Thursday, April 5, 2018

Implementasi Kebijakan Perubahan Status Desa Gerung Utara Menjadi Kelurahan Gerung Utara di Kecamatan Gerung Kabupaten Lombok Barat



BAB I
PENDAHULUAN

1.1      Latar Belakang
Era Reformasi yang tengah berjalan dalam perkembangannya membawa bangsa ini kepada perubahan dalam segala tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Salah satu perubahan yang terjadi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang mampu menciptakan demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat adalah asas desentralisasi yang dioperasionalkan dalam suatu kebijakan otonomi daerah.
Lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagai revisi dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah merupakan awal dari babak baru dalam pelaksanaan Otonomi Daerah. Undang-undang ini memberikan perubahan yang signifikan terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah, termasuk di dalamnya sistem pemerintahan desa yang merupakan sub sistem dari Sistem Pemerintahan Indonesia. Sejalan dengan hal tersebut, maka pelaksanaan kebijakan otonomi daerah telah mendorong terjadinya perubahan, baik secara struktural, fungsional maupun kultural dalam tatanan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Melalui perubahan ini, banyak hal baru yang timbul dengan maksud untuk memperbaiki sistem yang telah ada.
Landasan pemikiran dalam pengaturan mengenai pemerintahan desa adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokrasi dan pemberdayaan, agar dapat menjalankan tugas pokok dan fungsi dalam mengurus masyarakat perlu adanya pelimpahan kewenangan yang jelas. Pengaturan lebih lanjut mengenai desa ditetapkan oleh Peraturan Daerah sebagai tindak lanjut dari UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, yang dilaksanakan sesuai dengan pedoman umum yang terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, begitu juga perubahan status desa menjadi kelurahan yang dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri  Nomor 28 Tahun 2006 tentang Pembentukan, Penghapusan, Penggabungan Desa dan Perubahan Status Desa Menjadi Kelurahan.
Secara historis keberadaan desa mempunyai status, kedudukan, fungsi yang bersifat sentral dan strategis bagi masyarakat desa dalam mengatur dan mengurus kepentingan kehidupan masyarakatnya. Desa merupakan awal mula bagi terbentuknya masyarakat politik dan pemerintahan di Indonesia. Jauh sebelum Negara-negara modern terbentuk, entitas sosial sejenis desa atau masyarakat adat dan lain sebagainya, telah menjadi institusi sosial yang mempunyai posisi yang sangat penting. Mereka ini merupakan institusi yang otonom dengan tradisi, adat istiadat dan hukumnya sendiri yang mengakar kuat, serta relatif mandiri dari campur tangan entitas kekuasaan dari luar. Sehubungan dengan kenyataan ini, pembaharuan desa harus dilakukan secara hati-hati. Keharusan untuk berhati-hati dalam pengusulan arah dan format penyelenggaraan pemerintahan ini tidak bisa ditawar-tawar lagi. Perlu diingat ada dua hal penting dalam penyelenggaraan pemerintahan desa, pertama, tingkat keberagaman desa di negeri ini sangatlah tinggi, sehingga penyeragaman arah perlu senantiasa diwaspadai. Kedua, desa merupakan wujud bangsa yang paling konkret. Di level desa itulah identitas kolektif masyarakat dibentuk, dan menyusun ulang tata pemerintahan pada dasarnya mempertaruhkan kebangsaan kita.
Desa sebagai komunitas terkecil dalam pemerintahan Republik Indonesia memiliki permasalahan untuk tumbuh dan berkembang. Sampai saat ini, desa masih memiliki banyak permasalahan yang timbul baik dari segi administrasi, pelayanan masyarakat, terbatasnya sarana dan prasarana, serta kurangnya tingkat pendidikan aparat desa.Sejalan dengan kondisi tersebut, guna meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat maka dimungkinkan untuk merubah status desa menjadi kelurahan dengan tetap memperhatikan persyaratan-persyaratan yang telah ditentukan.
Kebijakan Pemerintah Daerah dalam mengubah status desa menjadi kelurahan berdasarkan Permendagri Nomor 28 Tahun 2006 tentang Pembentukan, Penghapusan serta Perubahan Status Desa Menjadi Kelurahan yakni dalam pasal 9 :
(1)   Desa dapat diubah atau disesuaikan statusnya menjadi kelurahan berdasarkan prakarsa Pemerintah Desa bersama BPD dengan memperhatikan aspirasi masyarakat setempat;
(2)    Aspirasi masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetujui paling sedikit 2/3 penduduk desa yang mempunyai hak pilih.

Dapat dikatakan perubahan status desa menjadi kelurahan lebih bersifat “bottom up” namun pada kenyataannya tidak semuanya bersumber dari aspirasi masyarakat melainkan berbagai kepentingan dan tujuan tertentu yang melatarbelakangi kebijakan pemerintah daerah dalam mengubah status desa tersebut atau lebih bersifat “top down”, walaupun pada dasarnya yakni ingin meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat setempat.
Perubahan status desa menjadi kelurahan merupakan suatu kebijakan yang ditempuh pemerintah dengan tujuan tercapainya efektivitas dan efisiensi pelayanan kepada masyarakat. Dalam perkembangannya muncul pandangan masyarakat bahwa organisasi kelurahan lebih baik daripada desa, sehingga timbul tuntutan masyarakat untuk mendapatkan kualitas pelayanan yang lebih baik.
Konsekuensi dari adanya perubahan status desa menjadi kelurahan maka akan menimbulkan perubahan pada sistem pemerintahannya. Perubahan tersebut diantaranya yakni perubahan kedudukan pemerintahannya, kepemimpinan pemerintahan, laporan pertanggungjawaban penyelenggaraan pemerintahan, dengan berubahnya status desa menjadi kelurahan maka kelurahan tidak berwenang lagi membuat peraturan desa. Setelah berubahnya desa menjadi kelurahan maka hak mengatur wilayahnya sendiri menjadi hilang serta pendapatan asli desa menjadi milik atau dikuasai pemerintah kabupaten. Perubahan ini menimbulkan konsekuensi Badan Perwakilan Desa yang berfungsi mengontrol Pemerintah Desa akan hilang. Biaya operasional desa yang biasanya dikelola oleh desa, dengan perubahan status menjadi kelurahan maka semua biaya operasional pemerintahan akan menjadi kewenangan pemerintah kabupaten/kota.
Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Lombok Barat Nomor  2  Tahun  2012 tentang Perubahan Status Desa Gerung Utara, Desa Gerung Selatan dan Desa Dasan Geres Menjadi Kelurahan Pasal 10 :
(1)   Pada saat diundangkannya Peraturan Daerah ini anggota BPD diberhentikan dengan hormat dari jabatannya dan diberikan penghargaan sesuai dengan nilai-nilai sosial dan budaya masyarakat setempat;
(2)   Pada saat diundangkannya peraturan daerah ini kepala desa dan perangkat desa lainnya dari unsur staf diberhentikan dengan hormat dari jabatannya dan diberikan penghargaan sesuai dengan nilai-nilai sosial dan budaya masyarakat setempat.
Dengan adanya kebijakan pemerintah daerah yang telah merubah status desa menjadi kelurahan terdapat berbagai permasalahan yakni terlihat adanya ketidaksiapan dari aparat pemerintah desa yang harus diberhentikan dan adanya keinginan agar mereka dapat diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil, serta permasalahan lainnya yakni dalam rekrutmen pegawai yangakan ditempatkan di kelurahan tersebut. Atas dasar hukum dan ketentuan yang berlaku di negeri ini maka setiap kebijakan yang akan dibuat harus dipedomani oleh ketentuan-ketentuan yang dapat dipatuhi serta pertimbangan dari dampak yang akan terjadi selanjutnya agar tujuan yang diinginkan dapat tercapai.
Dalam proses perubahan, perlu memperhatikan perkembangan jumlah penduduk, luas wilayah, potensi ekonomi, sosial budaya, politik dan kamtibnas, dan untuk meningkatkan serta mempercepat pelayanan kepada masyarakat. Dalam hal ini tentu tidak semua masyarakat menerima perubahan status desa menjadi kelurahan dengan berbagai pertimbangan baik dari segi adat istiadat, pergeseran budaya, dan kekerabatan. Terdapat 3 (tiga) desa yang berubah statusnya menjadi kelurahan yaitu Desa Gerung Utara, Gerung Selatan dan Dasan Geres. Desa Gerung Utara mengalami perubahan status karena berada di kawasan pusat kegiatan pemerintahan daerah Kabupaten Lombok Barat. Terdapat permasalahan yang terjadi khususnya di Desa Gerung Utara, yakni terdapat masyarakat yang menolak merubah desanya menjadi kelurahan, serta permasalahan mengenai pegawai yang nantinya akan ditugaskan di kelurahan, seperti memberhentikan kepala desa dan perangkat desa yang belum habis masa jabatannya dan kebutuhan dana kompensasi. Penetapan atas perangkat kelurahan belum tentu merupakan pilihan masyarakat desa setempat, hal ini disebabkan karena masyarakat desa tidak memiliki kualifikasi yang memadai untuk menjadi pemimpin kelurahan.
Lahirnya suatu kebijakan, selalu memunculkan reaksi dari masyarakat baik yang menolak maupun yang mendukung kebijakan tersebut. Namun pada akhirnya kebijakan tersebut tetap dilaksanakan dengan dikeluarkannya Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2012 tentang pembentukan 3 (tiga) kelurahan di Kabupaten Lombok Barat. Dengan adanya perubahan status desa menjadi kelurahan, masyarakat Desa Gerung Utara menuntut pemerintah kelurahan untuk memberikan pelayanan yang lebih optimal.Sejalan dengan tuntutan dan harapan masyarakat akan pelayanan yang murah, cepat, dan profesional, maka penyelenggara pelayanan administrasi pada pemerintahan kelurahan harus bekerja secara optimal. Untuk mencapai tujuan itu, maka diperlukan pelaksanaan diklat atau pelatihan bagi perangkat kelurahan. Dengan berubahnya status desa menjadi kelurahan memang belum menjamin pasti akan adanya peningkatan kualitas pelayanan terhadap masyarakat.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti dan menulis laporan akhir dengan judul “Implementasi Kebijakan Perubahan Status Desa Gerung Utara Menjadi Kelurahan Gerung Utara di Kecamatan Gerung Kabupaten Lombok Barat”
1.2      Permasalahan
1.2.1    Identifikasi Masalah (di Lokasi Magang)
1.     Belum siapnya mental perangkat desa dan masyarakat dalam menerima konsekuensi dari perubahan status desa menjadi kelurahan
2.     Dapat hilangnya kepemilikan aset dan kekayaan desa menjadi milik Pemerintah Kabupaten
3.     Masih adanya masyarakat yang tidak menginginkan desanya berubah status menjadi kelurahan
4.     Belum optimalnya pelayanan yang diberikan setelah diterapkan kebijakan perubahan status desa menjadi kelurahan



1.2.2    Pembatasan Masalah
Pembatasan masalah dilakukan untuk memudahkan proses penulisan agar lebih terfokus dan tidak keluar dari topik utama. Masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini difokuskan pada implementasi kebijakan perubahan status desa menjadi kelurahan di Kelurahan Gerung Utara beserta faktor-faktor penghambat.

1.2.3    Rumusan Masalah
1.     Bagaimana implementasi kebijakan perubahan status desa menjadi kelurahan di Kelurahan Gerung Utara ?
2.     Apa saja faktor-faktor penghambat dalam implementasi kebijakan perubahan status desa menjadi kelurahan di Kelurahan Gerung Utara ?
3.     Apa upaya yang dilakukan pemerintah kabupaten untuk mengatasi hambatan dalam implementasi kebijakan perubahan status desa menjadi kelurahan?

1.3      Maksud dan Tujuan
1.3.1    Maksud
Adapun maksud dari penelitian ini adalah untuk mengetahui lebih dalam bagaimana implementasi kebijakan perubahan status Desa Gerung Utara menjadi Kelurahan Gerung Utara, kebijakan ini dilaksanakan dalam rangka meningkatkan upaya pelayanan publik di Kelurahan Gerung Utara.

1.3.2    Tujuan
1.     Untuk mengetahui implementasi kebijakan perubahan status desa menjadi kelurahan di Kelurahan Gerung Utara.
2.     Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang menjadi penghambat dalam implementasi kebijakan perubahan status desa menjadi kelurahan di Kelurahan Gerung Utara.
3.     Untuk mengetahui upaya yang dilakukan pemerintah kabupaten dalam mengimplementasikan kebijakan perubahan status desa menjadi kelurahan.

1.4      Kegunaan
1.4.1    Kegunaan Praktis ( untuk Lokasi Magang )
Hasil penelitian dan magang ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan bahan masukan yang bermanfaat  bagi perangkat kelurahan dalam meningkatkan upaya peningkatan pelayanan publik di Kelurahan Gerung Utara, selain itu dengan penelitian ini juga diharapkan dapat menambah pengetahuan penulis yang nantinya dapat dijadikan pedoman saat bekerja di lapangan.

1.4.2    Kegunaan Praktis ( untuk Lembaga )
1.    Hasil penelitian ini dapat dapat dijadikan bahan kajian dan  sebagai referensi bagi peneliti selanjutnya, terutama bagi penelitian mengenai Implementasi Kebijakan Perubahan Status Desa menjadi Kelurahan.
2.    Menambah pengetahuan bagi peneliti dalam meningkatkan keterampilan di bidang penelitian di masa yang akan datang dan juga sebagai penerapan ilmu pengetahuan antara berbagai teori ilmu pengetahuan yang diperoleh selama di IPDN dengan praktek lapangan yang dilakukan.

1.5      Definisi Konsep
1.5.1    Definisi Implementasi
Tachjan (2008:24) mengungkapkan bahwa “secara etimologis implementasi itu dapat dimaksudkan sebagai suatu aktivitas yang bertalian dengan penyelesaian suatu pekerjaan dengan penggunaan sarana (alat) untuk memperoleh hasil”.
Ripley dan Franklin dalam Winarno (2008:145) berpendapat bahwa “implementasi adalah apa yang terjadi setelah undang-undang ditetapkan yang memberikan otoritas program, kebijakan, keuntungan, atau suatu jenis keluaran yang nyata”.
Van Meter dan Van Horn (2012:135) merumuskan proses implementasi sebagai “tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individual/pejabat-pejabat atau kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijakan”.

1.5.2    Definisi Kebijakan
Kebijakan secara perspektif historis, menurut pendapat Ira Sharkansky dalam Mulyadi (2012:59)
berasal dari bahasa Yunani, Sanskerta dan Latin. Akar kata dari bahasa Yunani dan Sanskerta adalah ‘polis’ (negara kota) dan ‘pur’ (kota) dikembangkan dalam bahasa latin menjadi ‘politia’ dan akhirnya dalam bahasa Inggris pertengahan ‘policie’ yang berarti menangani masalah-masalah publik atau administrasi pemerintahan.

Menurut Anderson (2012:8) “kebijakan merupakan langkah tindakan yang secara sengaja dilakukan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor berkenaan dengan adanya masalah atau persoalan tertentu yang dihadapi”. Konsep ini dianggap tepat karena memusatkan perhatian pada apa yang sebenarnya dilakukan dan bukan pada apa yang diusulkan atau dimaksudkan. Selain itu kebijakan ini juga membedakan kebijakan dari keputusan yang merupakan pilihan di antara berbagai alternatif yang ada.
Definisi kebijakan menurut Soemantri (2012:60) adalah “konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan kepemimpinan dan cara bertindak”. Di lain pihak, Klein (2012:60) menjelaskan bahwa “kebijakan adalah tindakan secara sadar dan sistematis dengan menggunakan sarana-sarana yang cocok, dengan tujuan politik yang jelas sebagai sasaran, yang dijalankan langkah demi langkah”.Adapun kebijakan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti “rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan dan cara bertindak”.

1.5.3    Definisi Implementasi Kebijakan
Daniel Mazmanian dan Paul Sabatier dalam Agustino (2014:139) mendefinisikan implementasi kebijakan sebagai “pelaksanaan keputusan kebijaksanaan dasar, biasanya dalam bentuk undang-undang, namun dapat pula berbentuk perintah-perintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau keputusan badan peradilan. Lazimnya, keputusan tersebut mengidentifikasikan masalah yang ingin diatasi, menyebutkan secara tegas tujuan atau sasaran yang ingin dicapai, dan berbagai cara untuk menstrukturkan atau mengatur proses implementasinya”.
Selanjutnya, van Meter dan van Horn (2008:146) membatasi implementasi kebijakan sebagai
suatu tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu-individu (atau kelompok-kelompok) pemerintah maupun swasta yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan-keputusan kebijakan sebelumnya. Tindakan-tindakan ini mencakup usaha-usaha untuk mengubah keputusan-keputusan menjadi tindakan-tindakan operasional dalam kurun waktu tertentu maupun dalam rangka melanjutkan usaha-usaha untuk mencapai perubahan-perubahan besar dan kecil yang ditetapkan oleh keputusan-keputusan kebijakan. Dengan demikian, tahap implementasi terjadi hanya setelah undang-undang ditetapkan dan dana disediakan untuk membiayai implementasi kebijakan tersebut.

Untuk mengkaji suatu implementasi kebijakan publik diperlukan suatu model guna menyederhanakan pemahaman konsep suatu implementasi kebijakan. Salah satu model yang dapat digunakan untuk untuk menganalisis suatu implementasi kebijakan adalah model implementasi yang dikemukakan oleh George Edward III.
Edward melihat implementasi kebijakan sebagai :
suatu proses yang dinamis, dimana terdapat banyak faktor yang saling berinteraksi dan mempengaruhi implementasi kebijakan. Faktor-faktor tersebut perlu ditampilkan guna mengetahui bagaimana pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap implementasi.

Edward mengajukan 4 faktor yang berperan penting dalam pencapaian keberhasilan implementasi. Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan implementasi kebijakan yaitu faktor komunikasi, sumber daya, disposisi dan struktur birokrasi.
(http://arenakami.blogspot.com/2012/06/implementasi-kebijakan-george-edward.html#more. 8 November 2014)

1.5.4    Definisi Desa
Menurut Supriatna (2010:1) “kata desa berasal dari bahasa India yakni “swadesi” yang mempunyai pengertian tempat asal, tempat tinggal, negeri asal atau tanah luhur yang merujuk pada satu kesatuan hidup, dengan satu kesatuan norma serta memiliki batas yang jelas”.
Desa sebagai organisasi pemerintahan terkecil mempunyai wewenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya yang disebut dengan otonomi desa. Otonomi desa bersifat asli, karena otonomi tersebut bersumber dari adat, tradisi dan budaya masyarakat yang diatur dan diurus secara terus-menerus dan melembaga pada desa serta masyarakat di daerah tertentu. Boeke dalam Supriatna (2010:16) memberikan gambaran bahwa yang dimaksud dengan desa adalah “persekutuan hukum pribumi yang terkecil dengan: 1) kekuasaan sendiri; 2) daerah atau territorial sendiri; 3) kekayaan atau pendapatan sendiri”.
Desa dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai “kesatuan wilayah yang dihuni oleh sejumlah keluarga yang mempunyai sistem pemerintahan sendiri (dikepalai oleh seorang kepala desa)”. Dalam UU Nomor 6 Tahun 2014 yang dimaksud dengan desa adalah
desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal-usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam system pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Desa dapat dibentuk, dihapuskan dan digabungkan dengan memperhatikan asal-usulnya atas prakarsa masyarakat. Desa yang keberadaannya pada kabupaten/kota secara bertahap dapat diubah atau disesuaikan statusnya menjadi kelurahan sesuai usul dan prakarsa pemerintah desa bersama Badan Permusyawaratan Desa yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Perlu diketahui bahwa desa yang menjadi kelurahan tidak seketika berubah dengan adanya pembentukan pemerintahan kota, begitu pula desa yang berada di perkotaan dalam pemerintahan kabupaten. Artinya perubahan desa menjadi kelurahan selain memperhatikan prakarsa masyarakat, juga harus memperhatikan persyaratan perubahan statusnya yaitu jumlah penduduk, luas wilayah, bagian wilayah kerja, perangkat serta sarana dan prasarana pemerintahan.
1.5.5    Definisi Kelurahan
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 2005 yang dimaksud dengan Kelurahan adalah “wilayah kerja lurah sebagai perangkat daerah kabupaten/kota dalam wilayah kerja kecamatan”. Lurah berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Bupati/Walikota melalui Camat. Lurah diangkat oleh Bupati/Walikota atas usul Camat dari Pegawai Negeri Sipil yang memenuhi syarat sebagai Lurah. Kelurahan pada dasarnya dibentuk untuk meningkatkan pelayanan masyarakat dan melaksanakan fungsi-fungsi pemerintahan di perkotaan. Pembentukan kelurahan dapat berupa penggabungan beberapa kelurahan atau bagian kelurahan yang bersandingan atau pemekaran dari satu kelurahan atau lebih. Pembentukan kelurahan pada prinsipnya harus memenuhi syarat administratif, teknis dan kewilayahan.


Tabel 1.1
Operasionalisasi Konsep
Konsep
Dimensi
Indikator
(1)
(2)
(3)
Implementasi Kebijakan Menurut George Edward III
Komunikasi
-   Transmisi
Sosialisasi mengenai kebijakan
-    Kejelasan
Petunjuk dan aturan pelaksanaan kebijakan
-    Konsistensi
Kepastian dalam melaksanakan regulasi
Sumber Daya
-    Staf
Penempatan pegawai ditinjau dari keahlian dan keterampilan
-    Informasi
Ketepatan dan keakuratan informasi
-    Wewenang
Penugasan yang ditetapkan oleh atasan
-    Fasilitas
Ketersediaan sarana dan prasarana
Disposisi
-    Pengangkatan Birokrat
Pengaturan formasi pegawai
-    Insentif
Reward
Struktur Birokrasi
Koordinasi antar unit/bagian kerja

No comments:

Post a Comment

buku bimbingan

                                                                                                                                            ...

082126189815

Name

Email *

Message *