A. LATAR BELAKANG
Sistem
politik Indonesia tidak bisa dipisahkan dari sejarah bangsa Indonesia sejak
zaman kerajaan, penjajahan, kemerdekaan sampai masa reformasi sekarang. Para founding
father bangsa telah merumuskan secara seksama sistem politik yang menjadi
acuan dalam pengelolaan negara. Hal ini tentunya dilakukan dengan melihat
kondisi dan situasi bangsa pada saat itu. Sistem politik Indonesia pada masa
reformasi saat ini mengalami perkembangan yang sangat signifikan. Bermunculan
lembaga dan sistem yang baru dalam rangka merespon permasalahan bangsa yang
semakin kompleks. Berdasarkan hal tersebut, makalah ini menyajikan pembahasan
ini sebagai dasar untuk pengenalan lebih jauh tentang apa dan bagaimana sistem
politik Indonesia. Walaupun tidak secara spesifik membahas mengenai sistem
politik sejak zaman kerajaan sampai masa reformasi, sistem kepartaian, sistem
pemilihan umum, dan fungsi serta kedudukan lembaga eksekutif, legislatif dan
yudikatif. Namun sedikit banyaknya dapat memberi gambaran tentang pembahasan
politik di Indonesia masa Orde Baru hingga Era Reformasi.
Dalam
melakukan analisis sistem bisa dengan pendekatan satu segi pandangan saja
seperti dari sistem kepartaian, tetapi juga tidak bisa dilihat dari pendekatan
tradisional dengan melakukan proyeksi sejarah yang hanya berupa pemotretan
sekilas. Pendekatan yang harus dilakukan dengan pendekatan integratif yaitu
pendekatan sistem, pelaku-saranan-tujuan dan pengambilan keputusan
Proses
politik mengisyaratkan harus adanya kapabilitas sistem. Kapabilitas sistem
adalah kemampuan sistem untuk menghadapi kenyataan dan tantangan.Pandangan
mengenai keberhasilan dalam menghadapi tantangan ini berbeda diantara para
pakar politik.Ahli politik zaman klasik seperti Aristoteles dan Plato dan
diikuti oleh teoritisi liberal abad ke-18 dan 19 melihat prestasi politik dari
sudut moral.Sedangkan pada masa modern sekarang ahli politik melihatnya dari
tingkat prestasi (performance level) yaitu seberapa besar pengaruh
lingkungan dalam masyarakat, lingkungan luar masyarakat dan lingkungan
internasional.
Sistem
pemerintahan Orba di mulai pada tanggal 11 Meret 1966 sampai dengan 21 mei
1998. Selama 32 tahun pemerintah Soeharto memimpin negara RI, telah terjadi
pemusatan kekuasaan negara di tangan presiden. Secara formal memang anggota MPR
di pilih melalui pemilu, namun sesungguhnya pemilu itu hanya mengisi 40%
anggota MPR. Selebihnya 60% anggota sangat bergantung kepada presiden.Selaku
panglima tertinggi ABRI presiden mempunyai kuasa untuk menentukan utusan ABRI
di DPR/MPR. Presiden pun mempunyai kuasa untuk menentukan wakil-wakil dari
berbagai kelompok masyarakat ke dalam utusan golongan di MPR. Presiden melaui
Mendagri juga mempunyai pengaruh dalam penentuan wakil dari daerah ke dalam
Utusan Daerah di MPR. Dan para anggota DPR hasil pemilu serta anggota tambahan
untuk partai peserta pemilu di MPR, yang mayoritas berasal dari partai Golkar,
juga tidak terlepas dari pengaruh presiden selaku ketua dewan pembina Golkar.
Disini
tampak bahwa pelaksanaan sistem pemerintahan presidensial di masa Orba memiliki
kemiringan dengan pelaksanaan sistem ini di masa demokrasi terpimpin. Pemabasan
hak politik rakyat ( hanya boleh ada 3 parpol, dan satu wadah tunggal bagi
masing-masing keompok kepentingan). Pemuasan kekuasaan di tangan presiden,
pembentukan lembaga ekstrakonstitusional.
Namun
harus di catat pula bahwa pemerintahan Orba relatif “berhasil” melakukan
pembangunan ekonomi. Sayang bahwa prestasi dalam bidang ekonomi itu tidak di
barengi dengan prestasi politik. Merebaknya praktek KKN, serta kesenjangan kaya
miskin yang cukup terasa menyebabkan semangkin menumpuknya ketidakpuasan di
kalangan masyarakat. Ketidakpuasan yang berkembang di masyarakat kemudian
terakumulasi dalam gerakan-gerakan protes mahasiswa, yang mendapat momentum ketika
krisis ekonomi mulai melanda wilayah RI di tahun 1997. Perpaduan di antara dua
hal itu telah mendorong turunya Soeharto dari jabatannya sebagai presiden.
Pemerintah
orba yang otoriter berakhir setelah gerakan mahasiswa berhasil mendesak
Soeharto untuk mengundurkan diri dari jabatannya sebagai presiden.
Pernyataan mengundurkan diri itu dilakukan pada tanggal 21 mei 1998 dan
sekaligus mengakhiri Orba
Sejarah Indonesia meliputi suatu rentang waktu yang sangat
panjang yang dimulai sejak zaman prasejarah berdasarkan penemuan "Manusia Jawa" yang berusia 1,7 juta tahun yang lalu.
Periode sejarah Indonesia dapat dibagi menjadi lima era: Era
Prakolonial, munculnya kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha serta Islam di Jawa dan Sumatera yang terutama mengandalkan perdagangan; Era Kolonial, masuknya orang-orang Eropa (terutama Belanda) yang menginginkan rempah-rempah mengakibatkan penjajahan oleh Belanda selama
sekitar 3,5 abad antara awal abad
ke-17
hingga pertengahan abad
ke-20;
Era Kemerdekaan Awal, pasca-Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia (1945) sampai jatuhnya Soekarno (1966); Era Orde
Baru,
32 tahun masa pemerintahan Soeharto (1966–1998); serta Era Reformasi yang berlangsung
sampai sekarang.
PRASEJARAH
Secara geologi, wilayah Indonesia
modern (untuk kemudahan, selanjutnya disebut Nusantara)
merupakan pertemuan antara tiga lempeng benua utama: Lempeng Eurasia,
Lempeng Indo-Australia, dan Lempeng Pasifik
(lihat artikel Geologi
Indonesia). Kepulauan
Indonesia seperti yang ada saat ini terbentuk pada saat melelehnya es setelah berakhirnya Zaman Es,
sekitar 10.000 tahun yang lalu.
Pada masa Pleistosen,
ketika masih terhubung dengan Asia Daratan, masuklah pemukim pertama. Bukti pertama yang menunjukkan
penghuni awal adalah fosil-fosil Homo erectus
manusia Jawa
dari masa 2 juta hingga 500.000 tahun lalu. Penemuan sisa-sisa "manusia
Flores" (Homo floresiensis)[1] di Liang Bua, Flores, membuka kemungkinan masih
bertahannya H. erectus hingga masa Zaman Es
terakhir.[2]
Homo sapiens
pertama diperkirakan masuk ke Nusantara sejak 100.000 tahun yang lalu melewati
jalur pantai Asia dari Asia
Barat, dan pada sekitar 60 000 sampai 70 000 tahun yang lalu telah mencapai
Pulau Papua dan Australia.[3]
Mereka, yang berfenotipe kulit gelap dan rambut ikal rapat, menjadi nenek moyang
penduduk asli Melanesia (termasuk Papua) sekarang dan membawa kultur kapak
lonjong (Paleolitikum). Gelombang pendatang berbahasa Austronesia dengan kultur Neolitikum
datang secara bergelombang sejak 3000 SM dari Cina Selatan melalui Formosa dan Filipina
membawa kultur beliung persegi (kebudayaan Dongson). Proses migrasi ini merupakan bagian
dari pendudukan
Pasifik. Kedatangan
gelombang penduduk berciri Mongoloid ini
cenderung ke arah barat, mendesak penduduk awal ke arah timur atau berkawin
campur dengan penduduk setempat dan menjadi ciri fisik penduduk Maluku serta Nusa Tenggara.
Pendatang ini membawa serta teknik-teknik pertanian,
termasuk bercocok tanam padi di sawah (bukti
paling lambat sejak abad ke-8 SM), beternak kerbau, pengolahan perunggu dan besi, teknik tenun ikat,
praktik-praktik megalitikum, serta pemujaan roh-roh (animisme) serta
benda-benda keramat (dinamisme). Pada abad pertama SM sudah terbentuk
pemukiman-pemukiman serta kerajaan-kerajaan kecil, dan sangat mungkin sudah
masuk pengaruh kepercayaan dari India akibat hubungan perniagaan.
MASA PRA KOLONOAL
Para cendekiawan India telah menulis tentang Dwipantara atau
kerajaan Hindu Jawa Dwipa di pulau Jawa dan Sumatra atau
Swarna dwipa sekitar 200 SM. Bukti fisik awal yang menyebutkan mengenai adanya dua kerajaan
bercorak Hinduisme pada abad ke-5, yaitu: Kerajaan Tarumanagara
yang menguasai Jawa Barat dan Kerajaan Kutai
di pesisir Sungai Mahakam, Kalimantan.
Pada tahun 425 agama Buddha telah mencapai wilayah tersebut.
Di saat Eropa memasuki masa Renaisans, Nusantara telah
mempunyai warisan peradaban berusia ribuan tahun dengan dua kerajaan besar
yaitu Sriwijaya di Sumatra dan Majapahit di Jawa, ditambah dengan puluhan kerajaan
kecil yang sering kali menjadi vazal tetangganya yang lebih kuat atau
saling terhubung dalam semacam ikatan perdagangan (seperti di Maluku).
KERAJAAN HINDU BUDHA
Pada abad ke-4 hingga abad ke-7 di wilayah
Jawa Barat terdapat kerajaan bercorak Hindu-Budha yaitu kerajaan Tarumanagara yang dilanjutkan dengan Kerajaan Sunda sampai abad ke-16. Pada masa abad
ke-7
hingga abad ke-14, kerajaan Buddha Sriwijaya berkembang pesat di Sumatra. Penjelajah
Tiongkok I Ching mengunjungi ibukotanya Palembang sekitar tahun 670. Pada puncak kejayaannya, Sriwijaya
menguasai daerah sejauh Jawa
Barat
dan Semenanjung Melayu. Abad ke-14 juga menjadi saksi bangkitnya
sebuah kerajaan Hindu di Jawa
Timur, Majapahit. Patih Majapahit antara tahun 1331 hingga 1364, Gajah
Mada
berhasil memperoleh kekuasaan atas wilayah yang kini sebagian besarnya adalah
Indonesia beserta hampir seluruh Semenanjung Melayu. Warisan dari masa Gajah
Mada termasuk kodifikasi hukum dan dalam kebudayaan Jawa, seperti yang terlihat
dalam wiracarita Ramayana.
KERAJAAN ISLAM
Islam sebagai sebuah pemerintahan hadir di
Indonesia sekitar abad ke-12, namun sebenarnya Islam sudah sudah masuk ke Indonesia pada
abad 7 Masehi. Saat
itu sudah ada jalur pelayaran yang ramai dan bersifat internasional melalui
Selat Malaka yang menghubungkan Dinasti Tang di
Cina, Sriwijaya di Asia Tenggara dan Bani Umayyah di
Asia Barat sejak abad 7.[4]
Menurut sumber-sumber Cina menjelang akhir perempatan ketiga
abad 7, seorang pedagang Arab menjadi
pemimpin pemukiman Arab muslim di pesisir pantai Sumatera. Islam pun memberikan pengaruh kepada
institusi politik yang ada. Hal ini nampak pada Tahun 100 H (718 M) Raja Sriwijaya Jambi yang bernama Srindravarman mengirim surat kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz dari Kekhalifahan Bani Umayyah
meminta dikirimkan da'i yang bisa menjelaskan Islam kepadanya. Surat itu
berbunyi: “Dari Raja di Raja yang adalah keturunan seribu raja, yang isterinya
juga cucu seribu raja, yang di dalam kandang binatangnya terdapat seribu gajah,
yang di wilayahnya terdapat dua sungai yang mengairi pohon gaharu, bumbu-bumbu
wewangian, pala dan kapur barus yang semerbak wanginya hingga menjangkau jarak
12 mil, kepada Raja Arab yang tidak menyekutukan tuhan-tuhan lain dengan Allah. Saya telah mengirimkan kepada anda
hadiah, yang sebenarnya merupakan hadiah yang tak begitu banyak, tetapi sekedar
tanda persahabatan. Saya ingin Anda mengirimkan kepada saya seseorang yang
dapat mengajarkan Islam kepada saya dan menjelaskan kepada saya tentang hukum-hukumnya.” Dua
tahun kemudian, yakni tahun 720 M, Raja Srindravarman, yang semula Hindu, masuk Islam. Sriwijaya Jambi pun
dikenal dengan nama 'Sribuza Islam'. Sayang, pada tahun 730 M Sriwijaya Jambi
ditawan oleh Sriwijaya Palembang yang masih menganut Budha.[5]
Islam terus mengokoh menjadi institusi
politik yang mengemban Islam. Misalnya, sebuah kesultanan Islam bernama Kesultanan Peureulak didirikan pada 1 Muharram 225 H atau
12 November 839 M. Contoh lain adalah Kerajaan Ternate. Islam masuk ke kerajaan
di kepulauan Maluku ini tahun 1440. Rajanya seorang Muslim bernama Bayanullah.
Kesultanan Islam kemudian semikin menyebarkan
ajaran-ajarannya ke penduduk dan melalui pembauran, menggantikan Hindu sebagai
kepercayaan utama pada akhir abad ke-16 di
Jawa dan Sumatera. Hanya Bali yang tetap mempertahankan mayoritas Hindu. Di kepulauan-kepulauan di
timur, rohaniawan-rohaniawan Kristen dan Islam diketahui sudah aktif pada abad ke-16
dan 17, dan saat
ini ada mayoritas yang besar dari kedua agama di kepulauan-kepulauan tersebut.
Penyebaran Islam dilakukan melalui hubungan perdagangan
di luar Nusantara; hal ini, karena para penyebar dakwah atau mubaligh merupakan utusan dari pemerintahan
Islam yang datang dari luar Indonesia, maka
untuk menghidupi diri dan keluarga mereka, para mubaligh ini bekerja melalui cara berdagang,
para mubaligh inipun menyebarkan Islam kepada para pedagang dari
penduduk asli, hingga para pedagang ini memeluk Islam dan meyebarkan pula ke
penduduk lainnya, karena umumnya pedagang dan ahli kerajaan lah yang pertama
mengadopsi agama baru tersebut. Kerajaan Islam penting termasuk di antaranya: Kerajaan Samudera Pasai, Kesultanan Banten
yang menjalin hubungan diplomatik dengan negara-negara Eropa, Kerajaan Mataram,
Kerajaan Iha, Kesultanan Ternate dan Kesultanan Tidore
di Maluku.
ERA KOLONIAL
Kolonisasi Portugis dan Spanyol

Afonso (kadang juga ditulis
Alfonso) de Albuquerque. Karena tokoh inilah, yang membuat kawasan Nusantara waktu itu dikenal oleh orang Eropa dan dimulainya Kolonisasi berabad-abad oleh Portugis bersama bangsa Eropa lain, terutama Inggris dan Belanda.
Dari
Sungai Tejo yang bermuara ke Samudra Atlantik itulah armada Portugis mengarungi Samudra Atlantik,
yang mungkin memakan waktu sebulan hingga tiga bulan, melewati Tanjung Harapan Afrika, menuju
Selat Malaka. Dari sini penjelajahan dilanjutkan ke Kepulauan
Maluku untuk mencari rempah-rempah, komoditas yang setara emas kala itu.
”Pada
abad 16 saat petualangan itu dimulai biasanya para pelaut negeri Katolik itu
diberkati oleh pastor dan raja sebelum berlayar melalui Sungai Tagus,” kata
Teresa. Biara St Jeronimus atau Biara Dos Jeronimos dalam bahasa Portugis itu
didirikan oleh Raja Manuel pada tahun 1502 di tempat saat Vasco da Gama memulai
petualangan ke timur.
Museum
Maritim atau orang Portugis menyebut Museu de Marinha itu didirikan oleh Raja
Luis pada 22 Juli 1863 untuk menghormati sejarah maritim Portugis.
Selain
patung di taman, lukisan Afonso de Albuquerque juga menjadi koleksi museum itu.
Di bawah lukisan itu tertulis, ”Gubernur India 1509-1515. Peletak dasar
Kerajaan Portugis di India yang berbasis di Ormuz, Goa, dan Malaka. Pionir
kebijakan kekuatan laut sebagai kekuatan sentral kerajaan”. Berbagai barang perdagangan
Portugis juga dipamerkan di museum itu, bahkan gundukan lada atau merica.
Ada
sejumlah motivasi mengapa Kerajaan Portugis memulai petualangan ke timur. Ahli
sejarah dan arkeologi Islam Uka Tjandrasasmita dalam buku Indonesia-Portugal:
Five Hundred Years of Historical Relationship (Cepesa, 2002), mengutip sejumlah
ahli sejarah, menyebutkan tidak hanya ada satu motivasi Kerajaan Portugis
datang ke Asia. Ekspansi itu mungkin dapat diringkas dalam tiga kata bahasa
Portugis, yakni feitoria, fortaleza, dan igreja. Arti harfiahnya
adalah emas, kejayaan, dan gereja atau perdagangan, dominasi militer, dan
penyebaran agama Katolik.
Menurut
Uka, Albuquerque, Gubernur Portugis Kedua dari Estado da India, Kerajaan
Portugis di Asia, merupakan arsitek utama ekspansi Portugis ke Asia. Dari Goa,
ia memimpin langsung ekspedisi ke Malaka dan tiba di sana awal Juli 1511
membawa 15 kapal besar dan kecil serta 600 tentara. Ia dan pasukannya
mengalahkan Malaka 10 Agustus 1511. Sejak itu Portugis menguasai perdagangan
rempah-rempah dari Asia ke Eropa. Setelah menguasai Malaka, ekspedisi Portugis
yang dipimpin Antonio de Abreu mencapai Maluku, pusat rempah-rempah.
Periode Kejayaan Portugis di Nusantara
Periode
1511-1526, selama 15 tahun, Nusantara menjadi pelabuhan maritim penting bagi
Kerajaan Portugis, yang secara reguler menjadi rute maritim untuk menuju Pulau
Sumatera, Jawa, Banda, dan Maluku.
Pada
tahun 1511 Portugis mengalahkan Kerajaan Malaka.
Pada
tahun 1512 Portugis menjalin komunikasi dengan Kerajaan Sunda untuk menandatangani perjanjian dagang, terutama
lada. Perjanjian dagang tersebut kemudian diwujudkan pada tanggal 21 Agustus
1522 dalam bentuk dokumen kontrak yang dibuat rangkap dua, satu salinan untuk
raja Sunda dan satu lagi untuk raja Portugal. Pada hari yang sama dibangun
sebuah prasasti yang disebut Prasasti Perjanjian Sunda-Portugal di suatu tempat yang saat ini menjadi sudut Jalan
Cengkeh dan Jalan Kali Besar Timur I, Jakarta Barat. Dengan perjanjian ini maka
Portugis dibolehkan membangun gudang atau benteng di Sunda Kelapa.
Pada
tahun 1512 juga Afonso de Albuquerque mengirim Antonio Albreu dan Franscisco
Serrao untuk memimpin armadanya mencari jalan ke tempat asal rempah-rempah di
Maluku. Sepanjang perjalanan, mereka singgah di Madura, Bali, dan Lombok.
Dengan menggunakan nakhoda-nakhoda Jawa, armada itu tiba di Kepulauan Banda,
terus menuju Maluku Utara hingga tiba di Ternate.
Kehadiran
Portugis di perairan dan kepulauan Indonesia itu telah meninggalkan jejak-jejak
sejarah yang sampai hari ini masih dipertahankan oleh komunitas lokal di
Nusantara, khususnya flores, Solor dan Maluku, di Jakarta Kampong Tugu yang
terletak di bagian Utara Jakarta, antara Kali Cakung, pantai Cilincing dan
tanah Marunda.
Bangsa
Eropa pertama yang menemukan Maluku adalah Portugis, pada tahun 1512. Pada
waktu itu 2 armada Portugis, masing-masing dibawah pimpinan Anthony d'Abreu dan
Fransisco Serau, mendarat di Kepulauan Banda dan Kepulauan Penyu. Setelah
mereka menjalin persahabatan dengan penduduk dan raja-raja setempat - seperti
dengan Kerajaan Ternate di pulau Ternate, Portugis diberi izin untuk mendirikan
benteng di Pikaoli, begitupula Negeri Hitu lama, dan Mamala di Pulau
Ambon.Namun hubungan dagang rempah-rempah ini tidak berlangsung lama, karena
Portugis menerapkan sistem monopoli sekaligus melakukan penyebaran agama
Kristen.
Salah
seorang misionaris terkenal adalah Fransiskus
Xaverius. Tiba di Ambon 14 Pebruari 1546,
kemudian melanjutkan perjalanan ke Ternate, tiba pada tahun 1547, dan tanpa
kenal lelah melakukan kunjungan ke pulau-pulau di Kepulauan Maluku untuk
melakukan penyebaran agama. Persahabatan Portugis dan Ternate berakhir pada
tahun 1570. Peperangan dengan Sultan Babullah selama 5 tahun (1570-1575),
membuat Portugis harus angkat kaki dari Ternate dan terusir ke Tidore dan
Ambon.
Perlawanan
rakyat Maluku terhadap Portugis, dimanfaatkan Belanda untuk menjejakkan kakinya
di Maluku. Pada tahun 1605, Belanda berhasil memaksa Portugis untuk menyerahkan
pertahanannya di Ambon kepada Steven van der Hagen dan di Tidore kepada
Cornelisz Sebastiansz. Demikian pula benteng Inggris di Kambelo, Pulau Seram,
dihancurkan oleh Belanda. Sejak saat itu Belanda berhasil menguasai sebagian
besar wilayah Maluku.
Kedudukan
Belanda di Maluku semakin kuat dengan berdirinya VOC pada tahun 1602, dan sejak
saat itu Belanda menjadi penguasa tunggal di Maluku. Di bawah kepemimpinan Jan
Pieterszoon Coen, Kepala Operasional VOC, perdagangan cengkih di Maluku sepunuh
di bawah kendali VOC selama hampir 350 tahun. Untuk keperluan ini VOC tidak
segan-segan mengusir pesaingnya; Portugis, Spanyol, dan Inggris. Bahkan puluhan
ribu orang Maluku menjadi korban kebrutalan VOC.
kemudian
mereka membangun benteng di Ternate tahun 1511, kemudian tahun 1512 membangun
Benteng di Amurang Sulawesi Utara. Portugis kalah perang dengan Spanyol maka
daerah Sulawesi Utara diserahkan dalam kekuasaan Spanyol (1560 hingga 1660).
Kerajaan Portugis kemudian dipersatukan dengan Kerajaan Spanyol. (Baca
buku :Sejarah Kolonial Portugis di Indonesia, oleh David DS Lumoindong).
Abad 17 datang armada dagang VOC (Belanda) yang kemudian berhasil mengusir
Portugis dari Ternate, sehingga kemudian Portugis mundur dan menguasai Timor timur
(sejak 1515).
Kolonialisme
dan Imperialisme mulai merebak di Indonesia sekitar abad ke-15, yaitu diawali
dengan pendaratan bangsa Portugis di Malaka dan bangsa Belanda yang dipimpin
Cornellis de Houtman pada tahun 1596, untuk mencari sumber rempah-rempah dan
berdagang.
Perlawanan Rakyat terhadap Portugis
Kedatangan
bangsa Portugis ke Semenanjung Malaka dan ke Kepulauan Maluku merupakan
perintah dari negaranya untuk berdagang.
Perlawanan Rakyat Minahasa terhadap Portugis
Perjuangan
perlawanan Rakyat Perserikatan Minahasa melawan Portugis telah berlangsung dari
tahun 1512-1560, dengan gabungan perserikatan suku-suku di Minahasa maka mereka
dapat mengusir Portugis. Portugis membangun beberapa Benteng pertahanan di
Minahasa diantaranya di Amurang dan Kema.
Perlawanan Rakyat Malaka terhadap Portugis
Pada
tahun 1511, armada Portugis yang dipimpin oleh Albuquerque menyerang Kerajaan
Malaka. Untuk menyerang colonial Portugis di Malaka yang terjadi pada tahun
1513 mengalami kegagalan karena kekuatan dan persenjataan Portugis lebih kuat.
Pada tahun 1527, armada Demak di bawah pimpinan Fatahillah/Falatehan dapat
menguasai Banten,Sunda Kelapa, dan Cirebon. Armada Portugis dapat dihancurkan
oleh Fatahillah/Falatehan dan ia kemudian mengganti nama Sunda Kelapa menjadi
Jayakarta yang artinya kemenangan besar, yang kemudian menjadi Jakarta.
Perlawanan rakyat Aceh terhadap Portugis
Mulai
tahun 1554 hingga tahun 1555, upaya Portugis tersebut gagal karena Portugis
mendapat perlawanan keras dari rakyat Aceh. Pada saat Sultan Iskandar Muda
berkuasa, Kerajaan Aceh pernah menyerang Portugis di Malaka pada tahun 1615 dan
1629.
Perlawanan Rakyat Maluku terhadap Portugis
Bangsa
Portugis pertama kali mendarat di Maluku pada tahun 1511. Kedatangan Portugis
berikutnya pada tahun 1513. Akan tetapi, Ternate merasa dirugikan oleh Portugis
karena keserakahannya dalam memperoleh keuntungan melalui usaha monopoli
perdagangan rempah-rempah.
Pada
tahun 1533, Sultan Ternate menyerukan kepada seluruh rakyat Maluku untuk
mengusir Portugis di Maluku. Pada tahun 1570, rakyat Ternate yang dipimpin oleh
Sultan Hairun dapat kembali melakukan perlawanan terhadap bangsa Portugis,
namun dapat diperdaya oleh Portugis hingga akhirnya tewas terbunuh di dalam
Benteng Duurstede. Selanjutnya dipimpin oleh Sultan Baabullah pada tahun 1574.
Portugis diusir yang kemudian bermukim di Pulau Timor.
Garis waktu kolonialisasi
Kolonialisasi Spanyol
o
1646 Spanyol di usir dari
Minahasa dan Sulawesi Utara. Tahun selanjutnya Spanyol masih mencoba
memengaruhi kerajaan sekitar untuk merebut kembali Minahasa tapi gagal,
terakhir dengan mendukung Bolaang Mongondow yang berakhir tahun 1692.
Kolonialisasi Portugis
1509 - 1520
o
Portugis di Melaka
menghancurkan armada Jawa. Kapal mereka karam
dengan seluruh hartanya dalam perjalanan kembali ke Goa.
o
Desember, Albuquerque mengirim tiga kapal di bawah Antonio de
Abreu dari Melaka untuk menjelajah ke
arah Timur.
o
Dua kapal rusak di
Banda. Da Breu kembali ke Melaka; Francisco
Serrão memperbaiki kapal dan
melanjutkan menuju ke Ambon, Ternate, dan Tidore. Serrão menawarkan
dukungan bagi Ternate dalam perselisihannya dengan Tidore, pasukannya
mendirikan sebuah pos Portugis di Ternate.
·
1513 Pasukan dari Jepara dan Palembang menyerang Portugis di Melaka, tetapi berhasil dipukul
mundur. Maret, Portugis mengirim seorang duta menemui Raja Sunda di Pajajaran. Portugis diizinkan untuk membangun sebuah benteng di
Sunda Kelapa (sekarang Jakarta).
o
Udara menyerang Demak dengan bantuan dari Raja Klungkung dari Bali. Pasukan Majapahit
dipukul mundur, tapi Sunan Ngudung tewas dalam pertempuran. Banyak pendukung Majapahit
melarikan diri ke Bali.
1521 – 1530
o
Unus memimpin armada
dari Demak dan Cirebon melawan orang-orang Portugis di Melaka. Unus terbunuh
dalam pertempuran. Trenggono menjadi Sultan Demak.
o
Kapal terakhir dari
ekspedisi Magelhaens mengeliling dunia berlayar antara pulau Lembata dan Pantar di Nusa Tenggara.
o
Kerajaan Sunda, yang masih beragama Hindu, meminta bantuan
Portugis untuk menghadapi kemungkinan serangan Demak yang Muslim. Kontrak kerjasama ditandatangani dan sebuah padrao didirikan di Sunda Kalapa
o
Sisa-sisa ekspedisi
Magelhaens berkeliling dunia mengunjungi Timor.
o
Gunungjati kembali
dari Mekkah, kembali ke Cirebon, dan menetap di Demak, menikahi saudara
perempuan Sultan Trenggono.
o
Gunungjati dari
Cirebon dan anaknya Hasanuddin (di Banten) melakukan dakwah
secara terbuka dan rahasia di Jawa Barat untuk memperlemah Kerajaan Sunda yang beribukota di Pajajaran dan persekutuannya dengan Portugis. Pemerintah lokal
di Banten, yang tadinya tergantung pada Pajajaran, masuk Islam dan bergabung
dengan pihak Cirebon dan Demak.
o
Portugis membangun
benteng pertama di Timor.
o
Demak menaklukkan Kediri, sisa-sisa Hindu dari kerajaan Majapahit;
Sultan-sultan Demak mengklaim sebagai pengganti Majapahit; Sunan Kudus ikut serta.
o
Cirebon, dibantu
Demak, menduduki Sunda Kelapa, pelabuhan Kerajaan Sunda. Fatahillah mengganti namanya menjadi Jayakarta. (Sukses ini
dikatakan berkat pimpinan "Fatahillah"—atau, sesuai dengan kekeliruan
ucapan Portugis, "Falatehan"—namun mungkin ini adalah nama yang
diberikan kepada Sunan Gunungjati dari Cirebon) Para penjaga keamanan pelabuhan
Kerajaan Sunda didorong mundur meninggalkan daerah pesisir. Dengan demikian
pembangunan gudang atau benteng sesuai perjanjian dagang antara Portugis dengan
Kerajaan Sunda batal terwujud.
o
Kerajaan Palakaran di
Madura, yang berbasis di Arosbaya (kini Bangkalan), menjadi Islam di bawah Kyai Pratanu.
o
Raja-raja Spanyol dan
Portugal sepakat bahwa Maluku harus menjadi milik Portugal, dan Filipina menjadi milik Spanyol.
o
Surabaya dan Pasuruan takluk kepada Demak. Demak merebut Blambangan, kerajaan Hindu terakhir di ujung timur Jawa.
o
Banten memperluas
pengaruhnya atas Lampung.
1531 – 1540
o
Serangan besar
Portugis terhadap Johor.
o
Portugis membawa Sultan
Tabariji dari Ternate ke Goa karena
mencurigainya melakukan kegiatan-kegiatan anti Portugis, menggantikannya dengan
saudara-saudaranya.
o
Portugis berhubungan
dengan Gowa.
1541 – 1550
o
Demak menyerang
Blambangan namun gagal.
o
Trenggono dari Demak
meninggal dan digantikan oleh Prawata. Menantunya, Joko Tingkir memperluas pengaruhnya dari Pajang (dekat Sukoharjo sekarang).
o
Aceh menyerang
Melaka.
o
Portugis mulai
membangun benteng-benteng di Flores.
1551 – 1560
o
Hasanuddin memisahkan
diri dari Demak dan mendirikan Kesultanan Banten, lalu merebut Lampung untuk Kesultanan yang baru.
o
Wabah cacar di
Ternate.
o
Spanyol mendirikan
pos di Manado.
1561 – 1570
o
Sultan Prawata dari
Demak meninggal dunia.
o
Misi Dominikan
Portugis didirikan di Solor.
o
Aceh menyerang Johor.
o
Misi Dominikan
Portugis di Solor membangun sebuah benteng batu.
o
Serangan yang gagal
oleh Aceh di Melaka Portugis.
o
Portugis membangun
benteng kayu di pulau Ambon.
o
Aceh menyerang Johor
lagi, namun gagal.
o
Sultan Khairun dari
Ternate menandatangani sebuah perjanjian damai dengan Portugis, tetapi esok
harinya ternyata ia diracuni. Agen-agen Portugis dicurigai melakukannya. Baabullah menjadi Sultan (hingga * 1583), dan bersumpah
untuk mengusir Portugis keluar dari benteng-benteng mereka.
1571 – 1580
o
Jepara memimpin
serangan yang gagal di Melaka.
o
Sultan Babullah
mengusir Portugis dari Ternate. Karena itu Portugis membangun sebuah benteng di
Tidore.
o
Portugis membangun
benteng di kota Ambon sekarang.
o
Banten menyerang dan
meluluhlantakkan Pajajaran merebut sisa-sisa Kerajaan Sunda, dan menjadikannya
Islam. Raja Sunda terakhir yang enggan memeluk Islam, yaitu Prabu
Ragamulya atau Prabu Suryakancana,
meninggalkan ibukota Kerajaan Sunda tersebut dan meninggal dalam pelarian di daerah
Banten.
o
November, Sir Francis Drake dari Britania, setelah menyerang kapal dan pelabuhan Spanyol di Amerika, tiba di Ternate. Sultan Babullah, yang juga membenci
orang-orang Spanyol, mengadakan perjanjian persahabatan dengan Britania.
o
Maulana Muhammad
menjadi Sultan Banten.
o
Portugal jatuh ke
tangan kerajaan Spanyol; usaha-usaha kolonial Portugis tidak dipedulikan.
o
Ternate menguasai
Butung.
o
Sekitar saat ini,
Kyai Ageng Pemanahan mengambil alih distrik Mataram (yang telah dijanjikan
kepadanya oleh Joko Tingkir, yang menundanya hingga Sunan Kalijaga dari Wali Songo mendesaknya), mengubah namanya menjadi Kyai Gedhe
Mataram.
o
Sutawijaya menggantikan ayahnya Kyai Gedhe Mataram sebagai
pemerintah lokal dari Mataram, memerintah dari Kota Gede.
o
Kapal Portugis yang
dikirim untuk membangun sebuah benteng dan misi di Bali karam tepat di lepas
pantai.
o
Sutawijaya
mengalahkan Pajang dan Joko Tingkir meninggal; garis keturunan beralih kepada
Sutawijaya. Gunung Merapi meletus.
o
Portugis di Melaka
menyerang Johor.
o
Portugis
menandatangani perjanjian perdamaian dengan Sultan Aceh.
o
Sutawijaya mengganti
namanya menjadi Senopati; merebut Pajang dan Demak.
o
Desa asli Medan
didirikan.
1591 – 1659
o
Senopati merebut
Madiun, lalu Kediri.
o
Ternate menyerang
Portugis di Ambon.
o
Ternate mengepung
Portugis di Ambon kembali.
Kolonisasi VOC
Mulai
tahun 1602 Belanda secara perlahan-lahan menjadi penguasa wilayah yang
kini adalah Indonesia, dengan memanfaatkan perpecahan di antara
kerajaan-kerajaan kecil yang telah menggantikan Majapahit. Satu-satunya yang
tidak terpengaruh adalah Timor Portugis, yang tetap dikuasai Portugal hingga 1975 ketika berintegrasi
menjadi provinsi Indonesia bernama Timor Timur. Belanda menguasai Indonesia selama hampir 350 tahun,
kecuali untuk suatu masa pendek di mana sebagian kecil dari Indonesia dikuasai Britania setelah Perang Jawa Britania-Belanda
dan masa penjajahan Jepang pada masa Perang Dunia
II. Sewaktu menjajah Indonesia, Belanda mengembangkan Hindia-Belanda menjadi salah satu kekuasaan kolonial terkaya di
dunia. 350 tahun penjajahan Belanda bagi sebagian orang adalah mitos belaka
karena wilayah Aceh baru ditaklukkan kemudian setelah Belanda mendekati
kebangkrutannya.
Pada abad ke-17 dan 18 Hindia-Belanda tidak dikuasai secara langsung oleh pemerintah Belanda namun oleh perusahaan dagang bernama Perusahaan Hindia Timur Belanda (bahasa Belanda: Verenigde Oostindische Compagnie atau VOC). VOC telah diberikan hak monopoli terhadap perdagangan dan aktivitas kolonial di wilayah tersebut oleh Parlemen Belanda pada tahun 1602. Markasnya berada di Batavia, yang kini bernama Jakarta.
Tujuan
utama VOC adalah mempertahankan monopolinya terhadap perdagangan rempah-rempah di
Nusantara. Hal ini dilakukan melalui penggunaan dan ancaman kekerasan terhadap
penduduk di kepulauan-kepulauan penghasil rempah-rempah, dan terhadap orang-orang non-Belanda yang mencoba
berdagang dengan para penduduk tersebut. Contohnya, ketika penduduk Kepulauan
Banda terus menjual biji pala kepada pedagang Inggris, pasukan Belanda membunuh
atau mendeportasi hampir seluruh populasi dan kemudian mempopulasikan
pulau-pulau tersebut dengan pembantu-pembantu atau budak-budak yang bekerja di
perkebunan pala.
VOC
menjadi terlibat dalam politik internal Jawa pada masa ini, dan bertempur dalam
beberapa peperangan yang melibatkan pemimpin Mataram dan Banten.
Kolonisasi pemerintah Belanda

Setelah
VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) jatuh bangkrut dan dibubarkan pada akhir abad ke-18, tepatnya adalah pada tahun 1798 dan setelah
kekuasaan Kerajaan Inggris yang pendek di bawah Gubernur-Jenderal Thomas Stamford Bingley Raffles, pemerintah Kerajaan Belanda kemudian mengambil alih kepemilikan VOC dan Hindia-Belanda pada tahun 1816. Sejak saat itu,
pemerintah Kerajaan Belanda berkuasa dan berdaulat penuh atas wilayah Hindia-Belanda yang tertulis dalam Undang-Undang Kerajaan Belanda
tahun 1814 dan diamandemen tahun 1848, 1872, dan 1922 menurut perkembangan
wilayah Hindia-Belanda.
Sebuah
pemberontakan di Jawa, yang terkenal dengan Perang Diponegoro, berhasil ditumpas pada tahun 1825-1830. Setelah tahun 1830 sistem tanam paksa yang dikenal sebagai cultuurstelsel dalam bahasa
Belanda mulai diterapkan. Dalam sistem
ini, para penduduk dipaksa menanam hasil-hasil perkebunan yang menjadi
permintaan pasar dunia pada saat itu, seperti teh, kopi dll. Hasil tanaman itu kemudian diekspor ke
mancanegara. Sistem ini membawa kekayaan yang besar kepada para pelaksananya -
baik yang Belanda maupun yang Indonesia. Sistem tanam paksa ini adalah monopoli
pemerintah dan dihapuskan pada masa yang lebih bebas setelah 1870.
Pada
1901 pihak Belanda mengadopsi apa yang mereka sebut Politik Etis (bahasa Belanda: Ethische Politiek), yang
termasuk investasi yang lebih besar dalam pendidikan bagi orang-orang pribumi, dan sedikit perubahan politik. Di bawah
gubernur-jendral J.B. van Heutsz
pemerintah Hindia-Belanda memperpanjang kekuasaan kolonial secara langsung di
sepanjang Hindia-Belanda, dan dengan itu mendirikan fondasi bagi negara
Indonesia saat ini.
Gerakan nasionalisme
Pada
1905 gerakan nasionalis yang pertama, Serikat
Dagang Islam dibentuk dan
kemudian diikuti pada tahun 1908 oleh gerakan
nasionalis berikutnya, Budi Utomo. Belanda merespon hal tersebut setelah Perang Dunia I
dengan langkah-langkah penindasan. Para pemimpin nasionalis berasal dari
kelompok kecil yang terdiri dari profesional muda dan pelajar, yang beberapa di
antaranya telah dididik di Belanda. Banyak dari mereka yang dipenjara karena
kegiatan politis, termasuk Presiden Indonesia yang pertama, Soekarno.
Perang Dunia II
Pada
Mei 1940, awal Perang Dunia II, Belanda diduduki oleh Nazi Jerman. Hindia-Belanda mengumumkan keadaan siaga dan di Juli
mengalihkan ekspor untuk Jepang ke Amerika Serikat dan Britania. Negosiasi dengan Jepang yang bertujuan untuk
mengamankan persediaan bahan bakar pesawat gagal di Juni 1941, dan Jepang memulai penaklukan Asia Tenggara di bulan
Desember tahun itu. Di bulan yang sama, faksi dari Sumatra menerima bantuan
Jepang untuk mengadakan revolusi terhadap pemerintahan Belanda. Pasukan Belanda
yang terakhir dikalahkan Jepang pada Maret 1942.
Pendudukan Jepang
Pada
Juli 1942, Soekarno menerima tawaran Jepang untuk mengadakan kampanye
publik dan membentuk pemerintahan yang juga dapat memberikan jawaban terhadap
kebutuhan militer Jepang. Soekarno, Mohammad Hatta, dan para Kyai memperoleh penghormatan dari Kaisar
Jepang pada tahun 1943. Tetapi, pengalaman dari penguasaan Jepang di Indonesia
sangat bervariasi, tergantung di mana seseorang hidup dan status sosial orang
tersebut. Bagi yang tinggal di daerah yang dianggap penting dalam peperangan,
mereka mengalami siksaan, terlibat perbudakan seks,
penahanan sembarang dan hukuman mati, dan kejahatan perang lainnya. Orang Belanda dan campuran Indonesia-Belanda
merupakan target sasaran dalam penguasaan Jepang.
Pada
Maret 1945 Jepang membentuk Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI). Pada pertemuan pertamanya di bulan Mei, Soepomo membicarakan integrasi nasional dan melawan
individualisme perorangan; sementara itu Muhammad Yamin mengusulkan bahwa negara baru tersebut juga sekaligus
mengklaim Sarawak, Sabah, Malaya, Portugis Timur, dan seluruh wilayah Hindia-Belanda
sebelum perang.
Pada
9 Agustus 1945 Soekarno, Hatta dan Radjiman
Widjodiningrat diterbangkan ke Vietnam untuk bertemu Marsekal Terauchi. Mereka dikabarkan bahwa pasukan Jepang sedang menuju
kehancuran tetapi Jepang menginginkan kemerdekaan Indonesia pada 24 Agustus.
Era kemerdekaan
Proklamasi kemerdekaan

Mendengar
kabar bahwa Jepang tidak lagi mempunyai kekuatan untuk membuat keputusan
seperti itu pada 16 Agustus, Soekarno membacakan "Proklamasi" pada hari
berikutnya. Kabar mengenai proklamasi menyebar melalui radio dan selebaran
sementara pasukan militer Indonesia pada masa perang, Pasukan Pembela Tanah
Air (PETA), para pemuda, dan lainnya langsung berangkat
mempertahankan kediaman Soekarno.
Pada
18 Agustus 1945 Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) melantik Soekarno sebagai Presiden dan Mohammad
Hatta sebagai Wakil Presiden dengan
menggunakan konstitusi yang dirancang beberapa hari sebelumnya. Kemudian
dibentuk Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) sebagai parlemen sementara
hingga pemilu dapat dilaksanakan. Kelompok ini mendeklarasikan pemerintahan
baru pada 31 Agustus dan menghendaki Republik Indonesia yang terdiri dari
8 provinsi: Sumatra, Kalimantan (tidak termasuk wilayah Sabah, Sarawak dan Brunei), Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi, Maluku (termasuk Papua) dan Nusa Tenggara.
Perang kemerdekaan

Teks
Proklamasi
Dari
1945 hingga 1949, persatuan kelautan
Australia yang bersimpati dengan usaha kemerdekaan, melarang segala pelayaran
Belanda sepanjang konflik ini agar Belanda tidak mempunyai dukungan logistik
maupun suplai yang diperlukan untuk membentuk kembali kekuasaan kolonial.
Usaha
Belanda untuk kembali berkuasa dihadapi perlawanan yang kuat. Setelah kembali
ke Jawa, pasukan Belanda segera merebut kembali ibukota kolonial Batavia,
akibatnya para nasionalis menjadikan Yogyakarta sebagai ibukota mereka. Pada 27 Desember 1949 (lihat artikel
tentang 27 Desember 1949), setelah 4 tahun peperangan dan negosiasi, Ratu Juliana dari
Belanda memindahkan kedaulatan kepada
pemerintah Federal Indonesia. Pada 1950, Indonesia menjadi anggota ke-60 PBB.
Demokrasi parlementer
Tidak
lama setelah itu, Indonesia mengadopsi undang-undang baru yang terdiri dari sistem parlemen di mana dewan
eksekutifnya dipilih oleh dan bertanggung jawab kepada parlemen atau MPR. MPR terbagi kepada partai-partai politik sebelum dan
sesudah pemilu pertama pada tahun 1955, sehingga koalisi
pemerintah yang stabil susah dicapai.
Peran
Islam di Indonesia menjadi hal yang rumit. Soekarno lebih memilih negara sekuler yang berdasarkan Pancasila sementara beberapa kelompok Muslim lebih menginginkan
negara Islam atau undang-undang yang berisi sebuah bagian yang menyaratkan umat
Islam takluk kepada hukum Islam.Demokrasi Parlementer, adalah suatu demokrasi yang
menempatkan kedudukan badan legislatif lebih tinggi dari pada badan eksekutif.
Kepala pemerintahan dipimpin oleh seorang Perdana Menteri. Perdana menteri dan
menteri-menteri dalam kabinet diangkat dan diberhentikan oleh parlemen. Dalam
demokrasi parlementer Presiden menjabat sebagai kepala negara.
Demokrasi Terpimpin

Pemberontakan
yang gagal di Sumatera, Sulawesi, Jawa Barat dan pulau-pulau lainnya yang dimulai
sejak 1958, ditambah kegagalan MPR untuk mengembangkan konstitusi baru,
melemahkan sistem parlemen Indonesia. Akibatnya pada 1959 ketika Presiden Soekarno secara unilateral membangkitkan kembali konstitusi
1945 yang bersifat sementara, yang memberikan kekuatan presidensil yang besar,
dia tidak menemui banyak hambatan.
Dari
1959 hingga 1965, Presiden Soekarno berkuasa dalam rezim yang otoriter di bawah
label "Demokrasi
Terpimpin". Dia juga menggeser
kebijakan luar negeri Indonesia menuju non-blok, kebijakan yang didukung para
pemimpin penting negara-negara bekas jajahan yang menolak aliansi resmi dengan
Blok Barat maupun Blok Uni Soviet. Para pemimpin tersebut berkumpul di Bandung, Jawa Barat pada tahun 1955 dalam KTT
Asia-Afrika untuk mendirikan
fondasi yang kelak menjadi Gerakan Non-Blok.
Pada
akhir 1950-an dan awal 1960-an, Soekarno bergerak lebih dekat kepada negara-negara
komunis Asia dan kepada Partai Komunis Indonesia
(PKI) di dalam negeri. Meski PKI merupakan partai komunis terbesar di dunia di
luar Uni Soviet dan China, dukungan massanya tak
pernah menunjukkan penurutan ideologis kepada partai komunis seperti di
negara-negara lainnya.
Nasib Irian Barat

Pada
saat kemerdekaan, pemerintah Belanda mempertahankan kekuasaan terhadap belahan barat pulau Nugini (Papua), dan
mengizinkan langkah-langkah menuju pemerintahan-sendiri dan pendeklarasian
kemerdekaan pada 1 Desember 1961.
Negosiasi
dengan Belanda mengenai penggabungan wilayah tersebut dengan Indonesia gagal,
dan pasukan penerjun payung Indonesia mendarat di Irian pada 18 Desember sebelum kemudian terjadi pertempuran antara pasukan
Indonesia dan Belanda pada 1961 dan 1962. Pada 1962 Amerika Serikat menekan
Belanda agar setuju melakukan perbincangan rahasia dengan Indonesia yang
menghasilkan Perjanjian
New York pada Agustus 1962, dan Indonesia
mengambil alih kekuasaan terhadap Irian Jaya pada 1 Mei 1963.
Konfrontasi Indonesia-Malaysia

Soekarno
menentang pembentukan Federasi Malaysia dan menyebut bahwa hal tersebut adalah sebuah
"rencana neo-kolonial" untuk mempermudah rencana komersial Inggris di wilayah tersebut. Selain itu dengan pembentukan Federasi
Malaysia, hal ini dianggap akan
memperluas pengaruh imperialisme negara-negara Barat di kawasan Asia dan memberikan
celah kepada negara Inggris dan Australia untuk memengaruhi perpolitikan
regional Asia. Menanggapi keputusan PBB untuk mengakui
kedaulatan Malaysia dan menjadikan Malaysia anggota tidak tetap Dewan
Keamanan PBB, presiden Soekarno
mengumumkan pengunduran diri negara Indonesia dari keanggotaan PBB pada tanggal
20 Januari 1965 dan mendirikan
Konferensi Kekuatan Baru (CONEFO) sebagai tandingan PBB dan GANEFO sebagai tandingan Olimpiade. Pada tahun itu juga konfrontasi ini kemudian mengakibatkan
pertempuran antara pasukan Indonesia dan Malaysia (yang dibantu oleh Inggris).
Gerakan 30 September

Hingga
1965, PKI telah menguasai banyak dari organisasi massa
yang dibentuk Soekarno untuk memperkuat dukungan untuk rezimnya dan, dengan
persetujuan dari Soekarno, memulai kampanye untuk membentuk "Angkatan
Kelima" dengan mempersenjatai
pendukungnya. Para petinggi militer menentang hal ini.
Pada
30 September 1965, enam jendral senior
dan beberapa orang lainnya dibunuh dalam upaya kudeta yang disalahkan
kepada para pengawal istana yang loyal kepada PKI. Panglima Komando Strategi
Angkatan Darat saat itu, Mayjen Soeharto, menumpas kudeta tersebut dan berbalik melawan PKI.
Soeharto lalu menggunakan situasi ini untuk mengambil alih kekuasaan. Lebih
dari puluhan ribu orang-orang yang dituduh komunis kemudian dibunuh. Jumlah
korban jiwa pada 1966 mencapai setidaknya
500.000; yang paling parah terjadi di Jawa dan Bali.
Era Orde Baru

Setelah
Soeharto menjadi Presiden, salah satu pertama yang dilakukannya adalah
mendaftarkan Indonesia menjadi anggota PBB lagi. Indonesia pada tanggal 19 September 1966 mengumumkan bahwa
Indonesia "bermaksud untuk melanjutkan kerjasama dengan PBB dan melanjutkan
partisipasi dalam kegiatan-kegiatan PBB", dan menjadi anggota PBB kembali
pada tanggal 28 September 1966, tepat 16 tahun
setelah Indonesia diterima pertama kalinya.
Pada
1968, MPR secara resmi melantik Soeharto untuk masa
jabatan 5 tahun sebagai presiden, dan dia kemudian dilantik kembali secara
berturut-turut pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998.
Presiden
Soeharto memulai "Orde Baru" dalam dunia politik Indonesia dan secara
dramatis mengubah kebijakan luar negeri dan dalam negeri dari jalan yang
ditempuh Soekarno pada akhir masa jabatannya. Orde Baru memilih perbaikan dan
perkembangan ekonomi sebagai tujuan utamanya dan menempuh kebijakannya melalui
struktur administratif yang didominasi militer namun dengan nasihat dari ahli
ekonomi didikan Barat. Selama masa pemerintahannya, kebijakan-kebijakan ini,
dan pengeksploitasian sumber daya alam secara besar-besaran menghasilkan
pertumbuhan ekonomi yang besar namun tidak merata di Indonesia. Contohnya,
jumlah orang yang kelaparan dikurangi dengan besar pada tahun 1970-an dan 1980-an.
Irian Jaya
Setelah
menolak supervisi dari PBB, pemerintah
Indonesia melaksanakan "Act of Free Choice" (Aksi Pilihan Bebas) di
Irian Jaya pada 1969 di mana 1.025 wakil kepala-kepala daerah Irian dipilih dan
kemudian diberikan latihan dalam bahasa Indonesia. Mereka secara konsensus
akhirnya memilih bergabung dengan Indonesia. Sebuah resolusi Sidang Umum PBB
kemudian memastikan perpindahan kekuasaan kepada Indonesia. Penolakan terhadap
pemerintahan Indonesia menimbulkan aktivitas-aktivitas gerilya berskala kecil
pada tahun-tahun berikutnya setelah perpindahan kekuasaan tersebut. Dalam
atmosfer yang lebih terbuka setelah 1998, pernyataan-pernyataan yang lebih
eksplisit yang menginginkan kemerdekaan dari Indonesia telah muncul.
Timor Timur
Dari
1596 hingga 1975, Timor Timur adalah
sebuah jajahan Portugis di pulau Timor yang dikenal sebagai Timor
Portugis dan dipisahkan dari pesisir
utara Australia oleh Laut Timor. Akibat kejadian politis di Portugal, pejabat Portugal secara mendadak mundur dari Timor
Timur pada 1975. Dalam pemilu lokal pada tahun 1975, Fretilin, sebuah partai yang dipimpin sebagian oleh
orang-orang yang membawa paham Marxisme, dan UDT, menjadi partai-partai
terbesar, setelah sebelumnya membentuk aliansi untuk mengkampanyekan
kemerdekaan dari Portugal.
Pada
7 Desember 1975, pasukan Indonesia
masuk ke Timor Timur dalam sebuah operasi militer yang disebut Operasi Seroja. Indonesia, yang mempunyai dukungan material dan
diplomatik, dibantu peralatan persenjataan yang disediakan Amerika
Serikat dan Australia, berharap dengan memiliki Timor Timur mereka akan
memperoleh tambahan cadangan minyak dan gas alam, serta lokasi yang strategis.
Pada
masa-masa awal, pihak militer Indonesia (ABRI) membunuh hampir
200.000 warga Timor Timur — melalui pembunuhan, pemaksaan kelaparan dan
lain-lain. Banyak pelanggaran HAM yang terjadi saat
Timor Timur berada dalam wilayah Indonesia.
Pada
30 Agustus 1999, rakyat Timor Timur
memilih untuk memisahkan diri dari Indonesia dalam sebuah pemungutan suara yang
diadakan PBB. Sekitar 99% penduduk yang berhak memilih turut
serta; 3/4-nya memilih untuk merdeka. Segera setelah hasilnya diumumkan,
dikabarkan bahwa pihak militer Indonesia melanjutkan pengrusakan di Timor
Timur, seperti merusak infrastruktur di daerah tersebut.
Pada
Oktober 1999, MPR membatalkan dekrit 1976 yang mengintegrasikan Timor
Timur ke wilayah Indonesia, dan Otorita Transisi PBB (UNTAET) mengambil alih
tanggung jawab untuk memerintah Timor Timur sehingga kemerdekaan penuh dicapai
pada Mei 2002 sebagai negara Timor Leste.
Krisis ekonomi
Soeharto
mengumumkan pengunduran dirinya didampingi B.J. Habibie.
Pada
pertengahan 1997, Indonesia diserang krisis keuangan dan ekonomi Asia (untuk
lebih jelas lihat: Krisis
finansial Asia), disertai kemarau terburuk dalam 50 tahun terakhir dan harga minyak,
gas dan komoditas ekspor lainnya yang semakin jatuh. Rupiah jatuh, inflasi
meningkat tajam, dan perpindahan modal dipercepat. Para demonstran, yang
awalnya dipimpin para mahasiswa, meminta pengunduran diri Soeharto. Di tengah
gejolak kemarahan massa yang meluas, serta ribuan mahasiswa yang menduduki gedung DPR/MPR,
Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998, tiga bulan setelah MPR
melantiknya untuk masa bakti ketujuh. Soeharto kemudian memilih sang Wakil
Presiden, B. J. Habibie, untuk menjadi presiden ketiga Indonesia.
Era reformasi

Pemerintahan Habibie
Presiden
Habibie segera membentuk sebuah kabinet. Salah satu tugas pentingnya adalah
kembali mendapatkan dukungan dari Dana Moneter Internasional
dan komunitas negara-negara donor untuk program pemulihan ekonomi. Dia juga membebaskan
para tahanan politik dan mengurangi kontrol pada kebebasan berpendapat dan
kegiatan organisasi.
Pemerintahan Wahid
Pemilu
untuk MPR, DPR, dan DPRD diadakan pada 7 Juni 1999. PDI
Perjuangan pimpinan putri
Soekarno, Megawati
Sukarnoputri keluar menjadi
pemenang pada pemilu parlemen dengan mendapatkan 34% dari seluruh suara; Golkar (partai Soeharto - sebelumnya selalu menjadi pemenang
pemilu-pemilu sebelumnya) memperoleh 22%; Partai Persatuan Pembangunan
pimpinan Hamzah Haz 12%; Partai Kebangkitan Bangsa
pimpinan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) 10%. Pada Oktober 1999, MPR melantik
Abdurrahman Wahid sebagai presiden dan Megawati sebagai wakil presiden untuk
masa bakti 5 tahun. Wahid membentuk kabinet pertamanya, Kabinet Persatuan Nasional
pada awal November 1999 dan melakukan reshuffle kabinetnya pada Agustus 2000.
Pemerintahan
Presiden Wahid meneruskan proses demokratisasi dan perkembangan ekonomi di
bawah situasi yang menantang. Di samping ketidakpastian ekonomi yang terus
berlanjut, pemerintahannya juga menghadapi konflik antar etnis dan antar agama,
terutama di Aceh, Maluku, dan Papua. Di Timor Barat, masalah yang ditimbulkan rakyat Timor Timur yang
tidak mempunyai tempat tinggal dan kekacauan yang dilakukan para militan Timor
Timur pro-Indonesia mengakibatkan masalah-masalah kemanusiaan dan sosial yang
besar. MPR yang semakin memberikan tekanan menantang kebijakan-kebijakan
Presiden Wahid, menyebabkan perdebatan politik yang meluap-luap.
Pemerintahan Megawati
Pada
Sidang Umum MPR pertama pada Agustus 2000, Presiden Wahid memberikan laporan
pertanggung jawabannya. Pada 29 Januari 2001, ribuan demonstran
menyerbu MPR dan meminta Presiden agar mengundurkan diri dengan alasan
keterlibatannya dalam skandal korupsi. Di bawah tekanan dari MPR untuk
memperbaiki manajemen dan koordinasi di dalam pemerintahannya, dia mengedarkan
keputusan presiden yang memberikan kekuasaan negara sehari-hari kepada wakil
presiden Megawati. Megawati mengambil alih jabatan presiden tak lama
kemudian.Kabinet pada masa pemerintahan Megawati disebut dengan kabinet gotong
royong.
Pemerintahan Yudhoyono
Pada
2004, pemilu satu hari terbesar di dunia diadakan dan Susilo Bambang Yudhoyono
tampil sebagai presiden baru Indonesia. Pemerintah baru ini pada awal masa
kerjanya telah menerima berbagai cobaan dan tantangan besar, seperti gempa bumi besar di Aceh dan Nias pada Desember 2004 yang meluluh lantakkan sebagian
dari Aceh serta gempa bumi lain pada awal 2005
yang mengguncang Sumatra.
Pada
17 Juli 2005, sebuah kesepakatan
bersejarah berhasil dicapai antara pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh
Merdeka yang bertujuan mengakhiri
konflik berkepanjangan selama 30 tahun di wilayah Aceh.
KESIMPULAN
Sejarah merupakan sebuah momen atau kejadian yang yang patut
diingat untuk mengingatkan kita bahwa negaraIndonesia mempunyai sejarah yang
cukup disegani oleh Negara lain dan kita sebagai Bangsa Indonesia dapat terus
bersatu asalkan semangat Nasionalisme Indonesia tetap dapat dipertahankan
Masyarakat yang baik adalah masyarakat yang mau mempelajari sejarah dan
mengambil pelajaran dari peristiwa di masa lalu sebagai acuan bertindak di masa
mendatang.
Oleh karena itu perlu adanya ungkapan ‘sejarah itu menarik
dan menantang’ untuk membangun minat masyarakat untuk peduli dan bangga atas
sejarah bangsa Indonesia pada khusunya.
DAFTAR PUSTAKA
1.
D.G.E.
Hall (1956). "Problems of Indonesian Historiography". Pacific
Affairs 38 (3/4): 353—359.
2. Y. Achadiati S, Soeroso M.P., (1988). Sejarah
Peradaban Manusia: Zaman Majapahit'. Jakarta: PT Gita Karya. hlm. 13.
3.
Drs.
R. Soekmono, (1973, 5th reprint edition in 1988). Pengantar Sejarah Kebudayaan
Indonesia 2, 2nd ed. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. hlm. 72.
4. Nastiti,
Titi Surti. Prasasti Majapahit, dalam situs www.Majapahit-Kingdom.com dari Direktorat Jenderal Sejarah dan
Purbakala. Jumat, 22 Juni 2007.
6.
Poesponegoro,
M.D., Notosusanto, N. (editor utama). Sejarah Nasional Indonesia. Edisi
ke-4. Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka, 1990, hal. 436.
No comments:
Post a Comment