BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia adalah negara
yang mempunyai berbagai keanekaragaman dilihat dari suku, budaya, agama dan adat
istiadat. Keanekaragaman ini diterima
dan diakui sebagai tekad dan wujud dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Berbagai perbedaan harus dapat dikelola
dengan sebaik-baiknya dalam mewujudkan tujuan nasional sebagaimana termaktub
dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 alinea ke IV yang menyebutkan
bahwa: "Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara
Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial”, serta pengakuan negara akan berbagai
perbedaan seperti yang terdapat pada pasal 18 ayat 1 UUD 1945 yaitu negara mengakui dan menghormati
satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang,
dan ayat 2 negara mengakui dan
menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat
hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Untuk
menjalankan pemerintahan, pemerintah memiliki berbagai fungsi yang melekat pada
dirinya. Fungsi pemerintahan dapat dibagi dalam dua bagian, yakni fungsi primer
dan fungsi sekunder. Fungsi primer merupakan fungsi pemerintah sebagai penyedia
pelayanan dan jasa-jasa terhadap kebutuhan publik, fungsi sekunder merupakan
fungsi pemberdayaan, menumbuhkan kemandirian masyarakat oleh masyarakat sendiri
dengan bantuan pemerintah, sehingga fungsi pengaturan yang awalnya kaku
dilakukan pemerintah menjadi lebih bersifat pengarahan (steering).
Berbagai fungsi pemerintahan yang
dimiliki oleh pemerintah harus dapat diterjemahkan dan dijalankan dengan baik
oleh pemerintah. Hal ini bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan yang maksimal
dan merata bagi masyarakat. Fungsi
pengaturan yang dihadapkan oleh pemerintah kepada masyarakat yang plural dan
majemuk juga harus dapat menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi yang
dihadapi. Masyarakat majemuk yang
terdiri dari berbagai macam suku, etnik, agama harus dapat disatukan dalam
suatu kesatuan yang utuh.
Indonesia
terdiri dari berbagai suku dan adat istiadat yang beraneka ragam dan telah ada
sebelum Indonesia terbentuk. Suku dan adat istiadat yang terbentuk dalam
berbagai kebudayaan membutuhkan pengaturan serta pengakuan dari pemerintah. Berdasarkan
data dari BPS Indonesia terdiri dari 1.128 suku bangsa. Hal ini membuat Indonesia
merupakan salah satu negara dengan suku terbanyak di dunia. Suku dan etnik ini
dalam era kekinian telah berevolusi menjadi suatu struktur dan model masyarakat
yang semakin dinamis. Hal ini juga berdampak pada kemampuan pemerintah dalam
mengelola berbagai perbedaan yang ada didalam suatu daerah sehingga konflik
yang merugikan dapat dihindari.
Indonesia
terdiri dari 34 provinsi yang masing-masing memiliki keunikan dan keberagaman
baik secara bahasa, budaya, agama dan lain-lain. Berbagai keberagaman harus
dapat diakomodir dengan baik agar keberagaman yang ada tidak menjadi suatu
dasar perpecahan yang berbasis chauvinisme
dan berbagai ego kelokalan lainnya. Kebijakan-kebijakan pemerintah Indonesia
untuk memberi ruang bagi keberagaman khususnya dalam penyelenggaraan pemerintah
telah diwujudkan dalam Undang-Undang No.23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan
Daerah. Terhadap satuan pemerintah daerah yang lebih khusus yang berdasarkan
sejarah, budaya, politik, agama telah diatur melalui kebijakan otonomi khusus
yaitu Provinsi Aceh, Provinsi DKI, Daerah Istimewa Yogyakarta, Papua dan Papua Barat.
Provinsi
Aceh yang dikenal dengan Serambi Mekkah merupakan satu-satunya provinsi di
Indonesia yang menerapkan Syariat Islam dan memberlakukan sanksi cambuk bagi
pelanggarnya. Sampai saat ini telah ada beberapa Qanun yang menerapkan sanksi cambuk bagi pelanggarnya yaitu Qanun Nomor 12 Tahun 2003 tentang
Minuman Khamr dan sejenisnya, Qanun
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Maisir (Perjudian),
Qanun Nomor 14 Tahun 2003 tentang Khalwat dan Qanun Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Pengelolaan Zakat.
Dalam
Pasal 3 UU No. 44 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi
Daerah Istimewa Aceh juga menyebutkan bahwa pelaksanaan syariat Islam merupakan
keistimewaan bagi Aceh. Keistimewaan yang dimiliki Aceh meliputi;
penyelenggaraan kehidupan beragama, adat, pendidikan dan peran ulama dalam
penetapan kebijakan daerah.
Sepanjang
sejarah, masyarakat Aceh telah menjadikan agama Islam sebagai pedoman dalam
kehidupannya. Melalui penghayatan dan pengamalan ajaran Islam dalam rentang
sejarah yang cukup panjang (sejak abad ke VII M) telah melahirkan suasana
masyarakat dan budaya Aceh yang Islami. Budaya dan adat Aceh yang lahir dari
renungan para ulama, kemudian dipraktekkan, dikembangkan dan dilestarikan.
Dalam ungkapan bijak Aceh disebutkan “Adat
bak Poteu Meureuhom, Hukom bak Syiah Kuala, Qanun bak Putro Phang Reusam bak
Lakseumana” (Adat adalah urusan Sultan hukum
islam ada pada Ulama, Qanun disusun
oleh ratu, Reusam dibuat oleh
Laksamana). Ungkapan tersebut merupakan pencerminan bahwa
Syari’at Islam telah menyatu dan menjadi pedoman hidup bagi masyarakat Aceh
melalui peranan ulama sebagai pewaris para Nabi.
Keinginan pemerintah Aceh untuk menerapkan hukum Islam menjadi hukum
positif mendapat berbagai sorotan. Dijadikannya hukum positif harus mendapatkan
kepatuhan dan pemberian sanksi yang terlegitimasi secara hukum yang ada. Secara yuridis, pemberlakuan syariat Islam di
Aceh merupakan yang pertama di Indonesia dan sedikit berbeda dengan hukum
nasional. Kultur masyarakat Aceh yang telah hidup dengan syariat Islam selama
ratusan tahun hingga saat ini telah berjalan dengan berbagai konsekuensinya.
Situasi ini diakomodir dalam UU No.11 Tahun 2006 Pasal 17 ayat 2 dimana urusan
wajib lainnya yang menjadi kewenangan khusus pemerintahan kabupaten/kota adalah
pelaksanaan keistimewaan Aceh yang antara lain meliputi:
a.
Penyelenggaraan
kehidupan beragama dalam bentuk pelaksanaan syari’at Islam bagi pemeluknya di
Aceh dengan tetap menjaga kerukunan hidup antar umat beragama.
b.
Penyelenggaraan
kehidupan adat yang bersendikan agama Islam. Penyelenggaraan pendidikan yang
berkualitas serta menambah materi muatan lokal sesuai dengan syari’at Islam.
c.
Peran ulama
dalam penetapan kebijakan kabupaten/kota.
Sebagai bagian dari Provinsi Aceh, Kota Banda
Aceh menggunakan pedoman tersebut dalam penegakan syariat Islam di Kota Banda
Aceh. Hal ini dapat dilihat dari misi Kota Banda Aceh yang pertama yakni meningkatkan kualitas
pengamalan agama menuju pelaksanaan syariat islam secara kaffah.
Hal ini diwujudkan melalui pembentukan berbagai instansi pemerintahan dan
sosialisasi kepada masyarakat terhadap berbagai produk hukum syariat yang akan
ditegakkan.
Pembentukan
peraturan daerah (Qanun) pun dimulai
sesuai dengan amanat UU No. 11 Tahun 2006. Salah satu Qanun yang dibentuk untuk mengimplementasikan syariat Islam di
Provinsi Aceh yaitu melalui Qanun No.
14 Tahun 2003 tentang Khalwat. Qanun ini merupakan Qanun tingkat provinsi yang berlaku diseluruh kab/kota yang ada di
Provinsi Aceh, termasuk Kota Banda Aceh. Kota Banda Aceh merupakan daerah
dengan pelanggaran khalwat tertinggi
di Provinsi Aceh.
Dalam
menjalankan keistimewaannya dalam bidang kehidupan beragama, Aceh telah
menyusun beberapa Qanun yang mengatur
tentang pelaksanaan syariat Islam. Salah satu bentuk hukuman yang disebutkan
did alam beberapa Qanun yakni hukuman
cambuk. Hal ini sebagaimana tercantum di dalam Qanun Provinsi Aceh No.11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syariat
Islam Bidang Aqidah, Ibadah dan Syiar
Islam pada Pasal 20 ayat 1 “Barangsiapa yang menyebarkan paham atau aliran
sesat sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat 2 dihukum dengan ta’zir berupa hukuman penjara paling
lama 2 (dua) tahun atau hukuman cambuk di depan umum paling banyak 12 (dua
belas) kali”
Penerapan
hukuman cambuk khususnya untuk pelaku khalwat di Aceh dimaksudkan untuk dapat
memberikan efek jera bagi si pelaku. Dengan metode eksekusi cambuk di muka umum
secara psikologis akan berdampak jauh lebih besar ketimbang hukuman penjara
yang pelaksanaannya mengisolir pelaku di tempat yang tertutup. Hukuman cambuk
akan menjadi sebuah preventive power
dalam mencegah terjadinya pelanggaran pidana, dan bagi para terpidana cambuk
dapat menjadi pelajaran yang sangat berharga untuk kemudian hari tidak
mengulangi perbuatannya lagi.
Di
satu sisi sebuah aturan hukum harus memiliki daya mengikat yang kuat sebagai
dasar bagi pelaksanaan law enforcement,
namun disisi lain aturan hukum juga tidak boleh kehilangan jati dirinya sebagai
norma yang memiliki nilai kepastian (kepastian hukum). Selain itu penegakan
hukum juga harus memberikan manfaat baik bagi pelaku, masyarakat maupun bagi pembangunan
hukum secara universal. Selain itu hukum juga berfungsi sebagai instrument
perubahan sosial. Dalam tataran ini yang harus menjadi perhatian utama oleh
pemerintah adalah efektivitas keberlakuan hukum tersebut dalam masyarakat.
Hukum dapat berfungsi lebih efektif bila memiliki landasan yuridis, landasan
sosiologis dan landasan filosofis. Hal ini bermanfaat supaya kepentingan masyarakat
secara luas dapat dilindungi oleh hukum. Sebab, peran atau fungsi hukum itu
sendiri adalah sebagai perlindungan kepentingan manusia, dan agar kepentingan
manusia terlindungi.
Khalwat menurut KBBI adalah:
“berdua-duaan antara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim ditempat sunyi
atau tersembunyi.” Sejalan dengan pengertian diatas juga Qanun nomor 14 Tahun 2003 dalam pasal 1 ayat 20 menyebutkan makna khalwat adalah perbuatan bersunyi-sunyi
antara dua orang mukallaf atau lebih yang berlainan jenis yang bukan muhrim
atau tanpa ikatan perkawinan. Dalam penjelasan umum dijelaskan pula bahwa khalwat tidak hanya terjadi di
tempat-tempat tertentu yang sepi dari penglihatan orang lain, tetapi juga
terjadi di tengah keramaian atau di jalanan atau di tempat-tempat lain, dimana
laki-laki dan perempuan berasyik maksyuk tanpa ikatan nikah. Qanun ini merupakan Qanun yang dibentuk untuk mencegah dan menindak terhadap tindakan khalwat yang dilakukan oleh masyarakat
Aceh maupun individu yang ada di Aceh. Perbuatan khalwat termasuk salah satu perbuatan mungkar yang dilarang dalam
Syariat Islam dan bertentangan pula dengan adat istiadat yang berlaku dalam
masyarakat Aceh karena perbuatan tersebut dapat menjerumuskan seseorang kepada
perbuatan zina. Pasal 3 Qanun ini juga
menyebutkan tujuan dari larangan khalwat
meliputi:
Tujuan
larangan khalwat adalah :
a.
Menegakkan Syari’at Islam dan adat istiadat yang berlaku
dalam masyarakat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
b.
Melindungi masyarakat dari berbagai bentuk kegiatan
dan/atau perbuatan yang merusak kehormatan.
c.
Mencegah anggota masyarakat sedini mungkin dari melakukan
perbuatan yang mengarah kepada zina.
d.
Meningkatkan peran serta masyarakat dalam mencegah
dan memberantas terjadinya perbuatan khalwat.
e.
Menutup peluang terjadinya kerusakan moral.
Salah satu badan yang berfungsi menjalankan Qanun Syariat Islam termasuk khalwat
adalah Satuan Polisi Pamong Praja dan Wihlayatul
Hisbah (Satpol PP/ WH). Upaya
untuk mencapai tujuan penegakan syariat Islam dapat ditempuh dengan beberapa
misi berikut :
1.
Meningkatkan
Kualitas Pengamalan Agama Menuju Pelaksanaan Syariat Islam Secara Kaffah.
2.
Memperkuat
Tata Kelola Pemerintahan Yang Baik.
3.
Meningkatkan
Peran Generasi Muda Sebagai Kekuatan Pembangunan Kota.
Dalam
implementasinya, Qanun No. 14 Tahun
2003 tentang Khalwat ini mendapatkan
hambatan dari berbagai segi. Sebagian besar pelanggaran terhadap Qanun khalwat ini didominasi oleh
kalangan remaja. Kalangan remaja yang dimaksud adalah para pelajar Sekolah
Menengah Atas (SMA) dan mahasiswa/i perguruan tinggi yang ada di Kota Banda
Aceh.
Tabel 1.1
Jumlah Remaja di Kota Banda
Aceh Januari-Desember
Tahun 2015
NO |
Kelompok Umur |
Jenis Kelamin |
|
Laki-Laki |
Perempuan |
||
1 |
10 s/d 14 |
8775 |
8272 |
2 |
15 s/d 19 |
12418 |
13208 |
3 |
20 s/d 24 |
20516 |
20788 |
Sumber : Data Badan Pusat Statistik Kota
Banda Aceh Tahun 2015
Sebagai
tindak lanjut Qanun No.14 Tahun 2003
Tentang Khalwat, Pemerintah Kota
Banda Aceh menerapkan Peraturan Walikota No. 3 Tahun 2012 tentang Pendidikan
Aqidah dan Akhlak untuk mendukung pelaksanaan Qanun Khalwat khususnya melalui pendidikan islami sedari dini
melalui berbagai lembaga pendidikan formal dan non-formal yang ada di Kota
Banda Aceh. Perwal ini sudah diterapkan diberbagai sekolah yang ada di Banda
Aceh dan diharapkan mampu mencegah dan menjaga generasi muda Kota Banda dari
berbagai tindakan yang menyimpang dari tuntunan syariat Islam khususnya khalwat.
Besarnya
jumlah remaja di Kota Banda Aceh merupakan suatu hal yang patut dijadikan
perhatian oleh segenap pihak karena remaja merupakan masa yang rentan akan
berbagai hal yang dapat menimbulkan berbagai permasalahan apabila tidak dapat
ditangani secara bijak. Remaja Kota Banda Aceh merupakan gambaran masa depan
Kota Banda Aceh dan oleh sebab itu harus dipersiapkan sejak dini untuk
mengantisipasi semakin maraknya kasus khalwat
yang dilakukan oleh remaja Kota Banda Aceh.
Kurangnya
sosialisasi terhadap hukuman cambuk ini juga menjadi masalah terhadap pemahaman
masyarakat dalam pelaksanaan hukum cambuk ini. Berbagai penafsiran yang berbeda
muncul terutama dari tokoh agama yang ada didalam masyarakat terhadap
pelaksanaan Qanun khalwat yang
dijalankan oleh Wihlayatul Hisbah dan
Satpol PP. Berbagai pertanyaan dan keluhan terhadap ketidakjelasan dalam proses
hukum dikenakan terhadap pelaku khalwat
yang melibatkan Dinas Syariat Kota Banda Aceh, Wihlayatul Hisbah dan Mahkamah Syariat. Berbagai program sosialisasi
telah dilakukan oleh pemerintah namun sebagian program yang dijalankan lebih
banyak diperuntukkan kepada aparatur penegakan Qanun ketimbang kepada masyarakat. Sosialisasi kepada masyarakat
pun banyak hanya melalui baliho atau pamflet yang ada disepanjang jalan Kota
Banda Aceh. Sosialisasi langsung kepada masyarakat sangat minim dilakukan oleh
instansi pemerintah terkait. Kerjasama dengan perangkat adat dan gampong (desa) pun kurang dilaksanakan
dalam penegakan syariat Islam yang ada di Kota Banda Aceh, padahal perangkat
adat dan gampong memiliki keterikatan
sosial yang lebih erat dengan elemen masyarakat sehingga sosialisasi dalam
bentuk pembinaan terhadap masyarakat dapat dilakukan secara lebih efektif.
Rendahnya pemahaman masyarakat terhadap penafsiran dan prosedur hukum syariat
yang ada didalam UU No. 14 Tahun 2003 berakibat pada berbagai tindakan anarkis
yang dilakukan oleh masyarakat terhadap pelaku khalwat yang tertangkap basah. Banyak dari pelaku khalwat yang tertangkap oleh masyarakat
dihakimi melalui cara-cara yang sedikit menyimpang dari aturan yang ada,
seperti dimandikan di surau gampong
hingga pagi hari, diarak keliling gampong,
bahkan dihakimi terlebih dahulu sebelum diserahkan kepada pihak yang berwenang.
Melalui
Usulan Penelitian “EFEKTIVITAS HUKUMAN
CAMBUK DALAM MENGURANGI PELANGGARAN QANUN
NOMOR 14 TAHUN 2003 TENTANG KHALWAT
DI KOTA BANDA ACEH PROVINSI ACEH” penulis ingin mendapatkan gambaran
pelaksanaan Qanun ini sebagai upaya
mendukung pembangunan Kota Banda Aceh sebagai model kota madani dan islami
sesuai dengan misi yang telah dicanangkan.
1.2 Ruang
Lingkup, Fokus dan Lokasi Magang
1.2.1 Ruang
Lingkup
Untuk
mempersempit ruang lingkup masalah serta materi yang akan dibahas, maka dalam
penelitian ini dilakukan pembatasan masalah yang mengkaji tentang efektivitas Qanun No.14 Tahun 2003 tentang Khalwat dalam penegakan syariat Islam di
Kota Banda Aceh Provinsi Aceh.
1.2.2 Fokus
Adapun
rencana fokus magang yang dimaksud penulis dalam pengamatan ini adalah:
1.
Bagaimana efektivitas pelaksanaan hukuman cambuk dalam
mengurangi pelanggaran Qanun No.14
Tahun 2003 tentang Khalwat di dalam
penegakan syariat Islam di Kota Banda Aceh Provinsi Aceh?
2.
Apa faktor pendukung dan penghambat efektivitas pelaksanaan
hukuman cambuk dalam pelanggaran Qanun No.14
Tahun 2003 tentang Khalwat dalam
penegakan syariat Islam di Kota Banda Aceh Provinsi Aceh ?
3.
Apakah upaya Wilyatul
Hisbah agar mengurangi pelanggaran Qanun
No.14 Tahun 2003 tentang Khalwat dalam
penegakan syariat Islam di Kota Banda Aceh Provinsi Aceh ?
1.2.3 Lokasi
Adapun
rencana lokasi magang untuk memperoleh data peneliti akan melaksanakan magang
di Wilyatul Hisbah Di Kota Banda Aceh
Provinsi Aceh.
1.3 Maksud dan
Tujuan
1.3.1 Maksud
Adapun
maksud dari magang ini adalah mengetahui sejauh mana efektivitas pelaksanaan Hukuman
Cambuk Dalam Mengurangi Pelanggaran Qanun
No.14 Tahun 2003 tentang Khalwat dalam
penegakan syariat Islam di Kota Banda Aceh Provinsi Aceh.
1.3.2 Tujuan
Tujuan dari penelitian
ini adalah :
1.
Untuk mengetahui dan menganalisis tentang efektivitas hukuman
cambuk dalam mengurangi pelanggaran Qanun
No.14 Tahun 2003 tentang Khalwat dalam
penegakan syariat Islam di Kota Banda Aceh Provinsi Aceh.
2.
Untuk mengetahui apa saja faktor pendukung dan penghambat
efektivitas hukuman cambuk dalam mengurangi pelanggaran Qanun No.14 Tahun 2003 tentang Khalwat
dalam penegakan syariat Islam di Kota Banda Aceh Provinsi Aceh.
3.
Untuk mengetahui upaya yang dilakukan Wilyatul Hisbah dalam mengurangi pelanggaran
Qanun No.14 Tahun 2003 tentang Khalwat dalam penegakan syariat Islam di
Kota Banda Aceh Provinsi Aceh.
1.4 Kegunaan
1.4.1 Kegunaan
Teoritis
Adapun
kegunaan teoritis dalam magang ini adalah diharapkan dapat menambah wawasan dan
ilmu pengetahuan tentang permasalahan sosial melalui pengetahuan tentang
efektivitas hukuman cambuk dalam mengurangi pelanggaran Qanun
No.14 Tahun 2003 tentang Khalwat
dalam penegakan syariat Islam di Kota Banda Aceh Provinsi Aceh.
1.4.2 Kegunaan Praktis
Adapun
kegunaan praktis dalam magang ini saya tujukan pada tiga sasaran, bagi
pemerintah, dalam hal ini khususnya Pemerintah Kota Banda Aceh, bagi lembaga
Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) dan bagi penulis sendiri.
1.
Bagi Pemerintah
Diharapkan
dapat menjadi sumbangan pertimbangan pemikiran guna menghadapi
fenomena-fenomena dan dinamika- dinamika di dunia pemerintah dalam
mengembangkan efektivitas suatu kebijakan, khususnya kebijakan tentang hukuman
cambuk pagi pelanggaran Khalwat dalam
penegakan syariat Islam di Kota Banda Aceh Provinsi Aceh.
2. Bagi lembaga
Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN),
Diharapkan
nantinya hasil dari penelitian ini dapat menjadi sumbangan pemikiran dan saran
bagi lembaga ini,juga hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah dan
melengkapi referensi dan bahan bacaan bagi pembaca di perpustakaan Institut
Pemerintahan Dalam Negeri.
3. Bagi Penulis
Diharap
dengan penulisan penelitian ini penulis dapat melihat langsung implementasi dilapangan,
kemudian mengkritisi dan berusaha mencari dan merekomendasikan solusi, selain
diharapkan dapat sebagai pembelajaran bagi penulis agar pola pikir dan
mempertajam analisis penulis dapat lebih maju sebagai generasi muda calon
pemimpin bangsa di masa depan.
No comments:
Post a Comment