BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Dewasa ini,
Indonesia berada di era globalisasi. Globalisasi merupakan keterkaitan dan
ketergantungan antar bangsa dan antar manusia di seluruh dunia melalui
perdagangan, investasi, perjalanan, budaya populer dan bentuk-bentuk interaksi
yang lain, sehingga sepertinya batas antara negara tidak ada. Globalisasi ini
juga didukung dengan teknologi yang semakin canggih, bisa kita lihat
bagaimana informasi di penjuru dunia yang satu dengan lainnya sangat cepat diketahui.
Inilah pengaruh dari adanya teknologi.
Di era
globalisasi ini sepertinya sangat sulit bagi suatu negara untuk melepaskan diri
dengan negara lain. Hubungan antar negara sepertinya menjadi keharusan.
Sehingga apa yang dikatakan oleh Andre Gunder Frunk mengenai teori
ketergantungan depensi tidak akan bisa diaplikasikan dalam keadaan negara saat
ini. Andre Gunder Frunk mengatakan bahwa negara berkembang dan terbelakang
harus memutuskan hubungan dengan negara maju supaya bisa maju.
Indonesia
sebagai bagian dari dunia internasional juga tidak lumput dari namanya pengaruh
luar. Dulu Bung Karno di awal kemerdekaan mengatakan Indonesia harus menjadi
bangsa/negara yang berdikari. Berdikari maksudnya adalah mampu untuk mengolah
dan memajukan wilayah NKRI dengan cara tidak bergantung kepada orang luar
(asing).
Namun
setelah Soekarno digantikan oleh Soeharto, ada perubahan orientasi. Soeharto
sangat membuka peluang asing untuk masuk berinvestasi ke Indonesia. Inilah awal
dari perusahaan asing masuk dalam membangun Indonesia.
Indonesia
bisa dikatakan sebagai negara yang memiliki hubungan yang sangat strategis
dengan negara lain. Banyak organisasi dunia yang diikuti oleh Indonesia,
seperti PBB, APEC dan ASEAN. Dengan masuknya Indonesia keranah organisasi
tersebut maka Indonesia sudah menjadi bagian dari mereka.
1.2 Rumusan
Masalah
Dari latar
belakang di atas, maka rumusan masalah yang akan dikaji adalah sebagai berikut:
1.
Mungkinkah Indonesia menerapkan
teori ketergantungan?
2.
Apakah teori ketergantungan
bertentangan dengan teori pembangunan di Indonesia?
1.3 Tujuan
a.
Tujuan Umum
Untuk lebih mengerti dan memahami tentang teori pembangunan, khususnya teori
ketergantungan.
b. Tujuan Khusus :
1.
Meningkatkan
pengetahuan tentang teori ketergantungan,
2.
Memberikan
pandangan mengenai apakah Indonesia bisa menerapkan teori ketergantungan atau
tidak, dan
BAB II
LANDASAN TEORI
1. Pengertian
Teori Ketergantungan
Dalam
belajar teori pembangunan pastinya dipelajari teori ketergantungan. Teori
ketergantungan dikemukakan oleh banyak ahli, diantaranya Andre Gunder Frunk,
Fernando H. Cardoso, Samir Amin, Paul Baran, Paul Prebisch dan Theotonio Dos
Santos. Ahli ini memiliki pandangan tersendiri mengenai teori ketergantungan.
Namun teori
ketergantungan secara garis besar bisa dibagi menjadi dua macam, yaitu:
1) Teori
Depensi Klasik
Teori ini
digagas oleh Andre Gunder Frunk, yang menyatakan bahwa kapitalisme global akan
membuat ketergantungan masa lalu dan sekarang oleh karena itu negara yang tidak
maju dan berkembang harus memutuskan hubungan dengan negara maju supaya negara
berkembang bisa maju.
2) Teori
Depensi Modern
Teori ini
digagas oleh Fernando Henrigue Cardoso, teori ini menyatakan bahwa antara
negara yang satu dengan lainnya perlu kerjasama dengan melihat karakteristik
histori dari daerah tersebut.
Selain
pandangan ke dua tokoh tersebut juga ada beberapa ahli yang menyatakan tentang
teori ketergantungan. Theontonio Dos Santos membagi tiga bentuk ketergantungan
negara ketiga, yaitu ketergantungan kolonial, ketergantungan
finansial-industrial, ketergantungan tekhnologi-industrial.
Sedangkan pendapat dari Raul Prebisch adalah negara-negara dibagi atas
negara maju (industri) dan terbelakang (pertanian), yang saling berdagang. Ada
negara “pusat” dan negara “pinggiran”. Hubungan pusat dan pinggiran tak
seimbang, tidak saling menguntungkan à ekploitasi.
BAB III
PEMBAHASAN
A. SEJARAH DAN
ASUMSI DASAR TEORI DEPENDENSI (KETERGANTUNGAN)
Secara
historis, teori Dependensi lahir atas ketidakmampuan teori Modernisasi membangkitkan
ekonomi negara-negara terbelakang, terutama negara di bagian Amerika Latin.
Secara teoritik, teori Modernisasi melihat bahwa kemiskinan dan keterbelakangan
yang terjadi di negara Dunia Ketiga terjadi karena faktor internal di negara
tersebut. Karena faktor internal itulah kemudian negara Dunia Ketiga tidak
mampu mencapai kemajuan dan tetap berada dalam keterbelakangan.
Paradigma
inilah yang kemudian dibantah oleh teori Dependensi. Teori ini berpendapat
bahwa kemiskinan dan keterbelakangan yang terjadi di negara-negara Dunia Ketiga
bukan disebabkan oleh faktor internal di negara tersebut, namun lebih banyak
ditentukan oleh faktor eksternal dari luar negara Dunia Ketiga itu. Faktor luar
yang paling menentukan keterbelakangan negara Dunia Ketiga adalah adanya campur
tangan dan dominasi negara maju pada laju pembangunan di negara Dunia Ketiga.
Dengan campur tangan tersebut, maka pembangunan di negara Dunia Ketiga tidak
berjalan dan berguna untuk menghilangkan keterbelakangan yang sedang terjadi, namun
semakin membawa kesengsaraan dan keterbelakangan. Keterbelakangan jilid dua di
negara Dunia Ketiga ini disebabkan oleh ketergantungan yang diciptakan oleh
campur tangan negara maju kepada negara Dunia Ketiga. Jika pembangunan ingin
berhasil, maka ketergantungan ini harus diputus dan biarkan negara Dunia Ketiga
melakukan roda pembangunannya secara mandiri.
Ada dua hal
utama dalam masalah pembangunan yang menjadi karakter kaum Marxis Klasik. Pertama,
negara pinggiran yang pra-kapitalis adalah kelompok negara yang tidak dinamis
dengan cara produksi Asia, tidak feodal dan dinamis seperti tempat lahirnya
kapitalisme, yaitu Eropa. Kedua, negara pinggiran akan maju ketika telah
disentuh oleh negara pusat yang membawa kapitalisme ke negara pinggiran
tersebut. Ibaratnya, negara pinggiran adalah seorang putri cantik yang sedang
tertidur, ia akan bangun dan mengembangkan potensi kecantikannya setelah
disentuh oleh pangeran tampan. Pangeran itulah yang disebut dengan negara pusat
dengan ketampanan yang dimilikinya, yaitu kapitalisme. Pendapat inilah yang
kemudian dibantah oleh teori Dependensi.
Bantahan
teori Dependensi atas pendapat kaum Marxis Klasik ini juga ada dua hal. Pertama,
negara pinggiran yang pra-kapitalis memiliki dinamika tersendiri yang berbeda
dengan dinamika negara kapitalis. Bila tidak mendapat sentuhan dari negara
kapitalis yang telah maju, mereka akan bergerak dengan sendirinya mencapai
kemajuan yang diinginkannya. Kedua, justru karena dominasi, sentuhan dan
campur tangan negara maju terhadap negara Dunia Ketiga, maka negara
pra-kapitalis menjadi tidak pernah maju karena tergantung kepada negara maju
tersebut. Ketergantungan tersebut ada dalam format “neo-kolonialisme” yang
diterapkan oleh negara maju kepada negara Dunia Ketiga tanpa harus menghapuskan
kedaulatan negara Dunia Ketiga, (Arief Budiman, 2000:62-63).
Teori
Dependensi kali pertama muncul di Amerika Latin. Pada awal kelahirannya, teori
ini lebih merupakan jawaban atas kegagalan program yang dijalankan oleh ECLA (United
Nation Economic Commission for Latin Amerika) pada masa awal tahun 1960-an.
Lembaga tersebut dibentuk dengan tujuan untuk mampu menggerakkan perekonomian
di negara-negara Amerika Latin dengan membawa percontohan teori Modernisasi
yang telah terbukti berhasil di Eropa.
Teori
Dependensi juga lahir atas respon ilmiah terhadap pendapat kaum Marxis Klasik
tentang pembangunan yang dijalankan di negara maju dan berkembang. Aliran
neo-marxisme yang kemudian menopang keberadaan teori Dependensi ini.
Tentang
imperialisme, kaum Marxis Klasik melihatnya dari sudut pandang negara maju yang
melakukannya sebagai bagian dari upaya manifestasi Kapitalisme Dewasa,
sedangkan kalangan Neo-Marxis melihatnya dari sudut pandang negara pinggiran
yang terkena akibat penjajahan. Dalam dua tahapan revolusi, Marxis Klasik
berpendapat bahwa revolusi borjuis harus lebih dahulu dilakukan baru kemudian
revolusi proletar. Sedangkan Neo-Marxis berpendapat bahwa kalangan borjuis di
negara terbelakang pada dasarnya adalah alat atau kepanjangan tangan dari imperialis
di negara maju. Maka revolusi yang mereka lakukan tidak akan membawa perubahan
di negara pinggiran, terlebih lagi, revolusi tersebut tidak akan mampu
membebaskan kalangan proletar di negara berkembang dari eksploitasi kekuatan
alat-alat produksi kelompok borjuis di negara tersebut dan kaum borjuis di
negara maju.
B. BEBERAPA TOKOH DARI TEORI
DEPENDENSI (KETERGANTUNGAN)
v Tokoh utama dari teori
Dependensi adalah Theotonio Dos Santos dan Andre Gunder Frank. Theotonio Dos
Santos sendiri mendefinisikan bahwa ketergantungan adalah hubungan relasional
yang tidak imbang antara negara maju dan negara miskin dalam pembangunan di
kedua kelompok negara tersebut. Dia menjelaskan bahwa kemajuan negara Dunia
Ketiga hanyalah akibat dari ekspansi ekonomi negara maju dengan kapitalismenya.
Jika terjadi sesuatu negatif di negara maju, maka negara berkembang akan
mendapat dampak negatifnya pula. Sedangkan jika hal negatif terjadi di negara
berkembang, maka belum tentu negara maju akan menerima dampak tersebut. Sebuah
hubungan yang tidak imbang. Artinya, positif-negatif dampak berkembang
pembangunan di negara maju akan dapat membawa dampak pada negara, (theotonio
dos santos, review, vol. 60, 231).
v Dalam perkembangannya, teori Dependensi terbagi dua, yaitu Dependensi
Klasik yang diwakili oleh Andre Gunder Frank dan Theotonio Dos Santos, dan
Dependensi Baru yang diwakili oleh F.H. Cardoso.
Teori Ketergantungan yang
dikembangkan pada akhir 1950an di bawah bimbingan Direktur Komisi Ekonomi PBB
untuk Amerika Latin, Raul Prebisch. Prebisch dan rekan-rekannya di picu oleh
kenyataan bahwa pertumbuhan ekonomi di negara-negara industri maju tidak harus
menyebabkan pertumbuhan di negara-negara miskin. Memang, studi mereka
menyarankan bahwa kegiatan ekonomi di negara-negara kaya sering menyebabkan
masalah ekonomi yang serius di negara-negara miskin. Kemungkinan seperti itu
tidak diprediksi oleh teori neoklasik, yang diasumsikan bahwa pertumbuhan
ekonomi bermanfaat bagi semua, bahkan jika tidak bermanfaat tidak selalu
ditanggung bersama. Penjelasan awal Prebisch untuk fenomena ini sangat jelas:
negara-negara miskin mengekspor komoditas primer ke negara-negara kaya yang
kemudian diproduksi produk dari komoditas tersebut dan mereka jual
kembali ke negara-negara miskin.
Tiga masalah membuat kebijakan ini
sulit untuk diikuti. Yang pertama adalah bahwa pasar internal negara-negara
miskin tidak cukup besar untuk mendukung skala ekonomi yang digunakan oleh
negara-negara kaya untuk menjaga harga rendah. Isu kedua menyangkut akan politik
negara-negara miskin untuk apakah transformasi menjadi produsen utama produk
itu mungkin atau diinginkan. Isu terakhir berkisar sejauh mana negara-negara
miskin sebenarnya memiliki kendali produk utama mereka, khususnya di bidang
penjualan produk-produk luar negeri. Hambatan-hambatan dengan kebijakan
substitusi impor menyebabkan orang lain berpikir sedikit lebih kreatif dan
historis pada hubungan antara negara-negara kaya dan miskin.
Pada titik ini teori ketergantungan
itu dipandang sebagai sebuah cara yang mungkin untuk menjelaskan kemiskinan
terus-menerus dari negara-negara miskin. Pendekatan neoklasik tradisional
mengatakan hampir tidak ada pada pertanyaan ini kecuali untuk menegaskan bahwa
negara-negara miskin terlambat datang ke praktik-praktik ekonomi yang padat dan
begitu mereka mempelajari teknik-teknik ekonomi modern, maka kemiskinan akan
mulai mereda. Ketergantungan dapat didefinisikan sebagai suatu penjelasan
tentang pembangunan ekonomi suatu negara dalam hal pengaruh eksternal -
politik, ekonomi, dan budaya - pada kebijakan pembangunan nasional (Osvaldo
Sunkel, "Kebijakan Pembangunan Nasional dan Eksternal Ketergantungan di
Amerika Latin," Jurnal Studi Pembangunan, Vol 6,. no. 1 Oktober 1969, hal
23).
1. Raul Prebisch : industri substitusi import. Menurutnya
negara-negara terbelakang harus melakukan industrialisasi yang dimulai dari
industri substitusi impor.
2. Perdebatan tentang imperialisme dan kolonialisme. Hal ini
muncul untuk menjawab pertanyaan tentang apa alasan bangsa-bangsa Eropa
melakukan ekspansi dan menguasai negara-negara lain secara politisi dan
ekonomis. Ada tiga teori:
1. Teori God: Adanya
misi menyebarkan agama.
2. Teori Glory: Kehausan
akan kekuasaan dan kebesaran.
3. Teori Gospel:
Motivasi demi keuntungan ekonomi.
3. Paul Baran: Sentuhan Yang Mematikan Dan Kretinisme. Baginya
perkembangan kapitalisme di negara-negara pinggiran beda dengan kapitalisme di
negara-negara pusat. Di negara pinggiran, system kapitalisme seperti terkena
penyakit kretinisme yang membuat orang tetap kerdil.
Ada 2 tokoh yang membahas dan
menjabarkan pemikirannya sebagai kelanjutan dari tokoh-tokoh di atas, yakni:
1. Andre Guner
Frank : Pembangunan keterbelakangan. Bagi Frank keterbelakangan hanya
dapat diatasi dengan revolusi, yakni revolusi yang melahirkan sistem sosialis.
2. Theotonia De
Santos : Membantah Frank. Menurutnya ada 3 bentuk ketergantungan, yakni
:
a. Ketergantungan
Kolonial: hubungan antar penjajah dan penduduk setempat bersifat eksploitatif.
b. Ketergantungan
Finansial- Industri: pengendalian dilakukan melalui kekuasaan ekonomi dalam
bentuk kekuasaan financial-industri.
c. Ketergantungan
Teknologis-Industrial: penguasaan terhadap surplus industri dilakukan melalui
monopoli teknologi industri.
Enam bagian pokok dari teory independensi adalah :
1. Pendekatan
Keseluruhan Melalui Pendekatan Kasus. Gejala ketergantungan dianalisis dengan
pendekatan keseluruhan yang memberi tekanan pada sisitem dunia. Ketergantungan
adalah akibat proses kapitalisme global, dimana negara pinggiran hanya sebagai
pelengkap. Keseluruhan dinamika dan mekanisme kapitalis dunia menjadi perhatian
pendekatan ini.
2. Pakar
Eksternal Melawan Internal. Para pengikut teori ketergantungan tidak sependapat
dalam penekanan terhadap dua faktor ini, ada yang beranggapan bahwa faktor
eksternal lebih ditekankan, seperti Frank Des Santos. Sebaliknya ada
yang menekan factor internal yang mempengaruhi/ menyebabkan ketergantungan,
seperti Cordosa dan Faletto.
3. Analisis
Ekonomi Melawan Analisi Sosiopolitik. Raul Plebiech memulainya dengan
memakai analisis ekonomi dan penyelesaian yang ditawarkanya juga bersifat
ekonomi. AG Frank seorang ekonom, dalam analisisnya memakai disiplin ilmu
sosial lainya, terutama sosiologi dan politik. Dengan demikian teori
ketergantungan dimulai sebagai masalah ekonomi kemudian berkembang menjadi
analisis sosial politik dimana analisis ekonomi hanya merupakan bagian dan
pendekatan yang multi dan interdisipliner analisis sosiopolitik menekankan
analisa kelas, kelompok sosial dan peran pemerintah di negara pinggiran.
4. Kontradiksi
Sektoral/Regional Melawan Kontradiksi Kelas. Salah satu kelompok penganut
ketergantungan sangat menekankan analisis tentang hubungan negara-negara pusat
dengan pinggiran ini merupakan analisis yang memakai kontradiksi regional.
Tokohnya adalah AG Frank. Sedangkan kelompok lainya menekankan analisis klas,
seperti Cardoso.
5. Keterbelakangan
Melawan Pembangunan. Teori ketergantungan sering disamakan dengan teori tentang
keterbelakangan dunia ketiga. Seperti dinyatakan oleh Frank. Para pemikir teori
ketergantungan yang lain seperti Dos Santos, Cardoso, Evans menyatakan bahwa
ketergantungan dan pembangunan bisa berjalan seiring. Yang perlu dijelaskan
adalah sebab, sifat dan keterbatasan dari pembangunan yang terjadi dalam
konteks ketergantungan.
6. Voluntarisme
Melawan Determinisme. Penganut marxis klasik melihat perkembangan sejarah
sebagai suatu yang deterministic. Masyarakat akan berkembang sesuai tahapan
dari feodalisme ke kapitalisme dan akan kepada sosialisme. Penganut Neo Marxis
seperti Frank kemudian mengubahnya melalui teori ketergantungan. Menurutnya
kapitalisme negara-negara pusat berbeda dengan kapitalisme negara pinggiran.
Kapitalisme negara pinggiran adalah keterbelakangan karena itu perlu di ubah
menjadi negara sosialis melalui sebuah revolusi. Dalam hal ini Frank adalah
penganut teori voluntaristik.
C.KELEMAHAN
DAN KEKUATAN TEORI KETERGANTUNGAN
Menurut Robert A. Packenham, teori ketesrgantungan itu memiliki kelemahan
dan kekuatan. Packenham menyebutkan ada 6 kelemahan dari teori ketergantungan,
antara lain:
1.
Menyalahkan hanya kapitalisme sebagai
penyebab dari ketergantungan.
2.
Konsep-konsep inti, termasuk konsep
ketergantungan itu sendiri à kurang didefinisikan secara jelas.
3.
Hanya didefinisikan sebagai konsep dikotomi.
4.
Sedikit sekali dibicarakan tentang
proses yang memungkinkan sebuah negara dapat lepas dari teori tersebut.
5.
Selalu dianggap sebagai sesuatu yang
negatif.
6.
Kurang membahas dengan teori lain
(otonomi).
Packenham juga mengatakan disamping kelemahan terdapat juga kekuatan dari
teori ketergantungan, kekuatannya antara lain:
1.
Menekankan aspek internasional
2.
Mempersoalkan akibat dari politik luar
negeri.
3.
Membahas proses internal dari perubahan
di negara-negara pinggiran.
4.
Menekankan pada kegiatan sektor swasta
dalam hubungannya dengan kegiatan perusahaan-perusahaan multinasional.
5.
Membahas hubungan antar klas yang ada
di dalam negeri.
6.
Mempersoalkan bagaimana kekayaan
nasional ini dibagikan antar klas-klas sosial, antar daerah, dan antar negara.
D. SISTEM PEMBANGUNAN DI
INDONESIA
Indonesia
sebagai sebuah negara yang digolongkan ke negara berkembang memiliki sistem
pembangunan yang bisa dikatakan berubah-ubah namun tidak bertentangan dengan dasar
negara dan konstitusi. Perubahan puncuk pimpinan menjadi faktor perubahan
sistem yang dianut.
Pada awal
kemerdekaan, di bawah pimpinan Soekarno, sistem yang dianut adalah sistem
pembangunan yang berdikari. Berdikari yang dimaksud adalah Indonesia tidak
boleh terlalu bergantung dengan negara lain, apalagi dengan negara maju seperti
Amerika Serikat atau Uni Soviet. Saat itu, Soekarno menolak untuk berkompromi
dengan negara luar. Sepertinya Soekarno pada masanya memiliki keyakinan yang
kuat dengan kemampuan untuk membangun Indonesia.
Setelah
Soekarno digantikan oleh Soeharto, ada pergeseran, yang awalnya anti terhadap
dunia luar berubah menjadi sangat pro. Ini diperlihatkan dengan membuka peluang
bagi asing untuk berinvestasi menanamkan modal di Indonesia. Di era orde baru
ini menitik beratkan pada pembangunan.
Sedangkan
setelah era reformasi, banyak hal yang berubah. Indonesia sepertinya semakin
membuka diri dengan dunia luar. Banyak persekutuan diikuti oleh Indonesia,
mulai dari PBB, APEC, ASEAN dan lain sebagainnya. Ini dimaksud sebagai jalan
untuk membuka kerjasama antara Indonesia dengan negara lain. Memang di era
globalisasi seperti sekarang ini Indonesia harus mengikuti tren. Teren untuk
berkerjasama dengan dunia internasional.
Sebenarnya
pembangunan nasional Indonesia itu merpakan rangkaian upaya pembangunan yang
berkesinambungan yang meliputi seluruh kehidupan masyarakat, bangsa dan negara
untuk mewujudkan tujuan negara yang tertuang dalam UUD 1945. Dan seluruh
pembangunan yang dilaksanakan tidakboleh bertentangan dengan sila-sila dalam
Pancasila. Jadi inti dari pembangunan Indonesia adalah pembangunan manusia
Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat seluruhnya, dengan Pancasila
sebagai dasar, tujuan dan pedoman pembangunan nasional.
E. FAKTOR
PENGHAMBAT PENERAPAN TEORI KETERGANTUNGAN DI
INDONESIA
Indonesia di
era globalisasi ini tidak bisa terlepas dari pengaruh luar. Bisa dilihat
bagaimana sikap Indonesia ketika terjadi kekurangan atau kelangkaan kedelai,
daging dan lainnya. Pemerintah Indonesia melakukan impor. Ini berarti
Indonesia sangat tergantung dengan negara lain.
Ada beberapa
komunitas internasional yang diikuti oleh Indonesia, diantaranya:
1. ASEAN
ASEAN
merupakan suatu perkumpulan dari negara-negara di Asia Tenggara. Indonesia
termasuk sebagai salah satu anggota dan menjadi pioner berdirinya ASEAN bersama
Filipina, Malaysia, Singapura dan Thailand. ASEAN ini dibentuk dengan tujuan
untuk memperkuat hubungan internasional antar negara di region Asia Tenggara,
sehingga pertumbuhan ekonomi, kemajuan sosial dan kebudayaan semakin cepat.
Pastinya
dengan masuknya Indonesia menjadi anggota ASEAN akan menjadi suatu hal yang
sulit bagi Indonesia untuk melepas diri dari kebijakan yang telah disepakati
oleh anggota lainnya. Ini akan menyebabkan teori ketergantungan akan sulit
diterapkan di Indonesia, meskipun menurut Cardoso suatu negara boleh melakukan
hubungan dengan memperhatikan histori dan kedekatan negara (negara tetangga).
Program AFTA
sebagai contoh bahwa Indonesia akan semakin tergantung dengan negara-negara
yang berada di kawasan ASEAN. AFTA (Asean Free Trade Areas) merupakan wujud
dari kesepakatan negara-negara ASEAN untuk membentuk kawasan perdagangan bebas
dalam rangka meningkatkan daya saing ekonomi kawasan regional ASEAN menjadikan
ASEAN sebagai basis produksi dunia.
2. PBB
PBB
merupakan suatu organisasi internasional yang anggotanya hampir seluruh negara
di dunia. Lembaga ini dibentuk untuk memfasilitasi dalam hukum internasional,
keamanan internasional, pengembangan ekonomi, perlindungan sosial, hak asasi
dan pencapaian perdamain dunia. Pada tahun 2011, PBB sudah memiliki 193
anggota.
Indonesia
masuk sebagai anggota PBB pada tanggal 28 September 1950. Tetapi, Indonesia
pada tahun 1965 mengundurkan diri dari keanggotaan PBB disebabkan oleh
penolakan Indonesia terhadap diakuinya Malaysia sebagai anggota tetap
PBB. Soekarno dengan tegas menyatakan keluar sebagai anggota PBB. Namun
akhirnya Indonesia kembali masuk sebagai anggota PBB.
Ini berarti Indonesia sangat sulit untuk keluar dari namanya pengaruh negara
lain. Dengan masuknya Indonesia menjadi anggota PBB, maka mau tidak mau
Indonesia harus tunduk dan taan terhadap apa yang menjadi kebijakan
internasional.
3. APEC
APEC
merupakan kerjasama antara negara-negara kawasan Asia-Pasifik. APEC bertujuan
untuk mengukuhkan pertumbuhan ekonomi dan mempererat komunitas negara
Asia-Pasifik. APEC didirikan pada tahun 1989 dan saat ini anggotanya sudah
mencapai 21 negara.
Ini berarti
Indonesia akan semakin bergantung dan sulit untuk melepaskan diri dari dunia
internasional. Sepertinya teori ketergantungan akan tidak bisa diterapkan di
Indonesia.
Dari
beberapa contoh organisasi yang diikuti oleh Indonesia di atas, maka bisa
disimpulkan bahwa Indonesia akan sulit untuk melepaskan diri dari namanya dunia
internasional.
F. REVOLUSI
KETERGANTUNGAN INTERNASIONAL
Sepanjang kurun waktu 1970-an,
model-model ketergantungan internasional mendapat dukungan yang cukup besar di
kalangan intelektual negara-negara dunia ketiga, sebagai akibat dari tidak
kunjung terwujudnya prediksi model-model pertumbuhan ekonomi tahapan- linier
dan perubahan struktural, sementara ini model ketergantungan internasional
kurang berjaya selama dekade 1980-an sampai dekade 1990-an. Namun berbagai
versi dari teori tersebut kembali menikmati kebangkitan pada awal-awal tahun
abad 21 ketika beberapa pandangan dari teori itu diadopsi oleh para teoritisi
dan pemimpin gerakan antiglobalisasi, walaupun dengan bentuk yang sudah
dimodifikasikan. Pada intinya, model ketergantungan internasional memandang
negara-negara dunia ketiga sebagai korban kekakuan aneka faktor
kelembagaan,politik, dan ekonomi, baik yang berskala domestik maupun
internasional. Mereka semua telah terjebak ke dalam perangkap ketergantungan
(dependence) dan dominasi (dominance) negara-negara kaya. Di dalam pendekatan
ini, terdapat tiga aliran pemikiran yang utama, yaitu: model ketergantungan
neokolonial (neocolonial dependence model), model paradigma palsu
(false-paradigm model), serta tesis pembangunan-dualistik
(dualistic-development thesis).
v Model
ketergantungan neokolonial
Aliran pemikiran yang pertama, yang
kita sebut sebagai model ketergantungan neokolonial (neocolonial dependence
model), secara tidak langsungan adalah suatu pengembangan pemikiran kaum
marxis. Model ini menghubungkan keberadaan dan kelanggengan negara-negara
terbelakangan kepada evolusi sejarah hubungan internasional yang sama sekali
tidak seimbang antara negara-negara kaya dengan negara-negara miskin dalam
suatu sistem kapitalis internasional. Terlepas dari sengaja atau tidaknya sikap
dan praktek eksploitatif negara-negara kaya terhadap negara-negara berkembang
koeksistensi negara miskin dan kaya dalam suatu sistem internasional tidak bisa
dipungkiri. Koeksistensi ini digambarkan sebagai hubungan kekuasaan yang sangat
tidak berimbang antara pusat (center,core) yang terdiri dari negara-negara
maju, serta pinggiran (periphery), yakni kelompok negara yang sedang
berkembang. sampai batas tertentu pemikiran radikal ini telah mendorong
negara-negara miskin untuk mencoba lebih mandiri dan independen dalam upaya-upaya
pembangunan mereka, meskipun dalam prakteknya hal itu sangat sulit, atau bahkan
kadang-kadang mustahil untuk dilakukan. Kelompok-kelompok tertentu di
negara-negara berkembang. Mereka merupakan kelompok kecil elit penguasa yang
kepentingan utamanya, disadari ataupun tidak, adalah melestarikan sistem
kapitalis internasional yang tidak adil dan menindas, karena mereka memang
mendapat banyak keuntungan darinya. Baik secara langsung maupun tidak, mereka
telah mengabdi (didominasi oleh) dan dianugerahi oleh (tergantung pada)
kelompok-kelompok kekuatan internasional yang memiliki kepentingan tertentu,
termasuk perusahan-perusahan multinasional, lembaga-lembaga bantuan
bilateral, dan organisasi-organisasi penyedia bantuan multilateral seperti bank
dunia (world bank) atau dana moneter internasional ( IMF, internasional
monetery fund), dan kesemuanya terikat oleh suatu jaringan-jaringan kesetiaan
atau sumber dana kepada negara-negara kapitalis yang makmur. Kegiatan-kegiatan
dan pandangan kelompok elit itu bahkan sering ditujukan pada usaha untuk
menghambat setiap upaya perubahan yang sedianya akan menguntungkan masyarakat
luas. Dalam beberapa kasus, tindakan mereka bahkan telah mengarah kepada
penurunan taraf hidup serta pelestarian keterbelakangan (derdevelopment).
Pendeknya, pandangan neo-marxis atau dalam hal ini pandangan keterbelakangan
neokolonial, mencoba menghubungkan kemiskinan yang terus berlanjut dan semakin
parah di sebagian besar negara-negara industri kapitalis dari belahan bumi
utara yang dapat menyebar luas melalui kelompok-kelompok domestik kecil elit
yang berkuasa, yang mereka sebut kelompok comprador (comprador group) di semua
negara-negara berkembang.
v Model
paradigma palsu
Cabang atau aliran yang kedua dari teori ketergantungan internasional terhadap
topik pembangunan ini relatif tidak begitu radikal. Aliran ini biasa disebut
sebagai model paradigma palsu (false-paradigm model). Ia mencoba menghubungkan
keterbelakangan negara-negara dunia ketiga dengan kesalahan dan ketidaktepatan
saran yang diberikan oleh para pengamat atau “pakar” internasional, meskipun
saran-saran tersebut baik tetapi sering tidak diinformasikan secara tepat;
bias; dan hanya didasarkan pada suatu kebudayaan tertentu saja yang bernaung di
bawah lembaga-lembaga bantuan negara-negara maju dan organisasi-organisasi
donor multinasional. Para pakar ini menawarkan konsep-konsep yang serba
canggih, struktur teori yang bagus, dan model-model ekonometri yang serba rumit
tentang pembangunan yang dalam prakteknya seringkali hanya menjurus kepada
terciptanya kebijakan-kebijakan yang tidak tepat guna atau bahkan melenceng
sama sekali. Faktor-faktor kelembagaan di negara-negara dunia ketiga, seperti
masih pentingnya struktur sosial tradisional (yakni, kesukuan, kasta, kelas,
dan sebagainya); sangat tidak meratanya hak kepemilikan tanah dan
kekayaan lainnya; tidak memadainya kontrol kalangan elit terhadap aset-aset
keuangan domestik dan internasional; serta sangat timpangnya kesempatan ataupun
kemudahan dalam rangka mendapatkan kredit usaha; selama ini tidak dipahami dan
diperhitungkan secara memadai, sehingga tidak mengherankan apabila
kebijakan-kebijakan yang ditawarkan oleh para ahli internasional tadi, yang
biasanya mereka dasarkan pada model-model surplus tenaga kerja dari lewis atau
perubahan struktural dari chenery, dalam banyak hal hanya melayani kepentingan
sepihak kelompok-kelompok domestik maupun internasional yang sedang berkuasa.
Di samping itu, menurut argumen
paradigma palsu ini, para cendekiawan di berbagai universitas terkemuka, para
pemimpin serikat-serikat pekerja, para ekonomi di lembaga pemerintahan, dan
para pejabat negara-negara berkembang pada umumnya, hampir semuanya mendapat
didikan dan latihan dari lembaga-lembaga di negara-negara maju. Seringkali tanpa
disadari, mereka terlalu banyak menelan konsep-konsep asing dan model-model
teoretis yang serba hebat tetapi sebenarnya tidak cocok dan tidak dapat
diterapkan di daerah mereka sendiri. Akibat ketiadaan atau terbatasnya
pengetahuan yang tepat guna untuk mengatasi masalah-masalah pembangunan, maka
kalangan elit tersebut justru cenderung menjadi pembela keyakinan asing yang
melupakan atau mengabaikan adanya sistem kebijakan elitisi serta struktur
kelembagaan yang khas negara-negara berkembang.
v Tesis pembangunan
dualistik
Unsur pemikiran pokok yang secara
implisit terkandung di dalam teori-teori perubahan struktural dan secara
eksplisit telah dinyatakan dalam teori ketergantungan internasional adalah
gagasan akan adanya sebuah dunia bermasyarakat ganda (a world of dual
societies). Secara garis besar, pandangan ini melihat dunia terbagi ke dalam
dua kelompok besar, yakni negara-negara kaya dan miskin dan di negara-negara
berkembang terdapat segelintir penduduk yang kaya di antara begitu banyak
penduduk yang miskin. Dualisme (dualism) adalah sebuah konsep yang dibahas
secara luas dalam ilmu ekonomi pembangunan. Konsep ini menunjukkan
adanya jurang pemisah yang kian lama terus melebar antara negara-negara kaya
dan miskin serta antara orang-orang kaya dan miskin pada berbagai tingkatan di
setiap negara. Pada dasarnya konsep dualisme ini terdiri dari empat elemen
kunci sebagai berikut:
1) Beberapa
kondisi yang berbeda, terdiri dari elemen “superior” dan “inferior”, hadir
secara berkesamaan (atau berkoeksistensi) dalam waktu dan tempat yang sama.
Inilah hakekat dari konsep dualisme.
2) Koeksistensi
tersebut bukanlah suatu hal yang bersifat sementara atau transisional,
melainkan sesuatu yang bersifat baku, permanen atau kronis. Koeksistensi ini
juga bukan merupakan fenomena sesaat yang akan mengikis seiring dengan
berlalunya waktu. Artinya, elemen yang superior tidaklah mudah untuk
meningkatkan posisinya. Dalam kalimat lain, koeksistensi internasional antara
kaya dan miskin bukanlah hanya merupakan suatu fenomena sejarah yang akan
membaik dengan sendirinya bila saatnya sudah tiba. Meskipun teori tahapan
pertumbuhan ekonomi dan model perubahan struktural secara implisit dilandaskan
pada asumsi yang demikian, namun fakta bahwa ketimpangan internasional
semakin membesar secara jelas membuktikan kekeliruan asumsi tersebut.
3) Kadar
superioritas serta inferioritas dari masing-masing elemen tersebut bukan hanya
tidak menunjukkan tanda-tanda akan berkurang, melainkan bahkan cenderung
meningkat.
4) Hubungan
saling keterkaitan antara elemen-elemen yang superior dengan elemen-elemen yang
inferior tersebut terbentuk dan berlangsung sedemikian rupa sehingga keberadaan
elemen-elemen superior sangat sedikit atau sama sekali tidak membawa manfaat
untuk meningkatkan kedudukan elemen-elemen yang inferior. Dengan demikian apa
yang disebut sebagai prinsip “ penetesan kemakmuran ke bawah “ ( trickle down
effect ) itu sesungguhnya sulit diterima. Bahkan di dalam kenyataannya,
elemen-elemen superior tersebut justru tidak jarang memanfaatkan, memanipulasi,
mengekploitasi ataupun menggencet elemen-elemen yang inferior. Jadi yang mereka
kembangkan justru keterbelakangannya.
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Andre Gunder
Frunk menyatakan bahwa kapitalisme global akan membuat ketergantungan masa lalu
dan sekarang oleh karena itu negara yang tidak maju dan berkembang harus
memutuskan hubungan dengan negara maju supaya negara berkembang bisa maju.
Sepertinya teori ketergantungan akan sulit untuk diterapkan Indonesia,
mengingat Indonesia memiliki ketergantungan terhadap dengan negara lainnya.
Saat ini,
Indonesia masuk dalam beberapa organisasi internasional, seperti PBB, ASEAN,
APEC dan lainnya. Inilah faktor yang menyebabkan Indonesia akan sulit keluar
dari pengaruh dunia internasional. Jadi, teori ketergantungan sangat sulit dan
bisa dikatakan tidak bisa diterapkan di Indonesia.
B. SARAN
Indonesia
sebagai negara yang memiliki kekayaan alam yang melimpah ruah harus bisa untuk
tidak terlalu bergantung dengan negara lain. Kalau bisa Indonesia harus
menerapkan teori Cardoso, yaitu dalam melakukan hubungan internasional harus
melihat histori. Jadi Indonesia tidak serta merta masuk dalam suatu organisasi
dunia.
Indonesia
akan semakin terpuruk apabila terus menerus bergantung dengan negara lain.
Indonesia katanya Soekarno harus mampu berdikari dalam segala bidang. Itulah
yang perlu dipahami oleh seluaruh masyarakat Indonesia supaya alam Indonesia
ini tidak selalu dikeruk oleh investor asing.
DAFTAR PUSTAKA
Cardoso, FH.
1982. Dependency and Development in Latin America in
http://blogberii.blogspot.com/2010/12/teori-ketergantungan-dependency.html
http://senyum-freeyoursoul.blogspot.com/2009/12/teori-ketergantungan.html
No comments:
Post a Comment