Tuesday, April 3, 2018

PERPAJAKAN



BAB I
PENDAHULUAN

1.1.    LATAR BELAKANG
Dewasa ini kita sering mendengar istilah pembangunan nasional baik dalam mata kuliah atau media. Kita juga mengetahui bahwa pembangunan tersebut pastilah memerlukan dana yang tidak sedikit. Dalam bab ini kita akan mempelajari salah satu sumber pemasukan negara bagi pembangunan, yakni pajak. Secara umum persepsi kita mengenai pajak adalah wujud dari seorang warga negara untuk memberikan kontribusi dalam membangun negara dengan mendapat imbalan tidak langsung.
Dalam bab ini kita akan mempelajari sebagian  hal yang berkaitan dengan pajak, mulai dari pengertian, jenis,fungsi,asas, serta besaran tarif penarikan. Semua ini akan kita pelajari sebagai pengantar dalam mata kuliah ini , karena matri yang lebih lanjut akan dipelajari dalam bab-bab selanjutnya.

1.2.     TUJUAN DAN MANFAAT
Tujuan kami menulis makalah dan mengangkat Tema mengenai “PENGERTIAN DASAR PERPAJAKAN” ini adalah guna memenuhi  tugas mata kuliah Perpajakan.
Manfaat penulisan makalah ini adalah untuk memperluas wawasan kami dan pembaca tentang masalah Perpajakan. Selain itu supaya ada kesadaran pada diri kami dan pembaca untuk tertib membayar pajak.


BAB II
PEMBAHASAN

2.1. PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (PPN)
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan atas setiap pertambahan nilai dari barang atau jasa dalam peredarannya dari produsen ke konsumen. Dalam bahasa Inggris, PPN disebut Value Added Tax (VAT) atau Goods and Services Tax (GST). PPN termasuk jenis pajak tidak langsung, maksudnya pajak tersebut disetor oleh pihak lain (pedagang) yang bukan penanggung pajak atau dengan kata lain, penanggung pajak (konsumen akhir) tidak menyetorkan langsung pajak yang ia tanggung.
Mekanisme pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPN ada pada pihak pedagang atau produsen sehingga muncul istilah Pengusaha Kena Pajak yang disingkat PKP. Dalam perhitungan PPN yang harus disetor oleh PKP, dikenal istilah pajak keluaran dan pajak masukan. Pajak keluaran adalah PPN yang dipungut ketika PKP menjual produknya, sedangkan pajak masukan adalah PPN yang dibayar ketika PKP membeli, memperoleh, atau membuat produknya.
Apabila dilihat dari sejarahnya, Pajak Pertambahan Nilai merupakan pengganti dari Pajak Penjualan. Alasan penggantian ini karena Pajak Penjualan dirasa sudah tidak lagi memadai untuk menampung kegiatan masyarakat dan belum mencapai sasaran kebutuhan pembangunan, antara lain untuk meningkatkan penerimaan negara, mendorong ekspor, dan pemerataan pajak.
Pajak Penjualan mempunyai beberapa kelemahan, yaitu antara lain:
1.            Adanya pajak berganda.
2.            Bermacam-macam tarif (ada 9 macam tarif), sehingga menimbulkan kesulitan pelaksanaannya.
3.            Tidak mendorong ekspor.
4.            Belum dapat mengatasi penyelundupan.
1.      Sedangkan di lain sisi Pajak Pertambahan Nilai mempunyai kelebihan, antara lain:
1.            Menghilangkan pajak berganda.
2.            Menggunakan tarif tunggal, sehingga memudahkan pelaksanaan.
3.            Netral dalam persaingan dalam negeri.
4.            Netral dalam perdagangan internasional.
5.            Netral dalam pola konsumsi.
6.            Dapat mendorong ekspor.
Pajak Pertambahan Nilai merupakan:
1.      Pajak tidak langsung.
2.      Pajak atas konsumsi dalam negeri.
Dalam peningkatan dana dalam negeri, Pajak merupakan alternatif yang sangat potensial. Masalah Perpajakan bukan hanya masalah pemerintah saja dan pihak-pihak yang terkait didalamnya akan tetapi masyarakat juga sangat mempunyai kepentingan yang sama untuk mengetahui masalah Perpajakan di Indonesia. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tercipta karena digunakannya faktor-faktor produksi pada setiap jalur perusahaan dalam menghasilkan, menyalurkan dan memperdagangkan barang atau dalam memberikan jasa.
Tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang berlaku atas penyerahan barang kena pajak maupun jasa kena pajak adalah tarif tunggal sehingga mudah dalam pelaksanaannya tidak ada penggolongan dengan tarif yang berbeda.
Pembukuan yang benar dan lengkap merupakan syarat mutlak pelaksanaan sistem perpajakan di Indonesia yang berdasarkan “Self assessment” yakni pemerintah memberikan kepercayaan kepada wajib pajak untuk menghitung sendiri besarnya Pajak Pertambahan Nilai terhutangnya, menyetorkannya ke Bank persepsi dan kemudian melaporkan secara teratur ke Kantor Pelayanan Pajak dalam bentuk Surat Pemberitahuan (SPT).
Namun pada kenyataanya masyarakat kita, khusunya yang berada di desa-desa dan masyrakat awam,  tidak cukup mengenal atau bahkan tidak tahu sama sekali mengenai PPn dan PPn BM, mulai dari apa itu PPn dan PPn BM, apa dasar hukumnya, apa saja objeknya, bagaimana cara penghitungannya, mekanismenya, karaketristiknya, dan lain sebagainya..

Mekanisme Pengenaan PPn
Undang-Undang PPN 1984 menganut metode kredit pajak serta metode faktur pajak. Dalam metode ini PPN dikenakan atas penyerahan BKP atau JKP oleh pengusaha kena pakjak (PKP). PPN dipungut secara bertingkat pada setiap jalur produksi dan distribusi. Unsur pengenaan pajak berganda atau pengenaan pajak atas pajak dapat dihindari dengan menerapkanya mekanisme pengkreditan pajak masukan (metodw kredit pajak). Untuk melakukan pengkreditan pajak masukan, sarana yang digunakan adalah faktur pajak (metode faktur pajak).
Mekanisme pengenaan PPn dapat digambarkan sebagi berikut:
1.      Pada saat mebeli/memperoleh BKP/JKP, akan dipungut PPN oleh PKP penjual. Bagi pembeli yang dipungut oleh PKP penjual tersebut merupakan pembayaran pajak dimuka dan disebut dengan Pjak Masukan. Pembeli berhak menerima bukti berupa faktur pajak.
2.      Pada saat menjual/menyerahkan BKP/JKP kepada pihak lain, wajib memungut PPN. Bagi penjual, PPN tersebut merupakan pajak keluaran. Sebagai bukti telah memungut PPN, PKP penjual wajib membuat faktur pajak.
3.      Apabila dalam suatu masa pajak (jangka waktu yang lamanya sama dengan satu bulan takwim) jumlah pajak keluaran lebih besar dari pada jumlah pajak masukan, selisihnya harus disetorkan ke kas negara.
4.      Apabila dalam suatu masa pajak jumlah pajak keluaran lebih kecil dari pada jumlah pajak masukan, selisihnya dapat direstitusi (diminta kembali) atau dikompensasikan ke masa pajak berikutnya.
5.      Pelaporan penghitungan PPN dilakukan setiap masa pajak dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (SPT Masa PPN).
Contoh :
Sepanjang bulan Maret 2011, PT ABC mempunyai transaksi sebagai berikut :
·        Membeli bahan baku seharga Rp. 100.000.000,- (dipungut PPN sebesar Rp. 10.000.000,-)
·        Membeli bahan penolong seharga Rp. 40.000.000,- (dipungut PPN sebesar Rp. 4.000.000,-)
·        Menjual produknya seharga Rp. 200.000.000,- (memungut PPN sebesar Rp. 20.000.000,-)
·        Penghitungan PPN :
Jumlah Pajak Keluaran                                    Rp. 20.000.000,-
Jumlah Pajak Masukan                                    Rp. 14.000.000,-
PPN kurang bayar                               Rp.   6.000.000,-
Jumlah PPN kurang bayar sebesar Rp. 6.000.000,- ini harus disetorkan ke kas negara.

Cara Menghitung PPn Dan Cara Menghitung PPn BM
1.      Cara Menghitung PPn
Cara menghitung PPN adalah sebagai berikut :
PPN = Dasar Pengenaan Pajak x Tarif Pajak
 
Contoh :
·      Pengusaha kena pajak “A” menjual tunai BKP kepada pengusaha kena pajak “B” dengan harga jual Rp. 25. 000.000,- PPN yang terutang :
10 % x Rp. 25.000.000 = Rp. 2.500.000,-
PPN sebesar Rp. 2.500.000,- tersebut merupakan pajak keluaran yang dipungut oleh pengusaha kena pajak “A”. Sedangkan bagi pengusaha kena pajak “B”, PPN tersebut merupakan pajak masukan.
·      Seseorang mengimpor BKP dari luar daerah Pabean dengan nilai impor Rp. 15.000.000,- PPN yang dipungut melalui Direktorat Jendral Bea dan Cukai :
10     x Rp. 15.000.000 = Rp. 1.500.000,-

Cara Menghitung PPn BM
PPn BM = Dasar Pengenaan Pajak x Tarif Pajak
Cara menghitung PPn BM adalah sebagai berikut :

Contoh :
PKP “ABC” sebagai pabrikan menyerahkan barang hasil produksinya dengan harga jual Rp. 10.000.000,-. Barang tersebut merupakan BKP yang tergolong mewah dengan tarif PPn BM sebesar 40 %. Penghitungan pajak yang harus dipungut adalah sebagai berikut :
PPN                 = 10 % x Rp. 10.000.000 = Rp. 1.000.000,-
PPn BM                      = 40 % x Rp. 10.000.000 = Rp. 4.000.000,-


Pajak merupakan kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Adapun pengertian dari Pajak Penghasilan menurut Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah “ pajak yang dikenakan terhadap orang pribadi atau perseorangan dan badan berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperolehnya selama satu tahun pajak”. Yang dimaksud penghasilan menurut pasal 4 ayat (1) Undang- Undang Nomor 36 Tahun 2008 :
            Pajak Penghasilan, adalah “ setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun”. Sedangkan yang dimaksud dengan
            Pajak Penghasilan Pasal 21 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi Subjek Pajak dalam negeri.
Kebijakan Pajak Penghasilan PPh Pasal 21
            Dasar hukum Pajak Penghasilan PPh pasal 21 yaitu :
  1. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang No. 28 Tahun 2007.
  2. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008.
  3. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 541/KMK.04/2000 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 184/PMK.03/2007 tentang Penentuan Tanggal Jatuh Tempo Pembayaran dan Penyetoran Pajak, Penentuan Tempat Pembayaran Pajak, dan Tata Cara Pembayaran, Penyetoran dan Pelaporan Pajak, serta Tata Cara Pengangsuran dan Penundaan Pembayaran Pajak.
  4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-254/PMK.03/2008 tentang Penetapan Bagian Penghasilan Sehubungan Dengan Pekerjaan dari Pegawai Harian dan Mingguan serta Pegawai Tidak Tetap Lainnya yang Tidak Dikenakan Pemotongan Pajak Penghasilan.
  5. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-31/PJ/2009 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-57/PJ/2009 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21/26.
  6. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 162/PMK.011/2012 tentang Penyesuaian Besarnya Penghasilan Kena Pajak.
  7. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per-31/PJ/2012 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi.


Perhitungan Pajak Penghasilan PPh pasal 21 atas Penghasilan
Seperti yang telah kita ketahui, mulai bulan Januari 2013, Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) telah berubah. Sekarang untuk Wajib Pajak yang berstatus tidak kawin dan tidak mempunyai tanggungan jumlah PTKP-nya sebesar Rp 24.300.000,00 atau setara dengan Rp 2.025.000,00 per bulan. Dengan adanya perubahan itu, tata cara penghitungan PPh Pasal 21 juga mengalami perubahan. Perubahan itu diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per-31/PJ/2012 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi.
Dalam aturan baru tersebut, yang berkewajiban melakukan Pemotongan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 adalah pemberi kerja, bendahara atau pemegang kas pemerintah, yang membayarkan gaji, upah dan sejenisnya dalam bentuk apapun sepanjang berkaitan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan; dana pensiun, badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja, dan badan-badan lain yang membayar uang pensiun secara berkala dan tunjangan hari tua atau jaminan hari tua; orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas serta badan yang membayar honorarium, komisi atau pembayaran lain dengan kondisi tertentu dan penyelenggara kegiatan, termasuk badan pemerintah, organisasi yang bersifat nasional dan internasional, perkumpulan, orang pribadi serta lembaga lainnya yang menyelenggarakan kegiatan, yang membayar honorarium, hadiah, atau penghargaan dalam bentuk apapun kepada Wajib Pajak orang pribadi berkenaan dengan suatu kegiatan.
Penghitungan PPh Pasal 21 menurut aturan yang baru tersebut, dibedakan menjadi 6 macam, yaitu : PPh Pasal 21 untuk Pegawai tetap dan penerima pensiun berkala; PPh pasal 21 untuk pegawai  tidak tetap atau tenaga kerja lepas; PPh pasal 21 bagi anggota dewan pengawas atau dewan komisaris yang tidak merangkap sebagai pegawai tetap, penerima imbalan lain yang bersifat tidak teratur, dan peserta program pensiun yang masih berstatus sebagai pegawai yang menarik dana pensiun.  Di kesempatan ini akan dipaparkan tentang contoh perhitungan PPh pasal 21 untuk Pegawai Tetap dan Penerima Pensiun Berkala.
Berikut disampaikan contoh sebagai mana tercantum dalam peraturan tersebut.
Budi Karyanto pegawai pada perusahaan PT Candra Kirana, menikah tanpa anak, memperoleh gaji sebulan Rp 3.000.000,00. PT Candra Kirana mengikuti program Jamsostek, premi Jaminan Kecelakaan Kerja dan premi Jaminan Kematian dibayar oleh pemberi kerja dengan jumlah masing-masing 0,50% dan 0,30% dari gaji.
PT Candra Kirana menanggung iuran Jaminan Hari Tua setiap bulan sebesar 3,70% dari gaji sedangkan Budi Karyanto membayar iuran Jaminan Hari Tua sebesar 2,00% dari gaji setiap bulan. Disamping itu PT Candra Kirana juga mengikuti program pensiun untuk pegawainya. PT Candra Kirana membayar iuran pensiun untuk Budi Karyanto ke dana pensiun, yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, setiap bulan sebesar Rp 100.000,00, sedangkan Budi Karyanto membayar iuran pensiun sebesar Rp 50.000,00. Pada bulan Juli 2013 Budi Karyanto hanya menerima pembayaran berupa gaji. 
Secara umum rumus menghitung PPh 21 adalah:
Penghasilan Bersih per bulan
xxx

Penghasilan bersih disetahunkan
xxx
(x12 bulan)



PTKP
xxx
(-)
Penghasilan Kena Pajak
xxx

PPh Terutang setahun
xxx
(x tarif PPh 21)



PPh Terutang per bulan
xxx
(÷ 12 bulan)

Penghitungan PPh Pasal 21 bulan Juli 2013 adalah sebagai berikut:
Gaji

3.000.000,00
Premi Jaminan Kecelakaan Kerja    

     15.000,00
Premi Jaminan Kematian

       9.000,00
Penghasilan bruto

3.024.000,00
Pengurangan


1. Biaya jabatan


5%x 3.024.000,00
151.200,00

2. Iuran Pensiun
  50.000,00

3. Iuran Jaminan Hari Tua
  60.000,00



   261.200,00
Penghasilan neto sebulan

2.762.800,00

Penghasilan neto setahun


12x2.762.800,00

33.153.600,00
PTKP


- untuk WP sendiri
24.300.000,00

- tambahan WP kawin
   2.025.000,00



26.325.000,00
Penghasilan Kena Pajak setahun

  6.828.600,00
Pembulatan

  6.828.000,00
PPh terutang


5%x  6.828.000,00
     341.400,00

PPh Pasal 21 bulan Juli


341.400,00 : 12

      28.452,00


2.3. PENGERTIAN PPH PASAL 22
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan dengan perubahan terakhir dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008, Subjek PPh Pasal 22 adalah Wajib Pajak yang melakukan penyerahan kepada pemerintah, Wajib Pajak badan-badan tertentu yang melakukan kegiatan impor atau melakukan penyerahan barang yang tergolong sangat mewah.
Subjek Pajak Penghasilan Pasal 22 atau PPh pasal 22 adalah siapa saja yang wajib menghitung, memungut, dan menyetorkan PPh Pasal 22 ke kas Negara. Mereka adalah:
1.            Importir.
2.            Rekanan pemerintah dan badan-badan tertentu yang merupakan pemungut PPh Pasal 22.
3.            Konsumen semen, kertas, baja, dan otomotif.
4.            Distributor dan agen pertamina serta badan usaha selain pertamina yang bergerak di bidang BBM jenis premix dan gas.
5.            Industri dan eksportir di bidang pertanian, perkebunan, kehutanan, dan perikanan.

Objek PPh Pasal 22
Adapun objek PPh pasal 22 adalah sebagai berikut :
1.    Pembelian
a.       Pembelian barang oleh bendaharawan
b.      Pembelian bahan-bahan berupa hasil perhutanan, perkebunan, pertanian, dan perikanan untuk keperluan industri dan ekspor dari pedagangan pengepul
2.    Impor Barang
3.    Penjualan oleh Industri Tertentu
a.    Industri baja
b.    Industri semen
c.     Industri kertas
d.    Industri otomotif
4.    Penjualan BBM dan Gas oleh PERTAMINA
Premium, solar, premix/superTT, minyak tanah, gas/LPG, dan pelumas.
5.    Penjualan Barang yang tergolong sangat Mewah
Pesawat udara pribadi, kapal pesiar, rumah sangat mewah, apartemen sangat mewah dan kendaraan sangat mewah, dll.
 
Pemungut PPh Pasal 22
Pemungut Pajak sebagaimana dimaksud dalam pasal 22 Undang-Unang Pajak Penghasilan adalah :
1.    Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) atas impor barang.
2.    Direktorat Jenderal Perbendaharaan dan bendaharawan pemerintah pusat/daerah yang melakukan pembayaran atas pembeliaan barang.
3.    BUMN/BUMD yang melakukan pembelian barang dengan dana yang bersumber dari APBN atau APBD.
4.    Bank Indonesia (BI), PT.Perusahaan Pengelola Aset (PPA), Badan Urusan Logistik (BULOG), PT Telekomunikasi Indonesia ( Telkom), PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), PT Garuda Indonesia, PT Indosat, PT Krakatau Steel, Petamina dan bank-bank BUMN yang melakukan pembelian barang yang dananya bersumber dari APBN maupun non-APBN.
5.     Badan usaha yang bergerak dibidang usaha industri semen, industri rokok, industri kertas, industri baja, dan industri otomotif, yang ditunjuk oleh kepala kantor pelayanan pajak, atas penjualan hasil produksinya di dalam negeri.
6.    Pertamina dan badan usaha lainnya (produsen atau importir) yang bergerak di bidang bahan bakar minyak jenis premix, serta super TT, pelumas dan gas, atas penjualan hasil produksinya.
7.    Industri dan eksportir perhutanan, perkebunan, pertanian dan perikanan, yang ditunjuk oleh direktur jenderal pajak atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor dan pedagang pengumpul.
      Selain pemungut diatas, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 253/PMK.03/2008 juga mengatur tentang wajib pajak badan tertentu sebagai pemungut PPh pasal 22 atas penjualan barang yang tergolong sangat mewah yaitu wajib pajak badan yang melakukan penjualan barang yang tergolong sangat mewah, dinataranya :
1.      Pesawat udara pribadi dengan harga jual lebih dari Rp200.000.000.000 (dua ratus miliar rupiah);
2.      Kapal pesiar dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp 10.000.000.000 (sepuluh miliar rupiah);
3.      Rumah beserta tanahnya dengan harga jual atau harga pengalihannya lebih dari Rp10.000.000.000 (sepuluh miliar rupiah) dan luas bangunan lebih dari 500 m² (lima ratus meter persegi);
4.       Apartemen, kondominium, dan sejenisnya dengan harga jual atau pengalihannya lebih dari Rp10.000.000.000 (sepuluh miliar rupiah) dan/atau luas bangunan lebih dari 400 m² (empat ratus meter persegi);
5.      Kendaraan bermotor roda empat pengangkutan orang kurang dari 10 orang berupa sedan, jeep, Sport Utility Vehicle (SUV), Multi Purpose Vehicle (MPV), minibus dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp5.000.000.000 (lima miliar rupiah) dan dengan kapasitas silinder lebih dari 3.000 cc.

   Pengecualian dari Pemungutan PPh Pasal 22
Yang dikecualikan dari pemungutan PPh pasal 22 adalah :
1.      Impor barang dan atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang- undangan Pajak Penghasilan tidak terutang Pajak Penghasilan.
2.      Impor barang yang dibebaskan dari pungutan Bea Masuk dan atau Pajak Pertambahan Nilai (PPN) :
a.       Barang perwakilan negara asing beserta para pejabatnya yang bertugas di Indonesia berdasarkan asas timbal balik; (dengan syarat ada Surat Keterangan Bebas PPh Pasal 22 yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak).
b.       Barang untuk keperluan Badan Internasional yang diakui dan terdaftar pada pemerintah Indonesia beserta pejabatnya yang bertugas di Indonesia dan tidak memegang paspor Indonesia.
c.        Barang kiriman hadiah untuk keperluan ibadah umum, amal, sosial, atau kebudayaan.
d.       Barang untuk keperluan museum, kebun binatang, dan temmpat lain semacam itu yang terbuka untuk umum, dilakukan secara otomatis tanpa Surat Keterangan Bebas (SKB).
e.        Barang untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, dilakukan secara otomatis tanpa SKB.
f.        Barang untuk keperluan khusus kaum tunanetra dan penyandang cacat lainnya, dinyatakan dengan SKB PPh pasal 22 oleh DJP.
g.      Peti atau kemasan lain yang berisi jenazah atau abu jenazah, dilakukan secara otomatis tanpa SKB.
h.        Barang pindahan, dilakukan otomatis tanpa SKB.
i.         Barang pribadi penumpang, awak sarana pengangkut, pelintas batas, barang kiriman sampai dengan batas nilai/jumlah tertentu sesuai dengan peraturan kepabeanan.
j.         Barang yang diimpor oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah yang ditujukan untuk kepentingan umum.
k.       Persenjataan, amunisi dan perlengkapan militer, termasuk suku cadang yang diperuntukkan bagi keperluan pertahanan dan keamanan Negara.
l.         Barang dan bahan yang digunakan untuk menghasilkan barang bagi keperluan pertahanan dan keamanan Negara.
m.    Vaksin polio dalam rangka pelaksanaan program Pekan Imunisasi Nasional (PIN).
n.         Buku-buku pelajaran umum, kitab suci dan buku-buku pelajaran agama.
o.       Kapal laut, kapal angkutan sungai, kapal angkutan danau, kapal angkutan penyebrangan, kapal tunda, kapal penangkap ikan, kapal tongkang, dan suku cadang serta alat keamanan pelayaran atau alat keselamatan manusia yang diimpor dan dipergunakan perusahaan pelayaran niaga nasional atau perusahaan penangkapan ikan nasional.
p.       Pesawat udara dan suku cadang serta alat keselamatan penerbangan atau alat keselamatan manusia, peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan yang diimpor dan dipergunakan oleh perusahaan angkutan udara niaga nasional.
q.      Kereta api dan suku cadang serta peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan serta prasarana yang diimpor dan dipergunakan PT Kereta Api Indonesia (KAI).
r.        Peralatan yang dipergunakan untuk penyediaan data batas dan foto udara di wilayah Republik Indonesia yang dilakukan Tentara Nasional Indonesia (TNI).

3.      Dalam hal impor barang sementara jika pada waktu impornya nyata-nyata dimaksudkan untuk diekspor kembali. Contohnya adalah barang pameran, setelah pameran selesai naka barang-barang pameran tersebut harus dieskpor kembali.
4.      Impor kembali (re-impor), yang meliputi barang-barang yang telah dieskpor kemudian diimpor kembali dalam kualitas yang sama atau barang-barang yang telah diekspor karena membutuhkan perbaikan, pengerjaan dan pengujian, yang telah memenuhi syarat yang ditentukan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC).
5.      Pembayaran atas penyerahan barang yang jumlahnya paling banyak Rp1.000.000 (bukan merupakan pembayaran yang terpecah-pecah).
6.      Pembayaran untuk keperluan pembelian BBM, listrik, gas, air minum/PDAM dan benda-benda pos.
7.      Emas batangan yang akan diproses untuk menghasilkan barang perhiasan dari emas dan untuk tujuan ekspor (syarat harus ada surat keterangan bebas PPh Pasal 22).
8.      Pembayaran/pencairan dana Jaringan Pengaman Sosial (JPS) oleh Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara (pelaksanaan tanpa surat keterangan bebas).

   Tarif PPh Pasal 22

1.    Tarif PPh pasal 22 atas Impor
a.       menggunakan Angka Pengenal Importir (API) sebesar 2,5% dari nilai impor;
b.      tanpa menggunakan Angka Pengenal Importir (API) sebesar 7,5% dari nilai impor;
c.       yang tidak dikuasai, sebesar 7,5% dari harga jual lelang;
d.      impor kedelai, gandum, dan tepung terigu oleh importir yang menggunakan API (tidak memiliki API, tidak dapat impor) sebesar 0,5% dari nilai impor.

2.    Tarif PPh pasal 22 atas Pembelian yang dilakukan oleh BUMN/BUMD yang menggunakan APBN/APBD dan non APBN/APBD
Ø  Tarifnya sebesar 1,5% dari harga pembelian sebelum PPN/ PPnBM
3.    Tarif PPh pasal 22 atas Penjualan hasil produksi
a.       Industri semen, sebesar 0,25% dari dasar pengenaan pajak (DPP) PPN
b.       Industri kertas, sebesar 0,1% dari DPP PPN
c.       Industri baja, sebesar 0,3% dari DPP PPN
d.      Industri otomotif, sebesar 0,45% dari DPP PPN

Tata cara pelaporan PPh Pasal 22 adalah sebagai berikut:
1.      Direktorat Jenderal Bea dan Cukai harus melaporkan PPh Pasal 22 yang telah dipungut kepada Direktorat Jenderal Pajak dalam jangka waktu 7 hari setelah penyetoran. Pelaporan dilakukan menggunakan formulir surat pemberitahuan masa PPh Pasal 22 impor.
2.      Surat pemberitahuan masa PPh Pasal impor disertai lampiran:
a.       Tindasan PPUD
b.      Lembaran ke-2 SSP
c.        Lembaran ke-2 bukti pemungutan PPh Pasal 22 impor, dan
d.      Daftar dari bukti pemungutan PPh Pasal 22 impor dan PPUD atau nota pembetulan.
3.      Jumlah uang yang tercantum dalam surat setoran pajak harus sama dengan seluruh penjumlahan, sebagaimana yang tercantum dalam segi hitung dari bukti pemungutan PPh Pasal 22 yang tercantum dalam PPUD atau nota pembetulan yang bersangkutan.

Batas Waktu Setor dan Pelaporan PPh Pasal 22
PPh Pasal 22 yang telah dipungut dalam setiap hari kerja harus disetorkan pada hari kerja berikutnya. PPh Pasal 22 yang dipungut pada tanggal 31 Maret harus disetorkan pada hari itu juga. Penyetoran dilakukan kekantor kas Negara, seperti kantor pos dan giro, serta bank pemerintah yang ditunjuk menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP). Pada formulir SSP tersebut harus dicantumkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dari pemungut pajak.

Contoh Soal atau Kasus PPh pasal 22
1.      PT. FM adalah produsem makanan ringan yang memiliki API, pada bulan maret 2009 PT. FM melakukan impor barang dari Amerika dengan nilai faktur sebesar US$ 150.000,-. Biaya asuransi yang dibayar adalah US$ 1.500,- dan ongkos angkut adalah US$ 6.000,-. Tarif BEA masuk adalah 25%. Pungutan lainnya sesuai dengan ketentuan PABEAN adalah Rp. 15.000.000,-. Kurs pajak pada saat melakukan clearance ke pelabuahan adalah 1US$ = Rp.9.000,-. Hitung PPh Pasal 22 yang harus dibayar!
Penyelesaian:
Menentukan Nilai Impor:
Nilai Faktur                                                                  US$ 150.000,-
Biaya Asuransi Dalam / Luar Negeri                      US$    1.500,-Biaya Ongkos Angkut                                                US$    6.000,-
Jumlah CIF (Cost Insurance and Freight)             US$ 157.500,-

Besarnya nilai CIF dalam Rupiah adalah:     
US$ 157.500,- x Rp. 9.000,-                         Rp.1.417.500.000,-Ditambah:
Bea masuk: 25% x Rp. 1.417.500.000,-     Rp.    354.375.000,-
Pungutan lainnya                                          RP.     15.000.000,-
Nilai Impor                                                       Rp. 1.786.875.000,-

PPh Pasal 22 atas Impor dari Amerika adalah:
2,50% x Rp. 1.786.875.000,- =                     Rp.      44.671.875,-


2.      PT. Zemen Pekalongan adalah perusahaan semen nasional. Pada tanggal 15 April 2008 menjual 1000 sak semen kepada CV Karya Manjur, perusahaan kontraktor property, secara tunai. Harga jual semen adalah Rp30.000 per sak. Jadi, pada saat penjualan semen tersebut PT Zemen Pekalongan sudah terutang dan harus memungut PPh Pasal 22 dari CV Karya Manjur.
Penyelesaiannya :
PPh Pasal 22 =        0.25%  x 1000 x Rp30.000 = Rp     75.000
         Sifat pemungutan PPh 22 ini tidak final dan dapat menjadi kredit pajak bagi CV Karya  manjur
3.      Dalam rangka memajukan pendidikan, pada tanggal 19 April 2009 Pemda Maluku Utara membeli 20 unit laptop secara kredit dari rekanan pemerintah Toko Tekno Com yang akan didistribusikan ke sekolah-sekolah di daerah terpencil. Harga laptop tersebut adalah Rp11.000.000 per unit sudah termasuk PPN. Pemda Maluku Utara baru membayar pembelian laptop tersebut tanggal 18 Mei 2008. Jadi, pada saat pembayaran laptop tersebut Pemda Maluku Utara terutang dan harus memungut PPh Pasal 22 kepada pemungut dari Toko Tekno Com.
Penyelesaiannya :
DPP PPN =    x 11.000.000 x 20            = Rp 200.000.000
PPh Pasal 22 = 1,5% x Rp200.000.000  = Rp      3.000.000


4.      PT Penyalur Minyak Indonesia (PMI) membeli premium dari Pertamina. Dalam hal ini, PMI sebagai penyalur BBM (SPBU Swastanisasi) memiliki delivery order (DO) dari Pertamina dengan kuantitas sebanyak 10.000 liter @ Rp 1.600,-. Berapa PPh pasal 22 yang harus dilunasi oleh PT.PMI?
Penyelesaiannya :
PPh pasal 22 = 0,3% x 10.000 x 1.600 = Rp 48.000,-

5.      PT. Pelesir Jaya melakukan penjualan barang yang tergolong sangat mewah kepada PT. JEN yaitu penjualan rumah dengan harga Rp12.000.000.000,- dan luas tanahnya 600 m2. Hitunglah PPh pasal 22 yang dipungut oleh PT. Pelesir Jaya?
Penyelesaiannya :
PPh pasal 22 =  5% x 12.000.000.000 = Rp 600.000.000,-


2.4.PENGERTIAN PPH PASAL 23

Ruang Lingkup Pemotongan PPh Pasal 23
Pada dasarnya pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 23 baru bisa dilakukan jika telah memenuhi ruang lingkup pengenaan, yaitu pemberi penghasilan memenuhi kriteria sebagai pemotong PPh Pasal 23, penerima penghasilan memenuhi kriteria sebagai pihak yang dipotong PPh Pasal 23 dan jenis penghasilan yang dibayarkan adalah termasuk penghasilan-penghasilan yang merupakan objek pemotongan PPh Pasal 23.
Pengertian PPh Pasal 23
Pajak yang dipotong atas penghasilan yang berasal dari deviden, bunga, royalty, sewa, dan penghasilan lain atas penggunaan harta dan imbalan jasa teknik / manajemen dan jasa lainnya.
Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 23
Berdasarkan ketentuan Pasal 23 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 (Undang-undang Pajak Penghasilan 1984), pemotong Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 adalah :
a.      Badan Pemerintah
Tidak ada penjelasan dalam Undang-undang Pajak Penghasilan tentang arti Badan Pemerintah ini. Namun demikian, tidak sulit untuk mengartikan bahwa yang dimaksud dengan Badan Pemerintah adalah Pemerintah negara Republik Indonesia dan Pemerintah Daerah di Indonesia beserta instansi-instansi di bawahnya. Dalam prakteknya, pemotongan PPh Pasal 23 oleh instansi pemerintah dilakukan oleh bendahara pemerintah.
b.      Subjek Pajak Badan dalam negeri
Berdasarkan Pasal 2 ayat (3) huruf b Undang-undang Pajak Penghasilan 1984, subjek pajak badan dalam negeri adalah badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia. Istlah didirikan mengandung arti bahwa badan tersebut didirikan berdasarkan ketentuan hukum di Indonesia. Sementara itu istilah bertempat kedudukan menunjukkan bahwa badan tersebut memiliki efektif manajemen di Indonesia di mana pengambilan keputusan-keputusan penting tentang badan tersebut dilakukan di Indonesia.
Pengertian badan sendiri berdasarkan Pasal 2 ayat (1) huruf b Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 adalah  sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap
c.       Penyelenggara kegiatan
Penyelenggara kegiatan bisa berbentuk badan, orang pribadi atau kepanitiaan yang melakukan suatu event atau kegiatan. Contoh penyelenggara kegiatan adalah orang pribadi atau badan yang mengorganisir suatu acara seperti pertunjukkan, perlombaan, seminar dan lain-lain.
d.      Bentuk Usaha Tetap (BUT)
BUT adalah bagian dari Subjek Pajak luar negeri yang melakukan kegiatan di Indonesia sehingga menerima atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia. Walaupun termasuk Wajib Pajak luar negeri, pemenuhan hak dan kewajiban BUT disamakan dengan pemenuhan hak dan kewajiban Wajib Pajak dalam negeri.
Pengertian BUT bisa kita temukan dalam Pasal 2 ayat (5) Undang-undang Pajak Penghasilan, yaitu bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa tempat kedudukan manajemen, cabang perusahaan, kantor perwakilan, gedung kantor, pabrik, bengkel dan lain-lain.
e.      Perwakilan Perusahaan Luar Negeri Lainnya
Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya selain BUT yang ada di Indonesia juga merupakan pemotong PPh Pasal 23. Contohnya adalah Representative Office (RO) dari perusahaan-perusahaan asing.
Pihak Yang Dipotong PPh Pasal 23
            Berdasarkan Pasal 23 ayat (1) Undang-undang Pajak Penghasilan, penerima penghasilan yang dapat dipotong PPh Pasal 23 adalah Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap. Dengan demikian, pihak yang dipotong PPh Pasal 23 bisa Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri ataupun Wajib Pajak badan dalam negeri. Ini berarti bahwa jika penerima penghasilan adalah Wajib Pajak luar negeri, kecuali BUT, maka PPh Pasal 23 tidak bisa dikenakan.
Penghasilan Yang Dipotong PPh Pasal 23     
            Hal ketiga yang menjadi ruang lingkup pemotongan PPh Pasal 23 adalah bahwa penghasilan yang diterima oleh penerima penghasilan adalah jenis penghasilan yang menjadi objek pemotongan PPh Pasal 23. Jenis-jenis penghasilan ini diatur dalam Pasal 23 ayat (1) huruf a dan huruf b Undang-undang Pajak Penghasilan, yaitu :
  1. dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf g Undang-undang Pajak Penghasilan 1984;
  2. bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf f Undang-undang Pajak Penghasilan 1984;
  3. royalti;
  4. hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf e Undang-undang Pajak Penghasilan 1984;
  5. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang telah dikenai Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan; dan
  6. imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.
Khusus untuk jasa konstruksi, sehubungan dengan pengenaan Pajak Penghasilan final Pasal 4 ayat (2) terhadap semua jenis jasa konstruksi berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 dan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 dan perubahannya, maka imbalan jasa konstruksi tidak lagi menjadi objek pemotongan PPh Pasal 23.
Untuk jenis jasa lain, Undang-undang Pajak Penghasilan, melalui Pasal 23 ayat (2), memberikan wewenang kepada Menteri Keuangan untuk mengatur lebih lanjut tentang jenis jasa lain ini dengan Peraturan Menteri Keuangan. Untuk itu Menteri Keuangan telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 244/PMK.03/2008 Tentang Jenis Jasa Lain Sebagaimana Dimaksud Dalam Pasal 23 Ayat (1) Huruf c Angka 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir Dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.


Penghasilan Yang Tidak Dipotong PPh Pasal 23
Terkait dengan penghasilan yang menjadi objek pemotongan PPh Pasal 23 ini, tidak boleh dilupakan bahwa terdapat pengecualian penghasilan yang dipotong PPh Pasal 23. Penghasilan-penghasilan yang tidak dipotong PPh Pasal 23 ini dicantumkan dalam Pasal 23 ayat (4) Undang-undang Pajak Penghasilan 1984. Berikut ini adalah penghasilan-penghasilan yang dikecualikan dari pemotongan PPh Pasal 23.
1.      Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank.
Pembayaran bunga ke bank misalnya tidak dapat dipotong PPh Pasal 23. Bank akan melunasi Pajak Penghasilannya melalui pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 25.
2.      Sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak opsi.
Sama halnya dengan bank, pelunasan Pajak Penghasilan perusahaan sewa guna usaha dengan hak opsi akan dilakukan dengan pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 25.
3.      Bagian laba sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf i Undang-undang Pajak Penghasilan.
Tidak termasuk objek Pajak Penghasilan adalah bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif. Oleh karena itu atas bagian laba seperti ini tidak seharusnya dipotong Pajak Penghasilan Pasal 23.
4.      Sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya;
5.       penghasilan yang dibayar atau terutang kepada badan usaha atas jasa keuangan yang berfungsi sebagai penyalur pinjaman dan/atau pembiayaan yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan
Ketentuan lebih lanjut tentang hal ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 251/PMK.03/2008 tentang Penghasilan Atas Jasa Keuangan Yang Dilakukan Oleh Badan Usaha Yang Berfungsi Sebagai Penyalur Pinjaman Dan/Atau Pembiayaan Yang Tidak Dilakukan Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23.
Berdasarkan ketentuan ini, penghasilan sehubungan dengan jasa keuangan yang tidak dilakukan pemotongan PPh Pasal 23 adalah berupa bunga atau imbalan lain yang diberikan atas penyaluran pinjaman dan atau pemberian pembiayaan, termasuk yang menggunakan pembiayaan berbasis syariah.

Badan usaha jasa keuangan yang atas penghasilannya tidak dipotong PPh Pasal 23 ini terdiri dari :
·         perusahaan pembiayaan yang merupakan badan usaha di luar bank dan lembaga keuangan bukan bank yang khusus didirikan untuk melakukan kegiatan yang termasuk dalam bidang usaha lembaga pembiayaan dan telah memperoleh ijin usaha dari Menteri Keuangan;
·         badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah yang khusus didirikan untuk memberikan sarana pembiayaan bagi usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi, termasuk PT (Persero) Permodalan Nasional Madani.

Contoh :
1.      PT.Solusindo membayarkan deviden kepada Tn. Bonar Napitupulu pada bulan Juni 2006 sebesar Rp. 20.000.0000. PPh Pasal 23 dipotong PT.Solusindo adalah : 
PPh pasal 23   = 15% x Bruto
                                    = 15% x Rp 20.000.000 = Rp. 3.000.000
2.      Pada tanggal 10 May 2008, PT. Sukses Gemilang, membagikan dividen masing-masing Rp 10,000,000 kepada 20 pemegang sahamnya. Atas dividen yang dibagikan, PT. Sukses Gemilang wajib memungut PPh Pasal 23.
·         PPh Pasal 23 = Tarif x Jumlah Bruto = 15% x 10,000,000
PPh Pasal 23 = Rp 1,500,000
·         Total PPh Pasal 23 yang dipotong (untuk 20 orang) = 20 x Rp 1,500,000
Total PPh Pasal 23 yang dipotong (untuk 20 orang) = Rp 30,000,000
3.      PT Terang mengikat kontrak dengan PT Garmindo untuk pembuatan seragam kantor PT Terang berdasarkan model dan spesifikasi yang telah ditentukan oleh PT Terang. Dalam kontrak disepakati bahwa PT Terang akan menyediakan bahan baku utama berupa kain dan PT Garmindo akan menyediakan bahan tambahan. Imbalan yang disepakati atas kontrak tersebut adalah sebesar Rp 25.000.000,- tidak termasuk biaya bahan tambahan. PT Garmindo mengeluarkan biaya sebesar Rp 5.000.000,- untuk bahan tambahan.
      Rincian tagihan PT Garmindo kepada PT Terang:
      Biaya untuk bahan tambahan …………………… Rp. 5.000.000,-
      Imbalan Jasa maklon……………………………… Rp. 25.000.000,-
      Jawab :
      Atas pembayaran yang dilakukan PT. Terang kepada PT. Garmindo dipotong PPh Pasal 23 oleh PT. Terang sebesar:
2% x Rp. 25.000.000,- = Rp. 500.000,-
      Dalam hal tidak ada bukti pendukung atas rincian tagihan di atas maka jumlah bruto sebagai dasar pemotongan PPh Pasal 23 adalah sebesar Rp. 30.000.000,- sehingga PPh Pasal 23 yang harus dipotong oleh PT. Terang atas pembayaran kepada PT. Garmindo adalah sebesar: 2% x Rp. 30.000.000,- = Rp. 600.000,-





BAB III
PENUTUP

3.1.    KESIMPULAN
      Dari penjelasan materi di atas kita dapat mengambil kesimpulan bahwa pajak adalah  pembayaran yang dilakukan rakyat, dan merupakan sumber dana untuk pembangunan. Selain itu pajak berbeda dengan retribusi dan sumbangan. Dalam penetapan besaran pajak harus sesuai dengan pancasila. Pajak sendiri memiliki banyak jenis dan asas yang digunakan pun beraneka ragam. Tarif pajak berbeda tergantung dasar yang digunakan. Selain itu pemerintah telah memberikan batasan segala hal yang berkaitan dengan pajak di dalam UU perpajakan nasional yang merupakan modernisasi dari UU pajak jaman kolonial. Untuk menarik pajak yang ada di luar negeri pemerintah melakukan kerja sama dengan negara lain dalam perpajakan yang lazim diebut perjanjian traktat, yang hal tersebut diatur dalam HUKUM PAJAK INTERNASIONAL.

3.2.     SARAN
Setelah mempelajari materi ini hendaklah kita sadar akan kewajiban kita untuk membayar pajak, agar pembangunan dapat terus berjalan.


DAFTAR PUSTAKA
Agoes, Sukrisno dan Trisnawati Estralita, 2009. Akuntansi Perpajakan Edisi 2, Jakarta, Salemba Empat

Gunadi, 2004. Indonesia Taxation 2002; A Reference Guide, Jakarta: Multi Utama Publising

Harahap, Sofyan Syafri 2010. Analisis Kritis atas Laporan Keuangan Raja Grafindo, Jakarta 2010

Ikatan Akuntan Indonesia, 2009. Standar Akuntansi Keuangan per Juli 2009, Jakarta, Salemba Empat

Jusup,  Al Haryono, 2005. Dasar-dasar Akuntansi Jilid 1 edisi 6, Jakarta, Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Yayasan Keluarga Pahlawan Negara Yogyakarta

_____,____ Dasar-dasar Akuntansi Jilid 2 edisi 2, Jakarta, Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Yayasan Keluarga Pahlawan Negara Yogyakarta.

Republik Indonesia, Persandingan Susunan dalam Satu Naskah Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Beserta Aturan Pelaksanaannya

_____,____, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Pengasilan

Republik Indonesia, Undang-Undang dasar 1945, Jakarta 2009

Waluyo, 2009. Akuntansi Pajak, Jakarta, Salemba Empat

No comments:

Post a Comment

buku bimbingan

                                                                                                                                            ...

082126189815

Name

Email *

Message *