BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Budaya politik
merupakan sistem nilai dan keyakinan yang dimiliki bersama oleh masyarakat.
Namun, setiap unsur masyarakat berbeda pula budaya politiknya, seperti antara
masyarakat umum dengan para elitenya. Seperti juga di Indonesia, menurut
Benedict R. OG Anderson, kebudayaan Indonesia cenderung membagi secara tajam
antara kelompok elite dengankelompok massa.
Negara
Indonesia sebagai negara demokratis membutuhkan warga negara yang berbudaya
politik partisipan dan berorientasi setia atau mendukung sistem politik
nasional. Warga negara yang berciri demikian inilah yang memang didutuhkan bagi
sistem politik demokrasi di Indonesia.
Kehidupan manusia di dalam masyarakat, memiliki peranan
penting dalam sistem politik suatu negara. Manusia dalam kedudukannya sebagai
makhluk sosial, senantiasa akan berinteraksi dengan manusia lain dalam upaya
mewujudkan kebutuhan hidupnya. Kebutuhan hidup manusia tidak cukup yang
bersifat dasar, seperti makan, minum, biologis, pakaian dan papan (rumah).
Lebih dari itu, juga mencakup kebutuhan akan pengakuan eksistensi diri dan
penghargaan dari orang lain dalam bentuk pujian, pemberian upah kerja, status
sebagai anggota masyarakat, anggota suatu partai politik tertentu dan
sebagainya.
Setiap warga negara, dalam kesehariannya hampir selalu
bersentuhan dengan aspek-aspek politik praktis baik yang bersimbol maupun
tidak. Dalam proses pelaksanaannya dapat terjadi secara langsung atau tidak
langsung dengan praktik-praktik politik.
B. Rumusan
Masalah
Ø Jelaskan pengertian budaya politik partisipan!
Ø Jelaskan bentuk-bentuk budaya politik
partisipan!
Ø Jelaskan budaya politik yang bertentangan
dengan semangat pembangunan politik bangsa!
Ø Jelaskan contoh budaya politik partisipan dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara!
Ø Jelaskan contoh perilaku yang berperan aktif
dalam politik yang berkembang di masyarakat!
C. Tujuan
Ø Untuk
mengetahui pengertian budaya politik partisipan
Ø Untuk
mengetahui bentuk-bentuk budaya politik partisipan
Ø Untuk
mengetahui budaya politik yang bertentangan dengan semangat pembangunan politik
bangsa
Ø Untuk
mengetahui contoh budaya politik partisipan dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara
Ø Untuk
mengetahui contoh perilaku yang berperan aktif dalam politik yang berkembang di
masyarakat
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Budaya Politik Partisipan
Budaya politik
yang partisipasif adalah budaya politik yang demokratik, dalam hal ini,
akan mendukung terbentuknya sebuah sistem politik yang demokratik dan stabil.
Budaya politik yang demokratik ini menyangkut “suatu kumpulan sistem
keyakinan, sikap, norma, persepsi, dan sejenisnya, yang menopang terwujudnya
partisipasi,” kata Almond dan Verba.
Masayarakat dalam budaya politik ini mamahami bahwa
mereka berstatus warga negara dan memberikan perhatian terhadap sistem politik.
Masyarakat memiliki kebangsaan dan kemaua untuk berperam dalam sistem politik.
Selain itu, masyarakat dalam budaya politik imi memiliki keyakinan dapat
memengaruhi pengambilan kebijakan publik dan membentuk kelompok untuk melakukan
protes jika pelaksamaa pemerintah tidak transparan.
Dalam budaya politik partisipan ini, demokrasi dapat
berkembang dengan baik. Hal ini dikarenakan terjadinya hubungan yang harmonis
antara warga negara dan pemerintah yang ditunjuk oleh tingkat kompetensi
politik (penyelesaian sesuatu secara politik), dan tingkat efficacy (keberdayaan).
Dapat dikatakan bahwa tipe budaya ini merupakan kondisi ideal bagi secara
politik.
Dalam budaya politik partisipan, orientasi politik warga
terhadap kesulurahan objek, baik umum, input, maupun output secara pribadinya
mendekati satu atau dapat dikatakan tinggi.
Menurut Bronson dan
kawan-kawan dalam bukunya Belajar Civic Education dari
Amerika,beberapa karakter publik dan privat sebagai perwujudan budaya
partisipan sebagai berikut:
a. Menjadi anggota
masyarakat yang independen. Karakter ini meliputi,
1. Kesadaran pribadi untuk bertanggung
jawab sesuai ketentuan, bukan karena keterpaksaan atau pengawasan dariluar;
2. Bertanggung jawab atas tindakan yang
di perbuat;
3. Memenuhi kewajiban moral dan hukum
sebagai anggota masyarakat demokrtis.
b. Memenuhi tanggung
jawab personal kewargaan dibidang ekonomi dan politik. Tanggung jawab ini
antara lain meliputi:
1.
Memelihara
atau menjaga diri;
2.
Memberi
nafkah dan merawat keluarga;
3.
Mengasuh
dan mendidik anak.
Didalamnya
termasuk pula mengikuti informasi tentang isu-isu publik, seperti:
1.
Menentukan
pilihan (voting);
2.
Membayar
pajak;
3.
Menjadi
juri di pengadilan;
4.
Melayani
masyarakat;
5.
Melakukan
tugas kepemimpinan sesuai bakat masing-masing.
c. Menghormati
harkat dan marabat kemanusiaan setiap invidu.
1.
Menghormati
orang lain berarti mendengarkan pendapat mereka.
2.
Bersifat
sopan.
3.
Menghargai
hak-hak dan kepentingan-kepentingan sesama warga negara.
4.
Meengikuti
aturan “prinsip mayoritas” namun tetap menghargai hak-hak minoritas untuk
berbeda pendapat.
d. Berpartisipasi dalam
urusan-urusan kewarganegaraan secara efektif dan bijaksana. Karakterini
merupakan sadar informasi sebelum :
1. Menentukan pilihan (voting) atau
berpartisipasi dalam debat publik:
2. Terlibat dalam diskusi yang santun
dan serius;
3. Memegang kendali dalam
kepemimpinan bila di perlukan;
4. Membuat evaluasi tentang kapan
saatnya kepentingan pribadi seseorang sebagai warga negara harus di
kesampingkan demi memenuhi kepentingan publik;
5. Mengavaluasi kapan seseorang karena
kewajiban atau prinsip-prinsip konstitusional di haruskan menolak
tuntutan-tuntutan kewarganegaraan tertentu.
e. Mengembangkan
fungsi demokrasi konstitusional secara sehat. Karakter ini meliputi:
1.
Sadar
informasi dan kepekaan terhadap unsur-unsur publik;
2.
Melakukan
penalahan terhadap nilai-nilai dan prinsip-prinsip konstitusional;
3.
Memonitor
keputusan para pemimpin politik dan lembaga-lembaga publik agar sesuai dengan
nilai-nilai dan prinsip-prinsip tadi;
4.
Mengambil
langkah-langkah yang di perlukan bila ada kekurangannya.
5.
Karakter
ini mengarahkan warga negara agar bekerja dengan cara-cara yang damai dan legal
dalam rangka mengubah undang-undang yang dianggap tidak adil dan tidak
bijaksana.
Budaya politik partisipan adalah salah
satu jenis budaya politik bangsa. Dalam
budaya politik partisipan, orientasi politik warga terhadapkesluruhan objek
politik, baik umum, input dan output, maupun pribadinya mendekati satu atau
dapat dikatakan tinggi. Berdasar hal ini maka ciri-ciri budaya politik
partisipan adalah sebagai berikut:
a. Anggota masyarakat sangat partisipatif
terhadap semua objek politik, baik menerima maupun menolak suatu objek politik
b. Kesadaran bahwa
ia adalah warga negara yang aktif dan berperan
sebagai aktivis
c. Warga menyadari
akan hak dan tanggung jawabnya (kewajibannya) dan mampu mempergunakan hak itu
serta menanggung kewajibannya
d. Tidak menerima
begitu saja keadaan, tunduk pada keadaan, berdisiplin, tetapi dapat menilai
dengan penuh kesadaran semua objek politik, baik keseluruhan, input, output
ataupun posisi dirinya sendiri
e. Kehidupan politik dianggap sebagai sarana trnsaksi
seperti halnya penjual dan pembeli. Warga dapat menerima berdasar kesadaran,
tetapi juga mampu menolak berdasarkan penilaiannya sendiri
B. Bentuk-Bentuk
Budaya Politik
Partisipan
Sebagai komunitas warga negara yang
terdidik dan terpelajar,hendaknya kita memiliki peran besar (partisipasi
aktif)untuk melakukan perubahan politik yang lebih baik dan berbudaya. Melalui
sarana pemilihan umum, kita dapat menjadikannya sebagai momentum untuk
mendorong perubahan sosial politik, politik ekonomi, budaya, dan lain-lain ke
arah yang lebih baik dan demokratif melalui pemerintahanyang dipilah melalui
pemilu, secara damai dan beradab (berbudaya). Semua itu dimaksudkan sebagai
upaya melakukan pendidikan budaya politik partisipan (rakyat) yang lebih luas
karena dengan demikian akan dapat digunakan sebagai salah satu rujukan untuk
menentukan pilihan dalam pemilu secara arif, bijaksana, kritis, dan rasional.
Dalam setiap tahapan pemilu, kita
sebagai simpatisan (kader) partai politik, ataupu kaum terpelajar tidak ada
larangan untuk mengikutinya. Namun demikian, hal yang perlu dikedepankan dalam
kampanye adalah situasi damai karena dalam kampanyenya sering kali terjadi
persinggungan antar massa pendukung dari partai politik (simpatisan dan kader)
partai politik. Bermula dari saling mengejek dan saling hina di antara mereka
ketika berpapasan di jalan raya dalam situasi kampanye, perkelahian antar massa
pendukung partai politik seringkali terjadi.
Untuk mewujudkan situasi seperti itu
dibutuhhkan toleransi yang besar terhadap kelompok yang berbeda pandangan
politik dan juga sikap anti kekerasan. Pelajar yang ingin aktif dalam kampanye
harus sadar bahwa tindakan brutal, kekerasan, dan keseluruhan hanya akan
merusak situasi pemilu yang demokratis dan beradab. Untuk itu, kita harus sadar
bahwa brutalisme, kekerasan, dan kerusuhan yang mengiringi proses pemilu
sebenarnya adalah tindakan yang sangat bertentangan dengan nilai-nilai
demokratis dan budaya politik bangsa Indonesia. Albert Camuspernah
mengatakan bahwa I’ anarchie est I’abus de la democratie, anarkisme
adalah penyelewengan dari demokrasi.
C. Budaya
Politik Yang Bertentangan dengan Semangat Pembangunan Politik Bangsa
Suatu pemerintahan dengan budaya
politik yang bertentangan dengan semangat pembangunan politik bangsa yang
transparan (terbuka) apabila dalam penyelenggaraan sistem politik
pemerintahannya tidak terdapat kebebasan aliran informasi dalam berbagai proses
kelembagaan sehigga tidak mudah di akses oleh masyarakat sebagai warga bangsa
yang membutuhkan.
Budaya politik feodalisme yang
terjadi adalah merupakan sebuah sistem pemerintahan dimana seorang pemimpin
bangsawan memiliki anak buah banyak yang juga masih dari kalangan
bangsawan,tetapi lebih rendah mereka biasa disebut vazal. Dalam penggunaan
bahasa sekalipun, sering kalli digunakan untuk menunjuk para perilaku-perilaku
negatif yang mirip dengan perilaku para penguasa yang zalim,seperti
kolot,selalu ingin di hormati atau bertahan pada nilai-nilai lama yang sudah
banyak di tinggalkan,artinya sudah banyak tidak sesuai lagi dengan
pengertian politik yang sesungguhnya.
Realitas budaya politik masih
menjadi kendala bagi proses pendidikan politik karena masih di warnai oleh
kuatnya pengaruh nilai-nilai feodalisme,primordialisme,dan paternalisme berlebihan
dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Kondisi itu di perparah dengan makin
sulitnya mencari figur-figur yang dapat diteladani dalam kepemimpinan nasional.
Keadaan ini di rasakan mempersuli mahasiswa dan kaum yang terpelajar dalam
mengoperasionalkan konsep dan nilai-nilai yang terkandung dalam khasanah budaya
bangsa.
Banyak kalangan berpendapat, di era
Orde Reformasi ini,korupsi,kolusi,dan nepotisme(KKN) tetap hidup dan bahkan
makin berkembang(wajah baru KKN). Pemilihan pejabat publik, baik di pemerintahan
maupun BUMN, masih menggunakan cara lama; siapa dekat dia dapat. Pertimbangan
profesional buakn acuan utama. Akibat KKN,harta republik telah menjadi “barang
jarahan” yang hanya menguntungkan sedikit orang.
Tindakan KKN memiliki kecendrungan
“terstruktur” dalam kehidupan masyarakat politik. Tentang perubahan struktur
ini, para ilmuan sosial memasuki perdebatan yang melelahkan,bahkan hampir tidak
dapat diselesaikan. Dari kacamata strukturalisme,perilaku individu akan
ditentukan oleh kondisi strukturalnya (structure conduct performance). Sebaliknya
dari kacamata individualisme, struktur adalah hasil perilaku para aktor
politik. Titik tengahnya adalah menganggap bahwa aksi para individu dan
struktur adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan (dualitas). Aksi individu
hanya bisa dipahami dari dan sebaliknya struktur hanya biasa dijelaskan dari
aksi para individunya (Giddens, 1984). Dalam kacamata strukturasi ini, tiap
individu memiliki kebebasan untuk melakukan aksi, tetapi dalam kerangka “aturan
main” tertentu yang memengaruhinya. Dalam pengertian neoinstitusionalisme, ada
“roh” yang memengaruhi cara pandang (sense making) para individu
yang akan menghalangi (contraining) atau mendorong (enabling) tindakan
tertentu. Weick (1979) menyebut lingkungan sosial sebagai sesuatu yang
mendorong (enactment) aksi individu.
Suatu hal yang patut kita sayangkan
adalah hingga saat ini “belum pernah” atau “belum ada” contoh yang baik tentang
penegakan perilaku KKN. Masih banyak birokrat dan pejabat tinggi negara yang
terang-terangan melakukan praktik ini. Dengan demikian, tidak mengherankan
apabila semua orang berlomba-lomba untuk melakukan hal yang tampaknya bersifat
profesional.
Ada beberapa alasan yang
melatarbelakangi orang berperilaku tidak mau melibatkan diri dalam politik
(partisipan). Robert dahl menyebutkan alasan sebagai berikut.
1. Orang
mungkin kurang tertarik dalam politik jika mereka memandang rendah terhadap
segala manfaat yang diharapkan dari keterlibatan politik, dibandingkan dengan
manfaat yang akan diperleh dari berbagai aktivitas lainnya.
2.
Orang merasa tidak melihat adanya perbedaan yang tegas dengan keadaan
sebelumnya, sehingga apa yang dilakukan seorang tersebut tidaklah menjadi
persoalan.
3.
Seseorang cenderung kurang terlibat dalam politik jika merasa bahwa
tidak ada masalah terhadap hal yang dilakukan, karena ia tidak dapat
mengubah dengan jelas hasilnya.
4. Seseorang
cenderung kurang terlibat dalam politik jika merasa bahwa hasil-hasilnya
relatif akan memuaskan orang tersebut sekalipun ia tidak berperan di dalamnya.
5. Jika
pengetahuan seseorang tentang politik tersebut terlalu terbatas untuk dapat
menjadi efektif.
6.
Semakin besar kendala yang dihadapi dalam perjalanan hidup, semakin kecil
kemungkinan bagi seseorang untuk terlibat dalam politik.
D. Contoh
Budaya Politik Partisipan dalam Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa, dan
Bernegara
1.
Kritis Memilih Partai Politik, Anggota
Parlemen(DPR/DPRD dan DPD)
Sikap kritis dalam pemilu juga harus diarahkan pada
partai politik, calon anggoya Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan anggoya
legislatif, mulai dari tingkat pusat sampai dengan kabupaten/kota. Sikap kritis
ini sangat penting karena merekalah yang akan mewakili rakyat Indonesia untuk
memperjuangkan aspirasi politik rakyat. Kritisme pada partai politik siarahkan
pada platform partai politik untuk memperjuagkan aspirasi dan kesejahteraan
rakyat Indonesia.
Dalam sistem proporsional terbuka, rakyatlah yang
berkuasa menentukan kelayakan calin anggota legislatif. Untuk itu,
masyarakat pemilih harus melakukan seleksi dan penyaringan secara ketat
terhadap para calin tersebut, baik dari segi moral maupun kapasitasnya. Jika
terdapat calon anggota legislatif tidak memenuhi persyaratan moral, kewibawaan
dan kejujuran (integritas), dapat dipercaya (kredibilitas), dan memiliki
kemampuan/keahlian pada umumnya (akuntabilitas publik) maka sikap terbaik
masyarakat pemilih tentunya adalah tidak memilih calon tersebut.
Di alam keterbukaan dan informasi ini, rakyat tentunya
dapat mengakses informasi seluas-luasnya tentang perilaku politik seorang calin
anggota legislatif ataupun partai politik. Dengan demikian, rakyat sebenarnya
dapat menentukan secara objektif siapa dan partai apa yang benar-benar
memperjuangkan kepentingan rakyat ataukah hanya sekadar menjual janji-janji
muluk belaka.
1.
2. Kritis Memilih Presiden dan
Wakil Presiden
Kritisme pada pemilihan presiden dan wakil presiden lebih
ditekankan pada kualitas diri calon yang akan dipilih tersebut, baik dari segi
visi kenegaraan, kredibilitas moral, amanah, kapabilitas, maupun kebersihan
dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Okeh karena itu, masyarakat
pemilih perlu mengetahui terlebih dahulu track record cali
presiden dan wakil presiden. Masyarakat pemilih perlu mengikuti perkembangan
informasi melalui media massa dan berbagai sumber informasi lain uang akurat
untuk melakukan pemeriksaam kembali (cross check) tentang kredibilitas
moral dan kapabilitas calon presiden maupun wakil presiden.
1.
3. Kritisme dalam
Mewujudka Pemilu Luber dan Jurdil
Pemilu yang Luber dan Jurdil merupakan harapan dari
segenap rakyat Indonesia, sekaligus merupakan perwujudan dari pemilu yang
demokratis. Oleh karena itu, sikapa kritis dari pemilih dan warga Idonesia
sengat diperlukan untuk mewujudkan pemilu yang Luber dan Jurdil. Untuk itu
diperlukan persyaratan minimal, di antaranya sebagai berikut.
a) Peraturan perundangan yang mengatur pemilu
harus tidak tidak membuka peluang bagi terjadinya tindak kecurangan ataupun
menguntungkan satu atau beberapa pihak tertentu.
b) Peraturan pelaksanaan pemilu yang
memuat petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan pemilu harus tidak membuka
peluang bagi terjadinya kecurangan ataupun menguntungkan satu atau
beberapa pihak tertentu.
c) Badan/lembaga
penyelenggara maupun panitia pemilu baik di tingkat pusat maupun daerah harus
bersifat mandiri dan independen.
d) Partai politik peserta pemilu memiliki kesiapan
yang memadai untuk terlibat dalam penyelenggaraan pemili, khususnya yang
berkaitan dengan kepanitiaan pemilu serta kemampuan mempersiapkan saksi-saksi
di tempat pemungutah suara,
e) Lembaga/organisasi/jaringan
pemamtauan pemilu harus terlibat aktif dalam suatu proses dan tahapan
pemilu di semua tingkatan di seluruh wilayah pemilihan untuk memantau
perkembangan penyelenggaraan pemilu.
f) Anggota masyarakat
luas, baik secara perorangan dan kelompok maupun yang terhimpun dalam
organisasi-organisasi kemasyarakatan harus aktif dalam memantau setiap
perkembangan penyelenggaraan pemilu daerah masing-masing.
g) Insan pers dan media massa harus memberikan
perhatian secara khusus pada setiap penyelenggaraan pemilu.
h) Memupuk kesadaran politik setiap
warga negara supaya semakin sadar akan hak politiknya dalam pemilu.
E. Contoh Perilaku yang
Berperan Aktif dalam Politik yang Berkembang di Masyarakat
Komunitas
pelajar seharusnya memilliki peran besar untuk melakukan perubahan sosial
politik yang lebih baik. Melalui pemilu, pelajar bisa menjadikannya sebagai
momentun untuk mendorong perubahan sosial, politik, ekonomi, budaya, dan
lain-lain kearah yang lebih baik dengan melalui pemerintahan yang dipilih
melalui pemilu. Selain itu, pemilu harus juga menjadikan momentum yang damai
dan beradap. Semua ini dimaksudkan sebagai upaya melakukan pendidikan politik
rakyat yang lebih luas, karena dengan demikian pelajar sebagai komunitas
terpelajar dan terdidik bisa menjadi salah satu rujukan untuk menentukan
pilihan pemilu secara arif, bijaksan, krisis, dan rasional.
Berkaitan
dengan kenyataan tersebut, maka keberadaan pelajar sebagai pemilih pemilu perlu
mengambil sikap dan langkah-langkah yang positif dan konstruktif dalam
penyelenggaraan pemilihan umum, antara lain sebagai berikut.
1. Aktif tanpa
kekerasan dalam pemilihan umum
Pelajar
hendaknya berpartisipasi secara aktif dalam pemilihan umum, tetapi hindarkan
diri dari kekerasan dan anarkisme massa, ciptakan pemilu yang demokratis,
damai, dan beradap.
2. Pemilhan umum
sebagai gerakan anti korupsi
Pelajar sebagai
pemilih pemula aktif dan selektif dalam memilih calon pemimpin nasional dan
wakil-wakil yang bersih, agar kelak dalam melaksanakan pemerintahan tidak
melakukan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.
3. Anti terhadap Money
PoliticsI
Money Politics merupakan salah satu bentuk
kecurangan dalam pemilu. Pelajar sebagai pemilih pemula hendaknya menggunakan
hati nurani dan akal pikiran yang sehat ketika menggunakan hak pilihnya di
dalam memilih pemilu.
4. Tidak
mudah dieksploitasi
Pemilu
merupakan salah satu media pembelajaran politik bagi terbentuknya komunikasi
politik yang demokratis dimasa mendatang. Oleh karena itu, pelajar sebagai
pemilih pemula jangan mudah dieksploitasi dalam pemilu untuk kepentingan sesaat
kelompok tertentu.
5. Tidak Apatis
Komunitas
pelajar yang memiliki jumlah signifikan jangan bersikapa apatis dalam pemilu.
Gunakan hak pilih dengan menggunakan hati nurani dan akal pikiran yang sehat
ketika memilh wakil-wakil raktyat yang duduk di perlement, presiden dan wakil
presiden, partai politik sebagai kontestan dalam pemilu, dan sebagainya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari
pembahasan di atas kami dapat menarik kesimpulan bahwa:
Budaya politik yang
partisipasif adalah budaya politik yang demokratik, dalam hal ini, akan
mendukung terbentuknya sebuah sistem politik yang demokratik dan stabil.
Budaya politik partisipan adalah salah
satu jenis budaya politik bangsa. Dalam
budaya politik partisipan, orientasi politik warga terhadap kesluruhan objek
politik, baik umum, input dan output, maupun pribadinya mendekati satu atau
dapat dikatakan tinggi.
B. Saran
Setiap warga
negara, dalam kesehariannya hampir selalu bersentuhan dengan aspek-aspek
politik praktis baik yang bersimbol maupun tidak. Dalam proses pelaksanaannya
dapat terjadi secara langsung atau tidak langsung dengan praktik-praktik
politik. Maka diharapkan
kepada warga negara yang berbudaya politik partisipan dan berorientasi
setia atau mendukung sistem politik nasional.
DAFTAR PUSTAKA
Bambang
S. dan Sugiyarto. 2007. PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Untuk SMA/MA
Kelas XI
Jutmini
sri dan Winarno.2006. PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Untuk SMA/MA Kelas XI
Tim
Edukatif HTS. 2006. Modul Kewarganegaraan Untuk SMA/MA
Semester Gasal. Surakarta: Penerbit Hayati Tumbuh Subur
Tim
SIMPATI. 2006. LKS SIMPATI Untuk SMA/MA Semester Ganjil. Surakarta:
Penerbit Grahadi
No comments:
Post a Comment