Tuesday, April 3, 2018

OTONOMI DESA



BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang
Pemerintahan Desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) merupakan perwujudan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan desa sebagai unsure penyelenggara desa. Keberadaan BPD dalam pemerintahan desa adalah bukti pelibatan masyarakat dalam bidang penyelengaaraan pemerintahan. Pada masa orde baru pelibatan masyarakat di dalam penyelenggaraan pemerintahan desa di laksanakan melalui pembentukan Lembaga Musyawarah Desa (LMD) dan Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD). Namun lembaga tersebut kurang berfungsi secara proporsional, hanya berfungsi sebagai tangan kanan dari Kepala Desa. Pada sisi lainnya, hegemoni penguasa desa sangat dominan dalam segala hal. Akibatnya masyarakat kurang bisa belajar berdemokrasi. Hal ini dibuktikan dengan kekuasaan Kepala Desa yang dapat dikatakan analog dengan kekuasaan dictator atau raja absolute, sehingga masyarakat kurang dapat secara leluasa menyalurkan aspirasinya. 
Otonomi Desa telah memberikan ruang gerak bagi partisipasi masyarakat dalam pembangunan, yang menjadikan masyarakat tidak hanya sebagai objek pembangunan tetapi juga subjek pembangunan dan dengan tingkat partisipasi tersebut diharapkan akselerasi hasil-hasil pembangunan dapat segera diwujudkan dan berdayaguna dalam peningkatan kualitas kehidupan masyarakat.
Partisipasi masyarakat tersebut disamping dilaksanakan oleh lembaga-lembaga non formal seperti keterlibatan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), kelompok-kelompok kepentingan lain melalui tuntutan-tuntutan terhadap pemerintah atau bentuk penolakan terhadap kebijakan pemerintah, juga dilaksanakan oleh lembaga-lembaga formal pada tingkat daerah melalui kewenangan lebih besar pada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan di tingkat desa dengan pembentukan Badan Permusyawaratan Desa (BPD).
Ruang gerak bagi demokratisasi dan peran serta masyarakat tersebut dalam perjalanan belum berpihak secara sungguh-sungguh terhadap kepentingan masyarakat. disadari bersama bahwa mengubah suatu sistem sosial politik ekonomi serta kelembagaan dan budaya tidak dapat terjadi dalam waktu relatif singkat (berlakunya sebuah UU tidak berarti secara otomatis mengubah sistem, politik, dan budaya masyarakat). Diperlukan adanya konsistensi, kemauan baik dari pelaksanaan UU, Kebijakan Pemerintah, kesiapan dari masyarakat dan birokrasi pemerintah serta lembaga swadaya masyarakat. Dengan kata lain ide-ide tentang Otonomi Desa, demokratisasi dan penghargaan atas hak-hak asasi manusia dalam pembangunan memiliki dinamika sendiri dalam implementasinya baik dipusat, daerah, dan desa. Paradigma pembangunan yang sentralistik terbukti telah gagal dan perlu dikembangkan paradigma baru yaitu paradigma pembangunan yang melibatkan peran serta masyarakat secara lebih luas melalui peningkatan civil society sehingga pembangunan adalah dari masyarakat oleh masyarakat dan untuk masyarakat yang pada akhirnya adalah Pembangunan Bangsa secara keseluruhan, dan itu hanya dapat terjadi apabila pembangunan dimulai dari “pembangunan masyarakat desa”.
Saat ini, upaya untuk membangun dan mengembangkan kehidupan masyarakat desa dirasakan semakin penting. Hal ini disebabkan disamping karena sebagian besar penduduk tinggal di pedesaan, kini partisipasi masyarakat di dalam kegiatan pembangunan juga sangat diharapkan, sebagaimana tercantum dalam UU nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Otonomi Desa sangat mensyaratkan keadaan sumber daya manusia yang mumpuni, karena mereka inilah yang kelak akan lebih banyak menentukan bergerak atau tidaknya suatu daerah di dalam menjalankan kegiatan pembangunan dan pemerintahan pada umumnya.
B.    Rumusan Masalah
Karena kompleknya permasalahan dalam hubungannya dengan judul, untuk itu penulis mempunyai batasan sebagai berikut
Bagaimana Pelaksanaan Otonomi Desa ?


C.    Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah secara khusus adalah :
Ingin mengetahui pelaksanaan Otonomi Desa.







BAB II
PEMBAHASAN

OTONOMI DESA
Otonomi Desa adalah penjabaran penting dari tuntutan demokrasi di segala bidang. Daerah otonomi mempunyai kewenangan dan keleluasaan untuk membentuk dan melaksanakan kebijakan menurut prakarsa dan aspirasi masyarakat.Penyelenggaraan Otonomi Desa dilaksanakan dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada daerah secara proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya Nasional yang berkeadilan serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Dalam penjelasan UU No.32 Tahun 2004,menjelaskan tentang penyelenggaraan Otonomi Desa yang dilaksanakan dengan menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya,dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintah yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.
Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab,prinsip otonomi yang nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh,hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah lainnya. Adapun yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannnya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama daritujuan nasional.
Pelaksanaan Otonomi Desa juga harus menjamin keserasian hubungan antara daerah dengan daerah lainnya, artinya mampu membangun kerjasama antar daerah untuk meningkatkan kesejahteraan bersama dan mencegah adanya ketimpangan antar daerah. Hal yang tidak kalah pentingnya bahwa Otonomi Desa juga harus mampu menjamin hubungan yang serasi antar daerah dengan pemerintah artinya harus mampu memelihara dan menjaga keutuhan wilayah Negara dan tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam rangka mewujudkan tujuan Negara.
Menurut Muchsan (dalam Suko Wiyono, 2006:48-59), Secara teoritis dalam pelaksanaan Otonomi Desa terdapat sendi-sendi sebagai pilar penyangga otonomi. Sendi-sendi tersebut meliputi:
1.         Sharing of power (pembagian kewenangan);
Pembagian kewenangan (sharing of power) antara pusat dan daerah ini menurut Oentarto dalam Suko Wiyono (2006: 49):
“Secara teoritis ada 3 (tiga) urusan pusat yang tidak dapat diserahkan kepada Daerah yaitu: pertahanan keamanan, urusan diplomasi atau politik luar negeri, dan urusan moneter dalam pengertian mencetak dan memberi nilai mata uang”
Berdasarkan pasal 10 ayat (3) UU No. 32 Th.2004 yang isinya Pemerintah menyelenggarakan sendiri atau dapat melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada perangkat Pemerintah atau Wakil Pemerintahdi daerah atau dapat menugaskan kepada pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan Desa.
2.         Distribution of income (pembagian pendapatan);
Pembagian pendapatan (distribution of income) diatur berdasarkan UU No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintahan Pusat dan Pemerintahan Daerah. Landasan Filosofis dan landasan Konstitusionalnya adalahpasal 18 A ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 perubahan. Pasal ini mengamanatkan agar hubungan keuangan, pelayanan umum, serta pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antar Pemerintahan Pusat dan Pemerintahan Daerah di atur dan dilaksanakn secara adil dan selaras berdasarkan Undang-Undang.


A.   OTONOMI DESA SEBAGAI KONSEP POLITIK
Otonomi desa sebagai konsep politik mempunyai dua pengertian
n  Pertama, otonomi yang diberikan negara sebagai bentuk power shared dalam bentuk desentralisasi kekuasaan kepada unit-unit pemerintahan tingkat bawah atau otonomi “by the grace of central government
n  Kedua, otonomi desa menurut ketentuan normatif dipahami sebagai “otonomi asli”, otonomi yang tidak diciptakan negara tetapi merupakan the right of the people sebagai hak-hak yang melekat pada diri masyarakat itu sendiri dan bersifat given
n  Prinsip otonomi asli dapat dirujuk pada konsep subsidiaritas sebagai kemampuan masyarakat untuk mengatur diri sendiri dalam lapangan kehidupan tertentu tertentu tanpa campur tangan negara.
n  Kekuasaan/kewenangan yang dimiliki oleh masyarakat hukum inilah yang disebut otonomi asli. Otonomi asli bermakna kewenangan pemerintahan desa dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat didasarkan pada hak asal usul dan nilai-nilai sosial yang ada pada masyarakat setempat, namun harus diselenggarakan dalam perspektif administrasi pemerintahan modern.
Landasan pemikiran pengaturan Pemerintahan Desa adalah menjadi acuan penyelenggaraan pemerintahan desa atau otonomi desa:
n  Keanekaragaman
    Keanekaragaman memiliki makna bahwa istilah Desa dapat disesuaikan dengan asal-usul dan kondisi sosial budaya masyarakat setempat, seperti Nagari, Negri, Kampung, Pekon, Lembang, Pamusungan, Huta, Bori atau Marga. Hal ini berarti pola penyelenggaraan Pemerintahan Desa akan menghormati sistem nilai yang berlaku dalam adat istiadat dan budaya masyarakat setempat, namun harus tetap mengindahkan sistem nilai bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
n  Partisipasi
    Partisipasi memiliki makna bahwa penyelenggaraaan Pemerintahan Desa harus mampu mewujudkan peran aktif masyarakat agar masyarakat merasa memiliki dan turut bertanggung jawab terhadap perkembangan kehidupan bersama sebagai sesama warga Desa.
n  Otonomi Asli
    Otonomi Asli memiliki makna bahwa kewenangan Pemerintahan Desa dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat didasarkan pada hak asal-usul dan nilai-nilai sosial budaya yang ada pada masyarakat setempat, namun hrus diselenggarakan dalam perspektif administrasi pemerintahan modern.
n  Demokratisasi
    Demokratisasi memiliki makna bahwa penyelenggaraan Pemerintahan Desa harus mengakomodasi aspirasi masyarakat yang diartikulasi dan diagregasi melalui Badan Perwakilan Desa dan Lembaga kemasyarakatan sebagai mitra Pemerintah Desa.
n  Pemberdayaan Masyarakat
    Pemberdayaan Masyarakat memiliki makna bahwa penyelenggaraan Pemerintahan Desa diabdikan untuk meningkatkan taraf


B.   POLEMIK OTONOMI DESA
Desa sudah ada jauh sebelum NKRI lahir, oleh karena itu sudah sepatutnya desa mendapatkan perhatian yang serius dari pemerintah. Eksistensi desa dalam struktur pemerintahan di Indonesia terus mengalami perubahan seiring dengan kepentingan rezim yang berkuasa. Ketika orde baru, desa ditempatkan sebagai unit pemerintahan terkecil yang langsung berada di bawah kecamatan. Masa orde baru, desa-desa di Indonesia mendapatkan perlakuan yang sama karena memakai pendekatan “penyeragaman” demi tujuan stabilitas politik. Memasuki masa reformasi, secar normatif desa mempunyai posisi yang berbeda dengan orde baru. Hal tersebut dapat dilihat dari undang-undang yang menjelaskan bahwa negara mengakui desa beserta hak-hak tradisionalnya selama masih dalam konteks NKRI, atau dengan kata lain desa sudah mempunyai otonomi. Perdebatan tentang konsepsi otonomi desa masih terus bergulir hingga melahirkan argumentasi bahwa desa harus diatur oleh undang-undang tersendiri (RUU Desa). Proses panjang perumusan konsep ideal otonomi desa harus berorientasi pada kemandirian dan kesejahteraan masyarakat desa.
Di dalam UU No.32 tahun 2004, desa didefinisikan sebagai ” kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebagai kesatuan masyarakat hukum , desa memiliki otonomi. Akan tetapi, otonomi desa berbeda dengan otonomi daerah (yang berlaku saat ini). Mengapa demikian, karena desa memiliki otonomi yang bersifat asli dan penuh serta bukan merupakan pemberian pihak luar (yang selama ini diatur oleh UU No 32 Th 2004). Perbandingan Otonomi Daerah dengan Otonomi Desa dapat dilihat pada tabel di bawah ini:




Tabel 1
Perbandingan Otonomi Daerah dan Otonomi Desa
NO
ASPEK YANG DIBANDINGKAN
OTONOMI DAERAH
OTONOMI DESA
1
Asal-usulnya
Diberi oleh pemerintah pusat
Asli, melekat saat pembentukan dan memperoleh pengakuan dari Negara
2
Sifatnya
Rasional (berbasis pada sumber otoritas rasional)
Tradisional, sumber otoritasnya dari hukum adat setempat
3
Isinya
Dapat terbatas maupun seluas-luasnya tergantung pada keputusan politik pada masa itu
Sangat luas, mencakup kehidupan dan penghidupan masyarakat desa meskipun dari waktu ke waktu semakin surut karena diambil alih oleh pemerintah supradesa
4
Pengisian pejabat puncak
Dipilih oleh warga daerah yang memiliki hak pilih melalui proses politik yang dinamakan pemilukada
Dipilih oleh warga desa dalam proses pilkades tetapi tidak melalui proses politik karena tidak melibatkan partai politik
5
Sumber keuangan
Dari keuangan negara yang dialokasikan untuk daerah otonom. Diberi kewenangan retribusi atas nama daerah
Sebagian besar dari iuran warga atau pengelolaan kekayaan desa. Tidak memiliki kewenangan pajak dan retribusi atas namanya sendiri
6
Hak membuat aturan hukumnya sendiri
Memiliki hak untuk membuat aturan hukumnya sendiri berupa perda yang dapat membuat sanksi berupa pidana penjara dan denda
Memiliki hak untuk membuat aturan hukumnya sendiri yang berlaku setempat tetapi tidak boleh memuat sanksi berupa pidana dan denda. Sanksinya berupa sanksi sosial sesuai hukum adat setempat
7
Hak kepegawaian
Memiliki hak kepegawaian meskipun terbatas. Untuk pengangkatan pegawai baru formasinya ditetapkan oleh pemerintah pusat. Ada keleluasaan untuk pengembangan karir maupun pemberian penghasilan tanbahan di luar standar yang ditetapkan oleh pemerintah pusat
Desa memiliki hak kepegawaian meskipun terbatas dan yang diangkat menjadi perangkat desa bukanlah sebagai pegawai negara melainkan pegawai desa yang diberi imbalan sesuai kemampuan desa bersangkutan

Perubahan konsep otonomi desa yang paling serius adalah pergeseran yang semula “otonomi pengakuan” menjadi “otonomi pemberian”. Pengakuan dan pemberian mempunyai nilai filosofis yang berbeda. Konsep pengakuan mengandung makna bahwa desa sudah memiliki kewenangan yang melekat (jauh sebelum Indonesia lahir) yang kemudian diakui oleh negara sebagai hak adat istiadatnya. Sedangkan konsep pemberian, bahwa negara-lah yang memberikan otonomi kepada desa. Pergeseran konsep tersebut mempunyai konsekuensi terhadap tiga hal, yaitu:
1     Otonomi tradisionl berubah menjadi otonomi rasional
2     Perubahan kelembagaan yang semula lembaga kemasyarakatan yang mengurus   kepentingannya sendiri menjadi lembaga pemerintahan daerah yang berskala kecil
3     Sumber keuangan, semula berasal dari iuran masyarakat berubah menjadi pemberian dari APBN dan APBD.

Jika merujuk pendapat di atas, baik konsep otonomi “pemberian” maupun “pengakuan” sama-dama memiliki persoalan. Konsep pemberian memberikan kesan bahwa negara tidak lagi mengakui kewenangan tradisional desa yang sudah ada sejak lahirnya desa. Tetapi, konsep pemberian ini mempunyai sisi positif (mungkin dalam perspektif pemerintah) bahwa kewenangan desa bisa selaras karena diberikan oleh negara. Dengan demikian konflik-konflik antara negara-desa dapat dieliminir. Atau kita bisa menduga, melalui otonomi pemberian dapat memberikan peluang penyeragaman desa seperti masa orde baru. Sehingga salah satu pertanyaan yang muncul adalah, sejauh mana negara harus mengakui kewenangan tradisional desa dengan konsep otonomi pemberian?
Berbeda dengan konsep pemberian, konsep pengakuan bahwa negara (dalam posisi ekstrim) hanya sebagai legalisasi dari kewenangan desa yang sudah ada sejak dahulu. Konsep ini sangat mengakui kewenangan tradisional desa tetapi memunculkan persoalan jika kewenangan desa tersebut bertabrakan dengan hukum negara, terlebih jika sudah bersinggungan dengan desa adat. Pertanyaannya, apakah melalui konsep otonomi “pengakuan” negara tidak boleh masuk ke dalam kewenangan tradisional desa? Jika boleh, sejauh mana?  Dengan demikian salah satu permasalahan desa terletak pada posisinya di dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia.
Interpretasi lain dikemukakan oleh Robert MZ Lawang, kalimat dalam UUD 1945 menyebutkan negara  mengakui atas hak-hak tradisional dari kesatuan hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI yang diatur UU mengandung tiga implikasi yang dapat menghilangkan hakikat pengakuan dan penghormatan terhadap desa. Pertama,  sepanjang masih hidup” merupakan pengakuan bersyarat yang paling optimal, atau kesatuan tersebut bukan elemen struktural esensial dalam NKRI. Kedua, “perkembangan masyarakat” juga merupakan penghormatan dan pengakuan bersyarat kedua yang tidak kalah tragis. Siapa yang bertanggung jawab sehingga perkembangan di Indonesia berjalan timpang. Ketiga, sesuai “ prinsip NKRI” yang kalau tidak dikontrol akan jadi hubungan asimetris antara kestuan masyarakat hukum adat dengan negara. Bila benar demikian, maka terdapat peluang penghapusan desa secara strukturan melalui peraturan perundang-undangan.

RUU Desa
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sedang melakukan pembahasan dalam rangka perubahan atau revisi atas UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Rancangan perubahan yang paling  fundamental yaitu akan dipecahnya (split) UU No.32 tahun 2004 menjadi tiga undang-undang yaitu UU tentang Pemda, UU tentang Pemilukada serta UU tentang Desa. Perdebatan rencana pemisahan undang-undang tersebut terus bermunculan baik yang setuju maupun yang menolak. Pihak yang setuju dengan pemisahan berpendapat bahwa, ketiga persoalan tersebut (pemda, pemilukada dan desa) harus diatur oleh undang-undang tersendiri karena kompleksitas permasalahan serta “keunikan”-nya. Sehingga, ketiganya dirasakan sudah tidak bisa diakomodir lagi di dalam satu undang-undang yaitu UU No.32 tahun 2004.
Khusus tentang desa, terdapat beberapa pendapat yang mengemuka baik yang setuju dengan pemisahan maupun yang kontra dengan RUU Desa.  Robert Endi Jaweng memberikan gambaran tentang  pentingnya pengaturan tersendiri Desa dalam suatu UU dilandasi banyak alasan. Paling utama adalah untuk menjaga agar prinsip pengakuan dan penghormatan terhadap eksistensi Desa mendapat wadah legal yang tinggi, yakni UU. Tidak seperti sekarang ini di mana sebagian aspek substantif Desa hanya diatur pada level PP (PP No.72/2005) yang otoritas penyusunnya hanya  dilakukan pemerintah tanpa keterlibatan para wakil di DPR atau DPD.  Selain itu, dengan menjadikan pengaturan Desa sekedar sebagai bagian norma UU Pemda, Desa seolah menjadi bagian dari struktur Pemda dan otonomi Desa hanya menjadi cabang dari otonomi  daerah. Terlebih di sisi lain perlu dicatat bahwa 83,2 persen wilayah Indonesia merupakan kawasan perdesaan dengan total jumlah desa sebesar 74 ribu desa (survei PODES, 2006). Dari 74 ribu desa tersebut, 45 persen atau sekitar 32.500 desa merupakan desa tertinggal (miskin).
Pihak yang menolak berpendapat bahwa pemisahan tersebut tidak menyentuh substansi permasalahan bahkan dapat menimbulkan permasalahan baru yaitu mis koordinasi atau tumpang tindih antar undang-undang. Sebagai contoh, RUU Desa yang sedang dibahas di DPR menurut Otto Syamsuddin Iskak mempunyai potensi berbenturan dengan UU No.11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Penyebabnya adalah pengaturan desa di Aceh tidak bisa dilepaskan dari UU No.11 tahun 2006 yang masih menghormati komunitas adat yang dikenal dengan “gampong”.
RUU Desa yang sedang dibahas oleh DPR hanya menjadi momentum pengulangan sejarah UU tentang desa karena pada masa orde baru, desa diatur tersendiri melalui UU No.5 tahun 1979. Jika RUU Desa disahkan, pertanyaannya apakah implementasi otonomi desa secara khusus dan otonomi daerah secara umumnya terjadi kemajuan atau kemunduran.

C.   PROYEKSI OTONOMI DESA
Berdasarkan paparan di atas, pertanyaan yang yang paling mendasar adalah apa visi reformasi kebijakan Desa untuk memperbaiki masa depan Desa? Perlu dilakukan kajian yang lebih mendalam dan serius dalam menata desa ke depan dan didasarkan atas kondisi objektif desa. Argumentasi-argumentasi yang dibangun dalam membuat konsepsi pemerintah desa yang ideal sekarang ini, selalu dikaitkan dengan faktor sosio historis desa. Pijakannya selalu pada asumsi bahwa desa adalah sebuah wilayah yang damai, tentram, minim konflik, harmonis dan lain sebagainya. Tetapi, relevansi argumentasi tersebut perlu dikoreksi kembali jika dikaitkan dengan kondisi sosio politik desa terkini. Desa sudah banyak mengalami perubahan sebagai implikasi dari moderenisasi termasuk perkembangan dan perubahan paradigma tentang otonomi dan pemerintahan daerah. Modernisasi telah merubah desa (dalam konsep tradisional) menjadi desa yang lebih kompleks. Desa juga sudah menjadi arena pertempuran kepentingan-kepentingan politik yang seringkali menegasikan nilai-nilai luhur desa. Kepala desa dan perangkat desa lainnya seringkali menjadi ujung tombak tim sukses partai politik dan kandidat kepala daerah dalam pemilukada. 
Indonesia memiliki ribuan desa yang sangat beragam baik dari penamaan, struktur pemerintahan maupun adat istiadat. Oleh karena itu perlu dikembangkan model-model alternatif dari desa untuk menentukan format otonomi desa ke depan. Alternatif-alternatif tersebut diantaranya:
1     Model desa yang hanya sebagai komunitas lokal yang tidak mempunyai pemerintah desa.  Jika model ini dipilih, maka konsekuensinya desa sebagai institusi lokal (local self government) dihapuskan. Arena desentralisasi dan demokrasi formal tidak lagi berada di desa melainkan berada di kabupaten
2     Model desa-desa di Jawa yang umumnya sudah lama berkembang sebagai institusi pemerintahan modern dan meninggalkan adat
3     Model nagari di Sumatera Barat yang menggabungkan desa negara dengan adat nagari menjadi satu wadah tunggal nagari
4     Model dualistik desa-desa di bali. Di Bali terdapat dua desa yakni desa dinas (negara) dan desa pakraman (adat). Desa dinas adalah kepanjangan tangan negara yang mengatur masalah-masalah administrasi pemerintahan dan pembangunan. Sedangkan desa pakraman menjalankan fungsi merawat adat-istiadat, kontrol terhadap desa dinas, termasuk mengontrol penggunaan tanah adat dari intervensi negara dan modal
5     Model kelurahan

Lebih lanjut Prof Irfan Ridwan Maksum menjelaskan bahwa desa harus diatur dalam UUD dalam kalimat sederhana bahwa desa atau dengan nama lain diatur dan diurus daerah provinsi karena sumber daya yang lebih memadai dibanding kabupaten/kota. Pola seperti itu dapat menyehatkan struktur di level desa dan di level NKRI. Jika terdapat keseragaman, pengaturan antar provinsi dapat saling mengadopsi dan mengadaptasi. Akan tetapi, desa mungkin akan lebih baik diatur dan diurus oleh pemerintah yang menjadi titik berat otonomi daerah yaitu oleh kabupaten. Jika terjadi perubahan titik berat otonomi menjadi ke provinsi maka desa akan diatur dan diurus oleh provinsi.
Konsep kewenangan desa yang harus disusun sejatinya harus lebih menguatkan eksistensi otonomi desa. Akan tetapi, konsepsi tersebut mempunyai potensi terjadinya benturan dengan hukum positif lainnya, maka tidak heran jika sering terjadi benturan antara masyarakat adat dengan negara terutama masalah hak ulayat tanah. Oleh karena itu, definisi hak-hak tradisional yang melekat harus didefinisikan kembali agar tidak menimbulkan multi tafsir. Re-definisi ini dapat berupa identifikasi secara operasional akan hak-hak apa saja yang yang menjadi otonomi desa dan tidak dapat dirubah/diintervensi oleh negara. Hak-hak tersebut kemudian dimasukan ke dalam peraturan perundang-undangan (Perda/perbup/kepbup) agar  mempunyai kekuatan hukum yang pasti. Meskipun hal tersebut biasanya hanya diberlakukan bagi desa-desa adat saja, karena desa (seperti desa di Jawa) pada umumnya sudah modern. Konteks pengakuan otonomi asli desa ini adalah penghargaan negara terhadap desa dengan berbagai karakteristik/keunikannya masing-masing. Sedangkan kewenangan yang bersifat “penyerahan” dari negara (pemerintah) kepada desa adalah kewenangan yang berkaitan dengan pemerintahan dan pembangunan. Kewenangan yang bersifat penyerahan ini dilakukan oleh semua desa yang berada di suatu daerah. Dengan demikian, baik kewenangan asli (pengakuan) ataupun kewenangan yang diberikan oleh pemerintah dapat berjalan dengan bersamaan.
Proses demokratisasi di desa tidak akan terlepas dari format desa yang akan dipilih. Masalah demokratisasi di desa dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengalami degradasi. Hal ini dilatarbelakangi dengan perubahan fungsi BPD menjadi Badan Permusyawaratan Desa, sehingga tidak ada lagi fungsi kontrol terhadap kepala desa. Hal ini mengisyaratkan bahwa desa belum sepenuhnya otonom sebagai suatu entitas yang berdaya secara politik dan ekonomi. Oleh karena itu perlu dilakukan perubahan dengan cara mengembalikan proses check and balances antara kepala desa dengan BPD. Meskipun hal tersebut dapat menimbulkan konflik yang tajam antara kepala desa dengan BPD. Selain itu, kepala desa, BPD dan seluruh aparatur pemerintah desa harus menjaga independensi/tidak terlibat di dalam keanggotaan partai politik maupun berafiliasi kepada kepentingan politik tertentu. Aturan tersebut sesungguhnya sudah dibuat, persoalannya hanya pada taham implementasi dan penegakan aturan. 
Pengaturan desa juga harus mempertahankan statusnya sebagai unit pemerintahan yang otonom atau sebagai kesatuan masyarakat hukum yang otonom berbasis adat dan dan tidak boleh (selalu) dirubah menjadi kelurahan. Secara administratif, desa dan kelurahan mempunya derajat struktur yang sama. Akan tetapi, keduanya mempunyai perbedaan yang substansial. Desa memiliki otonomi termasuk di dalam menentukan pemimpinnya harus melalui pemilihan (pilkades). Berbeda dengan Kelurahan, sebagai perangkat daerah maka kepala pemerintahannya diangkat oleh kepala daerah. Namun dalam perkembangannya, sebuah desa dapat diubah statusnya menjadi kelurahan. Jika dilihat dari perspektif politik, perubahan desa menjadi kelurahan dapat menciptakan image bahwa kelurahan lebih baik dibanding desa. Hal tersebut lebih disebabkan karena Lurah berstatus PNS sedangkan kepala desa non PNS.
Dorongan perubahan desa menjadi kelurahan terjadi dalam dua bentuk, yaitu (1) pembangunan wilayah perkotaan dan (2) tuntutan dari (yang mengatasnamakan) masyarakat. Modernisasi selalu ditandai dengan industrialisasi menjadi sebuah argumentasi pemerintah untuk memacu pertumbuhan ekonomi. Arus itu tidak hanya berada di kawasan perkotaan tetapi sudah memasuki desa. Dampaknya adalah semakin tergerusnya identitas dan karakteristik desa, salah satunya pertanian. Konsekuensi dari perubahan tersebut akan menjadi dasar untuk merubah desa menjadi kelurahan. Pengembangan wilayah telah merubah kawasan perdesaan menjadi kawasan perkotaan dan secara perlahan desa akan mengalami “kepunahan”. Terlebih jika terjadi pemekaran daerah yang statusnya adalah Kota, maka desa secara perlahan dapat berubah menjadi kelurahan. Sebagai contoh, ketika Kota Serang dimekarkan dari Kabupaten Serang maka kita kehilangan desa-desa karena  sedang peralihan perubahan status menjadi kelurahan, hal tersebut juga dapat terjadi di kabupaten. Meskipun tidak secara otomatis berubah sesuai dengan penjelasan pasal 200 ayat (3). “Desa yang menjadi kelurahan dalam ketentuan ini tidak seketika berubah dengan adanya pembentukan pemerintahan kota, begitu pula desa yang berada di perkotaan dalam pemerintahan kabupaten.”
Dorongan yang kedua adalah tuntutan dari masyarakat. Tuntutan ini perlu diteliti lebih lanjut apakah betul dari masyarakat (grassroot) atau hanya dari segelintir orang yang memegang kekuasaan desa (pada saat itu). Tuntutan ini biasanya dilatarbelakangi oleh kepentingan individu (kepala desa) yang ingin diangkat menjadi pegawai negeri sipil bila desa berubah menjadi kelurahan.
Kedua dorongan tersebut menjadi ancaman bagi eksistensi desa dan demokrasi ala desa yang menjadi prototipe demokrasi negara. Bila sudah menjadi kelurahan, maka kepala pemerintahannya bukan dipilih oleh rakyat melainkan pilihan/diangkat oleh penguasa yang di atasnya (Bupati dan Walikota) yang memberikan peluang bagi pemerintah yang berkuasa untuk lebih mencengkramkan kekuatan dan kekuasaannya sampai ke desa (sentralisasi di daerah).
Ke depan harus ada aturan yang melindungi eksistensi/keberlangsungan desa termasuk memasukan desa ke dalam kawasan perkotaan. Perspektif dan cara pandang yang masih menempatkan kelurahan seolah-olah lebih baik dari desa harus segera dirubah. Perspektif yang diskriminatif tersebut dikuatkan secara sosio kultural dan legal formal dimana desa selalu identik dengan keterbelakangan sedangkan karakteristik kelurahan adalah wilayah perkotaan. Perspektif inilah yang menumbuhsuburkan tuntutan akan perubahan desa menjadi kelurahan. Jika perspektifnya demikian, maka selamanya kita tidak akan pernah mendapatkan desa yang mandiri dan maju. Prinsip yang harus dipegang adalah desa dapat berkembang dan maju tanpa harus menghilangkan “penamaan” desa beserta karakteristiknya. Oleh karena itu, dalam peraturan perundang-undangan harus dihilangkan diskriminasi dari aspek karakteristik pembeda antara desa dan kelurahan. Karakteristik desa tidak hanya dari faktor dominasi sektor agraris, tetapi harus juga dimasukan sektor industri ke dalam karakteristik desa. Jika tidak segera dilindungi, kita akan kehilangan warisan bangsa yang amat berharga dan suatu saat desa hanya menjadi sebuah catatan sejarah saja, bahkan hilang secara sistematis.

D. Susunan Pemerintahan Desa
1.  Kepala Desa
Didesa dibentuk pemerintahan desa dan badan perwakilan desa yang disebut juga pemerintahan desa. Pemerintahan desa terdiri dari kepala desa dan perangkat desa. Kepala desa dipilih langsung oleh penduduk desa yang bersangkutan dan dilantik oleh bupati dan pejebat lain yang ditunjuk.
Kewenangan desa meliputi hak asal-usul desa, kewenangan yang sudah diatur dalam dalam perundang-undangan yang berlaku belum dilaksanakan oleh daerah dan pemerintah dan tugas pembantuan dari pemerintah (propinsi,kab/kota ).

Tugas dan kewajiban kepala desa adalah :
·         Memimpin penyelenggaraan pemerintahan desa
·         Membina perekonomian desa
·         Memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat desa
·         Mendamaikan perselisihan masyarakat desa
2.  Badan Permusyawaratan Desa (BPD)
Badan Permusyawaratan desa yang selanjutnya disebut BPD adalah lembaga yang merupakan perwujudan demokrasi dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Desa. BPD berfungsi untuk menetapkan Peraturan Desa bersama kepala Desa, dan menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat. Anggota BPD adalah wakil dari penduduk Desa bersangkutan berdasarkan keterwakilan wilayah yang ditetapkan dengan cara musyawarah dan mufakat. Masa jabatan anggota BPD adalah 6 tahun dan dapat diangkat/diusulkan kembali untuk I (satu) kali masa jabatan berikutnya, pimpinan dan anggota BPD tidak diperbolehkan merangkap sebagai kepala desa dan perangkatnya.
Sedangkan fungsi BPD diatur dalam Pasal 11 yaitu;
1)       Menetapkan Peraturan Desa bersama kepala Desa;   
2)       Menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat.
 Pasal 12, menyatakan tentang wewenang BPD yaitu:
1)       Membahas rancangan Peraturan Desa bersama kepalaDesa;
2)       Melaksanakan Pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Desa san Peraturan Kepala Desa;
3)       Mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian Kepala Desa;
4)       Membentuk panitia dan memproses pemilihan kepala Desa;
5)       Menggali, menampung, menghimpun, merumuskan dan menyalurkan aspirasi masyarakat; dan
6)       Menyusun tata tertib BPD.














BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa Manajemen dan  kinerja pemerintah Desa dan  Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dititikberatkan pada proses penyelenggaraan Pemerintah Desa yang reponsivitas, responsibilitas dan akuntabilitas. Sehingga diharapkan terjadinya penyelenggaraan pemerintah yang mengedepankan pemerintah yang aspiratif dan bertanggungjawab demi kemajuan, kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat. Kinerja Badan Permusyawaratan Desa (BPD) diwujudkan dengan adanya pembentukan tata tertib BPD, Pembuatan Perdes bersama dengan Pemerintah Desa, pengangkatan dan pemberhentian kepala desa. Kinerja BPD dalam pelaksanaan Otonomi Desa bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi masyarakat.

B.    Saran
Penulis menyadari betul akan kekurangan dalam penulisan makalah ini, mohon kiranya masukan dari berbagai pihak untuk leih menyempurnakan makalah ini.



DAFTAR PUSTAKA

Mirrian sjofyan, dkk.Manajemen pemerintahan.Indonesia. Universitas Terbuka.2009
Dasril radja,SH,MH. “ Hukum Tata Negara “.Indonesia. PT. Asdi Mahasatya. Jakarta.2005

No comments:

Post a Comment

buku bimbingan

                                                                                                                                            ...

082126189815

Name

Email *

Message *