BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Era Reformasi yang tengah berjalan dalam
perkembangannya membawa
bangsa ini kepada perubahan dalam segala tatanan kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Salah satu perubahan yang terjadi dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah yang mampu menciptakan demokratisasi dan pemberdayaan
masyarakat adalah asas desentralisasi yang dioperasionalkan dalam suatu kebijakan
otonomi daerah.
Lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah sebagai revisi dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah merupakan awal dari babak baru dalam pelaksanaan Otonomi
Daerah. Undang-undang ini memberikan perubahan yang signifikan terhadap
penyelenggaraan pemerintahan daerah, termasuk di dalamnya sistem pemerintahan
desa yang merupakan sub sistem dari Sistem Pemerintahan Indonesia. Sejalan dengan
hal tersebut, maka pelaksanaan kebijakan otonomi daerah telah mendorong terjadinya
perubahan, baik secara struktural, fungsional maupun kultural dalam tatanan
penyelenggaraan pemerintahan daerah. Melalui perubahan ini, banyak hal baru
yang timbul dengan maksud untuk memperbaiki sistem yang telah ada.
Landasan pemikiran dalam pengaturan
mengenai pemerintahan desa adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli,
demokrasi dan pemberdayaan, agar dapat menjalankan tugas pokok dan fungsi dalam
mengurus masyarakat perlu adanya pelimpahan kewenangan yang jelas. Pengaturan
lebih lanjut mengenai desa ditetapkan oleh Peraturan Daerah sebagai tindak
lanjut dari UU
Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa,
yang dilaksanakan sesuai dengan pedoman umum yang terdapat dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-undang
Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, begitu juga perubahan status desa menjadi
kelurahan yang dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 28 Tahun 2006 tentang
Pembentukan, Penghapusan, Penggabungan Desa dan Perubahan Status Desa Menjadi
Kelurahan.
Secara historis keberadaan desa
mempunyai status, kedudukan, fungsi yang bersifat sentral dan strategis bagi
masyarakat desa dalam mengatur dan mengurus kepentingan kehidupan
masyarakatnya. Desa
merupakan awal mula bagi terbentuknya masyarakat politik dan pemerintahan di
Indonesia. Jauh sebelum Negara-negara modern terbentuk, entitas sosial sejenis
desa atau masyarakat adat dan lain sebagainya, telah menjadi institusi sosial
yang mempunyai posisi yang sangat penting. Mereka ini merupakan institusi yang
otonom dengan tradisi, adat istiadat dan hukumnya sendiri yang mengakar kuat,
serta relatif mandiri dari campur tangan entitas kekuasaan dari luar.
Sehubungan dengan kenyataan ini, pembaharuan desa harus dilakukan secara
hati-hati. Keharusan untuk berhati-hati dalam pengusulan arah dan format
penyelenggaraan pemerintahan ini tidak bisa ditawar-tawar lagi. Perlu diingat
ada dua hal penting dalam penyelenggaraan pemerintahan desa, pertama, tingkat
keberagaman desa di negeri ini sangatlah tinggi, sehingga penyeragaman arah
perlu senantiasa diwaspadai. Kedua, desa merupakan wujud bangsa yang paling
konkret. Di level desa itulah identitas kolektif masyarakat dibentuk, dan menyusun
ulang tata pemerintahan pada dasarnya mempertaruhkan kebangsaan kita.
Desa sebagai komunitas terkecil dalam pemerintahan
Republik Indonesia memiliki permasalahan untuk tumbuh dan berkembang. Sampai
saat ini, desa masih memiliki banyak permasalahan yang timbul baik dari segi
administrasi, pelayanan masyarakat, terbatasnya sarana dan prasarana, serta kurangnya
tingkat pendidikan aparat desa.Sejalan dengan kondisi tersebut, guna
meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat maka dimungkinkan untuk
merubah status desa menjadi kelurahan dengan tetap memperhatikan
persyaratan-persyaratan yang telah ditentukan.
Kebijakan Pemerintah Daerah dalam
mengubah status desa menjadi kelurahan berdasarkan Permendagri Nomor 28 Tahun 2006 tentang
Pembentukan, Penghapusan serta Perubahan Status Desa Menjadi Kelurahan yakni
dalam pasal 9 :
(1) Desa
dapat diubah atau disesuaikan statusnya menjadi kelurahan berdasarkan prakarsa
Pemerintah Desa bersama BPD dengan memperhatikan aspirasi masyarakat setempat;
(2) Aspirasi masyarakat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) disetujui paling sedikit 2/3 penduduk desa yang mempunyai hak pilih.
Dapat dikatakan perubahan status desa menjadi kelurahan
lebih bersifat “bottom up” namun pada
kenyataannya tidak semuanya bersumber dari aspirasi masyarakat melainkan
berbagai kepentingan dan tujuan tertentu yang melatarbelakangi kebijakan
pemerintah daerah dalam mengubah status desa tersebut atau lebih bersifat “top down”, walaupun pada dasarnya yakni
ingin meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat setempat.
Perubahan status desa menjadi kelurahan
merupakan suatu kebijakan yang ditempuh pemerintah dengan tujuan tercapainya
efektivitas dan efisiensi pelayanan kepada masyarakat. Dalam perkembangannya
muncul pandangan masyarakat bahwa organisasi kelurahan lebih baik daripada
desa, sehingga timbul tuntutan masyarakat untuk mendapatkan kualitas pelayanan
yang lebih baik.
Konsekuensi dari adanya
perubahan status desa
menjadi kelurahan maka akan menimbulkan perubahan pada sistem pemerintahannya.
Perubahan tersebut diantaranya yakni perubahan kedudukan pemerintahannya,
kepemimpinan pemerintahan, laporan pertanggungjawaban penyelenggaraan pemerintahan,
dengan berubahnya status desa menjadi kelurahan maka kelurahan tidak berwenang
lagi membuat peraturan desa. Setelah berubahnya desa menjadi kelurahan maka hak
mengatur wilayahnya sendiri menjadi hilang serta pendapatan asli desa menjadi
milik atau dikuasai pemerintah kabupaten. Perubahan ini menimbulkan konsekuensi
Badan Perwakilan Desa yang berfungsi mengontrol Pemerintah Desa akan hilang.
Biaya operasional desa yang biasanya dikelola oleh desa, dengan perubahan
status menjadi kelurahan maka semua biaya operasional pemerintahan akan menjadi kewenangan
pemerintah kabupaten/kota.
Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten
Lombok Barat Nomor 2
Tahun 2012 tentang Perubahan Status Desa Gerung
Utara, Desa Gerung Selatan dan
Desa Dasan Geres Menjadi Kelurahan Pasal 10 :
(1) Pada saat
diundangkannya Peraturan Daerah ini anggota BPD diberhentikan dengan hormat
dari jabatannya dan diberikan penghargaan sesuai dengan nilai-nilai sosial dan budaya
masyarakat setempat;
(2) Pada saat diundangkannya
peraturan daerah ini kepala desa dan perangkat desa lainnya dari unsur staf
diberhentikan dengan hormat dari jabatannya dan diberikan penghargaan sesuai dengan
nilai-nilai sosial dan budaya masyarakat setempat.
Dengan adanya kebijakan pemerintah daerah yang telah
merubah status desa menjadi kelurahan terdapat berbagai permasalahan yakni
terlihat adanya ketidaksiapan dari aparat pemerintah desa yang harus
diberhentikan dan adanya keinginan agar mereka dapat diangkat menjadi Pegawai
Negeri Sipil, serta permasalahan lainnya yakni
dalam rekrutmen pegawai yangakan ditempatkan di
kelurahan tersebut. Atas dasar hukum dan ketentuan yang berlaku di negeri ini
maka setiap kebijakan yang akan dibuat harus dipedomani oleh ketentuan-ketentuan
yang dapat dipatuhi serta pertimbangan dari dampak yang akan terjadi
selanjutnya agar tujuan yang diinginkan dapat tercapai.
Dalam proses perubahan, perlu
memperhatikan perkembangan jumlah penduduk, luas wilayah, potensi ekonomi,
sosial budaya, politik dan kamtibnas, dan untuk meningkatkan serta mempercepat
pelayanan kepada masyarakat. Dalam hal ini tentu tidak semua masyarakat
menerima perubahan status desa menjadi kelurahan dengan berbagai pertimbangan
baik dari segi adat istiadat, pergeseran budaya, dan kekerabatan. Terdapat
3 (tiga) desa yang berubah statusnya
menjadi kelurahan yaitu Desa Gerung Utara, Gerung Selatan dan Dasan Geres. Desa Gerung Utara mengalami perubahan
status karena berada di kawasan pusat kegiatan pemerintahan daerah Kabupaten
Lombok Barat. Terdapat permasalahan yang terjadi khususnya di Desa Gerung Utara,
yakni terdapat masyarakat yang menolak merubah desanya menjadi kelurahan, serta
permasalahan mengenai pegawai
yang nantinya akan ditugaskan di kelurahan,
seperti memberhentikan kepala desa dan perangkat
desa yang belum habis masa jabatannya dan kebutuhan
dana kompensasi. Penetapan atas perangkat
kelurahan belum tentu merupakan pilihan masyarakat desa
setempat, hal ini disebabkan karena masyarakat desa tidak memiliki kualifikasi
yang memadai untuk menjadi pemimpin kelurahan.
Lahirnya suatu kebijakan, selalu
memunculkan reaksi dari masyarakat baik yang menolak maupun yang mendukung
kebijakan tersebut. Namun
pada akhirnya kebijakan tersebut tetap dilaksanakan dengan dikeluarkannya
Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2012 tentang pembentukan 3 (tiga) kelurahan di Kabupaten
Lombok Barat. Dengan adanya perubahan status desa menjadi kelurahan, masyarakat Desa Gerung
Utara menuntut
pemerintah kelurahan untuk
memberikan pelayanan yang lebih optimal.Sejalan dengan tuntutan dan harapan
masyarakat akan pelayanan yang murah, cepat, dan profesional, maka penyelenggara pelayanan administrasi
pada pemerintahan kelurahan harus bekerja secara optimal.
Untuk mencapai tujuan itu, maka
diperlukan pelaksanaan diklat atau pelatihan bagi
perangkat kelurahan. Dengan berubahnya status desa
menjadi kelurahan memang belum menjamin pasti akan adanya peningkatan kualitas
pelayanan terhadap masyarakat.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka
penulis tertarik untuk meneliti dan menulis laporan akhir dengan judul “Implementasi Kebijakan Perubahan Status
Desa Gerung Utara Menjadi Kelurahan Gerung Utara di
Kecamatan Gerung Kabupaten Lombok Barat”
1.2 Permasalahan
1.2.1
Identifikasi Masalah (di Lokasi Magang)
1.
Belum siapnya mental
perangkat desa dan masyarakat dalam menerima konsekuensi dari perubahan status
desa menjadi kelurahan
2.
Dapat hilangnya
kepemilikan aset dan kekayaan desa menjadi milik Pemerintah Kabupaten
3.
Masih adanya masyarakat
yang tidak menginginkan desanya berubah status menjadi kelurahan
4. Belum
optimalnya pelayanan yang diberikan setelah diterapkan kebijakan perubahan
status desa menjadi kelurahan
1.2.2
Pembatasan Masalah
Pembatasan
masalah dilakukan untuk memudahkan proses penulisan agar lebih terfokus dan
tidak keluar dari topik utama. Masalah
yang akan dikaji dalam penelitian ini difokuskan pada implementasi kebijakan
perubahan status desa menjadi kelurahan di Kelurahan Gerung Utara beserta
faktor-faktor penghambat.
1.2.3 Rumusan Masalah
1.
Bagaimana implementasi
kebijakan perubahan status desa menjadi kelurahan di Kelurahan Gerung Utara ?
2.
Apa saja faktor-faktor
penghambat dalam implementasi kebijakan perubahan status desa menjadi kelurahan
di Kelurahan Gerung Utara ?
3. Apa
upaya yang dilakukan pemerintah kabupaten
untuk mengatasi hambatan dalam implementasi kebijakan
perubahan status desa menjadi kelurahan?
1.3
Maksud
dan Tujuan
1.3.1 Maksud
Adapun
maksud dari penelitian ini adalah untuk mengetahui lebih dalam bagaimana
implementasi kebijakan perubahan status Desa Gerung Utara menjadi Kelurahan
Gerung Utara, kebijakan ini dilaksanakan dalam rangka meningkatkan upaya
pelayanan publik di Kelurahan Gerung Utara.
1.3.2 Tujuan
1. Untuk
mengetahui implementasi kebijakan perubahan status desa menjadi kelurahan di Kelurahan
Gerung Utara.
2. Untuk
mengetahui faktor-faktor apa saja yang menjadi penghambat dalam implementasi
kebijakan perubahan status desa menjadi kelurahan di Kelurahan Gerung Utara.
3. Untuk
mengetahui upaya yang dilakukan pemerintah kabupaten dalam mengimplementasikan
kebijakan perubahan status desa menjadi kelurahan.
1.4 Kegunaan
1.4.1 Kegunaan Praktis ( untuk
Lokasi Magang )
Hasil
penelitian dan magang ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan
bahan masukan yang bermanfaat bagi
perangkat kelurahan dalam meningkatkan upaya peningkatan pelayanan publik di
Kelurahan Gerung Utara, selain itu dengan penelitian ini juga diharapkan dapat
menambah pengetahuan penulis yang nantinya dapat dijadikan pedoman saat bekerja
di lapangan.
1.4.2 Kegunaan Praktis ( untuk Lembaga
)
1.
Hasil penelitian ini dapat dapat
dijadikan bahan kajian dan sebagai
referensi bagi peneliti selanjutnya, terutama bagi penelitian mengenai
Implementasi Kebijakan Perubahan Status Desa menjadi Kelurahan.
2.
Menambah pengetahuan bagi
peneliti dalam meningkatkan keterampilan di bidang penelitian di masa yang akan
datang dan juga sebagai penerapan ilmu pengetahuan antara berbagai teori ilmu
pengetahuan yang diperoleh selama di IPDN dengan praktek lapangan yang
dilakukan.
1.5 Definisi Konsep
1.5.1 Definisi Implementasi
Tachjan
(2008:24) mengungkapkan bahwa “secara etimologis implementasi itu dapat
dimaksudkan sebagai suatu aktivitas yang bertalian dengan penyelesaian suatu
pekerjaan dengan penggunaan sarana (alat) untuk memperoleh hasil”.
Ripley
dan Franklin dalam Winarno
(2008:145) berpendapat bahwa “implementasi adalah apa yang terjadi setelah
undang-undang ditetapkan yang memberikan otoritas program, kebijakan,
keuntungan, atau suatu jenis keluaran yang nyata”.
Van
Meter dan Van Horn (2012:135) merumuskan proses implementasi sebagai “tindakan-tindakan
yang dilakukan baik oleh individual/pejabat-pejabat atau kelompok pemerintah
atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan
dalam keputusan kebijakan”.
1.5.2 Definisi Kebijakan
Kebijakan
secara perspektif historis, menurut pendapat Ira Sharkansky dalam Mulyadi (2012:59)
berasal dari bahasa
Yunani, Sanskerta dan Latin. Akar kata dari bahasa Yunani dan Sanskerta adalah
‘polis’ (negara kota) dan ‘pur’ (kota) dikembangkan dalam bahasa latin menjadi ‘politia’
dan akhirnya dalam bahasa Inggris pertengahan ‘policie’ yang berarti menangani
masalah-masalah publik atau administrasi pemerintahan.
Menurut
Anderson (2012:8) “kebijakan merupakan langkah tindakan yang secara sengaja
dilakukan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor berkenaan dengan adanya
masalah atau persoalan tertentu yang dihadapi”. Konsep ini dianggap tepat
karena memusatkan perhatian pada apa yang sebenarnya dilakukan dan bukan pada
apa yang diusulkan atau dimaksudkan. Selain itu kebijakan ini juga membedakan
kebijakan dari keputusan yang merupakan pilihan di antara berbagai alternatif
yang ada.
Definisi
kebijakan menurut Soemantri (2012:60) adalah “konsep dan asas yang menjadi
garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan kepemimpinan
dan cara bertindak”. Di lain pihak, Klein (2012:60) menjelaskan bahwa “kebijakan
adalah tindakan secara sadar dan sistematis dengan menggunakan sarana-sarana
yang cocok, dengan tujuan politik yang jelas sebagai sasaran, yang dijalankan
langkah demi langkah”.Adapun kebijakan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti
“rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam
pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan dan cara bertindak”.
1.5.3 Definisi Implementasi
Kebijakan
Daniel
Mazmanian dan Paul Sabatier dalam Agustino (2014:139) mendefinisikan
implementasi kebijakan sebagai “pelaksanaan keputusan kebijaksanaan dasar,
biasanya dalam bentuk undang-undang, namun dapat pula berbentuk
perintah-perintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau
keputusan badan peradilan. Lazimnya, keputusan tersebut mengidentifikasikan
masalah yang ingin diatasi, menyebutkan secara tegas tujuan atau sasaran yang
ingin dicapai, dan berbagai cara untuk menstrukturkan atau mengatur proses
implementasinya”.
Selanjutnya,
van Meter dan van Horn (2008:146) membatasi implementasi kebijakan sebagai
suatu
tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu-individu (atau
kelompok-kelompok) pemerintah maupun swasta yang diarahkan untuk mencapai
tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan-keputusan kebijakan
sebelumnya. Tindakan-tindakan ini mencakup usaha-usaha untuk mengubah
keputusan-keputusan menjadi tindakan-tindakan operasional dalam kurun waktu
tertentu maupun dalam rangka melanjutkan usaha-usaha untuk mencapai
perubahan-perubahan besar dan kecil yang ditetapkan oleh keputusan-keputusan
kebijakan. Dengan demikian, tahap implementasi terjadi hanya setelah
undang-undang ditetapkan dan dana disediakan untuk membiayai implementasi
kebijakan tersebut.
Untuk
mengkaji suatu implementasi kebijakan publik diperlukan suatu model guna
menyederhanakan pemahaman konsep suatu implementasi kebijakan. Salah satu model
yang dapat digunakan untuk untuk menganalisis suatu implementasi kebijakan
adalah model implementasi yang dikemukakan oleh George Edward III.
Edward
melihat implementasi kebijakan sebagai :
suatu proses yang
dinamis, dimana terdapat banyak faktor yang saling berinteraksi dan
mempengaruhi implementasi kebijakan. Faktor-faktor tersebut perlu ditampilkan guna
mengetahui bagaimana pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap implementasi.
Edward
mengajukan 4 faktor yang berperan penting dalam pencapaian keberhasilan
implementasi. Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan
implementasi kebijakan yaitu faktor komunikasi, sumber daya, disposisi dan struktur birokrasi.
(http://arenakami.blogspot.com/2012/06/implementasi-kebijakan-george-edward.html#more.
8 November 2014)
1.5.4 Definisi Desa
Menurut
Supriatna (2010:1) “kata desa berasal dari bahasa India yakni “swadesi” yang
mempunyai pengertian tempat asal, tempat tinggal, negeri asal atau tanah luhur
yang merujuk pada satu kesatuan hidup, dengan satu kesatuan norma serta memiliki
batas yang jelas”.
Desa
sebagai organisasi pemerintahan terkecil mempunyai wewenang mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakatnya yang disebut dengan otonomi desa. Otonomi desa
bersifat asli, karena otonomi tersebut bersumber dari adat, tradisi dan budaya
masyarakat yang diatur dan diurus secara terus-menerus dan melembaga pada desa
serta masyarakat di daerah tertentu. Boeke dalam Supriatna (2010:16) memberikan
gambaran bahwa yang dimaksud dengan desa adalah “persekutuan hukum pribumi yang
terkecil dengan: 1) kekuasaan sendiri; 2) daerah atau territorial sendiri; 3)
kekayaan atau pendapatan sendiri”.
Desa
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai “kesatuan wilayah yang
dihuni oleh sejumlah keluarga yang mempunyai sistem pemerintahan sendiri
(dikepalai oleh seorang kepala desa)”. Dalam UU Nomor 6 Tahun 2014 yang dimaksud
dengan desa adalah
desa dan desa adat
atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan
masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan
prakarsa masyarakat, hak asal-usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan
dihormati dalam system pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Desa
dapat dibentuk, dihapuskan dan digabungkan dengan memperhatikan asal-usulnya
atas prakarsa masyarakat. Desa yang keberadaannya pada kabupaten/kota secara
bertahap dapat diubah atau disesuaikan statusnya menjadi kelurahan sesuai usul
dan prakarsa pemerintah desa bersama Badan Permusyawaratan Desa yang ditetapkan
dengan Peraturan Daerah. Perlu diketahui bahwa desa yang menjadi kelurahan
tidak seketika berubah dengan adanya pembentukan pemerintahan kota, begitu pula
desa yang berada di perkotaan dalam pemerintahan kabupaten. Artinya perubahan
desa menjadi kelurahan selain memperhatikan prakarsa masyarakat, juga harus
memperhatikan persyaratan perubahan statusnya yaitu jumlah penduduk, luas
wilayah, bagian wilayah kerja, perangkat serta sarana dan prasarana
pemerintahan.
1.5.5 Definisi Kelurahan
Dalam
Peraturan Pemerintah Nomor
73 Tahun 2005 yang dimaksud dengan Kelurahan adalah “wilayah kerja lurah
sebagai perangkat daerah kabupaten/kota dalam wilayah kerja kecamatan”. Lurah
berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Bupati/Walikota melalui Camat.
Lurah diangkat oleh Bupati/Walikota atas usul Camat dari Pegawai Negeri Sipil
yang memenuhi syarat sebagai Lurah. Kelurahan pada dasarnya dibentuk untuk
meningkatkan pelayanan masyarakat dan melaksanakan fungsi-fungsi pemerintahan
di perkotaan. Pembentukan kelurahan dapat berupa penggabungan beberapa
kelurahan atau bagian kelurahan yang bersandingan atau pemekaran dari satu
kelurahan atau lebih. Pembentukan kelurahan pada prinsipnya harus memenuhi
syarat administratif, teknis dan kewilayahan.
Tabel 1.1
Operasionalisasi Konsep
Konsep
|
Dimensi
|
Indikator
|
(1)
|
(2)
|
(3)
|
Implementasi Kebijakan
Menurut George Edward III
|
Komunikasi
|
- Transmisi
Sosialisasi
mengenai kebijakan
- Kejelasan
Petunjuk
dan aturan pelaksanaan kebijakan
- Konsistensi
Kepastian
dalam melaksanakan regulasi
|
Sumber Daya
|
- Staf
Penempatan
pegawai ditinjau dari keahlian dan keterampilan
- Informasi
Ketepatan
dan keakuratan informasi
- Wewenang
Penugasan
yang ditetapkan oleh atasan
- Fasilitas
Ketersediaan
sarana dan prasarana
|
|
Disposisi
|
- Pengangkatan Birokrat
Pengaturan
formasi pegawai
- Insentif
Reward
|
|
Struktur Birokrasi
|
Koordinasi antar unit/bagian kerja
|
No comments:
Post a Comment