MAKALAH
PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL DI
INDONESIA
Disusun oleh :
KELOMPOK III
1. R. GALLY YUWANDA
2. REYNALDO ADRIANO WODHA RASSY
3. REZA HANAFI AL ROZIQ
4. RIZAN RAHIM
5. RUSTANDI GANDASURI
6. TIO SAPUTRA
7. TULUS RISWANTO SIAGIAN
8. WA ODE MAHARANI IDRIS
9. WIENY MANUELA YAKOBA THESYA
10. WIRANTI DAIPAHA
INSTITUT PEMERINTAHAN DALAM NEGERI
JATINANGOR
2016
PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL DI INDONESIA
1.
Pengertian Pembangunan Daerah Tertinggal
( Reynaldo Adriano Wodha Arassy )
Pembangunan daerah tertinggal merupakan upaya terencana
untuk mengubah suatu daerah yang dihuni oleh komunitas dengan berbagai
permasalahan sosial ekonomi dan keterbatasan fisik, menjadi daerah yang maju
dengan komunitas yang kualitas hidupnya sama atau tidak jauh tertinggal
dibandingkan dengan masyarakat Indonesia lainnya. Pembangunan daerah tertinggal
ini berbeda dengan penanggulangan kemiskinan dalam hal cakupan pembangunannya.
Pembangunan daerah tertinggal tidak hanya meliputi aspek
ekonomi, tetapi juga aspek sosial, budaya, dan keamanan (bahkan menyangkut
hubungan antara daerah tertinggal dengan daerah maju). Di samping itu
kesejahteraan kelompok masyarakat yang hidup di daerah tertinggal memerlukan
perhatian dan keberpihakan yang besar dari pemerintah.
Berdasarkan hal tersebut di atas, diperlukan program
pembangunan daerah tertinggal yang lebih difokuskan pada percepatan pembangunan
di daerah yang kondisi sosial, budaya, ekonomi, keuangan daerah, aksesibilitas,
serta ketersediaan infrastruktur masih tertinggal dibanding dengan daerah
lainnya. Kondisi tersebut pada umumnya terdapat pada daerah yang secara
geografis terisolir dan terpencil seperti daerah perbatasan antarnegara, daerah
pulau-pulau kecil, daerah pedalaman, serta daerah rawan bencana.
Di samping itu, perlu perhatian khusus pada daerah yang
secara ekonomi mempunyai potensi untuk maju namun mengalami ketertinggalan
sebagai akibat terjadinya konflik sosial maupun politik.
Agenda utama Kabinet Indonesia Bersatu 2004-2009 mencakup
empat agenda utama yang difokuskan untuk pencapaian: Aman (Peace), Adil
(Justice), Demokratis (Democracy), dan Sejahtera (Prosperity). Masing-masing
agenda utama tersebut dijabarkan lebih lanjut ke dalam kerangka prioritas yang
menjadi landasan penyelenggaraan program kerja dari seluruh jajaran Kabinet
Indonesia Bersatu pada lima tahun ke depan.
Pembentukan Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal
merupakan salah satu wujud komitmen Pemerintah untuk mempercepat pencapaian
sasaran agenda tersebut diatas. Sebagai lembaga kementerian yang baru, maka
terlebih dahulu perlu didukung dengan penyusunan rencana strategis (renstra)
yang menjabarkan strategi pembangunan Daerah Tertinggal dalam menghadapi permasalahan
dan tantangan tersebut diatas.
Beberapa agenda dan program prioritas Kabinet Indonesia
Bersatu yang terkait dengan tugas dan fungsi peran dari Kementerian Pembangunan
Daerah Tertinggal akan bersinggungan dengan :
1. agenda dan program Pertahanan, Keamanan, Politik, dan
Harmoni Sosial, seperti: memperbaiki proses desentralisasi dan otonomi daerah
dalam menjaga keutuhan dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, turut
serta menjaga dan penanggulanan keamanan dalam negeri dari gerakan separatisme
daerah, konflik SARA, teror internasional maupun lokal, harmonisasi dan
integrasi sosial, dan menjaga terjaminnya toleransi beragama;
2. agenda dan program Keadilan, Hukum, HAM, dan Keadilan
akan bersinggungan dengan perwujudan keadilan sosial dan persamaan kesempatan;
3. agenda dan program Demokrasi bersinggungan dengan
perwujudan civil society seperti pemberdayaan masyarakat dan peranserta
masyarakat;
4. agenda dan program Ekonomi dan Kesejahteraan akan
bersinggungan dengan memacu pertumbuhan ekonomi, meningkatkan peran sektor riil
dan dunia usaha, mengurangi tingkat pengangguran dan kemiskinan, memacu
pembangunan infrastruktur, menggalakan dan menggerakan investasi, dan
meningkatkan kualitas hidup, pendidikan, kesehatan, dan lingkungan hidup.
Pada hakekatnya pembangunan daerah merupakan kewenangan
dari pemerintah daerah baik Provinsi maupun Kabupaten, sedangkan Pemerintah
berfungsi sebagai, motivator dan fasilitator dalam percepatan pembangunan pada
daerah tertinggal. Namun demikian, pembangunan daerah tertinggal tidak mungkin
berhasil tanpa dukungan dan kerja keras para pemangku kepentingan
(stakeholders). Pelaksanaan program pembangunan di daerah tertinggal menjadi
program prioritas nasional dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM)
2005-2009.
Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal melakukan
fungsi fasilitasi, koordinasi, sinkronisasi, dan akselerasi pembangunan daerah
tertinggal. Untuk itu diperlukan penyamaan persepsi dan langkah tindak lanjut
yang dapat disepakati oleh seluruh stakeholders.
Pengertian daerah tertinggal, didefinisikan, berdasarkan
kondisi sosial, ekonomi, budaya, dan wilayah (fungsi inter dan intra spasial
baik pada aspek alam, aspek manusianya, maupun prasarana pendukungnya).
2.
Faktor
Penyebab Daerah Tertinggal
( Tio Saputra )
Menurut data
BPS indonesia, jika dilihat dari administratif kabupaten/kota, data
terkini pemerintah menyebutkan terdapat 122 kabupaten/kota yang memiliki daerah
tertinggal. Padahal lanjut Marwan, dari hasil pertemuannya dengan berbagai
kepala daerah dan aparatur desa, jumlah kabupaten/kota yang memiliki desa
tertinggal mencapai 200 - 300 kabupaten/kota. Sebanyak 32.000 desa
dari 74.093 jumlah desa di Indonesia atau 52,79 persen. (SJ)
Salah satu
kendala yang mendominasi adalah rendahnya tingkat aksesbilitas ke daerah
pembangunan. Hal inilah yang menjadi penyebab utama kesenjangan pembangunan.
Kesenjangan pembangunan, baik antar golongan masyarakat maupun antar daerah
yang relatif masih tinggi berusaha terus diturunkan. Berbagai program
percepatan yang diharapkan menjadi katalis terhadap peningkatan kegiatan
pembangunan nyatanya masih dirasa kurang dampaknya.
Salah satu
contohnya adalah tarik-menarik kewenangan dan masalah birokrasi yang terlalu
rumit (Koran Jakarta:16 oktober 2013). Oleh karena itu pemerintah membuat
Kementrian Pembangunan Daerah Tertinggal. Dalam rangka melaksanakan pembangunan
di daerah tertinggal diperlukan data-data yang akurat, terperinci, aktual, dan
mudah diakses sehingga memudahkan bagi Kementerian PDT dan Kementerian/Lembaga
dalam melakukan afirmasi dan intervensi untuk percepatan pembangunan di daerah
tertinggal.
Dalam
pengkategorian sebuah daerah tertinggal terdapat 5 faktor yang mempengaruhi
anatara lain faktor geografis, sumberdaya alam, sumberdaya manusia, prasarana
dan sarana, serta daerah terisolasi, rawan konflik dan rawan bencana. Pada
umumnya pada aspek seumber daya manusia, masyarakat di daerah tertinggal
mempunyai tingkat pendidikan, pengetahuan, dan keterampilan yang relatif rendah
serta kelembagaan adat yang belum berkembang.
Suatu daerah
dikategorikan sebagai daerah tertinggal, karena beberapa faktor penyebab,
yaitu:
1.
Geografis
Umumnya secara geografis daerah tertinggal relatif
sulit dijangkau karena letaknya yang jauh di pedalaman, perbukitan/ pegunungan,
kepulauan, pesisir, dan pulau-pulau terpencil atau karena faktor geomorfologis
lainnya sehingga sulit dijangkau oleh jaringan baik transportasi maupun
media komunikasi.
2.
Sumberdaya Alam
Beberapa daerah tertinggal tidak memiliki potensi
sumberdaya alam, daerah yang memiliki sumberdaya alam yang besar namun
lingkungan sekitarnya merupakan daerah yang dilindungi atau tidak dapat
dieksploitasi, dan daerah tertinggal akibat pemanfaatan sumberdaya alam yang
berlebihan.
3.
Sumberdaya Manusia
Pada umumnya masyarakat di daerah tertinggal mempunyai
tingkat pendidikan, pengetahuan, dan keterampilan yang relatif rendah serta
kelembagaan adat yang belum berkembang.
4.
Prasarana dan Sarana
Keterbatasan prasarana dan sarana komunikasi,
transportasi, air bersih, irigasi, kesehatan, pendidikan, dan pelayanan lainnya
yang menyebabkan masyarakat di daerah tertinggal tersebut mengalami kesulitan
untuk melakukan aktivitas ekonomi dan sosial.
5.
Daerah Terisolasi, Rawan Konflik
dan Rawan Bencana
Daerah tertinggal secara fisik lokasinya amat
terisolasi, disamping itu seringnya suatu daerah mengalami konflik sosial
bencana alam seperti gempa bumi, kekeringan dan banjir, dan dapat menyebabkan
terganggunya kegiatan pembangunan sosial dan ekonomi.
Selain itu
penyebab suatu daerah tertinggal dikarenakan pemekaran wilayah Misalnya
satu daerah tersebut tadinya bukan merupakan daerah tertinggal namun ketika
terjadi pemekaran, maka sumber daya alam di daerah tersebut hilang karena masuk
ke dalam daerah baru.
“Ini pekerjaan besar bagi kami, bagaimana mengembangkan daerah tersebut tanpa tergantung dengan sumber daya yang sudah bukan menjadi wilayahnya lagi,” katanya. Hal itu terjadi pada pemekaran wilayah baik itu di tingkat propinsi maupun kabupaten.
“Ini pekerjaan besar bagi kami, bagaimana mengembangkan daerah tersebut tanpa tergantung dengan sumber daya yang sudah bukan menjadi wilayahnya lagi,” katanya. Hal itu terjadi pada pemekaran wilayah baik itu di tingkat propinsi maupun kabupaten.
Sebagai
contoh, Papua misalnya. Ketika terjadi pemekaran dan muncul Papua Barat,
provinsi ini menjadi daerah yang semakin tertinggal. Banyak sumber daya alam
yang potensial masuk ke dalam wilayah Papua Barat dan membuat propinsi baru ini
menjadi lebih maju. “Sebaliknya
Papua masih berat apalagi akses masih sulit karena banyak daerah tertinggal di
pegunungan,” paparnya.Selain itu, pemekaran daerah baru juga membutuhkan biaya
yang besar. Pembuatan gedung baru untuk pemerintahan daerah yang baru,
penambahan tenaga kerja, dan banyak hal lain yang memerlukan biaya yang tak
kecil dalam membuat sebuah kepemerintahan daerah baru. Penyedotan biaya pada hal seperti ini
bisa membuat sebuah daerah menjadi tertinggal dengan daerah pecahannya.
Untuk
itu ia sangat merasa lega setelah ada keputusan dalam moratorium pemekaran
daerah. Menurutnya, jumlah daerah yang menjadi fokus pembangunannya sudah
banyak dan pihaknya pun berusaha agar tak muncul daerah tertinggal baru seperti
ini.Ia pun berusaha keras untuk memberikan pancingan agar daerah-daerah
tertinggal terutama di daerah terluar Indonesia bisa masuk menjadi daerah yang
maju. Ia benar-benar
memperhatikan bobot yang menjadi indikator sebuah daerah bisa terentaskan dari
status daerah tertinggal. Bobot tersebut diantaranya adalah sumber daya manusia
(SDM), ketersediaan sarana dan tenaga kesehatan, pembangunan infrastruktur,
karakteristik daerah, aksebilitas serta kemampuan keuangan daerah. Indeks
Pembangunan Manusia (IPM), juga angka melek huruf dan sarana pendidikan juga
menjadi perhatiannya.
Dari
faktor yang dapat kita lihat, cita-cita bangsa kita untuk mensejahterakan
masyarakat belum sepenuhnya terwujud mengingat pembangunan yng hanya terpusat
di daerah perkotaan, bahkan cita-cita untuk mencerdaskan kehidupan bangsa tidak
akan terwujud apabila tidak ada fasilitas pendidikan (sekolah) yang berada di
daerah pelosok maka sudah jelas bahwa ketidakmerataan pembangunan merupakan
suatu penyebab dalam gagalnya pembangunan di Indonesia.
3.
Permasalahan-permasalahan di Daerah Tertinggal
( Tulus Riswanto siagian )
Sebagai
daerah yang memiliki tingkat kemajuan pembangunan yang lebih rendah
dibandingkan dengan daerah lain, daerah tertinggal ternyata memiliki berbagai
persoalan tersendiri. Secara umum, permasalahan-permasalahan yang dimiliki oleh
daerah tertinggal hampir sama antara satu daerah dengan daerah lainnya. Pada
hakikatnya, setiap permasalahan yang terjadi di daerah tertinggal merupakan
tantangan bagi pemerintah, baik pemerintah pusat atau pemerintah daerah
setempat untuk mengatasinya dan menemukan solusi jitu agar terentas dari
predikat daerah tertinggal. Tak dapat dipungkiri bahwa kemajuan pembangunan
suatu daerah di berbagai bidang akan meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup
masyarakat di wilayah tersebut.
Berikut
beberapa permasalahan yang jamak ditemukan di daerah tertinggal di Indonesia:
a. Pengelolaan potensi sumber daya lokal dalam pengembangan
perekonomian daerah tertinggal masih belum optimal.
b. Kualitas sumber daya manusia dan tingkat kesejahteraan
masyarakat daerah tertinggal masih rendah.
c. Koordinasi antar pelaku pembangunan di daerah tertinggal
masih lemah.
d. Tindakan afirmatif kepada daerah tertinggal belum
optimal.
e. Aksesibilitas daerah tertinggal terhadap pusat-pusat
pertumbuhan wilayah masih rendah.
f. Sarana dan prasarana pendukung ekonomi lainnya masih
terbatas (Bappenas, 2010: 92).
Kondisi masyarakat di daerah tertinggal
Masyarakat
merupakan aktor penting dalam pembangunan daerah tertinggal. Keberadaan mereka
sangat mempengaruhi upaya keberlangsungan pembangunan di daerah tertinggal.
Tanpa peran dan partisipasi masyarakat setempat, maka upaya percepatan
pembangunan daerah tertinggal oleh pemerintah akan mengalami kendala.
Masyarakat sebagai subyek pembangunan juga perlu diperhatikan agar agenda
pembangunan daerah tertinggal dapat terencana dan terlaksana sesuai
indikator-indikatornya. Karena, kerap kali pemerintah tidak mengetahui kondisi
masyarakat di daerah tertinggal sehingga kurang dapat membuat program
pembangunan yang sesuai dengan masalah dan kebutuhan masyarakat di daerah
tertinggal.
Masyarakat
Indonesia memiliki karakteristik tersendiri yang berbeda antara satu sama lain,
baik adat istiadat maupun budayanya. Kadangkala program pembangunan daerah
tertinggal tidak berhasil karena berbenturan dengan kearifan lokal yang
dimiliki oleh tiap-tiap daerah. Sebagai contoh pembangunan jalan baru di Paniai
dan jaringan irigasi di Nabire, Provinsi Papua, terkendala tuntutan adat. Di
Paniai, masyarakat adat menuntut ganti rugi atau hak ulayat atas tanah adat
yang terkena pembangunan jalan. Pembangunan di Papua hendaknya mengedepankan
aspek antropologis karena terdapat masyarakat modern dan tradisonal yang yang
harus didekati dengan pendekatan yang berbeda (Weningdi, 2013). Kegagalan
program seperti ini lebih dikarenakan minimnya data sosial tentang masyarakat
setempat. Data sosial dapat berupa cara hidup, adat istiadat, dan kearifan
lokal suatu masyarakat. Pengumpulan data sosial di masyarakat dapat dilakukan
dengan pembentukan tim khusus dan dibantu partisipasi aktif anggota masyarakat
setempat sehingga status data sosial tersebut semakin valid.
Untuk
melihat bagaimana kondisi masyarakat di daerah tertinggal dapat dilihat dalam
berbagai perspektif, diantaranya:
1. Kemiskinan
Daerah tertinggal identik dengan kondisi penduduk yang
miskin. Pada tahun 2009, jumlah penduduk miskin secara nasional masih tinggi,
yaitu 32,53 juta jiwa atau 14,5% dari total penduduk. Daerah tertinggal menjadi
konsentrasi kemiskinan, yaitu dengan rata-rata tingkat kemiskinan sebesar 23,4%
(BPS, 2007).
2. Pengangguran
Selain masalah kemiskinan, daerah tertinggal juga
mengalami kendala dalam masalah tenaga kerja. Minimnya lapangan pekerjaan di
daerah mengakibatkan banyak masyarakat usia produktif menjadi pengangguran.
Jumlah pengangguran secara nasional pada tahun 2009 sebanyak 8,96 juta jiwa
atau 7,87%.
3. Tingkat Urbanisasi yang Tinggi
Kondisi lain yang dialami oleh daerah tertinggal adalah
tingginya arus urbanisasi masyarakat dari desa ke kota. Banyak faktor yang
memicu mereka untuk melakukan urbanisasi, seperti kemiskinan dan pengangguran.
Arus urbanisasi yang terus meningkat dari tahun ke tahun juga menyebabkan usaha
percepatan pengembang- an kualitas SDM terhambat dan perluasan lapangan
pekerjaan. Tujuan utama urbanisasi di Indonesia adalah Pulau Jawa. Laju
pertumbuhan penduduk di kota metropolitan saat ini adalah 0,16% sampai 0,9%.
Sedangkan laju pertumbuhan penduduk di sekitar perkotaan metropolitan adalah 3%
sampai dengan 4,13%.
4. SDM (Sumber Daya Manusia) yang Rendah
Permasalahan yang sering membelenggu daerah tertinggal
adalah rendahnya kualitas SDM. Rendahnya kualitas SDM ini dicirikan dengan
pencapaian indeks pembangunan manusia (IPM) yang rendah. IPM daerah tertinggal
rata-rata hanya 67,7. Bahkan pada tahun 2008, sebanyak 85% berada di bawah IPM
nasional, yaitu 71,2. Rendahnya IPM tersebut disebabkan oleh pendapat
masyarakat yang rendah ditambah dengan tingkat pelayanan dan pendidikan yang
belum memadai. Selain itu juga disebabkan oleh rata-rata lama sekolah (RLS),
angka melek huruf (AMH), dan angka harapan hidup (AHH). Rendahnya RLS, AMH, dan
AHH masyarakat daerah tertinggal karena mereka tidak tersentuh oleh program-program
nasional, selain karena kurangnya infrastruktur dan minimnya fasilitas (KPDT,
TT: 48–58).
4.
Krtiteria Penentuan Daerah tertinggal
( Rustandi Gandasuri )
a.
Indikator Daerah Tertinggal
Program Pembangunan
Daerah Tertinggal merupakan salah satu fokus Pembangunan Indonesia. Pembenahan
dilakukan dengan menyentuh aspek sosial, budaya, ekonomi, perbaikan
infrastruktur, dan aksesibilitas yang masih tetinggal dibandingkan
daerah-daerah lain. Penetapan Daerah dengan kategori tertinggal didasarkan pada
perhitungan 6 (enam) kriteria yang meliputi perekonomian masyarakat, Sumber
Daya Manusia setempat, ketersediaan Infrastruktur (prasarana), Kapasitas yang
dimiliki Daerah / kemampuan keuangan daerah, Aksesibilitas, dan Karakteristik
Daerah.
Dalam hal ini
Kementerian Pembangunan Daerah Terpencil melakukan afirmasi dan intervensi
untuk mempercepat pembangunan di daerah yang termasuk dalam kategori daerah
tertinggal. Agar percepatan pembangunan tepat sasaran dan sesuai dengan
kebutuhan daerah yang bersangkutan, dibutuhkan keakuratan data sebagai pedoman
dalam menentukan program. Berikut indikator dalam penentuan Daerah Tertinggal
termasuk didalamnya data-data Kabupaten Jeneponto yang diperoleh dari Kementerian
Pembangunan Daerah Tertinggal dan Badan Pusat Statistik.
·
Ekonomi
1. Jumlah Penduduk, Keluarga, Penduduk Miskin, dan Keluarga Prasejahtera dan
Sejahtera 1 Menurut Kabupaten Daerah Tertinggal;
2. PDRB, Persentase Kedalaman Kemiskinan, dan IKK Menurut Kabupaten Daerah
Tertinggal.
·
SDM
2. Jumlah Penduduk, Persentase Angkatan Kerja, dan Persentase Pengangguran
Menurut Kabupaten Daerah Tertinggal;
3. Angka Melek Huruf, Angka Partisipasi Sekolah, dan IPM Menurut Kabupaten
Daerah Tertinggal;
4. Jumlah Desa, Puskesmas, dan Poliklinik Desa Menurut Kabupaten Daerah
Tertinggal;
5. Jumlah Desa, Persentase Desa yang Memiliki Fasilitas Kesehatan > 5 km
dan Fasilitas Pendidikan > 3 km Menurut Kabupaten Daerah Tertinggal;
6. Rata-rata Jarak Desa Tanpa Fasilitas Pendidikan ke Fasilitas Pendidikan
Terdekat Menurut Kabupaten Daerah Tertinggal.
·
Infrastruktur
1. Jumlah Desa Menurut Kabupaten Daerah Tertinggal dan Jenis Permukaan Jalan
Utama;
2. Persentase Rumah Tangga Pengguna Listrik dan Telepon Menurut Kabupaten
Daerah Tertinggal;
3. Jumlah Desa Menurut Kabupaten Daerah Tertinggal dan Jenis Pasar;
4. Jumlah Desa Menurut Kabupaten Daerah Tertinggal dan Jarak Fasilitas Pasar;
5. Jumlah Penduduk, Dokter, dan Dokter/1000 Penduduk Menurut Kabupaten Daerah
Tertinggal.
·
Kapasitas Daerah
1. Besarnya PAD Berdasarkan Kabupaten dan Tahun;
2. Besarnya Celah Fiskal Berdasarkan Kabupaten dan Tahun.
·
Aksesibilitas
Rata-Rata Jarak dan
Waktu Tempuh dari Kantor Desa/Kelurahan ke Kantor Kabupaten yang Membawahi.
b.
Karakteristik Daerah Tertinggal
Persentase Desa
Berdasarkan Kabupaten dan Karakteristik Daerah.
§
Data Indikator Primer Pembangunan Daerah
Tertinggal






·
DASAR
HUKUM PENENTUAN DAERAH TERTINGGAL
PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 131 TAHUN 2015
TENTANG
PENETAPAN DAERAH TERTINGGAL TAHUN 2015-2019
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang
:
bahwa
untuk melaksanakan ketentuan Pasal 6 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 78
Tahun 2014 tentang Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal, perlu menetapkan
Peraturan Presiden tentang Penetapan Daerah Tertinggal Tahun 2015 – 2019;
Mengingat
:
1. Pasal
4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun
2005-2025 (Lembaran Negara Republik Indonesia 2007 Nomor 33, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4700);
3. Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5587);
4. Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 78 Tahun 2014 tentang Percepatan
Pembangunan Daerah Tertinggal (Lembaran
Negara Republik lndonesia 2014 Nomor 264, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5598);
5. Peraturan
Presiden Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional Tahun 2015-2019 (Lembaran Negara Republik Indonesia 2015 Nomor 246,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5589);
5.
Kebijakan Dan Strategi Pembangunan
Daerah Tertinggal
( Rizan Rahim )
Kabinet
Indonesia Bersatu (KIB) jilid II memiliki sebelas prioritas nasional seperti
yang dicantumkan dalam RPJM Nasional 2010-2014, dimana salah satunya adalah:
daerah tertinggal, terdepan, terluar, dan pasca konflik. Penetapan prioritas
ini menggambarkan bahwa sampai sekarang masih terjadi kesenjangan wilayah,
walaupun pembangunan nasional yang dilakukan secara sistematis telah dilakukan
sejak Orde Baru. Beberapa persoalan kesenjangan wilayah diantaranya: (1)
terkonsentrasinya industri manufaktur di kota-kota besar di Pulau Jawa; (2)
melebarnya kesenjangan pembangunan antara Kawasan Barat Indonesia (KBI) dengan
Kawasan Timur Indonesia (KTI); (3) kesenjangan antara daerah perkotaan dan
perdesaan; (4) kurangnya keterkaitan kegiatan pembangunan antar wilayah; serta
(5) terabaikannya pembangunan daerah perbatasan, pesisir, dan kepulauan.
Pada
era 1970-an kesenjangan sudah mulai tampak. Pada era tersebut KBI telah
menguasai lebih dari 80 % Produk Domestik Bruto (PDB) nasional, di mana Pulau
Jawa memiliki porsi terbanyak dalam penguasaan PDB nasional, yakni sekitar 46%
dengan luas wilayah yang hanya 9% dari total luas wilayah Indonesia. Sementara
itu, KTI hanya menguasai sekitar 18% PDB nasional.Kesenjangan ini juga
dipengaruhi oleh ketimpangan antara perkotaan dan perdesaan. Daerah perkotaan
didominasi oleh sektor industri pengolahan, komunikasi, jasa, dan keuangan, di
mana sektor-sektor tersebut memiliki nilai tambah yang tinggi serta komparatif
dan kompetitif yang tinggi antar sektor. Sementara itu, di perdesaan yang masih
mengandalkan sektor pertanian sebagai penopang perekonomian, menyumbang 14%
bagi kontribusi PDB nasional yang masih kalah jauh dibandingkan dengan sektor
komunikasi yang menempatkan lebih dari 16% bagi PDB nasional.
Dalam
rangka penanganan kesenjangan wilayah telah diintroduksi istilah daerah
tertinggal sejak RPJM Nasional 2004-2009 dan Strategi Nasional Pembangunan
Daerah Tertinggal (STRANAS PDT) 2004-2009. Daerah Tertingal didefinisikan
sebagai daerah kabupaten yang masyarakat serta wilayahnya relatif kurang
berkembang dibandingkan daerah lain dalam skala nasional. RPJM Nasional
2004-2009 menetapkan 199 Daerah Tertinggal sebagai prioritas yang perlu
ditangani. Penetapan daerah tertinggal ini didasarkan atas 6 kriteria yaitu:
perekonomian masyarakat, sumberdaya manusia, infrastruktur, kemampuan keuangan
lokal (celah fiskal), aksesibilitas, dan karakteristik daerah.
Daerah
tertinggal tersebar di seluruh wilayah Indonesia dengan proporsi 123 kabupaten
(62 %) berada di KTI, 58 Kabupaten (29 %) di Sumatera, dan 18 Kabupaten (9 %)
ada di Jawa dan Bali. Gambaran distribusi daerah tertinggal yang berada di
seluruh Indonesia menjadi koreksi bahwa persoalan kesenjangan wilayah bukan
sekedar isu KBI vs KTI, tapi menjadi persoalan kita di seluruh wilayah Indonesia.
Pembangunan daerah tertinggal sebagai bentuk kesadaran kolektif dalam
penanganan kesenjangan wilayah harus disikapi lebih serius. Sebab bagaimanapun
kesenjangan wilayah merupakan isu sensitif bagi Bangsa Indonesia, yang dalam
beberapa fase sering menjadi pemicu timbulnya gerakan sparatis.
§ Evaluasi
dan Target Pembangunan Daerah Tertinggal
Kabinet
Indonesia Bersatu mengklaim bahwa sampai Tahun 2009 telah dapat mengentaskan 50
kabupaten tertinggal, sehingga dari 199 kabupaten tertinggal masih ada 149
kabupaten tertinggal yang perlu ditangani. Namun karena sampai Tahun 2009
terdapat 34 daerah otonom baru yang berasal dari daerah induk yang berstatus
daerah tertinggal, maka KIB jilid II dalam lima tahun kedepan memiliki
kewajiban membina 183 kabupaten tertinggal. Dalam rancangan RPJM Nasional
2010-2014 telah dipasang target bahwa pada Tahun 2014 ada 50 lagi kabupaten
tertinggal yang harus terentaskan. Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal
(KPDT) sebagai bagian dari portopolio KIB disamping memiliki target
mengentaskan 50 kabupaten tertinggal pada akhir Tahun 2014, juga memasang tiga
target lainnya, yaitu: a) meningkatnya rata-rata pertumbuhan ekonomi di daerah
tertinggal dari 6,6 % pada tahun 2010 menjadi 7,1 % pada Tahun 2014; b)
berkurangnya persentase penduduk miskin di daerah tertinggal dari 18,8% pada
Tahun 2010 menjadi 14,2% pada Tahun 2014; dan c) meningkatnya kualitas
sumberdaya manusia (yang ditunjukkan oleh IPM) dari 67,7 pada tahun 2010
menjadi 72,2 pada Tahun 2014. Prestasi dan komitmen pemerintah dalam menangani
kesenjangan wilayah tidaklah keliru jika kita apresiasi dengan baik. Namun
demikian ada beberapa catatan kritis yang perlu diperhatikan mengingat apa yang
telah dilakukan pemerintah itu belum sepenuhnya sesuai harapan (masyarakat dan
daerah).
Kinerja
pelaksanaan pembangunan daerah tertinggal salah satunya ditentukan oleh
kualitas KPDT. Kedepan KPDT perlu meningkatkan kapasitas sumber daya
internalnya. Bagaimanapun KPDT memiliki tugas dan fungsi yang sangat penting
yaitu merumuskan kebijakan dan koordinasi pelaksanaan kebijakan di bidang
pembangunan daerah tertinggal (Perpres No. 9/2005). Bahkan KPDT memiliki tugas
dan fungsi tambahan dalam operasional kebijakan di bidang pembangunan
infrastruktur perdesaan, pemberdayaan masyarakat, dan pengembangan ekonomi
lokal (Perpres No. 90/2006). Dan hampir 50 % kabupaten di Indonesia menjadi
"pasien" KPDT. Maka tidak salah jika kementerian/lembaga lain,
pemerintah daerah, dunia usaha, dan masyarakat memiliki harapan yang tinggi atas
peran yang semestinya dimainkan oleh KPDT di dalam percepatan pembangunan
daerah tertinggal.
Penegasan
Kabinet Indonesia Bersatu yang menempatkan daerah tertinggal, terdepan,
terluar, dan pascakonflik sebagai salah satu prioritas nasional seyogyanya
disikapi oleh internal KPDT secara lebih profesional dan percaya diri sehingga
bisa menjadi leader (pemimpin) yang efektif. Hal lain yang perlu diperjelas
yaitu menyangkut penetapan daerah tertinggal. Di sini perlu ada transfaransi
dan konsistensi dalam methodologi, serta tidak mudah diintervensi oleh
kepentingan politis. Kekeliruan pemerintah dalam menetapkan status
ketertinggalan suatu daerah akan berdampak pada efektifitas afirmatif action
yang dilakukan kemudian.
§
Stategi Pembangunan Daerah
Tertinggal
Penyebab
utama ketertinggalan suatu daerah diantaranya karena kebijakan pembangunan yang
terlalu berdimensi sektoral. Hal ini dibuktikan dengan dominannya penerapan
asas dekonsentrasi dan orientasi sektoral pemerintah pusat. Di daerah juga
setali tiga uang (sama saja). Ini terlihat dari kuatnya ego dinas dan
pendekatan sektoral dalam RPJM Daerah.
Belum
optimalnya pendekatan spasial dalam perencanaan pembangunan dapat dirasakan
dari adanya ketimpangan antardaerah. Diabaikannya dimensi spasial membuat warna
pembangunan daerah ditentukan "mekanisme pasar". Akibatnya modal dan
orang cenderung memilih daerah yang menawarkan return yang lebih tinggi dan
menarik, yang pada gilirannya daerah yang maju semakin maju, yang tertinggal
tetap tertinggal. Melihat problematika ini maka kedepan perlu dilakukan
reorientasi strategi pembangunan daerah tertinggal.
Strategi
pembangunan daerah tertinggal yang harus dilakukan oleh pemerintah yaitu :
Pertama, strategi pembangunan ekonomi lokal
perlu lebih menekankan dimensi spasial. Daerah perlu mengombinasikan pendekatan
sektoral berbasis kluster di mana saat ini bisnis / sektor unggulan daerah
maupun rakyat miskin cenderung mengelompok.
Kedua, perlu adanya integrasi strategi
pembangunan perdesaan dengan strategi pembangunan perkotaan. Desa umumnya masih
tertinggal dalam berbagai jenis infrastruktur. Dengan integrasi ini diharapkan
dapat dikembangkan keterkaitan desa-kota (ruralurban linkage) dan jejaring
antarkota (network cities).
Ketiga, diperlukan Big Push bagi
percepatan pembangunan daerah tertinggal. Teori Big Push ini pertama kali
dicetuskan Paul Narcyz Rosenstein-Rodan. Pada 1943, Rosenstein-Rodan menulis
artikel tentang "Problems of Industrialisation of Eastern and
South-Eastern Europe". Dalam teori yang belakangan dikenal dengan Big Push
Model, ditekankan perlunya rencana dan program aksi dengan investasi skala
besar untuk mempercepat industrialisasi di negara-negara Eropa Timur dan
Tenggara.
Dalam
konteks daerah tertinggal, "daya dorong yang besar" bisa diartikan
modal dan infrastruktur. Aksesibilitas modal dan keberpihakannya kepada daerah
tertinggal merupakan langkah strategis. Pengembangan infrastruktur yang
menghubungkan daerah tertinggal dengan pusat-pusat bisnis, pasar, dan jejaring
internasional tampaknya perlu menjadi prioritas bagi pemerintah, pemerintah
daerah, dan swasta. Berdasarkan perhitungan awal KPDT total kebutuhan investasi
di kabupaten tertinggal Tahun 2010-2014 mencapai sekitar Rp. 716 Triliun. Angka
ini barangkali mendekati pemenuhan kebutuhan Big Push Model. Hanya saja upaya
pemenuhan seluruh kebutuhan daerah tertinggal untuk keluar dari ketertinggalan
hanyalah mimpi jika mengandalkan anggaran KPDT semata, karena alokasi anggaran
APBN yang dikelola KPDT hanya sekitar Rp. 1 Triliun per tahun.
Besarnya
dana yang dibutuhkan untuk pemenuhan kebutuhan percepatan pembangunan daerah
tertinggal perlu diupayakan dengan berbagai cara (yang sah) diantaranya
melalui: (1) pemberian insentif kepada investor agar tertarik berinvestasi di
daerah tertinggal, dan (2) mainstraiming alokasi anggaran kementerian/lembaga
dan pemerintah daerah untuk fokus pada penyelesaian ketertinggalan daerah.
Semua gambaran
permasalahan dan kebutuhan daerah tertinggal di atas merupakan sebuah
tantangan. Harapannya sekarang terletak pada pembuktikan komitmen pemerintah.
Keinginan mengentaskan ketertinggalan daerah hendaknya tidak berhenti pada
dokumen perencanaan semata, apalagi sekedar basa-basi.
6.
Prioritas
Pembangunan Daerah Tertinggal
( R. Gally Yuwanda )
Berdasarkan
sasaran dan strategi pembangunan daerah tertinggal tersebut, maka ditetapkan
prioritas pembangunan daerah tertinggal adalah :
1.
menyelenggarakan
koordinasi antar kementerian / lembaga dalam penyusunan dokumen Strategi
Nasional Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal (STRANAS), dan Rencana Aksi
Nasional Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal (RAN);
2.
memberikan asistensi serta supervisi kepada pemerintah daerah
dalam perumusan, pelaksanaan, dan evaluasi percepatan pembangunan daerah
tertinggal yang sinergi, harmoni, sinkron, dan terpadu;
3.
melakukan asistensi bersama kementerian / lembaga terkait
kepada pemerintah daerah dalam pencapaian pemenuhan SPM untuk pelayanan dasar
publik di daerah tertinggal, terutama pada pemenuhan pendidikan, kesehatan,
transportasi, air bersih, informasi, dan telekomunikasi;
4.
mengembangkan rumusan dan implementasi kebijakan percepatan
pembangunan daerah tertinggal yang sesuai dengan potensi dan karakteristik
daerah tertinggal guna meningkatkan efektivitas pencapaian sasaran pembangunan;
dan
5.
mendorong kementerian / lembaga terkait dan pemerintah daerah
merumuskan dan melaksanakan kebijakan afirmasi daerah tertinggal termasuk di
Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.
Untuk mengimplementasikan kebijakan
pembangunan daerah tertinggal secara terpadu dan tepat sasaran serta tepat
kegiatan, maka diperlukan program prioritas yang diarahkan untuk menyelesaikan
persoalan-persoalan mendasar yang dihadapi oleh semua daerah tertinggal, antara
lain :
1.
Program
Pengembangan Ekonomi Lokal
Kegiatan pokok dari program pengembangan ekonomi lokal,
meliputi:
1. Meningkatkan
kemampuan dan keterampilan masyarakat;
2. Meningkatkan
modal sosial yang ada dalam masyarakat;
3. Mendorong
tumbuhnya pusat kegiatan ekonomi baru, dengan memperhatikan produk andalan
daerah;
4. Meningkatkan
akses masyarakat dan usaha mikro, kecil, dan menengah kepada permodalan, pasar,
informasi, dan teknologi;
5. Meningkatkan
keterkaitan kegiatan ekonomi di daerah tertinggal dengan pusat-pusat
pertumbuhan;
6. Mengembangkan
kerjasama dan keterkaitan kegiatan ekonomi antardaerah dalam kegiatan ekonomi
lokal;
7. Penguatan
dan penataan kelembagaan pemerintahan daerah dan masyarakat.
2.
Program
Pemberdayaan Masyarakat
Program pemberdayaan
masyarakat mempunyai kegiatan pokok, sebagai berikut :
1. Mengupayakan
pemenuhan kebutuhan sosial dasar masyarakat;
2. Meningkatkan
kemampuan dan ketrampilan masyarakat;3)
3. Mengupayakan
adanya pengelompokan permukiman untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas
penyediaan pelayanan umum, khususnya untuk komunitas adat terpencil;
4. Meningkatkan
kepastian hukum hak atas tanah kepada masyarakat melalui penegakan hukum
pertanahan yang adil dan transparan secara konsisten.
3.
Program
Pengembangan Prasarana Dan Sarana
Program pengembangan
prasarana dan sarana, kegiatan pokoknya meliputi :
1. Pengembangan
sarana dan prasarana sosial dasar, terutama bidang pendidikan dan kesehatan;
2. Meningkatkan
ketersediaan sarana dan prasarana ekonomi antara lain melalui skim USO
(Universal Service Obligation) untuk telekomunikasi, keperintisan untuk
transportasi, dan listrik masuk desa;
3. Menyerasikan
sistem transportasi di daerah tertinggal ke dalam satu kesatuan sistem yang
terpadu dengan daerah maju;
4. Memperluas
jaringan informasi dan teknologi;
5. Mengembangkan
prasarana perdesaan khususnya prasarana pertanian dan transportasi penghubung
dengan kawasan perkotaan.
4.
Program
Pencegahan Dan Rehabilitasi Bencana
Program pencegahan
dan rehabilitasi bencana, kegiatan pokoknya meliputi :
1. Rehabilitasi
sarana dan prasarana sosial-ekonomi yang rusak akibat bencana;
2. Percepatan
proses rekonsiliasi antara masyarakat yang terlibat konflik dan pemulihan
mental masyarakat akibat trauma konflik;
3. Peningkatan
rasa saling percaya dan harmoni antar kelompok;
4. Sosialisasi
penerapan spesifikasi bangunan yang memiliki ketahanan terhadap bencana;
5. Menerapkan
sistem deteksi dini terjadinya bencana.
5.
Program
Pengembangan Daerah Perbatasan
Program pengembangan
daerah perbatasan, kegiatan pokoknya, meliputi :
1. Memfasilitasi
dan memotivasi Pemerintah Daerah untuk menjadikan wilayahnya sebagai beranda
depan negara dengan mengembangkan pusat pertumbuhan ekonomi;
2. Meningkatkan
kapasitas daerah perbatasan sebagai koridor peningkatan ekspor dan perolehan
devisa;
3. Menyusun
rencana strategis pengembangan wilayah perbatasan;
4. Mengembangkan
wawasan kebangsaan masyarakat.
Pembangunan
Masyarakat (dalam hal ini kaitannya dengan masyarakat di daerah tertinggal)
adalah suatu proses melalui usaha dan prakarsa masyarakat sendiri maupun
kegiatan pemerintahan dalam rangka memperbaiki kondisi ekonomi, sosial dan
budaya. Meskipun, pemerintah memiliki peranan kunci yang strategis dalam
memberikan dorongan (big push) untuk menggerakan roda pembangunan (Paul
Narcyz, 1943).Jika kita cermati, daerah tertinggal merupakan suatu permasalahan
yang menyangkut tanggung jawab lintas sektor baik kementerian/lembaga, daerah,
swasta dan masyarakat.
Mengacu pada
kriteria utama penetapan daerah tertinggal, problematika yang ditemukan di
suatu daerah tertinggal dapat berupa kemiskinan, pendidikan, ketersediaan
kebutuhan pokok, kesehatan, lingkungan, aksesibilitas dan sarana komunikasi.
Penanganan problem tersebut tentunya melibatkan seluruh kementerian/lembaga
terkait yang memang memiliki basis program sesuai yang dibutuhan juga peran
aktif dari sektor swasta dan masyarakat. Selain
dukungan program dari kementerian/lembaga, daerah tertinggal juga mencakup
wilayah perbatasan, perdesaan, dan transmigrasi. Ketiga hal ini juga memiliki
penanganan tersendiri dalam pembangunannya. Terlebih wilayah kabupaten yang
ditetapkan sebagai daerah tertinggal, mencakup beberapa desa tertinggal.
Kebijakan dana desa yang bergulir pada saat ini dapat menjadi stimulus untuk
meningkatkan status desa tertinggal tersebut yang nantinya diharapkan dapat
menyelesaikan problem ketertinggalan di suatu kabupaten.
Beragamnya
aspek pembangunan wilayah di daerah tertinggal tentunya merupakan suatu peluang
untuk mempercepat pengentasan ketertinggalan. Kabupaten yang ditetapkan sebagai
daerah tertinggal tidak hanya mendapat treatment sebagai daerah tertinggal saja,
tetapi juga sebagai wilayah perbatasan, transmigrasi, dan/atau perdesaan. Upaya pembangunan daerah tertinggal haruslah terkoneksi sebagai suatu
sistem pembangunan yang sinergis.
Sinergitas
yang dibangun dapat dimulai dari tiga hal, yang pertama ialah penyatuan basis data
kriteriaketertinggalan suatu daerah. Penyatuan data dipandang sebagai hal yang
sangat penting dan fundamental. Dari data tersebut, dapat digunakan untuk
memetakan permasalahan yang ada, mengetahui sebaran wilayah permasalahan, dan
program apa yang dibutuhkan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Kedua, peningkatan koordinasi
antar kementerian/lembaga dalam menangani ketertinggalan daerah. Dengan program
dan anggaran yang dimiliki kementerian/lembaga, didukung basis data bersama,
maka treatment yang diberikan kepada daerah
tertinggal dapat tepat sasaran, efisien, dan berkesinambungan. Ketiga, mendorong peningkatan
kapasitas sumber daya manusia dan juga iklim usaha di daerah tertinggal.
Peningkatan
kapasitas sumber daya manusia akan mendukung iklim usaha dengan basis
masyarakat lokal sebagai penggerak perekonomian setempat. Bergulirnya roda perekonomian
di daerah tertinggal dapat meminimalisir faktor ketertinggalan di daerah
tersebut. Sedangkan untuk mendorong iklim usaha, pemerintah dapat menggulirkan
kebijakan atau regulasi khusus yang bersifat afirmatif untuk memudahkan dunia
usaha maupun iklim investasi di daerah tertinggal, seperti pembentukan Kawasan
Ekonomi Khusus. Selain itu, pengembangan potensi ekonomi lokal daerah
tertinggal dapat dilakukan dengan memperhatikan pendekatan keterkaitan
antarwilayah terhadap pusat-pusat pertumbuhan wilayah. Dalam hal ini, pusat
pertumbuhan berfungsi sebagai lokomotif dalam pengembangan potensi ekonomi
daerah tertinggal yang merupakan penyangga aglomerasi pertumbuhan pusat
kegiatan yang sudah ada. Sehingga, tercipta integrasi pembangunan antar wilayah
yang menekan disparitas kesejahteraan di setiap daerah.
Oleh karena
itu, pembangunan yang terkoneksi dan sinergi dapat mewujudkan target
pengentasan dan menjawab kebutuhan masyarakat di daerah tertinggal. Program dan
sumber daya anggaran di kementerian/lembaga dapat dioptimalkan menuju
pembangunan yang efektif dalam menjawab permasalahan, bukan program yang hanya
berujung pada serapan anggaran.
Selanjutnya terdapat
NAWAKERJA PRIORITAS dimana terdapat sembilan program yang merupakan
target—target utama jangka pendek dari kementerian (Menteri Desa, Pembangunan
Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi) selama 5 tahun kedepan yaitu tahun
2014-2019, antara lain:
1. Peluncuran
“Gerakan Desa Mandiri” di 5.000 desa pada tahun 2015;
2. Pendampingan
dan Penguatan kapasitas kelembagaan dan masyarakat desa dengan menyediakan
tenaga pendamping sebanyak 84.000 orang;
3. Pembentukan
dan pengembangan 5.000 BUMDES;
4. Revitalisasi
Pasar Desa di 5.000 desa/kawasan perdesaan;
5. Pembangunan
Infrastruktur jalan pendukung pengembangan produk unggulan di 5.000 Desa
Mandiri;
6. Penyiapan
implementasi penyaluran Dana Desa Rp. 1,4 miliar per desa secara bertahap;
7. Penyaluram
Modal bagi Koperasi/UKM di 5.000 Desa;
8. Pilot
project sistem pelayan publik jaringan koneksi online di 5.000 Desa;
9. “Save
Villages” di daerah perbatasan dan pulau-pulau terdepan, terluar dan terpencil.
7.
Prinsip-Prinsip
Pelaksanaan Pembangunan Daerah Tertinggal
( Reza Hanafi Al Roziq )
Untuk mewujudkan keberhasilan pencapaian tujuan dan
sasaran pembangunan daerah tertinggal, maka dalam pelaksanaannya menerapkan
prinsip-prinsip pelaksanaan pembangunan sebagai berikut.
A. Berorientasi pada masyarakat ( people center oriented ).
Masyarakat di
daerah tertinggal adalah pelaku sekaligus pihak yang mendapatkan manfaat dari
kegiatan yang dilaksanakan. Untuk itu, program pembangunan daerah tertinggal
diarahkan untuk membiayai kegiatan yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan
praktis dan strategis masyarakat, yang hasil (output) dan dampaknya (outcome)
dapat dirasakan langsung oleh masyarakat setempat.
Model
pendekatan pembangunan yang berpusat pada manusia lebih menekankan kepada
pemberdayaan, yaitu menekankan kenyataan pengalaman masyarakat dalam sejarah
penjajahan dan posisinya dalam tata ekonomi internasional. Karena itu
pendekatan ini berpendapat bahwa masyarakat harus menggugat struktur dan
situasi keterbelakangan secara simultan dalam berbagai tahapan. Secara lebih
tajam, Korten menyatakan bahwa konsep pembangunan berpusat pada manusia
memandang inisiatif dan kreatifitas dari rakyat sebagai sumber daya pembangunan
yang utama dan memandang kesejahteraan material dan spiritual mereka sebagai
tujuan yang ingin dicapai oleh proses pembangunan.
Selanjutnya
Korten mengemukakan tiga tema penting yang dianggap menentukan bagi konsep
perencanaan pembangunan yang berpusat pada manusia, yaitu:
1. Penekanan
akan dukungan dan pembangunan usaha-usaha swadaya kaum miskin guna menangani
kebutuhan-kebutuhan mereka sendiri;
2. Kesadaran
bahwa walaupun sektor modern merupakan sumber utama bagi pertumbuhan ekonomi
yang konvensional, tetapi sektor tradisional menjadi sumber utama bagi
kehidupan sebagai besar rumah tangga miskin;
3. Kebutuhan
akan kemampuan kelembagaan yang baru dalam usaha membangun kemampuan para
penerima bantuan yang miskin demi pengelolaan yang produktif dan swadaya
berdasarkan sumber-sumber daya lokal.
Manusia dan
lingkungan merupakan variabel endogen yang utama, yaitu sebagai titik tolak
bagi perencanaan pembangunan, sehingga perspektif dasar dan metode analisis
dalam pendekatan pembangunan ini adalah Ekologi Manusia, yaitu kajian mengenai
interaksi antara sistem manusia dan ekosistemnya. Pendekatan ini juga
mempersoalkan dua asumsi yang terkandung dalam model-model pembangunan ekonomi;
pertama, bahwa pembangunan dengan sendirinya membantu setiap orang, dan kedua,
bahwa masyarakat ingin diintegrasikan dalam arus utama suatu pembangunan model
barat, dimana mereka tidak punya pilihan untuk merumuskan jenis masyarakat yang
bagaimanakah yang sebenarnya mereka inginkan.
Dengan
menggunakan waktu sebagai ukuran dasar perubahan, dalam pendekatan pembangunan
yang berpusat pada manusia dibedakan antara strategi jangka panjang dengan
strategi jangka pendek. Strategi jangka panjang diperlukan untuk mengeliminasi
bahkan menghancurkan struktur ketimpangan sosial, kelas dan bangsa. Prasarat
dasar bagi proses ini juga termasuk pembebasan nasional dari dominasi
kolonialisme dan neokolonialisme, pergeseran dari strategi pertanian yang
berorientasi ekspor, dan kontrol yang lebih besar terhadap aktivitas-aktivitas
perusahaan-perusahaan multinasional (multinational corporations).
Sedangkan strategi jangka pendek didefinisikan sebagai kebutuhan untuk
menemukan cara-cara menghadapi berbagai krisis yang sedang berlangsung, dengan
membantu masyarakat dalam produksi pangan melalui peningkatan diversifikasi
pertanian, sebagaimana juga kesempatan kerja di sektor formal dan informal.
Dengan
demikian, pendekatan pembangunan yang berpusat pada manusia berupaya
membangkitkan kesadaran masyarakat untuk menggugat subordinasi mereka melalui
organisasi-organisasi lokal secara bottom-up. Oganisasi yang dianggap paling
efektif adalah organisasi yang bermula dengan kebutuhan praktis masyarakat yang
konkrit, yang berkaitan dengan persoalan kesehatan, ketenagakerjaan dan
penyediaan pelayanan dasar, tetapi yang dapat memanfaatkan isu-isu tersebut sebagai
sarana untuk mencapai kebutuhan strategis masyarakat dalam suatu konteks sosial
politik tertentu.
B. Sesuai dengan kebutuhan masyarakat (socially accepted)
Kegiatan pembangunan daerah tertinggal harus
berdasarkan kebutuhan daerah dan masyarakat penerima manfaat dan bukan
berdasarkan asas pemerataan. Dengan demikian diharapkan masyarakat akan
menerima manfaat yang optimal dan tanggung jawab secara penuh terhadap program
pembangunan daerah tertinggal. Karena selama ini banyak pembangunan yang
dilakukan oleh pemerintah bukanlah berdasarkan kebutuhan masyarkat melainkan
lebih kepada hasil kepentingan politik yang hnya menguntungkan pihak-pihak
tertentu sehingga selama ini pembangunan tidak pernah sukses.
Hal ini dikarenakan juga massyarakat yang merasa tidak
membutuhkan hasil pembanguanan tersebut malah emngabaikan hasil pembangunan
bahkan cenderung merusak diakrenakan masyarakat mersa usaha mereka untuk
menyampaikan aspirasi kebutihan melalui musrembang yang mereka perjuangkan
menjadi percuma karena selalu kalah dalam pembahasan di tingkat yang lebih
tinggi.
C. Sesuai dengan adat istiadat dan budaya setempat
(culturally appropriate).
Pengembangan
kegiatan yang berorientasi pada kondisi dan kebutuhan masyarakat perlu
memperhatikan adat istiadat dan budaya yang telah berkembang sebagai suatu
kearifan tradisional (traditional wisdom) dalam kehidupan masyarakat setempat
dan memperkaya khasanah budaya bangsa. Hal ini dikarenakan masyarakat
indonesia sampai saat ini masih memegang teguh adat istiadat dan budaya
leluhuhrnya terutama di daerah pedesaan dan masyarakat indonesia mayoritas
masih bertempat tinggal di daerah pedesaan.
Jika
pemeriintah melaksanakn pembangunan yang tidak sesuai dengan budayaa dan adat
istiadat apa lagi bertolak belkang dapat kita pastikan bahwa pembangunan
tersebut tidak akan sukses dan pemerintah dianggap gagal menjalankan fungsi
pembangunannya.
D. Berwawasan lingkungan (environmentally sound)
Pelaksanaan
kegiatan dalam program pembangunan daerah tertinggal harus berwawasan
lingkungan dan mengacu pada prinsip berkelanjutan. Prinsip ini mempertimbangkan
dampak kegiatan terhadap kondisi lingkungan, ekonomi, sosial, dan budaya
masyarakat di daerah yang bersangkutan, baik untuk jangka pendek, menengah, dan
panjang. Hal ini dilakukan demi keberlangsungan hidup orang banyak dan untuk
generasi keddepannya jangan sampai pembanunan yang pemerintah lakukan saat ini
malah menghasilkan lebih banyak kerusakan di masa yang akan datanng yang akan
merugikan negara, pemerintah dan masyarakat itu sendiri. Contoh freeport dan
lapindo.
E. Tidak diskriminatif (non discriminative)
Dalam
pelaksanaan kegiatan di daerah tertinggal tidak diskriminatif, baik dari segi
suku, agama, ras, dan antargolongan. Prinsip ini digunakan agar kegiatan
pembangunan daerah tertinggal tidak bias pada kepentingan pihak tertentu. Jika
dalamm pembangunan pemerintah masih ada unsur SARA maka pemerintah sangat salah
karena kita ketahui bersama bangsa
Indonesia adalah bangsa yang plural dan hal seeprti ini dapat menciptakan
perselisihan bahkan perpecahan berbangsa dan bernegaara.
8.
Sumber
Pendanaan Pembangunan Daerah Tertinggal
( Wiranti MZ Daipaha )
1. Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara
Pembangunan daerah tertinggal
membutuhkan dukungan semua sektor terkait, untuk itu diharapkan kementerian dan
lembaga pemerintah di tingkat pusat mengalokasikan anggarannya ke daerah
tertinggal melalui dana dekonsentrasi dan dana pembantuan.
2. Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah
Pembangunan daerah tertinggal pada
hakekatnya menjadi tanggung jawab pemerintah daerah, untuk itu pemerintah
daerah wajib memprioritaskan pengalokasian dananya untuk mengatasi ketimpangan
daerahnya baik melalui APBD propinsi: subsidi daerah bawahan (tugas pembantuan)
maupun APBD kabupaten tugas pembantuan ke desa.
3. Dana Alokasi Khusus (DAK)
Dana alokasi khusus diprioritaskan
untuk mengatasi kesenjangan pembangunan di daerah tertinggal. Sesuai dengan
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004.
4. Dana Swasta dan Masyarakat
Untuk daerah yang memiliki potensi
sumberdaya alam besar, sumberdana dapat diperoleh dari dana kapitalisasi
sumberdaya alam dan investasi dunia usaha/swasta.
5. Dana Penerimaan Lain yang Sah
Dana-dana yang belum termasuk diatas
dapat dijadikan untuk pembangunan daerah tertinggal baik yang dikelola langsung
oleh masyarakat, lembaga non pemerintah, maupun pemerintah dan pemerintah
daerah.
Peraturan Presiden Nomor 5
Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)
2010-2014) telah menetapkan "daerah tertinggal, terdepan, terluar, dan
pascakonflik" sebagai salah satu prioritas nasional pembangunan dari
sebelas prioritas nasionalyang ada, yaitu (1) reformasi birokrasi dan tata
kelola; (2) pendidikan; (3) kesehatan; (4) penanggulangan kemiskinan; (5)
ketahanan pangan; (6) infrastruktur; (7) iklim investasi dan bisnis; (8)
energi; (9) lingkungan hidup dan pengelolaan bencana; (10) daerah tertinggal, terdepan, terluar, dan
pascakonflik; dan (11) kebudayaan, kreativitas, dan inovasi teknologi.
Dalam RPJMN disebutkan bahwa
substansi inti program aksi untuk daerah tertinggal yaitu adanya pengentasan
daerah tertinggal di sedikitnya 50 kabupaten paling lambat 2014. Untuk mencapai
hal tersebut sasaran-sasaran pokok pembangunan daerah tertinggal dalam 5 (lima)
tahun (2010-2014) adalah:
- Meningkatnya rata-rata pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal sebesar 6,6 persen pada tahun 2010 menjadi 7,1 persen pada tahun 2014;
- Berkurangnya persentase penduduk miskin di daerah tertinggal pada tahun 2010 sebesar 18,8 persen menjadi 14,2 persen pada tahun 2014; dan
- Meningkatnya kualitas sumberdaya manusia di daerah tertinggal yang ditunjukkan oleh peningkatan indeks pembangunan manusia (IPM) pada tahun 2010 sebesar 67,7 menjadi 72,2 pada tahun 2014.
Berbagai upaya dari
kementerian/lembaga (sektor) terkait tentunya telah dilakukan dibawah
koordinasi Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal (KPDT). Dari upaya-upaya
tersebut tentu sudah ada keberhasilan yang dicapai, namun tentu tidak menutup
kemungkinan masih adanya target-target yang belum tercapai.
Salah satu yang belum banyak
disentuh adalah persoalan ketenagakerjaan. Kalau kita mau jujur, ketiga
sasaran pokok pembangunan daerah tertinggal dalam RPJMN sangatlah terkait
(digunakan kata terkait untuk menggantikan kata tergantung)
kepada keberhasilan penanganan ketenagakerjaan. Sehingga menjadi sangat wajar
jika dalam sisa waktu Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II tumbuh kesadaran untuk
menjadikan Ketenagakerjaan sebagai prioritas kegiatan percepatan
pembangunan daerah tertinggal. Penjelasannya sederhana.
1.
Pengurangan
Persentase Penduduk Miskin
Untuk Percepatan Penanggulangan
Kemiskinan telah dikeluarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 15
Tahun 2010. Disadari bahwa kemiskinan merupakan permasalahan bangsa yang
mendesak dan memerlukan langkah-langkah penanganan dan pendekatan yang
sistematik, terpadu dan menyeluruh, dalam rangka mengurangi beban dan memenuhi
hak-hak dasar warga negara secara layak melalui pembangunan inklusif,
berkeadilan, dan berkelanjutan untuk mewujudkan kehidupan yang bermartabat.
Strategi percepatan penanggulangan
kemiskinan dilakukan dengan 1)
mengurangi beban pengeluaran masyarakat miskin; 2) meningkatkan kemampuan dan
pendapatan masyarakat miskin; 3) mengembangkan dan menjamin keberlanjutan Usaha
Mikro dan Kecil; 4) mensinergikan kebijakan dan program penanggulangan
kemiskinan.
Adapun program percepatan
penanggulangan kemiskinan terdiri dari: 1) Kelompok program bantuan sosial
terpadu berbasis keluarga, bertujuan untuk melakukan pemenuhan hak dasar,
pengurangan beban hidup, dan perbaikan kualitas hidup masyarakat miskin; 2)
Kelompok program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat,
bertujuan untuk mengembangkan potensi dan memperkuat kapasitas kelompok
masyarakat miskin untuk terlibat dalam pembangunan yang didasarkan pada
prinsip-prinsip pemberdayaan masyarakat; 3) Kelompok program penanggulangan
kemiskinan berbasis pemberdayaan usaha ekonomi mikro dan kecil, bertujuan untuk
memberikan akses dan penguatan ekonomi bagi pelaku usaha berskala mikro dan
kecil; 4) Program-program lainnya yang baik secara langsung ataupun tidak
langsung dapat meningkatkan kegiatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat
miskin
2. Dukungan DAK SPDT terhadap BUMDes dalam Mengembangkan Perekonomian Desa
Kementerian
Pembangunan Daerah Tertinggal (KPDT) memiliki Dana Alokasi Khusus sebagai salah
satu sumber pendanaan pembangunan di 183 daerah tertinggal yaitu Dana
Alokasi Khusus Bidang Sarana dan Prasarana Daerah Tertinggal (DAK SPDT).
Diantara
lembaga yang diberi peluang oleh Petunjuk Teknis Pemanfaatan DAK SPDT untuk
mengelola sarana dan prasarana adalah BUMDes (Badan Usaha Milik Desa).
Namun Lembaga ini tampaknya belum banyak dipilih oleh Pemerintah Daerah. Hal
ini bisa juga karena di daerah tertinggal belum banyak berdiri BUMDes.
Diantara yang sedikit, Kabupaten Sumbawa termasuk daerah tertinggal yang
memberikan kepercayaan pengelolaan sarana/prasarana DAK SPDT kepada
BUMDes. Dalam hal ini dikelola oleh BUMDes “Marijama”, Desa Jotamberu,
Kecamatan Empang, Kabupaten Sumbawa. BUMDes “Marijama” bekerjasama dengan
Kelompok Masyarakat “Parayu Ati” mengelola mobil pick-up bantuan DAK SPDT.
Keberadaan
BUMDes diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, PP No. 72
tentang Desa, dan Permendagri No. 39 Tahun 2010 tentang Badan Usaha Milik Desa.
Banyak daerah
sesunguhnya yang telah mengembangkan BUMDes. Dalam hal ini BUMDes telah banyak
diberi kesempatan untuk mengelola aset desa s eperti:
pasar, kawasan pariwisata, air bersih, dan listrik perdesaan. Pengusaha (swasta
dan BUMN) juga banyak yang menjadikan BUMDes sebagai mitra strategis dalam
pelaksanaan CSR (Corporate
Social Responsibility) atau PKBL (Program Kemitraan dan Bina
Lingkungan).
Semangat
pengembangan BUMDes disamping karena adanya amanat undang-undang, juga karena
adanya keinginan menata kelembagaan ekonomi di tingkat desa yang saat ini
diramaikan oleh banyaknya lembaga di tingkat desa yang bersifat ad-hock bentukan
kementerian/lembaga dalam rangka menjawab kebutuhan pragmatis penangan
suatu proyek.
BUMDes juga
bisa menjadi garda depan dalam menjaga dan mengelola aset-aset desa sehingga
lebih berdayaguna dan memberi manfaat kepada masyarakat.
Menurut catatan
Aris Ahmad Risadi (2012) dalam bukunya yang berjudul "BUMDes: Wahana Baru Pengembangan
Ekonomi Lokal melalui Peran Optimal Pemerintah Desa, Masyarakat, dan
Swasta" disebutkan bahwa Pemerintah telah dan terus berupaya
membangun perdesaan melalui berbagai program pemberdayaan masyarakat yang
bersifat reguler ataupun ad-hock.
Program-program pemberdayaan masyarakat digulirkan melalui berbagai skema oleh
kementerian/lembaga dan Pemerintah Daerah yang di antaranya diwujudkan melalui
penyaluran dana bergulir kepada Lembaga Keuangan Mikro (LKM) yang dibentuk
secara khusus (ad-hock).
Kondisi ini telah melahirkan banyak Lembaga Keuangan Mikro Bukan Bank dan Bukan
Koperasi (LKMB3K) di desa dengan berbagai nama yang kalau dilihat dari
legalitasnya, LKM ini belum berbadan hukum. Dari data resmi Kementerian Dalam
Negeri (2010), diperkirakan LKMB3K di Indonesia berjumlah lebih dari 61.400
unit. Investasi yang dikeluarkan untuk membangun model kelembagaan perekonomian
ad-hock di desa
semacam itu tentu sangat besar, apalagi sesungguhnya pola-pola tersebut sudah
dilakukan sejak era Orde Baru. Namun sangat disayangkan, ternyata LKM-LKM
tersebut banyak yang berguguran.
Sebagai
inisiasi awal, banyak kegiatan BUMDes yang masih terfokus pada pelayanan jasa
keuangan mikro. Terlebih bagi daerah yang sedari awal meniatkan pendirian
BUMDes-nya sebagai upaya melanjutkan program pemberdayaan masyarakat dengan
membentuk unit simpan pinjam. Namun demikian, sesuai dengan Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 39 Tahun 2010 tentang BUMDes, di samping dapat membuka unit
jasa keuangan mikro, BUMDes juga dimungkinkan membuka unit kerja yang menggarap
sektor riil untuk menggali potensi alam maupun sumber daya manusia di desa.
3.
Pembiayaan Pembangunan Kawasan dan Desa
Tertinggal Melalui Dana CSR
Selama
ini pembangunan prasarana dan sarana di berbagai daerah belum optimal karena
keterbatasan dana pemerintah dan luasnya wilayah yang harus dijangkau. Sebagai
akibat dari kondisi ini, masih banyak wilayah yang belum terjangkau oleh
kegiatan pembangunan dan pelayanan pemerintah secara memadai, khususnya kawasan
timur Indonesia (KTI), daerah perbatasan, dan wilayah tertinggal lainnya.
Ketidakmerataan persebaran penanaman modal dan keterbatasan jaringan prasarana
dan sarana, berpengaruh pada kecepatan kemajuan pembangunan sosial ekonomi di
setiap daerah. Demi terciptanya pemerataan kesejahteraan, pertumbuhan penduduk
serta pertumbuhan ekonomi maka harus diadakan pembangunan terhadap desa dan
kawasan tertinggal sehingga diharapkan tidak adanya lagi ketimpangan antara
kawasan perkotaan dengan kawasan tertingal.
Pengelompokan
Tipologi untuk Desa Terpencil didasarkan pada kriteria penilaian desa terpencil
yang telah dijelaskan terdahulu. Berdasarkan simulasi terhadap penilaian kriteria-kriteria
tersebut, maka dapat dirumuskan pengelompokan tipologi untuk Desa Terpencil
adalah terpencil karena ketiadaan sarana aksesibilitas,terpencil karena
jarak,terpencil karena isolasi geografis dan terpencil karena alasan khusus.
Penanganan
pemerataan pengembangan perdesaan tidaklah mudah, ada banyak desa tertinggal
yang perlu ditangani ada beberapa permasalahan yang dihadapi dalam
mengembangkan kawasan tertinggal dan perbatasan seperti : prioritas pembangunan
daerah lebih banyak ditujukan kepada wilayah-wilayah yang berpenduduk padat dan
mudah terjangkau, terbatasnya kemampuan keuangan pemerintah daerah dalam
melaksanakan pembangunan, terutama pada kawasan-kawasan yang terisolir dan
tertinggal, terbatasnya sarana dan prasarana perhubungan serta sumber daya
manusia, belum adanya perhatian dari pelaku ekonomi swasta atau investor, baik
yang berasal dari daerah itu sendiri maupun dari luar dan lainnya.
Saat
ini tercatat masih ada 183 Kabupaten yang diketegorikan tertinggal dari total
524 kabupaten dan 27 dari kabupaten tertinggal merupakan daerah perbatasan.
Menurut Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT) membutuhkan dana
sebesar 300 triliun rupiah per tahun untuk membangun daerah tertinggal.
Anggaran itu belum termasuk untuk membangun daerah perbatasan yang tertinggal
yang diperkirakan perlu dana 150 triliun rupiah untuk memajukannya.
Suatu
daerah menuliskan P3D (personil, peralatan,pembiayaan dan dokumen) daerahnya
untuk mengetahui kebutuhan pembangunan yang akan dilakukan. Desa – desa tertinggal
membuat P3D yang kemudian akan dijawab oleh pemerintah daerah menggunakan
instrumen- instrumen pembiyayaan yang bersumber dari APBD. Namun, pembiayaan
belum dapat sepenuhnya ditangani oleh APBD sehingga dibantu oleh pemerintah
pusat dalam APBN.
Hal
ini tercantum dalam KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA No. 39 TAHUN 2001
tentang penggunaan dana kontijensi untuk bantuan pengalihan personil,
peralatan,pembuayaan dan dokumen (P3D). Dana yang diperlukan dalam pembangunan
kawasan tertinggal tidaklah sedikit sehingga diperlukan sumber-sumber
pembiayaan dan strategi pembiayaan yang maksimal.
Sementara
ini pembiayaan untuk melaksanakan Pembangunan Desa Terpencil, Desa Tertinggal
dan Pulau-Pulau Kecil dapat bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN), Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), Dana Alokasi Khusus
(DAK), dan Dana Swasta dan Masyarakat. Namun, pembiayaan yang diberikan
pemerintah (konvensional) tidak selamanya dapat mengatasi kebutuhan dana karena
adanya keterbatasan dana yang dimiliki pemerintah pusat sehingga tidak dapat
menjawab semua P3D yang di berikan desa tertinggal maka diperlukan strategi
pembiayaan lainnya.
CSR
merupakan salah satu potensi sumber pembiayaan yang dapat dimanfaatkan, menurut
menteri Pembangunan Daerah Tertinggal banyak perusahaan di Indonesia yang dapat
diminta untuk bekerjasama dalam mengarahkan dana tanggung jawab sosial
perusahaan (corporate Cocial Responcibility) untuk pendanaan pembangunan
daerah-daerah yang tertinggal.
Pendanaan
terhadap kawasan tertinggal harus dikoordinir dengan baik agar pendanaan
tersebut tepat sasaran dan dapat menutupi kekurangan pendanaan yang bukan
prioritas pembangunan yang dianggarkan oleh pemerintah, seperti pendanaan Unit
Kegiatan Masyarakat guna mengebangkan keterampilan dan membuka lapangan kerja
di desa tersebut, pembangunan jalan poros yang sangat penting dalam mobilitas
kegiatan ekonomi masyarakat desa, serta pembangunan fasilitas, hal ini beberapa
contok kegiatan pembangunan yang bisa dikembangkan melalui dana CSR. Anggaran
dana yang terbatas harus dimanfatkan secara optimal dengan memberikan
strategi-strategi penanganan yang tepat dan menghitung keberlangsungan program
dengan cermat pula agar pembiayaan tepat sasaran dantidak terjadi tumpang
tindih antar sumber pembiayaan dan diperlukan kontrol kelangsungan hasil
pembangunan yang baik.
9.
Pandangan
Masyarakat Daerah Tertinggal Terhadap Pendidikan
( Wa Ode Maharani Idris )
Pendidikan merupakan hal
yang pertama dilakukan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia.
Pendidikan merupakan proses pengubahan sikap dan perilaku seseorang atau
kelompok dalam upaya mendewasakan manusia melalui pengajaran dan pelatihan,
proses, cara mendidik. Kondisinya pendidikan menjadi hal yang paling sering
dibahas, karena lewat pendidikanlah sesuatu perubahan dimulai. Penciptaan
generasi muda yang memiliki kemampuan ilmu pengetahuan yang dengan ilmu
pengetahuan itu dapat melakukan pembangunan di segala bidang merupakan alasan
umum mengapa pendidikan menjadi begitu penting.
Sesuai dengan amanat
Undang-undang Dasar 45 pasal 31: (1) Setiap warga negara berhak mendapat
pendidikan. (2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah
wajib membiayainya. (3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu
sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta
akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan
Undang-Undang. (4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan
sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara
serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan
penyelenggaraan pendidikan nasional. (5) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan
dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa
untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.
Menurut Ki Hajar
Dewantoro di dalam buku pengantar ilmu pendidikan menyatakan bahwa, “Pendidikan
adalah daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin,
karakter, pikiran (intelek) dan tubuh anak untuk memajukan kehidupan anak didik
selaras dengan dunianya”. Dalam pendidikan tidak terlepas dari sistem
pembelajaran. Bagian suatu sistem yang melaksanakan fungsi untuk menunjang
usaha mencapai tujuan sistem disebut komponen. Dengan demikian, jelaslah bahwa
sistem itu terdiri atas komponen – komponen dan masing – masing komponen itu
mempunyai fungsi khusus. Semua komponen dalam sistem pembelajaran haruslah
saling berhubungan satu sama lain. Sebagai misal dalam proses pembelajaran di
sajikan penyampaian pesan melalui media, maka diperlukan adanya aliran listrik
untuk membantu memberikan sinar. Jika aliran listrik tidak berfungsi, akan
menimbulkan kesulitan bagi guru dalam melangsungkan pembelajaran. Dengan dasar
inilah, pendekatan sistem dalam pembelajaran memerlukan hubungan antara
komponen yang satu dengan lainnya.
Berbagai permasalahan
seringkali menghambat peningkatkan mutu pendidikan nasional, khususnya di
daerah tertinggal atau terpencil, yang pada akhirnya mewarnai perjalanan
pendidikan di Indoensia. Di suatu daerah tertinggal masih banyak dijumpai
kondisi di mana anak-anak belum terlayani pendidikannya. Angka putus sekolah
yang masih tinggi. Juga masalah kekurangan guru, walaupun pada sebagain daerah,
khususnya daerah perkotaan persediaan guru berlebih. Sarana dan prasarana yang
belum memadai. Itulah sederat fakta-fakta yang menghiasai wajah pendidikan kita
di daerah permasalahan seringkali menghambat peningkatkan mutu pendidikan
nasional, khususnya di daerah tertinggal atau tertinggal, yang pada akhirnya
mewarnai perjalanan pendidikan di Indoensia.
Di suatu daerah
tertinggal masih banyak dijumpai kondisi di mana anak-anak belum terlayani pendidikannya.
Angka putus sekolah yang masih tinggi. Juga masalah kekurangan guru, walaupun
pada sebagain daerah, khususnya daerah perkotaan persediaan guru berlebih.
Sarana dan prasarana yang belum memadai. Itulah sederat fakta-fakta yang
menghiasai wajah pendidikan kita di daerah tertinggal.
Sarana komunikasi yang
kurang baik dan jauhnya daerah dari pusat pemerintahan menjadi salah satu
penyebab tertinggalnya daerah dari pembangunan pendidikan. Pemberlakuan
Undang-undang No. 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah mengisyaratkan pada kita
mengenai perkembangan daerah-daerah dengan suasana yang lebih kondusif dan
demokratis. Namun ternyata hal ini juga berimbas pada pendidikan.
Sebenarnya, masih banyak
daerah yang belum siap menerima kebijakan pemerintah yang baru yang menyerahkan
kebebasan pada pemerintah daerah untuk mengatur pendidikan yang selama ini
selalu berbasis pada pemerintah pusat. Hal ini dapat terlihat dari
ketidaksiapan daerah yang tertinggal dalam menghadapi situasi ini. Terlihat
dari sarana dan prasarana yang kurang memadai seperti akses jalan menuju
sekolah, bangunan sekolah yang rapuh, serta buku-buku yang digunakan dalam
mengajar.
Hal tersebut berhubungan
erat dengan masalah dana yang kurang tersedia di setiap daerah. Ini menjadi
masalah yang mendasar bagi pemerintah daerah, kecuali jika pemerintah pusat
dapat membantu mereka mengatasi masalah ketersediaan dana ini. Yang kedua
adalah masalah Sumber Daya Manusia (SDM) yang belum memadai. Tidak hanya
mengenai kuantitasnya namun juga kualitasnya yang jauh dibawah standar
kelayakan. Masih terdapat beberapa daerah yang SDM nya masih belum memadai dan
mengerti bagaimana konsep pendidikan yang sebaiknya diterapkan. Terlihat juga
dari tenaga pengajar yang kebanyakan honorer. Banyak dari tenaga pengajar tersebut
merupakan relawan yang bersedia membantu mengajar .
Pendidikan hingga tahun
2005 menunjukkan, bangunan SD dan SMP di daerah tertinggal di Sumatera Utara
berjumlah 9.735 unit, dengan 63.997 kelas. Sedangkan jumlah siswa sebanyak
2.002.371 orang. Sedangkan jumlah tenaga guru yang ada sebatas 84.241 orang.
Beberapa daerah yang
tertinggal mempunyai Anggaran Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang sangat rendah,
hal ini menyebabkan mereka merasa sangat berat untuk dapat menyelenggarakan
pendidikan dengan layak. “Karena anggarana Pendapatan Asli Daerah (PAD) mereka
sangat rendah, beberapa daerah yang selama ini kita kenal dengan daerah
tertinggal merasa keberatan untuk langsung menerima beban kewenangan kebijakan
desentralisasi pendidikan ini. Pembiayaan pembangunan yang mereka lakukan
selama ini banyak ditunjang oleh pusat atau propinsi. Pendapatan asli daerah
mereka tergolong masih sangat rendah” (Chan, Sam, 2006)
Masalah lain, yaitu
masyarakat daerah tertinggal adalah masyarakat yang gamang atau takut terhadap
upaya pembaruan. Perubahan kurikulum, uji coba model, dan uji coba mekanisme
sering dianggap para pengajar sebagai sebuah malapetaka atau setidaknya menjadi
beban yang cukup berat untuk mereka. Serta LSM yang bergerak di bidang
pendidikan masih kurang.
10. Upaya Mengatasi Ketertinggalan Pendidikan Di
Daerah Tertinggal ( Wieny Manuela Yakoba Thesya )
Cara melaksanakan
pendidikan sudah tentu tidak terlepas dari tujuan pendidikan, sebab pendidikan
yang dimaksud di sini ialah pendidikan yang dilakukan di bumi untuk kepentingan bangsa. Aspek ketuhanan
sudah dikembangkan dengan banyak cara seperti melalui pendidikan-pendidikan
agama di sekolah maupun di perguruan tinggi, melalui ceramah-ceramah agama di
masyarakat, melalui kehidupan beragama di asrama-asrama, lewat mimbar-mimbar
agama dan ketuhanan di televisi, melalui radio, surat kabar dan sebagainya.
Bahan-bahan yang diserap melalui media itu akan berintegrasi dalam rohani para
siswa/mahasiswa.
Pengembangan
pikiran sebagian besar dilakukan di sekolah-sekolah atau perguruan-perguruan
tinggi melalui bidang studi-bidang studi yang mereka pelajari. Pikiran para
siswa/mahasiswa diasah melalui pemecahan soal-soal, pemecahan berbagai masalah,
menganalisis sesuatu serta menyimpulkannya. Seperti yang telah kita ketahui,
kualitas pendidikan di Indonesia semakin memburuk. Hal ini terbukti dari
kualitas guru, sarana belajar, dan murid-muridnya. Guru-guru tentuya punya
harapan terpendam yang tidak dapat mereka sampaikan kepada siswanya. Memang,
guru-guru saat ini kurang kompeten. Banyak orang yang menjadi guru karena tidak
diterima di jurusan lain atau kekurangan dana. Kecuali guru-guru lama yang
sudah lama mendedikasikan dirinya menjadi guru. Selain berpengalaman mengajar
murid, mereka memiliki pengalaman yang dalam mengenai pelajaran yang mereka
ajarkan. Belum lagi masalah gaji guru. Jika fenomena ini dibiarkan berlanjut,
tidak lama lagi pendidikan di Indonesia akan hancur mengingat banyak guru-guru
berpengalaman yang pensiun.
Sarana
pembelajaran juga turut menjadi faktor semakin terpuruknya pendidikan di
Indonesia, terutama bagi penduduk di daerah terbelakang. Namun, bagi penduduk
di daerah terbelakang tersebut, yang terpenting adalah ilmu terapan yang
benar-benar dipakai buat hidup dan kerja. Ada banyak masalah yang menyebabkan
mereka tidak belajar secara normal seperti kebanyakan siswa pada umumnya,
antara lain guru dan sekolah.
·
Penyebab Rendahnya Kualitas Pendidikan
Di bawah ini
akan diuraikan beberapa penyebab rendahnya kualitas pendidikan secara umum,
yaitu:
1.
Efektifitas Pendidikan
2.
Efisiensi Pengajaran
3.
Standardisasi
Pendidikan
Selain beberapa
penyebab rendahnya kualitas pendidikan di atas, berikut ini akan dipaparkan
pula secara khusus beberapa masalah yang menyebabkan rendahnya kualitas
pendidikan
sebagai berikut :
1. Rendahnya
Kualitas Sarana Fisik
Untuk sarana
fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang gedungnya
rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak
lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi
tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki
gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan
sebagainya.
2. Rendahnya
Kualitas Guru
Keadaan guru di
Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki
profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut
dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan
pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan
pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat.
3. Rendahnya
Prestasi Siswa
Dengan keadaan
yang demikian itu (rendahnya sarana fisik, kualitas guru, dan kesejahteraan
guru) pencapaian prestasi siswa pun menjadi tidak memuaskan. Sebagai misal
pencapaian prestasi fisika dan matematika siswa Indonesia di dunia
internasional sangat rendah. Menurut Trends in Mathematic and Science Study
(TIMSS) 2003 (2004), siswa Indonesia hanya berada di ranking ke-35 dari 44
negara dalam hal prestasi matematika dan di ranking ke-37 dari 44 negara dalam
hal prestasi sains. Dalam hal ini prestasi siswa kita jauh di bawah siswa
Malaysia dan Singapura sebagai negara tetangga yang terdekat.
4. Kurangnya
Pemerataan Kesempatan Pendidikan
Kesempatan
memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat Sekolah Dasar. Data Balitbang
Departemen Pendidikan Nasional dan Direktorat Jenderal Binbaga Departemen Agama
tahun 2000 menunjukan Angka Partisipasi Murni (APM) untuk anak usia SD pada
tahun 1999 mencapai 94,4% (28,3 juta siswa). Pencapaian APM ini termasuk
kategori tinggi. Angka Partisipasi Murni Pendidikan di SLTP masih rendah yaitu
54, 8% (9,4 juta siswa). Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih
sangat terbatas. Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya tentu akan
menghambat pengembangan sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu
diperlukan kebijakan dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk
mengatasi masalah ketidakmerataan tersebut.
5. Mahalnya
Biaya Pendidikan
Pendidikan
bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya
biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan.
Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi
(PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak
bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah.
Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang
Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik
publik ke bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis
amat besar. Dengan perubahan status itu Pemerintah secara mudah dapat
melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan
hukum yang sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun berubah menjadi
Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS adalah beberapa contoh
kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada
melambungnya biaya pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi favorit.
Dari APBN 2005 hanya 5,82% yang dialokasikan untuk
pendidikan. Bandingkan dengan dana untuk membayar hutang yang menguras 25%
belanja dalam APBN (www.kau.or.id). Rencana Pemerintah memprivatisasi
pendidikan dilegitimasi melalui sejumlah peraturan, seperti Undang-Undang Sistem
Pendidikan Nasional, RUU Badan Hukum Pendidikan, Rancangan Peraturan Pemerintah
(RPP) tentang Pendidikan Dasar dan Menengah, dan RPP tentang Wajib Belajar.
Penguatan pada privatisasi pendidikan itu, misalnya, terlihat dalam Pasal 53
(1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam pasal
itu disebutkan, penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan
oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.
·
Solusi dari Permasalahan-permasalahan Pendidikan di Indonesia
Untuk mengatasi
masalah-masalah di atas, secara garis besar ada dua solusi yang dapat diberikan
yaitu:
Pertama, solusi sistemik, yakni solusi
dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan.
Kedua, solusi teknis, yakni solusi yang
menyangkut hal-hal teknis yang berkait langsung dengan pendidikan. Solusi ini
misalnya untuk menyelesaikan masalah kualitas guru dan prestasi siswa.
Maka, solusi
untuk masalah-masalah teknis dikembalikan kepada upaya-upaya praktis untuk meningkatkan
kualitas sistem pendidikan. Rendahnya kualitas guru, misalnya, di samping
diberi solusi peningkatan kesejahteraan, juga diberi solusi dengan membiayai
guru melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, dan memberikan
berbagai pelatihan untuk meningkatkan kualitas guru. Rendahnya prestasi siswa,
misalnya, diberi solusi dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas materi
pelajaran, meningkatkan alat-alat peraga dan sarana-sarana pendidikan, dan
sebagainya.
Adapun solusi yang dapat diberikan dari permasalahan di
atas antara lain dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan
sistem pendidikan, dan meningkatkan kualitas guru serta prestasi siswa.Perkembangan
dunia di era globalisasi ini memang banyak menuntut perubahan kesistem pendidikan
nasional yang lebih baik serta mampu bersaing secara sehat dalam segala bidang.
Salah satu cara yang harus di lakukan bangsa Indonesia agar tidak semakin
ketinggalan dengan negara-negara lain adalah dengan meningkatkan kualitas
pendidikannya terlebih dahulu.
Dengan
meningkatnya kualitas pendidikan berarti sumber daya manusia yang terlahir akan
semakin baik mutunya dan akan mampu membawa bangsa ini bersaing secara sehat
dalam segala bidang di dunia internasional.
No comments:
Post a Comment