TUGAS MAKALAH
SISTEM HUKUM
IDONESIA
“SISTEM HUKUM
INDONESIA SEBELUM DAN SESUDAH KEMERDEKAAN”
DISUSUN OLEH :
LAURA SANDRA DEWI
24.0852
D-2
KATA PENGANTAR
Segala puji dan
syukur saya panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa, karena atas berkat dan
limpahan rahmatNyalah maka saya boleh menyelesaikan sebuah makalah dengan tepat waktu.
Berikut ini
penulis mempersembahkan sebuah makalah dengan judul "sistem hukum
indonesia pada masa sebelum dan sesudah kemerdekaan", yang mmenurut saya
dapat memberikan manfaat yang besar bagi kita untuk mempelajari sejarah sistem
hukum Indonesia.
Melalui kata
pengantar ini penulis lebih dahulu meminta maaf dan memohon permakluman bila
mana isi makalah ini ada kekurangan dan ada tulisan yang saya buat kurang tepat.
Dengan ini saya
mempersembahkan makalah ini dengan penuh rasa terima kasih dan sehingga dapat
memberikan manfaat.
jatinangor
23,09,2014
"Penulis"
SEJARAH SISTEM HUKUM DI INDONESIA PADA MASA
SEBELUM DAN SESUDAH KEMERDEKAAN
A.
Latar Belakang
Sejarah hukum merupakan bagian dari sejarah
umum sesuai dengan apa yang
dicita-citakan, seyogyanya sejarah menyajikan dalam bentuk sinopsis suatu
keterpaduan seluruh aspek kemasyarakatan dari abad ke abad, yakni sejak untuk
pertama kali tersedia informasi sampai hari ini. Akan tetapi tidak terhingganya
ruang lingkup misi yang akan dijelajah ini mengakibatkan bahwa untuk
alasan-alasan praktis, maka penugasan tersebut dibelah menjadi sebagai berikut
:
1.
Menurut tolok-ukur kronologis, misalnya sejarah purbakala, abad
pertengahan, dan sebagainya
2.
Menurut tolok-ukur ilmu bumi, seperti sejarah Belgia, Amerika Serikat, dan lain-lain.
3.
Atas dasar tematik, yakni sejarah ekonomi, literatur, kesenian, hukum,
dan lain-lain.[1]
Sementara sejarah hukum menurut Arief
Soeryono merupakan salah satu bidang studi hukum yang mempelajari perkembangan
dan asal-usul sistem hukum dalam suatu masyarakat tertentu dan memperbandingkan
antara hukum yang berbeda, karena dibatasi waktu yang berbeda pula. Ruang lingkup
sejarah hukum adalah mempelajari sistem hukum yang pernah berlaku serta
membandingkan dengan sistem hukum yang berlaku sekarang.[2] Sistem hukum yang
berlaku di dunia ada bermacam-macam dan memiliki keanekaragaman antara sistem
hukum yang atu dengan sistem hukum yang lain. Menurut Eric L. Richard pakar
hukum global business dari Indiana University menjelaskan sistem hukum yang
utama di dunia (The world’s Major Legal Systems) sebagai berikut :
1.
Civil law (Hukum sipil berdasarkan kode sipil yang terkodifikasi). Yang dipraktikkan oleh negara-negara Eropa
kontinental termasuk bekas jajahannya.
Sistem hukum ini berakar dari hukum Romawi
(Roman law)
2.
Common Law (Hukum yang berdasarkan kebiasaan berdasarkan preseden atau
judge made law. Sistem hukum ini dipraktikkan di negara Anglo Saxon, seperti
Inggris dan Amerika.
3.
Islamic law (Hukum Islam), hukum yang berdasarkan syariah islam yang
bersumber dari Alquran dan Hadist.
4.
Socialist law, sistem hukum yang dipraktikkan di negara-negara sosialis.
5.
Sub-Saharan Africa, sistem hukum yang dipraktikkan di negara Afrika yang
berada di sebelah selatan gurun Sahara.
6.
Far East, sistem hukum ini
merupakan sistem hukum yang kompleks yang
merupakan perpaduan antara sistem civil law ,
common law dan hukum islam sebagai basis fundamental masyarakat.[3]
Selain sistem-sistem hukum diatas, di
Indonesia dikenal suatu sistem aturan yang berlaku dalam kehidupan masyarakat
Indonesia yang berasal dari adat kebiasaan yang secara turun-temurun dihormati
dan ditaati oleh masyarakat sebagai tradisi bangsa Indonesia yang disebut
dengan hukum adat.[4] Sejarah hukum di Indonesia pada masa sebelum kemerdekaan
dipengaruhi hukum adat dan kemudian diganti oleh sistem hukum Civil Law karena
adanya penjajahan Belanda. Dalam makalah ini akan membahas mengenai sejarah
sistem hukum di Indonesia sebelum kemerdekaan yaitu antara lain sistem hukum
yang berlaku pada zaman kolonial.
B.
Perumusan Masalah
Dari latar belakang tersebut diatas dapat
dirumuskan permasalahan yaitu :
Bagaimanakah sejarah sistem hukum di
Indonesia pada masa sebelum
dan sesudah kemerdekaan?
C.
Pembahasan
Sistem tata hukum yang digunakan sebelum 17
Agustus 1945 antara lain sistem hukum Hindia Belanda berupa sistem hukum Barat
(Civil Law) dan sistem hukum asli (Hukum adat). Sebelum Indonesia dijajah oleh
Belanda, Hukum yang digunakan untuk menyelesaikan setiap sengketa yang terjadi
di masyarakat adalah menggunakan hukum adat. Pada masa itu hukum adat
diberlakukan oleh hampir seluruh masyarakat di Indonesia. Setiap daerah
mempunyai pengaturan mengenai hukum adat yang berbeda antara daerah yang satu
dengan yang lain. Hukum adat sangat ditaati masyarakat pada masa itu karena
mengandung Nilai-nilai baik nilai keagamaan, nilai-nilai kesusilaan, tradisi
serta nilai kebudayaan yang tinggi.
Salah satu tokoh yang meneliti hukum adat
adalah Van Vollenhoven dimana penelitiannya mengenai hukum adat dimulai sejak
tahun 1906 dan selesai pada tahun 1931.
Hukum adat di Indonesia menurut Van Vollenhoven diartikan sebagai
“ hukum nonstatutair yang sebagian besar
adalah hukum kebiasaaan dan sebagian hukum islam. Hukum adat itu pun melingkupi
hukum yang berdasarkan keputusan-keputusan hakim yang berisi asas-asas hukum
dalam lingkungan, dimana ia memutuskan perkara. Hukum adat berurat-berakar pada
kebudayaan tradisional. Hukum adat adalah suatu hukum yang hidup karena ia
menjelmakan perasaan hukum yang nyata dari rakyat. Sesuai fitrahnya sendiri,
hukum adat terus-menerus dalam keadaan tumbuh dan berkembang seperti hidup itu
sendiri.”[5]
Hukum adat adalah sistem aturan berlaku
dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang berasal dari adat kebiasaan, yang
secara turun temurun dihormati oleh masyarakat sebagai tradisi bangsa
indonesia. Pada zaman sebelum VOC datang ke nusantara, kedudukan hukum adat
adalah sebagai hukum positip yang berlaku sebagai hukum
yang nyata dan
ditaati oleh rakyat yang pada saat itu Nusantara
Indonesia terdiri dari berbagai kerajaan.[6]
Naskah hukum adat yang lahir pada waktu itu antara lain Kitab Ciwakasoma yang
dibuat pada masa raja Dharmawangsa pada tahun 1000 Masehi, Kitab hukum Gadjah
Mada pada masa kerajaan Majapahit (1331-1364), Kitab Hukum Adigama pada zaman
Patih Kanaka (1413-1430), dan Kitab Hukum Kutaramanawa di Bali. Selain itu ditemukan
juga bukti peraturan-peraturan asli lainnya seperti Kitab Ruhut Parsaoran di
Habatahon, Tapanuli (berisi kehidupan sosial di tanah Batak), Undang-Undang
Jambi di Jambi, Undang-Undang simbur Cahaya di Palembang, Undang-Undang Nan
Duapuluh di Minangkabau, Undang-Undang Perniagaan dan pelayaran dari Suku Bugis
Wajo di Sulawesi Selatan, Awig-Awig yang
berisi peraturan Subak dan Desa ) di Bali. Ditemukan juga berbagai
peraturan-peraturan kerajaan atau kesultanan yang pernah bertahta antara lain:
Kediri, Singosari, Mataram, Majapahit, Demak, Pajang, Mataram II, Pakubuwono,
Mangkunegoro, Paku Alam, Tarumanagara, Pajajaran, Jayakarta, Banten, Cirebon,
Sriwijaya, Indragiri,Asahan, Serdang, Langkat, Deli, aceh, Pontianak, Kutai,
Bulungan, Goa, Bone, Bolaang Mongondow, Talaud, Ternate, Tidore, Kupang, Bima,
sumbawa, Endeh, Buleleng, Badung, Gianyar dan sebagainya. [7]
Mulai tahun 1602 Belanda secara
perlahan-lahan menjadi penguasa wilayah yang kini adalah Indonesia, dengan
memanfaatkan perpecahan di antara kerajaan-kerajaan kecil yang telah
menggantikan Majapahit. VOC telah diberikan hak monopoli terhadap perdagangan
dan aktivitas kolonial di wilayah tersebut oleh Parlemen Belanda pada tahun
1602. Markasnya berada di Batavia, yang kini bernama Jakarta. Tujuan utama VOC
adalah mempertahankan monopolinya terhadap perdagangan rempah-rempah di
Nusantara.[8] Memasuki Zaman Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) yaitu
zaman dimana orang asing (Barat) mulai masuk ke nusantara dan memberi perhatian
terhadap hukum adat. Pada masa ini ditandai dengan kebijakan Kompeni terhadap
hukum adat dengan cara saling menghormati. Hukum Barat (Belanda) pada awalnya
hanya digunakan untuk daerah pusat pemerintahan Kompeni sedangkan untuk daerah
yang belum dikuasai dipersilakan bagi pendudukan untuk menggunakan hukum adat
mereka atau bagi yang mau tunduk pada hukum Belanda diperbolehkan. Namun jika
akan melakukan hubungan dengan Kompeni maka harus menggunakan hukum Belanda.
Dengan kata lain politik hukum Kompeni bersifat oportunis.[9] Pada masa ini pemerintah Belanda memberikan
hak istimewa kepada VOC berupa hak octrooi (meliputi monopoli pelayaran dan
perdagangan, mengumumkan perang, mengadakan perdamaian dan mencetak uang).
Gubernur yang bernama Jenderal Pieter Both diberi wewenang untuk membuat
peraturan guna menyelesaikan masalah dalam lingkungan pegawai VOC hingga
memutuskan perkara perdata dan pidana. Kumpulan peraturan pertama kali
dilakukan pada tahun 1642, Kumpulan ini diberi nama Statuta Batavia. Pada tahun
1766 dihasilkan kumpulan ke-2 diberi nama Statuta Bara. Kekuasaan VOC berakhir
pada 31 Desember 1799.[10]
Memasuki masa pemerintahan Daendels
(1808-1811), hukum adat diperbolehkan dianut oleh penduduk bumi putera dengan
syarat :
1.
Hukum adat tidak bertentangan dengan kepentingan umum.
2.
Hukum adat tidak boleh bertentangan dengan dasar keadilan dan kepatutan
(dalam ukuran barat).
3.
Hukum adat dapat menjamin tercapainya keamanan umum dengan persyaratan
tersebut bahwa pemerintahan Deandels menganggap rendah kedudukan hukum adat
dibanding Hukum Belanda.
Memasuki
masa pemerintahan Raffles
(1811-1816) , Raffles menggunakan kebijakan atau politik bermurah
hati dan bersabar terhadap golongan pribumi untuk menarik simpati dan merupakan
sikap politik Inggris yang humanistis. Memasuki periode 1816- 1848, kedudukan
hukum adat mulai terancam karena penguasa Hindia Belanda pada waktu itu mulai
memperkenalkan dan menganut prinsip unifikasi hukum untuk seluruh wilayah
jajahannya dengan pengecualian berlakunya hukum adat oleh bumiputera. Jadi
secara prinsip hukum adat mulai terdesak oleh berlakunya hukum Hindia Belanda
akan tetapi dalam praktis pemerintahan masih dianut persamaan kedudukan antara
hukum adat dan hukum barat.[11] Pada tahun 1816 Peraturan-peraturan umum
termuat dalam lembaran yang diterbitkan oleh Pemerintah Hindia Belanda yang
disebut dengan “Staatsblad” beserta “Bijblad”-nya. Staatsblad dan Bijblad yang
pertama kali terbit dalam tahun 1816 sampai dengan 8 Maret 1942. Staatsblad
tiap-tiap tahun mulai dengan nomor 1, Bijblad nomornya berturut-turut tidak
memperdulikan tahunnya.[12]
Tata hukum Hindia Belanda pada saat itu
terdiri dari : 1. Peraturan-peraturan tertulis yang dikodifikasikan, 2.
Peraturan-peratauran tertulis yang tidak dikodifikasikan, 3.
Peraturan-peraturan tidak tertulis (hukum adat) yang khusus berlaku bagi
golongan Eropa. Pada masa ini, raja mempunyai kekuasaan mutlak dan tertinggi
atas daerah-daerah jajahan termasuk kekuasaan mutlak terhadap harta milik
negara bagian yang lain. Kekuasaan mutlak raja itu diterapkan pula dalam
membuat dan mengeluarkan peraturan yang berlaku umum dengan nama Algemene
Verordening (Peraturan pusat). Ada 2 macam keputusan raja :
1. Ketetapan raja sebagai tindakan
eksekutif disebut Besluit. Seperti ketetapan pengangkatan Gubernur Jenderal.
2. Ketetapan raja sebagai tindakan
legislatif disebut Algemene Verodening atau Algemene Maatregel van Bestuur
(AMVB)
Pada masa ini pula dimulai penerapan
politik agraria yang disebut dengan kerja paksa oleh Gubernur Jenderal Du Bus
De Gisignes. Pada tahun 1830 Pemerintah Belanda berhasil mengkodifikasikan
hukum perdata yang diundangkan pada tanggal 1 Oktober 1838.[13]
Namun
hukum adat secara
berangsur-angsur tergeser dengan
adanya penggagasan diberlakukannya sistem hukum kodifikasi hukum Barat
yang secara efektif berlaku sejak tahun 1848. Sejak tahun 1848, Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Perdata dan Acara Pidana berdasarkan pada pola
Belanda berlaku bagi penduduk Belanda di Indonesia. Pada perjalanannya
kodifikasi semakin kuat dan hukum adat menjadi serba tidak pasti dan
menimbulkan tidak adanya jaminan kepastian hukum pada hukum adat. Penerapan
hukum adat sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 75 (Lama) R.R. bahwa jika orang Indonesia yang
tidak menyatakan dengan sukarela, bahwa ia akan dikuasai oleh hukum perdata dan
hukum dagang Eropa, maka untuk golongan bangsa Indonesia, hakim harus melakukan
dalam lapangan hukum perdata adat, sekadar hukum adat itu tidak bertentangan
dengan dasar-dasar keadilan yang umum diakui. [14]
Pada Masa Regerings Reglement (RR) yaitu
pada kurun waktu tahun 1855 sampai
dengan tahun 1926 Berhasil diundangkan :
1.
Kitab Hukum pidana untuk golongan Eropa melalui S.1866:55.
2.
Algemene Politie Strafreglement sebagai tambahan Kitab Hukum Pidana
untuk Golongan Eropa.
3.
Kitab Hukum Pidana orang bukan Eropa melalui S.1872:85.
4.
Politie Strafreglement bagi orang bukan Eropa.
5.
Wetboek Van Strafrecht yang berlaku bagi semua golongan penduduk melalui
S.1915:732 mulai berlaku 1 Januari 1918.[15]
Semenjak tanggal 1 Januari 1920 sudah tidak
ada lagi empat golongan yakni orang Eropa, Mereka yang dipersamakan dengan
orang Eropa, Bumiputera dan mereka yang dipersamakan dengan bumiputera. Menurut
Pasal 163 Indische Staatsregeling, Rakyat Indonesia dibedakan kedalam tiga
golongan :
1.
Orang Eropa
Yang termasuk golongan orang Eropa ialah :
a.
Semua orang Belanda
b.
Semua orang, tidak termasuk a, yang asalnya dari Eropa
c.
Semua orang Jepang
d.
Semua orang yang berasal dari tempat lain, tidak termasuk a dan b, yang
dinegerinya akan tunduk kepada hukum kekeluargaan, yang pada pokoknya
berdasarkan asas-asas yang sama dengan hubungan Belanda
e.
Anak sah atau yang diakui menurut undang-undang dan keturunan
selanjutnya dari orang yang dimaksudkan dalam b,c, dan d yang lahir di Hindia
Belanda.
2.
Bumiputera
Ialah semua orang yang termasuk rakyat
Indonesia asli dari Hindia Belanda dan tidak beralih masuk golongan rakyat lain
dan mereka yang mula-mula termasuk golongan rakyat lain. Kemudian mencampurkan
diri dengan rakyat Indonesia asli
3.
Orang Timur Asing
Ialah semua orang yang bukan orang eropa
atau bumiputera.[16]
Pembagian golongan tersebut pada waktu itu
diperlukan dalam hal lapangan hukum
perdata namun dalam
hal hukum pidana berlaku hanya satu hukum
pidana yaitu KUH Pidana.
Dalam hal hubungan antar golongan dan hukum
yang berlaku akan dijelaskan sebagai berikut :
a)
Bagi warganegara yang berasal dari golongan Eropa, berlaku KUH Perdata
dan KUH Dagang yang diselaraskan (konkordan) dengan KUH Perdata dan KUH Dagang
yang berlaku di negeri Belanda.
b)
Bagi orang asing di Indonesia yang berasal dari golongan Eropa berlaku
KUH Perdata dan KUH dagang Barat di Eropa
c)
Bagi warganegara Indonesia yang berasal dari golongan Timur Asing :
(a)
Golongan Cina, berdasarkan Staatsblad 1924 No.557 berlaku KUH Perdata
dan KUH Dagang Barat di Indonesia, dengan dikecualikan (pada masa lampau)
peraturan-peraturan tentang :
-
Pencatatan Sipil (kini hanya satu catatan sipil untuk semua warga negara
Indonesia).
-
Cara-cara Perkawinan (kini berlaku Undang-Undang Nomor.1 tahun 1974
untuk seluruh warga negara Indonesia) ditambah dengan peraturan-peraturan
tentang :
a)
Pengangkatan anak (adopsi);
b)
Kongsi (kongsi disamakan dengan Firma dalam KUH Dagang).
(b)
Golongan bukan Cina , Berdasarkan Stb. 1924 Nomor. 556 berlaku KUH
Perdata dan KUH Dagang Barat di Indonesia dengan dikecualikan :
1)
Hukum kekeluargaan;
2)
Hukum Waris tanpa wasiat atau Hukum Waris menurut undang-undang atau
Hukum Waris abintestaat (abintestato).
(Hal ini disebabkan karena sebagian besar
golongan ini menganut agama islam, yang tentu tentu saja tidak dapat berlaku
Hukum Kekeluargaan dalam KUH Perdata Barat yang berasas perkawinan yang
monogami sedang hukum waris bagi golongan ini diatur dalam Hukum Islam menurut
Alquran). Kini berlaku Undang-Undang Perkawinan
tahun 1974 untuk semua warganegara Indonesia.
d)
Bagi orang asing di Indonesia yang berasal dari golongan Timur Asing
berlaku Hukum Perdata dan Hukum Dagang Timur Asing yang berlaku di negaranya
masing-masing.
e)
Bagi warganegara Indonesia asli berlaku Hukum Perdata adat (Hukum Adat).
Hukum adat ini pada setiap daerah berlainan coraknya dan kadang-kadang saling
bertentangan. Apabila hukum adat bertentangan dengan asas-asas kepatutan dan
keadilan maka sebagai pegangan dipakai Hukum Perdata Barat di Indonesia.
f)
Bagi orang asing yang berasal dari golongan Indonesia, berlaku hukum
Perdata dari negara ia mana ia termasuk (Tunduk). [17]
Ada beberapa cara orang-orang yang bukan
golongan Eropa dapat tunduk pada Hukum Perdata Barat di Indonesia yaitu :
a. Persamaan Hak (gelijkstelling)
Diatur dalam Stb.1883 Nomor 192, dimana
persamaan hak ini mengakibatkan seorang yang bukan Eropa berubah statusnya
menjadi orang Eropa, kedudukannya disamakan dengan orang Eropa dan Tunduk pada
seluruh hukum perdata barat dan hukum publik.
b. Pernyataan berlakunya Hukum
(Toepasselijk Verklaring)
Berdasarkan Pasal 75 ayat (3) RR dimana
adanya pernyataan berlakunya Hukum Perdata Barat atas orang-orang bukan Eropa
oleh pihak penguasa. Dalam hal ini pembuat undang-undang menunjuk kepada orang
yang bukan Eropa. Hukum yang tadinya berlaku untuk orang-orang Eropa kemudian
diperluas berlakunya hingga orang-orang bukan Eropa. Beberapa peraturan yang
menyatakan berlakunya hukum Eropa diatur dalam :
1)
Stb. 1924/556: KUH Perdata dan KUH Dagang Barat di Indonesia kecuali
Hukum Kekeluargaan dan Hukum waris Abintestaat, dinyatakan berlaku untuk
golongan Timur Asing bukan Cina.
2)
Stb. 1924/557 : Pernyataan berlaku dari seluruh KUH Perdata dan KUH
Dagang Barat di Indonesia untuk golongan Timur Asing Cina, kecuali peraturan
tentang Catatan Sipil, dan cara-cara perkawinan, ditambah dengan
peraturan-peraturan tentang Kongsi dan Adopsi.
3)
Stb.1933/49 : KUH Dagang Barat di Indonesia untuk sebagian dinyatakan
berlaku bagi golongan Indonesia.
4)
Stb.1912/600: Peraturan Mengenai Hak Cipta (auteursrecht).
5)
Stb.1898/158 : Peraturan Perkawinan Campuran berlaku untuk semua
golongan.
c. Penundukan Sukarela kepada Hukum Perdata
Eropa (Vrijwillige Onderwerping aan het Europese Privaatrecht).
Berdasarkan pasal 75 ayat (4) Regerings
Reglement (RR) yang kemudian diubah menjadi Indische Staatsregeling Pasal 131
ayat (4) : Bagi orang Indonesia asli dan orang Timur asing, sepanjang mereka
belum diletakkan dibawah suatu peraturan bersama dengan bangsa Eropa
diperbolehkan menundukkan diri pada hukum yang berlaku untuk Eropa. Berdasarkan
ketentuan ini dibuatlah suatu peraturan tentang penundukan sukarela kepada
Hukum Perdata Eropa yang dimuat dalam Stb. 1917/No.12 dimana ada 4 macam
penundukan dengan sukarela kepada hukum perdata barat yaitu :
1)
Penundukan untuk seluruhnya kepada Hukum Perdata Barat sehingga
mengakibatkan seluruh hukum perdata dan hukum dagang barat di Indonesia berlaku
bagi orang yang menundukkan diri (dalam hal ini hanya golongan Timur Asing Cina
dan golongan Indonesia beragama nasrani)
2)
Penundukan untuk sebagian hukum Perdata barat terhadap hukum
kekayaan/harta benda saja yaitu seperti yang dinyatakan berlaku bagi golongan
Timur Asing bukan Cina dalam Stb. 1924/556.
3)
Penundukan mengenai suatu perbuatan hukum tertentu saja :
a)
Dengan akta disebutkan di dalam perbuatan mana yang diperlakukan hukum
perdata barat di Indonesia bagi kedua pihak,
b)
Dengan perjanjian khusus
4)
Penundukan anggapan yaitu penundukan tidak sengaja pada hukum perdata
barat. [18]
Setelah Belanda menguasai Hindia Belanda
(Indonesia) kemudian penguasa Jepang menduduki dan merebut Indonesia dari
penjajahan Belanda. Pasukan Belanda yang terakhir dikalahkan Jepang pada Maret
1942. Pada masa penjajahan Jepang daerah Hindia dibagi menjadi Indonesia Timur
(dibawah kekuasaan AL Jepang berkedudukan di Makassar) dan Indonesia Barat
(dibawah kekuasaan AD Jepang yang berkedudukan di Jakarta). Peraturan-peraturan
yang digunakan untuk mengatur pemerintahan dibuat dengan dasar “Gun Seirei”
melalui Osamu Seirei. Pasal 3 Osamu Seirei No. 1/1942 menentukan bahwa “semua
badan pemerintahan dan kekuasaannya, hukum dan undang-undang dari pemerintah
yang lalu tetap diakui sah untuk sementara waktu, asal tidak bertentangan
dengan peraturan pemerintah militer.”[19] Pada Maret 1945 Jepang membentuk
Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Pada zaman
penjajahan Jepang tidak sempat mengeluarkan berbagai peraturan
perundang-undangan karena masa menjajah
hanya 31/2 (tiga setengah) tahun kecuali
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1942 yang berisi pemberlakuan berbagai peraturan
perundangan yang ada pada zaman Hindia Belanda.
b. Era Orde Baru
Pembaruan hukum
pada masa Orde Baru dimulai dari penyingkiran hukum dalam proses pemerintahan
dan politik, pembekuan UU Pokok Agraria, membentuk UU yang mempermudah modal
dari luar masuk dengan UU Penanaman modal Asing, UU Pertambangan, dan UU
Kehutanan. Selain itu, orde baru juga melancarkan: i) Pelemahan lembaga hukum
di bawah kekuasaan eksekutif; ii) Pengendalian sistem pendidikan &
pembatasan pemikiran kritis, termasuk dalam pemikiran hukum; Kesimpulannya,
pada era orba tidak terjadi perkembangan positif hukum Nasional.
Periode Pasca Orde Baru (1998 – Sekarang)
Semenjak
kekuasaan eksekutif beralih ke Presiden Habibie sampai dengan sekarang, sudah
dilakukan 4 kali amandemen UUD RI 1945. Beberapa pembaruan formal yang terjadi
antara lain: 1) Pembaruan sistem politik & ketetanegaraan; 2) Pembaruan
sistem hukum & HAM; dan 3) Pembaruan sistem ekonomi.
adat mereka atau
bagi yang mau tunduk pada hukum Belanda diperbolehkan.
3. Bahwa seiring dengan penjajahan Belanda,
lambat laun Pemerintahan Hindia Belanda menggeser hukum adat sedikit demi
sedikit digantikan dengan sistem hukum kodifikasi hukum Barat yang secara
efektif berlaku sejak tahun 1848. Sejak tahun 1848, Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Perdata dan Acara Pidana berdasarkan pada pola Belanda berlaku bagi penduduk
Belanda di Indonesia. Pada perjalanannya kodifikasi semakin kuat dan hukum adat
menjadi serba tidak pasti dan menimbulkan tidak adanya jaminan kepastian hukum
pada hukum adat.
4. Bahwa Pada masa penjajahan Jepangpun
hukum kolonial Belanda masih digunakan karena Jepang tidak sempat mengeluarkan
berbagai peraturan perundang-undangan karena
masa menjajah hanya 31/2 (tiga
setengah) tahun kecuali Undang-Undang Nomor 1 tahun 1942 yang berisi pemberlakuan
berbagai peraturan perundangan yang ada pada zaman Hindia Belanda.
D.
Kesimpulan
Dari pembahasan tersebut diatas dapat
disimpulkan sebagai berikut :
1.
Dalam sejarah sistem hukum di Indonesia pada masa kerajaan sebelum VOC
datang adalah menggunakan hukum adat sebagai hukum positip di tiap-tiap daerah
nusantara Indonesia yang ditaati dan dilaksanakan sebagai suatu adat kebiasaan,
yang secara turun temurun dihormati oleh masyarakat sebagai tradisi bangsa
indonesia.
2.
Bahwa seiring dengan masuknya VOC ke Indonesia dimana orang asing
(Barat) mulai masuk ke nusantara, orang barat mulai memberi perhatian terhadap
hukum adat. Pada masa ini Hukum Barat (Belanda) mulai digunakan walaupun pada
awalnya hanya digunakan untuk daerah pusat pemerintahan Kompeni sedangkan untuk
daerah yang belum dikuasai dapat menggunakan hukum a.
Era Demokrasi Terpimpin
Perkembangan dan dinamika hukum di era ini
i) Menghapuskan doktrin pemisahan kekuasaan
& mendudukan MA & badan-badan pengadilan di bawah lembaga eksekutif;
ii) Mengubah lambang hukum "dewi
keadilan" menjadi "pohon beringin" yang berarti pengayoman;
iii) Memberikan kesempatan kepada eksekutif
untuk ikut campur tangan secara langsung atas proses peradilan sesuai UU
No.19/1964 & UU No.13/1965;
iv) Menyatakan bahwa peraturan hukum
perdata pada masa pendudukan tidak berlaku kecuali hanya sebagai rujukan, maka
dari itu hakim harus mengembangkan putusan-putusan yang lebih situasional &
kontekstual.
DAFTAR PUSTAKA
Literatur :
Gilissen, Emeritus John, Emeritus Frits
Gorle, 2007, Sejarah Hukum Suatu Pengantar, PT.Refika Aditama, Bandung
Soepomo,
1997, Sistem Hukum Di Indonesia Sebelum
Perang Dunia II, PT. Pradnya Paramita,
Jakarta
Suherman, Ade Maman 2004, Pengantar
Perbandingan Sistem Hukum, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada
Internet :
Sejarah Indonesia,
http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Indonesia diakses tanggal 7 Februari 2012
Sejarah Tata Hukum Indonesia Dan Politik
Hukum Indonesia, http://hukum-hukumkeseluruhan.blogspot.com/2009/04/sejarah-tata-hukum-indonesia-dan.html
diakses tanggal 7 Februari 2012
No comments:
Post a Comment