Sunday, October 23, 2016

FUNGSI ALOKASI DANA GAMPONG DALAM MENDORONG PENINGKATAN SWADAYA GOTONG ROYONG MASYARAKAT DI GAMPONG KEUDE BIREM KECAMATAN BIREM BAYEUN KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI ACEH



BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang Laporan Akhir
              Penyelenggaraan otonomi Daerah sebagaimana telah di amanatkan secara jelas didalam Undang-Undang Dasar 1945, ditujukan untuk menata sistem Pemerintahan Daerah dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pelaksanaannya dilakukan dengan memberikan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarkan otonomi daerah. Dalam rangka pelaksanaan amanat UUD 1945 tersebut telah di tetapkan Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah, yang dalam perjalanannya telah mengalami beberapa kali perubahan.
              Bergulirnya Otonomi Daerah telah berjalan sejak januari 2001, dalam beberapa hal Otonomi Daerah yang di legalkan dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang perimbangan keuangan, telah menjadi tonggak baru dalam tradisi Pemerintahan di Negeri ini.
              Kemudian lahirlah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah daerah sebagai revisi terhadap Undang-Undang yang sudah ada.
              Dalam perkembangan selanjutnya, guna mengantisipasi berbagai tuntutan perubahan terhadap tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara, sekaligus mengantisipasi berbagai tuntuan global, baik yang berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri, telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005. Untuk melengkapi Undang-Undang ini telah di keluarkan pula Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
              Selama pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008, secara empirik dirasakan adanya beberapa permasalahan yang kalau di biarkan akan mengganggu efektifitas penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Kemudian Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang merupakan penyempurnaan dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008. Untuk melengkapi undang-undang nomor 23 tahun 2014 maka Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
              Sejak diberlakukannya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah maka daerah diberi keleluasaan untuk menekankan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan, keadilan serta dengan memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah. Undang-Undang ini sebagai landasan hukum yang kuat bagi penyelenggaraan otonomi daerah, dengan memberikan keleluasaan kepada daerah untuk mewujudkan daerah yang mandiri. Selain itu konsekuensi dari adanya kebijakan otonomi daerah tersebut adalah adanya upaya pemberdayaan dan peningkatan perekonomian daerah melalui perimbangan keuangan yang baik antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Berkaitan dengan fungsi pemberdayaan, maka pemerintah memikul tanggung jawab untuk memberdayakan masyarakat.
Posisi desa yang sangat strategis ini menjadi modal dasar yang harus dipahami secara menyeluruh dan terintegrasi, baik dari segi kekuatan, kelemahan, peluang dan kendala, maupun hubungan dengan lingkungan strategis, baik regional, nasional dan internasional.
Kondisi ekonomi, pendidikan dan kesehatan masyarakat desa masih sangat jauh tertinggal bila di bandingkan dengan kehidupan masyarakat di daerah perkotaan. Di desa masih banyak ditemukan kehidupan yang serba kekurangan dan dihantui kemiskinan. Tingkat kemakmuran pada umumnya sangat rendah. Kalaupun ada, hanya sedikit rumah yang baik yang kita jumpai. Perlengkapan rumah atau gedung sangat sederhana. Air mungkin diperoleh dari sumur atau sumber air lainnya. Tidak ada rumah sakit atau dokter walaupun mungkin ada apotik. Di toko-toko hanya dijual barang-barang yang sangat sederhana. Buku dan surat kabar sangat langka karena sebagian besar penduduk masih buta huruf.
Sejalan dengan standar kehidupan yang rendah itu, pelayanan masyarakat pun rendah dibanding dengan pelayanan masyarakat di kota. Masyarakat desa sangat berketergantungan pada pemerintah untuk melakukan upaya pembenahan dan pembangunan dalam desa. Tanpa bantuan pemerintah sangat sulit bagi masyarakat desa untuk mengembangkan ekonomi yang mampu berdaya saing dan berkualitas.
              Untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat desa baik dari segi ekonomi, pendidikan, kesehatan dan insfrastruktur diperlukan ada upaya khusus yang harus di lakukan oleh pemerintah. Upaya yang dilakukan harus mampu memberi perubahan yang berarti dalam kehidupan masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung.
              Konsep yang sering dimunculkan dalam proses pemberdayaan adalah konsep kemandirian dimana progam-progam pembangunan dirancang secara sistematis agar individu maupun masyarakat menjadi subjek dari pembangunan. Kegagalan berbagai program pembangunan perdesaan di masa lalu adalah disebabkan antara lain karena penyusunan, pelaksanaan dan evaluasi program-program pembangunan yang tidak melibatkan masyarakat. Proses pembangunan lebih mengedepankan paradigma politik sentralistis dan dominannya peranan Negara pada arus utama kehidupan bermasyarakat.
              Otonomi asli merupakan bentuk kewenangan yang hanya dimiliki oleh Desa berdasarkan adat-istiadat yang hidup dan dihormati disuatu Desa yang bersangkutan. Ini tampak kurang mendapat perhatian kita, sehingga dapat menyebabkan kegiatan administrasi dalam organisasi pemerintahan tidak berjalan seperti yang diharapkan. Hal semacam ini kemungkinan dapat membawa dampak negatif bagi suatu pemerintahan, maksudnya penyelenggaraan ataupun pengembangan organisasi pemerintahan Desa mempunyai hak, wewenang, dan kewajiban memimpin pemerintahan Desa yaitu menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dan merupakan penyelenggara dan penanggung jawab utama di bidang pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan dalam rangka penyelenggaraan urusan pemerintahan Desa.
              Otonomi khusus bagi Provinsi Daerah istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang sekarang disebut Provinsi Aceh diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah istimewa Aceh yang kemudian berganti menjadi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh yang merupakan Undang-Undang yang menjadi dasar hukum bagi penyelenggaraan otonomi khusus di Provinsi Aceh. Undang-undang tersebut dibuat sebagai tindak lanjut dari nota kesepahaman (Memorandum of Understanding) antara pemerintah RI dengan GAM pada 15 Agustus 2005. Satu tahun kemudian, yaitu pada 1 Agustus 2006, akhirnya UU No. 11 Tahun 2006 tersebut di sahkan.
              Pemerintah telah memberikan kewenangan yang luas kepada pemerintah dan masyarakat di Provinsi Aceh untuk mengimplementasikan nilai-nilai luhur masyarakat aceh dengan menata tata pemerintahan sesuai dengan harapan masyarakat. Provinsi Aceh berbeda dengan provinsi lainnya di Indonesia, yang mempunyai lima strata pemerintahan yaitu, Provinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan, Mukim dan Gampong. Gampong merupakan basis otonomi lokal dan Mukim merupakan perkumpulan dari beberapa Gampong.
              Dengan berkurangnya campur tangan pemerintah pusat terhadap daerah, maka pembangunan seharusnya diarahkan untuk merubah kehidupan rakyat menjadi lebih baik. Perencanaan dan Implementasi pembangunan seharusnya merupakan usaha untuk memberdayakan rakyat sehingga mereka mempunyai akses terhadap sumber-sumber ekonomi. Model pembangunan yang melibatkan masyarakat dapat juga disebut dengan model pembangunan partisipatif. 
              Provinsi Aceh merupakan salah satu daerah yang masih tertinggal dengan tidak meratanya pembangunan, tingginya angka pengangguran, tingkat pendidikan yang masih rendah. Ini disebabkan sebelumnya Aceh pernah di landa konflik yang berkepanjangan dan Tsunami yang melululantakkan sendi-sendi ekonomi masyarakat. Banyak daerah di pelosok yang tidak mendapat perhatian, pembangunan dan pemberdayaan dari pemerintah sehingga kondisi di desa sangat tertinggal.
              Pemberian Alokasi Dana Gampong (ADG) yang merupakan wujud dari pemenuhan hak gampong (Desa) untuk menyelenggarakan Otonomi Gampong (Desa) agar mampu berkembang berdasarkan keanekaragaman, partisipatif, otonomi asli, demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat.  Alasan adanya Alokasi Dana Gampong (ADG) karena kebijakan ADG sejalan dengan agenda Otonomi Daerah, dimana Gampong (Desa) ditempatkan sebagai basis desentralisasi. Kebijakan ADG sangat relevan dengan perspektif yang menempatkan gampong (desa) berhadapan langsung dengan masyarakat. Sebagian besar masyarakat hidup di daerah pedesaan sehingga desentralisasi di tingkat gampong (desa) akan meningkatkan fungsi pemerintahan sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya.
              Dengan adanya Alokasi Dana Gampong (ADG) sudah banyak manfaat yang telah dirasakan oleh masyarakat, pembangunan yang selama ini hanya terpusat pada daerah tertentu saja yang didasari kedekatan dengan pejabat pengambil kebijakan sudah mulai terbalik, Masyarakat yang selama ini kurang dilibatkan sekarang sudah memiliki peran yang besar untuk merancang dan membangun gampong, Jalan, irigasi, fasilitas umum gampong yang selama ini kurang perhatian kini dengan adanya Alokasi Dana Gampong masyarakat mempunyai kesempatan untuk membangun sendiri tanpa harus membuat permohonan bantuan dari pemerintah daerah.
              Kondisi ini yang menjadikan masyarakat gampong sebagai sasaran dalam setiap program pemberdayaan masyarakat. Tujuannya adalah memberikan kemandirian atau daya kepada masyarakat gampong agar dapat mengurus dirinya sendiri. Pemerintah hanya bertindak sebagai fasilitator dan motivator. Ini didorong oleh pengalaman bahwa sebagian masyarakat gampong masih hidup dibawah garis kemiskinan dan ketidakberdayaan, hal ini membutuhkan pertolongan sejak dini untuk mengubah keadaan tersebut.
              Masyarakat gampong juga mempunyai kesempatan untuk melaksanakan seminar, pelatihan-pelatihan yang bertujuan untuk meningkatkan ekonomi masyarakat sehingga masyarakat tidak lagi terfokus pada sektor pertanian dan perikanan. Pelatihan yang dilaksanakan diharapkan mampu menumbuh kembangkan jiwa berwirausaha yang mampu menopang ekonomi masyarakat. Alokasi Dana Gampong juga bisa digunakan untuk meningkatkan kualitas kesehatan dan pendidikan.
              Ini juga menjadi kewajiban aparat Pemerintah Kabupaten yang ada diatasnya untuk membina dan memberdayakan agar kapasitas aparatur gampong meningkat. Namun, jika Pemerintah Kabupaten termasuk Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten-nya masih tidak bersedia atau tidak berniat baik untuk meng-agendakan dan membuat Qanun tentang Alokasi Dana Gampong ini, maka gampong berhak menggugat dan melakukan pelaporan, karena ini tindak kejahatan dan melanggar peraturan yang lebih tinggi yakni Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 dan Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 2014 Tentang Desa.
              Alokasi Dana Gampong maupun bantuan provinsi adalah salah satu penerimaan gampong disamping penerimaan-penerimaan lainnya seperti Pendapatan Asli Gampong (PAG) yang juga harus digali dan semua itu dikelola dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Gampong (APBG) yang disusun dan dilaksanakan secara partisipatif dan dipertanggungjawabkan terbuka kepada rakyatnya dan Anggaran Pendapatan Belanja Gampong ini juga harus di Pergam (Peraturan Gampong) kan, ini prinsip legitimasi yang harus dibangun sehingga warga tidak curiga kepada Keuchik/Kepala Desa. Hal ini sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 Tentang Desa dan tidak bertentangan dengan Undang-Undang Pemerintahan Aceh. Pengelolaan keuangan gampong harus berprinsip sesuai dengan Permendagri Nomor 113 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Keuangan Desa. Permendagri ini kedudukannya sejajar dengan Permendagri Nomor 37 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, jadi desa/gampong harus belajar melaksanakan Permendagri Nomor 113 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Keuangan Desa.
              Anggaran Alokasi Dana Desa hendaknya jangan dikelola seperti proyek, beri kesempatan gampong merencanakan dan melaksanakan secara partisipatif. Provinsi dan Kabupaten yang mengeluarkan peraturan perundangannya dan memfasilitasi pelatihan-pelatihan. Komponen Lembaga Swadaya Masyarakat di Aceh harus peduli dan mengawal serta mendampingi pada pelaksanaan ini di gampong agar pemerintah gampong tidak salah urus yang dampaknya dapat terjerumus dalam korupsi.
              Peraturan Bupati Aceh Timur Nomor 32 Tahun 2014 mengatur tentang Alokasi Dana Gampong Dan Alokasi Bagian Dari Hasil Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah Serta Tata Cara Pengelolaan Dan Pertanggungjawaban Alokasi Dana Gampong (ADG) adalah bagian dana yang dialokasikan oleh Pemerintah Kabupaten untuk gampong, yang bersumber dari bagian dana perimbangan keuangan Pemerintah Pusat dan Provinsi Aceh yang diterima oleh kabupaten sebesar 10% setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus (DAK).
              Tujuan pelaksanaan Alokasi Dana Gampong adalah: 1) meningkatkan penyelenggaraan Pemerintahan Gampong dalam melaksanakan pelayanan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan sesuai kewenangannya; 2) meningkatkan kemampuan lembaga kemasyarakatan di gampong dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian pembangunan secara partisipatif sesuai dengan potensi gampong; 3) meningkatkan pemerataan pendapatan, kesempatan bekerja dan kesempatan berusaha bagi masyarakat gampong; dan 4) mendorong peningkatan swadaya gotong royong masyarakat.
Salah satu tujuan Alokasi Dana Gampong adalah mendorong peningkatan swadaya gotong royong masyarakat. Budaya gotong royong adalah bagian dari kehidupan berkelompok masyarakat Indonesia, dan mnerupakan warisan budaya bangsa. Nilai dan perilaku gotong royong bagi masyarakat Indonesia sudah menjadi pandangan hidup, sehingga tidak bisa dipisahkan dari aktivitas kehidupan sehari-hari.
Gotong royong menjadikan kehidupan berkelompok manusia Indonesia lebih berdaya dan sejahtera. Karena dengan gotong royong berbagai permasalahan kehidupan bersama bisa terpecahkan secara mudah dan murah. Implementasi nilai gotong royong dalam kehidupan masyarakat terkandung makna kesetaraan, keadilan, kebersamaan, kepedulian dan mengacu kepada kepentingan bersama. Manfaat gotong royong antara lain meringankan beban, waktu dan biaya, lebih efektif, efisien, meningkatkan solidaritas dan rasa kekeluargaan dengan sesame, menambah kokohnya rasa persatuan dan mempertinggi ketahanan bersama.
Nilai budaya gotong royong perlu dipelihara dan dikembangkan serta di wariskan kepada generasi penerus. Sehingga kegiatan gotong royong merupakan salah satu nilai budaya bangsa yang harus dilakukan dalma kehidupan masyarakat sehari-hari. Gotong-royong dalam bentuk tolong menolong dilakukan secara sukarela untuk membantu orang lain, tetapi ada suatu kewajiban sosial yang memaksa secara moral bagi seseorang yang telah mendapat pertolongan tersebut untuk kembali menolong orang yang pernah menolongnya, sehingga saling tolong menolong ini menjadi meluas tanpa melihat orang yang pernah menolongnya atau tidak.
Dengan demikian, bahwa tolong menolong ini merupakan suatu usaha untuk menanam budi baik terhadap orang lain tanpa adanya imbalan jasa atau kompensasi secara langsung atas pekerjaan itu yang bersifat kebendaan, begitupula yang ditolong akan merasa berhutang budi terhadap orang yang pernah menolongnya, sehingga terjadilah keseimbangan berupa bantuan tenaga yang diperoleh bila suatu saat akan melakukan pekerjaan yang sama.
            Dalam realisasi di lapangan, masyarakat gampong masih sangat perlu pembenahan baik dari segi sumber daya manusia dan pembinaan masyarakat sehingga ini akan menjadi tantangan tersendiri yang harus di jawab oleh Badan Pemberdayaan Masyarakat, Perempuan dan Keluarga Sejahtera (BPMPKS) Kabupaten Aceh Timur dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya.
Salah satu upaya dalam mendorong peningkatan swadaya gotong royong masyarakat oleh Badan Pemberdayaan Masyarakat, Perempuan dan Keluarga Sejahtera (BPMPKS) Kabupaten Aceh Timur adalah dengan pelaksanaan Alokasi Dana Gampong (ADG). Melalui kegiatan pemberdayaan di harapkan masyarakat akan meningkat dalam hal gotong royong. Aktivitas gotong royong yang terjadi di masyarakat gampong berupa tolong menolong dalam kerja bakti, gotong royong di tempat tinggal, gotong royong dalam pertanian dan gotong royong dalam upaya pembangunan gampong.
 Gampong Keude Birem yang merupakan salah satu gampong di Kecamatan Birem Bayeun Kabupaten Aceh Timur Provinsi Aceh merupakan salah satu gampong yang mendapatkan bantuan Alokasi Dana Gampong yang diharapkan mampu mengalami perkembangan dengan adanya bantuan tersebut, sehingga Pemerintah Gampong harus menaruh perhatian yang lebih dalam mendorong peningkatan swadaya gotong royong masyarakat.
Pemerintah Gampong sebagai pengambil kebijakan adalah bagaimana meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya gotong royong dalam kehidupan masyarakat yang merupakan kendala akan tujuan dari Alokasi Dana Gampong tersebut. Hal ini didasari oleh masyarakat gampong yang masih hidup di bawah garis kemiskinan dan ketidakberdayaan
Sesuai dengan gambaran masalah diatas maka penulis tertarik untuk mengangkat permasalahan dengan judul FUNGSI ALOKASI DANA GAMPONG DALAM MENDORONG PENINGKATAN SWADAYA GOTONG ROYONG MASYARAKAT DI GAMPONG KEUDE BIREM KECAMATAN BIREM BAYEUN KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI ACEH.

No comments:

Post a Comment

buku bimbingan

                                                                                                                                            ...

082126189815

Name

Email *

Message *