MAKALAH
KEPAMONGPRAJAAN
Disusun
Oleh:
NAMA : RIZKY ALDA SYAHPUTRA
NPP : 24.0062
KELAS : F-3
INSTITUT PEMERINTAHAN DALAM
NEGERI
JATINANGOR
2014
KATA
PENGANTAR
Puji
syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena telah memberikan
kekuatan dan kemampuan sehingga makalah ini bisa selesai tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Makalah Kepamongprajaan.
Penulis
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan mendukung
dalam penyusunan makalah ini.
Penulis
sadar makalah ini belum sempurna dan memerlukan berbagai perbaikan, oleh karena
itu kritik dan saran yang membangun sangat dibutuhkan.
Akhir
kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan
semua pihak.
Jatinangor,
Juli 2014
Penulis,
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
3.1. Pengertian,
Fungsi dan Wewenang Pamong Praja
3.2. Kepemimpinan
Pamong Praja di Indonesia
3.3. Pamong Praja Sebagai Agent Of Change
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Manusia
adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Dalam hidup, manusia
selalu berinteraksi dengan sesama serta dengan lingkungan. Manusia hidup
berkelompok baik dalam kelompok besar maupun dalam kelompok kecil. Hidup dalam
kelompok tentulah tidak mudah. Apalagi seperti kebhinekaan yang ada di
Indonesia. Untuk menciptakan kondisi kehidupan yang harmonis anggota masyarakat
yang berbeda dari adat, agama, ras dan sebagainya haruslah saling menghormati
dan menghargai untuk mencapai Indonesia lebih baik.
Karakteristik
sosok kepemimpinan transformasional ini menjadi begitu penting karena kemajuan
teknologi informasi plus peningkatan daya pikir prilaku masyarakat menyebabkan
seorang pamong praja tidak boleh ketinggalan jaman dalam bekerja. Pemimpin atau
pamong praja yang transformasional sudah menjadi jawaban menghadapi globalisasi dan
kompleksitas permasalahan dalam pembangunan masyarakat, oleh karena itu sosok
pamong praja juga harus meningkatkan profesionalisme kerja agar lebih
meningkatkan kerakteristik utama berupa pemberian pelayanan kepada masyarakat
yang paripurna. Juga menjadikan koordinasi sebagai alat utama guna meningkatkan
efisiensi pemberian pelayanan kepada masyarakat.
Pamong praja
juga harus memiliki kemampuan dan pengetahuan yang bersifat umum (generalis)
sekaligus juga memiliki keahlian khusus (spesialisasi) yang bisa diandalkan,
memiliki semangat dan jiwa kewiraswastaan guna untuk meningkatkan kesejahteraan
rakyat seperti ulasan lugas David Osborn dalam bukunya Reinventing of Government (mewirausahakan birokrasi), memiliki
kemampuan bernegosiasi dalam arti positif seperti mampu membuat perencanaan dan
penjelasan lengkap untuk di sajikan kepada pemerintah atas agar program kerja
yang di susun mendapatkan dukungan dana tambahan, mampu menjalankan
kepemimpinan yang bersifat mengayomi, adil dan jujur serta berakhlak yang baik
tanpa cacat, mengutamakan kualitas kerja dan kualitas pelayanan prima kepada
masyarakat yang nyata dan bukan hanya di atas kertas, mempunyai strategic vision dalam mengantisipasi
perubahan pemerintahan maupun masyarakat yang semakin cepat dan mengalami
pasang surut artinya memiliki konsep bekerja yang jelas. Pamong praja harus
mampu melahirkan gagasan-gagasan inovatif plus kreatifitas yang imaginatif
dalam pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan yang diembannya.
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah yang
penulis uraikan, banyak permasalahan yang penulis dapatkan. Permasalahan
tersebut antara lain:
1. Bagaimana solusi krisis kepemimpinan di Indonesia?
2. Apakah
pamong praja mampu menjadi Agent Of Change?
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk lebih mengerti dan memahami bagaimana pamong praja itu sebenarnya.
1.2.2 Tujuan Khusus :
1.
Meningkatkan
pengetahuan tentang pamong praja,
2.
Meningkatkan
kemampuan dalam menganalisa permasalahan yang terjadi, dan
3.
Memenuhi
tugas dari dosen.
BAB II
LANDASAN
TEORI
2.1 Pengertian Kapabalitas
Kapabilitas adalah gambaran kemampuan diri si pemimpin
baik intelektual maupun moral, yang dapat dilihat dari catatan jejak (track
record) pendidikannya maupun jejak sikap dan perilakunya selama ini. Pemimpin
yang baik tidak akan muncul secara tiba-tiba, tetapi melalui proses perjalanan
yang panjang.
Ada pula pendapat lain menurut
Akhmat Sudrajat menghubungkan kapabalitas dengan kata
kecakapan. Setiap individu memiliki kecakapan yang
berbeda-beda dalam melakukan suatu tindakan.
Kecakapan ini mempengaruhi potensi yang ada
dalam diri individu tersebut. Proses
pembelajaran mengharuskan seseorang mengoptimalkan
segala kecakapan yang dimiliki.
2.2 Pengertian Pamong Praja
Pamong berasal dari bahasa Jawa yang
kata dasarnya adalah among. Kata ini serupa dengan momong yang
artinya mengasuh, misalnya seperti kata mengemong anak berarti mengasuh anak
kecil. Kata momong, ngemong dan mengasuh merupakan kata yang
multidimensional. Sedangkan praja adalah Pegawai Negeri, Pangreh Praja atau
Pegawai Pemerintahan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Pamong Praja berarti
Pegawai Negeri yang mengurus pemerintahan Negara.
Kepamongprajaan
dengan demikian adalah suatu proses penyelenggaraan pemerintahan yang dilandasi
oleh kepemimpinan atas dasar pengemongan, pengayoman, pelayanan dan pemberdayaan
masyarakat, yang dilakukan oleh sekelompok orang/pegawai/pejabat yang disebut “Pamong
Praja”.
Pamong praja adalah mereka yang
menyelenggarakan pelayanan pemerintahan pada organisasi peerintahan lini
kewilayahan yang dididik secara khusus yang meiliki kualifikasi kepemimpinan
dan kemampuan manajerial untuk melayani masyarakat serta konsisten menjaga
keutuhan bangsa dan negara, dengan bidang keahliannya sebagai generalis yang
mengkoordinasikan cabang-cabang pemerintahan lainnya.
Menurut Gaspersz (1997 : 197) figur
yang cocok untuk memenuhi tuntutan masyarakat seperti itu maka Pamong Praja
harus mampu menjadi sosok pemimpin/ kepemimpinan transformasional, yang
memiliki karakteristik : memiliki visi yang kuat; memiliki peta tindakan (map for action), memiliki kerangka
untuk visi (frame for the vision), memiliki
kepercayaan diri (self confidence), berani
mengambil resiko, memiliki gaya pribadi inspirasional, memiliki kemampuan
merangsang usaha-usaha individual, kemudian memiliki kemampuan mengidetifikasi
manfaat-manfaat.
Pamong praja atau pangreh praja
sebagaimana pengertian secara etimoligis tersebut di atas mungkin masih relevan
pada saat jaman kolonial dan awal kemerdekaan di mana peran pemerintah masih
sangat dominan, sistem pemerintahan yang sangats entralistik, serta paradigma
pemerintahan yang menempatkan pemerintah sebagai pusat kekuasasaan. Tapi
ketika sistem pemerintahan berubah dan terjadi pergeseran paradigma
pemerintahan dari sentralistik ke desentralistik, kewenangan untuk mengurus juga
ada pada rakyat, rakyat lebih mandiri, maka dengan kondisi ini tentunya
pengertian pamong praja sebagaimana awal berkembangnya sudah berbeda dengan
kondisi saat ini, definsi pamong praja sesuai dengan konteks dan jamannya perlu
ditinjau ulang.
Jadi menurut penulis pamong praja adalah orang
yang memiliki kemampuan lebih dalam memberikan pelayanan, pengayoman dan
pemberdayaan kepada masyarakat, sehingga masyarakat bisa dan mampu menjadi
lebih baik dan sejahtera sesuai dengan amanat UUD 1945.
2.3 Esensi Kepamongprajaan
Taliziduhu Ndraha (2010), mencoba
mengelaborasi dan merumuskan esensi kepamongprajaan, bicara tentang
kepamongprajaan, maka esensinya antara lain :
1.
Entitas (nama suatu entitas),
2.
Kualitas (perilaku yang terlihat
dalam ruang pemerintahan),
3.
Nilai atau norma (kekatan yang
mengikat), Fungsi kbhinekaan dan ketunggalikaan),
4.
Lembaga atau unit kerja,
5.
Struktur kepamongprajaan,
6.
Profesi pemerintahan,
7.
Pendidikan kepamongprajaan.
Sejalan dengan pandangan Taliziduhu Ndaha di
atas dan memperhatikan sejarah dan perkembangan pamong praja atau
kepamongprajaan di Indonesia, maka setidaknya kepamongprajaan yang akan datang
dapat di pandang sebagai :
1. Profesi , yakni merupakan pekerjaan
yang memerlukan kompetensi tertentu, yakni qualified leadership dan managerial
administratif, sehingga diperlukan pendidikan khusus pamong praja.
2. Struktur dalam pemerintahan daerah,
yakni level pemerintahan pada lini kewilayahan, seperti lurah/kades, camat,
bupati/walikota dan gubernur (termasuk satuan kerja perangkat Gubernur sebagai
wakil pemerintah pusat) yang melaksanakan fungsi pemerintahan umum dalam hal
pembinaan wilayah, koordinasi pemerintahan, pengawasan pemerintahan dan
residual pemerintahan;
3. Institusi Pendidikan, yakni
pendidikan yang khusus menyelenggarakan proses belajar mengajar yang outputnya
dipersiapkan untuk menjadi pamong praja
4. Perangkat nilai, yakni suatu
rangkaian unit nilai-nilai yang menjadi enersi yang menguatkan semangat
pengabdian aparat sebagai abdi Negara dan masyarakat sebagaimana dalam “Hasta
Budhi Bhakti” sebagai pedoman atau guidance penyelenggara pemerintahan
yang bersumber dari leluhur karena tumbuh dari tradisi pemerintahan yang pernah
eksis;
5. Instrumen keutuhan berbangsa, yakni
keberadaan pamong praja tidak saja menjadi mesin birokrasi dalam pelayanan
pemerintahan, tapi menjadi perekat Negara kesatuan Republik Indonesia;
2.4 Kapabalitas Pamong Praja
Kapabalitas yang harus dimiliki
pamong praja :
a. memiliki daya inovasi yang tinggi,
karena ciri utama seorang pemimpin adalah inovasinya;
b. memiliki keberanian untuk mengambil
keputusan dan menanggung resiko dari keputusan yang diambilnya;
c. memiliki sifat konsisten antara
ucapan dan perbuatannya;
d. memiliki rasa tanggung jawab yang
tinggi;
e. memiliki rasa dan daya untuk
melindungi bawahannya ataupun pengikutnya;
f. memiliki rasa dan daya untuk
mengembangkan bawahannya.
Dalam korps pamong praja dikenal
juga adanya HASTA BUDI BHAKTI (KODE
KEHORMATAN KORPS PAMONG PRAJA) sebagai landasan dan mencerminkan kapabalitas
seorang praja dalam mengabdi bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Isi dari
HASTA BUDI BHAKTI (KODE KEHORMATAN KORPS PAMONG PRAJA) adalah sebagai berikut :
1) Korps
Pamong Praja sebagai pengamal Pancasila dan pembela Negara Kesatuan Republik
Indonesia menjadi pengayom dari seluruh rakyat tanpa membedakan golongan,
aliran dan agama.
2) Korps
Pamong Praja berkewajiban memberikan petunjuk dan bimbingan kepada rakyat dalam
pergaulan hidup bersama menuju ketertiban dan ketentraman umum.
3) Korps
Pamong Praja merupakan penyuluh dalam gelap dan penolong di dalam penderitaan
bagi seluruh lapisan masyarakat sehingga tercapai ketenangan dan ketentraman
lahir dan batin.
4) Korps
Pamong Praja membina semangat kehidupan masyarakat sehingga terjelma sifat dan
sikap dinamis, konstruktif, korektif.
5) Korps
Pamong Praja bertugas menumbuhkan dan memupuk daya cipta rakyat menuju kearah
kesejahteraan masyarakat.
6) Korps
Pamong Praja bertugas menampung dan mencarikan penyelesaian segala persoalan
hidup dan kehidupan rakyat sehari-hari sehingga diperlukan sifat sabar, tekun,
ulet dan bijaksana.
7) Korps
Pamong Praja menjadi penggerak segala kegiatan dalam masyarakat menuju
tercapainya masyarakat yang adil dan makmur yang di ridhoi Tuhan Yang Maha Esa.
8) Korps
Pamong Praja harus bertindak tegas, adil dan jujur dalam memberantas kejahatan
dan kemaksiatan tanpa pandang bulu, sebaliknya harus menjadi teladan dalam
kebaikan dan kemaslahatan.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1. Pengertian, Fungsi dan Wewenang Pamong Praja
Istilah Pamong Praja berasal dari
dua kata yaitu ”pamong” dan ”praja”. Pamong mempunyai arti pengurus, pengasuh
atau pendidik. Sedangkan Praja memiliki arti kota, negeri atau kerajaan.
Sehingga secara harfiah Pamong Praja dapat di artikan sebagai pengurus kota.
Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun
2010 Tentang Satuan Polisi Pamong Praja memberikan definisi Polisi Pamong Praja
yang tidak jauh berbeda dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintah Daerah, yaitu aparatur pemerintah daerah yang melaksanakan tugas
kepala daerah dalam memelihara dan menyelenggarakan ketentraman dan ketertiban
umum, menegakkan peraturan daerah dan keputusan daerah.
Satuan Polisi Pamong Praja disebutkan juga dalam Pasal
3 Peraturan Pemerintah (PP) No. 6 Tahun 2010 Tentang Satuan Polisi Pamong Praja
menyelenggarakan fungsi yaitu:
- Penyusunan
program dan pelaksanaan ketentraman dan ketertiban umum, penegakan
Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah;
- Pelaksanaan
kebijakan pemeliharaan dan penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban umum
di Daerah;
- Pelaksanaan
kebijakan penegakan Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah;
- Pelaksanaan
koordinasi pemeliharaan dan penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban
umum serta penegakan Peraturan Daerah, Keputusan Kepala Daerah dengan
aparat Kepolisian Negara, Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dan atau
aparatur lainnya;
- Pengawasan
terhadap masyarakat agar mematuhi dan mentaati Peraturan Daerah dan
Keputusan Kepala Daerah.
Berdasarkan Pasal 3 Peraturan
Pemerintah No. 6 Tahun 2010 Tentang Satuan Polisi Pamong Praja, Satuan Polisi
Pamong Praja juga berwenang:
- Menertibkan
dan menindak warga masyarakat atau badan hukum yang mengganggu ketentraman
dan ketertiban umum;
- Melakukan
pemeriksaan terhadap warga mayarakat atau badan hukum yang melakukan
pelanggaran atas peraturan daerah dan keputusan kepala daerah;
- Melakukan
tindakan represif non yustisial terhadap warga masyarakat atau badan hukum
yang melakukan pelanggaran atas peraturan daerah dan keputusan kepala
daerah.
3.2. Kepemimpinan Pamong Praja di Indonesia
Hingga saat ini, belum terlihat
kepemimpinan di Indonesia yang mampu untuk menyelesaikan permasalahan yang ada
di Indonesia. Dari beragam krisis yang ada, seperti krisis ekonomi, krisis
politik, krisis sosial, krisis budaya hingga krisis agama. Selain itu,
Kepemimpinan di Indonesia juga belum ada yang bisa untuk melepaskan persoalan
kemiskinan, pengangguran, keterbelakangan, ketidak adilan, kekerasan, hingga
penyalah gunaan kekuasaan yang seakan-akan tidak mau beranjak dari negri ini.
Praktek KKN makin merajalela di negeri ini.
Saat ini negara membutuhkan
Kepemimpinan dari seorang pemimpin yang berani, tegas, dan pandai untuk dapat
menemukan solusi atas permasalahan yang dialami oleh “Rakyat”. Bukan dari
seorang pemimpin yang loyo dan hanya bisa turut bersedih atas permasalahan yang
di alami rakyat tetapi tidak bisa untuk memberikan solusi. Hal ini seperti yang
diungkapkan oleh Ahli filsafat dan tokoh agama, Romo Franz magnis Suseno.
Didalam banyak kesempatan, sering
kita dengar bahwa Negeri ini sudah kehilangan figur kepemimpinan, generasi yang
ada sekarang tidak memiliki panutan yang bisa dijadikan sebagai sebuah gambaran
citra diri yang di inginkannya. Walaupun dalam pelajaran sejarah
atau pendidikan kewarganegaraa yang diberikan disekolah-sekolah, para siswa
diberikan gambaran sejarah para pejuang bangsa, mulai dari zaman penjajahan,
sampai perjuangan kemerdekaan, proklamasi dan seterusnya. tetapi usaha yang
dilakukan oleh para pengajar itu tidak dapat mengisi figur pemimpinan bangsa
didalam otak para generasi muda tersebut.
Jika kita mencoba merefleksikan
kembali kepada perjalanan bangsa ini, dimana diawal berdirinya negara ini
dipimpin oleh seorang tokoh yang sangat dicintai oleh rakyat dimasa
pemerintahannya, yaitu Bung Karno. Bung Karno sangat berjasa dalam
memperjuangkan berdirinya negara ini, mulai dari zaman perjuangan, proklamasi,
dan turut serta merancang bentuk sistem pemerintahan. Memang ada pasang surut
dalam perjuangannya, tetapi tidak dapat dinisbikan bahwa perjuangan yang
dilakukan oleh Bung Karno sangat bermanfaat bagi bangsa ini. Kemudian citra
Bung Karno luluh lantak karena adanya petaka Nasional yang ditandai oleh adanya
gerakan G30S. setelah itu citra Bung Karno merosot, hancur lebur dengan
berjalannya waktu, sebagai efek sampingan tindakan-tindakan reflesif
pemerintahan orde baru.
Kemudian Bangsa ini memuja-muja Pak
Harto sebagai sebuah figur yang membanggakan, sebagai seorang tokoh yang
memiliki kemampuan yang luar biasa untuk mengisi kemerdekaan bangsa ini dalam
bentuk pembangunan. seluruh aspek kehidupan di negeri ini mengalami kemajuan
pesat selama pemerintahan Pak Harto, pembanguan fisik terlihat
dimana-mana. Tingkat pendidikan masyarakat juga semakin meningkat. tentu saja
hal ini merupakan hasil perjuangan yang dilakukan dengan format tertentu dengan
melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan untuk stabilitas nasional. Dengan
adanya stabilitas, maka pembangunan dapat dilakukan dengan baik. Tentu saja ada
efek-efek negatif dari format pembangunan yang dilakukan Pak harto
ini. Dengan gerakan mahasiswa yang didorong oleh beberapa tokoh tokoh
nasional, akhirnya Pak Harto mengundurkan diri.
Setelah pemilu 1999, Sidang Umum MPR
mengangkat Gus Dur sebagai Presiden ke 4. tetapi tidak lama setelah itu, MPR
yang sama menjatuhkan Gus Dur dengan alasan-alasan tertentu. Habibie dan
Megawati tidak dapat disebut sebagai pemimpin nomor satu di negeri ini, karena
keduanya hanya melanjutkan kepemimpinan presiden yang berhenti dan
diberhentikan.
Pemilu 2004 dan pemilu 2009 yang
merupakan pemilu dengan format pemilihan langsung terhadap kepala negara
tersebut, telah menghasilkan SBY- JK ( pemilu 2004) dan SBY- Boediono (2009)
sebagai pemimpin negeri ini. pelaksanaan pemiliu dilaksanakan dengan lancar,
walaupun ada hambatan disana-sini, tetapi secara umum pemilu dilaksanakan
dengan baik. SBY merupakan pemimpin yang masih dapat dibanggakan oleh bangsa
Indonesia saat ini. sebagai presiden yang dihasilkan dari sebuah pemilihan langsung
oleh rakyat, jadi sudah sepantasnyalah rakyat Indonesia memiliki rasa kecintaan
kepada pemimpinanya.
3.3 Pamong
Praja Sebagai Agent Of Change
Strategi
pengembangan karakter kepemimpinan melalui basis rekrutmen pamong praja hari
ini haruslah di evaluasi kembali. Pengembangan karakter kepemimpinan melalui
aspek intelektualitas, emosional dan spiritual menjadi strategi
yang tak terhindarkan. Mendidik pamong praja melalui penanaman kekuasaan yang
bersifat de jure semata (law centris) tak menjawab dinamika
perkembangan politik pemerintahan dewasa ini. Faktanya, kaderisasi elit dalam
masyarakat melalui instrument partai politik maupun lembaga kemasyarakatan
lainnya tampaknya mengalami kemacetan/kebuntuan (stagnan), bahkan
berjalan tanpa proses yang memadai.
Tingkat legitimasi terhadap kepemimpinan
politik pemerintahan mengalami degradasi baik dari aspek legitimasi
religi, elit maupun demokrasi. Hal ini ditandai oleh susutnya kader partai
dengan cara merekrut artis dan birokrat dalam sejumlah kasus pemilihan anggota
legislatif dan kepala daerah. Akibatnya, banyak lulusan APDN, IIP, STPDN dan
IPDN yang sekalipun muda namun di nilai masyarakat mampu mengemban misi
pemerintahan sebagai Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Ini menunjukkan
bahwa akseptabilitas moral masyarakat (legitimasi) terhadap alumni
mengalami perluasan tidak saja dalam konteks penegasan kekuasaan secara de
jure, tetapi juga de fakto.
Asumsi ini
di dukung oleh banyaknya pendaftaran kandidat Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah dalam 5 tahun terakhir yang berasal dari kalangan alumni pendidikan
Pamong Praja. Tabel dibawah ini menunjukkan kontribusi kader Pamong Praja aktif
dan non aktif dalam jabatan publik pada 5 tahun terakhir ;
3.4. Peran Legitimasi, Kekuasaan
dan Kepemimpinan Elit Pamong Praja Dalam Organisasi Pemerintah
Alasan
pembahasan konsep ini karena legitimasi sebagai konsep yang tak terpisahkan
dari kekuasaan, serta praktis berkaitan dengan tingkat akseptabilitas Pamong
Praja di tengah masyarakat. Oleh karena Pamong Praja memiliki posisi
strategis di tengah masyarakat, maka penting untuk mengemukakan konsep
legitimasi. Legitimasi menyangkut keyakinan moral yang menguatkan hak untuk
memanfaatkan berbagai sumber daya. Secara umum legitimasi menunjuk pada
penerimaan (akseptablitas) atau pengakuan pihak
yang dipimpin. Kemerosotan legitimasi pemimpin pada akhirnya berkaitan dengan
penolakan publik atas kepemimpinannya. Legitimasi merupakan sistem nilai yang
dipercaya sehingga mengukuhkan tingkat penerimaan seseorang dalam
masyarakat. Suseno (1999) membaginya dalam bentuk legitimasi religius,
eliter dan demokratis. Kepemimpinan seseorang dapat saja diterima apalagi
secara religi dapat menopang keyakinan spiritual orang banyak. Legitimasi
eliter merujuk pada seberapa besar tingkat penerimaan masyarakat terhadap aspek
prakmatis yang dijanjikan. Sedangkan legitimasi demokratis berhubungan dengan
proses dan hasil yang dicapai dalam mekanisme prosedural.
Selanjutnya,
tanpa membahas birokrasi lebih dalam sebagai organisasi pemerintah paling
konkrit (apalagi membahas idealisme Maximilliam Weber), elaborasi berikutnya
menitikberatkan pada konsep kekuasaan dan kepemimpinan dalam organisasi
pemerintah serta kontribusinya bagi kepemimpinan pemerintahan Indonesia. Oleh
karena organisasi pemerintah adalah bentuk dari pelembagaan kekuasaan, maka
penting membahas kekuasaan hingga ke level yang lebih formal yaitu kewenangan (authority). Menurut Friedman (1973), Lukes (1978) dan Raz
(1989) terdapat enam alasan yang mendorong perlunya kekuasaan dikonstruksikan.
Diantara alasan tersebut, terdapat pembedaan antara kekuasaan de fakto dan kekuasaan de jure
(Peters,1967;Wich,1967). Kekuasaan de fakto terjadi
manakala masyarakat mematuhi pemimpinnya dalam bentuk yang sesuai, sedangkan
kekuasaan de jure ada tatkala pemimpin memiliki
hak atas kepatuhan masyarakat dalam wilayah yang diatur melalui kelembagaan.
Banyak ahli yang mengacu pada kekuasaan sebagai penerapan kekuasaan yang dilegitimasi. Ini dapat
berarti bahwa paksaan dapat diterapkan kepada seseorang dengan kekuasaan de jure sekalipun orang yang dipaksa tidak merespon
kekuasaan tersebut. Namun demikian, dapat saja perintah-perintah para pemimpin
menghasilkan kepatuhan secara non-coersif.
Secara sederhana kekuasaan adalah konsep yang memiliki makna ganda, yaitu pengaruh dan kepatuhan. Agar
pengaruh dapat dijalankan, maka kekuasaan mesti dilakukan dalam batas-batas
normatif yang disepakati semua pihak (Friedman:1973). Kepatuhan seseorang
kepada pemimpinnya memiliki dua bentuk, yaitu kepatuhan tanpa pertanyaan (kharismatik-Weber), dan kepatuhan dengan kritis.
Dalam kaitan itu pemimpin setidaknya memiliki otoritas yang cukup, yaitu
seperangkat kekuasaan yang terinstitusionalisasikan secara sah. Authority menunjuk pada kewenangan yang terlembagakan,
memiliki batas dan ukuran-ukuran tertentu. Kewenangan pada hakekatnya merupakan
kekuasaan. Keduanya dibedakan dalam hal keabsahan. Kewenangan merupakan
kekuasaan yang memiliki keabsahan (formal power),
sedangkan kekuasaan tidak selalu demikian. Masih menurut Freidman,
pembedaan dilakukan antara menjadi otoritas (being an authority)
dan memegang otoritas (being in authority).
Menjadi otoritas berkaitan dengan masalah keyakinan, dimana kepatuhan terbentuk
oleh klaim pengetahuan, kesadaran dan keahlian khusus. Seseorang dipatuhi
kemungkinan ia dipercaya memiliki pengetahuan yang luas, kesadaran yang tinggi
atau memiliki keahlian yang luar biasa. Kondisi ini menegaskan kekuasaan de fakto di tengah-tengah masyarakat. Sedangkan
memegang otoritas adalah masalah tempat seseorang dalam tatanan normatif dimana
seseorang diakui memiliki posisi kekuasaan secara de jure.
Para pemimpin traditional dan kharismatik menjadi otoritas melalui keyakinan
dan nilai, sedangkan para pemimpin dalam sistem-sistem legal rasional memegang
otoritas dalam wilayah tindakan tertentu saja. Para pemimpin traditional
biasanya berasal dari keturunan raja dan bangsawan yang memiliki otoritas de fakto. Mereka memiliki otoritas yang relatif luas dengan
batasan otoritas penguasa yang lebih tinggi. Sedangkan para pegawai pemerintah
(civil servant) memiliki otoritas de jure sesuai batasan normatif yang ditetapkan secara rasional-legalistik. Rekrutmen basis kepemimpinan
dengan memanfaatkan otoritas de fakto dalam
masyarakat bangsawan akan semakin mengukuhkan efektifitas pemerintahan.
Sebab dengan demikian, maka kepemimpinan pemerintahan baik di level puncak
maupun menengah akan memiliki otoritas de jure, sekaligus de fakto. Dalam kasus di Papua, seorang camat yang
telah lama bertugas dan menunjukkan predikat baik dimana secara de jure memperoleh otoritas dari pemerintah daerah, kadang
sulit dimutasi bukan karena faktor lain, tetapi lebih disebabkan oleh tingkat
akseptabilitas masyarakat yang tinggi secara de fakto. Camat
telah dianggap sebagai bagian dari komunitas mereka, bahkan dikukuhkan sebagai
pemimpin mereka, sehingga memindahkan seorang camat sama saja dengan
menggugurkan kepercayaan mereka terhadap pemerintah, atau bahkan melukai
perasaan mereka.
Persoalannya,
apakah Pamong Praja dengan posisinya dalam struktur kekuasaan adalah kelompok
elit dalam organisasi pemerintahan? Berpijak pada Pareto dan Mosca[, terdapat elit yang
memerintah (governing elite) yang terdiri dari
individu-individu yang secara langsung atau tak langsung memainkan peran besar
dalam pemerintahan selain elite yang tak memerintah (non governing elit). Mosca melengkapi konsep ini dengan
menegaskan bahwa dalam masyarakat selalu terdapat kelas yang berkuasa dengan
jumlah sedikit terhadap kelas yang dikuasai dengan jumlah yang banyak.
Dalam
konteks Indonesia, Kartodihardjo (1981) menjelaskan bahwa terdapat dua jenis
elite, yaitu elit modern dan elite traditional. Elite traditional dipengaruhi oleh tata
struktur traditional, cenderung mempertahankan status quo
dan memandang setiap perubahan sebagai ancaman. Sedangkan elite modern
cenderung melancarkan perubahan. Penjelasan tersebut tampaknya akan menarik
jika dikaitkan dengan uraian Van Niel (1984)
dan Sutherland (1983) yang
menggambarkan terbentuknya elit modern Hindia-Belanda dari politik birokrasi
kolonial. Sutherland melihat tingginya pengaruh politik birokrasi kolonial
Belanda terhadap elit birokrasi modern pada era postkolonial.
Menurutnya, Hindia Belanda adalah negara modern pertama yang mewariskan tidak
sedikit tradisi kelembagaan Indonesia pasca kemerdekaan. Birokrasi Indonesia
adalah potret dari pengaruh sistem pemerintahan Belanda yang mengedepankan
pendekatan sistem pemerintahan tidak langsung (indirect
rule), dengan tetap mempertahankan simbol-simbol penguasa
traditional. Hal ini tampak dengan cara memanfaatkan para pejabat pribumi dalam
jabatan-jabatan birokrasi pemerintahan, karena dipandang lebih murah dibanding
mendatangkan pejabat asli Belanda. Atas dasar itu, Emmerson (1976) menyimpulkan bahwa secara institusional
kerajaan (keraton) dan birokrasi pribumi amat berpengaruh, selain pengalaman
berpolitik di era volksraad serta
kemunculan kaum terpelajar di wilayah politik-kritis.
Kepemimpinan
pemerintahan di Indonesia adalah satu jenis kepemimpinan di bidang pemerintahan
(Pamudji, 1985:1). Ini membedakan dengan jenis kepemimpinan pada organisasi
lain seperti perusahaan. Kepemimpinan pada dasarnya adalah gejala
kelompok. Kepemimpinan adalah seni atau kemampuan mempengaruhi atau mengajak
orang lain untuk melakukan apa saja (D.Eisenhower dalam Alfan,2010:50).
Pemimpin (leader) melakukan tindakan-tindakan
yang menunjukkan kepemimpinan (leadership). Memimpin
pada hakekatnya melayani, bukan dilayani (Ndraha:1999). Ini merupakan
pergeseran dari konsep steering (mengatur)
sebagai refleksi dari sistem sentralistik kearah rowing
(mengarahkan) sebagai wujud dari sistem demokrasi. Dewasa ini, kepemimpinan
pemerintahan lebih diharapkan pada upaya untuk membangun harapan dan mimpi (make to hope and dreams), bukan sekedar memerintah dengan
segenap otoritas yang melekat. Hal ini didasarkan pada kepercayaan bahwa
kepemimpinan merupakan sentral dari proses perubahan dalam masyarakat.
Oleh karena inti dari manajemen pemerintahan adalah kepemimpinan, maka kepemimpinan
menjadi faktor esensial dalam pencapaian tujuan bersama. Tujuan dimaksud
secara umum diperjuangkan lewat organisasi istimewa, yaitu pemerintah (government). Pemerintah adalah instrumen konkrit
negara dalam upaya mewujudkan tujuan dimaksud. Demikian setidaknya menurut
Samuel Edwar Finer (1974:3), pemerintah setidaknya menunjukkan kegiatan atau
proses, masalah-masalah negara, para pejabat yang memerintah serta bagaimana
cara atau metode dimana keseluruhan tujuan tadi dapat diwujudkan.
Akhirnya, kepemimpinan pemerintahan Indonesia merupakan refleksi dari
keseluruhan indikasi diatas dalam rangka mewujudkan tujuan sebagaimana termuat
dalam konstitusinya.
Kontribusi Pamong Praja Aktif dan
Non Aktif Dalam Jabatan Politik 2005-2010 :
Provinsi |
Kepala Daerah |
Wakil Kepala Daerah |
Anggota DPRD |
Jumlah |
DKI Jakarta |
- |
- |
- |
- |
Jawa Barat |
3 |
1 |
- |
4 |
Jawa Timur |
- |
- |
- |
- |
Jawa Tengah |
- |
- |
- |
- |
Sulawesi Selatan |
3 |
2 |
5 |
10 |
Sulawesi Barat |
1 |
1 |
3 |
5 |
Sulawesi Tengah |
1 |
- |
2 |
3 |
Sulawesi Tenggara |
1 |
- |
2 |
3 |
Sulawesi Utara |
- |
- |
2 |
2 |
Gorontalo |
- |
- |
3 |
3 |
Kalimantan Barat |
1 |
4 |
4 |
9 |
Kalimantan Timur |
1 |
1 |
2 |
4 |
Kalimantan Tengah |
1 |
1 |
1 |
3 |
Kalimantan Selatan |
- |
1 |
2 |
3 |
Sumatera Barat |
2 |
1 |
5 |
8 |
Sumatera Utara |
3 |
1 |
- |
4 |
Sumatera Selatan |
1 |
- |
- |
1 |
Papua |
2 |
- |
- |
- |
Sumber: Di olah terbatas dari
wawancara alumni di daerah, 2010
Apabila kita memperhatikan tabel di
atas maka bisa dikatakan bahwa pamong praja bisa sebagai solusi ke depan untuk
memperbaiki tantanan pemerintahan di Indonesia di tengah-tengah krisis
kepemimpinan di negeri ini. Itulah hakikat kenapa IPDN hingga saat ini tetap
dipertahankan eksistensinya. Gelontoran uang milyaran, hasil sumbangan pajak
dari seluruh rakyat dari berbagai lapisan, dititipkan dan diamanahkan kepada
kita. Dengan harapan, diesok hari nanti, pemuda-pemudi pilihan ini mampu
melaksanakan dharma bhaktinya untuk bumi pertiwi, mampu menjadi the real
agent of change.
Jika kita ingin Indonesia bebas dari
korupsi. Maka, teriakanlah perlawanan terhadap korupsi, jadilah garda terdepan
untuk memeranginya, matikan segala sistem buruk yang memungkinkan hal busuk itu
terjadi. Kita ingin Indonesia sejahtera? Maka praja IPDN memiliki prinsip
bersama kita bekerja keras, bekerja cerdas, kita internalisasikan semangat ambeg
paramartha yang tiap hari kita teriakan di lapangan upacara. “berjanji
untuk mengedepankan kepentingan Negara dan masyarakat diatas kepentingan
pribadi dan golongan”.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Pemahaman
terhadap Pamong Praja yang mensyaratkan kualifikasi kepemimpinan dan kemampuan managerial seperti dikemukakan Ndraha dalam
Ismail (2010:8) cukup relevan dalam pemaknaan kekuasaan de fakto dan de
jure. Kekuasaan de fakto (kharismatik, politis) dapat dikembangkan
melalui pengembangan karakter kepemimpinan, sedangkan kekuasaan de jure (legal-rasional,authority)
dapat di desain melalui pengembangan karakter managerial.
Oleh karena
kita percaya bahwa penumbuhan karakter kepemimpinan (leadership)
seyogyanya berhadapan dengan basis masyarakat terkecil hingga yang paling luas
guna mendorong tumbuhnya kekuasaan de fakto di atas kekuasaan de jure.
Itulah mengapa kita cenderung melarang alumni STPDN/IPDN setelah lulus menjadi
ajudan kepala daerah, sekalipun penting untuk menumbuhkan karakter managerial
pada waktunya. Tetapi dengan menempatkan alumni di level Desa, Kelurahan dan
Kecamatan sebagai entitas pemerintahan paling bawah, mereka relatif berhadapan
langsung dengan basis sosial yang dengan sendirinya dapat mengembangkan
karakter kepemimpinan secara de fakto, sekaligus mengasah karakter
managerial atas kekuasaan de jure.
Tingkat
legitimasi terhadap kepemimpinan politik pemerintahan mengalami degradasi baik
dari aspek legitimasi religi, elit maupun demokrasi. Hal ini ditandai oleh
susutnya kader partai dengan cara merekrut artis dan birokrat dalam sejumlah
kasus pemilihan anggota legislatif dan kepala daerah. Akibatnya, banyak lulusan
APDN, IIP, STPDN dan IPDN yang sekalipun muda namun di nilai masyarakat mampu
mengemban misi pemerintahan sebagai Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Ini
menunjukkan bahwa akseptabilitas moral masyarakat (legitimasi) terhadap
alumni mengalami perluasan tidak saja dalam konteks penegasan kekuasaan secara de
jure, tetapi juga de fakto.
4.2 Saran
Pendidikan kepamongprajaan yang kita
kenal bernama IPDN harus didukung sepenuhnya oleh pemerintah pusat melalui
Kementerian Dalam Negeri, karena IPDN bisa dan mampu menjadi solusi dalam
krisis kepemimpinan yang melanda Indonesia. Sistem pendidikan IPDN yang
mengenal sistem JARLATSUH akan membentuk karakter seorang anak bangsa untuk
menjadi pemimpin yang mampu menjawab permasalahan yang multidimensi.
Masyarakat juga harus bisa melupakan
kekerasan yang pernah terjadi di IPDN.
DAFTAR
PUSTAKA
Anwar, Rosihan, 2008. Kenang-Kenangan Pangreh Praja,
Balai Pustaka, Jakarta .
Ilham, Muhammad, 2008. Manajemen Strategis
Peningkatan Mutu Pendidikan Kepamongprajaan, Indra Prahasta, Bandung
Labolo, Muhadam, 2010. Memahami Ilmu Pemerintahan,
Rajawali Press, Jakarta,
Ndraha, Taliziduhu, 2005. Kybernologi, Jilid
1-2, Rineka Cipta, Jakarta
………………………….,2010. Nilai-Nilai Kepamongprajaan,
Credencia, Jakarta
M Giroth, Lexie, 2004. Edukasi dan Profesi Pamong
Praja, STPDN Press, Bandung
…………………….., 2009. Status dan Peran Pendidikan
Pamong Praja Indonesia, Indra Prahasta, Bandung
Pamudji, 1985. Kepemimpinan Pemerintahan di
Indonesia, Bina Aksara, Jakarta.
Suratno, Pardi, 2009. Sang Pemimpin Menurut
Astabhrata, Jakarta
Suryaninggrat, Bayu, 1980. Pamong Praja dan Kepala
Wilayah, Aksara Baru, Bandung
Tjokrowinoto, Meljarto, 2010. Birokrasi dalam
Polemik, Pustaka Pelajar Unismuh, Malang
Varma, 2008. Politik Modern, Rajawali, Jakarta
No comments:
Post a Comment