BAB I
PENDAHULUAN
1 .
1 . Latar Belakang Masalah
Arus reformasi telah berhasil menumbangkan
pemerintahan Orde Baru yang otoriter. Faktor keruntuhan Orde Baru selain karena
kekuasaan yang otoriter juga dipicu oleh masalah ekonomi dan adanya perubahan
sosial dalam masyarakat. Terutama perubahan sosial yang didorong oleh kemajuan
teknologi informasi komunikasi yang menghasilkan suatu tuntutan demokratisasi,
transparansi, keterbukaan dan hak asasi manusia. Berbagai dampak dari krisis
tersebut muncul sebagai jalan terbukanya reformasi di seluruh aspek kehidupan
bangsa. Salah satunya adalah tuntutan pemberian otonomi yang luas kepada daerah
kabupaten/kota agar terwujud suatu Indonesia baru, Indonesia yang lebih
demokratis, lebih adil, dan lebih sejahtera. Hal ini wajar karena intervensi
pemerintah pusat yang terlalu besar di masa lalu menyebabkan inisiatif dan
prakarsa daerah cenderung mati sehingga menimbulkan berbagai masalah dalam
mendorong proses pembangunan dan kehidupan demokrasi di daerah.
Dalam
rangka otonomi daerah di mana kewenangan cenderung dimiliki oleh
kabupaten/kota, harapan dan tuntutan masyarakat tentang keadilan dalam
penyelenggaraan kehidupan ekonomi, politik, sosial, budaya, penegakan hukum,
dan penghargaan atas hak asasi manusia tidak bisa ditawar-tawar. Dalam rangka
menampung aspirasi masyarakat, maka otonomi daerah merupakan salah satu upaya
strategis yang memerlukan pemikiran yang matang, mendasar, berdimensi jauh ke
depan. Pemikiran itu kemudian dirumuskan dalam kebijakan otonomi daerah yang
sifatnya menyeluruh dan dilandasi prinsip-prinsip dasar demokrasi, kesetaraan,
dan keadilan disertai oleh kesadaran akan keanekaragaman/kemajemukan, (H. A. W
Widjaja, 2004:99).
Untuk
dapat melaksanakan otonomi daerah diperlukan perubahan dalam penyelenggaraan
pemerintahan di Indonesia, dari sentralisasi pemerintahan bergeser ke arah desentralisasi dengan pemberian otonomi
daerah yang luas, nyata, dan bertanggung jawab. Hal ini telah terwujud dengan
ditetapkannya UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang merupakan
dasar dari pelaksanaan otonomi daerah. Berdasarkan UU No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah, urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah juga semakin
luas, termasuk di dalamnya perencanaan dan pengendalian pembangunan dan juga
penyelenggaraan ketertiban dan ketentraman masyarakat. Dengan pengembangan
pembangunan daerah, diharapkan dapat menciptakan masyarakat yang adil, makmur
dan sejahtera. Akan tetapi dalam pelaksanaan pembangunan, pemerintah daerah
juga harus memperhatikan keteraturan dan ketertiban daerahnya agar tercipta
kondisi yang nyaman bagi seluruh masyarakat.
Salah satu potensi pengembangan pembangunan
daerah adalah usaha di sektor informal seperti Pedagang Kaki Lima (PKL).
Potensi ini apabila dikelola dengan baik, maka akan memberikan kontribusi yang
besar dalam aktifitas ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. PKL adalah pedagang
yang menjual barang dagangannya di pinggir jalan atau tempat umum. Usaha
pedagang tersebut dilaksanakan pada tempat-tempat yang dianggap strategis dalam
suasana yang informal. Bahkan PKL, secara nyata mampu memberikan pelayanan
terhadap kebutuhan masyarakat yang berpenghasilan rendah, sehingga dapat tercipta
suatu kondisi pemerataan hasil-hasil pembangunan. Di kota-kota besar keberadaan
PKL merupakan suatu fenomena kegiatan perekonomian rakyat kecil. Akhir-akhir
ini fenomena penggusuran terhadap para PKL marak terjadi. Para PKL digusur oleh
aparat pemerintah karena tidak memiliki izin usaha dan berjualan tidak pada
tempatnya. Dalam melihat fenomena keberadaan PKL yang menjamur di daerah
Kabupaten Bogor ternyata keberadaannya dapat dijadikan sebagai salah satu
potensi bagi pembangunan daerah yang pengembangannya juga harus diimbangi
dengan keteraturan dan ketertiban agar keberadaannya tidak merugikan pihak
lain. Karena dalam perkembangannya, keberadaan PKL di kawasan perkotaan dan di
daerah-daerah tertentu seringkali menimbulkan masalah yang terkait dengan
gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat. Pada umumnya mereka
berjualan
di trotoar jalan, di taman-taman kota, bahkan dibadan jalan. Sehingga
keberadaaan mereka sangat mengganggu ketentraman dan kenyamanan pengguna jalan
dan menghambat lalulintas.
Kehadiran PKL merupakan salah satu faktor
yang menimbulkan persoalan, baik dalam masalah ketertiban, lalulintas,
keamanan, maupun kebersihan di setiap daerah termasuk juga di Kabupaten Bogor.
Berbagai permasalahan terkait dengan PKL banyak bermunculan yang ternyata
merugikan masyarakat dan juga pemerintah daerah sendiri seperti rasa tidak
nyaman karena keberadaan PKL yang tidak pada tempatnya sehingga mengganggu
kegiatan masyarakat sehari-hari. Selain itu ada juga PKL yang mendirikan
bangunan tempat usahanya secara permanen yang sekaligus digunakan untuk tempat
tinggal, hal ini juga bisa mendatangkan kesulitan bagi pemerintah daerah dalam
menghadapi sikap dan kemauan para PKL ketika suatu saat akan ditata. PKL ini
timbul akibat tidak tersedianya lapangan pekerjaan bagi rakyat kecil yang tidak
memiliki kemampuan untuk mencari pekerjaan demi mendapatkan pendapatan guna
memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Pemerintah dalam hal ini sebenarnya
memiliki tanggung jawab dalam melaksanakan pembangunan dibidang pendidikan,
bidang perekonomian dan penyediaan lapangan pekerjaan.
Sejalan
dengan semangat otonomi daerah, setiap pemerintah daerah berupaya mengembangkan
berbagai strategi atau kebijakan untuk menangani persoalan PKL dari mulai yang
bersifat persuasif hingga represif. Jika pemerintah melihat PKL sebagai potensi
sosial ekonomi yang bisa dikembangkan, maka kebijakan yang dipilih biasanya
akan lebih diarahkan untuk menata PKL, misalnya dengan memberikan ruang usaha
bagi PKL, memformalkan status mereka sehingga bisa memperoleh bantuan kredit
bank, dan lainnya. Namun sebaliknya, jika PKL hanya dilihat sebagai pengganggu
ketertiban dan keindahan kota, maka mereka akan menjadi sasaran penggusuran dan
penertiban. (www.detail_artikel.com, diakses 12 juli 2014).
Jadi
sangat wajar sekali fenomena PKL ini merupakan imbas dari semakin banyaknya
jumlah rakyat miskin dan tidak cukup tersedianya lapangan pekerjaan di
Indonesia . Mereka berdagang hanya karena tidak ada pilihan lain, tidak
memiliki kemampuan pendidikan yang memadai, dan tidak memiliki tingkat
pendapatan ekonomi yang baik dan sempitnya lapangan pekerjaan yang tersedia
buat mereka. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari dan untuk
membiayai keluarganya ia harus bekerja sebagai PKL.
Di Kecamatan Cibinong, Kabupaten
Bogor, Provinsi Jawa Barat tepatnya di Jl. Raya tegar beriman dalam seminggu
sekali diadakannya pasar pagi untuk masyarakat setempat. Banyak fenomena yang
terjadi karena adanya para Pedagang Kaki Lima ini, para PKL yang berjualan di
Jl.Tegar Beriman tersebut tidak memiliki surat izin usaha untuk berjualan, hal
ini sama seperti pedagang kaki lima liar. Para PKL bertebaran di sisi jalan
sepanjang Jl.Tegar Beriman sehingga tidak beraturannya susunan formasi PKL. Hal
ini menyebabkan banyak keluhan dari masyarakat yang menggunakan kendaraan,
transportasi umum, dan pejalan kaki karena mengganggu arus lalu lintas .
Banyaknya kendaraan yang keluar masuk
melalui jalan tersebut terganggu karena banyaknya para PKL dan pengunjung
memenuhi sisi ruas jalan tersebut. Jl.Tegar Beriman adalah jalan raya umum yang
menjadi tempat dimana arus lalu lintas sangatlah padat , ditambah dengan adanya
Pedagang kaki lima akan semakin
menimbulkan kemacetan yang tidak bisa dihindari dan tidak adanya lahan untuk
parkir kendaraan yang hingga pada akhirnya kendaraan yang memenuhi sisi ruas
jalan tersebut menyebabkan kemacetan yang sangat panjang.
Selain menimbulkan kemacetan, para
pedagang kaki lima di Jl.Tegar Beriman juga menimbulkan banyaknya sampah, karena
tidak adanya keteriban dan kesadaran dari para pedagang kaki lima tersebut, hal
ini dapat menimbulkan keresahan kepada masyarakat karena sampah yang mencemari
lingkungan akan mengganggu kesehatan masyarakat di lingkungan tersebut.
Adanya tindak kriminal seperti
pencopetan juga dapat menimbulkan kecemasan masyarakat dalam melakukan kegiatan
sehari-hari di lingkungan sekitar Aktivitas pedagang kaki lima pada umumnya
menempati badan-badan jalan ataupun trotoar, sehingga tidak menyisakan cukup
ruang bagi para pejalan kaki. Dan juga pedagang kaki lima memberikan
permasalahan lingkungan seperti para pedagang kaki lima yang berjualan di
pinggir-pinggir sungai, yang sering kali mereka membuang sampah atau bungkus
apapun kedalam sungai tersebut sehingga menyebabkan aliran sungai menjadi
terhambat dan membuat pencemaran lingkungan dikarenakan air sungai menjadi
tergenang dan terhambat.
Kondisi ini menjadi sorotan
perhatian publik dan pemerintah karena menciptakan masalah kemacetan dan
pergerakan kemajuan daerah. Pedagang kaki lima yang menempati ruang dan jalan
umum juga dapat menciptakan masalah sosial seperti hadirnya pencopet dan
menimbulkan kemacetan arus lalu lintas kendaraan masyarakat. Situasi ini menciptkakan
masalah dan merusak morfologi dan estetika kota .
Menyikapi adanya masalah pedagang
kaki lima tersebut diperlukan adanya suatu unit kerja khusus dalam membantu
pelaksanaan pemerintah melakukan pembinaan dan penindakan terhadap pelanggaran
Peraturan Daerah dan ketentuan yang berlaku, sesuai dengan Undang-Undang Nomor
23 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah pasal 148 ayat 1, keberadaan Polisi
Pamong Praja sangatlah strategis karena mempunyai fungsi sebagai pembantu
Kepala Daerah dalam penegakan peraturan daerah dan penyelenggaraan ketentraman
dan ketertiban masyarakat.
Mengacu pada Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang pemerintahan daerah penulis akan mencoba untuk menguraikan
keberadaan Polisi Pamong Praja dalam pembinaan pedagang kaki lima dan penyelenggaraan
penertiban dari Polisi Pamong Praja terhadap para pedagang kaki lima. Satuan
Polisi Pamong Praja sebagai perangkat daerah untuk penegakan peraturan daerah
perlu dilaksanakan suatu pembinaan yang meliputi segala usaha terutama para
Pedagang Kaki Lima agar tidak menimbulkan banyak masalah. Untuk itulah satuan
Polisi Pamong Praja Kabupaten Bogor yang dalam susunan organisasinya dan tata
kerjanya bertugas mengimplementasikan kebijakan agar menciptakan daerah yang
aman, tentram, tertib serta guna menciptakan penyelenggaraan pemerintahan dan
kegiatan masyarakat yang kondusif di Kabupaten Bogor.
Adanya Satuan Polisi Pamong Praja , maka
mereka dituntut untuk memperbaiki dan menyelenggarakan berbagai se ktor yang masih lemah dan perlu pembenahan
dengan mempertahankan dan meningkatkan serta memelihara yang sudah benar sesuai
dengan hukum melalui suatu pola pembinaan yang tepat dan lebih konkret bagi
polisi pamong praja . Kebijakan Satuan Polisi Pamong praja dalam menyikapi
masalah pedagang kaki lama sangat diperlukan untuk membuat kondisi lingkungan
yang aman dan ber jalan dengan semestinya.
Berdasarkan
uraian latar belakang diatas, penulis bermaksud menuliskan usulan magang
mengenai kebijakan Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Bogor terhadap pedagang
kaki lima. Hasil dari magang tersebut akan disusun dalam bentuk Laporan Akhir
dengan judul : ”Kinerja Satuan Polisi
Pamong Praja dalam Penertiban PKL di Jalan Raya Tegar Beriman Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat” .
1.2
Permasalahan
1.2.1 Identifikasi Masalah
Memperhatikan uraian
diatas, maka masalah-masalah penelitian dapat diidentifikasikan sebagai berikut :
1. Kurangnya
kesadaran Pedagang Kaki Lima dalam ketertiban keindahan keamanan lingkungan
2. Tidak
tersedianya sarana yang menunjang kegiatan Pedagang Kaki Lima
3. Adanya
tindakan kriminal yang merasahkan masyarakat sekitar
4.
Menimbulkan gangguan lalu lintas terhadap
pejalan kaki dan kendaraan umum masyarakat
1.2.2 Pembatasan Masalah
Mengingat keterbatasan penulis guna menjadikan
topik laporan akhir ini lebih jelas dan mudah dipahami oleh masyarakat pada
umumnya dan pembaca pada khususnya, maka perlu adanya pembatasan masalah. Dan
agar pokok bahasan tidak menyimpang maka penulis membatasi masalah yang akan dibahas
yaitu mengenai Kinerja Satuan Polisi Pamong Praja dalam Penertiban PKL di Jalan
Raya Tegar Beriman Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat.
1.2.3 Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas memunculkan beberapa
poin yang menarik menjadi pokok penelitian ini. Studi lapangan ini terdiri dari
permasalahan penting berikutnya
1. Bagaimana
kinerja Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Bogor dalam Penertiban PKL di
Jalan Raya Tegar Beriman di Kabupaten Bogor ?
2. Upaya
Satuan Polisi Pamong Praja dalam menertibkan Pedagang Kaki Lima di Jalan Raya
Tegar Beriman ?
3. Apa faktor-faktor
pendukung dan penghambat Satuan Polisi Pamong Praja dalam penertiban Pedagang
Kaki lima ?
1.3
Maksud dan Tujuan Magang
1.3.1 Maksud Magang
Berdasarakan uraian
latar belakang masalah penelitian, maksud penelitian ini adalah untuk meneliti
dari Kinerja Satuan Polisi Pamong Praja dalam menertibkan PKL di Jalan Raya
Tegar Beriman Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat serta faktor-faktor pendukung
dan penghambat Kinerja Satuan Polisi Pamong Praja tersebut.
1.3.2 Tujuan Magang
Tujuan magang antara
lain :
1.
mengetahui bagaimana kinerja satuan Polisi Pamong
Praja dalam menertibkan PKl di Jalan Raya Tegar Beriman Kabupaten Bogor Provinsi Jawa barat
2.
mengetahui faktor-faktor pendukung dan
penghambat kinerja Satuan Polisi Pamong praja dalam menertibkan Pedagang kaki
Lima di Jalan Raya Tegar Beriman Kabupaten Bogor Provinsi jawa Barat
3.
Mengetahui Upaya Satuan Polisi Pamong Praja
dalam menertibkan Pedagang kaki Lima di Jalan Raya Tegar Beriman Kabupaten
Bogor Provinsi Jawa Barat
1.4
Kegunaan magang
Penelitian yang
berjudul Kebijakan Satuan Polisi Pamong Praja dalam Menertibkan Pedagang Kaki
Lima di Kabupaten Bogor Provinsi jawa barat diharapkan memperoleh kegunaan
sebagai berikut :
1.4.1 Kegunaan Teoritis
Secara teoritis hasil
penelitian ini diharapkan dapat dijadikan untuk menambah wawasan pengetahuan
bagi penulis secara pribadi dan sebagai bahan masukan dalam pengembangan ilmu
pemerintahan bagi peneliti khususnya yang berkaitan dengan ketertiban umum.
1.4.2 Kegunaan Praktis
Penelitian
ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan masukan yang dapat
membantu satuan Polisi Pamong Praja dalam menertibkan Pedagang kaki Lima di
Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat.
1.5
Definisi Konsep Obyek yang diamati dan dikaji
1.5.1 Konsep Kinerja
Kinerja telah menjadi
terminologi atau konsep yang sering dipakai orang dalam berbagai pembahasan dan
pembicaraan, khususnya dalam kerangka mendorong keberhasilan atau kemajuan
organisasi. Kinerja merupakan pertanyaan kunci terhadap efektivitas atau
keberhasilan organisasi. Organisasi yang berhasil dan efektif merupakan
organisasi dengan individu yang didalamnya memiliki kinerja yang baik.
Organisasi yang efektif atau berhasil akan ditopang oleh kinerja dari sumber
daya manusia yang dalam lingkup organisasi tersebut. Menurut Mahsum dalam
Masana Sembiring (2012:81) menjelaskan “Kinerja (performance) adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian
pelaksanaan suatu kegiatan/program/kebijakan dalam mewujudkan sasaran, tujuan,
misi, dan visi organisasi yang tertuang dalam strategic planning”. Selanjutnya dijelaskan oleh Masana Sembiring
(2012:82) “kinerja dikatakan sebagai sebuah hasil kerja (output) dari suatu
proses (konversi) tertentu yang dilakukan oleh seluruh komponen organisasi
terhadap sumber-sumber daya, data dan informasi, kebijakan, dan waktu tertentu
yang digunakan disebut sebagai masukan (input). Umpan balik merupakan komentar
dari konsumen atas output yang didistribusikan yang berguna bagi perubahan atau
perbaikan input berikutnya, sehingga proses tersebut merupakan siklus atau
sistem”. Selanjutnya Terkait dengan konsep kinerja, Rummler dan Brache dalam
Sudarmanto (2009:7) mengemukakan ada tiga level kinerja, yaitu :
1.
Kinerja
organisasi; merupakan pencapaian hasil (out-come) pada level atau unit analisis
organisasi. Kinerja pada level atau unit analisis organisasi. Kinerja p ada level organisasi ini terkait dengan
tujuan organisasi, rancangan organisasi, dan manajemen organisasi.
2.
Kinerja
proses; merupakan kinerja pada proses tahapan dalam menghasilkan produk atau
pelayanan. Kinerja pada level proses ini dipengaruhi oleh tujuan proses,
rancangan proses, dan manajemen proses.
3.
Kinerja
individu/pekerjaan; merupakan pencapaian atau efektivtas pada tingkat pegawai
atau pekerjaan. Kinerja pada level ini dipengaruhi oleh tujuan pekerjaan,
rancangan pekerjaan, dan manajemen pekerjaan serta karakteristik individu.
Kemudian Amstron dan Baron
dalam Irham Fahmi (2011:2) mengemukakan
“kinerja adalah hasil yang diperoleh oleh suatu organisasi baik organisasi
tersebut bersifat profit oriented dan
non profit oriented yang dihasilkan
selama satu periode waktu. Secara lebih tegas dijelaskan kinerja nerupakan
hasil pekerjaan yang mempunyai hubungan yang kuat dengan tujuan strategis
organisasi, kepuasan konsumen dan memberikan kontribusi ekonomi”. Selanjutnya
Indra Bastian dalam Irham Fahmi (2011:2) menyatakan “kinerja adalah gambaran
mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan/program/kebijaksanaan
dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi dan visi organisasi yang tertuang dalam
perumusan skema trategis suatu organisasi”. Selanjutnya Bernadin dalam
Sudarmanto (2009:8) menyatakan bahwa “kinerja merupakan catatan hasil yang
diproduksi atau dihasilkan atas fungsi pekerjaan tertentu atau aktivitas-aktivitas
selama periode waktu tertentu”. Dari definisi tersebut, Bernadin menekankan
pengertian kinerja sebagai hasil. Selanjutnya Murphy dalam Sudarmanto (2009:8)
menjelaskan bahwa “kinerja merupakan seperangkat perilaku yang relevan dengan
tujuan organisasi atau unit organisasi tempat orang bekerja”.
Dalam setiap kinerja akan
selalu terkait dengan ukuran atau standar kinerja. Martin dan Bartol dalam
Sudarmanto (2009:9) mengemukakan bahwa “ standar kinerja seharusnya didasarkan
pada pekerjaan, dikaitkan dengan persyaratan yang dijabarkan dari analisis
pekerjaan, dan tercermin dalam deskripsi pekerjaan dan spesifikasi pekerjaan”.
Bufford dalam Sudarmanto (2009:9) menyatakan bahwa “ untuk menjadi efektif,
standar kinerja seharusnya dikaitkan dengan hasil yang diinginkan dari
msing-masing pekerjaan”. Selanjutnya menurut Lathams dan Wexley dalam
Sudarmanto (2009:10) menjelaskan bahwa “ idealnya penilaian didasarkan pada
kinerja aktual dari identifikasi elemen-elemen kritis melalui analisis
pekerjaan”. Terkait dengan ukuran dan standar kinerja, David Devries dkk.,
dalam Sudarmanto (2009:10) menyatakan
bahwa dalam melakukan pengukuran kinerja ada tiga pendekatan, yaitu:
1.
Pendekatan personality trait, yaitu dengan mengukur; kepemimpinan, inisiatif,
dan sikap
2.
Pendekatan perilaku, yaitu dengan mengukur
umpan balik, kemampuan presentasi respons terhadap komplain pelanggan
3.
Pendekatan hasil, yaitu dengan mengukur
kemampuan produksi, kemampuan menyelesaikan produk sesuai jadwal, peningkatan
produksi/penjualan.
Pengukuran kinerja merupakan
bagian penting dari proses pengendalian manajemen, baik organisasi publik
maupun swasta. Menurut Dick Grote dalam Sudarmanto (2009:11) menyatakan bahwa
dalam pengukuran atau penilaian kinerja ada tiga pendekatan, yaitu:
1.
Penilaian
atau pengukuran kinerja berbasis pelaku
2.
Penilaian atau pengukuran kinerja berbasis
perilaku
3.
Penilaian atau pengukuran kinerja berbasis
hasil.
Selanjutnya menurut Mahmudi
(2013:14) tujuan dilakukan penilaian kinerja pada sektor publik adalah:
1.
Mengetahui
tingkat ketercapaian tujuan Organisasi
Pengukuran kinerja pada organisasi
sektor publik digunakan untuk mengetahui ketercapaian tujuan organisasi.
Penilaian kinerja berfungsi sebagai tonggak yang menunjukkan tingkat
ketercapaian tujuan dan juga menunjukkan apakah organisasi berjalan sesuai arah
atau menyimpang dari tujuan yang ditetapkan.
2.
Menyediakan
sarana pembelajaran pegawai
Pengukuran kinerja merupakan
pendekatan sistematik dan terintegrasi untuk memperbaiki kinerja organisasi
dalam rangka mencapai tujuan strategi organisasi dan mewujudkan visi dan
misinya. Pengukuran kinerja merupakan sarana untuk pembelajaran pegawai tentang
bagaimana seharusnya mereka bertindak, dan memberikan dasar dalam perubahan
perilaku, sikap, skill, atau
pengetahuan kerja yang harus dimiliki pegawai untuk mencapai hasil kerja
terbaik.
3.
Memperbaiki
kinerja periode-periode berikutnya
Pengukuran kinerja dilakukan sebagai
sarana pembelajaran untuk perbaikan kinerja di masa yang akan datang. Penerapan
sistem pengukuran kinerja dalam jangka panjang bertujuan untuk membentuk budaya
berprestasi di dalam organisasi.
4.
Memberikan
pertimbangan yang sistematik dalam pembuatan keputusan pemberian penghargaan (reward) dan hukuman (punishment)
Pengukuran kinerja bertujuan
memberikan dasar sistematik bagi atasan untuk memberikan penghargaan (reward) atau hukuman (punishment). Organisasi yang berkinerja
tinggi berusaha menciptakan sistem reward,
insentif, dan gaji yang memiliki hubungan yang jelas dengan skill, dan kontribusi individu terhadap
kinerja organisasi.
5.
Memotivasi
pegawai
Pengukuran kinerja bertujuan untuk
meningkatkan motivasi pegawai. Dengan adanya pengukuran kinerja yang
dihubungkan dengan manajemen kompensasi, maka pegawai yang berkinerja
tinggiakan memperoleh reward. Reward tersebut
bertujuan untuk memberikan motivasi kepada pegawai untuk berkinerja lebih
tinggi dengan harapan kinerja yang tinggi akan memperoleh kompensasi yang
tinggi.
6.
Menciptakan
akuntabilitas publik
Pengukuran kinerja merupakan salah
satu alat untuk mendorong terciptanya akuntabilitas publik. Pengukuran kinerja
menunjukkan seberapa besar kinerja manajerial dicapai, seberapa bagus kinerja
finansial organisasi, dan kinerja lainnya yang menjadi dasar penilaian
akuntabilitas. Kinerja tersebut harus diukur dan dilaporkan dalam bentuk
laporan kinerja.
Selanjutnya
manajemen kinerja membutuhkan proses yang sistematis agar suatu organisasi
dapat mencapai kinerja yang optimal. Menurut Mahmudi (2013:16) tahap-tahap
sistem manajemen kinerja tersebut meliputi:
1.
Tahap
perencanaan kinerja
Semua kegiatan harus dilalui dengan
perencanaan, karena masa depan penuhdengan ketidakpastian. Untuk mengurangi
ketidakpastian dan mengarahkan kejadian dimasa depan maka perlu dilakukan
perencanaan. Perencanaan merupakan kegiatan aktif terhadap masa depan yang yang
bertujuan untuk mempengaruhi masa depan.
2.
Tahap
pelaksanaan kinerja
Setelah kontrak kinerja disepakati,
tahap berikutnya adalah implementasi. Dalam tahap implementasi kinerja sangat
mungkin terjadi perubahan lingkungan yang signifikan sehingga perencanaan yang
dibuat menjadi tidak relevan. Apabila hal ini terjadi, maka manajer harus
segera merevisi rencana, membuat tujuan-tujuan dan strategi baru.
3.
Tahap
penilaian kinerja
Penilaian kinerja digunakan untuk mengetahui sejauh mana tujuan organisasi yang
telah dicapai.
4.
Tahap
review
Dalam tahapan ini dilakukan pertemuan
semua anggota organisasi dan membahas hasil-hasil yang telah dicapai dan
faktor-faktor kinerja yang mendukung pencapaian prestasi. Aktivitas utama dalam
tahap review kinerja adalah melakukan
diskusi dan pembahasan kinerja yang telah dicapai.
5.
Tahap
pembaharuan dan pengontrakan ulang
Tahap pembaharuan dan pengontrakan
ulang merupakan tahap untuk revisi tahap pertama, yaitu menetapkan kembali
akuntabilitas kinerja yang harus dipenuhi oleh merivisi tujuan, target kinerja,
standar kinerja dan kriteria kinerja. Pembaharuan dan kontrak ulang ini perlu
dilakukan karena dalam periode tertentu pasti akan terjadi perubahan.
Suatu organisasi tidak akan mampu
mewujudkan kinerja yang baik tanpa adanya
dukungan yang kuat dari seluruh komponen organisasi, Chaizi Nasucha
dalam Irham Fahmi (2011:3) mengemukakan bahwa:
kinerja organisasi merupakan sebagai
efektivitas organisasi secara menyeluruh untuk memenuhi kebutuhan yang
ditetapkan dari setiap kelompok yang berkenaan dengan usaha-usaha yang sistemik
dan meningkatkan kemampuan organisasi secara terus menerus mencapai
kebutuhannya secara efektif
Dalam pengukuran kinerja
organisasi harus dilihat pada tujuan atau alasan permulaan dibentuknya suatu
organisasi. Dwiyanto dalam Masana Sembiring (2012:98) mengemukakan beberapa indikator yang biasanya
digunakan untuk mengukur kinerja pada sebuah organisasi publik, antara lain :
a.
Produktivitas
Produktivitas dalam hal ini menunjukan
seberapa besar pelayanan publik itu memberikan hasil yang diharapkan
b.
Kualitas
Layanan
Kualitas layanan menunjukan kepuasan
masyarakat dan bisa menjadi parameter untuk menilai kinerja organisasi publik
c.
Responsivitas
Responsivitas adalah kemampuan
organisasi untuk mengenali kebutuhan masyarakat menyusun agenda dan prioritas
pelayanan dan mengembangkan program-program pelayanan publik sesuai dengan
kebutuhan dan aspirasi masyarakat.
d.
Responsibilitas
Responsibilitas menjelaskan apakah
dalam pelaksanaan kegiatan tersebut dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip
yang benar
e.
Akuntabilitas
Akuntabilitas menunjukan seberapa
besar kebijakan dan kegiatan organisasi publik tunduk pada para pejabat politik
yang dipilih oleh rakyat. Suatu kegiatan itu dianggap benar dan sesuai dengan
nilai dan norma yang berkembang dalam masyarakat.
Pada
konteks kinerja organisasi publik, Lembaga Administrasi Negara telah
mengembangkan konsep dan ukuran kinerja cukup operasional. Lembaga Administrasi
Negara (LAN) dalam Sudarmanto (2009:19) menetapkan 5 indikator organisasi yang
telah dijadikan pedoman dan panduan bagi organisasi publik dalam menyusun
laporan kinerja, yaitu :
a.
Masukan
Masukan adalah segala sesuatu yang
dibutuhkan agar pelaksanaan kegiatan dan program dapat berjalan atau dalam
rangka menghasilkan keluaran, seperti: orang, dana, waktu, material dan
lain-lain.
b.
Keluaran
Keluaran adalah segala sesuatu berupa
produk atau jasa (fisik dan atau non fisik) sebagai hasil langsung dari
pelaksanaan suatu kegiatan program berdasarkan masukan yang digunakan.
c.
Hasil
Hasil adalah segala sesuatu yang
mencerminkan berfugsinya keluaran kegiata pada jangka menengah. Hasil merupakan
ukuran seberapa jauh setiap produk jasa dapat memenuhi kebutuhan dan harapan
masyarakat.
d.
Manfaat
Manfaat adalah kegunaan suatu keluaran
yang di rasakan langsung masyarakat. Manfaat dapat berupa tersedianya fasilitas
yang dapat diakses oleh publik.
1.5.2 Konsep Penertiban
Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 26 Tahun 2005 tentang pedoman prosedur tetap operasional
satuan polisi pamong praja menyebutkan bahwa ketertiban adalah suasana yang
mengarah kepada keteraturan dalam masyarakat menurut norma yang berlaku
sehingga menimbulkan motivasi kerja dalam rangka mencapai tujuan yang
diinginkan.
Dari
penjelasan tersebut pada intinya ketertiban adalah sesuatu hal yang perlu
disesuaikan kembali dengan aturan maupun sesuatu hal yang telah sesuai dengan
apa yang telah diharapkan dan sudah tepat guna menunjang terselenggaranya
proses pemerintahan maupun kehidupan bersosial masyarakat guna tercapainya
ketertiban dan ketentraman umum.
1.5.3 Konsep Polisi Pamong Praja
Satuan Polisi Pamong
Praja merupakan salah satu aparatur pemerintah daerah yang mempunyai tugas
melaksanakan pembinaan ketentraman dan ketertiban umum serta menciptakan
keadaan yang kondusif terhadapap ancaman , tantangan, hambatan dan gangguan
serta pelanggaran-pelanggaran terhadap peraturan daerah.
Sebagaimana dimaksud dalam
peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 40 Tahun 2011 tentang Pedoman Organisasi
dan Tata Kerja Satuan Polisi Pamong Praja, menurut pasal 1 ayat 7 bahwa Satuan
Polisi Pamong Praja adalah bagian perangkat daerah dalam penegakkan Perda dan
penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat.
Selanjutnya sebagaimana
dimaksud dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 54 Tahun 2011 tentang
Standar Operasional Prosedur Satuan Polisi Pamong Praja, menurut pasal 1 ayat 3
bahwa Polisi Pamong Praja adalah anggota Satpol PP sebagai aparat pemerintah
daerah penegakkan peraturan daerah dan penyelenggaraan ketertiban umum dan
ketentraman masyarakat.
Peran Satpol PP sangat
penting dalam kelangsungan peraturan dan kebijakan daerah. Satpol PP sebagi
penegak Perda diharapkan mampu mendukung dan ikut serta dalam mewujudkan
program-program yang telah direncanakan oleh pemerintah daerah.
1.5.4 Pedagang Kaki Lima
Sesuai dengan Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 41 Tahun 2012 tentang Pedoman Penataan dan
Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima mengatakan bahwa Pedagang Kaki Lima , yang
selanjutnya disingkat PKL, adalah pelaku usaha yang melakukan usaha perdagangan
dengan menggunakan sarana usaha bergerak maupun tidak bergerak, menggunakan
prasarana kota, fasilitas sosial, fasilitas umum, lahan dan bangunan milik
pemerintah dan/atau swasta yang bersifat sementara/tidak menetap.
Sedangkan menurut Alma (2009:157)
mengatakan bahwa Pedagang Kaki Lima adalah setiap orang yang melakukan kegiatan
usaha dengan maksud memperoleh penghasilan yang sah, dilakukan secara tidak
tetap dengan kemampuan terbatas, berlokasi di tempat atau pusat-pusat konsumen
dan tidak memiliki izin usaha.
Dapat dikatakan bahwa
Pedagang Kaki Lima atau yang sering disingkat PKL adalah salah satu usaha
informal yang menjajakan barang dagangannya dengan memanfaatkan fasilitas umum
dan tidak memiliki izin usaha serta bersifat tidak menetap.
No comments:
Post a Comment