BAB
I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Laporan Akhir
Kondisi yang tertib
dan teratur dalam kehidupan berbangsa dan bernegara merupakan harapan seluruh
masyarakat. Hal tersebut tidak lain merupakan tugas pemerintah secara umum
untuk melaksanakan tugas menciptakan ketentraman dan ketertiban. Dalam Pasal 12
ayat 1 (e) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
menyebutkan beberapa urusan wajib bagi pemerintah daerah provinsi dan
kabupaten/kota, adalah ketentraman, ketertiban umum, dan perlindungan
masyarakat.
Penyelenggaraan tugas
menciptakan ketertiban dan keamanan masyarakat seperti tersebut dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 menjadi bagian dari desentralisasi urusan dan
kewenangan pemerintah. Dalam hal ini otonomi daerah yang diterapkan pada
pemerintahan di Indonesia menjadi jembatan bagi setiap daerah dalam
penyelenggaraan tugas pemerintahan tersebut.
Diberikannya otonomi
daerah kepada pemerintah daerah, diharapkan pemerintah daerah dapat
melaksanakan berbagai urusan dan kewenangannya termasuk penyelenggaraan
ketertiban umum secara mandiri. Kemandirian suatu daerah dimaksudkan dalam
penyelenggaraan urusan pemerintahan yang dilakukan sesuai dengan aspirasi serta
kondisi wilayahnya masing-masing.
Penyelenggaraan
otonomi daerah sebagaimana telah diamanatkan di dalam pasal 18 ayat (2)
Undang-Undang Dasar 1945 bahwa “Pemerintah daerah Provinsi, daerah kabupaten,
dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi
dan tugas pembantuan” serta pernyataan yang menyebutkan adanya pengakuan atas
kekhususan dan keistimewaan suatu daerah
dalam pasal 18B ayat (1) bahwa “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan
pemerintah daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur
dengan Undang-Undang” ditujukan untuk menata sistem Pemerintahan Daerah dalam
konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pelaksanaannya dilakukan dengan
memberikan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah.
Menurut Munir (2013:105) “desentralisasi merupakan
pembagian, penyebaran, perencanaan, pemberian kekuasaan dan kewenangan. Hal ini
dapat dilihat dari pandangan yang dikemukakan oleh Duchacek Maryanove dan
Mawhood bahwa masalah desentralisasi adalah berujung pada pembagian kekuasaan
dan kewenangan dalam suatu pemerintahan”. Desentralisasi dalam sistem yang
demokrasi pada hakikatnya untuk mengatasi berbagai persoalan dan
masalah-masalah yang kompleks dan khususnya daerah yang melatarbelakanginya.
Meningkatnya
Pertumbuhan penduduk yang secara signifikan, menyebabkan ledakan penduduk yang
tidak terkontrol yang berujung pada bertambahnya jumlah angkatan kerja yang
tersedia. Keadaan semacam ini menyebabkan perluasan kesempatan kerja di daerah
Kota dalam sektor-sektor formal kurang mampu menyerap seluruh angkatan kerja.
Akibat lainnya menyebabkan kelebihan angkatan kerja, yang tidak tertampung,
mengalir dan mempercepat tumbuh dan berkembangnya sektor informal. Kehadiran
sektor informal ini sangat memegang peranan penting dalam kehidupan di daerah
kabupaten/kota. Adanya sektor informal bukan sekedar karena kurangnya lapangan
pekerjaan, tetapi sektor informal tersebut ada sebagai pilar bagi keseluruhan
ekonomi yang mampu menyediakan keterjangkauan untuk seluruh lapisan masyarakat.
Kesulitan dalam memperoleh lapangan pekerjaan
tidak hanya disebabkan oleh keterbatasan kesempatan kerja, tetapi yang lebih
parahnya lagi yaitu para pencari kerja tidak memiliki pendidikan yang cukup
tinggi untuk memenuhi kualitas untuk persyaratan suatu pekerjaan yang layak.
Pada umunya mereka mencari pada sektor informal tersebut, khusunya pedagang
kaki lima dianggap lebih mudah karena pedagang kaki lima tidak harus
mengeluarkan modal yang besar dan tempat permanen untuk berdagang. Pada
penelitian ini pedagang kaki lima diartikan sebagai orang yang menawarkan
barang dan jasa untuk dijual, dengan menggunakan tempat-tempat umum seperti
trotoar bahkan sampai ke badan jalan.
Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 41 tahun 2012 tentang Pedoman Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki
Lima pasal 2 ayat (2) bahwa “Gubernur dan Bupati/Walikota dapat mengeluarkan peraturan
ataupun keputusan berkenaan dengan penertiban pedagang kaki lima”. Pemberlakuan
Peraturan Daerah maupun Keputusan Kepala Daerah tersebut mengharuskan
pengaturan, pembinaan, dan penetapan lokasi direncanakan terlebih dahulu.
Dalam mewujudkan ketertiban dan ketentraman
masyarakat di Kabupaten Sumedang tersebut, sudah diatur dalam Peraturan Daerah
Nomor 7 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman
Masyarakat. Salah satu pasal yang mengatur tentang ketertiban dalam melakukan
usaha diatur dalam:
Pasal 8a
Setiap orang dilarang:
“Menempatkan benda-benda
dengan maksud untuk melakukan sesuatu usaha di jalan, jalur hijau, taman dan
tempat-tempat umum”
Pasal 8c
Setiap orang dilarang:
“Melakukan
kegiatan usaha dengan cara merusak dan atau merubah dengan bentuk trotoar,
fasilitas umum dan atau bangunan sekitarnya”
Salah satu lokasi di
Kabupaten Sumedang yang merupakan tempat beraktivitas pedagang kaki lima adalah
di Kecamatan Sumedang Selatan Kabupaten Sumedang. Kecamatan Sumedang Selatan
banyak dipenuhi oleh pedagang kaki lima yang mengakibatkan semakin sempitnya
ruang publik yang dipergunakan untuk publik.
Pedagang Kaki Lima yang berada di Kecamatan
Sumedang Selatan membuat tempat-tempat di Kecamatan Sumedang Selatan menjadi
tidak indah untuk dilihat, menjadi kumuh, tidak bersih karena banyaknya sampah
berserakan serta membuat kemacetan setiap kendaraan yang melintas di daerah
yang termasuk Kecamatan Sumedang Selatan. Berikut jumlah data pedagang kaki
lima yang berada di Kabupaten Sumedang.
Table
1.1
Sebaran
dan Jumlah Pedagang Kaki Lima
di
Kabupaten Sumedang
No
|
Kecamatan
|
Kelurahan/
Desa
|
Tertata
|
Tidak Tertata
|
||
Lokasi
|
Jumlah
|
Lokasi
|
Jumlah
|
|||
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
6
|
7
|
1
|
Sumedang Selatan
|
|
Gn. Kunci
|
22
|
|
|
SMPN 4
|
10
|
|||||
Mesjid Agung
|
9
|
|||||
RSUD
|
14
|
|||||
|
|
|
Cadas Pangeran
|
11
|
||
Ciherang-Patung Kuda
|
21
|
|||||
Patung Kuda-Polres
|
27
|
|||||
Polres-Lampu Merah Islamic
|
31
|
|||||
Lampu Merah Islamic-Jembatan Patung Kuda
|
15
|
|||||
Lampu Merah Islamic-Jembatan Darangdan
|
7
|
|||||
Lampu Merah Islamic-Bank BNI
|
17
|
|||||
Jl. Gending-Kota Kulon
|
34
|
|||||
Hariring-Perempatan RSUD
|
85
|
|||||
Apotek Pajaji-Kebonkol
|
27
|
|||||
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
6
|
7
|
Kebonkol-Jl. Geusan Ulun
|
4
|
|||||
Kebonkol-Ojek Cipamengpeuk
|
41
|
|||||
RS. Pakuwon-Jl. Geusan Ulun
|
40
|
|||||
Sepanjang Jl. Kartini
|
21
|
|||||
Kantor Samsat Sumedang
|
11
|
|||||
Jl. Budiasih
|
6
|
|||||
Samsat-Ojek Gn. Puyuh
|
13
|
|||||
Sepanjang Jl. Empang
|
59
|
|||||
Belakang-Depan Polsek Selatan
|
23
|
|||||
Bank BRI
|
18
|
|||||
Sepanjang Jl. P. Soeria Atmaja
|
24
|
|||||
RSUD Sumedang
|
31
|
|||||
Perempatan RSUD-Kejari
|
36
|
|||||
2
|
Sumedang Utara
|
Kota Kaler
|
Pacuan Kuda
|
225
|
|
|
Taman Telor
|
447
|
|||||
|
|
Jl. M. Abdurahman, alamsari, Tajimalela
|
70
|
|||
Situ
|
Karapyak
|
2
|
|
|||
Cipeuteuy
|
1
|
|||||
Panyingkiran
|
3
|
|||||
Cilengkrang
|
1
|
|||||
Anggrek
|
7
|
|||||
Bojong Ciakar
|
2
|
|||||
Pang. Heubeul
|
1
|
|||||
Unsap
|
6
|
|||||
Jatihurip
|
|
PGA
|
11
|
|||
Terminal Ciakar
|
5
|
|||||
Jl. Ds Jatihurip
|
3
|
|||||
Perum Jatihurip
|
5
|
|||||
Sindangjaya
|
2
|
|||||
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
6
|
7
|
Talun
|
Jl.Sebelas April
|
3
|
|
|||
Tegalkalong
|
27
|
|||||
Jatimulya
|
|
Perum Asambri
|
5
|
|||
Bojong Inong
|
4
|
|||||
Bojong Pasantren
|
1
|
|||||
Boojong Ciakar
|
25
|
|||||
Kebonjati
|
Jl. Cimayor
|
9
|
|
|||
Ds Kubangjaya
|
7
|
|||||
Ranca-mulya
|
Jl. Bojong
|
15
|
|
|||
Jl. Cisero-Dano
|
17
|
|||||
3
|
Jatinunggal
|
Pawenang
|
Pawenang
|
2
|
|
|
Tarikolot
|
Tarikolot
|
27
|
||||
Sirnasari
|
Jatinunggal
|
2
|
||||
Sarimekar
|
Cibala
|
5
|
||||
Banjarsari
|
Salado
|
3
|
||||
Kirisik
|
Nyalindung
|
5
|
||||
Cipeundeuy
|
Cipeundeuy
|
6
|
||||
Sukamanah
|
Pajagan
|
1
|
||||
Cimanintin
|
Cimanintin
|
1
|
||||
4
|
Cisitu
|
Situmekar
|
Pasar Corenda
|
18
|
|
|
|
Jumlah
|
|
|
1.631
|
PKL
|
|
Sumber
: Kantor Dinas Koperasi, Industri dan Perdagangan 2015
Melihat pada tabel
diatas menunjukan bahwa, PKL di Kabupaten Sumedang dari sisi Kuantitas
menunjukan angka yang cukup besar, yakni dari 4 kecamatan yang terdata saja
sudah mencapai 1.631 PKL. Angka pada tabel di atas dimungkinkan akan berkembang
lagi seiring dengan PKL-PKL yang belum terdata serta para PKL yang ada di luar
empat kecamatan di atas. Kecamatan Sumedang Selatan merupakan kecamatan kedua
yang lebih banyak di tempati oleh PKL dari kecamatan Sumedang Utara. Tetapi, Kecamatan
Sumedang Selatan lebih banyak di tempati oleh PKL yang tidak tertata dibandingkan
PKL yang tertata. Jumlah PKL di kecamatan Sumedang Selatan yaitu 657 PKL, yang
tertata 55 PKL sedangkan yang tidak tertata berjumlah 602 PKL, disini jelas
Satpol PP Kabupaten Sumedang perlu menertibkan PKL yang belum tertata dengan
baik. Fakta ini perlu dicermati dan diantisipasi bagi pihak-pihak terkait
terutama para pengambil kebijakan/keputusan (decision maker), untuk langkah-langkah antisipatif dan membuat road map bagi pengembangan dan
pemberdayaannya.
Pemerintah Kabupaten
Sumedang harus bisa menertibkan PKL yang masih berdagang di tempat-tempat umum
yang dilarang oleh pemerintah. Dalam Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2014
tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat Pasal 9 ayat
1 dan 2 bahwa:
1. PKL
hanya dapat berjualan di lokasi PKL.
2. Lokasi
PKL sebagaimana dimaskud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Bupati.
Dari peraturan yang dibuat oleh
pemerintah di atas, sudah jelas bahwa lokasi pedagang kaki lima sudah diatur,
agar tidak mengganggu masyarakat. Tetapi, meskipun sudah diatur pedagang kaki
lima masih ada yang berjualan di tempat-tempat yang dilarang oleh pemerintah.
Banyaknya bermunculan
Pedagang Kaki Lima (PKL) ini menimbulkan masalah terhadap ketertiban,
kebersihan, dan keindahan Kabupaten Sumedang serta kelancaran arus lalu lintas
kendaraan bermotor, oleh karena itu diperlukan penanganan serius yang nantinya
diharapkan dapat memberikan dampak positif atas kehidupan dan penghidupan
seluruh masyarakat Kabupaten Sumedang, sehingga Pemerintah Kabupaten Sumedang
menetapkan Peraturan Bupati Nomor 60 Tahun 2013 tentang Penataan dan
Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima.
Pemberlakuan
Peraturan Bupati Nomor 60 Tahun 2013 tentang Penataan dan Pemberdayaan Pedagang
Kaki Lima mengharuskan penataan dan pengaturan lokasi direncanakan terlebih
dahulu. Pengaturan lokasi pedagang kaki lima ini dimaksudkan agar mengetahui
lokasi yang strategis di wilayah Kota dengan luas areal, batas areal, dan waktu
berdagang. Diharapkan dengan diberlakukannya Peraturan Bupati tersebut,
pedagang kaki lima dapat teratur dan tidak mengganggu estetika kota dari aspek
keindahan, ketentraman, kebersihan, ketertiban, dan kesejahteraan masyarakat di
Kabupaten Sumedang.
Kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah
daerah itu sendiri cenderung dilematis. Sering terjadi satu pihak pemerintah
daerah melakukan kebijaksanaan akomodasi dan promosi namun dilain pihak
membatasi PKL dalam hal ini menjadi kebijakan yang cenderung memiliki dua sisi
yang bertentangan. Dengan demikian, jalan penyelesaian persoalan tersebut
melalui tindakan hukum seperti, merelokasi, menertibkan, mengusir bahkan
menangkap PKL dengan dalih apapun pada dasarnya akan mengurangi percepatan
pertumbuhan ekonomi pula. Serta sudah diketahui bersama bahwa PKL merupakan
batu loncat pedangang kecil dalam peningkatan pertumbuhan ekonomi mikro.
Menyikapi dampak permasalahan PKL yang ada
diperlukan adanya suatu unit kerja khusus dalam membantu pelaksanaan pemerintah
dalam melakukan pembinaan dan penindakan terhadap pelanggaran peraturan daerah
dan ketentuan yang berlaku, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah pasal 255 ayat (1), Satpol PP dibentuk untuk
menegakkan Perda dan Perkada, menyelenggarakan ketertiban umum dan ketentraman,
serta menyelenggarakan perlindungan masyarakat.
Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 6 Tahun 2010 tentang Satuan Polisi Pamong Praja pasal 2 ayat (1)
menyebutkan untuk membantu kepala daerah dalam menegakkan Perda dan
menyelenggarakan ketertiban dan ketentraman masyarakat, di setiap provinsi dan
Kabupaten/kota dibentuk Satpol PP, selanjutnya pada pasal 4 Satpol PP mempunyai
tugas menegakkan Perda dan menyelenggarakan ketertiban umum dan ketentraman
masyarakat serta perlindungan masyarakat. Dalam hal ini Satpol PP mempunyai
tugas untuk menegakkan Peraturan Bupati Nomor 60 Tahun 2013 tentang Penataan
dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima.
Satuan Polisi Pamong Praja, di singkat Satpol PP adalah perangkat Pemerintah Daerah yang bertugas untuk memelihara
ketentraman dan ketertiban umum serta menegakkan Peraturan Daerah. Organisasi dan tata kerja Satuan
Polisi Pamong Praja ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Satpol PP dapat
berkedudukan di Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota. Di Daerah Provinsi, Satuan Polisi
Pamong Praja dipimpin oleh Kepala yang berada di bawah dan bertanggung jawab
kepada Gubernur melalui Sekretaris Daerah. Di Daerah Kabupaten/Kota, Satuan
Polisi Pamong Praja dipimpin oleh Kepala yang berada di bawah dan bertanggung
jawab kepada Bupati/Walikota melalui Sekretaris Daerah.
Polisi
Pamong Praja didirikan di Yogyakarta pada tanggal 3 Maret 1950 dengan moto Praja Wibawa, Satpol PP dibentuk untuk
mewadahi sebagian tugas pemerintah daerah. Sebenarnya tugas ini telah
dilaksanakan pemerintah sejak zaman kolonial. Sebelum menjadi Satuan Polisi
Pamong Praja setelah proklamasi kemerdekaan dimana diawali dengan kondisi yang
tidak stabil dan mengancam Negara
Kesatuan Republik Indonesia,
dibentuklah Detasemen Polisi sebagai Penjaga Keamanan
Kapanewon di Yogjakarta sesuai dengan Surat Perintah Jawatan Praja di Daerah
Istimewa Yogyakarta untuk menjaga ketentraman dan ketertiban masyarakat.
Pada
tanggal 10 November 1948, lembaga ini berubah menjadi
Detasemen Polisi Pamong Praja. Di Jawa dan Madura Satuan Polisi Pamong Praja
dibentuk tanggal 3 Maret 1950. Inilah awal mula terbentuknya Satpol PP. Oleh
sebab itu, setiap tanggal 3 Maret ditetapkan sebagai Hari Jadi Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol
PP) dan diperingati setiap tahun. Pada Tahun 1960, dimulai pembentukan Kesatuan
Polisi Pamong Praja di luar Jawa dan Madura, dengan dukungan para petinggi
militer /Angkatan Perang. Tahun 1962 namanya berubah menjadi Kesatuan Pagar
Baya untuk membedakan dari korps Kepolisian Negara seperti dimaksud
dalam UU No 13/1961 tentang Pokok-pokok Kepolisian. Tahun 1963 berubah nama
lagi menjadi Kesatuan Pagar Praja. Istilah Satpol PP mulai terkenal sejak
pemberlakuan UU No 5/1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. Pada
Pasal 86 (1) disebutkan, Satpol PP merupakan perangkat wilayah yang
melaksanakan tugas dekonsentrasi. Saat ini UU 5/1974 tidak berlaku lagi,
digantikan UU No 22/1999 dan direvisi menjadi UU No 32/2004 tentang
Pemerintahan Daerah. Dalam Pasal 148 UU 32/2004 disebutkan, Polisi Pamong Praja
adalah perangkat pemerintah daerah dengan tugas pokok menegakkan perda,
menyelenggarakan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat sebagai
pelaksanaan tugas desentralisasi. Sumber:
http://asalusul.sofhaljamil.com/2010/04/sejarah-terbentuknya-satuan-pamong.html
Satuan Polisi Pamong Praja merupakan ujung
tombak penanganan masalah ketertiban khusunya masalah ketertiban yang
diakibatkan oleh pedagang kaki lima yang ada di wilayah Kecamatan Sumedang
Selatan. Dalam melaksanakan tugasnya Satuan Polisi Pamong Praja tentunya
dihadapkan pada berbagai hambatan.
Menurut pengamatan penulis, kinerja satuan
polisi pamong praja dalam menertibkan pedagang kaki lima belum dirasakan oleh
masyarakat. Hal ini disebabkan karena, kurangnya dana operasional Satuan Polisi
Pamong Praja Kabupaten Sumedang, kurangnya komunikasi dan koordinasi Satuan
Polisi Pamong Praja dalam melaksanakan tugasnya, kurangnya pengetahuan dan
keterampilan anggota Satuan Polisi Pamong Praja dalam menjalankan tugas dan
fungsinya, terbatasnya sarana dan prasarana pendukung untuk menunjang
pelaksanaan tugas Satuan Polisi Pamong Praja, serta kurang optimalnya upaya
penertiban pedagang kaki lima di Kecamatan Sumedang Selatan.
Keadaan tersebut menyebabkan kurangnya
kinerja Satpol Polisi Pamong Praja dalam melaksanakan tugasnya. Fenomena itu sendiri
dikuatkan dengan sumber yang penulis kutip bahwa, Menurut Yudhi Prasetyo, Kasi
Penyidikan Satpol PP Kabupaten Sumedang.
Karenanya Yudhi mengharapkan adanya perhatian yang lebih baik lagi dari
pemerintah untuk dapat menaikan anggaran ke Satpol PP Kabupaten Sumedang yang notabene adalah juga merupakan salah
satu SKPD di Kabupaten Sumedang.
“Apabila
harapan itu terkabul, saya harapkan nantinya akan dapat memicu kinerja
perangkat Satpol PP Kabupaten Sumedang dalam tupoksinya membantu Kepala Daerah
dalam menegakkan Perda dan menyelenggarakan ketertiban umum serta ketentraman
di wilayah Sumedang bisa terlaksana dengan lebih baik lagi.” harapnya. (http://mrungkap.blogspot.co.id/)
Hal senada juga dikeluhkan oleh Asep Permana,
Kasi Trantibum Satpol PP Kabupaten Sumedang, ketika ditemui diruang kerjanya pada
Senin (2/5). “Masa untuk sebulan kami hanya diberi 75 liter bensin sementara
kami mempunyai 4 unit kendaraan? Kalau dihitung, berarti anggaran untuk bensin
yang diberikan kepada kami cuma 1 liter sehari, anggaran itu tentunya sangat
dirasakan minim sekali.” Ujar Asep Permana. (Eep Jeky).
Masalah
selanjutnya dapat dilihat dari sumber yang penulis kutip, (http://sumedangpostonline.blogspot.co.id/2014/01/satpol-pp-sumedang-dituntut-tingkatkan.html) Raperda tentang Ketertiban
dan Ketentraman Umum sedang dibahas di DPRD Sumedang. Alih-alih substansi
raperda yang dibahas, DPRD banyak membahas kinerja Satuan Polisi Pamong Praja
(Satpol PP) sebagai pihak yang akan menegakkan serta mengawasi perda penegakan
perda tersebut.
"Satpol PP nanti yang akan benar-benar
menjadi pihak pelaksana perda ini karena soal ketentraman dan ketertiban diatur
oleh Satpol PP," kata Ketua Fraksi PPP Ilmawan Muhammad dalam nota
pandangan fraksi terhadap Raperda Ketertiban dan Ketentraman di DPRD Sumedang,
Jumat (3/1/2014).
Ketika raperda ini disahkan, DPRD berharap Pemkab
membenahi lembaga ini agar pelaksanaan perda dapat berjalan optimal. Kuantitas
dan kualitas Satpol PP harus ditingkatkan. "Yang paling penting kualitas SDM di lembaga
Satpol PP harus ditingkatkan," kata Ilmawan.
"Kalau ada kemampuan interpesonal dan
humanis itu, Satpol PP bisa menjaga keamanan dan ketertiban karena pembuat
gangguan keamanan dan ketertiban itu adalah warga yang hanya butuh penghidupan
tapi menggangggu keadaan, seperti ingin berjualan tapi di halte," tutur
Ilmawan. Semua fraksi di DPRD setuju dengan
dibahasnya raperda ini karena Sumedang dianggap tak tertib dan tentram lagi.
Masalah gelandangan, PKL, prostitusi, perjudian sudah merebak di kota tahu ini.
Dalam Sambutan
Bupati H Ade Irawan yang disampaikan oleh Asisten Pembangunan H Dede Hermansyah.
Selasa 16 Desember
2014, bahwa:
“Satuan Polisi
Pamong Praja Kabupaten Sumedang melaksanakan bimbingan teknis dalam rangka
Peningkatan Pemahaman dan Kesadaran Terhadap Pelaksanaan Perda pada Satuan
Polisi Pamong Praja Kabupaten Sumedang yang dilaksanakan di Ruang Tampomas
Gedung Sekretariat Daerah Kabupaten Sumedang. Disebutkan, gangguan yang mengancam dari manapun, kapanpun,
dan dalam bentuk apapun merupakan kewajiban untuk dihadapi dan diatas oleh
setiap warga negara dalam rangka memelihara iklim keamanan dan ketertiban yang
kondusif. “Undang-Undang Dasar 1945 telah mengamanatkan bahwa setiap warga
negara berhak dan wajib untuk menjaga keamanan dan ketertiban negara.” Kata
Asisten Pembangunan Kabupaten Sumedang. Lebih lanjut disampaikan pula bahwa pemerintah pusat dan
pemerintah daerah harus konsisten melaksanakan membangun Satpol PP yang
profesional sebagai implementasi PP Nomor 6 Tahun 2010 tentang Satuan Polisi
Pamong dan peraturan pelaksanaanya. “Sudah seharusnya seluruh jajaran anggota
pol PP dapat menjadi panutan bagi masyarakat dan mampu meningkatkan kinerjanya
secara lebih optimal dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya,” tegasnya.
Pemerintah Kabupaten Sumedang dalam mengatasi PKL kurangnya
koordinasi perencanaan dalam menertibkan PKL (http://www.pikiran-rakyat.com/node/275396),
Gagalnya
pemindahan dan penempatan PKL (Pedagang Kaki Lima) dari Alun-alun Sumedang ke
Tahura (Taman Hutan Rakyat) Gunung Kunci di Kec. Sumedang Selatan, akibat
buruknya perencanaan yang dilakukan dinas terkait. Dinas terkait tersebut,
yakni Badan Lingkungan Hidup (BLH), Dinas Perindustrian dan Perdagangan
(Disperindag), Satpol PP dan Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) Kab.
Sumedang.
Penyebab lainnya, di antara keempat dinas dan instansi terkait itu
tidak menjalankan tupoksi (tugas, pokok dan fungsi) sesuai bidang garapannya
masing-masing. Bahkan terjadi tumpang tindih kewenangan.
“Akibatnya, para pedagang yang
menjadi korbannya. Karena salah penempatan lokasi, sehingga para pedagang
enggan mengisi lapak yang disediakan pemda karena tempatnya sepi. Pemindahan
para pedagang dari Alun-alun ke Gunung Kunci ini, cenderung dibuang dan diusir.
Kasihan para pedagang. Mereka berjualan sekedar untuk menyambung hidup anak
istrinya,” kata Pemerhati PKL Sumedang, Azis Hidayat ketika ditemui di Tahura
Gunung Kunci, Kec. Sumedang Selatan, Rabu (26/3/2014).
Selain itu, yang menunjukan
kurang optimalnya kinerja satpol PP di Kabupaten Sumedang dapat dilihat dari
sumber berita (http://www.galamedianews.com/daerah/14921/tak-diurus-selter-angkot-di-sumedang-jadi-lapak-pkl.html), bahwa :
“Halte
yang disediakan untuk penumpang angkutan kota (angkot) di wilayah Sumedang
Kota, dipakai lapak oleh pedagang kaki lima (PKL). Kondisi itu, disesalkan oleh
masyarakat, karena aparat terkait terkesan abai dan tidak berniat untuk
menertibkan keberadaan PKL yang mengusai fasilitas umum tersebut.”
Kepala Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informatika
Kab.Sumedang, H.Teddy Mulyono, kepada galamedianews.com, Rabu (25/3/2015),
tidak menyangkal adanya beberapa selter angkot, yang dijadikan lapak PKL.
Terkait masalah itu, pihaknya telah menurunkan petugas, untuk mengingat dan
meminta supaya PKL segera pindah.
"Selter
harus clear, dari kegiatan apapun, karena peruntukan sudah jelas. Yakni
masyarakat menunggu angkutan umum. Oleh sebab itu, PKL tidak dibenarkan
menjadikan fasilitas umum tersebut, sebagai tempat jualan," katanya.
Selanjutnya,
terhadap PKL yang tetap membandel atau tidak bersedia meninggalkan selter, maka
untuk penertiban itu, menjadi kewenangan Satpol PP (Satuan Polisi Pamong
Praja). Hal itu, mengingat keberadaan PKL itu, telah melanggar Peraturan Daerah
(Perda) Nomor 7 Tahun 2014, tentang penyelenggaraan ketertiban umum dan
ketentraman masyarakat.
"Tentunya,
dalam implementasi penegakan Perda itu, tidak hanya PKL yang menempati selter
angkot, melainkan juga terhadap mereka yang telah menyerobot trotoar. Semuanya
itu, penertibannya menjadi kewenangan Satpol PP," ujarnya.
Berangkat dari permasalahan tersebut,
peneliti merasa perlu untuk mengangkatnya menjadi suatu masalah penelitian.
Sehingga dalam penulisan yang akan peneliti lakukan nantinya akan diketahui
bagaimana Kinerja Satuan Polisi Pamong Praja dalam melaksanakan tugas dan
fungsinya sebagai penertiban pedagang kaki lima di Kecamatan Sumedang Selatan
Kabupaten Sumedang. Hasil dari penelitian tersebut akan penulis susun dalam
bentuk Laporan Akhir dengan judul “Kinerja
Satuan Polisi Pamong Praja Dalam Menegakkan Peraturan Bupati Nomor 60 Tahun
2013 tentang Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima di Kabupaten Sumedang
(Studi Pada Pedagang Kaki Lima di Kecamatan Sumedang Selatan).”
No comments:
Post a Comment