BAB I
PENDAHULUAN
Dalam negara
hukum, undang-undang merupakan perangkat normatif yang merepresentasikan jiwa
dan nilai-nilai sosial dan hukum dalam masyarakat. Undang-undang adalah
perangkat hukum yang mengatur pelaksanaan kegiatan-kegiatan kenegaraan,
mengatur sinergitas antar lembaga-lembaga negara, filter dalam dinamika
politik, mengatur dinamika kemasyarakatan, sekaligus sebagai sistem nilai yang
harus dijiwai dan diimplementasikan oleh setiap warga negara.
Sistem hukum
positif menempatkan undang-undang sebagai instrumen utama penegakan hukum.
Dalam konteks ini, kodifikasi nilai-nilai moral, budaya, sosial, dan hukum adat
menjadi keniscayaan dalam upaya penataan kehidupan masyarakat. Sebagai
diketahui, dalam sistem hukum positif, nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat
tidak memiliki kekuatan mengikat dan memaksa tanpa dikodifikasi dalam perundang-undangan.
Nilai-nilai di masyarakat hanyalah quasi dari hukum dan sekedar menjadi
pelengkap peraturan informal yang mandul.
Indonesia
sebagai negara yang menganut sistem hukum positif berusaha mengatur dinamika
kenegaraan dengan membentuk undang-undang sesuai dengan peruntukannya. Pada
tahun 2007, tidak kurang dari seratus buah undang-undang telah ditetapkan
pemberlakuannya. Dari jumlah tersebut, kita menangkap suatu kesan bahwa negara
Indonesia adalah negara perundangan terlepas dari predikatnya sebagai negara
hukum. Sebagai catatan, Indonesia adalah salah satu negara dengan produk
undang-undang terbanyak di dunia.
Fakta yang
menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara dengan perundang-undangan terbanyak
ternyata di satu sisi menyisakan satu fakta yang paradoksal. Indonesia kini
tercatat sebagai negara dengan pelanggaran undang-undang terbanyak di dunia.
Ironis memang, akan tetapi inilah yang terjadi. Undang-undang ternyata tidak
lagi menjadi instrumen untuk mengatur kehidupan bermasayarakat maupun dinamika
kenegaraan. Undang-undang, sejauh realita membuktikan, hanyalah formalitas
belaka. Undang-undang tidak lebih dari produk politik yang di dalamnya bermuara
kepentingan-kepentingan segeltintir orang.
BAB II
PEMBAHSANA
A.
Lembaga yang Berwenang dalam Pembuatan
Undang-Undang
Peraturan
tentang pembuatan undang-undang di Indonesia termaktub dalam UU No. 10 tahun
2004. Dalam pasal 17 disebutkan, ‘Rancangan undang-undang baik yang berasal
dari Dewan Pewakilan Rakyat, Presiden, maupun dari Dewan Perwakilan Daerah
disusun berdasarkan Program Legislasi Nasional’. Pasal ini menegaskan bahwa
lembaga yang memiliki wewenang atau terlibat dalam pembentukan suatu
undang-undang adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Presiden, dan Dewan
Perwakilan Daerah (DPR).
Dalam perencanaan
pembentukan suatu undang-undang, baik DPR, Presiden, maupun DPD berhak
mengajukan usulan. Pasal 19 ayat 2 menyebutkan, ‘Rancangan undang-undang yang
berasal dari Dewan Perwakilan Daerah dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan
Daerah kepada Dewan Perwakilan Rakyat’. Pasal 20 ayat 1 menyebutkan, ‘Rancangan
undang-undang yang telah disiapkan oleh Presiden diajukan dengan surat Presiden
kepada pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat’. Pasal 21 ayat 1 menyebutkan,
‘Rancangan undang-undang yang telah disiapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat
disampaikan dengan surat pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Presiden’.
Dari
beberapa pasal yang telah disebutkan, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya,
ketiga lembaga tinggi negara tersebut dapat mengajukan rancangan undang-undang
dengan mengacu pada asas-asas batang tubuh dan materi perundangan sebagai
diatur pada pasal 5 sampai pasal 7 UU No. 10 tahun 2004. Pembahasan rancangan
undang-undang yang telah diusulkan dilakukan bersama DPR melalui komisi atau
bagian yng bertanggung jawab pada pembahasan rancangan undang-undang
FUNGSI PERATURAN PERUUAN
Bagir Manan
mengemukakan pula tentang fungsi peraturan perundang-undangan, yang dapat
dibagi menjadi dua kelompok utama, yaitu:
1.
Fungsi Internal, adalah fungsi
pengaturan perundang-undangan sebagai sub sistem hukum (hukum
perundang-undangan) terhadap sistem kaidah hukum pada umumnya secara internal,
peraturan perundang-undangan menjalankan fungsi penciptaan hukum, fungsi
pembaharuan hukum, fungsi integrasi pluralisme hukum, fungsi kepastian hukum.
Secara
internal, peraturan perundang-undangan menjalankan beberapa fungsi :
a. Fungsi
penciptaan hukum.
Penciptaan
hukum (rechtschepping) yang melahirkan sistem kaidah hukum yang berlaku
umum dilakukan atau terjadi melalui beberapa cara yaitu melalui
putusan hakim (yurisprudensi). Kebiasaan yang tumbuh sebagai praktek dalam
kehidupan masyarakat atau negara, dan peraturan perundang-undangan
sebagai keputusan tertulis pejabat atau lingkungan jabatan yang berwenang yang
berlaku secara umum. Secara tidak langsung, hukum dapat pula
terbentuk melalui ajaran-ajaran hukum (doktrin) yang diterima dan digunakan
dalam pembentukan hukum.
Di
Indonesia, peraturan perundang-undangan merupakan cara utama penciptaan hukum.
peraturan perundang-undangan merupakan sendi utama sistem hukum nasional.
Pemakaian peraturan perundang-undangan sebagai sendi utama sistem hukum
nasional karena:
i)
Sistem hukum Indonesia – gebagai akibat sistem hukum Hindia Belandia – lebih
menampakkan sistem hukum kontinental yang mengutamakan bentuk sistem
hukum tertulis (geschrevenrecht, written law).
ii) Politik
pembangunan hukum nasional mengutamnakan penggunaan peraturan
perundang-undangan sebagai Instrumen utama. Bandingkan dengan hukum
yurisprudensi dan hukum kebiasaan. Hal ini antara lain karena pembangunan
hukum nasional yang menggunakan peraturan perundang-undangan sebagai instrument
dapat disusun secara berencana (dapat direncanakan).
b. Fungsi
pembaharuan hukum.
Peraturan
perundang-undangan merupakan instrumen yang efektif dalam pembaharuan
hukum (law reform) dibandingkan dengan penggunaan hukum kebiasaan atau
hukum yurisprudensi. Telah dikemukakan, pembentukan peraturan
perundang-undangan dapat direncanakan, sehingga pembaharuan hukum dapat pula
direncakan. Peraturan perundang-undangan tidak hanya melakukan fungi
pembaharuan terhadap peraturan perundang-undangan (yang telah ada). Peraturan
perundang-undangan dapat pula dipergunakan Sebagai sarana memperbaharui
yurisprudensi. Hukum kebiasaan atau hukum adat. Fungsi pembaharuan terhadap
peraturan perundang-undangan antara lain dalam rangka mengganti peraturan
perundang-undangan dari masa pemerintahan Hindia Belanda. Tidak pula kalah
pentingnya memperbaharui peraturan perundang-undangan nasional (dibuat
setelah kemerdekaan) yang tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan perkembangan
baru. Di bidang hukum kebiasaan atau hukum adat. Peraturan perundang-undangan
berfungsi mengganti hukum kebiasaan atau hukum adat yang tidak sesuai dengan
kenyataan-kenyataan baru. Pemanfaat peraturan perundang-undangan sebagai
instrumen pembaharuan hukum kebiasaan atau hukum adat sangat bermanfaat, karena
dalam hal-hal tertentu kedua hukum yang disebut belakangan tersebut sangat
rigid terhadap perubahan.
c. Fungsi
integrasi pluralisme sistem hukum
Pada saat
ini, di Indonesia masih berlaku berbagai sistem
hukum (empat macam sistem hukum), yaitu: “sistem hukum
kontinental (Barat), sistem hukum adat, sistem hukum agama (khususnya lslam) dan sistem hukum nasional”.
hukum (empat macam sistem hukum), yaitu: “sistem hukum
kontinental (Barat), sistem hukum adat, sistem hukum agama (khususnya lslam) dan sistem hukum nasional”.
Pluralisme
sistem hukum yang berlaku hingga saat ini merupakan salah satu warisan kolonial
yang harus ditata kembali. Penataan kembali berbagai sistem hukum tersebut
tidaklah dimaksudkan meniadakan berbagai sistem hukum – terutama sistem hukum
yang hidup sebagai satu kenyataanyang dianut dan dipertahankan dalam pergaulan
masyarakat. Pembangunan sistem hukum nasional adalah dalam rangka mengintegrasikan
berbagai sistem hukum tersebut sehingga tersusun dalam satu tatanan yang
harmonis satu sama lain. Mengenai pluralisme kaidah hukum sepenuhnya
bergantung pada kebutuhan hukum masyarakat. Kaidah hukum dapat berbeda antara
berbagai kelompok masyarakat, tergantung pada keadaan dan kebutuhan masyarakat
yang bersangkutan.
D. Fungsi
kepastian hukum
Kepastian
hukum (rechtszekerheid, legal certainty) merupaken asas penting
dalam tindakan hukum (rechtshandeling) dan penegakan hukum (hendhaving,
uitvoering). Telah menjadi pengetahuan umum, bahwa peraturan
perundang-undangan depat memberikan kepastian hukum yang lebih tinggi dan pada
hukum kebiasan, hukum adat, atau hukum yurisprudensi. Namun, perlu diketahui,
kepastian hukum peraturan perundang-undangan tidak semata-mata diletakkan pada
bentuknya yang tertulis (geschreven, written). Untuk benar-benar
menjamin kepastian hukum, peraturan perundang-undangan selain harus memenuhi
syarat-syarat formal, harus memenuhi syarat-syarat lain, yaitu:
i)
Jelas dalam perumusannya (unambiguous).
ii)
Konsisten dalam perumusannya -baik secara intern maupun ekstern. Konsisten
secara intern mengandung makna bahwa dalam peraturan perundang-undangan yang
sama harus terpelihara hubungan sietematik antara kaidah-kaidahnya, kebakuan
susunan dan bahasa. Konsisten secara eketern, adalah adanya hubungan
“harmonisasi” antara herbagrii peraturan perundang-undangan.
iii)
Penggunaan bahasa yang tepat dan mudah dimengerti. Bahasa peraturan perundang-undangan
haruslah bahasa yang umum dipergunakan masyarakat. Tetapi ini tidak
berarti bahasa hukum tidak penting. Bahasa hukum –baik dalam arti struktur, peristilahan, atau cara penulisan tertentu harus dipergunakan secara ajeg karena merupakan bagian dan upaya menjamin kepastian hukumMelupakan syarat-syarat di atas, peraturan perundang-undangan mungkin menjadi lebih tidak pasti dibandingkan dengan hukum kebiasaan, hukum adat, atau hukum yurisprudensi.
berarti bahasa hukum tidak penting. Bahasa hukum –baik dalam arti struktur, peristilahan, atau cara penulisan tertentu harus dipergunakan secara ajeg karena merupakan bagian dan upaya menjamin kepastian hukumMelupakan syarat-syarat di atas, peraturan perundang-undangan mungkin menjadi lebih tidak pasti dibandingkan dengan hukum kebiasaan, hukum adat, atau hukum yurisprudensi.
1.
Fungsi Eksternal, adalah
keterkaitan peraturan perundang-undangan dengan tempat berlakunya. Fungsi
eksternal ini dapat disebut sebagai fungsi sosial hukum, yang meliputi fungsi
perubahan, fungsi stabilisasi, fungsi kemudahan. Dengan demikian, fungsi ini
dapat juga berlaku pada hukum-hukum kebiasaan, hukum adat, atau hukum
yurisprudensi. Bagi Indonesia, fungsi sosial ini akan lebih diperankan oleh
peraturan perundang-undangan, karena berbagai pertimbangan yang sudah
disebutkan di muka. Fungsi sosial ini dapat dibedakan:
1.
Fungsi perubahan
Telah
lama di kalangan pendidikan hukum diperkenalkan fungsi perubahan ini
yaitu hukum sebagai sarana pembaharuan (law as social
engineering). Peraturan perundang-undangan diciptakan atau
dibentuk untuk mendorong perubahan masyarakat di bidang ekonomi, sosial,
maupun budaya. Masyarakat “patrilineal” atau “matrilineal” dapat didorong
menuju masyarakat “parental” melalui peraturan perundang-undangan perkawinan.
1.
Fungsi stabilisasi
Peraturan
perundang-undangan dapat pula berfungsi sebagai stabilisasi. Peraturan
perundang-undangan di bidang pidana, di bidang ketertiban dan keamanan adalah
kaidah-kaidah yang terutama bertujuan menjami stabilitas masyarakat. Kaidah
stabilitas dapat pula mencakup kegiatan ekonomi, seperti pengaturan kerja,
pengaturan tata cara perniagaan dan lain-lain. Demikian pula di lapangan
pengawasan terhadap budaya luar, dapat pula berfungsi menstabilkan sistem
soeial budaya yang telah ada.
c.
Fungsi kemudahan
Peraturan
perundang-undangan dapat pula dipergunakan sebagai sarana mengatur berbagai
kemudahan (fasilitas). Peraturan perundang-undangan yang berisi ketentuan
insentif seperti keringanan pajak, penundaan pengenaan pajak, penyederhanaan
tata cara perizinan, struktur permodalan dalam penanaman modal merupakan
kaidah-kaidah kemudahan. Namun perlu diperhatikan, tidak selamanya, peraturan
kemudahan akan serta merta membuahkan tujuan pemberian kemudahan. Dalam
penanaman modal misalnya, selain kemudahan-kemudahan seperti disebutkan di atas
diperlukan juga persyaratan lain seperti stabilitas politik, sarana dan
prasarana ekonomi, ketenagakerjaan, dan lain sebagainya.
Pada
dasarnya, pembuatan undang-undang melalui beberapa tahap, yaitu perencanaan,
persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan
dan penyebarluasan (Pasal 1 ayat 1 UU No. 10 tahun 2004).
1. Tahap
perencanaan
Perencanaan
adalah proses dimana DPR dan Pemerintah menyusun rencana dan skala prioritas UU
yang akan dibuat oleh DPR dalam suatu periode tertentu. Proses ini diwadahi
oleh suatu program yang bernama Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Pada
tahun 2000, Prolegnas merupakan bagian dari Program Pembangunan Nasional
(Propenas) yang dituangkan dalam bentuk UU, yaitu UU No. 20 Tahun 2000. Dalam
UU PPP, perencanaan juga diwadahi dalam Prolegnas, hanya saja belum diatur
lebih lanjut akan dituangkan dalam bentuk apa. Sedangkan ketentuan tentang tata
cara penyusunan dan pengelolaan Prolegnas diatur dengan Peraturan Presiden
(Perpres) (Setyowati & Solikhin, 2007).
2. Tahap
persiapan
Pasal 17
ayat 1 menyebutkan, ‘Rancangan undang-undang baik yang berasal dari Dewan
Pewakilan Rakyat, Presiden, maupun dari Dewan Perwakilan Daerah disusun
berdasarkan Program Legislasi Nasional’. Rancangan undang-undang yang dapat
diajukan sebagai diatur dalam ayat 2 adalah rancangan undang-undang yang
berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan
pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber
daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat
dan daerah. Penyusunan rancangan undang-undang sebagai dimaksud oleh pasal 17
ayat 1 dapat dilakukan di luar program legislasi nasional (prolegnas) dalam keadaan
tertentu (Pasal 17 ayat 3).
Secara umum,
dapat disimpulkan bahwa tahap persiapan pembentukan undang-undang dimulai
dengan pengusulan rancangan undang-undang oleh lembaga-lembaga tinggi negara
yang telah disebutkan disertai dengan surat resmi sebagai pemberitahuan kepada
lembaga lainnya. Setelah draft rancangan diterima, maka wakil dari lembaga
negara melakukan pembahasan rancangan bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
3. Teknik
penyusunan
Penyusunan
RUU dilakukan oleh menteri atau pimpinan lembaga pemerintah non departemen,
disebut sebagai pemrakarsa, yang mengajukan usul penyusunan RUU. Penyusunan RUU
dilakukan oleh pemrakarsa berdasarkan Prolegnas. Namun, dalam keadaan tertentu,
pemrakarsa dapat menyusun RUU di luar Prolegnas setelah terlebih dahulu
mengajukan permohonan izin prakarsa kepada presiden. Pengajuan permohonan ijin
prakarsa ini disertai dengan penjelasan mengenai konsepsi pengaturan UU yang
meliputi (i). urgensi dan tujuan penyusunan, (ii). sasaran yang ingin
diwujudkan, (iii). pokok pikiran, lingkup, atau objek yang akan diatur, dan
(iv). jangkauan serta arah pengaturan.
Sementara
itu, Perpres No. 68/2005 menetapkan keadaan tertentu yang memungkinkan
pemrakarsa dapat menyusun RUU di luar Prolegnas yaitu (a). menetapkan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang menjadi Undang-Undang; (b). meratifikasi
konvensi atau perjanjian internasional; (c). melaksanakan putusan Mahkamah
Konstitusi; (d). mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik atau bencana
alam; atau (e). keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi
nasional atas suatu RUU yang dapat disetujui bersama oleh Badan Legislasi DPR
dan menteri yang mempunyai tugas dan tanggung jawab di bidang peraturan
perundang-undangan.
Dalam hal
RUU yang akan disusun masuk dalam Prolegnas maka penyusunannya tidak memerlukan
persetujuan izin prakarsa dari presiden. Pemrakarsa dalam menyusun RUU dapat
terlebih dahulu menyusun naskah akademik mengenai materi yang akan diatur.
Penyusunan naskah akademik dilakukan oleh pemrakarsa bersama –sama dengan
departemen yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan
perundang-undangan. Saat ini departemen yang mempunyai tugas dan tanggung jawab
diidang peraturan perundang-undangan adalah Departemen Hukum dan Hak Asasi
Manusia (Dephukham). Selanjutnya, pelaksanaan penyusunan naskah akademik dapat
diserahkan kepada perguruan tinggi atau pihak ketiga lainnya yang mempunyai
keahlian (Setyowati & Sholikin, 2007).
4. Tahap
pembahasan
Pembahasan
RUU terdiri dari dua tingkat pembicaraan, tingkat pertama dalam rapat komisi,
rapat Baleg ataupun Pansus. Sedangkan pembahasan tingkat dua dalam rapat
paripurna DPR (Setyowati, 2006).
a. Pembahasan
tingkat pertama
Pembahasan
tingkat pertama melalui tahap-tahap berikut, yaitu:
1. Pandangan
fraksi-fraksi, atau pandangan fraksi-fraksi dan DPD apabila RUU berkaitan
dengan kewenangan DPD. Hal ini bila RUU berasal dari presiden. Sedangkan bila
RUU berasal dari DPR, pembicaraan tingkat satu didului dengan pandangan dan
pendapat presiden, atau pandangan presiden dan DPD dalam hal RUU berhubungan
dengan kewenangan DPD.
2. Tanggapan
presiden atas pandangan fraksi atau tanggapan pimpinan alat kelengkapan DPR
atas pandangan presiden.
3. Pembahasan
RUU oleh DPR dan presiden berdasarkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM)
Dalam
pembahasan tingkat pertama dapat juga dilakukan:
1. Rapat
Dengar Pendapat Umum(RDPU).
2. Mengundang
pimpinan lembaga negara atau lembaga lain apabila materi RUU berhubungan dengan
lembaga negara lain.
3. Diadakan
rapat intern
b. Pembahasan
tingkat dua
Pembahasan
tingkat dua melputi tahap-tahap sebagai berikut:
1. Laporan
hasil pembicaraan tingkat I
2. Pendapat
akhir fraksi
3. Pendapat
akhir presiden yang disampaikan oleh menteri yang mewakilinya
5. Tahap
pengesahan
Tahap ini
dilakukan setelah rancangan undang-undang telah disepakati dalam rapat
pembahasan rancangan undang-undang oleh DPR dan lembaga negara lainnya,
termasuk Presiden. Pengesahan undang-undang dilakukan oleh Presiden paling
lambat lima belas hari kerja sejak rancangan undang-undang yang disepakati
dikirim oleh DPR kepada Presiden.
6. Tahap
pengundangan
Rancangan
undang-undang yang telah ditandatangani oleh Presiden dikirim ke Sekretariat
Negara untuk diregistrasi dan diundangkan. Undang-undang ini kemudian
dimasukkan dalam lembaran negara.
7. Penyebarluasan
Penyebarluasan
undang-undang yang telah disahkan dan diundangkan dapat disebarluaskan melalui
berbagi media, baik media cetak maupun media elektronik. Selain itu, undang-undang
yang telah disahkan dapat disebarkan melalui internet, antara lain melalui
website resmi DPR.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasar
uraian yang telah diutarakan pada bab pembahasan, penulis menyimpulkan beberapa
hal sebagai berikut:
1. Lembaga
yang berwenang untuk mengusulkan atau mengajukan rancangan undang-undang adalah
Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan Dewan Perwakilan Daerah. Pengajuan
rancangan undang-undang harus mengacu pada asas-asas pembuatan undang-undang.
2. Tahap-tahap
dalam pembuatan undang-undang adalah perencanaan, persiapan, teknik penyusunan,
perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan dan penyebarluasan.
B. Saran
Sebagai
penutup dari pembahasan makalah ini. Penulis menyarankan kepada pembaca untuk
mengkaji lebih dalam UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan. Hal ini dimaksudkan sebagai partisipasi aktif pembaca dalam
mengawasi setiap pembuatan undang-undang agar perundang-undangan yang
dihasilkan benar-benar bermanfaat bagi masyarakat dan tidak sekedar formalitas
belaka.
No comments:
Post a Comment