Sunday, October 23, 2016

EVALUASI TERHADAP PELAKSANAAN PENERTIBAN PEDAGANG KAKI LIMA OLEH SATUAN POLISI PAMONG PRAJA DI KOTA BANDAR LAMPUNG PROVINSI LAMPUNG



BAB I

PENDAHULUAN

1.1       Latar Belakang Laporan Akhir
            Diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah telah membuka lembaran baru bagi Pemerintahan Daerah, dengan ditandai dengan telah diserahkannya urusan pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada Daerah Otonom berdasarkan atas Otonom, dalam hal ini Pemerintah Daerah, Kabupaten maupun Kota untuk mengatur serta mengurus rumahtangganya sendiri.
            Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang telah berganti dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah bertujuan selain mengatur rumah tangganya sendiri, bertujuan juga untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui upaya peningkatan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat dengan tetap memperhatikan nilai dan prinsip demokrasi, keadilan, serta pemerataan, dan keistimewaan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
            Ketentraman dan ketertiban masyarakat adalah suatu kondisi dinamis masyarakat sebagai suatu persyaratan terselenggaranya proses pembangunan nasional yang ditandai dengan terjaminnya keamanan, ketertiban dan tegaknya hukum serta mengembangkan potensi, kekuatan masyarakat dalam mencegah segala bentuk gangguan yang meresahkan masyarakat.
            Berdasarkan pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, yaitu urusan Pemerintah Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) meliputi :
a.  Pendidikan;
b.  Kesehatan;
c.   Pekerjaan umum dan penataan ruang;
d.  Perumahan rakyat dan kawasan pemukiman;
e.  Ketentraman, ketertiban umum, dan perlindungan masyarakat; dan
f.    Sosial.

            Urusan wajib sesuai dengan pasal 12 ayat (1), yang berkaitan dengan ketentraman, ketertiban umum dan perlindungan masyarakat, kewenangan Pemerintah Daerah sesuai dengan Undang-Undang 23 tahun 2014, diberikan kewenangan untuk mengatur masalah ketentraman dan ketertiban umum di daerahnya masing-masing melalui perangkat pemerintah daerah yang bersangkutan.
            Dalam hal tersebut posisi aparatur Pemerintah sebagai Abdi Negara dan masyarakat sangat penting dalam rangka memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada masyarakat. Sehubungan dengan itu aparatur pemerintah merupakan pengemban tugas dan fungsi Pemerintahan. Sejauh mana tugas dan fungsi pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan yang terumuskan dalam kegiatan pemerintahan dapat ditujukan melalui adanya upaya pengelolaan tugas-tugas yang diamanatkan masyarakat kepada pemerintah dapat berjalan berdasarkan prinsip responbilitas dan akuntabilitas. Dalam hal lain, pelaksanaan otonomi di daerah pada hakikatnya adalah mendekatkan pelayanan kepada masyarakat. Berbagai tuntutan dan kebutuhan masyarakat harus direspon melalui kegiatan pelayanan yang lebih baik, yang keberhasilannya dapat dilihat dari tanggapan positif masing-masing individu dalam masyarakat yang berposisi sebagai konsumen. Memenuhi berbagai tuntutan masyarakat, merupakan kewajiban pemerintah, karena salah satu fungsi hakiki dari pemerintah selain pemberdayaan (empowerment) dan pembangunan (development) dalam fungsi pelayanan. Menurut Rasyid (1999:99) bahwa:
Pemerintah pada hakekatnya adalah pelayanan kepada masyarakat. Selanjutnya Rasyid menyatakan bahwa ia tidaklah diadakan melayani diri sendiri, tetapi untuk melayani masyarakat serta menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat mengembangkan kemampuan dan kreatifitasnya demi mencapai tujuan bersama.

            Berbagai macam jenis pelayanan publik yang diberikan oleh aparatur publik kepada masyarakat, mulai dari masalah kelahiran sampai dengan urusan surat kematian. Semua jenis pelayanan tersebut disediakan dan diberikan kepada masyarakat oleh aparatur pemerintah, baik aparatur yang berada di pusat maupun di daerah, tetapi secara umum belum banyak memuaskan masyarakat. Pelayanan yang diberikan terlalu berbelit-belit dengan alasan sesuai dengan prosedur, banyak biaya pungutan, dan waktu yang cukup lama, sehingga pelayanan yang diberikan lebih didasarkan pada peraturan yang sangat kaku, dan tidak fleksibel, sehingga aparatur terbelenggu untuk melakukan daya inovasi dan kreasi dalam memberikan pelayanan publik kepada masyarakat.
            Barang-barang publik merupakan barang yang menjadi kebutuhan masyarakat seperti jalan, pasar, sekolah, rumah sakit dan lain-lain. Selain barang-barang publik, regulasi juga dibutuhkan untuk pengaturan masyarakat. Salah satu prinsip yang harus dibangun manakala otonomi daerah dilaksanakan adalah akuntabilitas yang berprespektif pada penyusunan regulasi yang efektif dan berorientasi pada kepentingan publik. Akuntabilitas adalah kewajiban-kewajiban dari individu-individu atau penguasa yang dipercayakan untuk mengelola sumber-sumber daya publik dan yang bersangkutan dengannya untuk menjawab hal-hal yang menyangkut pertanggungjawabannya. Pelaksanaan otonomi daerah potensi positif terhadap kondusivitas perbaikan sosio-ekonomi masyarakat di tingkat lokal, regional, maupun nasional.
            Selain itu perkembangan penduduk yang pesat menyebabkan banyak masyarakat harus bersaing untuk mencari lapangan pekerjaan. Keadaan seperti ini menyebabkan perluasan kesempatan kerja di perkotaan dalam sektor-sektor formal kurang mampu menyerap pertambahan angkatan kerja sehingga berlebih yang mengakibatkan tumbuhnya sektor informal. Kehadiran sektor informal sangat memegang peranan penting dalam kehidupan di Kota karena dapat menunjang tersedianya lapangan kerja yang merupakan sumber pendapatan yang potensial bagi penduduk.
            Hal ini juga dialami di Kota Bandar Lampung,  adalah salah satu Kota yang ada saat ini di Provinsi Lampung, memiliki potensi dan wilayah yang strategis dan cocok untuk wilayah pertanian serta perdagangan dengan luas wilayah 6.272 km2, terdiri dari 5 Kecamatan, dan 277 Kelurahan/Desa. Dengan mayoritas penduduk bermata pencaharian pedagang, dan petani. Dari beberapa kondisi yang terjadi akibat kurang terserapnya kesempatan kerja di sektor-sektor formal sehingga banyak masyarakat yang beralih ke sektor informal namun dengan keadaan seperti ini banyak ditemukannya permasalahan di sektor infromal, maka perlu diadakannya pengembangan-pengembangan pembangunan baik di sektor formal maupun informal.
            Pedagang kaki lima sebagai salah satu pelaku ekonomi di sektor informal keberadaannya harus di perhatikan dan dikelola oleh pemerintah. Pedagang kaki lima adalah orang yang dengan modal yang relatif sedikit berusaha pada bidang produksi dan penjualan barang-barang (jasa-jasa) untuk memenuhi kebutuhan kelompok tertentu di dalam masyarakat, usaha tersebut dilaksanakan pada tempat-tempat yang dianggap strategis dalam suasana lingkungan yang informal.



            Sudah menjadi pandangan yang umum kita lihat bersama persoalan Pedagang Kali Lima (PKL) yang kerap menjadi masalah pada daerah sekitar soal penempatan lokasi yang selalu mengganggu jalan transportasi dan kenyamanan dari masyarakat yang hilir mudik pada suatu kawasan dimana tempat berkumpulnya Pedagang Kali Lima (PKL) itu menjual barang dan jasanya untuk konsumen. Padahal jika saja pemerintah daerah tersebut menata dengan baik lokasi-lokasi dimana PKL tersebut dapat menjual barang dan jasanya sesuai dengan yang telah diatur oleh Pemerintah Daerah, maka akan terlihat indah dan nyaman baik pedagang maupun pembeli dari kegiatan jual-beli tersebut.  Sesuai dengan prosedur dan tahapan tentang Penertiban PKL sebelum dilakukan penertiban, yang pertama dilakukan adalah memberikan surat edaran kepada PKL untuk segera memindahkan dagangannya, selanjutnya setelah diberikan surat edaran tersebut namun tidak diindahkan maka Pemerintah Kota melayangkan surat teguran dan selanjutnya jika tidak diindahkan juga maka akan dilakukan penindakan di tempat. Seperti Peraturan Daerah  Pasal 15 Nomor 10 Tahun 2014 tentang Penataan Pedagang Kaki Lima yaitu :
(1)     Dalam upaya peningkatan perekonomian rakyat dan pemberdayaan usaha mikro, Pemerintah Daerah membina dan mengendalikan usaha pedagang kaki lima.
(2)     Pedagang kali lima dapat melakukan kegiatan usaha pada tempat-tempat yang telah ditentukan oleh Pemerintah Daerah.
(3)     Usaha pedagang kaki lima dilakukan pada tempat dan waktu yang ditentukan oleh Pemerintah Daerah berkewajiban memperhatikan dan mengindahkan kebersihan, kerapian dan tata estetika kawasan usaha kaki lima.
(4)     Untuk setiap jenis pelayanan yang diberikan oleh Pemerintah Daerah dalam pelaksanaan usaha kaki lima dikenakan retribusi sebagai sumber pendapatan daerah.
(5)     Ketentuan lebih lanjut tentang penataan Pedagang kaki lima diatur lebih lanjut dalam Peraturan Walikota.
(6)     Peraturan Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (5) sekurang-kurangnya mengatur:
a.     Penetapan lokasi dan jam operasi pasar kaki lima;
b.     Hak dan  kewajiban pedagang kaki lima;
c.      Pendataan pedagang kaki lima; dan
d.     Kepengurusan dan koordinasi;

            Istilah kaki lima berasal dari masa penjajahan kolonial Belanda. Peraturan Pemerintah pada masa itu menetapkan bahwa setiap jalan raya hendaknya menyediakan sarana untuk pejalan kaki. Lebar ruas untuk pejalan adalah lima kaki atau sekitar satu setengah meter. Sekian puluh tahun setelah itu, saat Indonesia sudah merdeka, ruas jalan untuk pejalan kaki banyak dimanfaatkan oleh para pedagang untuk berjualan. Dahulu namanya adalah pedagang emperan jalan, sekarang menjadi pedagang kaki lima.
            Seperti dilampirkan pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2012 tentang  Pedoman Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima pada pasal 1 ayat (2) yaitu penataan PKL adalah upaya yang dilakukan oleh pemerintah daerah melalui penetapan lokasi binaan untuk melakukan penetapan, pemindahan, penertiban, dan penghapusan lokasi PKL dengan memperhatikan kepentingan umum, sosial, estetika, kesehatan, ekonomi, keamanan, ketertiban, kebersihan lingkungan dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Maka dari itu pemerintah daerah memiliki kewajiban untuk mengatur dan membina dari para pedagang kaki lima yang ada di daerah.
            Permasalahan Pedagang Kaki Lima tidak hanya terjadi di kota-kota besar Indonesia seperti Ibu Kota Jakarta, Bandung, Makassar, dan Surabaya saja, Namun di Kota Bandar Lampung, yang merupakan ibu kota  Provinsi Lampung juga mengalami hal yang sama terkait dengan Pedagang Kaki Lima tepatnya di pasar – pasar yang terletak di tengah kota Bandar Lampung. Hal ini terjadi dikarenakan dengan bertambahnya jumlah penduduk di Kota Bandar Lampung yang tidak diimbangi oleh peningkatan kebutuhan tenaga kerja di sektor formal, sehingga banyak para pedagang kaki lima di pusat-pusat keramaian di Kota Bandar Lampung yang seiring berjalannya waktu dapat mengganggu ketentraman, ketertiban dan kenyamanan baik dari kota maupun masyarakat sendiri.
            Pada kenyataannya banyak pedagang kaki lima (PKL) yang berada di seputaran pasar – pasar di kota Bandar Lampung dimana pada ruas jalan dan taman serta lapangan tersebut digunakan untuk  berdagang dan berjualan baik berupa barang maupun jasa. Hal tersebut sangat mengganggu kelancaran arus lalu lintas dan keindahan tatanan kota Bandar Lampung. Dengan adanya pedagang kaki lima yang memadati area seputaran tersebut menunjukkan bahwa kesadaran para pedagang akan pentingnya perizinan penggunaan fasilitas taman dan lapangan masih kurang. Oleh karena itu diperlukan suatu kesadaran dari pedagang untuk melakukan perizinan penggunaan fasilitas lapangan dan taman yang menjadi tempatnya. Di samping itu diperlukan juga peran dari Pemerintah untuk melakukan sosialisasi kepada para pedagang kaki lima tersebut. Selain itu sanksi yang tidak tegas juga merupakan salah satu faktor yang menyebabkan banyaknya pedagang ilegal dan pedagang kaki lima yang berada disekitar pusat kota .
            Pemerintah  telah menyediakan lapak untuk relokasi para PKL. Akan tetapi pada kenyataannya yang ada di lapangan, para PKL ini tidak menggunakan fasilitas yang telah disediakan oleh Pemerintah daerah tersebut, karena menyadari besarnya keuntungan yang diperoleh tanpa harus membayar pajak, maka para pedagang kaki lima bersikeras untuk tetap berdagang di daerah seputar pusat kota. Keberadaan PKL juga seringkali menyebabkan keterhambatan Pemerintah Daerah dalam hal penataan tata kota yang baik. Permasalahan yang terjadi adalah peraturan atau kebijakan yang muncul untuk mengatur hal tersebut tidak diikuti dengan mentalitas dan kesiapan para aparat Pemerintah, tidak hanya dari bawahan tetapi juga para pimpinannya dalam melaksanakan peraturan atau kebijakan tentang PKL.
            Untuk mempermudah penertiban Pedagang Kaki Lima di  maka peran Satuan Polisi Pamong Praja yang kemudian disebut SATPOL PP  harus memaksimalkan tugasnya dalam hal penertiban pedagang-pedagang kaki lima. Satuan Polisi Pamong Praja sangat di soroti karena keberadaannya sebagai penegak peraturan daerah. Sebagaimana diatur dalam pasal 255 Undang-Undang 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yakni :
1)    Satuan polisi pamong praja dibentuk untuk menegakkan Perda dan Perkada, menyelenggarakan ketertiban umum dan ketenteraman, serta menyelenggarakan perlindungan masyarakat.
2)    Satuan polisi pamong praja mempunyai kewenangan :
a.  melakukan tindakan penertiban non-yustisial terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas Perda dan/atau Perkada;
b.  menindak warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang mengganggu ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat;
c.   melakukan tindakan penyelidikan terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang diduga melakukan pelanggaran atas Perda dan/atau Perkada; dan
d.  melakukan tindakan administratif terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas Perda dan/atau Perkada.

Walaupun Satuan Polisi Pamong Praja bertugas untuk menertibkan Pedagang Kaki Lima tidak akan melakukan tindakan semena-mena kepada para Pedagang Kaki Lima. Kemudian juga Polisi Pamong Praja dalam melaksanankan tugasnya memiliki fungsi, kewenangan, dan kewajiban dalam rangka menjalankan tugas. Pemerintah dalam menyikapi fenomena PKL dan dalam pembuatan kebijakan (perda) tentang penertiban PKL harus lebih mengutamakan penegakan keadilan bagi rakyat kecil dan memperhatikan hak masyarakat khususnya bagi PKL untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak. Penataan dan Pemberdayaan pedagang kaki lima yang dilakukan di  selain untuk mencegah kemacatan lalu lintas, merusak keindahan taman dan tata kota serta menghindari dari berbagai kebocoran pajak dan retribusi daerah.
            Untuk itu berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, diperlukan penanganan yang serius terhadap keberadaan PKL sehingga diharapkan dapat memberikan dampak positif , maka dari itu peneliti tertarik untuk mengangkat judul penelitian EVALUASI TERHADAP PELAKSANAAN PENERTIBAN PEDAGANG KAKI LIMA OLEH SATUAN POLISI PAMONG PRAJA DI KOTA BANDAR LAMPUNG PROVINSI LAMPUNG  

No comments:

Post a Comment

buku bimbingan

                                                                                                                                            ...

082126189815

Name

Email *

Message *