Saturday, August 28, 2021

EFEKTIVITAS HUKUMAN CAMBUK DALAM MENGURANGI PELANGGARAN QANUN NOMOR 14 TAHUN 2003 TENTANG KHALWAT DI KOTA BANDA ACEH PROVINSI ACEH

 

 BAB I

PENDAHULUAN

1.1       Latar Belakang

                Indonesia adalah negara yang mempunyai berbagai keanekaragaman dilihat dari suku, budaya, agama dan adat istiadat.  Keanekaragaman ini diterima dan diakui sebagai tekad dan wujud dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.  Berbagai perbedaan harus dapat dikelola dengan sebaik-baiknya dalam mewujudkan tujuan nasional sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 alinea ke IV yang menyebutkan bahwa: "Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”, serta pengakuan negara akan berbagai perbedaan seperti yang terdapat pada pasal 18 ayat 1 UUD 1945  yaitu negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat  istimewa yang diatur dengan undang-undang, dan ayat 2  negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan  masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Untuk menjalankan pemerintahan, pemerintah memiliki berbagai fungsi yang melekat pada dirinya. Fungsi pemerintahan dapat dibagi dalam dua bagian, yakni fungsi primer dan fungsi sekunder. Fungsi primer merupakan fungsi pemerintah sebagai penyedia pelayanan dan jasa-jasa terhadap kebutuhan publik, fungsi sekunder merupakan fungsi pemberdayaan, menumbuhkan kemandirian masyarakat oleh masyarakat sendiri dengan bantuan pemerintah, sehingga fungsi pengaturan yang awalnya kaku dilakukan pemerintah menjadi lebih bersifat pengarahan (steering).

            Berbagai fungsi pemerintahan yang dimiliki oleh pemerintah harus dapat diterjemahkan dan dijalankan dengan baik oleh pemerintah. Hal ini bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan yang maksimal dan merata bagi masyarakat.  Fungsi pengaturan yang dihadapkan oleh pemerintah kepada masyarakat yang plural dan majemuk juga harus dapat menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi yang dihadapi.  Masyarakat majemuk yang terdiri dari berbagai macam suku, etnik, agama harus dapat disatukan dalam suatu kesatuan yang utuh.

Indonesia terdiri dari berbagai suku dan adat istiadat yang beraneka ragam dan telah ada sebelum Indonesia terbentuk. Suku dan adat istiadat yang terbentuk dalam berbagai kebudayaan membutuhkan pengaturan serta pengakuan dari pemerintah. Berdasarkan data dari BPS Indonesia terdiri dari 1.128 suku bangsa. Hal ini membuat Indonesia merupakan salah satu negara dengan suku terbanyak di dunia. Suku dan etnik ini dalam era kekinian telah berevolusi menjadi suatu struktur dan model masyarakat yang semakin dinamis. Hal ini juga berdampak pada kemampuan pemerintah dalam mengelola berbagai perbedaan yang ada didalam suatu daerah sehingga konflik yang merugikan dapat dihindari.

Indonesia terdiri dari 34 provinsi yang masing-masing memiliki keunikan dan keberagaman baik secara bahasa, budaya, agama dan lain-lain. Berbagai keberagaman harus dapat diakomodir dengan baik agar keberagaman yang ada tidak menjadi suatu dasar perpecahan yang berbasis chauvinisme dan berbagai ego kelokalan lainnya. Kebijakan-kebijakan pemerintah Indonesia untuk memberi ruang bagi keberagaman khususnya dalam penyelenggaraan pemerintah telah diwujudkan dalam Undang-Undang No.23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah. Terhadap satuan pemerintah daerah yang lebih khusus yang berdasarkan sejarah, budaya, politik, agama telah diatur melalui kebijakan otonomi khusus yaitu Provinsi Aceh, Provinsi DKI, Daerah Istimewa Yogyakarta, Papua dan Papua Barat.

Provinsi Aceh yang dikenal dengan Serambi Mekkah merupakan satu-satunya provinsi di Indonesia yang menerapkan Syariat Islam dan memberlakukan sanksi cambuk bagi pelanggarnya. Sampai saat ini telah ada beberapa Qanun yang menerapkan sanksi cambuk bagi pelanggarnya yaitu Qanun Nomor 12 Tahun 2003 tentang Minuman Khamr dan sejenisnya, Qanun Nomor 13 Tahun 2003 tentang Maisir (Perjudian), Qanun Nomor 14 Tahun 2003 tentang Khalwat dan Qanun Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Pengelolaan Zakat.

Dalam Pasal 3 UU No. 44 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh juga menyebutkan bahwa pelaksanaan syariat Islam merupakan keistimewaan bagi Aceh. Keistimewaan yang dimiliki Aceh meliputi; penyelenggaraan kehidupan beragama, adat, pendidikan dan peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah.

Sepanjang sejarah, masyarakat Aceh telah menjadikan agama Islam sebagai pedoman dalam kehidupannya. Melalui penghayatan dan pengamalan ajaran Islam dalam rentang sejarah yang cukup panjang (sejak abad ke VII M) telah melahirkan suasana masyarakat dan budaya Aceh yang Islami. Budaya dan adat Aceh yang lahir dari renungan para ulama, kemudian dipraktekkan, dikembangkan dan dilestarikan. Dalam ungkapan bijak Aceh disebutkan “Adat bak Poteu Meureuhom, Hukom bak Syiah Kuala, Qanun bak Putro Phang Reusam bak Lakseumana” (Adat adalah urusan Sultan  hukum islam ada pada Ulama, Qanun disusun oleh ratu, Reusam dibuat oleh Laksamana). Ungkapan tersebut merupakan pencerminan bahwa Syari’at Islam telah menyatu dan menjadi pedoman hidup bagi masyarakat Aceh melalui peranan ulama sebagai pewaris para Nabi.

Keinginan pemerintah Aceh untuk menerapkan hukum Islam menjadi hukum positif mendapat berbagai sorotan. Dijadikannya hukum positif harus mendapatkan kepatuhan dan pemberian sanksi yang terlegitimasi secara hukum yang ada.  Secara yuridis, pemberlakuan syariat Islam di Aceh merupakan yang pertama di Indonesia dan sedikit berbeda dengan hukum nasional. Kultur masyarakat Aceh yang telah hidup dengan syariat Islam selama ratusan tahun hingga saat ini telah berjalan dengan berbagai konsekuensinya. Situasi ini diakomodir dalam UU No.11 Tahun 2006 Pasal 17 ayat 2 dimana urusan wajib lainnya yang menjadi kewenangan khusus pemerintahan kabupaten/kota adalah pelaksanaan keistimewaan Aceh yang antara lain meliputi:

a.      Penyelenggaraan kehidupan beragama dalam bentuk pelaksanaan syari’at Islam bagi pemeluknya di Aceh dengan tetap menjaga kerukunan hidup antar umat beragama.

b.      Penyelenggaraan kehidupan adat yang bersendikan agama Islam. Penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas serta menambah materi muatan lokal sesuai dengan syari’at Islam.

c.      Peran ulama dalam penetapan kebijakan kabupaten/kota.

Sebagai bagian dari Provinsi Aceh, Kota Banda Aceh menggunakan pedoman tersebut dalam penegakan syariat Islam di Kota Banda Aceh. Hal ini dapat dilihat dari misi Kota Banda Aceh yang pertama yakni meningkatkan kualitas pengamalan agama menuju pelaksanaan syariat islam secara kaffah. Hal ini diwujudkan melalui pembentukan berbagai instansi pemerintahan dan sosialisasi kepada masyarakat terhadap berbagai produk hukum syariat yang akan ditegakkan.

Pembentukan peraturan daerah (Qanun) pun dimulai sesuai dengan amanat UU No. 11 Tahun 2006. Salah satu Qanun yang dibentuk untuk mengimplementasikan syariat Islam di Provinsi Aceh yaitu melalui Qanun No. 14 Tahun 2003 tentang Khalwat. Qanun ini merupakan Qanun tingkat provinsi yang berlaku diseluruh kab/kota yang ada di Provinsi Aceh, termasuk Kota Banda Aceh. Kota Banda Aceh merupakan daerah dengan pelanggaran khalwat tertinggi di Provinsi Aceh.

Dalam menjalankan keistimewaannya dalam bidang kehidupan beragama, Aceh telah menyusun beberapa Qanun yang mengatur tentang pelaksanaan syariat Islam. Salah satu bentuk hukuman yang disebutkan did alam beberapa Qanun yakni hukuman cambuk. Hal ini sebagaimana tercantum di dalam Qanun Provinsi Aceh No.11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam Bidang Aqidah, Ibadah dan Syiar Islam pada Pasal 20 ayat 1 “Barangsiapa yang menyebarkan paham atau aliran sesat sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat 2 dihukum dengan ta’zir berupa hukuman penjara paling lama 2 (dua) tahun atau hukuman cambuk di depan umum paling banyak 12 (dua belas) kali”

Penerapan hukuman cambuk khususnya untuk pelaku khalwat di Aceh dimaksudkan untuk dapat memberikan efek jera bagi si pelaku. Dengan metode eksekusi cambuk di muka umum secara psikologis akan berdampak jauh lebih besar ketimbang hukuman penjara yang pelaksanaannya mengisolir pelaku di tempat yang tertutup. Hukuman cambuk akan menjadi sebuah preventive power dalam mencegah terjadinya pelanggaran pidana, dan bagi para terpidana cambuk dapat menjadi pelajaran yang sangat berharga untuk kemudian hari tidak mengulangi perbuatannya lagi.

Di satu sisi sebuah aturan hukum harus memiliki daya mengikat yang kuat sebagai dasar bagi pelaksanaan law enforcement, namun disisi lain aturan hukum juga tidak boleh kehilangan jati dirinya sebagai norma yang memiliki nilai kepastian (kepastian hukum). Selain itu penegakan hukum juga harus memberikan manfaat baik bagi pelaku, masyarakat maupun bagi pembangunan hukum secara universal. Selain itu hukum juga berfungsi sebagai instrument perubahan sosial. Dalam tataran ini yang harus menjadi perhatian utama oleh pemerintah adalah efektivitas keberlakuan hukum tersebut dalam masyarakat. Hukum dapat berfungsi lebih efektif bila memiliki landasan yuridis, landasan sosiologis dan landasan filosofis. Hal ini bermanfaat supaya kepentingan masyarakat secara luas dapat dilindungi oleh hukum. Sebab, peran atau fungsi hukum itu sendiri adalah sebagai perlindungan kepentingan manusia, dan agar kepentingan manusia terlindungi.

Khalwat menurut KBBI adalah: “berdua-duaan antara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim ditempat sunyi atau tersembunyi.” Sejalan dengan pengertian diatas juga Qanun nomor 14 Tahun 2003 dalam pasal 1 ayat 20 menyebutkan makna khalwat adalah perbuatan bersunyi-sunyi antara dua orang mukallaf atau lebih yang berlainan jenis yang bukan muhrim atau tanpa ikatan perkawinan. Dalam penjelasan umum dijelaskan pula bahwa khalwat tidak hanya terjadi di tempat-tempat tertentu yang sepi dari penglihatan orang lain, tetapi juga terjadi di tengah keramaian atau di jalanan atau di tempat-tempat lain, dimana laki-laki dan perempuan berasyik maksyuk tanpa ikatan nikah. Qanun ini merupakan Qanun yang dibentuk untuk mencegah dan menindak terhadap tindakan khalwat yang dilakukan oleh masyarakat Aceh maupun individu yang ada di Aceh. Perbuatan khalwat termasuk salah satu perbuatan mungkar yang dilarang dalam Syariat Islam dan bertentangan pula dengan adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat Aceh karena perbuatan tersebut dapat menjerumuskan seseorang kepada perbuatan zina. Pasal 3 Qanun ini juga menyebutkan tujuan dari larangan khalwat meliputi:

Tujuan  larangan khalwat adalah :

a.      Menegakkan Syari’at Islam dan adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

b.      Melindungi masyarakat dari berbagai bentuk kegiatan dan/atau perbuatan yang merusak kehormatan.

c.      Mencegah anggota masyarakat sedini mungkin dari melakukan perbuatan yang mengarah kepada zina.

d.      Meningkatkan peran serta masyarakat dalam mencegah dan  memberantas terjadinya perbuatan khalwat.

e.      Menutup peluang terjadinya kerusakan moral.

Salah satu badan yang berfungsi menjalankan Qanun Syariat Islam termasuk khalwat adalah Satuan Polisi Pamong Praja dan Wihlayatul Hisbah (Satpol PP/ WH). Upaya untuk mencapai tujuan penegakan syariat Islam dapat ditempuh dengan beberapa misi berikut :

1.      Meningkatkan Kualitas Pengamalan Agama Menuju Pelaksanaan Syariat Islam Secara Kaffah.

2.      Memperkuat Tata Kelola Pemerintahan Yang Baik.

3.      Meningkatkan Peran Generasi Muda Sebagai Kekuatan Pembangunan Kota.

 Dalam implementasinya, Qanun No. 14 Tahun 2003 tentang Khalwat ini mendapatkan hambatan dari berbagai segi. Sebagian besar pelanggaran terhadap Qanun khalwat ini didominasi oleh kalangan remaja. Kalangan remaja yang dimaksud adalah para pelajar Sekolah Menengah Atas (SMA) dan mahasiswa/i perguruan tinggi yang ada di Kota Banda Aceh.

Tabel 1.1

Jumlah Remaja di Kota Banda Aceh Januari-Desember

Tahun 2015

NO

Kelompok Umur

Jenis Kelamin

Laki-Laki

Perempuan

1

10 s/d 14

8775

8272

2

15 s/d 19

12418

13208

3

20 s/d 24

20516

20788

Sumber : Data Badan Pusat Statistik Kota Banda Aceh Tahun 2015

Sebagai tindak lanjut Qanun No.14 Tahun 2003 Tentang Khalwat, Pemerintah Kota Banda Aceh menerapkan Peraturan Walikota No. 3 Tahun 2012 tentang Pendidikan Aqidah dan Akhlak untuk mendukung pelaksanaan Qanun Khalwat khususnya melalui pendidikan islami sedari dini melalui berbagai lembaga pendidikan formal dan non-formal yang ada di Kota Banda Aceh. Perwal ini sudah diterapkan diberbagai sekolah yang ada di Banda Aceh dan diharapkan mampu mencegah dan menjaga generasi muda Kota Banda dari berbagai tindakan yang menyimpang dari tuntunan syariat Islam khususnya khalwat.

Besarnya jumlah remaja di Kota Banda Aceh merupakan suatu hal yang patut dijadikan perhatian oleh segenap pihak karena remaja merupakan masa yang rentan akan berbagai hal yang dapat menimbulkan berbagai permasalahan apabila tidak dapat ditangani secara bijak. Remaja Kota Banda Aceh merupakan gambaran masa depan Kota Banda Aceh dan oleh sebab itu harus dipersiapkan sejak dini untuk mengantisipasi semakin maraknya kasus khalwat yang dilakukan oleh remaja Kota Banda Aceh.  

Kurangnya sosialisasi terhadap hukuman cambuk ini juga menjadi masalah terhadap pemahaman masyarakat dalam pelaksanaan hukum cambuk ini. Berbagai penafsiran yang berbeda muncul terutama dari tokoh agama yang ada didalam masyarakat terhadap pelaksanaan Qanun khalwat yang dijalankan oleh Wihlayatul Hisbah dan Satpol PP. Berbagai pertanyaan dan keluhan terhadap ketidakjelasan dalam proses hukum dikenakan terhadap pelaku khalwat yang melibatkan Dinas Syariat Kota Banda Aceh, Wihlayatul Hisbah dan Mahkamah Syariat. Berbagai program sosialisasi telah dilakukan oleh pemerintah namun sebagian program yang dijalankan lebih banyak diperuntukkan kepada aparatur penegakan Qanun ketimbang kepada masyarakat. Sosialisasi kepada masyarakat pun banyak hanya melalui baliho atau pamflet yang ada disepanjang jalan Kota Banda Aceh. Sosialisasi langsung kepada masyarakat sangat minim dilakukan oleh instansi pemerintah terkait. Kerjasama dengan perangkat adat dan gampong (desa) pun kurang dilaksanakan dalam penegakan syariat Islam yang ada di Kota Banda Aceh, padahal perangkat adat dan gampong memiliki keterikatan sosial yang lebih erat dengan elemen masyarakat sehingga sosialisasi dalam bentuk pembinaan terhadap masyarakat dapat dilakukan secara lebih efektif. Rendahnya pemahaman masyarakat terhadap penafsiran dan prosedur hukum syariat yang ada didalam UU No. 14 Tahun 2003 berakibat pada berbagai tindakan anarkis yang dilakukan oleh masyarakat terhadap pelaku khalwat yang tertangkap basah. Banyak dari pelaku khalwat yang tertangkap oleh masyarakat dihakimi melalui cara-cara yang sedikit menyimpang dari aturan yang ada, seperti dimandikan di surau gampong hingga pagi hari, diarak keliling gampong, bahkan dihakimi terlebih dahulu sebelum diserahkan kepada pihak yang berwenang.

Melalui Usulan Penelitian “EFEKTIVITAS HUKUMAN CAMBUK DALAM MENGURANGI PELANGGARAN QANUN NOMOR 14 TAHUN 2003 TENTANG KHALWAT DI KOTA BANDA ACEH PROVINSI ACEH” penulis ingin mendapatkan gambaran pelaksanaan Qanun ini sebagai upaya mendukung pembangunan Kota Banda Aceh sebagai model kota madani dan islami sesuai dengan misi yang telah dicanangkan.

1.2       Ruang Lingkup, Fokus dan Lokasi Magang

1.2.1   Ruang Lingkup 

Untuk mempersempit ruang lingkup masalah serta materi yang akan dibahas, maka dalam penelitian ini dilakukan pembatasan masalah yang  mengkaji tentang efektivitas Qanun No.14 Tahun 2003 tentang Khalwat dalam penegakan syariat Islam di Kota Banda Aceh Provinsi Aceh.

1.2.2   Fokus

Adapun rencana fokus magang yang dimaksud penulis dalam pengamatan ini adalah:

1.      Bagaimana efektivitas pelaksanaan hukuman cambuk dalam mengurangi pelanggaran Qanun No.14 Tahun 2003 tentang Khalwat di dalam penegakan syariat Islam di Kota Banda Aceh Provinsi Aceh?

2.      Apa faktor pendukung dan penghambat efektivitas pelaksanaan hukuman cambuk dalam pelanggaran Qanun No.14 Tahun 2003 tentang Khalwat dalam penegakan syariat Islam di Kota Banda Aceh Provinsi Aceh ?

3.      Apakah upaya Wilyatul Hisbah agar mengurangi pelanggaran Qanun No.14 Tahun 2003 tentang Khalwat dalam penegakan syariat Islam di Kota Banda Aceh Provinsi Aceh ?

1.2.3   Lokasi

Adapun rencana lokasi magang untuk memperoleh data peneliti akan melaksanakan magang di Wilyatul Hisbah Di Kota Banda Aceh Provinsi Aceh.

1.3       Maksud dan Tujuan

1.3.1   Maksud

Adapun maksud dari magang ini adalah mengetahui sejauh mana efektivitas pelaksanaan Hukuman Cambuk Dalam Mengurangi Pelanggaran Qanun No.14 Tahun 2003 tentang Khalwat dalam penegakan syariat Islam di Kota Banda Aceh Provinsi Aceh.

1.3.2   Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1.        Untuk mengetahui dan menganalisis tentang efektivitas hukuman cambuk dalam mengurangi pelanggaran Qanun No.14 Tahun 2003 tentang Khalwat dalam penegakan syariat Islam di Kota Banda Aceh Provinsi Aceh.

2.        Untuk mengetahui apa saja faktor pendukung dan penghambat efektivitas hukuman cambuk dalam mengurangi pelanggaran Qanun No.14 Tahun 2003 tentang Khalwat dalam penegakan syariat Islam di Kota Banda Aceh Provinsi Aceh.

3.        Untuk mengetahui upaya yang dilakukan Wilyatul Hisbah dalam mengurangi pelanggaran Qanun No.14 Tahun 2003 tentang Khalwat dalam penegakan syariat Islam di Kota Banda Aceh Provinsi Aceh.

1.4       Kegunaan

1.4.1   Kegunaan Teoritis

Adapun kegunaan teoritis dalam magang ini adalah diharapkan dapat menambah wawasan dan ilmu pengetahuan tentang permasalahan sosial melalui pengetahuan tentang efektivitas hukuman cambuk dalam mengurangi pelanggaran  Qanun No.14 Tahun 2003 tentang Khalwat dalam penegakan syariat Islam di Kota Banda Aceh Provinsi Aceh.

1.4.2   Kegunaan Praktis

Adapun kegunaan praktis dalam magang ini saya tujukan pada tiga sasaran, bagi pemerintah, dalam hal ini khususnya Pemerintah Kota Banda Aceh, bagi lembaga Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) dan bagi penulis sendiri.

1.      Bagi Pemerintah

Diharapkan dapat menjadi sumbangan pertimbangan pemikiran guna menghadapi fenomena-fenomena dan dinamika- dinamika di dunia pemerintah dalam mengembangkan efektivitas suatu kebijakan, khususnya kebijakan tentang hukuman cambuk pagi pelanggaran Khalwat dalam penegakan syariat Islam di Kota Banda Aceh Provinsi Aceh.

2.    Bagi lembaga Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN),

Diharapkan nantinya hasil dari penelitian ini dapat menjadi sumbangan pemikiran dan saran bagi lembaga ini,juga hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah dan melengkapi referensi dan bahan bacaan bagi pembaca di perpustakaan Institut Pemerintahan Dalam Negeri.

3.    Bagi Penulis

Diharap dengan penulisan penelitian ini penulis dapat melihat langsung implementasi dilapangan, kemudian mengkritisi dan berusaha mencari dan merekomendasikan solusi, selain diharapkan dapat sebagai pembelajaran bagi penulis agar pola pikir dan mempertajam analisis penulis dapat lebih maju sebagai generasi muda calon pemimpin bangsa di masa depan.

No comments:

Post a Comment

KEPEMIMPINAN PEMERINTAHAN DAN KEPAMONGPRAJAAN

  JUDUL BUKU “KEPEMIMPINAN PEMERINTAHAN DAN KEPAMONGPRAJAAN” TUGAS RESUME   Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah ...

082126189815

Name

Email *

Message *