BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Konsep
Mewirausahakan Birokrasi (Reinventing Government) pertama kali disampaikan oleh
David Osborne dan Ted Gaebler dalam buku mereka yang berjudul Reinventing
Government: How the enterpreneurial spirit is transforming the public sektor.
Buku tersebut ditulis sebagai saran untuk membantu pencarian solusi di
pemerintah Amerika Serikat pada tahun 1993 yang menanggung beban berat sebagai
akibat ditanganinya seluruh kegiatan atau kebutuhan negara oleh pemerintah
federal. Meskipun disambut dengan sikap skeptis, lambat namun pasti, apa yang
disampaikan Osborne dan Gaebler dalam buku tersebut ternyata membawa angin
segar bagi pemerintah federal dalam menyikapi permasalahan yang sedang dihadapi
pada saat itu.
Apa
yang terjadi pada pemerintahan Amerika Serikat pada saat itu sebenarnya tidak
jauh berbeda dengan kondisi Indonesia saat ini yang sedang mengawali era GLG
dimana sebagian wewenang pemerintah pusat didelegasikan pada pemerintahan di
daerah. Di GLG, pejabat negara (di daerah) harus kreatif, mandiri dan inovatif
dalam melaksanakan tugas-tugas kepemerintahannya karena inti dari otonomi
daerah ialah keleluasaan dan kebebasan lebih luas untuk menggali dan mengolah
aset-aset alamiahnya.
Mereka
akan lebih banyak bekerjasama langsung dan lebih luas dengan swasta. Hal inilah
yang menjadi cakupan dalam Reinventing Government yang sering disebut
juga dengan Mewirausahakan Birokrasi.
Permasalahan
yang sering muncul dalam memahami reinventing government adalah adanya anggapan
bahwa dengan adanya konsep mewirausahakan birokrasi tersebut berarti kantor
dinas/ instansi di Pemerintahan Daerah (pemda) dituntut untuk “berbisnis” agar
dapat memberi nilai tambah untuk PAD. Padahal, maksud yang sebenarnya adalah
memberdayakan institusional. Bukan menciptakan “pengusaha” dalam lingkungan
birokrasi pemerintahan.
Menurut
Osborne dan Gaebler, mewirausahakan birokrasi berarti mentransformasikan
semangat wirausaha ke dalam sektor publik. Di era otonomi daerah, dimana
pemerintah di daerah dituntut untuk bisa mandiri, usaha tersebut dapat diterapkan
agar produktivitas dan efisiensi kerja Pemda bisa dioptimalkan. Oleh karena
itu, pemahaman atas cara-cara mewirausahakan birokrasi Pemerintahan Daerah
harus dikuasai oleh aparat birokrasi, terlebih-lebih oleh Bupati/ Walikota
termasuk pimpinan pada tiap-tiap instansi/ dinas.
Secara mendasar pemerintahan dan perusahaan
adalah lembaga yang berbeda. Pimpinan perusahaan didorong oleh motif laba untuk
terus dapat menjalankan produksi demi keberlangsungan usahanya, sedangkan
pimpinan pemerintahan didorong oleh keinginan untuk kelanggengan kekuasaannya
dan keuntungan pribadi tanpa memperdulikan kondisi birokrasi dan orang-orang
yang dilayaninya. Perusahaan memperoleh income dari konsumennya, sedangkan
pemerintah lebih besar memperoleh income dari sektor pajak. Perusahaan biasanya
didorong oleh kompetisi, sedangkan pemerintahan biasanya didorong oleh
kepentingan.
Kondisi seperti ini bersama-sama menciptakan
pola pikir dimana PNS memandang resiko dan gaji secara amat berbeda dengan
pegawai swasta. Resiko pemecatan PNS sangatlah kecil karena melewati prosedur
yang rumit dan mempunyai ruang yang bisa ‘dikondisikan’, serta untuk
mendapatkan gaji PNS tidak terbebani oleh kinerja yang baik. Sedangakan pekerja
swasta sangat rentan terhadap pemecatan karena mereka harus selalu memberikan
kinerja yang baik terhadap perusahaan. Pemerintah cendrung memperlakukan
pegawainya dengan ‘adil’ tanpa memandang kemampuan mereka atau tuntutan mereka
terhadap pelayanan publik. Hal ini hanya menghabiskan anggaran untuk belanja pegawai
yang mencapai nilai ratusan triliyun rupiah. Oleh karena itu pemerintahan
sebenarnya tidak bisa meraih efisiensi seperti dalam bisnis.
Secara
mendasar pemerintahan dan perusahaan adalah lembaga yang berbeda. Pimpinan
perusahaan didorong oleh motif laba untuk terus dapat menjalankan produksi demi
keberlangsungan usahanya, sedangkan pimpinan pemerintahan didorong oleh
keinginan untuk kelanggengan kekuasaannya dan keuntungan pribadi tanpa
memperdulikan kondisi birokrasi dan orang-orang yang dilayaninya. Perusahaan
memperoleh income dari konsumennya, sedangkan pemerintah lebih besar memperoleh
income dari sektor pajak. Perusahaan biasanya didorong oleh kompetisi,
sedangkan pemerintahan biasanya didorong oleh kepentingan.
Berdasarkan
kenyataan jelek tersebut, maka diperlukan suatu
upaya perubahan terhadap paradigma masyarakat yaitu melalui pendekatan
sosial-budaya, serta upaya pembersihan citra negatif birokrasi dan
aparaturnya (PNS) agar terbentuk sosok PNS yang bersih dan profesional
melalui upaya sistematis dan komprehensif.
Kondisi
seperti ini bersama-sama menciptakan pola pikir dimana PNS memandang resiko dan
gaji secara amat berbeda dengan pegawai swasta. Resiko pemecatan PNS sangatlah
kecil karena melewati prosedur yang rumit dan mempunyai ruang yang bisa
‘dikondisikan’, serta untuk mendapatkan gaji PNS tidak terbebani oleh kinerja
yang baik. Sedangakan pekerja swasta sangat rentan terhadap pemecatan karena
mereka harus selalu memberikan kinerja yang baik terhadap perusahaan.
Pemerintah cendrung memperlakukan pegawainya dengan ‘adil’ tanpa memandang
kemampuan mereka atau tuntutan mereka terhadap pelayanan publik. Hal ini hanya
menghabiskan anggaran untuk belanja pegawai yang mencapai nilai ratusan
triliyun rupiah. Oleh karena itu pemerintahan sebenarnya tidak bisa meraih
efisiensi seperti dalam bisnis.
Konsep
Mewirausahakan Birokrasi (Reinventing Government) pertama kali disampaikan oleh
David Osborne dan Ted Gaebler dalam buku mereka yang berjudul Reinventing
Government: How the enterpreneurial spirit is transforming the public sektor.
Buku tersebut ditulis sebagai saran untuk membantu pencarian solusi di
pemerintah Amerika Serikat pada tahun 1993 yang menanggung beban berat sebagai
akibat ditanganinya seluruh kegiatan atau kebutuhan negara oleh pemerintah federal.
Meskipun disambut dengan sikap skeptis, lambat namun pasti, apa yang
disampaikan Osborne dan Gaebler dalam buku tersebut ternyata membawa angin
segar bagi pemerintah federal dalam menyikapi permasalahan yang sedang dihadapi
pada saat itu.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas, maka masalah dalam penelitian ini dirumuskan
sebagai berikut :
1. Apakah
Yang Dimaksud Dengan Mewirausahakan Birokrasi.
2. Bagaimna
Mewirausahakan Birokrasi Pemerintah Daerah Di Era Good Local Governance.
3. Bagaimana
mengupaya perubahan birokrasi dan aparaturnya melalui ‘mewirausahakan
birokrasi.
4. Bagaimana Transformasi
kewirausahaan dalam birokrasi
1.3. Tujuan
Adapun
beberapa tujuan yang dapat diketahui di dalam penulisan makalah ini
antara lain:
1.
Untuk mengetahui serta
memahami Mewirausahakan Birokrasi
2.
Untuk mengetahui serta
memahami Mewirausahakan Birokrasi Pemerintah Daerah Di Era Good
Local Governance
3.
Untuk mengetahui serta
memahami perubahan birokrasi dan aparaturnya melalui ‘mewirausahakan
birokrasi.
4.
Untuk mengetahui serta memahami Transformasi
kewirausahaan dalam birokrasi
1.4. Manfaat
Adapun
manfaat yang dapat diambil dari penulisan makalah ini adalah:
1. Hasil
penulisan ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada pembaca mengenai
Mewirausahakan Birokrasi
2. Hasil
dari penulisan ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan yang sudah
dapat selama pendidikan dan merupakan pengalaman yang berharga bagi penulis
dalam rangka menambah wawasan pengetahuan tentang Mewirausahakan Birokrasi
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Reinventing Government
Penjelasan
kalimat mewirausahakan birokrasi adalah bukan bagaimana birokrasi tersebut
melakukan wirausaha untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya, namun
mewirausahakan birokrasi disini berarti mengubah system, atau pengaturan
birokrasi yang kaku, kulturis, dan irasional.
Di era otonomi
daerah ini menurut saya konsep mewirausahakan birokrasi sangatlah baik untuk
diterapkan karena dengan adanya otonomi membuat setiap daerah berupaya untuk
mengatur birokrasi agar dapat berjalan secara akuntabilitas, responsive,
inovatif dan professional serta entrepreneur. entrepreneur disini berarti
pemerintah daerah mempunyai semangat kewirausahaan dimana birokrasi diusahakan
lebih inovatif dalam memberikan pelayanan public agar dapast menjawab
perkembangan masyarakat di era globalisasi.
Mewirausahakan birokrasi
sangatlah tepat diterapkan pada pendekatan
New Public Manajemen (NPM) dimana orientasi birokrasi yang lebih demokratis dan
fleksibel tergantung pada perkembangan masyarakat, adanya tingkat rasio yang
tinggi, dan masyarakat mempunyai posisi tawar yang tinggi dalam
menerima pelayanan publik.
Konteks
kemunculan mewirausahakan birokrasi berawal dari
1. Organ
pemerintah yang gemuk dan lamban, sehingga cenderung bersifat spending daripada
mendatangkan profit dalam wilayah fiskal.
2. Pelayanan
publik yang tidak efektif dan lambat, sehingga melahirkan ketidakpercayaan
masyarakat pada kapasitas pemerintah dalam menyelrnggarakan pelayanan publik.
Mewirausahakan
birokrasi menurut William Hudnut menyatakan bahwa :
Pemerintahan
wirausaha bersedia meninggalkan program lama. Ia bersifat inovatif, imajinatif
dan kreatif, serta berani mengambil resiko. Ia juga mengubah beberapa fungsi
kota menjadi sarana penghasil uang daripada menguras anggaran, menjauhkan diri
dari alternatif tradisional yang hanya memberikan sistem penopang hidup. Ia
bekerja-sama dengan sektor swasta, menggunakan pengertian bisnis yang mendalam,
menswastakan diri, mendirikan berbagai perusahaan yang menghasilkan laba. Ia
berorientasi pasar, memusatkan pada ukuran kinerja, memberi penghargaan pada
jasa. Ia pun harus mengatakan: mari kita selesaikan pekerjaan ini dan tidak
takut untuk memimpikan hal-hal besar.
2.2.
Reinventing
Government di era Good Local Government
Mewirausahakan Birokrasi
Pemerintah Daerah Di Era Good Local Governancepertama kali disampaikan
oleh David Osborne dan Ted Gaebler dalam buku mereka yang
berjudul Reinventing Government: How the enterpreneurial spirit is
transforming the public sektor. Buku tersebut ditulis sebagai saran untuk
membantu pencarian solusi di pemerintah Amerika Serikat pada tahun 1993 yang
menanggung beban berat sebagai akibat ditanganinya seluruh kegiatan atau
kebutuhan negara oleh pemerintah federal. Meskipun disambut dengan sikap
skeptis, lambat namun pasti, apa yang disampaikan Osborne dan Gaebler dalam
buku tersebut ternyata membawa angin segar bagi pemerintah federal dalam
menyikapi permasalahan yang sedang dihadapi pada saat itu.
Apa
yang terjadi pada pemerintahan Amerika Serikat pada saat itu sebenarnya tidak
jauh berbeda dengan kondisi Indonesia saat ini yang sedang mengawali era GLG
dimana sebagian wewenang pemerintah pusat didelegasikan pada pemerintahan di
daerah. Di GLG, pejabat negara (di daerah) harus kreatif, mandiri dan inovatif
dalam melaksanakan tugas-tugas kepemerintahannya karena inti dari otonomi
daerah ialah keleluasaan dan kebebasan lebih luas untuk menggali dan mengolah
aset-aset alamiahnya. Mereka akan lebih banyak bekerjasama langsung dan lebih
luas dengan swasta. Hal inilah yang menjadi cakupan dalam Reinventing
Government yang sering disebut juga dengan Mewirausahakan Birokrasi.
Permasalahan
yang sering muncul dalam memahami reinventing government adalah adanya anggapan
bahwa dengan adanya konsep mewirausahakan birokrasi tersebut berarti kantor
dinas/ instansi di Pemerintahan Daerah (pemda) dituntut untuk “berbisnis” agar
dapat memberi nilai tambah untuk PAD. Padahal, maksud yang sebenarnya adalah
memberdayakan institusional. Bukan menciptakan “pengusaha” dalam lingkungan birokrasi
pemerintahan.
Menurut
Osborne dan Gaebler, mewirausahakan birokrasi berarti mentransformasikan
semangat wirausaha ke dalam sektor publik. Di era otonomi daerah, dimana
pemerintah di daerah dituntut untuk bisa mandiri, usaha tersebut dapat diterapkan
agar produktivitas dan efisiensi kerja Pemda bisa dioptimalkan. Oleh karena
itu, pemahaman atas cara-cara mewirausahakan birokrasi Pemerintahan Daerah
harus dikuasai oleh aparat birokrasi, terlebih-lebih oleh Bupati/ Walikota
termasuk pimpinan pada tiap-tiap instansi / dinas.
Berkaitan
dengan hal tersebut, Osborne dan Gaebler mengemukakan sepuluh prinsip untuk
mebentuk birokrasi-wirausaha, yaitu:
1) Pemerintah
sebagai pembuat kebijakan harus lebih menjadi pengarah daripada menjadi
pelaksana. Misalnya adalah bekerjasama dengan pihak swasta dalam melakukan
pemungutan pajak, akan tetapi penentuan Wajib Pajak dan besarnya pungutan pajak
tetap dilakukan oleh pemerintah.
2) Pemerintah
sebagai milik masyarakat harus lebih memberdayakan masyarakat ketimbang
terus-menerus melayani masyarakat. Salah satu upayanya adalah dengan menghimbau
masyarakat agar mampu mengurus keamanan lingkungannya sendiri.
3) Pemerintah
sebagai institusi yang berada di alam kompetisi haruslah menyuntikkan semangat
persaingan ke dalam tubuh aparat dan organisasi pelayanannya. Misalnya dengan
memberikan peluang bagi swasta dalam menangani urusan-urusan yang dimonopoli
pemerintah, seperti air minum, listrik, dan telepon.
4) Unit-unit
pemerintahan sebagai lembaga yang bertugas mewujudkan misi harus lebih diberi
kebebasan dalam berkreasi dan berinovasi. Untuk itu, petunjuk pelaksanaan yang
kaku dan mengikat harus dihindarkan, baik mengenai keuangan, kepegawaian,
maupun pelayanan kepada masyarakat.
5) Pemerintah
harus lebih mementingkan hasil yang akan dicapai daripada terlalu memfokuskan
pada faktor masukan (input). Misalnya, pemberian bantuan untuk suatu sekolah
haruslah lebih didasarkan kepada kinerja dan produktivitasnya daripada jumlah
muridnya.
6) Pemerintah
sebagai pelayan masyarakat harus lebih mementingkan terpenuhinya kepuasan
pelanggan, bukannya memenuhi apa yang menjadi kemauan birokrasi itu sendiri.
Untuk itu, cara-cara baru dalam memikat pelanggan harus dilakukan.
7) Pemerintah
sebagai suatu badan usaha harus pandai mencari uang dan tidak hanya bisa
membelanjakannya. Oleh karena itu, cara-cara mencari sumber penghasilan yang
baru dan menggalakkan investasi harus selalu menjadi pemikiran para manajer
pemerintahan.
8) Pemerintah
sebagai lembaga yang memiliki daya antisipatif harus mampu mencegah daripada
hanya menanggulangi masalah. Misalnya soal kebakaran, dengan memakai prinsip
ini, bukan mobil pemadam kebakaran yang dibeli terus tetapi supervisi/
pengawasan terhadap bangunan yang harus ditingkatkan.
9) Pemerintah
harus menggeser pola kerja hierarki yang dianut ke model kerja partisipasi dan
kerja sama. Misalnya, rantai organisasi yang panjang dan ‘gemuk’ harus
dikurangi, struktur organisasi yang tebal harus ditipiskan, dan gugus kendali
mutu harus dikembangkan.
10) Pemerintah
sebagai pihak yang berorientasi pada pasar harus berusaha mengatrol perubahan
lewat penguasaannya terhadap mekanisme pasar. Misalnya, dalam menangani sampah
yang berasal dari botol minuman, daripada membiayai usaha daur ulang yang
mahal, lebih baik pemerintah mensyaratkan pengusaha minuman untuk membayar
setiap pembeli yang mengembalikan botolnya.
Berdasarkan
kesepuluh cara tersebut di atas, tidak dapat dihindari bahwa upaya
mewirausahakan birokrasi akan berdampak pada perubahan-perubahan (reformasi)
dalam instansi Pemda. Perubahan yang dilakukan adalah dalam rangka melakukan
penyesuaian-penyesuaian terhadap mekanisme birokrasi-wirausaha di setiap
lapisan birokrasi. Perubahan tersebut dapat berupa debirokratisasi, deregulasi,
rekonstruksi pemerintahan daerah, reposisi instansi-instansi, bahkan
rasionalisasi pegawai. Dalam perkembangannya, upaya-upaya penyesuaian tersebut
harus dapat menjamin terciptanya produktivitas dan efisiensi kerja Pemda yang
maksimal.
Lebih
meluas lagi, upaya mewirausahakan birokrasi Pemerintah Daerah, disamping untuk
mewujudkan pemerintahan yang mandiri, juga untuk menunjang perubahan peran
pemerintah dalam mengahdapi perkembangan masyarakat yang semakin pesat di era
Globalisasi. Ada beberapa faktor yang dapat diidentifikasi atas perubahan peran
pemerintah tersebut, yaitu:
·
Semakin kompleksnya permasalahan-permasalahan
di sektor publik sebagai akibat berkembangnya teknologi dan informasi
·
Kenyataan telah membuktikan bahwa monopoli
yang dilakukan pemerintah tidak menghasilkan pelayanan yang lebih baik dan
adanya tuntutan menyangkut distribusi sumber daya yang lebih baik ditentukan
oleh mekanisme pasar
·
Mulai turunnya kepercayaan atas peran
pemerintah dalam menyelesaikan masalah-masalah di sektor public
·
Akibat kemajuan masyarakat, terjadi perubahan
tuntutan agar pemerintah memberikan pelayanan dengan lebih baik karena adanya
perubahan nilai-nilai dalam masyarakat
·
Ada fakta/ realita bahwa sektor swasta lebih
baik dalam memberikan pelayanan daripada sektor public
Permsalahan
utama yang muncul dalam mewirausahakan birokrasi di pemerintahan daerah pada
dasarnya terletak pada instansi/ dinas Pemda itu sendiri. Sejauh mana pelaku
birokrasi dapat mengantisipasi perubahan-perubahan yang terjadi baik di
lingkungan organisasi internal maupun di masyarakat, seberapa besar usaha
pemerintah daerah untuk mentransformasikan semangat wirausaha ke dalam sektor
publik dan bagaimana mereka menyikapi perubahan-perubahan yang terjadi
merupakan langkah-langkah yang harus diambil secara tepat.
Laju
komunikasi, teknologi dan informasi yang berkembang dengan cepat, meningkatnya
tensi-tensi politik dan tuntutan orang terhadap pelayanan yang baik adalah
alasan yang sangat kuat untuk merubah birokrasi yang lambat, lama dan
berliku-liku menuju birokrasi yang cepat, efektif, efisien, dan komprehensif.
Disamping itu, upaya-upaya memandirikan dan meningkatkan produktivitas Pemda
juga menimbulkan munculnya jenis-jenis tugas baru dalam pemerintahan daerah.
Industrialisasi, perdagangan antar daerah, investasi asing di daerah,
pengelolaan bantuan luar negeri di daerah dan hal-hal baru yang ditanggung
pemda akibat adanya otonomi dari pusat mengharuskan pejabat-pejabat (birokrat)
di daerah bekerja dengan spirit wirausaha.
Pada
saat ini, di era otonomi daerah, di era globalisasi, di era good local
governance, semangat wirausaha menjadi kebutuhan yang sangat diperlukan bagi
setiap aparatur pemerintahan, dari lapisan yang paling baah sampai di tingkat
atas, karena hampir setiap jenis organisasi berhubungan dengan kinerja yang
inovatif dan produktif. Sepuluh cara mewujudkan reinventing
government yang disampaikan Osborne dan Gaebler tersebut di atas secara
praktis telah sukses dilakukan dan secara teoritis relevan untuk
ditransformasikan, perkembangan kehiduan sosial masyarakat Indonesia pun telah
mendukung ke arah tersebut. Jadi, tidak perlu menunggu lama lagi untuk
mewirausahakan birokrasi. Paling tidak usaha tersebut bisa dilakukan mulai dari
diri kita sendiri, mulai dari hal yang kecil dan mulai dari saat ini.
2.3. Upaya perubahan birokrasi melalui
‘mewirausahakan birokrasi’.
Tulisan yang
disadur dari pikiran David Osborne dan Ted Gaebler dalam
bukunyaberjudul ‘Reinventing Government’ ini mencoba mencari jalan
keluar terhadap permasalahan birokrasi melalui penerapan konsep
kewirausahaan, baik terhadap sistem birokrasi itu sendiri maupun terhadap
aparaturnya. Gagasan ini mencoba memulai dari hal yang sangat berdekatan dengan
klaim bahwa birokrasi hanya sebagai pemborosan anggaran karena tidak
diikuti oleh pelayan publik yang baik dan tidak produktif.
Pemerintahan
wirausaha bersedia meninggalkan program dan metode lama. Ia
bersifat inovatif, produktif, efektif dan efisien, serta berani
mengambil resiko. Sistem ini mengoptimalkan aset-aset negara atau daerah
sebagai pendapatan, bukan sebagai penguras anggaran. Realitas harus
memerintahkan dan menilai para pejabat negara dan pejabat daerah dengan apakah
mereka mampu bekerja lebih keras dan lebih cerdas, serta menghasilkan
pendapatan dengan anggaran yang kecil.
Secara
mendasar pemerintahan dan perusahaan adalah lembaga yang berbeda. Pimpinan
perusahaan didorong oleh motif laba untuk terus dapat menjalankan
produksi demi keberlangsungan usahanya, sedangkan pimpinan pemerintahan
didorong oleh keinginan untuk kelanggengan kekuasaannya dan keuntungan pribadi
tanpa memperdulikan kondisi birokrasi dan orang-orang yang dilayaninya.
Perusahaan memperoleh income dari konsumennya, sedangkan pemerintah lebih besar
memperoleh income dari sektor pajak. Perusahaan biasanya didorong oleh
kompetisi, sedangkan pemerintahan biasanya didorong oleh kepentingan.
2.4. Transformasi Kewirausahaan Dalam
Birokrasi
Transformasi
kewirausahaan kedalam birokrasi dapat dilakukan dengan landasan
makro dan mikro, dan keduanya harus dijalankan secara bersama-sama serta
berkesinambungan.
a. Landasan
Makro
Adapun
landasan makro yang dimaksud adalah merubah regulasi
kepegawaian, pola pikir, budaya, dan nilai-nilai kerja para PNS agar
mereka bertransformasi menjadi PNS sebagai pelayan masyarakat yang
produktif dan kompetitif. Selain itu, harus dipastikan keberlangsungan
berjalannya sistem yang baik, sehingga terjadi perubahan positif menuju
perbaikan kualitas pelayanan publik secara terus-menerus. Dalam tataran
praktek, upaya peningkatan kualitas pelayanan publik dapat dilakukan melalui
pengembangan model-model pelayanan publik seperti model contracting
outdan franchising. Adapun dalam model contracting out, pemerintah
memegang peran sebagai pengatur, sedangkan pelayanan publik dilaksanakan oleh
swasta melalui suatu proses lelang. Untuk model franchising, pemerintah
menunjuk pihak swasta untuk dapat menyediakan pelayanan publik tertentu yang
diikuti dengan price regularity untuk mengatur harga maksimum.
Berdasarkan
landasan makro tersebut, maka kesemuanya akan dirinci lebih lanjut
dalam bentuk konkrit program (landasan mikro).
b. Landasan
Mikro
Adapun
landasan mikro yang dimaksud adalah:
1) Penetapan
standar pelayanan. Didalamnya tercakup pengembangan Standard
Operating Procedures (SOP), pelanjutan
(penyempurnaan) Standar Pelayanan Minimum
(SPM) yang telah dilaksanakan oleh Depdagri.
2) Pelaksanaan
survei pelayanan publik. Untuk survei ini, maka dia dapat dilakukan
oleh Kementrian Negara Pendayagunaan Aparatur
Negara.
3) Pembuatan
indeks pelayanan publik. Untuk indeks ini dapat berasal dari
penerapan SPM di bidang lingkungan hidup,
kesehatan, sosial, dan pemerintahan (kabupaten/kota), penyusunan anggaran
Pemda, dan bidang pendidikan.
4) Pengembangan
sistem manajemen pengaduan.
Dari
sisi mikro, pengaduan masyarakat merupakan satu sumber informasi
bagi upaya-upaya pihak penyelenggara pelayanan publik (PNS) untuk
secara konsisten menjaga pelayanan yang dihasilkannya agar sesuai dengan
standar yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, perlu didisain suatu sistem pengelolaan
pengaduan yang secara cepat, efektif dan efisien dalam mengolah berbagai
pengaduan masyarakat, sehingga pengaduan masyarakat tersebut menjadi bahan
masukan bagi perbaikan kualitas pelayanan publik ke depan.
5) Dengan
menggunakan model contracting
out dan franchising perusahaan yang memegang
pelayanan publik akan berusaha untuk tetap memberikan pelayanan yang baik
karena sewaktu-waktu mereka dapat digantikan oleh perusahaan lain apabila
mereka tidak memberikan pelayanan yang baik terhadap publik.
Paradigma
masyarakat Indonesia terhadap Pegawai Negeri Sipil (PNS)
Bagi masyarakat Indonesia merupakan berita yang membahagiakan saat
diumumkannya dan diketahuinya akan diadakan penerimaan CPNS/CPNSD melalui media
cetak maupun elektronik. Dan sebagian besar masyarakat juga telah mengetahui
bahwa untuk menjadi PNS tidak diutamakan kompetensi atau kemampuan disiplin
ilmu, melainkan yang diutamakan adalah kemampuan finansial dan relasi yang
kuat.
Jutaan orang angkatan kerja Indonesia bermimpi untuk menjadi PNS.
Mengapa? Pertama, sampai saat ini dalam paradigma masyarakat Indonesia bahwa
menjadi PNS merupakan pekerjaan yang memberikan jaminan hidup sampai hari tua
bahkan sampai pada kematian PNS masih mampu untuk membantu pembiayaan kehidupan
keluarganya; Kedua, PNS menduduki tingkatan sosial yang lebih tinggi daripada
pekerjaan-pekerjaan di bidang non pemerintahan; Ketiga, lebih ekstrim lagi
bahwa pekerjaan PNS tidak memerlukan prestasi kerja yang kongkret untuk
kenaikan pangkat dan jabatan.
Cita-cita menjadi PNS telah tertanam dalam pikiran generasi muda
dimulai dari pengaruh keluarga, lingkungan, serta sampai pada sistem pendidikan
formal. Menurut Romo Mangun, yang menulis tentang sistem kependidikan Indonesia
dan mengapa orang begitu berminat menjadi PNS, “orang begitu berminat menjadi
PNS (birokrat) karena kita masih mewarisi mental inlander dari
zaman kolonial dulu, dimana orang dididik untuk menjadi patuh dan taat pada
pemerintah, sehingga mereka nantinya bisa menjadi ambtenaar (PNS
di zaman kolonial) juga. Menjadi ambtenaar itu merupakan
pekerjaan terhormat pada waktu itu, dan rupanya masih terbawa hingga sekarang.
Yang juga masih terbawa adalah paradigma bahwa mereka adalah bagian dari
kekuasaan bukan pelayan rakyat atau pembayar pajak.”
Suatu kenyataan lagi bahwa masyarakat Indonesia telah mematahkan
mitos “PNS di Indonesia itu gajinya kecil.” Hal ini diperkuat oleh Studi Bank Dunia, Deon
Filmer (Bank Dunia) dan David L. Lindauer (Wellesley
College)
dalam kertas kerjanya berjudul‘Does Indonesia Have a Low Pay Civil Service’, menunjukkan
bahwa rata-rata pendapatan PNS 42% lebih tinggi dibanding pekerja swasta meski saat itu tingkatproduktifitasnya kalah ketimbang
kaum buruh. Hingga pada tingkat SMA, pendapatan
pegawai negeri masih lebih baik dibandingkan dengan
pegawai swasta.
Birokrasi
Memberikan Pengaruh Negatif Terhadap Paradigma Masyarakat
Disisi ironi, yaitu dari sisi birokrasi, fakta yang
ada sebagai faktor internal yang menjadi sorotan negatif
aparatur telah melekat menjadi stigma. Sebagai misal, kebiasaan hanya akan bekerja
dengan baik jika diberikan sejumlah materi, loyalitas kepada pimpinan yang sering keluar dari Tupoksi-nya,
serta lebih berorientasi
pencapaian jabatan ketimbang prestasi. Hal
ini memang berbentuk negatif tetapi berada pada tingkat toleransi yang tinggi
karena masyarakat telah berada pada titik apatis.
Pemerintahan
Wirausaha
Berdasarkan kenyataan jelek tersebut, maka diperlukan suatu upaya perubahan terhadap paradigma masyarakat yaitu melalui pendekatan
sosial-budaya, serta upaya pembersihan citra negatif birokrasi dan aparaturnya (PNS) agar terbentuk sosok PNS yang bersih dan profesional melalui
upaya sistematis dan komprehensif.
Pada kesempatan ini penulis tidak membahas bagaimana melakukan
perubahan paradigma masyarakat terhadap birokrasi, tetapi penulis mencoba
menawarkan upaya perubahan birokrasi dan aparaturnya
melalui ‘mewirausahakan birokrasi’. Tulisan yang
dipengaruhi oleh pikiran David Osborne dan Ted Gaebler dalam bukunya
berjudul‘Reinventing Gagasan
ini mencoba memulai dari
hal yangsangat berdekatan dengan klaim bahwa birokrasi hanya sebagai pemborosan anggaran karena tidak
diikuti oleh pelayan publik yang baik dan tidak produktif.
Pemerintahan
wirausaha bersedia meninggalkan program dan metode lama. Ia bersifat inovatif,
produktif, efektif dan efisien, serta berani mengambil resiko. Sistem ini
mengoptimalkan aset-aset negara atau daerah sebagai pendapatan, bukan sebagai
penguras anggaran. Realitas harus memerintahkan dan menilai para pejabat negara
dan pejabat daerah dengan apakah mereka mampu bekerja lebih keras dan lebih
cerdas, serta menghasilkan pendapatan dengan anggaran yang kecil.
Secara mendasar pemerintahan dan perusahaan adalah lembaga yang
berbeda. Pimpinan perusahaan didorong oleh motif laba untuk terus dapat
menjalankan produksi demi keberlangsungan usahanya, sedangkan pimpinan
pemerintahan didorong oleh keinginan untuk kelanggengan kekuasaannya dan
keuntungan pribadi tanpa memperdulikan kondisi birokrasi dan orang-orang yang
dilayaninya. Perusahaan memperoleh income dari konsumennya, sedangkan
pemerintah lebih besar memperoleh income dari sektor pajak. Perusahaan biasanya
didorong oleh kompetisi, sedangkan pemerintahan biasanya didorong oleh
kepentingan.
Adapun landasan makro yang dimaksud adalah merubah regulasi kepegawaian, pola pikir, budaya, dan nilai-nilai kerja para PNS agar
mereka bertransformasi menjadi PNS sebagai pelayan masyarakat yang produktif dan kompetitif. Selain itu, harus dipastikan
keberlangsungan berjalannya sistem yang baik, sehingga terjadi perubahan
positif menuju perbaikan kualitas pelayanan publik secara
terus-menerus. Dalam tataran praktek, upaya peningkatan kualitas pelayanan
publik dapat dilakukan melalui pengembangan model-model pelayanan publik
seperti model contracting out danfranchising. Adapun
dalam model contracting out, pemerintah memegang peran sebagai
pengatur, sedangkan pelayanan publik dilaksanakan oleh swasta melalui suatu
proses lelang. Untuk model franchising, pemerintah menunjuk pihak
swasta untuk dapat menyediakan pelayanan publik tertentu yang diikuti
dengan price regularity untuk mengatur harga maksimum.
Berdasarkan landasan makro tersebut, maka
kesemuanya akan dirinci lebih lanjut dalam bentuk konkrit program (landasan
mikro). Landasan mikro dimaksud adalah:
1.
Penetapan standar pelayanan. Didalamnya tercakup
pengembangan Standard Operating Procedures (SOP), pelanjutan (penyempurnaan)
Standar Pelayanan Minimum (SPM) yang telah dilaksanakan oleh Depdagri.
2.
Pelaksanaan survei pelayanan publik. Untuk survei ini,
maka dia dapat dilakukan oleh Kementrian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara.
3.
Pembuatan indeks pelayanan publik. Untuk indeks
ini dapat berasal dari penerapan SPM di bidang lingkungan hidup,
kesehatan, sosial, dan pemerintahan(kabupaten/kota), penyusunan anggaran Pemda,
dan bidang pendidikan.
4.
Pengembangan sistem manajemen pengaduan. Dari sisi mikro,
pengaduan masyarakat merupakan satu sumber informasi bagi upaya-upaya pihak
penyelenggara pelayanan publik (PNS) untuk secara konsisten menjaga pelayanan
yang dihasilkannya agar sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Oleh
karena itu, perlu didisain suatu sistem pengelolaan pengaduan yang secara
cepat, efektif dan efisien dalam mengolah berbagai pengaduan masyarakat,
sehingga pengaduan masyarakat tersebut menjadi bahan masukan bagi perbaikan
kualitas pelayanan publik ke depan.
5.
Dengan menggunakan
model contracting out dan franchising perusahaan
yang memegang pelayanan publik akan berusaha untuk tetap memberikan pelayanan
yang baik karena sewaktu-waktu mereka dapat digantikan oleh perusahaan lain
apabila mereka tidak memberikan pelayanan yang baik terhadap publik.
Transformasi
Kewirausahaan Dalam Birokrasi
Transformasi kewirausahaan kedalam
birokrasi dapat dilakukan dengan landasan makro dan mikro, dan
keduanya harus dijalankan secara bersama-sama serta berkesinambungan.
a. Landasan
Makro
Adapun landasan makro yang dimaksud adalah
merubah regulasi kepegawaian, pola pikir, budaya, dan nilai-nilai
kerja para PNS agar mereka bertransformasi menjadi PNS sebagai pelayan
masyarakat yang produktif dan kompetitif. Selain itu, harus dipastikan
keberlangsungan berjalannya sistem yang baik, sehingga terjadi perubahan
positif menuju perbaikan kualitas pelayanan publik secara terus-menerus. Dalam
tataran praktek, upaya peningkatan kualitas pelayanan publik dapat dilakukan
melalui pengembangan model-model pelayanan publik seperti
model contracting outdan franchising. Adapun dalam
model contracting out, pemerintah memegang peran sebagai pengatur, sedangkan
pelayanan publik dilaksanakan oleh swasta melalui suatu proses lelang. Untuk
model franchising, pemerintah menunjuk pihak swasta untuk dapat
menyediakan pelayanan publik tertentu yang diikuti dengan price
regularity untuk mengatur harga maksimum.
Berdasarkan landasan makro tersebut, maka kesemuanya akan
dirinci lebih lanjut dalam bentuk konkrit program (landasan
mikro).
b. Landasan Mikro
Adapun landasan mikro yang dimaksud adalah:
1) Penetapan standar
pelayanan. Didalamnya tercakup pengembangan Standard Operating Procedures
(SOP), pelanjutan (penyempurnaan) Standar Pelayanan Minimum
(SPM) yang telah dilaksanakan oleh Depdagri.
2) Pelaksanaan survei
pelayanan publik. Untuk survei ini, maka dia dapat dilakukan
oleh Kementrian Negara Pendayagunaan Aparatur
Negara.
3) Pembuatan indeks
pelayanan publik. Untuk indeks ini dapat berasal dari
penerapan SPM di bidang lingkungan hidup,
kesehatan, sosial, dan pemerintahan (kabupaten/kota), penyusunan anggaran
Pemda, dan bidang pendidikan.
4) Pengembangan sistem
manajemen pengaduan.
Dari sisi mikro, pengaduan masyarakat merupakan satu
sumber informasi bagi upaya-upaya pihak penyelenggara pelayanan
publik (PNS) untuk secara konsisten menjaga pelayanan yang dihasilkannya agar
sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, perlu didisain
suatu sistem pengelolaan pengaduan yang secara cepat, efektif dan efisien dalam
mengolah berbagai pengaduan masyarakat, sehingga pengaduan masyarakat
tersebut menjadi bahan masukan bagi perbaikan kualitas pelayanan publik ke
depan.
5) Dengan menggunakan
model contracting out dan franchising perusahaan
yang memegang pelayanan publik akan berusaha untuk tetap
memberikan pelayanan yang baik karena sewaktu-waktu mereka dapat digantikan oleh
perusahaan lain apabila mereka tidak memberikan pelayanan yang baik terhadap
publik.
2.5. Paradigma
masyarakat Indonesia terhadap Pegawai Negeri Sipil (PNS)
Bagi masyarakat Indonesia merupakan berita yang membahagiakan saat
diumumkannya dan diketahuinya akan diadakan penerimaan CPNS/CPNSD melalui media
cetak maupun elektronik. Dan sebagian besar masyarakat juga telah mengetahui
bahwa untuk menjadi PNS tidak diutamakan kompetensi atau kemampuan disiplin
ilmu, melainkan yang diutamakan adalah kemampuan finansial dan relasi yang
kuat.
Jutaan orang angkatan kerja Indonesia bermimpi untuk menjadi PNS.
Mengapa? Pertama, sampai saat ini dalam paradigma masyarakat Indonesia bahwa
menjadi PNS merupakan pekerjaan yang memberikan jaminan hidup sampai hari tua
bahkan sampai pada kematian PNS masih mampu untuk membantu pembiayaan kehidupan
keluarganya; Kedua, PNS menduduki tingkatan sosial yang lebih tinggi daripada
pekerjaan-pekerjaan di bidang non pemerintahan; Ketiga, lebih ekstrim lagi
bahwa pekerjaan PNS tidak memerlukan prestasi kerja yang kongkret untuk
kenaikan pangkat dan jabatan.
Cita-cita menjadi PNS telah tertanam dalam pikiran generasi muda
dimulai dari pengaruh keluarga, lingkungan, serta sampai pada sistem pendidikan
formal. Menurut Romo Mangun, yang menulis tentang sistem kependidikan Indonesia
dan mengapa orang begitu berminat menjadi PNS, “orang begitu berminat menjadi
PNS (birokrat) karena kita masih mewarisi mental inlander dari
zaman kolonial dulu, dimana orang dididik untuk menjadi patuh dan taat pada
pemerintah, sehingga mereka nantinya bisa menjadi ambtenaar (PNS
di zaman kolonial) juga. Menjadi ambtenaar itu merupakan
pekerjaan terhormat pada waktu itu, dan rupanya masih terbawa hingga sekarang.
Yang juga masih terbawa adalah paradigma bahwa mereka adalah bagian dari
kekuasaan bukan pelayan rakyat atau pembayar pajak.”
Suatu kenyataan lagi bahwa masyarakat Indonesia telah mematahkan
mitos “PNS di Indonesia itu gajinya kecil.” Hal ini diperkuat oleh Studi Bank Dunia, Deon
Filmer (Bank Dunia) dan David L. Lindauer (Wellesley
College) dalam kertas kerjanya berjudul‘Does Indonesia Have a Low Pay Civil Service’, menunjukkan bahwa
rata-rata pendapatan PNS 42% lebih tinggi dibanding pekerja swasta meski saat itu tingkatproduktifitasnya kalah ketimbang kaum
buruh. Hingga pada tingkat SMA, pendapatan
pegawai negeri masih lebih baik dibandingkan dengan
pegawai swasta.
Birokrasi Memberikan
Pengaruh Negatif Terhadap Paradigma Masyarakat
Disisi ironi, yaitu dari sisi birokrasi, fakta yang
ada sebagai faktor internal yang menjadi sorotan negatif
aparatur telah melekat menjadi stigma. Sebagai misal, kebiasaan hanya akan bekerja
dengan baik jika diberikan sejumlah materi, loyalitas kepada pimpinan yang sering keluar dari Tupoksi-nya,
serta lebih berorientasi pencapaian
jabatan ketimbang prestasi. Hal ini memang berbentuk negatif
tetapi berada pada tingkat toleransi yang tinggi karena masyarakat telah berada
pada titik apatis.
Pemerintahan
Wirausaha
Berdasarkan kenyataan jelek tersebut, maka diperlukan suatu upaya perubahan terhadap paradigma masyarakat yaitu melalui pendekatan
sosial-budaya, serta upaya pembersihan citra negatif birokrasi dan
aparaturnya (PNS) agar terbentuk sosok PNS yang bersih dan profesional melalui upaya sistematis dan
komprehensif.
Pada kesempatan ini penulis tidak membahas bagaimana melakukan
perubahan paradigma masyarakat terhadap birokrasi, tetapi penulis mencoba
menawarkan upaya perubahan birokrasi dan aparaturnya
melalui ‘mewirausahakan birokrasi’. Tulisan yang
dipengaruhi oleh pikiran David Osborne dan Ted Gaebler dalam bukunya
berjudul‘Reinventing Gagasan ini
mencoba memulai dari
hal yangsangat berdekatan dengan klaim bahwa birokrasi hanya sebagai pemborosan anggaran karena tidak
diikuti oleh pelayan publik yang baik dan tidak produktif.
Pemerintahan
wirausaha bersedia meninggalkan program dan metode lama. Ia bersifat inovatif,
produktif, efektif dan efisien, serta berani mengambil resiko. Sistem ini
mengoptimalkan aset-aset negara atau daerah sebagai pendapatan, bukan sebagai
penguras anggaran. Realitas harus memerintahkan dan menilai para pejabat negara
dan pejabat daerah dengan apakah mereka mampu bekerja lebih keras dan lebih
cerdas, serta menghasilkan pendapatan dengan anggaran yang kecil.
Secara mendasar pemerintahan dan perusahaan adalah lembaga yang
berbeda. Pimpinan perusahaan didorong oleh motif laba untuk terus dapat
menjalankan produksi demi keberlangsungan usahanya, sedangkan pimpinan
pemerintahan didorong oleh keinginan untuk kelanggengan kekuasaannya dan
keuntungan pribadi tanpa memperdulikan kondisi birokrasi dan orang-orang yang
dilayaninya. Perusahaan memperoleh income dari konsumennya, sedangkan
pemerintah lebih besar memperoleh income dari sektor pajak. Perusahaan biasanya
didorong oleh kompetisi, sedangkan pemerintahan biasanya didorong oleh
kepentingan.
Kondisi seperti ini bersama-sama menciptakan pola pikir dimana PNS
memandang resiko dan gaji secara amat berbeda dengan pegawai swasta. Resiko
pemecatan PNS sangatlah kecil karena melewati prosedur yang rumit dan mempunyai
ruang yang bisa ‘dikondisikan’, serta untuk mendapatkan gaji PNS tidak
terbebani oleh kinerja yang baik. Sedangakan pekerja swasta sangat rentan
terhadap pemecatan karena mereka harus selalu memberikan kinerja yang baik
terhadap perusahaan. Pemerintah cendrung memperlakukan pegawainya dengan ‘adil’
tanpa memandang kemampuan mereka atau tuntutan mereka terhadap pelayanan
publik. Hal ini hanya menghabiskan anggaran untuk belanja pegawai yang mencapai
nilai ratusan triliyun rupiah. Oleh karena itu pemerintahan sebenarnya tidak
bisa meraih efisiensi seperti dalam bisnis.
Transformasi kewirausahaan kedalam birokrasi dapat dilakukan dengan landasan makro dan mikro,
dan keduanya harus dijalankan secara bersama-sama sertaberkesinambungan.
Adapun landasan makro yang dimaksud adalah merubah regulasi
kepegawaian, pola pikir,
budaya, dan nilai-nilai kerja para PNS agar mereka bertransformasi menjadi PNS
sebagai pelayan masyarakat yang produktif dan
kompetitif. Selain itu,
harus dipastikan keberlangsungan berjalannya sistem yang baik, sehingga terjadi
perubahan positif menuju perbaikan kualitas pelayanan publik secara
terus-menerus. Dalam tataran praktek, upaya peningkatan kualitas pelayanan
publik dapat dilakukan melalui pengembangan model-model pelayanan publik seperti
model contracting out danfranchising. Adapun dalam
model contracting out, pemerintah memegang peran sebagai pengatur,
sedangkan pelayanan publik dilaksanakan oleh swasta melalui suatu proses
lelang. Untuk model franchising, pemerintah menunjuk pihak swasta
untuk dapat menyediakan pelayanan publik tertentu yang diikuti dengan price
regularity untuk mengatur harga maksimum.
Berdasarkan landasan makro tersebut, maka kesemuanya akan dirinci lebih lanjut
dalam bentuk konkrit program (landasan mikro). Landasan mikro dimaksud adalah:
1.
Penetapan standar pelayanan. Didalamnya tercakup pengembangan Standard
Operating Procedures (SOP), pelanjutan (penyempurnaan) Standar Pelayanan
Minimum (SPM) yang telah dilaksanakan oleh Depdagri.
2.
Pelaksanaan survei pelayanan publik. Untuk survei ini, maka dia dapat
dilakukan oleh Kementrian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara.
3.
Pembuatan indeks pelayanan publik. Untuk indeks ini dapat berasal dari
penerapan SPM di bidang lingkungan hidup, kesehatan, sosial, dan pemerintahan(kabupaten/kota),
penyusunan anggaran Pemda, dan bidang pendidikan.
4.
Pengembangan sistem manajemen pengaduan. Dari sisi mikro, pengaduan
masyarakat merupakan satu sumber informasi bagi upaya-upaya pihak penyelenggara
pelayanan publik (PNS) untuk secara konsisten menjaga pelayanan yang
dihasilkannya agar sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Oleh karena
itu, perlu didisain suatu sistem pengelolaan pengaduan yang secara cepat,
efektif dan efisien dalam mengolah berbagai pengaduan masyarakat, sehingga
pengaduan masyarakat tersebut menjadi bahan masukan bagi perbaikan
kualitas pelayanan publik ke depan.
5.
Dengan menggunakan model contracting
out dan franchising perusahaan yang memegang
pelayanan publik akan berusaha untuk tetap memberikan pelayanan yang baik karena
sewaktu-waktu mereka dapat digantikan oleh perusahaan lain apabila mereka tidak
memberikan pelayanan yang baik terhadap publik.
Apabila konsep birokrasi wirausaha ini diterapkan secara konsisten
dan berkesinambungan, maka:
1.
pemerintah dapat menekan anggaran
belanja pegawai yang selama ini terbuang sia-sia, misalnya disebabkan karena
kebutuhan akan tenaga PNS menjadi lebih sedikit;
2.
akan terjadi persaingan antar pelayan
publik untuk memberikan pelayanan yang baik kepada publik;
3.
rekruitmen PNS dilaksanakan berbasis
kompetensi, efektif, dan efisien;
4.
korupsi, kolusi, dan nepotisme secara
birokratis akan berkurang, baik itu dimulai pada saat rekruitmen PNS maupun
sampai pada tingkat pelaksanaan kepemerintahan.
Mewirausahakan Birokrasi Pemerintah
Daerah Di Era Good Local Governancepertama kali disampaikan oleh David
Osborne dan Ted Gaebler dalam buku mereka yang berjudul Reinventing
Government: How the enterpreneurial spirit is transforming the public sektor.
Buku tersebut ditulis sebagai saran untuk membantu pencarian solusi di
pemerintah Amerika Serikat pada tahun 1993 yang menanggung beban berat sebagai
akibat ditanganinya seluruh kegiatan atau kebutuhan negara oleh pemerintah
federal. Meskipun disambut dengan sikap skeptis, lambat namun pasti, apa yang
disampaikan Osborne dan Gaebler dalam buku tersebut ternyata membawa angin
segar bagi pemerintah federal dalam menyikapi permasalahan yang sedang dihadapi
pada saat itu.
Apa yang terjadi pada pemerintahan Amerika
Serikat pada saat itu sebenarnya tidak jauh berbeda dengan kondisi Indonesia
saat ini yang sedang mengawali era GLG dimana sebagian wewenang pemerintah
pusat didelegasikan pada pemerintahan di daerah. Di GLG, pejabat negara (di
daerah) harus kreatif, mandiri dan inovatif dalam melaksanakan tugas-tugas
kepemerintahannya karena inti dari otonomi daerah ialah keleluasaan dan
kebebasan lebih luas untuk menggali dan mengolah aset-aset alamiahnya. Mereka
akan lebih banyak bekerjasama langsung dan lebih luas dengan swasta. Hal inilah
yang menjadi cakupan dalam Reinventing Government yang sering disebut
juga dengan Mewirausahakan Birokrasi.
Permasalahan yang sering muncul dalam
memahami reinventing government adalah adanya anggapan bahwa dengan adanya
konsep mewirausahakan birokrasi tersebut berarti kantor dinas/ instansi di
Pemerintahan Daerah (pemda) dituntut untuk “berbisnis” agar dapat memberi nilai
tambah untuk PAD. Padahal, maksud yang sebenarnya adalah memberdayakan
institusional. Bukan menciptakan “pengusaha” dalam lingkungan birokrasi
pemerintahan.
Menurut Osborne dan Gaebler, mewirausahakan
birokrasi berarti mentransformasikan semangat wirausaha ke dalam sektor publik.
Di era otonomi daerah, dimana pemerintah di daerah dituntut untuk bisa mandiri,
usaha tersebut dapat diterapkan agar produktivitas dan efisiensi kerja Pemda
bisa dioptimalkan. Oleh karena itu, pemahaman atas cara-cara mewirausahakan
birokrasi Pemerintahan Daerah harus dikuasai oleh aparat birokrasi,
terlebih-lebih oleh Bupati/ Walikota termasuk pimpinan pada tiap-tiap instansi
/ dinas.
Berkaitan dengan hal tersebut, Osborne dan Gaebler
mengemukakan sepuluh prinsip untuk mebentuk birokrasi-wirausaha, yaitu:
1)
Pemerintah sebagai pembuat kebijakan harus lebih menjadi
pengarah daripada menjadi pelaksana. Misalnya adalah bekerjasama dengan pihak
swasta dalam melakukan pemungutan pajak, akan tetapi penentuan Wajib Pajak dan
besarnya pungutan pajak tetap dilakukan oleh pemerintah.
2)
Pemerintah sebagai milik masyarakat harus lebih
memberdayakan masyarakat ketimbang terus-menerus melayani masyarakat. Salah
satu upayanya adalah dengan menghimbau masyarakat agar mampu mengurus keamanan
lingkungannya sendiri.
3)
Pemerintah sebagai institusi yang berada di alam
kompetisi haruslah menyuntikkan semangat persaingan ke dalam tubuh aparat dan
organisasi pelayanannya. Misalnya dengan memberikan peluang bagi swasta dalam
menangani urusan-urusan yang dimonopoli pemerintah, seperti air minum, listrik,
dan telepon.
4)
Unit-unit pemerintahan sebagai lembaga yang bertugas
mewujudkan misi harus lebih diberi kebebasan dalam berkreasi dan berinovasi.
Untuk itu, petunjuk pelaksanaan yang kaku dan mengikat harus dihindarkan, baik
mengenai keuangan, kepegawaian, maupun pelayanan kepada masyarakat.
5)
Pemerintah harus lebih mementingkan hasil yang akan
dicapai daripada terlalu memfokuskan pada faktor masukan (input). Misalnya,
pemberian bantuan untuk suatu sekolah haruslah lebih didasarkan kepada kinerja
dan produktivitasnya daripada jumlah muridnya.
6)
Pemerintah sebagai pelayan masyarakat harus lebih
mementingkan terpenuhinya kepuasan pelanggan, bukannya memenuhi apa yang
menjadi kemauan birokrasi itu sendiri. Untuk itu, cara-cara baru dalam memikat
pelanggan harus dilakukan.
7)
Pemerintah sebagai suatu badan usaha harus pandai mencari
uang dan tidak hanya bisa membelanjakannya. Oleh karena itu, cara-cara mencari
sumber penghasilan yang baru dan menggalakkan investasi harus selalu menjadi
pemikiran para manajer pemerintahan.
8)
Pemerintah sebagai lembaga yang memiliki daya antisipatif
harus mampu mencegah daripada hanya menanggulangi masalah. Misalnya soal
kebakaran, dengan memakai prinsip ini, bukan mobil pemadam kebakaran yang
dibeli terus tetapi supervisi/ pengawasan terhadap bangunan yang harus
ditingkatkan.
9)
Pemerintah harus menggeser pola kerja hierarki yang
dianut ke model kerja partisipasi dan kerja sama. Misalnya, rantai organisasi
yang panjang dan ‘gemuk’ harus dikurangi, struktur organisasi yang tebal harus
ditipiskan, dan gugus kendali mutu harus dikembangkan.
10)
Pemerintah sebagai pihak yang berorientasi pada pasar
harus berusaha mengatrol perubahan lewat penguasaannya terhadap mekanisme
pasar. Misalnya, dalam menangani sampah yang berasal dari botol minuman,
daripada membiayai usaha daur ulang yang mahal, lebih baik pemerintah
mensyaratkan pengusaha minuman untuk membayar setiap pembeli yang mengembalikan
botolnya.
Berdasarkan kesepuluh cara tersebut di atas,
tidak dapat dihindari bahwa upaya mewirausahakan birokrasi akan berdampak pada
perubahan-perubahan (reformasi) dalam instansi Pemda. Perubahan yang dilakukan
adalah dalam rangka melakukan penyesuaian-penyesuaian terhadap mekanisme
birokrasi-wirausaha di setiap lapisan birokrasi. Perubahan tersebut dapat
berupa debirokratisasi, deregulasi, rekonstruksi pemerintahan daerah, reposisi
instansi-instansi, bahkan rasionalisasi pegawai. Dalam perkembangannya,
upaya-upaya penyesuaian tersebut harus dapat menjamin terciptanya produktivitas
dan efisiensi kerja Pemda yang maksimal.
Lebih meluas lagi, upaya mewirausahakan
birokrasi Pemerintah Daerah, disamping untuk mewujudkan pemerintahan yang
mandiri, juga untuk menunjang perubahan peran pemerintah dalam mengahdapi
perkembangan masyarakat yang semakin pesat di era Globalisasi. Ada beberapa
faktor yang dapat diidentifikasi atas perubahan peran pemerintah tersebut,
yaitu:
·
Semakin kompleksnya permasalahan-permasalahan di sektor
publik sebagai akibat berkembangnya teknologi dan informasi
·
Kenyataan telah membuktikan bahwa monopoli yang dilakukan
pemerintah tidak menghasilkan pelayanan yang lebih baik dan adanya tuntutan
menyangkut distribusi sumber daya yang lebih baik ditentukan oleh mekanisme
pasar
·
Mulai turunnya kepercayaan atas peran pemerintah dalam
menyelesaikan masalah-masalah di sektor public
·
Akibat kemajuan masyarakat, terjadi perubahan tuntutan
agar pemerintah memberikan pelayanan dengan lebih baik karena adanya perubahan
nilai-nilai dalam masyarakat
·
Ada fakta/ realita bahwa sektor swasta lebih baik dalam
memberikan pelayanan daripada sektor public
Permsalahan utama yang muncul dalam
mewirausahakan birokrasi di pemerintahan daerah pada dasarnya terletak pada
instansi/ dinas Pemda itu sendiri. Sejauh mana pelaku birokrasi dapat
mengantisipasi perubahan-perubahan yang terjadi baik di lingkungan organisasi
internal maupun di masyarakat, seberapa besar usaha pemerintah daerah untuk
mentransformasikan semangat wirausaha ke dalam sektor publik dan bagaimana
mereka menyikapi perubahan-perubahan yang terjadi merupakan langkah-langkah
yang harus diambil secara tepat.
Laju komunikasi, teknologi dan informasi yang
berkembang dengan cepat, meningkatnya tensi-tensi politik dan tuntutan orang
terhadap pelayanan yang baik adalah alasan yang sangat kuat untuk merubah
birokrasi yang lambat, lama dan berliku-liku menuju birokrasi yang cepat,
efektif, efisien, dan komprehensif. Disamping itu, upaya-upaya memandirikan dan
meningkatkan produktivitas Pemda juga menimbulkan munculnya jenis-jenis tugas
baru dalam pemerintahan daerah. Industrialisasi, perdagangan antar daerah,
investasi asing di daerah, pengelolaan bantuan luar negeri di daerah dan
hal-hal baru yang ditanggung pemda akibat adanya otonomi dari pusat
mengharuskan pejabat-pejabat (birokrat) di daerah bekerja dengan spirit
wirausaha.
Pada saat ini, di era otonomi daerah, di era
globalisasi, di era good local governance, semangat wirausaha menjadi
kebutuhan yang sangat diperlukan bagi setiap aparatur pemerintahan, dari
lapisan yang paling baah sampai di tingkat atas, karena hampir setiap jenis
organisasi berhubungan dengan kinerja yang inovatif dan produktif. Sepuluh cara
mewujudkan reinventing government yang disampaikan Osborne dan
Gaebler tersebut di atas secara praktis telah sukses dilakukan dan secara
teoritis relevan untuk ditransformasikan, perkembangan kehiduan sosial
masyarakat Indonesia pun telah mendukung ke arah tersebut. Jadi, tidak perlu
menunggu lama lagi untuk mewirausahakan birokrasi. Paling tidak usaha tersebut
bisa dilakukan mulai dari diri kita sendiri, mulai dari hal yang kecil dan
mulai dari saat ini.
Upaya perubahan
birokrasi dan aparaturnya melalui ‘reveinting government’.
Tulisan yang disadur dari pikiran David
Osborne dan Ted Gaebler dalam bukunyaberjudul ‘Reinventing
Government’ ini mencoba mencari jalan keluar terhadap permasalahan
birokrasi melalui penerapan konsep kewirausahaan, baik terhadap sistem
birokrasi itu sendiri maupun terhadap aparaturnya. Gagasan ini mencoba memulai
dari hal yang sangat berdekatan dengan klaim bahwa birokrasi hanya sebagai
pemborosan anggaran karena tidak diikuti oleh pelayan publik yang baik dan
tidak produktif.
Pemerintahan wirausaha bersedia meninggalkan
program dan metode lama. Ia bersifat inovatif, produktif, efektif
dan efisien, serta berani mengambil resiko. Sistem ini mengoptimalkan aset-aset
negara atau daerah sebagai pendapatan, bukan sebagai penguras anggaran.
Realitas harus memerintahkan dan menilai para pejabat negara dan pejabat daerah
dengan apakah mereka mampu bekerja lebih keras dan lebih cerdas, serta
menghasilkan pendapatan dengan anggaran yang kecil.
Secara mendasar pemerintahan dan perusahaan
adalah lembaga yang berbeda. Pimpinan perusahaan didorong oleh motif laba untuk
terus dapat menjalankan produksi demi keberlangsungan usahanya, sedangkan
pimpinan pemerintahan didorong oleh keinginan untuk kelanggengan kekuasaannya
dan keuntungan pribadi tanpa memperdulikan kondisi birokrasi dan orang-orang
yang dilayaninya. Perusahaan memperoleh income dari konsumennya, sedangkan
pemerintah lebih besar memperoleh income dari sektor pajak. Perusahaan biasanya
didorong oleh kompetisi, sedangkan pemerintahan biasanya didorong oleh
kepentingan.
BAB III
P ENUTUP
4.1. Kesimpulan
Mewirausahakan
birokrasi merupakan proses bagaimana menata dan mengolah birokrasi yang semula
kaku menjadi birokrasi yang professional, inovatif dan tidak menyeleweng.
Praktek
mewirausahakan birokrasi merupakan pola dalam mengubah tatanan birokrasi untuk
menjadi lebih baik agar birokrasi tidak terpengaruh oleh kebijakan kepentingan
golongan, kultur dan lain sebagainya. Perilaku mewirausahakan birokrasi juga
dibutuhkan sikap responsive dan akuntabel dari pemerintah atau birokrat itu
sendiri terhadap system dan pelayanan yang diterapkan. Sebagai masyarakat pun
harus bertindak proaktif dan responsive terhadap berbagai jenis kebiajakn agar
senantiasa mengawasi secara langsung dalam pelayanan birokrasi
tersebut. Pelaksanaan wirausaha birokrasi didasarkan pada prinsip-prinsi
mewirausahakan birokrasi.
Konteks
mewirausahakan birokrasi ini sendiri muncul dari adanya, .
1)
Organ pemerintah yang gemuk dan lamban,
sehingga cenderung bersifatspending daripada mendatangkan profit
dalam wilayah fiskal.
2)
Pelayanan publik yang tidak efektif dan
lambat, sehingga melahirkan ketidakpercayaan masyarakat pada kapasitas
pemerintah dalam menyelenggarakan pelayanan publik.
Pemerintahan wirausaha bersedia meninggalkan
program lama. Ia bersifat inovatif, imajinatif dan kreatif, serta berani
mengambil resiko. Ia juga mengubah beberapa fungsi kota menjadi sarana
penghasil uang daripada menguras anggaran, menjauhkan diri dari alternatif
tradisional yang hanya memberikan sistem penopang hidup. Ia bekerja-sama dengan
sektor swasta, menggunakan pengertian bisnis yang mendalam, menswastakan diri,
mendirikan berbagai perusahaan yang menghasilkan laba. Ia berorientasi pasar,
memusatkan pada ukuran kinerja, memberi penghargaan pada jasa. Ia pun harus
mengatakan: mari kita selesaikan pekerjaan ini dan tidak takut untuk memimpikan
hal-hal besar.
4.2. Saran
Adapun saran
yang dapat diberikan kepada pembaca dan penulis mengenai makalah ini adalah :
1) Diharapkan
hasil penulisan makalah ini dapat dijadikan sebagai bahan bacaan dan ilmu
pengetahuan.
DAFTAR PUSTAKA
http://aburizaltuharea.blogspot.com/2013/05/makalah-mewirausahakan-birokrasi.html
No comments:
Post a Comment