Tuesday, April 3, 2018

LOGIKA (FILSAFAT PIKIRAN/PENGETAHUAN)



FILSAFAT LOGIKA


A.    PENGERTIAN LOGIKA
Logika berasal dari kata Yunani kuno λόγος (logos) yang berarti hasil pertimbangan akal pikiran yang diutarakan lewat kata dan dinyatakan dalam bahasa. Sebagai ilmu, logika disebut dengan logike episteme (Latin: logica scientia) atau ilmu logika (ilmu pengetahuan) yang mempelajari kecakapan untuk berpikir secara lurus, tepat, dan teratur. Ilmu disini mengacu pada kemampuan rasional untuk mengetahui dan kecakapan mengacu pada kesanggupan akal budi untuk mewujudkan pengetahuan ke dalam tindakan. Kata logis yang dipergunakan tersebut bisa juga diartikan dengan masuk akal.

Logika merupakan cabang filsafat yang bersifat praktis berpangkal pada penalaran, dan sekaligus juga sebagai dasar filsafat dan sebagai sarana ilmu. Dengan fungsi sebagai dasar filsafat dan sarana ilmu karena logika merupakan “jembatan penghubung” antara filsafat dan ilmu, yang secara terminologis logika didefinisikan: Teori tentang penyimpulan yang sah. Penyimpulan pada dasarnya bertitik tolak dari suatu pangkal-pikir tertentu, yang kemudian ditarik suatu kesimpulan. Penyimpulan yang sah, artinya sesuai dengan pertimbangan akal dan runtut sehingga dapat dilacak kembali yang sekaligus juga benar, yang berarti dituntut kebenaran bentuk sesuai dengan isi.

Logika sebagai teori penyimpulan, berlandaskan pada suatu konsep yang dinyatakan dalam bentuk kata atau istilah, dan dapat diungkapkan dalam bentuk himpunan sehingga setiap konsep mempunyai himpunan, mempunyai keluasan. Dengan dasar himpunan karena semua unsur penalaran dalam logika pembuktiannya menggunakan diagram himpunan, dan ini merupakan pembuktian secara formal jika diungkapkan dengan diagram himpunan sah dan tepat karena sah dan tepat pula penalaran tersebut.

Sejarah Logika


Logika dimulai sejak Thales (624 SM - 548 SM), yaitu pada Masa Yunani Kuno filsuf Yunani pertama yang meninggalkan segala dongeng, takhayul, dan cerita-cerita isapan jempol dan berpaling kepada akal budi untuk memecahkan rahasia alam semesta. Thales mengatakan bahwa air adalah arkhe (Yunani) yang berarti prinsip atau asas utama alam semesta. Saat itu Thales telah mengenalkan logika induktif. Aristoteles kemudian mengenalkan logika sebagai ilmu, yang kemudian disebut logica scientica. Aristoteles mengatakan bahwa Thales menarik kesimpulan bahwa air adalah arkhe alam semesta dengan alasan bahwa air adalah jiwa segala sesuatu. Dalam logika Thales, air adalah arkhe alam semesta, yang menurut Aristoteles disimpulkan dari:

·         Air adalah jiwa tumbuh-tumbuhan (karena tanpa air tumbuhan mati)
·         Air adalah jiwa hewan dan jiwa manusia
·         Air jugalah uap
·         Air jugalah es

Jadi, air adalah jiwa dari segala sesuatu, yang berarti, air adalah arkhe alam semesta. Sejak saat Thales sang filsuf mengenalkan pernyataannya, logika telah mulai dikembangkan. Kaum Sofis beserta Plato (427 SM-347 SM) juga telah merintis dan memberikan saran-saran dalam bidang ini.

Pada masa Aristoteles logika masih disebut dengan analitica (Logika Formal), yang secara khusus meneliti berbagai argumentasi yang berangkat dari proposisi yang benar, dan dialektika yang secara khusus meneliti argumentasi yang berangkat dari proposisi yang masih diragukan kebenarannya. Inti dari logika Aristoteles adalah silogisme.

Logika pertama-tama disusun oleh Aristoteles (384-322 SM), sebagai sebuah ilmu tentang hukum-hukum berpikir guna memelihara jalan pikiran dari setiap kekeliruan. Logika sebagai ilmu baru pada waktu itu, disebut dengan nama “analitika” dan “dialektika”. Kumpulan karya tulis Aristoteles mengenai logika diberi nama Organon, terdiri atas enam bagian.

Buku Aristoteles berjudul Organon (alat) berjumlah enam, yaitu:

1.      Categoriae menguraikan pengertian-pengertian
2.      De interpretatione tentang keputusan-keputusan
3.      Analytica Posteriora tentang pembuktian.
4.      Analytica Priora tentang Silogisme.
5.      Topica tentang argumentasi dan metode berdebat.
6.      De sohisticis elenchis tentang kesesatan dan kekeliruan berpikir.

Karya Aristoteles tentang logika dalam buku Organon dikenal di dunia Barat selengkapnya ialah sesudah berlangsung penyalinan-penyalinan yang sangat luas dari sekian banyak ahli pikir Islam ke dalam bahasa Latin. Penyalinan-penyalinan yang luas itu membukakan masa dunia Barat kembali akan alam pikiran Grik Tua.

Pada 370 SM - 288 SM Theophrastus, murid Aristoteles yang menjadi pemimpin Lyceum, melanjutkan pengembangn logika. Theoprastus memberi sumbangan terbesar dalam logika ialah penafsirannya tentang pengertian yang mungkin dan juga tentang sebuah sifat asasi dari setiap kesimpulan. Istilah logika untuk pertama kalinya dikenalkan oleh Zeno dari Citium 334 SM - 226 SM pelopor Kaum Stoa. Sistematisasi logika terjadi pada masa Galenus (130 M - 201 M) dan Sextus Empiricus (200 M), dua orang dokter medis yang mengembangkan logika dengan menerapkan metode geometri.

Kemudian, Porphyrius (233-306 M), seorang ahli pikir di Iskandariah menambahkan satu bagian baru dalam pelajaran logika. Bagian baru ini disebut Eisagoge, yakni sebagai pengantar Categorie. Dalam bagian baru ini dibahas lingkungan-lingkungan zat dan lingkungan-lingkungan sifat di dalam alam, yang biasa disebut dengan klasifikasi. Dengan demikian, logika menjadi tujuh bagian.

Boethius (480-524) menerjemahkan Eisagoge Porphyrius ke dalam bahasa Latin dan menambahkan komentar- komentarnya. Johanes Damascenus (674 - 749) menerbitkan Fons Scienteae.

Pada abad pertengahan yakni abad 9 hingga abad 15, buku-buku Aristoteles seperti De Interpretatione, Eisagoge oleh Porphyus dan karya Boethius masih digunakan. Thomas Aquinas 1224-1274 dan kawan-kawannya berusaha mengadakan sistematisasi logika. Maka lahirlah logika modern dengan tokoh-tokoh seperti:

·         Petrus Hispanus 1210 - 1278)
·         Roger Bacon 1214-1292
·         Raymundus Lullus (1232 -1315) yang menemukan metode logika baru yang dinamakan Ars Magna, yang merupakan semacam aljabar pengertian.
·         William Ocham (1295 - 1349)

Tokoh logika pada zaman Islam adalah Al-Farabi (873-950 M) yang terkenal mahir dalam bahasa Grik Tua, menyalin seluruh karya tulis Aristoteles dalam berbagai bidang ilmu dan karya tulis ahli-ahli pikir Grik lainnya. Al-Farabi menyalin dan memberi komentar atas tujuh bagian logika dan menambahkan satu bagian baru sehingga menjadi delapan bagian.

Petrus Hispanus (meninggal 1277 M) menyusun pelajaran logika berbentuk sajak, seperti All-Akhdari dalam dunia Islam, dan bukunya itu menjadi buku dasar bagi pelajaran logika sampai abad ke-17. Petrus Hispanus inilah yang mula-mula mempergunakan berbagai nama untuk sistem penyimpulan yang sah dalam perkaitan bentuk silogisme kategorik dalam sebuah sajak. Dan kumpulan sajak Petrus Hispanus mengenai logika ini bernama Summulae.
           
Pengembangan dan penggunaan logika Aristoteles secara murni diteruskan oleh Thomas Hobbes (1588 - 1679) dengan karyanya Leviatan dan John Locke (1632 - 1704) dalam An Essay Concerning Human Understanding. Francis Bacon (1561 - 1626) mengembangkan logika induktif yang diperkenalkan dalam bukunya Novum Organum Scientiarum. J.S. Mills (1806 - 1873) melanjutkan logika yang menekankan pada pemikiran induksi dalam bukunya System of Logic.

Francis Bacon (1561-1626 M) melancarkan serangan sengketa terhadap logika dan menganjurkan penggunaan sistem induksi secara lebih luas. Serangan Bacon terhadap logika ini memperoleh sambutan hangat dari berbagai kalangan di Barat, kemudian perhatian lebih ditujukan kepada penggunaan sistem induksi. Pembaruan logika di Barat berikutnya disusul oleh lain-lain penulis di antaranya adalah Gottfried Wilhem von Leibniz. Ia menganjurkan penggantian pernyataan-pernyataan dengan simbol-simbol agar lebih umum sifatnya dan lebih mudah melakukan analisis. Demikian juga Leonard Euler, seorang ahli matematika dan logika Swiss melakukan pembahasan tentang term-term dengan menggunakan lingkaran-lingkaran untuk melukiskan hubungan antarterm yang terkenal dengan sebutan circle-Euler.

John Stuart Mill pada tahun 1843 mempertemukan sistem induksi dengan sistem deduksi. Setiap pangkal-pikir besar di dalam deduksi memerlukan induksi dan sebaliknya induksi memerlukan deduksi bagi penyusunan pikiran mengenai hasil-hasil eksperimen dan penyelidikan. Jadi, kedua-duanya bukan merupakan bagian-bagian yang saling terpisah, tetapi sebetulnya saling membantu. Mill sendiri merumuskan metode-metode bagi sistem induksi, terkenal dengan sebutan Four Methods.

Logika Formal sesudah masa Mill lahirlah sekian banyak buku-buku baru dan ulasan-ulasan baru tentang logika. Dan sejak pertengahan abad ke-19 mulai lahir satu cabang baru yang disebut dengan Logika-Simbolik. dengan hadirnya pelopor-pelopor logika simbolik seperti:

·         Gottfried Wilhelm Leibniz (1646-1716) menyusun logika aljabar berdasarkan Ars Magna dari Raymundus Lullus. Logika ini bertujuan menyederhanakan pekerjaan akal budi dan lebih mempertajam kepastian.
·         George Boole (1815-1864)
·         John Venn (1834-1923)
·         Gottlob Frege (1848 - 1925)

Lalu Chares Sanders Peirce (1839-1914), seorang filsuf Amerika Serikat yang pernah mengajar di John Hopkins University,melengkapi logika simbolik dengan karya-karya tulisnya. Ia memperkenalkan dalil Peirce (Peirce's Law) yang menafsirkan logika selaku teori umum mengenai tanda (general theory of signs). Puncak kejayaan logika simbolik terjadi pada tahun 1910-1913 dengan terbitnya Principia Mathematica tiga jilid yang merupakan karya bersama Alfred North Whitehead (1861 - 1914) dan Bertrand Arthur William Russel (1872 - 1970). Logika simbolik lalu diteruskan oleh Ludwig Wittgenstein (1889-1951), Rudolf Carnap (1891-1970), Kurt Godel (1906-1978), dan lain-lain.

Pelopor logika simbolik pada dasarnya sudah dimulai oleh Leibniz. Logika simbolik pertama dikembangkan oleh George Boole dan Augustus de Morgan. Boole secara sistematik dengan memakai simbol-simbol yang cukup luas dan metode analisis menurut matematika, dan Augustus De Morgan (1806-1871) merupakan seorang ahli matematika Inggris memberikan sumbangan besar kepada logika simbolik dengan pemikirannya tentang relasi dan negasi.

Tokoh logika simbolik yang lain ialah John Venn (1834-1923), ia berusaha menyempurnakan analisis logik dari Boole dengan merancang diagram lingkaran-lingkaran yang kini terkenal sebagai diagram Venn (Venn’s diagram) untuk menggambarkan hubungan-hubungan dan memeriksa sahnya penyimpulan dari silogisme. Untuk melukiskan hubungan merangkum atau menyisihkan di antara subjek dan predikat yang masing-masing dianggap sebagai himpunan.

Perkembangan logika simbolik mencapai puncaknya pada awal abad ke-20 dengan terbitnya 3 jilid karya tulis dua filsuf besar dari Inggris Alfred North Whitehead dan Bertrand Arthur William Russell berjudul Principia Mathematica (1910-1913) dengan jumlah 1992 halaman. Karya tulis Russell-Whitehead Principia Mathematica memberikan dorongan yang besar bagi pertumbuhan logika simbolik.

Di Indonesia pada mulanya logika tidak pernah menjadi mata pelajaran pada perguruan-perguruan umum. Pelajaran logika cuma dijumpai pada pesantren-pesantren Islam dan perguruan-perguruan Islam dengan mempergunakan buku-buku berbahasa Arab. Pada masa sekarang ini logika di Indonesia sudah mulai berkembang sesuai perkembangan logika pada umumnya yang mendasarkan pada perkembangan teori himpunan.

Dalam sejarah perkembangan cara berfikir, dialektika merupakan perkembangan lebih lanjut dari logika formal. Logika formal adalah sebuah ilmu-pengetahuan besar tentang sistim proses berfikir. Logika formal merupakan hasil karya filasat zaman yunani kuno. Pemikir-pemikir Yunani kuno awal lah yang menemukan metode berfikir. Pemikir Yunani kuno, seperti Aristoteles, mengumpulkan, mengkelasifikasikan, mengkritik dan mensistimasikan hasil-hasil positif dari berbagai pemikiran dan membangun sebuah sistim berfikir yang disebut logika formal. Euklides melakukan hal yang sama untuk dasar-dasar geoemetri; Archimides untuk dasar-dasar mekanika; Ptolomeus dan Alexandria kemudian menemukan astronomi dan geografi; dan Galen untuk anatomi.

Logika Aristoteles mempengaruhi cara berfikir umat manusia selama dua ribu tahun. Cara fikir tersebut tidak memiliki lawan sampai kemudian ditantang, dijatuhkan dan menjadi ketinggalan zaman oleh dan karena dialektika, sebuah sistim besar kedua dalam ilmu cara berfikir. Dialektika merupakan hasil dari gerakan ilmu-pengetahuan revolusioner selama seabad, yang dilakukan oleh pekerja-pekerja intelektual. Dialektiak  muncul sebagai cara fikir terbaru dari filsuf-filsuf besar dalam Revolusi Demokratik di Eropa Barat pada abad ke-6 dan abad ke-17. Hegel, seorang tokoh dari sekolah filsafat idealis (borjuis) di Jerman, adalah seorang guru besar yang pertama kali mentransformasikan ilmu logika, seperti di sebutkan oleh Marx: “bentuk-bentuk umum gerakan dialektika yang memiliki cara yang  komprehensif dan sadar sepenuhnya.”

Marx dan Engels adalah murid Hegel di lapangan Logika. Dalam ilmu logika, mereka berdua lah yang kemudian melakukan revolusi pada revolusi Hegelian dengan menyingkirkan elemen mistik dalam dialektikanya, dan menggantikan dialektika idealistik dengan sebuah landasan material yang konsisten.

Pada saat kita mendekati dialektika materialis dengan menggunakan logika formal,  kita harus memundurkan langkah kita pada sejarah aktual kemajuan ilmu logika, yakni perkembangan dari logika formal menuju ke logika dialektik.

Adalah salah jika kita mengira bahwa sejarah perkembangan cara berfikir adalah seperti ini: bahwa para filsuf Yunani tidak mengetahui soal dialektika; atau mengira Hegel dan Marx menolak sepenuhnya logika formal. Seperti yang dituliskan oleh Engels: “filsuf yunani kuno sudah dialektik sejak kemunculannya dan Aristoteles, sebagai intelektual yang paling ensiklopedis di antara mereka, bahkan sudah menganalisa bentuk-bentuik paling esensial pemikiran dialektik.” Tak ketinggalan pula, dialektika muncul dalam bentuk cikal bakalnya dalam pemikiran filsuf Yunani. Namun filsuf Yunani belum dan tidak dapat mengembangkan serpihan-serpihan pemikiran dialektik dalam sebuah sistimatika berfikir yang ilmiah. Mereka menyumbangkan serpihan-serpihan pemikiran tersebut hingga menjadi bentuk akhir logika formal Aristoteles. Pada saat yang bersamaan, penelitian dialektika mereka, kritisisme pada cara fikir formal dan sebaliknya dan semua persoalan yang dihadapinya dilakukan dengan keterbatasan logika formal, yang diperjuangkan selama berabad-abad yang, kemudian, dapat diselesaikan oleh dialektika hegelian dan, kini, oleh dialektika marxis.

Para akhli Dialektika modern tidak melihat logika formal sebagai sesuatu yang tak berguna. Sebaliknya, mereka menganggap bahwa logika formal tidak sekadar sesuatu yang penting dalam sejarah perkembangan metode berfikir tapi juga cukup penting pada saat ini agar berfikir benar. Tapi, dalam dirinya, logika formal jelas kurang lengkap. Unsur-unsur absyahnya menjadi bagian dalam dialektika. Hubungan antara logika formal dengan dialektika menjadi berkebalikan.  Di dalam pemikiran Yunani klasik sisi formal logika menjadi dominan dan aspek dialektiknya menjadi tergeser. Dalam ajaran modern, dialektika berada di garda depan dan sisi formal logika menjadi sub-ordinat terhadapnya.

Karena kedua tipe yang bertentangan tersebut memiliki banyak kesamaan, dan logika formal masuk sebagai materi struktural dalam kerangka logika dialektik, maka berguna sekali bagi kita menguasai logika formal. Dalam mempelajari logika formal secara tak langsung kita sudah siap menuju logika dialektik. Dengan mengakui,  atau setidaknya sedikit mengakui, logika formal, kita telah siap memisahkan logika formal dari logika dialektik. Hegel menunjukkan hal yang sama: ”Dalam kedekatannya yang terbatas (antara logika formal dan logika dialektik) terdapat suatu kotradiksi yang bisa menyumbangkan sesuatu ke belakang dirinya (logika dialektik).”

Akhirnya, lewat prosedur tersebut, kita mendapatkan pelajaran berharga dalam pemikiran dialektik. Hegel menjelaskan lagi: “Sesuatu tidak bisa dikenali secara menyeluruh sebelum mengenali lawannya.” Contohnya, kau tidak dapat benar-benar mengerti tentang seorang buruh-upahan sampai kau mengetahui bagaimana sebaliknya lawan sosial ekonominya, kelas kapitalis. Kau tidak dapat mengetahui Trotskyisme  sampai kau mempelajari secara mendalam esensi antitesis politiknya, yakni Stalinisme. Jadi kau tak akan bisa mempelajari kedalaman dialektika tanpa pertama kali mempelajari secara mendalam sejarah pendahulunya dan antitesis teoritisnya, yakni logika formal.

Pembagian Logika

Logika Berdasarkan Waktu

Berdasarkan waktu munculnya suatu aliran logika, Logika dapat dibagi menjadi beberapa aliran yakni:
a.       Logika Klasik
Manusia yang pertama kali membakukan proses penalaran atau logika adalah Aristoteles. Logika Aristoteles adalah suatu sistem berpikir deduktif (deductive reasoning), yang bahkan sampai saat ini masih dianggap sebagai dasar dari setiap pelajaran tentang logika formal (formal logic). Analytic adalah ilmu logika yang berdasarkan pada premis-premis yang diasumsikan benar. Salah satu konsep dasar dari logika aristoteles adalah silogisme. "A discourse in which, certain things being stated, something other than what is stated follows of necessity from their being so.", Aristoteles. 
Contoh silogisme :
·         Semua mamalia menyusui (Premis Mayor)
·         Kuda adalah mamalia (Premis Minor)
·         Kuda menyusui (Kesimpulan)

Kesimpulan dapat diambil jika subjek dari premis minor adalah bagian dari subjek premis mayor. Predikat kalimat kesimpulan adalah predikat premis mayor.

b.      Rasionalitasme
Rasionalisme (Latin ratio, "reason") muncul dalam beberapa bentuk nyaris pada setiap tingkatan filsafat, teologi Barat, namun umumnya Rasionalisme ini diidentifikasi dengan tradisi yang berakar dari abad 17 oleh filsuf dan cendekia Francis, René Descartes "Aku berpikir, berarti aku ada". (Rene Descartes (1598-1650) Kalimat tersebut dapat diartikan, segala sesuatu dapat menjadi benar jika dapat dibuat penalaran atau logika yang membuktikannya benar. Itu adalah ide dasar dari paham rasionalitasme.
Rene Descartes adalah salah satu pelopor paham Rasionalitasme. Rasionalisme menganggap ilmu yang diperoleh melalui pancaindera itu sebagai rendah martabatnya jika dibandingkan dengan ilmu yang diperolehi melalui akal, kerana pengalaman dari pancaindera dapat menipu dan tidak mempunyai kepastian. Sebelum Descartes, sebenarnya Plato sudah mengemukakan ide Rasionalisme. Menurut Plato, di atas dunia ini terdapat alam-alam ide yang menjadi sumber pengetahuan. Plato berkeyakinan bahwa jiwa manusia sebelum memasuki alam ini ia berada pada alam ide dan beranggapan bahwa pemikiran manusia berasal dari Tuhan.

c.       Empirisme
Memasuki masa Rennaissanse (abad 14-16 M), lahirlah paham empirisme. David Hume (1611-1776), menyatakan bahwa sumber satu-satunya untuk memperoleh pengetahuan adalah pengalaman atau, dengan kata lain, eksperimen. Dengan itu pihak Empirisis menafikan kewujudan ilmu yang sedia ada secara semula jadi pada diri manusia (innate knowledge). Bagi paham Empirisisme pula, ilmu yang sah terbit dari pengalaman dari pancaindera dan disahkan juga melaluinya. Empirisme memberikan cukup banyak dorongan pada perkembangan pada dunia sains dan juga teknologi.

d.      Modernisme
Perbedaan antara Rasionalitasme dan Empirisme coba diambil jalan tengahnya oleh Immanuel Kant. Dia mengajukan sintesis a pripori. Menurutnya, pengetahuan yang benar bersumber dari rasio dan empiris yang sekaligus bersifat a pripori dan a posteriori. Sebagai gambaran, kita melihat suatu benda dikarenakan mata kita melihat ke arah benda tersebut (Rasionalitasme) dan benda tersebut memantulkan sinar ke mata kita (Empirisme).

e.       Dialektika
Berbeda dengan logika klasik atau yang juga dikenal dengan istilah analitika, dialekta berawal dari proposisi-proposisi yang masih diragukan kebenarannya. Ide dasar dialektika sudah dicetuskan oleh Aristoteles dalam Organon-nya. Ia menyebutkan sepuluh kategori yang membangun penalaran atau logika dialektika, yaitu : substansi, kuantitas, kualitas, relasi, tempat, waktu, posisi, keadaan, aksi, dan keinginan. Sebagaimana Heraclitus mengatakan “everything flows”.

f.       Logika Simbolik
Logika simbolik adalah ilmu tentang penyimpulan yang sah (absah), khususnya yang dikembangkan dengan penggunaan metode-metode matematika dan dengan bantuan simbol-simbol khusus sehingga memungkinkan seseorang menghindarkan makna ganda dari bahasa sehari-hari (Frederick B. Fitch dalam bukunya “Symbolic Logic”). Logika simbolis dikenal juga dengan istilah logika matematika. Logika matematika membuat penalaran lebih terarah dan jelas tetapi secara konsep masih mengikuti ilmu logika sudah ada sebelumnya. Sehingga walaupun logika ini lahir di abad 19 M, konsep dasarnya masih sama dengan logika klasik Aristoteles(384 - 322 SM). Hanya saja, sekali lagi, logika simbolis menerangkan logika dengan lebih rapi. Pengembangan dan diskusi yang terus dilakukan tidak mengubah konsep dasar yang sudah ada. Sehingga wajar jika Cohen dan Nagel, dalam buku mereka “An Introduction to Logic and the Scientific Method”, halaman vii, menyatakan : "We do not believe that there is any non-Aristotelian logic in the sense in which there is a non-Euclidean geometry, that is, a system of logic in which the contraries of the Aristotelian principles of contradiction and the excluded middle are assumed to be true, and valid inferences drawn from them." Logika Hegel lebih dikenal dengan istilah formal logic. Ide dasar formal logic terangkum dalam tiga hukum atau prinsip, yaitu:

1.      The law of identity ("A" = "A").
2.      The law of contradiction ("A" ≠ “¬A").
3.      The law of the excluded middle ("A" ≠ "B").

g.       Logika Modern
Di abad ke-19, ada sejumlah upaya untuk memutakhirkan logika (George Boyle, Ernst Schröder, Gotlob Frege, Bertrand Russell dan A. N. Whitehead). Tapi, selain memperkenalkan simbol-simbol, dan beberapa penataan di sana-sini, tidak terdapat perubahan yang mendasar di sini. Banyak klaim besar yang dibuat, contohnya oleh para filsuf linguistik, tapi tidak terdapat banyak basis untuk mereka. Semantik (yang berurusan dengan kesahihan sebuah argumen) dipisahkan dari sintaksis (yang berurusan dengan apakah sebuah kesimpulan dapat ditarik dari aksiom dan premis tertentu). Ini dianggap sebagai sesuatu yang baru, padahal hanya merupakan pernyataan ulang dari pembagian kuno, yang telah akrab bagi orang-orang Yunani Kuno, antara logika dan retorika. Logika modern didasarkan pada hubungan logis di antara seluruh kalimat. Pusat perhatiannya telah bergeser dari silogisme menuju argumen-argumen yang hipotetikal dan disjungtif. Ini bukanlah satu lompatan yang dapat membuat orang yang melihat menahan nafas. Kita dapat mulai dengan kalimat (penilaian) bukannya silogisme. Hegel melakukan ini dalam Logic. Bukannya sebuah revolusi besar dalam pemikiran, ia malah lebih mirip mengocok ulang satu tumpukan kartu yang telah kusut karena dipakai berkali-kali.

Dengan menggunakan analogi fisika yang superfisial dan tidak tepat, apa yang disebut “metode atomik” yang dikembangkan oleh Russell dan Wittgenstein (dan yang kemudian disangkal sendiri oleh orang yang disebut terakhir itu) mencoba membagi bahasa menjadi “atom-atomnya”. Atom dasar dari bahasa menurutnya adalah kalimat sederhana, yang merupakan penyusun dari kalimat-kalimat kompleks. Wittgenstein bermimpi mengembangkan satu “bahasa formal” untuk tiap ilmu pengetahuan – fisika, biologi, bahkan psikologi. Kalimat-kalimat ditempatkan pada “uji kebenaran” yang berdasarkan hukum-hukum usang tentang identitas, kontradiksi dan tanpa-antara. Dalam kenyataannya, metode dasar yang digunakan masih tetap sama saja. “Nilai Kebenaran” adalah satu masalah “atau ini ... atau itu”[1], masalah “Ya atau Tidak”, masalah “benar atau salah”. Logika baru ini dirujuk sebagai kalkulus proposional. Tapi kenyataannya sistem ini bahkan tidak mampu menangani argumen-argumen yang sebelumnya dapat ditangani oleh silogisme yang paling dasar (kategorikal). Sang Gunung telah melahirkan seekor tikus.

Kenyataannya adalah bahwa bahkan kalimat sederhanapun tidak dapat dipahami, sekalipun ia dianggap sebagai “batu penyusun materi” linguistik. Bahkan penilaian yang paling sederhana, seperti yang ditunjukkan Hegel, mengandung pula kontradiksi. “Caesar adalah seorang manusia”, “Fido adalah seekor anjing”, “pohon itu hijau”, semua menyatakan bahwa yang khusus adalah sama dengan yang umum. Kalimat itu nampaknya sederhana, sebenarnya tidak. Ini adalah tutup buku bagi logika formal, yang terus saja berkeras untuk mengabaikan semua kontradiksi, bukan hanya dari alam dan masyarakat, tapi juga dalam pemikiran dan bahasa itu sendiri. Kalkulus proposional berangkat dari persis postulat yang sama dengan yang digunakan oleh Aristoteles di abad ke-4 SM, yaitu, hukum identitas, hukum (tanpa-) kontradiksi, dan hukum tanpa-antara, yang ditambahi hukum negasi-ganda. Hukum-hukum ini tidak dituliskan dengan huruf biasa melainkan dengan simbol sebagai berikut:

p = p
p = ⌐ p
p V = ⌐ p
⌐ (p ⌐ p)

Semuanya terlihat sangat manis, tapi tidaklah membuat perbedaan sedikitpun dengan hakikat silogisme. Terlebih lagi, logika simbolis itu sendiri bukanlah satu ide baru. Di tahun 1680-an, otak filsuf Jerman Leibniz yang selalu subur itu telah menghasilkan satu logika simbolis, sekalipun ia tak pernah mempublikasikannya.

Dimasukkannya simbol ke dalam logika tidaklah membawa kita selangkahpun lebih maju, persis karena alasan bahwa simbol-simbol itu, pada gilirannya, cepat atau lambat harus diterjemahkan ke dalam kata-kata dan konsep-konsep. Mereka memiliki keuntungan seperti tulisan steno, lebih praktis untuk operasi teknis tertentu, komputer dan beberapa hal lain, tapi hakikatnya masih persis sama seperti yang sebelumnya. Jaringan simbol matematis yang membingungkan ini diiringi oleh jargon-jargon yang benar-benar muluk, yang nampaknya memang dibuat sehingga logika tidak akan pernah dipahami oleh orang-orang kebanyakan, seperti kasta-pendeta dari Mesir dan Babilonia yang menggunakan kata-kata dan simbol kultus rahasia untuk menjaga agar pengetahuan mereka tidak bocor pada orang lain. Satu-satunya perbedaan adalah bahwa orang-orang Mesir dan Babilonia itu memang benar-benar memiliki pengetahuan yang berharga untuk dimiliki, seperti gerak benda-benda langit, apa yang tidak dimiliki sama sekali oleh para ahli logika modern.

Istilah-istilah “predikat monadik”, “pengkuantifikasi”, “variabel individu” dan lain-lain dsb., dirancang untuk memberi kesan bahwa logika formal adalah satu ilmu yang tidak boleh dipandang enteng, karena ia tidak akan pernah dapat dipahami oleh orang-orang kebanyakan. Kita harus benar-benar prihatin bahwa nilai ilmiah dari satu sistem kepercayaan tidak berbanding lurus dengan ketidakjelasan bahasa yang dipergunakannya. Jika itu yang terjadi, tiap ahli mistik-religius dalam sejarah akan menjadi ilmuwan yang setaraf dengan gabungan Newton, Darwin dan Einstein sekaligus.

Dalam komedi karya Moliere, Le Bourgeois Gentilhomme, M. Jourdain terkejut kala diberitahu bahwa ia telah berbicara dalam prosa sepanjang hidupnya, tanpa ia sadari. Logika modern hanya mengulangi semua kategori kuno, dengan dibubuhi beberapa simbol dan istilah-istilah yang enak didengar, untuk menyembunyikan fakta bahwa sama sekali tidak ada sesuatupun hal baru dalam apa yang mereka nyatakan. Aristoteles telah menggunakan “predikat monadik” (pernyataan yang menyerahkan kepemilikan pada individu) sejak berabad-abad lalu. Tidak diragukan lagi, seperti M. Jourdain, ia akan bergirang ketika tahu bahwa ia telah menggunakan Monadic Predicate sepanjang hidupnya, tanpa ia sadari. Tapi hal itu tidak akan membuat perbedaan apapun atas apa yang tengah dikerjakannya. Penggunaan label-label baru tidaklah mengubah isi dari semangkuk selai. Pun penggunaan jargon tidak akan meningkatkan kesahihan satu bentuk pemikiran yang sudah terkikis jaman.

Adalah satu kebenaran yang memprihatinkan bahwa, di penghujung abad ke-20, logika formal telah mencapai batas terakhirnya. Tiap penemuan baru dalam ilmu pengetahuan terus saja menghujamkan pukulan pada logika itu. Sekalipun bentuknya diubah-ubah, hukum-hukum dasarnya tetap tidak dapat berubah. Satu hal sudah jelas, perkembangan logika formal selama seratus tahun terakhir, pertama melalui kalkulus proposional (Propotional Calculus), kemudian melalui kalkulus proposional rendah (Low Propotional Calculus) telah membawa subjek tersebut pada titik penyempurnaan sejauh yang dimungkinkan. Kita telah mencapai sistem logika formal yang paling komprehensif, sehingga penambahan lain tentunya tidak akan menyajikan sesuatupun yang baru. Logika formal telah menyatakan segala yang dapat dinyatakannya. Jika kita berani mau jujur, ia telah mencapai tahap itu beberapa waktu yang lalu.

Baru-baru ini, basis telah bergeser dari argumen pada kesimpulan deduktif. Bagaimana “teorema logika diturunkan”? Ini adalah landasan yang amat rapuh. Basis logika formal telah diterima tanpa pertanyaan selama berabad-abad. Satu penyelidikan yang menyeluruh atas landasan teoritik dari logika formal niscanya akan berakhir pada perubahan logika itu menjadi lawannya. Arend Heyting, pendiri Aliran Matematika Intuisionis, menolak kesahihan dari beberapa pembuktian yang digunakan dalam matematika klasik. Walau demikian, kebanyakan ahli logika masih terus berkeras untuk memeluk cara-cara logika formal yang usang itu, seperti seorang yang berkeras memeluk sebatang jerami ketika ia sudah hampir tenggelam:

“Kami tidak percaya bahwa ada logika yang non-Aristotelian dalam makna seperti adanya geometri yang non-Euklides, yaitu, satu sistem logika yang mengasumsikan kebalikan dari prinsip-prinsip logika Aristotelian, prinsip kontradiksi dan tanpa-antara, sebagai kebenaran, dan dapat menarik kesimpulan-kesimpulan yang sahih daripadanya.”

Ada dua cabang utama logika formal saat ini – kalkulus proposional dan kalkulus predikat. Keduanya berangkat dari aksioma, yang harus dianggap sebagai benar “dalam semua bidang yang mungkin ada”, di semua keadaan. Ujian terakhirnya tetaplah kebebasan dari segala kontradiksi. Segala hal yang kontradiktif akan dianggap sebagai “tidak sahih”. Tentu hal ini memiliki beberapa penerapan, contohnya, pada komputer yang dirancang untuk menjalankan prosedur ya atau tidak yang sederhana. Pada kenyataannya, segala aksiom semacam itu adalah tautologi. Bentuk-bentuk kosong ini dapat diisi dengan hakikat macam apapun juga. Keduanya diterapkan dengan cara yang mekanistis dan memaksa terhadap segala subjek. Ketika persoalannya menyangkut proses yang linear, keduanya memang berjalan dengan baik. Hal ini penting, karena sejumlah besar proses dalam alam dan masyarakat benar berjalan dengan cara ini. Tapi ketika kita sampai pada gejala-gejala yang lebih kompleks, kontradiktif dan non-linear, hukum-hukum logika formal runtuh. Akan segera nampak bahwa, jauh dari klaim mereka bahwa merekalah “kebenaran di segala bidang yang mungkin ada”, mereka adalah, seperti kata Engels, sangat terbatas dalam penerapan mereka, dan dengan cepat akan terkupas kedangkalannya ketika berhadapan dengan gejala sebagai sebuah totalitas keadaan. Lebih jauh lagi, persis inilah keadaan yang telah menyita perhatian ilmu pengetahuan, khususnya bagian yang paling inovatif, di sebagian besar waktu sepanjang abad ke-20.

Selain itu, ada beberapa pendapat yang membagi logika menjadi beberapa aliran besar yakni:
a.       Aliran Logika Tradisional
Logika ditafsirkan sebagai suatu kumpulan aturan praktis yang menjadi petunjuk pemikiran.
b.      Aliran Logika Metafisis
Susunan pikiran itu dianggap kenyataan, sehingga logika dianggap seperti metafisika. Tugas pokok logika adalah  menafsirkan pikiran sebagai suatu tahap dari struktur kenyataan. Sebab itu untuk mengetahui kenyataan, orang harus belajar logika lebih dahulu.
c.       Aliran Logika Epistemologis
Dipelopori oleh Francis Herbert Bradley (1846 - 1924) dan Bernard Bosanquet (1848 - 1923). Untuk dapat mencapai pengetahuan yang memadai, pikiran logis dan perasaan harus digabung. Demikian juga untuk mencapai kebenaran, logika harus dihubungkan dengan seluruh pengetahuan lainnya.
d.      Aliran Logika Instrumentalis (Aliran Logika Pragmatis)
Dipelopori oleh John Dewey (1859 - 1952). Logika dianggap sebagai alat (instrumen) untuk memecahkan  masalah.
e.       Aliran Logika Matematika
Logika matematika adalah cabang logika dan matematika yang mengandung kajian matematis logika dan aplikasi kajian ini pada bidang-bidang lain di luar matematika. Logika matematika berhubungan erat dengan ilmu komputer dan logika filosofis. Tema utama dalam logika matematika antara lain adalah kekuatan ekspresif dari logika formal dan kekuatan deduktif dari sistem pembuktian formal. Logika matematika sering dibagi ke dalam cabang-cabang dari teori himpunan, teori model, teori rekursi, teori pembuktian, serta matematika konstruktif. Bidang-bidang ini memiliki hasil dasar logika yang serupa.

Dipelopori oleh Leibniz, Boole dan De Morgan. Aliran ini sangat menekankan penggunaan bahasa simbol untuk mempelajari secara terinci, bagaimana akal harus bekerja. Metode-metode dalam mengembangkan  matematika banyak digunakan oleh aliran ini, sehingga aliran ini berkembang sangat teknis dan ilmiah serta bercorak matematika, yang kemudian disebut Logika Matematika (Mathematical Logic). G.W. Leibniz (1646 - 1716) dianggap sebagai matematikawan pertama yang mempelajari Logika Simbolik.

Logika Berdasarkan Sumber Pemikiran

a.                   Logika Alamiah
Logika alamiah adalah kinerja akal budi manusia yang berpikir secara tepat dan lurus sebelum dipengaruhi oleh keinginan-keinginan dan kecenderungan-kecenderungan yang subyektif. Kemampuan logika alamiah manusia ada sejak lahir.

b.      Logika ilmiah
Logika ilmiah memperhalus, mempertajam pikiran serta akal budi. Logika ilmiah menjadi ilmu khusus yang merumuskan azas-azas yang harus ditepati dalam setiap pemikiran. Berkat pertolongan logika ilmiah inilah akal budi dapat bekerja dengan lebih tepat, lebih teliti, lebih mudah dan lebih aman. Logika ilmiah dimaksudkan untuk menghindarkan kesesatan atau, paling tidak, dikurangi.

Logika Berdasarkan Penalaran

a.       Penalaran Deduksi
Merupakan sistem penalaran yang menelaah prinsip-prinsip penyimpulan yang sah berdasarkan bentuknya serta kesimpulan yang dihasilkan sebagai kemestian diturunkan dari pangkal pikirnya. Dalam logika ini yang terutama ditelaah adalah bentuk dari kerjanya akal jika telah runtut dan sesuai dengan pertimbangan akal yang dapat dibuktikan tidak ada kesimpulan lain karena proses penyimpulannya adalah tepat dan sah. Logika deduktif karena berbicara tentang hubungan bentuk-bentuk pernyataan saja yang utama terlepas isi apa yang diuraikan karena logika deduktif disebut pula logika formal.

b.      Penalaran Induksi
Logika induktif adalah sistem penalaran yang menelaah prinsip-prinsip penyimpulan yang sah dari sejumlah hal khusus sampai pada suatu kesimpulan umum yang bersifat boleh jadi. Logika ini sering disebut juga logika material, yaitu berusaha menemukan prinsip-prinsip penalaran yang bergantung kesesuaiannya dengan kenyataan, oleh karena itu kesimpulannya hanyalah keboleh-jadian, dalam arti selama kesimpulannya itu tidak ada bukti yang menyangkalnya maka kesimpulan itu benar, dan tidak dapat dikatakan pasti.

Definisi Filsafat
Secara etimologis, istilah filsafat berasal dari bahasa Yunani philosophia (philos dan sophia). Kata philos memiliki arti kekasih atau sahabat, sedangkan kata sophia memiliki makna kebijaksanaan atau pengetahuan. Jadi, secara harfiah philosohia dapat diartikan sebagai yang mencintai kebijaksanaan atau sahabat pengetahuan.
Menurut Rapar (1996: 14-16) para filsuf pra-Socratik menyebutkan bahwa filsafat adalah ilmu yang berupaya untuk memahami hakikat alam dan realitas ada dengan mengandalkan akal budi. Plato, menyebutkan filsafat sebagai ilmu pengetahuan yang berusaha meraih kebenaran yang asli dan murni. Selain itu, Plato juga menyebutkan bahwa filsafat adalah penyelidikan tentang sebab-sebab dan asas-asas yang paling akhir dari segala sesuatu yang ada.
Aristoteles—murid Plato—mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan yang senantiasa berupaya mencari prinsip-prinsip dan penyebab-penyebab dari realitas ada. Aristoteles juga menyebutkan bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berupaya mempelajari being as being atau being as such. Sementara itu Rene Descartes mengatakan bahwa filsafat adalah himpunan dari segala pengetahuan yang pangkal penyelidikannya adalah mengenai Tuhan, alam, dan manusia.
Willian James, filsuf dari Amerika mengatakan bahwa filsafat adalah suatu upaya yang luar biasa hebat untuk berpikir yang jelas dan terang. R.F. Beerling, guru besar filsafat Universitas Indonesia, mengatakan bahwa filsafat berupaya memajukan pertanyaan tentang kenyataan seluruhnya atau tentang hakikat, asas, dan prinsip dari kenyataan.
Konsep atau gagasan tentang definisi filsafat yang beragam tidak harus menjadikan kita bingung, akan tetapi justru memperlihatkan kepada kita bahwa betapa luasnya ruang lingkup filsafat sehingga tidak dibatasi oleh batasan-batasan yang mempersempit ruang gerak filsafat itu sendiri. Perbedaan perspektif dalam filsafat justru akan memperkaya wacana filsafat, sedangkan kesamaan dan kesatuan pikiran atau perspektif dalam filsafat justru akan mematikan dan mempersempit filsafat dengan sendirinya.
Empat hal yang melahirkan filsafat
Selanjutnya muncul pertanyaan, bagaimanakah filsafat itu tercipta? Hal apa yang menyebabkan manusia berfilsafat? Pada dasarnya ada empat hal yang merangsang manusia untuk berfilsafat, yaitu ketakjuban, ketidakpuasan, hasrat bertanya, dan keraguan.
Menurut Aristoteles ketakjuban dianggap sebagai salah satu asal muasal filsafat. Pada awalnya manusia merasa takjub terhadap hal-hal yang ada disekitarnya, lama-kelamaan ketakjubannya semakin terarah kepada hal-hal yang lebih luas dan besar, seperti perubahan dan peredaran bulan, matahari, bintang-bintang, asal mula alam semesta, dan seterusnya. Ketakjuban macam ini hakikatnya hanya mungkin dirasakan dan dimiliki oleh mahluk yang selain memiliki perasaan juga mempunyai akal budi (rasio).
Sebelum lahirnya filsafat, kehidupan manusia dikuasai dan diatur oleh berbagai macam mitos dan mistis. Berbagai macam mitos dan mistis tersebut berupaya menjelaskan tentang asal mula dan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam alam semesta, yang terjadi dalam kehidupan manusia sehari-hari. Sayangnya, ternyata penjelasan-penjelasan yang berasal dari mitos dan mistis tersebut makin lama makin tidak memuaskan manusia. Ketidakpuasan itu pada nantinya mendorong manusia untuk terus menerus mencari penjelasan dan keterangan yang lebih meyakinkan bagi dirinya, dan yang lebih akurat.
Dilandasi oleh perasaan ketidakpuasan tadi dan upaya mencari penjelasan dan keterangan yang lebih pasti cepat atau lambat akan mengantarkan manusia tersebut kepada pemikiran yang rasional. Konsekuensinya adalah akal budi akan semakin berperan, dan justru semakin menggeser peran mitos dan mistis dalam kehidupan manusia. Pada saat rasio telah menghapus peran mitos dan mistis tadi, maka manusia telah mencapai level berfilsafat.
Ketakjuban manusia telah melahirkan pertanyaan-pertanyaan, dan ketidakpuasan manusia membuat pertanyaan-pertanyaan itu tidak kunjung habisnya. Dengan bekal hasrat bertanya maka kehidupan manusia serta pengetahuan semakin berkembang dan maju. Hasrat bertanyalah yang mendorong manusia untuk melakukan pengamatan, penelitian, serta penyelidikan. Ketiga hal tersebut yang menghasilkan pelbagai penemuan baru yang semakin memperkaya manusia dengan pengetahuan baru yang terus bertambah.
Manusia sendiri ketika mempertanyakan segala sesuatu dengan maksud untuk memperoleh kejelasan dan keterangan mengenai hal yang dipertanyakan tersebut, itu berarti dia sedang mengalami keraguan. Keraguan ini dilandasi bahwa sesuatu yang dipertanyakan tersebut belum terang dan belum jelas. Karena itu manusia perlu dan harus bertanya. Manusia bertanya karena masih meragukan kejelasan dan kebenaran dari apa yang telah diketahuinya. Jadi, dapat kita lihat bahwa keraguanlah yang ikut serta mendorong manusia untuk bertanya dan terus bertanya, yang kemudian menggiring manusia untuk berfilsafat.
Dengan terus menerus memiliki hasrat bertanya maka filsafat itu akan tetap ada, dan akan terus ada. Filsafat akan berhenti pada saat manusia telah berhenti mempertanyakan segala sesuatu.
Proses Kelahiran Filsafat
Filsafat, sebagai bagian dari kebudayaan manusia yang amat menakjubkan, banyak dipahami lahir di Yunani dan dikembangkan sejak awal abad ke-6 SM. Para orang-orang Yunani ketika itu diyakini telah berhasil mengolah berbagai ilmu pengetahuan menjadi benar-benar rasional dan berkembang pesat. Pemikiran rasional-ilmiah itulah yang melahirkan filsafat. Para filsuf Yunani pertama, sebenarnya adalah para ahli matematika, astronomi, ilmu bumi, dan berbagai ilmu pengetahuan lainnya. Karena itu, pada tahap awal, filsafat mencakup seluruh ilmu pengetahuan.
Para filsuf Yunani pertama tersebut dikenal sebagai filsuf-filsuf alam. Mereka berpikir tentang alam: apakah inti dari alam, bagaimana menerangkan tentang bagaimana alam itu bisa ada, dan seterusnya. Dengan demikian, filsafat yang pertama lahir adalah filsafat alam.
Yang perlu dicatat dari lahirnya filsafat adalah bahwa filsafat telah berani mengajak manusia untuk meninggalkan cara berpikir yang irasional dan tidak logis. Manusia kemudian beralih kepada jalan pemikiran yang rasional-ilmiah yang semakin lama semakin sistematis. Cara berpikir yang rasional-ilmiah itu pula yang menghasilkan gagasan dan pemikiran yang terbuka untuk diteliti oleh akal budi. Lebih dari itu, kebenarannya dapat didiskusikan lebih lanjut guna meraih konsep-konsep baru dan kebenaran-kebenaran baru yang diharapkan lebih sesuai dengan realitas sesungguhnya.
Sifat Dasar Filsafat
Berfilsafat artinya berpikir secara radikal. Filsuf adalah pemikir yang radikal. Dan karena berpikir radikal ia tidak pernah terpaku hanya kepada satu fenomena tertentu. Ia tidak akan berhenti pada satu jawaban tertentu. Dengan berpikir radikal, filsafat berupaya untuk menemukan jawaban dari akar permasalahan yang ada. Filsafat berupaya mencari hakikat yang sesungguhnya dari segala sesuatu.
Berpikir radikal bukan berarti hendak mengubah, membuang, atau menjungkirbalikkan segala sesuatu, melainkan dalam arti berupaya berpikir secara mendalam, untuk mencari akar persoalan yang dipermasalahkan. Berpikir radikal justru berupaya memperjelas realitas, melalui penemuan serta pemahaman akan akar realitas itu sendiri.
Filsafat bukan hanya mengacu kepada bagian tertentu dari realitas, akan tetapi berupaya mencari keseluruhan. Dalam memandang keseluruhan realitas, filsafat senantiasa berusaha mencari asas yang paling hakiki dari keseluruhan realitas. Mencari asas berarti berupaya menemukan sesuatu yang menjadi esensi realitas. Dengan menemukan esensi suatu realitas, realitas tersebut dapat diketahui dengan pasti dan menjadi jelas. Mencari asas adalah salah satu sifat dasar filsafat.
Filsuf pada dasarnya adalah seorang pemburu kebenaran. Kebenaran yang diburunya merupakan kebenaran hakiki tentang seluruh realitas dan setiap hal yang dapat dipersoalkan. Maka dapat dikatakan bahwa berfilsafat artinya memburu kebenaran tentang segala sesuatu.
Yang namanya kebenaran itu sendiri harus bisa dipertanggungjawabkan. Artinya, kebenaran harus selalu terbuka untuk dipersoalkan kembali dan diuji demi meraih kebenaran yang lebih pasti. Dan begitu untuk seterusnya. Oleh karenanya dapat dikatakan bahwa kebenaran dalam artian filsafat tidak pernah bersifat mutlak dan final, akan tetapi selalu bergerak dari satu kebenaran menuju kebenaran baru yang lebih pasti.
Filsafat muncul salah satunya disebabkan adanya keraguan. Untuk mengatasi keraguan tersebut maka dibutuhkan yang namanya kejelasan. Ada filsuf yang mengatakan bahwa berfilsafat artinya berupaya mendapatkan kejelasan dan penjelasan mengenai seluruh realitas. Geisler dan Feinberg (1982: 18-19) mengatakan bahwa ciri khas penelitian filsafati adalah adanya usaha keras demi mengapai kejelasan intelektual (intellectual clarity).
Berpikir secara radikal, mencari asas, memburu kebenaran, dan mencari kejelasan tidak mungkin dapat berhasil dengan baik tanpa berpikir secara rasional. Berpikir secara rasional artinya berpikir secara logis, sistematis, dan kritis. Berpikir logis adalah bukan sekedar menggapai pengertian-pengertian yang dapat diterima oleh akal sehat, akan tetapi juga agar sanggup menarik kesimpulan dan mengambil keputusan yang tepat dan benar dari premis-premis yang digunakan.
Berpikir logis juga menuntut pemikiran yang sistematis. Pemikiran yang sistematis adalah rangkaian pemikiran yang berhubungan satu sama lain atau saling berkaitan secara logis. Tanpa disertai pemikiran yang logis-sistematis dan koheren, tidak mungkin dicapai kebenaran yang bisa dipertanggungjawabkan.
Berpikir kritis artinya menjaga kemauan untuk terus-menerus mengevaluasi argumentasi yang mengklaim dirinya adalah benar. Seseorang yang berpikiran kritis tidak akan mudah meyakini suatu kebenaran begitu saja tanpa benar-benar menguji keabsahan kebenaran tersebut.

No comments:

Post a Comment

buku bimbingan

                                                                                                                                            ...

082126189815

Name

Email *

Message *