Tuesday, April 3, 2018

MAKALAH PENGAWASAN APBD





1.1       LATAR BELAKANG
Proses pengawasan merupakan hal penting dalam menjalankan kegiatan organisasi, oleh karena itu setiap pimpinan harus dapat menjalankan fungsi pengawasan sebagai salah satu fungsi manajemen. Dengan demikian peranan pengawasan sangat menentukan baik buruknya pelaksanaan suatu rencana.
APBD merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah dalam satu tahun anggaran. APBD merupakan rencana pelaksanaan semua Pendapatan Daerah dan semua Belanja Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi dalam tahun anggaran tertentu. Pemungutan semua penerimaan Daerah bertujuan untuk memenuhi target yang ditetapkan dalam APBD. Demikian pula semua pengeluaran daerah dan ikatan yang membebani daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi dilakukan sesuai jumlah dan sasaran yang ditetapkan dalam APBD. Karena APBD merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah, maka APBD menjadi dasar pula bagi kegiatan pengendalian, pemeriksaan dan pengawasan keuangan daerah.
Tahun anggaran APBD sama dengan tahun anggaran APBN yaitu mulai 1 Januari dan berakhir tanggal 31 Desember tahun yang bersangkutan. Sehingga pengelolaan, pengendalian, dan pengawasan keuangan daerah dapat dilaksanakan berdasarkan kerangka waktu tersebut.
APBD disusun dengan pendekatan kinerja yaitu suatu sistem anggaran yang mengutamakan upaya pencapaian hasil kerja atau output dari perencanaan alokasi biaya atau input yang ditetapkan. Jumlah pendapatan yang dianggarkan dalam APBD merupakan perkiraan yang terukur secara rasional yang dapat tercapai untuk setiap sumber pendapatan. Pendapatan dapat direalisasikan melebihi jumlah anggaran yang telah ditetapkan. Berkaitan dengan belanja, jumlah belanja yang dianggarkan merupakan batas tertinggi untuk setiap jenis belanja. Jadi, realisasi belanja tidak boleh melebihi jumlah anggaran belanja yang telah ditetapkan.
Ketika penerapan otononomi daerah, dimana pemberian kewenangan dan keleluasaan (diskresi) kepada daerah untuk mengelola dan memanfaatkan sumber daya daerah secara optimal bagi kesejahteraan masyarakat. sedangkan pemerintahan yang bebas identik dengan penerapan otonomi daerah, dimana pemberian kewenangan dan keleluasaan (diskresi) kepada daerah untuk mengelola dan memanfaatkan sumber daya daerah secara optimal bagi kesejahteraan masyarakat.
Fungsi Pengawasan yang dilakukan DPRD di Indonesia pada umumnya masih banyak mengalami kendala, diantaranya adalah tidak adanya penetapan jadwal untuk agenda pengawasan, Lemahnya koordinasi antar anggota komisi, dan kurangnya pengetahuan anggota DPRD sehingga pengawasan hanya sekedar formalitas belaka atau hanya sekedar kunjungan kerja tanpa ada hasil yang dicapai atau rekomendasi dari hasil pengawasan tersebut.

Berdasarkan penjelasan latarbelakanng diatas maka dapat diambil sebiah rumusan masalah sebagai berikut :
1.   Bagaimana konsep Pengawasan ?
2.   Bagaimana pengawasan dalam APBD ?
3.   Bagaimana peran DPRD Dalam Pengawasan APBD ?
4.   Bagaimana Peran Publik Dalam Pengawasan APBD ?








APBD adalah rencana keuangan Pemda, yang mencakup tiga komponen, yakni pendapatan, belanja dan pembiayaan. Selisih pendapatan dengan belanja disebut surplus atau defisit, yang memiliki makna bahwa Pemda boleh merencanakan pengeluaran untuk belanja yang tidak sama persis dengan jumlah pendapatannya.
Di sisi lain, rencana keuangan yang telah ditetapkan sebelum tahun anggaran berjalan, kemungkinan besar tidak dilaksanakan sepenuhnya. Artinya, hampir selalu ada variansi (variance) antara anggaran dengan realisasinya.  Dalam anggaran berbasis kinerja, APBD harus direncanakan dengan menetapkan terlebih dahulu target kinerja yang ingin dicapai (Money follows functions). Jika tidak ada target, maka tidak ada aktivitas. Jika tidak ada aktivitas, maka tidak ada alokasi dana dalam APBD.
Pemeriksaan pembelanjaan dan pertanggungjawaban APBD mengalami perkembangan dan perubahan yang cukup signifikan setelah berlakunya paket tiga Undang-undang Keuangan Negara. Perubahan tersebut antara lain meliputi jenis pemeriksaan, standar pemeriksaan, pelaksanaan dan pelaporan hasil pemeriksaan, serta pemantauan tindak lanjut hasil pemeriksaan. Perubahan tersebut tentunya harus disikapi dengan perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan yang semakin baik dan ‘semakin’ sesuai standar. 
Tercatat sudah banyak perangkat lunak diciptakan mulai kode etik, petunjuk pelaksanaan sampai petunjuk teknis dan SOP. Akan tetapi, apakah kualitas hasil pemeriksaan dapat terjamin dengan banyaknya perangkat lunak pemeriksaan? Banyak laporan yang menyatakan bahwa auditor sering mengandalkan intuisinya sebagai pemeriksa dibandingkan harus mengandalkan atau mematuhi perangkat lunak pemeriksaan. Auditor cenderung terlalu percaya diri dan kadang lupa dengan pakem yang harus dipegang dalam memainkan perannya sebagai auditor.
Akibatnya, ini mendorong munculnya auditor yang doyan bermusik jazz. Yaitu mengaudit dengan improvisasi sekenanya mengikuti intuisi yang dipercaya. Padahal, ada kekhawatiran bahwa dengan improvisasi ini, bisa menyulitkan penjaminan keandalan prosedur audit yang dijalankan.
Kualitas audit ditentukan oleh dua hal yaitu kompetensi dan independensi. Hasil penelitian tentang kompetensi menunjukkan bahwa profesi auditor mulai tidak menarik dan tergeser oleh profesi yang lain. Hal ini berdampak terhadap kualitas calon auditor yang memasuki dunia Pegawai negeri Sipil (PNS), yang pada akhirnya akan membuat mereka akan eksodus ke unit kerja lain. Hasil penelitian juga menunjukkan kualitas pendidikan secara formal untuk auditor dirasa masih kurang memadai untuk menunjang kompetensinya. Penelitian juga memberikan bukti empiris bahwa pengalaman akan mempengaruhi kemampuan auditor untuk mengetahui kekeliruan dan pelatihan yang dilakukan akan meningkatkan keahlian dalam melakukan audit.
Untuk itu maka masukan dari pihak lain atau pembina  dan organisasi sangat diperlukan untuk mengembangkan suatu kualitas audit. Hasil penelitian tentang independensi menunjukkan bahwa dalam mengambil keputusan auditor dipengaruhi oleh dorongan untuk mempertahankan citranya auditnya. Tetapi disisi lain terdapat beberapa kekuatan yang bisa meredakan pengaruh tersebut. Hasil penelitian juga memberikan bukti bahwa pengaruh Budaya masyarakat atau organisasi terhadap pribadi auditor akan mempengaruhi sikap independensinya (Soegijanto dan Hoesada, 2005).
PP Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian internal Pasal 47 menyebutkan bahwa pimpinan instansi/lembaga pemerintah bertanggung jawab atas efektivitas penyelenggaraan sistem pengendalian internal di lingkungan masing-masing. Atas dasar itu di masing-masing lembaga mempunyai satuan kerja yang bertugas untuk mengawasi dan menjamin pelaksanaan operasional instansi agar sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Di tingkat pusat lembaga tersebut lazim disebut Inspektorat dan ditingkat daerah disebut Badan Pengawas (Bawas) yang sekarang Inspektorat juga.
Fungsi pengawas internal adalah membantu pimpinan instansi/lembaga dalam penyelenggaraan pemerintahan dibidang :
1.      Pengawasan pelaksanaan kegiatan yang dilaksanakan baik yang sudah selesai maupun on going;
2.      Evaluasi dan pelaporan pelaksanaan tugas, fungsi evaluasi tersebut termasuk dalam pengujian secara berkala laporan yang dihasilkan oleh masing-masing perangkat daerah;
3.      Pembinaan dan perbaikan pelaksanaan kegiatan-kegiatan reguler yang dilaksanakan;
4.      Membantu tercapainya good corporate governance.
Menurut penjelasan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 dan perubahannya tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, Kepala Daerah (Bupati/Walikota) selaku pemegang kekuasaan penyelenggaraan pemerintahan juga bertindak sebagai pemegang kekuasaan dalam pengelolaan keuangan daerah. Selanjutnya kekuasaan tersebut dilimpahkan kepada Kepala Satuan Kerja Pengelolaan Keuangan Daerah selaku pejabat pengelola keuangan daerah dan dilaksanakan oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah itu sendiri sebagai pengguna anggaran/barang daerah di bawah koordinasi dari Sekretaris Daerah.
Pemisahan pelaksanaan APBD ini akan memberikan kejelasan dalam pembagian wewenang dan tanggungjawab terlaksananya mekanisme keseimbangan dan pengawasan dalam pelaksanaan anggaran daerah (check and balances) serta untuk mendorong upaya peningkatan profesionalisme dalam penyelenggaraan tugas pemerintahan. Dalam kaitannya dengan hal tersebut, maka dana yang tersedia dalam APBD harus dimanfaatkan dengan sebaik mungkin untuk dapat menghasilkan peningkatan pelayanan dan kesejahteraan yang maksimal bagi kepentingan masyarakat.

Beberapa permasalahan yang ditemui ketika aparat inspektorat telah melakukan pemeriksaan pembelanjaan dan pertanggungjawaban APBD, antara lain:
Pertama,
Struktur belanja pada APBD yang lebih banyak mengakomodir belanja pegawai, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa telah terjadi kesalahan penganggaran. Kalau setiap tahun belanja publik selalu kurang daripada belanja pegawai, pertanyaannya, pegawai yang semakin banyak itu kerja apa saja?
Kalau jumlah pegawai lebih banyak dari apa yang mau dia kerjakan? Itu aneh. Sehingga pengadaan CPNSD harus dikurangi. Jangan setiap tahun terima CPNSD baru, karena akan sangat membebani anggaran. Setiap periode jabatan KDH sebenarnya cukup dua kali saja pengangkatan CPNSD supaya ada penghematan sehingga biaya belanja aparatur dipakai untuk belanja publik. Jumlah rakyat miskin masih sangat banyak, dana yang ada sebaiknya dipakai untuk kembangkan sektor riil dan jangan hanya dihabiskan untuk belanja pegawai saja.
Kedua,
Penafsiran yang berbeda antar SKPD terhadap peraturan pemerintah pusat yang selalu berubah-ubah, sehingga menimbulkan berbagai macam interpretasi atas aturan yang ada. Mau ikut aturan A takut kebentur aturan B. Kuatirnya auditor akan memakai aturan B dan akhirnya menyalahkan SKPD. Kuatirnya ada pihak lain yang kemudian berpendapat bahwa harusnya atas kejadian tersebut adalah mengacu pada aturan C (sehingga membingungkan).
Salah satu contoh kongkritnya adalah pada saat akan menerapkan keppres 80/2003 dan perubahannya dengan Permendagri 13/2006 dan perubahannya. Pegawai yang berkutat di masalah keuangan daerah mengharuskan dipakai Permendagri, sedangkan yang biasa menangani pengadaan akan bersikukuh bahwa hanya Keppres-lah satu–satunya acuan utama mulai persiapan pengadaan, proses pemilihan penyedia, proses pelaksanaan dan prosedur pembayaran beserta dokumen–dokumennya.
Ketiga,
penyalahgunaan aset, yang terjadi karena ketidaktertiban mulai dari proses pencatatan, pembiayaan, dan pelaporan sehingga tidak dapat diketahui track record aset tersebut. Kelemahan yang sering terjadi adalah aset tidak dicatat di buku inventaris atau tercatat di buku inventaris tetapi tidak pernah di-update mengenai keberadaan, kondisi, dan lokasi aset tersebut.
Selain itu, secara akuntansi belum dilakukan pencatatan aset sesuai Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP), di antaranya saat pembelian tidak dibukukan dalam buku besar dan buku pembantu serta tidak dilakukan penyusutan. Kadangkala aset yang tercatat tidak diketahui sumber dananya, baik yang didanai dari APBN/APBD, hibah, sumbangan, maupun sitaan, dan sebagainya. Tidak tercatatnya aset, baik dalam buku inventaris maupun secara akuntansi serta tidak jelas dalam segi pembiayaannya, mengakibatkan pelaporan aset dalam neraca tidak akurat.
Hal ini kadang menjadi permasalahan di SKPD, untuk perhitungan harga perolehan biasanya dihitung di bagian keuangan atau akuntansi. Tentunya setelah dihitung harga perolehan, maka pengurus barang segera mengganti harga aset tersebut dari harga yang sesuai kontrak ke harga perolehan. Beberapa SKPD kadang tidak ada komunikasi antara Bagian Keuangan/Akuntansi dengan Pengurus Barang. Tentu saja ketika auditor masuk akan membandingkan data neraca dengan rincian barang.
Keempat,
Setiap pemeliharaan terkait dengan anggaran untuk pemeliharaan. Belanja pemeliharaan ternyata salah satu objek belanja yang paling sering difiktifkan pertanggungjawabannya. Jika dicermati dalam Laporan Realisasi Anggaran (LRA), atau dalam Perhitungan APBD, biasanya anggaran belanja pemeliharaan terealisasi 100%. Habis tak bersisa. Yang menarik, berdasarkan penelitian di negara-negara berkembang, terutama di Afrika dan Amerika Latin (IMF, 2007 dan World Bank, 2008; dikutip Peduli Bangsa, 2008) fenomena ghost expenditures merupakan hal yang biasa. Artinya, alokasi untuk pemeliharaan selalu dianggarkan secara incremental meskipun banyak aset yang sudah tidak berfungsi atau hilang. hal ini terjadi karena tidak adanya transparansi dalam penghapusan dan pemindahtanganan aset-aset.
Kelima,
Pemeriksaan aset hasil pengadaan terpusat pada satu instansi.
Keenam,
Pengadaan yang tidak dilaksanakan oleh bagian atau sub bagian yang berwenang melaksanakan sesuai tupoksinya.  Berdasarkan fenomena yang terjadi uang untuk pelaksanaan kegiatan dikuasai pada PPTK. Seharusnya uang untuk pelaksanaan kegiatan dipegang oleh bendahara pengeluaran meskipun yang bertanggungjawab untuk pengendalian atas pelaksanaan pekerjaan ada di tangan PPTK. Hal ini bermakna bahwa meskipun PPTK bertanggungjawab atas kesuksesan pelaksanaan kegiatan, PPTK tidak memegang uang (karena ada pada wewenang di bendahara).
Ketujuh,
Ketidakjelasan pertanggungjawaban dan pelaksana perjalanan dinas.
Kedelapan,
Pembelian ATK di luar “batas kewajaran” oleh SKPD.
Kesembilan,
Tidak melaksanakan proses akuntansi, tetapi menghasilkan laporan keuangan. Sudah menjadi kelaziman saat ini bahwa SKPD dipandang tidak perlu menyelenggarakan proses akuntansi (menjurnal, memposting, menyesuaikan, menutup, dan menyusun laporan keuangan) secara manual, karena telah ada software atau program yang membantu. Sekali dilakukan entry data, maka laporan keuangan langsung jadi. Apakah akuntansi sama dengan software di komputer?.
Kesepuluh,
Kelemahan sistem penetapan honor berdasarkan kegiatan, karena tidak ditetapkan pemberian penghasilan tambahan berdasarkan beban kerja secara adil.
Kesebelas,
Jumlah persediaan yang tidak realistis pada akhir tahun anggaran, dan sebagainya.Hal-hal tersebut di atas merupakan aspek-aspek yang harus diawasi, artinya pengawasan tidak hanya bernuansa dilaksanakan setelah pelaksanaan kegiatan, tetapi juga dimulai ketika perencanaan kegiatan masih dilakukan.

Pengawasan terhadap pembelanjaan dan pertanggungjawaban APBD dibagi menjadi dua bagian; pengawasan eksternal dan pengawasan internal yang dijalankan diklasifikasikan dari segi kategori fungsional yang tergantung pada maksud yang akan dijalankan. Jadi pengawasan tersebut dapat dibagi menjadi tiga yaitu :
1.   pengawasan kebijakan (perumusan kebijakan makroekonomi dan strategi);
2.   pengawasan proses (pengawasan personil, procurement/pengadaan, konstruksi dan pembayaran) dan
3.   pengawasan efisien (ukuran kinerja dan evaluasi).
Apakah pengawasan, suatu kalimat yang agak “merepotkan” bagi teman-teman Pemda?, bukan saja karena implikasi dari pengawasan itu sendiri, tetapi juga dari banyaknya pengawasan. Tetapi sebenarnya dilingkup intern SKPD itu sendiri telah terlaksana pengawasan, yang dilaksanakan oleh pegawainya.  Pengawasan yang dimaksud tersebut dengan nomenklatur pengawasan atau dengan yang serupa pengawasan, yaitu : Waskat, evaluasi,  monitoring, atupun konsultasi. Perbedaan antara auditor dan pegawai lain di SKPD adalah, auditor mempunyai wewenang tidak hanya melakukan pengawasan tetapi juga ke tingkat pemeriksaan sesuai tugas pokoknya berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat dan daerah.
Kriteria pemeriksaan mempunyai keunikan tersendiri dibandingkan dengan pekerjaan lain. Pemilihan kriteria pemeriksaan tidak hanya meng”copy” peraturan atau norma serta kaidah yang telah ditetapkan dalam bentuk produk hukum, melainkan lebih jauh lagi kriteria pemeriksaan dapat dikembangkan standar atau praktik-praktik yang dianggap baik dan relevan bagi sebuah kondisi kinerja yang ideal. Oleh karena itu, pengembangan kriteria menjadi proses penting dalam suatu perencanaan pemeriksaan untuk menjamin penilaian auditor lebih objektif, proposional dan relevan dengan tujuan pemeriksaan, sehingga dapat menghasilkan suatu rekomendasi perbaikan yang konstruktif bagi kinerja audite.
Problemnya adalah kebosanan dari instansi/lembaga untuk diperiksa, banyaknya kegiatan pemeriksaan sedikit banyak membuat aktivitas pelayanan dan operasional menjadi terganggu. Banyak waktu yang tersita untuk menjawab dan menjelaskan berbagai permasalahan yang terjadi. Fungsi pengawas menjadi pemeriksa membuat pemahaman terhadap masalah yang terjadi menjadi kurang, parsial sehingga tidak menyeluruh. Pengawasan dilakukan tujuannya bukan evaluasi untuk perbaikan proses yang sedang berlangsung tapi lebih kepada evaluasi untuk mencari kesalahan atas kegiatan.
Faktanya, justru bottle neck yang terjadi dalam melaksanakan pemeriksaan adalah ketidakmampuan mengidentifikasikan kriteria pemeriksaan. Ketidakmampuan lebih disebabkan hal-hal antara lain tidak tersedianya Key Performance Indicator (KPI), belum ada kesepakatan dengan auditee, dan tidak tersedia data standar berupa benchmarking. Ini semua terjadi karena kita sudah terbiasa dengan pola pemeriksaan kepatuhan yang mengharuskan sumber kriteria adalah berupa peraturan perundang-undangan yang mempunyai kekuatan memaksa pelaksana untuk mematuhinya. Tanpa itu maka temuan pemeriksaan dan rekomendasinya tidak ada kekuatan mengubah auditee untuk memperbaiki. Apalagi kondisi tersebut dikaitkan dengan ada tidaknya indikasi TPK.

2.2      DPRD Sebagai Pengawas Penggunaan APBD
Kepemerintahan daerah yang baik (good localgovernance) merupakan Public issue yang paling mengemuka dalam pengelolaan administrasi publik dewasa ini. Tuntutan pelaksanaan Pemerintahan yang baik yang dilakukan oleh masyarakat kepada Pemerintah terus dikemukakan melalui tulisan – tulisan di media, demonstrasi dan lain – lain merupakan suatu hal yang sejalan dengan konsep Good governance bahwa peran serta masyarakat dalam mengawasi jalannya Pemerintahan mutlak dilakukan, sesuatu yang tidak dapat dilakukan di era orde baru yang menganut sentralisasi.  Hal itu merupakan Implikasi meningkatnya pengetahuan masyarakat di samping adanya globalisasi pergeseran paradigma pemerintahan dari rulling government  yang terus bergerak menuju good governance dipahami sebagai suatu fenomena berdemokrasi secara adil.
Penyelenggaraan pemerintahan dalam suatu negara tidak hanya terdapat di pusat pemerintahan saja. Pemerintahan pusat memberikan wewenangnya kepada pemerintah daerah untuk menyelenggarakan pemerintahannya sendiri, dan di Indonesia yang dimaksud dengan pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi yang seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945.
Sedangkan dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah, dilaksanakan dengan asas Desentralisasi, yaitu penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Di samping itu juga melaksanakan Dekonsentrasi, yaitu pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan / atau kepada instansi vertikal, dan serta melaksanakan Tugas Pembantuan, yaitu penugasan dari pemerintahan kepada daerah dan atau desa dari pemerintahan propinsi kepada kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.
Lahirnya Undang - Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah,  menjadi era baru Pemerintahan di daerah, lalu digantikan dengan Undang – undang nomor 32 tahun 2004, dan dilakukan perubahan atas Undang – Undang nomor 32 tahun 2004 dengan diterbitkannya Undang – Undang nomor 12 tahun 2008 menggantikan Undang-Undang yang sebelumnya menandai dimulainya paradigma baru kebijakan otonomi daerah di Indonesia. Undang-Undang ini lahir sebagai wujud menyikapi berbagai aspirasi dan tuntutan terhadap reformasi hubungan antara pemerintah pusat dan daerah. Kebijakan otonomi daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 memberikan kewenangan yang luas kepada setiap daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat daerah menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Dalam menyelenggarakan pemerintahan di daerah, diperlukan perangkat - perangkat dan lembaga - lembaga untuk menyelenggarakan jalannya pemerintahan di daerah. Sebagaimana hanya di pusat negara, perangkat - perangkat dan lembaga - lembaga daerah biasanya merupakan refleks dari sistem yang ada di pusat negara. Untuk memenuhi fungsi perwakilan dalam menjalankan kekuasaan legislatif daerah sebagaimana di pusat negara di daerah dibentuk pula Lembaga Perwakilan Rakyat, dan lembaga ini biasa dikenal atau dinamakan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Dalam Undang – undang nomor 32 tahun 2004 posisi DPRD dibuat sejajar dan menjadi mitra dengan Pemerinatah daerah. salah satu kewenangan DPRD adalah melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan APBD. Menurut Mardiasmo ada tiga aspek utama yang mendukung keberhasilan otonomi daerah, yaitu pengawasan, pengendalian dan pemeriksaan, ketiga hal tersebut pada dasarnya berbeda baik konsepsi maupun aplikasinya. pengawasan mengacu pada tindakan atau kegiatan yang dilakukan di luar pihak eksekutif (yaitu masyarakat dan DPRD) untuk mengawasi kinerja pemerintahan. pengendalian (control) adalah mekanisme yang dilakukan oleh pihak eksekutif (Pemerintah Daerah) untuk menjamin dilaksanakannya sistem dan kebijakan manajemen sehingga tujuan organisasi dapat tercapai. pemeriksaan (audit) merupakan kegiatan oleh pihak yang memiliki independensi dan memiliki kompetensi professional untuk memeriksa apakah hasil kinerja pemerintah daerah telah sesuai dengan standar atau kriteria yang ada (Mardiasmo, 2002 : 219).
Di Indonesia, pengelolaan anggaran begitu pula penyusunan suatu anggaran dilaksanakan oleh lembaga legislatif bersama – sama dengan eksekutif. Untuk anggaran pendapat dan belanja daerah (APBD) penyusunannya dibuat oleh DPRD bersama – sama dengan Bupati/Walikota Kepala Daerah Tingkat II, kemampuan kedua lembaga tersebut, DPRD dan Bupati/Walikota sangat menentukan terbentuknya APBD serta kualifikasi dari anggaran tersebut.
Secara umum peran DPRD diwujudkan dalam tiga fungsi, yaitu:
1)   Regulator. Mengatur seluruh kepentingan daerah, baik yang termasuk urusan - urusan rumah tangga daerah (otonomi) maupun urusan - urusan pemerintah pusat yang diserahkan pelaksanannya ke daerah (tugas pembantuan);
2)   Policy Making. Merumuskan kebijakan pembangunan dan perencanaan programprogram pembangunan di daerahnya;
3)   Budgeting. Perencanaan angaran daerah (APBD).
Dan menurut Undang – undang Fungsi Dewan Perwakilan Rakyat (DPRD) tersebut lebih disederhanakan  ke dalam tiga fungsi, yaitu :
1)   Fungsi legislasi,
2)   Fungsi anggaran
3)   Fungsi pengawasan.
Fungsi pengawasan yang dilakukan oleh DPRD diatur dalam Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004 pasal 42 ayat 1c, PERMENDAGRI (Peraturan Menteri Dalam Negeri) Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Daerah Pasal 311 ayat 1 dan 2, dan Undang – undang 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah Pasal 42 ayat 1c, dan UU Rexxpublik Indonesia No. 27 Tahun 2009 Tentang MPR, DPR. DPD, dan DPRD Pasal 344 ayat 1c.
Berikutadalahtahapan – tahapandari proses pengawasanDPRD :
Tahap 1 DPRD menentukan agenda pengawasan,
Tahap 2Menetukanmetodologipengawasan,
Tahap3menjalinhubunganinstansiterkaitdanaliansistrategis,
Tahap 4Melaksanakanpengawasan,
Tahap 5Membuatlaporan,
Tahap 6Tindaklanjuthasilpengawasan,
Tahap 7Menilai LKPJ.
Ruang lingkup pengawasan yang dilakukan oleh DPRD mencakup seluruh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dan Program – program atau kebijakan yang dibiyai oleh APBD, karena salah satu aspek Pemerintahan Daerah yang harus diatur secara hati-hati adalah pengelolaan keuangan daerah karena anggaran daerah memainkan peranan yang sangat penting dalam mendukung siklus penyelenggaraan pemerintah di daerah untuk menciptakan kesejahteraan bagi masyarakatnya. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dalam suatu daerah merupakan suatu nafas daerah untuk dapat melanjutkan pembangunan daerah. Pembangunan daerah dapat berjalan apabila pengawasan terhadap pelaksanaan APBD berjalan dengan baik sesuai dengan apa yang telah di prioritaskan dan sesuai dengan aspirasi dari masyarakat tersebut.
Anggaran bagi Pemerintah Daerah adalah instrument terpenting dalam kebijakan ekonomi yang akan lebih menjelaskan pritoritas kebijakan dokumen – dokumen lainnya, dengan kata lain, anggaran mendefinisikan kebijakan, komitmen – komitmen politik dan prioritas dalam memutuskan kemana anggaran harus digunakan dan dari mana mesti dikumpulkan.
Fungsi Pengawasan DPRD Kabupaten Serang diatur dalam Peraturan DPRD Kabupaten Serang Nomor 1 Tahun 2010 pasal 118 ayat 1 dan 2 yang berbunyi “ayat (1) DPRD Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah tentang APBD, ayat (2) pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bukan pemeriksaan tetapi pengawasan yang lebih mengarah untuk pencapaian sasaran yang telah ditetapkan dalam peraturan daerah tentang APBD”.

Bawasda memiliki tugas pokok dan fungsi untuk melakukan pengawasan keuangan. Beberapa keuangan provinsi/kabupaten/kota bidang pengawasan terhadap keuangan dan aset daerah adalah:
-          Pelaksana APBD
-          Penerimaan pendapatan daerah dan Badan Usaha Daerah
-          Pengadaan barang/jasa serta pemeliharaan/penghapusan barang/jasa
-          Penyelesaian ganti rugi
-          Inventarisasi dan penelitian kekayaan pejabat di lingkungan Pemda

APBD atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh pemerintah daerah dan DPRD, dan ditetapkan dengan peraturan daerah.
APBD merupakan dokumen perencanaan pembangunan yang paling kongkrit yang menunjukan prioritas dan arah kebijakan pemerintah daerah dalam satu tahun anggaran. Kenapa paling kongkrit ? Karena anggaran adalah kebijakan operasional yang merupakan turunan dari strategi pembangunan pemerintah sesuai visi, misi, program pembangunan yang ditetapkan.
Pada hakikatnya APBD dapat dikatakan sebagai anggaran untuk sektor publik yang merupakan alat untuk mencapai tujuan dalam rangka memberikan pelayanan kepada publik (baca: masyarakat/rakyat) dan orientasinya tidak lain adalah menuju kerah terciptanya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan daerah, anggaran untuk sektor publik ini pengelolaannya dimandatkan kepada pemerintah daerah oleh publik.
Melihat hakikat tersebut di atas, maka secara otomatis sebenarnya publik mempunyai hak dan wajib mengawasi pelaksanaan APBD.
Bahkan tidak hanya mengawasi pelaksanaannya, tetapi pada saat proses penyusunan APBD, publik wajib untuk berpartisipasi aktif dalam prosesnya. Terkait dengan pengawasan publik terhadap pelaksanaan APBD, ada sebuah pertanyaan yang sering dilontarkan terutama oleh aparat pemerintah atau pejabat publik, yaitu apa kepentingan dan manfaatnya apabila publik mengawasi pelaksanaan APBD ?
Mengetahui konsistensi antara perencanaan dan penganggaran daerah dengan realisasi pelaksanaan perencanaan dan penganggaran tersebut adalah penting diketahui oleh publik dalam kaitannya dengan pengawasan APBD. Memastikan bahwa alokasi anggaran untuk kepentingan publik sudah dilaksanakan secara efisien dan efektif, dalam hal ini pelaksanaan APBD tersebut tidak terjadi pemborosan, tepat sasaran, dan memberikan dampak yang positif serta manfaat yang berarti bagi kepentingan publik merupakan suatu hal yang juga penting diketahui oleh publik terkait pengawasan APBD.
Kemudian hal yang terpenting bagi publik dalam mengawasi pelaksanaan APBD adalah memastikan bahwa APBD yang sudah ditetapkan yang pada hakikatnya adalah anggaran bagi sektor publik, dalam pelaksanaannya tidak diselewengkan atau dimanfaatkan bagi kepentingan pribadi oleh oknum pejabat publik.
Memberikan jaminan bahwa publik mendapatkan barang dan jasa publik yang berkualitas merupakan manfaat bagi publik dalam upayanya mengawasi pelaksanaan APBD, disamping terpenuhinya hak-hak dasar masyarakat dalam pelayanan publik yang berkualitas. Kemudian manfaat apabila publik secara intens mengawasi pelaksanaan APBD adalah praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam pemanfaatan anggaran publik dapat dikurangi bahkan dihilangkan sehingga dapat mewujudkan praktek penyelenggaraan pemerintahan yang baik atau Good Governance.
Pada praktek atau implementasinya, pengawasan APBD tidak lepas kaitannya dengan ketersediaan dan aksesbilitas dari berbagai dokumen yang berkaitan dengan anggaran seperti antara lain Kebijakan Umum Anggaran (KUA), Prioritas dan Plafon Anggran (PPA), Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) APBD, serta Rencana Kerja Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (RKA SKPD).
Ketersediaan dan aksesbilitas dokumen-dokumen inilah yang selama ini menjadi tantangan dalam pengawasan APBD, karena adanya paradigma terutama di kalangan aparat pemerintah atau pejabat publik yang menyatakan bahwa berbagai dokumen yang berkaitan dengan anggaran tersebut merupakan dokumen yang bersifat rahasia dan tidak dapat diakses oleh publik.
Dengan telah diterbitakannya UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik atau UU KIP, yang secara efektif mulai berlaku pada tanggal 30 April tahun 2010 lalu, maka secara legal formal sudah ada jaminan bagi publik dalam mengakses atau mendapatkan berbagai dokumen yang berkaitan dengan anggaran.
Meskipun sampai saat ini masih tetap ada paradigma di kalangan aparat pemerintah atau pejabat publik yang menyatakan bahwa berbagai dokumen yang berkaitan dengan anggaran tersebut merupakan dokumen yang bersifat rahasia dan tidak dapat diakses oleh publik. Tetapi apabila kita tetap konsisten menggunakan argumen UU KIP tersebut, maka paradigma dokumen rahasia tersebut dapat kita patahkan sesuai ketentuan UU KIP.
Dan yang lebih penting lagi adalah dengan adanya UU KIP, dokumen-dokumen yang terkait dengan anggaran seperti yang telah disebutkan di atas merupakan dokumen-dokumen yang wajib disediakan dan dapat diakses oleh publik. Sehingga apabila ada upaya publik untuk mengakses dokumen-dokumen anggaran tersebut tetapi tidak dikabulkan atau ditolak oleh aparat pemerintah atau pejabat publik, maka publik dapat mengadukannya ke Komisi Infomasi baik yang ada di daerah maupun di pusat.
Kemudian apabila ada keputusan Komisi Infomasi yang menyatakan bahwa permohonan informasi tersebut diterima tetapi tidak dilaksanakan oleh aparat pemerintah atau pejabat publik, maka mereka dapat digugat ke pengadilan karena dianggap menghalangi dan/atau mengabaikan keputusan Komisi Informasi yang mana dalam UU KIP tindakan tersebut dianggap melakukan perbuatan pidana.
Dengan dapat diaksesnya dokumen-dokumen yang terkait dengan anggaran, upaya pengawasan APBD oleh publik dapat dilaksanakan dengan terencana, terarah, dan efektif. Sehingga partisipasi publik dalam proses penyelenggaraan pemerintahan guna mewujudkan suatu pemerintahan yang baik, bersih, dan peduli dalam peningkatan kesejahteraan rakyat, dapat dilaksanakan dengan baik serta sesuai dengan hak dan kewajibannya. 
Istilah pengawasan dalam bahasa Indonesia asal katanya adalah “awas”, sedangkan dalam bahasa Inggris disebut controlling yang diterjemahkan dengan istilah pengawasan dan pengendalian, sehingga istilah controlling lebih luas artinya dari pada pengawasan. Akan tetapi dikalangan ahli atau sarjana telah disamakan pengertian “controlling” ini dengan pengawasan.
APBD adalah suatu rencana keuangan tahunan daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan pemerintah tentang APBD.
PP Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian internal Pasal 47 menyebutkan bahwa pimpinan instansi/lembaga pemerintah bertanggung jawab atas efektivitas penyelenggaraan sistem pengendalian internal di lingkungan masing-masing. Atas dasar itu di masing-masing lembaga mempunyai satuan kerja yang bertugas untuk mengawasi dan menjamin pelaksanaan operasional instansi agar sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Di tingkat pusat lembaga tersebut lazim disebut Inspektorat dan ditingkat daerah disebut Badan Pengawas (Bawas) yang sekarang Inspektorat juga.
Fungsi pengawas internal adalah membantu pimpinan instansi/lembaga dalam penyelenggaraan pemerintahan dibidang :
1.    Pengawasan pelaksanaan kegiatan yang dilaksanakan baik yang sudah selesai maupun on going;
2.    Evaluasi dan pelaporan pelaksanaan tugas, fungsi evaluasi tersebut termasuk dalam pengujian secara berkala laporan yang dihasilkan oleh masing-masing perangkat daerah;
3.    Pembinaan dan perbaikan pelaksanaan kegiatan-kegiatan reguler yang dilaksanakan;
4.    Membantu tercapainya good corporate governance.

Dalam Undang – undang nomor 32 tahun 2004 posisi DPRD dibuat sejajar dan menjadi mitra dengan Pemerinatah daerah. salah satu kewenangan DPRD adalah melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan APBD. Menurut Mardiasmo ada tiga aspek utama yang mendukung keberhasilan otonomi daerah, yaitu pengawasan, pengendalian dan pemeriksaan, ketiga hal tersebut pada dasarnya berbeda baik konsepsi maupun aplikasinya.
pengawasan mengacu pada tindakan atau kegiatan yang dilakukan di luar pihak eksekutif (yaitu masyarakat dan DPRD) untuk mengawasi kinerja pemerintahan. pengendalian (control) adalah mekanisme yang dilakukan oleh pihak eksekutif (Pemerintah Daerah) untuk menjamin dilaksanakannya sistem dan kebijakan manajemen sehingga tujuan organisasi dapat tercapai. pemeriksaan (audit) merupakan kegiatan oleh pihak yang memiliki independensi dan memiliki kompetensi professional untuk memeriksa apakah hasil kinerja pemerintah daerah telah sesuai dengan standar atau kriteria yang ada.
Bawasda memiliki tugas pokok dan fungsi untuk melakukan pengawasan keuangan. Beberapa keuangan provinsi/kabupaten/kota bidang pengawasan terhadap keuangan dan aset daerah.
BPKP adalah lembaga pemerintahan pusat non departemen yang dibentuk lewat Keppres No.103 Tahun 2001.  BPKP bertugas untuk melakukan pengawasan  penyelenggaran APBN.

Penulis sangat berterima kasih atas sokongan danmasukan pembaca dan pengamat tulisan ini. Namun penulis menyadari bahwa karya ini masi jauh sangat dari kesempurnaan dan terlebihnya memiliki banyak kekurangan. Maka darii tu penulis mengaharapkan pembaca dan pengamat mau sudi kiranya memberikan pendapat, kritikan atau sarannya demi kemajuan karya tulis selanjutnya yang ingin di capai penulis.



Victor M. Situmorang, Aspek Hukum Pengawasan Melekat, Jakarta: PT Rineka Cipta, 1994,
Titik Triwulan T, Hukum Tata Usaha Negara dan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia, Jakarta: Prenada Media Group, ,2011,
BN. Marbun, DPRD Pertumbuhan, Masalah dan Masa Depannya, Jakarta: Erlangga, 1993, hlm.
Philipus, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Yogjakarta: Gadjah Mada University Press, 1999,
Tutik Triwulan Tutik dan Ismu Gunadi Widodo, Hukum Tata Usaha Negara dan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia, Jakarta: Kencana, 2011,

No comments:

Post a Comment

buku bimbingan

                                                                                                                                            ...

082126189815

Name

Email *

Message *