Monday, October 24, 2016

Kinerja Satuan Polisi Pamong Praja Dalam Menegakkan Peraturan Bupati Nomor 60 Tahun 2013 tentang Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima di Kabupaten Sumedang (Studi Pada Pedagang Kaki Lima di Kecamatan Sumedang Selatan)



BAB I
PENDAHULUAN


1.1. Latar Belakang Laporan Akhir
Kondisi yang tertib dan teratur dalam kehidupan berbangsa dan bernegara merupakan harapan seluruh masyarakat. Hal tersebut tidak lain merupakan tugas pemerintah secara umum untuk melaksanakan tugas menciptakan ketentraman dan ketertiban. Dalam Pasal 12 ayat 1 (e) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan beberapa urusan wajib bagi pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota, adalah ketentraman, ketertiban umum, dan perlindungan masyarakat.
Penyelenggaraan tugas menciptakan ketertiban dan keamanan masyarakat seperti tersebut dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 menjadi bagian dari desentralisasi urusan dan kewenangan pemerintah. Dalam hal ini otonomi daerah yang diterapkan pada pemerintahan di Indonesia menjadi jembatan bagi setiap daerah dalam penyelenggaraan tugas pemerintahan tersebut.
Diberikannya otonomi daerah kepada pemerintah daerah, diharapkan pemerintah daerah dapat melaksanakan berbagai urusan dan kewenangannya termasuk penyelenggaraan ketertiban umum secara mandiri. Kemandirian suatu daerah dimaksudkan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan yang dilakukan sesuai dengan aspirasi serta kondisi wilayahnya masing-masing.
Penyelenggaraan otonomi daerah sebagaimana telah diamanatkan di dalam pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa “Pemerintah daerah Provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan” serta pernyataan yang menyebutkan adanya pengakuan atas kekhususan dan keistimewaan  suatu daerah dalam pasal 18B ayat (1) bahwa “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-Undang” ditujukan untuk menata sistem Pemerintahan Daerah dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pelaksanaannya dilakukan dengan memberikan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah.
Menurut Munir (2013:105) “desentralisasi merupakan pembagian, penyebaran, perencanaan, pemberian kekuasaan dan kewenangan. Hal ini dapat dilihat dari pandangan yang dikemukakan oleh Duchacek Maryanove dan Mawhood bahwa masalah desentralisasi adalah berujung pada pembagian kekuasaan dan kewenangan dalam suatu pemerintahan”. Desentralisasi dalam sistem yang demokrasi pada hakikatnya untuk mengatasi berbagai persoalan dan masalah-masalah yang kompleks dan khususnya daerah yang melatarbelakanginya.
Meningkatnya Pertumbuhan penduduk yang secara signifikan, menyebabkan ledakan penduduk yang tidak terkontrol yang berujung pada bertambahnya jumlah angkatan kerja yang tersedia. Keadaan semacam ini menyebabkan perluasan kesempatan kerja di daerah Kota dalam sektor-sektor formal kurang mampu menyerap seluruh angkatan kerja. Akibat lainnya menyebabkan kelebihan angkatan kerja, yang tidak tertampung, mengalir dan mempercepat tumbuh dan berkembangnya sektor informal. Kehadiran sektor informal ini sangat memegang peranan penting dalam kehidupan di daerah kabupaten/kota. Adanya sektor informal bukan sekedar karena kurangnya lapangan pekerjaan, tetapi sektor informal tersebut ada sebagai pilar bagi keseluruhan ekonomi yang mampu menyediakan keterjangkauan untuk seluruh lapisan masyarakat.
Kesulitan dalam memperoleh lapangan pekerjaan tidak hanya disebabkan oleh keterbatasan kesempatan kerja, tetapi yang lebih parahnya lagi yaitu para pencari kerja tidak memiliki pendidikan yang cukup tinggi untuk memenuhi kualitas untuk persyaratan suatu pekerjaan yang layak. Pada umunya mereka mencari pada sektor informal tersebut, khusunya pedagang kaki lima dianggap lebih mudah karena pedagang kaki lima tidak harus mengeluarkan modal yang besar dan tempat permanen untuk berdagang. Pada penelitian ini pedagang kaki lima diartikan sebagai orang yang menawarkan barang dan jasa untuk dijual, dengan menggunakan tempat-tempat umum seperti trotoar bahkan sampai ke badan jalan.
Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 41 tahun 2012 tentang Pedoman Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima pasal 2 ayat (2) bahwa “Gubernur dan Bupati/Walikota dapat mengeluarkan peraturan ataupun keputusan berkenaan dengan penertiban pedagang kaki lima”. Pemberlakuan Peraturan Daerah maupun Keputusan Kepala Daerah tersebut mengharuskan pengaturan, pembinaan, dan penetapan lokasi direncanakan terlebih dahulu.
Dalam mewujudkan ketertiban dan ketentraman masyarakat di Kabupaten Sumedang tersebut, sudah diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat. Salah satu pasal yang mengatur tentang ketertiban dalam melakukan usaha diatur dalam:
Pasal 8a
Setiap orang dilarang:
“Menempatkan benda-benda dengan maksud untuk melakukan sesuatu usaha di jalan, jalur hijau, taman dan tempat-tempat umum”
Pasal 8c
Setiap orang dilarang:
“Melakukan kegiatan usaha dengan cara merusak dan atau merubah dengan bentuk trotoar, fasilitas umum dan atau bangunan sekitarnya”
Salah satu lokasi di Kabupaten Sumedang yang merupakan tempat beraktivitas pedagang kaki lima adalah di Kecamatan Sumedang Selatan Kabupaten Sumedang. Kecamatan Sumedang Selatan banyak dipenuhi oleh pedagang kaki lima yang mengakibatkan semakin sempitnya ruang publik yang dipergunakan untuk publik.
Pedagang Kaki Lima yang berada di Kecamatan Sumedang Selatan membuat tempat-tempat di Kecamatan Sumedang Selatan menjadi tidak indah untuk dilihat, menjadi kumuh, tidak bersih karena banyaknya sampah berserakan serta membuat kemacetan setiap kendaraan yang melintas di daerah yang termasuk Kecamatan Sumedang Selatan. Berikut jumlah data pedagang kaki lima yang berada di Kabupaten Sumedang.
Table 1.1
Sebaran dan Jumlah Pedagang Kaki Lima
di Kabupaten Sumedang

No
Kecamatan
Kelurahan/
Desa
Tertata
Tidak Tertata
Lokasi
Jumlah
Lokasi
Jumlah
1
2
3
4
5
6
7
1
Sumedang Selatan

Gn. Kunci
22


SMPN 4
10
Mesjid Agung
9
RSUD
14




Cadas Pangeran
11
Ciherang-Patung Kuda
21
Patung Kuda-Polres
27
Polres-Lampu Merah Islamic
31
Lampu Merah Islamic-Jembatan Patung Kuda
15
Lampu Merah Islamic-Jembatan Darangdan
7
Lampu Merah Islamic-Bank BNI
17
Jl. Gending-Kota Kulon
34
Hariring-Perempatan RSUD
85
Apotek Pajaji-Kebonkol
27
1
2
3
4
5
6
7





Kebonkol-Jl. Geusan Ulun
4
Kebonkol-Ojek Cipamengpeuk
41
RS. Pakuwon-Jl. Geusan Ulun
40
Sepanjang Jl. Kartini
21
Kantor Samsat Sumedang
11
Jl. Budiasih
6
Samsat-Ojek Gn. Puyuh
13
Sepanjang Jl. Empang
59
Belakang-Depan Polsek Selatan
23
Bank BRI
18
Sepanjang Jl. P. Soeria Atmaja
24
RSUD Sumedang
31
Perempatan RSUD-Kejari
36
2
Sumedang Utara
Kota Kaler
Pacuan Kuda
225


Taman Telor
447





Jl. M. Abdurahman, alamsari, Tajimalela
70
Situ
Karapyak
2


Cipeuteuy
1
Panyingkiran
3
Cilengkrang
1
Anggrek
7
Bojong Ciakar
2
Pang. Heubeul
1
Unsap
6
Jatihurip


PGA
11
Terminal Ciakar
5
Jl. Ds Jatihurip
3
Perum Jatihurip
5
Sindangjaya
2
1
2
3
4
5
6
7


Talun
Jl.Sebelas April
3


Tegalkalong
27
Jatimulya


Perum Asambri
5
Bojong Inong
4
Bojong Pasantren
1
Boojong Ciakar
25
Kebonjati
Jl. Cimayor
9


Ds Kubangjaya
7
Ranca-mulya
Jl. Bojong
15


Jl. Cisero-Dano
17
3
Jatinunggal
Pawenang
Pawenang
2


Tarikolot
Tarikolot
27
Sirnasari
Jatinunggal
2
Sarimekar
Cibala
5
Banjarsari
Salado
3
Kirisik
Nyalindung
5
Cipeundeuy
Cipeundeuy
6
Sukamanah
Pajagan
1
Cimanintin
Cimanintin
1
4
Cisitu
Situmekar
Pasar Corenda
18



Jumlah


1.631
PKL

Sumber : Kantor Dinas Koperasi, Industri dan Perdagangan 2015
Melihat pada tabel diatas menunjukan bahwa, PKL di Kabupaten Sumedang dari sisi Kuantitas menunjukan angka yang cukup besar, yakni dari 4 kecamatan yang terdata saja sudah mencapai 1.631 PKL. Angka pada tabel di atas dimungkinkan akan berkembang lagi seiring dengan PKL-PKL yang belum terdata serta para PKL yang ada di luar empat kecamatan di atas. Kecamatan Sumedang Selatan merupakan kecamatan kedua yang lebih banyak di tempati oleh PKL dari kecamatan Sumedang Utara. Tetapi, Kecamatan Sumedang Selatan lebih banyak di tempati oleh PKL yang tidak tertata dibandingkan PKL yang tertata. Jumlah PKL di kecamatan Sumedang Selatan yaitu 657 PKL, yang tertata 55 PKL sedangkan yang tidak tertata berjumlah 602 PKL, disini jelas Satpol PP Kabupaten Sumedang perlu menertibkan PKL yang belum tertata dengan baik. Fakta ini perlu dicermati dan diantisipasi bagi pihak-pihak terkait terutama para pengambil kebijakan/keputusan (decision maker), untuk langkah-langkah antisipatif dan membuat road map bagi pengembangan dan pemberdayaannya.
Pemerintah Kabupaten Sumedang harus bisa menertibkan PKL yang masih berdagang di tempat-tempat umum yang dilarang oleh pemerintah. Dalam Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat Pasal 9 ayat 1 dan 2 bahwa:
1.    PKL hanya dapat berjualan di lokasi PKL.
2.    Lokasi PKL sebagaimana dimaskud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Bupati.
Dari peraturan yang dibuat oleh pemerintah di atas, sudah jelas bahwa lokasi pedagang kaki lima sudah diatur, agar tidak mengganggu masyarakat. Tetapi, meskipun sudah diatur pedagang kaki lima masih ada yang berjualan di tempat-tempat yang dilarang oleh pemerintah.
Banyaknya bermunculan Pedagang Kaki Lima (PKL) ini menimbulkan masalah terhadap ketertiban, kebersihan, dan keindahan Kabupaten Sumedang serta kelancaran arus lalu lintas kendaraan bermotor, oleh karena itu diperlukan penanganan serius yang nantinya diharapkan dapat memberikan dampak positif atas kehidupan dan penghidupan seluruh masyarakat Kabupaten Sumedang, sehingga Pemerintah Kabupaten Sumedang menetapkan Peraturan Bupati Nomor 60 Tahun 2013 tentang Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima.
Pemberlakuan Peraturan Bupati Nomor 60 Tahun 2013 tentang Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima mengharuskan penataan dan pengaturan lokasi direncanakan terlebih dahulu. Pengaturan lokasi pedagang kaki lima ini dimaksudkan agar mengetahui lokasi yang strategis di wilayah Kota dengan luas areal, batas areal, dan waktu berdagang. Diharapkan dengan diberlakukannya Peraturan Bupati tersebut, pedagang kaki lima dapat teratur dan tidak mengganggu estetika kota dari aspek keindahan, ketentraman, kebersihan, ketertiban, dan kesejahteraan masyarakat di Kabupaten Sumedang.
Kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah daerah itu sendiri cenderung dilematis. Sering terjadi satu pihak pemerintah daerah melakukan kebijaksanaan akomodasi dan promosi namun dilain pihak membatasi PKL dalam hal ini menjadi kebijakan yang cenderung memiliki dua sisi yang bertentangan. Dengan demikian, jalan penyelesaian persoalan tersebut melalui tindakan hukum seperti, merelokasi, menertibkan, mengusir bahkan menangkap PKL dengan dalih apapun pada dasarnya akan mengurangi percepatan pertumbuhan ekonomi pula. Serta sudah diketahui bersama bahwa PKL merupakan batu loncat pedangang kecil dalam peningkatan pertumbuhan ekonomi mikro.
Menyikapi dampak permasalahan PKL yang ada diperlukan adanya suatu unit kerja khusus dalam membantu pelaksanaan pemerintah dalam melakukan pembinaan dan penindakan terhadap pelanggaran peraturan daerah dan ketentuan yang berlaku, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah pasal 255 ayat (1), Satpol PP dibentuk untuk menegakkan Perda dan Perkada, menyelenggarakan ketertiban umum dan ketentraman, serta menyelenggarakan perlindungan masyarakat.
Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2010 tentang Satuan Polisi Pamong Praja pasal 2 ayat (1) menyebutkan untuk membantu kepala daerah dalam menegakkan Perda dan menyelenggarakan ketertiban dan ketentraman masyarakat, di setiap provinsi dan Kabupaten/kota dibentuk Satpol PP, selanjutnya pada pasal 4 Satpol PP mempunyai tugas menegakkan Perda dan menyelenggarakan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat serta perlindungan masyarakat. Dalam hal ini Satpol PP mempunyai tugas untuk menegakkan Peraturan Bupati Nomor 60 Tahun 2013 tentang Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima.
Satuan Polisi Pamong Praja, di singkat Satpol PP adalah perangkat Pemerintah Daerah yang bertugas untuk memelihara ketentraman dan ketertiban umum serta menegakkan Peraturan Daerah. Organisasi dan tata kerja Satuan Polisi Pamong Praja ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Satpol PP dapat berkedudukan di Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota. Di Daerah Provinsi, Satuan Polisi Pamong Praja dipimpin oleh Kepala yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Gubernur melalui Sekretaris Daerah. Di Daerah Kabupaten/Kota, Satuan Polisi Pamong Praja dipimpin oleh Kepala yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Bupati/Walikota melalui Sekretaris Daerah.
Polisi Pamong Praja didirikan di Yogyakarta pada tanggal 3 Maret 1950 dengan moto Praja Wibawa, Satpol PP dibentuk untuk mewadahi sebagian tugas pemerintah daerah. Sebenarnya tugas ini telah dilaksanakan pemerintah sejak zaman kolonial. Sebelum menjadi Satuan Polisi Pamong Praja setelah proklamasi kemerdekaan dimana diawali dengan kondisi yang tidak stabil dan mengancam Negara Kesatuan Republik Indonesia, dibentuklah Detasemen Polisi sebagai Penjaga Keamanan Kapanewon di Yogjakarta sesuai dengan Surat Perintah Jawatan Praja di Daerah Istimewa Yogyakarta untuk menjaga ketentraman dan ketertiban masyarakat.
Pada tanggal 10 November 1948, lembaga ini berubah menjadi Detasemen Polisi Pamong Praja. Di Jawa dan Madura Satuan Polisi Pamong Praja dibentuk tanggal 3 Maret 1950. Inilah awal mula terbentuknya Satpol PP. Oleh sebab itu, setiap tanggal 3 Maret ditetapkan sebagai Hari Jadi Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dan diperingati setiap tahun. Pada Tahun 1960, dimulai pembentukan Kesatuan Polisi Pamong Praja di luar Jawa dan Madura, dengan dukungan para petinggi militer /Angkatan Perang. Tahun 1962 namanya berubah menjadi Kesatuan Pagar Baya untuk membedakan dari korps Kepolisian Negara seperti dimaksud dalam UU No 13/1961 tentang Pokok-pokok Kepolisian. Tahun 1963 berubah nama lagi menjadi Kesatuan Pagar Praja. Istilah Satpol PP mulai terkenal sejak pemberlakuan UU No 5/1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. Pada Pasal 86 (1) disebutkan, Satpol PP merupakan perangkat wilayah yang melaksanakan tugas dekonsentrasi. Saat ini UU 5/1974 tidak berlaku lagi, digantikan UU No 22/1999 dan direvisi menjadi UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam Pasal 148 UU 32/2004 disebutkan, Polisi Pamong Praja adalah perangkat pemerintah daerah dengan tugas pokok menegakkan perda, menyelenggarakan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat sebagai pelaksanaan tugas desentralisasi. Sumber: http://asalusul.sofhaljamil.com/2010/04/sejarah-terbentuknya-satuan-pamong.html
Satuan Polisi Pamong Praja merupakan ujung tombak penanganan masalah ketertiban khusunya masalah ketertiban yang diakibatkan oleh pedagang kaki lima yang ada di wilayah Kecamatan Sumedang Selatan. Dalam melaksanakan tugasnya Satuan Polisi Pamong Praja tentunya dihadapkan pada berbagai hambatan.
Menurut pengamatan penulis, kinerja satuan polisi pamong praja dalam menertibkan pedagang kaki lima belum dirasakan oleh masyarakat. Hal ini disebabkan karena, kurangnya dana operasional Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Sumedang, kurangnya komunikasi dan koordinasi Satuan Polisi Pamong Praja dalam melaksanakan tugasnya, kurangnya pengetahuan dan keterampilan anggota Satuan Polisi Pamong Praja dalam menjalankan tugas dan fungsinya, terbatasnya sarana dan prasarana pendukung untuk menunjang pelaksanaan tugas Satuan Polisi Pamong Praja, serta kurang optimalnya upaya penertiban pedagang kaki lima di Kecamatan Sumedang Selatan.
Keadaan tersebut menyebabkan kurangnya kinerja Satpol Polisi Pamong Praja dalam melaksanakan tugasnya. Fenomena itu sendiri dikuatkan dengan sumber yang penulis kutip bahwa, Menurut Yudhi Prasetyo, Kasi Penyidikan Satpol PP Kabupaten Sumedang.  Karenanya Yudhi mengharapkan adanya perhatian yang lebih baik lagi dari pemerintah untuk dapat menaikan anggaran ke Satpol PP Kabupaten Sumedang yang notabene adalah juga merupakan salah satu SKPD di Kabupaten Sumedang.
“Apabila harapan itu terkabul, saya harapkan nantinya akan dapat memicu kinerja perangkat Satpol PP Kabupaten Sumedang dalam tupoksinya membantu Kepala Daerah dalam menegakkan Perda dan menyelenggarakan ketertiban umum serta ketentraman di wilayah Sumedang bisa terlaksana dengan lebih baik lagi.” harapnya. (http://mrungkap.blogspot.co.id/)

Hal senada juga dikeluhkan oleh Asep Permana, Kasi Trantibum Satpol PP Kabupaten Sumedang, ketika ditemui diruang kerjanya pada Senin (2/5). “Masa untuk sebulan kami hanya diberi 75 liter bensin sementara kami mempunyai 4 unit kendaraan? Kalau dihitung, berarti anggaran untuk bensin yang diberikan kepada kami cuma 1 liter sehari, anggaran itu tentunya sangat dirasakan minim sekali.” Ujar Asep Permana. (Eep Jeky).
Masalah selanjutnya dapat dilihat dari sumber yang penulis kutip, (http://sumedangpostonline.blogspot.co.id/2014/01/satpol-pp-sumedang-dituntut-tingkatkan.html) Raperda tentang Ketertiban dan Ketentraman Umum sedang dibahas di DPRD Sumedang. Alih-alih substansi raperda yang dibahas, DPRD banyak membahas kinerja Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) sebagai pihak yang akan menegakkan serta mengawasi perda penegakan perda tersebut.
"Satpol PP nanti yang akan benar-benar menjadi pihak pelaksana perda ini karena soal ketentraman dan ketertiban diatur oleh Satpol PP," kata Ketua Fraksi PPP Ilmawan Muhammad dalam nota pandangan fraksi terhadap Raperda Ketertiban dan Ketentraman di DPRD Sumedang, Jumat (3/1/2014).
Ketika raperda ini disahkan, DPRD berharap Pemkab membenahi lembaga ini agar pelaksanaan perda dapat berjalan optimal. Kuantitas dan kualitas Satpol PP harus ditingkatkan. "Yang paling penting kualitas SDM di lembaga Satpol PP harus ditingkatkan," kata Ilmawan.
"Kalau ada kemampuan interpesonal dan humanis itu, Satpol PP bisa menjaga keamanan dan ketertiban karena pembuat gangguan keamanan dan ketertiban itu adalah warga yang hanya butuh penghidupan tapi menggangggu keadaan, seperti ingin berjualan tapi di halte," tutur Ilmawan. Semua fraksi di DPRD setuju dengan dibahasnya raperda ini karena Sumedang dianggap tak tertib dan tentram lagi. Masalah gelandangan, PKL, prostitusi, perjudian sudah merebak di kota tahu ini.

Dalam Sambutan Bupati H Ade Irawan yang disampaikan oleh Asisten Pembangunan H Dede Hermansyah. Selasa 16 Desember 2014, bahwa:
Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Sumedang melaksanakan bimbingan teknis dalam rangka Peningkatan Pemahaman dan Kesadaran Terhadap Pelaksanaan Perda pada Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Sumedang yang dilaksanakan di Ruang Tampomas Gedung Sekretariat Daerah Kabupaten Sumedang. Disebutkan, gangguan yang mengancam dari manapun, kapanpun, dan dalam bentuk apapun merupakan kewajiban untuk dihadapi dan diatas oleh setiap warga negara dalam rangka memelihara iklim keamanan dan ketertiban yang kondusif. “Undang-Undang Dasar 1945 telah mengamanatkan bahwa setiap warga negara berhak dan wajib untuk menjaga keamanan dan ketertiban negara.” Kata Asisten Pembangunan Kabupaten Sumedang. Lebih lanjut disampaikan pula bahwa pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus konsisten melaksanakan membangun Satpol PP yang profesional sebagai implementasi PP Nomor 6 Tahun 2010 tentang Satuan Polisi Pamong dan peraturan pelaksanaanya. “Sudah seharusnya seluruh jajaran anggota pol PP dapat menjadi panutan bagi masyarakat dan mampu meningkatkan kinerjanya secara lebih optimal dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya,” tegasnya.

Pemerintah Kabupaten Sumedang dalam mengatasi PKL kurangnya koordinasi perencanaan dalam menertibkan PKL (http://www.pikiran-rakyat.com/node/275396), Gagalnya pemindahan dan penempatan PKL (Pedagang Kaki Lima) dari Alun-alun Sumedang ke Tahura (Taman Hutan Rakyat) Gunung Kunci di Kec. Sumedang Selatan, akibat buruknya perencanaan yang dilakukan dinas terkait. Dinas terkait tersebut, yakni Badan Lingkungan Hidup (BLH), Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag), Satpol PP dan Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) Kab. Sumedang.
Penyebab lainnya, di antara keempat dinas dan instansi terkait itu tidak menjalankan tupoksi (tugas, pokok dan fungsi) sesuai bidang garapannya masing-masing. Bahkan terjadi tumpang tindih kewenangan.
“Akibatnya, para pedagang yang menjadi korbannya. Karena salah penempatan lokasi, sehingga para pedagang enggan mengisi lapak yang disediakan pemda karena tempatnya sepi. Pemindahan para pedagang dari Alun-alun ke Gunung Kunci ini, cenderung dibuang dan diusir. Kasihan para pedagang. Mereka berjualan sekedar untuk menyambung hidup anak istrinya,” kata Pemerhati PKL Sumedang, Azis Hidayat ketika ditemui di Tahura Gunung Kunci, Kec. Sumedang Selatan, Rabu (26/3/2014).

Selain itu, yang menunjukan kurang optimalnya kinerja satpol PP di Kabupaten Sumedang dapat dilihat dari sumber berita (http://www.galamedianews.com/daerah/14921/tak-diurus-selter-angkot-di-sumedang-jadi-lapak-pkl.html), bahwa :
“Halte yang disediakan untuk penumpang angkutan kota (angkot) di wilayah Sumedang Kota, dipakai lapak oleh pedagang kaki lima (PKL). Kondisi itu, disesalkan oleh masyarakat, karena aparat terkait terkesan abai dan tidak berniat untuk menertibkan keberadaan PKL yang mengusai fasilitas umum tersebut.” 

Kepala Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informatika Kab.Sumedang, H.Teddy Mulyono, kepada galamedianews.com, Rabu (25/3/2015), tidak menyangkal adanya beberapa selter angkot, yang dijadikan lapak PKL. Terkait masalah itu, pihaknya telah menurunkan petugas, untuk mengingat dan meminta supaya PKL segera pindah. 
"Selter harus clear, dari kegiatan apapun, karena peruntukan sudah jelas. Yakni masyarakat menunggu angkutan umum. Oleh sebab itu, PKL tidak dibenarkan menjadikan fasilitas umum tersebut, sebagai tempat jualan," katanya. 
Selanjutnya, terhadap PKL yang tetap membandel atau tidak bersedia meninggalkan selter, maka untuk penertiban itu, menjadi kewenangan Satpol PP (Satuan Polisi Pamong Praja). Hal itu, mengingat keberadaan PKL itu, telah melanggar Peraturan Daerah (Perda) Nomor 7 Tahun 2014, tentang penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat. 
"Tentunya, dalam implementasi penegakan Perda itu, tidak hanya PKL yang menempati selter angkot, melainkan juga terhadap mereka yang telah menyerobot trotoar. Semuanya itu, penertibannya menjadi kewenangan Satpol PP," ujarnya.

Berangkat dari permasalahan tersebut, peneliti merasa perlu untuk mengangkatnya menjadi suatu masalah penelitian. Sehingga dalam penulisan yang akan peneliti lakukan nantinya akan diketahui bagaimana Kinerja Satuan Polisi Pamong Praja dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai penertiban pedagang kaki lima di Kecamatan Sumedang Selatan Kabupaten Sumedang. Hasil dari penelitian tersebut akan penulis susun dalam bentuk Laporan Akhir dengan judul “Kinerja Satuan Polisi Pamong Praja Dalam Menegakkan Peraturan Bupati Nomor 60 Tahun 2013 tentang Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima di Kabupaten Sumedang (Studi Pada Pedagang Kaki Lima di Kecamatan Sumedang Selatan).”

No comments:

Post a Comment

buku bimbingan

                                                                                                                                            ...

082126189815

Name

Email *

Message *