REMUNERASI
Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan dan
RB) akan membuat program penilaian kinerja untuk setiap aparatur negara. Hasil
penilaian ini akan berdampak pada remunerasi. Reformasi birokrasi mendorong
agar adanya percepatan perubahan perbaikan kinerja aparatur pemerintah.
Aparatur pemerintah sebagai alat pemerintah yang dituntut agar bekerja lebih
profesional, bermoral, bersih dan beretika dalam mendukung reformasi birokrasi
dan menunjang kelancaran tugas pemerintah dan pembangunan (dalam Effendi,
2009,h.186).
1. Latar belakang
kebijakan remunerasi
Remunerasi pemerintahan adalah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Kebijakan Reformasi Birokrasi. Dilatarbelakangi oleh kesadaran sekaligus
komitmen pemerintah untuk mewujudkan clean and good governance.
Namun
pada tataran pelaksanaannya, Perubahan dan pembaharuan yang dilaksanakan dalam
rangka mewujudkan tata pemerintahan yang bersih dan berwibawa tersebut tidak
mungkin akan dapat dilaksanakan dengan baik (efektif) tanpa kesejahteraan yang
layak dari pegawai yang melaksanakannya. Perubahan dan pembaharuan tersebut
dilaksanakan untuk menghapus kesan Pemerintahan yang selama ini dinilai buruk.
Antara lain ditandai oleh indikator:
a) Buruknya kualitas pelayanan publik
(lambat, tidak ada kepastian aturan/hukum, berbelit belit, arogan, minta
dilayani atau feodal style, dsb);
b) Sarat dengan perilaku KKN (Korupsi,
Kolusi, Nepotisme);
c) Rendahnya kualitas disiplin dn etos
kerja aparatur negara;
d) Kualitas.manajemen pemerintahan yang
tidak produktif, tidak efektif dan tidak efisien;
e) Kualitas pelayanan publik yang tidak
akuntabel dan tidak transparan.
2.
Maksud dan tujuan kebijakan remunerasi
Para aparatur negara adalah bagian dari Pemerintahan. Maka dalam konteks
Reformasi birokrasi dilingkungan tersebut, upaya untuk menata dan meningkatkan
kesejahteraan para pegawai adalah merupakan kebutuhan yang sangat elementer,
mengingat kaitannya yang sangat erat dengan misi perubahan kultur pegawai
(Reformasi bidang kultural). Sehingga dengan struktur gaji yang baru, setiap
pegawai diharapkan akan mempunyai daya tangkal (imunitas) yang maksimal
terhadap rayuan atau iming-iming materi (kolusi).
3.
Pihak yang mendapatkan remunerasi
Sesuai dengan Undang-undang No. 17 tahun 2007, tentang Rencana Pembangunan
Nasional Jangka Panjang 2005-2025 dan Peraturan Meneg PAN,
Nomor:PER/15/M.PAN/7/2008, tentang Pedoman umum Reformasi birokrasi. Kebijakan
Remunerasi diperuntukan bagi seluruh Pegawai negeri di seluruh lembaga
pemerintahan. Yang berdasarkan urgensinya dikelompokan berdasarkan skala
prioritas ke dalam tiga kelompok :
a) Prioritas pertama adalah seluruh
Instansi Rumpun Penegak Hukum, rumpun pengelola Keuangan Negara, rumpun
Pemeriksa dan Pengawas Keuangan Negara serta Lembaga Penertiban Aparatur
Negara.
b) Prioritas kedua adalah
Kementerian/Lembaga yang terkait dengan kegiatan ekonomi, sistem produksi,
sumber penghasil penerimaan Negara dan unit organisasi yang melayani masyarakat
secara langsung termasuk Pemerintah Daerah (PEMDA).
c) Prioritas ketiga adalah seluruh
kementerian/lembaga yang tidak termasuk prioritas pertama dan kedua.
4.
Landasan hukum kebijakan remunerasi
Berikut adalah landasan hukum yang
mendasari kebijakan tentang pemberian remunerasi, yaitu:
a)
UU
No 28 tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari KKN.
b)
UU
No.43 tahun 1999 tentang perubahan atas UU No.8 tahun 1974 tentang pokok-pokok
kepegawaian. Yang salah satu substansinya menyatakan bahwa setiap pegawai
negeri berhak memperoleh gaji yang adil & layak sesuai dengan beban
pekerjaan & tanggung jawabnya. ( Pasal 7, UU No.43 tahun 1999)
c)
Undang-undang
No. 17 tahun 2007, tentang Rencana Pembangunan Nasional Jangka Panjang
2005-2025. Khususnya pada Bab IV butir 1.2, huruf E. Yang menyatakan bahwa :
“Pembangunan Aparatur Negara
dilakukan melalui Reformasi birokrasi untuk meningkatkan profesionalisme
aparatur negara dan tata pemerintahan yanq baik. Di pusat maupun di daerah,
agar mampu mendukung keberhasilan pembangunan dibidang bidang lainnya. “.
d) Perpres No.7 tahun 2005, tentang
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional.
e)
Konvensi
ILO No. 100; Diratifikasi pada tahun 1999, bunyinya ‘Equal remuneration for
jobs of equal value’ (Pekerjaan yang sama nilai atau bobotnya harus
mendapat imbalan yang sama).
Sedangkan yang menjadi payung hukum pemberian
remunerasi di Kementerian Hukum dan HAM RI adalah Peraturan Presiden No. 40
tahun 2011 tentang Tunjangan Kinerja Bagi Pegawai di Lingkungan Kementerian
Hukum dan Hak Asasi Manusia. Dalam Peraturan tersebut juga dicantumkan nominal
tunjangan kinerja berdasarkan kelas jabatannya (Job Class)
masing-masing.
Mengenai pelaksanaan pemberian remunerasi telah tercantum
dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI No. M.HH-18 KU.01.01. tahun 2011
tentang Pelaksanaan Pemberian Tunjangan Kinerja bagi Pegawai di Lingkungan
Kementerian Hukum dan HAM RI.
Yang perlu diperhatikan dalam pemberian remunerasi di Kementerian Hukum dan HAM
RI, tertera dalam bab 2 mengenai komponen penentu besaran tunjangan kinerja
yang tercantum dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI No. M.HH-18 KU.01.01.
tahun 2011.
Dalam pasal 3 menyebutkan bahwa tunjangan kinerja sebagaimana dimaksud dalam
pasal 2 diberikan berdasarkan 3 komponen, yaitu:
a)
Target
kinerja yang dihitung menurut kategori dari nilai capaian Standar Kinerja
Pegawai (SKP);
b)
Kehadiran
menurut hari dan jam kerja di lingkungan Kementerian Hukum dan HAM RI serta
cuti yang dilaksanakan oleh pegawai; dan
c)
Ketaatan
pada kode etik dan disiplin Pegawai Negeri Sipil.
Sedangkan
dalam pasal 4 disebutkan bahwa :
1) Tunjangan kinerja dibayarkan secara
proporsional berdasarkan kategori dan nilai capaian SKP;
2) Ketentuan mengenai kategori dan
nilai capaian SKP sebagaiamana dimaksud dalam pasal 3 huruf a serta
penerapannya diatur dalam Peraturan Menteri.
Besaran tunjangan kinerja yang akan diterima tidak
mutlak sama dengan besaran yang ditetapkan sesuai grade karena
dipengaruhi oleh beberapa faktor, misalnya jumlah kehadiran (telah diatur dalam
Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI No.
M.HH-18 KU.01.01. tahun 2011). Selain itu di masa
yang akan datang, besaran tunjangan kinerja bisa naik atau juga bisa turun,
tergantung dari hasil penilaian Tim Evaluasi Independen.
5.
Tahap pelaksanaan remunerasi
Pentahapan Remunerasi dari awal kegiatan (pengumpulan data) sampai dengan tahap
legislasi (penerbitan undang-undang) adalah :
a)
Analisa jabatan
b)
Pengumpulan data jabatan
c)
Evaluasi jabatan dan Pembobotan
d)
Grading atau penyusunan struktur gaji baru.
e)
Job pricing atau penentuan harga jabatan
f)
Pengusulan peringkat dan harga jabatan kepada Presiden (oleh Meneg PAN)
6.
Prinsip dasar kebijakan remunerasi
Prinsip dasar kebijakan Remunerasi adalah adil dan proporsional. Artinya kalau
kebijakan masa lalu menerapkan pola sama rata (generalisir), sehingga yang
tidak berkompeten juga mendapatkan penghasilan yang sama. Maka dengan kebijakan
Remunerasi, besar penghasilan (reward) yang diterima oleh seorang
pejabat akan sangat ditentukan oleh bobot dan harga jabatan yang disandangnya.
Mekanisme Remunerasi
Menurut Deny Suryana (2010), remunerasi pemerintahan adalah
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Kebijakan Reformasi Birokrasi.
Remunerasi dilatarbelakangi oleh kesadaran sekaligus komitmen pemerintah untuk
mewujudkan clean and good governance. Namun
pada tataran pelaksanaannya, perubahan dan pembaharuan yang dilaksanakan dalam
rangka mewujudkan tata pemerintahan yang bersih dan berwibawa tersebut tidak
mungkin dapat dilaksanakan dengan baik (efektif) tanpa kesejahteraan yang layak
dari pegawai. Perubahan dan pembaharuan tersebut dilaksanakan untuk menghapus
kesan pemerintahan yang selama ini dinilai buruk, yang antara lain ditandai
oleh indikator :
·
Buruknya kualitas pelayanan publik
(lambat, tidak ada kepastian aturan/hukum, berbelit belit, arogan, minta
dilayani atau feodal style, dsb.)
·
Sarat dengan perilaku KKN (Korupsi,
Kolusi, Nepotisme)
·
Rendahnya kualitas disiplin dan etos
kerja aparatur negara.
·
Kuaiitas.manajemen pemerintahan yang
tidak produktif, tidak efektif dan tidak efisien.
·
Kualitas pelayanan publik yang tidak
akuntabel dan tidak transparan.
Secara resmi remunerasi bagi Abdi
Negara dimulai pada bulan Agustus 2007 tepatnya setelah DPR menyetujui adanya
remunerasi pada kementerian dan lembaga yaitu Departemen Keuangan, Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Mahkamah Agung (MA). Pemberlakuan remunerasi
melalui mekanisme penetapan tunjangan kinerja sebagai berikut :
1.
Menteri
PAN dan RB selaku Ketua TRBN akan mengirimkan surat ke Menteri Keuangan
untuk menyampaikan K/L yang sudah diverifikasi lapangan dan sudah
memperoleh Berita Acara Validasi Job Grading, disertai dengan lampiran
hasil verifikasi lapangan dan Berita Acara Job Grading.
2.
Kementerian
Keuangan membuat simulasi besaran tunjangan kinerja pada
masing-masing jabatan dan dampak anggarannya, dan menyampaikan kepada
Ketua KPRBN untuk dibahas dalam rapat KPRBN. KPRBN menetapkan besaran
tunjangan kinerja
3.
Kementerian
Keuangan menyampaikan surat kepada :
a.
DPR-RI
mengenai penganggarannya.
b.
Menteri
Negara PAN dan RB selaku Ketua TRBN mengenai besaran tunjangan kinerja
masing-masing grade untuk diproses Perpresnya.
4.
DPR
RI melakukan pembahasan alokasi anggaran: Jika K/L dapat memenuhi seluruh
anggaran tunjangan kinerja dari hasil efisiensi/optimalisasi anggarannya,
maka pembahasan dapat dilakukan oleh K/L dengan Komisi DPR yang terkait.
Namun bila diperlukan tambahan anggaran, maka pengajuan harus dilakukan
oleh Menteri Keuangan kepada Badan Anggaran DPR.
Implementasi Menyambut Remunerasi
Tahun 2013 ini, ada 23
kementerian/lembaga yang diusulkan untuk mendapatkan tunjangan kinerja, yaitu
Kemenlu, Kemendag, Kemenkes, Kemendikbud, Kemenparek, Kemenhut, Kemendagri,
Wantannas, LAPAN, Kemen KP, Kemen LH, Kemenhub, Kemenakertrans, BAPETEN, Kemen
PU, Kemenkominfo, BMKG, Bakorkamla, BNP2TKI, Kemen PDT, Perpusnas dan Setjen
DPR. Kepastian pemberian tunjangan terhadap 23 K/L tersebut akan
diketahui pada pertengahan atau akhir tahun. Hal ini disebabkan karena
dalam penetapan pemberlakuannya harus melalui verifikasi lapangan, dimana
berdasarkan verifikasi lapangannya akan memberikan skor kementerian/lembaga
mana yang disetujui untuk pembayaran tunjangan kinerjanya.
Jika
hasil skor penilaian dibawah 31 atau berada pada range 0 s/d 30, K/L tersebut
tidak akan diberikan dan di proses tunjangan kinerjanya. Minimal hasil
penilaian harus berada pada level 2 dengan besaran TK 40%. Secara
lengkap skor yang digunakan untuk penentuan besaran tunjangan kinerja dari
kementerian keuangan adalah sbb :
Range
Skor
|
Level
|
Keputusan
|
Usulan
Besaran TK
|
0
– 10
|
0
|
Tidak
Diberikan TK
|
Tidak
Diproses
|
11
- 30
|
1
|
Tidak
Diberikan TK
|
Tidak
Diproses
|
31
- 40
|
2
|
Diberikan
TK
|
40
% dari Kemenkeu
|
41
- 50
|
2
|
Diberikan
TK
|
45
% dari Kemenkeu
|
51
- 60
|
3
|
Diberikan
TK
|
50
% dari Kemenkeu
|
61
- 70
|
3
|
Diberikan
TK
|
55
% dari Kemenkeu
|
71
- 80
|
4
|
Diberikan
TK
|
65
% dari Kemenkeu
|
81
- 90
|
4
|
Diberikan
TK
|
75
% dari Kemenkeu
|
91
- 100
|
5
|
Diberikan
TK
|
100
% dari Kemenkeu
|
Skor
penilaian tersebut dilakukan atas 9 area perubahan yang diharapkan yaitu: (1)
Manajemen Perubahan, (2) Penataan Peraturan Perundang-undangan, (3) Penataan
dan Penguatan Organisasi, (4) Penataan Tata Laksana, (5) Penataan Sistem
Manajemen SDM Aparatur, (6) Penguatan Pengawasan (7) Penguatan Akuntabilitas
Kinerja, (8) Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik dan (9) Quick Wins.
Meskipun Kementerian Kehutanan baru diusulkan untuk menerima
remunerasi di tahun 2013, namun Unit Pelaksana
Teknis (UPT) Kementerian Kehutanan telah memberlakukan beberapa aturan dalam
menyambut remunerasi. Salah satunya adalah pemberlakuan penilaian disiplin PNS.
Penilaian unsur disiplin terkait dengan “terlambat datang, pulang cepat dan
tidak hadir” diperoleh dari absensi tiap pegawai yang dilakukan setiap pagi
(datang) dan sore (pulang) dengan menggunakan absensi sidik jari. Selain
absensi sidik jari tersebut, beberapa UPT Kementerian Kehutanan juga
memberlakukan apel pagi dan apel sore.
Pemberlakuan absensi sidik jari dan apel pagi-sore
dalam menyambut remunerasi merupakan langkah awal yang dilakukan untuk
penilaian unsur disiplin. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan disiplin PNS
terkait dengan jam kerja PNS. Kehadiran PNS sesuai dengan jam kerja akan
menjadi salah satu tolok ukur pembayaran remunerasi. Namun sampai sekarang
remunerasi di Kementerian Kehutanan semakin tidak jelas, sementara beberapa
honorarium yang terkait dengan pelaksanaan kegiatan sudah tidak
dibayarkan. Hal ini tentu saja berpengaruh terhadap output pelaksanaan
kegiatan dimana PNS terbiasa menerima honorarium saat melaksanakan kegiatan dan
tunjangan remunerasi yang diharapkan jadi pengganti honorarium belum jelas akan
terbayarkan.
Pemberlakuan absensi sidik jari tujuannya
baik, tetapi ternyata banyak PNS yang hanya kehadirannya dari segi absensi
datang dan pulang lengkap, tapi tidak memiliki output kerja yang jelas.
Sehingga masih ditemukan banyaknya PNS yang melakukan aktivitas diluar
tupoksinya setiap harinya pada saat jam kantor. Padahal berdasarkan PP 46 tahun
2011, penilaian kinerja pegawai terdiri dari dua unsur, yaitu
sasaran kerja pegawai (SKP) dengan bobot 60 persen, dan perilaku pegawai dengan
bobot 40 persen. Jadi seharusnya dalam implementasi awal menyambut remunerasi,
yang dikedepankan adalah sasaran kerja pegawai tercapai. Dimana setiap
pegawai wajib menyusun SKP berdasarkan rencana kerja tahunan. SKP ditetapkan
dan disetujui oleh pejabat penilai dengan memuat kegiatan tugas jabatan dan
target yang harus dicapai dalam kurun waktu tertentu. Jadi outputnya
sangat riil dan terukur dan dinilai berdasarkan tingkat kesulitan dan
prioritasnya.
Jadi selayaknya pembelajaran awal mengacu
ke pencapaian kinerja sesuai sasaran kerja dalam SKP yang dibuat oleh PNS,
sehingga dengan pembelajaran ini diharapkan akan menciptakan PNS
yang kinerjanya bagus dan mempunyai perilaku yang baik dalam hal pelayanan,
integritas, komitmen, disiplin, kerjasama dan kepemimpinan.
MANAJEMEN
KESEJAHTERAAN PNS
Kesan umum tentang
rendahnya gaji pegawai negeri sipil (PNS) merupakan gambaran yang tak terlalu
relevan lagi pada saat sekarang. Bahkan banyak perusahaan swasta yang gaji
karyawannya lebih rendah dibanding pegawai negeri. PNS Golongan I atau terendah
sudah di atas upah minimum regional (UMR). Kenaikan gaji pun hampir setiap
tahun dilakukan termasuk yang terakhir diputuskan tahun 2008 akan naik sebesar
15 persen. Menurut catatan, sejak 2001 telah terjadi kenaikan sebesar 73
persen. Suatu angka yang cukup baik di tengah berbagai kesulitan. Secara
bertahap kesejahteraan PNS meningkat.
Berdasarkan
pertimbangan rasional yang ada, kenaikan itu wajar. Kendati masalahnya selalu
pada keterbatasan keuangan pemerintah di satu sisi dan jumlah PNS yang mencapai
lebih 3,7 juta orang di sisi yang lain. Dikatakan wajar karena setelah naik pun
masih tetap rendah dibandingkan dengan tingkat kebutuhan hidup. Tetapi kenaikan
signifikan harus diakui makin dirasakan manfaatnya. Terlepas dari apakah yang
melatarbelakangi keluarnya keputusan tersebut. Tentu tidak bisa dipungkiri ada aspek
politis di sana. Karena menaikkan gaji PNS merupakan kebijakan yang populer
meskipun dampak inflatoarnya perlu diwaspadai.
Selalu saja ada peluang
untuk menaikkan gaji kendati hal itu sangat membebani pengeluaran rutin dan
menurunkan pengeluaran pembangunan. Seakan-akan tanpa itu pemerintah takut tak
memperoleh dukungan. Tetapi logika pembenarnya juga banyak. Selain secara
faktual kesejahteraan masih perlu ditingkatkan, kita juga perlu terus menerus
menaikkan gaji kalau ingin membersihkan birokrasi dari korupsi, pungli dan
sebagainya. Memang selalu diragukan efektivitasnya kalau ternyata korupsi dan
penyakit birokrasi itu lebih karena sikap mental. Dinaikkan berapapun gajinya
kalau mentalnya korup ya tetap akan korupsi.
Hal lain menyangkut
rendahnya tingkat produktivitas. Seharusnya ada korelasi positif antara
kenaikan gaji dengan peningkatan produktivitas. Tetapi kita patut meragukan
selama sistem maupun kulturnya tidak berubah sama sekali. Selain itu rata-rata
kondisi SDM yang ada di pemerintahan masih memrihatinkan. Pernah dinyatakan 40
persen PNS yang berarti sekitar 1,5 juta bekerja di bawah standar karena
kurangnya kompetensi dan keahlian. Jadi kalau rasionalisasi pegawai dilakukan,
dengan jumlah anggaran yang sama gaji bisa dinaikkan lebih besar lagi. Dengan
demikian kesejahteraan pegawai negeri di Indonesia akan lebih baik lagi.
Persoalannya bukan
semata-mata kenaikan gaji. Semua perlu dilakukan dalam sebuah kerangka
kebijakan untuk memperbaiki kinerja dan membersihkan aparatur pemerintah. Kalau
pendekatannya hanya perbaikan kesejahteraan melalui kenaikan gaji maka
persoalan yang sebenarnya belum tersentuh. Apalagi kalau peningkatan kompetensi
tak dilakukan termasuk perbaikan sistem kerja. Sudah saatnya PNS tampil dengan
citra baru menuju profesionalisme. Dan itu tak cukup dilakukan hanya dengan
meningkatkan kesejahteraan meskipun hal itu penting. Beranikah pemerintah
menempuh kebijakan penataan yang lebih radikal?
Peranan
Pemerintah Dalam Merumuskan Dan Mewujudkan Upaya Pencapaian Kesejahteraan PNS
Sebagaimana Kebijakan
Strategis Nasional bidang Pendayagunaan Aparatur Negara (Jakstrapan) tahun
2005-2009, pembangunan sumber daya manusia aparatur hendaknya difokuskan pada :
Peningkatan kinerja
aparatur melalui penerapan sistem penggajian yang berbasis merit dan
remunerasi, akuntabilitas dan penegakan disiplin secara konsisten, kelembagaan
sesuai visi-misi, dan ketatalaksanaan yang efektif.
Dalam hal kesejahteraan
pegawai, yang merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi kinerja
PNS. Maka kesejahteraan pegawai perlu ditingkatkan dengan merestrukturisasi
system pengajian PNS secara nasional dan secara rasional sesuai dengan standar
minimal kebutuhan pegawai. Yang diarahkan untuk mengurangi gap gaji pegawai,
struktur gaji yang yang bermula dari gaji pokok yang rendah perlu diperbaiki
dengan memberikan jumlah gaji pokok yang besar, dan ditambah dengan
tunjangan-tunjangan yang relevan.
Pemerintah tengah
menyiapkan sistem penggajian baru untuk pegawai negeri sipil (PNS). Sistem baru
itu berbasis pada beban kerja. Gaji seorang aparat pemerintah akan diberikan
berdasarkan tanggung jawab dan risiko kerja. Pola penggajian itu akan mirip
dengan yang kini diterapkan di Departemen Keuangan. Yakni, memberikan
penghargaan lebih besar kepada pegawai yang mempunyai tugas berat sehingga akan
menghapus kesan bahwa gaji PNS sama bila berada di golongan yang sama. Sekarang
rasio perbedaan gaji PNS golongan IA (terendah) dengan PNS golongan IVE
(tertinggi) hanya 1 : 3. Setelah peraturan pemerintah (PP) soal remunerasi gaji
baru nanti dikeluarkan, rasio itu bisa berubah hingga 1 : 12. Honor akan
dihapus dan gaji bakal dinaikkan. Dia menambahkan, kenaikan gaji akan
didasarkan pada bobot tanggung jawab atau jabatan masing-masing, bukan golongan
kepangkatan. Bisa saja gaji pegawai golongan III lebih besar daripada golongan
IV karena PNS golongan III itu mendapatkan tugas tambahan, misalnya sebagai
kepala sekolah.Selain itu, setelah sistem baru ini diterapkan, gaji PNS yang
sekarang bedanya hanya 1 : 3, nanti bisa sampai 12 kali antara golongan I dan
IV.
Saat ini pemerintah
sedang mengkaji terhadap rencana tersebut. Pemerintah sedang menunggu hasil
perbaikan sistem remunerasi yang telah diterapkan di Departemen Keuangan.
Sistem penggajian yang
nanti diterapkan secara nasional itu akan meniru model tingkatan gaji di Depkeu
yang baru. Formula yang akan diterapkan kepada PNS secara umum sedang akan
disiapkan dan nominalnya sedang dibahas apakah akan seratus persen meniru
Depkeu atau tidak. Selain itu, Men PAN dan Menkeu sedang mengkaji apakah
tunjangan fungsional, tunjangan struktural, dan tunjangan keluarga tetap
diberikan atau dihapus dengan penambahan gaji pokok dalam jumlah tertentu.
Yang jelas, honor-honor
yang kerap diterima PNS, misalnya honor pengawas ujian, honor keanggotaan tim
panitia kegiatan tertentu, akan dihapus. Untuk mendapatkan peningkatan gaji,
tiap-tiap daerah harus memenuhi beberapa persyaratan. Misalnya, job description
yang jelas dari masing-masing PNS harus dipenuhi agar bisa mendapatkan besaran
gaji yang sesuai, , gaji yang diterima masing-masing PNS tidak lagi didasarkan
pada golongan kepangkatan dan masa kerja, tapi lebih pada bobot tanggung jawab,
risiko, dan tingkat kesulitan kerja.
Selain itu, dalam tahap
persiapan pembenahan sistem remunerasi tersebut, pemerintah bakal
mempertimbangkan besaran gaji yang berlaku di pasar. Kami akan membandingkan
jumlah gaji swasta dan negeri dalam menetapkan besaran gaji sesuai dengan
jabatannya agar tercipta budaya kompetitif pada PNS.
Tak hanya itu, dalam
sistem baru tersebut, PNS yang ditempatkan di daerah terepencil akan
mendapatkan tunjangan kemahalan.
Proyek percontohan
(pilot project) sistem remunerasi pegawai negeri sipil (PNS) di Departemen
Keuangan menuai kecaman dan kritik pedas. Meski bertujuan mulia, yaitu untuk
membenahi birokrasi kepegawaian secara menyeluruh, tapi lonjakan kenaikan gaji
berlipat-lipat pejabat Depkeu tetap saja dipersoalkan. Benarkah dengan
menaikkan gaji, profesionalisme dan disiplin PNS sebagai abdi negara bakal
membaik?
Ukuran hasil yang diperoleh bisa dinilai dengan laporan keuangan yang tidak mendapatkan penilaian disclaimer dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) serta kemampuan menertibkan rekening-rekening liar.
Ukuran hasil yang diperoleh bisa dinilai dengan laporan keuangan yang tidak mendapatkan penilaian disclaimer dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) serta kemampuan menertibkan rekening-rekening liar.
Jika DPR menyoroti
prosedur pencairan dana, berbagai kalangan juga meragukan efektivitas pemberian
tunjangan yang disebut TPKPN (Tunjangan Khusus dan Pembinaan Keuangan Negara)
di lingkungan Depkeu.
Pengambilan keputusan
yang dilakukan sepihak dan tidak mengajak konsultasi berbagai pihak juga
disayangkan. Hal tersebut menyangkut akuntabilitas kebijakan yang diambil.
Dalam program reformasi
birokrasi, setiap elemen organisasi ditata, prosedur kerja diperbaiki,
ukuran-ukuran keberhasilan kinerja diefektifkan,dan tidak ada lagi istilah
business as usual. yang dimaksud business as usual adalah berbagai
ketidakdisiplinan pegawai departemen. Misalnya, ada yang ngobyek, ada yang
datang telat, dan sebagainya.
No comments:
Post a Comment