Thursday, October 29, 2020

MAKALAH REIVENTING GOVERMENT

BAB I

PENDAHULUAN

 

1.1. Latar Belakang

Konsep Mewirausahakan Birokrasi (Reinventing Government) pertama kali disampaikan oleh David Osborne dan Ted Gaebler dalam buku mereka yang berjudul Reinventing Government: How the enterpreneurial spirit is transforming the public sektor. Buku tersebut ditulis sebagai saran untuk membantu pencarian solusi di pemerintah Amerika Serikat pada tahun 1993 yang menanggung beban berat sebagai akibat ditanganinya seluruh kegiatan atau kebutuhan negara oleh pemerintah federal. Meskipun disambut dengan sikap skeptis, lambat namun pasti, apa yang disampaikan Osborne dan Gaebler dalam buku tersebut ternyata membawa angin segar bagi pemerintah federal dalam menyikapi permasalahan yang sedang dihadapi pada saat itu.

Apa yang terjadi pada pemerintahan Amerika Serikat pada saat itu sebenarnya tidak jauh berbeda dengan kondisi Indonesia saat ini yang sedang mengawali era GLG dimana sebagian wewenang pemerintah pusat didelegasikan pada pemerintahan di daerah. Di GLG, pejabat negara (di daerah) harus kreatif, mandiri dan inovatif dalam melaksanakan tugas-tugas kepemerintahannya karena inti dari otonomi daerah ialah keleluasaan dan kebebasan lebih luas untuk menggali dan mengolah aset-aset alamiahnya.

Mereka akan lebih banyak bekerjasama langsung dan lebih luas dengan swasta. Hal inilah yang menjadi cakupan dalam Reinventing Government yang sering disebut juga dengan Mewirausahakan Birokrasi.

Permasalahan yang sering muncul dalam memahami reinventing government adalah adanya anggapan bahwa dengan adanya konsep mewirausahakan birokrasi tersebut berarti kantor dinas/ instansi di Pemerintahan Daerah (pemda) dituntut untuk “berbisnis” agar dapat memberi nilai tambah untuk PAD. Padahal, maksud yang sebenarnya adalah memberdayakan institusional. Bukan menciptakan “pengusaha” dalam lingkungan birokrasi pemerintahan.

Menurut Osborne dan Gaebler, mewirausahakan birokrasi berarti mentransformasikan semangat wirausaha ke dalam sektor publik. Di era otonomi daerah, dimana pemerintah di daerah dituntut untuk bisa mandiri, usaha tersebut dapat diterapkan agar produktivitas dan efisiensi kerja Pemda bisa dioptimalkan. Oleh karena itu, pemahaman atas cara-cara mewirausahakan birokrasi Pemerintahan Daerah harus dikuasai oleh aparat birokrasi, terlebih-lebih oleh Bupati/ Walikota termasuk pimpinan pada tiap-tiap instansi/ dinas.

Secara mendasar pemerintahan dan perusahaan adalah lembaga yang berbeda. Pimpinan perusahaan didorong oleh motif laba untuk terus dapat menjalankan produksi demi keberlangsungan usahanya, sedangkan pimpinan pemerintahan didorong oleh keinginan untuk kelanggengan kekuasaannya dan keuntungan pribadi tanpa memperdulikan kondisi birokrasi dan orang-orang yang dilayaninya. Perusahaan memperoleh income dari konsumennya, sedangkan pemerintah lebih besar memperoleh income dari sektor pajak. Perusahaan biasanya didorong oleh kompetisi, sedangkan pemerintahan biasanya didorong oleh kepentingan.

Kondisi seperti ini bersama-sama menciptakan pola pikir dimana PNS memandang resiko dan gaji secara amat berbeda dengan pegawai swasta. Resiko pemecatan PNS sangatlah kecil karena melewati prosedur yang rumit dan mempunyai ruang yang bisa ‘dikondisikan’, serta untuk mendapatkan gaji PNS tidak terbebani oleh kinerja yang baik. Sedangakan pekerja swasta sangat rentan terhadap pemecatan karena mereka harus selalu memberikan kinerja yang baik terhadap perusahaan. Pemerintah cendrung memperlakukan pegawainya dengan ‘adil’ tanpa memandang kemampuan mereka atau tuntutan mereka terhadap pelayanan publik. Hal ini hanya menghabiskan anggaran untuk belanja pegawai yang mencapai nilai ratusan triliyun rupiah. Oleh karena itu pemerintahan sebenarnya tidak bisa meraih efisiensi seperti dalam bisnis.

Secara mendasar pemerintahan dan perusahaan adalah lembaga yang berbeda. Pimpinan perusahaan didorong oleh motif laba untuk terus dapat menjalankan produksi demi keberlangsungan usahanya, sedangkan pimpinan pemerintahan didorong oleh keinginan untuk kelanggengan kekuasaannya dan keuntungan pribadi tanpa memperdulikan kondisi birokrasi dan orang-orang yang dilayaninya. Perusahaan memperoleh income dari konsumennya, sedangkan pemerintah lebih besar memperoleh income dari sektor pajak. Perusahaan biasanya didorong oleh kompetisi, sedangkan pemerintahan biasanya didorong oleh kepentingan.

Berdasarkan kenyataan jelek tersebut, maka diperlukan suatu upaya perubahan terhadap paradigma masyarakat yaitu melalui pendekatan sosial-budaya, serta upaya pembersihan citra negatif birokrasi dan aparaturnya (PNS) agar terbentuk sosok PNS yang bersih dan profesional melalui upaya sistematis dan komprehensif.

Kondisi seperti ini bersama-sama menciptakan pola pikir dimana PNS memandang resiko dan gaji secara amat berbeda dengan pegawai swasta. Resiko pemecatan PNS sangatlah kecil karena melewati prosedur yang rumit dan mempunyai ruang yang bisa ‘dikondisikan’, serta untuk mendapatkan gaji PNS tidak terbebani oleh kinerja yang baik. Sedangakan pekerja swasta sangat rentan terhadap pemecatan karena mereka harus selalu memberikan kinerja yang baik terhadap perusahaan. Pemerintah cendrung memperlakukan pegawainya dengan ‘adil’ tanpa memandang kemampuan mereka atau tuntutan mereka terhadap pelayanan publik. Hal ini hanya menghabiskan anggaran untuk belanja pegawai yang mencapai nilai ratusan triliyun rupiah. Oleh karena itu pemerintahan sebenarnya tidak bisa meraih efisiensi seperti dalam bisnis.

Konsep Mewirausahakan Birokrasi (Reinventing Government) pertama kali disampaikan oleh David Osborne dan Ted Gaebler dalam buku mereka yang berjudul Reinventing Government: How the enterpreneurial spirit is transforming the public sektor. Buku tersebut ditulis sebagai saran untuk membantu pencarian solusi di pemerintah Amerika Serikat pada tahun 1993 yang menanggung beban berat sebagai akibat ditanganinya seluruh kegiatan atau kebutuhan negara oleh pemerintah federal. Meskipun disambut dengan sikap skeptis, lambat namun pasti, apa yang disampaikan Osborne dan Gaebler dalam buku tersebut ternyata membawa angin segar bagi pemerintah federal dalam menyikapi permasalahan yang sedang dihadapi pada saat itu.

 

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah dalam  penelitian ini dirumuskan sebagai berikut :

1.      Apakah Yang  Dimaksud  Dengan Mewirausahakan Birokrasi.

2.      Bagaimna Mewirausahakan Birokrasi Pemerintah Daerah Di Era Good Local Governance.

3.      Bagaimana mengupaya perubahan birokrasi dan aparaturnya melalui ‘mewirausahakan birokrasi.

4.      Bagaimana Transformasi kewirausahaan dalam birokrasi

 

1.3. Tujuan

Adapun beberapa tujuan yang dapat diketahui di dalam  penulisan makalah ini antara lain:

1.              Untuk mengetahui serta memahami Mewirausahakan Birokrasi

2.              Untuk mengetahui serta memahami Mewirausahakan Birokrasi Pemerintah Daerah Di Era Good Local Governance

3.              Untuk mengetahui serta memahami perubahan birokrasi dan aparaturnya melalui ‘mewirausahakan birokrasi.

4.              Untuk mengetahui serta memahami Transformasi kewirausahaan dalam birokrasi

1.4. Manfaat

Adapun manfaat yang dapat diambil dari penulisan makalah ini adalah:

1.      Hasil penulisan ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada pembaca mengenai Mewirausahakan Birokrasi

2.      Hasil dari penulisan ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan yang sudah dapat selama pendidikan dan merupakan pengalaman yang berharga bagi penulis dalam rangka menambah wawasan pengetahuan tentang Mewirausahakan Birokrasi

 


 

BAB II

PEMBAHASAN

 

2.1. Reinventing Government

Penjelasan kalimat mewirausahakan birokrasi adalah bukan bagaimana birokrasi tersebut melakukan wirausaha untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya, namun mewirausahakan birokrasi disini berarti mengubah system, atau pengaturan birokrasi yang kaku, kulturis, dan irasional.

Di era otonomi daerah ini menurut saya konsep mewirausahakan birokrasi sangatlah baik untuk diterapkan karena dengan adanya otonomi membuat setiap daerah berupaya untuk mengatur birokrasi agar dapat berjalan secara akuntabilitas, responsive, inovatif dan professional serta entrepreneur. entrepreneur disini berarti pemerintah daerah mempunyai semangat kewirausahaan dimana birokrasi diusahakan
lebih inovatif dalam memberikan pelayanan public agar dapast menjawab perkembangan masyarakat di era globalisasi.

Mewirausahakan birokrasi sangatlah tepat diterapkan pada pendekatan 
New Public Manajemen (NPM) dimana orientasi birokrasi yang lebih demokratis dan fleksibel tergantung pada perkembangan masyarakat, adanya tingkat rasio yang tinggi, dan masyarakat mempunyai posisi tawar yang tinggi dalam menerima pelayanan publik.

Konteks kemunculan mewirausahakan birokrasi berawal dari

1.      Organ pemerintah yang gemuk dan lamban, sehingga cenderung bersifat spending daripada mendatangkan profit dalam wilayah fiskal.

2.      Pelayanan publik yang tidak efektif dan lambat, sehingga melahirkan ketidakpercayaan masyarakat pada kapasitas pemerintah dalam menyelrnggarakan pelayanan publik.

Mewirausahakan birokrasi menurut William Hudnut menyatakan bahwa :

Pemerintahan wirausaha bersedia meninggalkan program lama. Ia bersifat inovatif, imajinatif dan kreatif, serta berani mengambil resiko. Ia juga mengubah beberapa fungsi kota menjadi sarana penghasil uang daripada menguras anggaran, menjauhkan diri dari alternatif tradisional yang hanya memberikan sistem penopang hidup. Ia bekerja-sama dengan sektor swasta, menggunakan pengertian bisnis yang mendalam, menswastakan diri, mendirikan berbagai perusahaan yang menghasilkan laba. Ia berorientasi pasar, memusatkan pada ukuran kinerja, memberi penghargaan pada jasa. Ia pun harus mengatakan: mari kita selesaikan pekerjaan ini dan tidak takut untuk memimpikan hal-hal besar.

 

2.2.       Reinventing Government di era Good Local Government

Mewirausahakan Birokrasi Pemerintah Daerah Di Era Good Local Governancepertama kali disampaikan oleh David Osborne dan Ted Gaebler dalam buku mereka yang berjudul Reinventing Government: How the enterpreneurial spirit is transforming the public sektor. Buku tersebut ditulis sebagai saran untuk membantu pencarian solusi di pemerintah Amerika Serikat pada tahun 1993 yang menanggung beban berat sebagai akibat ditanganinya seluruh kegiatan atau kebutuhan negara oleh pemerintah federal. Meskipun disambut dengan sikap skeptis, lambat namun pasti, apa yang disampaikan Osborne dan Gaebler dalam buku tersebut ternyata membawa angin segar bagi pemerintah federal dalam menyikapi permasalahan yang sedang dihadapi pada saat itu.

Apa yang terjadi pada pemerintahan Amerika Serikat pada saat itu sebenarnya tidak jauh berbeda dengan kondisi Indonesia saat ini yang sedang mengawali era GLG dimana sebagian wewenang pemerintah pusat didelegasikan pada pemerintahan di daerah. Di GLG, pejabat negara (di daerah) harus kreatif, mandiri dan inovatif dalam melaksanakan tugas-tugas kepemerintahannya karena inti dari otonomi daerah ialah keleluasaan dan kebebasan lebih luas untuk menggali dan mengolah aset-aset alamiahnya. Mereka akan lebih banyak bekerjasama langsung dan lebih luas dengan swasta. Hal inilah yang menjadi cakupan dalam Reinventing Government yang sering disebut juga dengan Mewirausahakan Birokrasi.

Permasalahan yang sering muncul dalam memahami reinventing government adalah adanya anggapan bahwa dengan adanya konsep mewirausahakan birokrasi tersebut berarti kantor dinas/ instansi di Pemerintahan Daerah (pemda) dituntut untuk “berbisnis” agar dapat memberi nilai tambah untuk PAD. Padahal, maksud yang sebenarnya adalah memberdayakan institusional. Bukan menciptakan “pengusaha” dalam lingkungan birokrasi pemerintahan.

Menurut Osborne dan Gaebler, mewirausahakan birokrasi berarti mentransformasikan semangat wirausaha ke dalam sektor publik. Di era otonomi daerah, dimana pemerintah di daerah dituntut untuk bisa mandiri, usaha tersebut dapat diterapkan agar produktivitas dan efisiensi kerja Pemda bisa dioptimalkan. Oleh karena itu, pemahaman atas cara-cara mewirausahakan birokrasi Pemerintahan Daerah harus dikuasai oleh aparat birokrasi, terlebih-lebih oleh Bupati/ Walikota termasuk pimpinan pada tiap-tiap instansi / dinas.

Berkaitan dengan hal tersebut, Osborne dan Gaebler mengemukakan sepuluh prinsip untuk mebentuk birokrasi-wirausaha, yaitu:

1)      Pemerintah sebagai pembuat kebijakan harus lebih menjadi pengarah daripada menjadi pelaksana. Misalnya adalah bekerjasama dengan pihak swasta dalam melakukan pemungutan pajak, akan tetapi penentuan Wajib Pajak dan besarnya pungutan pajak tetap dilakukan oleh pemerintah.

2)      Pemerintah sebagai milik masyarakat harus lebih memberdayakan masyarakat ketimbang terus-menerus melayani masyarakat. Salah satu upayanya adalah dengan menghimbau masyarakat agar mampu mengurus keamanan lingkungannya sendiri.

3)      Pemerintah sebagai institusi yang berada di alam kompetisi haruslah menyuntikkan semangat persaingan ke dalam tubuh aparat dan organisasi pelayanannya. Misalnya dengan memberikan peluang bagi swasta dalam menangani urusan-urusan yang dimonopoli pemerintah, seperti air minum, listrik, dan telepon.

4)      Unit-unit pemerintahan sebagai lembaga yang bertugas mewujudkan misi harus lebih diberi kebebasan dalam berkreasi dan berinovasi. Untuk itu, petunjuk pelaksanaan yang kaku dan mengikat harus dihindarkan, baik mengenai keuangan, kepegawaian, maupun pelayanan kepada masyarakat.

5)      Pemerintah harus lebih mementingkan hasil yang akan dicapai daripada terlalu memfokuskan pada faktor masukan (input). Misalnya, pemberian bantuan untuk suatu sekolah haruslah lebih didasarkan kepada kinerja dan produktivitasnya daripada jumlah muridnya.

6)      Pemerintah sebagai pelayan masyarakat harus lebih mementingkan terpenuhinya kepuasan pelanggan, bukannya memenuhi apa yang menjadi kemauan birokrasi itu sendiri. Untuk itu, cara-cara baru dalam memikat pelanggan harus dilakukan.

7)      Pemerintah sebagai suatu badan usaha harus pandai mencari uang dan tidak hanya bisa membelanjakannya. Oleh karena itu, cara-cara mencari sumber penghasilan yang baru dan menggalakkan investasi harus selalu menjadi pemikiran para manajer pemerintahan.

8)      Pemerintah sebagai lembaga yang memiliki daya antisipatif harus mampu mencegah daripada hanya menanggulangi masalah. Misalnya soal kebakaran, dengan memakai prinsip ini, bukan mobil pemadam kebakaran yang dibeli terus tetapi supervisi/ pengawasan terhadap bangunan yang harus ditingkatkan.

9)      Pemerintah harus menggeser pola kerja hierarki yang dianut ke model kerja partisipasi dan kerja sama. Misalnya, rantai organisasi yang panjang dan ‘gemuk’ harus dikurangi, struktur organisasi yang tebal harus ditipiskan, dan gugus kendali mutu harus dikembangkan.

10)  Pemerintah sebagai pihak yang berorientasi pada pasar harus berusaha mengatrol perubahan lewat penguasaannya terhadap mekanisme pasar. Misalnya, dalam menangani sampah yang berasal dari botol minuman, daripada membiayai usaha daur ulang yang mahal, lebih baik pemerintah mensyaratkan pengusaha minuman untuk membayar setiap pembeli yang mengembalikan botolnya.

Berdasarkan kesepuluh cara tersebut di atas, tidak dapat dihindari bahwa upaya mewirausahakan birokrasi akan berdampak pada perubahan-perubahan (reformasi) dalam instansi Pemda. Perubahan yang dilakukan adalah dalam rangka melakukan penyesuaian-penyesuaian terhadap mekanisme birokrasi-wirausaha di setiap lapisan birokrasi. Perubahan tersebut dapat berupa debirokratisasi, deregulasi, rekonstruksi pemerintahan daerah, reposisi instansi-instansi, bahkan rasionalisasi pegawai. Dalam perkembangannya, upaya-upaya penyesuaian tersebut harus dapat menjamin terciptanya produktivitas dan efisiensi kerja Pemda yang maksimal.

Lebih meluas lagi, upaya mewirausahakan birokrasi Pemerintah Daerah, disamping untuk mewujudkan pemerintahan yang mandiri, juga untuk menunjang perubahan peran pemerintah dalam mengahdapi perkembangan masyarakat yang semakin pesat di era Globalisasi. Ada beberapa faktor yang dapat diidentifikasi atas perubahan peran pemerintah tersebut, yaitu:

·         Semakin kompleksnya permasalahan-permasalahan di sektor publik sebagai akibat berkembangnya teknologi dan informasi

·         Kenyataan telah membuktikan bahwa monopoli yang dilakukan pemerintah tidak menghasilkan pelayanan yang lebih baik dan adanya tuntutan menyangkut distribusi sumber daya yang lebih baik ditentukan oleh mekanisme pasar

·         Mulai turunnya kepercayaan atas peran pemerintah dalam menyelesaikan masalah-masalah di sektor public

·         Akibat kemajuan masyarakat, terjadi perubahan tuntutan agar pemerintah memberikan pelayanan dengan lebih baik karena adanya perubahan nilai-nilai dalam masyarakat

·         Ada fakta/ realita bahwa sektor swasta lebih baik dalam memberikan pelayanan daripada sektor public

Permsalahan utama yang muncul dalam mewirausahakan birokrasi di pemerintahan daerah pada dasarnya terletak pada instansi/ dinas Pemda itu sendiri. Sejauh mana pelaku birokrasi dapat mengantisipasi perubahan-perubahan yang terjadi baik di lingkungan organisasi internal maupun di masyarakat, seberapa besar usaha pemerintah daerah untuk mentransformasikan semangat wirausaha ke dalam sektor publik dan bagaimana mereka menyikapi perubahan-perubahan yang terjadi merupakan langkah-langkah yang harus diambil secara tepat.

Laju komunikasi, teknologi dan informasi yang berkembang dengan cepat, meningkatnya tensi-tensi politik dan tuntutan orang terhadap pelayanan yang baik adalah alasan yang sangat kuat untuk merubah birokrasi yang lambat, lama dan berliku-liku menuju birokrasi yang cepat, efektif, efisien, dan komprehensif. Disamping itu, upaya-upaya memandirikan dan meningkatkan produktivitas Pemda juga menimbulkan munculnya jenis-jenis tugas baru dalam pemerintahan daerah. Industrialisasi, perdagangan antar daerah, investasi asing di daerah, pengelolaan bantuan luar negeri di daerah dan hal-hal baru yang ditanggung pemda akibat adanya otonomi dari pusat mengharuskan pejabat-pejabat (birokrat) di daerah bekerja dengan spirit wirausaha.

Pada saat ini, di era otonomi daerah, di era globalisasi, di era good local governance, semangat wirausaha menjadi kebutuhan yang sangat diperlukan bagi setiap aparatur pemerintahan, dari lapisan yang paling baah sampai di tingkat atas, karena hampir setiap jenis organisasi berhubungan dengan kinerja yang inovatif dan produktif. Sepuluh cara mewujudkan reinventing government yang disampaikan Osborne dan Gaebler tersebut di atas secara praktis telah sukses dilakukan dan secara teoritis relevan untuk ditransformasikan, perkembangan kehiduan sosial masyarakat Indonesia pun telah mendukung ke arah tersebut. Jadi, tidak perlu menunggu lama lagi untuk mewirausahakan birokrasi. Paling tidak usaha tersebut bisa dilakukan mulai dari diri kita sendiri, mulai dari hal yang kecil dan mulai dari saat ini.

 

 

2.3. Upaya perubahan birokrasi melalui ‘mewirausahakan birokrasi’.

Tulisan yang disadur dari pikiran David Osborne dan Ted Gaebler dalam bukunyaberjudul ‘Reinventing Government’ ini mencoba mencari jalan keluar terhadap permasalahan birokrasi melalui penerapan konsep kewirausahaan, baik terhadap sistem birokrasi itu sendiri maupun terhadap aparaturnya. Gagasan ini mencoba memulai dari hal yang sangat berdekatan dengan klaim bahwa birokrasi hanya sebagai pemborosan anggaran karena tidak diikuti oleh pelayan publik yang baik dan tidak produktif.

Pemerintahan wirausaha bersedia meninggalkan program dan metode lama. Ia bersifat  inovatif, produktif, efektif dan efisien, serta berani mengambil resiko. Sistem ini mengoptimalkan aset-aset negara atau daerah sebagai pendapatan, bukan sebagai penguras anggaran. Realitas harus memerintahkan dan menilai para pejabat negara dan pejabat daerah dengan apakah mereka mampu bekerja lebih keras dan lebih cerdas, serta menghasilkan pendapatan dengan anggaran yang kecil.

Secara mendasar pemerintahan dan perusahaan adalah lembaga yang berbeda. Pimpinan perusahaan didorong oleh motif laba untuk terus dapat menjalankan produksi demi keberlangsungan usahanya, sedangkan pimpinan pemerintahan didorong oleh keinginan untuk kelanggengan kekuasaannya dan keuntungan pribadi tanpa memperdulikan kondisi birokrasi dan orang-orang yang dilayaninya. Perusahaan memperoleh income dari konsumennya, sedangkan pemerintah lebih besar memperoleh income dari sektor pajak. Perusahaan biasanya didorong oleh kompetisi, sedangkan pemerintahan biasanya didorong oleh kepentingan.

 

2.4.  Transformasi Kewirausahaan Dalam Birokrasi

Transformasi kewirausahaan kedalam birokrasi dapat dilakukan dengan landasan makro dan mikro, dan keduanya harus dijalankan secara bersama-sama serta berkesinambungan.

a.       Landasan Makro          

Adapun landasan makro yang dimaksud adalah merubah regulasi kepegawaian, pola pikir, budaya, dan nilai-nilai kerja para PNS agar mereka bertransformasi menjadi PNS sebagai pelayan masyarakat yang produktif dan kompetitif. Selain itu, harus dipastikan keberlangsungan berjalannya sistem yang baik, sehingga terjadi perubahan positif menuju perbaikan kualitas pelayanan publik secara terus-menerus. Dalam tataran praktek, upaya peningkatan kualitas pelayanan publik dapat dilakukan melalui pengembangan model-model pelayanan publik seperti model contracting outdan franchising. Adapun dalam model contracting out, pemerintah memegang peran sebagai pengatur, sedangkan pelayanan publik dilaksanakan oleh swasta melalui suatu proses lelang. Untuk model franchising, pemerintah menunjuk pihak swasta untuk dapat menyediakan pelayanan publik tertentu yang diikuti dengan price regularity untuk mengatur harga maksimum.

Berdasarkan landasan makro tersebut, maka kesemuanya akan dirinci lebih lanjut dalam   bentuk konkrit program (landasan mikro).

b.      Landasan Mikro

Adapun landasan mikro yang dimaksud adalah:

1)      Penetapan standar pelayanan. Didalamnya tercakup pengembangan Standard Operating      Procedures (SOP), pelanjutan (penyempurnaan) Standar Pelayanan Minimum (SPM)     yang telah dilaksanakan oleh Depdagri.

2)      Pelaksanaan survei pelayanan publik. Untuk survei ini, maka dia dapat dilakukan oleh     Kementrian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara.

3)      Pembuatan indeks pelayanan publik. Untuk indeks ini dapat berasal dari penerapan     SPM di bidang lingkungan hidup, kesehatan, sosial, dan pemerintahan (kabupaten/kota), penyusunan anggaran Pemda, dan bidang pendidikan.

4)      Pengembangan sistem manajemen pengaduan.

Dari sisi mikro, pengaduan masyarakat merupakan satu sumber informasi bagi  upaya-upaya pihak penyelenggara pelayanan publik (PNS) untuk secara konsisten menjaga pelayanan yang dihasilkannya agar sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, perlu didisain suatu sistem pengelolaan pengaduan yang secara cepat, efektif dan efisien dalam mengolah berbagai pengaduan masyarakat, sehingga pengaduan masyarakat tersebut menjadi bahan masukan bagi perbaikan kualitas pelayanan publik ke depan.

5)      Dengan menggunakan model contracting out dan franchising perusahaan yang   memegang pelayanan publik akan berusaha untuk tetap memberikan pelayanan yang baik karena sewaktu-waktu mereka dapat digantikan oleh perusahaan lain apabila mereka tidak memberikan pelayanan yang baik terhadap publik.

 

Paradigma masyarakat Indonesia terhadap Pegawai Negeri Sipil (PNS)

Bagi masyarakat Indonesia merupakan berita yang membahagiakan saat diumumkannya dan diketahuinya akan diadakan penerimaan CPNS/CPNSD melalui media cetak maupun elektronik. Dan sebagian besar masyarakat juga telah mengetahui bahwa untuk menjadi PNS tidak diutamakan kompetensi atau kemampuan disiplin ilmu, melainkan yang diutamakan adalah kemampuan finansial dan relasi yang kuat.

Jutaan orang angkatan kerja Indonesia bermimpi untuk menjadi PNS. Mengapa? Pertama, sampai saat ini dalam paradigma masyarakat Indonesia bahwa menjadi PNS merupakan pekerjaan yang memberikan jaminan hidup sampai hari tua bahkan sampai pada kematian PNS masih mampu untuk membantu pembiayaan kehidupan keluarganya; Kedua, PNS menduduki tingkatan sosial yang lebih tinggi daripada pekerjaan-pekerjaan di bidang non pemerintahan; Ketiga, lebih ekstrim lagi bahwa pekerjaan PNS tidak memerlukan prestasi kerja yang kongkret untuk kenaikan pangkat dan jabatan.

Cita-cita menjadi PNS telah tertanam dalam pikiran generasi muda dimulai dari pengaruh keluarga, lingkungan, serta sampai pada sistem pendidikan formal. Menurut Romo Mangun, yang menulis tentang sistem kependidikan Indonesia dan mengapa orang begitu berminat menjadi PNS, “orang begitu berminat menjadi PNS (birokrat) karena kita masih mewarisi mental inlander dari zaman kolonial dulu, dimana orang dididik untuk menjadi patuh dan taat pada pemerintah, sehingga mereka nantinya bisa menjadi ambtenaar (PNS di zaman kolonial) juga. Menjadi ambtenaar itu merupakan pekerjaan terhormat pada waktu itu, dan rupanya masih terbawa hingga sekarang. Yang juga masih terbawa adalah paradigma bahwa mereka adalah bagian dari kekuasaan bukan pelayan rakyat atau pembayar pajak.”

Suatu kenyataan lagi bahwa masyarakat Indonesia telah mematahkan mitos “PNS di Indonesia itu gajinya kecil.” Hal ini diperkuat oleh Studi Bank Dunia, Deon Filmer (Bank Dunia) dan David L. Lindauer (Wellesley College) dalam kertas kerjanya berjudul‘Does Indonesia Have a Low Pay Civil Service’menunjukkan bahwa rata-rata pendapatan PNS 42% lebih tinggi dibanding pekerja swasta meski saat itu tingkatproduktifitasnya kalah ketimbang kaum buruh. Hingga pada tingkat SMA, pendapatan pegawai negeri masih lebih baik dibandingkan dengan pegawai swasta.

 

Birokrasi Memberikan Pengaruh Negatif Terhadap Paradigma Masyarakat

Disisi ironi, yaitu dari sisi birokrasi, fakta yang ada sebagai faktor internal yang menjadi sorotan negatif aparatur telah melekat menjadi stigma. Sebagai misal, kebiasaan hanya akan bekerja dengan baik jika diberikan sejumlah materi, loyalitas kepada pimpinan yang sering keluar dari Tupoksi-nya, serta lebih berorientasi pencapaian jabatan ketimbang prestasi. Hal ini memang berbentuk negatif tetapi berada pada tingkat toleransi yang tinggi karena masyarakat telah berada pada titik apatis.

 

 

Pemerintahan Wirausaha

Berdasarkan kenyataan jelek tersebut, maka diperlukan suatu upaya perubahan terhadap paradigma masyarakat yaitu melalui pendekatan sosial-budaya, serta upaya pembersihan citra negatif birokrasi dan aparaturnya (PNS) agar terbentuk sosok PNS yang bersih dan profesional melalui upaya sistematis dan komprehensif.

Pada kesempatan ini penulis tidak membahas bagaimana melakukan perubahan paradigma masyarakat terhadap birokrasi, tetapi penulis mencoba menawarkan upaya perubahan birokrasi dan aparaturnya melalui ‘mewirausahakan birokrasi’. Tulisan yang dipengaruhi oleh pikiran David Osborne dan Ted Gaebler dalam bukunya berjudul‘Reinventing Gagasan ini mencoba memulai dari hal yangsangat berdekatan dengan klaim bahwa birokrasi hanya sebagai pemborosan anggaran karena tidak diikuti oleh pelayan publik yang baik dan tidak produktif.

Pemerintahan wirausaha bersedia meninggalkan program dan metode lama. Ia bersifat inovatif, produktif, efektif dan efisien, serta berani mengambil resiko. Sistem ini mengoptimalkan aset-aset negara atau daerah sebagai pendapatan, bukan sebagai penguras anggaran. Realitas harus memerintahkan dan menilai para pejabat negara dan pejabat daerah dengan apakah mereka mampu bekerja lebih keras dan lebih cerdas, serta menghasilkan pendapatan dengan anggaran yang kecil.

Secara mendasar pemerintahan dan perusahaan adalah lembaga yang berbeda. Pimpinan perusahaan didorong oleh motif laba untuk terus dapat menjalankan produksi demi keberlangsungan usahanya, sedangkan pimpinan pemerintahan didorong oleh keinginan untuk kelanggengan kekuasaannya dan keuntungan pribadi tanpa memperdulikan kondisi birokrasi dan orang-orang yang dilayaninya. Perusahaan memperoleh income dari konsumennya, sedangkan pemerintah lebih besar memperoleh income dari sektor pajak. Perusahaan biasanya didorong oleh kompetisi, sedangkan pemerintahan biasanya didorong oleh kepentingan.

Adapun landasan makro yang dimaksud adalah merubah regulasi kepegawaian, pola pikir, budaya, dan nilai-nilai kerja para PNS agar mereka bertransformasi menjadi PNS sebagai pelayan masyarakat yang produktif dan kompetitif. Selain itu, harus dipastikan keberlangsungan berjalannya sistem yang baik, sehingga terjadi perubahan positif menuju perbaikan kualitas pelayanan publik secara terus-menerus. Dalam tataran praktek, upaya peningkatan kualitas pelayanan publik dapat dilakukan melalui pengembangan model-model pelayanan publik seperti model contracting out danfranchising. Adapun dalam model contracting out, pemerintah memegang peran sebagai pengatur, sedangkan pelayanan publik dilaksanakan oleh swasta melalui suatu proses lelang. Untuk model franchising, pemerintah menunjuk pihak swasta untuk dapat menyediakan pelayanan publik tertentu yang diikuti dengan price regularity untuk mengatur harga maksimum.

Berdasarkan landasan makro tersebut, maka kesemuanya akan dirinci lebih lanjut dalam bentuk konkrit program (landasan mikro). Landasan mikro dimaksud adalah:

1.      Penetapan standar pelayanan. Didalamnya tercakup pengembangan Standard Operating Procedures (SOP), pelanjutan (penyempurnaan) Standar Pelayanan Minimum (SPM) yang telah dilaksanakan oleh Depdagri.

2.      Pelaksanaan survei pelayanan publik. Untuk survei ini, maka dia dapat dilakukan oleh Kementrian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara.

3.      Pembuatan indeks pelayanan publik. Untuk indeks ini dapat berasal dari penerapan SPM di bidang lingkungan hidup, kesehatan, sosial, dan pemerintahan(kabupaten/kota), penyusunan anggaran Pemda, dan bidang pendidikan.

4.      Pengembangan sistem manajemen pengaduan. Dari sisi mikro, pengaduan masyarakat merupakan satu sumber informasi bagi upaya-upaya pihak penyelenggara pelayanan publik (PNS) untuk secara konsisten menjaga pelayanan yang dihasilkannya agar sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, perlu didisain suatu sistem pengelolaan pengaduan yang secara cepat, efektif dan efisien dalam mengolah berbagai pengaduan masyarakat, sehingga pengaduan masyarakat tersebut menjadi bahan masukan bagi perbaikan kualitas pelayanan publik ke depan.

5.      Dengan menggunakan model contracting out dan franchising perusahaan yang memegang pelayanan publik akan berusaha untuk tetap memberikan pelayanan yang baik karena sewaktu-waktu mereka dapat digantikan oleh perusahaan lain apabila mereka tidak memberikan pelayanan yang baik terhadap publik.

 

Transformasi Kewirausahaan Dalam Birokrasi

Transformasi kewirausahaan kedalam birokrasi dapat dilakukan dengan landasan makro dan mikro, dan keduanya harus dijalankan secara bersama-sama serta berkesinambungan.

a.       Landasan Makro          

Adapun landasan makro yang dimaksud adalah merubah regulasi kepegawaian, pola pikir, budaya, dan nilai-nilai kerja para PNS agar mereka bertransformasi menjadi PNS sebagai pelayan masyarakat yang produktif dan kompetitif. Selain itu, harus dipastikan keberlangsungan berjalannya sistem yang baik, sehingga terjadi perubahan positif menuju perbaikan kualitas pelayanan publik secara terus-menerus. Dalam tataran praktek, upaya peningkatan kualitas pelayanan publik dapat dilakukan melalui pengembangan model-model pelayanan publik seperti model contracting outdan franchising. Adapun dalam model contracting out, pemerintah memegang peran sebagai pengatur, sedangkan pelayanan publik dilaksanakan oleh swasta melalui suatu proses lelang. Untuk model franchising, pemerintah menunjuk pihak swasta untuk dapat menyediakan pelayanan publik tertentu yang diikuti dengan price regularity untuk mengatur harga maksimum.

Berdasarkan landasan makro tersebut, maka kesemuanya akan dirinci lebih lanjut dalam   bentuk konkrit program (landasan mikro).

 

b.      Landasan Mikro

Adapun landasan mikro yang dimaksud adalah:

1)      Penetapan standar pelayanan. Didalamnya tercakup pengembangan Standard Operating      Procedures (SOP), pelanjutan (penyempurnaan) Standar Pelayanan Minimum (SPM)     yang telah dilaksanakan oleh Depdagri.

2)      Pelaksanaan survei pelayanan publik. Untuk survei ini, maka dia dapat dilakukan oleh     Kementrian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara.

3)      Pembuatan indeks pelayanan publik. Untuk indeks ini dapat berasal dari penerapan     SPM di bidang lingkungan hidup, kesehatan, sosial, dan pemerintahan (kabupaten/kota), penyusunan anggaran Pemda, dan bidang pendidikan.

 

 

4)      Pengembangan sistem manajemen pengaduan.

Dari sisi mikro, pengaduan masyarakat merupakan satu sumber informasi bagi  upaya-upaya pihak penyelenggara pelayanan publik (PNS) untuk secara konsisten menjaga pelayanan yang dihasilkannya agar sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, perlu didisain suatu sistem pengelolaan pengaduan yang secara cepat, efektif dan efisien dalam mengolah berbagai pengaduan masyarakat, sehingga pengaduan masyarakat tersebut menjadi bahan masukan bagi perbaikan kualitas pelayanan publik ke depan.

5)      Dengan menggunakan model contracting out dan franchising perusahaan yang   memegang pelayanan publik akan berusaha untuk tetap memberikan pelayanan yang baik karena sewaktu-waktu mereka dapat digantikan oleh perusahaan lain apabila mereka tidak memberikan pelayanan yang baik terhadap publik.

 

2.5. Paradigma masyarakat Indonesia terhadap Pegawai Negeri Sipil (PNS)

Bagi masyarakat Indonesia merupakan berita yang membahagiakan saat diumumkannya dan diketahuinya akan diadakan penerimaan CPNS/CPNSD melalui media cetak maupun elektronik. Dan sebagian besar masyarakat juga telah mengetahui bahwa untuk menjadi PNS tidak diutamakan kompetensi atau kemampuan disiplin ilmu, melainkan yang diutamakan adalah kemampuan finansial dan relasi yang kuat.

Jutaan orang angkatan kerja Indonesia bermimpi untuk menjadi PNS. Mengapa? Pertama, sampai saat ini dalam paradigma masyarakat Indonesia bahwa menjadi PNS merupakan pekerjaan yang memberikan jaminan hidup sampai hari tua bahkan sampai pada kematian PNS masih mampu untuk membantu pembiayaan kehidupan keluarganya; Kedua, PNS menduduki tingkatan sosial yang lebih tinggi daripada pekerjaan-pekerjaan di bidang non pemerintahan; Ketiga, lebih ekstrim lagi bahwa pekerjaan PNS tidak memerlukan prestasi kerja yang kongkret untuk kenaikan pangkat dan jabatan.

Cita-cita menjadi PNS telah tertanam dalam pikiran generasi muda dimulai dari pengaruh keluarga, lingkungan, serta sampai pada sistem pendidikan formal. Menurut Romo Mangun, yang menulis tentang sistem kependidikan Indonesia dan mengapa orang begitu berminat menjadi PNS, “orang begitu berminat menjadi PNS (birokrat) karena kita masih mewarisi mental inlander dari zaman kolonial dulu, dimana orang dididik untuk menjadi patuh dan taat pada pemerintah, sehingga mereka nantinya bisa menjadi ambtenaar (PNS di zaman kolonial) juga. Menjadi ambtenaar itu merupakan pekerjaan terhormat pada waktu itu, dan rupanya masih terbawa hingga sekarang. Yang juga masih terbawa adalah paradigma bahwa mereka adalah bagian dari kekuasaan bukan pelayan rakyat atau pembayar pajak.”

Suatu kenyataan lagi bahwa masyarakat Indonesia telah mematahkan mitos “PNS di Indonesia itu gajinya kecil.” Hal ini diperkuat oleh Studi Bank Dunia, Deon Filmer (Bank Dunia) dan David L. Lindauer (Wellesley College) dalam kertas kerjanya berjudul‘Does Indonesia Have a Low Pay Civil Service’menunjukkan bahwa rata-rata pendapatan PNS 42% lebih tinggi dibanding pekerja swasta meski saat itu tingkatproduktifitasnya kalah ketimbang kaum buruh. Hingga pada tingkat SMA, pendapatan pegawai negeri masih lebih baik dibandingkan dengan pegawai swasta.

 

Birokrasi Memberikan Pengaruh Negatif Terhadap Paradigma Masyarakat

Disisi ironi, yaitu dari sisi birokrasi, fakta yang ada sebagai faktor internal yang menjadi sorotan negatif aparatur telah melekat menjadi stigma. Sebagai misal, kebiasaan hanya akan bekerja dengan baik jika diberikan sejumlah materi, loyalitas kepada pimpinan yang sering keluar dari Tupoksi-nya, serta lebih berorientasi pencapaian jabatan ketimbang prestasi. Hal ini memang berbentuk negatif tetapi berada pada tingkat toleransi yang tinggi karena masyarakat telah berada pada titik apatis.

 

Pemerintahan Wirausaha

Berdasarkan kenyataan jelek tersebut, maka diperlukan suatu upaya perubahan terhadap paradigma masyarakat yaitu melalui pendekatan sosial-budaya, serta upaya pembersihan citra negatif birokrasi dan aparaturnya (PNS) agar terbentuk sosok PNS yang bersih dan profesional melalui upaya sistematis dan komprehensif.

Pada kesempatan ini penulis tidak membahas bagaimana melakukan perubahan paradigma masyarakat terhadap birokrasi, tetapi penulis mencoba menawarkan upaya perubahan birokrasi dan aparaturnya melalui ‘mewirausahakan birokrasi’. Tulisan yang dipengaruhi oleh pikiran David Osborne dan Ted Gaebler dalam bukunya berjudul‘Reinventing Gagasan ini mencoba memulai dari hal yangsangat berdekatan dengan klaim bahwa birokrasi hanya sebagai pemborosan anggaran karena tidak diikuti oleh pelayan publik yang baik dan tidak produktif.

Pemerintahan wirausaha bersedia meninggalkan program dan metode lama. Ia bersifat inovatif, produktif, efektif dan efisien, serta berani mengambil resiko. Sistem ini mengoptimalkan aset-aset negara atau daerah sebagai pendapatan, bukan sebagai penguras anggaran. Realitas harus memerintahkan dan menilai para pejabat negara dan pejabat daerah dengan apakah mereka mampu bekerja lebih keras dan lebih cerdas, serta menghasilkan pendapatan dengan anggaran yang kecil.

Secara mendasar pemerintahan dan perusahaan adalah lembaga yang berbeda. Pimpinan perusahaan didorong oleh motif laba untuk terus dapat menjalankan produksi demi keberlangsungan usahanya, sedangkan pimpinan pemerintahan didorong oleh keinginan untuk kelanggengan kekuasaannya dan keuntungan pribadi tanpa memperdulikan kondisi birokrasi dan orang-orang yang dilayaninya. Perusahaan memperoleh income dari konsumennya, sedangkan pemerintah lebih besar memperoleh income dari sektor pajak. Perusahaan biasanya didorong oleh kompetisi, sedangkan pemerintahan biasanya didorong oleh kepentingan.

Kondisi seperti ini bersama-sama menciptakan pola pikir dimana PNS memandang resiko dan gaji secara amat berbeda dengan pegawai swasta. Resiko pemecatan PNS sangatlah kecil karena melewati prosedur yang rumit dan mempunyai ruang yang bisa ‘dikondisikan’, serta untuk mendapatkan gaji PNS tidak terbebani oleh kinerja yang baik. Sedangakan pekerja swasta sangat rentan terhadap pemecatan karena mereka harus selalu memberikan kinerja yang baik terhadap perusahaan. Pemerintah cendrung memperlakukan pegawainya dengan ‘adil’ tanpa memandang kemampuan mereka atau tuntutan mereka terhadap pelayanan publik. Hal ini hanya menghabiskan anggaran untuk belanja pegawai yang mencapai nilai ratusan triliyun rupiah. Oleh karena itu pemerintahan sebenarnya tidak bisa meraih efisiensi seperti dalam bisnis.

Transformasi kewirausahaan kedalam birokrasi dapat dilakukan dengan landasan makro dan mikro, dan keduanya harus dijalankan secara bersama-sama sertaberkesinambungan.

Adapun landasan makro yang dimaksud adalah merubah regulasi kepegawaian, pola pikir, budaya, dan nilai-nilai kerja para PNS agar mereka bertransformasi menjadi PNS sebagai pelayan masyarakat yang produktif dan kompetitif. Selain itu, harus dipastikan keberlangsungan berjalannya sistem yang baik, sehingga terjadi perubahan positif menuju perbaikan kualitas pelayanan publik secara terus-menerus. Dalam tataran praktek, upaya peningkatan kualitas pelayanan publik dapat dilakukan melalui pengembangan model-model pelayanan publik seperti model contracting out danfranchising. Adapun dalam model contracting out, pemerintah memegang peran sebagai pengatur, sedangkan pelayanan publik dilaksanakan oleh swasta melalui suatu proses lelang. Untuk model franchising, pemerintah menunjuk pihak swasta untuk dapat menyediakan pelayanan publik tertentu yang diikuti dengan price regularity untuk mengatur harga maksimum.

Berdasarkan landasan makro tersebut, maka kesemuanya akan dirinci lebih lanjut dalam bentuk konkrit program (landasan mikro). Landasan mikro dimaksud adalah:

1.      Penetapan standar pelayanan. Didalamnya tercakup pengembangan Standard Operating Procedures (SOP), pelanjutan (penyempurnaan) Standar Pelayanan Minimum (SPM) yang telah dilaksanakan oleh Depdagri.

2.      Pelaksanaan survei pelayanan publik. Untuk survei ini, maka dia dapat dilakukan oleh Kementrian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara.

3.      Pembuatan indeks pelayanan publik. Untuk indeks ini dapat berasal dari penerapan SPM di bidang lingkungan hidup, kesehatan, sosial, dan pemerintahan(kabupaten/kota), penyusunan anggaran Pemda, dan bidang pendidikan.

4.      Pengembangan sistem manajemen pengaduan. Dari sisi mikro, pengaduan masyarakat merupakan satu sumber informasi bagi upaya-upaya pihak penyelenggara pelayanan publik (PNS) untuk secara konsisten menjaga pelayanan yang dihasilkannya agar sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, perlu didisain suatu sistem pengelolaan pengaduan yang secara cepat, efektif dan efisien dalam mengolah berbagai pengaduan masyarakat, sehingga pengaduan masyarakat tersebut menjadi bahan masukan bagi perbaikan kualitas pelayanan publik ke depan.

5.      Dengan menggunakan model contracting out dan franchising perusahaan yang memegang pelayanan publik akan berusaha untuk tetap memberikan pelayanan yang baik karena sewaktu-waktu mereka dapat digantikan oleh perusahaan lain apabila mereka tidak memberikan pelayanan yang baik terhadap publik.

Apabila konsep birokrasi wirausaha ini diterapkan secara konsisten dan berkesinambungan, maka:

1.      pemerintah dapat menekan anggaran belanja pegawai yang selama ini terbuang sia-sia, misalnya disebabkan karena kebutuhan akan tenaga PNS menjadi lebih sedikit;

2.      akan terjadi persaingan antar pelayan publik untuk memberikan pelayanan yang baik kepada publik;

3.      rekruitmen PNS dilaksanakan berbasis kompetensi, efektif, dan efisien;

4.      korupsi, kolusi, dan nepotisme secara birokratis akan berkurang, baik itu dimulai pada saat rekruitmen PNS maupun sampai pada tingkat pelaksanaan kepemerintahan.

 

Mewirausahakan Birokrasi Pemerintah Daerah Di Era Good Local Governancepertama kali disampaikan oleh David Osborne dan Ted Gaebler dalam buku mereka yang berjudul Reinventing Government: How the enterpreneurial spirit is transforming the public sektor. Buku tersebut ditulis sebagai saran untuk membantu pencarian solusi di pemerintah Amerika Serikat pada tahun 1993 yang menanggung beban berat sebagai akibat ditanganinya seluruh kegiatan atau kebutuhan negara oleh pemerintah federal. Meskipun disambut dengan sikap skeptis, lambat namun pasti, apa yang disampaikan Osborne dan Gaebler dalam buku tersebut ternyata membawa angin segar bagi pemerintah federal dalam menyikapi permasalahan yang sedang dihadapi pada saat itu.

Apa yang terjadi pada pemerintahan Amerika Serikat pada saat itu sebenarnya tidak jauh berbeda dengan kondisi Indonesia saat ini yang sedang mengawali era GLG dimana sebagian wewenang pemerintah pusat didelegasikan pada pemerintahan di daerah. Di GLG, pejabat negara (di daerah) harus kreatif, mandiri dan inovatif dalam melaksanakan tugas-tugas kepemerintahannya karena inti dari otonomi daerah ialah keleluasaan dan kebebasan lebih luas untuk menggali dan mengolah aset-aset alamiahnya. Mereka akan lebih banyak bekerjasama langsung dan lebih luas dengan swasta. Hal inilah yang menjadi cakupan dalam Reinventing Government yang sering disebut juga dengan Mewirausahakan Birokrasi.

Permasalahan yang sering muncul dalam memahami reinventing government adalah adanya anggapan bahwa dengan adanya konsep mewirausahakan birokrasi tersebut berarti kantor dinas/ instansi di Pemerintahan Daerah (pemda) dituntut untuk “berbisnis” agar dapat memberi nilai tambah untuk PAD. Padahal, maksud yang sebenarnya adalah memberdayakan institusional. Bukan menciptakan “pengusaha” dalam lingkungan birokrasi pemerintahan.

Menurut Osborne dan Gaebler, mewirausahakan birokrasi berarti mentransformasikan semangat wirausaha ke dalam sektor publik. Di era otonomi daerah, dimana pemerintah di daerah dituntut untuk bisa mandiri, usaha tersebut dapat diterapkan agar produktivitas dan efisiensi kerja Pemda bisa dioptimalkan. Oleh karena itu, pemahaman atas cara-cara mewirausahakan birokrasi Pemerintahan Daerah harus dikuasai oleh aparat birokrasi, terlebih-lebih oleh Bupati/ Walikota termasuk pimpinan pada tiap-tiap instansi / dinas.

Berkaitan dengan hal tersebut, Osborne dan Gaebler mengemukakan sepuluh prinsip untuk mebentuk birokrasi-wirausaha, yaitu:

1)      Pemerintah sebagai pembuat kebijakan harus lebih menjadi pengarah daripada menjadi pelaksana. Misalnya adalah bekerjasama dengan pihak swasta dalam melakukan pemungutan pajak, akan tetapi penentuan Wajib Pajak dan besarnya pungutan pajak tetap dilakukan oleh pemerintah.

2)      Pemerintah sebagai milik masyarakat harus lebih memberdayakan masyarakat ketimbang terus-menerus melayani masyarakat. Salah satu upayanya adalah dengan menghimbau masyarakat agar mampu mengurus keamanan lingkungannya sendiri.

3)      Pemerintah sebagai institusi yang berada di alam kompetisi haruslah menyuntikkan semangat persaingan ke dalam tubuh aparat dan organisasi pelayanannya. Misalnya dengan memberikan peluang bagi swasta dalam menangani urusan-urusan yang dimonopoli pemerintah, seperti air minum, listrik, dan telepon.

4)      Unit-unit pemerintahan sebagai lembaga yang bertugas mewujudkan misi harus lebih diberi kebebasan dalam berkreasi dan berinovasi. Untuk itu, petunjuk pelaksanaan yang kaku dan mengikat harus dihindarkan, baik mengenai keuangan, kepegawaian, maupun pelayanan kepada masyarakat.

5)      Pemerintah harus lebih mementingkan hasil yang akan dicapai daripada terlalu memfokuskan pada faktor masukan (input). Misalnya, pemberian bantuan untuk suatu sekolah haruslah lebih didasarkan kepada kinerja dan produktivitasnya daripada jumlah muridnya.

6)      Pemerintah sebagai pelayan masyarakat harus lebih mementingkan terpenuhinya kepuasan pelanggan, bukannya memenuhi apa yang menjadi kemauan birokrasi itu sendiri. Untuk itu, cara-cara baru dalam memikat pelanggan harus dilakukan.

7)      Pemerintah sebagai suatu badan usaha harus pandai mencari uang dan tidak hanya bisa membelanjakannya. Oleh karena itu, cara-cara mencari sumber penghasilan yang baru dan menggalakkan investasi harus selalu menjadi pemikiran para manajer pemerintahan.

8)      Pemerintah sebagai lembaga yang memiliki daya antisipatif harus mampu mencegah daripada hanya menanggulangi masalah. Misalnya soal kebakaran, dengan memakai prinsip ini, bukan mobil pemadam kebakaran yang dibeli terus tetapi supervisi/ pengawasan terhadap bangunan yang harus ditingkatkan.

9)      Pemerintah harus menggeser pola kerja hierarki yang dianut ke model kerja partisipasi dan kerja sama. Misalnya, rantai organisasi yang panjang dan ‘gemuk’ harus dikurangi, struktur organisasi yang tebal harus ditipiskan, dan gugus kendali mutu harus dikembangkan.

10)  Pemerintah sebagai pihak yang berorientasi pada pasar harus berusaha mengatrol perubahan lewat penguasaannya terhadap mekanisme pasar. Misalnya, dalam menangani sampah yang berasal dari botol minuman, daripada membiayai usaha daur ulang yang mahal, lebih baik pemerintah mensyaratkan pengusaha minuman untuk membayar setiap pembeli yang mengembalikan botolnya.

Berdasarkan kesepuluh cara tersebut di atas, tidak dapat dihindari bahwa upaya mewirausahakan birokrasi akan berdampak pada perubahan-perubahan (reformasi) dalam instansi Pemda. Perubahan yang dilakukan adalah dalam rangka melakukan penyesuaian-penyesuaian terhadap mekanisme birokrasi-wirausaha di setiap lapisan birokrasi. Perubahan tersebut dapat berupa debirokratisasi, deregulasi, rekonstruksi pemerintahan daerah, reposisi instansi-instansi, bahkan rasionalisasi pegawai. Dalam perkembangannya, upaya-upaya penyesuaian tersebut harus dapat menjamin terciptanya produktivitas dan efisiensi kerja Pemda yang maksimal.

Lebih meluas lagi, upaya mewirausahakan birokrasi Pemerintah Daerah, disamping untuk mewujudkan pemerintahan yang mandiri, juga untuk menunjang perubahan peran pemerintah dalam mengahdapi perkembangan masyarakat yang semakin pesat di era Globalisasi. Ada beberapa faktor yang dapat diidentifikasi atas perubahan peran pemerintah tersebut, yaitu:

·         Semakin kompleksnya permasalahan-permasalahan di sektor publik sebagai akibat berkembangnya teknologi dan informasi

·         Kenyataan telah membuktikan bahwa monopoli yang dilakukan pemerintah tidak menghasilkan pelayanan yang lebih baik dan adanya tuntutan menyangkut distribusi sumber daya yang lebih baik ditentukan oleh mekanisme pasar

·         Mulai turunnya kepercayaan atas peran pemerintah dalam menyelesaikan masalah-masalah di sektor public

·         Akibat kemajuan masyarakat, terjadi perubahan tuntutan agar pemerintah memberikan pelayanan dengan lebih baik karena adanya perubahan nilai-nilai dalam masyarakat

·         Ada fakta/ realita bahwa sektor swasta lebih baik dalam memberikan pelayanan daripada sektor public

Permsalahan utama yang muncul dalam mewirausahakan birokrasi di pemerintahan daerah pada dasarnya terletak pada instansi/ dinas Pemda itu sendiri. Sejauh mana pelaku birokrasi dapat mengantisipasi perubahan-perubahan yang terjadi baik di lingkungan organisasi internal maupun di masyarakat, seberapa besar usaha pemerintah daerah untuk mentransformasikan semangat wirausaha ke dalam sektor publik dan bagaimana mereka menyikapi perubahan-perubahan yang terjadi merupakan langkah-langkah yang harus diambil secara tepat.

Laju komunikasi, teknologi dan informasi yang berkembang dengan cepat, meningkatnya tensi-tensi politik dan tuntutan orang terhadap pelayanan yang baik adalah alasan yang sangat kuat untuk merubah birokrasi yang lambat, lama dan berliku-liku menuju birokrasi yang cepat, efektif, efisien, dan komprehensif. Disamping itu, upaya-upaya memandirikan dan meningkatkan produktivitas Pemda juga menimbulkan munculnya jenis-jenis tugas baru dalam pemerintahan daerah. Industrialisasi, perdagangan antar daerah, investasi asing di daerah, pengelolaan bantuan luar negeri di daerah dan hal-hal baru yang ditanggung pemda akibat adanya otonomi dari pusat mengharuskan pejabat-pejabat (birokrat) di daerah bekerja dengan spirit wirausaha.

Pada saat ini, di era otonomi daerah, di era globalisasi, di era good local governance, semangat wirausaha menjadi kebutuhan yang sangat diperlukan bagi setiap aparatur pemerintahan, dari lapisan yang paling baah sampai di tingkat atas, karena hampir setiap jenis organisasi berhubungan dengan kinerja yang inovatif dan produktif. Sepuluh cara mewujudkan reinventing government yang disampaikan Osborne dan Gaebler tersebut di atas secara praktis telah sukses dilakukan dan secara teoritis relevan untuk ditransformasikan, perkembangan kehiduan sosial masyarakat Indonesia pun telah mendukung ke arah tersebut. Jadi, tidak perlu menunggu lama lagi untuk mewirausahakan birokrasi. Paling tidak usaha tersebut bisa dilakukan mulai dari diri kita sendiri, mulai dari hal yang kecil dan mulai dari saat ini.

 

Upaya perubahan birokrasi dan aparaturnya melalui ‘reveinting government’.

Tulisan yang disadur dari pikiran David Osborne dan Ted Gaebler dalam bukunyaberjudul ‘Reinventing Government’ ini mencoba mencari jalan keluar terhadap permasalahan birokrasi melalui penerapan konsep kewirausahaan, baik terhadap sistem birokrasi itu sendiri maupun terhadap aparaturnya. Gagasan ini mencoba memulai dari hal yang sangat berdekatan dengan klaim bahwa birokrasi hanya sebagai pemborosan anggaran karena tidak diikuti oleh pelayan publik yang baik dan tidak produktif.

Pemerintahan wirausaha bersedia meninggalkan program dan metode lama. Ia bersifat  inovatif, produktif, efektif dan efisien, serta berani mengambil resiko. Sistem ini mengoptimalkan aset-aset negara atau daerah sebagai pendapatan, bukan sebagai penguras anggaran. Realitas harus memerintahkan dan menilai para pejabat negara dan pejabat daerah dengan apakah mereka mampu bekerja lebih keras dan lebih cerdas, serta menghasilkan pendapatan dengan anggaran yang kecil.

Secara mendasar pemerintahan dan perusahaan adalah lembaga yang berbeda. Pimpinan perusahaan didorong oleh motif laba untuk terus dapat menjalankan produksi demi keberlangsungan usahanya, sedangkan pimpinan pemerintahan didorong oleh keinginan untuk kelanggengan kekuasaannya dan keuntungan pribadi tanpa memperdulikan kondisi birokrasi dan orang-orang yang dilayaninya. Perusahaan memperoleh income dari konsumennya, sedangkan pemerintah lebih besar memperoleh income dari sektor pajak. Perusahaan biasanya didorong oleh kompetisi, sedangkan pemerintahan biasanya didorong oleh kepentingan.

 

 

BAB III

P ENUTUP

 

4.1. Kesimpulan

Mewirausahakan birokrasi merupakan proses bagaimana menata dan mengolah birokrasi yang semula kaku menjadi birokrasi yang professional, inovatif dan tidak menyeleweng.

Praktek mewirausahakan birokrasi merupakan pola dalam mengubah tatanan birokrasi untuk menjadi lebih baik agar birokrasi tidak terpengaruh oleh kebijakan kepentingan golongan, kultur dan lain sebagainya. Perilaku mewirausahakan birokrasi juga dibutuhkan sikap responsive dan akuntabel dari pemerintah atau birokrat itu sendiri terhadap system dan pelayanan yang diterapkan. Sebagai masyarakat pun harus bertindak proaktif dan responsive terhadap berbagai jenis kebiajakn agar senantiasa mengawasi secara langsung  dalam pelayanan birokrasi tersebut. Pelaksanaan wirausaha birokrasi didasarkan pada prinsip-prinsi mewirausahakan birokrasi.

Konteks mewirausahakan birokrasi ini sendiri muncul dari adanya, .

1)             Organ pemerintah yang gemuk dan lamban, sehingga cenderung bersifatspending  daripada mendatangkan profit dalam wilayah fiskal.

2)             Pelayanan publik yang tidak efektif dan lambat, sehingga melahirkan ketidakpercayaan masyarakat pada kapasitas pemerintah dalam menyelenggarakan pelayanan publik.

Pemerintahan wirausaha bersedia meninggalkan program lama. Ia bersifat inovatif, imajinatif dan kreatif, serta berani mengambil resiko. Ia juga mengubah beberapa fungsi kota menjadi sarana penghasil uang daripada menguras anggaran, menjauhkan diri dari alternatif tradisional yang hanya memberikan sistem penopang hidup. Ia bekerja-sama dengan sektor swasta, menggunakan pengertian bisnis yang mendalam, menswastakan diri, mendirikan berbagai perusahaan yang menghasilkan laba. Ia berorientasi pasar, memusatkan pada ukuran kinerja, memberi penghargaan pada jasa. Ia pun harus mengatakan: mari kita selesaikan pekerjaan ini dan tidak takut untuk memimpikan hal-hal besar.

 

 

 

4.2.       Saran

Adapun saran yang dapat diberikan kepada pembaca dan penulis mengenai makalah ini adalah :

    1)      Diharapkan hasil penulisan makalah ini dapat dijadikan sebagai bahan bacaan dan ilmu pengetahuan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

http://aburizaltuharea.blogspot.com/2013/05/makalah-mewirausahakan-birokrasi.html

No comments:

Post a Comment

buku bimbingan

                                                                                                                                            ...

082126189815

Name

Email *

Message *