BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Laporan Akhir
Penyelenggaraan
otonomi Daerah sebagaimana telah di amanatkan secara jelas didalam
Undang-Undang Dasar 1945, ditujukan untuk menata sistem Pemerintahan Daerah
dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pelaksanaannya dilakukan
dengan memberikan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarkan otonomi
daerah. Dalam rangka pelaksanaan amanat UUD 1945 tersebut telah di tetapkan Undang-Undang
tentang Pemerintahan Daerah, yang dalam perjalanannya telah mengalami beberapa
kali perubahan.
Bergulirnya
Otonomi Daerah telah berjalan sejak januari 2001, dalam beberapa hal Otonomi
Daerah yang di legalkan dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang perimbangan
keuangan, telah menjadi tonggak baru dalam tradisi Pemerintahan di Negeri ini.
Kemudian lahirlah Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33
Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah
daerah sebagai revisi terhadap Undang-Undang yang sudah ada.
Dalam perkembangan selanjutnya,
guna mengantisipasi berbagai tuntutan perubahan terhadap tatanan kehidupan
berbangsa dan bernegara, sekaligus mengantisipasi berbagai tuntuan global, baik
yang berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri, telah diubah dengan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005. Untuk
melengkapi Undang-Undang ini telah di keluarkan pula Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2008 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah.
Selama pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2008, secara empirik dirasakan adanya beberapa permasalahan yang
kalau di biarkan akan mengganggu efektifitas penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
Kemudian Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah yang merupakan penyempurnaan dari Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2008. Untuk melengkapi undang-undang nomor 23 tahun 2014 maka Pemerintah
mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 tahun 2014
tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Sejak diberlakukannya
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah maka daerah diberi keleluasaan untuk menekankan
prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan, keadilan serta
dengan memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah. Undang-Undang ini
sebagai landasan hukum yang kuat bagi penyelenggaraan otonomi daerah, dengan
memberikan keleluasaan kepada daerah untuk mewujudkan daerah yang mandiri.
Selain itu konsekuensi dari adanya kebijakan otonomi daerah tersebut adalah
adanya upaya pemberdayaan dan peningkatan perekonomian daerah melalui
perimbangan keuangan yang baik antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Berkaitan dengan fungsi pemberdayaan, maka pemerintah memikul tanggung jawab
untuk memberdayakan masyarakat.
Posisi desa yang sangat strategis ini menjadi modal dasar yang harus
dipahami secara menyeluruh dan terintegrasi, baik dari segi kekuatan,
kelemahan, peluang dan kendala, maupun hubungan dengan lingkungan strategis,
baik regional, nasional dan internasional.
Kondisi ekonomi, pendidikan dan kesehatan
masyarakat desa masih sangat jauh tertinggal bila di bandingkan dengan
kehidupan masyarakat di daerah perkotaan. Di desa masih banyak ditemukan
kehidupan yang serba kekurangan dan dihantui kemiskinan. Tingkat kemakmuran pada umumnya
sangat rendah. Kalaupun ada, hanya sedikit rumah yang baik yang kita jumpai.
Perlengkapan rumah atau gedung sangat sederhana. Air mungkin diperoleh dari
sumur atau sumber air lainnya. Tidak ada rumah sakit atau dokter walaupun
mungkin ada apotik. Di toko-toko hanya dijual barang-barang yang sangat
sederhana. Buku dan surat kabar sangat langka karena sebagian besar penduduk
masih buta huruf.
Sejalan dengan
standar kehidupan yang rendah itu, pelayanan masyarakat pun rendah dibanding
dengan pelayanan masyarakat di kota. Masyarakat desa sangat
berketergantungan pada pemerintah untuk melakukan upaya pembenahan dan
pembangunan dalam desa. Tanpa bantuan pemerintah sangat sulit bagi masyarakat
desa untuk mengembangkan ekonomi yang mampu berdaya saing dan berkualitas.
Untuk meningkatkan taraf
hidup masyarakat desa baik dari segi ekonomi, pendidikan, kesehatan dan
insfrastruktur diperlukan ada upaya khusus yang harus di lakukan oleh
pemerintah. Upaya yang dilakukan harus mampu memberi perubahan yang berarti dalam kehidupan masyarakat baik secara langsung
maupun tidak langsung.
Konsep yang sering dimunculkan
dalam proses pemberdayaan adalah konsep kemandirian dimana progam-progam
pembangunan dirancang secara sistematis agar individu maupun masyarakat menjadi
subjek dari pembangunan. Kegagalan berbagai program pembangunan perdesaan di
masa lalu adalah disebabkan antara lain karena penyusunan, pelaksanaan dan
evaluasi program-program pembangunan yang tidak melibatkan masyarakat. Proses
pembangunan lebih mengedepankan paradigma politik sentralistis dan dominannya
peranan Negara pada arus utama kehidupan bermasyarakat.
Otonomi asli merupakan bentuk
kewenangan yang hanya dimiliki oleh Desa berdasarkan adat-istiadat yang hidup
dan dihormati disuatu Desa yang bersangkutan. Ini tampak kurang mendapat
perhatian kita, sehingga dapat menyebabkan kegiatan administrasi dalam
organisasi pemerintahan tidak berjalan seperti yang diharapkan. Hal semacam ini
kemungkinan dapat membawa dampak negatif bagi suatu pemerintahan, maksudnya
penyelenggaraan ataupun pengembangan organisasi pemerintahan Desa mempunyai
hak, wewenang, dan kewajiban memimpin pemerintahan Desa yaitu menyelenggarakan
rumah tangganya sendiri dan merupakan penyelenggara dan penanggung jawab utama
di bidang pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan dalam rangka
penyelenggaraan urusan pemerintahan Desa.
Otonomi khusus bagi Provinsi
Daerah istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang sekarang
disebut Provinsi Aceh diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang
Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah istimewa Aceh yang kemudian berganti
menjadi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh yang
merupakan Undang-Undang yang menjadi dasar hukum bagi penyelenggaraan otonomi
khusus di Provinsi Aceh. Undang-undang tersebut dibuat sebagai tindak lanjut
dari nota kesepahaman (Memorandum of Understanding) antara pemerintah RI dengan
GAM pada 15 Agustus 2005. Satu tahun kemudian, yaitu pada 1 Agustus 2006,
akhirnya UU No. 11 Tahun 2006 tersebut di sahkan.
Pemerintah telah memberikan
kewenangan yang luas kepada pemerintah dan masyarakat di Provinsi Aceh untuk
mengimplementasikan nilai-nilai luhur masyarakat aceh dengan menata tata
pemerintahan sesuai dengan harapan masyarakat. Provinsi Aceh berbeda dengan
provinsi lainnya di Indonesia, yang mempunyai lima strata pemerintahan yaitu,
Provinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan, Mukim dan Gampong. Gampong merupakan basis
otonomi lokal dan Mukim merupakan perkumpulan dari beberapa Gampong.
Dengan berkurangnya campur tangan
pemerintah pusat terhadap daerah, maka pembangunan seharusnya diarahkan untuk
merubah kehidupan rakyat menjadi lebih baik. Perencanaan dan Implementasi
pembangunan seharusnya merupakan usaha untuk memberdayakan rakyat sehingga
mereka mempunyai akses terhadap sumber-sumber ekonomi. Model pembangunan yang
melibatkan masyarakat dapat juga disebut dengan model pembangunan
partisipatif.
Provinsi Aceh merupakan salah satu
daerah yang masih tertinggal dengan tidak meratanya pembangunan, tingginya
angka pengangguran, tingkat pendidikan yang masih rendah. Ini disebabkan
sebelumnya Aceh pernah di landa konflik yang berkepanjangan dan Tsunami yang
melululantakkan sendi-sendi ekonomi masyarakat. Banyak daerah di pelosok yang
tidak mendapat perhatian, pembangunan dan pemberdayaan dari pemerintah sehingga
kondisi di desa sangat tertinggal.
Pemberian Alokasi Dana Gampong
(ADG) yang merupakan wujud dari pemenuhan hak gampong (Desa) untuk
menyelenggarakan Otonomi Gampong (Desa) agar mampu berkembang berdasarkan
keanekaragaman, partisipatif, otonomi asli, demokratisasi dan pemberdayaan
masyarakat. Alasan adanya Alokasi Dana
Gampong (ADG) karena kebijakan ADG sejalan dengan agenda Otonomi Daerah, dimana
Gampong (Desa) ditempatkan sebagai basis desentralisasi. Kebijakan ADG sangat
relevan dengan perspektif yang menempatkan gampong (desa) berhadapan langsung
dengan masyarakat. Sebagian besar masyarakat hidup di daerah pedesaan sehingga
desentralisasi di tingkat gampong (desa) akan meningkatkan fungsi pemerintahan
sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya.
Dengan adanya Alokasi Dana Gampong
(ADG) sudah banyak manfaat yang telah dirasakan oleh masyarakat, pembangunan
yang selama ini hanya terpusat pada daerah tertentu saja yang didasari
kedekatan dengan pejabat pengambil kebijakan sudah mulai terbalik, Masyarakat
yang selama ini kurang dilibatkan sekarang sudah memiliki peran yang besar
untuk merancang dan membangun gampong, Jalan, irigasi, fasilitas umum gampong
yang selama ini kurang perhatian kini dengan adanya Alokasi Dana Gampong
masyarakat mempunyai kesempatan untuk membangun sendiri tanpa harus membuat
permohonan bantuan dari pemerintah daerah.
Kondisi ini yang menjadikan
masyarakat gampong sebagai sasaran dalam setiap program pemberdayaan masyarakat.
Tujuannya adalah memberikan kemandirian atau daya kepada masyarakat gampong
agar dapat mengurus dirinya sendiri. Pemerintah hanya bertindak sebagai
fasilitator dan motivator. Ini didorong oleh pengalaman bahwa sebagian
masyarakat gampong masih hidup dibawah garis kemiskinan dan ketidakberdayaan,
hal ini membutuhkan pertolongan sejak dini untuk mengubah keadaan tersebut.
Masyarakat gampong juga mempunyai
kesempatan untuk melaksanakan seminar, pelatihan-pelatihan yang bertujuan untuk
meningkatkan ekonomi masyarakat sehingga masyarakat tidak lagi terfokus pada
sektor pertanian dan perikanan. Pelatihan yang dilaksanakan diharapkan mampu
menumbuh kembangkan jiwa berwirausaha yang mampu menopang ekonomi masyarakat.
Alokasi Dana Gampong juga bisa digunakan untuk meningkatkan kualitas kesehatan
dan pendidikan.
Ini juga menjadi kewajiban aparat
Pemerintah Kabupaten yang ada diatasnya untuk membina dan memberdayakan agar
kapasitas aparatur gampong meningkat. Namun, jika Pemerintah Kabupaten termasuk
Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten-nya masih tidak bersedia atau tidak berniat
baik untuk meng-agendakan dan membuat Qanun tentang Alokasi Dana Gampong ini,
maka gampong berhak menggugat dan melakukan pelaporan, karena ini tindak
kejahatan dan melanggar peraturan yang lebih tinggi yakni Undang-undang Nomor 6
Tahun 2014 dan Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 2014 Tentang Desa.
Alokasi
Dana Gampong maupun bantuan provinsi adalah salah satu penerimaan gampong
disamping penerimaan-penerimaan lainnya seperti Pendapatan Asli Gampong (PAG)
yang juga harus digali dan semua itu dikelola dalam Anggaran Pendapatan dan
Belanja Gampong (APBG) yang disusun dan dilaksanakan secara partisipatif dan
dipertanggungjawabkan terbuka kepada rakyatnya dan Anggaran Pendapatan Belanja Gampong
ini juga harus di Pergam (Peraturan Gampong) kan, ini prinsip legitimasi yang
harus dibangun sehingga warga tidak curiga kepada Keuchik/Kepala Desa. Hal ini
sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 Tentang Desa dan
tidak bertentangan dengan Undang-Undang Pemerintahan Aceh. Pengelolaan keuangan
gampong harus berprinsip sesuai dengan Permendagri Nomor 113 Tahun 2014 Tentang
Pengelolaan Keuangan Desa. Permendagri ini kedudukannya sejajar dengan Permendagri
Nomor 37 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, jadi desa/gampong harus
belajar melaksanakan Permendagri Nomor 113 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan
Keuangan Desa.
Anggaran Alokasi Dana Desa hendaknya jangan dikelola
seperti proyek, beri kesempatan gampong merencanakan dan melaksanakan secara
partisipatif. Provinsi dan Kabupaten yang mengeluarkan peraturan perundangannya
dan memfasilitasi pelatihan-pelatihan. Komponen Lembaga Swadaya
Masyarakat di Aceh harus peduli dan mengawal serta mendampingi pada pelaksanaan
ini di gampong agar pemerintah gampong tidak salah urus yang dampaknya dapat
terjerumus dalam korupsi.
Peraturan Bupati Aceh Timur Nomor 32
Tahun 2014 mengatur tentang Alokasi Dana Gampong Dan Alokasi Bagian Dari Hasil
Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah Serta Tata Cara Pengelolaan Dan
Pertanggungjawaban Alokasi Dana Gampong (ADG) adalah bagian dana yang
dialokasikan oleh Pemerintah Kabupaten untuk gampong, yang bersumber dari
bagian dana perimbangan keuangan Pemerintah Pusat dan Provinsi Aceh yang
diterima oleh kabupaten sebesar 10% setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus
(DAK).
Tujuan pelaksanaan Alokasi Dana
Gampong adalah: 1) meningkatkan penyelenggaraan Pemerintahan Gampong dalam
melaksanakan pelayanan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan sesuai
kewenangannya; 2) meningkatkan kemampuan lembaga kemasyarakatan di gampong
dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian pembangunan secara partisipatif
sesuai dengan potensi gampong; 3) meningkatkan pemerataan pendapatan,
kesempatan bekerja dan kesempatan berusaha bagi masyarakat gampong; dan 4)
mendorong peningkatan swadaya gotong royong masyarakat.
Salah satu tujuan
Alokasi Dana Gampong adalah mendorong peningkatan swadaya gotong royong
masyarakat. Budaya gotong royong adalah bagian dari kehidupan berkelompok
masyarakat Indonesia, dan mnerupakan warisan budaya bangsa. Nilai dan perilaku
gotong royong bagi masyarakat Indonesia sudah menjadi pandangan hidup, sehingga
tidak bisa dipisahkan dari aktivitas kehidupan sehari-hari.
Gotong royong
menjadikan kehidupan berkelompok manusia Indonesia lebih berdaya dan sejahtera.
Karena dengan gotong royong berbagai permasalahan kehidupan bersama bisa
terpecahkan secara mudah dan murah. Implementasi nilai gotong royong dalam
kehidupan masyarakat terkandung makna kesetaraan, keadilan, kebersamaan,
kepedulian dan mengacu kepada kepentingan bersama. Manfaat gotong royong antara
lain meringankan beban, waktu dan biaya, lebih efektif, efisien, meningkatkan
solidaritas dan rasa kekeluargaan dengan sesame, menambah kokohnya rasa
persatuan dan mempertinggi ketahanan bersama.
Nilai budaya gotong
royong perlu dipelihara dan dikembangkan serta di wariskan kepada generasi
penerus. Sehingga kegiatan gotong royong merupakan salah satu nilai budaya
bangsa yang harus dilakukan dalma kehidupan masyarakat sehari-hari. Gotong-royong
dalam bentuk tolong menolong dilakukan secara sukarela untuk membantu orang
lain, tetapi ada suatu kewajiban sosial yang memaksa secara moral bagi
seseorang yang telah mendapat pertolongan tersebut untuk kembali menolong orang
yang pernah menolongnya, sehingga saling tolong menolong ini menjadi meluas
tanpa melihat orang yang pernah menolongnya atau tidak.
Dengan demikian,
bahwa tolong menolong ini merupakan suatu usaha untuk menanam budi baik
terhadap orang lain tanpa adanya imbalan jasa atau kompensasi secara langsung
atas pekerjaan itu yang bersifat kebendaan, begitupula yang ditolong akan
merasa berhutang budi terhadap orang yang pernah menolongnya, sehingga
terjadilah keseimbangan berupa bantuan tenaga yang diperoleh bila suatu saat
akan melakukan pekerjaan yang sama.
Dalam
realisasi di lapangan, masyarakat gampong masih sangat perlu pembenahan baik
dari segi sumber daya manusia dan pembinaan masyarakat sehingga ini akan
menjadi tantangan tersendiri yang harus di jawab oleh Badan Pemberdayaan
Masyarakat, Perempuan dan Keluarga Sejahtera (BPMPKS) Kabupaten Aceh Timur
dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya.
Salah satu upaya
dalam mendorong peningkatan swadaya gotong royong masyarakat oleh Badan
Pemberdayaan Masyarakat, Perempuan dan Keluarga Sejahtera (BPMPKS) Kabupaten
Aceh Timur adalah dengan pelaksanaan Alokasi Dana Gampong (ADG). Melalui
kegiatan pemberdayaan di harapkan masyarakat akan meningkat dalam hal gotong
royong. Aktivitas gotong royong yang terjadi di masyarakat gampong berupa
tolong menolong dalam kerja bakti, gotong royong di tempat tinggal, gotong
royong dalam pertanian dan gotong royong dalam upaya pembangunan gampong.
Gampong Keude Birem yang merupakan salah satu
gampong di Kecamatan Birem Bayeun Kabupaten Aceh Timur Provinsi Aceh merupakan
salah satu gampong yang mendapatkan bantuan Alokasi Dana Gampong yang
diharapkan mampu mengalami perkembangan dengan adanya bantuan tersebut,
sehingga Pemerintah Gampong harus menaruh perhatian yang lebih dalam mendorong
peningkatan swadaya gotong royong masyarakat.
Pemerintah Gampong
sebagai pengambil kebijakan adalah bagaimana meningkatkan kesadaran masyarakat
akan pentingnya gotong royong dalam kehidupan masyarakat yang merupakan kendala
akan tujuan dari Alokasi Dana Gampong tersebut. Hal ini didasari oleh
masyarakat gampong yang masih hidup di bawah garis kemiskinan dan
ketidakberdayaan
Sesuai dengan
gambaran masalah diatas maka penulis tertarik untuk mengangkat permasalahan
dengan judul “FUNGSI
ALOKASI DANA GAMPONG DALAM MENDORONG PENINGKATAN SWADAYA GOTONG ROYONG
MASYARAKAT DI GAMPONG KEUDE BIREM KECAMATAN BIREM BAYEUN KABUPATEN ACEH TIMUR
PROVINSI ACEH”.
No comments:
Post a Comment