Proses pengawasan merupakan hal
penting dalam menjalankan kegiatan organisasi, oleh karena itu setiap pimpinan
harus dapat menjalankan fungsi pengawasan sebagai salah satu fungsi manajemen.
Dengan demikian peranan pengawasan sangat menentukan baik buruknya pelaksanaan
suatu rencana.
APBD merupakan dasar pengelolaan
keuangan daerah dalam satu tahun anggaran. APBD merupakan rencana pelaksanaan
semua Pendapatan Daerah dan semua Belanja Daerah dalam rangka pelaksanaan
Desentralisasi dalam tahun anggaran tertentu. Pemungutan semua penerimaan
Daerah bertujuan untuk memenuhi target yang ditetapkan dalam APBD. Demikian
pula semua pengeluaran daerah dan ikatan yang membebani daerah dalam rangka
pelaksanaan desentralisasi dilakukan sesuai jumlah dan sasaran yang ditetapkan
dalam APBD. Karena APBD merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah, maka APBD
menjadi dasar pula bagi kegiatan pengendalian, pemeriksaan dan pengawasan
keuangan daerah.
Tahun anggaran APBD sama dengan
tahun anggaran APBN yaitu mulai 1 Januari dan berakhir tanggal 31 Desember
tahun yang bersangkutan. Sehingga pengelolaan, pengendalian, dan pengawasan
keuangan daerah dapat dilaksanakan berdasarkan kerangka waktu tersebut.
APBD disusun dengan pendekatan
kinerja yaitu suatu sistem anggaran yang mengutamakan upaya pencapaian hasil
kerja atau output dari perencanaan alokasi biaya atau input yang ditetapkan.
Jumlah pendapatan yang dianggarkan dalam APBD merupakan perkiraan yang terukur
secara rasional yang dapat tercapai untuk setiap sumber pendapatan. Pendapatan
dapat direalisasikan melebihi jumlah anggaran yang telah ditetapkan. Berkaitan
dengan belanja, jumlah belanja yang dianggarkan merupakan batas tertinggi untuk
setiap jenis belanja. Jadi, realisasi belanja tidak boleh melebihi jumlah
anggaran belanja yang telah ditetapkan.
Ketika penerapan otononomi daerah,
dimana pemberian kewenangan dan keleluasaan (diskresi) kepada daerah untuk
mengelola dan memanfaatkan sumber daya daerah secara optimal bagi kesejahteraan
masyarakat. sedangkan pemerintahan yang bebas identik dengan penerapan otonomi
daerah, dimana pemberian kewenangan dan keleluasaan (diskresi) kepada daerah untuk
mengelola dan memanfaatkan sumber daya daerah secara optimal bagi kesejahteraan
masyarakat.
Fungsi Pengawasan yang dilakukan
DPRD di Indonesia pada umumnya masih banyak mengalami kendala, diantaranya
adalah tidak adanya penetapan jadwal untuk agenda pengawasan, Lemahnya
koordinasi antar anggota komisi, dan kurangnya pengetahuan anggota DPRD
sehingga pengawasan hanya sekedar formalitas belaka atau hanya sekedar
kunjungan kerja tanpa ada hasil yang dicapai atau rekomendasi dari hasil
pengawasan tersebut.
Berdasarkan penjelasan latarbelakanng
diatas maka dapat diambil sebiah rumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana konsep Pengawasan ?
2. Bagaimana pengawasan dalam APBD ?
3. Bagaimana peran DPRD Dalam Pengawasan APBD ?
4. Bagaimana Peran Publik Dalam Pengawasan APBD ?
APBD adalah rencana keuangan Pemda,
yang mencakup tiga komponen, yakni pendapatan, belanja dan pembiayaan. Selisih
pendapatan dengan belanja disebut surplus atau defisit, yang memiliki makna
bahwa Pemda boleh merencanakan pengeluaran untuk belanja yang tidak sama persis
dengan jumlah pendapatannya.
Di sisi lain, rencana keuangan yang
telah ditetapkan sebelum tahun anggaran berjalan, kemungkinan besar tidak
dilaksanakan sepenuhnya. Artinya, hampir selalu ada variansi (variance) antara
anggaran dengan realisasinya. Dalam anggaran berbasis kinerja, APBD harus
direncanakan dengan menetapkan terlebih dahulu target kinerja yang ingin
dicapai (Money follows functions). Jika tidak ada target, maka tidak ada
aktivitas. Jika tidak ada aktivitas, maka tidak ada alokasi dana dalam APBD.
Pemeriksaan pembelanjaan dan
pertanggungjawaban APBD mengalami perkembangan dan perubahan yang cukup
signifikan setelah berlakunya paket tiga Undang-undang Keuangan Negara.
Perubahan tersebut antara lain meliputi jenis pemeriksaan, standar pemeriksaan,
pelaksanaan dan pelaporan hasil pemeriksaan, serta pemantauan tindak lanjut
hasil pemeriksaan. Perubahan tersebut tentunya harus disikapi dengan
perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan yang semakin baik dan ‘semakin’ sesuai
standar.
Tercatat sudah banyak perangkat
lunak diciptakan mulai kode etik, petunjuk pelaksanaan sampai petunjuk teknis
dan SOP. Akan tetapi, apakah kualitas hasil pemeriksaan dapat terjamin dengan
banyaknya perangkat lunak pemeriksaan? Banyak laporan yang menyatakan bahwa auditor
sering mengandalkan intuisinya sebagai pemeriksa dibandingkan harus
mengandalkan atau mematuhi perangkat lunak pemeriksaan. Auditor cenderung
terlalu percaya diri dan kadang lupa dengan pakem yang harus dipegang dalam
memainkan perannya sebagai auditor.
Akibatnya, ini mendorong munculnya
auditor yang doyan bermusik jazz. Yaitu mengaudit dengan improvisasi sekenanya
mengikuti intuisi yang dipercaya. Padahal, ada kekhawatiran bahwa dengan
improvisasi ini, bisa menyulitkan penjaminan keandalan prosedur audit yang
dijalankan.
Kualitas audit ditentukan oleh dua
hal yaitu kompetensi dan independensi. Hasil penelitian tentang kompetensi
menunjukkan bahwa profesi auditor mulai tidak menarik dan tergeser oleh profesi
yang lain. Hal ini berdampak terhadap kualitas calon auditor yang memasuki
dunia Pegawai negeri Sipil (PNS), yang pada akhirnya akan membuat mereka akan
eksodus ke unit kerja lain. Hasil penelitian juga menunjukkan kualitas
pendidikan secara formal untuk auditor dirasa masih kurang memadai untuk menunjang
kompetensinya. Penelitian juga memberikan bukti empiris bahwa pengalaman akan
mempengaruhi kemampuan auditor untuk mengetahui kekeliruan dan pelatihan yang
dilakukan akan meningkatkan keahlian dalam melakukan audit.
Untuk itu maka masukan dari pihak lain
atau pembina dan organisasi sangat diperlukan untuk mengembangkan suatu
kualitas audit. Hasil penelitian tentang independensi menunjukkan bahwa dalam
mengambil keputusan auditor dipengaruhi oleh dorongan untuk mempertahankan
citranya auditnya. Tetapi disisi lain terdapat beberapa kekuatan yang bisa
meredakan pengaruh tersebut. Hasil penelitian juga memberikan bukti bahwa
pengaruh Budaya masyarakat atau organisasi terhadap pribadi auditor akan
mempengaruhi sikap independensinya (Soegijanto dan Hoesada, 2005).
PP Nomor 60 Tahun 2008 tentang
Sistem Pengendalian internal Pasal 47 menyebutkan bahwa pimpinan
instansi/lembaga pemerintah bertanggung jawab atas efektivitas penyelenggaraan
sistem pengendalian internal di lingkungan masing-masing. Atas dasar itu di
masing-masing lembaga mempunyai satuan kerja yang bertugas untuk mengawasi dan
menjamin pelaksanaan operasional instansi agar sesuai dengan ketentuan yang
berlaku. Di tingkat pusat lembaga tersebut lazim disebut Inspektorat dan
ditingkat daerah disebut Badan Pengawas (Bawas) yang sekarang Inspektorat juga.
Fungsi pengawas internal adalah
membantu pimpinan instansi/lembaga dalam penyelenggaraan pemerintahan dibidang
:
1.
Pengawasan pelaksanaan kegiatan yang dilaksanakan baik
yang sudah selesai maupun on going;
2.
Evaluasi dan pelaporan pelaksanaan tugas, fungsi
evaluasi tersebut termasuk dalam pengujian secara berkala laporan yang
dihasilkan oleh masing-masing perangkat daerah;
3.
Pembinaan dan perbaikan pelaksanaan kegiatan-kegiatan
reguler yang dilaksanakan;
4.
Membantu tercapainya good corporate governance.
Menurut penjelasan Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 dan perubahannya tentang Pedoman Pengelolaan
Keuangan Daerah, Kepala Daerah (Bupati/Walikota) selaku pemegang kekuasaan
penyelenggaraan pemerintahan juga bertindak sebagai pemegang kekuasaan dalam
pengelolaan keuangan daerah. Selanjutnya kekuasaan tersebut dilimpahkan kepada
Kepala Satuan Kerja Pengelolaan Keuangan Daerah selaku pejabat pengelola
keuangan daerah dan dilaksanakan oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah itu sendiri
sebagai pengguna anggaran/barang daerah di bawah koordinasi dari Sekretaris
Daerah.
Pemisahan pelaksanaan APBD ini akan
memberikan kejelasan dalam pembagian wewenang dan tanggungjawab terlaksananya
mekanisme keseimbangan dan pengawasan dalam pelaksanaan anggaran daerah (check
and balances) serta untuk mendorong upaya peningkatan profesionalisme dalam
penyelenggaraan tugas pemerintahan. Dalam kaitannya dengan hal tersebut, maka
dana yang tersedia dalam APBD harus dimanfaatkan dengan sebaik mungkin untuk
dapat menghasilkan peningkatan pelayanan dan kesejahteraan yang maksimal bagi
kepentingan masyarakat.
Beberapa permasalahan yang ditemui
ketika aparat inspektorat telah melakukan pemeriksaan pembelanjaan dan
pertanggungjawaban APBD, antara lain:
Pertama,
Struktur belanja pada APBD yang lebih banyak
mengakomodir belanja pegawai, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa telah terjadi
kesalahan penganggaran. Kalau setiap tahun belanja publik selalu kurang
daripada belanja pegawai, pertanyaannya, pegawai yang semakin banyak itu kerja
apa saja?
Kalau jumlah pegawai lebih banyak dari apa yang mau
dia kerjakan? Itu aneh. Sehingga pengadaan CPNSD harus dikurangi. Jangan setiap
tahun terima CPNSD baru, karena akan sangat membebani anggaran. Setiap periode
jabatan KDH sebenarnya cukup dua kali saja pengangkatan CPNSD supaya ada
penghematan sehingga biaya belanja aparatur dipakai untuk belanja publik.
Jumlah rakyat miskin masih sangat banyak, dana yang ada sebaiknya dipakai untuk
kembangkan sektor riil dan jangan hanya dihabiskan untuk belanja pegawai saja.
Kedua,
Penafsiran yang berbeda antar SKPD terhadap peraturan
pemerintah pusat yang selalu berubah-ubah, sehingga menimbulkan berbagai macam
interpretasi atas aturan yang ada. Mau ikut aturan A takut kebentur aturan B.
Kuatirnya auditor akan memakai aturan B dan akhirnya menyalahkan SKPD. Kuatirnya
ada pihak lain yang kemudian berpendapat bahwa harusnya atas kejadian tersebut
adalah mengacu pada aturan C (sehingga membingungkan).
Salah satu contoh kongkritnya adalah pada saat akan
menerapkan keppres 80/2003 dan perubahannya dengan Permendagri 13/2006 dan
perubahannya. Pegawai yang berkutat di masalah keuangan daerah mengharuskan
dipakai Permendagri, sedangkan yang biasa menangani pengadaan akan bersikukuh
bahwa hanya Keppres-lah satu–satunya acuan utama mulai persiapan pengadaan,
proses pemilihan penyedia, proses pelaksanaan dan prosedur pembayaran beserta
dokumen–dokumennya.
Ketiga,
penyalahgunaan aset, yang terjadi karena
ketidaktertiban mulai dari proses pencatatan, pembiayaan, dan pelaporan
sehingga tidak dapat diketahui track record aset tersebut. Kelemahan yang
sering terjadi adalah aset tidak dicatat di buku inventaris atau tercatat di
buku inventaris tetapi tidak pernah di-update mengenai keberadaan, kondisi, dan
lokasi aset tersebut.
Selain itu, secara akuntansi belum dilakukan pencatatan
aset sesuai Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP), di antaranya saat pembelian
tidak dibukukan dalam buku besar dan buku pembantu serta tidak dilakukan
penyusutan. Kadangkala aset yang tercatat tidak diketahui sumber dananya, baik
yang didanai dari APBN/APBD, hibah, sumbangan, maupun sitaan, dan sebagainya.
Tidak tercatatnya aset, baik dalam buku inventaris maupun secara akuntansi
serta tidak jelas dalam segi pembiayaannya, mengakibatkan pelaporan aset dalam
neraca tidak akurat.
Hal ini kadang menjadi permasalahan di SKPD, untuk
perhitungan harga perolehan biasanya dihitung di bagian keuangan atau
akuntansi. Tentunya setelah dihitung harga perolehan, maka pengurus barang
segera mengganti harga aset tersebut dari harga yang sesuai kontrak ke harga
perolehan. Beberapa SKPD kadang tidak ada komunikasi antara Bagian
Keuangan/Akuntansi dengan Pengurus Barang. Tentu saja ketika auditor masuk akan
membandingkan data neraca dengan rincian barang.
Keempat,
Setiap pemeliharaan terkait dengan anggaran untuk pemeliharaan.
Belanja pemeliharaan ternyata salah satu objek belanja yang paling sering
difiktifkan pertanggungjawabannya. Jika dicermati dalam Laporan Realisasi
Anggaran (LRA), atau dalam Perhitungan APBD, biasanya anggaran belanja
pemeliharaan terealisasi 100%. Habis tak bersisa. Yang menarik, berdasarkan
penelitian di negara-negara berkembang, terutama di Afrika dan Amerika Latin
(IMF, 2007 dan World Bank, 2008; dikutip Peduli Bangsa, 2008) fenomena ghost
expenditures merupakan hal yang biasa. Artinya, alokasi untuk pemeliharaan
selalu dianggarkan secara incremental meskipun banyak aset yang sudah tidak
berfungsi atau hilang. hal ini terjadi karena tidak adanya transparansi dalam
penghapusan dan pemindahtanganan aset-aset.
Kelima,
Pemeriksaan aset hasil pengadaan terpusat pada satu
instansi.
Keenam,
Pengadaan yang tidak dilaksanakan oleh bagian atau sub
bagian yang berwenang melaksanakan sesuai tupoksinya. Berdasarkan
fenomena yang terjadi uang untuk pelaksanaan kegiatan dikuasai pada PPTK.
Seharusnya uang untuk pelaksanaan kegiatan dipegang oleh bendahara pengeluaran
meskipun yang bertanggungjawab untuk pengendalian atas pelaksanaan pekerjaan
ada di tangan PPTK. Hal ini bermakna bahwa meskipun PPTK bertanggungjawab atas
kesuksesan pelaksanaan kegiatan, PPTK tidak memegang uang (karena ada pada
wewenang di bendahara).
Ketujuh,
Ketidakjelasan pertanggungjawaban dan pelaksana
perjalanan dinas.
Kedelapan,
Pembelian ATK di luar “batas kewajaran” oleh SKPD.
Kesembilan,
Tidak melaksanakan proses akuntansi, tetapi
menghasilkan laporan keuangan. Sudah menjadi kelaziman saat ini bahwa SKPD
dipandang tidak perlu menyelenggarakan proses akuntansi (menjurnal, memposting,
menyesuaikan, menutup, dan menyusun laporan keuangan) secara manual, karena
telah ada software atau program yang membantu. Sekali dilakukan entry data,
maka laporan keuangan langsung jadi. Apakah akuntansi sama dengan software di
komputer?.
Kesepuluh,
Kelemahan sistem penetapan honor berdasarkan kegiatan,
karena tidak ditetapkan pemberian penghasilan tambahan berdasarkan beban kerja
secara adil.
Kesebelas,
Jumlah persediaan yang tidak realistis pada akhir
tahun anggaran, dan sebagainya.Hal-hal tersebut di atas merupakan aspek-aspek
yang harus diawasi, artinya pengawasan tidak hanya bernuansa dilaksanakan setelah
pelaksanaan kegiatan, tetapi juga dimulai ketika perencanaan kegiatan masih
dilakukan.
Pengawasan terhadap pembelanjaan dan
pertanggungjawaban APBD dibagi menjadi dua bagian; pengawasan eksternal dan
pengawasan internal yang dijalankan diklasifikasikan dari segi kategori
fungsional yang tergantung pada maksud yang akan dijalankan. Jadi pengawasan
tersebut dapat dibagi menjadi tiga yaitu :
1. pengawasan kebijakan (perumusan kebijakan makroekonomi
dan strategi);
2. pengawasan proses (pengawasan personil,
procurement/pengadaan, konstruksi dan pembayaran) dan
3. pengawasan efisien (ukuran kinerja dan evaluasi).
Apakah pengawasan, suatu kalimat
yang agak “merepotkan” bagi teman-teman Pemda?, bukan saja karena implikasi
dari pengawasan itu sendiri, tetapi juga dari banyaknya pengawasan. Tetapi
sebenarnya dilingkup intern SKPD itu sendiri telah terlaksana pengawasan, yang
dilaksanakan oleh pegawainya. Pengawasan yang dimaksud tersebut dengan
nomenklatur pengawasan atau dengan yang serupa pengawasan, yaitu : Waskat,
evaluasi, monitoring, atupun konsultasi. Perbedaan antara auditor dan
pegawai lain di SKPD adalah, auditor mempunyai wewenang tidak hanya melakukan
pengawasan tetapi juga ke tingkat pemeriksaan sesuai tugas pokoknya berdasarkan
kriteria yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat dan daerah.
Kriteria pemeriksaan mempunyai
keunikan tersendiri dibandingkan dengan pekerjaan lain. Pemilihan kriteria
pemeriksaan tidak hanya meng”copy” peraturan atau norma serta kaidah yang telah
ditetapkan dalam bentuk produk hukum, melainkan lebih jauh lagi kriteria
pemeriksaan dapat dikembangkan standar atau praktik-praktik yang dianggap baik
dan relevan bagi sebuah kondisi kinerja yang ideal. Oleh karena itu,
pengembangan kriteria menjadi proses penting dalam suatu perencanaan
pemeriksaan untuk menjamin penilaian auditor lebih objektif, proposional dan
relevan dengan tujuan pemeriksaan, sehingga dapat menghasilkan suatu
rekomendasi perbaikan yang konstruktif bagi kinerja audite.
Problemnya adalah kebosanan dari
instansi/lembaga untuk diperiksa, banyaknya kegiatan pemeriksaan sedikit banyak
membuat aktivitas pelayanan dan operasional menjadi terganggu. Banyak waktu
yang tersita untuk menjawab dan menjelaskan berbagai permasalahan yang terjadi.
Fungsi pengawas menjadi pemeriksa membuat pemahaman terhadap masalah yang
terjadi menjadi kurang, parsial sehingga tidak menyeluruh. Pengawasan dilakukan
tujuannya bukan evaluasi untuk perbaikan proses yang sedang berlangsung tapi
lebih kepada evaluasi untuk mencari kesalahan atas kegiatan.
Faktanya, justru bottle neck yang
terjadi dalam melaksanakan pemeriksaan adalah ketidakmampuan
mengidentifikasikan kriteria pemeriksaan. Ketidakmampuan lebih disebabkan
hal-hal antara lain tidak tersedianya Key Performance Indicator (KPI), belum
ada kesepakatan dengan auditee, dan tidak tersedia data standar berupa
benchmarking. Ini semua terjadi karena kita sudah terbiasa dengan pola
pemeriksaan kepatuhan yang mengharuskan sumber kriteria adalah berupa peraturan
perundang-undangan yang mempunyai kekuatan memaksa pelaksana untuk mematuhinya.
Tanpa itu maka temuan pemeriksaan dan rekomendasinya tidak ada kekuatan
mengubah auditee untuk memperbaiki. Apalagi kondisi tersebut dikaitkan dengan
ada tidaknya indikasi TPK.
Kepemerintahan daerah yang baik (good
localgovernance) merupakan Public issue yang paling
mengemuka dalam pengelolaan administrasi publik dewasa ini. Tuntutan
pelaksanaan Pemerintahan yang baik yang dilakukan oleh masyarakat kepada
Pemerintah terus dikemukakan melalui tulisan – tulisan di media, demonstrasi
dan lain – lain merupakan suatu hal yang sejalan dengan konsep Good
governance bahwa peran serta masyarakat dalam mengawasi jalannya Pemerintahan
mutlak dilakukan, sesuatu yang tidak dapat dilakukan di era orde baru yang
menganut sentralisasi. Hal itu merupakan Implikasi meningkatnya
pengetahuan masyarakat di samping adanya globalisasi pergeseran paradigma
pemerintahan dari rulling government yang terus bergerak
menuju good governance dipahami sebagai suatu fenomena
berdemokrasi secara adil.
Penyelenggaraan pemerintahan dalam
suatu negara tidak hanya terdapat di pusat pemerintahan saja. Pemerintahan
pusat memberikan wewenangnya kepada pemerintah daerah untuk menyelenggarakan
pemerintahannya sendiri, dan di Indonesia yang dimaksud dengan pemerintahan
daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan
DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi yang
seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
Tahun 1945.
Sedangkan dalam penyelenggaraan
pemerintahan di daerah, dilaksanakan dengan asas Desentralisasi, yaitu
penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonomi untuk
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Di samping itu juga melaksanakan Dekonsentrasi, yaitu pelimpahan
wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan
/ atau kepada instansi vertikal, dan serta melaksanakan Tugas Pembantuan, yaitu
penugasan dari pemerintahan kepada daerah dan atau desa dari pemerintahan
propinsi kepada kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.
Lahirnya Undang - Undang Nomor 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, menjadi era baru
Pemerintahan di daerah, lalu digantikan dengan Undang – undang nomor 32 tahun
2004, dan dilakukan perubahan atas Undang – Undang nomor 32 tahun 2004 dengan
diterbitkannya Undang – Undang nomor 12 tahun 2008 menggantikan Undang-Undang
yang sebelumnya menandai dimulainya paradigma baru kebijakan otonomi daerah di
Indonesia. Undang-Undang ini lahir sebagai wujud menyikapi berbagai aspirasi
dan tuntutan terhadap reformasi hubungan antara pemerintah pusat dan daerah.
Kebijakan otonomi daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008
memberikan kewenangan yang luas kepada setiap daerah untuk mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat daerah menurut prakarsa sendiri berdasarkan
aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Dalam menyelenggarakan pemerintahan
di daerah, diperlukan perangkat - perangkat dan lembaga - lembaga untuk
menyelenggarakan jalannya pemerintahan di daerah. Sebagaimana hanya di pusat
negara, perangkat - perangkat dan lembaga - lembaga daerah biasanya merupakan
refleks dari sistem yang ada di pusat negara. Untuk memenuhi fungsi perwakilan
dalam menjalankan kekuasaan legislatif daerah sebagaimana di pusat negara di
daerah dibentuk pula Lembaga Perwakilan Rakyat, dan lembaga ini biasa dikenal
atau dinamakan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Dalam Undang – undang nomor 32 tahun
2004 posisi DPRD dibuat sejajar dan menjadi mitra dengan Pemerinatah daerah.
salah satu kewenangan DPRD adalah melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan
APBD. Menurut Mardiasmo ada tiga aspek utama yang mendukung keberhasilan
otonomi daerah, yaitu pengawasan, pengendalian dan pemeriksaan, ketiga hal
tersebut pada dasarnya berbeda baik konsepsi maupun aplikasinya. pengawasan
mengacu pada tindakan atau kegiatan yang dilakukan di luar pihak eksekutif
(yaitu masyarakat dan DPRD) untuk mengawasi kinerja pemerintahan.
pengendalian (control) adalah mekanisme yang dilakukan oleh
pihak eksekutif (Pemerintah Daerah) untuk menjamin dilaksanakannya sistem dan
kebijakan manajemen sehingga tujuan organisasi dapat tercapai. pemeriksaan
(audit) merupakan kegiatan oleh pihak yang memiliki independensi dan memiliki
kompetensi professional untuk memeriksa apakah hasil kinerja pemerintah daerah
telah sesuai dengan standar atau kriteria yang ada (Mardiasmo, 2002 : 219).
Di Indonesia, pengelolaan anggaran
begitu pula penyusunan suatu anggaran dilaksanakan oleh lembaga legislatif
bersama – sama dengan eksekutif. Untuk anggaran pendapat dan belanja daerah
(APBD) penyusunannya dibuat oleh DPRD bersama – sama dengan Bupati/Walikota
Kepala Daerah Tingkat II, kemampuan kedua lembaga tersebut, DPRD dan
Bupati/Walikota sangat menentukan terbentuknya APBD serta kualifikasi dari
anggaran tersebut.
Secara umum peran DPRD diwujudkan
dalam tiga fungsi, yaitu:
1) Regulator. Mengatur seluruh kepentingan
daerah, baik yang termasuk urusan - urusan rumah tangga daerah (otonomi) maupun
urusan - urusan pemerintah pusat yang diserahkan pelaksanannya ke daerah (tugas
pembantuan);
2) Policy Making. Merumuskan kebijakan pembangunan
dan perencanaan programprogram pembangunan di daerahnya;
3) Budgeting. Perencanaan angaran daerah (APBD).
Dan menurut
Undang – undang Fungsi Dewan Perwakilan Rakyat (DPRD) tersebut lebih
disederhanakan ke dalam tiga fungsi, yaitu :
1) Fungsi legislasi,
2) Fungsi anggaran
3) Fungsi pengawasan.
Fungsi pengawasan yang dilakukan
oleh DPRD diatur dalam Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004 pasal 42 ayat 1c,
PERMENDAGRI (Peraturan Menteri Dalam Negeri) Tahun 2006 Tentang Pedoman
Pengelolaan Daerah Pasal 311 ayat 1 dan 2, dan Undang – undang 12 Tahun 2008
Tentang Pemerintahan Daerah Pasal 42 ayat 1c, dan UU Rexxpublik Indonesia No.
27 Tahun 2009 Tentang MPR, DPR. DPD, dan DPRD Pasal 344 ayat 1c.
Berikutadalahtahapan –
tahapandari proses pengawasanDPRD :
Tahap 1 DPRD menentukan agenda pengawasan,
Tahap 2Menetukanmetodologipengawasan,
Tahap3menjalinhubunganinstansiterkaitdanaliansistrategis,
Tahap 4Melaksanakanpengawasan,
Tahap 5Membuatlaporan,
Tahap 6Tindaklanjuthasilpengawasan,
Tahap 7Menilai LKPJ.
Ruang lingkup pengawasan yang
dilakukan oleh DPRD mencakup seluruh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dan
Program – program atau kebijakan yang dibiyai oleh APBD, karena salah satu
aspek Pemerintahan Daerah yang harus diatur secara hati-hati adalah pengelolaan
keuangan daerah karena anggaran daerah memainkan peranan yang sangat penting
dalam mendukung siklus penyelenggaraan pemerintah di daerah untuk menciptakan
kesejahteraan bagi masyarakatnya. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
dalam suatu daerah merupakan suatu nafas daerah untuk dapat melanjutkan
pembangunan daerah. Pembangunan daerah dapat berjalan apabila pengawasan
terhadap pelaksanaan APBD berjalan dengan baik sesuai dengan apa yang telah di
prioritaskan dan sesuai dengan aspirasi dari masyarakat tersebut.
Anggaran bagi Pemerintah Daerah
adalah instrument terpenting dalam kebijakan ekonomi yang akan lebih
menjelaskan pritoritas kebijakan dokumen – dokumen lainnya, dengan kata lain,
anggaran mendefinisikan kebijakan, komitmen – komitmen politik dan prioritas
dalam memutuskan kemana anggaran harus digunakan dan dari mana mesti
dikumpulkan.
Fungsi Pengawasan DPRD Kabupaten
Serang diatur dalam Peraturan DPRD Kabupaten Serang Nomor 1 Tahun 2010 pasal
118 ayat 1 dan 2 yang berbunyi “ayat (1) DPRD Melakukan pengawasan
terhadap pelaksanaan peraturan daerah tentang APBD, ayat (2) pengawasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bukan pemeriksaan tetapi pengawasan yang
lebih mengarah untuk pencapaian sasaran yang telah ditetapkan dalam peraturan
daerah tentang APBD”.
Bawasda memiliki tugas pokok dan
fungsi untuk melakukan pengawasan keuangan. Beberapa keuangan
provinsi/kabupaten/kota bidang pengawasan terhadap keuangan dan aset daerah
adalah:
- Pelaksana APBD
- Penerimaan
pendapatan daerah dan Badan Usaha Daerah
- Pengadaan
barang/jasa serta pemeliharaan/penghapusan barang/jasa
- Penyelesaian
ganti rugi
- Inventarisasi
dan penelitian kekayaan pejabat di lingkungan Pemda
APBD atau Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang dibahas
dan disetujui bersama oleh pemerintah daerah dan DPRD, dan ditetapkan dengan
peraturan daerah.
APBD merupakan dokumen perencanaan
pembangunan yang paling kongkrit yang menunjukan prioritas dan arah kebijakan
pemerintah daerah dalam satu tahun anggaran. Kenapa paling kongkrit ? Karena
anggaran adalah kebijakan operasional yang merupakan turunan dari strategi
pembangunan pemerintah sesuai visi, misi, program pembangunan yang ditetapkan.
Pada hakikatnya APBD dapat dikatakan
sebagai anggaran untuk sektor publik yang merupakan alat untuk mencapai tujuan
dalam rangka memberikan pelayanan kepada publik (baca: masyarakat/rakyat) dan
orientasinya tidak lain adalah menuju kerah terciptanya peningkatan kesejahteraan
masyarakat. Dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan daerah, anggaran untuk
sektor publik ini pengelolaannya dimandatkan kepada pemerintah daerah oleh
publik.
Melihat hakikat tersebut di atas,
maka secara otomatis sebenarnya publik mempunyai hak dan wajib mengawasi
pelaksanaan APBD.
Bahkan tidak hanya mengawasi
pelaksanaannya, tetapi pada saat proses penyusunan APBD, publik wajib untuk
berpartisipasi aktif dalam prosesnya. Terkait dengan pengawasan publik terhadap
pelaksanaan APBD, ada sebuah pertanyaan yang sering dilontarkan terutama oleh
aparat pemerintah atau pejabat publik, yaitu apa kepentingan dan manfaatnya
apabila publik mengawasi pelaksanaan APBD ?
Mengetahui konsistensi antara
perencanaan dan penganggaran daerah dengan realisasi pelaksanaan perencanaan
dan penganggaran tersebut adalah penting diketahui oleh publik dalam kaitannya
dengan pengawasan APBD. Memastikan bahwa alokasi anggaran untuk kepentingan
publik sudah dilaksanakan secara efisien dan efektif, dalam hal ini pelaksanaan
APBD tersebut tidak terjadi pemborosan, tepat sasaran, dan memberikan dampak
yang positif serta manfaat yang berarti bagi kepentingan publik merupakan suatu
hal yang juga penting diketahui oleh publik terkait pengawasan APBD.
Kemudian hal yang terpenting bagi
publik dalam mengawasi pelaksanaan APBD adalah memastikan bahwa APBD yang sudah
ditetapkan yang pada hakikatnya adalah anggaran bagi sektor publik, dalam
pelaksanaannya tidak diselewengkan atau dimanfaatkan bagi kepentingan pribadi
oleh oknum pejabat publik.
Memberikan jaminan bahwa publik
mendapatkan barang dan jasa publik yang berkualitas merupakan manfaat bagi
publik dalam upayanya mengawasi pelaksanaan APBD, disamping terpenuhinya
hak-hak dasar masyarakat dalam pelayanan publik yang berkualitas. Kemudian manfaat
apabila publik secara intens mengawasi pelaksanaan APBD adalah praktek korupsi,
kolusi, dan nepotisme dalam pemanfaatan anggaran publik dapat dikurangi bahkan
dihilangkan sehingga dapat mewujudkan praktek penyelenggaraan pemerintahan yang
baik atau Good Governance.
Pada praktek atau implementasinya,
pengawasan APBD tidak lepas kaitannya dengan ketersediaan dan aksesbilitas dari
berbagai dokumen yang berkaitan dengan anggaran seperti antara lain Kebijakan
Umum Anggaran (KUA), Prioritas dan Plafon Anggran (PPA), Dokumen Pelaksanaan
Anggaran (DPA) APBD, serta Rencana Kerja Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah
(RKA SKPD).
Ketersediaan dan aksesbilitas
dokumen-dokumen inilah yang selama ini menjadi tantangan dalam pengawasan APBD,
karena adanya paradigma terutama di kalangan aparat pemerintah atau pejabat
publik yang menyatakan bahwa berbagai dokumen yang berkaitan dengan anggaran
tersebut merupakan dokumen yang bersifat rahasia dan tidak dapat diakses oleh
publik.
Dengan telah diterbitakannya UU Nomor
14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik atau UU KIP, yang secara
efektif mulai berlaku pada tanggal 30 April tahun 2010 lalu, maka secara legal
formal sudah ada jaminan bagi publik dalam mengakses atau mendapatkan berbagai
dokumen yang berkaitan dengan anggaran.
Meskipun sampai saat ini masih tetap
ada paradigma di kalangan aparat pemerintah atau pejabat publik yang menyatakan
bahwa berbagai dokumen yang berkaitan dengan anggaran tersebut merupakan
dokumen yang bersifat rahasia dan tidak dapat diakses oleh publik. Tetapi
apabila kita tetap konsisten menggunakan argumen UU KIP tersebut, maka
paradigma dokumen rahasia tersebut dapat kita patahkan sesuai ketentuan UU KIP.
Dan yang lebih penting lagi adalah
dengan adanya UU KIP, dokumen-dokumen yang terkait dengan anggaran seperti yang
telah disebutkan di atas merupakan dokumen-dokumen yang wajib disediakan dan
dapat diakses oleh publik. Sehingga apabila ada upaya publik untuk mengakses
dokumen-dokumen anggaran tersebut tetapi tidak dikabulkan atau ditolak oleh
aparat pemerintah atau pejabat publik, maka publik dapat mengadukannya ke
Komisi Infomasi baik yang ada di daerah maupun di pusat.
Kemudian apabila ada keputusan
Komisi Infomasi yang menyatakan bahwa permohonan informasi tersebut diterima
tetapi tidak dilaksanakan oleh aparat pemerintah atau pejabat publik, maka
mereka dapat digugat ke pengadilan karena dianggap menghalangi dan/atau
mengabaikan keputusan Komisi Informasi yang mana dalam UU KIP tindakan tersebut
dianggap melakukan perbuatan pidana.
Dengan dapat diaksesnya
dokumen-dokumen yang terkait dengan anggaran, upaya pengawasan APBD oleh publik
dapat dilaksanakan dengan terencana, terarah, dan efektif. Sehingga partisipasi
publik dalam proses penyelenggaraan pemerintahan guna mewujudkan suatu
pemerintahan yang baik, bersih, dan peduli dalam peningkatan kesejahteraan
rakyat, dapat dilaksanakan dengan baik serta sesuai dengan hak dan
kewajibannya.
Istilah pengawasan dalam bahasa
Indonesia asal katanya adalah “awas”, sedangkan dalam bahasa Inggris
disebut controlling yang diterjemahkan dengan istilah
pengawasan dan pengendalian, sehingga istilah controlling lebih
luas artinya dari pada pengawasan. Akan tetapi dikalangan ahli atau sarjana
telah disamakan pengertian “controlling” ini dengan pengawasan.
APBD adalah suatu rencana keuangan
tahunan daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan pemerintah tentang APBD.
PP Nomor 60 Tahun 2008 tentang
Sistem Pengendalian internal Pasal 47 menyebutkan bahwa pimpinan
instansi/lembaga pemerintah bertanggung jawab atas efektivitas penyelenggaraan
sistem pengendalian internal di lingkungan masing-masing. Atas dasar itu di
masing-masing lembaga mempunyai satuan kerja yang bertugas untuk mengawasi dan
menjamin pelaksanaan operasional instansi agar sesuai dengan ketentuan yang
berlaku. Di tingkat pusat lembaga tersebut lazim disebut Inspektorat dan ditingkat
daerah disebut Badan Pengawas (Bawas) yang sekarang Inspektorat juga.
Fungsi pengawas internal adalah
membantu pimpinan instansi/lembaga dalam penyelenggaraan pemerintahan dibidang
:
1. Pengawasan pelaksanaan kegiatan yang dilaksanakan
baik yang sudah selesai maupun on going;
2. Evaluasi dan pelaporan pelaksanaan tugas, fungsi
evaluasi tersebut termasuk dalam pengujian secara berkala laporan yang
dihasilkan oleh masing-masing perangkat daerah;
3. Pembinaan dan perbaikan pelaksanaan kegiatan-kegiatan
reguler yang dilaksanakan;
4. Membantu tercapainya good corporate governance.
Dalam Undang – undang nomor 32 tahun
2004 posisi DPRD dibuat sejajar dan menjadi mitra dengan Pemerinatah daerah.
salah satu kewenangan DPRD adalah melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan
APBD. Menurut Mardiasmo ada tiga aspek utama yang mendukung keberhasilan
otonomi daerah, yaitu pengawasan, pengendalian dan pemeriksaan, ketiga hal
tersebut pada dasarnya berbeda baik konsepsi maupun aplikasinya.
pengawasan mengacu pada tindakan
atau kegiatan yang dilakukan di luar pihak eksekutif (yaitu masyarakat dan
DPRD) untuk mengawasi kinerja pemerintahan. pengendalian (control) adalah
mekanisme yang dilakukan oleh pihak eksekutif (Pemerintah Daerah) untuk
menjamin dilaksanakannya sistem dan kebijakan manajemen sehingga tujuan
organisasi dapat tercapai. pemeriksaan (audit) merupakan kegiatan oleh pihak
yang memiliki independensi dan memiliki kompetensi professional untuk memeriksa
apakah hasil kinerja pemerintah daerah telah sesuai dengan standar atau
kriteria yang ada.
Bawasda memiliki tugas pokok dan
fungsi untuk melakukan pengawasan keuangan. Beberapa keuangan
provinsi/kabupaten/kota bidang pengawasan terhadap keuangan dan aset daerah.
BPKP adalah lembaga pemerintahan
pusat non departemen yang dibentuk lewat Keppres No.103 Tahun 2001. BPKP
bertugas untuk melakukan pengawasan penyelenggaran APBN.
Penulis sangat berterima kasih atas
sokongan danmasukan pembaca dan pengamat tulisan ini. Namun penulis menyadari
bahwa karya ini masi jauh sangat dari kesempurnaan dan terlebihnya memiliki
banyak kekurangan. Maka darii tu penulis mengaharapkan pembaca dan pengamat mau
sudi kiranya memberikan pendapat, kritikan atau sarannya demi kemajuan karya
tulis selanjutnya yang ingin di capai penulis.
Victor M. Situmorang, Aspek Hukum Pengawasan
Melekat, Jakarta: PT Rineka Cipta, 1994,
Titik Triwulan T, Hukum Tata Usaha Negara dan
Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia, Jakarta: Prenada Media
Group, ,2011,
BN. Marbun, DPRD Pertumbuhan, Masalah dan Masa
Depannya, Jakarta: Erlangga, 1993, hlm.
Philipus, Pengantar Hukum Administrasi
Indonesia, Yogjakarta: Gadjah Mada University Press, 1999,
Tutik Triwulan Tutik dan Ismu Gunadi Widodo, Hukum
Tata Usaha Negara dan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia,
Jakarta: Kencana, 2011,
No comments:
Post a Comment