BAB I
PENDAHULUAN
1.Latar
Belakang
Soekarno Merupakan Sosok Yang Jasanya Tidak Bisa
Dilupakan Begitu Saja Dalam Membangun Negeri Ini. Peranan Besar Yang Telah
Dilakukan Oleh Kedua Orang Ini, Terutama Dalam Hal Memerdekakan Bangsa
Indonesia Dari Belenggu Penjajahan Akan Selalu Terpatri Sebagai Jasa-Jasa Yang
Tidak Akan Tergerus Selamanya Oleh Masa. Memang, Jika Kita Amati. Sosok Kedua
Bapak Bangsa Ini Merupakan Pribadi Yang Unik Satu Sama Lainnya. Pribadi Yang
Saling Melengkapi Dan Mengisi Kekurangan-Kekurangan Yang Ada Diantara Mereka.
Sebagai Sosok Yang Memiliki Label Penggerak Massa,
Soekarno Memiliki Peranan Sebagai Pemain Depan Yang Dengan Jelas Terlihat
Bagaimana Pola Pikir Dan Cara Berbicaranya Ketika Berada Di Depan Podium Untuk
Berpidato. Soekarno Adalah Singa Podium Yang Berjuluk “Penyambung Solidaritas
Rakyat”. Ia Memainkan Peran Dalam Menyampaikan Pesan Persatuan Dan Kesatuan
Untuk Tercapainya Indonesia Merdeka.
1.2 Rumusan Masalah
· Biografi
Soekarno
· Pemikiran
Soekarno
BAB II
PEMBAHASAN
1. Biografi Soekarno
Ir.
Soekarno (Lahir Di Blitar Pada 6 Juni 1901-
Meninggal Pada Tanggal 21 Juni 1970 Di Kota Blitar, Jawa Timur).
Ayahnya Raden Sukemi Sosrohadihardjo, Adalah Seorang Priyayi Rendahan Yang
Bekerja Sebagai Guru Sekolah Dasar. Ibunya Nyoman Rai Berdarah Biru Dari Bali
Dan Beragama Hindu. Pertemuan Mereka Terjadi Ketika Raden Sukemi, Yang Sehabis
Menyelesaikan Studi Di Sekolah Pendidikan Guru Pertama Di Kabupaten
Probolinggo, Jawa Timur, Ditempatkan Di Sekolah Dasar Pribumi Di Singaraja,
Bali.
Dalam Usia Kanak-Kanak, Soekarno Tinggal Dan Diasuh
Oleh Kakeknya. Raden Hardjokromo Di Tulung Agung, Jawa Timur. Kakeknya Adalah
Seorang Pedagang Batik, Yang Secara Tidak Langsung Membantu Penghidupan Dari
Kedua Orang Tua Soekarno Yang Pada Waktu Itu Tidak Memiliki Penghasilan Yang
Cukup Untuk Menghidupi Dirinya Dan Kakaknya. Kecintaan Soekarno Terhadap Wayang
Kulit, Mulai Tumbuh Selama Tinggal Bersama Kakeknya. Ia Sering Kali Menonton
Wayang Kulit Sampai Larut Malam. Kesenangannya Menonton Wayang Membuatnya
Terkesan Dengan Tokoh Bima Dibandingkan Dengan Tokoh Lain.
Tokoh Bima Juga Memiliki Pengaruh Yang Besar Dalam
Sikap Dan Pandangan Politiknya Kelak. Sikap Nonkooperasi Terhadap
Musuh-Musuhnya, Kaum Imperialis Maupun Kaum Kapitalis, Serta Kesediaannya Dalam
Waktu Bersamaan Berkompromi Dengan Sesama Rekan Perjuangannya Meskipun Berpeda
Pandangan Praktis Dapat Dikatakan Berasal Dari Bima.
Di Tulung Agung, Ia Pertama Kali Masuk Sekolah. Tetapi
Ia Kurang Mempergunakan Kesempatan Sebaik Mungkin Untuk Belajar. Hal Ini
Disebabkan Ia Lebih Sering Melamun Tentang Kisah Perang Bharata Yudha. Namun,
Sisi Keingintahuan Yang Besar Dan Minatnya Terhadap Pengetahuan Sudah Mulai
Tumbuh Pada Saat Ini. Berkat Sifat Keingintahuan Yang Dimiliki Olehnya,
Soekarno Memiliki Wawasan Yang Lebih Luas Daripada Teman-Teman Sebayanya.
Tidak Lama Kemudian, Setelah Kedua Orang Tuanya Pindah
Ke Sidoarjo Dan Mendapat Jabatan Sebagai Kepala Eerste Klasse School Di
Mojokerto. Di Sini, Kepandaiannya Mulai Terlihat Dengan Jelas. Mungkin Ini
Disebabkan Oleh Profesi Ayahnya Yang Juga Seorang Guru Sehingga Dapat Mengawasi
Kegiatan Belajar Mengajar Anaknya Secara Langsung. Kemudian, Raden Sukemi
Memasukkan Soekarno Ke Europeesche Lagere School (E.L.S). Sekolah Tersebut
Didirikan Guna Memenuhi Kebutuhan Anak-Anak Pekerja Di Pabrik Gula.
Selama Bersekolah Di Sini. Soekarno Merasakan Adanya
Diskriminasi Yang Diberlakukan Kepada Kaumnya. Hanya Bumiputera Tertentu Yang
Mendapatkan Kesempatan Untuk Mendapatkan Hak Istimewa Itu. Mereka Yang Bukan
Anak Pejabat Hanya Bisa Masuk Ketika Ada Izin Khusus Dari Residen Dan Memenuhi
Syarat-Syarat Tertentu. Sebelum Ia Menginjakkan Kaki Di Tempat Tersebut, Pada
Tahun 1913, Soekarno Harus Mengorbankan Waktunya Untuk Memperdalam Bahasa Belanda
Pada Juffrow M.P De La Riviera, Guru Bahasa Belanda Di ELS. Selama Bersekolah
Di ELS Soekarno Juga Mengalami Cinta Pertama Kepada Seorang Gadis Belanda Yang
Bernama, Rikameelhuysen. Tetapi, Hubungan Mereka Berdua Ditentang Oleh Ayah
Sang Gadis Karena Melihat Kedudukan Soekarno Yang Hanya Merupakan Pribumi.
Meskipun, Akhirnya Hubungan Itu Putus Dan Soekarno Dihina. Ia Tidak Marah
Karena Menganggap Hal Itu Sudah Biasa.
Pribadi Soekarno, Selain Banyak Mendapatkan Pendidikan
Di ELS. Ia Juga Mendapatkan Pendidikan Dari Ayahnya Dengan Keras, Penuh
Disiplin, Tetapi Di Sisi Lain Mengajarkan Untuk Mencintai Makhluk Tak Berdaya.
Sedangkan Dari Ibunya, Idayu, Ia Mendapatkan Pengaruh Mistik Dari Pemikiran
Hindu Dan Sifat Yang Lemah Lembut Serta Kasih Sayang. Dari Pembantunya Sarinah,
Sebagaimana Diungkapkan Oleh Soekarno Sendiri, Ia Memperoleh Pengaruh
Kemanusiaan Dan Sikap Emansipasif. Ia Amat Terkesan Dan Mengagumi Sikap
Perempuan Tersebut. Meskipun Ia Hanya Seorang Pembantu, Di Mata Soekarno Ia
Adalah Perempuan Bijaksana Dan Berbudi Luhur.
Setelah Menyelesaikan ELS Di Mojokerto, Pada Tahun
1915, Sukarno Ingin Melanjutkan Pelajarannya Di Hogere Burger
School (HBS). Agar Soekarno Diterima Sebagai Siswa HBS, Ayahnya
Menggunakan Pengaruh Kawannya Untuk Memasukkan Ke Sekolah Tertinggi Yang Ada Di
Jawa Timur Tersebut. Melalui Jasa Baik, H.O.S Tjokrominoto, Soekarno Akhirnya
Diterima Di Sana. Bahkan Tokoh Gerakan Massa Nasionalis Islam Itu Memberikan
Pondokan Di Kediamannya, Walaupun Ia Tidak Mendapatkan Kamar Yang Baik. Ia
Menempati Sebuah Kamar Yang Gelap Tanpa Jendela Dan Daun Pintu. Sebagai
Penerangan Lampu Pijar Yang Menyala Sepanjang Hari. Tetapi Ia Menerima
Kenyataan Tersebut Tanpa Menggerutu. Karena Memang Tidak Ada Kamar Lagi Dan
Hanya Itulah Satu-Satunya Kamar Yang Belum Terisi Dan Soekarno Menjadi
Penghuninya. Tetapi Yang Penting Bagi Ayahnya Adalah Anaknya Dapat Tinggal Satu
Atap Dengan “Raja Jawa” Yang Tak Bermahkota.
Alasan Dari Sukemi Untuk Menitipkan Soekarno Kepada
Tjokrominoto Dijelaskan Oleh Soekarno Dalam Buku Biografinya Yang Ditulis Oleh
Cindy Adams (1966), Sebagaimana Yang Diungkap Oleh Soekarno: “Tjokro
Adalah Pemimpin Baik Dari Orang Jawa. Sungguhpun Engkau Akan Mendapat
Pendidikan Belanda, Aku Tidak Ingin Darah Dagingku Menjadi Kebarat-Baratan. Karena
Itu Kukirim Kepada Tjokro Orang Yang Dijuluki Belanda Sebagai Raja Jawa Yang
Tidak Dinobatkan. Aku Tidak Ingin Melupakan, Bahwa Warisanmu Adalah Untuk
Menjadi Karna Kedua.”
Selama Berada Di Surabaya, Soekarno Banyak Mendapatkan
Pengaruh Pemikiran Barat Yang Modern. Perpisahan Dengan Orang Tua Dan
Lingkungan Desanya Juga Memberikan Pengaruh Postitif Bagi Dirinya. Soekarno
Berada Di Surabaya Selama Lima Tahun. Selama Itu Ia Tinggal Di Rumah
Tjokrominoto. Di Tempat Itulah Pendidikan Politik Soekarno Dimulai Dengan
Interaksi Dengan Berbagai Pemahaman Pemikiran Yang Ada Disana. Soekarno Juga
Berkenalan Dengan Orang-Orang Beraliran Sosialis, Seperti Alimin, Muso, Dan
Dharsono Yang Juga Mendapat Kedudukan Penting Dalam Kepengurusan Sarekat Islam
Maupun Di Dalam KeanggotaanIndische School Democratische
Vereeniging (ISDV).
Sebagai Remaja Yang Gelisah, Ia Menyalurkan
Aspirasinya Melalui Suratkabar Milik Sarekat Islam, Oetoesan Hindia. Ia
Menuangkan Pemikiran Dengan Nama Samaran ‘Bima”. Menurut
Pengakuannya, Penggunaan Nama Samaran Itu Dimaksudkan Agar Ia Tidak Dimarahi
Oleh Ayahnya. Sebab Ayahnya Akan Marah Apabila Mengetahui Anaknya Membahayakan
Masa Depannya Sendiri. Memang Kata-Kata Yang Digunakan Soekarno Cukup Tajam
Seperti“Hancurkan Segera Kapitalisme Yang Dibantu Oleh Budaknya, Imperialisme.
Dengan Kekuatan Islam, Insya Allah Itu Segera Dilaksanakan.” Di
Samping Itu, Soekarno Juga Aktif Dan Melibatkan Dirinya Dalam Organisasi
Pemuda Tri Koro Darmo Cabang Surabaya, Yang Dibentuk Pada 1915
Sebagai Bagian Dari Organisasi Budi Oetomo. Kemudian Berganti Nama
Menjadi Jong Java Pada 1918.
Setelah Menyelesaikan Pendidikannya Di HBS Pada 10
Juni 1921. Soekarno Beserta Istrinya, Siti Oetari Tjokrominoto, Puteri
Tjokrominoto Yang Dinikahi Olehnya Pada 1920 Atau 1921, Meninggalkan Surabaya
Menuju Bandung. Disana Ia Bersama Istrinya Berdiam Di Kediaman Haji Sanusi,
Anggota Sarekat Islam Dan Juga Kawan Akrab Tjokrominoto. Di Tempat Itu Pula
Soekarno Pertama Kali Bertemu Dengan Inggit Garnasih, Isteri Haji Sanusi. Kota
Bandung Mempunyai Iklim Ideologis Yang Khas Jika Dibandingkan Dengan Kota-Kota
Lain. Jika Sarekat Islam Berpusat Di Surabaya, Maka Semarang Dikenal Sebagai
Pusat Pemikiran Marxisme. Kedua Kota Ini Saling Mempengaruhi Dan Saling Berebut
Pengaruh.
Tetapi Bandung Justru Bandung Menampilkan Watak Yang
Berlainan Dengan Kedua Kedua Kota Di Atas. Sebab Di Kota Bandung Telah
Berkembang Sebuah Pemikiran Bahwa Tujuan Pergerakan Adalah Kemerdekaan Penuh
Bagi Indonesia. Gagasan-Gagasan Ini Dikembangkan Oleh Para Pemimpin Indische
Partij Yang Akhirnya Mempengaruhi Pemikiran-Pemikiran Selanjutnya.
Akhirnya Kota Bandung Menampilkan Diri Sebagai Pusat Pemikiran Nasionalis
Sekuler.
Di Kota Ini, Soekarno Berkenalan Dengan Tokoh-Tokoh
Nasionalis Sekuler, Seperti, E.F.E Douwes Dekker, Dr. Tjipto Mangunkusumo Dan
Ki Hajar Dewantara. Perkenalan Ini Telah Membawa Nuansa Baru Dalam Berpikir
Soekarno. Seperti Halnya Dalam Pendekatan Yang Diperkenalkan Oleh Douwes Dekker
Dalam Mendekati Situasi Hindia Belanda Dan Bagaimana Cara Mengubahnya Amat
Menarik Perhatian Soekarno. Pemikiran Yang Diperkenalkan Tersebut Terlihat
Berbeda Dari Pemikiran Sebelumnya Didapat Dari Tokoh-Tokoh Yang Ditemuinya.
Dengan Bertemunya Berbagai Tokoh Yang Memiliki
Berbagai Aliran Pemikiran Tentunya Membuat Pikiran Soekarno Semakin Tersusun
Secara Teratur. Di Samping Itu Kesaksiaannya Terlihat Di Depan Matanya.
Soekarno Melihat Di Lingkungan Tjokrominoto Senantiasa Timbul Pertentangan
Antara Golongan Kanan (Tjokrominoto) Dengan Golongan Kiri (Semaun-Darsono)
Dalam Sentral Serikat Islam Yang Berkedudukan Di Surabaya. Pertikaian Yang
Memuncak Tersebut Berakhir Dengan Terpecahnya Sarekat Islam Menjadi Dua Bagian,
Yakni Sarekat Islam Putih Dan Merah. Sarekat Islam Merah, Akhirnya Merubah
Dirinya Menjadi Sarekat Rakyat.
Jiwa Patriotisme Soekarno Tidak Hanya Dibentuk Melalui
Figur Seorang Tjokrominoto. Sebagaimana Diungkapkan Oleh Bob Hering, Bahwa
Adanya Interaksi Antara Soekarno Dan Para Pengikut Aliran Marxis Seperti Muso,
Alimin, Dan Semaun. Juga Para Orang-Orang Sosialisme Radikal Belanda, Seperti
Coos Hartogh, Henk Sneevliet, Dan Aser Baars. Memang
Jika Penulis Pahami, Pengaruh Nasionalisme, Islam, Dan Marxisme-Sosialisme
Sudah Memiliki Andil Yang Besar Pada Diri Soekarno Bahkan Pada Saat Dia Muda.
Secara Jelas, Ini Dibentuk Dari Keberadaan Soekarno Yang Pada Mulanya
Mendapatkan Pendidikan Politik Di Surabaya.
Pada Tahun 1926, Soekarno Mendirikan Algemene
Studie Club Di Bandung. Organisasi Ini Merupakan Cikal Bakal Dari
Partai Nasional Indonesia (PNI) Yang Didirikan Olehnya Pada Tahun 1927.
Aktivitas Soekarno Di PNI Menyebabkan Dirinya Ditangkap Oleh Belanda Pada Bulan
Desember 1929, Dan Memunculkan Pledoi Atau Pembelaannya Yang Fenomenal Dengan
Judul Indonesia Menggugat, Hingga Dibebaskan Kembali Pada Tanggal 31 Desember 1931.
Pada Bulan Juli 1932, Soekarno Bergabung Dengan Partai
Indonesia (Partindo), Yang Merupakan Pecahan Dari PNI. Akibatnya, Soekarno
Kembali Ditangkap Pada Bulan Agustus 1933, Dan Diasingkan Ke Flores. Disini,
Soekarno Hampir Hilang Dan Terlupakan Oleh Tokoh-Tokoh Nasional. Namun,
Semangat Dan Api Perjuangan Yang Tidak Pernah Padam Senantiasa Membuat Soekarno
Tetap Tegar Dalam Menghadapi Hambatan Dalam Perjuangan. Ini Terbukti Melalui
Suratnya Kepada Seorang Guru Persatuan Islam Bernama Ahmad Hassan.
Selama Menjadi Presiden, Soekarno Banyak Memberikan
Gagasan-Gagasan Di Dunia Internasional. Keprihatinannya Terhadap Nasib Bangsa
Asia-Afrika, Masih Belum Merdeka, Belum Mempunyai Hak Untuk Menentukan Nasibnya
Sendiri, Menyebabkan Presiden Soekarno, Pada Tahun 1955, Mengambil Inisiatif
Untuk Mengadakan Konferensi Asia-Afrika Di Bandung Dan Menghasilkan Dasa Sila
Bandung. Tujuan Dari KAA Adalah Untuk Menentang Tindakan Imperialisme Dan
Kolonialisme Yang Terjadi Di Dunia Yang Notabenenya Banyak Dilakukan Oleh Negara-Negara
Barat.
Setelah ‘Bercerai’ Dengan Mohammad Hatta, Pada Tahun
1955. Masa-Masa Kesuraman Pemerintahan Soekarno Sudah Mulai Tampak. Ditambah
Dengan Keadaan Politik Dalam Negeri Yang Sudah Mulai Tidak Stabil Akibat Adanya
Pemeberontakan Separatis Yang Terjadi Di Seluruh Plosok Indonesia. Dan Berpucak
Pada Pemberontakkan G 30 S/ PKI, Membuat Soekarno Di Dalam Masa Jabatannya
Tidak Bisa Memenuhi Cita-Cita Bangsa Indonesia Yang Makmur Dan Sejahtera.
Akibat Selanjutnya, Soekarno Terpaksa Dicabut Masa Jabatannya Oleh MPRS Setelah
Pidato Pertanggungjawabannya Ditolak.
2. Pemikiran Soekarno
Pada tanggal 17 Mei 1956 Presiden Soekarno Mendapat
Kehormatan Untuk Menyampaikan Pidato Di Depan Kongres Amerika Serikat Dalam
Rangka Kunjungan Resminya Ke Negeri Tersebut. Sebagaimana Dilaporkan Dalam
Halaman Pertama New York Times Pada Hari Berikutnya, Dalam Pidato Itu Dengan
Gigih Soekarno Menyerang Kolonialisme. Perjuangan Dan Pengorbanan Yang Telah
Kami Lakukan Demi Pembebasan Rakyat Kami Dari Belenggu Kolonialisme,” Kata Bung
Karno, “Telah Berlangsung Dari Generasi Ke Generasi Selama Berabad-Abad.”
Tetapi, Tambahnya, Perjuangan Itu Masih Belum Selesai. “Bagaimana Perjuangan
Itu Bisa Dikatakan Selesai Jika Jutaan Manusia Di Asia Maupun Afrika Masih
Berada Di Bawah Dominasi Kolonial, Masih Belum Bisa Menikmatikemerdekaan.
Menarik Untuk Disimak Bahwa Meskipun Pidato Itu Dengan Keras Menentang Kolonialisme Dan Imperialisme, Serta Cukup Kritis Terhadap Negara-Negara Barat, Ia Mendapat Sambutan Luar Biasa Di Amerika Serikat (AS). Namun, Lebih Menarik Lagi Karena Pidato Itu Menunjukkan Konsistensi Pemikiran Dan Sikap-Sikap Bung Karno. Sebagaimana Kita Tahu, Kuatnya Semangat Antikolonialisme Dalam Pidato Itu Bukanlah Merupakan Hal Baru Bagi Bung Karno. Bahkan Sejak Masa Mudanya, Terutama Pada Periode Tahun 1926-1933, Semangat Antikolonialisme Dan Anti-Imperialisme Itu Sudah Jelas Tampak. Bisa Dikatakan Bahwa Sikap Antikolonialisme Dan Anti-Imperialisme Soekarno Pada Tahun 1950-An Dan Selanjutnya Hanyalah Merupakan Kelanjutan Dari Pemikiran-Pemikiran Dia Waktu Muda.Tulisan Berikut Dimaksudkan Untuk Secara Singkat Melihat Pemikiran Soekarno Muda Dalam Menentang Kolonialisme Dan Imperialisme-Dan Selanjutnya Elitisme-Serta Bagaimana Relevansinya Untuk Sekarang.
Menarik Untuk Disimak Bahwa Meskipun Pidato Itu Dengan Keras Menentang Kolonialisme Dan Imperialisme, Serta Cukup Kritis Terhadap Negara-Negara Barat, Ia Mendapat Sambutan Luar Biasa Di Amerika Serikat (AS). Namun, Lebih Menarik Lagi Karena Pidato Itu Menunjukkan Konsistensi Pemikiran Dan Sikap-Sikap Bung Karno. Sebagaimana Kita Tahu, Kuatnya Semangat Antikolonialisme Dalam Pidato Itu Bukanlah Merupakan Hal Baru Bagi Bung Karno. Bahkan Sejak Masa Mudanya, Terutama Pada Periode Tahun 1926-1933, Semangat Antikolonialisme Dan Anti-Imperialisme Itu Sudah Jelas Tampak. Bisa Dikatakan Bahwa Sikap Antikolonialisme Dan Anti-Imperialisme Soekarno Pada Tahun 1950-An Dan Selanjutnya Hanyalah Merupakan Kelanjutan Dari Pemikiran-Pemikiran Dia Waktu Muda.Tulisan Berikut Dimaksudkan Untuk Secara Singkat Melihat Pemikiran Soekarno Muda Dalam Menentang Kolonialisme Dan Imperialisme-Dan Selanjutnya Elitisme-Serta Bagaimana Relevansinya Untuk Sekarang.
· Antikolonialisme
Dan Anti-Imperialisme
Salah Satu Tulisan Pokok Yang Biasanya Diacu Untuk
Menunjukkan Sikap Dan Pemikiran Soekarno Dalam Menentang Kolonialisme Adalah
Tulisannya Yang Terkenal Yang Berjudul Nasionalisme, Islam Dan Marxisme”. Dalam
Tulisan Yang Aslinya Dimuat Secara Berseri Di Jurnal Indonesia Muda Tahun 1926
Itu, Sikap Antikolonialisme Tersebut Tampak Jelas Sekali. Menurut Soekarno,
Yang Pertama-Tama Perlu Disadari Adalah Bahwa Alasan Utama Kenapa Para
Kolonialis Eropa Datang Ke Asia Bukanlah Untuk Menjalankan Suatu Kewajiban
Luhur Tertentu. Mereka Datang Terutama “Untuk Mengisi Perutnya Yang Keroncong
Belaka.” Artinya, Motivasi Pokok Dari Kolonialisme Itu Adalah Ekonomi.
Sebagai Sistem Yang Motivasi Utamanya Adalah Ekonomi,
Soekarno Percaya, Kolonialisme Erat Terkait Dengan Kapitalisme, Yakni Suatu
Sistem Ekonomi Yang Dikelola Oleh Sekelompok Kecil Pemilik Modal Yang Tujuan
Pokoknya Adalah Memaksimalisasi Keuntungan. Dalam Upaya Memaksimalisasi
Keuntungan Itu, Kaum Kapitalis Tak Segan-Segan Untuk Mengeksploitasi Orang
Lain. Melalui Kolonialisme Para Kapitalis Eropa Memeras Tenaga Dan Kekayaan
Alam Rakyat Negeri-Negeri Terjajah Demi Keuntungan Mereka. Melalui Kolonialisme
Inilah Di Asia Dan Afrika, Termasuk Indonesia, Kapitalisme Mendorong Terjadinya
Apa Yang Ia Sebut Sebagai Exploitation De L’homme Par L’homme Atau Eksploitasi
Manusia Oleh Manusia Lain.
Soekarno Menentang Kolonialisme Dan Kapitalisme Itu.
Keduanya Melahirkan Struktur Masyarakat Yang Eksploitatif. Sebagai Suatu Sistem
Yang Eksploitatif, Kapitalisme Itu Mendorong Imperialisme, Baik Imperialisme
Politik Maupun Imperialisme Ekonomi. Tetapi Soekarno Muda Tak Ingin Menyamakan
Begitu Saja Imperialisme Dengan Pemerintah Kolonial. Imperialisme.
· Anti-Elitisme
Selain Kolonialisme Dan Imperialisme, Di Mata Soekarno
Ada Tantangan Besar Lain Yang Tak Kalah Pentingnya Untuk Dilawan, Yakni
Elitisme. Elitisme Mendorong Sekelompok Orang Merasa Diri Memiliki Status
Sosial-Politik Yang Lebih Tinggi Daripada Orang-Orang Lain, Terutama Rakyat Kebanyakan.
Elitisme Ini Tak Kalah Bahayanya, Menurut Soekarno,
Karena Melalui Sistem Feodal Yang Ada Ia Bisa Dipraktikkan Oleh Tokoh-Tokoh
Pribumi Terhadap Rakyat Negeri Sendiri. Kalau Dibiarkan, Sikap Ini Tidak Hanya
Bisa Memecah-Belah Masyarakat Terjajah, Tetapi Juga Memungkinkan Lestarinya
Sistem Kolonial Maupun Sikap-Sikap Imperialis Yang Sedang Mau Dilawan Itu.
Lebih Dari Itu, Elitisme Bisa Menjadi Penghambat Sikap-Sikap Demokratis Dalam
Masyarakat Modern Yang Dicita-Citakan Bagi Indonesia Merdeka.
Soekarno Melihat Bahwa Kecenderungan Elitisme Itu
Tercermin Kuat Dalam Struktur Bahasa Jawa Yang Dengan Pola “Kromo” Dan
“Ngoko”-Nya Mendukung Adanya Stratifikasi Sosial Dalam Masyarakat. Untuk
Menunjukkan Ketidaksetujuannya Atas Stratifikasi Demikian Itu, Dalam Rapat
Tahunan Jong Java Di Surabaya Pada Bulan Februari 1921, Soekarno Berpidato
Dalam Bahasa Jawa Ngoko, Dengan Akibat Bahwa Ia Menimbulkan Keributan Dan
Ditegur Oleh Ketua Panitia. Upaya Soekarno Yang Jauh Lebih Besar Dalam Rangka
Menentang Elitisme Dan Meninggikan Harkat Rakyat Kecil Di Dalam Proses
Perjuangan Kemerdekaan Tentu Saja Adalah Pencetusan Gagasan Marhaenisme. Dalam
Kaitan Dengan Usaha Mengatasi Elitisme Itu Ditegaskan Bahwa Marhaneisme
“Menolak Tiap Tindak Borjuisme” Yang, Bagi Soekarno, Merupakan Sumber Dari
Kepincangan Yang Ada Dalam Masyarakat. Ia Berpandangan Bahwa Orang Tidak
Seharusnya Berpandangan Rendah Terhadap Rakyat. Sebagaimana Dikatakan Oleh Ruth
Mcvey, Bagi Soekarno Rakyat Merupakan “Padanan Mesianik Dari Proletariat Dalam
Pemikiran Marx,” Dalam Arti Bahwa Mereka Ini Merupakan “Kelompok Yang Sekarang
Ini Lemah Dan Terampas Hak-Haknya, Tetapi Yang Nantinya, Ketika Digerakkan
Dalam Gelora Revolusi, Akan Mampu Mengubah Dunia.”
Langkah-Langkah Apa Yang Diusulkan Oleh Soekarno Untuk
Melawan Kolonialisme, Imperialisme Serta Elitisme Itu? Pertama-Tama Ia
Mengusulkan Ditempuhnya Jalan Nonkooperasi. Bahkan Sejak Tahun 1923 Soekarno
Sudah Mulai Mengambil Langkah Nonkooperasi Itu, Yakni Ketika Ia Sama Sekali
Menolak Kerja Sama Dengan Pemerintah Kolonial. Dalam Kaitan Dengan Ini Ia
Kembali Mengingatkan Bahwa Motivasi Utama Kolonialisme Oleh Orang Eropa Adalah
Motivasi Ekonomi. Oleh Karena Itu Mereka Tak Akan Dengan Sukarela Melepaskan
Koloninya.
Langkah Lain Yang Menurut Soekarno Perlu Segera
Diambil Dalam Menentang Kolonialisme Dan Imperialisme Itu Adalah Menggalang
Persatuan Di Antara Para Aktivis Pergerakan. Dalam Serial Tulisan Nasionalisme,
Islam Dan Marxisme Ia Menyatakan Bahwa Sebagai Bagian Dari Upaya Melawan
Penjajahan Itu Tiga Kelompok Utama Dalam Perjuangan Kemerdekaan Di
Indonesia-Yakni Para Pejuang Nasionalis, Islam Dan Marxis-Hendaknya Bersatu.
Dalam Persatuan Itu Nanti Mereka Akan Mampu Bekerja Sama Demi Terciptanya
Kemerdekaan Indonesia. “Bahtera Yang Akan Membawa Kita Kepada Indonesia
Merdeka,” Ingat Soekarno, “Adalah Bahtera Persatuan.”
Seruan-Seruan Soekarno Itu Pada Tanggal 4 Juli 1927
Dilanjutkan Dengan Pendirian Partai Nasional Indonesia (PNI) Yang Sebagai
Tujuan Utamanya Dicanangkan Untuk “Mencapai Kemerdekaan Indonesia.” Guna
Memberi Semangat Kepada Para Aktivis Pergerakan, Pada Tahun 1928 Ia Menulis
Artikel Berjudul Jerit Kegemparan Di Mana Ia Menunjukkan Bahwa Sekarang Ini
Pemerintah Kolonial Mulai Waswas Dengan Semakin Kuatnya Pergerakan Nasional
Yang Mengancam Kekuasaannya. Ketika Pada Tanggal 29 Desember 1929 Soekarno
Ditangkap Dan Pada Tanggal 29 Agustus 1930 Disidangkan Oleh Pemerintah
Kolonial, Soekarno Justru Memanfaatkan Kesempatan Di Persidangan Itu. Dalam
Pleidoinya Yang Terkenal Berjudul Indonesia Menggugat Dengan Tegas Ia
Menyatakan Perlawanannya Terhadap Kolonialisme. Dan Tak Lama Setelah Dibebaskan
Dari Penjara Pada Tanggal 31 Desember 1931 Ia Bergabung Dengan Partai Indonesia
(Partindo), Yakni Partai Berhaluan Nonkooperasi Yang Dibentuk Pada Tahun 1931
Untuk Menggantikan PNI Yang Telah Dibubarkan Oleh Pemerintah Kolonial.
Hal Ini Tampak Misalnya Ketika Ia Mendirikan PNI. Di
Satu Pihak Memang Dengan Jelas Digariskan Bahwa Tujuan Utama PNI Adalah
Mencapai Indonesia Merdeka. Tetapi Di Lain Pihak Cita-Cita Kemerdekaan Itu
Tidak Disertai Hasrat Untuk Mengubah Sistem Politik Yang Dilaksanakan Oleh
Pemerintah Kolonial Dengan Sistem Politik Yang Sama Sekali Baru. Alih-Alih
Perubahan Total, Soekarno-Sebagaimana Banyak Aktivis Pergerakan Waktu
Itu-Berkeinginan Bahwa Negeri Yang Merdeka Itu Nanti Akan Ditopang Oleh Sistem
Yang Mirip Dengan Sistem Yang Menopangnya Saat Terjajah. Hanya Elitenya Akan
Diganti Dengan Elite Baru, Yakni Elite Pribumi.
Berhubungan Dengan Sikap Anti-Elitismenya Perlu
Dilihat Bahwa Meskipun Dalam Pidato Dan Tulisan-Tulisannya Soekarno Tampak
Melawan Elitisme, Tetapi Sebenarnya Bisa Diragukan Apakah Ia Sepenuhnya
Demikian. Hal Ini Tampak Misalnya Dalam Pidato Yang Ia Sampaikan Pada Tanggal
26 November 1932 Di Yogyakarta, Kota Pusat Aristokrasi Jawa. Dalam Pidato Itu Soekarno Mengajak Setiap Orang, Apa Pun Status Sosialnya, Untuk Bersatu Demi Kemerdekaan. Tetapi Sekaligus Ia Menegaskan Bahwa Bersama Partindo Dirinya Tidak Menginginkan Perjuangan Kelas. Dalam Tulisan Nasionalisme, Islam Dan Marxisme, Sebagaimana Disinyalir Oleh Mcvey, Sebenarnya Soekarno Sama Sekali Tidak Sedang Bicara Dengan Rakyat Banyak. Dalam Tulisan Itu Ia, Menurut Mcvey, “Tidak Menyampaikan Imbauannya Kepada Kelompok-Kelompok Radikal Pedesaan Dan Proletar Yang Telah Memelopori Pemberontakan Komunis Setahun Sebelumnya, Atau Kepada Para Santri-Santri Taat Pejuang Islam, Atau Kepada Rakyat Kebanyakan Di Dalam Maupun Di Sekitar Wilayah Perkotaan Yang Bergabung Ke Dalam PNI Yang Didirikan Oleh Soekarno Saat Mereka Sedang Mencari Pegangan Di Tengah Lunturnya Nilai-Nilai Tradisional.” Soekarno, Sebaliknya, Lebih Mengalamatkan Imbauannya Kepada Sesama Kaum Elite Pergerakan, Atau Kepada Apa Yang Disebut Oleh Mcvey Sebagai “Elite Metropolitan,” Yang Keanggotaannya Biasanya Ditentukan Oleh Tingkat Pendidikan Barat Yang Diperoleh Seseorang.
26 November 1932 Di Yogyakarta, Kota Pusat Aristokrasi Jawa. Dalam Pidato Itu Soekarno Mengajak Setiap Orang, Apa Pun Status Sosialnya, Untuk Bersatu Demi Kemerdekaan. Tetapi Sekaligus Ia Menegaskan Bahwa Bersama Partindo Dirinya Tidak Menginginkan Perjuangan Kelas. Dalam Tulisan Nasionalisme, Islam Dan Marxisme, Sebagaimana Disinyalir Oleh Mcvey, Sebenarnya Soekarno Sama Sekali Tidak Sedang Bicara Dengan Rakyat Banyak. Dalam Tulisan Itu Ia, Menurut Mcvey, “Tidak Menyampaikan Imbauannya Kepada Kelompok-Kelompok Radikal Pedesaan Dan Proletar Yang Telah Memelopori Pemberontakan Komunis Setahun Sebelumnya, Atau Kepada Para Santri-Santri Taat Pejuang Islam, Atau Kepada Rakyat Kebanyakan Di Dalam Maupun Di Sekitar Wilayah Perkotaan Yang Bergabung Ke Dalam PNI Yang Didirikan Oleh Soekarno Saat Mereka Sedang Mencari Pegangan Di Tengah Lunturnya Nilai-Nilai Tradisional.” Soekarno, Sebaliknya, Lebih Mengalamatkan Imbauannya Kepada Sesama Kaum Elite Pergerakan, Atau Kepada Apa Yang Disebut Oleh Mcvey Sebagai “Elite Metropolitan,” Yang Keanggotaannya Biasanya Ditentukan Oleh Tingkat Pendidikan Barat Yang Diperoleh Seseorang.
Jika Soekarno Tampak Terpisah Dari Rakyat, Sebenarnya
Ia Tidak Sendirian. Banyak Tokoh Elite Perjuangan Pada Zamannya Juga Demikian.
Ketika Membubarkan PNI Pada Tanggal 25 April 1931, Misalnya, Para Pemimpin
Partai Itu Tidak Banyak Berkonsultasi Dengan Rakyat Kebanyakan Yang Menjadi
Anggotanya. Akibatnya Rakyat Menjadi Kecewa, Membentuk Apa Yang Disebut
“Golongan Merdeka,” Dan Memperjuangkan Pentingnya Pendidikan Rakyat.
Bahkan Pada Masa Revolusi Sendiri Bisa Dipertanyakan
Apakah Sebenarnya Rakyat Yang Ikut Gigih Bertempur Dan Berkorban Mempertahankan
Kemerdekaan Itu Mendapat Kesempatan Yang Maksimal Dalam Menentukan Arah
Revolusi. Dalam Tulisannya Mengenai Pola Hubungan Antara Elite Dan Rakyat Pada
Zaman Revolusi, Barbara Harvey Menyatakan Bahwa Hubungan Itu Tidak Hanya Amat
Lemah, Tetapi Juga Berakibat Cukup Fatal Bagi Revolusi Kemerdekaan Itu Sendiri.
Lemahnya Hubungan Antara Para Pemimpin Nasional Di Tingkat Pusat Dengan Rakyat
Di Desa-Desa, Menurut Dia, “Merupakan Faktor Utama Bagi Gagalnya Elite
Kepemimpinan Untuk Menggalang Dan Mengarahkan Kekuatan Rakyat Demi Terwujudnya
Tujuan-Tujuan Revolusi.”
Dengan Kata Lain, Sebenarnya Rakyat Tidak Sepenuhnya
Dilibatkan Dalam Proses Bernegara. Jika Ini Benar, Mungkin Tak Terlalu
Mengherankan Jika PKI-Meskipun Pada Tahun 1948 Ditekan Besar-Besaran Setelah
Peristiwa Madiun-Dalam Waktu Singkat Berkembang Pesat Pengikutnya. Ini Antara
Lain Karena Di Dalam PKI Banyak Rakyat Merasakan Bahwa Justru Dalam Partai Yang
Menekankan Antikemapanan (Baca: Anti-Elite Metropolitan) Itu Kepentingan Dan
Cita-Cita Mereka Mendapat Tempatnya. Dalam Pemilu 1955 PKI Bahkan Berhasil
Memperoleh Suara Terbanyak Keempat.
Dengan Sedikit Meminjam Seruan Bung Karno Yang
Terkenal, Sekarang Ini Kita Perlu “Membangun Dunia Baru.” Tetapi Upaya Untuk
Membangun Dunia Yang Baru Itu Kiranya Harus Dimulai Dengan Terlebih Dahulu
“Membangun Indonesia Baru.” Dan Upaya Membangun Indonesia Baru Itu Mungkin
Harus Dimulai Dengan Membangun Elite Politik Yang Benar-Benar Lahir Dari
Kalangan Rakyat Dan Memperjuangkan Kepentingan Rakyat. Dalam Indonesia Yang
Baru Itu Diharapkan Tiada Lagi-Kalaupun Ada Kecil Peranannya-Kelompok Elite
Yang Hanya Sibuk Berebut Kekuasaan Dan Pengaruh.
Hal Ini Bisa Terjadi Jika Para Aktivis Muda Reformasi
Sekarang Ini Tidak Enggan Untuk Belajar Dari Para Aktivis Pergerakan Generasi
Tahun 1920-An. Di Satu Pihak Meneruskan Sikap Militan Generasi Itu Dalam
Memperjuangkan Cita-Cita Bersama Dan Rela Berkurban Demi Cita-Cita Itu. Di Lain
Pihak Menolak Kecenderungan Untuk Mewarisi Sistem Pemerintahan Sebelumnya,
Yakni Kecenderungan Untuk Mengganti Elite Lama Dengan Elite Yang Baru Tetapi
Yang Pola Dan Orientasi Politiknya Tetap Sama. Dengan Demikian Akan Bisa
Diharapkan Lahirnya Elite Politik Yang Benar-Benar Berorientasi Pada Semakin
Terwujudnya Demokrasi.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
· Ir.
Soekarno (Lahir Di Blitar Pada 6 Juni 1901- Meninggal Pada Tanggal 21 Juni 1970
Di Kota Blitar, Jawa Timur). Ayahnya Raden Sukemi Sosrohadihardjo, Adalah
Seorang Priyayi Rendahan Yang Bekerja Sebagai Guru Sekolah Dasar. Ibunya Nyoman
Rai Berdarah Biru Dari Bali Dan Beragama Hindu. Pertemuan Mereka Terjadi Ketika
Raden Sukemi, Yang Sehabis Menyelesaikan Studi Di Sekolah Pendidikan Guru
Pertama Di Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, Ditempatkan Di Sekolah Dasar
Pribumi Di Singaraja, Bali.
· Soekarno
Menentang Kolonialisme Dan Kapitalisme Itu. Keduanya Melahirkan Struktur
Masyarakat Yang Eksploitatif. Sebagai Suatu Sistem Yang Eksploitatif, Kapitalisme
Itu Mendorong Imperialisme, Baik Imperialisme Politik Maupun Imperialisme
Ekonomi. Tetapi Soekarno Tak Ingin Menyamakan Begitu Saja Imperialisme Dengan
Pemerintah Kolonial. Imperialisme.
· Menurut
Soekarno, Yang Pertama-Tama Perlu Disadari Adalah Bahwa Alasan Utama Kenapa
Para Kolonialis Eropa Datang Ke Asia Bukanlah Untuk Menjalankan Suatu Kewajiban
Luhur Tertentu. Mereka Datang Terutama “Untuk Mengisi Perutnya Yang Keroncong
Belaka.” Artinya, Motivasi Pokok Dari Kolonialisme Itu Adalah Ekonomi.Sebagai
Sistem Yang Motivasi Utamanya Adalah Ekonomi.
· Langkah
Lain Yang Menurut Soekarno Perlu Segera Diambil Dalam Menentang Kolonialisme
Dan Imperialisme Itu Adalah Menggalang Persatuan Di Antara Para Aktivis
Pergerakan.
· Dengan
Pendirian Partai Nasional Indonesia (PNI) Yang Sebagai Tujuan Utamanya
Dicanangkan Untuk “Mencapai Kemerdekaan Indonesia.” Guna Memberi Semangat
Kepada Para Aktivis Pergerakan, Pada Tahun 1928 Ia Menulis Artikel Berjudul
Jerit Kegemparan Di Mana Ia Menunjukkan Bahwa Sekarang Ini Pemerintah Kolonial
Mulai Waswas Dengan Semakin Kuatnya Pergerakan Nasional Yang Mengancam
Kekuasaannya.
DAFTAR PUSTAKA
Hering Bob, Soekarno Architect Of A
Nation, Kit Publisher, Amsterdam, 2001
Soekarno Founding Father Of Indonesia 1901-1945, Kit
Publisher, Amsterdam, 2001
Katoppo, Aristides, 80 Tahun Bung Karno, Kintamani
Offset, Jakarta, 1982
No comments:
Post a Comment