BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pemerintahan Desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD)
merupakan perwujudan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan desa sebagai
unsure penyelenggara desa. Keberadaan BPD dalam pemerintahan desa adalah bukti pelibatan
masyarakat dalam bidang penyelengaaraan pemerintahan. Pada masa orde baru
pelibatan masyarakat di dalam penyelenggaraan pemerintahan desa di laksanakan
melalui pembentukan Lembaga Musyawarah Desa (LMD) dan Lembaga Ketahanan
Masyarakat Desa (LKMD). Namun lembaga tersebut kurang berfungsi secara
proporsional, hanya berfungsi sebagai tangan kanan dari Kepala Desa. Pada sisi
lainnya, hegemoni penguasa desa sangat dominan dalam segala hal. Akibatnya
masyarakat kurang bisa belajar berdemokrasi. Hal ini dibuktikan dengan
kekuasaan Kepala Desa yang dapat dikatakan analog dengan kekuasaan dictator
atau raja absolute, sehingga masyarakat kurang dapat secara leluasa menyalurkan
aspirasinya.
Otonomi Desa telah memberikan ruang gerak bagi partisipasi
masyarakat dalam pembangunan, yang menjadikan masyarakat tidak hanya sebagai
objek pembangunan tetapi juga subjek pembangunan dan dengan tingkat partisipasi
tersebut diharapkan akselerasi hasil-hasil pembangunan dapat segera diwujudkan
dan berdayaguna dalam peningkatan kualitas kehidupan masyarakat.
Partisipasi masyarakat tersebut disamping dilaksanakan oleh
lembaga-lembaga non formal seperti keterlibatan Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM), kelompok-kelompok kepentingan lain melalui tuntutan-tuntutan terhadap
pemerintah atau bentuk penolakan terhadap kebijakan pemerintah, juga
dilaksanakan oleh lembaga-lembaga formal pada tingkat daerah melalui kewenangan
lebih besar pada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan di tingkat desa
dengan pembentukan Badan Permusyawaratan Desa (BPD).
Ruang gerak bagi demokratisasi dan peran serta masyarakat
tersebut dalam perjalanan belum berpihak secara sungguh-sungguh terhadap
kepentingan masyarakat. disadari bersama bahwa mengubah suatu sistem sosial
politik ekonomi serta kelembagaan dan budaya tidak dapat terjadi dalam waktu
relatif singkat (berlakunya sebuah UU tidak berarti secara otomatis mengubah
sistem, politik, dan budaya masyarakat). Diperlukan adanya konsistensi, kemauan
baik dari pelaksanaan UU, Kebijakan Pemerintah, kesiapan dari masyarakat dan
birokrasi pemerintah serta lembaga swadaya masyarakat. Dengan kata lain ide-ide
tentang Otonomi Desa, demokratisasi dan penghargaan atas hak-hak asasi manusia
dalam pembangunan memiliki dinamika sendiri dalam implementasinya baik dipusat,
daerah, dan desa. Paradigma pembangunan yang sentralistik terbukti telah gagal
dan perlu dikembangkan paradigma baru yaitu paradigma pembangunan yang
melibatkan peran serta masyarakat secara lebih luas melalui peningkatan civil
society sehingga pembangunan adalah dari masyarakat oleh masyarakat dan untuk
masyarakat yang pada akhirnya adalah Pembangunan Bangsa secara keseluruhan, dan
itu hanya dapat terjadi apabila pembangunan dimulai dari “pembangunan
masyarakat desa”.
Saat ini, upaya untuk membangun dan mengembangkan kehidupan
masyarakat desa dirasakan semakin penting. Hal ini disebabkan disamping karena
sebagian besar penduduk tinggal di pedesaan, kini partisipasi masyarakat di
dalam kegiatan pembangunan juga sangat diharapkan, sebagaimana tercantum dalam
UU nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Otonomi Desa sangat
mensyaratkan keadaan sumber daya manusia yang mumpuni, karena mereka inilah
yang kelak akan lebih banyak menentukan bergerak atau tidaknya suatu daerah di
dalam menjalankan kegiatan pembangunan dan pemerintahan pada umumnya.
B. Rumusan Masalah
Karena kompleknya permasalahan dalam hubungannya dengan
judul, untuk itu penulis mempunyai batasan sebagai berikut
Bagaimana
Pelaksanaan Otonomi Desa ?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah secara khusus adalah :
Ingin mengetahui pelaksanaan Otonomi Desa.
BAB
II
PEMBAHASAN
OTONOMI
DESA
Otonomi Desa adalah penjabaran penting dari tuntutan
demokrasi di segala bidang. Daerah otonomi mempunyai kewenangan dan keleluasaan
untuk membentuk dan melaksanakan kebijakan menurut prakarsa dan aspirasi
masyarakat.Penyelenggaraan Otonomi Desa dilaksanakan dengan memberikan
kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada daerah secara
proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan
sumber daya Nasional yang berkeadilan serta perimbangan keuangan pusat dan
daerah. Dalam penjelasan UU No.32 Tahun 2004,menjelaskan tentang
penyelenggaraan Otonomi Desa yang dilaksanakan dengan menggunakan prinsip
otonomi seluas-luasnya,dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan
mengatur semua urusan pemerintah yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini.
Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan,
peningkatan peran serta, prakarsa dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan
pada peningkatan kesejahteraan rakyat.
Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip
otonomi yang nyata dan bertanggung jawab,prinsip otonomi yang nyata adalah
suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan
berdasarkan tugas, wewenang dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan
berpotensi untuk tumbuh,hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan
daerah lainnya. Adapun yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab
adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannnya harus benar-benar sejalan dengan
tujuan dan maksud pemberian otonomi yang pada dasarnya untuk memberdayakan
daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama
daritujuan nasional.
Pelaksanaan Otonomi Desa juga harus menjamin keserasian
hubungan antara daerah dengan daerah lainnya, artinya mampu membangun kerjasama
antar daerah untuk meningkatkan kesejahteraan bersama dan mencegah adanya ketimpangan
antar daerah. Hal yang tidak kalah pentingnya bahwa Otonomi Desa juga harus
mampu menjamin hubungan yang serasi antar daerah dengan pemerintah artinya
harus mampu memelihara dan menjaga keutuhan wilayah Negara dan tetap tegaknya
Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam rangka mewujudkan tujuan Negara.
Menurut Muchsan (dalam Suko Wiyono, 2006:48-59), Secara
teoritis dalam pelaksanaan Otonomi Desa terdapat sendi-sendi sebagai pilar
penyangga otonomi. Sendi-sendi tersebut meliputi:
1.
Sharing of
power (pembagian
kewenangan);
Pembagian kewenangan (sharing of
power) antara pusat dan daerah ini menurut Oentarto dalam Suko Wiyono
(2006: 49):
“Secara teoritis ada 3 (tiga) urusan
pusat yang tidak dapat diserahkan kepada Daerah yaitu: pertahanan keamanan,
urusan diplomasi atau politik luar negeri, dan urusan moneter dalam pengertian
mencetak dan memberi nilai mata uang”
Berdasarkan
pasal 10 ayat (3) UU No. 32 Th.2004 yang isinya Pemerintah menyelenggarakan
sendiri atau dapat melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada perangkat
Pemerintah atau Wakil Pemerintahdi daerah atau dapat menugaskan kepada
pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan Desa.
2.
Distribution of
income (pembagian
pendapatan);
Pembagian pendapatan (distribution
of income) diatur berdasarkan UU No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintahan Pusat dan Pemerintahan Daerah. Landasan Filosofis
dan landasan Konstitusionalnya adalahpasal 18 A ayat (2) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 perubahan. Pasal ini mengamanatkan agar
hubungan keuangan, pelayanan umum, serta pemanfaatan sumber daya alam dan
sumber daya lainnya antar Pemerintahan Pusat dan Pemerintahan Daerah di atur
dan dilaksanakn secara adil dan selaras berdasarkan Undang-Undang.
A. OTONOMI
DESA SEBAGAI KONSEP POLITIK
Otonomi desa sebagai konsep politik mempunyai dua
pengertian
n Pertama,
otonomi yang diberikan negara sebagai bentuk power shared dalam bentuk
desentralisasi kekuasaan kepada unit-unit pemerintahan tingkat bawah atau
otonomi “by the grace of central government”
n Kedua, otonomi
desa menurut ketentuan normatif dipahami sebagai “otonomi asli”, otonomi yang
tidak diciptakan negara tetapi merupakan the right of the people sebagai
hak-hak yang melekat pada diri masyarakat itu sendiri dan bersifat given
n Prinsip otonomi
asli dapat dirujuk pada konsep subsidiaritas sebagai kemampuan masyarakat untuk
mengatur diri sendiri dalam lapangan kehidupan tertentu tertentu tanpa campur tangan
negara.
n Kekuasaan/kewenangan
yang dimiliki oleh masyarakat hukum inilah yang disebut otonomi asli. Otonomi asli bermakna
kewenangan pemerintahan desa dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
setempat didasarkan pada hak asal usul dan nilai-nilai sosial yang ada pada
masyarakat setempat, namun harus diselenggarakan dalam perspektif administrasi
pemerintahan modern.
Landasan pemikiran pengaturan Pemerintahan Desa adalah
menjadi acuan penyelenggaraan pemerintahan desa atau otonomi desa:
n Keanekaragaman
Keanekaragaman memiliki makna bahwa istilah
Desa dapat disesuaikan dengan asal-usul dan kondisi sosial budaya masyarakat
setempat, seperti Nagari, Negri, Kampung, Pekon, Lembang, Pamusungan, Huta,
Bori atau Marga. Hal ini berarti pola penyelenggaraan Pemerintahan Desa akan
menghormati sistem nilai yang berlaku dalam adat istiadat dan budaya masyarakat
setempat, namun harus tetap mengindahkan sistem nilai bersama dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.
n Partisipasi
Partisipasi memiliki makna bahwa
penyelenggaraaan Pemerintahan Desa harus mampu mewujudkan peran aktif
masyarakat agar masyarakat merasa memiliki dan turut bertanggung jawab terhadap
perkembangan kehidupan bersama sebagai sesama warga Desa.
n Otonomi Asli
Otonomi Asli memiliki makna bahwa
kewenangan Pemerintahan Desa dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
setempat didasarkan pada hak asal-usul dan nilai-nilai sosial budaya yang ada
pada masyarakat setempat, namun hrus diselenggarakan dalam perspektif
administrasi pemerintahan modern.
n Demokratisasi
Demokratisasi memiliki makna bahwa
penyelenggaraan Pemerintahan Desa harus mengakomodasi aspirasi masyarakat yang
diartikulasi dan diagregasi melalui Badan Perwakilan Desa dan Lembaga
kemasyarakatan sebagai mitra Pemerintah Desa.
n Pemberdayaan Masyarakat
Pemberdayaan Masyarakat memiliki makna
bahwa penyelenggaraan Pemerintahan Desa diabdikan untuk meningkatkan taraf
B.
POLEMIK OTONOMI DESA
Desa sudah ada jauh sebelum NKRI lahir, oleh karena itu
sudah sepatutnya desa mendapatkan perhatian yang serius dari pemerintah.
Eksistensi desa dalam struktur pemerintahan di Indonesia terus mengalami
perubahan seiring dengan kepentingan rezim yang berkuasa. Ketika orde baru,
desa ditempatkan sebagai unit pemerintahan terkecil yang langsung berada di
bawah kecamatan. Masa orde baru, desa-desa di Indonesia mendapatkan perlakuan
yang sama karena memakai pendekatan “penyeragaman” demi tujuan stabilitas
politik. Memasuki masa reformasi, secar normatif desa mempunyai posisi yang
berbeda dengan orde baru. Hal tersebut dapat dilihat dari undang-undang yang
menjelaskan bahwa negara mengakui desa beserta hak-hak tradisionalnya selama
masih dalam konteks NKRI, atau dengan kata lain desa sudah mempunyai otonomi.
Perdebatan tentang konsepsi otonomi desa masih terus bergulir hingga melahirkan
argumentasi bahwa desa harus diatur oleh undang-undang tersendiri (RUU Desa).
Proses panjang perumusan konsep ideal otonomi desa harus berorientasi pada
kemandirian dan kesejahteraan masyarakat desa.
Di dalam UU No.32 tahun 2004, desa didefinisikan sebagai ” kesatuan masyarakat hukum yang memiliki
batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang
diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Sebagai kesatuan masyarakat hukum , desa memiliki otonomi. Akan
tetapi, otonomi desa berbeda dengan otonomi daerah (yang berlaku saat ini).
Mengapa demikian, karena desa memiliki otonomi yang bersifat asli dan penuh
serta bukan merupakan pemberian pihak luar (yang selama ini diatur oleh UU No
32 Th 2004). Perbandingan Otonomi Daerah dengan Otonomi Desa dapat dilihat pada
tabel di bawah ini:
Tabel 1
Perbandingan Otonomi Daerah dan
Otonomi Desa
NO
|
ASPEK YANG DIBANDINGKAN
|
OTONOMI DAERAH
|
OTONOMI DESA
|
1
|
Asal-usulnya
|
Diberi oleh pemerintah pusat
|
Asli, melekat saat pembentukan dan memperoleh pengakuan
dari Negara
|
2
|
Sifatnya
|
Rasional (berbasis pada sumber otoritas rasional)
|
Tradisional, sumber otoritasnya dari hukum adat setempat
|
3
|
Isinya
|
Dapat terbatas maupun seluas-luasnya tergantung pada
keputusan politik pada masa itu
|
Sangat luas, mencakup kehidupan dan penghidupan masyarakat
desa meskipun dari waktu ke waktu semakin surut karena diambil alih oleh
pemerintah supradesa
|
4
|
Pengisian
pejabat puncak
|
Dipilih oleh warga daerah yang memiliki hak pilih melalui
proses politik yang dinamakan pemilukada
|
Dipilih oleh warga desa dalam proses pilkades tetapi tidak
melalui proses politik karena tidak melibatkan partai politik
|
5
|
Sumber
keuangan
|
Dari keuangan negara yang dialokasikan untuk daerah
otonom. Diberi kewenangan retribusi atas nama daerah
|
Sebagian besar dari iuran warga atau pengelolaan kekayaan
desa. Tidak memiliki kewenangan pajak dan retribusi atas namanya sendiri
|
6
|
Hak membuat
aturan hukumnya sendiri
|
Memiliki hak untuk membuat aturan hukumnya sendiri berupa
perda yang dapat membuat sanksi berupa pidana penjara dan denda
|
Memiliki hak untuk membuat aturan hukumnya sendiri yang
berlaku setempat tetapi tidak boleh memuat sanksi berupa pidana dan denda.
Sanksinya berupa sanksi sosial sesuai hukum adat setempat
|
7
|
Hak
kepegawaian
|
Memiliki hak kepegawaian meskipun terbatas. Untuk
pengangkatan pegawai baru formasinya ditetapkan oleh pemerintah pusat. Ada
keleluasaan untuk pengembangan karir maupun pemberian penghasilan tanbahan di
luar standar yang ditetapkan oleh pemerintah pusat
|
Desa memiliki hak kepegawaian meskipun terbatas dan yang
diangkat menjadi perangkat desa bukanlah sebagai pegawai negara melainkan
pegawai desa yang diberi imbalan sesuai kemampuan desa bersangkutan
|
Perubahan konsep otonomi desa yang paling serius adalah
pergeseran yang semula “otonomi pengakuan” menjadi “otonomi pemberian”.
Pengakuan dan pemberian mempunyai nilai filosofis yang berbeda. Konsep
pengakuan mengandung makna bahwa desa sudah memiliki kewenangan yang melekat
(jauh sebelum Indonesia lahir) yang kemudian diakui oleh negara sebagai hak
adat istiadatnya. Sedangkan konsep pemberian, bahwa negara-lah yang memberikan
otonomi kepada desa. Pergeseran konsep tersebut mempunyai konsekuensi terhadap tiga
hal, yaitu:
1 Otonomi tradisionl berubah menjadi
otonomi rasional
2 Perubahan kelembagaan yang semula
lembaga kemasyarakatan yang mengurus kepentingannya sendiri menjadi
lembaga pemerintahan daerah yang berskala kecil
3 Sumber keuangan, semula berasal dari
iuran masyarakat berubah menjadi pemberian dari APBN dan APBD.
Jika merujuk pendapat di atas, baik konsep otonomi “pemberian” maupun “pengakuan” sama-dama memiliki persoalan. Konsep pemberian
memberikan kesan bahwa negara tidak lagi mengakui kewenangan tradisional desa
yang sudah ada sejak lahirnya desa. Tetapi, konsep pemberian ini mempunyai sisi
positif (mungkin dalam perspektif pemerintah) bahwa kewenangan desa bisa
selaras karena diberikan oleh negara. Dengan demikian konflik-konflik antara
negara-desa dapat dieliminir. Atau kita bisa menduga, melalui otonomi pemberian
dapat memberikan peluang penyeragaman desa seperti masa orde baru. Sehingga
salah satu pertanyaan yang muncul adalah, sejauh mana negara harus mengakui
kewenangan tradisional desa dengan konsep otonomi pemberian?
Berbeda dengan konsep pemberian, konsep pengakuan bahwa
negara (dalam posisi ekstrim) hanya sebagai legalisasi dari kewenangan desa
yang sudah ada sejak dahulu. Konsep ini sangat mengakui kewenangan tradisional
desa tetapi memunculkan persoalan jika kewenangan desa tersebut bertabrakan
dengan hukum negara, terlebih jika sudah bersinggungan dengan desa adat.
Pertanyaannya, apakah melalui konsep otonomi “pengakuan” negara tidak boleh
masuk ke dalam kewenangan tradisional desa? Jika boleh, sejauh mana? Dengan demikian salah satu permasalahan desa
terletak pada posisinya di dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia.
Interpretasi lain dikemukakan oleh
Robert MZ Lawang, kalimat dalam UUD 1945 menyebutkan negara mengakui atas hak-hak tradisional dari
kesatuan hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai perkembangan masyarakat
dan prinsip NKRI yang diatur UU mengandung tiga implikasi yang dapat
menghilangkan hakikat pengakuan dan penghormatan terhadap desa. Pertama,
“sepanjang masih hidup”
merupakan pengakuan bersyarat yang paling optimal, atau kesatuan tersebut bukan
elemen struktural esensial dalam NKRI. Kedua,
“perkembangan masyarakat” juga
merupakan penghormatan dan pengakuan bersyarat kedua yang tidak kalah tragis.
Siapa yang bertanggung jawab sehingga perkembangan di Indonesia berjalan
timpang. Ketiga, sesuai “ prinsip NKRI” yang kalau tidak
dikontrol akan jadi hubungan asimetris antara kestuan masyarakat hukum adat
dengan negara. Bila benar demikian, maka terdapat peluang penghapusan desa
secara strukturan melalui peraturan perundang-undangan.
RUU Desa
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sedang melakukan pembahasan
dalam rangka perubahan atau revisi atas UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintah
Daerah. Rancangan perubahan yang paling
fundamental yaitu akan dipecahnya (split)
UU No.32 tahun 2004 menjadi tiga undang-undang yaitu UU tentang Pemda, UU
tentang Pemilukada serta UU tentang Desa. Perdebatan rencana pemisahan
undang-undang tersebut terus bermunculan baik yang setuju maupun yang menolak.
Pihak yang setuju dengan pemisahan berpendapat bahwa, ketiga persoalan tersebut
(pemda, pemilukada dan desa) harus diatur oleh undang-undang tersendiri karena
kompleksitas permasalahan serta “keunikan”-nya. Sehingga, ketiganya dirasakan
sudah tidak bisa diakomodir lagi di dalam satu undang-undang yaitu UU No.32
tahun 2004.
Khusus tentang desa, terdapat beberapa pendapat yang
mengemuka baik yang setuju dengan pemisahan maupun yang kontra dengan RUU
Desa. Robert Endi Jaweng memberikan gambaran
tentang pentingnya pengaturan
tersendiri Desa dalam suatu UU dilandasi banyak alasan. Paling utama adalah
untuk menjaga agar prinsip pengakuan dan penghormatan terhadap eksistensi Desa
mendapat wadah legal yang tinggi, yakni UU. Tidak seperti sekarang ini di mana
sebagian aspek substantif Desa hanya diatur pada level PP (PP No.72/2005) yang
otoritas penyusunnya hanya dilakukan pemerintah tanpa keterlibatan para
wakil di DPR atau DPD. Selain itu, dengan menjadikan pengaturan Desa
sekedar sebagai bagian norma UU Pemda, Desa seolah menjadi bagian dari struktur
Pemda dan otonomi Desa hanya menjadi cabang dari otonomi daerah. Terlebih
di sisi lain perlu dicatat bahwa 83,2 persen wilayah Indonesia merupakan
kawasan perdesaan dengan total jumlah desa sebesar 74 ribu desa (survei PODES,
2006). Dari 74 ribu desa tersebut, 45 persen atau sekitar 32.500 desa merupakan
desa tertinggal (miskin).
Pihak yang menolak berpendapat bahwa pemisahan tersebut
tidak menyentuh substansi permasalahan bahkan dapat menimbulkan permasalahan
baru yaitu mis koordinasi atau tumpang tindih antar undang-undang. Sebagai
contoh, RUU Desa yang sedang dibahas di DPR menurut Otto Syamsuddin Iskak
mempunyai potensi berbenturan dengan UU No.11 tahun 2006 tentang Pemerintahan
Aceh. Penyebabnya adalah pengaturan desa di Aceh tidak bisa dilepaskan dari UU
No.11 tahun 2006 yang masih menghormati komunitas adat yang dikenal dengan “gampong”.
RUU Desa yang sedang dibahas oleh DPR hanya menjadi momentum
pengulangan sejarah UU tentang desa karena pada masa orde baru, desa diatur
tersendiri melalui UU No.5 tahun 1979. Jika RUU Desa disahkan, pertanyaannya
apakah implementasi otonomi desa secara khusus dan otonomi daerah secara
umumnya terjadi kemajuan atau kemunduran.
C.
PROYEKSI OTONOMI DESA
Berdasarkan paparan di atas, pertanyaan yang yang paling
mendasar adalah apa visi reformasi kebijakan Desa untuk memperbaiki masa depan
Desa? Perlu dilakukan kajian yang lebih mendalam dan serius dalam menata desa
ke depan dan didasarkan atas kondisi objektif desa. Argumentasi-argumentasi
yang dibangun dalam membuat konsepsi pemerintah desa yang ideal sekarang ini,
selalu dikaitkan dengan faktor sosio historis desa. Pijakannya selalu pada
asumsi bahwa desa adalah sebuah wilayah yang damai, tentram, minim konflik, harmonis
dan lain sebagainya. Tetapi, relevansi argumentasi tersebut perlu dikoreksi
kembali jika dikaitkan dengan kondisi sosio politik desa terkini. Desa sudah
banyak mengalami perubahan sebagai implikasi dari moderenisasi termasuk
perkembangan dan perubahan paradigma tentang otonomi dan pemerintahan daerah.
Modernisasi telah merubah desa (dalam konsep tradisional) menjadi desa yang
lebih kompleks. Desa juga sudah menjadi arena pertempuran
kepentingan-kepentingan politik yang seringkali menegasikan nilai-nilai luhur
desa. Kepala desa dan perangkat desa lainnya seringkali menjadi ujung tombak
tim sukses partai politik dan kandidat kepala daerah dalam pemilukada.
Indonesia memiliki ribuan desa yang sangat beragam baik dari
penamaan, struktur pemerintahan maupun adat istiadat. Oleh karena itu perlu
dikembangkan model-model alternatif dari desa untuk menentukan format otonomi
desa ke depan. Alternatif-alternatif tersebut diantaranya:
1 Model desa yang hanya sebagai
komunitas lokal yang tidak mempunyai pemerintah desa. Jika model ini dipilih, maka konsekuensinya
desa sebagai institusi lokal (local self government)
dihapuskan. Arena desentralisasi dan demokrasi formal tidak lagi berada di desa
melainkan berada di kabupaten
2 Model desa-desa di Jawa yang umumnya
sudah lama berkembang sebagai institusi pemerintahan modern dan meninggalkan
adat
3 Model nagari di Sumatera Barat yang menggabungkan desa negara dengan adat
nagari menjadi satu wadah tunggal nagari
4 Model dualistik desa-desa di bali.
Di Bali terdapat dua desa yakni desa dinas (negara) dan desa pakraman (adat).
Desa dinas adalah kepanjangan tangan negara yang mengatur masalah-masalah
administrasi pemerintahan dan pembangunan. Sedangkan desa pakraman menjalankan
fungsi merawat adat-istiadat, kontrol terhadap desa dinas, termasuk mengontrol
penggunaan tanah adat dari intervensi negara dan modal
5 Model kelurahan
Lebih lanjut Prof Irfan Ridwan Maksum menjelaskan bahwa desa
harus diatur dalam UUD dalam kalimat sederhana bahwa desa atau dengan nama lain
diatur dan diurus daerah provinsi karena sumber daya yang lebih memadai
dibanding kabupaten/kota. Pola seperti itu dapat menyehatkan struktur di level
desa dan di level NKRI. Jika terdapat keseragaman, pengaturan antar provinsi
dapat saling mengadopsi dan mengadaptasi. Akan tetapi, desa mungkin akan lebih
baik diatur dan diurus oleh pemerintah yang menjadi titik berat otonomi daerah
yaitu oleh kabupaten. Jika terjadi perubahan titik berat otonomi menjadi ke
provinsi maka desa akan diatur dan diurus oleh provinsi.
Konsep kewenangan desa yang harus disusun sejatinya harus
lebih menguatkan eksistensi otonomi desa. Akan tetapi, konsepsi tersebut
mempunyai potensi terjadinya benturan dengan hukum positif lainnya, maka tidak
heran jika sering terjadi benturan antara masyarakat adat dengan negara
terutama masalah hak ulayat tanah. Oleh karena itu, definisi hak-hak
tradisional yang melekat harus didefinisikan kembali agar tidak menimbulkan
multi tafsir. Re-definisi ini dapat berupa identifikasi secara operasional akan
hak-hak apa saja yang yang menjadi otonomi desa dan tidak dapat
dirubah/diintervensi oleh negara. Hak-hak tersebut kemudian dimasukan ke dalam
peraturan perundang-undangan (Perda/perbup/kepbup) agar mempunyai kekuatan hukum yang pasti. Meskipun
hal tersebut biasanya hanya diberlakukan bagi desa-desa adat saja, karena desa
(seperti desa di Jawa) pada umumnya sudah modern. Konteks pengakuan otonomi
asli desa ini adalah penghargaan negara terhadap desa dengan berbagai
karakteristik/keunikannya masing-masing. Sedangkan kewenangan yang bersifat
“penyerahan” dari negara (pemerintah) kepada desa adalah kewenangan yang
berkaitan dengan pemerintahan dan pembangunan. Kewenangan yang bersifat
penyerahan ini dilakukan oleh semua desa yang berada di suatu daerah. Dengan
demikian, baik kewenangan asli (pengakuan) ataupun kewenangan yang diberikan
oleh pemerintah dapat berjalan dengan bersamaan.
Proses demokratisasi di desa tidak akan terlepas dari format
desa yang akan dipilih. Masalah demokratisasi di desa dalam UU No. 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah mengalami degradasi. Hal ini dilatarbelakangi
dengan perubahan fungsi BPD menjadi Badan Permusyawaratan Desa, sehingga tidak
ada lagi fungsi kontrol terhadap kepala desa. Hal ini mengisyaratkan bahwa desa
belum sepenuhnya otonom sebagai suatu entitas yang berdaya secara politik dan
ekonomi. Oleh karena itu perlu dilakukan perubahan dengan cara mengembalikan
proses check and balances antara
kepala desa dengan BPD. Meskipun hal tersebut dapat menimbulkan konflik yang
tajam antara kepala desa dengan BPD. Selain itu, kepala desa, BPD dan seluruh
aparatur pemerintah desa harus menjaga independensi/tidak terlibat di dalam
keanggotaan partai politik maupun berafiliasi kepada kepentingan politik
tertentu. Aturan tersebut sesungguhnya sudah dibuat, persoalannya hanya pada
taham implementasi dan penegakan aturan.
Pengaturan desa juga harus mempertahankan statusnya sebagai
unit pemerintahan yang otonom atau sebagai kesatuan masyarakat hukum yang
otonom berbasis adat dan dan tidak boleh (selalu) dirubah menjadi kelurahan.
Secara administratif, desa dan kelurahan mempunya derajat struktur yang sama.
Akan tetapi, keduanya mempunyai perbedaan yang substansial. Desa memiliki
otonomi termasuk di dalam menentukan pemimpinnya harus melalui pemilihan
(pilkades). Berbeda dengan Kelurahan, sebagai perangkat daerah maka
kepala pemerintahannya diangkat oleh kepala daerah. Namun dalam
perkembangannya, sebuah desa dapat diubah statusnya menjadi kelurahan. Jika
dilihat dari perspektif politik, perubahan desa menjadi kelurahan dapat
menciptakan image bahwa kelurahan
lebih baik dibanding desa. Hal tersebut lebih disebabkan karena Lurah berstatus
PNS sedangkan kepala desa non PNS.
Dorongan perubahan desa menjadi kelurahan terjadi dalam dua
bentuk, yaitu (1) pembangunan wilayah perkotaan dan (2) tuntutan dari (yang
mengatasnamakan) masyarakat. Modernisasi selalu ditandai dengan industrialisasi
menjadi sebuah argumentasi pemerintah untuk memacu pertumbuhan ekonomi. Arus
itu tidak hanya berada di kawasan perkotaan tetapi sudah memasuki desa.
Dampaknya adalah semakin tergerusnya identitas dan karakteristik desa, salah
satunya pertanian. Konsekuensi dari perubahan tersebut akan menjadi dasar untuk
merubah desa menjadi kelurahan. Pengembangan wilayah telah merubah kawasan
perdesaan menjadi kawasan perkotaan dan secara perlahan desa akan mengalami
“kepunahan”. Terlebih jika terjadi pemekaran daerah yang statusnya adalah Kota,
maka desa secara perlahan dapat berubah menjadi kelurahan. Sebagai contoh,
ketika Kota Serang dimekarkan dari Kabupaten Serang maka kita kehilangan
desa-desa karena sedang peralihan
perubahan status menjadi kelurahan, hal tersebut juga dapat terjadi di
kabupaten. Meskipun tidak secara otomatis berubah sesuai dengan penjelasan
pasal 200 ayat (3). “Desa yang menjadi
kelurahan dalam ketentuan ini tidak seketika berubah dengan adanya pembentukan
pemerintahan kota, begitu pula desa yang berada di perkotaan dalam pemerintahan
kabupaten.”
Dorongan yang kedua adalah tuntutan dari masyarakat.
Tuntutan ini perlu diteliti lebih lanjut apakah betul dari masyarakat (grassroot) atau hanya dari segelintir
orang yang memegang kekuasaan desa (pada saat itu). Tuntutan ini biasanya
dilatarbelakangi oleh kepentingan individu (kepala desa) yang ingin diangkat
menjadi pegawai negeri sipil bila desa berubah menjadi kelurahan.
Kedua dorongan tersebut menjadi ancaman bagi eksistensi desa
dan demokrasi ala desa yang menjadi prototipe demokrasi negara. Bila sudah
menjadi kelurahan, maka kepala pemerintahannya bukan dipilih oleh rakyat
melainkan pilihan/diangkat oleh penguasa yang di atasnya (Bupati dan Walikota)
yang memberikan peluang bagi pemerintah yang berkuasa untuk lebih
mencengkramkan kekuatan dan kekuasaannya sampai ke desa (sentralisasi di
daerah).
Ke depan harus ada aturan yang melindungi
eksistensi/keberlangsungan desa termasuk memasukan desa ke dalam kawasan
perkotaan. Perspektif dan cara pandang yang masih menempatkan kelurahan
seolah-olah lebih baik dari desa harus segera dirubah. Perspektif yang
diskriminatif tersebut dikuatkan secara sosio kultural dan legal formal dimana
desa selalu identik dengan keterbelakangan sedangkan karakteristik kelurahan
adalah wilayah perkotaan. Perspektif inilah yang menumbuhsuburkan tuntutan akan
perubahan desa menjadi kelurahan. Jika perspektifnya demikian, maka selamanya
kita tidak akan pernah mendapatkan desa yang mandiri dan maju. Prinsip yang
harus dipegang adalah desa dapat berkembang dan maju tanpa harus menghilangkan
“penamaan” desa beserta karakteristiknya. Oleh karena itu, dalam peraturan
perundang-undangan harus dihilangkan diskriminasi dari aspek karakteristik
pembeda antara desa dan kelurahan. Karakteristik desa tidak hanya dari faktor
dominasi sektor agraris, tetapi harus juga dimasukan sektor industri ke dalam
karakteristik desa. Jika tidak segera dilindungi, kita akan kehilangan warisan
bangsa yang amat berharga dan suatu saat desa hanya menjadi sebuah catatan
sejarah saja, bahkan hilang secara sistematis.
D. Susunan Pemerintahan Desa
1. Kepala Desa
Didesa dibentuk pemerintahan desa dan badan perwakilan desa
yang disebut juga pemerintahan desa. Pemerintahan desa terdiri dari kepala desa
dan perangkat desa. Kepala desa dipilih langsung oleh penduduk desa yang
bersangkutan dan dilantik oleh bupati dan pejebat lain yang ditunjuk.
Kewenangan desa meliputi hak asal-usul desa, kewenangan yang
sudah diatur dalam dalam perundang-undangan yang berlaku belum dilaksanakan
oleh daerah dan pemerintah dan tugas pembantuan dari pemerintah
(propinsi,kab/kota ).
Tugas
dan kewajiban kepala desa adalah :
·
Memimpin
penyelenggaraan pemerintahan desa
·
Membina
perekonomian desa
·
Memelihara
ketentraman dan ketertiban masyarakat desa
·
Mendamaikan
perselisihan masyarakat desa
2. Badan
Permusyawaratan Desa (BPD)
Badan Permusyawaratan desa yang selanjutnya disebut BPD
adalah lembaga yang merupakan perwujudan demokrasi dalam penyelenggaraan
Pemerintahan Desa sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Desa. BPD berfungsi
untuk menetapkan Peraturan Desa bersama kepala Desa, dan menampung dan
menyalurkan aspirasi masyarakat. Anggota BPD adalah wakil dari penduduk Desa
bersangkutan berdasarkan keterwakilan wilayah yang ditetapkan dengan cara
musyawarah dan mufakat. Masa jabatan anggota BPD adalah 6 tahun dan dapat
diangkat/diusulkan kembali untuk I (satu) kali masa jabatan berikutnya,
pimpinan dan anggota BPD tidak diperbolehkan merangkap sebagai kepala desa dan
perangkatnya.
Sedangkan
fungsi BPD diatur dalam Pasal 11 yaitu;
1)
Menetapkan
Peraturan Desa bersama kepala Desa;
2) Menampung dan menyalurkan aspirasi
masyarakat.
Pasal
12, menyatakan tentang wewenang BPD yaitu:
1) Membahas rancangan Peraturan Desa
bersama kepalaDesa;
2) Melaksanakan Pengawasan terhadap
pelaksanaan Peraturan Desa san Peraturan Kepala Desa;
3) Mengusulkan pengangkatan dan
pemberhentian Kepala Desa;
4) Membentuk panitia dan memproses
pemilihan kepala Desa;
5) Menggali, menampung, menghimpun,
merumuskan dan menyalurkan aspirasi masyarakat; dan
6) Menyusun tata tertib BPD.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa Manajemen
dan kinerja pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan
Desa (BPD) dititikberatkan pada proses penyelenggaraan Pemerintah Desa
yang reponsivitas, responsibilitas dan akuntabilitas. Sehingga diharapkan
terjadinya penyelenggaraan pemerintah yang mengedepankan pemerintah yang
aspiratif dan bertanggungjawab demi kemajuan, kesejahteraan dan kemakmuran
masyarakat. Kinerja Badan Permusyawaratan Desa (BPD) diwujudkan dengan adanya
pembentukan tata tertib BPD, Pembuatan Perdes bersama dengan Pemerintah Desa,
pengangkatan dan pemberhentian kepala desa. Kinerja BPD dalam pelaksanaan
Otonomi Desa bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan
selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi masyarakat.
B. Saran
Penulis
menyadari betul akan kekurangan dalam penulisan makalah ini, mohon kiranya
masukan dari berbagai pihak untuk leih menyempurnakan makalah ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Mirrian
sjofyan, dkk.Manajemen pemerintahan.Indonesia. Universitas Terbuka.2009
Dasril
radja,SH,MH. “ Hukum Tata Negara “.Indonesia. PT. Asdi Mahasatya. Jakarta.2005
No comments:
Post a Comment