DYAS ANGGARANI
25.0607
C-2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Didalam sistem pergaulan hidup,
secara prinsip manusia itu diciptakan bebas dan sederajat. Akan tetapi dengan kebebasan
tersebut manusia tidak bisa berbuat sekehendak hatinya terhadap manusia lainnya, karena ada batasan
– batasan yang tidak boleh dilanggarnya berkaitan dengan hidup dan kehidupan manusia. Pada
dasarnya masing – masing anggota masyarakat sudah tentu mempunyai kepentingan yang kadang –
kadang sama dan sering pula berbeda. Perbedaan kepentingan ini selanjutnya dapat
menimbulkan kekacauan dalam masyarakat apabila tidak ada aturan yang dapat menyeimbangkannya.
Demi tertib dan teraturnya kelompok masyarakat diperlukan adanya aturan, mulanya
disebut kaidah. Jadi dapatlah dikatakan bahwa apa yang disebut kaidah adalah patokan atau ukuran
ataupun pedoman untuk berkeprikelakuan atau bersikap tindak dalam hidup.
Masyarakat dalam pertumbuhannya
selalu berkembang, dimulai dari keluarga sebagai masyarakat yang paling kecil atau
masyarakat sederhana kemudian berkembang menjadi semakin kompleks atau masyarakat modern.
Perkembangan masyarakat tadi pasti dibarengi dengan timbulnya hukum untuk mengatur dan
mempertahankan sistem pergaulan hidup anggota – anggotanya. Keberadaan hukum
didalamnya adalah sebagai peraturan yang bersifat umum dimana seseorang atau kelompok secara
keseluruhan ditentukan batas – batas hak dan kewajibannya. Mengacu kepada hak dan kewajiban,
maka aturan yang paling tepat adalah apa yang dinamakan hukum. Demikian dapat diketahui
bahwa hukum dapat mengatur segala kepentingan manusia mulai dari jabang bayi yang masih dalam
kandungan ibunya sampai seorang ibu itu meninggal dunia. Salah satu fungsi hukum adalah
sebagai alat penyelesaian sengketa atau konflik, disamping fungsi yang lain sebagai alat
pengendalian sosial dan alat rekayasa sosial. Pembicaraan tentang hukum barulah dimulai jika terjadi
suatu konflik antara dua pihak yang kemudian diselesaikan dengan bantuan pihak ketiga. Dalam
hal ini munculnya hukum berkaitan dengan suatu bentuk penyelesaian konflik yang bersifat
netral dan tidak memihak. Pelaksanaan hukum di Indonesia
sering dilihat dalam kacamata yang berbeda oleh masyarakat. Hukum sebagai dewa
penolong bagi mereka yang diuntungkan, dan hukum sebagai hantu bagi mereka yang dirugikan.
Hukum yang seharusnya bersifat netral bagi setiap pencari keadilan atau bagi setiap pihak yang
sedang mengalami konflik seringkali bersifat diskriminatif, memihak kepada yang kuat dan
berkuasa. Adanya ketimpangan pelaksanaan hukum tersebut maka timbullah pemasalahan hukum di
Indonesia. Permasalahan hukum di Indonesia terjadi karena beberapa hal,
baik dari system peradilannya, perangkat hukumnya, inkonsisten penegakan
hukum, intervensi kekuasaan, maupun perlindungan hukum. Diantara banyak
permasalahan tersebut, satu hal yang sering dilihat dan dirasakan oleh masyarakat awam
adalah inkonsistensi penegakan hukum oleh aparat. Inkonsistensi penegakan hukum ini kadang
melibatkan masyarakat itu sendiri , keluarga maupun lingkungan terdekatnya yang lain. Namun
inkonsistensi penegakan hukum ini sering pula kita temui dalam media elektronik maupun cetak yang
menyangkut tokoh – tokoh masyarakat seperti, pejabat, orang kaya dan lain sebagainya. Akibat yang ditimbulkan dari tidak
berjalannya penegakan hukum dengan baik dan efektif atau yang disebut inkonsistensi
penegakan hukum adalah kerusakan dan kehancuran diberbagai bidang (politik, ekonomi, sosial dan
budaya). Selain itu buruknya penegakan hukum juga akan menyebabkan rasa hormat dan
kepercayaan masyarakat terhadap hukum semakin menipis dari hari ke hari. Akibatnya, masyarakat akan
mencari keadilan dengan cara mereka sendiri.
Suburnya berbagai tindakan main hakim sendiri
(eigenrichting) di masyarakat adalah salah satu wujud ketidakpercayaan masyarakat terhadap
hukum yang ada. Merangkum fenomena diatas, dimana penegakan hukum di
Indonesia belum berjalan dengan baik dan efektif tentunya menjadi
pemasalahan yang sangat serius, dimana pada pembahasan berikutnya akan lebih dijelaskan
faktor apa saja yang menyebabkan inkonsistensi penegakan hukum, akibat yang ditimbulkan dari
inkonsistensi penegakan hukum, serta upaya yang dilakukan untuk mengatasi atau menekan seminimal
mungkin terjadinya inkonsistensi penegakan hukum di Indonesia.
B. Maksud Dan Tujuan Penulisan
Adapun alasan yang membuat penulis
mengangkat inkonsistensi penegakan hukum di Indonesia sebagai judul makalah
karena hukum dimata masyarakat saat ini mengalami krisis kredibilitas. Dimana terungkapnya
banyak kasus kecurangan dalam penegakan hukum di Indonesia mengarahkan masyarakat berpikir
kepada bahwa hukum hanya untuk mereka yang memiliki uang, kekuasaan atau jabatan maupun
kekuatan politik sehingga dengan itu mereka bisa membeli hukum. Karena hal tersebut bisa mengurangi
bahkan menghilangkan terciptanya supremasi hukum di Indonesia. Untuk itu dalam pembuatan
makalah ini akan membahas masalah inkosistensi penegakan hukum di Indonesia, faktor – faktor
yang mempengaruhinya serta upaya untuk melakukan perubahan menuju terciptanya
supremasi hukum dalam rangka mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap hukum di
Indonesia.
BAB II
PERMASALAHAN
Cita – cita reformasi untuk
mendudukan hukum ditempat tertinggi (supremacy of law) dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara hingga detik ini tak pernah terealisasi. Bahkan dapat dikatakan hanya tinggal mimpi dan
angan – angan. Bila dicermati suramnya wajah hokum merupakan akibat dari kondisi
penegakan hukum (law enforcement) yang dalam keadaan terhenti dan kalaupun hukum ditegaskan maka
penegakannya diskriminatif. Praktik – praktik penyelewengan dalam proses penegakan
hukum seperti, mafia peradilan, proses peradilan yang diskriminatif, jual beli putusan
hakim, bahkan kolusi polisi, hakim, advokat dan jaksa dalam perekayasaan proses peradilan
merupakan realitas sehari – hari yang dapat ditemukan dalam penegakan hukum di negeri ini.
Pelaksanaan penegakan hukum yang 'kumuh' sepeti itu menjadikan hukum dinegeri ini seperti yang
pernah dideskripsikan oleh seorang filusuf besar Yunani Plato (427 – 347 SM) yang menyatakan bahwa ''hukum
adalah jaring laba – laba yang hanya mampu menjerat yang lemah tetapi akan robek jika
menjerat yang kaya dan kuat''. Sehingga memberikan pertanyaan di benak kita apa yang terjadi di
sektor penegakan hukum? Dan ada apa dengan aparat penegak hukum?. Diberbagai kasus ditingkat pejabat
sampai rakyat semuanya mengacu pada keberpihakan hukum pada kalangan tertentu saja.
Tak jarang hukum di Indonesia ini hanya untuk kalangan yang berduit, yang tidak mempunyai uang
tidak mempunyai hak atas hukum walaupun dia benar.
Kalau dilihat dari struktur negara kita,
Indonesia adalah negara hukum tapi kenapa banyak pelanggar hukum. Ini sebuah pertanyaan yang
selalu muncul dalam benak kita. Krisis penegakan hukum telah menjamur di negeri ini. Mungkin
ironis sekali jika hal ini menjadikan negara kita sebagai Negara hukum namun miskin hukum.Bagi mereka
yang mengantongi banyak rupiah, hukum seolah tidak berani menyentuh. Namun bagi mereka yang miskin, hukum
seperti tidak mau berkompromi. Terkuaknya kasus – kasus besar pelanggaran hukum di tanah air
akhir – akhir ini sungguh merisaukan dan dan mengusik rasa keadilan bagi siapa saja yang waras.
Kasus century, rusaknya perlakuan sistem rumah tahanan, makelar kasus (markus), suap –
menyuap, hingga pembunuhan yang berbau politisi menunjukkan ada yang tidak beres pada penegakan
hukum di Indonesia. Dari sekian banyak kasus itu, mencuat kasus – kasus korupsi yang sering
melatar belakanginya. Padahal kita semua tahu, hukum
adalah salah satu instrumen paling vital dalam membangun sebuah bangsa menuju peradaban
kemanusiaan yang adil. Kecenderungan manusia yang selalu ingin menang sendiri, egois, dan
individualis. Jika tidak ada hukum yang mengaturnya, maka akan melahirkan penindasan dan perbudakan
modern ditengah masyarakat. Untuk itulah negara kita menciptakan undang – undang. Tapi
sayangnya, undang – undang yang dipakai sebagai hukum belum mampu membersihkan koruptor –
koruptor dilembaga pemerintah. Sampai saat ini masih banyak koruptor yang begitu asyiknya
melenggang dan menertawai negeri yang banyak dihuni oleh
orang
– orang miskin ini.
Tercatat, negara ini menempati
peringkat kedua dalam hal korupsi di tingkat Asia dan peringkat keenam ditingkat dunia.
Sebetulnya ada satu persoalan yang sangat krusial dilembaga hukum kita. Persoalan itu berupa
lemahnya integritas para penegak hukum yang mudah dibeli oleh para mafia hukum dan para koruptor.
Semua itu bisa juga terlihat pada munculnya kasus antara lembaga independen KPK dan Polri
tempo hari. Bagi mereka yang mengantongi banyak rupiah, hukum tentu tidak akan berani
menyentuh, sebaliknya bagi mereka yang miskin dan banyak dibelit persoalan ekonomi, hukum seperti
tidak mau lagi berkompromi sedikit pun. Drs. IGM. Nurdjana, SH, MH
menjelaskan, pertama lemahnya integritas penegakan hokum korupsi dipengaruhi oleh problematik
dalam sistem hukum pidana sebagai hukum formal dan hukum materiil yang secara substansi
hukum pada peraturan perundang – undangan pidana potensi korupsi. Kedua, secara struktur
hukum atau kelembagaan terdapat overlapping kewenangan dan mengabaikan asas diferensial
fungsional dalam bentuk konflik. Ketiga, adanya disharmoni atau rivalitas negatif antara Polri,
Jaksa dan KPK serta dilema terbentuknya hakim adhoc. Terakhir, terjadinya kesenjangan dan
keterbatasan anggaran sarana dan prasarana sehingga secara cultural hukum menjadi cara dinamis untuk
dimanfaatkan sebagai alat pemerkaya diri. Persoalan itu yang membuat para koruptor berteriak
kegirangan. Mereka berusaha memanfaatkan kesempatan bagus tersebut sebagai alat dalam
mempertahankan dirinya dari jeratan hukum. Hasilnya, vonis hakim terhadap koruptor tersebut banyak
yang hasil akhirnya bebas.
Selama ini, koruptor yang tertangkap
oleh tangan hukum seperti begitu mudah melepaskan diri. Belum pernah tersiar kabar
seorang koruptor divonis hukuman seumur hidup atau vonis mati. Karena itu wajar bila korupsi terus
meningkat, sebab tidak ada vonis hakim yang dapat membuat koruptor jera. Penjara bagi mereka
bukan lagi suatu ancaman karena dengan banyak uang, penjara dapat disulap menjadi seperti
layaknya hotel berbintang.
Itulah
gambaran penegakan hukum dinegeri ini. Padahal telah jelas, unsur – unsur
korupsi adalah tindakan melawan hukum, menggunakan fasilitas negara
untuk kepentingan pribadi merugikan negara baik secara
langsung maupun tidak langsung dan dilakukan oleh pejabat public atau penyelenggara negara maupun
masyarakat. Hal tersebut menjadi polemik dan mendapatkan perhatian besar dari masyarakat.
Salah satu kecenderungan yang menonjol adalah menguatnya perhatian dan penilaian publik
terhadap suatu proses hukum yang dinilai kurang adil. Karena itu, dibutuhkan adanya suatu solusi yang
bijaksana agar penegakan hukum dinegeri ini memiliki integritas yang kuat dan
profesionalitas yang tinggi. Dan solusi seperti apakah yang dilakukan untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat
terhadap hukum?.
BAB III
PEMBAHASAN
Menurut Drs. Satjipto Rahardjo, SH,
sejak hukum modern semakin bertumpu pada dimensi bentuk yang menjadikannya formal dan
procedural, maka sejak itu pula muncul perbedaan antara keadilan formal atau keadilan
menurut hukum disatu pihak dan keadilan sejati atau keadilan substansial di pihak lain. Dengan
adanya dua macam dimensi keadilan tersebut, maka kita dapat melihat bahwa dalam praktiknya hukum
itu ternyata dapat digunakan untuk menyimpangi substansial. Penggunaan hukum yang
demikian itu tidak berarti melakukan pelanggaran hukum, melainkan semata – mata menunjukkan
bahwa hukum itu dapat digunakan untuk tujuan lain selain mencapai keadilan. Dijelaskan oleh Prof. Dr. Satjipto
Rahardjo, SH , progresivisme bertolak dari pandangan kemanusiaan bahwa manusia dasarnya
adalah baik, memiliki kasih sayang serta kepedulian terhadap sesama sebagai modal penting bagi
membangun kehidupan berhukum dalam masyarakat. Namun apabila dramaturgi hukum menjadi
buruk seperti selama ini terjadi dinegara kita, yang menjadi sasaran adalah para aparat penegak
hukumnya, yakni polisi, jaksa, hakim dan advokat. Meskipun, apabila kita berpikir jernih dan
berkesinambungan tidak sepenuhnya mereka dipersalahkan dan didudukan sebagai satu – satunya
terdakwa atas rusaknya wibawa hukum di Indonesia. Soekanto 1979, secara konsepsional
maka inti dan arti penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai
– nilai yang terjabarkan didalam kaidah – kaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap
tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan, memelihara dan
mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.
Pokok penegakan hukum sebenarnya
terletak pada faktor – faktor yang mungkin mempengaruhinya. Faktor – faktor
tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada isi
faktor – faktor tersebut.
Faktor
– faktor tersebut adalah sebagai berikut:
1. Faktor hukumnya sendiri, dalam hal
ini dibatasi pada undang – undang saja.
2. Faktor penegak hukum, yakni pihak
– pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum.
3. Faktor sarana atau fasilitas yang
mendukung penegakan hukum.
4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan
dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.
5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai
hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia didalam pergaulan hidup.
Kelima faktor tersebut saling
berkaitan dengan eratnya, oleh karena merupakan esensi dari penegakan hukum juga merupakan tolak
ukur daripada efektivitas penegakan hukum. Dengan demikian, maka kelima faktor
tersebut akan dibahas lebih lanjut dengan mengetengahkan contoh – contoh yang diambil dari kehidupan
masyarakat Indonesia.
1. Undang – undang
Undang – undang dalam arti material
adalah peraturan tertulis yang berlaku umum dan dibuat oleh penguasa pusat maupun
daerah yang sah (Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, 1979). Mengenai berlakunya undang – undang
tersebut, terdapat beberapa asas yang tujuannya adalah agar undang – undang tersebut mempunyai
dampak yang positif.
Asas – asas tersebut antara lain:
a) Undang – undang tidak berlaku surut.
b) Undang – undang yang dibuat oleh
penguasa yang lebih tinggi.
c) Mempunyai kedudukan yang lebih
tinggi pula.
d) Undang – undang yang bersifat
khusus menyampingkan undang – undang yang bersifat umum, apabila pembuatnya sama.
e) Undang – undang yang berlaku
belakangan, membatalkan undang – undang yang berlaku terdahulu.
f) Undang – undang tidak dapat diganggu
gugat.
g) Undang – undang merupakan suatu
sarana untuk mencapai kesejahteraan spiritual dan materiel bagi masyarakat maupun
pribadi, melalui pelestarian ataupun pembaharuan (inovasi).
2. Penegak Hukum
Penegak hukum merupakan golongan
panutan dalam masyarakat, yang hendaknya mempunyai kemampuan – kemampuan
tertentu sesuai dengan aspirasi masyarakat. Mereka harus dapat berkomunikasi dan mendapat
pengertian dari golongan sasaran, disamping mampu menjalankan atau membawakan peranan
yang dapat diterima oleh mereka. Ada beberapa halangan yang mungkin dijumpai pada penerapan
peranan yang seharusnya dari golongan sasaran atau penegak hukum. Halangan – halangan
tersebut, adalah:
a) Keterbatasan kemampuan untuk
menempatkan diri dalam peranan pihak lain dengan siapa dia berinteraksi.
b) Tingkat aspirasi yang relatif belum
tinggi.
c) Kegairahan yang sangat terbatas
untuk memikirkan masa depan, sehingga sulit sekali untuk membuat proyeksi.
d) Belum ada kemampuan untuk menunda
pemuasan suatu kebutuhan tertentu, terutama kebutuhan material.
e) Kurangnya daya inovatif yang
sebenarnya merupakan pasangan konservatisme. Halangan – halangan tersebut dapat
diatasi dengan membiasakan diri dengan sikap – sikap sebagai berikut:
a) Sikap yang terbuka terhadap
pengalaman maupun penemuan baru.
b) Senantiasa siap untuk menerima
perubahan setelah menilai kekurangan yang ada pada saat itu.
c) Peka terhadap masalah – masalah yang
terjadi disekitarnya.
d) Senantiasa mempunyai informasi yang
selengkap mungkin mengenai pendiriannya.
e) Orientasi kemasa kini dan masa depan
yang sebenarnya merupakan suatu urutan.
f) Menyadari akan potensi yang ada
dalam dirinya.
g) Berpegang pada suatu perencanaan dan
tidak pasrah pada nasib.
h) Percaya pada kemampuan ilmu
pengetahuan dan teknologi didalam meningkatkan kesejahteraan umat manusia.
i) Menyadari dan menghormati hak,
kewajiban, maupun kehormatan diri sendiri dan pihak lain.
j) Berpegang teguh pada keputusan –
keputusan yang diambil atas dasar penalaran dan perhitungan yang mantap.
3. Faktor Sarana atau Fasilitas
Tanpa adanya sarana atau fasilitas
tertentu, maka tidak mungkin penegakan hukum akan berjalan dengan lancar. Sarana atau
fasilitas tersebut antara lain, mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil,
organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup dan seterusnya. Sarana atau
fasilitas mempunyai peran yang sangat penting dalam penegakan hukum. Tanpa adanya sarana atau
fasilitas tersebut, tidak akan mungkin penegak hokum menyerasikan peranan yang seharusnya
dengan peranan yang aktual. Khususnya untuk sarana atau fasilitas tersebut, sebaiknya dianut
jalan pikiran sebagai berikut:
a) Yang tidak ada, diadakan yang
baru.
b) Yang rusak atau salah, diperbaiki
atau dibetulkan.
c) Yang kurang, ditambah.
d) Yang macet, dilancarkan.
e) Yang mundur atau merosot,
dimajukan atau ditingkatkan.
4. Faktor Masyarakat
Penegakan hukum berasal dari
masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian dalam masyarakat. Oleh karena itu,
dipandang dari sudut tertentu maka masyarakat dapat mempengaruhi penegakan hukum tersebut. Masyarakat
Indonesia mempunyai kecenderungan yang besar untuk mengartikan hukum dan bahkan engidentifikasikannya dengan petugas (dalam hal ini penegak hukum sebagai pribadi). Salah satu
akibatnya adalah, bahwa baik buruknya hukum senantiasa dikaitkan dengan pola perilaku
penegak hukum tersebut.
5. Faktor Kebudayaan
Kebudayaan (system) hukum pada
dasarnya mencakup nilai – nilai yang mendasari hokum yang berlaku, nilai – nilai yang
merupakan konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik (sehingga dianuti) dan apa yang
dianggap buruk (sehingga dihindari). Pasangan nilai yang berperan dalam hukum, adalah sebagai berikut:
a) Nilai ketertiban dan nilai
ketentraman.
b) Nilai jasmani atau kebendaan dan
nilai rohani atau keakhlakan.
c) Nilai kelanggengan atau
konservatisme dan nilai kebaharuan atau inovatisme.
Di Indonesia masih berlaku hukum
adat, hukum adat adalah merupakan kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat. Dalam sektor pembentukan hukum,
seringkali juga kita menemui suatu substansi aturan hukum baik berupa undang – undang,
peraturan pemerintah, perpres, hingga perda yang tidak mencerminkan aspirasi masyarakat
luas, bahkan justru secara substanstif dirasa merugikan kepentingan masyarakat luas pada
umumnya. Dalam sektor penegakan hukum, sudah tak terhitung putusan
pengadilan yang justru dinilai banyak kalangan justru mencederai
rasa keadilan masyarakat. Bahwasanya dunia hukum Indonesia terus mendapat sorotan yang hampir
semuanya bernada minor, hal ini tidak terlepas dari ketidakpercayaan publik terhadap
sistem hukum kita baik ditinjau dari struktur (institusi), substansi serta budaya (culture) hukumnya.
Banyak pihak berpendapat bahwa hukum kita hanya untuk mereka yang memiliki uang, kekuasaan
atau jabatan maupun kekuatan politik sehingga dengan itu mereka bisa membeli hukum kita,
dimana hal tersebut bisa mengurangi bahkan menghilangkan terciptanya supremasi hukum di
Indonesia.
Salah satu hal yang perlu mendapat
sorotan tajam dari usaha untuk menciptakan supremasi hukum adalah sistem peradilan yang
merupakan inti dari penegakan hukum di Indonesia. Hal lain yang tak kalah penting adalah segala
permasalahan yang ada dan terjadi didalamnya. Sudah menjadi rahasia umum bahwa sistem peradilan
di Indonesia saat ini penuh dengan kebobrokan dan kebusukan berpengaruh sangat kuat
pada merosotnya atau bahkan hilangnya supremasi hukum di negara ini. Hal ini tentunya tidak
bisa dibiarkan terus terjadi begitu saja tanpa adanya usaha untuk melakukan perubahan menuju
terciptanya supremasi hukum.
Oleh karena itu untuk menuju
terciptanya supremasi hukum tentunya memerlukan suatu kerja keras dari seluruh elemen yang
ada di negara kita. Upaya untuk menciptakan supremasi hukum bukan hanya hak lembaga –
lembaga negara kita dengan pembagian kekuasaannya yang bercirikan prinsip checks and
balances dalam pelaksanaan pemerintahannya, tetapi juga merupakan hak dari setiap warga negara untuk
berpartisipasi dalam usaha terciptanya supremasi hukum dinegara kita.
Bahwasanya pentingnya budaya hukum untuk mendukung adanya sistem hukum, sebagaimana Friedman mengatakan,
bahwa substansi dan aparatur saja tidak cukup untuk berjalannya sistem hukum. Dimana
Lawrence M. Friedman menekankan kepada pentingnya budaya hukum (legal culture). Karena sistem hukum tanpa budaya hukum
yang mendukungnya serupa dengan iklan di dalam baskom yang tidak bisa
berenang. Dimana kalau sistem hukumnya di umpamakan sebagai suatu pabrik, menurut Friedman lagi,
jika substansi itu adalah produk yang dihasilkan dan aparatur adalah mesin yang menghasilkan
produk, sedangkan budaya hukum adalah manusia yang tahu kapan mematikan dan menghidupkan
mesin dan yang tahu memproduksi barang apa yang dikehendakinya. Ambil contoh mengapa
aparatur hukum ada yang tidak taat hukum?. Jika kita mencari sebabnya, maka kita memasuki
masalah budaya hukum (legal culture), begitu juga ruang lingkup budaya hukum, bila kita
ingin mengetahui tidak sedikit orang yang tak bersalah menjadi bulan – bulanan aparat hukum.
Demikian juga hal nya, sebagaimana
kita ketahui bahwasanya dalam dunia kejaksaan diIndonesia terdapat lima norma
kode etik profesi jaksa, yaitu:
1. Bersedia untuk menerima kebenaran
dari siapapun, menjaga diri, berani, bertanggung jawab dan dapat menjadi teladan
dilingkungannya.
2. Mengamalkan dan melaksanakan pancasila
serta secara aktif dan kreatif dalam pembangunan hukum untuk mewujudkan
masyarakat adil ketiga.
3. Bersikap adil dalam memberikan
pelayanan kepada para pencari keadilan.
4. Berbudi luhur serta berwatak mulia,
setia, jujur, arif an bijaksana dalam diri, berkata dan bertingkah laku.
5 Mengutamakan kepentingan bangsa dan
negara daripada kepentingan pribadi atau golongan.
Kode etik jaksa serupa dengan kode
etik profesi yang lain. Mengandung nilai – nilai luhur dan ideal sebagai pedoman
berperilaku dalam satu profesi. Yang apabila nantinya dapat dijalankan sesuai dengan tujuan akan melahirkan
jaksa – jaksa yang memang mempunyai kualitas moral yang baik dalam melaksanakan tugasnya.
Sehingga kehidupan peradilan di negara kita akan mengarah pada keberhasilan. Sebagai komponen
kekuasaan eksekutif dibidang penegak hukum adalah tepat jika setelah kurun waktu tersebut,
kejaksaan kembali merenungkan keberadaan institusinya sehingga dari perenungan ini diharapkan dapat
muncul kejaksaan yang berparadigma baru yang tercermin dalam sikap, pikiran dan perasaan
sehingga kejaksaan tetap mengenal jati dirinya dalam memenuhi panggilan tugasnya sebagai wakil
negara sekaligus wali masyarakat dalam bidang penegakan hukum.
Dan bukan sebagai wakil orang
pribadi per pribadi dalam memenuhi penggilan tugasnya. Kejaksaan adalah merupakan salah
satu pilar birokrasi hukum tidak terlepas dari tuntutan masyarakat yang berperkara agar
lebih menjalankan tugasnya lebih profesional dan memihak kepada kebenaran. Sepanjang yang
diingat, belum pernah rasanya kejaksaan di dalam sejarahnya sedemikian merosot citranya seperti
saat ini. Mengevaluasi atas kinerja yang telah dilaksanakan selama
ini. Serta menunjukkan jati diri agar peristiwa yang sama tidak
terulang lagi. Dalam situasi dan kondisi sekarang ini dimana kejaksaan mengalami krisis
kredibilitas maka sudah sepantasnya pihak kejaksaan mewujudkan aparat hukum yang profesional dan
berintegritas guna meningkatkan citra kejaksaan. Berbagai institusi bahkan negara manapun
pernah mengalami krisis kredibilitas, namun yang terpenting adalah menyikapi dan menghadapinya.
Apakah akan bersembunyi dan mengaharap orang akan melupakannya? Ataukah akan berjalan
terus dengan melakukan koreksi mendasar terhadap faktor – faktor yang menyebabkan krisis kredibilitas
itu terjadi?. Sebagai pilihan, berjalan terus dengan melakukan koreksi mendasar yang
mesti dilakukan. Semangat pembauran dan koreksi mendasar diarahkan pada perbaikan serta
pembenahan institusi kejaksaan disegala bidang.
Termasuk peningkatan profesionalisme aparatur
kejaksaan yang sinergis dengan peningkatan integritas, guna mengoptimalkan pelaksanaan visi dan
misi kejaksaan, serta selaras pula dengan agenda reformasi birokrasi dalam memberikan pelayanan
hukum yang lebih baik kepada masyarakat. Peningkatan profesionalisme dan
integritas harus dapat diwujudkan dalam setiap pelaksanaan tugas dan wewenang dalam
upaya penegakan hukum dengan memberikan hasil yang nyata. Tidak bersifat retrorika,
tetapi secara sungguh – sungguh dapat dirasakan oleh masyarakat, secara adil, taat asas, menjunjung
tinggi hak asasi manusia dan tidak diskriminatif. Dengan pelaksanaan tugas secara profesional
dan berintegritas, diharapkan dapat memulihkan citra dan kredibilitas kejaksaan dimata
masyarakat tahap demi tahap. Berbagai program kegiatan telah ditetapkan dalam pembauran kejaksaan
yang memiliku spesifikasi dan kekhususan dengan tujuan untuk melakukan pembenahan. Baik
institusional maupun sumber daya manusia. Salah satu yang diprioritaskan adalah pengembangan
dan pembinaan sumber daya manusia agar dapat mewujudkan aparatur kejaksaan yang profesional
dan berintegritas.
Pengembangan dan pembinaan sumber
daya manusia kedepan diarahkan pada hal – hal yang terkait dengan
pola jenjang karir, monitoring dan sistem evaluasi. Begitu pula
peningkatan kemampuan dan keahlian dilakukan melalui pendidikan dan pelatihan. Baik yang bersifat
manajemen admistratif, maupun teknis pengadaan perkara. Monitoring dan evaluasi terhadap
kinerja para pejabat struktural maupun fungsional akan dilakukan secara berkelanjutan dan dengan
komitmen yang tinggi sehingga reward dan punishment dapat diterapkan secara tegas dan tuntas.
Kepada jajaran bidang intelejen sebagai bagian dari organisasi diharapkan mampu menghasilkan produk
– produk inteljen yang bermanfaat bagi semua bidang. Kepada jajaran bidang pidana umum
agar penanganan perkara dan administrasi perkara tindak pidana umum, mulai dari tahap
penuntutan, upaya hukum, sampai dengan eksekusi harus benar – benar diperhatikan. Pimpinan unit
bersangkutan juga harus selalu melakukan pengawasan melekat secara ketat pada tiap – tiap
tahapan dalam penaganan perkara. Begitu juga dengan peningkatan kegiatan eksaminasi perkara secara
rutin dan berkesinambungan. Penyelesaian secara segera pekara – perkara yang penting dan menarik
perhatian masyarakat . Terutama penanganan perkara tindak tindak pidana narkotika dan
psikotropika, ilegal logging, terorisme, perbankan, ilegal mining,money
loundrying, human trafficking dan kejahatan trans – nasional lainnya. Kepada
jajaran bidang tindak pidana khusus, keberhasilan dalam upaya pemberantasan
tindak pidana korupsi harus diikuti pula dengan penyelamatan dan
pengembalian keuangan negara secara maksimal. Bila hal tersebut
belum
dapat dilakukan, maka keberhasilan pemberantasan tindak pidana korupsi hanyalah
sebatas keberhasilan yang terfokus terhadap aspek pemidanaan saja.
Penulis sebagai bagian anggota dari
masyarakat sadar hukum berharap secara positif, di
dalam
mengemban profesi, usaha – usaha yang dilakukan oleh jaksa bukan hanya untuk
memenuhi unsur – unsur yang terkandung dalam ketentuan hukum semata,
melainkan apa yang sesungguhnya benar – benar terjadi dan dirasakan
langsung oleh masyarakat juga didengar dan diperjuangkan. Inilah yang dinamakan pendekatan
sosiologis. Memang tidak mudah bagi jaksa untuk menangkap suara yang sejati yang muncul dari
sanubari anggota masyarakat secara mayoritas. Disamping masyarakat Indonesia yang heterogen,
kondisi yang melingkupinya pun sedang dalam keadaan yang tidak sepenuhnya normal. Hal yang
kerap memprihatinkan ialah rasa keadilan masyarakat atau keadilan itu sendiri, tidak dapat
sepenuhnya dijangkau perangkat hukum yang ada. Pada ujungnya, keadilan itu bergantung pada aparat
penegak hukum itu sendiri, bagaimana mewujudkannya secara ideal. Disinilah maka penegakan hukum itu
menjadi demikian erat hubungannya dengan perilaku, khususnya aparat penegak hukum,
antara lain termasuk jaksa. Hukum bukan sesuatu yang bersifat mekanistis yang dapat berjalan
sendiri. Hukum bergantung pada sikap tindak penegak hukum. Melalui aktivasi penegak hukum
tersebut, hukum tertulis menjadi hidup dan memenuhi tujuan – tujuan yang dikandungnya. Sebagai
warga negara yang mengemban kewajiban dan hak dinegara ini, saya berharap mengenai
profesionalisme seorang jaksa seungguh sangat penting dan mendasar, sebab sebagaimana disebutkan diatas,
bahwa antara lain ditangannyalah hukum menjadi hidup, dan karena kekuatan atau otoritas yang
dimilikinya .
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Inkonsistensi penegakan hukum diatas
berlangsung terus menerus selama puluhan tahun. Masyarakat sudah terbiasa melihat
bagaimana law in action berbeda dengan law in the book. Inkonsistensi penegakan hukum
merupakan masalah penting yang harus segera ditangani. Masalah hukum ini paling dirasakan oleh
masyarakat dan membawa dampak yang sangat buruk bagi kehidupan bermasyarakat. Persepsi
masyarakat yang buruk mengenai penegakan hukum, menggiring masyarakat pada pola
kehidupan sosial yang tidak mempercayai hukum sebagai sarana penyelesaian konflik, dan cenderung
menyelesaikan konflik dan permasalahan mereka diluar jalur. Cara ini membawa akibat buruk bagi
masyarakat itu sendiri. Pemanfaatan inkosistensi penegakan hukum oleh sekelompok orang demi
kepentingannya sendiri, selalu berakibat merugikan pihak yang tidak mempunyai kemampuan yang
setara. Akibatnya rasa ketidakadilan dan ketidakpuasan tumbuh subur di masyarakat Indonesia.
Penegakan hukum yang konsisten harus terus di upayakan untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat
terhadap hukum di Indonesia.
B. SARAN
Berikut saran yang saya berikan
dalam upaya mengembalikan citra penegakan hukum dimata masyarakat yaitu dengan
melakukan pembenahan dan penataan terhadap sistem hukum yang ada dengan cara:
1. Struktur, terkait dengan struktur
hukum maka perlu dilakukan penataan terhadap institusi hukum yang ada seperti lembaga
peradilan, kejaksaan, kepolisian, dan organisasi advokat. Selain itu perlu juga dilakukan
penataan terhadap institusi yang berfungsi melakukan pengawasan terhadap lembaga hukum.
Dan hal lain yang sangat penting untuk segera dibenahi terkait dengan struktur
sistem hukum di Indonesia adalah birokrasi dan administrasi lembaga penegak hukum.
2 Substansi, dalam hal substansi
sistem hukum perlu segera direvisi berbagai perangkat peraturan perundang – undangan yang
menunjang proses penegakan hukum di Indonesia. Misalnya, peraturan perundang –
undangan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia seperti KUHP (Kitab Undang – Undang
Hukum Pidana) dan KUHAP (Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana) proses
revisi yang sedang berjalan saat ini harus segera diselesaikan. Hal ini dikarenakan
kedua instrumen hukum tersebut sudah tidak relevan dengan kondisi masyarakat saat ini.
3. Legal culture, untuk budaya hukum
perlu dikembangkan perilaku taat dan patuh terhadap hukum yang dimulai dari atas.
Artinya apabila para pemimpin dan aparat penegak hukum berperilaku taat dan patuh terhadap
hukum, dengan hal tersebut maka akan menjadi teladan bagi rakyat.
DAFTAR PUSTAKA
- Ali, Achmad (1999). Pengadilan
Dan Masyarakat. Ujung Pandang: Hasanudin University Press.
- Doyle, Paul Johnson (1986). Teori
Sosiologi Klasik Dan Modern. Alih bahasa oleh Robert M.Z. Jakarta: Gramedia.
- Soemardi, Dedi (1997). Pengantar
Hukum Indonesia. Jakarta: IndHillCo.
- Syamsudin, Amir (2008). Integritas
Penegak Hukum: Hakim, Jaksa, Polisi, Dan Pengacara. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
- Rahardjo, Satjipto (2003). Sisi –
Sisi Lain Dari Hukum Di Indonesia. Medan: Penerbit Buku Kompas.
- Lemek, Jeremias (2007). Mencari
Keadilan: Pandangan Kritis Terhadap Penegakan Hukum DiIndonesia. Jakarta:
Galang Press.
No comments:
Post a Comment