BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
LATAR BELAKANG
Dewasa ini kita sering mendengar istilah pembangunan nasional
baik dalam mata kuliah atau media. Kita juga mengetahui bahwa pembangunan
tersebut pastilah memerlukan dana yang tidak sedikit. Dalam bab ini kita akan
mempelajari salah satu sumber pemasukan negara bagi pembangunan, yakni pajak.
Secara umum persepsi kita mengenai pajak adalah wujud dari seorang warga negara
untuk memberikan kontribusi dalam membangun negara dengan mendapat imbalan
tidak langsung.
Dalam bab ini kita akan mempelajari sebagian hal yang
berkaitan dengan pajak, mulai dari pengertian, jenis,fungsi,asas, serta besaran
tarif penarikan. Semua ini akan kita pelajari sebagai pengantar dalam mata
kuliah ini , karena matri yang lebih lanjut akan dipelajari dalam bab-bab
selanjutnya.
1.2.
TUJUAN DAN MANFAAT
Tujuan kami menulis makalah dan mengangkat Tema mengenai
“PENGERTIAN DASAR PERPAJAKAN” ini adalah guna memenuhi tugas mata kuliah
Perpajakan.
Manfaat
penulisan makalah ini adalah untuk memperluas wawasan kami dan pembaca tentang
masalah Perpajakan. Selain itu supaya ada kesadaran pada diri kami dan pembaca
untuk tertib membayar pajak.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (PPN)
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah
pajak yang dikenakan atas setiap pertambahan nilai dari barang atau jasa dalam
peredarannya dari produsen ke konsumen. Dalam bahasa Inggris, PPN disebut Value
Added Tax (VAT) atau Goods and Services Tax (GST). PPN termasuk jenis pajak
tidak langsung, maksudnya pajak tersebut disetor oleh pihak lain (pedagang)
yang bukan penanggung pajak atau dengan kata lain, penanggung pajak (konsumen
akhir) tidak menyetorkan langsung pajak yang ia tanggung.
Mekanisme pemungutan, penyetoran,
dan pelaporan PPN ada pada pihak pedagang atau produsen sehingga muncul istilah
Pengusaha Kena Pajak yang disingkat PKP. Dalam perhitungan PPN yang harus
disetor oleh PKP, dikenal istilah pajak keluaran dan pajak masukan. Pajak
keluaran adalah PPN yang dipungut ketika PKP menjual produknya, sedangkan pajak
masukan adalah PPN yang dibayar ketika PKP membeli, memperoleh, atau membuat
produknya.
Apabila dilihat dari sejarahnya,
Pajak Pertambahan Nilai merupakan pengganti dari Pajak Penjualan. Alasan
penggantian ini karena Pajak Penjualan dirasa sudah tidak lagi memadai untuk
menampung kegiatan masyarakat dan belum mencapai sasaran kebutuhan pembangunan,
antara lain untuk meningkatkan penerimaan negara, mendorong ekspor, dan
pemerataan pajak.
Pajak Penjualan mempunyai beberapa
kelemahan, yaitu antara lain:
1.
Adanya pajak berganda.
2.
Bermacam-macam tarif (ada 9 macam tarif), sehingga
menimbulkan kesulitan pelaksanaannya.
3.
Tidak mendorong ekspor.
4.
Belum dapat mengatasi penyelundupan.
1.
Sedangkan di lain sisi Pajak Pertambahan Nilai
mempunyai kelebihan, antara lain:
1.
Menghilangkan pajak berganda.
2.
Menggunakan tarif tunggal, sehingga memudahkan
pelaksanaan.
3.
Netral dalam persaingan dalam negeri.
4.
Netral dalam perdagangan internasional.
5.
Netral dalam pola konsumsi.
6.
Dapat mendorong ekspor.
Pajak Pertambahan Nilai merupakan:
1.
Pajak tidak
langsung.
2.
Pajak atas
konsumsi dalam negeri.
Dalam peningkatan
dana dalam negeri, Pajak merupakan alternatif yang sangat potensial. Masalah
Perpajakan bukan hanya masalah pemerintah saja dan pihak-pihak yang terkait
didalamnya akan tetapi masyarakat juga sangat mempunyai kepentingan yang sama
untuk mengetahui masalah Perpajakan di Indonesia. Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) tercipta karena digunakannya faktor-faktor produksi
pada setiap jalur perusahaan dalam menghasilkan, menyalurkan dan
memperdagangkan barang atau dalam memberikan jasa.
Tarif Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) yang berlaku atas penyerahan barang kena pajak maupun
jasa kena pajak adalah tarif tunggal sehingga mudah dalam pelaksanaannya tidak
ada penggolongan dengan tarif yang berbeda.
Pembukuan yang
benar dan lengkap merupakan syarat mutlak pelaksanaan sistem perpajakan di
Indonesia yang berdasarkan “Self assessment” yakni pemerintah memberikan
kepercayaan kepada wajib pajak untuk menghitung sendiri besarnya Pajak Pertambahan
Nilai terhutangnya, menyetorkannya ke Bank persepsi dan kemudian melaporkan
secara teratur ke Kantor Pelayanan Pajak dalam bentuk Surat Pemberitahuan
(SPT).
Namun pada
kenyataanya masyarakat kita, khusunya yang berada di desa-desa dan masyrakat
awam, tidak cukup mengenal atau bahkan
tidak tahu sama sekali mengenai PPn dan PPn BM, mulai dari apa itu PPn dan PPn
BM, apa dasar hukumnya, apa saja objeknya, bagaimana cara penghitungannya,
mekanismenya, karaketristiknya, dan lain sebagainya..
Mekanisme
Pengenaan PPn
Undang-Undang PPN 1984 menganut
metode kredit pajak serta metode faktur pajak. Dalam metode ini PPN dikenakan
atas penyerahan BKP atau JKP oleh pengusaha kena pakjak (PKP). PPN dipungut
secara bertingkat pada setiap jalur produksi dan distribusi. Unsur pengenaan
pajak berganda atau pengenaan pajak atas pajak dapat dihindari dengan
menerapkanya mekanisme pengkreditan pajak masukan (metodw kredit pajak). Untuk
melakukan pengkreditan pajak masukan, sarana yang digunakan adalah faktur pajak
(metode faktur pajak).
Mekanisme pengenaan PPn dapat
digambarkan sebagi berikut:
1.
Pada saat mebeli/memperoleh BKP/JKP, akan dipungut PPN
oleh PKP penjual. Bagi pembeli yang dipungut oleh PKP penjual tersebut merupakan
pembayaran pajak dimuka dan disebut dengan Pjak Masukan. Pembeli berhak
menerima bukti berupa faktur pajak.
2.
Pada saat menjual/menyerahkan BKP/JKP kepada pihak
lain, wajib memungut PPN. Bagi penjual, PPN tersebut merupakan pajak keluaran.
Sebagai bukti telah memungut PPN, PKP penjual wajib membuat faktur pajak.
3.
Apabila dalam suatu masa pajak (jangka waktu yang
lamanya sama dengan satu bulan takwim) jumlah pajak keluaran lebih besar dari
pada jumlah pajak masukan, selisihnya harus disetorkan ke kas negara.
4.
Apabila dalam suatu masa pajak jumlah pajak keluaran
lebih kecil dari pada jumlah pajak masukan, selisihnya dapat direstitusi
(diminta kembali) atau dikompensasikan ke masa pajak berikutnya.
5.
Pelaporan penghitungan PPN dilakukan setiap masa pajak
dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (SPT Masa
PPN).
Contoh :
Sepanjang bulan Maret 2011, PT ABC mempunyai transaksi
sebagai berikut :
· Membeli
bahan baku seharga Rp. 100.000.000,- (dipungut PPN sebesar Rp. 10.000.000,-)
· Membeli
bahan penolong seharga Rp. 40.000.000,- (dipungut PPN sebesar Rp. 4.000.000,-)
· Menjual
produknya seharga Rp. 200.000.000,- (memungut PPN sebesar Rp. 20.000.000,-)
· Penghitungan
PPN :
Jumlah Pajak Keluaran Rp.
20.000.000,-
Jumlah Pajak Masukan Rp.
14.000.000,-
PPN kurang bayar Rp. 6.000.000,-
Jumlah PPN
kurang bayar sebesar Rp. 6.000.000,- ini harus disetorkan ke kas negara.
Cara Menghitung PPn Dan Cara Menghitung PPn BM
1. Cara
Menghitung PPn
Cara menghitung PPN adalah sebagai
berikut :
PPN = Dasar Pengenaan Pajak x Tarif Pajak
|
Contoh :
·
Pengusaha
kena pajak “A” menjual tunai BKP kepada pengusaha kena pajak “B” dengan harga
jual Rp. 25. 000.000,- PPN yang terutang :
10 % x Rp. 25.000.000 = Rp. 2.500.000,-
PPN sebesar Rp. 2.500.000,- tersebut
merupakan pajak keluaran yang dipungut oleh pengusaha kena pajak “A”. Sedangkan
bagi pengusaha kena pajak “B”, PPN tersebut merupakan pajak masukan.
·
Seseorang
mengimpor BKP dari luar daerah Pabean dengan nilai impor Rp. 15.000.000,- PPN
yang dipungut melalui Direktorat Jendral Bea dan Cukai :
10
x Rp. 15.000.000 = Rp. 1.500.000,-
Cara
Menghitung PPn BM
PPn BM = Dasar Pengenaan Pajak x Tarif Pajak
|
Cara menghitung PPn BM adalah sebagai berikut :
Contoh :
PKP “ABC” sebagai pabrikan
menyerahkan barang hasil produksinya dengan harga jual Rp. 10.000.000,-. Barang
tersebut merupakan BKP yang tergolong mewah dengan tarif PPn BM sebesar 40 %.
Penghitungan pajak yang harus dipungut adalah sebagai berikut :
PPN =
10 % x Rp. 10.000.000 = Rp. 1.000.000,-
PPn BM = 40 % x Rp. 10.000.000 = Rp. 4.000.000,-
Pajak merupakan kontribusi wajib
kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa
berdasarkan undang-undang dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan
digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Adapun pengertian dari Pajak
Penghasilan menurut Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah “ pajak yang
dikenakan terhadap orang pribadi atau perseorangan dan badan berkenaan dengan
penghasilan yang diterima atau diperolehnya selama satu tahun pajak”. Yang
dimaksud penghasilan menurut pasal 4 ayat (1) Undang- Undang Nomor 36 Tahun
2008 :
Pajak Penghasilan, adalah “ setiap tambahan
kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal
dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi
atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan
dalam bentuk apapun”. Sedangkan yang dimaksud dengan
Pajak
Penghasilan Pasal 21 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah,
honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun
sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan
oleh orang pribadi Subjek Pajak dalam negeri.
Kebijakan
Pajak Penghasilan PPh Pasal 21
Dasar
hukum Pajak Penghasilan PPh pasal 21 yaitu :
- Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang No. 28 Tahun 2007.
- Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008.
- Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 541/KMK.04/2000 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 184/PMK.03/2007 tentang Penentuan Tanggal Jatuh Tempo Pembayaran dan Penyetoran Pajak, Penentuan Tempat Pembayaran Pajak, dan Tata Cara Pembayaran, Penyetoran dan Pelaporan Pajak, serta Tata Cara Pengangsuran dan Penundaan Pembayaran Pajak.
- Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-254/PMK.03/2008 tentang Penetapan Bagian Penghasilan Sehubungan Dengan Pekerjaan dari Pegawai Harian dan Mingguan serta Pegawai Tidak Tetap Lainnya yang Tidak Dikenakan Pemotongan Pajak Penghasilan.
- Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-31/PJ/2009 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-57/PJ/2009 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21/26.
- Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 162/PMK.011/2012 tentang Penyesuaian Besarnya Penghasilan Kena Pajak.
- Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per-31/PJ/2012 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi.
Perhitungan
Pajak Penghasilan PPh pasal 21 atas Penghasilan
Seperti yang telah kita ketahui,
mulai bulan Januari 2013, Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) telah berubah.
Sekarang untuk Wajib Pajak yang berstatus tidak kawin dan tidak mempunyai
tanggungan jumlah PTKP-nya sebesar Rp 24.300.000,00 atau setara dengan Rp
2.025.000,00 per bulan. Dengan adanya perubahan itu, tata cara penghitungan PPh
Pasal 21 juga mengalami perubahan. Perubahan itu diatur dalam Peraturan
Direktur Jenderal Pajak Nomor Per-31/PJ/2012 tentang Pedoman Teknis Tata Cara
Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak
Penghasilan Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang
Pribadi.
Dalam aturan baru tersebut, yang
berkewajiban melakukan Pemotongan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 adalah
pemberi kerja, bendahara atau pemegang kas pemerintah, yang membayarkan gaji,
upah dan sejenisnya dalam bentuk apapun sepanjang berkaitan dengan pekerjaan
atau jabatan, jasa, dan kegiatan; dana pensiun, badan penyelenggara jaminan
sosial tenaga kerja, dan badan-badan lain yang membayar uang pensiun secara
berkala dan tunjangan hari tua atau jaminan hari tua; orang pribadi yang
melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas serta badan yang membayar
honorarium, komisi atau pembayaran lain dengan kondisi tertentu dan
penyelenggara kegiatan, termasuk badan pemerintah, organisasi yang bersifat
nasional dan internasional, perkumpulan, orang pribadi serta lembaga lainnya
yang menyelenggarakan kegiatan, yang membayar honorarium, hadiah, atau
penghargaan dalam bentuk apapun kepada Wajib Pajak orang pribadi berkenaan
dengan suatu kegiatan.
Penghitungan PPh Pasal 21 menurut
aturan yang baru tersebut, dibedakan menjadi 6 macam, yaitu : PPh Pasal 21
untuk Pegawai tetap dan penerima pensiun berkala; PPh pasal 21 untuk
pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas; PPh pasal 21 bagi anggota
dewan pengawas atau dewan komisaris yang tidak merangkap sebagai pegawai tetap,
penerima imbalan lain yang bersifat tidak teratur, dan peserta program pensiun
yang masih berstatus sebagai pegawai yang menarik dana pensiun. Di
kesempatan ini akan dipaparkan tentang contoh perhitungan PPh pasal 21 untuk
Pegawai Tetap dan Penerima Pensiun Berkala.
Berikut disampaikan contoh
sebagai mana tercantum dalam peraturan tersebut.
Budi Karyanto pegawai pada
perusahaan PT Candra Kirana, menikah tanpa anak, memperoleh gaji sebulan Rp
3.000.000,00. PT Candra Kirana mengikuti program Jamsostek, premi Jaminan
Kecelakaan Kerja dan premi Jaminan Kematian dibayar oleh pemberi kerja dengan
jumlah masing-masing 0,50% dan 0,30% dari gaji.
PT Candra Kirana menanggung iuran
Jaminan Hari Tua setiap bulan sebesar 3,70% dari gaji sedangkan Budi Karyanto
membayar iuran Jaminan Hari Tua sebesar 2,00% dari gaji setiap bulan. Disamping
itu PT Candra Kirana juga mengikuti program pensiun untuk pegawainya. PT Candra
Kirana membayar iuran pensiun untuk Budi Karyanto ke dana pensiun, yang
pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, setiap bulan sebesar Rp
100.000,00, sedangkan Budi Karyanto membayar iuran pensiun sebesar Rp
50.000,00. Pada bulan Juli 2013 Budi Karyanto hanya menerima pembayaran berupa
gaji.
Secara umum rumus menghitung PPh 21 adalah:
Penghasilan Bersih per bulan
|
xxx
|
|
Penghasilan bersih disetahunkan
|
xxx
|
(x12 bulan)
|
PTKP
|
xxx
|
(-)
|
Penghasilan Kena Pajak
|
xxx
|
|
PPh Terutang setahun
|
xxx
|
(x tarif PPh 21)
|
PPh Terutang per bulan
|
xxx
|
(÷ 12 bulan)
|
Penghitungan PPh Pasal 21 bulan Juli
2013 adalah sebagai berikut:
Gaji
|
3.000.000,00
|
|
Premi Jaminan Kecelakaan Kerja
|
15.000,00
|
|
Premi Jaminan Kematian
|
9.000,00
|
|
Penghasilan bruto
|
3.024.000,00
|
|
Pengurangan
|
||
1. Biaya jabatan
|
||
5%x 3.024.000,00
|
151.200,00
|
|
2. Iuran Pensiun
|
50.000,00
|
|
3. Iuran Jaminan Hari Tua
|
60.000,00
|
|
261.200,00
|
||
Penghasilan neto sebulan
|
2.762.800,00
|
|
Penghasilan neto setahun
|
||
12x2.762.800,00
|
33.153.600,00
|
|
PTKP
|
||
- untuk WP sendiri
|
24.300.000,00
|
|
- tambahan WP kawin
|
2.025.000,00
|
|
26.325.000,00
|
||
Penghasilan Kena Pajak setahun
|
6.828.600,00
|
|
Pembulatan
|
6.828.000,00
|
|
PPh terutang
|
||
5%x
6.828.000,00
|
341.400,00
|
|
PPh Pasal 21 bulan Juli
|
||
341.400,00 : 12
|
28.452,00
|
2.3.
PENGERTIAN PPH PASAL 22
Berdasarkan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
dengan perubahan terakhir dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36
Tahun 2008, Subjek PPh Pasal 22 adalah Wajib Pajak yang melakukan penyerahan
kepada pemerintah, Wajib Pajak badan-badan tertentu yang melakukan kegiatan
impor atau melakukan penyerahan barang yang tergolong sangat mewah.
Subjek Pajak
Penghasilan Pasal 22 atau PPh pasal 22 adalah siapa saja yang wajib menghitung,
memungut, dan menyetorkan PPh Pasal 22 ke kas Negara. Mereka adalah:
1.
Importir.
2.
Rekanan
pemerintah dan badan-badan tertentu yang merupakan pemungut PPh Pasal 22.
3.
Konsumen
semen, kertas, baja, dan otomotif.
4.
Distributor
dan agen pertamina serta badan usaha selain pertamina yang bergerak di bidang
BBM jenis premix dan gas.
5.
Industri dan
eksportir di bidang pertanian, perkebunan, kehutanan, dan perikanan.
Objek PPh Pasal 22
Adapun objek PPh pasal 22
adalah sebagai berikut :
1. Pembelian
a. Pembelian barang oleh bendaharawan
b. Pembelian bahan-bahan berupa hasil
perhutanan, perkebunan, pertanian, dan perikanan untuk keperluan industri dan
ekspor dari pedagangan pengepul
2. Impor Barang
3. Penjualan oleh Industri Tertentu
a. Industri baja
b. Industri semen
c. Industri kertas
d. Industri otomotif
4. Penjualan BBM dan Gas oleh PERTAMINA
Premium, solar,
premix/superTT, minyak tanah, gas/LPG, dan pelumas.
5. Penjualan Barang yang tergolong sangat Mewah
Pesawat udara pribadi, kapal
pesiar, rumah sangat mewah, apartemen sangat mewah dan kendaraan sangat mewah,
dll.
Pemungut PPh Pasal 22
Pemungut Pajak sebagaimana
dimaksud dalam pasal 22 Undang-Unang Pajak Penghasilan adalah :
1. Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai
(DJBC) atas impor barang.
2. Direktorat Jenderal Perbendaharaan dan bendaharawan
pemerintah pusat/daerah yang melakukan pembayaran atas pembeliaan barang.
3. BUMN/BUMD yang melakukan pembelian barang dengan dana
yang bersumber dari APBN atau APBD.
4. Bank Indonesia (BI), PT.Perusahaan Pengelola Aset
(PPA), Badan Urusan Logistik (BULOG), PT Telekomunikasi Indonesia ( Telkom), PT
Perusahaan Listrik Negara (PLN), PT Garuda Indonesia, PT Indosat, PT Krakatau
Steel, Petamina dan bank-bank BUMN yang melakukan pembelian barang yang dananya
bersumber dari APBN maupun non-APBN.
5. Badan usaha yang bergerak dibidang usaha
industri semen, industri rokok, industri kertas, industri baja, dan industri
otomotif, yang ditunjuk oleh kepala kantor pelayanan pajak, atas penjualan
hasil produksinya di dalam negeri.
6. Pertamina dan badan usaha lainnya (produsen atau
importir) yang bergerak di bidang bahan bakar minyak jenis premix, serta super
TT, pelumas dan gas, atas penjualan hasil produksinya.
7. Industri dan eksportir perhutanan, perkebunan,
pertanian dan perikanan, yang ditunjuk oleh direktur jenderal pajak atas
pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor dan pedagang
pengumpul.
Selain pemungut diatas, Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 253/PMK.03/2008 juga mengatur tentang wajib pajak badan tertentu
sebagai pemungut PPh pasal 22 atas penjualan barang yang tergolong sangat mewah
yaitu wajib pajak badan yang melakukan penjualan barang yang tergolong sangat
mewah, dinataranya :
1. Pesawat udara pribadi dengan harga jual
lebih dari Rp200.000.000.000 (dua ratus miliar rupiah);
2. Kapal pesiar dan sejenisnya dengan harga
jual lebih dari Rp 10.000.000.000 (sepuluh miliar rupiah);
3. Rumah beserta tanahnya dengan harga jual
atau harga pengalihannya lebih dari Rp10.000.000.000 (sepuluh miliar rupiah)
dan luas bangunan lebih dari 500 m² (lima ratus meter persegi);
4. Apartemen, kondominium, dan
sejenisnya dengan harga jual atau pengalihannya lebih dari Rp10.000.000.000
(sepuluh miliar rupiah) dan/atau luas bangunan lebih dari 400 m² (empat ratus
meter persegi);
5. Kendaraan bermotor roda empat pengangkutan
orang kurang dari 10 orang berupa sedan, jeep, Sport Utility Vehicle (SUV),
Multi Purpose Vehicle (MPV), minibus dan sejenisnya dengan harga jual lebih
dari Rp5.000.000.000 (lima miliar rupiah) dan dengan kapasitas silinder lebih
dari 3.000 cc.
Pengecualian dari Pemungutan PPh
Pasal 22
Yang dikecualikan dari
pemungutan PPh pasal 22 adalah :
1. Impor barang dan atau penyerahan barang
yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang- undangan Pajak Penghasilan
tidak terutang Pajak Penghasilan.
2. Impor barang yang dibebaskan dari pungutan
Bea Masuk dan atau Pajak Pertambahan Nilai (PPN) :
a. Barang perwakilan negara asing
beserta para pejabatnya yang bertugas di Indonesia berdasarkan asas timbal
balik; (dengan syarat ada Surat Keterangan Bebas PPh Pasal 22 yang diterbitkan
oleh Direktorat Jenderal Pajak).
b. Barang untuk keperluan Badan
Internasional yang diakui dan terdaftar pada pemerintah Indonesia beserta
pejabatnya yang bertugas di Indonesia dan tidak memegang paspor Indonesia.
c. Barang kiriman hadiah untuk
keperluan ibadah umum, amal, sosial, atau kebudayaan.
d. Barang untuk keperluan museum, kebun
binatang, dan temmpat lain semacam itu yang terbuka untuk umum, dilakukan
secara otomatis tanpa Surat Keterangan Bebas (SKB).
e. Barang untuk keperluan
penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, dilakukan secara otomatis tanpa
SKB.
f. Barang untuk keperluan khusus
kaum tunanetra dan penyandang cacat lainnya, dinyatakan dengan SKB PPh pasal 22
oleh DJP.
g. Peti atau kemasan lain yang berisi jenazah
atau abu jenazah, dilakukan secara otomatis tanpa SKB.
h. Barang pindahan, dilakukan otomatis
tanpa SKB.
i. Barang pribadi
penumpang, awak sarana pengangkut, pelintas batas, barang kiriman sampai dengan
batas nilai/jumlah tertentu sesuai dengan peraturan kepabeanan.
j. Barang yang diimpor oleh
pemerintah pusat atau pemerintah daerah yang ditujukan untuk kepentingan umum.
k. Persenjataan, amunisi dan
perlengkapan militer, termasuk suku cadang yang diperuntukkan bagi keperluan
pertahanan dan keamanan Negara.
l. Barang dan bahan yang
digunakan untuk menghasilkan barang bagi keperluan pertahanan dan keamanan
Negara.
m. Vaksin polio dalam rangka pelaksanaan program Pekan
Imunisasi Nasional (PIN).
n. Buku-buku pelajaran umum,
kitab suci dan buku-buku pelajaran agama.
o. Kapal laut, kapal angkutan sungai,
kapal angkutan danau, kapal angkutan penyebrangan, kapal tunda, kapal penangkap
ikan, kapal tongkang, dan suku cadang serta alat keamanan pelayaran atau alat
keselamatan manusia yang diimpor dan dipergunakan perusahaan pelayaran niaga
nasional atau perusahaan penangkapan ikan nasional.
p. Pesawat udara dan suku cadang serta
alat keselamatan penerbangan atau alat keselamatan manusia, peralatan untuk
perbaikan atau pemeliharaan yang diimpor dan dipergunakan oleh perusahaan
angkutan udara niaga nasional.
q. Kereta api dan suku cadang serta peralatan
untuk perbaikan atau pemeliharaan serta prasarana yang diimpor dan dipergunakan
PT Kereta Api Indonesia (KAI).
r. Peralatan yang dipergunakan
untuk penyediaan data batas dan foto udara di wilayah Republik Indonesia yang
dilakukan Tentara Nasional Indonesia (TNI).
3. Dalam hal impor barang sementara jika pada
waktu impornya nyata-nyata dimaksudkan untuk diekspor kembali. Contohnya adalah
barang pameran, setelah pameran selesai naka barang-barang pameran tersebut
harus dieskpor kembali.
4. Impor kembali (re-impor), yang meliputi
barang-barang yang telah dieskpor kemudian diimpor kembali dalam kualitas yang
sama atau barang-barang yang telah diekspor karena membutuhkan perbaikan,
pengerjaan dan pengujian, yang telah memenuhi syarat yang ditentukan Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai (DJBC).
5. Pembayaran atas penyerahan barang yang
jumlahnya paling banyak Rp1.000.000 (bukan merupakan pembayaran yang
terpecah-pecah).
6. Pembayaran untuk keperluan pembelian BBM,
listrik, gas, air minum/PDAM dan benda-benda pos.
7. Emas batangan yang akan diproses untuk
menghasilkan barang perhiasan dari emas dan untuk tujuan ekspor (syarat harus
ada surat keterangan bebas PPh Pasal 22).
8. Pembayaran/pencairan dana Jaringan
Pengaman Sosial (JPS) oleh Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara (pelaksanaan
tanpa surat keterangan bebas).
Tarif PPh Pasal 22
1. Tarif PPh pasal 22 atas
Impor
a. menggunakan Angka Pengenal Importir
(API) sebesar 2,5% dari nilai impor;
b. tanpa menggunakan Angka Pengenal Importir
(API) sebesar 7,5% dari nilai impor;
c. yang tidak dikuasai, sebesar 7,5%
dari harga jual lelang;
d. impor kedelai, gandum, dan tepung terigu
oleh importir yang menggunakan API (tidak memiliki API, tidak dapat impor)
sebesar 0,5% dari nilai impor.
2. Tarif PPh pasal 22 atas
Pembelian yang dilakukan oleh BUMN/BUMD yang menggunakan APBN/APBD dan non
APBN/APBD
Ø Tarifnya sebesar 1,5% dari harga pembelian sebelum PPN/ PPnBM
3. Tarif PPh pasal 22 atas
Penjualan hasil produksi
a. Industri semen, sebesar 0,25% dari
dasar pengenaan pajak (DPP) PPN
b. Industri kertas, sebesar 0,1% dari
DPP PPN
c. Industri baja, sebesar 0,3% dari DPP
PPN
d. Industri otomotif, sebesar 0,45% dari DPP
PPN
Tata cara pelaporan PPh Pasal 22 adalah sebagai
berikut:
1. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai harus
melaporkan PPh Pasal 22 yang telah dipungut kepada Direktorat Jenderal Pajak
dalam jangka waktu 7 hari setelah penyetoran. Pelaporan dilakukan menggunakan
formulir surat pemberitahuan masa PPh Pasal 22 impor.
2. Surat pemberitahuan masa PPh Pasal impor
disertai lampiran:
a. Tindasan PPUD
b. Lembaran ke-2 SSP
c. Lembaran ke-2 bukti pemungutan
PPh Pasal 22 impor, dan
d. Daftar dari bukti pemungutan PPh Pasal 22
impor dan PPUD atau nota pembetulan.
3. Jumlah uang yang tercantum dalam surat
setoran pajak harus sama dengan seluruh penjumlahan, sebagaimana yang tercantum
dalam segi hitung dari bukti pemungutan PPh Pasal 22 yang tercantum dalam PPUD
atau nota pembetulan yang bersangkutan.
Batas Waktu Setor dan Pelaporan PPh Pasal 22
PPh Pasal 22
yang telah dipungut dalam setiap hari kerja harus disetorkan pada hari kerja
berikutnya. PPh Pasal 22 yang dipungut pada tanggal 31 Maret harus disetorkan
pada hari itu juga. Penyetoran dilakukan kekantor kas Negara, seperti kantor
pos dan giro, serta bank pemerintah yang ditunjuk menggunakan Surat Setoran
Pajak (SSP). Pada formulir SSP tersebut harus dicantumkan Nomor Pokok Wajib
Pajak (NPWP) dari pemungut pajak.
Contoh Soal atau Kasus PPh pasal 22
1. PT. FM adalah produsem makanan ringan yang
memiliki API, pada bulan maret 2009 PT. FM melakukan impor barang dari Amerika
dengan nilai faktur sebesar US$ 150.000,-. Biaya asuransi yang dibayar adalah
US$ 1.500,- dan ongkos angkut adalah US$ 6.000,-. Tarif BEA masuk adalah 25%.
Pungutan lainnya sesuai dengan ketentuan PABEAN adalah Rp. 15.000.000,-. Kurs
pajak pada saat melakukan clearance ke pelabuahan adalah 1US$ = Rp.9.000,-.
Hitung PPh Pasal 22 yang harus dibayar!
Penyelesaian:
Menentukan Nilai Impor:
Nilai Faktur
US$ 150.000,-
Biaya Asuransi Dalam / Luar
Negeri
US$ 1.500,-Biaya Ongkos
Angkut
US$ 6.000,-
Jumlah CIF (Cost Insurance and
Freight)
US$ 157.500,-
Besarnya nilai CIF dalam Rupiah adalah:
US$ 157.500,- x Rp.
9.000,-
Rp.1.417.500.000,-Ditambah:
Bea masuk: 25% x Rp.
1.417.500.000,- Rp. 354.375.000,-
Pungutan lainnya
RP.
15.000.000,-
Nilai
Impor
Rp. 1.786.875.000,-
PPh Pasal 22 atas Impor dari Amerika adalah:
2,50% x Rp. 1.786.875.000,-
=
Rp. 44.671.875,-
2. PT. Zemen Pekalongan adalah perusahaan
semen nasional. Pada tanggal 15 April 2008 menjual 1000 sak semen kepada CV
Karya Manjur, perusahaan kontraktor property, secara tunai. Harga jual semen
adalah Rp30.000 per sak. Jadi, pada saat penjualan semen tersebut PT Zemen
Pekalongan sudah terutang dan harus memungut PPh Pasal 22 dari CV Karya Manjur.
Penyelesaiannya :
PPh Pasal 22
= 0.25% x 1000 x Rp30.000 =
Rp 75.000
Sifat pemungutan PPh 22
ini tidak final dan dapat menjadi kredit pajak bagi CV Karya manjur
3. Dalam rangka memajukan pendidikan, pada
tanggal 19 April 2009 Pemda Maluku Utara membeli 20 unit laptop secara kredit
dari rekanan pemerintah Toko Tekno Com yang akan didistribusikan ke
sekolah-sekolah di daerah terpencil. Harga laptop tersebut adalah Rp11.000.000
per unit sudah termasuk PPN. Pemda Maluku Utara baru membayar pembelian laptop
tersebut tanggal 18 Mei 2008. Jadi, pada saat pembayaran laptop tersebut Pemda
Maluku Utara terutang dan harus memungut PPh Pasal 22 kepada pemungut dari Toko
Tekno Com.
Penyelesaiannya :
DPP PPN = x 11.000.000 x
20 = Rp
200.000.000
PPh Pasal 22 = 1,5% x Rp200.000.000 =
Rp 3.000.000
4. PT Penyalur Minyak Indonesia (PMI) membeli
premium dari Pertamina. Dalam hal ini, PMI sebagai penyalur BBM (SPBU
Swastanisasi) memiliki delivery order (DO) dari Pertamina dengan kuantitas
sebanyak 10.000 liter @ Rp 1.600,-. Berapa PPh pasal 22 yang harus dilunasi
oleh PT.PMI?
Penyelesaiannya :
PPh pasal 22 = 0,3% x 10.000 x 1.600 = Rp
48.000,-
5. PT. Pelesir Jaya melakukan penjualan
barang yang tergolong sangat mewah kepada PT. JEN yaitu penjualan rumah dengan
harga Rp12.000.000.000,- dan luas tanahnya 600 m2. Hitunglah
PPh pasal 22 yang dipungut oleh PT. Pelesir Jaya?
Penyelesaiannya :
PPh pasal 22 = 5% x 12.000.000.000 = Rp
600.000.000,-
2.4.PENGERTIAN PPH PASAL 23
Ruang Lingkup Pemotongan PPh Pasal
23
Pada dasarnya pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 23
baru bisa dilakukan jika telah memenuhi ruang lingkup pengenaan, yaitu pemberi
penghasilan memenuhi kriteria sebagai pemotong PPh Pasal 23, penerima
penghasilan memenuhi kriteria sebagai pihak yang dipotong PPh Pasal 23 dan jenis penghasilan
yang dibayarkan adalah termasuk penghasilan-penghasilan yang merupakan objek
pemotongan PPh Pasal 23.
Pengertian PPh Pasal 23
Pajak yang dipotong atas penghasilan yang berasal dari
deviden, bunga, royalty, sewa, dan penghasilan lain atas penggunaan harta dan
imbalan jasa teknik / manajemen dan jasa lainnya.
Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 23
Berdasarkan ketentuan Pasal 23 ayat (1) Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor
36 Tahun 2008 (Undang-undang Pajak Penghasilan 1984), pemotong Pajak
Penghasilan (PPh) Pasal 23 adalah :
a.
Badan Pemerintah
Tidak
ada penjelasan dalam Undang-undang Pajak Penghasilan tentang arti Badan
Pemerintah ini. Namun demikian, tidak sulit untuk mengartikan bahwa yang
dimaksud dengan Badan Pemerintah adalah Pemerintah negara Republik Indonesia
dan Pemerintah Daerah di Indonesia beserta instansi-instansi di bawahnya. Dalam
prakteknya, pemotongan PPh Pasal 23 oleh instansi pemerintah dilakukan oleh
bendahara pemerintah.
b.
Subjek Pajak Badan dalam
negeri
Berdasarkan
Pasal 2 ayat (3) huruf b Undang-undang Pajak Penghasilan 1984, subjek pajak
badan dalam negeri adalah badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di
Indonesia. Istlah didirikan mengandung arti bahwa badan tersebut didirikan
berdasarkan ketentuan hukum di Indonesia. Sementara itu istilah bertempat
kedudukan menunjukkan bahwa badan tersebut memiliki efektif manajemen di
Indonesia di mana pengambilan keputusan-keputusan penting tentang badan
tersebut dilakukan di Indonesia.
Pengertian
badan sendiri berdasarkan Pasal 2 ayat (1) huruf b Undang-undang Pajak
Penghasilan 1984 adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan
kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang
meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan
usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk
apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan,
yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya,
lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan
bentuk usaha tetap
c.
Penyelenggara kegiatan
Penyelenggara
kegiatan bisa berbentuk badan, orang pribadi atau kepanitiaan yang melakukan
suatu event atau kegiatan. Contoh penyelenggara
kegiatan adalah orang pribadi atau badan yang mengorganisir suatu acara seperti
pertunjukkan, perlombaan, seminar dan lain-lain.
d.
Bentuk Usaha Tetap (BUT)
BUT
adalah bagian dari Subjek Pajak luar negeri yang melakukan kegiatan di
Indonesia sehingga menerima atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari
Indonesia. Walaupun termasuk Wajib Pajak luar negeri, pemenuhan hak dan
kewajiban BUT disamakan dengan pemenuhan hak dan kewajiban Wajib Pajak dalam
negeri.
Pengertian
BUT bisa kita temukan dalam Pasal 2 ayat (5) Undang-undang Pajak Penghasilan,
yaitu bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat
tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari
183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan,
dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa
tempat kedudukan manajemen, cabang perusahaan, kantor perwakilan, gedung
kantor, pabrik, bengkel dan lain-lain.
e.
Perwakilan Perusahaan Luar Negeri Lainnya
Perwakilan
perusahaan luar negeri lainnya selain BUT yang ada di Indonesia juga merupakan
pemotong PPh Pasal 23. Contohnya adalah Representative Office (RO) dari perusahaan-perusahaan
asing.
Pihak
Yang Dipotong PPh Pasal 23
Berdasarkan Pasal 23 ayat (1) Undang-undang Pajak Penghasilan, penerima
penghasilan yang dapat dipotong PPh Pasal 23 adalah Wajib Pajak dalam negeri
dan Bentuk Usaha Tetap. Dengan demikian, pihak yang dipotong PPh Pasal 23 bisa Wajib Pajak orang
pribadi dalam negeri ataupun Wajib Pajak badan dalam negeri. Ini berarti bahwa
jika penerima penghasilan adalah Wajib Pajak luar negeri, kecuali BUT, maka PPh
Pasal 23 tidak bisa dikenakan.
Penghasilan
Yang Dipotong PPh Pasal 23
Hal ketiga yang menjadi ruang lingkup pemotongan PPh Pasal 23 adalah bahwa
penghasilan yang diterima oleh penerima penghasilan adalah jenis penghasilan
yang menjadi objek pemotongan PPh Pasal 23. Jenis-jenis penghasilan ini diatur
dalam Pasal 23 ayat (1) huruf a dan huruf b Undang-undang Pajak Penghasilan,
yaitu :
- dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf g Undang-undang Pajak Penghasilan 1984;
- bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf f Undang-undang Pajak Penghasilan 1984;
- royalti;
- hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf e Undang-undang Pajak Penghasilan 1984;
- sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang telah dikenai Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan; dan
- imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.
Khusus untuk jasa konstruksi, sehubungan dengan
pengenaan Pajak Penghasilan final Pasal 4 ayat (2) terhadap semua jenis jasa
konstruksi berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Pajak
Penghasilan 1984 dan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 dan perubahannya,
maka imbalan jasa konstruksi tidak lagi menjadi objek pemotongan PPh Pasal 23.
Untuk jenis jasa lain, Undang-undang Pajak
Penghasilan, melalui Pasal 23 ayat (2), memberikan wewenang kepada Menteri
Keuangan untuk mengatur lebih lanjut tentang jenis jasa lain ini dengan
Peraturan Menteri Keuangan. Untuk itu Menteri Keuangan telah menerbitkan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 244/PMK.03/2008 Tentang Jenis Jasa Lain
Sebagaimana Dimaksud Dalam Pasal 23 Ayat (1) Huruf c Angka 2 Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan Sebagaimana Telah Beberapa Kali
Diubah Terakhir Dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
Penghasilan Yang Tidak Dipotong PPh Pasal 23
Terkait dengan penghasilan yang menjadi objek
pemotongan PPh Pasal 23 ini, tidak boleh dilupakan bahwa terdapat pengecualian
penghasilan yang dipotong PPh Pasal 23. Penghasilan-penghasilan yang tidak
dipotong PPh Pasal 23 ini dicantumkan dalam Pasal 23 ayat (4) Undang-undang
Pajak Penghasilan 1984. Berikut ini adalah penghasilan-penghasilan yang
dikecualikan dari pemotongan PPh Pasal 23.
1.
Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank.
Pembayaran bunga
ke bank misalnya tidak dapat dipotong PPh Pasal 23. Bank akan melunasi Pajak
Penghasilannya melalui pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 25.
2.
Sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak
opsi.
Sama halnya
dengan bank, pelunasan Pajak Penghasilan perusahaan sewa guna usaha dengan hak
opsi akan dilakukan dengan pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 25.
3.
Bagian laba sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf i Undang-undang
Pajak Penghasilan.
Tidak termasuk
objek Pajak Penghasilan adalah bagian laba yang diterima
atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi
atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi, termasuk
pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif. Oleh karena itu atas bagian
laba seperti ini tidak seharusnya dipotong Pajak Penghasilan Pasal 23.
4.
Sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya;
5.
penghasilan yang dibayar atau terutang kepada badan usaha atas jasa
keuangan yang berfungsi sebagai penyalur pinjaman dan/atau pembiayaan yang
diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan
Ketentuan lebih
lanjut tentang hal ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor
251/PMK.03/2008 tentang Penghasilan Atas Jasa Keuangan Yang Dilakukan Oleh
Badan Usaha Yang Berfungsi Sebagai Penyalur Pinjaman Dan/Atau Pembiayaan Yang
Tidak Dilakukan Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23.
Berdasarkan
ketentuan ini, penghasilan sehubungan dengan jasa keuangan yang tidak dilakukan
pemotongan PPh Pasal 23 adalah berupa bunga atau imbalan lain yang diberikan
atas penyaluran pinjaman dan atau pemberian pembiayaan, termasuk yang
menggunakan pembiayaan berbasis syariah.
Badan usaha jasa
keuangan yang atas penghasilannya tidak dipotong PPh Pasal 23 ini terdiri dari :
·
perusahaan pembiayaan yang
merupakan badan usaha di luar bank dan lembaga keuangan bukan bank yang khusus
didirikan untuk melakukan kegiatan yang termasuk dalam bidang usaha lembaga
pembiayaan dan telah memperoleh ijin usaha dari Menteri Keuangan;
·
badan usaha milik negara
atau badan usaha milik daerah yang khusus didirikan untuk memberikan sarana
pembiayaan bagi usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi, termasuk PT
(Persero) Permodalan Nasional Madani.
Contoh :
1. PT.Solusindo
membayarkan deviden kepada Tn. Bonar Napitupulu pada bulan Juni 2006 sebesar
Rp. 20.000.0000. PPh Pasal 23 dipotong PT.Solusindo adalah :
PPh pasal 23
= 15% x Bruto
= 15% x Rp 20.000.000 = Rp. 3.000.000
2.
Pada tanggal 10 May
2008, PT. Sukses Gemilang, membagikan dividen masing-masing Rp 10,000,000
kepada 20 pemegang sahamnya. Atas dividen yang dibagikan, PT. Sukses Gemilang
wajib memungut PPh Pasal 23.
· PPh Pasal 23 = Tarif x Jumlah Bruto = 15% x 10,000,000
PPh Pasal 23 = Rp 1,500,000
· Total PPh Pasal 23 yang dipotong (untuk 20 orang) = 20 x Rp 1,500,000
Total PPh Pasal 23 yang dipotong (untuk 20
orang) = Rp 30,000,000
3.
PT Terang mengikat kontrak dengan PT Garmindo untuk pembuatan seragam kantor PT
Terang berdasarkan model dan spesifikasi yang telah ditentukan oleh PT Terang.
Dalam kontrak disepakati bahwa PT Terang akan menyediakan bahan baku utama
berupa kain dan PT Garmindo akan menyediakan bahan tambahan. Imbalan yang
disepakati atas kontrak tersebut adalah sebesar Rp 25.000.000,- tidak termasuk
biaya bahan tambahan. PT Garmindo mengeluarkan biaya sebesar Rp 5.000.000,-
untuk bahan tambahan.
Rincian tagihan PT Garmindo kepada PT Terang:
Biaya
untuk bahan tambahan …………………… Rp. 5.000.000,-
Imbalan Jasa maklon……………………………… Rp. 25.000.000,-
Jawab
:
Atas
pembayaran yang dilakukan PT. Terang kepada PT. Garmindo dipotong PPh Pasal 23
oleh PT. Terang sebesar:
2% x Rp. 25.000.000,- = Rp.
500.000,-
Dalam
hal tidak ada bukti pendukung atas rincian tagihan di atas maka jumlah bruto
sebagai dasar pemotongan PPh Pasal 23 adalah sebesar Rp. 30.000.000,- sehingga
PPh Pasal 23 yang harus dipotong oleh PT. Terang atas pembayaran kepada PT.
Garmindo adalah sebesar: 2% x Rp. 30.000.000,- = Rp. 600.000,-
BAB III
PENUTUP
3.1.
KESIMPULAN
Dari penjelasan materi di atas kita dapat mengambil kesimpulan bahwa pajak
adalah pembayaran yang dilakukan rakyat, dan merupakan sumber dana untuk
pembangunan. Selain itu pajak berbeda dengan retribusi dan sumbangan. Dalam
penetapan besaran pajak harus sesuai dengan pancasila. Pajak sendiri memiliki
banyak jenis dan asas yang digunakan pun beraneka ragam. Tarif pajak berbeda
tergantung dasar yang digunakan. Selain itu pemerintah telah memberikan batasan
segala hal yang berkaitan dengan pajak di dalam UU perpajakan nasional yang
merupakan modernisasi dari UU pajak jaman kolonial. Untuk menarik pajak yang
ada di luar negeri pemerintah melakukan kerja sama dengan negara lain dalam
perpajakan yang lazim diebut perjanjian traktat, yang hal tersebut diatur dalam
HUKUM PAJAK INTERNASIONAL.
3.2.
SARAN
Setelah
mempelajari materi ini hendaklah kita sadar akan kewajiban kita untuk membayar
pajak, agar pembangunan dapat terus berjalan.
DAFTAR
PUSTAKA
Agoes,
Sukrisno dan Trisnawati Estralita, 2009. Akuntansi
Perpajakan Edisi 2, Jakarta, Salemba Empat
Gunadi, 2004. Indonesia Taxation 2002; A Reference Guide, Jakarta:
Multi Utama Publising
Harahap, Sofyan Syafri 2010. Analisis Kritis atas Laporan Keuangan
Raja Grafindo, Jakarta 2010
Ikatan Akuntan Indonesia, 2009. Standar Akuntansi Keuangan per
Juli 2009, Jakarta, Salemba Empat
Jusup, Al Haryono, 2005. Dasar-dasar Akuntansi Jilid 1 edisi 6,
Jakarta, Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Yayasan Keluarga Pahlawan Negara
Yogyakarta
_____,____ Dasar-dasar Akuntansi Jilid 2 edisi 2, Jakarta, Sekolah
Tinggi Ilmu Ekonomi Yayasan Keluarga Pahlawan Negara Yogyakarta.
Republik Indonesia, Persandingan Susunan dalam Satu Naskah
Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Beserta
Aturan Pelaksanaannya
_____,____, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Pengasilan
Republik Indonesia, Undang-Undang dasar 1945, Jakarta 2009
Waluyo, 2009. Akuntansi Pajak, Jakarta, Salemba Empat
No comments:
Post a Comment