Thursday, April 5, 2018

Kinerja Satuan Polisi Pamong Praja dalam Penertiban PKL di Jalan Raya Tegar Beriman Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat

 BAB I
PENDAHULUAN


1 . 1 .  Latar Belakang Masalah

  Arus reformasi telah berhasil menumbangkan pemerintahan Orde Baru yang otoriter. Faktor keruntuhan Orde Baru selain karena kekuasaan yang otoriter juga dipicu oleh masalah ekonomi dan adanya perubahan sosial dalam masyarakat. Terutama perubahan sosial yang didorong oleh kemajuan teknologi informasi komunikasi yang menghasilkan suatu tuntutan demokratisasi, transparansi, keterbukaan dan hak asasi manusia. Berbagai dampak dari krisis tersebut muncul sebagai jalan terbukanya reformasi di seluruh aspek kehidupan bangsa. Salah satunya adalah tuntutan pemberian otonomi yang luas kepada daerah kabupaten/kota agar terwujud suatu Indonesia baru, Indonesia yang lebih demokratis, lebih adil, dan lebih sejahtera. Hal ini wajar karena intervensi pemerintah pusat yang terlalu besar di masa lalu menyebabkan inisiatif dan prakarsa daerah cenderung mati sehingga menimbulkan berbagai masalah dalam mendorong proses pembangunan dan kehidupan demokrasi di daerah.
Dalam rangka otonomi daerah di mana kewenangan cenderung dimiliki oleh kabupaten/kota, harapan dan tuntutan masyarakat tentang keadilan dalam penyelenggaraan kehidupan ekonomi, politik, sosial, budaya, penegakan hukum, dan penghargaan atas hak asasi manusia tidak bisa ditawar-tawar. Dalam rangka menampung aspirasi masyarakat, maka otonomi daerah merupakan salah satu upaya strategis yang memerlukan pemikiran yang matang, mendasar, berdimensi jauh ke depan. Pemikiran itu kemudian dirumuskan dalam kebijakan otonomi daerah yang sifatnya menyeluruh dan dilandasi prinsip-prinsip dasar demokrasi, kesetaraan, dan keadilan disertai oleh kesadaran akan keanekaragaman/kemajemukan, (H. A. W Widjaja, 2004:99).
Untuk dapat melaksanakan otonomi daerah diperlukan perubahan dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia, dari sentralisasi pemerintahan bergeser ke  arah desentralisasi dengan pemberian otonomi daerah yang luas, nyata, dan bertanggung jawab. Hal ini telah terwujud dengan ditetapkannya UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang merupakan dasar dari pelaksanaan otonomi daerah. Berdasarkan  UU No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah juga semakin luas, termasuk di dalamnya perencanaan dan pengendalian pembangunan dan juga penyelenggaraan ketertiban dan ketentraman masyarakat. Dengan pengembangan pembangunan daerah, diharapkan dapat menciptakan masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera. Akan tetapi dalam pelaksanaan pembangunan, pemerintah daerah juga harus memperhatikan keteraturan dan ketertiban daerahnya agar tercipta kondisi yang nyaman bagi seluruh masyarakat.
Salah satu potensi pengembangan pembangunan daerah adalah usaha di sektor informal seperti Pedagang Kaki Lima (PKL). Potensi ini apabila dikelola dengan baik, maka akan memberikan kontribusi yang besar dalam aktifitas ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. PKL adalah pedagang yang menjual barang dagangannya di pinggir jalan atau tempat umum. Usaha pedagang tersebut dilaksanakan pada tempat-tempat yang dianggap strategis dalam suasana yang informal. Bahkan PKL, secara nyata mampu memberikan pelayanan terhadap kebutuhan masyarakat yang berpenghasilan rendah, sehingga dapat tercipta suatu kondisi pemerataan hasil-hasil pembangunan. Di kota-kota besar keberadaan PKL merupakan suatu fenomena kegiatan perekonomian rakyat kecil. Akhir-akhir ini fenomena penggusuran terhadap para PKL marak terjadi. Para PKL digusur oleh aparat pemerintah karena tidak memiliki izin usaha dan berjualan tidak pada tempatnya. Dalam melihat fenomena keberadaan PKL yang menjamur di daerah Kabupaten Bogor ternyata keberadaannya dapat dijadikan sebagai salah satu potensi bagi pembangunan daerah yang pengembangannya juga harus diimbangi dengan keteraturan dan ketertiban agar keberadaannya tidak merugikan pihak lain. Karena dalam perkembangannya, keberadaan PKL di kawasan perkotaan dan di daerah-daerah tertentu seringkali menimbulkan masalah yang terkait dengan gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat. Pada umumnya mereka
berjualan di trotoar jalan, di taman-taman kota, bahkan dibadan jalan. Sehingga keberadaaan mereka sangat mengganggu ketentraman dan kenyamanan pengguna jalan dan menghambat lalulintas.
Kehadiran PKL merupakan salah satu faktor yang menimbulkan persoalan, baik dalam masalah ketertiban, lalulintas, keamanan, maupun kebersihan di setiap daerah termasuk juga di Kabupaten Bogor. Berbagai permasalahan terkait dengan PKL banyak bermunculan yang ternyata merugikan masyarakat dan juga pemerintah daerah sendiri seperti rasa tidak nyaman karena keberadaan PKL yang tidak pada tempatnya sehingga mengganggu kegiatan masyarakat sehari-hari. Selain itu ada juga PKL yang mendirikan bangunan tempat usahanya secara permanen yang sekaligus digunakan untuk tempat tinggal, hal ini juga bisa mendatangkan kesulitan bagi pemerintah daerah dalam menghadapi sikap dan kemauan para PKL ketika suatu saat akan ditata. PKL ini timbul akibat tidak tersedianya lapangan pekerjaan bagi rakyat kecil yang tidak memiliki kemampuan untuk mencari pekerjaan demi mendapatkan pendapatan guna memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Pemerintah dalam hal ini sebenarnya memiliki tanggung jawab dalam melaksanakan pembangunan dibidang pendidikan, bidang perekonomian dan penyediaan lapangan pekerjaan.
Sejalan dengan semangat otonomi daerah, setiap pemerintah daerah berupaya mengembangkan berbagai strategi atau kebijakan untuk menangani persoalan PKL dari mulai yang bersifat persuasif hingga represif. Jika pemerintah melihat PKL sebagai potensi sosial ekonomi yang bisa dikembangkan, maka kebijakan yang dipilih biasanya akan lebih diarahkan untuk menata PKL, misalnya dengan memberikan ruang usaha bagi PKL, memformalkan status mereka sehingga bisa memperoleh bantuan kredit bank, dan lainnya. Namun sebaliknya, jika PKL hanya dilihat sebagai pengganggu ketertiban dan keindahan kota, maka mereka akan menjadi sasaran penggusuran dan penertiban. (www.detail_artikel.com, diakses 12 juli 2014).
Jadi sangat wajar sekali fenomena PKL ini merupakan imbas dari semakin banyaknya jumlah rakyat miskin dan tidak cukup tersedianya lapangan pekerjaan di Indonesia . Mereka berdagang hanya karena tidak ada pilihan lain, tidak memiliki kemampuan pendidikan yang memadai, dan tidak memiliki tingkat pendapatan ekonomi yang baik dan sempitnya lapangan pekerjaan yang tersedia buat mereka. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari dan untuk membiayai keluarganya ia harus bekerja sebagai PKL.

           Di Kecamatan Cibinong, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat tepatnya di Jl. Raya tegar beriman dalam seminggu sekali diadakannya pasar pagi untuk masyarakat setempat. Banyak fenomena yang terjadi karena adanya para Pedagang Kaki Lima ini, para PKL yang berjualan di Jl.Tegar Beriman tersebut tidak memiliki surat izin usaha untuk berjualan, hal ini sama seperti pedagang kaki lima liar. Para PKL bertebaran di sisi jalan sepanjang Jl.Tegar Beriman sehingga tidak beraturannya susunan formasi PKL. Hal ini menyebabkan banyak keluhan dari masyarakat yang menggunakan kendaraan, transportasi umum, dan pejalan kaki karena mengganggu arus lalu lintas .
          Banyaknya kendaraan yang keluar masuk melalui jalan tersebut terganggu karena banyaknya para PKL dan pengunjung memenuhi sisi ruas jalan tersebut. Jl.Tegar Beriman adalah jalan raya umum yang menjadi tempat dimana arus lalu lintas sangatlah padat , ditambah dengan adanya Pedagang kaki lima  akan semakin menimbulkan kemacetan yang tidak bisa dihindari dan tidak adanya lahan untuk parkir kendaraan yang hingga pada akhirnya kendaraan yang memenuhi sisi ruas jalan tersebut menyebabkan kemacetan yang sangat panjang.
         Selain menimbulkan kemacetan, para pedagang kaki lima di Jl.Tegar Beriman juga menimbulkan banyaknya sampah, karena tidak adanya keteriban dan kesadaran dari para pedagang kaki lima tersebut, hal ini dapat menimbulkan keresahan kepada masyarakat karena sampah yang mencemari lingkungan akan mengganggu kesehatan masyarakat di lingkungan tersebut.
          Adanya tindak kriminal seperti pencopetan juga dapat menimbulkan kecemasan masyarakat dalam melakukan kegiatan sehari-hari di lingkungan sekitar Aktivitas pedagang kaki lima pada umumnya menempati badan-badan jalan ataupun trotoar, sehingga tidak menyisakan cukup ruang bagi para pejalan kaki. Dan juga pedagang kaki lima memberikan permasalahan lingkungan seperti para pedagang kaki lima yang berjualan di pinggir-pinggir sungai, yang sering kali mereka membuang sampah atau bungkus apapun kedalam sungai tersebut sehingga menyebabkan aliran sungai menjadi terhambat dan membuat pencemaran lingkungan dikarenakan air sungai menjadi tergenang dan terhambat.
           Kondisi ini menjadi sorotan perhatian publik dan pemerintah karena menciptakan masalah kemacetan dan pergerakan kemajuan daerah. Pedagang kaki lima yang menempati ruang dan jalan umum juga dapat menciptakan masalah sosial seperti hadirnya pencopet dan menimbulkan kemacetan arus lalu lintas kendaraan masyarakat. Situasi ini menciptkakan masalah dan merusak morfologi dan estetika kota .
           Menyikapi adanya masalah pedagang kaki lima tersebut diperlukan adanya suatu unit kerja khusus dalam membantu pelaksanaan pemerintah melakukan pembinaan dan penindakan terhadap pelanggaran Peraturan Daerah dan ketentuan yang berlaku, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah pasal 148 ayat 1, keberadaan Polisi Pamong Praja sangatlah strategis karena mempunyai fungsi sebagai pembantu Kepala Daerah dalam penegakan peraturan daerah dan penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban masyarakat.
           Mengacu pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang pemerintahan daerah penulis akan mencoba untuk menguraikan keberadaan Polisi Pamong Praja dalam pembinaan pedagang kaki lima dan penyelenggaraan penertiban dari Polisi Pamong Praja terhadap para pedagang kaki lima. Satuan Polisi Pamong Praja sebagai perangkat daerah untuk penegakan peraturan daerah perlu dilaksanakan suatu pembinaan yang meliputi segala usaha terutama para Pedagang Kaki Lima agar tidak menimbulkan banyak masalah. Untuk itulah satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Bogor yang dalam susunan organisasinya dan tata kerjanya bertugas mengimplementasikan kebijakan agar menciptakan daerah yang aman, tentram, tertib serta guna menciptakan penyelenggaraan pemerintahan dan kegiatan masyarakat yang kondusif di Kabupaten Bogor.
          Adanya Satuan Polisi Pamong Praja , maka mereka dituntut untuk memperbaiki dan menyelenggarakan berbagai se   ktor yang masih lemah dan perlu pembenahan dengan mempertahankan dan meningkatkan serta memelihara yang sudah benar sesuai dengan hukum melalui suatu pola pembinaan yang tepat dan lebih konkret bagi polisi pamong praja . Kebijakan Satuan Polisi Pamong praja dalam menyikapi masalah pedagang kaki lama sangat diperlukan untuk membuat kondisi lingkungan yang aman dan ber jalan dengan semestinya.
            Berdasarkan uraian latar belakang diatas, penulis bermaksud menuliskan usulan magang mengenai kebijakan Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Bogor terhadap pedagang kaki lima. Hasil dari magang tersebut akan disusun dalam bentuk Laporan Akhir dengan judul : ”Kinerja Satuan Polisi Pamong Praja dalam Penertiban PKL di Jalan Raya Tegar Beriman  Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat” .


1.2     Permasalahan
          1.2.1  Identifikasi Masalah
                    Memperhatikan uraian diatas, maka masalah-masalah penelitian dapat    diidentifikasikan sebagai berikut :       
1.    Kurangnya kesadaran Pedagang Kaki Lima dalam ketertiban keindahan keamanan lingkungan
2.    Tidak tersedianya sarana yang menunjang kegiatan Pedagang Kaki Lima
3.    Adanya tindakan kriminal yang merasahkan masyarakat sekitar
4.    Menimbulkan gangguan lalu lintas terhadap pejalan kaki dan kendaraan umum masyarakat
     1.2.2   Pembatasan Masalah
                     Mengingat keterbatasan penulis guna menjadikan topik laporan akhir ini lebih jelas dan mudah dipahami oleh masyarakat pada umumnya dan pembaca pada khususnya, maka perlu adanya pembatasan masalah. Dan agar pokok bahasan tidak menyimpang maka penulis membatasi masalah yang akan dibahas yaitu mengenai Kinerja Satuan Polisi Pamong Praja dalam Penertiban PKL di Jalan Raya Tegar Beriman Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat.

            1.2.3    Rumusan Masalah
 Dari latar belakang diatas memunculkan beberapa poin yang menarik menjadi pokok penelitian ini. Studi lapangan ini terdiri dari permasalahan penting berikutnya
1.  Bagaimana kinerja Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Bogor dalam Penertiban PKL di Jalan Raya Tegar Beriman di Kabupaten Bogor ?
2.  Upaya Satuan Polisi Pamong Praja dalam menertibkan Pedagang Kaki Lima di Jalan Raya Tegar Beriman ?
3.  Apa faktor-faktor pendukung dan penghambat Satuan Polisi Pamong Praja dalam penertiban Pedagang Kaki lima ?

1.3      Maksud dan Tujuan Magang
           1.3.1   Maksud Magang
                      Berdasarakan uraian latar belakang masalah penelitian, maksud penelitian ini adalah untuk meneliti dari Kinerja Satuan Polisi Pamong Praja dalam menertibkan PKL di Jalan Raya Tegar Beriman Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat serta faktor-faktor pendukung dan penghambat Kinerja Satuan Polisi Pamong Praja tersebut.

           1.3.2  Tujuan Magang
                     Tujuan magang antara lain :
1.          mengetahui bagaimana kinerja satuan Polisi Pamong Praja dalam menertibkan PKl di Jalan Raya Tegar Beriman  Kabupaten Bogor Provinsi Jawa barat
2.          mengetahui faktor-faktor pendukung dan penghambat kinerja Satuan Polisi Pamong praja dalam menertibkan Pedagang kaki Lima di Jalan Raya Tegar Beriman Kabupaten Bogor Provinsi jawa Barat
3.         Mengetahui Upaya Satuan Polisi Pamong Praja dalam menertibkan Pedagang kaki Lima di Jalan Raya Tegar Beriman Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat

1.4       Kegunaan magang
            Penelitian yang berjudul Kebijakan Satuan Polisi Pamong Praja dalam Menertibkan Pedagang Kaki Lima di Kabupaten Bogor Provinsi jawa barat diharapkan memperoleh kegunaan sebagai berikut :
            1.4.1   Kegunaan Teoritis
          Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan untuk menambah wawasan pengetahuan bagi penulis secara pribadi dan sebagai bahan masukan dalam pengembangan ilmu pemerintahan bagi peneliti khususnya yang berkaitan dengan ketertiban umum.
             1.4.2   Kegunaan Praktis
           Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan masukan yang dapat membantu satuan Polisi Pamong Praja dalam menertibkan Pedagang kaki Lima di Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat.

1.5      Definisi Konsep Obyek yang diamati dan dikaji
           1.5.1   Konsep Kinerja
Kinerja telah menjadi terminologi atau konsep yang sering dipakai orang dalam berbagai pembahasan dan pembicaraan, khususnya dalam kerangka mendorong keberhasilan atau kemajuan organisasi. Kinerja merupakan pertanyaan kunci terhadap efektivitas atau keberhasilan organisasi. Organisasi yang berhasil dan efektif merupakan organisasi dengan individu yang didalamnya memiliki kinerja yang baik. Organisasi yang efektif atau berhasil akan ditopang oleh kinerja dari sumber daya manusia yang dalam lingkup organisasi tersebut. Menurut Mahsum dalam Masana Sembiring (2012:81) menjelaskan “Kinerja (performance) adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan/program/kebijakan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi, dan visi organisasi yang tertuang dalam strategic planning”. Selanjutnya dijelaskan oleh Masana Sembiring (2012:82) “kinerja dikatakan sebagai sebuah hasil kerja (output) dari suatu proses (konversi) tertentu yang dilakukan oleh seluruh komponen organisasi terhadap sumber-sumber daya, data dan informasi, kebijakan, dan waktu tertentu yang digunakan disebut sebagai masukan (input). Umpan balik merupakan komentar dari konsumen atas output yang didistribusikan yang berguna bagi perubahan atau perbaikan input berikutnya, sehingga proses tersebut merupakan siklus atau sistem”. Selanjutnya Terkait dengan konsep kinerja, Rummler dan Brache dalam Sudarmanto (2009:7) mengemukakan ada tiga level kinerja, yaitu :
1.         Kinerja organisasi; merupakan pencapaian hasil (out-come) pada level atau unit analisis organisasi. Kinerja pada level atau unit analisis organisasi. Kinerja p  ada level organisasi ini terkait dengan tujuan organisasi, rancangan organisasi, dan manajemen organisasi.
2.         Kinerja proses; merupakan kinerja pada proses tahapan dalam menghasilkan produk atau pelayanan. Kinerja pada level proses ini dipengaruhi oleh tujuan proses, rancangan proses, dan manajemen proses.
3.         Kinerja individu/pekerjaan; merupakan pencapaian atau efektivtas pada tingkat pegawai atau pekerjaan. Kinerja pada level ini dipengaruhi oleh tujuan pekerjaan, rancangan pekerjaan, dan manajemen pekerjaan serta karakteristik individu.
Kemudian Amstron dan Baron dalam Irham Fahmi (2011:2) mengemukakan  “kinerja adalah hasil yang diperoleh oleh suatu organisasi baik organisasi tersebut bersifat profit oriented dan non profit oriented yang dihasilkan selama satu periode waktu. Secara lebih tegas dijelaskan kinerja nerupakan hasil pekerjaan yang mempunyai hubungan yang kuat dengan tujuan strategis organisasi, kepuasan konsumen dan memberikan kontribusi ekonomi”. Selanjutnya Indra Bastian dalam Irham Fahmi (2011:2) menyatakan “kinerja adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan/program/kebijaksanaan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi dan visi organisasi yang tertuang dalam perumusan skema trategis suatu organisasi”. Selanjutnya Bernadin dalam Sudarmanto (2009:8) menyatakan bahwa “kinerja merupakan catatan hasil yang diproduksi atau dihasilkan atas fungsi pekerjaan tertentu atau aktivitas-aktivitas selama periode waktu tertentu”. Dari definisi tersebut, Bernadin menekankan pengertian kinerja sebagai hasil. Selanjutnya Murphy dalam Sudarmanto (2009:8) menjelaskan bahwa “kinerja merupakan seperangkat perilaku yang relevan dengan tujuan organisasi atau unit organisasi tempat orang bekerja”.
Dalam setiap kinerja akan selalu terkait dengan ukuran atau standar kinerja. Martin dan Bartol dalam Sudarmanto (2009:9) mengemukakan bahwa “ standar kinerja seharusnya didasarkan pada pekerjaan, dikaitkan dengan persyaratan yang dijabarkan dari analisis pekerjaan, dan tercermin dalam deskripsi pekerjaan dan spesifikasi pekerjaan”. Bufford dalam Sudarmanto (2009:9) menyatakan bahwa “ untuk menjadi efektif, standar kinerja seharusnya dikaitkan dengan hasil yang diinginkan dari msing-masing pekerjaan”. Selanjutnya menurut Lathams dan Wexley dalam Sudarmanto (2009:10) menjelaskan bahwa “ idealnya penilaian didasarkan pada kinerja aktual dari identifikasi elemen-elemen kritis melalui analisis pekerjaan”. Terkait dengan ukuran dan standar kinerja, David Devries dkk., dalam Sudarmanto (2009:10)  menyatakan bahwa dalam melakukan pengukuran kinerja ada tiga pendekatan, yaitu:
1.         Pendekatan personality trait, yaitu dengan mengukur; kepemimpinan, inisiatif, dan sikap
2.         Pendekatan perilaku, yaitu dengan mengukur umpan balik, kemampuan presentasi respons terhadap komplain pelanggan
3.         Pendekatan hasil, yaitu dengan mengukur kemampuan produksi, kemampuan menyelesaikan produk sesuai jadwal, peningkatan produksi/penjualan.
Pengukuran kinerja merupakan bagian penting dari proses pengendalian manajemen, baik organisasi publik maupun swasta. Menurut Dick Grote dalam Sudarmanto (2009:11) menyatakan bahwa dalam pengukuran atau penilaian kinerja ada tiga pendekatan, yaitu:
1.         Penilaian  atau pengukuran kinerja berbasis pelaku
2.         Penilaian atau pengukuran kinerja berbasis perilaku
3.         Penilaian atau pengukuran kinerja berbasis hasil.
Selanjutnya menurut Mahmudi (2013:14) tujuan dilakukan penilaian kinerja pada sektor publik adalah:
1.         Mengetahui tingkat ketercapaian tujuan Organisasi
          Pengukuran kinerja pada organisasi sektor publik digunakan untuk mengetahui ketercapaian tujuan organisasi. Penilaian kinerja berfungsi sebagai tonggak yang menunjukkan tingkat ketercapaian tujuan dan juga menunjukkan apakah organisasi berjalan sesuai arah atau menyimpang dari tujuan yang ditetapkan.
2.         Menyediakan sarana pembelajaran pegawai
          Pengukuran kinerja merupakan pendekatan sistematik dan terintegrasi untuk memperbaiki kinerja organisasi dalam rangka mencapai tujuan strategi organisasi dan mewujudkan visi dan misinya. Pengukuran kinerja merupakan sarana untuk pembelajaran pegawai tentang bagaimana seharusnya mereka bertindak, dan memberikan dasar dalam perubahan perilaku, sikap, skill, atau pengetahuan kerja yang harus dimiliki pegawai untuk mencapai hasil kerja terbaik.
3.         Memperbaiki kinerja periode-periode berikutnya
          Pengukuran kinerja dilakukan sebagai sarana pembelajaran untuk perbaikan kinerja di masa yang akan datang. Penerapan sistem pengukuran kinerja dalam jangka panjang bertujuan untuk membentuk budaya berprestasi di dalam organisasi.
4.         Memberikan pertimbangan yang sistematik dalam pembuatan keputusan pemberian penghargaan (reward) dan hukuman (punishment)
          Pengukuran kinerja bertujuan memberikan dasar sistematik bagi atasan untuk memberikan penghargaan (reward) atau hukuman (punishment). Organisasi yang berkinerja tinggi berusaha menciptakan sistem reward, insentif, dan gaji yang memiliki hubungan yang jelas dengan skill, dan kontribusi individu terhadap kinerja organisasi.
5.         Memotivasi pegawai
          Pengukuran kinerja bertujuan untuk meningkatkan motivasi pegawai. Dengan adanya pengukuran kinerja yang dihubungkan dengan manajemen kompensasi, maka pegawai yang berkinerja tinggiakan memperoleh reward. Reward tersebut bertujuan untuk memberikan motivasi kepada pegawai untuk berkinerja lebih tinggi dengan harapan kinerja yang tinggi akan memperoleh kompensasi yang tinggi.
6.         Menciptakan akuntabilitas publik
          Pengukuran kinerja merupakan salah satu alat untuk mendorong terciptanya akuntabilitas publik. Pengukuran kinerja menunjukkan seberapa besar kinerja manajerial dicapai, seberapa bagus kinerja finansial organisasi, dan kinerja lainnya yang menjadi dasar penilaian akuntabilitas. Kinerja tersebut harus diukur dan dilaporkan dalam bentuk laporan kinerja.

Selanjutnya manajemen kinerja membutuhkan proses yang sistematis agar suatu organisasi dapat mencapai kinerja yang optimal. Menurut Mahmudi (2013:16) tahap-tahap sistem manajemen kinerja tersebut meliputi:
1.         Tahap perencanaan kinerja
          Semua kegiatan harus dilalui dengan perencanaan, karena masa depan penuhdengan ketidakpastian. Untuk mengurangi ketidakpastian dan mengarahkan kejadian dimasa depan maka perlu dilakukan perencanaan. Perencanaan merupakan kegiatan aktif terhadap masa depan yang yang bertujuan untuk mempengaruhi masa depan.
2.         Tahap pelaksanaan kinerja
          Setelah kontrak kinerja disepakati, tahap berikutnya adalah implementasi. Dalam tahap implementasi kinerja sangat mungkin terjadi perubahan lingkungan yang signifikan sehingga perencanaan yang dibuat menjadi tidak relevan. Apabila hal ini terjadi, maka manajer harus segera merevisi rencana, membuat tujuan-tujuan dan strategi baru.
3.         Tahap penilaian kinerja
          Penilaian kinerja digunakan untuk  mengetahui sejauh mana tujuan organisasi yang telah dicapai.
4.         Tahap review
          Dalam tahapan ini dilakukan pertemuan semua anggota organisasi dan membahas hasil-hasil yang telah dicapai dan faktor-faktor kinerja yang mendukung pencapaian prestasi. Aktivitas utama dalam tahap review kinerja adalah melakukan diskusi dan pembahasan kinerja yang telah dicapai.
5.         Tahap pembaharuan dan pengontrakan ulang
          Tahap pembaharuan dan pengontrakan ulang merupakan tahap untuk revisi tahap pertama, yaitu menetapkan kembali akuntabilitas kinerja yang harus dipenuhi oleh merivisi tujuan, target kinerja, standar kinerja dan kriteria kinerja. Pembaharuan dan kontrak ulang ini perlu dilakukan karena dalam periode tertentu pasti akan terjadi perubahan.

              Suatu organisasi tidak akan mampu mewujudkan kinerja yang baik tanpa adanya  dukungan yang kuat dari seluruh komponen organisasi, Chaizi Nasucha dalam Irham Fahmi (2011:3) mengemukakan bahwa:
kinerja organisasi merupakan sebagai efektivitas organisasi secara menyeluruh untuk memenuhi kebutuhan yang ditetapkan dari setiap kelompok yang berkenaan dengan usaha-usaha yang sistemik dan meningkatkan kemampuan organisasi secara terus menerus mencapai kebutuhannya secara efektif

              Dalam pengukuran kinerja organisasi harus dilihat pada tujuan atau alasan permulaan dibentuknya suatu organisasi. Dwiyanto dalam Masana Sembiring (2012:98)  mengemukakan beberapa indikator yang biasanya digunakan untuk mengukur kinerja pada sebuah organisasi publik, antara lain :
a.         Produktivitas
          Produktivitas dalam hal ini menunjukan seberapa besar pelayanan publik itu memberikan hasil yang diharapkan
b.         Kualitas Layanan
          Kualitas layanan menunjukan kepuasan masyarakat dan bisa menjadi parameter untuk menilai kinerja organisasi publik
c.         Responsivitas
          Responsivitas adalah kemampuan organisasi untuk mengenali kebutuhan masyarakat menyusun agenda dan prioritas pelayanan dan mengembangkan program-program pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat.
d.         Responsibilitas
          Responsibilitas menjelaskan apakah dalam pelaksanaan kegiatan tersebut dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip yang benar
e.         Akuntabilitas
          Akuntabilitas menunjukan seberapa besar kebijakan dan kegiatan organisasi publik tunduk pada para pejabat politik yang dipilih oleh rakyat. Suatu kegiatan itu dianggap benar dan sesuai dengan nilai dan norma yang berkembang dalam masyarakat.

Pada konteks kinerja organisasi publik, Lembaga Administrasi Negara telah mengembangkan konsep dan ukuran kinerja cukup operasional. Lembaga Administrasi Negara (LAN) dalam Sudarmanto (2009:19) menetapkan 5 indikator organisasi yang telah dijadikan pedoman dan panduan bagi organisasi publik dalam menyusun laporan kinerja, yaitu :
a.          Masukan
          Masukan adalah segala sesuatu yang dibutuhkan agar pelaksanaan kegiatan dan program dapat berjalan atau dalam rangka menghasilkan keluaran, seperti: orang, dana, waktu, material dan lain-lain.
b.          Keluaran
          Keluaran adalah segala sesuatu berupa produk atau jasa (fisik dan atau non fisik) sebagai hasil langsung dari pelaksanaan suatu kegiatan program berdasarkan masukan yang digunakan.
c.          Hasil
          Hasil adalah segala sesuatu yang mencerminkan berfugsinya keluaran kegiata pada jangka menengah. Hasil merupakan ukuran seberapa jauh setiap produk jasa dapat memenuhi kebutuhan dan harapan masyarakat.
d.          Manfaat
          Manfaat adalah kegunaan suatu keluaran yang di rasakan langsung masyarakat. Manfaat dapat berupa tersedianya fasilitas yang dapat diakses oleh publik.





          1.5.2   Konsep Penertiban
          Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 26 Tahun 2005 tentang pedoman prosedur tetap operasional satuan polisi pamong praja menyebutkan bahwa ketertiban adalah suasana yang mengarah kepada keteraturan dalam masyarakat menurut norma yang berlaku sehingga menimbulkan motivasi kerja dalam rangka mencapai tujuan yang diinginkan.
           Dari penjelasan tersebut pada intinya ketertiban adalah sesuatu hal yang perlu disesuaikan kembali dengan aturan maupun sesuatu hal yang telah sesuai dengan apa yang telah diharapkan dan sudah tepat guna menunjang terselenggaranya proses pemerintahan maupun kehidupan bersosial masyarakat guna tercapainya ketertiban dan ketentraman umum.
         1.5.3   Konsep Polisi Pamong Praja
         Satuan Polisi Pamong Praja merupakan salah satu aparatur pemerintah daerah yang mempunyai tugas melaksanakan pembinaan ketentraman dan ketertiban umum serta menciptakan keadaan yang kondusif terhadapap ancaman , tantangan, hambatan dan gangguan serta pelanggaran-pelanggaran terhadap peraturan daerah.
                   Sebagaimana dimaksud dalam peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 40 Tahun 2011 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Satuan Polisi Pamong Praja, menurut pasal 1 ayat 7 bahwa Satuan Polisi Pamong Praja adalah bagian perangkat daerah dalam penegakkan Perda dan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat.
                   Selanjutnya sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 54 Tahun 2011 tentang Standar Operasional Prosedur Satuan Polisi Pamong Praja, menurut pasal 1 ayat 3 bahwa Polisi Pamong Praja adalah anggota Satpol PP sebagai aparat pemerintah daerah penegakkan peraturan daerah dan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat.
                   Peran Satpol PP sangat penting dalam kelangsungan peraturan dan kebijakan daerah. Satpol PP sebagi penegak Perda diharapkan mampu mendukung dan ikut serta dalam mewujudkan program-program yang telah direncanakan oleh pemerintah daerah.

       1.5.4    Pedagang Kaki Lima
          Sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 41 Tahun 2012 tentang Pedoman Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima mengatakan bahwa Pedagang Kaki Lima , yang selanjutnya disingkat PKL, adalah pelaku usaha yang melakukan usaha perdagangan dengan menggunakan sarana usaha bergerak maupun tidak bergerak, menggunakan prasarana kota, fasilitas sosial, fasilitas umum, lahan dan bangunan milik pemerintah dan/atau swasta yang bersifat sementara/tidak menetap.
                  Sedangkan menurut Alma (2009:157) mengatakan bahwa Pedagang Kaki Lima adalah setiap orang yang melakukan kegiatan usaha dengan maksud memperoleh penghasilan yang sah, dilakukan secara tidak tetap dengan kemampuan terbatas, berlokasi di tempat atau pusat-pusat konsumen dan tidak memiliki izin usaha.
                  Dapat dikatakan bahwa Pedagang Kaki Lima atau yang sering disingkat PKL adalah salah satu usaha informal yang menjajakan barang dagangannya dengan memanfaatkan fasilitas umum dan tidak memiliki izin usaha serta bersifat tidak menetap.







         

No comments:

Post a Comment

buku bimbingan

                                                                                                                                            ...

082126189815

Name

Email *

Message *