Thursday, October 29, 2020

MAKALAH TEORI KETERGANTUNGAN

BAB I

PENDAHULUAN

 

1.1 Latar Belakang

Dewasa ini, Indonesia berada di era globalisasi. Globalisasi merupakan keterkaitan dan ketergantungan antar bangsa dan antar manusia di seluruh dunia melalui perdagangan, investasi, perjalanan, budaya populer dan bentuk-bentuk interaksi yang lain, sehingga sepertinya batas antara negara tidak ada. Globalisasi ini juga didukung dengan teknologi yang semakin  canggih, bisa kita lihat bagaimana informasi di penjuru dunia yang satu dengan lainnya sangat cepat diketahui. Inilah pengaruh dari adanya teknologi.

Di era globalisasi ini sepertinya sangat sulit bagi suatu negara untuk melepaskan diri dengan negara lain. Hubungan antar negara sepertinya menjadi keharusan. Sehingga apa yang dikatakan oleh Andre Gunder Frunk mengenai teori ketergantungan depensi tidak akan bisa diaplikasikan dalam keadaan negara saat ini. Andre Gunder Frunk mengatakan bahwa negara berkembang dan terbelakang harus memutuskan hubungan dengan negara maju supaya bisa maju.

  Indonesia sebagai bagian dari dunia internasional juga tidak lumput dari namanya pengaruh luar. Dulu Bung Karno di awal kemerdekaan mengatakan Indonesia harus menjadi bangsa/negara yang berdikari. Berdikari maksudnya adalah mampu untuk mengolah dan memajukan wilayah NKRI dengan cara tidak bergantung kepada orang luar (asing).

Namun setelah Soekarno digantikan oleh Soeharto, ada perubahan orientasi. Soeharto sangat membuka peluang asing untuk masuk berinvestasi ke Indonesia. Inilah awal dari perusahaan asing masuk dalam membangun Indonesia.

Indonesia bisa dikatakan sebagai negara yang memiliki hubungan yang sangat strategis dengan negara lain. Banyak organisasi dunia yang diikuti oleh Indonesia, seperti PBB, APEC dan ASEAN. Dengan masuknya Indonesia keranah organisasi tersebut maka Indonesia sudah menjadi bagian dari mereka.


 

1.2 Rumusan Masalah

Dari latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang akan dikaji adalah sebagai berikut:

1.            Mungkinkah Indonesia menerapkan teori ketergantungan?

2.            Apakah teori ketergantungan bertentangan dengan teori pembangunan di Indonesia?

1.3 Tujuan

a.  Tujuan Umum

Untuk lebih mengerti dan memahami tentang teori pembangunan, khususnya teori   ketergantungan.

b. Tujuan Khusus :

1.            Meningkatkan pengetahuan tentang teori ketergantungan,

2.            Memberikan pandangan mengenai apakah Indonesia bisa menerapkan teori ketergantungan atau tidak, dan

 

 

 

 


 

BAB II

LANDASAN TEORI

 

1.   Pengertian Teori Ketergantungan

Dalam belajar teori pembangunan pastinya dipelajari teori ketergantungan. Teori ketergantungan dikemukakan oleh banyak ahli, diantaranya Andre Gunder Frunk, Fernando H. Cardoso, Samir Amin, Paul Baran, Paul Prebisch dan Theotonio Dos Santos. Ahli ini memiliki pandangan tersendiri mengenai teori ketergantungan.

Namun teori ketergantungan secara garis besar bisa dibagi menjadi dua macam, yaitu:

1)    Teori Depensi Klasik

Teori ini digagas oleh Andre Gunder Frunk, yang menyatakan bahwa kapitalisme global akan membuat ketergantungan masa lalu dan sekarang oleh karena itu negara yang tidak maju dan berkembang harus memutuskan hubungan dengan negara maju supaya negara berkembang bisa maju.  

2)    Teori Depensi Modern

Teori ini digagas oleh Fernando Henrigue Cardoso, teori ini menyatakan bahwa antara negara yang satu dengan lainnya perlu kerjasama dengan melihat karakteristik histori dari daerah tersebut.

Selain pandangan ke dua tokoh tersebut juga ada beberapa ahli yang menyatakan tentang teori ketergantungan. Theontonio Dos Santos membagi tiga bentuk ketergantungan negara ketiga, yaitu ketergantungan kolonial, ketergantungan finansial-industrial, ketergantungan tekhnologi-industrial.

Sedangkan pendapat dari Raul Prebisch adalah negara-negara dibagi atas negara maju (industri) dan terbelakang (pertanian), yang saling berdagang. Ada negara “pusat” dan negara “pinggiran”. Hubungan pusat dan pinggiran tak seimbang, tidak saling menguntungkan à ekploitasi.

 

 

 


 

BAB III

PEMBAHASAN

 

A.     SEJARAH DAN ASUMSI DASAR TEORI DEPENDENSI (KETERGANTUNGAN)

Secara historis, teori Dependensi lahir atas ketidakmampuan teori Modernisasi membangkitkan ekonomi negara-negara terbelakang, terutama negara di bagian Amerika Latin. Secara teoritik, teori Modernisasi melihat bahwa kemiskinan dan keterbelakangan yang terjadi di negara Dunia Ketiga terjadi karena faktor internal di negara tersebut. Karena faktor internal itulah kemudian negara Dunia Ketiga tidak mampu mencapai kemajuan dan tetap berada dalam keterbelakangan.

Paradigma inilah yang kemudian dibantah oleh teori Dependensi. Teori ini berpendapat bahwa kemiskinan dan keterbelakangan yang terjadi di negara-negara Dunia Ketiga bukan disebabkan oleh faktor internal di negara tersebut, namun lebih banyak ditentukan oleh faktor eksternal dari luar negara Dunia Ketiga itu. Faktor luar yang paling menentukan keterbelakangan negara Dunia Ketiga adalah adanya campur tangan dan dominasi negara maju pada laju pembangunan di negara Dunia Ketiga. Dengan campur tangan tersebut, maka pembangunan di negara Dunia Ketiga tidak berjalan dan berguna untuk menghilangkan keterbelakangan yang sedang terjadi, namun semakin membawa kesengsaraan dan keterbelakangan. Keterbelakangan jilid dua di negara Dunia Ketiga ini disebabkan oleh ketergantungan yang diciptakan oleh campur tangan negara maju kepada negara Dunia Ketiga. Jika pembangunan ingin berhasil, maka ketergantungan ini harus diputus dan biarkan negara Dunia Ketiga melakukan roda pembangunannya secara mandiri.

Ada dua hal utama dalam masalah pembangunan yang menjadi karakter kaum Marxis Klasik. Pertama, negara pinggiran yang pra-kapitalis adalah kelompok negara yang tidak dinamis dengan cara produksi Asia, tidak feodal dan dinamis seperti tempat lahirnya kapitalisme, yaitu Eropa. Kedua, negara pinggiran akan maju ketika telah disentuh oleh negara pusat yang membawa kapitalisme ke negara pinggiran tersebut. Ibaratnya, negara pinggiran adalah seorang putri cantik yang sedang tertidur, ia akan bangun dan mengembangkan potensi kecantikannya setelah disentuh oleh pangeran tampan. Pangeran itulah yang disebut dengan negara pusat dengan ketampanan yang dimilikinya, yaitu kapitalisme. Pendapat inilah yang kemudian dibantah oleh teori Dependensi.

Bantahan teori Dependensi atas pendapat kaum Marxis Klasik ini juga ada dua hal. Pertama, negara pinggiran yang pra-kapitalis memiliki dinamika tersendiri yang berbeda dengan dinamika negara kapitalis. Bila tidak mendapat sentuhan dari negara kapitalis yang telah maju, mereka akan bergerak dengan sendirinya mencapai kemajuan yang diinginkannya. Kedua, justru karena dominasi, sentuhan dan campur tangan negara maju terhadap negara Dunia Ketiga, maka negara pra-kapitalis menjadi tidak pernah maju karena tergantung kepada negara maju tersebut. Ketergantungan tersebut ada dalam format “neo-kolonialisme” yang diterapkan oleh negara maju kepada negara Dunia Ketiga tanpa harus menghapuskan kedaulatan negara Dunia Ketiga, (Arief Budiman, 2000:62-63).  

Teori Dependensi kali pertama muncul di Amerika Latin. Pada awal kelahirannya, teori ini lebih merupakan jawaban atas kegagalan program yang dijalankan oleh ECLA (United Nation Economic Commission for Latin Amerika) pada masa awal tahun 1960-an. Lembaga tersebut dibentuk dengan tujuan untuk mampu menggerakkan perekonomian di negara-negara Amerika Latin dengan membawa percontohan teori Modernisasi yang telah terbukti berhasil di Eropa.

Teori Dependensi juga lahir atas respon ilmiah terhadap pendapat kaum Marxis Klasik tentang pembangunan yang dijalankan di negara maju dan berkembang. Aliran neo-marxisme yang kemudian menopang keberadaan teori Dependensi ini.

Tentang imperialisme, kaum Marxis Klasik melihatnya dari sudut pandang negara maju yang melakukannya sebagai bagian dari upaya manifestasi Kapitalisme Dewasa, sedangkan kalangan Neo-Marxis melihatnya dari sudut pandang negara pinggiran yang terkena akibat penjajahan. Dalam dua tahapan revolusi, Marxis Klasik berpendapat bahwa revolusi borjuis harus lebih dahulu dilakukan baru kemudian revolusi proletar. Sedangkan Neo-Marxis berpendapat bahwa kalangan borjuis di negara terbelakang pada dasarnya adalah alat atau kepanjangan tangan dari imperialis di negara maju. Maka revolusi yang mereka lakukan tidak akan membawa perubahan di negara pinggiran, terlebih lagi, revolusi tersebut tidak akan mampu membebaskan kalangan proletar di negara berkembang dari eksploitasi kekuatan alat-alat produksi kelompok borjuis di negara tersebut dan kaum borjuis di negara maju.

 

B. BEBERAPA TOKOH DARI TEORI DEPENDENSI (KETERGANTUNGAN)

Tokoh utama dari teori Dependensi adalah Theotonio Dos Santos dan Andre Gunder Frank. Theotonio Dos Santos sendiri mendefinisikan bahwa ketergantungan adalah hubungan relasional yang tidak imbang antara negara maju dan negara miskin dalam pembangunan di kedua kelompok negara tersebut. Dia menjelaskan bahwa kemajuan negara Dunia Ketiga hanyalah akibat dari ekspansi ekonomi negara maju dengan kapitalismenya. Jika terjadi sesuatu negatif di negara maju, maka negara berkembang akan mendapat dampak negatifnya pula. Sedangkan jika hal negatif terjadi di negara berkembang, maka belum tentu negara maju akan menerima dampak tersebut. Sebuah hubungan yang tidak imbang. Artinya, positif-negatif dampak  berkembang pembangunan di negara maju akan dapat membawa dampak pada negara, (theotonio dos santos, review, vol. 60, 231).

Dalam perkembangannya, teori Dependensi terbagi dua, yaitu Dependensi Klasik yang diwakili oleh Andre Gunder Frank dan Theotonio Dos Santos, dan Dependensi Baru yang diwakili oleh F.H. Cardoso.

 

Teori Ketergantungan yang dikembangkan pada akhir 1950an di bawah bimbingan Direktur Komisi Ekonomi PBB untuk Amerika Latin, Raul Prebisch. Prebisch dan rekan-rekannya di picu oleh kenyataan bahwa pertumbuhan ekonomi di negara-negara industri maju tidak harus menyebabkan pertumbuhan di negara-negara miskin. Memang, studi mereka menyarankan bahwa kegiatan ekonomi di negara-negara kaya sering menyebabkan masalah ekonomi yang serius di negara-negara miskin. Kemungkinan seperti itu tidak diprediksi oleh teori neoklasik, yang diasumsikan bahwa pertumbuhan ekonomi bermanfaat bagi semua, bahkan jika tidak bermanfaat tidak selalu ditanggung bersama. Penjelasan awal Prebisch untuk fenomena ini sangat jelas: negara-negara miskin mengekspor komoditas primer ke negara-negara kaya yang kemudian diproduksi produk dari komoditas tersebut dan  mereka jual kembali ke negara-negara miskin.

Tiga masalah membuat kebijakan ini sulit untuk diikuti. Yang pertama adalah bahwa pasar internal negara-negara miskin tidak cukup besar untuk mendukung skala ekonomi yang digunakan oleh negara-negara kaya untuk menjaga harga rendah. Isu kedua menyangkut akan politik negara-negara miskin untuk apakah transformasi menjadi produsen utama produk itu mungkin atau diinginkan. Isu terakhir berkisar sejauh mana negara-negara miskin sebenarnya memiliki kendali produk utama mereka, khususnya di bidang penjualan produk-produk luar negeri. Hambatan-hambatan dengan kebijakan substitusi impor menyebabkan orang lain berpikir sedikit lebih kreatif dan historis pada hubungan antara negara-negara kaya dan miskin.

Pada titik ini teori ketergantungan itu dipandang sebagai sebuah cara yang mungkin untuk menjelaskan kemiskinan terus-menerus dari negara-negara miskin. Pendekatan neoklasik tradisional mengatakan hampir tidak ada pada pertanyaan ini kecuali untuk menegaskan bahwa negara-negara miskin terlambat datang ke praktik-praktik ekonomi yang padat dan begitu mereka mempelajari teknik-teknik ekonomi modern, maka kemiskinan akan mulai mereda. Ketergantungan dapat didefinisikan sebagai suatu penjelasan tentang pembangunan ekonomi suatu negara dalam hal pengaruh eksternal - politik, ekonomi, dan budaya - pada kebijakan pembangunan nasional (Osvaldo Sunkel, "Kebijakan Pembangunan Nasional dan Eksternal Ketergantungan di Amerika Latin," Jurnal Studi Pembangunan, Vol 6,. no. 1 Oktober 1969, hal 23).

 

1.    Raul Prebisch : industri substitusi import. Menurutnya negara-negara terbelakang harus melakukan industrialisasi yang dimulai dari industri substitusi impor.

2.    Perdebatan tentang imperialisme dan kolonialisme. Hal ini muncul untuk menjawab pertanyaan tentang apa alasan bangsa-bangsa Eropa melakukan ekspansi dan menguasai negara-negara lain secara politisi dan ekonomis. Ada tiga teori:

1.   Teori God: Adanya misi menyebarkan agama.

2.   Teori Glory: Kehausan akan kekuasaan dan kebesaran.

3.   Teori Gospel: Motivasi demi keuntungan ekonomi.

3. Paul Baran: Sentuhan Yang Mematikan Dan Kretinisme. Baginya perkembangan kapitalisme di negara-negara pinggiran beda dengan kapitalisme di negara-negara pusat. Di negara pinggiran, system kapitalisme seperti terkena penyakit kretinisme yang membuat orang tetap kerdil.

Ada 2 tokoh yang membahas dan menjabarkan pemikirannya sebagai kelanjutan dari tokoh-tokoh di atas, yakni:

1.    Andre Guner Frank : Pembangunan keterbelakangan. Bagi Frank keterbelakangan hanya dapat diatasi dengan revolusi, yakni revolusi yang melahirkan sistem sosialis.

2.    Theotonia De Santos : Membantah Frank. Menurutnya ada 3 bentuk ketergantungan, yakni :

a.    Ketergantungan Kolonial: hubungan antar penjajah dan penduduk setempat bersifat eksploitatif.

b.    Ketergantungan Finansial- Industri: pengendalian dilakukan melalui kekuasaan ekonomi dalam bentuk kekuasaan financial-industri.

c.    Ketergantungan Teknologis-Industrial: penguasaan terhadap surplus industri dilakukan melalui monopoli teknologi industri.

                                                  

Enam bagian pokok dari teory independensi adalah :

1.    Pendekatan Keseluruhan Melalui Pendekatan Kasus. Gejala ketergantungan dianalisis dengan pendekatan keseluruhan yang memberi tekanan pada sisitem dunia. Ketergantungan adalah akibat proses kapitalisme global, dimana negara pinggiran hanya sebagai pelengkap. Keseluruhan dinamika dan mekanisme kapitalis dunia menjadi perhatian pendekatan ini.

2.    Pakar Eksternal Melawan Internal. Para pengikut teori ketergantungan tidak sependapat dalam penekanan terhadap dua faktor ini, ada yang beranggapan bahwa faktor eksternal lebih ditekankan, seperti Frank Des Santos. Sebaliknya ada yang menekan factor internal yang mempengaruhi/ menyebabkan ketergantungan, seperti Cordosa dan Faletto.

3.    Analisis Ekonomi Melawan Analisi Sosiopolitik. Raul Plebiech memulainya dengan memakai analisis ekonomi dan penyelesaian yang ditawarkanya juga bersifat ekonomi. AG Frank seorang ekonom, dalam analisisnya memakai disiplin ilmu sosial lainya, terutama sosiologi dan politik. Dengan demikian teori ketergantungan dimulai sebagai masalah ekonomi kemudian berkembang menjadi analisis sosial politik dimana analisis ekonomi hanya merupakan bagian dan pendekatan yang multi dan interdisipliner analisis sosiopolitik menekankan analisa kelas, kelompok sosial dan peran pemerintah di negara pinggiran.

4.    Kontradiksi Sektoral/Regional Melawan Kontradiksi Kelas. Salah satu kelompok penganut ketergantungan sangat menekankan analisis tentang hubungan negara-negara pusat dengan pinggiran ini merupakan analisis yang memakai kontradiksi regional. Tokohnya adalah AG Frank. Sedangkan kelompok lainya menekankan analisis klas, seperti Cardoso.

5.    Keterbelakangan Melawan Pembangunan. Teori ketergantungan sering disamakan dengan teori tentang keterbelakangan dunia ketiga. Seperti dinyatakan oleh Frank. Para pemikir teori ketergantungan yang lain seperti Dos Santos, Cardoso, Evans menyatakan bahwa ketergantungan dan pembangunan bisa berjalan seiring. Yang perlu dijelaskan adalah sebab, sifat dan keterbatasan dari pembangunan yang terjadi dalam konteks ketergantungan.

6.    Voluntarisme Melawan Determinisme. Penganut marxis klasik melihat perkembangan sejarah sebagai suatu yang deterministic. Masyarakat akan berkembang sesuai tahapan dari feodalisme ke kapitalisme dan akan kepada sosialisme. Penganut Neo Marxis seperti Frank kemudian mengubahnya melalui teori ketergantungan. Menurutnya kapitalisme negara-negara pusat berbeda dengan kapitalisme negara pinggiran. Kapitalisme negara pinggiran adalah keterbelakangan karena itu perlu di ubah menjadi negara sosialis melalui sebuah revolusi. Dalam hal ini Frank adalah penganut teori voluntaristik.

 

C.KELEMAHAN DAN KEKUATAN TEORI KETERGANTUNGAN

Menurut Robert A. Packenham, teori ketesrgantungan itu memiliki kelemahan dan kekuatan. Packenham menyebutkan ada 6 kelemahan dari teori ketergantungan, antara lain:

1.      Menyalahkan hanya kapitalisme sebagai penyebab dari ketergantungan.

2.      Konsep-konsep inti, termasuk konsep ketergantungan itu sendiri à kurang didefinisikan secara jelas.

3.      Hanya didefinisikan sebagai konsep dikotomi.

4.      Sedikit sekali dibicarakan tentang proses yang memungkinkan sebuah negara dapat lepas dari teori tersebut.

5.      Selalu dianggap sebagai sesuatu yang negatif.

6.      Kurang membahas dengan teori lain (otonomi).

Packenham juga mengatakan disamping kelemahan terdapat juga kekuatan dari teori ketergantungan, kekuatannya antara lain:

1.      Menekankan aspek internasional

2.      Mempersoalkan akibat dari politik luar negeri.

3.      Membahas proses internal dari perubahan di negara-negara pinggiran.

4.      Menekankan pada kegiatan sektor swasta dalam hubungannya dengan kegiatan perusahaan-perusahaan multinasional.

5.      Membahas hubungan antar klas yang ada di dalam negeri.

6.      Mempersoalkan bagaimana kekayaan nasional ini dibagikan antar klas-klas sosial, antar daerah, dan antar negara.

 

D. SISTEM PEMBANGUNAN DI INDONESIA

Indonesia sebagai sebuah negara yang digolongkan ke negara berkembang memiliki sistem pembangunan yang bisa dikatakan berubah-ubah namun tidak bertentangan dengan dasar negara dan konstitusi. Perubahan puncuk pimpinan menjadi faktor perubahan sistem yang dianut.

Pada awal kemerdekaan, di bawah pimpinan Soekarno, sistem yang dianut adalah sistem pembangunan yang berdikari. Berdikari yang dimaksud adalah Indonesia tidak boleh terlalu bergantung dengan negara lain, apalagi dengan negara maju seperti Amerika Serikat atau Uni Soviet. Saat itu, Soekarno menolak untuk berkompromi dengan negara luar. Sepertinya Soekarno pada masanya memiliki keyakinan yang kuat dengan kemampuan untuk membangun Indonesia.

Setelah Soekarno digantikan oleh Soeharto, ada pergeseran, yang awalnya anti terhadap dunia luar berubah menjadi sangat pro. Ini diperlihatkan dengan membuka peluang bagi asing untuk berinvestasi menanamkan modal di Indonesia. Di era orde baru ini menitik beratkan pada pembangunan.

Sedangkan setelah era reformasi, banyak hal yang berubah. Indonesia sepertinya semakin membuka diri dengan dunia luar. Banyak persekutuan diikuti oleh Indonesia, mulai dari PBB, APEC, ASEAN dan lain sebagainnya. Ini dimaksud sebagai jalan untuk membuka kerjasama antara Indonesia dengan negara lain. Memang di era globalisasi seperti sekarang ini Indonesia harus mengikuti tren. Teren untuk berkerjasama dengan dunia internasional.

Sebenarnya pembangunan nasional Indonesia itu merpakan rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan yang meliputi seluruh kehidupan masyarakat, bangsa dan negara untuk mewujudkan tujuan negara yang tertuang dalam UUD 1945. Dan seluruh pembangunan yang dilaksanakan tidakboleh bertentangan dengan sila-sila dalam Pancasila. Jadi inti dari pembangunan Indonesia adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat seluruhnya, dengan Pancasila sebagai dasar, tujuan dan pedoman pembangunan nasional.

 

E. FAKTOR PENGHAMBAT PENERAPAN TEORI KETERGANTUNGAN DI
    INDONESIA

Indonesia di era globalisasi ini tidak bisa terlepas dari pengaruh luar. Bisa dilihat bagaimana sikap Indonesia ketika terjadi kekurangan atau kelangkaan kedelai, daging dan lainnya.  Pemerintah Indonesia melakukan impor. Ini berarti Indonesia sangat tergantung dengan negara lain.

Ada beberapa komunitas internasional yang diikuti oleh Indonesia, diantaranya:

1.    ASEAN

ASEAN merupakan suatu perkumpulan dari negara-negara di Asia Tenggara. Indonesia termasuk sebagai salah satu anggota dan menjadi pioner berdirinya ASEAN bersama Filipina, Malaysia, Singapura dan Thailand. ASEAN ini dibentuk dengan tujuan untuk memperkuat hubungan internasional antar negara di region Asia Tenggara, sehingga pertumbuhan ekonomi, kemajuan sosial dan kebudayaan semakin cepat.

Pastinya dengan masuknya Indonesia menjadi anggota ASEAN akan menjadi suatu hal yang sulit bagi Indonesia untuk melepas diri dari kebijakan yang telah disepakati oleh anggota lainnya. Ini akan menyebabkan teori ketergantungan akan sulit diterapkan di Indonesia, meskipun menurut Cardoso suatu negara boleh melakukan hubungan dengan memperhatikan histori dan kedekatan negara (negara tetangga).

Program AFTA sebagai contoh bahwa Indonesia akan semakin tergantung dengan negara-negara yang berada di kawasan ASEAN. AFTA (Asean Free Trade Areas) merupakan wujud dari kesepakatan negara-negara ASEAN untuk membentuk kawasan perdagangan bebas dalam rangka meningkatkan daya saing ekonomi kawasan regional ASEAN menjadikan ASEAN sebagai basis produksi dunia.

2.    PBB

PBB merupakan suatu organisasi internasional yang anggotanya hampir seluruh negara di dunia. Lembaga ini dibentuk untuk memfasilitasi dalam hukum internasional, keamanan internasional, pengembangan ekonomi, perlindungan sosial, hak asasi dan pencapaian perdamain dunia. Pada tahun 2011, PBB sudah memiliki 193 anggota.

Indonesia masuk sebagai anggota PBB pada tanggal 28 September 1950. Tetapi, Indonesia pada tahun 1965 mengundurkan diri dari keanggotaan PBB disebabkan oleh penolakan Indonesia terhadap diakuinya Malaysia sebagai anggota tetap PBB.  Soekarno dengan tegas menyatakan keluar sebagai anggota PBB. Namun akhirnya Indonesia kembali masuk sebagai anggota PBB.

      Ini berarti Indonesia sangat sulit untuk keluar dari namanya pengaruh negara lain. Dengan masuknya Indonesia menjadi anggota PBB, maka mau tidak mau Indonesia harus tunduk dan taan terhadap apa yang menjadi kebijakan internasional.

3.    APEC

APEC merupakan kerjasama antara negara-negara kawasan Asia-Pasifik. APEC bertujuan untuk mengukuhkan pertumbuhan ekonomi dan mempererat komunitas negara Asia-Pasifik. APEC didirikan pada tahun 1989 dan saat ini anggotanya sudah mencapai 21 negara.

Ini berarti Indonesia akan semakin bergantung dan sulit untuk melepaskan diri dari dunia internasional. Sepertinya teori ketergantungan akan tidak bisa diterapkan di Indonesia.

Dari beberapa contoh organisasi yang diikuti oleh Indonesia di atas, maka bisa disimpulkan bahwa Indonesia akan sulit untuk melepaskan diri dari namanya dunia internasional.

 

F. REVOLUSI KETERGANTUNGAN INTERNASIONAL

Sepanjang kurun waktu 1970-an, model-model ketergantungan internasional mendapat dukungan yang cukup besar di kalangan intelektual negara-negara dunia ketiga, sebagai akibat dari tidak kunjung terwujudnya prediksi model-model pertumbuhan ekonomi tahapan- linier dan perubahan struktural, sementara ini model ketergantungan internasional kurang berjaya selama dekade 1980-an sampai dekade 1990-an. Namun berbagai versi dari teori tersebut kembali menikmati kebangkitan pada awal-awal tahun abad 21 ketika beberapa pandangan dari teori itu diadopsi oleh para teoritisi dan pemimpin gerakan antiglobalisasi, walaupun dengan bentuk yang sudah dimodifikasikan. Pada intinya, model ketergantungan internasional memandang negara-negara dunia ketiga sebagai korban kekakuan aneka faktor kelembagaan,politik, dan ekonomi, baik yang berskala domestik maupun internasional. Mereka semua telah terjebak ke dalam perangkap ketergantungan (dependence) dan dominasi (dominance) negara-negara kaya. Di dalam pendekatan ini, terdapat tiga aliran pemikiran yang utama, yaitu: model ketergantungan neokolonial (neocolonial dependence model), model paradigma palsu (false-paradigm model),  serta tesis pembangunan-dualistik  (dualistic-development thesis).

Model ketergantungan neokolonial

Aliran pemikiran yang pertama, yang kita sebut sebagai model ketergantungan neokolonial (neocolonial dependence model), secara tidak langsungan adalah suatu pengembangan pemikiran kaum marxis. Model ini menghubungkan keberadaan dan kelanggengan negara-negara terbelakangan kepada evolusi sejarah hubungan internasional yang sama sekali tidak seimbang antara negara-negara kaya dengan negara-negara miskin dalam suatu sistem kapitalis internasional. Terlepas dari sengaja atau tidaknya sikap dan praktek eksploitatif negara-negara kaya terhadap negara-negara berkembang koeksistensi negara miskin dan kaya dalam suatu sistem internasional tidak bisa dipungkiri. Koeksistensi ini digambarkan sebagai hubungan kekuasaan yang sangat tidak berimbang antara pusat (center,core) yang terdiri dari negara-negara maju, serta pinggiran (periphery), yakni kelompok negara yang sedang berkembang. sampai batas tertentu pemikiran radikal ini telah mendorong negara-negara miskin untuk mencoba lebih mandiri dan independen dalam upaya-upaya pembangunan mereka, meskipun dalam prakteknya hal itu sangat sulit, atau bahkan kadang-kadang mustahil untuk dilakukan. Kelompok-kelompok tertentu di negara-negara berkembang. Mereka merupakan kelompok kecil elit penguasa yang kepentingan utamanya, disadari ataupun tidak, adalah melestarikan sistem kapitalis internasional yang tidak adil dan menindas, karena mereka memang mendapat banyak keuntungan darinya. Baik secara langsung maupun tidak, mereka telah mengabdi (didominasi oleh) dan dianugerahi oleh (tergantung pada) kelompok-kelompok kekuatan internasional yang memiliki kepentingan tertentu, termasuk perusahan-perusahan multinasional, lembaga-lembaga bantuan  bilateral, dan organisasi-organisasi penyedia bantuan multilateral seperti bank dunia (world bank) atau dana moneter internasional ( IMF, internasional monetery fund), dan kesemuanya terikat oleh suatu jaringan-jaringan kesetiaan atau sumber dana kepada negara-negara kapitalis yang makmur. Kegiatan-kegiatan dan pandangan kelompok elit itu bahkan sering ditujukan pada usaha untuk menghambat setiap upaya perubahan yang sedianya akan menguntungkan masyarakat luas. Dalam beberapa kasus, tindakan mereka bahkan telah mengarah kepada penurunan taraf hidup serta pelestarian keterbelakangan (derdevelopment). Pendeknya, pandangan neo-marxis atau dalam hal ini pandangan keterbelakangan neokolonial, mencoba menghubungkan kemiskinan yang terus berlanjut dan semakin parah di sebagian besar negara-negara industri kapitalis dari belahan bumi utara yang dapat menyebar luas melalui kelompok-kelompok domestik kecil elit yang berkuasa, yang mereka sebut kelompok comprador (comprador group) di semua negara-negara berkembang.

v   Model paradigma palsu

                Cabang atau aliran yang kedua dari teori ketergantungan internasional terhadap topik pembangunan ini relatif tidak begitu radikal. Aliran ini biasa disebut sebagai model paradigma palsu (false-paradigm model). Ia mencoba menghubungkan keterbelakangan negara-negara dunia ketiga  dengan kesalahan dan ketidaktepatan saran yang diberikan oleh para pengamat atau “pakar” internasional, meskipun saran-saran tersebut baik tetapi sering tidak diinformasikan secara tepat; bias; dan hanya didasarkan pada suatu kebudayaan tertentu saja yang bernaung di bawah lembaga-lembaga bantuan negara-negara maju dan organisasi-organisasi donor multinasional. Para pakar ini menawarkan konsep-konsep yang serba canggih, struktur teori yang bagus, dan model-model ekonometri yang serba rumit tentang pembangunan yang dalam prakteknya seringkali hanya menjurus kepada terciptanya kebijakan-kebijakan yang tidak tepat guna atau bahkan melenceng sama sekali. Faktor-faktor kelembagaan di negara-negara dunia ketiga, seperti masih pentingnya struktur sosial tradisional (yakni, kesukuan, kasta, kelas, dan sebagainya);  sangat tidak meratanya hak kepemilikan tanah dan kekayaan lainnya; tidak memadainya kontrol kalangan elit terhadap aset-aset keuangan domestik dan internasional; serta sangat timpangnya kesempatan ataupun kemudahan dalam rangka mendapatkan kredit usaha; selama ini tidak dipahami dan diperhitungkan secara memadai, sehingga tidak mengherankan apabila kebijakan-kebijakan yang ditawarkan oleh para ahli internasional tadi, yang biasanya mereka dasarkan pada model-model surplus tenaga kerja dari lewis atau perubahan struktural dari chenery, dalam banyak hal hanya melayani kepentingan sepihak kelompok-kelompok domestik maupun internasional yang sedang berkuasa.

Di samping itu, menurut argumen paradigma palsu ini, para cendekiawan di berbagai universitas terkemuka, para pemimpin serikat-serikat pekerja, para ekonomi di lembaga pemerintahan, dan para pejabat negara-negara berkembang pada umumnya, hampir semuanya mendapat didikan dan latihan dari lembaga-lembaga di negara-negara maju. Seringkali tanpa disadari, mereka terlalu banyak menelan konsep-konsep asing dan model-model teoretis yang serba hebat tetapi sebenarnya tidak cocok dan tidak dapat diterapkan  di daerah mereka sendiri. Akibat ketiadaan atau terbatasnya pengetahuan yang tepat guna untuk mengatasi masalah-masalah pembangunan, maka kalangan elit tersebut justru cenderung menjadi pembela keyakinan asing yang melupakan atau mengabaikan adanya sistem kebijakan elitisi serta struktur kelembagaan yang khas negara-negara berkembang.

v   Tesis pembangunan dualistik

Unsur pemikiran pokok yang secara implisit terkandung di dalam teori-teori perubahan struktural dan secara eksplisit telah dinyatakan dalam teori ketergantungan internasional adalah gagasan akan adanya sebuah dunia bermasyarakat ganda (a world of dual societies). Secara garis besar, pandangan ini melihat dunia terbagi ke dalam dua kelompok besar, yakni negara-negara kaya dan miskin dan di negara-negara berkembang terdapat segelintir penduduk yang kaya di antara begitu banyak penduduk yang miskin. Dualisme (dualism) adalah sebuah konsep yang dibahas secara luas dalam ilmu   ekonomi pembangunan. Konsep ini menunjukkan adanya jurang pemisah yang kian lama terus melebar antara negara-negara kaya dan miskin serta antara orang-orang kaya dan miskin pada berbagai tingkatan di setiap negara. Pada dasarnya konsep dualisme ini terdiri dari empat elemen kunci sebagai berikut:

1)    Beberapa kondisi yang berbeda, terdiri dari elemen “superior” dan “inferior”, hadir secara berkesamaan (atau berkoeksistensi) dalam waktu dan tempat yang sama. Inilah hakekat dari konsep dualisme.

2)    Koeksistensi tersebut bukanlah suatu hal yang bersifat sementara atau transisional, melainkan sesuatu yang bersifat baku, permanen atau kronis. Koeksistensi ini juga bukan merupakan fenomena sesaat yang akan mengikis seiring dengan berlalunya waktu. Artinya, elemen yang superior tidaklah mudah untuk meningkatkan posisinya. Dalam kalimat lain, koeksistensi internasional antara kaya dan miskin bukanlah hanya merupakan suatu fenomena sejarah yang akan membaik dengan sendirinya bila saatnya sudah tiba. Meskipun teori tahapan pertumbuhan ekonomi dan model perubahan struktural secara implisit dilandaskan pada asumsi yang demikian, namun fakta bahwa ketimpangan  internasional semakin membesar secara jelas membuktikan kekeliruan asumsi tersebut.

3)    Kadar superioritas serta inferioritas dari masing-masing elemen tersebut bukan hanya tidak menunjukkan tanda-tanda akan berkurang, melainkan bahkan cenderung meningkat.

4)    Hubungan saling keterkaitan antara elemen-elemen yang superior dengan elemen-elemen yang inferior tersebut terbentuk dan berlangsung sedemikian rupa sehingga keberadaan elemen-elemen superior sangat sedikit atau sama sekali tidak membawa manfaat untuk meningkatkan kedudukan elemen-elemen yang inferior. Dengan demikian apa yang disebut sebagai prinsip “ penetesan kemakmuran ke bawah “ ( trickle down effect ) itu sesungguhnya sulit diterima. Bahkan di dalam kenyataannya, elemen-elemen superior tersebut justru tidak jarang memanfaatkan, memanipulasi, mengekploitasi ataupun menggencet elemen-elemen yang inferior. Jadi yang mereka kembangkan justru keterbelakangannya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB IV

PENUTUP

 

A.  KESIMPULAN

Andre Gunder Frunk menyatakan bahwa kapitalisme global akan membuat ketergantungan masa lalu dan sekarang oleh karena itu negara yang tidak maju dan berkembang harus memutuskan hubungan dengan negara maju supaya negara berkembang bisa maju. Sepertinya teori ketergantungan akan sulit untuk diterapkan Indonesia, mengingat Indonesia memiliki ketergantungan terhadap dengan negara lainnya.

Saat ini, Indonesia masuk dalam beberapa organisasi internasional, seperti PBB, ASEAN, APEC dan lainnya. Inilah faktor yang menyebabkan Indonesia akan sulit keluar dari pengaruh dunia internasional. Jadi, teori ketergantungan sangat sulit dan bisa dikatakan tidak bisa diterapkan di Indonesia.   

 

B. SARAN

Indonesia sebagai negara yang memiliki kekayaan alam yang melimpah ruah harus bisa untuk tidak terlalu bergantung dengan negara lain. Kalau bisa Indonesia harus menerapkan teori Cardoso, yaitu dalam melakukan hubungan internasional harus melihat histori. Jadi Indonesia tidak serta merta masuk dalam suatu organisasi dunia.

Indonesia akan semakin terpuruk apabila terus menerus bergantung dengan negara lain. Indonesia katanya Soekarno harus mampu berdikari dalam segala bidang. Itulah yang perlu dipahami oleh seluaruh masyarakat Indonesia supaya alam Indonesia ini tidak selalu dikeruk oleh investor asing.

 


 

DAFTAR PUSTAKA

Cardoso, FH. 1982. Dependency and Development in Latin America in

http://blogberii.blogspot.com/2010/12/teori-ketergantungan-dependency.html

http://senyum-freeyoursoul.blogspot.com/2009/12/teori-ketergantungan.html

 

No comments:

Post a Comment

buku bimbingan

                                                                                                                                            ...

082126189815

Name

Email *

Message *