Tuesday, April 3, 2018

ETIKA (PERILAKU)



FILSAFAT ETIKA

Pengertian Filsafat Etika
Pengertian Etika(Etimologi), berasal dari bahasa Yunani adalah “Ethos”, yang berarti watak kesusilaan atau adat kebiasaan(custom). Etika biasanya berkaitan erat dengan perkataan moral yang merupakan istilah dari bahasa Latin, yaitu “Mos” dan dalam bentuk jamaknya “Mores”, yang berarti juga adat kebiasaan atau cara hidup seseorang dengan melakukan perbuatan yang baik (kesusilaan), dan menghindari hal-hal tindakan yang buruk. Etika dan moral lebih kurang sama pengertiannya, tetapi dalam kegiatan sehari-hari terdapat perbedaan, yaitu moral atau moralitas untuk penilaian perbuatan yang dilakukan, sedangkan etika adalah untuk pengkajian sistem nilai-nilai yang berlaku.
Etika adalah ilmu yang membahas perbuatan baik dan perbuatan buruk manusia sejauh yang dapat dipahami oleh pikiran manusia.
Menurut para ahli maka etika tidak lain adalah aturan prilaku, adat kebiasaanmanusia dalam pergaulan antara sesamanya dan menegaskan mana yang benardan mana yang buruk. Perkataan etika atau lazim juga disebut etik, berasal darikata Yunani ETHOS yang berarti norma-norma, nilai-nilai, kaidah-kaidah danukuran-ukuran bagi tingkah laku manusia yang baik, seperti yang dirumuskanoleh beberapa ahli berikut ini :
1. Drs. O.P. SIMORANGKIR : etika atau etik sebagai pandangan manusia dalam berprilaku menurut ukuran dan nilai yang baik.
2. Drs. Sidi Gajalba dalam sistematika filsafat : etika adalah teori tentang tingkah laku perbuatan manusia dipandang dari segi baik dan buruk, sejauh yangdapat ditentukan oleh akal.
3. Drs. H. Burhanudin Salam : etika adalah cabang filsafat yang berbicaramengenai nilai dan norma moral yang menentukan prilaku manusia dalamhidupnya.
hedonisme
Tingkah laku atau perbuatan yang melahirkan kebahagiaan dan kenikmatan/kelezatan”. Ada tiga sudut pandang dari faham ini yaitu (1) hedonisme individualistik/egostik hedonism yang menilai bahwa jika suatu keputusan baik bagi pribadinya maka disebut baik, sedangkan jika keputusan tersebut tidak baik maka itulah yang buruk; (2) hedonisme rasional/rationalistic hedonism yang berpendapat bahwa kebahagian atau kelezatan individu itu haruslah berdasarkan pertimbangan akal sehat; dan (3) universalistic hedonism yang menyatakan bahwa yang menjadi tolok ukur apakah suatu perbuatan itu baik atau buruk adalah mengacu kepada akibat perbuatan itu melahirkan kesenangan atau kebahagiaan kepada seluruh makhluk.
Etika sebagai cabaang dari ilmu filsafat dapat kita pahami bahwa istilah yang digunakan untunk member batasan dalam tingkah laku manusia mana yang baik dan mana yang buruk.etika dan filsafat sama-sama membahas tentang perbuatan yang dilakukan oleh manusia. Sedangkan etika adalah Etika pun berasal dari (Yunani Kuno: "ethikos", berarti "timbul dari kebiasaan") atau ethos yang berate kebiasaan atau watak, yaitu sesuatu dimana dan bagaimana cabang utama filsafat yang mempelajari nilai atau kualitas yang menjadi studi mengenai standar dan penilaian moral. Amoral berarti tidak berkaitan dengan moral, netral etis. Immoral berarti tidak bermoral, tidak etis. Etika berbeda dengan etiket. Yang terakhir ini berasal dari kata Inggris etiquette, yang berarti sopan santun. Perbedaan keduanya cukup tajam, antara lain: etiket menyangkut cara suatu perbuatan harus dilakukan, etika menunjukkan norma tentang perbuatan itu. Etiket hanya berlaku dalam pergaulan, etika berlaku baik baik saat sendiri maupun dalam kaitannya dengan lingkup sosial. etiket bersifat relatif, tergantung pada kebudayaan, etika lebih absolut. Etiket hanya berkaitan dengan segi lahiriyah, etika menyangkut segi batiniah. Beberapa ahli telah merumuskan pengertian kata etika atau lazim juga disebut etik, yang berasal dari kata Yunani ETHOS tersebut sebagai berikut ini :
-          Drs. O.P. SIMORANGKIR : etika atau etik sebagai pandangan manusia dalam berprilaku menurut ukuran dan nilai yang baik.
-          Drs. Sidi Gajalba dalam sistematika filsafat : etika adalah teori tentang tingkah laku perbuatan manusia dipandang dari segi baik dan buruk, sejauh yang dapat ditentukan oleh akal.
-          Drs. H. Burhanudin Salam : etika adalah cabang filsafat yang berbicara mengenai nilai dan norma moral yang menentukan prilaku manusia dalam hidupnya.
-          Menurut Martin [1993], etika didefinisikan sebagai "the discipline which can act as the performance index or reference for our control system". Dengan demikian, etika akan memberikan semacam batasan maupun standard yang akan mengatur pergaulan manusia didalam kelompok sosialnya.
Etika sungguh sangat penting sekali bagi kita. Dimanapun kita berada, sedang apapun kita harus mempunyai etika tidak terkecuali etika ketika kita berada di dalam kampus. Seperti contohnya: Jika dosen sedang menjelaskan janganlah kita malah ngobrol dengan teman sebelah. Etika penting bukan hanya pada etika sebagai mahasiswa saja, tapi etika kita sebagai anggota keluarga juga sangat penting. Contohnya seperti:Pada saat kita sedang berbicara pada orang tua, janganlah kita bicara dengan suara yang tinggi. Kecuali pendengaran orang tua kita sedikit agak terganggu. Secara etimologis etika dapat di artikan sebagai ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau suatu ilmu tentang adat kebiasaan (K.Bertens, 2000). Etika merupakan suatu ilmu yang membahas perbuatan baik dan buruk manusia yang dapat dipahami oleh pikiran manusia. Etika berkenaan dengan disiplin ilmu yang mempelajari nilai-nilai yang dianut oleh manusia beserta pembenaranya dan dalam hal ini etika termasuk dalam salah satu cabang filsafat. Etika merupakan pokok permasalahan di dalam disiplin ilmu itu sendiri yaitu nilai-nilai hidup dan hokum-hukum yang mengatur tingkah laku manusia. Menurut ahli Frankena mengemukakan bahwa etika(ethics) merupakan salah satu cabang filsasfat yang mencakup filsafat moral atau pembenaran-pembenaran filosofis(philosophical judgements). Sebagai salah satu filsafah, etika berkenaan denganmoralitas beserta persoalna-persoalan dan pembenaran-pembenaranya. Etika cenderung dipandang sebagai suatu cabang ilmu dalam filsafat yang mempelajari nilai-nilai baik dan buruk bagi manusia. De Vos bahkan secara eksplisit mengatakan bahwa etika adalah ilmu pengetahuan tentang kesusilaan atau moral. Disamping itu, etika lebih banyak dikaitkan dengan prinsip-prinsip moral yang menjadi landasan bertindak seseorang yang mempunyai profesi tertentu. Istilah – istilah sebagai etika kedokteran, etika jurnalistik,etika hokum semuanya menunjukan adanya asas moral dalam suatu profesi. Tempat pertama kali disusunnya cara-cara hidup yang baik dalam suatu sistem dan dilakukan penyelidikan tentang soal tersebut sebagai bagian filsafat. Menurut Poespoproddjo, kaum Yunani sering mengadakan perjalanan ke luar negeri itu menjadi sangat tertarik akan kenyataan bahwa terdapat berbagai macam kebiasaan, hukum, tata kehidupan dan lain-lainnya. Bangsa Yunani mulai bertanya apakah miliknya, hasil pembudayaan negara tersebut benar-benar lebih tinggi karena tiada seorang pun dari Yunani yang akan mengatakan sebaliknya, maka kamudian diajukanlah pertanyaan mengapa begitu? Kemudian diselidikinya semua perbuatan dan lahirlah cabang baru dari filsafat yaitu etika. Jejak-jejak pertama sebuah etika muncul dikalangan murid Pytagoras. Kita tidak tahu banyak tentang pytagoras. Ia lahir pada tahun 570 SM di Samos di Asia Kecil Barat dan kemudian pindah ke daerah Yunani di Italia Selatan. Ia meninggal 496 SM. Di sekitar Pytagoras terbentuk lingkaran murid yang tradisinya diteruskan selama dua ratus tahun. Menurut mereka prinsip-prinsip matematika merupakan dasar segala realitas. Mereka penganut ajaran reinkarnasi. Menurut mereka badan merupakan kubur jiwa (soma-sema,”tubuh-kubur”). Agar jiwa dapat bebas dari badan, manusia perlu menempuh jalan pembersihan. Dengan bekerja dan bertapa secara rohani, terutama dengan berfilsafat dan bermatematika, manusia dibebaskan dari ketertarikan indrawi dan dirohanikan. Seratus tahun kemudian, Demokritos (460-371 SM) bukan hanya mengajarkan bahwa segala apa dapat dijelaskan dengan gerakan bagian-bagian terkecil yang tak terbagi lagi, yaitu atom-atom. Menurut Demokritos nilai tertinggi adalah apa yang enak. Dengan demikian, anjuran untuk hidup baik berkaitan dengan suatu kerangka pengertian hedonistik. Sokrates (469-399 SM) tidak meninggalkan tulisan. Ajarannya tidak mudah direkonstruksi karena bagian terbesar hanya kita ketahui dari tulisan-tulisn Plato. Dalam dialog-dialog palto hampir selalu Sokrates yang menjadi pembicara utama sehingga tidak mudah untuk memastikan pandangan aslinya atau pandangan Plato sendiri. Melalui dialog Sokrates mau membawa manusia kepada paham-paham etis yang lebih jelas dengan menghadapkannya pada implikasi-implikasi anggapan-anggapannya sendiri. Dengan demikian, manusia diantar kepada kesadaran tentang apa yang sebenarnya baik dan bermanfaat. Dari kebiasaan untuk berpandangan dangkal dan sementara, manusia diantar kepada kebijaksanaan yang sebenarnya. Plato (427 SM) tidak menulis tentang etika. Buku etika pertama ditulis oleh Aristoteles  (384 SM). Namun dalam banyak dialog Plato terdapat uraian-uraian bernada etika. Itulah sebabnya kita dapat merekontruksi pikiran-pikiran Plato tentang hidup yang baik.  Intuisi daar Plato tentang hidup yang baik itu mempengaruhi filsafat dan juga kerohanian di Barat selama 2000 tahun. Baru pada zaman modern paham tentang keterarahan objektif kepada Yang Ilahi dalam segala yang ada mulai ditinggalkan dan diganti oleh pelbagai pola etika; diantaranya etika otonomi kesadaran moral Kant adalah yang paling penting. Etika Plato tidak hanya berpengaruh di barat, melainkan lewat Neoplatoisme juga masuk ke dalam kalangan sufi Muslim.  Disinilah nantinya jalur hubungan pemikiran filsafat Yunani dengan pemikir muslim seperti Ibnu Miskawaih yang banyak mempelajari filsafat Yunani sehingga mempengaruhi tulisan-tulisannya mengenai filsafat etika. Setelah Aristoteles, Epikuros (314-270 SM) adalah tokoh yang berepengaruh dalam filsafat etika. Ia mendirikan sekolah filsafat di Athena dengan nama Epikureanisme , akan menjadi salah satu aliran besar filsafat Yunani pasca Aristoteles. Berbeda dengan Plato dan Aristoteles, berbeda juga dengan Stoa, Epikuros dan murid-muridnya tidak berminat memikirkan, apalagi masuk ke bidang politik. Ciri khas filsafat Epikuros adalah penarikan diri dari hidup ramai. Semboyannya adalah  “hidup dalam kesembunyian“. Etika Epikurean bersifat privatistik. Yang dicari adalah kebahagiaan pribadi. Epikuros menasihatkan orang untuk menarik diri dari kehidupan umum, dalam arti ini adalah individualisme. Namun ajaran Epikuros tidak bersifat egois. Ia mengajar bahwa sering berbuat baik lebih menyenangkan daripada menerima kebaikan.  Bagi kaum Epikurean, kenikmatan lebih bersifat rohani dan luhur  daripada jasmani. Tidak sembarang keinginan perlu dipenuhi. Ia membedakan antara keinginan alami yang perlu (makan), keinginan alami yang tidak perlu (seperti makanan yang enak), dan keinginan sia-sia (seperti kekayaan).Keterkaitan etika terhadap moral sangatlalh erat. Etika membatasi dirinya dari disiplin ilmu lain dengan pertanyaan apa itu moral? Ini merupakan bagian terpenting dari pertanyaan-pertanyaan seputar etika. Tetapi di samping itu tugas utamanya ialah menyelidiki apa yang harus dilakukan manusia. Semua cabang filsafat berbicara tentang yang ada, sedangkan filsafat etika membahas yang harus dilakukan. Selain itu etika bisa disebut sebagai ilmu tentang baik dan buruk atau kata lainnya ialah teori tentang nilai. Dalam Islam teori nilai mengenal lima ketegori baik-buruk, yaitu baik sekali, baik, netral, buruk dan buruk sekali. Nilai ditentukan oleh Tuhan, karena Tuhan adalah maha suci yang bebas dari noda apa pun jenisnya. Tetapi tujuan etika itu sendiri ialah bagaimana mengungkap perbedaan kebaikan dan keburukan sejelas-jelasnya sehingga mendorong manusia terus melangkah pada kebaikan. Kebaikan itu sendiri menurut ibnu Sina sangat erat kaitannya dengan kesenangan. Kebaikan itu membuat manusia lebih sempurna dalam suatu hal. Kebaikan terbaik berkaitan dengan kesempurnaan roh manusia. dengan demikian kejahatan merupakan sejenis ketidak sempurnaan. Tujuan hidup ialah untuk menghentikan kesenangan duniawi sebagai suatu yang diinginkan dan mengembangkan serta menyempurnakan roh dengan cara bertindak menurut kebajikan-kebajikan rasional. Roh yang demikian berada sangat dekat dengan sumber ketuhanannya dan ingin bersekutu dengannya dan dengan arahnya itu ia mencapai kebahagiaan abadi. Sedangkan menurut teori hedonisme Yunani kuno mengajarkan bahwa kebaikan itu merupakan sesuatu yang mengandung kepuasan atau kenikmatan. Sedangkan aliran pragmatisme mengajarkan bahwa segala sesuatu yang baik dalam kehidupan adalah yang berguna secara praktis. Sama beda dengan aliran utilitarianisme yang mengajarkan bahwa yang baik adalah yang berguna. Persoalan moralitas dalam hubungannya dengan interaksi antar manusia merupakan persoalan utama pada zaman ini. Beberapa persoalan krusial yang muncul, antara lain adalah bagaimana manusia harus bersikap menghadapi perkembangan teknologi yang pesat pada abad ini, bagaimana bangsa-bangsa dunia menghadapi pemanasan global, bagaimana harus memlihara perdamaian secara bersama-sama dalam masyarakat yang sangat plural. Semua itu masuk ke dalam problematika etika yang perlu dipikirkan dengan segera. Kenyataan yang ada pada saat ini bahwa kemajuan teknologi informasi telah berkembang lebih cepat dari pada pemahaman terhadap nilai-nilai.  Menurut K. Bertens, (2007:31), situasi etis pada zaman modern ini ditandai oleh tiga ciri antara lain:
a)      Adanya pluralitas moral;
b)      Munculnya masalah-masalah etis baru yang sebelumnya tidak ada;
c)      Munculnya kesadaran baru di tingkat dunia yang nampak jelas dengan adanya kepedulian etis yang universal. Maka dari itu setidaknya terdapat empat alasan perlunya etika pada zaman ini (Franz magnis Suseno, 1993: 15).

NILAI DAN ETIKA
            Nilai adalah standar atau ukuran (norma) yang kita gunakan untuk mengukur segala sesuatu. Pengertian lain adalah bahwa nilai standar menurut tingkah laku dalam menentukan apa yang indah, efisien dan berharga. Nilai itu bersifat abstrak yang memerlukan pemahaman yang lebih mendalam untuk dapat digunakann sebagai tujuan dalam bersikap dan berbuat sehingga nilai berkaitan dengan cara berpikir, cara bersikap, dan cara bertindak. Nilai adalah unsur budaya dan produk budaya sehingga nilai memerlukan pemeliharaan dalam bentuk kekuatan komitmen dari setiap individu dan masyarakat para pendukungnya.
            Kita mengatakan bahwa nilai perbuatan kita sebagian diusahakan dari hubungan dari segala sesuatu yang bersifat eksternal, seperti harta, uang dan pakaian indah. Sebagian lagi memiliki nilai pada milleunnya sendiri dalam diri kita tanpa melihat pertimbangan eksternal. Terdapat tiga nilai yang ada pada diri manusia :

a.      Nilai Kebenaran
Tercermin dalam penilaian yang kita keluarkan tentang benar atau salah, hak atau batil tentang sesuatu, perilaku, ucapan, pikiran atau perbuatan. Dalam ,menjelaskan kebenaran bersandar pada standar yang membatasi kebenaran dan kedustaannya. Akan tetapi standar hakikat itu berbeda-beda sesuai gambaran berikut :
1.     Dalam Logika Formal
Kebanyakan ahli logika menganggap bahwa hukum-hukum berpikir ini sama dengan prinsip-prinsip utama yang mendahului pengalaman. Oleh karena itu ia adalah kebenaran dan kesalahan, kejujuran, atau kedustaan.

2.     Dalam Logika Eksperimental
Dalam hal ini pengalaman menjadi standar bagi kebenaran. Apa yang ditegskan oleh pengalaman adalah benar. Jika sebaliknya berarti salah. Dalam kerangka ini mazhab pragmatisme menetapkan bahwa konsep yang benar terlihat dari produk-produk praktisnya yang berguna dalam dunia pengalaman. Sebaliknya, konsep terrsebut dinyatakan salah, jika tidak berhasil merealisir produk-produk ini.
3.     Dalam Agama-Agama Samawi
Hukum menjadi benar, jika sesuai dengan apa yang disampaikan oleh wahyu dan dikatakan dusta jika menyalahinya.

b.     Nilai Kebaikan
Nilai ini tampak dalam penilaian kita terhadap perilaku manusia dengan standar sifat utama dan tercela, nikmat dan sakit, bermanfaat dan berbahaya atau bahagia dan sengsara. Aristoteles menemukan bahwa manusia mengartikan kebaikan dengan banyak makna. Misal, kebaikan itu adalah kelezatan (kesenangan) nyata yang bebas dari rasa sakit, ada juga yang mengartikan kebaikan dengan memiliki kekayaan dan harta yang banyak, keluarga yang banyak atau memiliki ilmu pengetahuan. Kita tidak boleh menggantungkan kebahagiaan terhadap harta, popularitas, keindahan tubuh, serta hal-hal lain yang tidak mudah kita capai, yakinlah bahwa kita tidak akan pernah menemukan jalan yang pasti untuk mencapainya, bahkan terkadang kita terjatuh dalam kekecewaan karena kita tak mampu mewujudkannya.
Aristoteles menyimpulkan bahwa kebahagiaan kita ada pada apa yang kita pilih dengan kehendak merdeka kita sendiri dan kita dapat mewujudkannya untuk kita, kapan saja kita kehendaki. Kehendak merdeka adalah sesuatu yang selalu baik dan suci, maka yang dipilih hanyalah yang baik dan bagus untuk manusia sebagai makhluk hidup yang berakal, bukan sebagai hewan yang hidup dengan tabiat hewani.

c.      Nilai Keindahan
Nilai diatas tampak pada penilaian–penilaian kita mengeni keindahan terhadap berbagai hal yang indah yang kita jumpai. Dengan demikian kita merasakan keindahan dengan tingkatan- tingkatan yang berbeda-beda pada objek inderawi, sebagaimana kita juga menemukannya pada obyek abstrak. Jadi kita merasakan keindahan dan perasaan pada jenis pengetahuan langsung terhadap indahnya sesuatu yang kita pandang atau ia adalah hubungan langsung antara yang indah dengan manusia yang menikmatinya. Oleh karena itu  sebagian filsuf estetika seperti Al-Ghazali dan Plato, memandang bahwa kenikmatan estetis dari suatu entitas itu dicari karena keindahan millieunya ( keindahan obyektif) dan bukan karena selera yang terkait dengan manfaat pribadi (keindahan subyektif).
Jadi, manusia mencari kebenaran dalam bentuknya yang tertinggi, mencari kebaikan dalam bentuknya yng paling sempurna serta mencari keindahan dalam bentuknya yang paling indah sebagai tujuan-tujuan tertinggi dalam kehidupan mereka dan sebagai  standar-standar untuk menentikan perilaku mereka. Berikut ini merupakn karakter manusia dan eksistensi mutlak :
1.     Kesatuan Tabiat Alami Manusia
Karakter ini ada pada semua orang. Kita melihat bahwa manusia mencari idealisme-idealisme sebagai tujuan tertinggi yang mereka usahakan untuk diwujudkan. Dalam pencarian terhadap hakikat ini mereka melihat ada sebuah keindahan. Jadi kebenarannya  tidak bisa dideskripsikan selain dengan sesuatu yang baik dan indah.
2.     Kesatuan Eksistensi Mutlak
Nilai-nilai tersebut merupakan wujud atau bukti lain atas kesempurnaan. Nilai-nilai  ini mencerminkn sesuatu adanya wujud yang sempurna. Kesempurnaannya berarti bahwa ia adalah wujud mutlak yang tidak akan ada, kecuali Yang satu, Yang benar, Yang baik, Yang Indah pada Dzatnya. Dialah Alloh SWT. Sumber setiap kebenaran, tempat munculnya setiap kebaikan serta sumber dari setap keindahan di alam kosmik ini.

MANUSIA DAN ETIKA
            Nilai-nilai itu merupakan sesuatu yang khusus untuk manusia, dalam kepastiannya sebagai makhluk berakal yang mencari hakikat dalam dirinya dan wujud yang terbentang di sekitarnya. Ia menginginkan kebaikan untuk dirinya, juga untuk orang lain, serta mencari keindahan untuk dinikmati dan untuk mengasah emosi serta perasaannya.
            Jadi perilaku yang seyogyanya ada adalah perilaku kesenangan inderawi sebagai nilai tertinggi (ideal) yang mewujudkan kebahagiaan inderawi manusia. Atas dasar inilah etika itu ditegakkan, karena ia merupakan suatu etika adaptasi terhadap alam dengan kadar (ukuran) yang dapat memelihara kesehatan jasmani dan rohani manusia sebagai syarat bagi kebahagiaan. Kesehatan mental bergantung pada keselamatan dan kesehatan badan. “Jiwa yang sehat terdapat dalam tubuh yang sehat” (men sana in corpore sano). Kebaikan yang paling ideal manusia tidak terletak pada perilaku yang tumbuh dari karakter hewaninya. Namun kebaikan ideal itu ada pada tingkatan yang sesuai dengan kemuliaan manusia sebagai makhluk yang berpikir dan berkehendak yang tidak dibatasi oleh hukum-hukum alam inderawi.
            Kita mengetahui bahwa etika merupakan suatu ungkapan tentang: pertama, salah satu sifat atau keadaan jiwa yang tampak pada perilaku manusia, dimana penilaian kita terhadap manusia tertentu bahwa ia adalah utama atau tidak utama, baik atau tidak baik, sama dengan penilaian kita terhadap diri manusia  dalm jiwanya dengan melihat perbuatan-perbuatannya. Oleh karena itu, tidak cukup bahwa seseorang melakukan perbuatan baik sekali waktu, atau perbuatan tidak baik sekali waktu, lalu kita menilainya bahwa ia mulia atau tidak mulia, baik atau jahat. Karena boleh jadi niatnya pada waktu itu bertentangan dengan perilaku lahirnya. Oleh karena itu, perbuatan etik tidak diukur dengan fenomena-fenomenanya atau produk-produknya, tetapi diukur dengan kondisi (keadaan) jiwa yang baik dan utama.
            Kedua, meskipun etika merupakan salah satu sifat jiwa, namun ia tidak bersifat naluriah, dengan alasan bahwa perbedaan akhlak manusia dalam kebaikan dan keburukan.  Kemudian, sifat etis ini mencapai suatu tempat dalam jiwa seolah ia adalah tabiat orisinil yang ada padanya.
            Ketiga, karena etika (akhlak) merupakan sesuatu yang diusahakan, maka akal memiliki peran besar dalam mengusahakannya bukan karakter hewani kita (yang berperan).        “Akhlak (etika) adalah kebaikan atau kejahatan, dimana jiwa manusia diatribusikan (disifatkan) dengannya, serta terjadi lewat pengusahaan dan kebiasaan, sesuai dengan standar-standar kebaikan yang dibuat oleh manusia untuk dirinya sebagai makhluk yang berakal dan berkehendak merdeka.”

MAKNA KEBAIKAN DAN KEBURUKAN
            Aristoteles realistis ketika memahami bahwa kebaikan manusia ada pada mencari kebahagiaan (Eudemonia). Kebahagiaan itu akan datang kepada manusia, jika ia hidup dalam keseimbangan. Dalam pengertian seperti ini, Aristoteles diikuti Descartes. Namun Madzhab Hedonisme-Materialistik berjalan pada arah yang berlawanan dengan Madzhab Rasionalisme-Idealis yang dipimpin oleh Kant. Ia memahami kebaikan dengan makna kesenangan inderawi atau manfaat esensial.
            Para filsuf Inggris zaman modern yang menganut teori Persepsi-Etik telah memahami kebaikan manusia sebagai perbuatan yang jatuh dalam sensasi internal, seperti jatuhnya keindahan. Sensasi etik mengetahui keindahan dan keburukan secara langsung yang mereka namakan dengan intuisi sensasi etik. Jadi, kebaikan adalah keindahan utama, sedangkan kejahatan adalah keburukan tercela, sebagaimana persepsi sensasi etik.Yang perlu diingat adalah bahwa konsep kebaikan dan keburukan merupakan bagian yang integral dengan konsep-konsep lain yang dicakup oleh madzhab seorang filsuf tentang pengetahuan dan wujud (being).


ETIKA PRAKTIS DAN ETIKA TEORITIS
            filsafat etika berbicara moral manusia, makna kebaikan dan kejahatan, serta membahas tentang tujuan-tujuan ideal manusia dalam kapasitasnya sebagai makhluk berakal yang berkehendak bebas. Namun, para filsuf positivisme tidak menerima masuknya pembahasan etika ke dalam tema-tema kajian filsafatmya, karena mereka melihat adalah memungkinkan untuk langsung mengarah pada pengetahuan tentang kebaikan dan keburukan serta nilai-nilai manusiawi melalui kajian terhadap realitas perilaku dalam masyarakat tanpa melihat filsafat. Dari situ, kita akan melihat bahwa setiap bangsa memiliki etika yang berbeda dengan bangsa lain dalam nilai, tujuan dan pandangannya terhadap karakter manusia, sesuai dengan situasi kehidupan praktisnya. 
            Para filsuf positivisme sangat memperhatikan etika-etika positivistik dalam kehidupan praktis, seperti yang dipraktekkan manusia dalam bentuk kewajiban-kewajiban partikular terbatas. Mengikutinya berarti mendapatkan rasa senang masyarakat dan kebahagiaan individu, sedangkan mengingkarinya berkonsekuensi pada kemarahan dan permusuhan dengan masyarakat dan akan membuatnya sengsara. Kewajiban-kewajiban ini berbentuk perintah dan larangan dengan cara mengerjakan kebaikan dan menjauhi keburukan menurut pengertiannya masing-masing. Misalnya: “kunjungilah tetangga anda” , ”bantulah orang buta dijalan raya” , “ jangan ingkari janji” , “jangan berdusta” , “jangan memulai permusuhan”. Pada saat itu, orang yang mentaatinya menjadi mulia dan yang mengingkarinya menjadi tercela.   
            Menurut mereka, komitmen melaksanakan kewajiban-kewajiban praktis ini terwujud dengan membiasakan perbuatan-perbuatan etik melalui teladan dan tradisi. Etika juga berkembang bersama dengan perkembangan masyarakat, dimana hanya perbuatan-perbuatan etika kuat yang mampu menguatkan kebaikan individu dan sosial yang akan bertahan, sedangkan yang tidak memiliki kemaslahatan akan mengalami kehancuran.
            Beberapa karakteristik etika praktis, antara lain:
a.       Bahwa ia tidak memberi manusia kemampuan untuk maju dengan kaidah-kaidah praktis ke arah suatu prinsip umum yang dapat diterapkan di setiap tempat dan waktu dengan tidak melihat kemaslahatan-kemaslahatan pribadi dan sosial serta perbedaan-perbedaan kultural dalam masyarakat.
b.      Ia memerlukan suatu pemikiran teoritis yang memungkinkan seorang individu untuk mengenal hakikat kebaikan tentang apa yang ia kerjakan dan perbuatan-perbuatan yang akan ia lakukan, juga membantunya untuk membedakan antara kebaikan dan keburukan secara tepat, memilih perbuatan-perbuatannya secara rasional, sehingga kebaikan atau keburukan yang di lakukannya tidak semata-mata karena kebiasaan atau tradisi.
c.       Manakala etika-etika praktis tidak didasarkan pasa suatu kaidah teoritis dan hanya di dasarkan pada kewajiban-kewajiban partikular yang di batasi oleh perintah dan larangan tanpa fleksibilitas, maka ia tidak memiliki cakupan yang luas, melainkan terbatas pada kondisi-kondisi partikular menjadi tipikalitasnya dan tidak mampu melampauinya.
d.      Ia memiliki sifat subyektif manusia berbeda-beda dalam menerapkan kewajiban-kewajiban praktis dan dalam menafsirkan sisi etis dari kewajiban-kewajiban praktis tadi. Subyektivitas ini membuat etika-etika praktis memerlukan satu prinsip rasional umum yang menyatukan pengertian-pengertian manusia sekitar kebaikan dan keburukan.
e.       Ia menggabungkan setiap kewajiban praktis dengan kewajiban partikular tertentu, atau manfaat yang terbatas bagi individu dan masyarakat tertentu.

SUMBER – SUMBER PENGETAHUAN TENTANG KEBAIKAN
ALIRAN IDEALISME
Tercermin dalam 2 madzhab, yaitu:
1.     Madzhab Intuisionisme.
            Para filsuf berpendapat bahwa di dalam akal manusia terdapat sebagian hakikat rasional yang memiliki sifat sederhana dan jelas, serta tidak membutuhkan sesuatu  untuk menjelaskannya. Hakikat tersebut merupakan dasar rasional yang paling sederhana bagi setiap pengetahuan rasional yang menjadi tujuan manusia sekaligus menjadi dasar argumentasi atas kebenaran pemikiran yang dicapai dengan argumentasi rasional. Intuisi dalam madzhab ini merupakan suatu pengetahuan rasional  dan langsung terhadap kebaikan yang sangat jelas, atau prinsip etik sebagai prinsip umum yang jelas atau prinsip etik sebagai prinsip umum yang jelas dan tidak menerima perdebatan. 
2.     Madzhab Rasionalisme.
            Madzhab ini menilai pengetahuan manusia melalui cara deduksi rasional dengan mengambil premis- premis utama yang mendahului pengalaman. Oleh karena itu, madzhab ini tidak sampai pada pengetahuan tentang kebaikan dalam lapangan etika melalui intuisi rasional. Ada beberapa pendapat para filsuf, seperti:
a.      Sokrates
            Nilai kebaikan manusia kembali pada akal. Karena akal sebagai satu- satunya sumber pengetahuan yang benar tentang tabiat kebaikan manusia. Keterkaitan antara pengetahuan dengan kebaikan tampak jelas dalam ungkapan Sokrates: “Keutamaan adalah ilmu, dan ketercelaan adalah kebodohan”.  Dengan pengertian bahwa ketercelaan tidak tumbuh, kecuali karena tidak mengerti arti keutamaan. Kebahagiaan manusia yang merupakan kebaikan tertingginya didasarkan pada ketidakmengetiannya tentang hakikat.
b.     Plato
            Kebaikan hakiki berdasarkan pada bentuk ideal yang berdiri sendiri, yaitu dunia idea. Idea kebaikan melampaui semua ide- ide. Karena ia adalah kebaikan absolut yang dicari setiap jiwa manusia dalam kehidupannya. Akal merupakan sumber yang memperkenalkan kita pada kebaikan yang terdapat pada alam eksistensi dan diri kita. Jiwa utama memiliki 4 karakteristik utama yang diakui dengan memanfaatkan akal sebagai berikut:
Ø  Keutamaan hikmah merupakan sifat kekuatan intelektual dalam jiwa.
Ø  Kekuatan keberanian, merupakan sifat kekuatan marah dalam jiwa.
Ø  Keutamaan kebajikan, merupakan sifat kekuatan nafsu dalam jiwa.
Ø  Keutamaan keadilan, merupakan sifat jiwa sebagai totalitas. Ia tumbuh karena akal melakukan harmonisasi antara ketiga kekuatan ini. Dengan memiliki keseimbangan moral internal, manusia pun menjadi adil terhadap dirinya.

c.      Aristoteles
            Beliau membangun sebuah sumber untuk mengetahui dan memilih perbuatan utama. Akal memiliki keutamaan teoritis, yaitu hikmah. Tetapi ia baru menjadi hikmh yang bersifat praktis ketika kehendak memilih perbuatan utama sebagai perilaku praktis. Tujuan dari keutamaan adalah mewujudkan kebahagiaan spiritual bagi manusia utama.

d.     Descartes
            Dengan berpikir deduktif kita bisa membedakan antara keutamaan hakiki dan keutamaan fenomenal. Keutamaan hakiki lahir dari pengetahuan hakiki terhadap kebaikan. Sedangkan keutamaan fenomenal adalah akibat dari ketidaktahuan terhadapnya.
Descartes membatasi prinsip- prinsip etikanya sebagai berikut:
Ø  Akal dan kehendak adalah sumber perilaku utama.
Ø  Akal mengenal kebenaran secara hakiki, kehendak memilih perbuatan yang baik.
Ø  Kebaikan tertinggi tercermin pada kepuasan dan ketenangan jiwa.Nilai perilaku etika (moral) intern dalam dirinya dan tidak bersumber luar.
e.      Immanuel Kant
            Manusia tersusun dari 2 karakter, yakni inderawi dan rasional. Dengan karakter inderawi, manusia di alam semesta sama dengan benda- benda lain yang tunduk pada hukum alam, karena ia berafiliasi kepada alam lain, yaitu hakikat yang disebutnya “Alam segala sesuatu pada zatnya”.


ALIRAN EMPIRISME
·       Shopisme
·       Hedonisme
·       Epicurisme
·       Thomas Hobbes
·       Madzhab Hedonisme menurut Bentham dan Mills
·       Kaum Positivisme dan Evolusionisme

ORIENTASI RELIGIUS DALAM ISLAM
a.      Orientasi naqli (scriptural)
            Kelompok Abi Al- Jannah wal Jama’ah berpendapat bahwa syara’ menjelaskan kepada kita yang baik dan yang buruk. Lalu memerintahkan kita untuk mengerjakan yang pertama dan melarang kita untuk melakukan yang kedua.
b.     Orientasi aqli
            Ini tercermin di kalangan Mu’tazilah dari kelompok Muta’allimin. Mereka berbeda pendapat dengan ahli kalam di kalangan salafi mengenai cara pengetahuan terhadap kebaikan dan keburukan serta taklif untuk mengerjakan yang pertama dan menjauhi yang kedua.

c.      Para filsuf Islam
            Kecenderungan para filsuf Islam yang tercermin pada orientasi etika, seperti juga tercermin pada orientasi- orientasi lain.
Al Ghazali dan Etika: “Karakter/ sifat manusia tersusun dari 2 hal, yaitu jasad dan jiwa. Jasad adalah gambaran material fenomenal, sedangkan jiwa merupakan gambaran abstrak batiniyah”. Dalam mengetahui kebenaran dan kebaikan manusia, ilmu kebenaran memiliki beberapa tingkatan, yaitu:
Ø  Kebanyakan manusia mengenal kebaikan dan keburukan melalui kitab suci dan mengikuti orang lain.
Ø  Orang- orang khusus/ para filsuf rasionalis pada umumnya mengenal kebenaran tanpa melihat pada kitab suci ataupun ikut- ikutan.
Ø  Orang yang paling khusus ( dan ini sedikit sekali), mengenal kebenaran ketika berada dekat dengan Allah, dimana ia menganugerahkan ilmu ladunni ke dalam hati seorang Mukmin yang mengenal Allah, maka terjadilah perbuatan baik dari anggota tubuh secara otomatis dengan menyerupai perbuatan para Nabi dan Rasul.
            Al Ghazali telah menghubungkan antara pengetahuan dengan pola perilaku dalam akhlak manusia, dimana pengetahuan kita tentang kebaikan saja tidak cukup, sebelum yang bersangkutan mengerjakannya. Ilmu dalam amal secara bersama- sama harus selaras dengan syara’. Etika sesungguhnya berdiri di atas dasar pengontrolan nafsu dengan hukum akal, sehingga hati berada dalam keadaan seimbang. Kaidah penyelarasan ini adalah “ Bekerjalah untuk duniamu seakan engkau hidup selamanya dan bekerjalah untuk akhiratmu seakan engkau akan mati esok hari”.
Al- Ghazali mendasarkan madzhab etikanya di atas dasar- dasar berikut:
Ø  Bahwa tujuan perbuatan etika adalah mewujudkan kebahagiaan spiritual di dunia dan di akhirat. Oleh karena itu, ia mengambil nilai perbuatan etik itu dari tujuan ini.
Ø  Perbuatan etik muncul dari keseimbangan antara inderawi dan yang rasional.
Ø  Akhlak tumbuh dari hati dan ia adalah kondisi yang mengakar di dalam jiwa dan perilaku etik merupakan ekspresi dari akhlak ini.
Ø  Dengan ilmu saja, manusia tidak dapat berbuat keutamaan, namun juga harus dibarengi dengan kehendak dan aktivitas. Ilmu itu memiliki tingkatan- tingkatan yang berbeda akibat perbedaan tingkatan manusia. Ilmu yang paling tinggi adalah ilmu yang muncul dari wahyu langit atau ilmu ladunni pada keadaan dekat dengan Allah.  

STANDAR – STANDAR KEBAIKAN
            Nilai - nilai manusiawi yang berusaha untuk direalisasikan oleh manusia dalam perbuatan- perbuatannya  yaitu nilai kebenaran, kebaikan dan keindahan.  Kita dalam menilai bahwa perbuatan ini baik atau buruk dalam perspektif tiga madzhab yang berbeda, yakni madzhab kebahagiaan (Eudemonia), kesemprnaan (Perfeksionisme), dan kewajiban (Deontologi).
1.     MADZHAB KEBAHAGIAAN (EUDEMONIA)
Kebahagiaan dianggap sebagai tujuan tertinggi bagi setiap perilaku etik, dengan pengertian bahwa perilaku dapat menjadi baik, jika tujuan ini tidak terwujud sehingga manusia berada dalam pada penderitaan. Standar kebahagiaan  menurut penganut hedonism (kyrene) baik klasik maupun modern berhubungan dengan kesenangan inderawi, atau keuntungan subyektif. Sepanjang perilaku itu mendatangkan kesenangan inderawi, maka perilaku tersebut dianggap baik. Sebaliknya jika ia mendatangkan penderitaan inderawi , maka perilaku tersebut dianggap buruk.
Jika John S.Mills yang termasuk salah satu pemikir kelompok moralis- empiris memenangkan kebahagiaan rasioanal, maka yang lebih utama melakukannya adalah para kaum moralis rasionalis. Mereka berpendapat bahwa standar kebaikan atau keburukan perilaku adalah standar rasional yang dibuat oleh akal manusiawi dan merupakan standar consensus diantara manusia yang berperilaku sesuai dengan tuntutan norma-norma yang seragam. Oleh karena itu, standar kebahagiaan rasional dicirikan dengan sifat obyektif dan universal. Karena tidak ada perbedaan diantara manusia mengenai hal itu. Seperti yang kita lihat pada filsuf- filsuf semisal sokrates, plato  dan aristoteles. Sokrates telah mengubungkan antara pengetahuan mental dengan satndar kebahagiaan. Sehingga tidak mungkin kebodohan berjalan seiring dengan kebahagiaan spiritual. Sokrates menghubungkan antara kemuliaan dengan ilmu pada orang yang bahagia, dan antara ketercelaan dengan kebodohan pada orang yang sengsara. Adapun plato membangun idea kebahagiaan yaitu idea kebenaran dan keindahan pada saat yang sama sebagai suatu standar yang terpisah, atau tegasnya berdiri sendiri didunia idea. Perbuatan dinilai baik sepanjang ia sejalan dengan apa yang baik dalam dunia idea.

2.     MADZHAB KESEMPURNAAN (PERFEKSIONISME)
Madzhab etika ini dikenal dengan perspektif teori evolusi sosial dikalangan penganut teori perkembangan dan kemajuan dalam masyarakat manusia, sebagaimana yang terjadi pada berbagai spesies hewan sepanjang proses evolusinya sesuai dengan hukum seleksi alam, yaitu hukum yang menyatakan bahwa yang pantas untuk bertahan hidup hanyalah jenis hewan yang mampu beradaptasi dengan lingkungan, sukses dalam menghadapi pertentangan yang terus menerus diantara mereka. Serta mampu menanggung pengaruh-pengaruh alam. Untuk merealisasikan proses adaptasi yang terus menerus terhadap situasi-situasi yang melingkupinya dan mengatur karakter perilakunya hewan – hewan itu mengambil aturan yang bertujuan kearah kesempurnaan fungsi- fungsi vital dan gaya adaptasinya.
Herbert spencer telah meminta bantuan teori evolusi sesuai dengan hukum seleksi alam dalam manfsirkan perkembangan sosial dan etika dalam masyarakat manusia. Ia berpendapat bahwa pengalaman memperlihatkan dengan perilakunya, manusia berusaha untuk merealisasikan kesenangan inderawinya sebagai ungkapan perasaan terhadap egoisme dan sebagai wujud adaptasi terhadap lingkungan. standarnya adalah pencapaian kesenangan inderawi dan perasaan terhadap kebahagiaan, sedangkan rasa sakit dan sengsara menunjukan buruknya adaptasi. Spancer mengharapkan masyarakat manusia berkembang ke tingkat yang lebih tinggi, yaitu kesempurnaan. Dengan sampainya masyarakat pada perkembangan dan kemajuan dalam tingkatan kesempurnaan moral ini, akan muncul apa yang disebut masyarakat kota utama, dimana semua orang hidup didalamnya dengan kesenangan abadi.
Para penyeru psikologi eksperimentalis melihat bahwa standar kebaikan dalam perilaku moral manusia adalah integrasi personal yakni pertumbuhan beragam kemampuan secara berimbang yang mewujudkan perasaan bahagia untuknya, sedangkan ketidaksempurnaan kemampuan – kemampuan ini akan mengakibatkan terjadinya pertarungan psikis yang menciptakan perasaan menderita dan sengsara pada individu. Oleh karena itu, perilaku baik dan buruk adalah manifestasi perasaan bahagia dalam personalitas yang sempurna atau peraaan menderita didalam personalitas yang tidak sempurna.

3.     MADZHAB KEWAJIBAN (DEONTOLOGI)
Kant melihat bahwa perbuatan moral membawa nilainya di dalam milieunya. Ia muncul dari kehendak baik yang merupakan realisasi kewajiban dalam dirinya, serta bukan untuk tujuan apapun. Untuk  itu standar perilaku yang baik menjadi sejauh mana kesamaannya terhadap prinsip kewajiban karena kewajiban. Standar ini dibedakan dengan sifat – sifat sebagai berikut :
a.      Universal : adalah undang undang yang berlaku umum bagi siapapun tanpa terkecuali
b.     Obyektif : karena menjadikan kemanusiaan sebagai obyek satu satunya bagi semua akal manusia
c.      Abstrak :  prinsip rasional  yang dibuat oleh akal manusia yang menghadirkan sebuah norma dikalangan manusia seluruhnya.
Standar kebaikan dan keburukan perbuatan – perbuatan moral secara logis terkait dengan sumber pengetahuan kebaikan dan keburukan . jika standarnya adalah akal maka ia bersifat rasional dan jika standarnya adalah sensasi serta pengalaman maka ia bersifat sensasional eksperimental. Ini berarti madzhab etika menurut kalangan filsuf merupakan satu kesatuan integral dengan teori teori tentang pengetahuan (epistemology) dan wujud (ontology).

SUMBER – SUMBER KEKUATAN MORAL
Sumber sumber moral terbagi kepada sumber sumber internal (yang terdapat dalam diri manusia) dan eksternal ( yang terdapat di luar dirinya) di antara sumber sumber internal yang memaksa manusia untuk melakukan kebaikan atau keburukan adalah hati dalam kapasitasnya sebagai kekuatan rasio dan emosional. Di antara sumber sumber eksternal adalah masyarakat dengan segala adat, tradisi, hukum kekuasaan politik, agama yang ada di dalamnya.
1. Hati memiliki fungsi sebagai berikut :
·       Menilai benar salahnya suatu perilaku sehingga perilaku itu di katakan baik atau buruk
·       Mengarahkan perilaku kita ke depan sehingga kita memperoleh kesenangan hati dan menghindari kebencian
Fungsi fungsi karakter hati tersusun dari hal hal berikut :
a.      Sisi Intelegensia
Hati dapat membedakan apa yang baik dan apa yang buruk. Kaum Intuisionisme berpendapat bahwa kesadaran ini tidak lain kecuali kesadaran intelektual yang langsung terhadap makna kebaikan dan keburukan yang tampak jelas pada perbuatan - perbuatan manusia. Pendapat ini menyatakan bahwa hati merupakan suatu kekuatan primordial yang mampu membedakan antara kebaikan dan keburukan. Kaum Positivisme dan empirisme berpendapat bahwa sisi ini dapat di lihat dari pembuktian makna kebaikan dan keburukan.
b.     Sisi Emosional
hati bukanlah sekedar kekuatan yang menyadari kebaikan dan keburukan serta membedakan keduanya sesungguhnya merupakan suatu kekuatan di daktik karena balasan yang diharapkan serta mengawasi perbuatan perbuatan manusia dari dalam untuk mengetahui niatnya sebelum berbuat.

c.      Sisi Sosial
Sisi ini di anggap sebagai cermin sosial yang merefleksikan konsep konsep kebaikan dan keburukan keutamaan dan ketercelaan kebahagian dan kesengseraan dalam masyarakat di mana individu hidup. Jadi fungsi hati terbatas sebagai sumber bagi tekanan moral bertitik tolak dari sisi intelek hukum - hukum moral (etika) dengan karakter primordial yang ada padanya. Individu  bertanggung jawab di hadapan hati dalam kapasitas sebagai hakim yang menentukan tingkat tanggung jawab ini dalam 3 dasar :
- Kemampuan untuk mempersepsi kebaikan dan keburukan
- Terpenuhnya kebebasan kehendak dalam memilih perbuatan
- Kemampuan dalam melakuka pekerjaan
2. Masyarakat.
Kaum Sosiologi melihat bahwa hukum hukum moral ( etika ) telah di ciptakan oleh masyarakat dengan mengambil inspirasi pengalaman histiris dan realitas sosiologisnya. Ketika masyarakat menciptakan norma norma - moral ia menjadikan keuntungan individu dan kemaslahatan kolektif sebagai tujuan etik tertinggi atau sebagai kebaikan ideal yang setiap individu berusaha untuk mewujudkan. Dalam pandangan masyarakat tanggung jawab individu tertentu pada dasar dasar sebagai berikut :
-       Hasil hasil dari segi ia bermanfaat atau berbahaya
-       Terpenuhnya persepsi sehat tentang suatu entitas , apakah ia baik atau buruk.
-       Terpenuhnya kadar kebebasan untuk berbuat dalam batas batas konsepsi kebaikan dan kebaikan.
3.Agama.
 Keagamaan merupakan sumber tekanan terhadap perilaku moral yaitu tekanan yang mengambil kekuatan dari balasan balasan yang terbatas bagi perbuatan baik atau buruk , di mana pelaku kebaikan mendapatkan balasanya berupa kebahagian di dunia dan di akhirat dan pelaku kejahatan mendapat balasan siksa di dunia dan di akhirat. Penekanan etika yang muncul dari agama di dasarkan pada dasar dasar sebagai berikut:
-       Terpenuhnya niat dengan anggapan bahwa ia merupakan asas utama yang menentukan baik buruknya suatu perilak.
-       Persepsi ( pikiran ) yang sehat sehingga karena itu agama melarang untuk merusaknya dengan mengkonsumsi minuman keras dan obat terlarang yang dapat mengakibatkan pelakunya berbuat di luar kesadaranya dan perbuatanya tidak dapat di tanggung jawabkan.
-       Ukuran kebebasan dalam memilih dan melakukan perbuatan tersebut sesuai dengan niat dan ukuran persepsi di atas
Ketiga dasar di atas merupakan pilar pilar tanggung jawab moral ( etika ) dalam lingkup agama. Filsafat etika merupakan bentuk sempurna yang menghubungkan antara teori pengetahuan ( epistemologi) teori wujud (ontologi ) dan teori kebaikan.

RUANG LINGKUP FILSAFAT
Filsafat merupakan sekumpulan sikap dan kepercayaan terhadap kehidupan dan alam yang baisanya diterima secara kritis atau pemikiran terhadap kepercayaan dan sikap terhadap kepercayaan da sikap yang sangat kita junjung tinggi. Adapun menurut pendapat para ahli tentang ruang lingku filsafat :
  1. Tentang hal mengerti, syarat-syaratnya dan metode-metodenya.
  2. Tentang ada dan tidak ada.
  3. Tentang alam, dunia dan seisinya.
  4. Menentukan apa yang baik dan apa yang buruk.
  5. Hakikat manusia dan hubungannya dengan sesama makhluk lainnya.
  6. Tuhan tidak dikecualikan.
Adapun ruang lingkup filsafat adalah segala sesuatu lapangan pikiran manusia yang amat luat. Segala sesuatu yang mungkin ada dan benar, benar ada (nyata), baik material konkrit maupuan nonmaterial abstrak (tidak terlihat). Jadi obyek filsafat itu tidak terbatas. Objek pemikiran filsafat yaitu dalam ruang lingkup yang menjangkau permasalhan kehidupan mausia, alam semesta dan alam sekitarnya adalah juga objek pemikiran filsafat pendidikan.

METODE DALAM FILSAFAT
Adapun metode filsafat sebagai disiplin ilmu dan pendidikan mempunyai metode tertentu misalnya :
a. Contemplative (perenungan)
Merenung adalah memikirkan sesuatu atau segala sesuatu, tanpa keharusan adanya kontak langsung dengan objeknya, misalnya makna hidup, kebenaran, keadilan, keindahan dan sebagainya. Merenung adalah suatu cara yang sesuai dengan watak filsafat, yaitu memikirkan segalah sesuatu sedalam-dalamnya, dalam keadaan tenang hening dan sungguh-sungguh dalam kesendirian atau kapan dan dimanapun.
b. Speculative
Juga bagian dari perenung/ merenung. Karena melalui perenungan dengan pikiran yang tenang kritis, pikiran umum cenderung menganlisis, mengubungkan antara masalah berulang-ulang sampai pada tujuan.



c. Deductive
Filsafat menggunakan metode deduktif karena filsafat berusaha mencari kebenaran hakiki. Sebenarnya filsafat menggunakan semua metode agar saling komplimentasi, selain melengkapi.
Filsafat melahirkan ilmu pengetahuan, tetapi sebaliknya perkembangan berfikir seorang pribadi, melalui proses :
1. Tingkat indra
2. Tingkat ilmiah (rasional kritis, objektif, sistematis)
3. Tingkat filosofis (reflective thinking)
4. Tingkat religius

PEMBAGIAN FILSAFAT
1. Pembagian filsafat menurut bagan induktif
a. Metafisika
( 1 ) Metafisika fundamental, yaitu kritikan
( 2 ) Metafisika sistematis, yaitu ontology dan theodyca
b. Filsafat tentang :
( 1 ) Alam, yaitu kosmologia
( 2 ) Manusia, yaitu anthropologia
c. Filsafat rasional-logika
( 1 ) Logika umum/formal, yaitu logika
( 2 ) Logika khusus/material, yaitu filsafat tentang ilmu pengetahuan.
d. Filsafat praktis atau tentang kebudayaan
( 1 ) Filsafat praktis (tentang keseluruhan kegiatan manusia)
a. Filsafat etika, yaitu etika umum dan etika khusus
b. Filsafat tentang agama
( 2 ) Filsafat kebudayaan (tentang perbuatan lahiriah manusia)
a. Bagian umum : filsafat kebudayaan
b. Bagian khusus : filsafat tentang bahasa, kesenian, hukum, pendidikan, manusia, dan lain-lain.
2. Pembagian filsafat menurut bagan deduktif
a. Pengetahuan adalah kesadaran akan hal sesuatu, kesadaran akan diri kita sendiri.
b. Pengakuan bahwa aku ini ada. Karena andaikata aku tak ada bagaimanakah aku dapat berdiri di alun-alun dan sadar akan diriku sendiri.
c. Pengakuan bahwa kodrat saya adalah sadar akan diriku sendiri, mengerti akan diriku sendiri, ini adalah aspek rohani. Tetapi berdiri di suatu tempat adalah aspek jasmani.
d. Pengakuan dunia yang ku injak itu yaitu di alun-alun.
e. Penilaian perbuatan ini, artinya dalam kenyataan setiap perbuatan itu apakah baik atau tidak baik, sesuai dengan kodrat saya atau tidak sesuai dengan kodrat saya.
f. Dan mengenai perbuatan ini saya yakin harus memberikan pertanggungjawaban terhadap suara batin saya sebagai suatu kekuasaan yang berada di dalam maupun di atas yang akhirnya terhadap Tuhan.
Dalam eksistensinya yang baru filsafat mempunyai beberapa bagian atau cabang yaitu :
  1. Logika, filsafat tentang pikiran dan cara berpikir benar atau salah.
  2. Metafisika, filsafat tentang hakikat yang ada di balik fisika dan hakikat yang bersifat transcendental yaitu di luar atau di atas jangkauan pengalaman manusia.
  3. Etika, filsafat tentang pola tingkah laku yang baik dan yang buruk.
  4. Estetika, filsafat tentang pola cita rasa atau kreasi yang indah dan yang jelek.
  5. Epistimologi, filsafat tentang ilmu pengetahuan.
  6. Filsafat-filsafat khususnya lainnya, yaitu filsafat bahasa, filsafat kesenian, filsafat teknik, filsafat ekonomi, filsafat sejarah, filsafat hukum, filsafat manusia, filsafat pendidikan, filsafat agama, filsafat pekerjaan sosial dan sebagainya.

Beda Filsafat dengan Ilmu Agama
Keberadaan filsafat berbeda dengan ilmu. Ilmu ingin mengetahuai sebab dan akibat dari sesuatu, sementara filsafat tidak terikat pada satu ketentuan dan tidak mau terkurung hanya pada ruang dan waktu dalam pembahasan dan penyelidikan tentang hakikat sesuatu yang menjadi objek dan materi bahasannya. Sedangkan agama merupakan wujud kebenaran dan keselamatan manusia untuk hidup di dunia dan akhir. Dapat dikatakann bahwa perbedaan filsafat dengan ilmu dan agama yaitu sbb :
1. Filsafat adalah pengetahuan tentang non empirik dan nonekspirmental diperoleh manusia melalui usaha
2. Ilmu adalah kumpulan pengetahuan mengenai suatu kenyataan yang tersusun sistematis dari usaha manusia yang dilakukan dengan penyelidikan, pengamatan, dan percobaan
3. Agama adalah kebenaran yang bersumber dari wahyu Tuhan mengenai berbagai hal kehidupan manusia dengna lingkungannya.
Secara umum perbedaan antara filsafat dengan ilmu yaitu :
  1. Ilmu berhubungan dengan lapangan yang terbatas, filsafat mencoba berhubungan dengan keseluruhan pengalaman untuk memperoleh suatu pandangan yang lebih komprehensif tentang sesuatu.
  2. Ilmu menggunakan pendekatan analitis dan deskriptif, sedangkan filsafat sintesis dan sinopsis, berhubungan dengan sifat-sifat dan kualitas alam dan hidup secara keseluruhan.
  3. Ilmu menganalisis keseluruhan menjadi bagian-bagian, dari organisme menjadi organ-organ, filsafat mencoba membedakan sesuatu dalam bentuk sintesis yang menjelaskan dan mencari makna sesuatu secara keseluruhan.
  4. Ilmu menghilangkan faktor-faktor pribadi yang subyektif sedangkan filsafat tertarik kepada personalitas, nilai-nilai dan semua pengalaman.
  5. Ilmu tertarik kepada hakikat sesuatu sebagaimana adanya, sedangkan filsafat hanya tertarik kepada bagian-bagian yang nyata, melainkan juga kepada kemungkinan-kemungkinan yang ideal dari suatu benda, nilai dan maknanya.
  6. Ilmu meneliti alam, mengontrol proses alam sedangkan tugas filsafat mengadakan kritik, menilai dan mengkoordinasikan tujuan.
  7. Ilmu lebih menekankan pada deskripsi hukum-hukum fenomenal dan hubungan kausal. Filsafat tertarik dengan hal-hal yang berhubungan dengan pertanyaan “why” dan “how”.

Perbedaan definisi itu menurut Ahmad Tafsir (1992) disebabkan oleh berbedanya konotasi filsafat pada tokoh-tokoh itu karena perbadaan keyakinan hidup yang dianut mereka. Perbadaan itu juga dapat muncul karena perkembangan filsafat itu sendiri yang menyebabkan beberapa pengetahuan khusus memisahkan diri dari filsafat. Sampai di sini dapat diambil kesimpulan bahwa perbadaan definisi filsafat antara satu tokoh dengan tokoh lainnya disebabkan oleh perbadaan konotasi filsafat pada mereka masing-masing. Berfilsafat adalah berpikir, namun tidak semua berpikir adalah berfilsafat. Berpikir dikatakan berfilsafat, apabila berpikir tersebut memiliki tiga ciri utama, yaitu: radikal, sistematik, dan universal. Berpikir radikal, artinya berpikir sampai ke akar-akar persoalan, berpikir terhadap sesuatu dalam bingkai yang tidak tanggung-tanggung, sampai kepada konsekueisinya yang terakhir. Berpikir sistematik, artinya berpikir logis, yang bergerak selangkah demi selangkah (step by steep) dengan penuh kesadaran, dengan urutan yang bertanggung jawab. Berpikir unifersal, artinya berpikir secara menyeluruh, tidak terbatas pada bagian-bagian tertentu, tetapi mencakup keseluruhan aspek yang konkret dan absrtak atau yang fisik dan metafisik. (Cecep: 2008). Sebagai contoh kita menilai seseorang yang baru saja kita kenal, kita tidak saja langsung menilai seseorang itu apakah dia baik atau tidak, kita dapat menilai seseorang tersebut dengan cara lebih mendekati kepribadian orang tersebut dan melihat dari kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan serta lingkungan dari orang tersebut, baru kita bisa menyimpulkan apakah dia orang yang baik atau tidak. Cara berfikir dalam penilaian terhadap seseorang dalam contoh tersebut dapat dikatakan sebuah filsafat, dimana cara berfikir kita atau memahami sesuatu secara keseluruhan tidak hanya pada suatu sisi saja. Kita pula harus mengetahui sejarah dari pengertian filsafat yaitu filsafat berasal dari bahasa kuno yunani philosophia, yaitu berasal dari dua suku kata philos dan sophos atau philien dan shopia. Philos diartikan sebagai teman atau sahabat sedangkan sophos kearifan atau kebijaksanaan. Filsafat juga bisa diartikan sebagai pemikiran, sejarah pemikiran atau pun filsafat dapat diartikan sebagai cara untuk memahami sesuatu. Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berusaha mengkaji segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada dengan menggunakan pikiran.


No comments:

Post a Comment

buku bimbingan

                                                                                                                                            ...

082126189815

Name

Email *

Message *