FILSAFAT LOGIKA
A. PENGERTIAN
LOGIKA
Logika berasal dari
kata Yunani kuno λόγος (logos) yang
berarti hasil pertimbangan akal pikiran yang diutarakan lewat kata dan
dinyatakan dalam bahasa. Sebagai ilmu, logika disebut dengan logike episteme (Latin: logica scientia) atau ilmu logika (ilmu
pengetahuan) yang mempelajari kecakapan untuk berpikir secara lurus, tepat, dan
teratur. Ilmu disini mengacu pada kemampuan rasional untuk mengetahui dan
kecakapan mengacu pada kesanggupan akal budi untuk mewujudkan pengetahuan ke
dalam tindakan. Kata logis yang dipergunakan tersebut bisa juga diartikan
dengan masuk akal.
Logika merupakan cabang
filsafat yang bersifat praktis berpangkal pada penalaran, dan sekaligus juga
sebagai dasar filsafat dan sebagai sarana ilmu. Dengan fungsi sebagai dasar
filsafat dan sarana ilmu karena logika merupakan “jembatan penghubung” antara
filsafat dan ilmu, yang secara terminologis logika didefinisikan: Teori tentang
penyimpulan yang sah. Penyimpulan pada dasarnya bertitik tolak dari suatu pangkal-pikir
tertentu, yang kemudian ditarik suatu kesimpulan. Penyimpulan yang sah, artinya
sesuai dengan pertimbangan akal dan runtut sehingga dapat dilacak kembali yang
sekaligus juga benar, yang berarti dituntut kebenaran bentuk sesuai dengan isi.
Logika sebagai teori
penyimpulan, berlandaskan pada suatu konsep yang dinyatakan dalam bentuk kata
atau istilah, dan dapat diungkapkan dalam bentuk himpunan sehingga setiap
konsep mempunyai himpunan, mempunyai keluasan. Dengan dasar himpunan karena
semua unsur penalaran dalam logika pembuktiannya menggunakan diagram himpunan,
dan ini merupakan pembuktian secara formal jika diungkapkan dengan diagram
himpunan sah dan tepat karena sah dan tepat pula penalaran tersebut.
Sejarah Logika
Logika dimulai sejak Thales (624 SM - 548 SM), yaitu pada
Masa Yunani Kuno filsuf Yunani pertama yang meninggalkan segala dongeng,
takhayul, dan cerita-cerita isapan jempol dan berpaling kepada akal budi untuk
memecahkan rahasia alam semesta. Thales
mengatakan bahwa air adalah arkhe
(Yunani) yang berarti prinsip atau asas utama alam semesta. Saat itu Thales telah mengenalkan logika
induktif. Aristoteles kemudian
mengenalkan logika sebagai ilmu, yang kemudian disebut logica scientica. Aristoteles mengatakan bahwa Thales menarik kesimpulan bahwa air
adalah arkhe alam semesta dengan
alasan bahwa air adalah jiwa segala sesuatu. Dalam logika Thales, air adalah arkhe
alam semesta, yang menurut Aristoteles
disimpulkan dari:
·
Air adalah jiwa
tumbuh-tumbuhan (karena tanpa air tumbuhan mati)
·
Air adalah jiwa hewan
dan jiwa manusia
·
Air jugalah uap
·
Air jugalah es
Jadi, air adalah jiwa
dari segala sesuatu, yang berarti, air adalah arkhe alam semesta. Sejak
saat Thales sang filsuf mengenalkan
pernyataannya, logika telah mulai dikembangkan. Kaum Sofis beserta Plato (427
SM-347 SM) juga telah merintis dan memberikan saran-saran dalam bidang ini.
Pada masa Aristoteles logika masih disebut dengan analitica (Logika Formal), yang secara
khusus meneliti berbagai argumentasi yang berangkat dari proposisi yang benar,
dan dialektika yang secara khusus
meneliti argumentasi yang berangkat dari proposisi yang masih diragukan
kebenarannya. Inti dari logika Aristoteles
adalah silogisme.
Logika pertama-tama
disusun oleh Aristoteles (384-322
SM), sebagai sebuah ilmu tentang hukum-hukum berpikir guna memelihara jalan
pikiran dari setiap kekeliruan. Logika sebagai ilmu baru pada waktu itu,
disebut dengan nama “analitika” dan “dialektika”. Kumpulan karya tulis Aristoteles mengenai logika diberi nama Organon, terdiri atas enam bagian.
Buku Aristoteles berjudul Organon (alat) berjumlah enam, yaitu:
1. Categoriae
menguraikan pengertian-pengertian
2. De
interpretatione tentang keputusan-keputusan
3. Analytica
Posteriora tentang pembuktian.
4. Analytica
Priora tentang Silogisme.
5. Topica
tentang argumentasi dan metode berdebat.
6.
De
sohisticis elenchis tentang
kesesatan dan kekeliruan berpikir.
Karya Aristoteles tentang logika dalam buku Organon dikenal di dunia Barat
selengkapnya ialah sesudah berlangsung penyalinan-penyalinan yang sangat luas
dari sekian banyak ahli pikir Islam ke dalam bahasa Latin.
Penyalinan-penyalinan yang luas itu membukakan masa dunia Barat kembali akan
alam pikiran Grik Tua.
Pada 370 SM - 288 SM
Theophrastus, murid Aristoteles yang menjadi pemimpin Lyceum, melanjutkan
pengembangn logika. Theoprastus
memberi sumbangan terbesar dalam logika ialah penafsirannya tentang pengertian
yang mungkin dan juga tentang sebuah sifat asasi dari setiap kesimpulan.
Istilah logika untuk pertama kalinya dikenalkan oleh Zeno dari Citium 334 SM -
226 SM pelopor Kaum Stoa. Sistematisasi logika terjadi pada masa Galenus (130 M
- 201 M) dan Sextus Empiricus (200 M), dua orang dokter medis yang
mengembangkan logika dengan menerapkan metode geometri.
Kemudian, Porphyrius (233-306 M), seorang ahli
pikir di Iskandariah menambahkan satu bagian baru dalam pelajaran logika.
Bagian baru ini disebut Eisagoge,
yakni sebagai pengantar Categorie.
Dalam bagian baru ini dibahas lingkungan-lingkungan zat dan
lingkungan-lingkungan sifat di dalam alam, yang biasa disebut dengan
klasifikasi. Dengan demikian, logika menjadi tujuh bagian.
Boethius
(480-524) menerjemahkan Eisagoge
Porphyrius ke dalam bahasa Latin dan menambahkan komentar- komentarnya. Johanes Damascenus (674 - 749)
menerbitkan Fons Scienteae.
Pada abad pertengahan
yakni abad 9 hingga abad 15, buku-buku Aristoteles seperti De Interpretatione,
Eisagoge oleh Porphyus dan karya Boethius masih digunakan. Thomas Aquinas
1224-1274 dan kawan-kawannya berusaha mengadakan sistematisasi logika. Maka lahirlah
logika modern dengan tokoh-tokoh seperti:
·
Petrus
Hispanus 1210 - 1278)
·
Roger
Bacon 1214-1292
·
Raymundus
Lullus (1232 -1315) yang menemukan metode
logika baru yang dinamakan Ars Magna,
yang merupakan semacam aljabar pengertian.
·
William
Ocham (1295 - 1349)
Tokoh logika pada zaman
Islam adalah Al-Farabi (873-950 M) yang terkenal mahir dalam bahasa Grik Tua,
menyalin seluruh karya tulis Aristoteles
dalam berbagai bidang ilmu dan karya tulis ahli-ahli pikir Grik lainnya. Al-Farabi
menyalin dan memberi komentar atas tujuh bagian logika dan menambahkan satu
bagian baru sehingga menjadi delapan bagian.
Petrus
Hispanus (meninggal 1277 M) menyusun
pelajaran logika berbentuk sajak, seperti All-Akhdari dalam dunia Islam, dan bukunya
itu menjadi buku dasar bagi pelajaran logika sampai abad ke-17. Petrus Hispanus inilah yang mula-mula mempergunakan berbagai nama untuk
sistem penyimpulan yang sah dalam perkaitan bentuk silogisme kategorik dalam
sebuah sajak. Dan kumpulan sajak Petrus
Hispanus mengenai logika ini bernama Summulae.
Pengembangan dan
penggunaan logika Aristoteles secara
murni diteruskan oleh Thomas Hobbes
(1588 - 1679) dengan karyanya Leviatan
dan John Locke (1632 - 1704) dalam An Essay Concerning Human Understanding.
Francis Bacon (1561 - 1626) mengembangkan logika induktif yang
diperkenalkan dalam bukunya Novum Organum
Scientiarum. J.S. Mills (1806 - 1873) melanjutkan logika yang menekankan
pada pemikiran induksi dalam bukunya System
of Logic.
Francis
Bacon (1561-1626 M) melancarkan
serangan sengketa terhadap logika dan menganjurkan penggunaan sistem induksi
secara lebih luas. Serangan Bacon
terhadap logika ini memperoleh sambutan hangat dari berbagai kalangan di Barat,
kemudian perhatian lebih ditujukan kepada penggunaan sistem induksi. Pembaruan
logika di Barat berikutnya disusul oleh lain-lain penulis di antaranya adalah Gottfried Wilhem von Leibniz. Ia menganjurkan penggantian
pernyataan-pernyataan dengan simbol-simbol agar lebih umum sifatnya dan lebih
mudah melakukan analisis. Demikian juga Leonard
Euler, seorang ahli matematika dan
logika Swiss melakukan pembahasan tentang term-term dengan menggunakan
lingkaran-lingkaran untuk melukiskan hubungan antarterm yang terkenal dengan
sebutan circle-Euler.
John
Stuart Mill pada tahun 1843 mempertemukan sistem induksi dengan sistem
deduksi. Setiap pangkal-pikir besar di dalam deduksi memerlukan induksi dan
sebaliknya induksi memerlukan deduksi bagi penyusunan pikiran mengenai
hasil-hasil eksperimen dan penyelidikan. Jadi, kedua-duanya bukan merupakan bagian-bagian
yang saling terpisah, tetapi sebetulnya saling membantu. Mill sendiri
merumuskan metode-metode bagi sistem induksi, terkenal dengan sebutan Four Methods.
Logika Formal sesudah
masa Mill lahirlah sekian banyak buku-buku baru dan ulasan-ulasan baru tentang
logika. Dan sejak pertengahan abad ke-19 mulai lahir satu cabang baru yang
disebut dengan Logika-Simbolik. dengan hadirnya pelopor-pelopor logika simbolik
seperti:
·
Gottfried Wilhelm Leibniz (1646-1716) menyusun logika aljabar berdasarkan Ars Magna dari Raymundus Lullus. Logika ini bertujuan menyederhanakan pekerjaan
akal budi dan lebih mempertajam kepastian.
·
George
Boole (1815-1864)
·
John
Venn (1834-1923)
·
Gottlob
Frege (1848 - 1925)
Lalu Chares Sanders Peirce (1839-1914),
seorang filsuf Amerika Serikat yang pernah mengajar di John Hopkins University,melengkapi logika simbolik dengan
karya-karya tulisnya. Ia memperkenalkan dalil Peirce (Peirce's Law) yang menafsirkan logika selaku teori umum mengenai
tanda (general theory of signs).
Puncak kejayaan logika simbolik terjadi pada tahun 1910-1913 dengan terbitnya Principia Mathematica tiga jilid yang
merupakan karya bersama Alfred North
Whitehead (1861 - 1914) dan Bertrand
Arthur William Russel (1872 - 1970). Logika simbolik lalu diteruskan oleh Ludwig Wittgenstein (1889-1951), Rudolf Carnap (1891-1970), Kurt Godel (1906-1978), dan lain-lain.
Pelopor logika simbolik
pada dasarnya sudah dimulai oleh Leibniz.
Logika simbolik pertama dikembangkan oleh George
Boole dan Augustus de Morgan. Boole secara sistematik dengan memakai
simbol-simbol yang cukup luas dan metode analisis menurut matematika, dan Augustus De Morgan (1806-1871) merupakan
seorang ahli matematika Inggris memberikan sumbangan besar kepada logika
simbolik dengan pemikirannya tentang relasi dan negasi.
Tokoh logika simbolik
yang lain ialah John Venn (1834-1923), ia berusaha
menyempurnakan analisis logik dari Boole dengan merancang diagram
lingkaran-lingkaran yang kini terkenal sebagai diagram Venn (Venn’s diagram) untuk menggambarkan
hubungan-hubungan dan memeriksa sahnya penyimpulan dari silogisme. Untuk
melukiskan hubungan merangkum atau menyisihkan di antara subjek dan predikat
yang masing-masing dianggap sebagai himpunan.
Perkembangan logika
simbolik mencapai puncaknya pada awal abad ke-20 dengan terbitnya 3 jilid karya
tulis dua filsuf besar dari Inggris Alfred
North Whitehead dan Bertrand Arthur
William Russell berjudul Principia
Mathematica (1910-1913) dengan jumlah 1992 halaman. Karya tulis Russell-Whitehead Principia Mathematica
memberikan dorongan yang besar bagi pertumbuhan logika simbolik.
Di Indonesia pada
mulanya logika tidak pernah menjadi mata pelajaran pada perguruan-perguruan
umum. Pelajaran logika cuma dijumpai pada pesantren-pesantren Islam dan
perguruan-perguruan Islam dengan mempergunakan buku-buku berbahasa Arab. Pada
masa sekarang ini logika di Indonesia sudah mulai berkembang sesuai
perkembangan logika pada umumnya yang mendasarkan pada perkembangan teori
himpunan.
Dalam sejarah
perkembangan cara berfikir, dialektika merupakan
perkembangan lebih lanjut dari logika formal. Logika formal adalah sebuah
ilmu-pengetahuan besar tentang sistim proses berfikir. Logika formal merupakan
hasil karya filasat zaman yunani kuno. Pemikir-pemikir Yunani kuno awal lah
yang menemukan metode berfikir. Pemikir Yunani kuno, seperti Aristoteles, mengumpulkan,
mengkelasifikasikan, mengkritik dan mensistimasikan hasil-hasil positif dari
berbagai pemikiran dan membangun sebuah sistim berfikir yang disebut logika
formal. Euklides melakukan hal yang
sama untuk dasar-dasar geoemetri; Archimides
untuk dasar-dasar mekanika; Ptolomeus
dan Alexandria kemudian menemukan
astronomi dan geografi; dan Galen
untuk anatomi.
Logika Aristoteles mempengaruhi cara berfikir
umat manusia selama dua ribu tahun. Cara fikir tersebut tidak memiliki lawan
sampai kemudian ditantang, dijatuhkan dan menjadi ketinggalan zaman oleh dan
karena dialektika, sebuah sistim
besar kedua dalam ilmu cara berfikir. Dialektika
merupakan hasil dari gerakan ilmu-pengetahuan revolusioner selama seabad, yang
dilakukan oleh pekerja-pekerja intelektual. Dialektiak
muncul sebagai cara fikir terbaru dari filsuf-filsuf besar dalam Revolusi
Demokratik di Eropa Barat pada abad ke-6 dan abad ke-17. Hegel, seorang tokoh dari sekolah filsafat idealis (borjuis) di
Jerman, adalah seorang guru besar yang pertama kali mentransformasikan ilmu
logika, seperti di sebutkan oleh Marx:
“bentuk-bentuk umum gerakan dialektika yang memiliki cara yang
komprehensif dan sadar sepenuhnya.”
Marx
dan Engels adalah murid Hegel di lapangan Logika. Dalam ilmu
logika, mereka berdua lah yang kemudian melakukan revolusi pada revolusi
Hegelian dengan menyingkirkan elemen mistik dalam dialektikanya, dan
menggantikan dialektika idealistik dengan sebuah landasan material yang
konsisten.
Pada saat kita
mendekati dialektika materialis dengan menggunakan logika formal, kita
harus memundurkan langkah kita pada sejarah aktual kemajuan ilmu logika, yakni
perkembangan dari logika formal menuju ke logika dialektik.
Adalah salah jika kita
mengira bahwa sejarah perkembangan cara berfikir adalah seperti ini: bahwa para
filsuf Yunani tidak mengetahui soal dialektika; atau mengira Hegel dan Marx menolak sepenuhnya logika formal. Seperti yang dituliskan oleh
Engels: “filsuf yunani kuno sudah
dialektik sejak kemunculannya dan Aristoteles,
sebagai intelektual yang paling ensiklopedis di antara mereka, bahkan sudah
menganalisa bentuk-bentuik paling esensial pemikiran dialektik.” Tak
ketinggalan pula, dialektika muncul dalam bentuk cikal bakalnya dalam pemikiran
filsuf Yunani. Namun filsuf Yunani belum dan tidak dapat mengembangkan
serpihan-serpihan pemikiran dialektik dalam sebuah sistimatika berfikir yang
ilmiah. Mereka menyumbangkan serpihan-serpihan pemikiran tersebut hingga
menjadi bentuk akhir logika formal Aristoteles.
Pada saat yang bersamaan, penelitian dialektika mereka, kritisisme pada cara
fikir formal dan sebaliknya dan semua persoalan yang dihadapinya dilakukan
dengan keterbatasan logika formal, yang diperjuangkan selama berabad-abad yang,
kemudian, dapat diselesaikan oleh dialektika hegelian dan, kini, oleh dialektika marxis.
Para akhli Dialektika
modern tidak melihat logika formal sebagai sesuatu yang tak berguna.
Sebaliknya, mereka menganggap bahwa logika formal tidak sekadar sesuatu yang
penting dalam sejarah perkembangan metode berfikir tapi juga cukup penting pada
saat ini agar berfikir benar. Tapi, dalam dirinya, logika formal jelas kurang
lengkap. Unsur-unsur absyahnya menjadi bagian dalam dialektika. Hubungan antara
logika formal dengan dialektika menjadi berkebalikan. Di dalam pemikiran
Yunani klasik sisi formal logika menjadi dominan dan aspek dialektiknya menjadi
tergeser. Dalam ajaran modern, dialektika berada di garda depan dan sisi formal
logika menjadi sub-ordinat terhadapnya.
Karena kedua tipe yang
bertentangan tersebut memiliki banyak kesamaan, dan logika formal masuk sebagai
materi struktural dalam kerangka logika dialektik, maka berguna sekali bagi
kita menguasai logika formal. Dalam mempelajari logika formal secara tak
langsung kita sudah siap menuju logika dialektik. Dengan mengakui, atau
setidaknya sedikit mengakui, logika formal, kita telah siap memisahkan logika
formal dari logika dialektik. Hegel
menunjukkan hal yang sama: ”Dalam kedekatannya yang terbatas (antara logika
formal dan logika dialektik) terdapat suatu kotradiksi yang bisa menyumbangkan
sesuatu ke belakang dirinya (logika dialektik).”
Akhirnya, lewat
prosedur tersebut, kita mendapatkan pelajaran berharga dalam pemikiran
dialektik. Hegel menjelaskan lagi:
“Sesuatu tidak bisa dikenali secara menyeluruh sebelum mengenali lawannya.”
Contohnya, kau tidak dapat benar-benar mengerti tentang seorang buruh-upahan
sampai kau mengetahui bagaimana sebaliknya lawan sosial ekonominya, kelas
kapitalis. Kau tidak dapat mengetahui Trotskyisme sampai kau mempelajari
secara mendalam esensi antitesis politiknya, yakni Stalinisme. Jadi kau tak akan bisa mempelajari kedalaman dialektika
tanpa pertama kali mempelajari secara mendalam sejarah pendahulunya dan
antitesis teoritisnya, yakni logika formal.
Pembagian Logika
Logika Berdasarkan Waktu
Berdasarkan waktu
munculnya suatu aliran logika, Logika dapat dibagi menjadi beberapa aliran
yakni:
a. Logika Klasik
Manusia yang pertama kali membakukan proses penalaran
atau logika adalah Aristoteles. Logika Aristoteles adalah suatu sistem berpikir
deduktif (deductive reasoning), yang bahkan sampai saat ini masih dianggap
sebagai dasar dari setiap pelajaran tentang logika formal (formal logic).
Analytic adalah ilmu logika yang berdasarkan pada premis-premis yang
diasumsikan benar. Salah satu konsep dasar dari logika aristoteles adalah
silogisme. "A discourse in which,
certain things being stated, something other than what is stated follows of
necessity from their being so.", Aristoteles.
Contoh silogisme :
·
Semua mamalia
menyusui (Premis Mayor)
·
Kuda adalah
mamalia (Premis Minor)
·
Kuda menyusui
(Kesimpulan)
Kesimpulan dapat diambil jika subjek dari premis minor
adalah bagian dari subjek premis mayor. Predikat kalimat kesimpulan adalah
predikat premis mayor.
b. Rasionalitasme
Rasionalisme (Latin ratio, "reason") muncul
dalam beberapa bentuk nyaris pada setiap tingkatan filsafat, teologi Barat,
namun umumnya Rasionalisme ini diidentifikasi dengan tradisi yang berakar dari
abad 17 oleh filsuf dan cendekia Francis, René Descartes "Aku berpikir,
berarti aku ada". (Rene Descartes (1598-1650) Kalimat tersebut dapat
diartikan, segala sesuatu dapat menjadi benar jika dapat dibuat penalaran atau
logika yang membuktikannya benar. Itu adalah ide dasar dari paham
rasionalitasme.
Rene Descartes adalah salah satu pelopor paham
Rasionalitasme. Rasionalisme menganggap ilmu yang diperoleh melalui pancaindera
itu sebagai rendah martabatnya jika dibandingkan dengan ilmu yang diperolehi
melalui akal, kerana pengalaman dari pancaindera dapat menipu dan tidak
mempunyai kepastian. Sebelum Descartes, sebenarnya Plato sudah mengemukakan ide
Rasionalisme. Menurut Plato, di atas dunia ini terdapat alam-alam ide yang
menjadi sumber pengetahuan. Plato berkeyakinan bahwa jiwa manusia sebelum
memasuki alam ini ia berada pada alam ide dan beranggapan bahwa pemikiran
manusia berasal dari Tuhan.
c. Empirisme
Memasuki masa Rennaissanse (abad 14-16 M), lahirlah
paham empirisme. David Hume (1611-1776), menyatakan bahwa sumber satu-satunya
untuk memperoleh pengetahuan adalah pengalaman atau, dengan kata lain,
eksperimen. Dengan itu pihak Empirisis menafikan kewujudan ilmu yang sedia ada
secara semula jadi pada diri manusia (innate knowledge). Bagi paham Empirisisme
pula, ilmu yang sah terbit dari pengalaman dari pancaindera dan disahkan juga
melaluinya. Empirisme memberikan cukup banyak dorongan pada perkembangan pada
dunia sains dan juga teknologi.
d. Modernisme
Perbedaan antara Rasionalitasme dan Empirisme coba
diambil jalan tengahnya oleh Immanuel Kant. Dia mengajukan sintesis a pripori.
Menurutnya, pengetahuan yang benar bersumber dari rasio dan empiris yang
sekaligus bersifat a pripori dan a posteriori. Sebagai gambaran, kita melihat
suatu benda dikarenakan mata kita melihat ke arah benda tersebut
(Rasionalitasme) dan benda tersebut memantulkan sinar ke mata kita (Empirisme).
e. Dialektika
Berbeda dengan logika klasik atau yang juga dikenal
dengan istilah analitika, dialekta berawal dari proposisi-proposisi yang masih
diragukan kebenarannya. Ide dasar dialektika sudah dicetuskan oleh Aristoteles
dalam Organon-nya. Ia menyebutkan sepuluh kategori yang membangun penalaran
atau logika dialektika, yaitu : substansi, kuantitas, kualitas, relasi, tempat,
waktu, posisi, keadaan, aksi, dan keinginan. Sebagaimana Heraclitus mengatakan
“everything flows”.
f. Logika Simbolik
Logika simbolik adalah ilmu tentang penyimpulan yang
sah (absah), khususnya yang dikembangkan dengan penggunaan metode-metode
matematika dan dengan bantuan simbol-simbol khusus sehingga memungkinkan
seseorang menghindarkan makna ganda dari bahasa sehari-hari (Frederick B. Fitch
dalam bukunya “Symbolic Logic”). Logika simbolis dikenal juga dengan istilah
logika matematika. Logika matematika membuat penalaran lebih terarah dan jelas
tetapi secara konsep masih mengikuti ilmu logika sudah ada sebelumnya. Sehingga
walaupun logika ini lahir di abad 19 M, konsep dasarnya masih sama dengan
logika klasik Aristoteles(384 - 322 SM). Hanya saja, sekali lagi, logika
simbolis menerangkan logika dengan lebih rapi. Pengembangan dan diskusi yang
terus dilakukan tidak mengubah konsep dasar yang sudah ada. Sehingga wajar jika
Cohen dan Nagel, dalam buku mereka “An Introduction to Logic and the Scientific
Method”, halaman vii, menyatakan : "We do not believe that there is any
non-Aristotelian logic in the sense in which there is a non-Euclidean geometry,
that is, a system of logic in which the contraries of the Aristotelian
principles of contradiction and the excluded middle are assumed to be true, and
valid inferences drawn from them." Logika Hegel lebih dikenal dengan
istilah formal logic. Ide dasar formal logic terangkum dalam tiga hukum atau
prinsip, yaitu:
1.
The law of identity ("A" = "A").
2.
The law of contradiction ("A" ≠ “¬A").
3.
The law of the excluded middle ("A" ≠ "B").
g. Logika Modern
Di abad ke-19, ada sejumlah upaya untuk memutakhirkan
logika (George Boyle, Ernst Schröder, Gotlob Frege, Bertrand Russell dan A. N.
Whitehead). Tapi, selain memperkenalkan simbol-simbol, dan beberapa penataan di
sana-sini, tidak terdapat perubahan yang mendasar di sini. Banyak klaim besar
yang dibuat, contohnya oleh para filsuf linguistik, tapi tidak terdapat banyak
basis untuk mereka. Semantik (yang berurusan dengan kesahihan sebuah argumen)
dipisahkan dari sintaksis (yang berurusan dengan apakah sebuah kesimpulan dapat
ditarik dari aksiom dan premis tertentu). Ini dianggap sebagai sesuatu yang
baru, padahal hanya merupakan pernyataan ulang dari pembagian kuno, yang telah
akrab bagi orang-orang Yunani Kuno, antara logika dan retorika. Logika modern
didasarkan pada hubungan logis di antara seluruh kalimat. Pusat perhatiannya
telah bergeser dari silogisme menuju argumen-argumen yang hipotetikal dan
disjungtif. Ini bukanlah satu lompatan yang dapat membuat orang yang melihat
menahan nafas. Kita dapat mulai dengan kalimat (penilaian) bukannya silogisme.
Hegel melakukan ini dalam Logic. Bukannya sebuah revolusi besar dalam
pemikiran, ia malah lebih mirip mengocok ulang satu tumpukan kartu yang telah
kusut karena dipakai berkali-kali.
Dengan menggunakan analogi fisika yang superfisial dan
tidak tepat, apa yang disebut “metode atomik” yang dikembangkan oleh Russell
dan Wittgenstein (dan yang kemudian disangkal sendiri oleh orang yang disebut
terakhir itu) mencoba membagi bahasa menjadi “atom-atomnya”. Atom dasar dari
bahasa menurutnya adalah kalimat sederhana, yang merupakan penyusun dari
kalimat-kalimat kompleks. Wittgenstein bermimpi mengembangkan satu “bahasa
formal” untuk tiap ilmu pengetahuan – fisika, biologi, bahkan psikologi.
Kalimat-kalimat ditempatkan pada “uji kebenaran” yang berdasarkan hukum-hukum
usang tentang identitas, kontradiksi dan tanpa-antara. Dalam kenyataannya,
metode dasar yang digunakan masih tetap sama saja. “Nilai Kebenaran” adalah
satu masalah “atau ini ... atau itu”[1], masalah “Ya atau Tidak”, masalah “benar
atau salah”. Logika baru ini dirujuk sebagai kalkulus proposional. Tapi
kenyataannya sistem ini bahkan tidak mampu menangani argumen-argumen yang
sebelumnya dapat ditangani oleh silogisme yang paling dasar (kategorikal). Sang
Gunung telah melahirkan seekor tikus.
Kenyataannya adalah bahwa bahkan kalimat sederhanapun
tidak dapat dipahami, sekalipun ia dianggap sebagai “batu penyusun materi”
linguistik. Bahkan penilaian yang paling sederhana, seperti yang ditunjukkan
Hegel, mengandung pula kontradiksi. “Caesar adalah seorang manusia”, “Fido
adalah seekor anjing”, “pohon itu hijau”, semua menyatakan bahwa yang khusus
adalah sama dengan yang umum. Kalimat itu nampaknya sederhana, sebenarnya
tidak. Ini adalah tutup buku bagi logika formal, yang terus saja berkeras untuk
mengabaikan semua kontradiksi, bukan hanya dari alam dan masyarakat, tapi juga
dalam pemikiran dan bahasa itu sendiri. Kalkulus proposional berangkat dari
persis postulat yang sama dengan yang digunakan oleh Aristoteles di abad ke-4
SM, yaitu, hukum identitas, hukum (tanpa-) kontradiksi, dan hukum tanpa-antara,
yang ditambahi hukum negasi-ganda. Hukum-hukum ini tidak dituliskan dengan
huruf biasa melainkan dengan simbol sebagai berikut:
p = p
p = ⌐ p
p V = ⌐ p
⌐ (p ⌐ p)
Semuanya terlihat sangat manis, tapi tidaklah membuat
perbedaan sedikitpun dengan hakikat silogisme. Terlebih lagi, logika simbolis
itu sendiri bukanlah satu ide baru. Di tahun 1680-an, otak filsuf Jerman
Leibniz yang selalu subur itu telah menghasilkan satu logika simbolis,
sekalipun ia tak pernah mempublikasikannya.
Dimasukkannya simbol ke dalam logika tidaklah membawa
kita selangkahpun lebih maju, persis karena alasan bahwa simbol-simbol itu,
pada gilirannya, cepat atau lambat harus diterjemahkan ke dalam kata-kata dan
konsep-konsep. Mereka memiliki keuntungan seperti tulisan steno, lebih praktis
untuk operasi teknis tertentu, komputer dan beberapa hal lain, tapi hakikatnya
masih persis sama seperti yang sebelumnya. Jaringan simbol matematis yang
membingungkan ini diiringi oleh jargon-jargon yang benar-benar muluk, yang
nampaknya memang dibuat sehingga logika tidak akan pernah dipahami oleh
orang-orang kebanyakan, seperti kasta-pendeta dari Mesir dan Babilonia yang
menggunakan kata-kata dan simbol kultus rahasia untuk menjaga agar pengetahuan
mereka tidak bocor pada orang lain. Satu-satunya perbedaan adalah bahwa orang-orang
Mesir dan Babilonia itu memang benar-benar memiliki pengetahuan yang berharga
untuk dimiliki, seperti gerak benda-benda langit, apa yang tidak dimiliki sama
sekali oleh para ahli logika modern.
Istilah-istilah “predikat monadik”, “pengkuantifikasi”,
“variabel individu” dan lain-lain dsb., dirancang untuk memberi kesan bahwa
logika formal adalah satu ilmu yang tidak boleh dipandang enteng, karena ia
tidak akan pernah dapat dipahami oleh orang-orang kebanyakan. Kita harus
benar-benar prihatin bahwa nilai ilmiah dari satu sistem kepercayaan tidak
berbanding lurus dengan ketidakjelasan bahasa yang dipergunakannya. Jika itu
yang terjadi, tiap ahli mistik-religius dalam sejarah akan menjadi ilmuwan yang
setaraf dengan gabungan Newton, Darwin dan Einstein sekaligus.
Dalam komedi karya Moliere, Le Bourgeois Gentilhomme,
M. Jourdain terkejut kala diberitahu bahwa ia telah berbicara dalam prosa
sepanjang hidupnya, tanpa ia sadari. Logika modern hanya mengulangi semua
kategori kuno, dengan dibubuhi beberapa simbol dan istilah-istilah yang enak
didengar, untuk menyembunyikan fakta bahwa sama sekali tidak ada sesuatupun hal
baru dalam apa yang mereka nyatakan. Aristoteles telah menggunakan “predikat
monadik” (pernyataan yang menyerahkan kepemilikan pada individu) sejak
berabad-abad lalu. Tidak diragukan lagi, seperti M. Jourdain, ia akan bergirang
ketika tahu bahwa ia telah menggunakan Monadic Predicate sepanjang hidupnya,
tanpa ia sadari. Tapi hal itu tidak akan membuat perbedaan apapun atas apa yang
tengah dikerjakannya. Penggunaan label-label baru tidaklah mengubah isi dari
semangkuk selai. Pun penggunaan jargon tidak akan meningkatkan kesahihan satu
bentuk pemikiran yang sudah terkikis jaman.
Adalah satu kebenaran yang memprihatinkan bahwa, di
penghujung abad ke-20, logika formal telah mencapai batas terakhirnya. Tiap
penemuan baru dalam ilmu pengetahuan terus saja menghujamkan pukulan pada
logika itu. Sekalipun bentuknya diubah-ubah, hukum-hukum dasarnya tetap tidak
dapat berubah. Satu hal sudah jelas, perkembangan logika formal selama seratus
tahun terakhir, pertama melalui kalkulus proposional (Propotional Calculus),
kemudian melalui kalkulus proposional rendah (Low Propotional Calculus) telah
membawa subjek tersebut pada titik penyempurnaan sejauh yang dimungkinkan. Kita
telah mencapai sistem logika formal yang paling komprehensif, sehingga
penambahan lain tentunya tidak akan menyajikan sesuatupun yang baru. Logika
formal telah menyatakan segala yang dapat dinyatakannya. Jika kita berani mau
jujur, ia telah mencapai tahap itu beberapa waktu yang lalu.
Baru-baru ini, basis telah bergeser dari argumen pada
kesimpulan deduktif. Bagaimana “teorema logika diturunkan”? Ini adalah landasan
yang amat rapuh. Basis logika formal telah diterima tanpa pertanyaan selama
berabad-abad. Satu penyelidikan yang menyeluruh atas landasan teoritik dari
logika formal niscanya akan berakhir pada perubahan logika itu menjadi
lawannya. Arend Heyting, pendiri Aliran Matematika Intuisionis, menolak
kesahihan dari beberapa pembuktian yang digunakan dalam matematika klasik.
Walau demikian, kebanyakan ahli logika masih terus berkeras untuk memeluk
cara-cara logika formal yang usang itu, seperti seorang yang berkeras memeluk
sebatang jerami ketika ia sudah hampir tenggelam:
“Kami tidak percaya bahwa ada logika yang
non-Aristotelian dalam makna seperti adanya geometri yang non-Euklides, yaitu,
satu sistem logika yang mengasumsikan kebalikan dari prinsip-prinsip logika
Aristotelian, prinsip kontradiksi dan tanpa-antara, sebagai kebenaran, dan
dapat menarik kesimpulan-kesimpulan yang sahih daripadanya.”
Ada dua cabang utama logika formal saat ini – kalkulus
proposional dan kalkulus predikat. Keduanya berangkat dari aksioma, yang harus
dianggap sebagai benar “dalam semua bidang yang mungkin ada”, di semua keadaan.
Ujian terakhirnya tetaplah kebebasan dari segala kontradiksi. Segala hal yang
kontradiktif akan dianggap sebagai “tidak sahih”. Tentu hal ini memiliki
beberapa penerapan, contohnya, pada komputer yang dirancang untuk menjalankan
prosedur ya atau tidak yang sederhana. Pada kenyataannya, segala aksiom semacam
itu adalah tautologi. Bentuk-bentuk kosong ini dapat diisi dengan hakikat macam
apapun juga. Keduanya diterapkan dengan cara yang mekanistis dan memaksa
terhadap segala subjek. Ketika persoalannya menyangkut proses yang linear,
keduanya memang berjalan dengan baik. Hal ini penting, karena sejumlah besar
proses dalam alam dan masyarakat benar berjalan dengan cara ini. Tapi ketika
kita sampai pada gejala-gejala yang lebih kompleks, kontradiktif dan
non-linear, hukum-hukum logika formal runtuh. Akan segera nampak bahwa, jauh
dari klaim mereka bahwa merekalah “kebenaran di segala bidang yang mungkin
ada”, mereka adalah, seperti kata Engels, sangat terbatas dalam penerapan
mereka, dan dengan cepat akan terkupas kedangkalannya ketika berhadapan dengan
gejala sebagai sebuah totalitas keadaan. Lebih jauh lagi, persis inilah keadaan
yang telah menyita perhatian ilmu pengetahuan, khususnya bagian yang paling
inovatif, di sebagian besar waktu sepanjang abad ke-20.
Selain itu, ada beberapa pendapat yang membagi logika
menjadi beberapa aliran besar yakni:
a. Aliran Logika Tradisional
Logika ditafsirkan sebagai suatu kumpulan aturan
praktis yang menjadi petunjuk pemikiran.
b. Aliran Logika Metafisis
Susunan pikiran
itu dianggap kenyataan, sehingga logika dianggap seperti metafisika. Tugas
pokok logika adalah menafsirkan pikiran
sebagai suatu tahap dari struktur kenyataan. Sebab itu untuk mengetahui
kenyataan, orang harus belajar logika lebih dahulu.
c. Aliran Logika Epistemologis
Dipelopori oleh Francis Herbert Bradley (1846 - 1924)
dan Bernard Bosanquet (1848 - 1923). Untuk dapat mencapai pengetahuan yang
memadai, pikiran logis dan perasaan harus digabung. Demikian juga untuk
mencapai kebenaran, logika harus dihubungkan dengan seluruh pengetahuan
lainnya.
d. Aliran Logika Instrumentalis (Aliran Logika Pragmatis)
Dipelopori oleh John Dewey (1859 - 1952). Logika
dianggap sebagai alat (instrumen) untuk memecahkan masalah.
e. Aliran Logika Matematika
Logika matematika adalah cabang logika dan matematika
yang mengandung kajian matematis logika dan aplikasi kajian ini pada
bidang-bidang lain di luar matematika. Logika matematika berhubungan erat
dengan ilmu komputer dan logika filosofis. Tema utama dalam logika matematika
antara lain adalah kekuatan ekspresif dari logika formal dan kekuatan deduktif
dari sistem pembuktian formal. Logika matematika sering dibagi ke dalam
cabang-cabang dari teori himpunan, teori model, teori rekursi, teori
pembuktian, serta matematika konstruktif. Bidang-bidang ini memiliki hasil
dasar logika yang serupa.
Dipelopori oleh Leibniz, Boole dan De Morgan. Aliran
ini sangat menekankan penggunaan bahasa simbol untuk mempelajari secara
terinci, bagaimana akal harus bekerja. Metode-metode dalam mengembangkan matematika banyak digunakan oleh aliran ini,
sehingga aliran ini berkembang sangat teknis dan ilmiah serta bercorak
matematika, yang kemudian disebut Logika Matematika (Mathematical Logic). G.W.
Leibniz (1646 - 1716) dianggap sebagai matematikawan pertama yang mempelajari
Logika Simbolik.
Logika Berdasarkan Sumber Pemikiran
a.
Logika
Alamiah
Logika alamiah adalah kinerja akal budi manusia yang berpikir secara tepat
dan lurus sebelum dipengaruhi oleh keinginan-keinginan dan kecenderungan-kecenderungan
yang subyektif. Kemampuan logika alamiah manusia ada sejak lahir.
b. Logika ilmiah
Logika ilmiah memperhalus, mempertajam pikiran serta akal budi. Logika
ilmiah menjadi ilmu khusus yang merumuskan azas-azas yang harus ditepati dalam
setiap pemikiran. Berkat pertolongan logika ilmiah inilah akal budi dapat
bekerja dengan lebih tepat, lebih teliti, lebih mudah dan lebih aman. Logika
ilmiah dimaksudkan untuk menghindarkan kesesatan atau, paling tidak, dikurangi.
Logika Berdasarkan Penalaran
a. Penalaran Deduksi
Merupakan sistem penalaran yang menelaah prinsip-prinsip penyimpulan yang
sah berdasarkan bentuknya serta kesimpulan yang dihasilkan sebagai kemestian
diturunkan dari pangkal pikirnya. Dalam logika ini yang terutama ditelaah
adalah bentuk dari kerjanya akal jika telah runtut dan sesuai dengan
pertimbangan akal yang dapat dibuktikan tidak ada kesimpulan lain karena proses
penyimpulannya adalah tepat dan sah. Logika deduktif karena berbicara tentang
hubungan bentuk-bentuk pernyataan saja yang utama terlepas isi apa yang
diuraikan karena logika deduktif disebut pula logika formal.
b. Penalaran Induksi
Logika induktif adalah sistem penalaran yang menelaah prinsip-prinsip
penyimpulan yang sah dari sejumlah hal khusus sampai pada suatu kesimpulan umum
yang bersifat boleh jadi. Logika ini sering disebut juga logika material, yaitu
berusaha menemukan prinsip-prinsip penalaran yang bergantung kesesuaiannya
dengan kenyataan, oleh karena itu kesimpulannya hanyalah keboleh-jadian, dalam
arti selama kesimpulannya itu tidak ada bukti yang menyangkalnya maka
kesimpulan itu benar, dan tidak dapat dikatakan pasti.
Definisi Filsafat
Secara etimologis, istilah filsafat
berasal dari bahasa Yunani philosophia (philos dan sophia).
Kata philos memiliki arti kekasih atau sahabat, sedangkan kata sophia
memiliki makna kebijaksanaan atau pengetahuan. Jadi, secara harfiah philosohia
dapat diartikan sebagai yang mencintai kebijaksanaan atau sahabat
pengetahuan.
Menurut Rapar (1996: 14-16) para
filsuf pra-Socratik menyebutkan bahwa filsafat adalah ilmu yang berupaya untuk
memahami hakikat alam dan realitas ada dengan mengandalkan akal budi. Plato,
menyebutkan filsafat sebagai ilmu pengetahuan yang berusaha meraih kebenaran
yang asli dan murni. Selain itu, Plato juga menyebutkan bahwa filsafat adalah
penyelidikan tentang sebab-sebab dan asas-asas yang paling akhir dari segala
sesuatu yang ada.
Aristoteles—murid Plato—mengatakan
bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan yang senantiasa berupaya mencari
prinsip-prinsip dan penyebab-penyebab dari realitas ada. Aristoteles juga
menyebutkan bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berupaya mempelajari being
as being atau being as such. Sementara itu Rene Descartes mengatakan
bahwa filsafat adalah himpunan dari segala pengetahuan yang pangkal
penyelidikannya adalah mengenai Tuhan, alam, dan manusia.
Willian James, filsuf dari Amerika
mengatakan bahwa filsafat adalah suatu upaya yang luar biasa hebat untuk
berpikir yang jelas dan terang. R.F. Beerling, guru besar filsafat Universitas
Indonesia, mengatakan bahwa filsafat berupaya memajukan pertanyaan tentang
kenyataan seluruhnya atau tentang hakikat, asas, dan prinsip dari kenyataan.
Konsep atau gagasan tentang definisi
filsafat yang beragam tidak harus menjadikan kita bingung, akan tetapi justru
memperlihatkan kepada kita bahwa betapa luasnya ruang lingkup filsafat sehingga
tidak dibatasi oleh batasan-batasan yang mempersempit ruang gerak filsafat itu
sendiri. Perbedaan perspektif dalam filsafat justru akan memperkaya wacana
filsafat, sedangkan kesamaan dan kesatuan pikiran atau perspektif dalam
filsafat justru akan mematikan dan mempersempit filsafat dengan sendirinya.
Empat hal yang melahirkan filsafat
Selanjutnya muncul pertanyaan,
bagaimanakah filsafat itu tercipta? Hal apa yang menyebabkan manusia
berfilsafat? Pada dasarnya ada empat hal yang merangsang manusia untuk
berfilsafat, yaitu ketakjuban, ketidakpuasan, hasrat bertanya, dan
keraguan.
Menurut Aristoteles ketakjuban
dianggap sebagai salah satu asal muasal filsafat. Pada awalnya manusia merasa
takjub terhadap hal-hal yang ada disekitarnya, lama-kelamaan ketakjubannya
semakin terarah kepada hal-hal yang lebih luas dan besar, seperti perubahan dan
peredaran bulan, matahari, bintang-bintang, asal mula alam semesta, dan
seterusnya. Ketakjuban macam ini hakikatnya hanya mungkin dirasakan dan
dimiliki oleh mahluk yang selain memiliki perasaan juga mempunyai akal budi
(rasio).
Sebelum lahirnya filsafat, kehidupan
manusia dikuasai dan diatur oleh berbagai macam mitos dan mistis. Berbagai
macam mitos dan mistis tersebut berupaya menjelaskan tentang asal mula dan
peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam alam semesta, yang terjadi dalam
kehidupan manusia sehari-hari. Sayangnya, ternyata penjelasan-penjelasan yang
berasal dari mitos dan mistis tersebut makin lama makin tidak memuaskan
manusia. Ketidakpuasan itu pada nantinya mendorong manusia untuk terus
menerus mencari penjelasan dan keterangan yang lebih meyakinkan bagi dirinya,
dan yang lebih akurat.
Dilandasi oleh perasaan
ketidakpuasan tadi dan upaya mencari penjelasan dan keterangan yang lebih pasti
cepat atau lambat akan mengantarkan manusia tersebut kepada pemikiran yang
rasional. Konsekuensinya adalah akal budi akan semakin berperan, dan justru
semakin menggeser peran mitos dan mistis dalam kehidupan manusia. Pada saat
rasio telah menghapus peran mitos dan mistis tadi, maka manusia telah mencapai
level berfilsafat.
Ketakjuban manusia telah melahirkan
pertanyaan-pertanyaan, dan ketidakpuasan manusia membuat pertanyaan-pertanyaan
itu tidak kunjung habisnya. Dengan bekal hasrat bertanya maka kehidupan
manusia serta pengetahuan semakin berkembang dan maju. Hasrat bertanyalah yang
mendorong manusia untuk melakukan pengamatan, penelitian, serta penyelidikan.
Ketiga hal tersebut yang menghasilkan pelbagai penemuan baru yang semakin
memperkaya manusia dengan pengetahuan baru yang terus bertambah.
Manusia sendiri ketika
mempertanyakan segala sesuatu dengan maksud untuk memperoleh kejelasan dan
keterangan mengenai hal yang dipertanyakan tersebut, itu berarti dia sedang
mengalami keraguan. Keraguan ini dilandasi bahwa sesuatu yang
dipertanyakan tersebut belum terang dan belum jelas. Karena itu manusia perlu
dan harus bertanya. Manusia bertanya karena masih meragukan kejelasan dan
kebenaran dari apa yang telah diketahuinya. Jadi, dapat kita lihat bahwa
keraguanlah yang ikut serta mendorong manusia untuk bertanya dan terus
bertanya, yang kemudian menggiring manusia untuk berfilsafat.
Dengan terus menerus memiliki hasrat
bertanya maka filsafat itu akan tetap ada, dan akan terus ada. Filsafat akan
berhenti pada saat manusia telah berhenti mempertanyakan segala sesuatu.
Proses Kelahiran Filsafat
Filsafat, sebagai bagian dari
kebudayaan manusia yang amat menakjubkan, banyak dipahami lahir di Yunani dan
dikembangkan sejak awal abad ke-6 SM. Para orang-orang Yunani ketika itu
diyakini telah berhasil mengolah berbagai ilmu pengetahuan menjadi benar-benar
rasional dan berkembang pesat. Pemikiran rasional-ilmiah itulah yang melahirkan
filsafat. Para filsuf Yunani pertama, sebenarnya adalah para ahli matematika,
astronomi, ilmu bumi, dan berbagai ilmu pengetahuan lainnya. Karena itu, pada
tahap awal, filsafat mencakup seluruh ilmu pengetahuan.
Para filsuf Yunani pertama tersebut
dikenal sebagai filsuf-filsuf alam. Mereka berpikir tentang alam: apakah inti
dari alam, bagaimana menerangkan tentang bagaimana alam itu bisa ada, dan
seterusnya. Dengan demikian, filsafat yang pertama lahir adalah filsafat alam.
Yang perlu dicatat dari lahirnya
filsafat adalah bahwa filsafat telah berani mengajak manusia untuk meninggalkan
cara berpikir yang irasional dan tidak logis. Manusia kemudian beralih kepada
jalan pemikiran yang rasional-ilmiah yang semakin lama semakin sistematis. Cara
berpikir yang rasional-ilmiah itu pula yang menghasilkan gagasan dan pemikiran
yang terbuka untuk diteliti oleh akal budi. Lebih dari itu, kebenarannya dapat
didiskusikan lebih lanjut guna meraih konsep-konsep baru dan
kebenaran-kebenaran baru yang diharapkan lebih sesuai dengan realitas
sesungguhnya.
Sifat Dasar Filsafat
Berfilsafat artinya berpikir
secara radikal. Filsuf adalah pemikir yang radikal. Dan karena berpikir
radikal ia tidak pernah terpaku hanya kepada satu fenomena tertentu. Ia tidak
akan berhenti pada satu jawaban tertentu. Dengan berpikir radikal, filsafat
berupaya untuk menemukan jawaban dari akar permasalahan yang ada. Filsafat
berupaya mencari hakikat yang sesungguhnya dari segala sesuatu.
Berpikir radikal bukan berarti
hendak mengubah, membuang, atau menjungkirbalikkan segala sesuatu, melainkan
dalam arti berupaya berpikir secara mendalam, untuk mencari akar persoalan yang
dipermasalahkan. Berpikir radikal justru berupaya memperjelas realitas, melalui
penemuan serta pemahaman akan akar realitas itu sendiri.
Filsafat bukan hanya mengacu kepada
bagian tertentu dari realitas, akan tetapi berupaya mencari keseluruhan. Dalam
memandang keseluruhan realitas, filsafat senantiasa berusaha mencari asas yang
paling hakiki dari keseluruhan realitas. Mencari asas berarti berupaya
menemukan sesuatu yang menjadi esensi realitas. Dengan menemukan esensi suatu
realitas, realitas tersebut dapat diketahui dengan pasti dan menjadi jelas.
Mencari asas adalah salah satu sifat dasar filsafat.
Filsuf pada dasarnya adalah seorang pemburu
kebenaran. Kebenaran yang diburunya merupakan kebenaran hakiki tentang
seluruh realitas dan setiap hal yang dapat dipersoalkan. Maka dapat dikatakan
bahwa berfilsafat artinya memburu kebenaran tentang segala sesuatu.
Yang namanya kebenaran itu sendiri
harus bisa dipertanggungjawabkan. Artinya, kebenaran harus selalu terbuka untuk
dipersoalkan kembali dan diuji demi meraih kebenaran yang lebih pasti. Dan
begitu untuk seterusnya. Oleh karenanya dapat dikatakan bahwa kebenaran dalam
artian filsafat tidak pernah bersifat mutlak dan final, akan tetapi selalu
bergerak dari satu kebenaran menuju kebenaran baru yang lebih pasti.
Filsafat muncul salah satunya
disebabkan adanya keraguan. Untuk mengatasi keraguan tersebut maka dibutuhkan
yang namanya kejelasan. Ada filsuf yang mengatakan bahwa berfilsafat artinya
berupaya mendapatkan kejelasan dan penjelasan mengenai seluruh realitas.
Geisler dan Feinberg (1982: 18-19) mengatakan bahwa ciri khas penelitian
filsafati adalah adanya usaha keras demi mengapai kejelasan intelektual (intellectual
clarity).
Berpikir secara radikal, mencari
asas, memburu kebenaran, dan mencari kejelasan tidak mungkin dapat berhasil
dengan baik tanpa berpikir secara rasional. Berpikir secara rasional
artinya berpikir secara logis, sistematis, dan kritis. Berpikir logis adalah bukan
sekedar menggapai pengertian-pengertian yang dapat diterima oleh akal sehat,
akan tetapi juga agar sanggup menarik kesimpulan dan mengambil keputusan yang
tepat dan benar dari premis-premis yang digunakan.
Berpikir logis juga menuntut
pemikiran yang sistematis. Pemikiran yang sistematis adalah rangkaian pemikiran
yang berhubungan satu sama lain atau saling berkaitan secara logis. Tanpa
disertai pemikiran yang logis-sistematis dan koheren, tidak mungkin dicapai
kebenaran yang bisa dipertanggungjawabkan.
Berpikir kritis artinya menjaga
kemauan untuk terus-menerus mengevaluasi argumentasi yang mengklaim dirinya
adalah benar. Seseorang yang berpikiran kritis tidak akan mudah meyakini suatu
kebenaran begitu saja tanpa benar-benar menguji keabsahan kebenaran tersebut.
No comments:
Post a Comment