BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Perubahan Peraturan Perundang-Undangan
terjadi pada Peraturan Perundang-Undangan mengenai Pemerintahan Daerah. Revisi
Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah terjadi dalam kurun waktu yang cukup
lama. Sebagai perbandingan, Undang-Undang Pemerintah Daerah yang berlaku pada
masa Pemerintahan Orde Baru, yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, baru direvisi
pada masa Pemerintahan Reformasi, yaitu pada Tahun 1999, dengan diundangkannya
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999. Kurun waktu yang cukup panjang (antara
1974-1999) ini tentunya bukan waktu yang sebentar dalam pemberlakuan Undang-Undang,
sementara perkembangan rakyat Indonesia (terutama masyarakat daerah) begitu
cepat. Perkembangan masyarakat ini tentunya harus diimbangi dengan revisi
terhadap Peraturan Perundang-Undangan.
Keinginan merevisi Undang-Undang
ini tidak hanya muncul karena kurang teraspirasikannya keinginan masyarakat
daerah, tetapi dalam rangka menyesuaikan sistem ketatanegaraan Indonesia yang merujuk
pada konstitusi hasil amandemen, terutama hal-hal yang berkaitan dengan Pemerintahan
Daerah. Berkaitan dengan hal itu pada tahun 2004 disahkan Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Selanjutnya pada Tahun 2014 terjadi
perubahan kembali atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menjadi Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-undang
tentang Pemerintahan Daerah memperjelas dan mempertegas hubungan hierarkis
antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Dearah. Implementasi yang dilakukan
oleh Pemerintah Pusat berdasarkan asas kesatuan administrasi dan kesatuan
wilayah. Rosidin (2010:45) menyatakan bahwa:
Sebagai konsekuensi dari Negara Kesatuan,
Negara Republik Indonesia membagi wilayahnya menjadi daerah-daerah, yang
terdiri atas Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten, dan Kota. Daerah-Daerah ini
saling berhubungan erat dengan Pemerintah Pusat. Sekalipun demikian, Daerah-Daerah
tersebut diberi kewenangan untuk menyelenggarakan Pemerintahannya sesuai dengan
aspirasi masyarakat.
Dalam
rangka penyelenggaraan hubungan kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah, dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Pasal 1 Ayat 2 “Pemerintahan
Daerah adalah penyelenggaraan urusan Pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan
prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945”.
Otonomi
adalah Pemerintah yang mampu menyelenggarakan Pemerintahan, yang dituangkan
dalam peraturan sendiri, sesuai dengan aspirasi masyarakat. Tertulis dalam Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 Pasal 1 Ayat 6 “Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan
kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan
dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik
Indonesia”. Otonomi Daerah yang dikehendaki yaitu Pemerintah Pusat memberikan
kewenangan kepada Pemerintah Daerah untuk menyelenggarakan kewenangan Pemerintah
di bidang tertentu. Menurut Adisasmita (2011:2):
Otonomi Daerah diartikan sebagai pemberian
kewenangan kepada daerah otonom (dalam hal ini adalah Kabupaten/Kota) untuk
mengatur kepentingan daerahnya sesuai dengan aspirasi daerah setempat dan tidak
menyalahi peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Secara prinsipil
terdapat dua hal yang tercakup dalam otonomi, yaitu hak kewenangan untuk
memanajemeni daerah, dan tanggung jawab terhadap kegagalan dalam memanajemeni
daerahnya tersebut. Menurut Munir (2013:103) “pelimpahan kewenangan dalam Negara
kesatuan merupakan sebagai usaha mewujudkan Pemerintahan yang demokratis,
supaya Pemerintahan Daerah dapat berjalan efektif guna pemberdayaan
kemaslahatan rakyat”.
Otonomi Daerah
memiliki tujuan yaitu mempercepat terwujudnya kesejahteraan melalui
peningkatan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya
saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan,
kesejahteraan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik
Indonesia, maka dari itu untuk mengefektifkan proses jalannya Pemerintahan
perlu didukung melalui partisipasi dari Pemerintah Daerah itu sendiri. Partisipasi
dari Pemerintah Daerah yang dimaksud yaitu memberikan pelayanan publik yang
merata disetiap daerah yang merupakan tanggung jawab dari setiap Pemerintah
Daerah untuk Implementasinya.
Untuk
mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui pelayanan publik
tersebut maka Pemerintah Daerah melimpahkan sebagian wewenang kepada Camat dikarenakan
Kecamatan merupakan frontline SKPD
yang lebih dekat dengan masyarakat. Sehingga dengan lebih mudah mendengar serta
secara cepat dalam pelaksanaan tugas dan dalam memberikan pelayanan sesuai
aspirasi dan kebutuhan masyarakat. Hal ini tercantum dalam Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 Pasal 225 Ayat 1 telah tegas disebutkan bahwa:
Camat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 224 Ayat (1) mempunyai tugas:
a. Menyelenggaraan
Urusan Pemerintahan umum sebagaimana dimaksud dalam pasal 25 ayat (6);
b. Mengoordinasikan
kegiatan pemberdayaan masyarakat;
c. Mengoordinasikan
upaya penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban umum;
d. Mengoordinasikan
penerapan dan penegakan Perda dan Perkada;
e. Mengoordinasikan
pemeliharaan prasarana dan sarana pelayanan umum;
f. Mengoordinasikan
penyelenggaraan kegiatan Pemerintahan yang dilakukan oleh Perangkat Daerah di
Kecamatan;
g. Membina
dan mengawasi penyelenggaraan kegiatan Desa dan/ atau Kelurahan;
h. Melaksanakan
Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah Kabupaten/Kota yang tidak
dilaksanakan oleh unit kerja Perangkat Daerah kabupaten/kota yang ada di
Kecamatan; dan
i. Melaksanakan
tugas lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 Pasal 226 Ayat 1 menyebutkan “Selain melaksanakan tugas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 225 ayat (1), Camat mendapatkan pelimpahan
sebagian Kewenangan Bupati/Wali kota untuk melaksanakan sebagian Urusan Pemerintahan
yang menjadi Kewenangan Daerah Kabupaten/Kota”.
Berdasarkan bunyi Pasal
tersebut dapat diambil kesimpulan, bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 Pasal 225 Ayat 1 dan 226 Ayat 1 Camat memiliki 2 kewenangan yakni
kewenangan Atributif dan Delegatif. Wasistiono (2009:22) menyatakan:
Kewenangan dapat
dibedakan menjadi dua macam yaitu kewenangan atributif dan kewenangan
delegatif. Kewenangan atributif adalah kewenangan yang melekat dan diberikan kepada suatu institusi atau pejabat
berdasarkan peraturan perundang-undangan, sedangkan kewenangan delegatif adalah
kewenangan yang berasal dari pendelegasian kewenangan dari institusi atau
pejabat yang lebih tinggi tingkatannya.
Tercantum pada Pasal 15 ayat
2 Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2008 tentang Kecamatan, disebutkan bahwa
Camat menerima pelimpahan sebagian urusan Otonomi Daerah yang meliputi beberapa
aspek sebagai berikut:
a.
perizinan;
b.
rekomendasi;
c.
koordinasi;
d.
pembinaan;
e.
pengawasan;
f.
fasilitasi;
g.
penetapan;
h.
penyelenggaraan;
i.
kewenangan
lain yang dilimpahkan.
Ini berarti bahwa Kecamatan
berfungsi menjalankan sebagian kewenangan dari Desentralisasi. Tujuan utama
dari pelimpahan kewenangan itu adalah untuk mempercepat proses dan meningkatkan
mutu pelayanan kepada masyarakat sehingga masyarakat mendapatkan pelayanan yang
optimal.
Kecamatan
Cikarang Utara adalah salah satu Kecamatan yang ada di Kabupaten Bekasi. Untuk
mengemban Misi yang diamanatkan oleh masyarakat maka Kabupaten Bekasi berusaha
memberikan pelayanan semaksimal mungkin. Dengan melimpahkan sebagian kewenangannya
kepada Camat dikarenakan Kecamatan sebagai perangkat daerah yang lebih dekat
dengan masyarakat sehingga dapat memberikan pelayanan sesuai dengan kebutuhan
masyarakat, hal ini tertera dalam Peraturan Bupati Bekasi Nomor 5 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan
Perizinan, Non Perizinan, dan Pelimpahan sebagian Kewenangan untuk menangani
sebagian urusan Otonomi Daerah di Kabupaten Bekasi. Di dalamnya tercantum
sebagian wewenang yang dilimpahkan kepada Camat untuk menangani sebagian urusan
otonomi daerah.
TABEL 1.1
Jenis Kewenangan Bidang Pekerjaan Umum yang Didelegasikan
kepada Camat di Kabupaten Bekasi
(Berdasarkan
Peraturan Bupati Bekasi Nomor 5 Tahun 2010)
Jenis Kewenangan
|
|
a
|
Pengawasan terhadap Implementasi kegiatan pembangunan yang dilaksanakan
oleh Pemerintah Daerah
|
b
|
Pembinaan terhadap Implementasi manajemen kegiatan pembangunan yang
dilaksanakan oleh Pemerintah Desa/Kelurahan
|
c
|
Pembinaan peran serta masyarakat terhadap pemeliharaan jalan dan
perbaikan prasarana pengairan
|
d
|
Implementasi kegiatan pembangunan fisik dan non fisik sesuai dengan
alokasi anggaran
|
e
|
Pengawasan, pengendalian dan penertiban terhadap bangunan liar di wilayah
kecamatan masing-masing
|
f
|
Penertiban pelanggaran bangunan tanpa izin
|
g
|
Pemeliharaan dan rehab jalan lingkungan pemukiman (kecuali di lingkungan
perumahan)
|
h
|
Pemeliharaan dan rehab drainase, berm, dan trotoar di lingkungan
pemukiman(kecuali di lingkungan perumahan)
|
i
|
Pemberian rekomendasi penggalian jalan trotoar pada jalan umum dan jalan
lingkungan yang dilaksanakan oleh instansi pengelola utilitas(PDAM,
Listrik,Telkom)
|
j
|
Pemberian rekomendasi terhadap IMB yang akan diterbitkan
|
k
|
Pengawasan terhadap bangunan yang telah diterbitkan Izin Mendirikan
Bangunan(IMB)
|
Sumber: Seksi Ekonomi dan Pembangunan Kecamatan
Cikarang Utara
Dalam melaksanakan beberapa
kewenangan tersebut Camat dituntut untuk dapat melaksanakannya dengan sebaik
mungkin sehingga masyarakat bisa mendapatkan pelayanan yang terbaik. Semua akan
terlaksana dengan baik apabila faktor-faktor pendukungnya tersedia. Namun pada
kenyataannya pelayanan aparat Kantor Camat Cikarang Utara masih sangat minim. Pada
wawancara Sabtu 25 Oktober 2014 dengan Kepala Seksi Ekonomi dan Pembangunan,
Bapak Sokimin S.AP mengatakan bahwa:
“...masih kurangnya
aparatur kecamatan terlebih khusus pada Bidang Pekerjaan Umum yang
dikoordinasikan dengan Seksi Ekonomi dan Pembangunan hanya berjumlah 4 orang,
sangat tidak seimbang dengan jumlah penduduk Kecamatan Cikarang Utara. Terkait
masalah sarana prasarana masih tergolong tidak memadai dikarenakan banyaknya
sarana prasarana yang rusak akibat ketidakahlian aparat dalam mengoperasikannya
dan mengingat umur dari sarana prasarana yang sudah tua, namun pihak Kecamatan
tidak dapat menuntut untuk mendapatkan sarana prasarana yang baru yang lebih
layak karena segala biaya terkait Bidang Pekerjaan Umum masih terpusat di APBD
Kabupaten Bekasi, bahkan untuk biaya operasional pelaksanaan hal-hal terkait Bidang
Pekerjaan Umum masih sangat minim...”
Dari hasil wawancara
tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat faktor-faktor pendukung yang belum
begitu memadai dalam mengimplementasikan wewenang Camat di Bidang Pekerjaan
Umum. Dari terbatasnya personil khususnya di Bidang Pekerjaan Umum yang
dikoordinasikan dengan Seksi Ekonomi dan Pembangunan, sehingga sangat
berbanding terbalik antara jumlah personil dengan jumlah masyarakat yang
memerlukan pelayanan di Bidang Pekerjaan Umum tersebut. Kurangnya personil
berdampak pada kurangnya sosialisasi kepada masyarakat tentang hal-hal yang menyangkut
Bidang Pekerjaan Umum. Sehingga masyarakat rendah akan kesadaran tentang
kegiatan yang berkaitan dengan perizinan dalam Bidang Pekerjaan Umum, dan
sering terjadi kekeliruan dalam pelaksanaannya. Kemudian sarana prasarana atau Fasilitas
pelayanan di kantor masih sangat terbatas, hal ini dipengaruhi oleh faktor
manusianya sendiri dalam mengoperasikannya, dan faktor dana dalam pengadaan sarana
prasarana tersebut. Fasilitas tersebut berupa fasilitas ruangan, komputer dan
kendaraan dinas. Oleh karena itu perlu adanya penambahaan dan perbaikan sesuai
dengan kondisi tempat pelayanan tersebut yang mempengaruhi kelancaraan
pelaksanaan tugas pelayanan kepada masyarakat. Sehingga masyarakat sebagai
penerima pelayanan merasa puas dan nyaman.
Berdasarkan fokus penelitian
dan pertimbangan maka judul yang diambil oleh penulis dalam penelitian ini
adalah “IMPLEMENTASI KEWENANGAN CAMAT DI
BIDANG PEKERJAAN UMUM DI KECAMATAN CIKARANG UTARA KABUPATEN BEKASI”
1.2
Permasalahan
1.2.1
Identifikasi
Masalah
Adapun
dengan banyaknya pelimpahan kewenangan yang ada di Kecamatan Cikarang Utara,
maka dikiranya dapat diambil beberapa permasalahan yang terjadi:
1.
kurangnya personil yang ada di Kecamatan
Cikarang Utara di Bidang Pekerjaan Umum.
2.
terbatasnya sarana prasarana yang menunjang Implementasi
tugas kewenangan tersebut.
3.
kurangnya alokasi dana atau minimnya biaya
sebagai biaya operasional Implementasi kewenangan.
1.2.2 Pembatasan Masalah
Untuk
lebih mempertegas fokus dan lokus penelitian terhadap masalah yang akan diamati
dan dikaji, dengan mengingat waktu yang ada, untuk lebih rinci penelitian ini
dibatasi sampai pada Implementasi Kewenangan Camat di Bidang Pekerjaan Umum di
Kecamatan Cikarang Utara.
1.2.3
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
identifikasi, maka masalah penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana Implementasi
kewenangan Camat di Bidang Pekerjaan Umum di Kecamatan Cikarang Utara Kabupaten
Bekasi?
2. Faktor apa yang
menghambat dalam Implementasi kewenangan Camat di Bidang Pekerjaan Umum di
Kecamatan Cikarang Utara Kabupaten Bekasi?
1.3
Maksud dan Tujuan Magang
1.3.1
Maksud
Adapun maksud dari magang
adalah untuk mencari dan memperoleh data-data yang akurat dan yang diperlukan
dalam menjawab masalah-masalah yang diteliti tentang Implementasi Kewenangan
Camat di Bidang Pekerjaan Umum di Kecamatan Cikarang Utara Kabupaten Bekasi.
1.3.2
Tujuan
Tujuan dilaksanakannya
penelitian adalah sebagai berikut:
1.
Untuk mengetahui dan mendeskripsikan Implementasi
kewenangan Camat di Bidang Pekerjaan Umum di Kecamatan Cikarang Utara Kabupaten
Bekasi.
2.
Untuk mengetahui dan mendeskripsikan faktor-faktor
yang menjadi penghambat dalam Implementasi kewenangan Camat di Bidang Pekerjaan
Umum di Kecamatan Cikarang Utara Kabupaten Bekasi.
1.4
Kegunaan
Magang
1.4.1
kegunaan Praktis untuk Lokasi Magang
Hasil penulisan laporan
akhir ini dapat memberikan masukan bagi Kabupaten Bekasi, khususnya dalam hal Implementasi
kewenangan Camat sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
1.4.2
Kegunaan Praktis untuk Lembaga
Hasil dari penelitian ini
diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu tentang Politik
Pemerintahan khususnya tentang Implementasi Kewenangan Camat dan dapat
digunakan sebagai bahan kajian bagi praja dalam memahami permasalahan yang
muncul serta memperoleh keterampilan dalam memecahkan masalah tersebut serta
dapat dijadikan sebagai kajian-kajian dalam penelitian selanjutnya.
1.5
Definisi
Konsep Obyek yang Diamati dan dikaji
1.5.1
Kebijakan Publik
Menurut Dye yang dikutip
Young dan Quinn (2002:5) dalam Suharto (2010:44) memberikan definisi Kebijakan
Publik secara luas, yakni “whatever
governments choose to do or not to do”. Kebijakan Publik adalah segala
sesuatu yang dikerjakan dan tidak dikerjakan oleh Pemerintah.
Sedangkan menurut David
Easton dalam Luankali (2007:1) mendefinisikan “Kebijakan Publik sebagai alokasi
nilai-nilai secara otoritatif untuk keseluruhan masyarakat, oleh karena
tindakan Pemerintah itu merupakan hasil pilihan untuk berbuat sesuatu”. Pengertian
lainnya menurut Carl Friedrich dalam Luankali (2007:2) “Kebijakan Publik
sebagai keseluruhan rumusan kegiatan yang berisikan tujuan atau sasaran yang
hendak dicapai”.
Lebih lanjut Anderson dalam Luankali
(2007:2) mengatakan bahwa “Kebijakan Publik adalah hasil hubungan timbal balik
antara suatu unit Pemerintahan dengan lingkungannya”. Kebijakan Publik pada
dasarnya adalah suatu keputusan yang dimaksudkan untuk mengatasi kesalahan tertentu
melakukan kegiatan tertentu, atau untuk mencapai tujuan tertentu yang dilakukan
oleh instansi yang mempunyai wewenang dalam rangka penyelenggaraan tugas Pemerintahan
Negara dan pembangunan, berlangsung dalam satu Kebijakan tertentu. Dalam
kehidupan administrasi Negara secara formal, keputusan tersebut lazimnya
dituangkan dalam berbagai bentuk peraturan perundang-undangan.
Kebijakan
Publik tidak lahir begitu saja, namun melalui proses atau tahapan yang cukup
panjang. Misalnya menurut William N. Dunn (2003:25) dalam Madani (2011:21)
bahwa:
Proses
pembuatan Kebijakan Publik selalu diawali oleh serangkaian kegiatan yang saling
bertautan dan berhubungan antara satu dengan yang lain. Proses tersebut terdiri
dari kegiatan penyusunan agenda kebijakan, formulasi kebijakan, adopsi
kebijakan, implementasi dan evaluasi atau penilaian sebuah kebijakan publik.
Dilukiskan proses tersebut melalui visualisasi sebagai berikut:
Gambar 1.1
Tahap Proses Pembuatan Kebijakan
Perumusan
masalah kebijakan
|
Penyusunan Agenda
|
Penyusunan Agenda
Perumusan Kebijakan
|
Peramalan
|
Adopsi
Kebijakan
|
Implementasi
Kebijakan
|
Rekomendasi
|
Pemantauan
|
Penilaian
|
Penilaian
Kebijakan
|
Sumber:
Dunn, 2003
Penyusunan agenda yaitu agar
suatu proses masalah bisa mendapatkan perhatian dari Pemerintah. Formulasi
kebijakan merupakan proses perumusan pilihan-pilihan kebijakan oleh Pemerintah.
Adopsi kebijakan merupakan proses ketika Pemerintah mengambil atau membuat
pilihan untuk melakukan tindakan. Implementasi kebijakan yaitu proses
melaksanakan kebijakan supaya mencapai hasil. Evaluasi yaitu proses untuk
menilai hasil atau kinerja kebijakan yang telah dibuat. Kebijakan Publik dibuat
bukannya tanpa maksud dan tujuan, maksud dan tujuan dari Kebijakan Publik
adalah untuk memecahkan masalah atau mencari solusi alternatif dari masalah
yang menjadi isu bersama yang berkembang di masyarakat melalui suatu proses
yang kompleks dan saling berkaitan dan saling mempengaruhi.
1.5.2
Implementasi
Menurut Van Meter dan Van
Horn (1975:462-474) dalam Syafri dan Israwan Setyoko (2008:19) :
Implementasi
kebijakan pada dasarnya merupakan penilaian atas tercapainya standar dan
sasaran tertentu yang telah ditetapkan dalam suatu kebijakan. Ada beberapa
variabel penting yang mempengaruhinya yaitu :
a.
Ukuran
dan tujuan kebijakan
b.
Sumber-sumber
kebijakan
c.
karakteristik
badan atau lembaga pelaksanaan
d.
komunikasi
antar organisasi terkait dan aktivitas pelaksanaan
e.
kondisi
ekonomi, sosial dan politik, dan
f.
sikap
para pelaksana kebijakan
Pengertian
Implementasi menurut pandangan Lesterdan Stewart dalam Budi Winarno (2012:147)
menyebutkan bahwa:
Implementasi kebijakan dipandang dalam
pengertian yang luas, merupakan tahap dari proses kebijakan segera setelah
penetapan Undang-Undang. Implementasi dipandang secara luas mempunyai makna
pelaksanaan Undang-Undang dimana berbagai aktor, organisasi, prosedur, dan
teknik bekerja bersama-sama untuk menjalankan kebijakan dalam upaya untuk
meraih tujuan-tujuan kebijakan atau program-program.
Menurut Edward III dalam
Indiahono (2009:31) mengatakan bahwa Implementasi kebijakan publik menunjuk
empat variabel yang berperan penting dalam pencapaian keberhasilan
Implementasi. Empat variabel tersebut adalah:
a.
Komunikasi
Menunjuk bahwa setiap
kebijakan akan dapat dilaksanakan dengan baik jika terjadi komunikasi efektif
antara pelaksana program (kebijakan) dengan para kelompok sasaran (target
group). Tujuan dan sasaran dari program/kebijakan dapat disosialisasikan secara
baik sehingga dapat menghindari adanya distori atas kebijakan dan program. Ini
menjadi penting karena semakin tinggi penolakan dan kekeliruan dalam
mengaplikasikan program dan kebijakan dalam ranah yang sesungguhnya.
b.
Sumber
daya
Menunjuk setiap
kebijakan harus didukung oleh sumber daya yang memadai, baik sumber daya
manusia maupun sumber daya finansial. Sumber daya manusia adalah kecukupan baik
kualitas maupun kuantitas implementor yang dapat melingkupi seluruh kelompok
sasaran. Sumber daya finansial adalah kecukupan modal investasi atas sebuah
program/kebijakan. Sebab tanpa kehandalan implementor, kebijakan menjadi kurang
enerjik dan berjalan lambat dan seadanya. Sedangkan, sumber daya finansial
tanpa ada dukungan finansial yang memadai, program tak dapat berjalan efektif
dan cepat dalam mencapai tujuan dan sasaran.
c.
Disposisi
Menunjuk
karakteristik yang menempel erat kepada implementor kebijakan/program. Karakter
yang penting dimiliki oleh implementor adalah kejujuran, komitmen dan
demokratis. Implementor yang memiliki komitmen tinggi dan jujur akan senantiasa
bertahan diantara hambatan yang ditemui. Komitmen dan kejujurannya membawanya
semakin antusias dalam melaksanakan tahap-tahap program secara konsisten. Sikap
yang demokratis akan meningkatkan kesan baik implementor dan menurunkan
resistensi dari masyarakat dan menumbuhkan rasa percaya dan kepedulian kelompok
sasaran terhadap implementor dan program/kebijakan.
d.
Struktur
Birokrasi
Aspek struktur
birokrasi ini mencakup dua hal penting pertama adalah mekanisme, dan struktur
organisasi pelaksana sendiri. Mekanisme implementasi program biasanya sudah
ditetapkan melalui Standard Operating
Procedur (SOP) yang dicantumkan dalam guideline program/kebijakan. SOP yang
baik mencantumkan kerangka kerja yang jelas, sistematis, tidak berbelit dan
mudah dipahami oleh siapapun karena akan menjadi acuan dalam bekerjanya
implementor. Sedangkan struktur organisasi pelaksanapun sejauh mungkin
menghindari hal yang berbelit, panjang dan kompleks. Struktur organisasi pelaksana
harus dapat menjamin adanya pengambilan keputusan atas kejadian luar biasa
dalam program secara cepat.
Implementasi
diartikan sebagai suatu proses mentransformasikan sebuah rencana atau program
yang telah disusun dan ditetapkan sebelumnya, sehingga rencana atau program
tersebut dapat menghasilkan sesuatu yang diharapkan sesuai dengan rencana atau
program yang telah ditetapkan.
1.5.3
Kewenangan Atributif dan Delegatif
Sadu Wasistiono (2009:49)
menerangkan bahwa:
Kewenangan berkaitan
dengan kekuasaan atau hak untuk melakukan atau memerintah, atau mengambil
tindakan melalui orang lain. Sedangkan pendelegasian dimaksudkan sebagai
pelimpahan kewenangan dari seorang eksekutif atau unit organisasi kepada yang
lain untuk menyelesaikan sebagian tugas-tugas tertentu.
Rosidin (2010:88) “Kewenangan
Atributif merupakan kewenangan yang melekat pada satuan Pemerintahan atas dasar
Peraturan Perundang-undangan yang membentuknya”. Pada Camat kewenangan ini
merupakan kewenangan yang pada dasarnya telah secara otomatis didapat oleh
Camat sebagai kewajiban untuk dilaksanakan.
Menurut Rosidin (2010:90)
Kewenangan Delegatif adalah “kewenangan yang didelegasikan dari satuan Pemerintah
yang lebih besar kepada satuan Pemerintah yang lebih kecil. Kewenangan
Delegatif tidak dapat didelegasikan kepada Pemerintah lainnya karena bukan
kewenangan yang melekat pada satuan Pemerintah yang bersangkutan”. Seperti hal
nya Camat mendapatkan pendelegasian kewenangan dari Bupati untuk melaksanakan
sebagian urusan Pemerintahan di bidang tertentu.
1.5.4
Bidang Pekerjaan Umum
Bidang Pekerjaan Umum adalah
unsur pelaksana Pemerintah Daerah dalam perumusan, perencanaan, dan
penyelenggara semua kegiatan menyangkut Pekerjaan Umum yang mana dalam melaksanakan
tugas dan fungsinya secara administratif dikoordinasikan oleh seksi Ekonomi dan
Pembangunan. Bidang Pekerjaan Umum di Kecamatan Cikarang Utara mempunyai tugas membantu
Camat dalam melaksanakan urusan Pemerintahan Daerah Bidang Pekerjaan Umum berdasarkan
asas otonomi, tugas pembantuan dan dekonsentrasi. Serta fungsinya seperti
perumusan kebijakan teknis Bidang Pekerjaan Umum, perencanaan program dan
kegiatan Bidang Pekerjaan Umum, penyelenggaraan urusan Pemerintahan dan
pelayanan umum Bidang Pekerjaan Umum, pengkoordinasian dan pembinaan tugas Bidang
Pekerjaan Umum, pengendalian dan
evaluasi Implementasi tugas Bidang Pekerjaan Umum, Implementasi tugas lain yang
diberikan oleh atasan sesuai dengan bidang tugas dan fungsinya.
No comments:
Post a Comment