Thursday, October 29, 2020

MAKALAH PAMONG PRAJA

MAKALAH

KEPAMONGPRAJAAN

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Disusun Oleh:

 

NAMA         : RIZKY ALDA SYAHPUTRA 

NPP            : 24.0062

KELAS        : F-3

 

 

 

INSTITUT PEMERINTAHAN DALAM NEGERI

JATINANGOR

2014


KATA PENGANTAR

 

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena telah memberikan kekuatan dan kemampuan sehingga makalah ini bisa selesai tepat pada waktunya. Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Makalah Kepamongprajaan.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan mendukung dalam penyusunan makalah ini.

Penulis sadar makalah ini belum sempurna dan memerlukan berbagai perbaikan, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat dibutuhkan.

Akhir kata, semoga  makalah  ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan semua pihak.

 

Jatinangor,  Juli 2014

 

Penulis,

 

 

 

 

 

 

 

 

 


 

DAFTAR ISI

 

KATA PENGANTAR. i

DAFTAR ISI ii

BAB I PENDAHULUAN. 1

1.1 Latar Belakang. 1

1.2 Rumusan Masalah. 2

1.3 Tujuan. 2

BAB II LANDASAN TEORI 3

2.1 Pengertian Kapabalitas 3

2.2 Pengertian Pamong Praja. 3

2.3 Esensi Kepamongprajaan. 4

2.4 Kapabalitas Pamong Praja. 6

BAB III PEMBAHASAN. 8

3.1. Pengertian, Fungsi dan Wewenang Pamong Praja. 8

3.2. Kepemimpinan Pamong Praja di Indonesia. 9

3.3. Pamong Praja Sebagai Agent Of Change. 11

BAB IV PENUTUP. 18

4.1 Kesimpulan. 18

4.2 Saran. 19

DAFTAR PUSTAKA. 20

 

 

 

 


BAB 1

PENDAHULUAN

 

1.1 Latar Belakang

Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Dalam hidup, manusia selalu berinteraksi dengan sesama serta dengan lingkungan. Manusia hidup berkelompok baik dalam kelompok besar maupun dalam kelompok kecil. Hidup dalam kelompok tentulah tidak mudah. Apalagi seperti kebhinekaan yang ada di Indonesia. Untuk menciptakan kondisi kehidupan yang harmonis anggota masyarakat yang berbeda dari adat, agama, ras dan sebagainya haruslah saling menghormati dan menghargai untuk mencapai Indonesia lebih baik.

Karakteristik sosok kepemimpinan transformasional ini menjadi begitu penting karena kemajuan teknologi informasi plus peningkatan daya pikir prilaku masyarakat menyebabkan seorang pamong praja tidak boleh ketinggalan jaman dalam bekerja. Pemimpin atau pamong praja yang transformasional sudah menjadi  jawaban menghadapi globalisasi dan kompleksitas permasalahan dalam pembangunan masyarakat, oleh karena itu sosok pamong praja juga harus meningkatkan profesionalisme kerja agar lebih meningkatkan kerakteristik utama berupa pemberian pelayanan kepada masyarakat yang paripurna. Juga menjadikan koordinasi sebagai alat utama guna meningkatkan efisiensi pemberian pelayanan kepada masyarakat.

Pamong praja juga harus memiliki kemampuan dan pengetahuan yang bersifat umum (generalis) sekaligus juga memiliki keahlian khusus (spesialisasi) yang bisa diandalkan, memiliki semangat dan jiwa kewiraswastaan guna untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat seperti ulasan lugas David Osborn dalam bukunya Reinventing of  Government  (mewirausahakan birokrasi), memiliki kemampuan bernegosiasi dalam arti positif seperti mampu membuat perencanaan dan penjelasan lengkap untuk di sajikan kepada pemerintah atas agar program kerja yang di susun mendapatkan dukungan dana tambahan, mampu menjalankan kepemimpinan yang bersifat mengayomi, adil dan jujur serta berakhlak yang baik tanpa cacat, mengutamakan kualitas kerja dan kualitas pelayanan prima kepada masyarakat yang nyata dan bukan hanya di atas kertas, mempunyai strategic vision dalam mengantisipasi perubahan pemerintahan maupun masyarakat yang semakin cepat dan mengalami pasang surut artinya memiliki konsep bekerja yang jelas. Pamong praja harus mampu melahirkan gagasan-gagasan inovatif plus kreatifitas yang imaginatif dalam pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan yang diembannya.

 

 

1.2 Rumusan Masalah

Dari latar belakang masalah yang penulis uraikan, banyak permasalahan yang penulis dapatkan. Permasalahan tersebut antara lain:

1.    Bagaimana solusi krisis kepemimpinan di Indonesia?

2.    Apakah pamong praja mampu menjadi Agent Of Change?

 

1.3 Tujuan

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk lebih mengerti dan memahami bagaimana pamong praja itu sebenarnya.

1.2.2  Tujuan Khusus :

1.         Meningkatkan pengetahuan tentang pamong praja,

2.         Meningkatkan kemampuan dalam menganalisa permasalahan yang terjadi, dan

3.         Memenuhi tugas dari dosen.

 

 

 

 

 


 

BAB II

LANDASAN TEORI

 

2.1 Pengertian Kapabalitas

Kapabilitas adalah gambaran kemampuan diri si pemimpin baik intelektual maupun moral, yang dapat dilihat dari catatan jejak (track record) pendidikannya maupun jejak sikap dan perilakunya selama ini. Pemimpin yang baik tidak akan muncul secara tiba-tiba, tetapi melalui proses perjalanan yang panjang.

Ada  pula  pendapat  lain  menurut  Akhmat  Sudrajat menghubungkan kapabalitas dengan  kata  kecakapan. Setiap individu  memiliki  kecakapan  yang  berbeda-beda  dalam  melakukan suatu  tindakan.  Kecakapan  ini  mempengaruhi  potensi  yang  ada  dalam  diri  individu  tersebut.  Proses  pembelajaran  mengharuskan seseorang  mengoptimalkan  segala  kecakapan  yang  dimiliki.

 

2.2 Pengertian Pamong Praja

Pamong berasal dari bahasa Jawa yang kata dasarnya adalah among. Kata ini serupa dengan momong yang artinya mengasuh, misalnya seperti kata mengemong anak berarti mengasuh anak kecil. Kata momong, ngemong dan mengasuh merupakan kata yang multidimensional. Sedangkan praja adalah Pegawai Negeri, Pangreh Praja atau Pegawai Pemerintahan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Pamong Praja berarti Pegawai Negeri yang mengurus pemerintahan Negara.

Kepamongprajaan dengan demikian adalah suatu proses penyelenggaraan pemerintahan yang dilandasi oleh kepemimpinan atas dasar pengemongan, pengayoman, pelayanan dan pemberdayaan masyarakat, yang dilakukan oleh sekelompok orang/pegawai/pejabat yang disebut “Pamong Praja”.

Pamong praja adalah mereka yang menyelenggarakan pelayanan pemerintahan pada organisasi peerintahan lini kewilayahan yang dididik secara khusus yang meiliki kualifikasi kepemimpinan dan kemampuan manajerial untuk melayani masyarakat serta konsisten menjaga keutuhan bangsa dan negara, dengan bidang keahliannya sebagai generalis yang mengkoordinasikan cabang-cabang pemerintahan lainnya.

Menurut Gaspersz (1997 : 197) figur yang cocok untuk memenuhi tuntutan masyarakat seperti itu maka Pamong Praja harus mampu menjadi sosok pemimpin/ kepemimpinan transformasional, yang memiliki karakteristik : memiliki visi yang kuat; memiliki peta tindakan (map for action), memiliki kerangka untuk visi (frame for the vision), memiliki kepercayaan diri (self confidence), berani mengambil resiko, memiliki gaya pribadi inspirasional, memiliki kemampuan merangsang usaha-usaha individual, kemudian memiliki kemampuan mengidetifikasi manfaat-manfaat.

Pamong praja atau pangreh praja sebagaimana pengertian secara etimoligis tersebut di atas mungkin masih relevan pada saat jaman kolonial dan awal kemerdekaan di mana peran pemerintah masih sangat dominan, sistem pemerintahan yang sangats entralistik, serta paradigma pemerintahan  yang menempatkan pemerintah sebagai pusat kekuasasaan. Tapi ketika sistem pemerintahan berubah dan terjadi pergeseran paradigma pemerintahan dari sentralistik ke desentralistik, kewenangan untuk mengurus juga ada pada rakyat, rakyat lebih mandiri, maka dengan kondisi ini tentunya pengertian pamong praja sebagaimana awal berkembangnya sudah berbeda dengan kondisi saat ini, definsi pamong praja sesuai dengan konteks dan jamannya perlu ditinjau ulang.

 Jadi menurut penulis pamong praja adalah orang yang memiliki kemampuan lebih dalam memberikan pelayanan, pengayoman dan pemberdayaan kepada masyarakat, sehingga masyarakat bisa dan mampu menjadi lebih baik dan sejahtera sesuai dengan amanat UUD 1945.

 

2.3 Esensi Kepamongprajaan

Taliziduhu Ndraha (2010), mencoba mengelaborasi dan merumuskan esensi kepamongprajaan, bicara tentang kepamongprajaan, maka esensinya antara lain :

1.       Entitas (nama suatu entitas),

2.       Kualitas (perilaku yang terlihat dalam ruang pemerintahan),

3.       Nilai atau norma (kekatan yang mengikat), Fungsi kbhinekaan dan ketunggalikaan),

4.       Lembaga atau unit kerja,

5.       Struktur kepamongprajaan,

6.       Profesi pemerintahan,

7.       Pendidikan kepamongprajaan.

 Sejalan dengan pandangan Taliziduhu Ndaha di atas dan memperhatikan sejarah dan perkembangan pamong praja atau kepamongprajaan di Indonesia, maka setidaknya kepamongprajaan yang akan datang dapat di pandang sebagai :

1.    Profesi , yakni merupakan pekerjaan yang memerlukan kompetensi tertentu, yakni qualified leadership dan managerial administratif, sehingga diperlukan pendidikan khusus pamong praja.

2.    Struktur dalam pemerintahan daerah, yakni level pemerintahan pada lini kewilayahan, seperti lurah/kades, camat, bupati/walikota dan gubernur (termasuk satuan kerja perangkat Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat) yang melaksanakan fungsi pemerintahan umum dalam hal pembinaan wilayah, koordinasi pemerintahan, pengawasan pemerintahan dan residual pemerintahan;

3.    Institusi Pendidikan, yakni pendidikan yang khusus menyelenggarakan proses belajar mengajar yang outputnya dipersiapkan untuk menjadi pamong praja

4.    Perangkat nilai, yakni suatu rangkaian unit nilai-nilai yang menjadi enersi yang menguatkan semangat pengabdian aparat sebagai abdi Negara dan masyarakat sebagaimana dalam “Hasta Budhi Bhakti” sebagai pedoman atau guidance penyelenggara pemerintahan yang bersumber dari leluhur karena tumbuh dari tradisi pemerintahan yang pernah eksis;

5.    Instrumen keutuhan berbangsa, yakni keberadaan pamong praja tidak saja menjadi mesin birokrasi dalam pelayanan pemerintahan, tapi menjadi perekat Negara kesatuan Republik Indonesia;

 

 

 

 

2.4 Kapabalitas Pamong Praja

Kapabalitas yang harus dimiliki pamong praja :

a.    memiliki daya inovasi yang tinggi, karena ciri utama seorang pemimpin adalah inovasinya;

b.    memiliki keberanian untuk mengambil keputusan dan menanggung resiko dari keputusan yang diambilnya;

c.    memiliki sifat konsisten antara ucapan dan perbuatannya;

d.    memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi;

e.    memiliki rasa dan daya untuk melindungi bawahannya ataupun pengikutnya;

f.     memiliki rasa dan daya untuk mengembangkan bawahannya.

Dalam korps pamong praja dikenal juga adanya HASTA BUDI BHAKTI (KODE KEHORMATAN KORPS PAMONG PRAJA) sebagai landasan dan mencerminkan kapabalitas seorang praja dalam mengabdi bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Isi dari HASTA BUDI BHAKTI (KODE KEHORMATAN KORPS PAMONG PRAJA) adalah sebagai berikut :

1)    Korps Pamong Praja sebagai pengamal Pancasila dan pembela Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi pengayom dari seluruh rakyat tanpa membedakan golongan, aliran dan agama.

2)    Korps Pamong Praja berkewajiban memberikan petunjuk dan bimbingan kepada rakyat dalam pergaulan hidup bersama menuju ketertiban dan ketentraman umum.

3)    Korps Pamong Praja merupakan penyuluh dalam gelap dan penolong di dalam penderitaan bagi seluruh lapisan masyarakat sehingga tercapai ketenangan dan ketentraman lahir dan batin.

4)    Korps Pamong Praja membina semangat kehidupan masyarakat sehingga terjelma sifat dan sikap dinamis, konstruktif, korektif.

5)    Korps Pamong Praja bertugas menumbuhkan dan memupuk daya cipta rakyat menuju kearah kesejahteraan masyarakat.

6)    Korps Pamong Praja bertugas menampung dan mencarikan penyelesaian segala persoalan hidup dan kehidupan rakyat sehari-hari sehingga diperlukan sifat sabar, tekun, ulet dan bijaksana.

7)    Korps Pamong Praja menjadi penggerak segala kegiatan dalam masyarakat menuju tercapainya masyarakat yang adil dan makmur yang di ridhoi Tuhan Yang Maha Esa.

8)    Korps Pamong Praja harus bertindak tegas, adil dan jujur dalam memberantas kejahatan dan kemaksiatan tanpa pandang bulu, sebaliknya harus menjadi teladan dalam kebaikan dan kemaslahatan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


 

BAB III

PEMBAHASAN

 

 

3.1. Pengertian, Fungsi dan Wewenang Pamong Praja

Istilah Pamong Praja berasal dari dua kata yaitu ”pamong” dan ”praja”. Pamong mempunyai arti pengurus, pengasuh atau pendidik. Sedangkan Praja memiliki arti kota, negeri atau kerajaan. Sehingga secara harfiah Pamong Praja dapat di artikan sebagai pengurus kota.

Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2010 Tentang Satuan Polisi Pamong Praja memberikan definisi Polisi Pamong Praja yang tidak jauh berbeda dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah, yaitu aparatur pemerintah daerah yang melaksanakan tugas kepala daerah dalam memelihara dan menyelenggarakan ketentraman dan ketertiban umum, menegakkan peraturan daerah dan keputusan daerah.

Satuan Polisi Pamong Praja disebutkan juga dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah (PP) No. 6 Tahun 2010 Tentang Satuan Polisi Pamong Praja menyelenggarakan fungsi yaitu:

  1. Penyusunan program dan pelaksanaan ketentraman dan ketertiban umum, penegakan Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah;
  2. Pelaksanaan kebijakan pemeliharaan dan penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban umum di Daerah;
  3. Pelaksanaan kebijakan penegakan Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah;
  4. Pelaksanaan koordinasi pemeliharaan dan penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban umum serta penegakan Peraturan Daerah, Keputusan Kepala Daerah dengan aparat Kepolisian Negara, Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dan atau aparatur lainnya;
  5. Pengawasan terhadap masyarakat agar mematuhi dan mentaati Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah.

 

 

 

Berdasarkan Pasal 3 Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2010 Tentang Satuan Polisi Pamong Praja, Satuan Polisi Pamong Praja juga berwenang:

  1. Menertibkan dan menindak warga masyarakat atau badan hukum yang mengganggu ketentraman dan ketertiban umum;
  2. Melakukan pemeriksaan terhadap warga mayarakat atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas peraturan daerah dan keputusan kepala daerah;
  3. Melakukan tindakan represif non yustisial terhadap warga masyarakat atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas peraturan daerah dan keputusan kepala daerah.

 

3.2. Kepemimpinan Pamong Praja di Indonesia

Hingga saat ini, belum terlihat kepemimpinan di Indonesia yang mampu untuk menyelesaikan permasalahan yang ada di Indonesia. Dari beragam krisis yang ada, seperti krisis ekonomi, krisis politik, krisis sosial, krisis budaya hingga krisis agama. Selain itu, Kepemimpinan di Indonesia juga belum ada yang bisa untuk melepaskan persoalan kemiskinan, pengangguran, keterbelakangan, ketidak adilan, kekerasan, hingga penyalah gunaan kekuasaan yang seakan-akan tidak mau beranjak dari negri ini. Praktek KKN makin merajalela di negeri ini.

Saat ini negara membutuhkan Kepemimpinan dari seorang pemimpin yang berani, tegas, dan pandai untuk dapat menemukan solusi atas permasalahan yang dialami oleh “Rakyat”. Bukan dari seorang pemimpin yang loyo dan hanya bisa turut bersedih atas permasalahan yang di alami rakyat tetapi tidak bisa untuk memberikan solusi. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Ahli filsafat dan tokoh agama, Romo Franz magnis Suseno.

Didalam banyak kesempatan, sering kita dengar bahwa Negeri ini sudah kehilangan figur kepemimpinan, generasi yang ada sekarang tidak memiliki panutan yang bisa dijadikan sebagai sebuah gambaran citra diri yang di inginkannya.  Walaupun dalam  pelajaran sejarah atau pendidikan kewarganegaraa yang diberikan disekolah-sekolah, para siswa diberikan gambaran sejarah para pejuang bangsa, mulai dari zaman penjajahan, sampai perjuangan kemerdekaan, proklamasi dan seterusnya. tetapi usaha yang dilakukan oleh para pengajar itu tidak dapat mengisi figur pemimpinan bangsa didalam otak para generasi muda tersebut.

Jika kita mencoba merefleksikan kembali kepada perjalanan bangsa ini, dimana diawal berdirinya negara ini dipimpin oleh seorang tokoh yang sangat dicintai oleh rakyat dimasa pemerintahannya, yaitu Bung Karno. Bung Karno sangat berjasa dalam memperjuangkan berdirinya negara ini, mulai dari zaman perjuangan, proklamasi, dan turut serta merancang bentuk sistem pemerintahan. Memang ada pasang surut dalam perjuangannya, tetapi tidak dapat dinisbikan bahwa perjuangan yang dilakukan oleh Bung Karno sangat bermanfaat bagi bangsa ini. Kemudian citra Bung Karno luluh lantak karena adanya petaka Nasional yang ditandai oleh adanya gerakan G30S. setelah itu citra Bung Karno merosot, hancur lebur dengan berjalannya waktu, sebagai efek sampingan tindakan-tindakan reflesif pemerintahan orde baru.

Kemudian Bangsa ini memuja-muja Pak Harto sebagai sebuah figur yang membanggakan, sebagai seorang tokoh yang memiliki kemampuan yang luar biasa untuk mengisi kemerdekaan bangsa ini dalam bentuk pembangunan. seluruh aspek kehidupan di negeri ini mengalami kemajuan pesat selama pemerintahan Pak Harto, pembanguan fisik  terlihat dimana-mana. Tingkat pendidikan masyarakat juga semakin meningkat. tentu saja hal ini merupakan hasil perjuangan yang dilakukan dengan format tertentu dengan melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan untuk stabilitas nasional. Dengan adanya stabilitas, maka pembangunan dapat dilakukan dengan baik. Tentu saja ada efek-efek negatif dari  format pembangunan yang dilakukan Pak harto ini.  Dengan gerakan mahasiswa yang didorong oleh beberapa tokoh tokoh nasional, akhirnya Pak Harto mengundurkan diri.

Setelah pemilu 1999, Sidang Umum MPR mengangkat Gus Dur sebagai Presiden ke 4. tetapi tidak lama setelah itu, MPR yang sama menjatuhkan Gus Dur dengan alasan-alasan tertentu. Habibie dan Megawati tidak dapat disebut sebagai pemimpin nomor satu di negeri ini, karena keduanya hanya melanjutkan kepemimpinan presiden yang berhenti dan diberhentikan.

Pemilu 2004 dan pemilu 2009 yang merupakan pemilu dengan format pemilihan langsung terhadap kepala negara tersebut, telah menghasilkan SBY- JK ( pemilu 2004) dan SBY- Boediono (2009) sebagai pemimpin negeri ini. pelaksanaan pemiliu dilaksanakan dengan lancar, walaupun ada hambatan disana-sini, tetapi secara umum pemilu dilaksanakan dengan baik. SBY merupakan pemimpin yang masih dapat dibanggakan oleh bangsa Indonesia saat ini. sebagai presiden yang dihasilkan dari sebuah pemilihan langsung oleh rakyat, jadi sudah sepantasnyalah rakyat Indonesia memiliki rasa kecintaan kepada pemimpinanya.

 

3.3 Pamong Praja Sebagai Agent Of Change

Strategi pengembangan karakter kepemimpinan melalui basis rekrutmen pamong praja hari ini haruslah di evaluasi kembali. Pengembangan karakter kepemimpinan melalui aspek intelektualitas, emosional dan spiritual menjadi strategi yang tak terhindarkan. Mendidik pamong praja melalui penanaman kekuasaan yang bersifat de jure semata (law centris) tak menjawab dinamika perkembangan politik pemerintahan dewasa ini. Faktanya, kaderisasi elit dalam masyarakat melalui instrument partai politik maupun lembaga kemasyarakatan lainnya tampaknya mengalami kemacetan/kebuntuan (stagnan), bahkan berjalan tanpa proses yang memadai.

 Tingkat legitimasi terhadap kepemimpinan politik pemerintahan mengalami degradasi baik dari aspek legitimasi religi, elit maupun demokrasi. Hal ini ditandai oleh susutnya kader partai dengan cara merekrut artis dan birokrat dalam sejumlah kasus pemilihan anggota legislatif dan kepala daerah. Akibatnya, banyak lulusan APDN, IIP, STPDN dan IPDN yang sekalipun muda namun di nilai masyarakat mampu mengemban misi pemerintahan sebagai Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Ini menunjukkan bahwa akseptabilitas moral masyarakat (legitimasi) terhadap alumni mengalami perluasan tidak saja dalam konteks penegasan kekuasaan secara de jure, tetapi juga de fakto.

Asumsi ini di dukung oleh banyaknya pendaftaran kandidat Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dalam 5 tahun terakhir yang berasal dari kalangan alumni pendidikan Pamong Praja. Tabel dibawah ini menunjukkan kontribusi kader Pamong Praja aktif dan non aktif dalam jabatan publik pada 5 tahun terakhir ;

 

3.4. Peran Legitimasi, Kekuasaan dan Kepemimpinan Elit Pamong Praja Dalam Organisasi Pemerintah

Alasan pembahasan konsep ini karena legitimasi sebagai konsep yang tak terpisahkan dari kekuasaan, serta praktis berkaitan dengan tingkat akseptabilitas Pamong Praja di tengah masyarakat.  Oleh karena Pamong Praja memiliki posisi strategis di tengah masyarakat, maka penting untuk mengemukakan konsep legitimasi. Legitimasi menyangkut keyakinan moral yang menguatkan hak untuk memanfaatkan berbagai sumber daya. Secara umum legitimasi menunjuk pada penerimaan (akseptablitas) atau pengakuan pihak yang dipimpin. Kemerosotan legitimasi pemimpin pada akhirnya berkaitan dengan penolakan publik atas kepemimpinannya. Legitimasi merupakan sistem nilai yang dipercaya sehingga mengukuhkan tingkat penerimaan seseorang dalam masyarakat.  Suseno (1999) membaginya dalam bentuk legitimasi religius, eliter dan demokratis.  Kepemimpinan seseorang dapat saja diterima apalagi secara religi dapat menopang keyakinan spiritual orang banyak.  Legitimasi eliter merujuk pada seberapa besar tingkat penerimaan masyarakat terhadap aspek prakmatis yang dijanjikan. Sedangkan legitimasi demokratis berhubungan dengan proses dan hasil yang dicapai dalam mekanisme prosedural.

Selanjutnya, tanpa membahas birokrasi lebih dalam sebagai organisasi pemerintah paling konkrit (apalagi membahas idealisme Maximilliam Weber), elaborasi berikutnya menitikberatkan pada konsep kekuasaan dan kepemimpinan dalam organisasi pemerintah serta kontribusinya bagi kepemimpinan pemerintahan Indonesia. Oleh karena organisasi pemerintah adalah bentuk dari pelembagaan kekuasaan, maka penting membahas kekuasaan hingga ke level yang lebih formal yaitu kewenangan (authority). Menurut Friedman (1973), Lukes (1978) dan Raz (1989) terdapat enam alasan yang mendorong perlunya kekuasaan dikonstruksikan. Diantara alasan tersebut, terdapat pembedaan antara kekuasaan de fakto dan kekuasaan de jure (Peters,1967;Wich,1967). Kekuasaan de fakto terjadi manakala masyarakat mematuhi pemimpinnya dalam bentuk yang sesuai, sedangkan kekuasaan de jure ada tatkala pemimpin memiliki hak atas kepatuhan masyarakat dalam wilayah yang diatur melalui kelembagaan.  Banyak ahli yang mengacu pada kekuasaan sebagai penerapan kekuasaan yang dilegitimasi.  Ini dapat berarti bahwa paksaan dapat diterapkan kepada seseorang dengan kekuasaan de jure sekalipun orang yang dipaksa tidak merespon kekuasaan tersebut. Namun demikian, dapat saja perintah-perintah para pemimpin menghasilkan kepatuhan secara non-coersif.  Secara sederhana kekuasaan adalah konsep yang memiliki makna ganda, yaitu pengaruh dan kepatuhan. Agar pengaruh dapat dijalankan, maka kekuasaan mesti dilakukan dalam batas-batas normatif yang disepakati semua pihak (Friedman:1973).  Kepatuhan seseorang kepada pemimpinnya memiliki dua bentuk, yaitu kepatuhan tanpa pertanyaan (kharismatik-Weber), dan kepatuhan dengan kritis.  Dalam kaitan itu pemimpin setidaknya memiliki otoritas yang cukup, yaitu seperangkat kekuasaan yang terinstitusionalisasikan secara sah. Authority menunjuk pada kewenangan yang terlembagakan, memiliki batas dan ukuran-ukuran tertentu. Kewenangan pada hakekatnya merupakan kekuasaan.  Keduanya dibedakan dalam hal keabsahan.  Kewenangan merupakan kekuasaan yang memiliki keabsahan (formal power), sedangkan kekuasaan tidak selalu demikian.  Masih menurut Freidman, pembedaan dilakukan antara menjadi otoritas (being an authority) dan memegang otoritas (being in authority).  Menjadi otoritas berkaitan dengan masalah keyakinan, dimana kepatuhan terbentuk oleh klaim pengetahuan, kesadaran dan keahlian khusus.  Seseorang dipatuhi kemungkinan ia dipercaya memiliki pengetahuan yang luas, kesadaran yang tinggi atau memiliki keahlian yang luar biasa.  Kondisi ini menegaskan kekuasaan de fakto di tengah-tengah masyarakat.  Sedangkan memegang otoritas adalah masalah tempat seseorang dalam tatanan normatif dimana seseorang diakui memiliki posisi kekuasaan secara de jure. Para pemimpin traditional dan kharismatik menjadi otoritas melalui keyakinan dan nilai, sedangkan para pemimpin dalam sistem-sistem legal rasional memegang otoritas dalam wilayah tindakan tertentu saja.  Para pemimpin traditional biasanya berasal dari keturunan raja dan bangsawan yang memiliki otoritas de fakto. Mereka memiliki otoritas yang relatif luas dengan batasan otoritas penguasa yang lebih tinggi. Sedangkan para pegawai pemerintah (civil servant) memiliki otoritas de jure sesuai batasan normatif yang ditetapkan secara rasional-legalistik.  Rekrutmen basis kepemimpinan dengan memanfaatkan otoritas de fakto dalam masyarakat bangsawan akan semakin mengukuhkan efektifitas pemerintahan.  Sebab dengan demikian, maka kepemimpinan pemerintahan baik di level puncak maupun menengah akan memiliki otoritas de jure, sekaligus de fakto.  Dalam kasus di Papua, seorang camat yang telah lama bertugas dan menunjukkan predikat baik dimana secara de jure memperoleh otoritas dari pemerintah daerah, kadang sulit dimutasi bukan karena faktor lain, tetapi lebih disebabkan oleh tingkat akseptabilitas masyarakat yang tinggi secara de fakto.  Camat telah dianggap sebagai bagian dari komunitas mereka, bahkan dikukuhkan sebagai pemimpin mereka, sehingga memindahkan seorang camat sama saja dengan menggugurkan kepercayaan mereka terhadap pemerintah, atau bahkan melukai perasaan mereka.

Persoalannya, apakah Pamong Praja dengan posisinya dalam struktur kekuasaan adalah kelompok elit dalam organisasi pemerintahan? Berpijak pada Pareto dan Mosca[, terdapat elit yang memerintah (governing elite) yang terdiri dari individu-individu yang secara langsung atau tak langsung memainkan peran besar dalam pemerintahan selain elite yang tak memerintah (non governing elit). Mosca melengkapi konsep ini dengan menegaskan bahwa dalam masyarakat selalu terdapat kelas yang berkuasa dengan jumlah sedikit terhadap kelas yang dikuasai dengan jumlah yang banyak.

Dalam konteks Indonesia, Kartodihardjo (1981) menjelaskan bahwa terdapat dua jenis elite, yaitu elit modern dan elite traditional. Elite traditional dipengaruhi oleh tata struktur traditional, cenderung mempertahankan status quo dan memandang setiap perubahan sebagai ancaman. Sedangkan elite modern cenderung melancarkan perubahan. Penjelasan tersebut tampaknya akan menarik jika dikaitkan dengan uraian Van Niel (1984)  dan Sutherland (1983)  yang menggambarkan terbentuknya elit modern Hindia-Belanda dari politik birokrasi kolonial. Sutherland melihat tingginya pengaruh politik birokrasi kolonial Belanda terhadap elit birokrasi modern pada era postkolonial. Menurutnya, Hindia Belanda adalah negara modern pertama yang mewariskan tidak sedikit tradisi kelembagaan Indonesia pasca kemerdekaan. Birokrasi Indonesia adalah potret dari pengaruh sistem pemerintahan Belanda yang mengedepankan pendekatan sistem pemerintahan tidak langsung (indirect rule), dengan tetap mempertahankan simbol-simbol penguasa traditional. Hal ini tampak dengan cara memanfaatkan para pejabat pribumi dalam jabatan-jabatan birokrasi pemerintahan, karena dipandang lebih murah dibanding mendatangkan pejabat asli Belanda.  Atas dasar itu, Emmerson (1976)  menyimpulkan bahwa secara institusional kerajaan (keraton) dan birokrasi pribumi amat berpengaruh, selain pengalaman berpolitik di era volksraad serta kemunculan kaum terpelajar di wilayah politik-kritis.

Kepemimpinan pemerintahan di Indonesia adalah satu jenis kepemimpinan di bidang pemerintahan (Pamudji, 1985:1). Ini membedakan dengan jenis kepemimpinan pada organisasi lain seperti perusahaan.  Kepemimpinan pada dasarnya adalah gejala kelompok. Kepemimpinan adalah seni atau kemampuan mempengaruhi atau mengajak orang lain untuk melakukan apa saja (D.Eisenhower dalam Alfan,2010:50). Pemimpin (leader) melakukan tindakan-tindakan yang menunjukkan kepemimpinan (leadership). Memimpin pada hakekatnya melayani, bukan dilayani (Ndraha:1999). Ini merupakan pergeseran dari konsep steering (mengatur) sebagai refleksi dari sistem sentralistik kearah rowing (mengarahkan) sebagai wujud dari sistem demokrasi. Dewasa ini, kepemimpinan pemerintahan lebih diharapkan pada upaya untuk membangun harapan dan mimpi (make to hope and dreams), bukan sekedar memerintah dengan segenap otoritas yang melekat.  Hal ini didasarkan pada kepercayaan bahwa kepemimpinan merupakan sentral dari proses perubahan dalam masyarakat.  Oleh karena inti dari manajemen pemerintahan adalah kepemimpinan, maka kepemimpinan menjadi faktor esensial dalam pencapaian tujuan bersama.  Tujuan dimaksud secara umum diperjuangkan lewat organisasi istimewa, yaitu pemerintah (government).  Pemerintah adalah instrumen konkrit negara dalam upaya mewujudkan tujuan dimaksud. Demikian setidaknya menurut Samuel Edwar Finer (1974:3), pemerintah setidaknya menunjukkan kegiatan atau proses, masalah-masalah negara, para pejabat yang memerintah serta bagaimana cara atau metode dimana keseluruhan tujuan tadi dapat diwujudkan.  Akhirnya, kepemimpinan pemerintahan Indonesia merupakan refleksi dari keseluruhan indikasi diatas dalam rangka mewujudkan tujuan sebagaimana termuat dalam konstitusinya.

 

Kontribusi Pamong Praja Aktif dan Non Aktif Dalam Jabatan Politik 2005-2010 :

Provinsi

Kepala

Daerah

Wakil

Kepala Daerah

Anggota

DPRD

Jumlah

DKI Jakarta

-

-

-

-

Jawa Barat

3

1

-

4

Jawa Timur

-

-

-

-

Jawa Tengah

-

-

-

-

Sulawesi Selatan

3

2

5

10

Sulawesi Barat

1

1

3

5

Sulawesi Tengah

1

-

2

3

Sulawesi Tenggara

1

-

2

3

Sulawesi Utara

-

-

2

2

Gorontalo

-

-

3

3

Kalimantan Barat

1

4

4

9

Kalimantan Timur

1

1

2

4

Kalimantan Tengah

1

1

1

3

Kalimantan Selatan

-

1

2

3

Sumatera Barat

2

1

5

8

Sumatera Utara

3

1

-

4

Sumatera Selatan

1

-

-

1

Papua

2

-

-

-

Sumber: Di olah terbatas dari wawancara alumni di daerah, 2010

Apabila kita memperhatikan tabel di atas maka bisa dikatakan bahwa pamong praja bisa sebagai solusi ke depan untuk memperbaiki tantanan pemerintahan di Indonesia di tengah-tengah krisis kepemimpinan di negeri ini. Itulah hakikat kenapa IPDN hingga saat ini tetap dipertahankan eksistensinya. Gelontoran uang milyaran, hasil sumbangan pajak dari seluruh rakyat dari berbagai lapisan, dititipkan dan diamanahkan kepada  kita. Dengan harapan, diesok hari nanti, pemuda-pemudi pilihan ini mampu melaksanakan dharma bhaktinya untuk bumi pertiwi, mampu menjadi the real agent of change.

Jika kita ingin Indonesia bebas dari korupsi. Maka, teriakanlah perlawanan terhadap korupsi, jadilah garda terdepan untuk memeranginya, matikan segala sistem buruk yang memungkinkan hal busuk itu terjadi. Kita ingin Indonesia sejahtera? Maka praja IPDN memiliki prinsip bersama kita bekerja keras, bekerja cerdas, kita internalisasikan semangat ambeg paramartha yang tiap hari kita teriakan di lapangan upacara. “berjanji untuk mengedepankan kepentingan Negara dan masyarakat diatas kepentingan pribadi dan golongan”.

 

 

 

 

 

 

 

 


 

BAB IV

PENUTUP

 

4.1 Kesimpulan

Pemahaman terhadap Pamong Praja yang mensyaratkan kualifikasi kepemimpinan dan kemampuan managerial seperti dikemukakan Ndraha dalam Ismail (2010:8) cukup relevan dalam pemaknaan kekuasaan de fakto dan de jure. Kekuasaan de fakto (kharismatik, politis) dapat dikembangkan melalui pengembangan karakter kepemimpinan, sedangkan kekuasaan de jure (legal-rasional,authority) dapat di desain melalui pengembangan karakter managerial.

Oleh karena kita percaya bahwa penumbuhan karakter kepemimpinan (leadership) seyogyanya berhadapan dengan basis masyarakat terkecil hingga yang paling luas guna mendorong tumbuhnya kekuasaan de fakto di atas kekuasaan de jure. Itulah mengapa kita cenderung melarang alumni STPDN/IPDN setelah lulus menjadi ajudan kepala daerah, sekalipun penting untuk menumbuhkan karakter managerial pada waktunya. Tetapi dengan menempatkan alumni di level Desa, Kelurahan dan Kecamatan sebagai entitas pemerintahan paling bawah, mereka relatif berhadapan langsung dengan basis sosial yang dengan sendirinya dapat mengembangkan karakter kepemimpinan secara de fakto, sekaligus mengasah karakter managerial atas kekuasaan de jure.

Tingkat legitimasi terhadap kepemimpinan politik pemerintahan mengalami degradasi baik dari aspek legitimasi religi, elit maupun demokrasi. Hal ini ditandai oleh susutnya kader partai dengan cara merekrut artis dan birokrat dalam sejumlah kasus pemilihan anggota legislatif dan kepala daerah. Akibatnya, banyak lulusan APDN, IIP, STPDN dan IPDN yang sekalipun muda namun di nilai masyarakat mampu mengemban misi pemerintahan sebagai Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Ini menunjukkan bahwa akseptabilitas moral masyarakat (legitimasi) terhadap alumni mengalami perluasan tidak saja dalam konteks penegasan kekuasaan secara de jure, tetapi juga de fakto.

 

4.2 Saran

Pendidikan kepamongprajaan yang kita kenal bernama IPDN harus didukung sepenuhnya oleh pemerintah pusat melalui Kementerian Dalam Negeri, karena IPDN bisa dan mampu menjadi solusi dalam krisis kepemimpinan yang melanda Indonesia. Sistem pendidikan IPDN yang mengenal sistem JARLATSUH akan membentuk karakter seorang anak bangsa untuk menjadi pemimpin yang mampu menjawab permasalahan yang multidimensi.

Masyarakat juga harus bisa melupakan kekerasan yang pernah terjadi di IPDN.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


 

DAFTAR PUSTAKA

 

Anwar, Rosihan, 2008. Kenang-Kenangan Pangreh Praja, Balai Pustaka, Jakarta .

Ilham, Muhammad, 2008. Manajemen Strategis Peningkatan Mutu Pendidikan Kepamongprajaan, Indra Prahasta, Bandung

Labolo, Muhadam, 2010. Memahami Ilmu Pemerintahan, Rajawali Press, Jakarta,

Ndraha, Taliziduhu, 2005. Kybernologi, Jilid 1-2, Rineka Cipta, Jakarta

………………………….,2010. Nilai-Nilai Kepamongprajaan, Credencia, Jakarta

M Giroth, Lexie, 2004. Edukasi dan Profesi Pamong Praja, STPDN Press, Bandung

…………………….., 2009. Status dan Peran Pendidikan Pamong Praja Indonesia, Indra Prahasta, Bandung

Pamudji, 1985. Kepemimpinan Pemerintahan di Indonesia, Bina Aksara, Jakarta.

Suratno, Pardi, 2009. Sang Pemimpin Menurut Astabhrata, Jakarta

Suryaninggrat, Bayu, 1980. Pamong Praja dan Kepala Wilayah, Aksara Baru, Bandung

Tjokrowinoto, Meljarto, 2010. Birokrasi dalam Polemik, Pustaka Pelajar Unismuh, Malang

Varma, 2008. Politik Modern, Rajawali, Jakarta

 

No comments:

Post a Comment

buku bimbingan

                                                                                                                                            ...

082126189815

Name

Email *

Message *