BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang Laporan Akhir
Pemerintah
pada tanggal 15 Januari 2014 telah menetapkan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang
Desa. Dalam konsideran undang-undang tersebut disampaikan bahwa Desa memiliki
hak asal-usul dan hak tradisional dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
setempat dan berperan mewujudkan cita-cita kemerdekaan sehingga Desa perlu
dilindungi dan diberdayakan agar menjadi kuat, mandiri, maju dan demokratis
sehingga dapat menciptakan landasan yang kuat dalam melaksanakan pemerintahan
dan pembangunan menuju masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera.
Terdapat beberapa
keistimewaan dalam Undang-Undang No 6 Tahun 2014 tentang Desa ini, antara lain
sebagai berikut :
1. Alokasi
Dana Desa
Dalam pasal 72 disebutkan
setiap desa di seluruh Indonesia akan menerima alokasi dana dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang bersumber dari belanja pusat. Total
dana yang dialokasikan tersebut mencapai 10% dari dana perimbangan yang
diterima Kabupaten/Kota dalam APBD setelah dikurangi dengan Dana Alokasi Khusus
(DAK).
2. Penghasilan
Tetap Kepala Desa.
Menurut pasal 66 Kepala desa
atau yang disebut dengan nama lain memperoleh gajih dan penghasilan tetap tiap
bulan. Penghasilan kepala desa dan perangkat desa bersumber dari dana
perimbangan dalam APBN yang diterima oleh kabupaten/kota ditetapkan APBD.
Selain penghasilan tetap yang dimaksud, Kepala Desa juga memperoleh jaminan
kesehatan dan penerimaan lainnya yang sah.
3. Masa
Jabatan Kepala Desa bertambah.
Dalam pasal 39 masa jabatan
Kepala Desa adalah 6 (enam) tahun dan dapat menjabat paling banyak 3 (tiga)
kali masa jabatan secara berturut-turut atau tidak secara berturut-turut.
Demikian juga dengan masa jabatan Badan Permusyawaratan Desa (BPD).
4. Penguatan
fungsi Badan Permusyawaratan Desa.
Di sini ada penambahan fungsi BPD yaitu pada huruf c
pasal 55 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yaitu melakukan
pengawasan kinerja Kepala Desa. Hal ini berbeda dengan Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, dimana dalam pasal 209 disebutkan Badan
Permusyawaratan Desa berfungsi menetapkan peraturan desa bersama kepala desa,
menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat.
5. Penambahan
Kewenangan Kepala Desa.
Dalam pasal 72 mencantumkan akan adanya pembagian kewenangan tambahan
dari pemerintah daerah yang merupakan kewenangan untuk meningkatkan
kesajahteraan masyarakat yaitu adanya peluang desa untuk mengatur penerimaan
yang merupakan pendapatan desa.
Pelaksanaan ketentuan Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa telah
dimuat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Ditetapkannya Undang-Undang tentang
Desa yang baru diharapkan Desa dapat
menjadi lebih maju dan mandiri serta rakyatnya lebih sejahtera. Dengan alokasi
dana yang besar kepada desa diharapkan dapat mengakselerasi pembangunan dan
diharapkan kepala desa serta Badan Permusyawaratan Desa dapat mengambil
kebijakan secara mandiri dalam mengelola potensi dan pembangunan desanya, tanpa
didikte oleh Kepala Daerah atau Pemerintah Pusat seperti yang berlangsung saat
ini.
Berdasarkan fungsi
Badan Permusyawaratan Desa dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa,
maka penulis menyimpulkan betapa pentingnya peran Badan Permusyawaratan Desa
sebagai perwujudan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan desa.
Pasal
56 Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa menyebutkan bahwa Anggota Badan
Permusyawaratan Desa merupakan wakil dari penduduk desa berdasarkan
keterwakilan wilayah yang pengisiannya dilakukan secara demokratis.
Pasal
72 ayat 1 (satu) dan 2 (dua) Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang
Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa menyebutkan
bahwa pengisian Anggota Badan Permusyawaratan Desa dilakukan secara demokratis
melalui proses pemilihan secara langsung atau musyawarah perwakilan dengan
menjamin keterwakilan perempuan dan Kepala Desa berhak membentuk panitia pengisian
keanggotaan Badan Permusyawaratan Desa dan ditetapkan dengan keputusan Kepala
Desa.
Dalam
rangka penyelenggaraan pemilihan anggota Badan Permusyawaratan Desa yang
demokratis, maka beberapa Desa di Kecamatan Dusun Selatan Kabupaten Barito
Selatan telah melaksanakan pemilihan langsung untuk menentukan Anggota Badan
Permusyawaratan Desanya.
Menurut informasi
yang penulis dapat dari Narasumber di daerah yaitu Kasubag perencanaan,
evaluasi dan pelaporan di Kecamatan Dusun Selatan, ada 4 (empat) desa yang bermasalah
terkait pelaksanaan pemilihan angota BPD, yaitu antaralain Desa Kalahien,
Tanjung Jawa, Lembeng, dan Madara. Di keempat desa tersebut ada warga yang mengajukan gugatan terhadap Calon
Anggota BPD karena tidak memenuhi syarat dalam peraturan perundang-undangan tentang
desa. Sebagai contoh, di Desa Tanjung Jawa, berdasarkan ketentuan Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa menyatakan bahwa calon anggota BPD berusia
paling rendah dua puluh tahun dan atau sudah menikah, namun yang terjadi di
Desa Tanjung Jawa, warga menggugat calon anggota BPD karena ketika pendaftaran
dan penetapan hasil BPD terpilih belum berusia dua puluh tahun dan juga belum
menikah.
Di Desa Madara, Warga
belum memahami Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dan Peraturan
Pelaksananya. Terdapat gugatan yang salah dari warga Desa terhadap salah seorang
calon Anggota BPD di mana Warga Desa menganggap bahwa orang tersebut tidak
pantas naik menjadi anggota BPD karena belum menikah, pedahal orang tersebut
sudah berumur di atas dua puluh tahun walaupun belum pernah menikah.
Ketertiban dalam
pelaksanaan pemilihan anggota BPD di Kecamatan Dusun Selatan, panitia pemilihan
sudah membuat peraturan pemilihan sesuai dengan yang diamanatkan dalam Surat
Edaran Bupati Barito Selatan Nomor: B-199/AS.I-PEM/130/06/2014 tentang petunjuk
Pelaksanaan Pemilihan Anggota BPD di wilayah Kabupaten Barito Selatan pada
angka 2.1 yaitu “Membuat Tata Tertib Pelaksanaan Pemilihan atau Musyawarah dan
Mufakat Anggota BPD yang ditetapkan dengan keputusan Ketua Panitia”.
Kenyataannya yang terjadi adalah tidak adanya realisasi dari perwujudan
tatatertib tersebut oleh panitia pemilihan sendiri. Contoh perilaku panitia
yang menyimpang menurut surat gugatan warga Desa Lembeng yaitu:
1. Tidak
ada hasil berita acara dari masing-masing TPS (TPS 1 dan TPS 2)
2. TPS
2 yang sudah ditutup, kepergok melayani pencoblosan di jalan/pinggir hutan
3. Kotak
suara TPS 2, hanya disegel memakai daun pisang
4. Adanya
penggabungan surat suara dalam satu kotak suara, sebelum diadakan perhitungan
surat suara masing-masing TPS.
5. Anggota
panitia yang tidak punya hak pilih, ikut memilih.
Pendanaan
yang minim juga menghambat proses pemilihan anggota BPD di Kecamatan Dusun
Selatan. Dana yang tersedia tidak mencukupi untuk melaksanakan kegiatan
pemilihan sehingga panitia meminta sumbangan dari si calon atau pihak ke tiga
yang tidak mengikat, sedangkan bantuan dari Pemerintah Daerah Barito Selatan baru
dicairkan setelah pemilihan selesai dengan kisaran dana yang minim yaitu
seperti yang terdapat dalam surat keterangan rincian bantuan biaya pemilihan
BPD Kabupaten Barito Selatan Tahun 2014.
Berdasarkan uraian
tersebut di atas maka penulis tertarik untuk menyusun Laporan Akhir dengan
judul “Pelaksanaan Pemilihan Langsung
Anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Menurut Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2014 tentang Desa di Kecamatan Dusun Selatan Kabupaten Barito Selatan Provinsi
Kalimantan Tengah”.
1.2
Permasalahan
1.2.1 Identifikasi Masalah di Lokasi
Magang
Berdasarkan
uraian latar belakang dalam hal ini penulis mengidentifikasikan masalah sebagai
berikut:
1. Kurangnya
Sosialisasi Pemerintah baik Pemerintah Daerah Kabupaten maupun Desa kepada
masyarakat desa mengenai Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dalam
rangka pemilihan Anggota BPD.
2. Kurangnya
kompetensi Panitia Pemilihan Anggota BPD dalam melaksanakan Pemilihan Langsung
Anggota BPD di Kecamatan Dusun Selatan.
3. Tidak
adanya pengawasan yang ketat serta saksi-saksi yang diikutsertakan dalam proses
pemilihan Anggota BPD.
4. Tidak adanya pemberian sanksi yang tegas dalam
menanggapi perilaku menyimpang oleh
panitia pemilihan langsung anggota BPD maupun warga desa dalam pelaksanakan
pemilihan langsung anggota BPD.
5. Kurangnya
anggaran desa dalam melaksanakan kegiatan pemilihan langsung anggota Badan
Permusyawaratan Desa.
1.2.2
Pembatasan
Masalah
Mengingat
luasnya permasalahan yang dihadapi dan waktu yang terbatas maka penulis hanya
membatasi penelitian terhadap Pelaksanaan Pemilihan Anggota Badan Permusyawaratan
Desa (BPD) menurut Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa di Kecamatan
Dusun Selatan Kabupaten Barito Selatan khususnya di 4 (empat) desa yaitu Desa
Kalahien, Tanjung Jawa, Lembeng, dan Madara di Kecamatan Dusun Selatan
Kabupaten Barito Selatan .
1.2.3
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
uraian di atas maka penulis memfokuskan penelitian kepada :
1. Bagaimana
pelaksanaan pemilihan langsung anggota BPD di Kecamatan Dusun Selatan Kabupaten
Barito Selatan?
2. Faktor-faktor
apa yang menjadi pendukung dan penghambat dalam pelaksanaan pemilihan langsung anggota
BPD di Kecamatan Dusun Selatan Kabupaten Barito Selatan?
3. Upaya
apa yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi faktor-faktor yang menjadi pendukung
dan penghambat dalam pelaksanaan pemilihan langsung anggota BPD di Kecamatan
Dusun Selatan Kabupaten Barito Selatan?
1.3
Maksud
dan Tujuan Magang
1.3.1
Maksud
Magang
Maksud
magang adalah untuk memperoleh data dan informasi yang selanjutnya akan
digunakan untuk membahas tentang proses pelaksanaan Pemilu Anggota BPD di
Kecamatan Dusun Selatan Kabupaten Barito Selatan yang meliputi, faktor-faktor
yang menjadi kendala, apa saja solusinya, serta dampak-dampak yang ditimbulkannya bagi pembangunan
kesejahteraan masyarakat Desa di Kecamatan Dusun Selatan Kabupaten Barito
Selatan
1.3.2
Tujuan
Magang
Tujuan
yang ingin diperoleh dari kegiatan magang ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk
mengetahui bagaimana pemilihan langsung
anggota Badan Permusyawaratan Desa di Kecamatan Dusun Selatan Kabupaten Barito
Selatan.
2. Untuk
mengetahui faktor-faktor yang menjadi pendukung dan penghambat dalam proses pelaksanaan
pemilihan langsung anggota Badan Permusyawaratan Desa di Kecamatan Dusun
Selatan Kabupaten Barito Selatan.
3. Untuk
mengetahui upaya apa yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi faktor-faktor
yang menjadi pendukung dan penghambat dalam pemilihan langsung anggota Badan
Permusyawaratan Desa di Kecamatan Dusun Selatan Kabupaten Barito Selatan?
1.4
Kegunaan
Magang
1.4.1
Kegunaan
Praktis untuk Lokasi Magang
1.
Menjadi perbandingan dalam suatu pengembangan
ilmu pengetahuan, yang pada khususnya ilmu politik pemerintahan dalam
meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses demokrasi di Kecamatan Dusun
Selatan dan diharapkan akan
terjadinya peningkatan pembangunan desa yang berdampak pada kesejahteraan
masyarakat di Kecamatan Dusun Selatan.
2. Bagi penulis hal ini juga dapat dijadikan
sebagai suatu bentuk pengalaman dan pembelajaran untuk melaksanakan tugas
dilapangan nantinya.
1.4.2
Kegunaan
Praktis untuk Lembaga
1. Sebagai
syarat guna memenuhi salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan Diploma IV Pemerintahan pada
Institut Pemerintahan Dalam Negeri.
2. Hasil
penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan kajian dan referensi penelitian
bagi praja Institut Pemerintahan Dalam Negeri dalam menambah khasanah
pengetahuan tentang peningkatan kualitas pelayanan publik.
1.5
Definisi
Konsep Objek yang diamati dan dikaji
1.5.1
Definisi
Pelaksanaan
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, pelaksanaan adalah proses, cara, pembuatan
melaksanakan. Sedangkan implementasi diartikan sebagai pelaksanaan atau
penerapan. Van Meter dan Horn dalam Purwanto dan Sulistyastuti (2012:20)
mendefinisikan implementasi atau pelaksanaan secara lebih spesifik yaitu:
“Policy implementation encompasses those
action by public or objectives set forth individuals (or group) that are
directed at the achievement of objectives set forth in prior policy decisions”
“Implementasi
kebijakan meliputi tindakan-tindakan oleh masyarakat atau tujuan yang
ditetapkan individu (atau kelompok) yang diarahkan pada pencapaian tujuan yang
ditetapkan dalam keputusan kebijakan sebelumnya”.
Mazmanian dan Sabatier dalam Wahab
(2012:135) menjelaskan makna implementasi atau pelaksanaan ini dengan
mengatakan bahwa:
“Memahami
apa yang senyatanya terjadi sesudah program dinyatakan berlaku atau dirumuskan
merupakan fokus perhatian implementasi kebijakan, yakni kejadian-kejadian dan
kegiatan-kegiatan yang timbul sesudah disahkannya pedoman kebijakan publik yang
mencakup baik usaha-usaha untuk mengadministrasikannya maupun untuk menimbulkan
akibat/dampak nyata pada masyarakat atau kejadian-kejadian”
Kesimpulannya bahwa implementasi atau
pelaksanaan adalah kegiatan untuk mendistribusikan keluaran kebijakan (to deliver policy output) yang
dilakukan oleh para implementer kepada kelompok sasaran (target group) yang menimbulkan kejadian dan kegiatan-kegiatan sebagai
upaya untuk mewujudkan tujuan kebijakan.
Model
Implementasi menurut Edward III dalam Nugroho (2014:673) menyarankan untuk
memperhatikan empat isu pokok agar implementasi kebijakan menjadi efektif,
yaitu communication, resource,
disposition, or attitudes, dan burreaucratic structures. Secara lebih rinci
model implementasi menurut Edward III dijelaskan dalam Nugroho (2014:673) :
Komunikasi
berkenaan dengan bagaimana kebijakan dikomunikasikan kepada organisasi dan/atau
publik dan sikap serta tanggapan dari para pihak yang terlibat. Resouces berkenaan dengan ketersediaan
sumberdaya pendukung, khususnya sumberdaya manusia, dimana hal ini berkenaan
dengan kecakapan dari pelaksana kebijakan publik untuk carry out kebijakan secara afektif. Disposition berkenaan dengan kesediaan dari para implementor untuk carry out kebijakan publik tersebut.
Kecakapan saja tidak mencukupi, tanpa kesediaan dan komitmen untuk melaksanakan
kebijakan. Struktur birokrasi berkenaan dengan kesesuaian organisasi birokrasi
yang menjadi penyelenggara implementasi jebijakan publik.Tantangannya adalah
bagaimana agar tidak bureaucratic
fragmentation, karena ini menjadikan proses implementasi menjadi jauh dari
efektif.
Berdasarkan
penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa 4 isu pokok dalam implementasi atau
pelaksanaan kebijakan yaitu komunikasi yang baik, sumberdaya yang berkualitas,
kesediaan dan komitmen, serta prosedur kerja dan koordinasi yang baik dalam
struktur birokrasi dapat menyukseskan pelaksanaan suatu kebijakan sehingga
tujuan-tujuan yang ada bisa tercapai.
1.5.2
Definisi
Pemilihan Langsung
Rahardiansah (2010:113) ”Demokrasi Langsung (direct
democracy), yaitu suatu bentuk pemerintahan dimana hak untuk membuat
keputusan-keputusan politik dijalankan secara langsung oleh seluruh warga
negara yang bertindak berdasarkan prosedur mayoritas”.
Ilham (2013:48) menyatakan bahwa:
Berdasarkan cara menyampaikan pendapat, demokrasi
dibagi menjadi 3 (tiga), yaitu demokrasi langsung, demokrasi tidak langsung
atau perwakilan, dan demokrasi perwakilan dengan sistem pengawasan langsung
dari rakyat.
1. Demokrasi Langsung
Di dalam demokrasi
ini, rakyat diikutsertakan secara langsung dalam proses pengambilan keputusan
untuk menjalankan kebijakan pemerintah.
2. Demokrasi tidak langsung
Demokrasi ini
dijalankan oelh rakyat dengan cara menunjuk wakil-wakilnya melalui pemilu yang
akan membuat keputusan-keputusan politik berdasarkan aspirasi dari masyarakat
yang diwakilinya.
3. Demokrasi dengan Sistem Pengawasan Langsung dari Rakyat
Demokrasi ini
merupakan perpaduan antara demokrasi langsung dengan demokrasi perwakilan.
Dalam demokrasi ini, dalam melaksanakan tugasnya, para wakil rakyat tersebut
diawasi dengan referendum dan inisiatif rakyat.
Kesimpulan
uraian di atas, demokrasi yang dimaksud oleh penulis adalah demokrasi langsung
yang terwujud nyata dalam pelaksanaan pemilihan langsung anggota BPD di
Kecamatan Dusun Selatan Kabupaten Barito Selatan.
1.5.3
Definisi
Badan Permusyawaratan Desa
Menurut
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa pada pasal (1) ayat 4 (empat)
menyatakan Badan Permusyawaratan Desa atau yang disebut dengan nama lain adalah
lembaga yang melaksanakan fungsi pemerintahan yang anggotanya merupakan wakil
dari penduduk Desa berdasarkan keterwakilan wilayah dan ditetapkan secara
demokratis.
Pasal 55 menyatakan Badan
Permusyawaratan Desa mempunyai fungsi :
a. Membahas
dan menyepakati Rancangan Peraturan Desa bersama Kepala Desa;
b. Menampung
dan menyalurkan aspirasi masyarakat Desa; dan
c. Melakukan
pengawasan kinerja Desa
Pasal
58 ayat (1) menyatakan bahwa Jumlah anggota Badan Permusyawaratan Desa
ditetapkan dengan jumlah gasal, paling sedikit 5 (lima) orang dan paling banyak
9 (sembilan) orang, dengan memperhatikan wilayah, perempuan, penduduk, dan
kemampuan Keuangan Desa.
Pasal
59 ayat (1) menyatakan Pimpinan Badan Permusyawaratan Desa terdiri atas 1
(satu) orang ketua, 1 (satu) orang wakil ketua, dan 1 (satu) orang sekretaris.
No comments:
Post a Comment