalam peanganggaran daerah,
berdasarkan uraian-uraian diatas maka dapat dirumuskan masalah terkait
penganggaran daerah adalah sebagai berikut:
1.
Apa yang dimaksud dengan pendapatan daerah?
2.
Apakah aturan-aturan yang mendasari pelaksanaan
reformasi penganggaran daerah?
3.
bagaiman reformasi yang terjadi dalam pendapatan
daerah?
1.1.2. Tujuan
Makalah
merupakan sarana informasi terkini yang memudahkan pembaca dalam mencari maupun
mempelajari suatu masalah sehingga dapat mempermudah pembaca dalam
menginterpretasikan suatu masalah. Makalah ini memiliki tujuan adalah sebagai
berikut:
1.
Untuk bahan informasi dalam mengkaji masalah-masalah
terkait reformasi pendapatan daerah.
2.
Sebagai bahan
referensi dalam reformasi terkait pendapatan daerah.
3.
Mempermudah pembaca dalam mengkaji masalah reformasi
keuangan daerah.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian
Reformasi secara etimologis berasal dari kata
“reformation” dengan akar kata “reform” yang secara semantik bermakna “make or
become better by removing or putting right what is bad or wrong”. Reformasi
merupakan bagian dari dinamika masyarakat, dalam arti bahwa perkembangan akan
menyebabkan tuntutan terhadap pembaharuan dan perubahan untuk menyesuaikan diri
dengan tuntutan perkembangan tersebut. Reformasi juga bermakna sebagai suatu
perubahan tanpa merusak (to change without destroying) atau perubahan dengan
memelihara (to change while preserving). Dalam hal ini, proses reformasi
bukanlah proses perubahan yang radikal dan berlangsung dalam jangka waktu
singkat, tetapi merupakan proses perubahan yang terencana dan bertahap.
Makna
reformasi dewasa ini banyak disalah artikan sehingga gerakan masyarakat yang
melakukan perubahan yang mengatasnamakan gerakan reformasi juga tidak sesuai
dengan gerakan reformasi itu sendiri. Hal ini terbukti dengan maraknya gerakan
masyarakat dengan mengatasnamakan gerakan reformasi, melakukan kegiatan yang
tidak sesuai dengan makna reformasi itu sendiri.
Secara
harfiah reformasi memiliki makna suatu gerakan untuk memformat ulang, menata
ulang atau menata kembali hal-hal yang menyimpang untuk dikembalikan pada
format atau bentuk semula sesuai dengan nilai-nilai ideal yang dicita-citakan
rakyat.
Pendapatan daerah merupakan semua
penerimaan uang melalui rekening kas umum daerah yang menambah ekuitas dana
lancar yang merupakan hak pemerintah daerah dalam 1 (satu) tahun anggaran yang
tidak perlu dibayar kembali oleh daerah. Sehubungan dengan hal tersebut,
endapatan daerah yang dianggarkan dalam Anggaran Pendapatan Belanja Daerah
(APBD) merupakan perkiraan yang terukur secara rasional yang dapat dicapai
untuk setiap sumber pendapatan.
Seluruh pendapatan daerah yang
dianggarkan dalam APBD dianggarkan secara bruto, yang mempunyai makna bahwa
jumlah pendapatan yang dianggarkan tidak boleh dikurangi dengan belanja yang digunakan
dalam rangka menghasilkan pendapatan tersebut dan/atau dikurangi dengan bagian
pemerintah pusat/daerah lain dalam rangka bagi hasil. Pendapatan Daerah menjadi
hak Pemerintah Daerah yang diakui sebagai penambahan nilai kekayaan bersih
dalam periode tahun bersangkutan.
Menurut Undang-Undang No.32 tahun
2004 tentang Pemerintah Daerah, sumber-sumber pendapatan daerah terdiri dari:
1. Pendapatan
asli daerah yang meliputi Hasil pajak daerah, Hasil retribusi daerah, Hasil
perusahaan milik daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan
Lain-lain pendapatan daerah yang sah.
2. Dana
perimbangan, terdiri dari Dana bagi hasil yang bersumber dari pajak dan sumber
daya alam, Dana alokasi umum, Dana alokasi khusus.
3. Lain-lain
penerimaan daerah yang sah meliputi Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum, dan
Dana Alokasi Khusus.
1.1.1. Pendapatan Asli Daerah
Salah satu reformasi pendapatan
daerah yang dilakukan oleh pemerintah adalah menerbitkan Undang – Undang Nomor
28 Tahun 2009 tentang pajak dan retribusi daerah. Pada tanggal 18 Agustus 2009,
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia telah menyetujui dan mengesahkan
Rancangan Undang-undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (RUU PDRD) menjadi
Undang-undang, sebagai pengganti dari Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 dan
Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000. Pengesahan Undang-undang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah (UU PDRD) ini sangat strategis dan mendasar di bidang
desentralisasi fiskal, karena terdapat perubahan kebijakan yang cukup
fundamental dalam penataan kembali hubungan keuangan antara Pusat dan Daerah.
Undang-undang yang telah diberlakukan pada tanggal 1 Januari 2010.
UU PDRD ini mempunyai tujuan sebagai
berikut Memberikan kewenangan yang lebih besar kepada daerah dalam perpajakan
dan retribusi sejalan dengan semakin besarnya tanggung jawab daerah dalam
penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat, Meningkatkan
akuntabilitas daerah dalam penyediaan layanan dan penyelenggaraan pemerintahan
dan sekaligus memperkuat otonomi daerah, Memberikan kepastian bagi dunia usaha
mengenai jenis-jenis pungutan daerah dan sekaligus memperkuat dasar hukum pemungutan
pajak daerah dan retribusi daerah.
Ada beberapa prinsip pengaturan
pajak daerah dan retribusi daerah yang dipergunakan dalam penyusunan UU ini,
yaitu Pemberian kewenangan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah tidak
terlalu membebani rakyat dan relatif netral terhadap fiskal nasional, Jenis
pajak dan retribusi yang dapat dipungut oleh daerah hanya yang ditetapkan dalam
Undang-undang (Closed-List), Pemberian kewenangan kepada daerah untuk
menetapkan tarif pajak daerah dalam batas tarif minimum dan maksimum yang
ditetapkan dalam Undang-undang, Pemerintah daerah dapat tidak memungut jenis
pajak dan retribusi yang tercantum dalam undang-undang sesuai kebijakan
pemerintahan daerah, Pengawasan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah
dilakukan secara preventif dan korektif. Rancangan Peraturan Daerah yang
mengatur pajak dan retribusi harus mendapat persetujuan Pemerintah sebelum
ditetapkan menjadi Perda. Pelanggaran terhadap aturan tersebut dikenakan
sanksi.
Menurut undang-undang ini terdapat penambahan
jenis pajak daerah yaitu 4 jenis pajak daerah masing-masing 1 jenis pajak
provinsi dan 3 jenis pajak kabupaten/kota. Dengan tambahan tersebut, secara
keseluruhan terdapat 16 jenis pajak daerah, yaitu 5 jenis pajak provinsi dan 11
jenis pajak kabupaten/kota. Jenis pajak provinsi yang baru adalah Pajak Rokok,
sedangkan 3 jenis pajak kabupaten/kota yang baru adalah PBB Perdesaan dan
Perkotaan, BPHTB, dan Pajak Sarang Burung Walet. Selain itu, untuk
kabupaten/kota ada penambahan 1 jenis pajak yaitu Pajak Air Tanah yang
sebelumnya merupakan pajak provinsi.
Pajak Rokok yang merupakan kewenangan provinsi dikenakan atas cukai rokok yang ditetapkan oleh Pemerintah. Hasil penerimaan Pajak Rokok tersebut sebesar 70% dibagi hasilkan kepada kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan. Walaupun pajak ini merupakan jenis pajak baru, namun diperkirakan pengenaan Pajak Rokok tidak terlalu membebani masyarakat karena rokok bukan merupakan barang kebutuhan pokok dan bahkan pada tingkat tertentu konsumsinya perlu dikendalikan.
Pajak Rokok yang merupakan kewenangan provinsi dikenakan atas cukai rokok yang ditetapkan oleh Pemerintah. Hasil penerimaan Pajak Rokok tersebut sebesar 70% dibagi hasilkan kepada kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan. Walaupun pajak ini merupakan jenis pajak baru, namun diperkirakan pengenaan Pajak Rokok tidak terlalu membebani masyarakat karena rokok bukan merupakan barang kebutuhan pokok dan bahkan pada tingkat tertentu konsumsinya perlu dikendalikan.
Di pihak lain, pengenaan pajak ini
tidak terlalu berdampak pada industri rokok karena beban Pajak Rokok akan
disesuaikan dengan kebijakan strategis di bidang cukai nasional dan besarannya
disesuaikan dengan daya pikul industri rokok mengikuti natural growth
(pertumbuhan alamiah) dari industri tersebut.
PBB Perdesaan dan Perkotaan menjadi pajak kabupaten/ kota yang Selama ini merupakan pajak pusat, namun hampir seluruh penerimaannya diserahkan kepada daerah. Untuk meningkatkan akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah, khusus PBB sektor perdesaan dan perkotaan dialihkan menjadi pajak daerah. Sedangkan PBB sektor perkebunan, perhutanan, dan pertambangan masih merupakan pajak pusat. Dengan dijadikannya PBB Perdesaan dan Perkotaan menjadi pajak daerah, maka penerimaan jenis pajak ini akan diperhitungkan sebagai pendapatan asli daerah (PAD). Demikian juga Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) yang selama ini BPHTB merupakan pajak pusat, namun seluruh hasilnya diserahkan kepada daerah. Untuk meningkatkan akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah, BPHTB dialihkan menjadi pajak daerah. Penetapan BPHTB sebagai pajak daerah akan meningkatkan PAD Upaya pemerintah untuk mengalihkan pajak PBB dan BPHTB menjadi pajak daerah semata-mata untuk mendaya gunakan pemerintah kabupaten kota agar dapat berinovasi mengembangkan daerah sesuai dengan potensi yang dimiliki, sekaligus untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat. Namun kenyataannya banyak pemerintah daerah kabupaten/kota yang belum siap untuk melaksanakan amanat UU yang dimaksud, melalui kementerian keuangan ( yang saat itu melakukan pemungutan PBB dan BPHTB ) memfasilitasi agar pemerintah kabupaten/kota segara siap untuk melaksanakan kegiatan dimaksud dengan menetapkan beberapa kabupaten/kota sebagai daerah percontohan pemungutan PBB dan BPHTB dengan memberikan bantuan fasilitasi maupun sarana dan prasarana. Ketidak siapan daerah kabupaten/kota diantaranya menyangkut Kelembagaan Pengelola PBB dan BPHTB utamanya di tingkat desa/kalurahan/dan kecamatan, kualitas sumber daya manusia yang masih rendah terbatasnya sarana prasarana termasuk sistem dan prosedur pemungutan PBB dan BPHTB belum banyak di pahami oleh aparat pelaksana dilapangan.
PBB Perdesaan dan Perkotaan menjadi pajak kabupaten/ kota yang Selama ini merupakan pajak pusat, namun hampir seluruh penerimaannya diserahkan kepada daerah. Untuk meningkatkan akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah, khusus PBB sektor perdesaan dan perkotaan dialihkan menjadi pajak daerah. Sedangkan PBB sektor perkebunan, perhutanan, dan pertambangan masih merupakan pajak pusat. Dengan dijadikannya PBB Perdesaan dan Perkotaan menjadi pajak daerah, maka penerimaan jenis pajak ini akan diperhitungkan sebagai pendapatan asli daerah (PAD). Demikian juga Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) yang selama ini BPHTB merupakan pajak pusat, namun seluruh hasilnya diserahkan kepada daerah. Untuk meningkatkan akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah, BPHTB dialihkan menjadi pajak daerah. Penetapan BPHTB sebagai pajak daerah akan meningkatkan PAD Upaya pemerintah untuk mengalihkan pajak PBB dan BPHTB menjadi pajak daerah semata-mata untuk mendaya gunakan pemerintah kabupaten kota agar dapat berinovasi mengembangkan daerah sesuai dengan potensi yang dimiliki, sekaligus untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat. Namun kenyataannya banyak pemerintah daerah kabupaten/kota yang belum siap untuk melaksanakan amanat UU yang dimaksud, melalui kementerian keuangan ( yang saat itu melakukan pemungutan PBB dan BPHTB ) memfasilitasi agar pemerintah kabupaten/kota segara siap untuk melaksanakan kegiatan dimaksud dengan menetapkan beberapa kabupaten/kota sebagai daerah percontohan pemungutan PBB dan BPHTB dengan memberikan bantuan fasilitasi maupun sarana dan prasarana. Ketidak siapan daerah kabupaten/kota diantaranya menyangkut Kelembagaan Pengelola PBB dan BPHTB utamanya di tingkat desa/kalurahan/dan kecamatan, kualitas sumber daya manusia yang masih rendah terbatasnya sarana prasarana termasuk sistem dan prosedur pemungutan PBB dan BPHTB belum banyak di pahami oleh aparat pelaksana dilapangan.
Untuk itu pemerintah kabupaten/kota
perlu segera mempersiapkan keterbatasan– keterbatasan tersebut agar durasi
waktu yang telah di tetapkan UU yakni 3 (tiga) Tahun setelah ditetapkan UU
telah dapat di implementasikan di semua kabupaten / kota di indonesia. Satu hal
yang tidak kalah penting agar implementasi PBB dan BPHTB di kabupaten / kota
berjalan dengan baik di perlukan sinergitas di antara sub sistem yang terkait
dalam kegiatan dimaksud antara lain jajaran pemerintah kabupaten / kota, kantor
pertanahan kabupaten / kota, Camat, dan Kepala Desa/ Kalurahan dan yang tak kalah
peting juga adalah Notaris / PPAT yang bertugas di seluruh kabupaten / Kota.
Dengan sinergitas masing – masing sub sistem ini akan dapat mengoptimalkan
pendapatan asli daerah (PAD) kabupaten/kota dan apabila di tangani secara
intensif dan sungguh-sungguh atas kewenangan yang diberikan oleh pemerintah
kepada daerah kabupaten / kota ini dilaksanakan akan menjadi sumber pendapatan
asli daerah (PAD) yang primadona untuk masa – masa yang akan datang.
1.1.2. Dana Perimbangan
Sesuai pasal
5 UU No. 33 tahun 2004, sumber pendapatan daerah dalam rangka pelaksanaan
desentralisasi terdiri dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan, dan
Lain-lain Pendapatan Yang Sah. Penyerahan urusan dan pemberian sumber pendanaan
dalam bentuk kebijakan perimbangan keuangan pada daerah otonom, pada hakekatnya
ditujukan untuk memberikan keleluasaan bagi pemerintah daerah dalam menyikapi
aspirasi masyarakat dan prioritas daerah guna mempercepat upaya peningkatan
kesejahteraan dan pelayanan umum kepada masyarakat di daerah, serta secara
lebih luas diharapkan berdampak pada pertumbuhan dan perkembangan ekonomi
daerah.
Kebijakan perimbangan keuangan
atau ditekankan pada empat tujuan utama, yaitu:
(a) memberikan sumber dana bagi
daerah otonom untuk melaksanakan urusan yang diserahkan yang menjadi
tanggungjawabnya;
(b) mengurangi
kesenjangan fiskal antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, dan antar
pemerintah daerah,
(c) meningkatkan kesejahteraan dan pelayanan publik dan mengurangi
kesenjangan kesejahteraan dan pelayanan publik antar daerah; serta
(d) meningkatkan efisiensi, efektifitas dan akuntabilitas pengelolaan
sumber daya daerah, khususnya sumber daya keuangan.
Dana
perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan
kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan
desentralisasi, yang terdiri atas Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum
(DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Dana Perimbangan selain dimaksudkan untuk
membantu daerah dalam mendanai kewenangannya, juga bertujuan untuk mengurangi
ketimpangan sumber pendanaan pemerintahan antara pusat dan daerah serta untuk
mengurangi kesenjangan pendanaan pemerintahan antar daerah.
1.1.3.
Lain-Lain
Pendapatan Daerah Yang Sah
Lain-lain
pendapatan asli daerah yang sah relatif sulit diprediksi besarannya mengingat
adanya faktor ketidakpastian seperti misalnya pendapatan yang berasal dari
hibah, hadiah, bunga tabungan, bagi laba perusahaan dan bantuan berupa uang, barang,
dan/atau jasa yang berasal dari pemerintah, masyarakat, serta badan usaha dalam negeri atau luar
negeri yang tidak mengikat.
BAB III
PENUTUP
3.1.
Kesimpulan
Berdasarkan
kajian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa pendapatan daerah meliputi semua
penerimaan uang melalui rekening kas umum daerah yang menambah ekuitas dana
lancar yang merupakan hak pemerintah daerah dalam 1 (satu) tahun anggaran yang
tidak perlu dibayar kembali oleh daerah.
Menurut Undang-Undang No.32 tahun
2004 tentang Pemerintah Daerah, sumber-sumber pendapatan daerah terdiri dari:
1. Pendapatan
asli daerah yang meliputi Hasil pajak daerah, Hasil retribusi daerah, Hasil
perusahaan milik daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan
Lain-lain pendapatan daerah yang sah.
2. Dana
perimbangan, terdiri dari Dana bagi hasil yang bersumber dari pajak dan sumber
daya alam, Dana alokasi umum, Dana alokasi khusus.
3. Lain-lain
penerimaan daerah yang sah meliputi Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum, dan
Dana Alokasi Khusus.
Reformasi
yang kontras dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Reformasi
pendapatan daerah yang dilakukan oleh pemerintah adalah menerbitkan Undang –
Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang pajak dan retribusi daerah;
2. Mengeluarkan
pinjaman daerah dari pendapatan daerah menjadi pos pembiayaan yaitu penerimaan
pembiayaan; dan
3. Basis kas
diarahkan menuju basis akrual;
3.2. Saran
Dalam reformasi pendapatan daerah
pemerintah daerah banyak melakukan perbaikan guna memperbaiki segala kesalahan
terkait pengelolaan pendapatan daerah daerah pemerintah daerah harus mampu
mengatasi kebocoran pendapatan daerah, yang dilakukan dengan cara:
1. Melakukan
audit baik rutin maupun insidental;
2. Memperbaiki
sistem akuntansi pemerintah daerah;
3. Memberikan
penghargaan yang memadai bagi masyarakat yang taat pajak dan hukuman (sanksi)
yang berat bagi yang tidak mematuhi;dan
4. Meningkatkan
disiplin dan moralitas pegawai yang terlibat dalam pemungutan pendapatan.
DAFTAR PUSTAKA
Soleh, Chatib dan Heru Rochmansjah. 2010. Pengelolaan
Keuangan dan Aset Daerah Sebuah
Pendekatan Struktural Menuju Tata Kelola Pemerintahan Yang Baik. FOKUSMEDIA
Bandung.
http://keuda.kemendagri.go.id/artikel/detail/24-dana-perimbangan--sumber-pendapatan-daerah-terbesar
No comments:
Post a Comment