BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Laporan Akhir
Diberlakukannya Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 yang telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah telah membuka lembaran baru bagi Pemerintahan
Daerah, dengan ditandai dengan telah diserahkannya urusan pemerintahan oleh Pemerintah
Pusat kepada Daerah Otonom berdasarkan atas Otonom, dalam hal ini Pemerintah
Daerah, Kabupaten maupun Kota untuk mengatur serta mengurus rumahtangganya
sendiri.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
yang telah berganti dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah bertujuan selain mengatur rumah tangganya sendiri,
bertujuan juga untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui
upaya peningkatan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat dengan tetap
memperhatikan nilai dan prinsip demokrasi, keadilan, serta pemerataan, dan
keistimewaan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Ketentraman dan ketertiban
masyarakat adalah suatu kondisi dinamis masyarakat sebagai suatu persyaratan
terselenggaranya proses pembangunan nasional yang ditandai dengan terjaminnya
keamanan, ketertiban dan tegaknya hukum serta mengembangkan potensi, kekuatan
masyarakat dalam mencegah segala bentuk gangguan yang meresahkan masyarakat.
Berdasarkan pasal 12 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, yaitu urusan Pemerintah Wajib yang berkaitan
dengan Pelayanan Dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) meliputi :
a.
Pendidikan;
b.
Kesehatan;
c.
Pekerjaan
umum dan penataan ruang;
d.
Perumahan
rakyat dan kawasan pemukiman;
e.
Ketentraman,
ketertiban umum, dan perlindungan masyarakat; dan
f.
Sosial.
Urusan
wajib sesuai dengan pasal 12 ayat (1), yang berkaitan dengan ketentraman, ketertiban
umum dan perlindungan masyarakat, kewenangan Pemerintah Daerah sesuai dengan
Undang-Undang 23 tahun 2014, diberikan kewenangan untuk mengatur masalah
ketentraman dan ketertiban umum di daerahnya masing-masing melalui perangkat
pemerintah daerah yang bersangkutan.
Dalam
hal tersebut posisi aparatur Pemerintah sebagai Abdi Negara dan masyarakat
sangat penting dalam rangka memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada
masyarakat. Sehubungan dengan itu aparatur pemerintah merupakan pengemban tugas
dan fungsi Pemerintahan. Sejauh mana tugas dan fungsi pemerintahan,
pembangunan, dan pelayanan yang terumuskan dalam kegiatan pemerintahan dapat
ditujukan melalui adanya upaya pengelolaan tugas-tugas yang diamanatkan
masyarakat kepada pemerintah dapat berjalan berdasarkan prinsip responbilitas
dan akuntabilitas. Dalam hal lain, pelaksanaan otonomi di daerah pada
hakikatnya adalah mendekatkan pelayanan kepada masyarakat. Berbagai tuntutan
dan kebutuhan masyarakat harus direspon melalui kegiatan pelayanan yang lebih
baik, yang keberhasilannya dapat dilihat dari tanggapan positif masing-masing
individu dalam masyarakat yang berposisi sebagai konsumen. Memenuhi berbagai
tuntutan masyarakat, merupakan kewajiban pemerintah, karena salah satu fungsi
hakiki dari pemerintah selain pemberdayaan (empowerment)
dan pembangunan (development)
dalam fungsi pelayanan. Menurut Rasyid (1999:99) bahwa:
Pemerintah pada hakekatnya adalah pelayanan
kepada masyarakat. Selanjutnya Rasyid menyatakan bahwa ia tidaklah diadakan
melayani diri sendiri, tetapi untuk melayani masyarakat serta menciptakan
kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat mengembangkan kemampuan dan
kreatifitasnya demi mencapai tujuan bersama.
Berbagai
macam jenis pelayanan publik yang diberikan oleh aparatur publik kepada
masyarakat, mulai dari masalah kelahiran sampai dengan urusan surat kematian.
Semua jenis pelayanan tersebut disediakan dan diberikan kepada masyarakat oleh
aparatur pemerintah, baik aparatur yang berada di pusat maupun di daerah,
tetapi secara umum belum banyak memuaskan masyarakat. Pelayanan yang diberikan
terlalu berbelit-belit dengan alasan sesuai dengan prosedur, banyak biaya
pungutan, dan waktu yang cukup lama, sehingga pelayanan yang diberikan lebih
didasarkan pada peraturan yang sangat kaku, dan tidak fleksibel, sehingga aparatur
terbelenggu untuk melakukan daya inovasi dan kreasi dalam memberikan pelayanan
publik kepada masyarakat.
Barang-barang
publik merupakan barang yang menjadi kebutuhan masyarakat seperti jalan, pasar,
sekolah, rumah sakit dan lain-lain. Selain barang-barang publik, regulasi juga
dibutuhkan untuk pengaturan masyarakat. Salah satu prinsip yang harus dibangun
manakala otonomi daerah dilaksanakan adalah akuntabilitas yang berprespektif
pada penyusunan regulasi yang efektif dan berorientasi pada kepentingan publik.
Akuntabilitas adalah kewajiban-kewajiban dari individu-individu atau penguasa
yang dipercayakan untuk mengelola sumber-sumber daya publik dan yang
bersangkutan dengannya untuk menjawab hal-hal yang menyangkut
pertanggungjawabannya. Pelaksanaan otonomi daerah potensi positif terhadap
kondusivitas perbaikan sosio-ekonomi masyarakat di tingkat lokal, regional,
maupun nasional.
Selain
itu perkembangan penduduk yang pesat menyebabkan banyak masyarakat harus
bersaing untuk mencari lapangan pekerjaan. Keadaan seperti ini menyebabkan
perluasan kesempatan kerja di perkotaan dalam sektor-sektor formal kurang mampu
menyerap pertambahan angkatan kerja sehingga berlebih yang mengakibatkan
tumbuhnya sektor informal. Kehadiran sektor informal sangat memegang peranan
penting dalam kehidupan di Kota karena dapat menunjang tersedianya lapangan kerja
yang merupakan sumber pendapatan yang potensial bagi penduduk.
Hal
ini juga dialami di Kota Bandar Lampung,
adalah salah satu Kota yang
ada saat ini di Provinsi Lampung, memiliki potensi dan wilayah yang strategis
dan cocok untuk wilayah pertanian serta perdagangan dengan luas wilayah 6.272
km2, terdiri dari 5
Kecamatan, dan 277 Kelurahan/Desa. Dengan mayoritas penduduk
bermata pencaharian pedagang, dan petani. Dari beberapa kondisi yang terjadi
akibat kurang terserapnya kesempatan kerja di sektor-sektor formal sehingga
banyak masyarakat yang beralih ke sektor informal namun dengan keadaan seperti
ini banyak ditemukannya permasalahan di sektor infromal, maka perlu diadakannya
pengembangan-pengembangan pembangunan baik di sektor formal maupun informal.
Pedagang
kaki lima sebagai salah satu pelaku ekonomi di sektor informal keberadaannya
harus di perhatikan dan dikelola oleh pemerintah. Pedagang kaki lima adalah
orang yang dengan modal yang relatif sedikit berusaha pada bidang produksi dan
penjualan barang-barang (jasa-jasa) untuk memenuhi kebutuhan kelompok tertentu
di dalam masyarakat, usaha tersebut dilaksanakan pada tempat-tempat yang
dianggap strategis dalam suasana lingkungan yang informal.
Sudah menjadi pandangan yang umum
kita lihat bersama persoalan Pedagang Kali Lima (PKL) yang kerap menjadi
masalah pada daerah sekitar soal penempatan lokasi yang selalu mengganggu jalan transportasi dan
kenyamanan dari masyarakat yang hilir mudik pada suatu kawasan dimana tempat
berkumpulnya Pedagang Kali Lima (PKL) itu menjual barang dan jasanya untuk
konsumen. Padahal jika saja pemerintah daerah tersebut menata dengan baik
lokasi-lokasi dimana PKL tersebut dapat menjual barang dan jasanya sesuai
dengan yang telah diatur oleh Pemerintah Daerah, maka akan terlihat indah dan
nyaman baik pedagang maupun pembeli dari kegiatan jual-beli tersebut. Sesuai dengan prosedur dan tahapan tentang
Penertiban PKL sebelum dilakukan penertiban, yang pertama dilakukan adalah
memberikan surat edaran kepada PKL untuk segera memindahkan dagangannya,
selanjutnya setelah diberikan surat edaran tersebut namun tidak diindahkan maka
Pemerintah Kota melayangkan surat teguran dan selanjutnya jika tidak diindahkan
juga maka akan dilakukan penindakan di tempat. Seperti Peraturan Daerah Pasal 15 Nomor 10 Tahun 2014 tentang Penataan
Pedagang Kaki Lima yaitu :
(1)
Dalam
upaya peningkatan perekonomian rakyat dan pemberdayaan usaha mikro, Pemerintah
Daerah membina dan mengendalikan usaha pedagang
kaki lima.
(2)
Pedagang
kali lima dapat melakukan kegiatan usaha pada tempat-tempat yang telah
ditentukan oleh Pemerintah Daerah.
(3)
Usaha
pedagang kaki lima dilakukan pada tempat dan waktu yang ditentukan oleh
Pemerintah Daerah berkewajiban memperhatikan dan mengindahkan kebersihan,
kerapian dan tata estetika kawasan usaha kaki lima.
(4)
Untuk
setiap jenis pelayanan yang diberikan oleh Pemerintah Daerah dalam pelaksanaan
usaha kaki lima dikenakan retribusi sebagai sumber pendapatan daerah.
(5)
Ketentuan
lebih lanjut tentang penataan Pedagang kaki lima diatur lebih lanjut dalam
Peraturan Walikota.
(6)
Peraturan
Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
sekurang-kurangnya mengatur:
a.
Penetapan
lokasi dan jam operasi pasar kaki lima;
b.
Hak
dan kewajiban pedagang kaki lima;
c.
Pendataan
pedagang kaki lima; dan
d.
Kepengurusan
dan koordinasi;
Istilah kaki lima berasal dari masa
penjajahan kolonial Belanda. Peraturan Pemerintah pada masa itu menetapkan
bahwa setiap jalan raya hendaknya menyediakan sarana untuk pejalan kaki. Lebar
ruas untuk pejalan adalah lima kaki atau sekitar satu setengah meter. Sekian
puluh tahun setelah itu, saat Indonesia sudah merdeka, ruas jalan untuk pejalan
kaki banyak dimanfaatkan oleh para pedagang untuk berjualan. Dahulu namanya
adalah pedagang emperan jalan, sekarang menjadi pedagang kaki lima.
Seperti dilampirkan pada Peraturan
Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2012 tentang Pedoman Penataan dan Pemberdayaan Pedagang
Kaki Lima pada pasal 1 ayat (2) yaitu penataan PKL adalah upaya yang dilakukan
oleh pemerintah daerah melalui penetapan lokasi binaan untuk melakukan
penetapan, pemindahan, penertiban, dan penghapusan lokasi PKL dengan
memperhatikan kepentingan umum, sosial, estetika, kesehatan, ekonomi, keamanan,
ketertiban, kebersihan lingkungan dan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Maka dari itu pemerintah daerah memiliki kewajiban untuk
mengatur dan membina dari para pedagang kaki lima yang ada di daerah.
Permasalahan Pedagang Kaki Lima
tidak hanya terjadi di kota-kota besar Indonesia seperti Ibu Kota Jakarta,
Bandung, Makassar, dan Surabaya saja, Namun di Kota Bandar Lampung, yang
merupakan ibu kota Provinsi Lampung juga
mengalami hal yang sama terkait dengan Pedagang Kaki Lima tepatnya di pasar – pasar yang terletak di tengah kota Bandar
Lampung.
Hal ini terjadi dikarenakan dengan bertambahnya jumlah penduduk di Kota Bandar
Lampung yang tidak diimbangi oleh peningkatan kebutuhan tenaga kerja di sektor
formal, sehingga banyak para pedagang kaki lima di pusat-pusat keramaian di
Kota Bandar Lampung yang seiring berjalannya waktu dapat mengganggu
ketentraman, ketertiban dan kenyamanan baik dari kota maupun masyarakat
sendiri.
Pada kenyataannya banyak pedagang
kaki lima (PKL) yang berada di seputaran pasar – pasar di kota Bandar Lampung
dimana pada ruas jalan dan taman serta lapangan tersebut digunakan untuk berdagang dan berjualan baik berupa barang
maupun jasa. Hal tersebut sangat mengganggu kelancaran arus lalu lintas dan
keindahan tatanan kota Bandar
Lampung.
Dengan adanya pedagang kaki lima yang memadati area seputaran tersebut
menunjukkan bahwa kesadaran para pedagang akan pentingnya perizinan penggunaan
fasilitas taman dan lapangan masih kurang. Oleh karena itu diperlukan suatu
kesadaran dari pedagang untuk melakukan perizinan penggunaan fasilitas lapangan
dan taman yang menjadi tempatnya. Di samping itu diperlukan juga peran dari
Pemerintah untuk melakukan sosialisasi kepada para pedagang kaki lima tersebut.
Selain itu sanksi yang tidak tegas juga merupakan salah satu faktor yang
menyebabkan banyaknya pedagang ilegal dan pedagang kaki lima yang berada
disekitar pusat kota .
Pemerintah telah menyediakan lapak untuk relokasi para
PKL. Akan tetapi pada kenyataannya yang ada di lapangan, para PKL ini tidak
menggunakan fasilitas yang telah disediakan oleh Pemerintah daerah tersebut,
karena menyadari besarnya keuntungan yang diperoleh tanpa harus membayar pajak,
maka para pedagang kaki lima bersikeras untuk tetap berdagang di daerah seputar
pusat kota.
Keberadaan PKL juga seringkali menyebabkan keterhambatan Pemerintah Daerah
dalam hal penataan tata kota yang baik. Permasalahan yang terjadi adalah
peraturan atau kebijakan yang muncul untuk mengatur hal tersebut tidak diikuti
dengan mentalitas dan kesiapan para aparat Pemerintah, tidak hanya dari bawahan
tetapi juga para pimpinannya dalam melaksanakan peraturan atau kebijakan
tentang PKL.
Untuk mempermudah penertiban
Pedagang Kaki Lima di maka peran Satuan
Polisi Pamong Praja yang kemudian disebut SATPOL PP harus memaksimalkan tugasnya dalam hal
penertiban pedagang-pedagang kaki lima. Satuan Polisi Pamong Praja sangat di
soroti karena keberadaannya sebagai penegak peraturan daerah. Sebagaimana
diatur dalam pasal 255 Undang-Undang 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
yakni :
1)
Satuan
polisi pamong praja dibentuk untuk menegakkan Perda dan Perkada,
menyelenggarakan ketertiban umum dan ketenteraman, serta menyelenggarakan
perlindungan masyarakat.
2)
Satuan
polisi pamong praja mempunyai kewenangan :
a.
melakukan
tindakan penertiban non-yustisial terhadap warga masyarakat, aparatur, atau
badan hukum yang melakukan pelanggaran atas Perda dan/atau Perkada;
b.
menindak
warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang mengganggu ketertiban umum
dan ketenteraman masyarakat;
c.
melakukan
tindakan penyelidikan terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum
yang diduga melakukan pelanggaran atas Perda dan/atau Perkada; dan
d.
melakukan
tindakan administratif terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum
yang melakukan pelanggaran atas Perda dan/atau Perkada.
Walaupun
Satuan Polisi Pamong Praja bertugas untuk menertibkan Pedagang Kaki Lima tidak
akan melakukan tindakan semena-mena kepada para Pedagang Kaki Lima. Kemudian
juga Polisi Pamong Praja dalam melaksanankan tugasnya memiliki fungsi, kewenangan, dan
kewajiban dalam rangka menjalankan tugas. Pemerintah dalam menyikapi fenomena
PKL dan dalam pembuatan kebijakan (perda) tentang penertiban PKL harus lebih
mengutamakan penegakan keadilan bagi rakyat kecil dan memperhatikan hak
masyarakat khususnya bagi PKL untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang
layak. Penataan dan Pemberdayaan pedagang kaki lima yang dilakukan di selain untuk mencegah kemacatan lalu lintas,
merusak keindahan taman dan tata kota serta menghindari dari berbagai kebocoran
pajak dan retribusi daerah.
Untuk itu berdasarkan latar belakang
yang telah dikemukakan di atas, diperlukan penanganan yang serius terhadap
keberadaan PKL sehingga diharapkan dapat memberikan dampak positif , maka dari
itu peneliti tertarik untuk mengangkat judul penelitian “EVALUASI TERHADAP PELAKSANAAN PENERTIBAN
PEDAGANG KAKI LIMA OLEH SATUAN POLISI PAMONG PRAJA DI KOTA BANDAR LAMPUNG
PROVINSI LAMPUNG
“
No comments:
Post a Comment