HAKEKAT, KONSEPSI DAN RENCANA AKSI
NASIONAT HAK ASASI MANUSIA (HAM)
Pendahuluan
Hak asasi manusia menjadi bahasan penting
setelah Perang Dunia II dan pada waktu pembentukan Perserikatan
Bangsa-Bangsa tahun 1945. Istilah
HAM menggantikan istilah Natural
Rights. Hal ini karena konsep hukum alam yang berkaitan dengan hak-hak alam menjadi suatu
kontroversial. Hak asasi manusia
yang dipahami sebagai natural rights merupakan
suatu kebutuhan dari realitas sosial yang bersifat universal. Dalam perkembangannya telah mengalami
perubahan-perubahan mendasar sejalan dengan
keyakinan dan praktek-praktek sosial di lingkungan kehidupan wiasyarakat
luas.
Semula
HAM berada di negara-negara maju. Sesuai dengan perkembangan kemajuan
transportasi dan komunikasi secara
meluas, maka eegara berkembang seperti Indonesia, mau tidak mau sebagai anggota
PBB, harus menerimanya untuk
melakukan ratifikasi instrumen HAM internasional sesuai dengan falsafah
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, serta kebudayaan bangsa
Indonesia.
Perkembangan
HAM di Indonesia, sebenarnya dalam UUD 1945
telah tersurat, namun
belum tercantum secara transparan. Setelah dilakukan Amandamen I s/d IV
Undang-Undang Dasar 1945, ketentuan
tentang HAM tercantum pada Pasal
28 A s/d 28 J. Sebenarnya pada UUDS 1950
yang pernah berlaku dari tahun 1949-1950,
telah memuat pasal-pasal tentang HAM yang lebih banyak dan lengkap dibandingkan UUD 1945. Namun Konstituante yang
terbentuk melalui pemilihan umum tahun
1955 dibubarkan berdasarkan
Keppres Nomor 150 tahun 1959, tanggal 5 Juli 1959. Secara
otomatis hal ini mengakibatkan kita kembali
lagi pada UUD 1945.
Kemudian
berbagai pihak untuk melengkapi UUD 1945
yang berkaitan dengan HAM,
melalui MPRS dalam sidang-sidangnya awal orde baru lelah menyusun Piagam Hak-hak Asasi Manusia dan Hak-hak serta Kewajiban Warga Negara. MRS
telah menyampaikan Nota MPRS kepada Presiden dan DPR tentang pelaksanaan hak-hak asasi. Karena
berbagai kepentingan politik pada saat itu, akhirnya tidak jadi diberlakukan.
Dapat dilihat bahwa pernerintahan orde baru pada saat itu bersikap anti
terhadap Piagam HAM, dan beranggapan
bahwa masalah HAM sudah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan.
Untuk menghapus kekecewaan kepada bangsa Indonesia terhadap Piagam HAM, maka
MPR pada Sidang Istimewanya tanggal 11 Nopember 1998 mensahkan Ketetapan MPR
Nomor XVII/MPR/1998 yang menugaskan kepada Lembaga-lembaga Tinggi Negara dan seluruh Aparatur Pemerintah, untuk
menghormati, menegakkan, dan menyebarluaskar3 pemahaman mengenai HAM kepada
seluruh masyarakat.
Instrumen HAM Nasional
Pada
masa pemerintahan orde baru, demokrasi belum berjalan dengan baik. Terlihat
misalnya seperti kebebasan mengemukakan pendapat di muka umum, kebebasan pers
maupun kebebasan dalam organisasi dan sebagaillya. Hanya kepentingan-kepentingan
politik yang menonjol pada saat itu, sehingga gerak-gerik masyarakat terbatas
oleh kekuatan politik dan meliterisme.
Demi nama baik bangsa dan masyarakat di
Indonesia sebagai anggota PBB, maka untuk menghormati Piagam PBB dan Deklarasi Universal HAM, serta untuk perlindungan,
pemajuan, penegakkan, dan pemenuhan HAM
sesuai dengan prinsip-prinsip kebudayaan bangsa Indonesia, Pancasila dan Negara
berdasarkan atas hukum telah menetapkan:
a. Undang-Undang Nomor 7 tahun 1984 tentang
Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap
Wanita;
b. Keputusan Presiden Nomor 36 tahun 1990
tentang Pengesahan Hakhak Anak;
c. Keputusan Presiden Nomor 50 tahun 1993
tentang Komisi Nasional HAM.
Bertumpuknya
permasalahan pada orde baru, baik masalah BLBI, KKN, kasus Tanjung Priuk
tanggal 12 September 1984, DOM Aceh Tahun 1989, Trisakti tanggal 12 Mei 1998,
ketidakpercayaan terhadap pemerintahan, dan terjadinya kerusuhan tanggal 12-14 Mei 1998,
pada tanggal 21 Mei 1998 telah tejadi pergantian pemerintahan yang selama ini
berkuasa sampai dengan tanggal 19 Oktober 1999.
Pada
masa Kabinet Reformasi Pembangunan, telah terjadi kasus Semanggi I tanggal 13
Nopember 1998, Semanggi II tanggal 22-24 September 1999, pelanggaran HAM yang
berat di Liquica, Dilli bulan April 1999 dan September 1999. Semenjak
pergantian pemerintahan orde baru, dan Kabinet Era Reformasi sampai dengan
Kabinet Gortong Royong, telah banyak menetapkan peraturan perundangan yang
berperspektif HAM dan ratifikasi instrumen
HAM internasional, yaitu:
a) Keppres
Nomor 129 Tahun 1998 tanggal 15 Agustus 1998 tentang Komisi Nasional Anti
Kekerasan Terhadap Perempuan;
b) Instruksi
Presiden Nomor 26 Tahun 1998 tanggai 16 September 1998 tentang Menghentikan
Penggunaan Istilah Pribumi dan Non Pribumi dalam Semua Perumusan dan
Penyelenggaraan Kebijakan Perencanaan Program Ataupun Pelaksanaan Kegiatan
Penyelenggaraan Pemerintahan;
c) Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1998 tanggal 28 September 1998 tentang Pengesahan Konvensi
Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak
Manusiawi, atau Merendahkan;
d) Keppres
Nomor 181 Tahun 1998 tanggal 9 Oktober 1998 tentang Komisi Nasional Anti
Kekerasan Terhadap Perempuan;
e) Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 1998 tanggal 26 Oktober 1998, tentang Kemerdekaan Menyampaikan
Pendapat di Muka Umum;
f) Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 tanggal 23 September 1999 tentang HAM;
g) Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2000 tanggal 23 Nopember 2000 tentang Pengadilan HAM;
h) Konvensi
ILO No. 87 Tahun 1948, diratifikasi berdasarkan Keppres No. 83 Tahun 1998
tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berorganisasi;
i) Konvensi
ILO No. 105 Tahun 1957, diratifikasi berdasarkan UndangUndang Nomor 19 Tahun
1999 tentang Penghapusan Kerja Paksa;
j) Konvensi
ILO No. 111 Tahun 1958, diratifikasi berdasarkan UndangUndang Nomor 21 Tahun
1999 tentang Diskriminasi dalam Pekerjaan
dan Jabatan;
k) Konvensi
ILO No. 138 Tahun 1973, diratifikasi berdasarkan UndangUndang Nomor 20 Tahun 1999
tentang Usia Minimum Untuk Diperbolehkan Bekerja;
l) Konvensi
ILO No. 182 Tahun 1999, diratifikasi berdasarkan UndangUndang No. 1 Tahun 2000
tentang Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan
Terburuk Untuk Anak;
m) Konvensi
ILO No. 88 tahun 1948, diratifikasi berdasarkan Keppres No. 36 tahun 2002
tentang Lembaga Pelayanan Penempatan Tenaga Kerja.
HAM di Indonesia
Proses
globalisasi yang bergulir pada tahun 80-an, bukan saja masalah kehidupan
ekonomi, tetapi telah melanda dalam kehidupan politik, hankam, iptek,
pendidikan, sosial budaya, dan hukum. Globalisasi di bidang politik tidak
terlepas dari pergerakan tentang HAM, transparansi, dan demokratisasi. Adanya globalisasi dalam
pergerakan HAM, maka Indonesia harus menggabungkan instrumen-instrumen HAM
internasional yang diakui oleh negara-negara anggota PBB, ke dalam hukum
positif nasional sesuai dengan kebudayaan bangsa Indonesia clengan memperkuat
lembaga masyarakat, lembaga studi, dan masyarakat luas untuk memainkan peran
dalam mempromosikan dan melindungi HAM terhadap kehidupan masyarakat bangsa
Indonesia. Dengan penerapan instrumen HAM internasional dalam hukum positif
nasional, maka akan membatasi kekuasaan pemerintahan dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara.
Konsep
HAM yang sebelumnya cenderung bersifat theologis, filsafati, ideologis, atau
moralistik, dengan kemajuan berbangsa dan bernegara dalam konsep modern akan cenderung
ke sifat yuridis dan politik, karena instrumen HAM dikembangkan sebagai bagian
yang menyeluruh dan hukum internasional baik tertulis maupun tidak tertulis.
Bentuknya bisa dalam wujud deklarasi, konvensi, kovenan, resolusi maupun general comments. Instrumen-instrumen
tersebut akan membebankan kewajiban para negara-negara anggota PBB, sebagian
mengikat secara yuridis dan sebagian lagi kewajiban secara moral walaupun para
negara angota belum melakukan ratifikasi secara formal.
Tetapi
konsep HAM tersebut tidak secara universal, disesuaikan dengan kebudayaan
negara Indonesia yang berdasarkan pada Pancasila dan UndangUndang Dasar 1945.
Hal ini mutlak perlu, sebab akan berkaitan dengan falsafah, doktrin, dan
wawasan bangsa Indonesia, baik secara individual maupun kolektif kehidupan
masyarakat yang berasaskan kekeluargaan, dengan tidak mengenal secara
fragmentasi moralitas sipil, moralitas komunal, maupun moralitas institusional
yang saling menunjang secara proposional. Manusia di sini dipandang sebagai
pribadi, sebagai makhluk sosial dan dipandang sebagai warga negara. Jadi konsep
HAM di Indonesia bukan saja terhadap hak-hak mendasar manusia, tetapi ada
kewajiban dasar manusia sebagai warga negara untuk mematuhi peraturan
perundang-undangan, hukum tak tertulis, menghormati HAM orang lain, moral,
etika, patuh pada hukum internasional mengenai HAM yang telah diterima bangsa
Indonesia, juga wajib membela terhadap negara. Sedangkan kewajiban bagi
pemerintah untuk menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan HAM yang
telah diatur berdasarkan peraturan perundangan dan hukum internasional HAM yang
diterima oleh Indonesia.
Penutup
Dengan ditetapkan Rencana Aksi
Nasional HAM (RANHAM) berdasarkan Feppres
Nomor 40 Tahun 2004 tanggal 11 Mei 2004, merupakan kelanjutan RNNHAM 1998-2003 yang dicanangkan
Presiden B.J. Habibie melalui ikWes Nomor
129 Tahun 1998 tanggal 15 Agustus 1998 yang semula rernuat empat program utama,
yaitu:
a.
persiapan pengesahan perangkat internasional
HAM;
b.
diseminasi dan pendidikan HAM;
c.
pelaksanaan HAM yang ditetapkan sebagai
prioritas; dan
d.
pelaksanaan isi atau ketentuan berbagai
perangkat internasional HAM yang telah disahkan Indonesia.
Berdasarkan
perubahan di atas, maka Ketua Panitia Nasional yang 9emula Menteri Luar Negeri dialihkan secara formal ke Menteri
Kehakiman dan HAM dengan
Sekretariat Direktur Jenderal Perlindungan HAM. Kemudian direkomendasikan
pembentukan Panitia Daerah untuk membantu pelaksanaan RANHAM. Dalam pelaksanaan
RANHAM telah meratifikasi Konvensi Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan dan
Konvensi Anti Penyiksaan, dan penerjemahan perangkat HAM internasional yang alcan diratifikasi, penyebarluasan dan
sosialisasi perangkat HAM internasional
yang telah diratifikasi, kajian peraturan perundang-undangan nasional yang
Ierkait dengan perangkat HAM internasional, dekade pendidikan HAM, pelaksanaan
pendidikan HAM di universitas dan institusi lainnya, pelaksanaan pendidikan HAM
lewatjalur sekolah, penerjemahan bahan ajar HAM, pelaksanaan pendidikan HAM
jalur luar sekolah, dan sebagainya. Dan
beberapa kegiatan yang belum dicapai dengan baik, akan dilaksanakan pada RANHAM 2004-2009, sesuai dengan
Keputusan Presiden Nomor 40 Tahun 2004.
Panitia
Nasional berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden,
periode tahun 2004-2009 bertugas melakukan koordinasi pelaksanaan RANHAM
Indonesia yang mencakup:
a. pembentukan
dan penguatan institusi pelaksanaan RANHAM;
b. persiapan
ratifikasi instrumen HAM internasional;
c. persiapan
harmonisasi peraturan perundang-undangan;
d. diseminasi
dan pendidikan HAM;
e. penerapan
norma dan standar HAM, dan;
f. pemantauan,
evaluasi dan pelaporan.
Keanggotaannya terdiri dari
unsur-unsur pemerintah dan lembaga hak asasi manusia nasional sebanyak 41
(empat puluh satu). Sekretaris merangkap anggota adalah Direktur Jenderal
Perlindungan HAM. Rencana kegiatannya melakukan pembentukan dan penguatan
institusi pelaksana RANHAM di daerah, persiapan ratifikasi instrumen
internasional HAM, persiapan harmonisasi peraturan perundang-undangan, desiminasi
dan pendidikan HAM, penerapan norma dan standar instrumen HAM, dan pemantauan,
evaluasi dan pelaporan.
Implikasi
Pengaturan HAM Dalam UUD Terhadap lus Constituendum
Pendahuluan
Tulisan
ini mengutarakan konsekuensi pengaturaan HAM dalam UUD Negara terhadap
perundang-undangan di bawahnya baik yang telah adi maupun yang akan ada.
Putusan
Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan undang-undang lentang tindak pidana terorisme, sangat mengejutkan berbagai
kalarrgan. Bahkan Menteri
Kehakiman menghawatirkan Indonesia tidak dapat menindak pelaku terorisme.' Pada tataran penegak hukum terjadi silang
pendapat lerhadap konsekuensi dibatalkannya undang-undang pemberantasan tindak
pidana terorisme terhadap kasus yang sampai saat ini masih mengalami proses
penyidikan yang menggunakan undang-undang tersebut. Pada tafaran massa, sekelompok orang melakukan
unjuk rasa di Bali sebagai ungkapan kekecewaan.
Pembatalan
undang-undang oleh MK bukanlah untuk pertama kalinya. Sebelumnya MK telah membatalkan
atau mencabut beberapa pasal undangundang tentang pemilihan presiden yang
menyangkut bekas anggota PKI.
Dasar
pembatalan kedua undang-undang tersebut adalah sama yakni bertentangan dengan
UUD, terutama pasal-pasal tentang Hak Asasi Manusia.
Dalam
persepektif penegakan HAM, putusan MK tersebut merupakan suatu langkah yang
positif, artinya MK telah menunjukan bagaimana seharusnya mengoperasionalkan
prinsip-prinsip HAM ke dalam peraturan atau hukum
negara. Tetapi pada sisi lain, ini adalah bumerang bagi Pemerintah dan DPR yang telah membuat undang-undang tersebut.
Mengapa demikian? Karena akan
ada kemungkinan berapa banyak lagi undangundang yang telah ada dan akan dibatalkan oleh MK, karena bertentangan dengan UUD. Kondisi demikian khususnya
dalam kontek tulisan ini bertentangan dengan prinsip HAM yang terkandung di
dalam sejumlah pasal-pasalnya.
Perjalanan HAM dalam Undang-Undang Dasar Indonesia Memasukan
norma HAM ke dalam Undang-Undang Dasar Indonesia, merupakan perjuangan yang
panjang. Pada awal negara ini dibentuk, telah terjadi pertentangan antara para
pendiri negara dan perancang konstitusi
tentang perlu/tidaknya HAM dimasukkan ke dalam UUD Negara Indonesia.
Pertentangan tersebut disimbulkan antara kubu M. Yamin, di satu pihak, dengan
kubu Soepomo dan Soekarno di pihak lain.
Dalam Pandangan Soepomo HAM sangat identik dengan idiologi liberal-individual,
dengan demikian sangat tidak cocok dengan sifat masyarakat Indonesia. Soepomo
tidak pernah membayangan kalau negara yang berasaskan kekeluargaan akan terjadi
konflik atau penindasan negara kepada rakyatnya karena negara atau pemerintahan
merupakan satu kesatuan, antara pemerintah dengan rakyat adalah tubuh yang
sama.
Yamin
menolak pandangan demikian, menurutnya tidak ada dasar apapun yang dapat
dijadikan alasan untuk menolak memasukkan HAM dalam undang-undang dasar yang
mereka rancang.' Walhasil dari pertentangan tersebut dicapai kompromi untuk
memasukan beberapa prinsip HAM ke dalam UUD yang sedang mereka rancang. Wujud
dari kompromi tersebut adalah apa yang diatur pada beberapa pasal dalam UUD
1945.
Membaca
risalah sidang BPUPKI tersebut kita dapat melihat, bahwa sebagian perancang UUD
1945, masih mengkaitkan HAM dengan individualisme dan liberalisme. Paham ini sangat ditentang oleh
hampir semua anggota BPUPKI. Mereka menolak semua paham yang beraroma liberal.
Hal ini dapat kita pahami, karena para perancang hukum dasar tersebut,
merasakan getirnya hidup di masa kolonialis.
Penolakan
Soepomo memasukkan norma-norma HAM ke dalam UUD 1945 bukan berarti ia anti HAM.
Perubahan sikap Soepomo terhadap HAM dapat dilihat dengan dimasukkannya hak-hak
dasar warganegara dalam Konstitusi RIS dan UUDS 1950 di mana Soepomo terlibat secara
langsung dalam perancangannya. Dalam UUDS 1950, sekitar 36 pasal
prinsip-prinsip HAM dimuat di bawah payung hak-hak kebebasan-kebebasan dasar manusia yang dijabarkan dari
Pasal 7 sampai Pasal 43.
Sejak
Indonesia kembali kepada UUD 1945, di bawah rezim Soekarno, dan dilanjutkan masa rezim Soeharto dengan orde
barunya, pengaturan HAM kembali bersandar kepada beberapa pasal dalam UUD 1945.
Seiring
dengan perkembangan perjalanan sejarah, di dunia international instrumen-instrumen
HAM semakin berkembang dalam berbagai konvensi dan kovenannya. Perlindungan HAM kemudian dijadikan salah satu
norma standar untuk berhubungan dengan negara luar khususnya negara-negara
Barat. Dengan kekuatan ekonomi yaang besar dan ketergantungan negara-negara dunia ketiga yang non komunis kepada
bantuan ekonomi Barat, menimbukan dominasi negara Baratdan standar Baratdalam
penilaian terhadap pelaksanaan HAM dunia terutama negara dunia ketiga.
Isu
HAM kemudian dijadikan isu internasional atau isu global.° Hal ini tak jarang menimbulkan konflik antara
negara Barat dengan negara-negara dunia
ketiga. Dengan mengetengahkan konsep keanekaragaman budaya,
negara-negara non Barat mencoba membendung dominasi standar Barat dalam menilai
perlindungan HAM di dunia.
Pemikiran
itulah agaknya yang mendorong negara anggota OKI mengadakan pertemuan di Kairo
untuk membicarakan masalah HAM yang cocok dengan nilai budaya Islam. Konferensi
tersebut melahirkan Deklarasi Kairo tahun
1990. Namun karena pengaruh negara-negara anggota OKI sangat kecil dalam
percaturan politik international membuat Deklarasi Kairo hanya sebatas kesepakatan moral belaka
tanpa mampu mengimbangi dominasi standar Barat dalam masalah HAM.
Berbeda
dengan rezim Soeharto, pemerintah Habibie yang masih muda harus mendapat
tekanan politik baik dari dalam maupun internasional. Hal inilah agaknya yang
mendorong pemerintahan Habibie meratifikasi berbagai instrumen HAM
internasional dan menerbitkan Undang-Undang HAM (UU Nomor 39 Tahun 1999) dan juga peradilan HAM.
Merasa
tak ingin ketinggalan, MPR melakukan amandemen untuk memasukkan norma-norma HAM ke dalam Batang Tubuh UUD 1945. Satu
hal yang sangat janggal adalah bahwa Undang-Undang HAM ada terlebih dahulu baru
kemudian diatur dalam Undang-Undang Dasar.
Sangat
berbeda dengan para pendiri negara, khususnya para perancang UUD yang harus
berargumen dan mengajukan berbagai
landasaan filosofis untuk memasukkan prinsip-prinsip HAM ke dalam rancangan
UUD, maka para perancang Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 dan Komisi Perubahan
UUD 1945 memasukkan prinsip-prinsip HAM ke dalam produk hukum tersebut
mengalir tanpa banyak hambatan. Norma-norma ataupun prinsip-prinsip HAM yang
dihasilkan berbagai deklarasi, konvensi, maupun oleh Statuta Roma masuk tanpa
hambatan ke dalam pasal-pasal UUD maupun Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999.
Entahlah
apakah ini baik atau tidak, yang jelas dengan masuknya prinsip-prinsip HAM
hasil Statuta Roma, maka masalah HAM di Indonesia telah menggunakan standar
international (khususnya standar Barat) yang selama orde baru berkuasa dan
bahkan oleh Cina serta Malaysia sangat hati-hati dalam mengadopsinya.
Penutup
Dalam persepektif hukum
tatanegara norma yang terkandung dalam UUD merupakan sumber hukum (rechtsgulle)
bagi aturan yang ada di bawahnya. Konstruksi ini mempunyai makna bahwa
norma-norma yang ada dalam UUD harus mengalir dalam perundang-undangan di bawahnya,
apakah berupa norma original atau norma jabaran yang lebih konkrit. Norma
tersebut dapat mengalir begitu saja dalam perundang-undangan yang lebih rendah
atau perundangan yang lebih rendah dapat memberikan norma tafsiran dari norma
yang lebih tinggi tersebut. Dengan kata lain, meminjam istilah dari Rudolf
Stammler, seorang ahli filsafat hukum yang beraliran neoKantian, norma HAM
yang terdapat dalam UUD adalah sebagai bintang pemandu (Leitstern) bagi pembuatan undang-undang di bawahnya agar
selaras dengan nilai-nilai HAM.
Jika konstruksi inj dapat
diterima, maka sebagai Leitstern, norma
HAM yang terkandung dalam UUD, mempunyai dua posisi, yaitu sebagai norma
pengarah atau pemandu bagi hukum positif untuk mencapai cita-cita perlindungan
HAM, dan sebagai norma penguji undang-undang atau hukum positif apakah telah
selaras dengan semangat HAM. Dengan kata lain, meminjam kerangka pemjkjran
Gustav Radbruch,b seorang ahli filsafat hukum dari mazhab Baden, sebagai Leitstern
norma HAM yang terkandung dalam UUD dapat berfungsi regulatif maupun
konstitutif. Fungsi regulatif menempatkan norma HAM dalam UUD sebagai tolok
ukur untuk menguji, apakah undang-undang atau hukum positif telah selaras
dengan cita-cita HAM. Sebagai fl-mgsj konstitutif menentukan tanpa semangat HAM
dalam UUD undang-undang atau hukum positif akan kehilangan makna sebagai hukum
yang bermanfaat untuk kemasylahatan masyarakat.
Dalam kerangka fungsi
regulatif inilah agaknya MK telah memainkan perannya membatalkan beberapa
undang-undang tersebut di atas yang dianggap bertentangan dengan norma HAM yang
terdapat dalam UUD. Mkalau kita bicara risiko, maka inilah risikonya yang harus
diterima oleh DPR, terutama
mereka yang teribat dalam amandemen UUD 45 dan Pemerintah ketika mencoba bermain-main dengan
konsitusi tanpa pemikiran yang jernih
dan mendalam. Kita harus percaya masih
banyak lagi undangundang yang akan mengalami mati suri terutama undang-undang
yang dibuat pada masa lampau
atau pemerintahan masa lalu, yang ditengarai bertentangan dengan cita-cita HAM,
tinggal siapa yang akan mengajukan permohonan uji materil kepada MK.
Akan tetapi bagaimanapun
juga Mahkamah Konstitusi telah mengajarkan kepada kita salah satu cara
bagaimana HAM seharusnya dimasyarakatkan, lerutama dalam muatan hukum negara.
Untuk itu DPR dan Pernerintall dalam rangka lus Constituendum harus betul-betul
cermat membuat Eonstruksi-konstruksi hukum dalam hukum negara agar selaras
dengan citacita atau norma HAM
yang terkandung dalam UUD 1945 yang telah diamandemen. Hal ini merupakan cara
lain bagaimana nilai-nilai HAM dibudayakan, terutama dalam hukum negara.
Sifat Melawan Hukum Materiel dan
Implikasinya Terhadap HAM Kolektif Atas Pembangunan di Indonesia
Pendahuluan
Sejak
semula, tujuan perjuangan rakyat Indonesia untuk mencapai kemerdekaan ialah
untuk mewujudkan kehidupan kebangsaan yang lebih baik di semua bidang
kehidupan. Proklamasi kemerdekaan dan kemerdekaan itu sendiri, dengan demikian
lebih dipandang sebagai jembatan, atau pintu gerbang memasuki kehidupan
kebangsaan yang memungkinkan pengerahan segenap potensi kehidupan individu dan
sosial demi terciptanya kehidupan yang sejahtera dan berkeadilan. Pendayagunaan
dan pengembangan segenap potensi kehidupan berbangsa ini, dengan sendirinya
meliputi pendayagunaan sistem hukum nasional sebagai instrumen penopang
terselenggaranya kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Berkaitan
dengan fungsi instrumental hukum,' yakni untuk memfasilitasi kehidupan
masyarakat, bangsa dan negara menuju terwujudnya kehidupan yang adil dan
sejahtera, telah sejak semula disadari tidak mungkin dapat diwujudkan melalui
pembentukan suatu sistem hukum nasional yang serba memadai dalam tempo yang
singkat. Sebaliknya juga dipahami betul, tidak mungkin ptala sepenuhnya
mengandalkan peraturan perundang-undangan yang diwarisi dari pernerintahan
kolonial. Bertitik tolak dari kondisi demikian itu, sebagaimana terlihat
kemudian, yang terjadi adalah kompromi, yakni pendayagunaan hukum warisan kolonial
untuk sementara dengan ditopang oleh peraturan baru yang akan dibentuk
kemudian. Tranformasi dalam bidang hukum ini dilakukan secara bertahap, dan
mengalami pasang surut yang merugikan bagi kehidupan masyarakat, bangsa dan
negara.
Perubahan
visioner dalam bidang hukum di Indonesia, secara lebih spesifik dapat pula diamati dalam bidang penegakan hukum pidana.
Di masa-masa awal kemerdekaan,
bidang peradilan di Indonesia tampak berpegang pada visi yang konservatif. Hal
ini bahkan mengundang ounculnya kritik yang dilontarkan oleh Presiden Soekarno
di masa itu, tiengan mengatakan
bahwa "dengan ahli hukum orang
tak dapat rnelakukan ievolusi".6 Dalam sistem peradilan pidana,
berkaitan dengan unsur sifat wwlawan hukum sebagai unsur mutlak tindak pidana,
badan peradilan iidonesia yang direpresentasikan oleh Mahkamah Agung, pada
awalnya berpegang pada ajaran sifat melawan hukum yang formal. Dengan pendirian
ini, badan beradilan tertinggi di Indonesia ini cenderung berpegang teguh pada
rumusan ketentuan undang-undang.
Pendirian
demikian itu ternyata tidak bertahan lama. Hanya dalam selang waktu empattahun,
pendirian badan peradilan tertinggi tersebuttelah berubah secara revolusioner.
Perubahan pendirian ini terjadi di tahun 1966 dalam kaitan dengan pemeriksaan
kasasi perkara korupsi, ditandai dengan ditinggalkannya ajaran sifat melawan hukum
formal dan dianutnya ajaran sifat
melawan hukum materiel. Mahkamah Agung dalam salah satu putusan kasasinya,
menyatakan bahwa sifat melawan hukum suatu tindak pidana dapat hilang selain
karena ketentuan undang-undang, bisa juga karena adanya asas-asas hukum yang
tidak tertulis dan bersifat umum.
Dinyatakan pula bahwa asas-asas hukum yang tidak tertulis dan bersifat umum itu antara lain: (a) faktor
tidak dirugikannya negara; (b) kepentingan umum tetap dapat dilayani, dan (c) terdakwa sendiri tidak memperoleh
keuntungan.
Perubahan
pendirian ajaran sifat melawan hukum seperti itu, dengan mengakomodasi
norma-norma hukum tidak tertulis sebagai sumber hukum pidana, di satu sisi
dapat dipandang sebagai sesuatu yang normal dalam dinamika pemikiran hukum
dalam kehidupan sebuah bangsa dan negara. Namun di sisi yang lain, perubahan itu
dapat pula dipandang sebagai awal kemundLlran besar-besaran dalam upaya
membangun sebuah bangsa yang berkeadilan, sejahtera dan bermartabat. Dikatakan demikian, oleh karena
sejalan dengan. bergulirnya Orde Baru dengan mainstream pembangunan nasional di
segala bidang kehidupan, praktik-praktik korupsi ternyata mengalami
peningkatan, sementara penegakan hukum demikian lemah. Para calon koruptor
tampaknya telah memahami dengan baik "aspek-aspek hukum tindak pidana
korupsi" sehingga dapat melakukan antisipasi.
Selama
pemerintahan Orde Baru bahkan hingga zaman Reformasi bergulir, ternyata
kemudian banyak kasus korupsi di Indonesia tidak terselesaikan dengan baik.
Sebagaimana dinyatakan oleh lembaga-lembaga internasional bahwa Indonesia
merupakan negara ketiga paling korup di dunia; dan merupakan negara paling
korup di Asia. Sebagai negara paling korup, tanpa seorang koruptor pun yang
dapat dipenjarakan. Dalam berbagai kesempatan, sering pula dikatakan bahwa
lebih dari 30% dana pembangunan terkorupsi sepanjang tahun.
Dalam
wilayah teoretis hukum, ajaran sifat melawan hukum yang berpatokan pada
ketentuan undang-undang itu, dikenal dengan ajaran sifat melawan hukum formal.
Badan peradilan Belanda pun pada awalnya berpegang teguh pada ajaran sifat
melawan hukum formal tersebut. Hal ini terbukti dengan dikeluarkannya putusan
Mahkarliah Agung Belanda yang dikenal dengan De Jutfense luffrouw Arrest 1911 (putusan mengenai nona dari kota
Zutfen). Dalam putusan ini, Mahkamah Agung Belanda menganggap bahwa perbuatan
nona (tergugat) tidak bersifat melawan hukum karena perbuatannya tidak
melanggar ketentuan undang-undang (wet). Dalam perkara ini, seorang nona
tinggal di lantai dua sebuah apartemen, sedangkan di lantai bawah didiami orang
lain. Ketika musim dingin menghebat, pipa saluran air pecah dan air mengalir ke lantai bawah. Keran yang dapat
mematikan aliran air terdapat di dalam kamar si nona. Meskipun sudah diminta
oleh penghuni lantai bawah untuk menutup keran, namun si nona tidak
menghiraukannya, sehingga air menggenangi apartemen lantai bawah. Nona lalu
digugat untuk membayar kerugian yang timbul karena genangan air. Tapi pada
tingkat kasasi, gugatan tersebut ditolak oleh Mahkamah Agung dengan pertimbangan
perbuatan si nona tidak melanggar suatu aturan undang-undang (wet)."
Putusan
demikian itu kendatipun memiliki kekuatan berlaku secara formal di masa itu,
namun secara sosiologis dianggap tidak mencerminkan rasa keadilan yang
berkembang di masyarakat. Pandangan hukum formal legalistik demikian, dikritik
oleh Molengraaf, seorang ahli hukum Belanda di masa itu, dianggap jauh dari
rasa keadilan masyarakat.12 Molengraaf pula yang banyak menggagas
perlunya perubahan secara mendasar tentang pemahaman mengenai sifat melawan
hukum itu. Molengraaf menggagas tentang perlunya penerimaan norma-norma hukum
yang tidak tertulis yang hidup di masyarakat sebagai sumber hukum materiel.
Di
dalam praktik peradilan di Indonesia, searah dengan arus pemikiran negara dan
hukum modern, badan peradilan di Indonesia, dalam hal ini direpresentasikan
oleh Mahkamah Agung, juga pada awalnya berpegang pada ajaran sifat melawan
hukum yang formal. Pendirian ini dapat disimak dari putusan MA 17 Januari 1962
No. 152 K/Kr/1965, yang berpandangan bahwa dalam perkara korupsi, unsur
kerugian bagi negara dan keuntungan bagi
diri si pelaku; bukanlah unsur tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 416
KUHP. Dari putusan ini dapat dipahami bahwa argumentasi penasihat hukum
terdakwa dalam memori kasasi yang menghendaki terpidana dilepaskan dari segala
tuntutan hukum oleh karena pada perbuatan yang dituduhkan sipelaku tidak
menimbulkan kerugian bagi negara dan juga tidak memperoleh keuntungan bagi diri
sendiri, sebagai alasan pembenar dari luar undang-undang harus dikesampingkan.
Pendirian
MA yang menganut ajaran sifat melawan hukum formal ini berubah setelah empat
tahun kemudian. Hal ini dapat disimak dari putusan kasasi MA 8 Januari 1996,
Reg. No. 42 K/Kr/1965 atas perkara Machrus Effendi. Dalam putusan ini, MA
berpendapat bahwa, suatu tindakan pada umumnya dapat hilang sifatnya sebagai
melawan hukum bukan hanya berdasarkan suatu ketentuan dalam perundang-undangan,
melainkan juga berdasarkan asas-asas keadilan atau berdasarkan asas-asas hukum
yang tidak tertulis dan bersifat umum.15 Di dalam putusan tersebut
juga dikemukakan bahwa asas-asas hukum tidak tertulis dan berlaku umum itu meliputi: (a) faktor ticlak
dirugikannya negara, (b) kepentingan umum tetap dapat dilayani, dan (c) si pelaku tidak memperoleh keuntungan.t6
Putusan lain yang dapat dijadikan referensi ialah putusan kasasi Mahkamah Agung
dalam perkara Ir. Otjo Danuatmadja, 20 Maret 1977, Reg. No. 81 K/Kr/ 1973.
Dalam putusan ini, MA berpendapat, tertuduh sebagai insinyur kehutanan dengan
memperhitungkan biaya reboisasi yang dikurangi kemanfaatannya dengan tidak
mengambil keuntungan bagi dirinya sendiri dan dengan memperoleh tanah, menambah
mobilitas serta untuk kesejahteraan pegawai, kepentingan umum dilayani dan negara tidak dirugikin, serta secara materiel
tidak melawan hukum walaupun perbuatannya termasuk dari rumusan delik yang
bersangkutan."
Dari
kajian terhadap praktik penerapan ajaran sifat melawan hukum materiel di
Indonesia, Komariah mengajukan beberapa dugaan mengapa praktik yang berdampak
negatif itu timbul. Pertama, kegagalan
para hakim Indonesia memahami semangat hukum yang terkandung di dalam KUHP yang
berteks resmi bahasa Belanda. Kedua, kesalahan
pembuat undangundang yang tidak memberikan penjelasan terhadap naskah
perundangundangan, termasuk risalah pembahasan pembuatannya. Sistem perundangundangan
Indonesia juga dikacaukan oleh banyaknya undang-undang yang bersifat khusus
berada di luar kerangka sistematika KUHP. Ketiga, pragmatisme dalam diri hakim-hakim Indonesia; dengan
alasan mengisi kekosongan hukum atau desakan
kebutuhan hukum, hakim menerapkan hukum secara keliru. Sikap pragmatic
memberikan peluang masuknya wawasan pribadi hakim, baik dalam dirinya sendiri
ataupun dari lingkungannya, yang mempengaruhi penyusunan dan penentuan
putusannya,
Komariah
tidak menolak pragmatisme, sepanjang tidak bertentangan dengan asas-asas hukum.
Menurutnya, seorang hakim pidana dalam menentukan putusannya, di samping
berbekal akal budi yang sehat serta moral yang luhur, juga harus berbekal
pengetahuan hukum (teoretis) yang kuat, serta kekayaan pengalaman (empiris).
Hal ini, oleh karena yang dipertaruhkan dalam suatu perkara pidana adalah
nyawa, kemerdekaan, kehormatan, kekayaan seseorang, di samping kepentingan-kepentingan
negara, bangsa, dan masyarakat umum,
yang keseluruhannya dilindungi secara berjenjang oleh hukum pidana
Berbeda
dengan pandangan Komariah di atas, penulis mempunyai clugaan lebih jauh bahwa
lahirnya putusan-putusan pengadilan yang menggambarkan kandasnya upaya
penegakan hukum dalam perkara-perkara korupsi lebih merupakan dampak politisasi
terhadap ketidakmandirian badan peradilan di Indonesia selama ini. Politisasi
terhadap kekuasaan kehakiman di zaman Orde Baru dan berlanjut di Era Reformasi sekarang ini, memperlihatkan
betapa kekuasaan kehakiman mengalami kooptasi oleh kekuasaan eksekutif termasuk
di dalamnya kepentingan partai politik yang berkuasa.
Keadaan
demikian itu tidaklah mengherankan mengingat kepentingan politik, dalam hal ini
birokrasi pemerintah Orde Baru sangat menonjol ke permukaan dan memarginalkan posisi kewenangan legislatif dan
juga kewenangan judisial di masanya.
Birokrasi menerapkan standar ganda dalam penegakan hukum. Hukum harus
ditegakkan, tetapi manakala persoalan hukum menyangkut, mengusik, atau
merugikan kekuasaan, maka hukum tidak harus ditegakkan. Dengan kata lain, hukum
harus twiduk pada kekuasaan, karena hukum dianggap sebagai bagian dari
kekuasaan, dan bukan sebaliknya. Keadaan demikian berakibat hukum tidak dapat
diharapkan lagi sebagai kekuasaan pengontrol, sebaliknya justru telah menjadi
kekuasaan. Keputusankeputusan hukum yang menyangkut kekuasaan sering
memberikan pembenaran terhadap perilaku kekuasaan.
Pengamatan
Soetandyo Wignyosoebroto tampaknya tepat menggambarkan praktik politisasi
hukum di zaman Orde Baru itu. Dikatakannya, dalam konteks keindonesiaan,
realitas sosial dan hukum Indonesia
selama era Orde Baru, fungsionalisasi hukum sebagai suatu sistem instrumen
sosial dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, telah terbelokkan
secara sistematis ke arah yang berbeda dari konsep dasarnya.
Senada
dengan itu, Abdul Hakim G. Nusantara, mengatakan bahwa praktik penegakan hukum
di era Orde Baru memperlihatkan, betapa lembaga peradilan nasional, disebabkan berbagai faktor
politik, menjadi semakin tidak kreatif untuk mengembangkan doktrin-doktrin
hukum progresif untuk memenuhi kebutuhan pertindungan dan perlakuan adil bagi
mayoritas masyarakat lapis bawah, melainkan justru menciptakan doktrin-doktrin
hukum baru yang sekedar sebagai sarana legitimasi
untuk melindungi kelompok masyarakat yang jauh lebih kuat 6aik secara ekonomi maupun politik.
Dalam
tataran inilah, putusan Mahkamah Agung 8 Januari 1966 berikut putusan-putusan
sejenisnya yang bermunculan di kemudian hari, dapat dpandan g sebagai doktrin
hukum baru, menurut terminologi Abdul Hakim Garuda Nusantara, pada hakikatnya
lebih mencerminkan tersubordinasinya ingsi
dasar lembaga peradilan di Indonesia pada kepentingan elit kekuasaan.
Tidak dapat dipungkiri bahwa rentang panjang kekuasaan Orde Baru juga ditunjang oleh dukungan dana yang
bersumber dari dana hasil korupsi para 4ngsionaris dan elit partai yang
memegang kekuasaan.
Kerangka
Pembenahan Secara Sistemik
Dampak paling buruk
penerapan ajaran sifat melawan hukum materiel dalam praktik penegakan hukum di
Indonesia, adalah dalam penegakan hukum pidana terhadap kasus-kasus korupsi.
Penerapan ajaran sifat melawan hukum materiel dalam masalah korupsi telah
berlangsung sejak putusan monumental Mahkamah Agung 8 Januari 1966 tersebut.
Dalam masa ini hukum positif tentang masalah korupsi adalah ketentuan-ketentuan
tentang kejahatan jabatan dalam KUHP yang kemudian diatur secara khusus di
dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1971, yang berlaku hingga dicabut dengan
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 dan dirubah dengan UndangUndang No. 20 Tahun
2000.
Kejengahan masyarakat
terhadap praktik korupsi di dalam berbagai lembaga kenegaraan di Indonesia,
yang dalam banyak hal direpresentasikan oleh suara-suara pedas Lembaga Swadaya
Masyarakat serta kajian-kajian ilmiah para akademisi, menempatkan pemerintah
berada dalam posisi berkewajiban melakukan upaya pemberantasan secara lebih
kondusif dan sistemik. Posisi
berkewajiban ini semakin tak terelakkan, mengingat selama ini pelaku-pelaku
perbuatan korupsi merupakan orang-orang pemerintahan dan terjadi di lembaga-lembaga milik negara.
Dalam kaitan ini dapat
dilihat perubahan dalam cara pandang terhadap perbuatan korupsi di Indonesia di
dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999. Dalam UU ini terlihat adanya keinginan
untuk meninggalkan pradigma lama dan beralih pada paradigma baru dalam hukum pidana
tentang korupsi di Indonesia. Jika paradigma lama itu adalah apa yang tertuang
di dalam putusan Mahkamah Agung 8 Januari 1966, yakni ajaran sifat melawan
hukum materiel, maka paradigma baru tersebut adalah ajaran sifat melawan hukum
yang formal. Dikatakan di dalam Pasal 4 UU No. 31 Tahun 1999, bahwa
pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak
menghapuskan dipidananya pelaku tindak
pidana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 dan Pasal 3.33
Pernyataan yang terkandung
di dalam Pasal 4 tersebut, memuat penegasian untuk sebagian (butir pertama) isi
putusan Mahkamah Agung 8 Januari 1966 tersebut di atas. Harus diakui bahwa
penegasian itu hanya bersifat sebagian dan tidak sepenuhnya. Di satu sisi, penegasian
sebagian dapat diartikan perubahan paradigma setengah hati dari pembentuk
audang-undang Indonesia. Di sisi lain, memang putusan Mahkamah Agung iiirya dapat dianulir, ditiadakan,
dicabut sepenuhnya oleh Mahkamah Agung ie>wdiri
melalui putusan kasasi baru dalam kasus korupsi.
Telah terlihat bahwa,
komitmen penanggulangan dan pemberantasan Iorupsi ~ecara sistemik, telah dicoba diimplementasikan melalui
perattiran perunda~g-undangan. Telah tampak adanya perubahan paradigmatik dalam
Iowan perundang-undangan tentang
korupsi di Indonesia. )ika merujuk pada
konsep Friedman tersebut di depan, telah dilakukan pembenahan pada aspek substansi hukum tentang
pemberantasan korupsi. Secara spesifik dalam
masalah korupsi, telah terjadi perubahan paradigma visi hukum, Vakni ditinggalkannya ajaran sifat
melawan hukum materil dan beralih pada ajaran
sifat melawan hukum formal. Dalam pada itu, telah pula diiakukan pembenahan dalam aspek struktural yang berkompeten dalam apaya penanggulangan korupsi ini. Hal yang tertinggal sebagai
pertanyaan 6esar, adalah kulturatau budaya penegakan hukum
penanggulangan korupsi. Aspek kultur
ini berkaitan dengan perilaku dari semua pihak yang memiliki kompetensi dalam
penanggulangan korupsi tersebut, yakni perilaku yang k+onsisten untuk
menghindari perilaku korup, serta menegakkan hukum 9ecara konsisten dalam menyelesaikan perkara-perkara korupsi.
Kebijakan pemerintah di bawah kepemimpinan Aburrahman Wahid yang berupaya
wiemutuskan mata rantai dari bingkai sistem dan kebijakan politik yang s+elama
ini dibangun rezim Orde Baru patut dihargai. Pemutusan mata rantai itu dilakukan dengan membatasi
pegawai negeri menjadi anggota partai politik,
melarang anggota militer aktif menduduki jabatan elit birokrasi, mengurangi
peran sosial-politik (dwifungsi) militer,
serta pendirian lembaga yang berfungsi mewakili kepentingan publik (ombudsman) atau lembaga yang berfungsi melakukan pembelaan
publik yang diakibatkan oleh tindakan atau
perilaku aparat penegak hukum dan birokrasi. Kebijakan itu baru
merupakan langkah awal, yang dengan sendirinya perlu dilanjutkan oleh pemimpin
pemerintahan berikutnya. Dalam hal ini patut disayangkan bahwa iezim pemerintahan setelah Abdurrahman
Wahid tidak memperlihatkan komitmen kuat pada upaya demikian itu. berlangsung
diam-diam tanpa kehebohan, sementara hal-hal yang negatif cenderung menjadi
bahan pembicaraan. Dalam kajian ini, telah diperlihatkan terdapat mata rantai
keterkaitan antara putusan Mahkamah Agung 8)anuari 1966 sebagai tonggak
perubahan pendirian badan peradilan Indonesia dengan merebaknya kasus-kasus korupsi
dan kegagalan badan peradilan Indonesia dalam menjalankan fungsinya untuk
melindungi kepentingan hukum yang ideal yakni ketertiban hukum.
Secara alternatif,
terjadinya perubahan pendirian Mahkamah Agung itu dapat terjadi karena keawaman
(ketunaan) dari hakim-hakim Indonesia dalam memahami arti pentingnya ketertiban
hukum yang harus dilindungi dalam segala situasi, atau karena pertimbangan
pragmatis yang lebih merupakan hasil akomodasi terhadap kepentingan-kepentingan
lingkungan di luar lembaga peradilan (Mahkamah Agung), dalam hal ini
kepentingan politik atau kekuasaan. Sebagaimana tampak kemudian, bahwa
penerapan secara generalis (umum) ajaran sifat melawan hukum materiel itu,
telah diikuti dengan meningkatnya praktik-praktik korupsi di Indonesia bagaikan
perilaku yang membudaya, dan karena itu tidak mungkin diberantas dan ditanggulangi.
Tekanan yang demikian kuat
dari berbagai elemen masyarakat pula yang kemudian menyebabkan pembentuk
undang-undang nasional melakukan upaya perubahan paradigmatik dalam hukum
pemberantasan korupsi di Indonesia. Inilah yang kemudian dituangkan di dalam
UndangUndang No. 31 Tahun 1999, yang ditandai dengan penegasian untuk sebagian
isi putusan Mahkamah Agung 8)anuari 1966 tersebut di depan. Dengan demikian,
dalam konteks penegakan hukum dalam perkara korupsi ketetapan dari pembentuk
undang-undanglah yang harus ditempatkan di atas putusan hakim.
Harmoni
Pembangunan Hukum
Dalam
Pemberantasan Korupsi dan Penegakan HAM
di
Indonesia
Pendahuluan
Dari segi moral dan etika, kita dapat menilai bahwa kondisi
Indonesia sekarang sangat menyedihkan dengan melihat praktek korupsi yang
semakin marak. Korupsi masih menjadi kejahatan yang luar biasa di negeri ini.
Meskipun Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sudah mengamanatkan agar penyelenggara
negara lebih gencar memberantas korupsi, namun praktek-praktek korupsi tidaklah
menjadi surut bahkan semakin merajalela dan menggurita. Dunia peradilan pun tidak luput
dari indikasi korupsi ini. Korupsi di pengadilan tidak hanya merusak supremasi
hukum atas dasar independensi kekuasaan kehakiman, tetapi bertentangan dengan
prinsipprinsip demokrasi yang didasarkan atas kepercayaan (Muladi, 2002: 14).
Kita lebih banyak berdiskusi mengenai korupsi dari pada menyeret dan menghukum para koruptor tersebut.
Tindak pidana korupsi yang
meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak ekonomi dan sosial masyarakat (Romli Atmasasmita, 2004:
75; Lihat pula Penjelasan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001). Ini berarti tindak
pidana korupsi merupakan pelanggaran HAM karena praktek korupsi itu jelas
sangat merugikan kepentingan ekonomi dan sosial masayarakat (baik secara individu
maupun kelompok). Artinya tindak pidana korupsi itu adalah perbuatan yang
melanggar hak ekonomi dan sosial, yang
merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia.
Dalam Semiloka Nasional
Pemberdayaan Budaya Hukum dalam perlindungan HAM di Indonesia, Karmi A. dalam
tulisannya mengatakan, tindak pidana korupsi menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dengan pelanggaran HAM. Karena korupsi bukan hanya sekedar
merugikan keuangan negara, tetapi juga berpotensi merusak sendi-sendi kehidupan
sosial, hakhak ekonomi rakyat yang melekat secara tidak langsung pada hak
keperdataan negara. Karena uang negara yang dirampas oleh para koruptor secara
tidak langsung juga merampas uang milik rakyat (Karmi A., 2004: 9). Sangat
sulit bagaimana kita dapat mengurai apa penyebab dari seluruh persoalan korupsi
ini, bukan berarti tidak ada, karena begitu akumulatif dan bervariasi membentuk lingkaran masalah
yang tak kunjung dapat dicari penyelesaiannya. Kesulitan yang paling krusial
adalah dari mana kita harus wlai melangkah
untuk memberantas tindak pidana korupsi yang melanda imigsa ini. Kiranya benar apa yang dikatakan oleh Romli
Atmasasmita, w*rnberantas korupsi bukanlah pekerjaan membabat rumput,
memberantas iiurupsi layaknya
mencegah dan menumpas virus suatu penyakit
yaitu Venyakit masyarakat.
Diperlukan diagnosa dan kesimpulan serta
treatment VwM tepat agar virus penyakit tersebut
bukan hanya dapat dicegah akan Ietapi di
kemudian hari tidak akan terjadi lagi (Romli Atmasasmita, 2004: 271.
Harus ada langkah awal sebagai
titik beranjak, yang dapat dijadikan pegangan, bahwa parahnya penyakit korupsi
yang menimpa bangsa kita tidak dapat dibiarkan begitu saja. Mengapa demikian?
Inilah hakekat sebenarnya dari kehidupan manusia. Manusia sebagaimana dikatakan
oleh Edmund Leach adalah mahluk yang lebih bersifat kultural dari pada natural,
berarti selalu merencanakan kehidupan yang lebih baik. Berbudaya berarti
mencintai perubahan, berbudaya berarti selalu berada dalam kehidupan yang
mengalir. Dalam pembangunan, manusia selalu menggunakan kemampuan dirinya untuk
memilih dan memilah mulai langkah mana ia harus melangkah (Adam Podgorecki,
1987: 30). Manusia akan menetapkan landasan sebagai langkah awal pijakan dari
apa yang mereka anggap baik dan benar dalam realitas kehidupannya, seperti yang
dijelaskan oleh Liek Wilardjo tentang proses titik berangkat dari realita Was sein) menuju ke desiderata Was sollen) (Liek Wilardjo, 2003: 3).
Melalui hal itu, kita coba mulai melangkah untuk menata dan menyusun skema
pengintegrasian sistem hukum yang harmoni sebagai langkah awal dalam
menanggulangi tindak pidana korupsi yang semakin menggurita, dan sangat
merugikan hak-hak ekonomi dan sosial masyarakat.
Sebagaimana dijelaskan oleh
Lawrence Friedman, sistem hukum meliputi: pertama struktur hukum (legal
structure) yaitu bagian-bagian yang bergerak di dalam suatu mekanisme sistem
atau fasilitas yang ada dan disiapkan
dalam sistem; misalnya, Pengadilan, Kejaksaan. Kedua, substansi hukum (legal substance) yaitu hasil aktual
yang diterbitkan oleh sistem hukum. Misalnya putusan hakim, undang-undang.
Ketiga, Budaya Hukum (legal culture)
yaitu sikap publik atau nilai-nilai, komitmen moral dan kesadaran yang
mendorong bekerjanya sistem hukum, atau keseluruhan faktor yang menentukan
bagaimana sistem hukum memperoleh tempat yang logis dalam kerangka budaya milik
masyarakat (Lawrence M. Friedman, 1990).
Sehubungan dengan sistem
hukum itu, Sunaryati Hartono (1993: 341) memerinci sistem hukum nasional ke
dalam lima belas komponen Filsafah dan Asas-asas Hukum Nasional, meliputi:
a. Wawasan dan pendekatan pembinaan hukum
nasional;
b. Kaidah-kaidah hukum (termasuk
yurisprudensi dan hukum kebiasaan);
c. Pranata-pranata hukum;
d.
Lembaga-lembaga hukum;
e.
Kesadaran hukum nasional;
f.m Sikap dan perilaku hukum;
g
Proses dan prosedur, cara dan mekanisme hukum;
h.
Monitoring, analisis dan evaluasi, pengkajian dan penelitian hukum;
i. Sistem pendidikan hukum;
j.
Ilmu hukum nasional;
k.
Profesi hukum, para penegak hukum dan pejabat/petugas pelayan hukum;
l.
Penyediaan data, bahan, kepustakaan, dan informasi hukum;
m.
Sarana fisik dan non-fisik;
n.
Rencana-rencana pembangunan hukum.
Dalam suatu negara betapa
baiknya suatu peraturan perundangwidangan
jika tidak disertai dengan jaminan pelaksanaan hukum yang baik uiscaya pembangunan hukum akan menjadi
sia-sia. Pembangunan hukum ious benar-benar
mampu mewujudkan jaminan atas terciptanya keadilan seluruh rakyat Indonesia
(Sila 5), pembangunan hukum harus mampu jamin hak kodrat dan hak asasi manusia
(Sila 1 dan 2), serta mampu jamin persatuan dan kedaulatan rakyat (Sila 3 dan
4).
Harmoni
Gerak Langkah Aparat Penegak Hukum; Suatu
Keharusan
Kegagalan demi kegagalan dari instansi
penegak hukum, dalam mengimplementasikan program-program pembaharuan hukum dan
peradilan, telah membuat banyak orang tidak percaya dengan supremasi hukum.
Semua orang tahu, tidak hanya di dalam negeri tetapi di luar negeri pun orang
tahu bahwa hukum di Indonesia sangat terpuruk. Korupsi tidak bisa lagi
ditangani oleh sistem hukum di Indonesia. Faktanya, Indonesia adalah salah satu
negara terkorup di dunia, tetapi koruptornya tidak ada.
Sepanjang hari panggung
hukum Indonesia terus dikritik sebagai hukum terburuk di dunia, membingungkan,
menjengkelkan, tidak dapat dipercaya dan seterusnya. Keputusan MA atas kasus
Akbar Tanjung hampir semua opini masyarakat menyuarakan kesenadaan reaksi,
yaitu kegetiran, kekecewaan, keputusasaan, ketidakberdayaan dan kemarahan.
Banyak komentar dan istilah
yang diberikan atas realita hukum di Indonesia, antara lain bahwa hukum yang Abracadabra, secara bertahap dan
terstruktur keadaan penegakan hukum sangat amburadul, etika hukum mulai luntur
dan profesionalisme hukum mulai ditanggalkan dan ditinggalkan (J. E. Sahetapy, Kompas, Desember 2003), produk hukum kita tidak
berbobot, kurang cepat bergerak, kurang profesional, integritas personilnya
bermental bobrok dan koruptif (Jurnal Keadilan, 2002), Turut Belasungkawa Atas Boroknya Hukum di Indonesia (Suara Merdeka, Februari 2004), Jangan Percaya Hukum, Dunia
Peradilan Telah Kiamat (Kompas, Februari
2004).
Hukum tidak dapat lepas dari
kepentingan ekonomi dan politik. Banyak kepentingan ekonomi yang terlibat dalam
pembuatan dan penegakan hukum di Indonesia. Di samping bidang ekonomi, hukum
sangat dipengaruhi oleh kondisi politik dan kekuasaan (Amir Syamsudin, 2002: 7). Intervensi dan lobi atas
kasus-kasus hukum adalah realitas buruk peradilan Indonesia. Apalagi tidak
tersedianya sistem hukum yang betul-betul memproteksi kemungkinan negosiasi
perkara. Dari keputusan palu MA atas kasus Akbar Tandjung itu membuktikan bahwa
hukum diperijara oleh kepentingan politik (Denny Indrayana, Kompas, Februari 2004).
Lembaga peradilan yang
seharusnya menjadi garda terdepan dalam menegakkan hukum dan menciptakan
keadilan tanpa pandang bulu, ternyata hanya melayani segelintir orang yang dianggap
dekat dengan kekuasaan.
Pemimpin yang dibutuhkan
adalah pemimpin yang terdi.ri dari Orangonng cakap, bersih, jujur, dan adil. Hanya orang yang benar-benar
bersih, rujur dan adillah yang akan
sanggup menjadi pemimpin dalam suatu masyarakat yang masih kental dengan budaya
paternalistik, untuk mengarahkan pembangunan hukum yang harmoni dalam rangka
memberantas korupsi dan penegakan HAM di
Indonesia. Pemberantasan korupsi dan
penegakan HAM haruslah dimulai dari
kesadaran diri sang pemimpin, bukan dari kesadaran rakyat yang dipimpinnya.
Penutup
Harmoni pembangunan hukum
akan berada pada jalur untuk melakukan pembaharuan pola pikir masyarakat,
sekaligus sebagai alat pengintegrasian. Akan dibawa ke mana masyarakat melalui
hukum, apa yang dapat diberikan hukum Umtuk
mencapai tujuan dalam masyarakat, untuk mewujudkan itu semua, mari kita melakukan tindakan dengan mengerahkan dana dan daya setta pj.kiran agar harapan dan
perjalanan dalam virus penyakit korupsi wang
menyerang seluruh lapisan masyarakat kita, dapat dicegah, diberantas, dan di kemudian hari tidak akan
menjangkit lagi di bumi Indonesia yang kiita
cintai ini, dan penegakan HAM sesuai dengan harapan serta tujuan bta bersama.
Instrumen
dan Penegakan HAM di Indonesia
Pendahuluan
Terdapat banyak batasan
tentang hak asasi manusia. Hendarmin Ranadireksa (2002: 139) memberikan
definisi tentang hak asasi manusia pada hakekatnya adalah seperangkat ketentuan
atau aturan untuk melindungi warga negara dari kemungkinan penindasan,
pemasungan dan atau pembatasan ruang gerak warga negara oleh negara. Artinya,
ada pembatasan-pembatasan tertentu yang diberlakukan pada negara agar hak warga
negara yang paling hakiki terlindung dari kesewenang-wenangan kekuasaan.
Menurut Mahfud MD. (2001: 127) hak asasi manusia itu diartikan sebagai hak yang
melekat pada martabat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan, dan hak tersebut
dibawa manusia sejak lahir ke muka bumi sehingga hak tersebut bersifat fitri
(kodrati), bukan merupakan pernberian manusia atau negara. Dari dua pendapat
tersebut di atas penulis mengambil kesimpulan bahwa hak asasi manusia adalah
hak dasar yang melekat pada setiap individu sejak dilahirkan ke muka bumi dan bukan merupakan
pemberian manusia atau negara yang wajib dilindungi oleh negara.
Setelah dunia mengalami dua
perang yang melibatkan hampir seluruh dunia dan di mana hak-hak asasi manusia
diinjak-injak, timbul keinginan untuk merumuskan hak-hak asasi manusia itu
dalam suatu naskah internasional. Usaha ini pada 10 Desember 1948 berhasil
dengan diterimanya Universal
Declaration of Human Rights,(Pernyataan Sedunia tentang Hakhak Asasi Manusia) oleh negara-negara
yang tergabung dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Paris.
Sebagai sebuah pernyataan
atau piagam Universal Declaration of
Human Rights baru mengikat secara moral namun belum secara yuridis.
Tetapi sekalipun tidak mengikat secara yuridis, namun dokumen ini mempunyai
pengaruh moril, politik dan edukatif yang sangat besar. Dia rrelambangkan "commitment" moril dari
dunia internasional pada normanorma dan
hak-hak asasi.
Agar pernyataan itu dapat
mengikat secara yuridis harus dituangkan dalam bentuk perjanjian unilateral.
Tanggal 16 Desember 1966 lahirlah Covenant dari Sidang Umum PBB yang mengikat
bagi negara-negara yang meratifikasi Covenant
(perjanjian). Covenant tersebut memuat;
a.
Perjanjian tentang hak-hak ekonomi, sosial
dan budaya (Covenant on economic, social
and cultural rights), memuat hal-hal sebagai berikut; Hak atas pekerjaan
(Pasal 6), membentuk serikat pekerja (Pasal 8), hak pensiun (Pasal 9), hak
tingkat hidup yang layak bagi diri sendiri dan keluarga (Pasal 11), dan hak
mendapatkan pendidikan (Pasal 13);
b.
Perjanjian tentang hak-hak sipil dan politik
(Covenant on civil and political
rights) yang meliputi; Hak atas hidup (Pasal 6), kebebasan dan keamanan diri
(Pasal 9), kesamaan di muka badan-badan peradilan (Pasal 14), kebebasan
berfikir dan beragama (Pasal 19), kebebasan berkumpul secara damai (Pasal 21)
dan hak berserikat (Pasal 22).
Piagam ini mengalami
kesulitan dalam pelaksanaannya secara internasional karena beberapa sebab:
a. Pelaksanaan
secara internasional itu menyangkut hukum internasional yang sangat rumit.
b. Pelaksanaan
hak asasi harus disesuaikan dengan keadaan negara masing-masing.
c. SekalipUm
dinyatakan tanpa batas secara ekspilit di dalam covenant tetapi pelaksanaan hak
asasi terbatas atau dibatasi oleh dua hal:
1) Dibatasi
oleh undang-undang yang berlaku di tiap-tiap negara. Misalnya di dalam Pasal 19
Perjanjian Sipil dan Politik disebutkan pembatasan "untuk menghormati hak
dan nama baik orang lain serta untuk menjaga keamanan nasional, ketertiban umum
dan moral umum".
2) Dibatasi
oleh pertimbangan ketertiban dan keamanan nasional masing-masing negara. Dalam
Pasal 21 Perjanjian Hak Sipil dan Politik disebutkan "dalam negara
demokratis diperlukan demi keamanan nasional atau keselamatan umum, ketertiban
umum, perlindungan terhadap kesehatan dan moral umum atau perlindungan
terhadap hak-hak dan kebebasan orang lain" maka hak untuk berkumpul dan
berpendapat dibatasi (Mahfud, 2001: 130).
Instrumen
HAM di Indonesia
Konstitusi (dalam bahasa
Inggris "Constitution") berarti undang-undang dasar, dalam arti
keseluruhan peraturan-peraturan, baik tertulis maupun tidak, mengatur secara
mengikat cara-cara bagaimana suatu pemerintah diselenggarakan dalam suatu
masyarakat.
Dalam terminologi Indonesia
Undang-Undang Dasar adalah hukum dasar yang tertulis. Pengertian ini setara
dengan pengertian dalam bahasa Belanda "Grondwet
" (Grond = dasar; wet = undang-undang) yang berarti UndangUndang
Dasar, dalam bahasa )erman "Grundgesetz" (Grund = dasar; gesets = undang-undang) dalam bahasa Indonesia
konstitusi berarti hukum dasar. Hukum Dasar ada dua macam yaitu yang tertulis
disebut Undang-Undang Dasar dan yang tidak tertulis disebut Konvensi (BP-7
Pusat, 1993: 83).
Menurut Herman Heller (249)
dalam bukunya "Staatlehre" Konstitusi itu memiliki tiga pengertian,
yaitu:
a.
Konstitusi mencerminkan kehidupan politik di
dalam masyarakat sebagai suatu kenyataan dan ia belum merupakan Konstitusi
dalam arti hukum atau dengan perkataan lain Konstitusi itu masih merupakan
pengertian sosiologis atau politis dan belum merupakan pengertian hukum;
b.
Baru setelah orang mencari unsur-unsur
hukumnya dari Konstitusi yang hidup dalam masyarakat itu untuk dijadikan
sebagai suatu kesatuan kaidah hukum, maka Konstitusi itu disebut
Rechtverfassung. Tugas mencari unsur-Umsur hukum dalam ilmu pengetahuan hukum
disebut "abstraksi";
c. Kemudian
orang-orang menulisnya dalam suatu naskah sebagai
undang-undang yang tertinggi yang berlaku dalam suatu negara.
Setiap Undang-Undang Dasar
memuat ketentuan-ketentuan mengenai soal-soal sebagai berikut:
a.
Organisasi negara, misalnya pembagian
kekuasaan antara badan legislatif, eksekutif dan yudikatif; dalam negara
federal, pembagian kekuasaan antara pemerintah federal dan pemerintah negara-negara bagian; prosedur
menyelesaikan masalah pelanggaran yurisdiksi oleh salah satu badan pemerintah
dan sebagainya.
b.
Hak-hak asasi manusia (biasanya disebut Bill of Rights kalau berbentuk naskah sendiri).
c.
Prosedur mengubah undang-undang dasar.
d.
Ada kalanya memuat larangan untuk mengubah
sifat tertentu dari undang-undang dasar. Hal ini biasanya terdapat jika para
penyusun undang-undang dasar ingin menghindari terulangnya kembali hal-hal yang
baru saja diatasi, seperti misalnya muncul seorang dictator atau monarchi.
Dalam perjalanan sejarah
ketatanegaraan Republik Indonesia telah memiliki tiga Undang-Undang Dasar
dengan empat kali masa berlaku yaitu:
(a) Undang-Undang Dasar 1945,
(b) Konstitusi Republik Indonesia Serikat
(Konstitusi RIS),
(c) Undang-Undang Dasar Sementara 1950.
Undang-Undang Dasar 1945
berlaku sebagai konstitusi negara Republik Indonesia dari tanggal 18 Agustus
1945 - 27 Desember 1949. Konstitusi Republik Indonesia Serikat (Konstitusi RIS)
berlaku sejak tanggal 27 Desember 1949 - 17 Agustus 1950. Undang-Undang Dasar
Sementara 1950 berlaku sejak tanggal 17 Agustus 1950 - 5 Juli 1959.
Undang-Undang Dasar 1945 berlaku yang kedua yaitu sejak tanggal 5 Juli 1959 -
sekarang.
Dalam Konstitusi RIS tentang
hak asasi manusia diatur dalam Pasal 733. Sedangkan dalam UUDS 1950 diatur
dalam Pasal 7-34. Pengaturan tentang hak asasi manusia dalam UUDS 1950
merupakan pemindahan dari pasal-pasal yang terdapat dalam Konstitusi RIS.
Sehingga baik redaksi yang ada dalam Konstitusi RIS hanya berubah beberapa
kalimat saja dan penambahan satu pasal.
Orde Lama dan Orde Baru meyakini UUD 1945 sebagai UUD yang
sempurna, memiliki nilai kejuangan, oleh karenanya cenderung disakralkan.
Minimnya pasal-pasal yang menimbulkan bermacam-macam interpretasi, dipahami
sebagai keluwesan dan kelenturan
selanjutnya dibanggakan sebagai sesuatu yang tidak dijumpai pada konstitusi
negara lain. Rezim Soeharto runtuh oleh gerakan reformasi (1998) yang
dipelopori mahasiswa, setelah rakyat mendapatkan kembali haknya untuk menyatakan
pendapat secara bebas, maka yang menjadi agenda reformasi adalah reformasi
dalam bidang politik, ekonomi dan hukum.
Reformasi dalam*spek politik
menyangkut isu nasional antara lain:
a. Amandemen UUD 1945;
b. Pengadilan KKN;
c. Perubahan UU bidang politik;
d. Pencabutan dwifungsi militer;
e. Otonomi Daerah.
Reformasi
aspek ekonomi meliputi:
a. UU
Nomor 5 Tahun 1999, tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Curang;
b. UU
Nomor 38 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen;
c. PP
17 Tahun 1998 tentang BPPN;
d. UU
Nomor Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan;
e. UU
Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan;
f. UU
Nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fiducia;
g. dan lain-lain.
Aspek hukum meliputi:
a. Pemberantasan
KKN (UU Nomor 28 Tahun 1999) tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN.
b. Pengamanan
Lingkungan Hidup (UU Nomor 23 Tahun 1997) tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
c. Pengayoman
Hak-hak Asasi Manusia (HAM), (Mahfud, 2000: 34).
MPR yang memiliki wewenang
menetapkan UUD telah mengamandemen UUD 1945 tahun 2000 dan telah mencantumkan dengan tegas tentang
Hak-hak Asasi Manusia (HAM) dalam bab tersendiri dengan rinci dalam 10 pasal,
yaitu Pasal 28 A - 28 J. Dengan depiikian hak asasi manusia secara konstitutif
telah diakui sejak berdirinya negara. Perkembangan yang cukup signifikan
bersamaan dengan pergantian pemerintahan adalah Ketetapan MPR RI Nomor
XVII/MPR/1998 tentang HAM. Majelis Permusyawaratan Rakyat tidak pernah
menghasilkan Ketetapan instrumen mengenai HAM.
Perkembangan instrumen HAM
yang cukup pentirig pada masa Orde Baru adalah Keputusan Presiden Nomor 50
Tahun 1993, tentang Pembentukan Komnas HAM. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
(Komnas HAM) yaitu suatu lembaga mandiri yang kedudukannya setingkat dengan
lembaga negara lainnya yang berfungsi melaksanakan pengkajian, penelitian,
pemantauan dan mediasi hak asasi
manusia.
Komisi HAM didirikan dengan
tujuan untuk mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelakWnaan HAM di
Indonesia, serta meningkatkan perlindungan dan penegakan Hak Asasi Manusia guna berkembangnya
peribadi rrianusia Indonesia seutuhnya. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 39
Tahun 1999 Pasal 89, Komnas HAM memiliki fungsi untuk melaksanakan pengkajian,
penyuluhan, serta mediasi mengenai HAM di Indonesia. Dalam pelaksanaan fungsi
pemantauan, Komnas HAM berwenang melakukan:
a.
Pengamatan pelaksanaan HAM dan penyusunan laporan hasil
pengamatan
tersebut;
b. Penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang timbul
dalam masyarakat yang berdasarkan sifat atau lingkupnya patut diduga ada
pelanggaran HAM-nya;
c.
Pemanggilan kepada pihak pengadu atau korban, maupun pihak yang diadukan, untuk
dimintai atau didengar keterangannya;
d. Pemanggilan saksi untuk diminta atau didengar
kesaksiannya, dan kepada saksi, pengadu
diminta menyerahkan semua bukti yang diperlukan;
e.
Peninjauan di tempat kejadian dan di tempat lainnya yang dianggap perlu;
f. Pemanggilan
pihak terkait untuk memberikan keterangan secara tertulis atau menyerahkan
dukumen yang diperlukan sesuai dengan aslinya, dengan disertai persetujuan
Ketua Pengadilan;
g.
Pemeriksaan setempat terhadap rumah, pekarangan, bangunan dan
tempat-tempat
lainnya yang diduduki atau dimiliki pihak tertentu dengan persetujuan Ketua
Pengadilan;
h.
Pemberian pendapat berdasarkan persetujuan Ketua Pengadilan
terhadap
perkara tertentu yang sedang diperoses peradilan. Bilamana dalam perkara
tersebut terdapat pelanggaran HAM, baik dalam masalah publik maupun dalam acara
pemeriksaan oleh Pengadilan, kemudian pendapat Komnas HAM tersebut wajib
diberitahukan oleh hakim kepada para pihak.
Mengenai fungsi mediasi
yaitu penyelesaian perkara perdata di luar pengadilan atas dasar kesepakatan
para pihak, merupakan fungsi baru Yang mencakup kewenangan serta tugas dalam
melakukan:
a. Perdamaian kedua belah pihak;
b. Penyelesaian perkara melalui cara
konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi dan penilaian ahli;
c. Pemberian saran kepada para pihak untuk
menyelesaikan sengketa melalui pengadilan;
d. Penyampaian rekomendasi atas suatu kasus
pelanggaran hak asasi manusia kepada pemerintah untuk ditindak lanjuti;
e Penyampaian rekomendasi atas suatu kasus
pelanggran hak asasi
,
Yang dimaksud sebagai
pelanggar HAM berat secara singkat dicantumkan pada penjelasan pasal tersebut,
yaitu pembunuhan massal (genocide), pembunuhan
sewenang-wenang atau di luar putusan pengadilan (extra-judicial killing), penyiksaan, penghilangan bukti secara
paksa, perbudakan atau diskriminasi yang dilakukan secara sistematis (systematic discrimination).
Mengenai pembunuhan massal,
instrumen hukumnya adalah Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan
genocide berdasarkan Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 260 A(III) tanggal 9
Desember 1948 yang mulai berlaku pada tanggal 12 Januari 1951.
Yang dimaksud genocide adalah setiap perbuatan yang
dilakukan dengan tujuan merusak dalam keseluruhan ataupun sebagian suatu
kelompok bangsa, etnis,rasial atau agama yang mencakup:
a. Membunuh
para anggota kelompok.
b. Menyebabkan
luka-luka pada tubuh atau mental para anggota kelompok.
c. Dengan
sengaja menimbulkan pada kelompok itu kondisi hidup yang mengakibatkan
kerusakan fisiknya dalam keseluruhan atau sebagian.
d. Mengenakan
upaya-upaya yang dimaksudkan untuk mencegah kelahiran di dalam kelompok itu.
e. Dengan
paksa mengalihkan anak-anak dari kelompoknya ke kelompok lain (Sujata, 2000:
53-54).
Penegakan
HAM di Indonesia
Pada tahun 1998 merupakan
tahun bersejarah bagi bangsa Indonesia melalui kekuatan mahasiswa menumbangkan
rezim Orde baru yang sangat kokoh selama tiga puluh dua tahun menggenggam
kekuasaan dengan otoriter, seperti mimpi kita menyaksikan saat itu tumbang dan
digantikan dengan suatu kekuasaan yang lebih demokratis.
Pada zaman Orde Baru, hukum
dijadikan alat kontrol untuk mempertahankan kekuasaannya. Ekses dari kebijakan
itu adalah timbulnya sikap skeW%s dari masyarakat. Keadilan sangat sulit
ditemukan. Kondisi menjadi bertolak belakang dari cita-cita negara hukum yaitu
cita keadilan, cita ketertibao dan cita kepastian. Tiga cita-cita ini dikuasai
oleh masyarakat umum, bukan oleh mereka yang berkuasa. Tetapi apabila timbul
gap antara dua kutub itu maka yang menjadi barometer adalah kepentingan
masyarakatnya.
Sejak lebih dari 2000 tahun
yang lalu, di dalam hukum dikenal suatu pepatah "sumum ius suma iuria" artinya adil tidaknya
sesuatu akan tergantung dari pihak yang merasakannya. Apa yang dirasakan adil
oleh seseorang belum tentu dirasakan demikian oleh orang lain. Pihak korban
pemerkosaan akan merasa tidak adil apabila tersangka dibebaskan dan kebebasan
tersebut akan dirasakan adil oleh tersangka. Dengan demikian keadilan dapat
diumpamakan sebagai pedang bagi siapapun. Keadilan akan dirasakan tajam pada
saat dipergunakan namun bermanfaat sebagai alat untuk mencegah ketidakadilan.
Pedang tersebut dapat menjadi tidak adil bagi kedua belah pihak, yaitu pelaku
dan korban bahkan mungkin masyarakat manakala pihak yang menanganinya yaitu
penegak hukum menyalahgunakan kewenangannya sehingga merugikan semua pihak.
Tugas penegak hukum dalam
menentukan keadilan adalah menjembatani jurang antara kepentingan korban dan
pelaku, sehingga perasaan ketidakadilan dapat diminimalisir seoptimal mungkin.
Keberhasilan dalam menjembatani jurang tersebut dapat dilihat dari adanya
reaksi dari para pihak dan masyarakat.
Pada zaman Orde Baru
pembangunan hukum cukup bagus dan sistematis. Ini dalam arti kuantitas fisik
maupun non fisik. Melalui GBHNnya pembangunan fisik lembaga penegak hukum
(Pengadilan, Kejaksaan dan Kepolisian) sudah sampai ke tingkat Kabupaten/Kota
bahkan tingkat Kecamatan dan Desa. Peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan penegakan hukum sangat fantastis hasilnya, hanya beberapa peraturan
perundang-undangan peninggalan kolonial yang belum diganti. Rekrutmen aparatur
penegak hukum hampir setiap tahun dilakukan dengan standar pendidikan sudah
jauh lebih baik bila kita bandingkan dengan tahun 1970-an.
Apabila pranata hukum telah
demikian banyak, tetapi tuntutan menjadi semakin lebih banyak, maka dapat
disimpulkan permasalahan yang dihadapi sama sekali bukan masalah pranata,
produk, substansi ataupun materi hukum dalam bentuk undang-undang, namun
masalah lain. Masalah hukum yang menjadi tuntutan tersebut adalah mengenai penegakan
dan penerapannya atau law enforcement.
Menurut Wilhelm Lundsted
dalam Antonius Sujata (2000) filosof hukum aliran realisme mengatakan bahwa
hukum itu bukan apa-apa (Law is nothing). la mengartikan hukum seperti penganut
paham konvesional yang memaknakan hukum sebagai aturan bertingkah laku manusia
yang apabila tidak ditaati akan memberikan sanksi terhadap si pelaku. Pendapat
itu mungkin cukup masuk akal bagi Indonesia karena terbukti dengan banyaknya
aturan juga makin banyak tuntutan. Oleh sebab itu Lunsted menambahkan lagi
bahwa hukum itu baru akan bermakna setelah ditegakkan. Tanpa penegakan hukum
bukan apa-apa. Yang memberi makna pada hukum itu adalah aparat penegak hukum
serta masyarakat. Bahkan tanpa substansi hukum pun sebenarnya hukum dapat
dihasilkan, karena mengenai hal ini menjadi tugas para hakim untuk menciptakan
hukum (lihat Pasal 14 dan 27 UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman). Hal ini seirama dengan ungkapan Profesor Taverne,
"Berilah aku hakim yang baik, jaksa yang baik serta polisi yang baik maka
dengan hukum yang buruk sekalipun akan memperoleh hasil yang lebih baik".
Sifat baik dari aparatur
tersebut mencakup integritas moral serta profesionalisme intelektual. Kualitas
intelektual tanpa diimbangi integritas akan dapat mengarah kepada rekayasa yang
tidak dilandasi moral. Sementara integritas saja tanpa profesionalisme bisa
menyimpang ke luar dari jalurjalur hukum. Aspek lain yang perlu diperhatikan,
adalah bahwa penegakan hukum merupakan suatu sistem. Artinya penegakan hukum
merupakan rangkaian dari suatu proses yang dilaksanakan oleh beberapa komponen
sebagai sub-sistem. Rangkaian proses tersebut satu sama lain saling terkait
secara erat dan ticlak terpisahkan karena itu disebut sebagai integrated
criminal
justice system.
Pada umumnya, komponen sub-sistem tersebut
mencakup:
a. Penyidik (Kepolisian/Penyidik Pegawai
Negeri Sipil);
b. Kejaksaan (Penuntut Umum);
c. Penasihat hukum (Korban/Pelaku);
d. Pengadilan (Hakim);
e. Pihak-pihak lain (Saksi/Ahli/Pemerhati),
(Sujata, 2000: 8).
Masing-masing komponen
tersebut memiliki kewajiban dan tanggung
jawab yang sama untuk menegakkan keadilan. Dengan demikian apabila muncul
ketidakadilan dapat ditelusuri di mana sebenarnya penyebab utamanya. Dengan
kata lain meskipun sebagian besar penyebab utama ketidakadilan umumnya ini
berasal dari aparat, ini bukan berarti komponen non aparat tidak bisa menyimpang atau setidak-tidaknya memberi
dorongan untuk menyimpang. Aparat penegak hukum mengambil porsi tanggung jawab
terbesar dalam penegakan hukum karena fungsi mereka adalah menegakkan hukum.
Penutup
Instrumen hukum di Indonesia
yang berhubungan dengan perlindungan atas Hak Asazi Manusia (HAM) sudah cukup
memadai apakah dalam bentuk peraturan perundang-undangan, kuantitas aparat
penegak hukum, sistem manajemen ataupun pembangunan fisiknya.
Persoalan serius yang
dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini adalah persoalan penegakan hukumnya.
Karena instrumen hukumnya sudah cukup memadai berarti persoalan yang dihadapi
oleh bangsa Indonesia ini adalah krisis moral penegak hukum dan adanya ketimpangan dalam sistem hukum kita.
Akibat dari itu semua,
publik kehilangan rasa kepercayaannya terhadap lembaga penegak hukum kita,
indikasi ini kita dapat menyaksikan hampir setiap hari kita menyaksikan
masyarakat main hakim sendiri dalam menghadapi kasus-kasus kriminal, hakim
dilempar sepatu oleh pencari keadilan; Kepolisian, Kejaksaan dan Kehakiman terus menerus dikeritik secara tajam
melalui mass media bahkan didemontrasi dengan cara-cara di luar batas-batas
susila pada umumnya. -
Reformasi
Penegakan Hak Asasi Manusia di Era Globalisasi
Pendahuluan
Arus reformasi yang bergulir
di Indonesia pada tahun 1998 yang ditandai dengan runtuhnya rezim Orde Baru yang telah berkuasa selama kurang
lebih 32 tahun, telah membuka
koridor bagi penegakan hukum dan hak asasi manusia.
Kondisi ini dimungkAan
dengan adanya era globalisasi yang melanda ke berbagai negara di dunia. Salah satu ciri terjadinya
globalisasi ini dapat dilihat dalam
kondisi hubungan antar negara yang disebut sebagai borderless world atau
dunia tanpa batas. Era globalisasi membawa konsekuensi adanya penghilangan
sekat/batas antar negara, bahkan dengan menggunakan leknologi canggih seperti penggunaan Satelit Palapa sebagai sarana
bomunikasi dapat dipergunakan negara adidaya (USA) untuk menyadap percakapan
penting yang terkait dengan situasi politik dan keamanan Indonesia. Dengan kata lain, segala perilaku pemerintah maupun rakyat
Indonesia dapat dipantau oleh
negara lain, termasuk penegakan hukum dan hak asasi
manusia di Indonesia.
Tulisan ini bermaksud
mengutarakan (1) deskripsi penegakan HAM (Hak Asasi Manusia) di Indonesia, (2) peluang membuka kembali kasus
pelanggaran HAM berat yang belum/tidak terselesaikan, (3) upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat
melalui jalur hukum dan alternatif Lain, dan (4) budaya hukum dalam penegakan HAM.
Isu
tentang HAM di Indonesia, sebenarnya bukan "barang" yang baru,
karena sesungguhnya masalah HAM sudah
disinggung oleh para founding fathers
Indonesia, walaupun tidak disebutkan secara eksplisit yakni di dalam Alinea 1
Pembukaan UUD 1945, yang isinya menyatakan: "Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu... dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia
harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan ". Dengan adanya
penghargaan terhadap HAM, bangsa Indonesia yang merdeka pada tanggal 17 Agustus
1945 dapat disebut sebagai negara yang berdasar atas hukum. Rasionya, bahwa
dalam negara hukum harus ada elemen-elemen sebagai berikut: (1) Asas pengakuan
dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, (2) asas legalitas, (3) asas pembagian
kekuasaan, (4) asas peradilan yang bebas dan tidak memihak, dan (5) asas
kedaulatan rakyat.
Akan tetapi, penghargaan
terhadap HAM yang sudah dicanangkan oleh para founding fathers di Indonesia tidak berjalan sebagaimana
mestinya, seiring dengan perjalanan panjang bangsa Indonesia dalam 3 (tiga)
orde,' yakni:
a. penegakan
HAM pada Orde Lama.
Orde Lama merupakan kelanjutan
pemerintahan pasca kemerdekaan 17 Agustus 1945, yang lebih menitikberatkan pada
perjuangan revolusi, sehingga banyak peraturan perundang-undangan yang dibuat
atas nama revolusi yang telah dikooptasi oleh kekuasaan eksekutif, seperti: UU
No. 1964 yang memungkinkan campur tangan Presiden terhadap kekuasaan kehakiman
dan UU No. 11/PNPS/1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi yang tidak
sesuai dengan HAM.
b. penegakan
HAM pada Orde Baru.
Orde Baru yang berdiri sebagai respon
terhadap gagalnya Orde Lama telah membuat perubahan-perubahan secara tegas
dengan membangun demokratisasi dan perlindungan HAM melalui Pemilu Tahun 1971.°
Akan tetapi, setelah lebih dari 1(satu) dasa warsa, nuansa demokratisasi dan perlindungan HAM yang selama ini dijalankan
Orde Baru mulai bias, yang ditandai dengan maraknya praktek KKN (Korupsi,
Kolusi, dan Nepotisme) serta berbagai rekayasa untuk kepentingan politik dan penguasa. Seringkali, pemerintah di masa Orde
Baru melakukan tindakan-tindakan yang dikatagorikan sebagai crimes by government atau top hat crimes, seperti penculikan
terhadap para aktivis prodemokrasi (penghilangan orang secara paksa) yang
bertentangan dengan HAM, sekalipun pada tahun 1993 Pemerintah sudah mendirikan
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Sebagai puncaknya, pada tahun 1998, Orde
Baru jatuh dengan adanya multi krisis di Indonesia serta tuntutan adanya
reformasi di segala bidang.
c. Penegakan
HAM pada masa Orde Reformasi.
Orde Reformasi yang dimulai pada tahun
1998 berusaha menegakkan HAM dengan jalan membuat peraturan perundang-undangan
yang terkait dengan HAM sebagai rambu-rambu, seperti UU No. 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia, Ratifikasi terhadap instrumen internasional tentang
HAM, UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, yang memungkinkan dibukanya
kembali kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu, serta pemberantasan
praktek KKN.
Peuang Membuka Kembali Kasus Pelanggaran HAM
Berat Yang Belum/Tidak Terselesaikan
Pada
tahun
1993, Pemerintah Indonesia telah membentuk Komnas HAM dengan Keppres No. 50 Tahun 1993 tentang Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia. Komisi Nasional HAM memiliki tugas sebagaimana diatur dalam Pasal 5, yang isinya dinyatakan
sebagai berikut: (a) menyebarluaskan vrawasan
nasional dan internasional mengenai hak asasi manusia baik kepada
masyarakat Indonesia maupun kepada masyarakat internasional; (b) mengkaji berbagai instrumen Perserikatan
Bangsa-Bangsa tentang hak asasi manusia dengan
tujuan memberikan saran-saran mengenai kemungkinan aksesi dan/ atau ratifikasinya; (c) memantau dan menyelidiki pelaksanaan hak asasi manusia serta pendapat, pertimbangan,
dan saran kepada badan pemeaintahan negara
mengenai pelaksanaan hak asasi manusia; dan (d) mengadakan kerja sama regional dan internasional dalam rangka
memajukan dan melindungi hak asasi manusia.
Di dalam realisasinya, keberadaan
Komnas HAM tidak memiliki power dalam melaksanakan tugasnya, yang terbatas pada
pemantauan dan penyelidikan semata.
Seiring dengan tumbangnya
rezim Orde Baru menuju Orde Reformasi yang lebih menitikberatkan pada
perlindungan hukum dan penegakan HAM, rakyat melalui MPR (Majelis
Permusyawaratan Rakyat) melakukan amandemen terhadap UUD 1945 dengan
memasukkan pasal yang khusus mengatur tentang HAM, yakni Pasal 28 UUD 1945. Di
samping itu, guna melaksanakan ketentuan dalam pasal tersebut di atas.
Pemerintah juga telah
mengundangkan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No. 26
Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Di dalam UU tentang HAM
tersebut, job deskripsi dari
Komnas HAM juga telah mengalami perubahan. Perubahan tersebut meliputi: (1)
fungsi pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi tentang hak
asasi manusia (Pasal 76 Ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999); (2) tugas penyelidikan
terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat (Pasal 18 Ayat (1) UU No. 26
Tahun 2000). Perubahan job deskripsi
dari Komnas HAM diharapkan dapat merealisasikan tugas Komnas HAM yang
sebenarnya.
Di dalam peraturan
perundang-undangan yang terkait dengan HAM, seperti UU Pengadilan HAM terdapat
salah satu ketentuan yang memberikan peluang dibukanya kembali kasus-kasus
pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum diundangkannya UU Pengadilan HAM
yang diatur dalam Pasal 43-44 tentang Pengadilan HAM Ad Hoc dan Pasal 46
tentang tidak berlakunya ketentuan kadaluwarsa dalam pelanggaran hak asasi manusia
yang berat. Dimasukkannya ketentuan-ketentuan tersebut di atas dimaksudkan
agar kasus-kasus yang terjadi sebelum diundangkannya UU Pengadilan HAM dapat
diadili.
Ketentuan tentang tidak
dikenalnya kadaluwarsa dalam UU Pengadilan HAM diadopsi dari Statuta Roma Tahun
1998, yakni ketentuan dalam Artikel 29 tentang "Tidak dapat diterapkannya
ketentuan pembatasan". Ada dua alasan dimasukkannya asas retroactive ke dalam UU Pengadilan
HAM, sebagaimana dikatakan oleh Muladi,s yakni: (1) jauh sebelum diundangkannya UU No. 26 Tahun 2000, belum
dikenal jenis kejahatan "genosida" dan "kejahatan terhadap kemanusiaan"; (2) asas
retroactive dalam UU Pengadilan HAM merupakan political wisdom (kebijaksanaan
politik) dari DPR untuk
merekomendasikan kepada Presiden dengan pertimbangan bahwa kedua jenis
kejahatan tersebut merupakan extraordinary crimes (kejahatan War biasa) yang dikutuk secara
internasional sebagai enemies of all
mankind (hotis humani generis) dan dirumuskan sebagai
kejahatan internasional (international
crimes).
Munculnya ketentuan
pemberlakuan asas retroactive ini telah mengundang pandangan yang kontra
terhadap keberadaan asas tersebut, sebagaimana dikemukakan oleh Barda Nawawi
Arief yang berpendirian bahwa pemberlakuan asas retroactive sangat bertentangan
dengan ide perlindungan HAM yang diatur dalam Pasal 11 Universal Declaration of
Human Rights (UDHR),
Pasal 15 Ayat (1) International Convention on Civil and Political Rights (ICCPR), Pasal 22 Ayat (1) dan Pasal 24 Ayat
(1) Statuta Roma tentang International Criminal Court.6 Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa pemberlakuan asas retroactive yang memungkinkan
dibukanya kembali kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum diundangkannya UU
Pengadilan HAM merupakan penyimpangan terhadap asas legalitas dari sisi hukum
posi'tif Indonesia 11CUHP). Akan tetapi, dari sisi lain, menurut Hukum Pidana
Inte,rnasional, pemberlakuan asas retroactive
sangat dimungkinkan untuk mencapai keadilan yang diwujudkan dengan
pembentukan pengadilan tribunal seperti:
ICTR (International Court Tribunal
for Rwanda), ICTY (International
Court Tribunal for Yugoslavia), dan ICC (International Criminal Court)
dalam Statuta Roma.
Walaupun telah terjadi
perbedaan pendapat tentang keberadaan asas wtroactive sebagai "celah"
dibukanya kembali kasus-kasus pelanggaran HAM berat, akan tetapi tetap
diperlukan adanya "filter" yang dapat menyaring kasus-kasus
pelanggaran HAM berat di masa lampau melalui 'bolitical wisdom" dari DPR
sebagai wakil rakyat, sekalipun sifat dari "filter', seperti digelarnya
pengadilan HAM ad hoc terhadap
kasus Tanjung Priok, DOM (Daerah
Operasi Militer) Aceh, dan Kasus Timor Timur Pasca {ajak Pendapat. Dengan kata lain dalam penyelesaian kasus-kasus
pelanggaran HAM berat di masa lampau, yang memerlukan dibentuknya pengadilan
HAM ad hoc tersebut terdapat
subjektivitas dalam relativitas dan tergantung pada kepentingan yang ada serta
lebih tertumpu pada nilai politis yang tersembunyi.
Upaya
Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Melalui Jalur Hukum dan Non Hukum
Maraknya kasus-kasus
pelanggaran HAM berat yang terjadi di Indonesia lebih banyak mengarah pada
crimes by government, sehingga
perlu penyelesaian yang harus ditangani secara serius oleh Pemerintah, seperti
upaya untuk membuka kembali kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lampau
yang saat ini sedang diupayakan dibuka kembali, yakni: Kasus 27 Juli 1996
(Kudatuli) dan Kasus Kerusuhan Mei 1998.
Upaya membuka kembali
kasus-kasus pelanggaran HAM berat tersebut memang dimungkinkan oleh peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Guna menyelesaikan kasus-kasus
tersebut, terdapat dua cara, yaitu melalui jalur hukum dan alternatif lain.
a. Upaya
penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat melalui penggunaan jalur hukum
(pidana/penal). Penggunaan jalur hukum (pidana) dapat ditempuh sesuai dengan
isi ketentuan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang dilakukan dengan
cara-cara yang sudah ditetapkan tahapan-tahapan yang harus dilalui sebagaimana
diatur dalam Pasal 10-33 UU Pengadilan HAM. Mengenai ketentuan pidana juga
sudah diatur secara tegas di dalam Pasal 36-42 UU Pengadilan HAM dengan
ketentuan pidana penjara minimal 5(Iima) tahun dan pidana maksimalnya dengan
pidana mati ataupun pidana penjara seumur hidup. Di samping itu, dalam
ketentuan pidana juga dikenal adanya delik ommissionis (pembiaran) dan
commissionis. Dalam realita, dalam kasus pasca jajak pendapat di Timor Timur
ada terdakwa yang divonis dengan pidana penjara (selama 3 tahun) di bawah
standar minimum yang telah ditetapkan dalam UU Pengadilan HAM.
b.
Upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM
berat melalui jalur alternatif. Keberadaan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
(KKR) di Indonesia, sesungguhnya merupakan lembaga baru, yang keberadaannya
telah diatur secara tegas dalam Pasal 47 Ayat (1) dan (2) UU No. 26 Tahun 2000
tentang Pengadilan HAM, yang intinya tidak menutup kemungkinan adanya
alternatif penggunaan lembaga KKR untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM
berat yang terjadi sebelum UU Pengadilan HAM diundangkan, selain penggunaan
sarana hukum, dalam hal ini penggunaan pengadilan HAM ad hoc.
Keberadaan lembaga KKR dalam
penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu, sejalan dengan ide
keseimbangan yang terkadung dalam implementasi pertanggungjawaban pidana pada
Konsep KUHP, khususnya mengenai pertanggungjawaban pidana dikenal adanya rechtirlijk pardon atau judicial pardon atau pengampunan oleh
hakim di dalam menerapkan vicarious
liability dan strict liability.'
Penggunaan judicial pardon terkandung
ide/pemikiran sebagai berikut:
a.
menghindari kekakuan/absolutisme pemidanaan;
b.
menyediakan "klep/katup pengaman" (veiligheidsklep);
c.
bentuk koreksi yudisial terhadap asas legalitas (judicial corrective to the
legality principle);
d.
pengimplementasian/pengintegrasian nilai atau paradigma "hikmah
kebijaksanaan dalam Pancasila";
e. pengimplementasian/pengintegrasian "tujuan
pemidanaan" ke dalam syarat pemidanaan (karena dalam memberikan
permaafan/pengampunan, hakim harus mempertimbangkan tujuan pemidanaan); jadi
syarat atau justifikasi pemidanaan tidak hanya didasarkan pada adanya
"tindak pidana" (asas legalitas) dan "kesalahan" (asas culpabilitas), tetapi juga pada
"tujuan pemidanaan".8
Dengan adanya ide dasar "judicial pardon" dalam
Konsep KUHP tersebut dapat dikatakan bahwa adanya unsur "budaya maaf"
dalam KKR sejalan dengan pembaharuan hukum pidana yang berwawasan nasional.
Akan tetapi, untuk
mewujudkan lembaga KKR tidaklah mudah, mengingat adanya beberapa faktor yang
dapat menjadi kendala terbentuknya KKR, salah satunya ialah faktor psikologis.
Adanya faktor psikologis ini muncul dari dua belah pihak, baik dari sisi pelaku
pelanggaran HAM berat maupun dari sisi korban pelanggaran HAM berat. Adapun faktor
psikologis yang datang dari sisi pelaku pelanggaran HAM berat ialah sulitnya
untuk "mengaku salah" atas pelanggaran HAM berat yang telah
dilakukannya dengan alasan melaksanakan perintah untuk mengamankan negara,
sedangkan dari sisi korban pelanggaran HAM berat, ialah adanya traumatis yang
dialami oleh para korban pelanggaran HAM berat.
Keberadaan KKR sebagai salah
satu cara untuk menyelesaikan kasuskasus pelanggaran HAM berat yang terjadi
sebelum diundangkannya UU Pengadilan HAM, bukanlah satu-satunya cara yang
ditempuh untuk penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lampau. AdapUm
cara-cara selain pembentukan KKR untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran
HAM berat di masa lampau, dapat dilakukan dengan cara-cara berikut ini:
a.
mengajukan pelaku ke pengadilan berdasarkan
hukum formal yang berlaku dan didukung oleh hukum internasional. Cara pertama
ini pernah ditempuh oleh Argentina, dengan mengajukan pelakunya yang kebetulan top officer militer ke pengadilan;
b.
lustrasi, artinya penyelesaian pelanggaran
HAM berat dilakukan dengan memberikan sanksi kepada pelaku dengan jalan
mendiskualifikasikan pelaku dari fungsi sosial-politik dalam masyarakat, seraya
mencabut hak sosial-politik yang melekat pada pelaku. Cara penghukuman yang
kedua ini pernah dilakukan di negara-negara bekas komunis di belahan benua
Eropa Timur;
c.
amnesti, yaitu sebuah cara yang paling lunak
dalam spektrum penanganan tindak pelanggaran HAM berat. Alasannya, sebagai alat
pencegahan konflik dan polarisasi di dalam masyarakat akibat praktik politik
penguasa lama.'
Munculnya ide penggunaan KKR
sebagai salah satu cara alternatif untuk penyelesaian pelanggaran HAM berat di
masa lalu, tidak terlepas dari cara yang dipergunakan oleh Afrika Selatan dalam
menyelesaikan kasus apartheid yang
selama ini dijalankan oleh penguasa kulit putih di Afrika Selatan.
Penyelesaian melalui KKR di
Afrika Selatan dipelopori oleh Mandela yang tercermin dalam komitmennya, bahwa
politik apartheid berhasil
dipatahkan, namun rekonsiliasi nasional harus ditegakkan. Sebab kemenangan
demokrasi bukanlah ajang balas dendam menghabisi bangsa kulit putih. Kalau
terjadi balas dendam terhadap bangsa kulit putih, berarti Afrika Selatan
terjebak dalam situasi apartheid model
baru.'° Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa pembentukan KKR sebagai sarana
pencegahan terciptanya apartheid model
baru. Tampaknya pembentukan KKR di Afrika Selatan memberikan inspirasi
pembentukan KKR di Indonesia yang mengalami dilema dalam upaya penyelesaian
pelanggaran HAM berat di masa lalu.
Di samping memakai cara yang
ditempuh oleh pemerintah Afrika Selatan untuk menyelesaikan kasus apartheid yang terjadi di Afrika
Selatan, pembentukan KKR di Indonesia juga dimaksudkan untuk menindaklanjuti
TAP MPR No. V/MPR/2000 sebagai keputusan politik agar negara memiliki kewajiban
mengingat (state's duty to remember)." Hal ini dimaksudkan
agar di masa yang akan datang tidak terjadi pelanggaran HAM berat terhadap
masyarakat baik yang dilakukan oleh aparat pemerintah sipil maupun militer.
Dari kedua upaya penyelesaian
kasus pelanggaran HAM berat tersebut, penyelesaian melalui jalur alternatif
membutuhkan proses yang lebih panjang daripada upaya penyelesaian melalui jalur
hukum (pidana), sekalipun kedua cara tersebut diakui keberadaannya dalam hukum
pidana internasional.
Baik upaya penyelesaian
melalui jalur hukum (pidana) maupun jalur alternatif masing-masing tidak
terlepas dari sisi kepentingan yang muncul, yang meliputi
kepentingan-kepentingan (1) pelaku, (2) korban, dan (3) negara. Ketiga
kepentingan tersebut harus dapat diwujudkan ke dalam upaya penyelesaian yang
tersedia, baik melalui jalur hukum (pidana) maupun jalur alternatif. Terlebih
lagi dengan adanya era globalisasi yang sangat mempengaruhi jalannya penegakan
HAM di Indonesia.
Budaya
Hukum dalam Penegakan HAM
Guna melakukan penegakan HAM
terdapat unsur pendukung lain, yang sangat erat kaitannya dengan penegakan HAM
di era globalisasi, yakni budaya hukum.'2 Budaya (kultur) hukum
merupakan salah satu unsur penting yang ada dalam rangka penegakan hukum selain
struktur dan substansi hukum. Struktur
hukum terkait dengan lembaga-lembaga yang terkait dengan penegakan hukum,
seperti: pengadilan, kejaksaan, kepolisian, dan lembaga pemasyarakatan sebagai perwujudan
sistem peradilan pidana yang integral. Substansi hukum merupakan produk hukum
berupa aturan-aturan yang aktual, norma, dan perilaku dari orang-orang dalam suatu sistem.
Sedangkan kultur hukum merupakan perilaku orang terhadap hukum dan sistem hukum; iklim dari pemikiran sosial dan
kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari, atau
disalahgunakan."
Oleh karena itu, budaya hukum perlu
ditumbuhkan dalam masyarakat, karena tanpa bucJaya hukum akan mudah terjadi
pelanggaran hukum di
dalam
masyarakat.14 Peranan penting yang terdapat dalam budaya hukum ialah
sebagai penggerak bekerjanya hukum.15
Dalam kaitannya dengan
penegakan HAM, budaya hukum merupakan sarana kontrol terhadap aturan-aturan dan
lembaga-lembaga yang terkait dengan penegakan HAM. Ini penting artinya, agar
aturan-aturan tentarig perlindungan HAM yang ada dapat dijalankan untuk
mencegah terjadinya pelanggaran HAM berat yang bertentangan dengan nilai-nilai
kemanusiaan, terlebih lagi di era globalisasi.
Penutup
Bertolak dari tulisan yang
telah dipaparkan dalam uraian-uraian di atas dapat diambil kesimpulan sebagai
berikut:
a. Deskripsi
tentang penegakan HAM di Indonesia masih melukiskan adanya ketidakseimbangan
antara kepastian hukum tentang aturanaturan penegakan HAM dengan pelaksanaan
penegakan HAM, baik yang dilakukan oleh individu (anggota masyarakat) maupun
Pemerintah dalam Hal ini aparat penegak hukum.
b. Peluang
yang disediakan oleh peraturan perundang-undangan tentang HAM untuk membuka
kembali kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lampau terdapat
ketidakharmonisan antara asas legalitas (menurut hukum positif) yang berlaku,
dalam hal ini KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) dan hukum pidana
internasional yang mengijinkan berlakunya asas retroactive.
c. Upaya
penyelesaian melalui jalur hukum (pidana) dipandang masih belum memenuhi rasa
keadilan masyarakat, sedangkan untuk mewujudkan penyelesaian melalui jalur
alternatif terdapat berbagai kendala, baik yang berasal dari pelaku pelanggaran
HAM berat dalam hal mengakui perbuatannya secara terus terang, maupun dari
korban pelanggaran HAM berat dalam hal menyampaikan kebenaran karena adanya
trauma pribadi yang dialami.
d. Untuk mencegah terjadjnya pelanggaran HAM berat harus
ditumbuhkan budaya hukum dalam masyarakat sebagai sarana kontrol terhadap
bekerjanya hukum dan lembaga-lembaga yang terkait dengan penegakan hukum dan
penegakan HAM.
Hak Asasi Manusia Dalam Perspektif Hukum Administrasi
Pendahuluan
Dalam sejarah hukum Eropa
kontinental, hukum administrasi lahir sebagai konsekuensi dari konsep negara
hukum liberal (de liberale
rechtsstaatsidee) pada abad ke-19. Konsep dasar negara hukum liberal
adalah keterikatan kekuasaan pemerintahan pada undang-undang (asas legalitas; wetmatigheidbeginselen dan jaminan
perlindungan hak-hak asasi. Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa hukum
administrasi merupakan instrumen negara hukum. Dengan demikian sejak awal lahirnya,
hukum administrasi memiliki fungsi utama yaitu perlindungan terhadap hak-hak
asasi. Dikaitkan dengan konsep ini, ukuran atau indikasi negara hukum adalah
berfungsinya hukum administrasi. Sebaliknya suatu negara bukanlah negara hukum in realita apabila hukum adminstrasi
tidak berfungsi.
Dalam kaitan dengan konsep goodgovernance dewasa ini, pandangan
yang dianut di kalangan yuris hukum administrasi adalah pada dasarnya principles of good governance adalah principles of good administration.
Dengan ilustrasi singkatdi
atas, makalah singkattentang hak asasi manusia dalam perspekif hukum
administrasi disusun atas substansi yang meliputi:
a.
konsep hukum administrasi. (komparasi);
b.
fungsi hukum administrasi;
c.
pendekatan dalam hukum administrasi;
d.
general principles of good
governance.
Konsep Hukum Administrasi (Komparasi) Tiga
konsep dasar:
a.
Amerika: Davis;
b.
Inggris: Jennings;
c.
Perancis: Laubadere.
Hukum Administrasi Amerika
yang bertumpu atas definisi hukum Administrasi dari Davis:
Administrative
law is the law concerning the powers and
procedures of administrative agencies, including especially the law governing judicial review of administrative action.'
Titik
berat pada proses administrasi (APA 1946); Produk regulation
tidak termasuk hukum administrasi.
Demikian juga halnya public adminis
tration
tidak masuk lingkup hukum administrasi.
Hukum Administrasi Inggris
modern sudah meninggalkan konsep Dicey dan menggunakan konsep Jennings. Menurut
Jennings: Administrative law is the law relating to the administration. Berbeda
dengan konsep Amerika (Davis) dalam konsep Inggris, prosedur administrasi tidak
termasuk lingkup hukum administrasi.'
Hukum Administrasi Perancis
bertumpu pada Laubadere. Menurut Laubadere:
Administrative
law as the branch of public internal law which embraces the organization, and the activity which is currently called the
administration.s
Hukum
administrasi meliputi:
a.
The administrative organization of the
state;
b.
The Study of administrative
activity;
c.
The means of action;
d.
The patterns of litigation or judicial
control of administration.'
Konsep Perancis dianut juga
oleh Belanda. Dengan demikian, sadar atau tanpa sadar kita.sebetulnya juga
menganut konsep tersebut.
Fungsi Hukum Administrasi
Dua konsep
yang menjadi rujukan dalam tulisan ini adalah:
a.
P. de Haan et al.
b.
J. van der Hoeven
P. de Haan dalam bukunya Bestuusrecht in de Sociale Rechstaat,
memaparkan tiga fungsi hukum administrasi, yaitu:
a.
Fungsi normatif (normatieve functie): meliputi
organisasi dan instrumen
pemerintahan.
b.
Fungsi instrumental (instrumentele functie):
fungsi instrumental aktif dalam bentuk kewenangan. Fungsi instrumental
pasif berupa beleid.
c. Fungsi jaminan (waarborgfunctie)
meliputi tiga jenis jaminan yaitu: jaminan pemerintahan (bestuurlijk
waarborgen) menyangkut aspek doelmatig
dan democratie antara
lain keterbukaan (openbaarheid), inspraak
dan berbagai mekanisme kontrol; perlindungan hukum (rechtsbescherming) dan ganti kerugian (de schadevergoeding).'
van der Hoeven dalam bukunya
De Drie Dimensies van het Bestuursrecht
memaparkan tiga sisi hukum administrasi, meliputi:
a. normativiteit yaitu
hukum tentang kekuasaan memerintah (recht
op de
regeermacht);
b. de organizatie en instrumentarium;
c. de rechtspositie van der burger tegenover
het bestuur.e
Pendekatan Dalam Hukum Administrasi
Dengan
studi perbandingan, ada tiga pendekatan utama dalam hukum administrasi, yaitu:
a.
Pendekatan terhadap kekuasaan pemerintah.
b.
Pendekatan hak asasi (rights based
approach).
c.
Pendekatan fungsionaris.
Pendekatan
Terhadap Kekuasaan
Hukum administrasi Belanda
sangat menekankan segi-segi rechtmatigheid
yang pada dasarnya berkaitan dengan rechtmatigheidscontrole. Pendekatan pendekatan tersebut
menggambarkan kekuasaan (pemerintahan) sebagai fokus hukum administrasi.
Pendekatan
Hak Asasi
Rights
based approach merupakan pendekatan baru dalam hukum
administrasi Inggris. Fokus utama pendekatan baru ini pada dua hal, yaitu: a.
Perlindungan hak-hak asasi (principles
of fundamental rights).
b. Asas-asas pemerintahan yang baik (principles of good administration). Antara
lain legality, procedural propriety,
participation, openness, reasonableness, relevancy, propriety of purpose,
legal certainty and proportionality."
Pendekatan Fungsionaris
Pendekatan ini tidak
menggusur pendekatan sebelumnya tetapi melengkapi pendekatan yang ada dengan
titik pijak bahwa yang melaksanakan , kekuasaan pemerintahan adalah pejabat
(orang). Oleh karena itu hukum administrasi pun harus memberikan perhatian
kepada perilaku aparat. Dengan pendekatan ini, norma hukum administrasi tidak
hanya meliputi norma pemerintahan tetapi norma perilaku aparat (overheidsgedrag). Norma perilaku
diukur dengan konsep maladministrasi. Di
Belanda, norma perilaku aparat digali dari praktek Ombudsman.
Ada
dua norma dasar bagi perilaku aparat, yaitu:
a.
sikap melayani (dienstbaarheid).
b.
terpercaya (betrouwbaarheio), yang
meliputi openheid, nauwgezetheid,
mtegriteit, soberheid, eerlijkheid.1z
General
Principles of Good Governance
Memang diperdebatkan apakah term governance sama dengan administration." Dari sudut
penting hukum administrasi, konsep good
governance berkaitan dengan.aktivitas pelaksanaan fungsi untuk
menyelenggarakan kepentingan umum.
Good governance
berkenaan dengan penyelenggaraan tiga tugas dasar pernerintah,
yaitu:
a.
menjamin keamanan setiap orang dan masyarakat (to guarantee the sevcurity of all persons and society itself);
b. mengelola suatu struktur yang efektif untuk sektor
publik, sektor swasta dan masyarakat (to manange an effective framework for the public sector,
the private sector and civil society);
c. memajukan sasaran ekonomi, sosial dan bidang lainnya
sesuai dengan kehendak rakyat (to
promote economic, social and other aims in accordance with the wishes of the
population).14
Good governance berhubungan sangat erat dengan
hak-hak asasi.
Dalam hukum administrasi, negara-negara
anggota Uni Eropa telah menyelenggarakan berbagai kegiatan ilmiah membahas
prinsip-prinsip good go vernance
dikaitkan dengan Hukum Administrasi Eropa.15 Sebagai ilustrasi dikutip
pandangan G.H. Addink tentang general principles
of good governance dikaitkan dengan Undang-Undang Hukum Administrasi
Umum Belanda (AWB - Algemene Wet
Bestuursrecht; GALA: General
Rules of Administrative law).
An
overview of the general principle of good governance (negative andlor positive
version), different aspects of the general principles of good governance and
the relation with the GALA.
l. The principle of prohibition of misuse power or
the principle of prohibition of detournement de puvoir
(specialization-principle; specialiteitsbeginsel); GALA: art.3:3; aspects: a.
against the goal of the power;
b. an incorrect goal;
c. appropriate use;
d. use consistent with the goal.
II. The principle of prohibition of
arbitrariness (the principle of reason
ableness);
GALA: art.3:4 and 5:13; aspects:
a.
arbitrariness = evident unreasonable (complete
unsystematic);
b.
visible unreasonable (balance of interest,
but not acceptable);
c.
that cannot be done in reasonableness (marginal judicial review);
d.
in fairness.
Ill. The principle of legal certainty; GALA: art.4:23 and 5:22; aspects:
a. formal legal certainty (recognizable
rights and duties);
b.
substantial legal certainty
(durability of rules, order has
to be
complied
with, no infringe of rights without legal base, prohibi
tion
of retroactive effect.
IV.
The principle of confidence; GALA par. 4.2.6 (subsidies); aspects:
a.
in general by policy-rule, directives or
circulars;
b. concrete case of inspiring confidence; relevant elements are: who, in what way, by which act and aspects of disposition.
V. The principle
of equality; Constitution art. 1 and therefore not in GALA; aspects:
a. equality for
the law;
b. equality of administration, elements: no predisposition; no negative discrimination, no positive discrimination;
c: equal spread of costs general interest.
VI. The principle of proportionality; GALA: art. 3:4-2;aspects:
a.
administrative sanctions (individual and general);
b. right balance between means and
aims.
VII. The principle of carefulness; GALA:
art. 2:3, 3:2, par. 3.4,
par. 3.5, par. 3.6, par. 4.1.2
and par. 4.1.3; aspects:
a.
substantial carefulness (careful balance of
interest);
formal
carefulness (steps in procedure of ordering:
a.
treatment,
b.
researching,
c.
consultation,
d. publication).
VIII.
The principle of reasoning; GALA: par.3.7;aspects:
a. substantial
(bearing reason in relation to: facts, interest and rules);
b. formal (recognizable reason by given/publication of administrative
motives).
Penutup
Telaah hukum administrasi
berkenaan dengan fungsi dan pendekatan dalam hukum administrasi, jelaslah bahwa
hukum administrasi berfungsi melindungi hak-hak asasi berkenaan dengan
penggunaan kekuasaan, memerintah dan perilaku aparat dalam melaksanakan
pelayanan kepada masyarakat.
Penggunaan kekuasaan
pemerintahan bertumpu atas asas legalitas (rechtmatigheid). Pengujian segi legalitas atau segi rechtmatigheid terutama merupakan
fungsi judicial control
(bandingkan ketentuan Pasal 53 Ayat 92) UU No. 5 Tahuii 1986 jo. UU No. 9 Tahun
2004.
Kepatutan perilaku aparat
dalam melaksanakan fungsi pelayanan kepada masyarakat diukur dengan norma
kepatutan perilaku aparat. Perilaku pelayanan aparat yang tidak patut merupakan
tindakan "maladministrasi". Pengawasan terhadap perilaku aparat
berkenaan dengan maladministrasi termasuk fungsi non judicial control (seperti Ombudsman).
Pemberdayaan
Budaya Hukum
Dalam Perlindungan HAM di Indonesia;
HAM Dalam Perspektif Sistem Hukum
Internasional
Pendahuluan
Hak Asasi Manusia (HAM)
dipercayai sebagai memiliki nilai Universal. Nilai universal berarti tidak
mengenal batas ruang dan waktu. Nilai universal ini yang kemudian
diterjemahkan dalam berbagai produk hukum nasional di berbagai negara untuk
dapat melindungi dan menegakkan nilai-nilai kemanusian. Bahkan nilai universal
ini dikukuhkan dalam instrumen internasional, termasuk perjanjian internasional
di bidang HAM, seperti International Convenant
on Civil and Political Rights; International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights; International
Convention on the Elimination of
All Forms of Racial Discrimination;
Convention on the Elimination of All
Forms of Discrimination against
Women; Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading
Treatment or Punishment; Convention on the Rights of the Child; dan Convention concerning the Prohibition and
Immediate Action for the Elimination of the Worst Forms of Child Labour.
Namun kenyataan menunjukan bahwa
nilai-nilai HAM yang universal ternyata dalam penerapannya tidak memi liki
kesamaan dan keseragaman. Penafsiran right
to live (hak untuk hidup), misalnya, bisa diterapkan secara berbeda
antara satu negara dengan negara lain. Dalam penterjemahan hak ini tiap-tiap
negara memiliki penafsiran yang berbeda tentang seberapa jauh negara dapat
menjamin right to live. Pertanyaan
berikutnya akankah pelaksanaan right
to live di Amerika Serikat yang memiliki sistem dan budaya hukum yang
khas akan sama dengan di Indonesia?
Penerapan akan terkait
dengan karakteristik ataupun sifat khusus yang melekat dari setiap negara.
Adalah merupakan suatu fakta bahwa negara di dunia tidak memiliki kesamaan dari
berbagai aspek, termasuk ekonomi, sosial, politik dan terpenting sistem dan
budaya hukum. Sebagai akibat terjadi ketidakseragaman dalam pelaksanaan HAM di
tingkat paling nyata di masyarakat.
Makalah ini hendak membahas berbagai penyebab
mengapa pelaksanaan dari perjanjian internasional di bidang HAM setelah diikuti
oleh Negara Berkembang, seperti Indonesia,
ternyata tidak dapat berjalan seperti yang diharapkan.
Ada empat penyebab utama
yang akan diargumentasikan sebagai alasan perjanjian internasional di bidang
HAM tidak dapat ditegakkan oleh negara setelah diikuti. Pertama, perancangan dan pembentukan berbagai perjanjian
internasional di bidang HAM yang sangat terdeviasi (bias) oleh kerangka
berpikir (framework of thinking) dari
perancang. Bahkan perancang kerap tidak memperhatikan infrastruktur pendukung
bagi implementasi yang efektif. Kedua,
kendala pada saat perjanjian internasional. diperdebatkan. Ketiga,
menyangkut tujuan pembentukan perjanjian internasional di bidang HAM yang
dibuat tidak untuk tujuan mulia menghormati HAM melainkan untuk tujuan politis.
Keempat, perjanjian internasional di bidang HAM setelah diikuti kerap hanya
mendapatkan perhatian secira setengah hati oleh Negara Berkembang.
Perancangan
Perjanjian Internasional Yang Bias dan Tidak Memperhatikan Infrastruktur
Dalam pembuatan dan
perancangan perjanjian internasional di bidang HAM kerap terjadi bias atau
deviasi karena pengusulan (initiation)
dilakukan oleh Negara Maju. Negara Maju tentunya menggunakan ahli dan
perancang dari negara mereka yang terbiasa dengan sistem dan budaya hukum
Negara Maju yang mereka sangat kuasai dan pahami betul.
Adalah fakta bahwa peradaban
dari bangsa Eropa telah lama dianggap sebagai peradaban yang diterima, melalui
paksaan maupun kesukarelaan, oleh banyak
bangsa. Peradaban Eropa dianggap sebagai peradaban-modern. Pasca Perang Dunia II meskipun banyak negara yang dijajah
telah mengalami proses dekolonialisasi namun dunia tidak dapat lepas dari
kungkungan berpikir (mindset) bahwa ada negara yang memiliki peradabart yang
lebih maju daripada yang lainnya.
Hal ini dapat kita lihat
dalam rumusan salah satu sumber hukum internasional sebagaimana tercantum
dalam Pasal 38 Ayat (1) Statuta Mahkamah Intermsional, yaitu Prinsip-prinsip
hukum umum yang diakui oleh bangsabangsa
beradab (General Principles of
Law Recognized by Civilized Nations).
Menjadi pertanyaan apa yang
dimaksud dengan kata-kata "bangsabangsa yang beradab" bila ini tidak
mengindikasikan bahwa di dunia diakui dikotomi bangsa yang beradab dan bangsa
yang tidak beradab. Para perancang Piagam
PBB berasal dari bangsa yang mengklaim dirinya sebagai 'bangsa-bangsa yang
beradab".
Beradab tidaknya suatu
bangsa dilakukan untuk membedakan antara Negara Eropa atau negara-negara yang
memiliki tradisi Eropa (juga sering
disebut sebagai "Negara Barat") dan
negara-negara non-Eropa. Negara yang terakhir disebut sebagai Negara Berkembang
yang kebanyakan berada di Asia dan Afrika.
Sebenarnya merupakan suatu
"penghinaan" dalam konteks masyarakat internasional dewasa ini bahwa
Piagam PBB tidak diamandemen dan masih dicantumkan kata-kata
"bangsa-bangsa yang beradab" mengingat tidak ada satupun negara yang
mau dikatagorikan sebagai negara yang memiliki bangsa tidak beradab.
Dalam kaitan dengan berbagai
instrumen internasional di bidang HAM, apa yang terjadi pada Piagam PBB juga
terjadi. Berbagai instrumen tersebut dirancang dan dibuat dengan konsep
pemikiran bahwa peradaban dari Negara Berkembang perlu disetarakan dengan
peradaban dari Negara Maju. Tidak heran ketentuan-ketentuan yang dibuat lebih
merefleksikan ketentuanketentuan yang implementable
(dapat dilaksanakan) di Negara Maju tetapi (mungkin) tidak di Negara
Berkembang.
Selanjutnya, dalam
perancangan perjanjian internasional tidak dapat dihilangkan kesan bahwa
perancang dalam benaknya mengasumsikan bahwa pemerintahan Negara Berkembang
banyak melakukan pelanggaran HAM. Tidak heran bila perjanjian internasional
tersebut sebenarnya ditujukan kepada Negara Berkembang. Ini dapat diindikasikan
bahwa Negara Maju kerap tidak turut serta pada perjanjian internasional
tersebut.
Padahal pelaku pelanggar HAM
sebenarnya tidak hanya dari Negara Berkembang, tetapi bisa juga dari Negara
Maju. Kejadian di Abu Ghraib Irak baru-baru ini menunjukkan bahwa pelanggaran
terhadap HAM tidak terbatas pada mereka yang berasal dari Negara Berkembang.
Selanjutnya kenyataan bahwa AS membuat perjanjian bilateral dengan berbagai
negara agar tidak mengirim para tentaranya ke International Criminal Court juga menjadi contoh. Ini
menunjukkan bahwa pelanggaran HAM bisa terjadi di mana saja dan oleh siapa
saja. Kenyataan ini mematahkan cara berpikir para perancang perjanjian
internasional di bidang HAM yang lebih memfokuskan pada Negara Berkembang.
Masalah lain yang dihadapi
dalam pembuatan dan perancangan perjanjian internasional di bidang HAM adalah
perjanjian tersebut dibuat dengan menggunakan benchmark (patokan) sistem dan budaya hukum dari Negara Maju.
Padahal sistem dan budaya hukum di setiap negara di dunia menunjukan
keberagaman. Belum lagi kenyataan sistem dan budaya hukum Negara Maju bagi
Negara Berkembang merupakan sistem dan budaya hukum yang ideal, bahkan
dicita-citakan. Negara Maju dikenal sebagai negara yang memiliki kemapanan
dalam sistem dan homogenitas budaya hukum.
Belum lagi permasalahan
budaya hukum antara Negara Maju dan
Negara Berkembang kerap saling bertentangan. Dalam konteks demikian
harus diakui bahwa eksistensi hukum internasional tidak lepas dari dominasi
pemikiran Negara Maju. Negara Maju yang merasa dirinya lebih beradab dan baik dalam mempraktekan HAM sementara Negara
Berkembang memiliki sisi gelap.
Dalam pembentukan perjanjian
internasional, meskipun diusulkan oleh Negara Maju namun Negara Berkembang
tetap memiliki kesempatan untuk memperdebatkannya. Di sini deviasi yang mungkin
terjadi dari perancang Negara Maju dapat diredam.
Hanya saja para ahli maupun
delegasi dari Negara Berkembang, kerap mencari hal-hal yang bersifat ideal
hingga kurang memperhatikan infrastruktur pendukung bagi implementasinya.
Bahkan ada yang memiliki perasaan lebih Negara Maju daripada Negara Maju itu
sendiri.
Masalah lain adalah masalah
perumusan dalam perjanjian internasional yang bersifat kompromistis. Ini
terjadi sebagai jalan keluar dari pandangan yang berbeda antar negara,
khususnya antara Negara Berkembang dan
Negara Maju. Ketentuan yang dibuat secara kompromistis dimaksudkan agar
dapat diterima. Hanya saja perumusan seperti ini kerap berdampak pada tidak
jalannya ketentuan tersebut. Ketentuan seperti ini hanya baik di ruang sidang
tetapi tidak dalam kenyataan.
Upaya lain adalah dengan
memperkenalkan persyaratan (reservation)
dalam perjanjian internasional yang dibuat. Persyaratan sering digunakan
bila yang hendak dituju adalah mendapatkan sebanyak-banyaknya negara yang
mengikuti tetapi bukan keutuhan dari perjanjian internasional. Akibatnya
perjanjian internasional dilakukan tidak secara utuh.
Pembentukan
Perjanjian Internasional untuk Tujuan Politik, Bukan untuk Tujuan Mulia
Perjanjian internasional,
sadar maupun tidak, telah digunakan sebagai alat intervensi. Melalui perjanjian
internasional dapat diubah peraturan perundang-undangan suatu negara.
Pembentukan perjanjian
internasional di bidang HAM kerap dilakukan untuk tujuan-tujuan politik
dan sama sekali tidak untuk tujuan
mulia, menghormati HAM itu sendiri. Ini kerap dilakukan oleh Negara Maju
terhadap Negara Berkembang. Kepentingan Negara Maju yang berbentuk ekonomi
maupun politik kerap berada di balik berbagai perjanjian internasional di
bidang HAM. Dengan kata lain perjanjian internasional di bidang HAM kerap
dijadikan alat bagi kepentingan politik. Dalam konteks ini Negara Maju
mengadvokasi HAM bukan untuk tujuan mulia melainkan untuk kepentingan dari
Negara Maju itu sendiri.
Oleh karenaya dapat dipahami
bagaimana Negara Maju melakukan berbagai cara untuk mendesak dan menekan
pemerintahan Negara Berkembang agar turut dalam berbagai perjanjian
internasional di bidang HAM. Bila ini terjadi maka ada dasar bagi Negara Maju
untuk meminta pemerintah Negara Berkembang agar mematuhi kewajibannya. Desakan
yang dilakukan tidak dianggap sebagai pelanggaran hukum internasional mengingat
Negara Berkembang tersebut telah mengikuti perjanjian internasional tertentu.
Tujuan politik dalam
perjanjian internasional sangat terasa ketika ada kebutuhan dari Negara Maju
untuk justru mengabaikan perlindungan dan penghormatan HAM, seperti perang
melawan terorisme. .
Transformasi
Setengah Hati
Pemerintah dari Negara
Berkembang bila turut dalam perjanjian internasional di bidang HAM tidak dapat
diharapkan untuk segera mentranformasikannya ke dalam hukum nasional, bahkan
mencerminkan dalam kehidupan masyarakat. Keikutsertaan sering lebih karena
keterpaksaan, bukan karena kesadaran untuk mengikatkan diri.
Selanjutnya, di Negara
Berkembang kerap keikutsertaannya pada perjanjian internasional di bidang HAM
ditujukan untuk kepentingan politik. Sering keikutsertaan ini dilakukan dalam
rangka menunjukkan komitmen suatu pemerintah pada rakyatnya terhadap
penghormatan HAM. jalan termudah untuk menunjukan komitmen ini adalah turut
serta dalam perjanjian internasional di bidang HAM tanpa mengkaji lebih dalam
konsekuensi setelah perjanjian internasional diikuti. Bila dua hal ini terjadi
maka perjanjian internasional bidang HAM tidak dapat membawa perbaikan terhadap
kondisi dan penghormatan HAM. Sebagai akibat penegakan HAM hanya terbatas pada
slogan yang tidak dirasakan di tingkat masyarakat.
Sebagai contoh Indonesia
telah meratifikasi International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination. Sayangnya belum ada Upaya serius untuk
melakukan penyisiran terhadap peraturan perundangUmdangan. Kalaupun ada banyak
aparatur yang masih menggunakan mindset lama sehingga tidak sadar adanya
perubahan dalam peraturan perundangundangan. Belum lagi budaya hukum
masyarakat yang tidak dikondisikan untuk berubah dan mengikuti budaya
non-diskriminasi.
Budaya
Hukum dan Perjanjian Internasional yang Telah Ditransformasikan Ada
beberapa kelemahan dari perjanjian internasional bidang HAM bila telah
diratifikasi oleh Negara Berkembang. Pertama adalah fakta di Negara Berkembang,
perubahan terhadap peraturan perundang-undangan tidak serta merta berarti bahwa
akan ada perubahan yang mendasar di tingkat masyarakat. Di Negara Maju bisa
diharapkan perubahan terhadap peraturan perudang-undangan akan segera tercermin
di masyarakat.
Di Negara Berkembang
kebanyakan yang terjadi adalah perubahan terhadap peraturan perundang-undangan
tidak serta merta terasa dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Sehingga bila
ratifikasi terhadap suatu perjanjian internasional di bidang HAM kerap berhenti
sampai pada proses ratifikasi tersebut. Di sini tidak dilakukan tindak lanjut,
mulai dari transformasi ke dalam hukum nasional, memberi pemahaman kepada
aparatur penegak hukum, menyediakan infrastruktur pendukung hingga melakukan
upaya untuk mengubah budaya hukum masyarakat.
Akhirnya bila keempat hal
ini tidak ditindaklanjuti maka perjanjian internasional yang telah diikuti
tidak akan memberi efek yang signifikan di tingkat masyarakat.
Penutup
Perjanjian internasional
yang mempromosikan penghormatan terhadap HAM, ternyata tidak cukup untuk
memperbaiki kondisi HAM di Negara Berkembang. Ada berbagai alasan bagi Negara
Berkembang dalam pemenuhan kewajibannya dalam perjanjian internasional.
Ternyata, sebagaimana telah diuraikan, ini bukan karena adanya keinginan Negara
Berkembang untuk melanggar apa yang telah disepakatinya.
Tidak tercerminnya
nilai-nilai universal HAM yang termuat dalam perjanjian internasional dalam
kehidupan masyarakat lebih karena kondisi pada negara yang tidak mungkin untuk
memenuhinya. Namun ini tidak berarti apologia untuk tidak secara terus menerus
melakukan upaya penghormatan HAM. Perjanjian internasional yang diikuti harus
ditindaklanjuti dengan (1) transformasi ke dalam hukum nasional; (2) penyiapan
aparatur penegak hukum yang memahami nilai-nilai baru; (3) penyiapan
infrastruktur pendukung; dan (4)
mengkondisikan perubahan budaya hukum masyarakat.
Partisipasi
Publik Sebagai Hak Asasi Warga
Dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
Pendahuluan
Demokrasi merupakan credo suci dalam penyelenggaraan
pemerintahan negara modern. Isu demokrasi menjadi tolok ukur keberadaan sebuah
negara dalam pergaulan dunia internasional. Hal itu didasarkan pada alasan
bahwa sistem demokrasi dipercaya sebagai suatu sistem yang mencerminkan mekanisme
politik yang dianggap mampu menjamin adanya pemerintah yang tanggap terhadap
preferensi dan keinginan warga negaranya.
Robert A. Dah) (dalam M.
Budairi Idjehar, 2003) mengetengahkan bahwa dalam sistem demokrasi paling tidak
ditunjukan oleh lima prinsip yakni:
a.
Adanya prinsip hak yang dan tidak diperbedakan antara rakyat yang satu dengan
yang lainnya;
b. Adanya partisipasi efektif yang menunjukkan adanya
proses dan kesempatan yang sama bagi rakyat untuk mengekspresikan preferensinya
dalam keputusan-keputusan yang diambil;
c. Adanya pengertian yang menunjukkan bahwa rakyat
mengerti dan paham terhadap keputusan-keputusan yang diambil Negara, tidak
terkecuali birokrasi;
d. Adanya kontrol akhir yang diagendakan oleh rakyat,
yang menunjukkan bahwa rakyat mempunyai kesempatan istimewa untuk membuat
keputusan dan dilakukan melalui proses politik yang dapat diterima dan
memuaskan berbagai pihak;
e.
Adanya inclusiveness yakni
suatu pertanda yang menunjukkan bahwa yang berdaulat adalah seluruh rakyat.
Prinsip-prinsip tersebut di
atas dipercaya akan mampu menjamin keadilan demokrasi yaitu bahwa semua warga
negara akan diperlakukan sama dalam sebuah penyelenggaraan negara. Persamaan
tersebut mengimplikasikan bahwa semua lapisan masyarakat mempunyai hak untuk
akses dalam proses penyelenggaraan pemerintahan tanpa ada perbedaan.
Prinsip keadilan demokrasi
dalam penyelenggaraan pemerintahan merupakan hak asasi bagi warga negara yang
kemudian mengimplikasikan sebuah kewajiban bagi setiap negara untuk memberikan
jaminan keberlangsungnya. Konvenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik yang ditetapkan oleh Resolusi Majelis
Umum PBB 2200 A (XXI) dalam Pasal 25 menentukan bahwa:
Setiap
warga Negara harus mempunyai hak dan
kesempatan, tanpa pembedaan apapun sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal
2 dan tanpa pembatasan yang tidak layak
untuk:
a)
ikut serta dalam pelaksanaan urusan pemerintahan, baik secara
langsung
ataupun melalui wakil-wakil yang dipilih secara bebas;
b) memilih dan
dipilih pada pemilihan umum berkala yang murni dan dengan hak pilih yang universal dan sama, serta dilakukan melalui pemungutan
suara secara rahasia untuk menjamin kebebasan menyatakan keinginan dari para
pemilih;
c)
memperoleh akses pada pelayanan umum di negaranya atas dasar persamaan dalam
arti umum.
Ketentuan serupa juga
terdapat dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 pada bagian kedelapan tentang
Hak Turut Serta Dalam Pemerintahan Pasal 43. Ketentuan-ketentuan itu merupakan
landasan penting bagi warga masyarakat yang memberikan kesempatan bagi warga
untuk melaksanakan hak asasinya dalam partisipasi publik pada proses penyelenggaraan
pemerintah yang demokratis di Indonesia.
Refleksi
Partisipasi Publik Masa Lalu
Apabila kita merefleksi
sejarah demokratisasi penyelenggaraan pemerintahan (pusat maupun daerah)
Indonesia, maka kita akan mencatat suatu model pemerintahan yang otoritarian,
monopolistik dan tertutup. Demokrasi
partisipatoris dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah sebenarnya tidak
memiliki akar sejarah yang kuat karena ia selalu berada dalam sebuah sistem
hukum yang represif dan situasi
demokrasi yang semu. Partisipasi diberi makna untuk rela berkorban dan taat pada program-program pembangunan yang
direncanakan oleh pemerintah.
Pada era orde baru
pembangunan adalah kata ampuh yang harus disetujui oleh semua orang tanpa
reserve. Warga masyarakat harus berkorban demi pembangunan, tanpa
diperhitungkan apakah mereka yang berkorban akan diuntungkan atau bahkan
terpinggirkan. Pengorbanan warga masyarakat tersebut dikonsepsikan sebagai
partisipasi. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa telah terjadi distorsi dan pembiasan terhadap makna partisipasi.
Dengan demikian maka budaya
partisipasi yang berkembang adalah partisipasi semu karena tidak boteh ada
kritik atas program pembangunan, tidak terbuka ruang bagi masyarakat untuk
mengajukan keberatankeberatannya atas sebuah kebijakan yang merugikan dirinya.
Demokrasi hanya dipahami
tidak lebih dari sekedar pemilu dan konstitusi saja. Saluran partisipasi
masyarakat ditutup dengan argumentasi bahwa aspirasi telah cukup terwakili oleh
lembaga perwakilan rakyat, walaupun pada kenyataannya lembaga tersebut lebih
membawakan suara partai dan tidak mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi
kebijakan. Selain itu sistem politik yang ada penuh dengan manipulasi dan
pengkhianatan terhadap tuntutan warga masyarakat maupun kelompok-kelompok
kepentingan.
Prasyarat
Proses Partisipasi Publik
Proses partisipasi rakyat
dalam penyelenggaraan pemerintahan akan sangat ditentukan oleh kualitas
hubungan antara pemerintah dan warga. Pemerintah sebagai lembaga yang memiliki
kekuasaan yang lebih superior harus dengan tulus membuka ruang dan kesempatan bagi warga untuk ikut dalam proses
penentuan kebijakan. Di lain pihak warga juga harus proaktif untuk mengakses
informasi dan mengajukan pendapat-pendapatnya
atas sebuah kebijakan yang akan diambil oleh pemerintah.
M. Budairi Idjehar (2003)
mengemukakan bahwa kesempatan bagi rakyat hanya mungkin tersedia kalau
lembaga-lembaga dalam masyarakat menjamin adanya 8 kondisi, yaitu:
a. kebebasan untuk membentuk dan dan
bergabung dalam organisasi;
b.
kebebasan mengungkapkan pendapat;
c.
hak untuk memilih dalam pemilihan umum;
d.
hak untuk menduduki jabatan politik;
e.
hak para pemimpin untuk bersaing memperoleh dukungan suara;
f. tersedianya
sumber-sumber'informasi alternatif;
g.
terselenggaranya pemilihan umum yang bebas dan
jujur;
h. adanya lembaga-lembaga yang menjamin agar kebijakan
publik tergantung pada suara dalam pemilihan umum dan pada cara-cara
penyampaian pendapat.
Delapan kondisi tersebut di
atas akan mengimplikasikan pada terbukanya ruang partisipasi publik dalam
penyelenggaraan pemerintahan secara luas. Dengan terbukanya ruang partispasi
tersebut maka pengambilan keputusan yang menyangkut masyarakat tidak dapat
dimonopoli oleh pejabat pengambil keputusan maupun anggota lembaga perwakilan,
melainkan harus dibuka secara luas dalam iklim keterbukaan. Keberadaan lembaga
perwakilan tidak akan pernah mampu mendengarkan semua tuntutan warga
masyarakat, banyak keputusan-keputusan penting dalam penyelenggaraan
pemerintahan yang harus melibatkan masyarakat secara langsung. Warga masyarakat
adalah pihak yang mungkin akan dirugikan oleh sebuah kebijakan yang diambil
oleh penguasa dan berkeberatan atas kebijakan tersebut. Terhadap keberatan
warga masyarakat, pemerintah perlu mendengarkan keluhan dan harapan warga atas kebijakan yang diambil
oleh penguasa. Selain itu, pelibatan masyarakat secara langsung akan memberikan
makna pada kepastian hukum atas keputusan penguasa agar keputusan tersebut
tidak digugat oleh warga masyarakat di kemudian hari. Melalui proses
partisipasi yang tulus maka warga akan menerima kebijakan penguasa secara tulus
pula.
Prinsip persamaan di hadapan
hukum (equity before the law) adalah
prinsip yang sangat penting agar proses partisipasi dapat berjalan dengan baik.
Proses patisipasi harus mempertimbangkan kondisi dan keterbatasan warga masyarakat yang harus
terlibat dalam proses penentuan sebuah kebijakan. Pemerintah harus memahami
bahwa tidak semua lapisan masyarakat mampu mengakses makna sebuah informasi dan tidak semua lapisan masyarakat mampu mengemukakan
keberatan-keberatannya atas sebuah kebijakan yang akan merugikan dirinya.
Seperti misalnya untuk kelompok-kelompok marginal harus ada perlakuan yang
berbeda sehubungan dengan keterbatasan mereka.
Sehubungan dengan kemampuan
masyarakat tersebut di atas maka dalam proses partisipasi keberadaan
kelompok-kelompok kepentingan dan
forum-forum warga akan menentukan kualitas dan bentuk partisipasi. Oleh karena itu proses
partisipasi tidak boleh terjebak dalam pendekatan kewilayahan dan terbatas pada bentuk formal yang telah diatur
dalam peraturan perundang-undangan. Pengalaman masa lalu, menunjukkan bahwa
keberadaan forum-forum warga dan
kelompok kepentingan selalu dikendalikan oleh penguasa dengan harus
mendapat restu dan kemudian dikooptasi. Bila tidak ada restu kekuasaan maka
forum dan kelompok kepentingan itu akan
dicurigai, dihalangi, dilarang, dan
kemudian dihabisi.
Keterbukaan
Pemerintah dan Makna Partisipasi
Partisipasi publik hanya
akan dapat dilakukan bilamana ada keterbukaan pemerintahan. Nurcholish Madjid
mengemukakan dalam tulisannya yang berjudul "Demokrasi dan Kebebasan"dalam Tabloid Tekad (1999) bahwa kekuatan demokrasi
ialah sebuah sistem yang mampu melalui dinamika internnya sendiri untuk
mengadakan kritik ke dalam dan
perbaikan-perbaikan, berdasarkan prinsip keterbukaan serta kesempatan
bereksperimen.
Burkens mengemukakan bahwa
syarat minimal yang harus dipenuhi dalam demokrasi, antara lain adalah Openbaarheids van besluitvorming (keterbukaan
dalam pembentukan keputusan). Syarat tersebut memberikan makna terhadap
berfungsinya demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Lebih lanjut
dikemukakan oleh Burkens bahwa banyak bidang kegiatan pemerintahan yang
membutuhkan keikutsertaan langsung dari para warga masyarakat dalam proses
persiapan penentuan kebijakan dan
pembentukan keputusan. Pemerintah atas dasar asas kecermatan hukum
mempunyai kewajiban untuk melibatkan para warga dalam pengambilan keputusan.
Keterbukaan pemerintah mempunyai makna penting, karena melalui keterbukaan para
warga memperoleh lebih banyak pengertian tentang rencana-rencana kebijakan yang
dijalankan. Dengan demikian, maka pemerintah memberikan kemungkinan bagi para
warga untuk meminta perlindungan hukum terhadap pemerintah, baik sebelum
dan sesudah suatu keputusan diambil.
Keterbukaan mempunyai ikatan
yang hakiki dengan berfungsinya demokrasi. Warga masyarakat akan memperoleh
banyak pengertian tentang rencana-rencana kebijaksanaan dan tentang kenyataan yang menjadi dasar
kebijakan yang dijalankan. Selain itu juga membuka peluang perlindungan bagi
rakyat terhadap tindakan pemerintah. Keterbukaan pemerintahan memungkinkan
peran serta masyarakat dalam pengambilan keputusan. Untuk itu dibutuhkan sarana
peran serta, misalnya sarana keberatan, dengar pendapat , komisi pertimbangan
(kepenasihatan) dan lain-lain. Di
samping itu asas keterbukaan mewajibkan pemerintah untuk mengumumkan setiap
keputusannya. Pendapat tersebut memberikan gambaran bahwa dalam keterbukaan
pemerintahan, warga mempunyai hak dan
kesempatan untuk tahu atas rencana-rencana atau keputusan-keputusan yang
akan diambil, hak dan kesempatan untuk
ikut memikirkan, dan memutuskan suatu
kebijaksanaan pemerintahan melalui sarana peran serta (inspraak). Untuk kepentingan tersebut maka diperlukan adanya
informasi yang terbuka, prosedur yang memungkinkan peran serta (inspraak) bagi warga, dan
pengumuman.
Asas keterbukaan mewajibkan
pemerintah untuk secara aktif memberikan informasi kepada masyarakat tentang
suatu permohonan atau suatu rencana tindak pemerintahan dan mewajibkan untuk memberikan penjelasan kepada
masyarakat atas hal yang diminta. Terhadap kewajiban pemerintah untuk
memberikan informasi, peraturan perundang-undang di Indonesia belum ada
ketentuan yang memadai. Dalam tatanan peraturan pemerintah daerah belum ada
pengaturan yang menjamin akses rakyat atas informasi kebijakan-kebijakan yang
akan dilakukan. Informasi merupakan barang yang sangat mahal dan eksklusif. Para pejabat seringkali menutup
akses masyarakat atas informasi dengan alasan "rahasia negara".
Partisipasi
dan Keterbatasan Instrumen
Bangkrutnya orde baru
membawa angin perubahan yang lebih menjanjikan untuk proses partisipasi dalam
penyelenggaran pemerintahan daerah. Angin reformasi menghembuskan sistem
pemerintahan daerah yang demokratis dan partisipatoris sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999. UU tersebut menentukan bahwa sistem
pemerintahan daerah dilandaskan pada sistem otonomi luas yang mengedepankan
prinsip-prinsip demokrasi, peran serta, pemerataan dan keadilan serta
memperhatikan potensi dan keanekaragaman
daerah. Prinsip-prinsip tersebut bertujuan untuk memberdayakan masyarakat,
menumbuhkan prakarsa dan kreativitas,
dan meningkatkan peran serta masyarakat.
Membuka ruang publik yang
seluas-luas dalam rangka proses demokratisasi pemeritahan daerah merupakan
semangat yang muncul dalam sistem pemerintahan daerah. Hak rakyat untuk ikut
serta menentukan proses pembangunan dan
penyelenggaraan pemerintahan mulai mendapatkan lempat. Namun, seiring
itu pula semangat demokrasi yang digariskan oleh UU pada kenyataannya telah
berubah bentuk menjadi anti demokrasi dan
menimbulkan ketakutan bagi pejabat terhadap proses partisipasi
masyarakat. Kecenderungan yang tampak nyata dalam penyelenggaraan pemerintah
daerah adalah elitis dan tidak mengakar.
Sering kali berbagai kebijakan diputuskan secara sepihak tanpa mendengar
aspirasi rakyat. Peran pemerintah terlihat demikian superior. Partisipasi
publik melalui lembaga non pemerintah dLSM) lebih sering dimanipulasi dan kemudian menjadi tameng untuk sebuah
pembenaran bahwa kebijakan yang diambil dengan mendengarkan aspirasi rakyat
dengan melalui lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Dalam hal ini 6anyak LSM plat merah yang berfungsi
sebagai tameng dan stempel pembenar Aas keputusan-keputusan yang tidak
proporsional. Dengan demikian maka partisipasi publik yang dilakukan oleh
pemerintah adalah partisipasi semu dan tidak
tulus.
Kesiapan/kemampuan dan sikap apatisme masyarakat.
Kendala-kendala tersebut
menyebabkan kemandegan proses demokratisasi partisipatoris dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah. Selain itu juga menjauhkan gagasan
pemerintahan yang bersih (clean and
good governance) hanya sampai pada batas wacana dan jauh dari harapan
proses pemerintahan yang diidealkan oleh warga masyarakat. Kondisi
penyelenggaraan pemerintahan masih diwarnai dengan semangat korup dan tertutup.
Kondisi Pengaturan Hukum dan Superioritas
Pemerintahan
Pada tingkatan UU,
pengaturan tentang partisipasi warga telah menjadi jiwa UU (legal spirit), akan tetapi pada
tingkatan rumusan pasal per pasal jiwa tersebut menghilang atau tidak
dinormakan secara baik. Sebagai contoh Dalam UU No. 22 Tahun 1999, partisipasi masyarakat hanya dirurriuskan dalam
Pasal 18 Ayat (1) huruf (h) yang mengatur bahwa tugas dan wewenang DPRD adalah
menampung dan menindaklanjuti aspirasi daerah dan masyarakat. Sedangkan dalam
Pasal 43 yang mengatur tentang kewajiban Kepala Daerah, tidak ada kewajiban
kepala daerah untuk menampung dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat. Dalam UU
No. 22 Tahun 1999 tidak ditemukan pengaturan mengenai bagaimana proses peran
serta masyarakat di bidang eksekutif atau pemerintahan. Ketentuan tersebut
menunjukan bahwa pemerintah daerah memiliki visi superioritas terhadap
masyarakat dan hubungan antara masyarakat dengan pemerintah (gubernur/
bupati/walikota) telah dianggap selesai dengan adanya DPRD.
Peluang dan ruang untuk
partisipasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah juga tidak muncul dalam
Perda No. 15 Tahun 2000, Perda
Nomor 16 Tahun 2000, dan Perda
Nomor 17 Tahun 2000 yang masingmasing mengatur tentang organisasi dan tata
kerja sekretariat daerah dan dewan, lembaga teknis daerah dan dinas di propinsi
Lampung. Idealnya ketentuan-ketentuan tersebut membuka ruang partisipasi
masyarakat dalam pengaturannya tentang tata kerja masing-masing unit
organisasinya. Dalam penyusunan APBD berdasarkan kinerja sebagaimana diatur
dalam Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2003, salah satu landasan penyusunan APBD
adalah penjaringan aspirasi masyarakat Oaring Asmara). Berkenaan dengan hal ini
maka sebenarnya sangat dibutuhkan adanya Perda partisipasi yang mengatur
bagaimana proses Jaring Asmara dilakukan.
Ketentuan mengenai
partisipasi atau peran serta masyarakat diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 1999
tentang Penyelenggaraan Nega,ra yang Bersih dan Bebas Dari KKN. Pasal 8 Ayat
(1) UU tersebut menentukan bahwa peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan
negara merupakan hak dan tanggung jawab masyarakat untuk ikut mewujudkan penyelenggaraan
negara yang bersih.
Pengaturan Pasal 8 tersebut
menunjukkan bahwa makna partisipasi masyarakat lebih diarahkan pada fungsi
pengawasan, sedangkan makna partisipasi sebagai bentuk perlindungan hukum bagi
rakyat belum muncul. Selain itu perumusan aturan masih sangat abstrak.
Pengaturan yang ada dalam UU Nomor 28 Tahun 1999 sebenarnya berisikan asas-asas
yang kemudian diberi bentuk norma sehingga ketentuan pasal menjadi tidak
operasional.
Berdasarkan ketentuan Pasal
9, Peran serta tersebut diwujudkan dalam bentuk:
a)
Hak mencari, memperoleh dan memberikan informasi tentang penyelenggaraan
Negara;
b)
Hak untuk memperoleh pelayanan yang sama dan adil dari penyelenggara Negara;
c)
Hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggungjawab terhadap kebijakan
penyelenggara Negara; d) Hak memperoleh perlindungan hukum.
Empat hak masyarakat
tersebut di atas sulit sekali terwujud karena sistem peraturan perundangan yang
ada belum mendukung. Adalah hak masyarakat untuk mencari, memperoleh dan
memberikan informasi. Tetapi adakah jaminan untuk mendapatkan semua hal
tersebut dan bagaimana mekanismenya? Informasi adalah barang mewah bagi
masyarakat dan masih sulit untuk diakses, terlebih bila berkenaan `dengan
kebijakan-kebijakan strategis. Pengalaman beberapa kalangan NCO untuk
mendapatkan DraftRancangan APBD membutuhkan tenaga ekstra.
Argumentasi klise para penguasa untuk menolak memberikan informasi adalah bahwa
informasi yang dicari itu adalah "rahasia negara".
Dalam PP Nomor 68 Tahun 1999
Pasal 3 Ayat (1) dan Ayat (2) menentukan bahwa dalam masyarakat bermaksud
mencari atau memperoleh informasi lentang penyelenggaraan negara maka yang
berkepentingan berhak menyatakan kepada atau memperoleh dari instansi atau
lembaga terkait yang dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung.
Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa pemerintah ditempatkan sebagai pihak yang
pasif dan masyarakat adalah pihak yang
harus proaktif untuk mencari informasi.
Sikap proaktif masyarakat
mempunyai risiko tersendiri, terutama bila menunjukan sikap keberatan atau
sikap kritis terhadap sebuah kebijakan, sering dihadapkan pada ancaman-ancaman
kekerasan fisik sampai dengan kesulitan dalam memperoleh pelayanan publik yang
dibutuhkan. Sikap arogan dan anti kritik
para birokrat masih demikian kental dan
untuk itu masyarakat tidak.memperoleh jaminan perlindungan. )aminan
perlindungan dapat dilakukan dengan melakukan perlawanan melalui proses
peradilan yang nota bene membutuhkan
biaya dan waktu yang panjang.
Pada dasarnya UU menjamin
hak warga masyarakat untuk menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggungjawab terhadap
kebijakan penyelenggara negara, akan tetapi hak tersebut akan sulit terwujud
karena tidak ada kewajiban bagi pemerintah bahwa saran dan pendapat tersebut akan mempengaruhi keputusan
yang diambilnya. Pengalaman dalam melakukan advokasi APBD menunjukkan bahwa
pemikiran dari berbagai kalangan, yaitu antara lain perguruan tinggi dan elemen-elemen masyarakat yang tergabung dalam
Jaringan Pemantau Trasparansi dan Otonomi Daerah OMPTOD) tidak didengar sama
sekali. Berbagai pertemuan dan hearing
dengan anggota dewan tidak mempengaruhi substansi Perda APBD yang
dibuat, tidak ada sikap tulus dan fair dari anggota dewan terhadap
pemikiran dan protes yang dilakukan.
Dalam hal ini telah terjadi penghianatan atas aspirasi yang telah disampaikan
kepada dewan, dan tidak ada jaminan
bahwa apa yang telah disampaikan oleh warga masyarakat akan mempengaruhi
keputusan yang diambil. Demikian pula dalam proses pemilihan gubernur yang
beraroma politik uang, proses pemilihan yang seharusnya dilandasi dengan
semangat demokratis, ternyata dilakukan secara ekslusif dan tertutup. Ruang publik bagi masyarakat untuk
melakukan partisipasi atau peran serta dalam proses pemilihan kepala daerah
hanyalah retorika semata.
Penutup
Pelaksanaan partisipasi
publik dalam penyelenggaraan pemerintahan sebagai hak asasi warga masih
membutuhkan perjuangan panjang. Partisipasi publik masih hanya sekedar retorika
tanpa ketulusan hati karena sikap mental para pejabat yang masih belum memahami
dan menghargai warga masyarakat sebagai
subjek dalam penyelenggaraan pemerintahan. Demokratisasi pemerintahan bukan
lagi "untuk rakyat" dan
"oleh rakyat", tetapi "untuk rakyat" dan "bukan oleh rakyat". Di sisi lain,
partisipasi publik juga masih
Implementasi
dan Sinkronisasi Hak Asasi Manusia Internasional dan Nasional
Pendahuluan
Dalam perkembagan kehidupan
yang berkelanjutan sampai saat ini dari realitas lokal ke realitas nasional
bahkan Internasional, nampak bahwa hak asasi manusia berkembang secara
berseiring dalam suatu hubungan yang komplementer. Hak asasi manusia telah berkembang
sebagai suatu tatanan yang semula hanya sebatas negara tertentu saja, sekarang
telah mendunia. Instrumen hak asasi manusia yang tadinya bersifat universal
telah menjadi cermin bermacam-macam norma perilaku yang diterima secara khusus
oleh sebagian besar negara-negara di dunia. Asumsi ini yang dijadikan sebagai
dasar diterimanya pernyataan hak asasi manusia sedunia pada tahun 1948 oleh
suatu badan internasional yaitu Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Pada pembukaannya deklarasi
ini menyatakan suatu pengakuan atas martabat yang hakiki dan hak yang sama tanpa diskriminasi, tidak dapat
dicabut oleh segenap anggota umat manusia, sekaligus sebagai landasan adanya
kebebasan, keadilan dan perdamaian dunia. Nilai-nilai hak asasi manusia yang
bersifat universal tersebut pada tataran teoritis dapat diterima oleh semua
negara, akan tetapi pada tataran implementasi selalu terdapat perbedaan antara
negara satu dengan yang lain disebabkan adanya sudut pandang yang berbeda.
Perbedaan sudut pandang inilah yang merupakan salah satu faktor implementasi
nilai-nilai universal hak asasi manusiatidak seragam.
Perbedaan tataran teoritik
dan implementasi tersebut tidak perlu dipertentangkan sebab tataran teoritik
implementasi menyangkut relevansi dengan budaya di mana hak asasi manusia ini
akan diterapkan. jadi bukan substansi hak asasi manusia yang akan mengganti
sistem sosial pada masyarakat, melainkan proses dan implementasi itu sendiri
yang akan menggantinya.
Berbagai instrumen hak asasi
manusia Internasional telah diadopsi oleh Negara Republik Indonesia ke dalam
Tap MPR No. XVII/MPR 1998, UU No 39 tahun 1999, Perpu No 1 tahun 1999 dan UU No
26 tahun 2000. Sekarang tinggal bagaimana Political will Pemerintah Republik Indonesia untuk melaksanakan
secara murni dan konsekuen peraturan tersebut di atas. Telah kita ketahui
bersama bahwa meskipun Indonesia negara hukum, tetapi hukum belum dapat
berperan sebagai panglima atau dengan kata lain belum tercipta Rule of Law.
Pelaksanaan
Hak Asasi Manusia
Sebagai instrumen
perundang-undangan hak asasi manusia supaya dipositifkan kaidah-kaidahnya dan disosialisasikan
kepada masyarakat agar masyarakat mengetahui dan berupaya untuk mengembangkan sarana-sarana
pendukung agar apa yang terkandung dalam hak asasi manusia dapat ditaati. Hal
demikian akan membawa dampak pada perwndang-undangan hak asasimanusia dapat
berlaku secara efektif, untuk itu diperlukan adanya upaya-upaya
"pencanangan perundang-undangan hak asasi manusia dengan baik, pelaksana
dalam menunaikan tugasnya dapat searah dan senafas sesuai dengan bunyi serta
penafsiran yang telah disepakati, penegak hak asasi manusia harus menuntut para
pelanggannya" (GG. Howards dan
Rummers, 1999: 46-47). Atau dengan kata lain agar perundang-undangan hak
asasi manusia dapat efektif maka pembuatannya, pelaksana dan pemegang perannya harus dalam satu sistem
kerja.
Pelaksanaan hak asasi
manusia perlu adanya ketentuan yang normatif dan komitmen moral dari
pelaksananya. Peraturan normatif ini berupa ketentuan-ketentuan yang memuat hak
dan kewajiban baik kepada masyarakat maupun Pemerintah, sedangkan komitmen
moral berupa perjuangan yang tulus ikhlas dan
peduli untuk memperjuangkan hak dan
kewajiban orang lain sesuai dengan perundang-undangan hak asasi manusia.
Akhir-akhir ini terdapat
suatu penilaian dari dunia Barat seakan-akan Pemerintah Indonesia tidak
konsekuen melaksanakan hak asasi manusia. Penilaian ini didasarkan pada kaca
mata hak asasi manusia yang berlaku di Barat yang mempunyai sifat individualis
dan liberal serta kapitalis, sehingga
wajar mereka menilai begitu. Hal demikian tentu berbeda dengan paradigma
Pemerintah Indonesia di samping mengakui adanya hak individu, juga mengakui adanya hak-hak kolektif atau umum
bahkan hak individu akan dikesamqngkan jika dipandang oleh negara memang harus
bertindak demikian.
Perbedaan antara negara
Barat dan Pemerintah Indonesia tentang hak asasi manusia berkisar pada apakah hak asasi manusia bersifat
universal dan mencakup semuanya berlaku tanpa kecuali, apakah tidak memperhitungkan
budaya yang ada pada masing-masing negara. Di samping itu juga terdapat sudut pandang yang berbeda mengenai
prioritas hak-hak yang dimiliki oleh warganya di satu sisi. Negara Barat
menekankan pada hak sipil dan politik,
9edangkan bagi Indonesia di samping hak-hak tersebut juga dirasa penting
rnelindungi hak ekonomi dan budaya yang
saling kait mengkait.
Pada era globalisasi, hubungan negara satu dengan negara
yang lain sudah tidak dapat dihindari lagi, termasuk Indonesia untuk
berhubungan dengan negara Barat. Negara Barat berada pada posisi yang
menentukan, sedangkan negara Indonesia pada posisi yang ditentukan.
Ketegangan sering terjadi karena masih adanya perbedaan
konsep tentang hak asasi manusia tersebut. Namun yang terbaik bagi Indonesia
tentu tidak menolak terhadap nilai-nilai universal deklarasi tersebut, tetapi
mematuhi standar minimalnya saja. Kita mengadakan gerakan moral kepada seluruh
komponen bangsa, bahwa hak asasi manusia merupakan salah satu prestise
kemanusiaan yang harus kita junjung tinggi dan
berupaya untuk tidak melanggar dan
melaksanakan dengan kemauan baik sehingga kita akan mempunyai nilai
tambah di mata dunia internasional.
Masalahnya, apakah para birokrat yang duduk dalam
pemerintahan akan semakin sadar dalam menjalankan tugas sebagai pelayan
masyarakat dan tidak diskriminatif
terhadap warganya, seperti apa yang dikemukakan oleh ahli sosiologi Max Weber
yang menyatakan, bahwa seorang birokrat modern harus dapat bekerja sine ira et studio. Pertanyaan ini
dikemukakan, mengingat pada periode sebelum tahun 1999 kebanyakan pelanggaran
hak asasi manusia dilakukan oleh oknum birokrat dan belum terselesaikan secara adil dan benar sesuai dengan Pasal 1 ayat (6) UU No.
39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Sinkronisasi dan Interpretasi Perumusan Hak
Asasi Manusia Universal dan Lokal
Terdapat berbagai instrumen
tentang hak asasi manusia baik tingkat dunia maupun nasional. Tingkat dunia
antara lain Deklarasi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun
1948, Perjanjian Internasional perihal Hak Asasi Manusia dan Bill
of Right, Magna Charta dan
lain-lain. Sedangkan hak asasi manusia nasional di Indonesia tercantum
dalam Pembukaan UUD 1945 dan dalam
pasal-pasalnya masih bersifat parsial dan
tersebar serta tidak rinci dan
mendetail. Namun demikian Pemerintah Republik Indonesia telah memiliki
seperangkat hukum yang mengatur tentang hak asasi manusia, yaitu Ketetapan MPR
No XVII/MPR 1998, UU No. 39 Tahun 1999, Perpu No. 1 Tahun 1999 dan UU No. 26
Tahun 2000.
Sinkronisasi ini dilakukan
secara vertikal dan horisontal. Secara
vertikal dilakukan terhadap nilai-nilai hak asasi manusia universal/dunia
dengan nilai-nilai hak asasi manusia lokal/nasional (Hassan Suryono, 2002: 4). Di samping itu juga
terhadap perundang-undangan nasional berdasarkan status yang lebih tinggi
dan rendah. Sedangkan sinkronisasi
horisontal dilakukan terhadap perundang-undangan yang mempunyai derajat yang
sama.
Interpretasi
yang digunakan secara gramatikal dan sistematis. Sinkronisasi dan interpretasi
sebagaimana tersebut di atas dilakukan terhadap komponen substansi yaitu
ketentuan-ketentuan atau nilai-nilai berupa hak.
Selain hak, kewajiban apa saja yang terdapat dalam
peraturan HAM, serta bentuk perilaku apa saja yang dapat dikategorikan melanggar
HAM, sinkronisasi dan interpretasi juga dilakukan terhadap komponen kultur
yaitu gagasan-gagasan, harapan-harapan dari semua peraturan hak asasi manusia.
Dalam melakukan sinkronisasi dan interpretasi tersebut
diperlukan letigimasi dan konsensus dari komponen bangsa untuk merumuskan,
menjabarkan dan mengintegrasi. Dari upaya ini akan dihasilkan suatu harmonisasi
antara nilai hak asasi manusia nasional dengan hak asasi manusia universal.
Meskipun sudah diperoleh suatu harmonisasi, namun kinerja dari peraturan hak
asasi manusia tergantung pada faktor pembuat hukum/UU HAM, pemegang peran atau
masyarakat serta penegak hukum atau birokrat pelaksananya.
Penutup
Berdasar paparan di atas
dapat disimpulkan, bahwa agar pelaksanaan hak asasi manusia dapat efektif,
perlu adanya peninjauan kembali terhadap komponen substansi dan kultur dengan
mengadakan sinkronisasi dan interpretasi terhadap dokumen hak asasi manusia
universal dan nasional sehingga ditemukan harmonisasi dari keduanya.
Harmonisasi peraturan hak asasi manusia dapat terjadi bilamana tercipta suatu
gerakan moral antara pembuat undang-undang, pemegang peran dan birokrat
pelaksananya.
Hegemoni
Politik dan Hukum
Sebuah
Studi Literer Tentang Kekebalan Hukum dan Petanggaran Hak Asasi Manusia di
Negara Dunia Ketiga Dalam Lintasan Sejarah
Pendahuluan •
Sejak gelombang tuntutan
demokratisasi semakin terasa terutama di negaranegara Afrika merdeka, maupun
di daerah-daerah yang masih berada di bawah bentuk-bentuk kolonialisme, teruji
dan terbukti merupakan hasil dari
perampasan hak dan kediktatoran politik
yang merupakan karakteristik kolonialisme dan
neokolonialisme. Bukti-bukti empiris memperlihatkan, bahwa dalam usaha
rakyat menuntut perubahan, ada segelintir orang yang sebenarnya mendapat
keuntungan dari kediktatoran tersebut mengikuti seruan akan adanya perubahan,
akan tetapi hanya ingin mengamankan kepentingankepentingan mereka. Hal ini
membuat pertentangan demokrasi di Afrika semakin rumit dan serius. Dalam perspektif sejarah, rezim non
demokratis mempunyai bentuk yang sangat beragam. Rezim-rezim yang menjadi
demokratis pada gelombang pertama, umumnya berbentuk monarki absolut,
aristokrasi feodal yang sekarat dan
negara-negara penerus empire Eropa
(HUmtington, 1997).
Penelitian literer ini lebih
memfokuskan pada perspektif kekebalan hukum atas pelanggaran hak asasi manusia,
disebabkan hegemoni kekuasaan yang terjadi di negara-negara Afrika.
Negara-negara Afrika dipilih sebagai objek kajian, oleh karena di benua
tersebut merepresentasikan pelanggaran hak asasi manusia yang luar biasa
dahsyat yang disebabkan implementasi konsep paradigma kekuasaan yang menindas.
Dari latar persoalan di atas, permasalahan yang diajukan adalah, "Mengapa
di dalam negara dunia ketiga sering terjadi kekebalan hukum yang berkaitan
dengan,pelanggaran hak asasi manusia selama era kolonial, yang kemudian
memberikan sumbangan terhadap fenomena kekebalan hukum di masa modern?"
Kejahatan-kejahatan
Hak Asasi Manusia
Negara-negara yang menjadi
demokratis pada gelombang kedua, sebelumnya merupakan negara-negara fasis,
koloni dan kediktatoran militer
perorangan dan seringtelah memiliki
sejumlah pengalaman dengan demokrasi. Rezimrezim yang bergerak ke arah
demokrasi dan beralih ke demokrasi pada
gelombang ketiga, umumnya tergolong pada tiga kelompok; pertama, sistem satu partai, kedua, rezim militer dan ketiga, kediktatoran militer.
Fenomena lemahnya hukum
terhadap individu-individu lokal maupun dari luar negeri serta orang-orang lain
yang bertanggungjawab terhadap pelanggaran dan
penolakan hak asasi manusia dan
penduduk di Afrika yang disebut impunity
(kekebalan dari hukuman), tentu saja merupakan satu hal yang terburuk di
dunia. Sejarah mengenai kekebalan hukum di Afrika merupakan proses panjang
dan mengerikan. Pelanggaran dan penentangan secara besar-besaran terhadap hak
asasi dasar penduduk Afrika, selama periode perbudakan oleh orang-orang Eropa
dan Eropa-Amerika dilindungi oleh
kekebalan hukum tersebut.
Eropa, Amerika Utara
dan bagian-bagian dari Amerika Tengah
dan Selatan melanjutkan hidup dalam
kemakmuran, yang diperoleh dari kejahatan-kejahatan hak asasi manusia secara
besar-besaran dan menyolok yang
diberlakukan untuk melawan warga Afrika. Warga kulit hitam dipaksa menjadi
budak dan dipaksa dikirim ke luar
negeri, namun sebagian besar dari mereka hidup sebagai warga kelas dua dalam
negara baru mereka.
Kolonialisme telah diumumkan
sebagai lawan yang tepat terhadap hak asasi dasar manusia di bawah Piagam PBB
dan lebih penting lagi di dalam Un. Gen. Ass. Res.637/1952 dan Un. Ass. Res.1514/1960. Pembunuhan
besar-besaran, pemusnahan suatu golongan bangsa serta kejahatan lain melawan
kehidupan, harga diri dan kekayaan
diakui oleh kekuatan Eropa dalam proses kolonialisasi dan pemeliharaan hingga saat kemerdekaan pada
setiap negara di Afrika. Oleh karena itu, memerlukan kajian sistematik untuk
memungkinkan denda sebagai hukuman atau pertanggungjawabannya. Para pelaku
kolonialis tersebut terus menerus melakukan penyiksaan, kekejaman dan perlakuan tidak manusiawi terhadap rakyat
Afrika. Mereka melakukan kejahatan yang bertentangan dengan kemanusian seperti
pemerkosaan terhadap wanita-wanita Afrika. Mereka merampas kekayaan, mengambil
alih dan memiliki sendiri tanah-tanah;
mereka juga merusak serta dan merampas
kebudayaan Afrika. Sebagian besar warisan kebudayaan Afrika ditemukan sebagai
koleksi pribadi maupun milik publik di Eropa dan Amerika Utara. Bersamaan dengan meningkatnya
perjuangan untuk menentukan nasib diri sendiri dan kebebasan nasional sejak tahun 1940-an, kekuatan
imperial, serta warga negara mereka dalam koloni, menambah penderitaan atas
kejahatan fisik serta pelanggaran hak asasi manusia rakyat Afrika. Kekuatan
bersenjata diberlakukan oleh rakyat Afrika, sebagai suatu aspek perjuangan
politik antara tahun 1950-an. dan pada
awal 1990-an, terjadi, misalnya di Kenya (1950), Algeria (1950-1960), Angoja,
Mozambik, Cape Verde, Guinea Bissau (semuanya pada tahun 1960-1970-an),
Zimbabwe (1960-1980), Namibia (1960-an - 1989-an), Afrika Selatan (1960-an -
1980-an).
Setiap negara penjajah,
warga negara mereka menguasai koloni serta institusi-institusi militer
gabungan, seperti misalnya NATO, mengadakan campur tangan aktif di dalam
aktivitas-aktivitas militer tanpa memperhatikan hak asasi manusia. Di Kenya
misalnya, puluhan ribu warga negara dibunuh oleh kekuatan anti pemberontak
Inggris antara tahun 1960-1963. Lebih banyak lagi rakyat dideportasi,
dipindahkan dan ditahan tanpa diadili.
fronisnya, kekebalan hukum yang yang dikuatkan dimiliki oleh kekuatan kolonial
imperialis Eropa, dengan pelanggaran hak asasi manusia secara besar-besaran di
Afrika. Hal ini memperlihatkan suatu era ketika hukum kemanusiaan internasional
dan modern dikembangkan, dengan
partisipasi aktif dan kepemimpinan dari
negara-negara imperialis.
Pelaku
Pelanggaran Hak Asasi Manusia
Perkembangan-perkembangan
historis di negara-negara Dunia Ketiga dalam beberapa dekade terakhir, secara
tegas telah membentuk Dunia Ketiga sebagai arena pelanggaran hak asasi manusia
secara totalitas, artinya, pelanggaran tersebut telah merasuk di berbagai aspek
kehidupan, seperti, ekonomi, sosial, budaya, pemerintahan dan politik. Hukum internasional klasik di bawah
payung negara, dikembangkan sebagai alat supra struktural untuk memfasilitasi
serta membenarkan tindakan-tindakan beberapa negara dengan agen-agen mereka,
untuk memastikan kelas-kelas dan lembaga-lembaga perekonomian yang dominan,
serta menciptakan suasana kondusif untuk melakukan perbudakan, eksploitasi
berlebihan atas rakyat, tenaga kerja, sumber daya serta pelanggaran hak umum
atas hak-hak keikutsertaan dalam pemerintahan di negara Dunia Ketiga.
Kondisi yang memprihatinkan
mengenai hak asasi manusia di negara Dunia Ketiga, khususnya Afrika bukanlah
semata-mata merupakan refleksi dari faktor sosial yang diwarisi dalam negara
Dunia Ketiga, akan tetapi lebih merupakan produk dari relasi-relasi historis
yang menurut Gutto disebut sebagai "world
system"; terutama yang berkaitan dengan divisi internasional atas
tenaga kerja (Sadrack B.O. Gutto, 1993: 95).
Penetrasi Atas Hak Politik,
Sosial Ekonomi dan Budaya
Pengalaman yang dialami di
negara-negara Afrika tiga dekade terakhir, menyadarkan mereka pada sebuah
kenyataan, tuntutan perjuangan sebagai usaha persamaan di bidang ekonomi,
politik dan keadi Ian sosial, tampaknya
hanya merupakan impian belaka. Inilah sebuah realitas yang memperlihatkan
bahwa setiap perubahan yang muncul dan terjadi di bawah payung demokrasi, dalam
idea yang tidak memenuhi harapan mereka.
Secara empiris, muncul
sebuah debat terbuka sampai jauh menyentuh konsekuensi yang berkaitan dengan
isu-isu hak asasi manusia di Afrika, seraya mengikuti gelombang protes dan demonstrasi massa melawan pelanggaran hak
asasi manusia bergabung dengan tuntutan perubahan demokrasi dalam negara-negara
merdeka di Afrika. Hal ini terjadi di Algeria maupun di Nigeria dengan oposisi
eksplisit terhadap kebijakan program penyesuaian dan seruan atas perubahan dalam struktur sosio
ekonomi dan penghormatan hak asasi
manusia; atau di Zambia dalam tuntutan atas multi partai, demikian juga di
Kenya dalam tuntutan multi partai dan
penghormatan hak asasi manusia. Agaknya masih banyak lagi negara lainnya
di Afrika yang secara terbuka dan berani
mengatakan bahwa hak mereka untuk menikmati hak-hak politik, ekonomi, sosial
dan budaya, termasuk pembentukan
asosiasi politik yang berbeda dari mereka yang telah memonopoli kekuatan
dan menyebabkan negara berada dalam
kekacauan sosial dan ekonomi. Adanya gelombang
protes dan demonstrasi massa,
memunculkan sebuah tesis, bahwa di negara-negara tersebut terjadi penetrasi
atas hak-hak politik, ekonomi, sosial dan
budaya.
Respon Hukum Internasional
Hukum internasional kemudian
benar-benar merubah dirinya menjadi hukum internasional publik dan pribadi atas neo-kolonialisme dan imperialisme. Deklarasi internasional dalam
usaha membantu kepentingan-kepentingan negara-negara Dunia Ketiga dinyatakan
dalam seruan Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa "New International
Economi Order"tahun 1974, memiliki arti yang signifikan dalam konseptualisasi
dan pengakuan atas fakta, bahwa sebagian
besar dari masalah-masalah internasional adalah refleksi dari masih dominannya
relasi ekonomi internasional. Prioritas respon hukum internasional terhadap
seruan untuk membentuk tata baru perekonomian internasional adalah perlu
sebagai basis untuk.menunjukkan kelemahan dalam tata hukum
internasional.klasik. Asumsi dasarnya adalah bahwa sebuah tata ' baru
perekonomian internasional yang terstruktur akan memerlukan suprastruktur
sosial dan politik yang merupakan
prasyarat bagi realisasi dari totalitas hak-hak asasi manusia di negara-negara
Dunia Ketiga.
Intervensi Militer, Perang
Saudara dan Kebijakan Kekebalan Hukum
Intervensi militer langsung
di Afrika oleh kekuatan negara Eropa eks kolonial, seperti Inggris, Perancis,
Portugal, Belgia, Amerika Serikat, serta bekas Uni Soviet pada tingkat
tertentu, dan dukungan mereka dalam perang saudara, telah menyebabkan sebagian
besar pelanggaran hak asasi manusia secara besar-besaran dan mencolok di
negara-negara Afrika merdeka. Katalog kematian yang jumlahnya sangat banyak
yang diakibatkan oleh intervensi ini dapat dibuktikan dengan mudah. Perusakan
infrastruktur ekonomi dan sosial di negara-negara Afrika terus terjadi.
Perilaku prajurit di dalam intervensi ini merupakan sesuatu yang sangat
mencolok, seperti yang dikatakan dan di
ekspos oleh OAU (OAU CM/res. 697/1979,
32 rd Ordinary Session Nairobi). Lembaga-lembaga pribadi,
kelompok-kelompok agama, sektor bisnis serta individu saling bekerjasama selama
berlangsungnya pemerintahanpemerintahan negara yang melakukan intervensi
(Prexy, 1988, p.188-124; Nielson,
1990). Sumber-sumber inilah
yang mendukung kelompok-kelompok pemberontak pemusnah bangsa dengan melanjutkan
teror terhadap warga negara yang tidak bersalah.
Apartheid
Afrika
Selatan, sekutu tertutup kekuatan Barat, juga merupakan alat yang dimanfaatkan
untuk keinginan intervensi di Afrika bagian selatan. Apartheid bersama dengan para pendukungnya terus saja menikmati
kekebalan hukum absolut. Pendudukan Maroko yang berlanjut dengan pelanggaran
terhadap hak asasi manusia di Sahara Barat, merupakan kasus lain dalam
intervensi intra Afrika yang terus menerus menentang pendapat publik
internasional. Sebuah analisis terhadap data Amnesti Internasional menunjukkan,
bahwa penganiayaan dilakukan terhadap para tawanan oleh lebih dari empat belas
negara Afrika, sebelas negara Asia, empat negara di Eropa Barat, dua puluh
negara di Amerika, delapan negara di Timur Tengah, dan tiga negara di Eropa Timur (Lippman, 1993).
Kekebalan Hukum Atas
Pelanggaran terhadap Wanita, Anak-anak
Serta
Mayoritas Kaum Miskin »
Bentuk dan pola pelanggaran yang memerlukan perhatian di
negara-negara Afrika, adalah pelanggaran kaum marginal dan kelompok-kelompok kaum pinggiran dan pedesaan, seringkali wanita, anak-anak dan
kaum miskin. Pelanggaran negara atas perkampungan kumuh dengan sendirinya
menambah dan memperburuk permasalahan
(Ndolo, 1990, 16-18, Mancharia,
1992, 221-12G, Gutto, 1992). Kekerasan
terhadap wanita, merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang
terus bertahan dan bahkan berkembang dengan sewenang-wenang menggunakan
kekebalan hukum. Persoalannya adalah mengapa tidak ada tindakan tegas yang
diambil terhadap pelanggaran wanita dan
dalam realitasnya mereka menikmati kekebalan hukum tersebut. Pelecehan
seksual, pemerkosaan dan apa yang sering
disebut sebagai kekerasan rumah tangga dan
kekerasan terhadap anak-anak dalam praktik prostitusi yang melibatkan
anak-anak, serta banyak lagi bentuk kekerasan terhadap wanita. Sebuah contoh
ilustratif mengenai bagaimana pemerintah di Afrika dan Eropa memaafkan
pelanggaran terhadap wanita atas kasus dua pria warga Jerman yang bekerja di
Tanzania secara seksual diserang oleh seekor anjing. Kedua pria tersebut hanya
dikenai sanksi kekerasan biasa (Daily
Nation, Nairobi, 10 April 1991).
Apa yang terjadi di Afrika,
mulai dari era kolonial sampai pada pasca kolonial, memperlihatkan baik yang
dilakukan oleh negara-negara Afrika sendiri yang melakukan kolaborasi, maupun
melalui intervensi negaranegara Barat, menunjukkan bahwa hegemoni politik, hukum dan hak asasi
manusia memiliki kecenderungan yang sangat dominan. Hukum dijadikan alat
legitimasi untuk menghindar dari kejahatan-kejahatan yang mereka lakukan. Hukum
hanya instrumen untuk menghukum, ia adalah kekuasaan yang berkualitas rendah
(Tofler, 1990).
Penutup
Sejarah mengenai kekebalan
hukum di negara-negara Afrika merupakan proses sosial panjang. Pelanggaran
secara besar-besaran terhadap hak asasi dasar penduduk Afrika berlangsung selama
periode perbudakan oleh bangsa Eropa dan Amerika, oleh karena, dilindungi oleh
kekebalan hukum. Para pelaku kolonialis terus menerus melakukan penyiksaan,
kekejaman dan perlakuan tidak manusiawi terhadap rakyat Afrika. Mereka merampas
kekayaan, mengambil alih dan memiliki
sendiri tanah-tanah, mereka juga merusak kebudayaan Afrika. Kekebalan hukum dan
pelanggaran hak asasi manusia di negara-negara Afrika tentu segera dihentikan,
jika tidak, berarti sedang menanam benih kekacauan yang berkepanjangan.
HAM
Datam Perspektif Sistem Peraditan Pidana
Pengantar
Pembahasan HAM terbatas
dalam konteks sistem peradilan pidana (criminal
justice system) yang berada dalam kerangka jaringan sistem peradilan
yang mendayagunakan hukum pidana (hukum pidana materiil, hukum pidana formil
dan hukum pelaksanaan pidana) kiranya tidak akan memperoleh gambaran
menyeluruh dan sistemik, sehingga perlu dikaji secara utuh mencakup
administrasi peradilan pidana (administration
of criminal justice) yang memiliki daya jangkau lebih luas mulai dari
kebijakan peradilan pidana (criminal
justice policy), hak dan kewajiban serta etika penguasa dalam
memperlakukan pelaku tindak pidana, saksi, dan korban, pelbagai pembatasan
terhadap kekuasaan negara sebagai usaha menciptakan keseimbangan terhadap
efisiensi dalam pencegahan dan penanggulangan kejahatan dengan jaminan terhadap
hak-hak individual, tata cara mengajukan keberatan sampai dengan perlunya
kerjasama internasional, dalam penanggulangan kejahatan yang kualitas dan
kuantitasnya semakin meningkat, bahkan cenderung bersifat trailsnasional.
berbagai norma, asas dan
standar tersebut tumbuh secara bertahap sejak tahun 1948, mulai dari
pembangunan nilai-nilai melalui proses intelektual dan sosial (enunctiative stage), tahap deklarasi
(declaration stage) nilai-nilai
kemanusiaan, kepentingan dan hak yang tidak, mempunyai kekuatan mengikat (non -legally binding), tahap preskriptif
(prescriptive stage) dalam
bentuk pelembagaan asas-asas, norma dan standar yang lebih mengikat dalam
kerangka kesepakatan-kesepakatan internasional (international agreement), selanjutnya tahap penegakan hukum (enforcement stage) melalui pelbagai
konvensi internasional, mekanisme prosedural atau kombinasi antara keduanya dan
tahap kriminalisasi (criminalization stage)
berupa perumusan tindak pidana secara internasional sebagai sarana mengadili
pelanggaran-pelanggaran HAM dengan gravitas tertentu.
Diskursus tentang HAM dalam
kaitannya dengan sistem peradilan pidana dan administrasi peradilan pidana,
tidak akan lepas dari pembicaraan tentang hubungan antara HAM, supremasi hukum
dan demokrasi. Baik kualitas proteksi dan promosi tentang HAM maupun supremasi
hukum di suatu negara, merupakan dua dari sekian banyak "indices of democracy" yang merupakan indikator ada.atau
tidak adanya demokrasi di suatu negara.
"... the enjoyment of all human rights by all persons is the ultimate
civilizational horizons of democracy.
The achievement of high level
of human rights protection and promotion is a measure for the success of a democracy. The rule of law in a democratic society is a prerequisite and main vehicle
for the protection of human
rights" (Petrova, 2002).
a.
HAM yang bersifat individual dan politik (civil and political rights) yang
menekankan betapa pentingnya keprihatinan terhadap pelanggaran
HAM
individual berupa pengingkaran terhadap "fundemental
or basic
rights to life, liberty, personal security and physical
integrity", menjadi
fokus
per~hatian PBB semenjak dirumuskannya Piagam PBB (UN Charter) setelah usainya
PD II. Dengan demikian hak-hak sipil dan politik sering dinamakan "first generation of human rights".
Tanpa adanya proteksi dan promosi HAM ini kiranya sulit sekali untuk mencapai
standar perlindungan yang memadai terhadap HAM sosial, ekonomi dan kultural.
Bahkan dapat dikatakan bahwa tanpa adanya perlindungan terhadap hak-hak sipil
dan politik secara memadai, maka praktek demokrasi, kualitas kehidupan bahkan
perdamaian dan keamanan manusia akan terganggu (Bassiouni, 1994);
b. berbagai asas, norma dan standar yang relevan dengan
administrasi peradilan pidana, dikembangkan oleh PBB dengan bantuan NGO's dan
negara-negara anggota. Pelbagai NGO's seperti "International Commission of /urists,.Amnesty International,
International Association of
Penal Law, Defense of Children International, Anti-Slavery Society"
sangat
berjasa dalam pengembangan pelbagai instrumen yang terkait;
c. "Globalization as
the rapid intensification of social, economic and political transaction
that cross national frontiers, affects,
and will continue to affect, all aspects of our lives, including
law reform of criminal justice both at an international and domestic level
.... It's a world
order where national governments balance sovereignty and independence
against the need for universal values
and international institutions.
It's a world where the UN and ist organs gain credibility and influence. It's a world
where human rights are recoqnized globally, where the human rights standards
and institutions of the UN are part and parcel of the domestic discourse
on law reform" (Asmal,
2000).
Konsistensi Terhadap Kebijakan Peradilan Pidana
a. Secara universal diakui bahwa terdapat hubungan antara
kejahatan dan kebutuhan untuk meningkatkan pelbagai kondisi sosial dan untuk
mendorong pengembangan kebijakan sosial (social
policy) yang akan menunjang pencegahan kejahatan (Caracas Declaration, 1980);
b. Hubungan antara pencegahan kejahatan, pembangunan dari
suatu tata ekonomi internasional (new international
economic order) membutuhkan
suatu pendekatan yang sistematik terhadap pencegahan kejahatan dan peradilan
pidana serta suatu pemahaman yang terpadu bahwa sistem peradilan pidana
merupakan bagian dari kebijakan sosial (the
criminal justice system as part
of social policy) Seventh UN Congress on the Prevention of Crime and The Treatment of Offenders, 1985);
c. Sistem peradilan pidana harus peka dan tanggap
terhadap pembangunan dan HAM, termasuk peran mass media dan pendidikan; (The Guiding Principles for Crime Prevention
and Criminal Justice in the Context of Development and a NIEO, 1985);
d. Asas kekuasaan kehakiman yang merdeka (The Principles of the Independence of Judiciary) yang
menekankan betapa pentingnya kualifikasi, seleksi dan pelatihan orang-orang
yang akan duduk di lembaga pengadilan; kondisi pelayanan dan masa jabatan;
kewajiban terhadap kerahasiaan professional; imunitas terhadap gugatan perdata
dan kerugian finansial atas perbuatan dan tidak berbuat (acts and omissions) yang dilakukan dalam
fungsi judisial; dan asas-asas bahwa mereka hanya bisa diskors dan
diberhentikan atas dasar alasan-alasan ketidakmampuan atau perilaku yang
membuat mereka tidak layak untuk menunaikan tugas-tugasnya (UN Basic Principles on the Independencecof
/udiciary, 1985);
e. Pemahaman mendalam terhadap adanya "derogable rights and nonderogable
rights ". Dalam hal yang pertama "a public emergency which threatens the life of the nation "dapat
dijadikan dasar untuk membatasi pelaksanaan hak-hak dan kebebasan dasar, dengan
syarat bahwa kondisi "public emergency"
tersebut harus diumumkan secara resmi (be officially proclaimed), bersifat terbatas dan tidak boleh
bersifat diskriminatif (Article 4 (1) ICCPR); Dalam hal yang kedua (non derogable rights), HAM yang tidak
dapat dibatasi dalam kondisi apapun mencakup: "right to life; prohibition of torture; prohibition of slavery; prohibition of
imprisonment solely for inability to fulfil a contractual obligation; prohibition of ex post facto legislation; right to recognition as a person before the law and freedom of religion). (ICCPR Articles 6, 7, 8, 11, 15, 16 dan 18);
Catatan: Dengan memahaminya sebagai bagian dari "customary international law" dan atas dasar asas
keadilan, maka ketentuan pidana yang berkaitan dengan pelanggaran HAM berat
(gross violation of human rights) dapat
berlaku retro-active;
f. Dalam
kerangka butir (e) di atas perlu dikemukakan adanya "Declaration of Minimum Humanitarian Standards" yang
dirumuskan oleh para ahli di University of Abu/Turku tahun 1990, yang menegaskan adanya standard
kemanusiaan minimum yang dapat diterapkan termasuk "internal violence, disturbances, tensions, and public emergency"dan
yang tidak dapat diderogasi atas dasar alasan apapun. Standard ini harus
dihormati terlepas apakah keadaan darurat (emergency) suatu negara telah diumumkan atau belum;
g. Perlunya
kerjasama internasional (international
cooperation) dalam rangka penanggulangan kejahatan, yang semakin
berkembang dan mencakup dimensi yang luas; Kerjasama tersebut bisa dalam bentuk
ekstradisi, saling membantu dalam perkara pidana (mutual legal assistance in criminal matters), transfer o criminal proceedings, establishment
of criminal record, transfer of sentenced person, pencegahan
kejahatan internasional terorganisasi (Palermo
Convention, 2000), penanggulangan korupsi (UN Convention Against Corruption, Vienna, 2003), penanggulangan terorisme (UN Security Council Resolution 1373) dan sebagainya.
Asas-asas Legalitas Sebagai Asas Fundamental
a. Asas ini diatur
dan ditegaskan baik di dalam Universal
Declaration of Human Rights 1948 maupun di dalam International Covenant on Civil and Political Rights, masing-masing
pada Article 6 dan 16 yang menyebutkah: "Everyone has the right to recognition everywhere as a person before the law". Selanjutnya
terkait di sini "the
non-retroactivity of criminal legislation" berupa larangan
pemberlakuan surut perundang-imdangan pidana (nullum crimen sine lege, nulla
poena sine lege); (Article 11 UDHR
1948 dan Article 15 ICCPR);
Sebagai catatan dapat dikemukakan kembali bahwa dalam hal pelanggarann HAM
berat (gross violation of human
rights) dimungkinkan secara ad
hoc (locus dan tempos delicti tertentu) memberlakukan surut
perundangundangan pidana atas dasar hukum kebiasaan interriasional dan
keadilan;
b. Refleksi Asas Lega(itas dalam bentuk lain tersurat dan
tersirat pada asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence) dan larangan penderitaan ganda (prohibition of double jeopardylne bis in idem).
Persoalan Etika Terkait
a. Penegakan
hukum pidana selalu bersentuhan dengan moral dan etika. Hal ini paling tidak
didasarkan atas 4 (empat) alasan: (1) sistem peradilan pidana secara khas
melibatkan penggunaan paksaan atau kadang-kadang bahkan kekerasan (coercion)
dengan kemungkinan terjadinya kesempatan untuk menyalahgunakan kekuasaan (abuse
of power); (2) Hampir semua
professional dalam penegakan hukum pidana merupakan pegawai pemerintah (public
servant) yang memiliki kewajiban khusus terhadap publik yang dilayani; (3) Bagi
setiap orang, etika dapat digunakan sebagai alat guna membantu memecahkan
dilema etis yang dihadapi seseorang dalam kehidupan profesionalnya (enlightened
moral judgment); dan (4) Dalam
kehidupan profesi sering dikatakan bahwa "a set of ethical requirements are as part of its meaning" (Muladi, 2003);
b. Pertama-tama
dapat disebutkan di sini pedoman perilaku dari para penegak hukum (Code of Conduct for Law Enforcement Officials,
1979) yang didisain khusus untuk tujuan sebagai bahan pendidikan
dan acuan bagi yang bersangkutan, agar
tidak terjadi salah penggunaan kekuatan atau kekuasaan (abuse of force and
power). Terkait pula di sini suatu instrumen HAM yang berisi asas-asas
dasar penggunaan kekuatan dan senjata api bagi penegak hukum (Basic Principles on the Use of Force and Firearms by Law
Enforcement Officials, 1990) untuk
mencegah tindakan-tindakan excessive termasuk pemberian pelatihan dan peralatan
yang tepat serta apabila perlu menjatuhkan sanksi bagi yang bersalah;
c. Selanjutnya
dapat disebutkan pula garis pedoman bagi tugas )aksa (Guidelines on the Role
of Prosecutors, 1990) dan
penasehat hukum (Basic Principles on the
Role of Lawyers, 1990). Yang
pertama mencakup pula pentingnya pendidikan dan pelatihan, khususnya dalam
masalah-masalah etika dalam menjalankan tugas; Pemisahan yang tegas antara
instansi kejaksaan dari fungsi judicial; Selanjutnya jaksa jangan sampai
melakukan penuntutan bilamana investigasi yangtidak memihak menunjukkan bahwa
penuntutan tidak berdasar (unfounded); Yang kedua memuat kewajiban para "lawyers" untuk menjaga
kehormatan dan martabat profesinya sebagai pejabat administrasi peradilan.
"Codes of Professionals
Conduct for Lawyers" juga
dirumuskan dan pelanggarannya dapat diadili sesuai dengan prosedur yang tepat;
d. Yang menarik adalah keberadaan Principles of Medical Ethics Relevant
to the Role of Health Personnel,
Particularly Physisians, in the
Protection of Prisoners and Detainnes Against Torture and Other Cruel, Inhuman or
Degrading Treatment or Punishment (1982).
Sekalipun ada yang berpendapat bahwa instrumen ini berlebihan (superfluous) mengingat dokter sudah
terikat pada Sumpah Hipokrates, namun dalam PD II misalnya kenyataan
membuktikan bahwa banyak dokter terlibat menggunakan pengetahuan dan
keterampilannya untuk membantu interogasi tahanan dan narapidana, bahkan tidak
jarang turut serta dalam penyiksaan yang jelas melanggar etika kedokteran.
Hak-hak Dasar yang Harus Dihormati Pencegahan
Diskriminasi
a. Equalitas dan non-diskriminasi perlakuan baik di dalam
maupun dihadapan hukum merupakan hak yang sudah diperjuangkan ratusan tahun
yang lalu. Namun harus disadari bahwa pembedaan yang dilandasi alasan-alasan
dan kriteria objektif tidak berarti bertentangan (incompatible) dengan standard HAM. Dimulai dengan pemantapan
melalui Piagam HAM PBB 1948 yang dirancang oleh UN Commission on Human Rights,
komitmen untuk mencapai standar nondiskriminasi melalui standardan
pedoman pelaksanaan telah dilakukan; (Article
1, 2, 7, 8 dan 10 UDHR);
b. Selanjutnya dapat dikaji Article 7 dari UN Declaration
on the Elimination of All
Forms of Racial Discrimination (1963); Article 5 dari International
Convention on the Elimination
of All Forms of Racial Discrimination
(1965); Article 3 dan 26 dari ICCPR; Article 15 dari Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Woman
(1979); Article 1, 3, 9, 10, 12
dari International Labour Conference
Convention (No. 169) Concerning Indegenous
and Tribal Peoples in Independent Countries (1989); Article 1-9 Declaration on the Rights
of Persons Belonging to
National or Ethnic, Religious or
Linguistic Minorities (1992).
Perlindungan
Terhadap °State%ss and Refugees"
a. Hams diakui bahwa sampai saat ini nilai-nilai yang
terkandung dalam Article 14 dan
15 Piagam HAM PBB, 1948 masih jauh dari yang diharapkan. Perancang ICCPR (1966)
yang mendiskusikan persoalan pengungsi (fall suaka (asylum) tidak pernah mencapai konsensus. Baru pada tahun 1985
muncul The Declaration on the Human Rights of
Individuals Who are not Nationals of the Country in which They
Live
yang
diadopsi MU PBB pada tahun 1985, di mana hak-hak orang asing dalam administrasi
peradilan menjadi lebih memadai terlindungi secara juridis;
b. Di samping Article 14 dan 15 UDHR 1948, perlindungan "aliens"
dapat dilihat pada Article 13
1CCPR (1966); Article 16 (Access
to Courts) dari Convention Relating tq the Status of Refugees (1951); dan Article 16 (Access
to courts) dari Convention Relating
to the Status of Stateless
Persons (1954).
Hak untuk Hidup dan Bebas dari Penyiksaan
atau Tindakan atau
Pemidanaan yang Kejam, Tidak Manusiawi
atau Merendahkan yang Lain .
a. Hak untuk hidup (right
to live) merupakan hak
yang paling utama dan hak lain berada di bawah hak tersebut. Hak ini diatur
khusus dalam UDHR 1948 dan
ICCPR 1966. Perampasan terhadap
hak untuk hidup merupakan pengingkaran utama dari martabat kemanusiaan. Dengan,
demikian jelas mengapa Article 6, para
anggota ICCPR mengatur agar supaya negara-negara yang belum menghapuskan pidana
mati "...may be imposed only for the
most serious crimes in
accordance with the law in force at the time of the commission of the crime and not contrary to
the provisions of the present Covenant and to the Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide". Selanjutnya
terdapat kecenderungan umum dari negara-negara untuk menghapuskan pidana mati
dan hal ini nampak dari "Second Optional Protocol to the ICCPR"yang mulai berlaku tahun 1991. Sayangnya perkembangannya
sangat lambat;
b. Penyiksaan (torture)
merupakan malapetaka dari kehidupan manusia dan bertentangan dengan keberadaban manusia.
Sekalipun larangan penyiksaan sudah merupakan jus cogens dan dilarang dalam
pelbagai instrumen internasional dan hukum nasional, namun dalam praktek masih
banyak terjadi. Pembunuhan yang sewenang-wenang (summary execution) dan penghilangan paksa (enforced or involuntary disapearances)
merupakan dua hal yang menjadi perhatian Komisi HAM PBB;
c. Hal di atas diatur dalam Article 3 dan 5 UDHR
1948; Article 6, 7 dan 10 ICCPR
1966; Article 1-11 Declaration
on the Protection of All Persons
from Being Subjected to Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment, 1975; Article 1-20 Convention against
Torture and Other Cruel Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (1984); Safeguards
Guaranteeing Protection of the Rights of Those Facing the Death Penalty (1984); Principles on the
Effective Prevention and Investigation
of Extra-legal, Arbitrary and Summary Executions (1987) Article 1 Second
Optional Protocol to the ICCPR,
Aiming at the Abolition of the Death Penalty (1989); Question of the Violation of Human Rights and Fundamental Freedoms in Any Part of the
World, With Particular Reference to
Colonial and Other Depen
dent Countries and Territories; The Death Penalty.
List of Abolistionist and Retentionist Countries (June 1993). Paper submitted
by Amnesty International to the Sub-Commission on Prevention of Discrimination
and Protection of Minorities; Declaration on the Protection of All Persons from
Enforced Disappearance (1992); and Report of the Commission on Human Rights'
Working-Group on the Question of the Human Rights of All Persons
Subjected to Any Form of Detention or Imprisonment (1992).
Hak
Atas Kebebasan dan Hak-hak Terpidana
a. Penangkapan dan penahanan
secara arbitrair merupakan pelanggaran berat terhadap martabat kemanusiaan, yang sampai saat ini
telah menelan korban ratusan bahkan ribuan manusia di dunia. Dalam hal ini
fokus perhatian PBB tidak hanya
terhadap mereka yang sejatinya merupakan opposant politik, tetapi juga yang merupakan orang-orang lain yang menjadi
korban penangkapan sewenang-wenang, termasuk perlakuan yang tidak manusiawi di penjara;
b. Banyak organ-organ PBB terlibat dalam perjuangan untuk melindungi martabat kemanusiaan seperti
UN Crime Prevention and Justice Branch melalui mekanisme Kongres PBB 5
tahunan dalam rangka Pencegahan Kejahatan dan Pembinaan Para Pelaku;
c. Instrumen-instrumen yang penting dalam hal ini antara
lain adalah Standard Minimum Rules for
the Treatment of Prisoners (1957); Body of Principles for the Protection of All
Persons under Any Form of Detention or Imprisonment (1988); Basic Principles
for the Treatment of Prisoners (1990); Standard Minimum Rules for Non-Custodial
Measures (The Tokyo Rules), dan the UN
Resolution on Infection with Human Immunodeficiency Virus (HIV) and Acquired
Immunodeficiency Syndrome (AIDS) in Prison (1990);
Pengaturan
Tentang "Juvenile Justice"
a. Sekalipun UDHR
1948 dan ICCPR 1966 sudah mengatur secara baik tentang hal ini, namun mengingat perhatian masyarakat dunia semakin besar, dipandang
perlu untuk melakukan elaborasi pengaturan, seperti keberadaan Convention on Rights of the Child
(1989). Di samping itu keberadaan instrumen yang bersifat "soft law" cukup memadai seperti: UN Standard
Minimum Rules for the Administration of Jevenile Justice (The Beijing Rules) 1985;
selanjutnya Guidelines for the Prevention
of juvenile Delinquency (The Riyadh Guidelines), 1990 dan UN Rules for Protection of Juveniles
Deprived of Their Liberty, 1990;
b. Hal-hal
yang menarik dalam pelbagai instrumen
tersebut antara lain adalah pengaturan tentang batas minimum umum
pertanggungjawaban pidana,
ketentuan-ketentuan khusus dalam melakukan penyidikan dan penuntutan, keharusan spesialisasi di
kepolisian, penahanan, sistem pidana
dan tindakan, profesionalisme dan pelatihan para penegak hukum,
pembinaan di luar lembaga dan
sebagainya.
Perlakuan
Terhadap Korban
a. Kritik selalu
dilontarkan sehubungan dengan terlalu banyaknya instrumen HAM yang memfokuskan
pada perlindungan pelaku tindak pidana, sedangkan perhatian terhadap korban
yang seharusnya dilakukan atas dasar belas kasihan dan hormat atas martabat
korban (compassion and respect for
their dignity) eolah-olah dilupakan, atau paling tidak kurang
diperhatikan;
b.
Pada tahun 1985 melalui Declaration of
Basic Principles of Justice or
Victims of crime and Abuse of
Power, perhatian
PBB mulai meningkat khususnya yang berkaitan dengan akses untuk memperoleh
keadilan, hak untuk memperoleh kompensasi, restitusi dan bantuan-bantuan lain
yang harus diatur dalam UU nasional. Bahkan kompensasi tersebut juga berlaku
bagi keluarganya, khususnya yang hidupnya tergantung pada korban yang mati atau
cacat; termasuk di sini Koban Penyalahgunaan Kekuasaan (Victims of Abuse of Power);
c. Korban (victims)
adalah orang-orang yang baik secara individual maupun kolektif telah
menderita kerugian, termasuk kerugian fisik atau mental, emosional, ekonomi
atau gangguan substansial terhadap hak-haknya yang fundamental, melalui
perbuatan atau omisi yang melanggar hukum pidana di masing-masing negara,
termasuk penyalahgunaan kekuasaan;
d. Dokumen internasional terkait yang lain adalah
"UN Resolution on Protection of the
Human Rights of Victims of Crime and Abuse
of Power" ; 1990;
e. Pemahaman terhadap korban kejahatan secara lengkap
harus dilandasi ol'eh pemahaman perkembangan ilmu tentang korban kejahatan (Victimology) yang perkembangannya
melalui beberapa pentahapan sebagai berikut: (1) Perkembangan viktimologi
sebagai "Penal Victimology"
atau "Interactionist Victimology"
yang dipelopori oleh Von Hentig (1941)
dan Mendelsohn (1947) yang
keduanya melihat korban kejahatan sebagai peserta dalam kejahatan (victim as one of the participants
in a crimelvictim as co-precipitator
of the crime). Dengan demikian peranan korban sebagai salah satu faktor
timbulnya kejahatan harus dipertimbangkan sebagai alasan peringanan pemidanaan
(mitigating circumstances), di
samping keharusan untuk memberikan kompensasi pada korban; (2) Perkembangan
viktimology sebagai "General Victimology"
atau "assisted-oriented
victimology" yang dipelopori oleh Mendelsohn setelah PD II (1956) yang mengembangkan pemikiran
bahwa "victimity" dapat
dikurangi dengan pengembangan bantuan terhadap korban (victim's clinic) atas dasar teori personal, sosial dan
rehabilitasi. Dalam hal ini ruang lingkup korban tidak hanya terbatas pada
korban kejahatan dan penyalahgunaan kekuasaan, tetapi mencakup pula korban
lebih luas seperti korban kecelakaan, bencana alam dan sebagainya (others acts of God).
f. Khusus tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban
dan Saksi Dalam Pelanggaran HAM Yang Berat, hal ini diatur dalam PP No. 2 Tahun 2002, sebagai implementasi dari UU No. 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan HAM. Secara internasional perlindungan korban dan saksi mencakup "confidentiality, anonymity, safe
conduct and video link" (May, 1999).
Mekanisme Perlindungan HAM a.
Secara internasional
a. Mekanisme monitoring dan penegakan pelbagai instrumen HAM dilakukan
oleh (1) "International
Monitoring Bodies" seperti komite khusus yang dibentuk atas dasar
konvensi tertentu (treaty bodies) yang
terdiri atas ekspert independen yang dipilih 4 tahun sekali. Sebagai contoh Committee Against Torture dan Committee on the Elimination of Discrimination Against Woman;
(2) "International Political
Bodies" berbeda dengan yang pertama, lembaga ini dibentuk oleh
anggota PBB yaitu UN Commission on
Human Rights, yang rapat satu tahun sekali. Lembaga ini memiliki sistem
pelaporan yang memungkinkan individu atau organisasi tentang situasi
pelanggaran HAM berat di negara tertentu. Lembaga ini dapat menunjuk
penyelidik/penyidik yang disebut "Special Rapporteurs", misalnya yang berkaitan dengan penyiksaan,
rasisme, kekerasan terhadap wanita, eksploitasi anak, kebebasan beragama dan
sebagainya; (3) Badan internasional antar pemerintah yang lain (Other intergovernmental international bodies) seperi
Mahkamah Pidana Internasional (ICC, ICTY, ICTR); Tidak jarang dalam bentuk "Hybrid Model".
b.
Secara nasional
Mekanisme monitoring dapat dilakukan melalui (1) sistem
hukum yang berlaku yaitu melafui pengadilan; (2) DPRIParliament; (3) NGO's/ LSM; (4) National Human Rights Institutions seperti KOMNAS HAM, dan
(5) melalui mass media; -
c.
Bentuk monitoring dilakukan oleh negara per negara dengan mem
berlakukan
"universal jurisdiction"untuk
kejahatan internasional tertentu atau memperluas berlakunya asas nasionalitas (nationality principle).
Penutup
a. Pemahaman HAM dalam perspektif sistem peradilan pidana
dan administrasi peradilan pidana harus ditempatkan dalam kerangka supremasi
hukum, yang keduanya merupakan bagian integral dari index (indices) dari demokrasi;
b. HAM dalam administrasi peradilan pidana hanya dapat
dimonitor dan ditegakkan apabila terdapat kesadaran dan kerjasama sistemik
antara pemerintah (penegak hukum khususnya), lembaga-lembaga,
organisasi-organbisasi mass-media dan individual serta masyarakat
internasional;
c. Evolusi asas-asas, standar dan norma yang terdapat
dalam instrumen perlindungan HAM internasional yang bersifat deklaratif dan
preskriptif (soft law) tidak akan banyak berarti apabila tidak diikuti dengan
tahap
tahap
"enforcement and criminalization
" (hard-law).
Menuju
Kejahatan Sempurna (Makna Simbolik
Kekerasan Dalam Proses Peradilan Pidana)
Pendahuluan;
Dari Mana Kita Mulai?
Tahapan pemeriksaan pidana
merupakan interaksi melalui penggunaan simbolsimbol tertentu, mulai dari
Kepolisian, Kejaksaan (tingkat penyelidikan dan
penyidikan) sampai kepada pemeriksaan di Pengadilan. Interaksi ini
berlangsung secara simultan (terus-menerus). Setiap tindakan, upaya yang
dilakukan merupakan proses bentukan dan
penafsiran terhadap simbol-simbol tertentu yang dihadirkan pada proses
tatap muka. Inilah hakekat sebenarnya bahwa interaksi merupakan bagian penting
manusia, melibatkan aktivitas serta kesadaran dalam membangun dunianya, sebagai
episode dalam sejarah (manusia) yang sudah ada sebelumnya dan akan terus berlanjut sesudahnya. Berger
dan Luckmann menyebut proses tatap muka
merupakan kasus prototipikal dan interaksi sosial, memiliki kedudukan
penting, sedangkan semua kasus lain merupakan penjabaran dari dirinya (Berger
dan Luckmann, 1999: 41).
Melalui interaksi tatap muka,
pertukaran makna yang beraneka ragam dan halus berlangsung terus. Hubungan
(timbal balik) membentuk sikap saling koreksi terhadap makna hasil interaksi.
Interaksi tatap muka menghasilkan sikap tertentu (dalam hal-hal khusus) yang
harus diputuskan, hasilnya bisa setuju, menolak atau sikap lainnya. Namun sikap
demikian tidak harus (selalu) diwujudkan melalui bahasa lisan atau tulisan
tetapi bisa melalui isyarat tertentu atau perilaku lainnya (ungkapan emosi)
dan lain-lain.
Aparatur hukum menciptakan
makna tertentu dalam proses pemeriksaan perkara (pidana), sebuah makna
kekejaman luar biasa. Proses pemeriksaan menjadi sebuah teater horor yang
menurut Julia Kristeva, dapat menjadi bagian dan (sebuah) ritual, menjadi bagian kebudayaan
-"budaya kekerasan" (Julia Kristeva, 1982: 152-153). Bahkan, lebih jauh, kekerasan menjadi bagian
sebuah kepahlawanan, sebuah kebanggaan dan
kesenangan (jouissance). buissance, menurut Roland Barthes, "tidak
menggantungkan dirinya pada
logika, pemahaman atau perasaan, ia adalah sebuah arus deras (drift) sesuatu yang bersifat revolusioner
sekaligus bersifat asosial, yang tidak dapat digantikan oleh kolektivitas, mentalitas atau idiologi manapun" bukan
disebabkan ia bersifat amoral, melainkan disebabkan ia keluar dari jalur (moralitas)
yang biasa (Roland Barflies, 1976: 23). Jouissance
ditandai oleh sebuah kebahagian yang sempurna, bersifat asosial ditandai
oleh lenyapnya sosialitas secara tiba-tiba ... sebagai sesuatu lenyap secara
total (Ibid, hlm. 53).
Tulisan ini menyajikan sisi
lain dalam proses pemeriksaan perkara pidana, sebagian akan melihat penggunaan
bahasa yang sedikit hiperbol dan dramatis, namun itulah tujuan utamanya yaitu
mencoba menghadirkan sesuatu yang lain, dengan gaya bahasa yang lain pula. Pada
hakekatnya bahasa yang demikian itu dimaksudkan untuk melihat lebih kritis
realitas yang ada dalam proses pemeriksaan perkara. Bahwa selama ini proses
pemeriksaan telah menimbulkan konsekuensi yang (uar biasa besar terhadap
pembentukan makna yang kita sebut dengan'Hak Asasi Manusia' khususnya hak
tersangka. Meski harus diakui dalam tulisan ini batasannya menjadi tidak jelas,
tetapi apapun namanya, apabila itu berkaitan dengan kepentingan humanisme, maka
perbedaan definisi tidak menjadi penting, bagaimana kita menyikapi akan lebih
terasa bermanfaat. )angan berharap menemukan solusi di dalam tulisan ini,
karena tidak dimaksudkan untuk itu tulisan ini dibuat, meski hanya bersifat
desk riptif-eksplanatif tapi memaparkan sedemikian rupa realitas yang ada,
semoga bermanfaat.
Sebuah
Birokrasi Kekerasan
Lozoff dan Braswell mengungkap perhatian dan komunitas
peradilan pidana, dengan kalimat yang tidak disajikan secara lengkap namun
tidak mengurangi esensinya, mereka menyatakan, "Sistem peradilan pidana di negara kita, ditegakkan dengan kekerasan. lni satu sistern yang mengasumsikan bahwa kekerasan
berasal dari kekerasan,
kejahatan oleh kejahatan... dst." (Sam S. Souryal, 1999: 293).
Sebagaimana birokrasi pada
umumnya peradilan memiliki patologis, khususnya dalam cara kerjanya, peradilan
cenderung tidak netral dan sel.ilu
menghalalkan segala cara. Pemeriksaan menunjuk kepada pelayanan status,
biasanya memihak status lebih tinggi atau lebih berbobot materinya,
dibandingkan status lebih rendah dan kering bobot materinya. Inilah perilaku
diskriminatif dan akhirnya melahirkan perlakuan berbeda terhadap segmen
masyarakat tertentu. Marc Galanter, "Pihak-pihak yang memiliki kemampuan lebih
akan mendominasi praktek hukum,
yang berarti mereka mendapatkan pelayanan keadilan yang lebih baik. Aparatur hukum (polisi dll) harus bekerja dalam suasana sosial dan hukum seperti ini
tentunya juga akan menjadi hadan penegak hukum yang condong melindungi
kepentingan atau kedudukan golongan tertentu,
sekalipun secara umum segala sesuatunya dapat dikatakan sah (legal)"
(Satjipto Rahardjo, 1999: 22). Pada proses itu maka kepentingan, kelas dan sumber otoritas menjadi satu. Seperti
dikatakan Daniel S. Lev,
"Suatu sistem hukum terdiri atas proses formal, yang oerupakan lembaga formal, bersama-sama dengan
proses informal" (Daniel S_ Lev. dalam
A.A.G. Peters, 1988: 192).
Sikap diskriminatif tidak
nampak di permukaan yaitu dalam tataran norma
(undang-undang), namun terlihat lebih jelas dalam konteks (relasi dan interaksi) tahapan pemeriksaan,
khususnya dalam pelayanan terhadap masyarakat. Kepolisiaw dan Kejaksaan dapat
menggunakan kekuasaan baik berupa ancaman
dalam berbagai bentuk (psikis maupun fisik) terhadap tersangka atau mereka yang
diperiksa di tingkat penyidikan. Di mulai dari pemanggilan, pencantuman sebagai
terdakwa, waktu pemeriksaan yang molor dan
berlarut-larut, sampai kepada kewenangan untuk melakukan 'penahanan ",
bahkan "rekayasa perkara". Inilah sebuah wajah kekejaman birokrasi,
sebuah teater horor yang ada di belakang layar proses pemeriksaan, teater yang
sengaja diciptakan untuk membuat setiap orang takut, karena dengan takut setiap orang dengan mudah
dikontrol dan dilumpuhkan. Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan dengan mengambil istilah Richard
Quinney tengah membangun rangkaian (proses) konstruksi 'kejahatan' dalam proses peradilan (Richard Quinney,
1975: 37-41).
Interaksi (tatap muka) dalam
pemeriksaan perkara pidana dipenuhi banyak kepentingan dan dominasi kelas
(kekuasaan dan kekuatan) karena aturan digunakan oleh masyarakat yang
berbeda-beda tingkat kesejahteraan dan kedudukan sosialnya. Aturan hukum
menjadi tidak jelas dan sulit diinterpretasikan. Pada posisi demikian pihak
lemah cenderwig tidak berdaya. Birokrasi peradilan adalah simbol dari kekuatan
dan hegemoni kekuasaan.
Kekerasan
dan Kekejaman Simbolik
Kekerasan sering muncul
dalam proses pemeriksaan, bahkan intensitasnya bisa jadi sangat tinggi.
Terbatasnya pilihan penyelesaian yang disediakan serta sifat formalistik
dan otoriter aparatur (menguasai dan
mendominasi) terhadap golongan kecil, sikap memilih-milih (diskriminatifl
merupakan persoalan utama. Kekerasan menjadi ritual dan mengkristal dalam
setiap pemeriksaan (dituduh, didakwa dan dituntut serta diputus). Kekerasan
berlangsung mulai dari yang sangat spesifik, halus, tidak terasa sampai kepada
bentuk kekerasan fisik yang bisa menimbulkan cacat permanen. Perilaku yang
tidak dibenarkan menurut aturan, tetapi selalu ada dalam proses pemeriksaan.
Bahkan tidak jarang terjadi pelecehan seksual atau perilaku tidak bermoral
lainnya.
Berkaitan dengan hal di
atas, terutama kaitannya dengan pelecehan seksual, Sapp menjelaskan, petugas
(polisi) mempunyai kesempatan yang besar
untuk melakukan pelecehan seksual dan
kontak seksual dengan pelaku kejahatan (Allen D. Sapp, dalam Thomas
Barker dan David L. Carter, op.
cit., hlm. 281). Seperti yang
diungkapkan oleh seorang detektif Kepolisian, "Tentu, aku sesekali
mendapatkan (seks) wanita yang aku tahan. Sering kami mendapat tanda bahwa jika
kami dilayani, kami dapat melupakan perbuatan mereka. Salah satu pasar busana
di sini tidak suka mengajukan tuntutan, tetapi mereka selalu menelepon kami
saat mereka menangkap pengutil. Biasanya kami hanya bicara pada mereka dan
memperingatkan mereka dan melepaskan mereka. /ika dia wanita yang terlihat baik
kadang aku menawarkan mengantarnya pulang dan melaksanakan keinginanku.
Beberapa wanita kelas tinggi yang sombong menyamUut cepat jika mereka berfikir
kawan-kawan dan ayah mereka tidak perlu tahu tentang pengutilan mereka. Aku
tidak pernah bermain-main dengan anak-anak itu, tetapi aku tahu beberapa rekan
yang bercinta dengan beberapa pelajar putri yang mereka tangkap di sebuah pasar
busana"Qbid).
Selain
permintaan
seksual kepada pelaku kejahatan, petugas juga mungkin melecehkan pelaku wanita
dengan melakukan penggeledahan tubuh, penggeledahan
dan penepukan. Meskipun peraturan
dan tata tertib Kepolisian
mensyaratkan tersangka wanita digeledah oleh petugas wanita atau sipir wanita,
petugas di lapangan sering merasa
dibenarkan melakukan penepukan untuk mencari senjata.
Fenomena kekerasan memiliki
hubungan erat dengan kedudukan atau kekuasaan serta aturan yang memberikan
kewenangan tertentu. Misalnya seorang polisi menembak seseorang yang dianggap
melawan, penyidik melakukan interogasi dengan kekerasan, ancaman bahkan bujuk
rayu kekerasan (kekerasan melalui simbol-simbol tertentu). Semakin tinggi
kekuasaan atau kedudukan semakin besar kewenangan yang dimiliki, dapat
dipastikan korban-korban yang timbul semakin meluas. Berbagai bentuk kekerasan,
dilakukan pemegang kekuasaan (dalam peradilan pidana) yang lingkup persoalannya
cukup luas dan menjadi perhatian para
ahli hukum, misalnya saja kasus Aceh, Sei Lepan, Pemogokan buruh di Medan,
Kasus Pemeriksaan Pembunuh Marsinah, kasus Nipah, kasus Kedung Ombo dan banyak
lagi lainnya (ELSAM, 1995: 177-179).
Bentuk kekerasan demikian
itu bagi kepolisian dapat ditelusuri sampai kepada akar sejarah mulai munculnya
istilah polisi (tradisional) sampai kepada polisi modern yang memiliki tugas
melayani kepentingan masyarakat (Satjipto Rahardjo, 1999: 2-dst). Di ruang sidang (Pengadilan)
kekerasan muncul melalui berbagai simbol tertentu, hakim yang bertanya dengan
nada marah atau membentak tersangka, arogansi kewenangan dan sifat otoriter,
atau aparat keamanan dengan persenjataan lengkap mengawal tersangka masuk ke
persidangan (Gambaran kasus Bom Antapani Bandung).
Eksekusi putusan Pengadilan
memiliki nuansa kekerasan karena praktek dominasi (pemaksaan kekuasaan dengan
kekerasan), putusan kurang mampu meyakinkan kelompok-kelompok dalam masyarakat,
dipicu oleh adanya resistensi pembangunan yang dilakukan oleh negara (pemerintah)
(Alexander Irwan dan Edriana, 1995:
11). Muncullah protes, kekerasan dilawan kekerasan. Dapat dilihat dalam
kasus seperti kasus Tanah Rorotan Bekasi, kasus Sukajadi Bandung, kasus Panala
di Palangkaraya, kasus Tanah Merah di Jakarta
dan lain-lain (I Sandyawan Sumardi, S),
1995). Masyarakat menjadi korban dan bentuk kekerasan riil dan kekerasan
simbolik (symbolic violence)
yaitu bentuk kekerasan yang
dilakukan dengan cara-cara halus melalui mekanisme tertentu (misalnya mekanisme
kekuasaan) atau hegemoni,
sehingga tidak tampak sebagai kekerasan. Fenomena demikian muncul dan berlangsung secara terselubung (tersembunyi).
Setiap bentuk kekerasan,
oleh karena mengambil keuntungan dari rapuhnya hukum, bersembunyi dari cacat
hukum, adalah abjek (abject), merupakan kejahatan yang direncanakan
(premeditated crime), pembunuhan yang lihai (cunning murder), kejahatan
sempurna (perpect crimes) balas dendam yang munafik (hypocritical revenge)
adalah lebih abjek, oleh karena semuanya justru lebih memperlihatkan kelihaian
mereka dalam memanfaatkan rapuhnya hukum. Orang yang menolak moralitas
tidaklah abjek. Inilah orang-orang yang melakukan tindakan amoral disebabkan
tidak respeknya mereka terhadap hukum. Abjeksi bersifat immoral, rencana jahat,
siasat busuk, konspirasi licik, persekongkolan yang penuh tipu daya, rekayasa
kebrutala;n, komplotan kekejamatt, nlat kecurangan, kelicikan, teror yang
disembunyikan, kekejaman yang ditutupi senyuman. Abjeksi tidak menolak hukum
tetapi justru mempermainkannya.
Penutup
Distorsi Komunikasi Menuju Kekerasan Sempurna Pemeriksaan
perkara (pidana) merupakan realitas konflik yang berlangsung dalam konteks,
melibatkan berbagai kepentingan, nilai idiologi status ekonomi, sosial dan
banyak lainnya. Para pihak dalam pemeriksaan perkara (pidana) memainkan peran
dalam pernbentukan makna simbolis. Selama pemeriksaan posisi seseorang ada pada
pandangan "subjekti' dengan penekanan penciptaan makna. Posisi demikian
bukan sekedar penggunaan bahasa atau komunikasi sebagai alat untuk menguraikan
apa yang ada di sana. Bahasa komunikasi menghasilkan apa yang orang coba untuk
tunjukan. Posisi ini sesuai dengan pendapat bahwa "pemahaman kita berasal
dari proses penciptaan makna kita, bukan berasal dari pengalaman fisik atau pengamatan semata" (Robyn
Penman, dalam bukunya R. Wayne Pace & Don F. Faules, 1998: 9).
Berdasarkan pandangan
konstruksi sosial, lingkungan dikelola dengan mengelola makna. Suatu perubahan
pikiran mendorong individu untuk memperoleh pandangan lebih baik guna
mengendalikan proses yang menghasilkan suatu lingkungan yang dimainkan,
dan proses penjulukan (labeling) yang terjadi setelah itu.
Bila proses konstruksi merupakan penciptaan, maka amat bijaksana untuk meneliti
proses kreatif itu sendiri, secara total mempercayai gagasan bahwa telah ada
suatu "penemuan" lingkungan dan
lingkungan itu menunggu untuk dikelola. Komwnikasi bukan sekedar alat
yang menggambarkan pikiran, namun ia adalah pikiran dan ia adalah pengetahuan. Suatu dunia tertentu
diciptakan dalam komunikasi, dan setiap penafsiran komunikasi tersebut harus
mempertimbangkan konteks yang memungkinkan terjadinya praktik-praktik
komunikasi. Kepolisian, Kejaksaan dan
Pengadilan merupakan tempat berlangsungnya komunikasi. Apabila diamati
komunikasi dalam pemeriksaan perkara (pidana) sangat tidak ideal atau ada dalam
situasi pembicaraan yang kurang ideal, yaitu adanya distorsi. Terlalu
dominannya hakim bukanlah hal yang baik dalam proses komunikasi yang demikian
itu.
Persepsi, penafsiran atau
interpretasi dalam pemeriksaan perkara pidana bergantung kepada proses
komunikasi, apa yang diketahui manusia tentang dunia nyata datang kepada mereka
melalui suatu penyaring (filter) realitas sosial. Filter ini terdiri dari dunia
simbolik bersama mengenai keyakinan, pengalaman, dan pemahaman yang ditumbuhkan dan dipertahankan melalui komunikasi. Jadi siapa
saja yang dapat menyimpan, menyediakan, atau mengubah informasi mempunyai
kekuasaan penting. Mengendalikan komunikasi adalah memutuskan apakah dunia ini
dan bagaimana seharusnya manusia
berperilaku. Mereka yang dapat memutuskan apa makna sesuatu memiliki kekuasaan.
Aparatur hukum akan memiliki kekuasaan bila mereka dapat mendefinisikan diri
mereka sendiri sesuai dengan keinginan (mereka) dan orang-orang lain menerima serta mendukung definisi
ini.
Kebebasan yang dimiliki
manusia dalam hal keyakinan dan
tinclakan amat bergantung pada komunikasi bersama dan yang disahkan. Kekerasan dan kekejaman
dipertahankan bersama-sama oleh sistem Lambang (symbol born) dan ditopang
lambang (symbol sustaine(l). Manusia tidak selalu menyadari
kebergantungan mereka yang besar pada lambang-lambang itu dan kendali yang dilakukan lambang tersebut.
Bergen dan Luckmann menyatakan bahwa struktur
sosial bergerak dari "inilah yang kami lakukan" sampai "inilah
cara yang sebenarnya" kekejaman dan
kekerasan dikonstruksi melalui komunikasi, dan mereka yang dapat menentukan labelnya
dan mempertahankan label itu dapat
menggunakan kekuasaan karena label itu sendiri mengarahkan tindakan. Dunia
dikonstruksi, konstruksi ini dimiliki bersama dan diteguhkan oleh orang-orang lainnya. Manusia
mengkonstruksi dalam konteks yang terdiri dari aturan-aturan, pemain, objek,
orang-orang lainnya, dan situasi. Kita semua mengkonstruksi dari informasi yang
terdapat dalam komunikasi. Terjadi "distorsi komunikasi". Pemeriksaan
perkara berlangsung linier dengan tujuan penegasan kesalahan
tersangka/terdakwa. Biasanya keharusan
menyelesaikan perkara menjadi lebih penting daripada menyelesaikan perkara itu
secara benar dan adil.
Komunikasi terjadi apabila
para pihak menempatkan diri dalam medan konflik. Menurut Frost dan Wilmot, konflik merupakan
"perjuangan" yang diekspresikan antara sekurang-kurangnya dua pihak
yang saling bergantung, yang mempersepsi tujuan-tujuan yang tidak sepadan,
imbalan yang langka, dan gangguan dari pihak lain dalam mencapai tujuan mereka.
Dalam pandangan ini "perjuangan" menggambarkan perbedaan di antara
pihakpihak yang dinyatakan, dikenali dan dialami. Konflik baru terjadi ketika atau setelah perbedaan tersebut dikomunikasikan.
Konflik mungkin dinyatakan dengan cara-cara berbeda, dari gerakan nonverbal
yang halus hingga pertengkaran habis-habisan; dan sarkasme yang halus hingga kecaman verbal
yang terbuka (Joyce Hocker Frost & William W. Wilmot, 1978: 9),
Pemeriksaan di ruang
Kepolisian atau Kejaksaan dengan penggunaan bahasa-bahasa kotor dan cabul
merupakan salah satu refleksi bahwa konflik bisa muncul dalam bentuk yang beragam. Penggunaan bahasa kotor dan
cabul dalam pemeriksaan memiliki
keterkaitan dengan bahasa sehari-hari sebagai konteks penggunaan untuk istilah
tertentu. Dalam bahasa seharihari, kata-kata
kotor bisa digunakan sebagai kata sifat yang memberikan honotasi positif, misalnya nama samaran seseorang dengan
menggunakan nama binatang. Namun
tentu saja sulit diterima apabila kata-kata "sialan kamu", "dasar kamu
bajingan" atau nama-nama binatang dianggap sebagai pujian bagi pihak yang diperiksa. Harus diasumsikan bahwa petugas
(Polisi atau Jaksa) yang
menggunakan bahasa penghinaan selama interaksi formal, wwlakukannya dengan
suatu maksud dan tujuan tertentu. Asumsi
alternatif bahwa penggunaan
bahasa tersebut oleh petugas adalah tanpa tanggung jawab pribadi, memang tidak dapat dipertahankan. Secara konsisten
penggunaan bahasa tersebut mencerminkan sesuatu yang secara sistematis, jjuga disengaja, baik langsung atau
untuk jangka panjang.
Perkataan kotor dan cabul
digunakan untuk beberapa tujuan. Secara Hwsus,
perkataan kotor dan cabul digunakan sebagai sumber kekuatan idan
intimidasi komunikasi serta untuk membangun dan
menjaga hubungan dominan menyerah.
Rothwell telah menaWarkan daftar yang menarik tentang mrotif penggunaan perkataan kotor. Dia mengidentifikasikan lima
alasan; pertama, untuk menarik
perhatian; kedua, untuk mend
iskreditkan; ketiga, untuk
menghadapi konfrontasi; keempat, untuk identifikasi antarpersonal; dan kelinia,
untuk memberikan sedikit pelampiasan kepada individu (Marvin F. White, Terry C.
Cox, dan Jack Basehart, dalam Thomas Barker, David L. Carter, op.cit., hlm.
323-334).
Ada alasan kuat untuk
meyakini bahwa penggunaan perkataan kotor dan cabul oleh petugas terjadi hampir
secara ekslusif dalam interaksi dengan segmen terpilih dari populasi, misalnya
minoritas rasial dan etnik, warga kelas rendah, pekerja, orang-orang yang tidak
berdaya dan tidak dihargai. Bagi Habermas, situasi percakapan ideal hadir bila
kemampuan setiap orang untuk berperan serta dalam wacana yang dapat
mempengaruhi kehidupannya tidak dibatasi. Habermas memperinci model kondisi
yang memungkinkan orang untuk mencari alternatif dan membuat pilihan-pilihan
rasional. Ada penekanan kompetensi komunikasi, masyarakat bahasa bersama, dan
dialog. Komunitas semacam ini dibangun berdasarkan kepercayaan karepa kekuasaan
cenderung menyimpangkan komunikasi. Peran aturan dalam konflik dapat menjadi
pemutus praktek komunikasi, apa yang boleh dilakukan atau tidak, namun harus
diperhatikan sifat ritual yang sering atau lebih banyak mendominasi.
Inilah sebuah komunikasi
yang terdistorsi dan membawa kita kepada apa yang kita sebut sebagai puncak
kekerasan, kekerasan yang paling halus, tetapi sekaligus merupakan kehalusan
yang mengerikan. Inilah sebuah kekerasan sempurna, dan itulah Kejahatan
sempurna.
Kebijakan
Legistatif Indonesia Tentang Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Sebagai Salah Satu
Bentuk Pelanggaran HAM yang Berat
Pendahuluan
The founding fathers ketika mendirikan Negara Republik
Indonesia, merumuskan bahwa negara kita adalah negara hukum (rechtsstaat) dan bukan
sebagai negara yang berdasarkan atas kekuasaan (machtsstaat). Oleh karena itu,
hukum hendaknya dijadikan sebagai kerangka pijakan untuk mengatur dan
menyelesaikan berbagai persoalan dalam menjalankan roda kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Sejalan dengan ide dasar dari The Founding Fathers di
atas, dalam buku "The Sociology of Law: An Introduction" karangan Roger Cotterrell merumuskan
setidaknya ada tujuh prasyarat yang harus diperhatikan, yaitu: (1) The sources of the new law mustle authoritative and prestigious, (2)
The rationale of the new law
must be expressed in terms of its
compatibility and continuity with established cultural
and legal principles, (3) Pragmatic
models for compliance must be
identified, (4) The element of time
in legislative action, (5) That
enforcement agents must be committed to the behaviour required by the law even if
not to the values implicit in it, (6) Positive sanctions are as
important as negative ones, (7) Effective protection must be provided for the rights of those who would suffer as a result
of evasion or violation of the
law (Roger Cotterrell, 1984: 61-67).
Tak satupun, baik militer, polisi maupun sipil kebal
terhadap ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku di negara
Indonesia, bila melakuk<an suatu kejahatan. Pelaku wajib
mempertanggungjawabkan segala perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan
hukum. Negara hukum merupakan suatu dimensi dari negara demokratis dan memuat
substansi HAM, bila tidak dikuatirkan akan kehilangan esensinya dan cenderung
sebagai alat penguasa untuk melakukan penindasan terhadap rakyat, juga sebagai
instrumen untuk melakukan justifikasi terhadap kebijakan pemerintah yang
sebenarnya melanggar HAM (Bambang Sunggono dan Aries Harianto, 1994: 130).
Indonesia sebagai negara hukum, sedikitnya harus
memiliki tiga ciriciri pokok sebagai berikut:
a. Pengakuan dan perlindungan atas HAM yang mengandung
persamaan dalam bidang politik, sosial, ekonomi, hukum, budaya, dan lain
sebagainya;
b.
Peradilan yang bebas dan tidak memihak serta tidak dipengaruhi oleh suatu
kekuasaan lain apapun;
c.
Menjunjung tinggi asas legalitas (Mohammad Kusnardi dan Bintan R. Saragih, 1983: 27).
Salah satu aspek kemanusiaan
yang sangat mendasar dan asasi adalah hak
untuk hidup dan hak untuk melangsungkan kehidupan, karena hakhak tersebut diberikanJangsung oleh
Tuhan kepada setiap manusia. Oleh karena itu, setiap upaya perampasan terhadap
nyawa termasuk di dalamnya tindak kekerasan lainnya, pada hakekatnya merupakan
pelanggaran HAM yang berat bila
dilakukan secara sewenang-wenang dan tanpa dasar pembenaran yang sah menurut
hukum dan perundangan yang berlaku (Barda Nawawi Arief, 1996: 76-77).
Namun demikian, kondisi
serta realita di Indonesia selama ini menunjukkan jauh dari yang ideal
tersebut, terutama tampak pada masa pemerintahan rejim Orde Baru di bawah
kepemimpinan Presiden HM. Soeharto selama kurun waktu 32 tahun berkuasa secara otoriter. Kondisi demikian diperparah
dengan tidak ada atau kurang berdayanya berbagai institusi pengontrol kekuasaan
sebagai check and balances, yang
mampu mencegah, menghentikan dan menghukum pelanggaran HAM yang berat selama
kurun waktu tersebut.
Gelombang reformasi di
Indonesia yang bergulir dalam rangka menggulingkan rejim Orde Baru, yang
diwarnai penuh dengan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power), korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) serta melakukan
pelanggaran HAM yang berat nampaknya terus berlanjut, niengingat hakekat, visi,
dan misi reformasi masih jauh dari harapan.
Reformasi pada dasarnya
merupakan usaha yang rasional dan sistematis untuk mengaktualisasikan nilai-nilai dasar (core values) demokrasi
yang lerdiri dari: konsistensi untuk selalu transparan dalam pengambilan
keputusan publik, perlindungan dan penegakan terhadap pelanggaran HAM yang
berat, peradilan yang bebas dan tidak memihak, penciptaan norma-norma hukum yang aspiratif, hukum yang tidak
dijadikan sebagai alat kekuasaan, pemerintahan yang efisien, efektif serta
tunduk pada tatanan hukum (good
governance), dan lain sebagainya (Muladi, 2000: 1).
Dalam dekade terakhir ini,
berbagai pelanggaran HAM yang berat di Indonesia semakin santer dan marak
diperbincangkan banyak kalangan dalam berbagai kesempatan, baik di dalam maupun
di luar negeri. Hal ini menunjukkan bahwa pelanggaran HAM yang berat bukan lagi
sematamata persoalan domestik, tetapi telah menjadi problem dan concern
dari lembaga serta masyarakat internasional, di mana perburuan terhadap
pelaku telah dilakukan berbagai pengadilan di banyak negara.
Pelanggaran HAM yang berat
sebagaimana terjadi di Timtim, Aceh, Jakarta, dan berbagai daerah lain di
Indonesia, salah satunya adalah Kejahatan Terhadap Kemanusiaan atau yang
dikenal dengan istilah Crime Against Humanity. Dalam sejarah perkembangan Hukum
Internasional, kejahatan tersebut juga merupakan bagian dari kejahatan
internasional (Romli Atmasasmita, 2000: 42).
Concern pemerintah Indonesia
terhadap perkembangan masalahmasalah internasional, terutama masalah kejahatan
terhadap kemanusiaan melalui pembentukan pengadilan HAM menjadi sangat urgen
dan mende5ak untuk direalisasikan, jika
tidak ingin terkucil dan dikucilkan dalam pergaulan internasional di era
globalisasi ini.
Di samping itu, sebagai
konsekuensi logis Indonesia meratifikasi berbagai instrumen internasional
tentang HAM, seperti ratifikasi Indonesia terhadap keempat Konvensi Jenewa 1949
dengan Undang-Undang Nomor 59 Tahun 1958. Konsekuensi tersebut, sebagaimana
diatur dalam Pasal 49 Konvensi Jenewa I, Pasal 50 Konvensi Jenewa II, Pasal 129
Konvensi Jenewa III, Pasal 146 Konvensi Jenewa IV tahun 1949 adalah:
1. Menetapkan undang-undang yang diperlukan untuk
memberikan sanksi
pidana
efektif terhadap orang-orang yang melakukan atau memerintahkan salah satu
pelanggaran HAM yang berat;
2.
Mencari orang-orang yang disangka melakukan pelanggaran HAM
yang
berat;
3.
Mengadili para pelaku pelanggaran HAM yang berat tersebut tanpa memandang
kebangsaan;
4. Apabila
dikehendaki dan sesuai dengan UU nasionalnya, untuk mengekstradisikan
orang-orang yang melakukan dan memerintahkan melakukan pelanggaran HAM yang
berat.
Menurut perkembangan hukum
yang berlaku, baik Hukum Nasional maupun Hukum Internasional, pembentukan
pengadilan HAM sebagai pengadilan khusus bagi pelaku Kejahatan Terhadap
Kemanusiaan di Indonesia merupakan sesuatu :yang mutlak. Untuk merealisasi
terwujudnya pengadilan HAM tersebut, maka perlu diatur dalam suatu UU.
Upaya pemerintah Indonesia
untuk membuat UU di atas, tidak lain merupakan suatu bentuk penerapan politik
kebijakan perudang-undangan atau yang juga dikenal sebagai kebijakan
legislatif. Dalam konsepnya sebagai hukum positif, maka hukum tersebut telah
diartikan sebagai norma-norma baku yang terumus secara eksplisit dalam bentuk
perundang-undangan nasional, dengan berkekuatan sebagai apa yang dikatakan
Austin 'The Command of The Sovereign " (Soetandyo
Wignjosoebroto, 2002: 18).
Dilihat sebagai satu
kesatuan proses dalam kerangka upaya penetapan suatu ketentuan pidana dalam
suatu perundang-undangan, maka tahap kebijakan legislatif tersebut merupakan
suatu tahap yang paling strategis (Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1998: 173). Sebab pada tahap inilah
nantinya akan dirumuskan garis-garis kebijakan sistem pidana dan pemidanaan
yang sekaligus merupakan landasan bagi tahap-tahap berikutnya, yaitu tahap
pemidanaan dan tahap pelaksanaan pidana.
Patut dicatat, dengan
pengajuan RUU pengadilan HAM oleh pemerintah Indonesia dan telah disetujui oleh
DPR menjadi UU RI No. 26 Tahun 2000, menunjukkan concern dan good
will positif pemerintah untuk
menghukum pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan di Indonesia sebagai salah satu
bentuk pelanggaran HAM yang berat.
Kejahatan Terhadap
Kemanusian Merupakan Kejahatan Internasional Kejahatan
internasional, dapat diartikan sebagai suatu bentuk tindak pidana yang dianggap
dapat merugikan bagi seluruh masyarakat internasional, di mana setiap lembaga
peradilan yang ada di tiap-tiap negara bahkan termasuk di dalamnya peradilan
internasional, mempunyai yurisdiksi atau kewenangan untuk memeriksa dan
mengadili para pelakunya (Romli Atmasasmita, 2000: 45).
Jauh Sebelumnya, Cherif
Bassiouni, seorang pakar Hukum Pidana Internasional kenamaan telah memberikan
suatu pengertian dari apa yang dimaksudkan dengan kejahatan internasional
tersebut. Menurutnya, "lnternational
crimes is any conduct which is designated as a crime in a multilateral convention will a significant number of state parties to it, provided the
instrument contains one of the
ten penal characteristicts". Kesepuluh
karakteristik hukum pidana sebagaimana dikemukakan Cherif Bassiouni di atas,
meliputi: (1) Explicit recognition of
proscribed conduct as constituting
an international crime or a crime under international law, (2) Implicit recognition of the penal nature of the act by establising
a duty to prohibit, prevent,
prosecure, punish, or the like, (3)
Criminalization of the proscribed
conduct, (4) Duty or right to
prosecute, (5) Duty or right to
punish the proscribed conduct, (6)
Duty or right to extradate, (7)
Duty or right to cooperate in prosecution, punishment, including
judicial assistance in penal proceeding, (8) Establishment of criminal jurisdictional basic, (9)
Reference to the establishment
of an international criminal
court, (10) Elimination of the
defense of superior orders (Cherif
Bassiouni, 1986: 2-3).
Berdasarkan Hukum
Internasional, awalnya hanya dikenal tiga jenis kejahatan internasional, yaitu:
(1) Crimes Against Peace atau Kejahatan Terhadap Perdamaian, yang termasuk pula
di dalamnya adalah tindakantindakan persiapan ataupun pernyataan perang
agresi; (2) War Crimes atau
Kejahatan Perang, termasuk pula di dalamnya pelanggaran atas ketentuan hukum
kebiasaan perang; (3) Crimes Against Humanity atau Kejahatan Terhadap
Kemanusiaan, yaitu diartikan sebagai segala bentuk kekejaman terhadap penduduk
sipil (non combatant) selama
peperangan berlangsung (Syahmin AK., 1985: 46).
Namun demikian, jauh sebelum
ketiga jenis kejahatan di atas ditetapkan sebagai international crimes, sejak
abad ke-18 masyarakat internasional telah mengenal dan mengakui Piracy dan Slavery sebagai kejahatan
internasional. Mengingat begitu pentingnya hubungan perdagangan saat itu, maka.
tindakan perompakan kapal dagang di laut (viracy)
dipandang sebagai musuh bangsa-bangsa. Demikian pula dengan perdagangan
budak (slavery) dipandang telah merendahkan harkat dan martabat nilai-nilai
kemanusiaan (Romli Atmasasmita, 1985: 37).
Berdasarkan uraian di atas,
jika dilihat dari perkembangan dan asal mula "lahirnya" international
crimes, maka setidaknya kejahatan internasional tersebut dapat diklasifikasikan
ke dalam tiga kelompok utama, yaitu:
a. Kejahatan
internasional yang muncul dari Hukum Kebiasaan Inter
nasional,
dan yang selanjutnya mengalami perkembangan di dalam
praktik
negara-negara yang diakui eksistensinya oleh Hukum Inter
nasional.
Kejahatan internasional yang termasuk jenis/kelompok ini
antara
lain kejahatan perompakan kapal di laut (viracy),
kejahatan
perbudakan
(slavery), kejahatan perang (war
crimes) yang di alamnya
termuat
puta Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (crimes against hu
manity).
b. Kejahatan internasional yang "lahir" dari
berbagai konvensi-konvensi internasional, di mana secara historis dapat
dibedakan antara kejahatan internasional yang ditetapkan di dalam satu konvensi
internasional saja (subject of a
single convention) misalnya Konvensi Tunggal Narkotika 1961, dan kejahatan
internasional yang ditetapkan dalam berbagai konvensi (subject of a multiple conventions) misalnya
Kejahatan Pembajakan Pesawat Udara (hijacking) sebagaimana tertuang dalam
Konvensi Tokyo (1963), Konvensi Hague (1970), dan Konvensi Montreal (1971).
c. Kejahatan
internasional yang berasal dari sejarah perkembangan konvensi internasional
yang khusus berkaitan dengan HAM. Kejahatan internasional ini "lahir"
sebagai konsekuensi logis akibat kekejaman atau pelanggaran yang terjadi dalam
Perang Dunia II yang telah membawa jumlah korban umat manusia luar biasa, tidak
hanya para kombatan namun juga penduduk sipil. Konvensi internasional yang
secara khusus bertujuan untuk melindungi korban perang ini, adalah Konvensi
Jenewa 1949. Konvensi yang
"lahir" dalam rangka melindungi HAM, telah menetapkan bahwa Kejahatan
Terhadap Kemanusiaan merupakan international crimes, karena dianggap telah melanggar
nila-nilai dasar kemanusiaan sebagaimana telah dideklarasikan dalam UDHR 1948.
Dari 143 konvensi internasional yang telah dihasilkan masyarakat
internasional, terdapat sedikitnya 20 kejahatan internasional. Dari kedua puluh
jenis kejahatan internasional tersebut, yang patut dicatat adalah dimasukannya
atau ditetapkannya Kejahatan Terhadap Kemanusiaan sebagai "top hit"
kejahatan internasional. Kedua puluh jenis kejahatan internasional tersebut
adalah:
a.
Agression.
b.
War crimes.
c. Unlawfull use of weapons.
d.
Genoside.
e. Crimes against humanity (garis bawah- penulis).
f. Apartheid.
g. Slavery and related crimes.
h.
Torture (as a war crimes).
i. Unlawfull medical experimentation (as
a war crimes).
j. Piracy.
k.
Crimes relating to international air communications.
I.
Threat and use of force against
internationnally protected persons m. Taking of civilian hostages.
n.
Unlawfull use of the mails.
o. Drug offences.
p.
Falsification and counterfeiting.
q. Theft of national and archeological treasures (in time of war).
r. Bribery of foreign public officials.
s.
Interference with submarine cables.
t. International
traffic in obscene publicatons
(Romli Atmasasmita, 2000: 42).
Bassiouni dalam salah satu
bukunya yang berjudul International Criminal Law Vol. 1. Crimes, menyebutkan
sedikitnya terdapat 22 jenis international crimes. Dan jika melihat urutan
kejahatan internasional yang telah dipaparkan Bassiouni, Kejahatan Terhadap
Kemanusiaan berada pada urutan keempat. Oleh karena itu, dapat disimpulkan
bahwa Kejahatan Terhadap Kemanusiaan merupakan salah satu jenis kejahatan
internasional yang perlu mendapatkan perhatian dan penanganan serius. Ke-22
jenis kejahatan internasional, yang salah satu di antaranya berupa Kejahatan
Terhadap Kemanusiaan tersebut adalah:
a. Agression.
b.
War crimes.
c. Unlawfull use of weapons.
d.
Crimes against humanity (garis bawah - penulis). e.
Genoside.
f. Racial
discrimination and apartheid. g. Slavery and related crimes.
h.
Torture.
i. Unlawfull
human experittientation. Piracy.
k.
Aircraft hijacking.
I.
Threat and use of force against internationnally protected persons. m. Taking
of civilian hostages.
n. Drug offences.
o.
International traffic in obscene
publicatons.
p.
Destruction and or theft of
national treasures. q. Environmental protection.
r. Theft
of nuclear materials.
s.
Unlawfull use of the mails.
t. Interference
of the submarine cables.
Lt. Falsification and
counterfeiting.
v.
Bribery of foreign public
officials (Cheif Bassiouni, 1986: 135).
Dasar pertimbangan
pengelompokan berbagai jenis kejahatan internasional tersebut di atas, yang
salah satunya (Kejahatan Terhadap Kemanusiaan) menjadi pokok bahasan dalam
makalah ini adalah:
a. Adanya konvensi-konvensi internasional yang menetapkan
kejahatankejahatan tersebut (di antaranya Kejahatan Terhadap Kemanusiaan,
pen.) sebagai kejahatan internasional.
b. Adanya pengakuan berdasarkan Hukum Kebiasaan
Internasional yang menetapkan bahwa tindakan-tindakan atau perbuatan-perbuatan
tertentu telah menciptakan suatu international
crimes.
c. Adanya pengakuan berdasarkan Prinsip-Prinsip Umum
Hukum Internasional bahwa tindakan-tindakan atau perbuatan-perbuatan tersebut
adalah dilarang dan setiap pelanggaran terhadapnya harus dipandang sebagai
pelanggaran terhadap Hukum Internasional.
Kejahatan Terhadap
Kemanusiaan atau Crimes Against Humanity
sebagai salah satu international
crimes, menurut Muladi, pakar Hukum Pidana Universitas Diponegoro, harus
memenuhi tiga unsur utama yaitu:
a.
Unsur Internasional, yang berupa:
(1)
Direct threat to world peace and security (ancaman secara langsung atas
perdamaian dan keamanan dunia).
(2) Indirect threat to the world peace and security (ancaman
secara
tidak
langsung atas perdamaian dan keamanan dunia).
(3) Shocking to the conscience of humanity (menggoyahkan
perasaan kemanusiaan).
b.
Unsur Transnasional, yang berupa:
(4) Conduct affecting more than one
state (tindakan yang memiliki
dampak
terhadap lebih dari satu negara).
(5) Conduct including or affecting citizens
of more than one state
(tindakan
yang melibatkan atau memberikan dampak terhadap warga negara dari lebih satu
negara).
(6) Means and methods
transcend national boundaries (sarana
dan prasarana serta metoda-metoda yang dipergunakan melampaui batas-batas
teritorial suatu negara).
c. Unsur Necessity,
berupa cooperation of state
necessary to enforce (kebutuhan akan kerjasama antarnegara untuk melakukan
penanggulangan).
Penetapan Kejahatan Terhadap
Kemanusiaan sebagai salah satu international
crimes, pernah pula dilontarkan Hikmahanto Juwana (Kompas, 17 Februari
2000). Secara yuridis normatif penetapan
demikian, sebenarnya telah dilakukan masyarakat internasional (baca:
negara-negara sekutu pemenang Perang Dunia II) sebagaimana terlihat dalam
Piagam Mahkamah Militer Internasional di Nuremberg (1946) maupun Tokyo Tribunal
di jepang (1948). Singkatnya, kedua
peradilan ad hoc bentukan
sekutu tersebut mempunyai kewenangan mutlak untuk mengadili dan menghukum
pelaku Kejahatan Terhadap Kemanusiaan sebagai suatu kejahatan internasional, di
samping Kejahatan Perang dan Kejahatan Terhadap Perdamaian, yang secara faktual
terjadi dalam suatu peperangan.
Kejahatan Terhadap
Kemanusiaan atau Crimes Against Humanity
dipandang sebagai suatu jenis kejahatan internasional yang paling keji
dan kejam terhadap nilai-nilai kemanusiaan sepanjang abad. Oleh karena itu,
masyarakat internasional telah mengutuknya sebagai hostis humanis generis.
Munculnya Istilah Kejahatan Terhadap
Kemanusiaan di Indonesia Sebagai Salah Satu Bentuk Pelanggaran HAM yang Berat
Crimes against humanity
sebagai padanan dari istilah Kejahatan Terhadap Kemanusiaan, belakangan ini
telah menjadi salah satu istilah hukum yang menarik untuk didiskusikan dalam
berbagai kesempatan. Istilah Kejahatan Terhadap Kemanusiaan dalam khasanah
hukum nasional Indonesia merupakan suatu istilah yang relatif baru. Walaupun
istilah Kejahatan Terhadap Kemanusiaan relatif baru, namun istilahtersebuttelah
mengalami popularitas yang cukup spektakuler saat ini. Hal ini disebabkan
perjuangan para aktivis HAM yang tergabung dalam berbagai Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM), di samping adanya tekanan dari dunia dan masyarakat
internasional dalam menanggapi terjadinya Kejahatan Terhadap Kemanusiaan
sebagai salah satu bentuk pelanggaran HAM yang berat di Indonesia.
Mereka mengkualifikasikan
berbagai peristiwa tersebut bukan hanya sekedar sebagai gross violation of
human rights, akan tetapi lebih dari itu telah terjadi crimes against humanity
(Ifdhal Kasim, 2001: 1). Sejak istilah Kejahatan Terhadap Kemanusiaan di
Indonesia muncul ke permukaan memenuhi pemberitaan media massa baik cetak
maupun elektronik, sejak saat itu pula dapat kita saksikan berbagai perdebatan
mengenai apakah tepat mengkualifikasikan berbagai peristiwa pelanggaran HAM
yang berat di berbagai wilayah Indonesia, sebagai Kejahatan Terhadap
Kemanusiaan.
Rujukan Hukum Internasional
mengenai Kejahatan Terhadap Kemanusiaan adalah Statuta Roma yang disahkan
tanggal 17 )uli 1998. Selain menjadi dasar pembentukan ICC yang salah satu
yurisdiksinya adalah mengadili pelaku Kejahatan Terhadap Kemanusiaan, Statuta
Roma juga memuat dasar-dasar suatu tindakan atau perbutaan yang dikualifikasi/
ditetapkan sebagai Kejahatan Terhadap Kemanusiaan dan yang dikutuk masyarakat
internasional sebagai hostis humanis generis.
Muladi dalam makalahnya yang
berjudul "Kejahatan Terhadap Kemanusiaan" menyatakan bahwa sebenarnya
istilah tersebut untuk pertama kalinya digunakan pada tahun 1915 pada saat
terjadi kasus Massacres of Turkey's Armenian
Population. Tuntutan atas
genosida saat itu mengalami kegagalan dengan alasan tidak mungkin setelah
perang dibuat Retroactive Criminal
Legislation (Muladi, 2000: 1).
Dalam perkembangannya,
istilah Kejahatan Terhadap Kemanusiaan muncul kembali pada tahun 1946, sebagai
salah satu bentuk/kategori kejahatan di samping Kejahatan Perang (war crimes) dan Kejahatan Terhadap
Perdamaian (crimes against
peace) yang berada di bawah yurisdiksi ICTN (Internasional Criminal Tribunal Nuremberg), untuk
mengadili para penjahat perang tentara NAZI Jerman. Dua tahun kemudian (1948)
istilah Kejahatan Terhadap Kemanusiaan muncul kembali dalam Tokyo Tribunal yang dimaksudkan untuk
mengadili para perwira tentara Jepang yang didakwa melakukan kejahatan perang.
Tak jauh berbeda dengan peradilan penjahat perang ad hoc di Nuremberg,
peradilan penjahat perang ad hoc di Tokyo juga memandang Kejahatan Terhadap
Kemanusiaan merupakan bagian dari kejahatan perang.
Kekejaman perang yang
dilakukan jerman maupun Jepang pada masa Perang Dunia II telah mendorong
masyarakat internasional untuk melakukan kriminalisasi perbuatan-perbuatan yang
melawan nilai-nilai kemanusiaan sebagai crimes against humanity. Patut dicatat dari kedua tribunal di atas, adalah munculnya pemahaman bahwa pemidanaan
bagi para pelaku Kejahatan Terhadap Kemanusiaan mensyaratkan (nexus) adanya
hubungan antara Kejahatan Terhadap Kemanusiaan dengan Kejahatan Perang. Bahkan
secara ekstrim dapat_dikatakan bahwa Kejahatan Terhadap Kemanusiaan merupakan
kembar siam (siamese twin) dari
Kejahatan Perang. Hal itu dapat dipahami, karena tribunal yang dibentuk sekutu sebagai pihak yang menang perang
merupakan suatu War Crimes Trials. Namun
demikian dalam perkembangan selanjutnya pemahaman di atas, justru akan
membatasi proses pemidanaan bagi pelaku Kejahatan Terhadap Kemanusiaan sebagai
salah satu bentuk pelanggaran HAM yang berat, yang saat ini sering terjadi pada
masa-masa damai (committed during peacetime).
Dari hasil proses kedua
peradilan ad hoc di atas
berkaitan dengan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan, setidaknya telah memberi
terobosan baru bagi perkembangan Hukurn Nasional (Hukum Pidana, pen.) maupun
Hukum Internasional. Terobosan baru dimaksud bagi Hukum (Pidana) Internasional
adalah dikesampingkannya asas legalitas (the principle of legality) dan asas UU tidak berlaku surut (the non retroactivity of the law) serta
dikesampingkannya pula alasan atas perintah atasan (the superior order of self defence) yang acap terjadi dalam suatu
peperangan. Dengan demikian hal ini menunjukkan bahwa asas-asas atau
prinsip-prinsip yang dianut dalam hukum (pidana) nasional dalam hal-hal
tertentu ternyata dapat "dibatasi" oleh praktik Hukum Internasional.
Sedangkan arti penting bagi Hukum Internasional adalah diakuinya individu
sebagai subjek Hukum Internasional selain negara.
Kebijakan
Legislatif Indonesia Tentang Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Sebagai Salah Satu
Bentuk Pelanggaran HAM yang Berat Pada masa transisi ini,
tuntutan penyelesaian masalah Kejahatan Terhadap Kemanusiaan di Indonesia
sebagai salah satu pelanggaran HAM yang berat, kian kuat gaung maupun
tekanannya, baik dalam skala nasional maupun internasional. Ditambah ketiadaan
keseragaman (unifikasi) peradilan yang berwenang mengadili Kejahatan Terhadap
Kemanusiaan di Indonesia sebagai salah satu pelanggaran HAM yang berat,
mengharuskan pemerintah Indonesia melalui kebijakan legislatif menciptakan UU
tentang Pengadilan HAM sebagai pengadilan khusus. Oleh karena itu, pemahaman
berbagai instrumen internasional yang berkaitan dengan HAM menjadi urgen
sebelum dilakukan pengadopsian melalui kebijakan legislatif dalam suatu
perundangan nasional. Kebijakan legislatif adalah suatu perencanaan atau
program dari pembuat undang-undang mengenai apa yang akan dilakukan dalam
menghadapi problem tertentu dan cara
bagaimana melakukan atau melaksanakan sesuatu yang telah direncanakan (Barda
Nawawi Arief, 1994: 60). Konkritnya salah satu undang-undang nasional yang
dihasilkan kebijakan legislatif berkaitan dengan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan
di Indonesia, adalah UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Kebijakan
legislatif Indonesia yang tercermin dalam UU No. 26 Tahun 2000 tersebut, tidak
lain merupakan lus Constitutum, yaitu sebagai suatu hukum positif yang berlaku
dalam suatu negara (Moempoeni Moelatingsih Maemoenah, 2003: 5).
Pengadilan HAM sebagai
pengadilan khusus menurut UU No. 26 TahUm 2000, berwenang memeriksa dan memutus berbagai perkara/kasus pelanggaran
HAM yang berat. Salah satu bentuk pelanggaran HAM yang berat tersebut adalah
Kejahatan Terhadap Kemanusiaan atau yang dikenal dengan istilah Crime Against Humanity.
Upaya kebijakan legislatif
"melahirkan" UU pengadilan HAM yang berwenang mengadili Kejahatan Terhadap
Kemanusiaan di Indonesia sebagai salah satu bentuk pelanggaran HAM yang berat,
secara nasional sesuai dengan ketentuan Pasal 104 Ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999
tentang HAM. Secara internasional menetapkan UU nasional yang memuat sanksi
pidana bagi Kejahatan Terhadap Kemanusiaan merupakan kewajiban atas ratifikasi
berbagai instrumen internasional mengenai HAM. Berkaitan dengan hal tersebut,
Roger Cotterrel I sebagaimana mengutif pendapat dari Yehezkel Dror,
mengingatkan pentingnya strategi kebijakan legislatif yang memuat: (1) It shapes various social institution
which, in turn, have a direct influence on the rate or character of social
change, (2) Law often provides the institutional framework for an agency
specifically set up to exert influence ior change, (3) The creation of legal
duties to establish situations in which change is fostered (Roger
Cotterrell, 1984: 61-62).
Istilah Kejahatan Terhadap
Kemanusiaan, merupakan istilah yang relatif baru dalam khasanah hukum
Indonesia, sehingga belum banyak dikenal berbagai kalangan masyarakat termasuk
kalangan akademisi. Berdasarkan sejarah perkembangannya, istilah Kejahatan
Terhadap Kemanusiaan untuk pertama kali muncul dalam peradilan penjahat Perang
Dunia II di )erman maupun Tokyo. Selanjutnya istilah tersebut
"muncul" pasca perang dingin hingga saat ini, dalam berbagai
instrumen internasional yang mengatur pembentukan peradilan internasional bagi
penjahat perang, baik yang bersifat ad hoc
(International Criminal Tribunal for Rwanda, disingkat ICTR maupun International Criminal Tribunal for Former
Yugoslavia, disingkat ICTY) maupun yang akan bersifat permanen (international Criminal Court, disingkat
ICC).
Di Indonesia, istilah
Kejahatan Terhadap Kemanusiaan secara yuridis baru dikenal sejak diundangkannya
UU No. 26 Tahun 2000. Berdasarkan UU tersebut, salah satu kewenangan yang
dimiliki oleh pengadilan HAM adalah mengadili Kejahatan Terhadap Kemanusiaan
sebagai salah satu pelanggaran HAM yang berat. Berdasarkan penjelasan Pasal 7
UU No. 26 Tahun 2000, Kejahatan Terhadap Kemanusiaan dalam ketentuan UU ini sesuai dengan Rome Statute of International Criminal Court. Oleh karena itu, berbagai logika dan spirit hukum
serta perundang-undangan yang menjiwai dan terkait atas dasar Statuta Roma
haruslah dipahami dengan baik (Muladi,
2000: 1).
Kejahatan Terhadap
Kemanusiaan di Indonesia sebagaimana diatur dalam No. 26 Tahun 2000,
"mengadopsi" Statuta Roma 1998 yang menjadi dasar pembentukan
International Criminal Court (ICC) sebagai peradilan internasional permanen
yang berwenang mengadili salah satu kejahatan internasional berupa Kejahatan
Terhadap Kemanusiaan (Crimes Against
Humanity).
Dalam Pasal 9 UU No. 26
tersebut, dinyatakan bahwa Kejahatan Terhadap Kemanusiaan sebagaimana diatur
dalam Pasal 7 huruf (b) adalah 'Salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai
bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa
serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil",
berupa: (a) pembunuhan; (b) pemusnahan; (c) perbudakan; (d)
pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa; (e) perampasan kemerdekaan
atau perampasan kebebasa fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar
ketentuan pokok Hukum Internasional; (f)
penyiksaan; (g) perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran `secara paksa,
pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau
bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara; (h) penganiayaan terhadap
suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik,
ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang
telah diakui secara universal sebagai
hal yang dilarang menurut Hukum Internasional; (i) penghilangan orang secara
paksa, dan (j) kejahatan apartheid.
Tindakan pemerintah Indonesai mengadopsi ketentuan Hukum
Internasional ke dalam ketentuan Hukum Nasional melalui kebijakan legislatifnya
perlu mempertimbangkan berbagai aspek untuk mengantisipasi adanya pertentangan
dari kedua hukum yang berbeda tersebut.
Secara umum unsur-unsur kejahatan mencakup unsur objektif
dan unsur subjektif. Unsur objektif (criminal
act, actus reus), yang berupa adanya perbuatan yang memenuhi rumusan
undang-undang dan bersifat melawan hukum
serta tidak adanya alasan pembenar. Sedangkan unsur subjektif (criminal responsibility, mens rea), yang
mencakup unsur kesalahan dalam arti luas dan meliputi kemampuan untuk
bertanggung jawab, adanya unsur kesengajaan atau kealpaan serta tidak adanya
alasan pemaaf.
Berbicara mengenai Kejahatan Terhadap Kemanusiaan sebagai
salah satu bentuk pelanggaran HAM yang berat, terdapat suatu prinsip umum yang
menyatakan bahwa unsur-unsur kejahatan (the elements of crime) terdiri atas:
a. Unsur material yang berfokus pada perbuatan (conduct),
akibat (consequences) dan keadaan-keadaan (circumstansces) yang menyertai
suatu perbuatan;
b.
Unsur mental yang relevan dalam bentuk kesengajaan (intent), pengetahuan (knowledge) atau keduanya (Muladi,
2000: 2).
Sesuai Article 30 Statuta Roma yang mengatur
"mental element", maka ada kesengajaan (intent) apabila sehubungan
dengan perbuatan (conduct) tersebut si pelaku berniat untuk melakukan/turut
serta dalam perbuatan tersebut dan berkaitan dengan akibatnya (consequences) si
pelaku berniat untuk menimbulkan akibat tersebut atau sadar (aware) bahwa pada
umumnya akibat akan terjadi dalam kaitannya dengan perbuatan tersebut.
Sedangkan "knowledge" diartikan sebagai kesadaran (awareness) bahwa
suatu keadaan terjadi atau akibat pada umumnya akan timbul sebagai akibat
kejadian tersebut. Oleh karena itu, tahu (know) dan mengetahui (knowlingly) harus ditafsirkan dalam
kerangka tersebut.
Sehubungan dengan
permasalahan di atas, hal-hal yang harus mendapatkan perhatian serius adalah
dua elemen terakhir dari setiap Kejahatan Terhadap Kemanusiaan yang
menggambarkan konteks dalam hal mana perbuatan tersebut dilakukan. Kedua elemen
yang dimaksud adalah: (a) perbuatan tersebut dilakukan sebagai bagian dari
suatu serangan yang meluas (widespread)
atau sistematik (systematic) ditujukan terhadap penduduk sipil, dan (b)
keharusan adanya pengetahuan (with knowledge)
pelaku bahwa perbuatan yang dilakukan merupakan bagian dari atau dimaksuclkan
untuk menjadi bagian serangan yang meluas atau sistematik terhadap penduduk
sipil.
Article 7.2.a Statuta Roma
menegaskan bahwa, "the term of attack
is defined as a course of conduct
involving the multiple commission of act referred to in paragraph 1 against any civilian population, pursuant to or in furtherance of a state or organizational policy to commit such atttack".
Dengan demikian secara implisit dapat disimpulkan bahwa serangan tersebut tidak
memerlukan karakter sebagai suatu serangan militer (military atttack). Dan selanjutnya, dapat pula diketahui bahwa
dari kata organizational policy, bahwa
kejahatan tersebut dalam kondisi tertentu dapat dilakukan oleh non state
actors.
Selanjutnya adanya
persyaratan bagi pelaku yang harus memiliki "knowledge of attack", haruslah diartikan sebagai kesengajaan
khusus (specific intent).
Misalnya seseorang yang turut serta melakukan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan
berupa pembunuhan (murder), tetapi
tidak sadar bahwa perbuatannya merupakan bagian dari suatu serangan yang meluas
(widespread) atau sistematik
(systematic) terhadap penduduk sipil, dapat dinyatakan salah telah melakukan
pembunuhan, tetapi tidak dalam kerangka Kejahatan Terhadap Kemanusiaan. Tetapi
perlu pula ditegaskan bahwa untuk dapat dipidana karena melakukan Kejahatan
Terhadap Kemanusiaan, tidak disyaratkan bahwa si pelaku (perpetrator) telah
mengetahui seluruh karakteristik dari serangan atau rincian pasti (precise details) dari perencanaan
atau policy dari negara atau
organisasi tersebut.
Persyaratan yahg berkaitan
dengan alasan/sebab (motive) kejahatan,
sekalipun tidak tercantum dalam definisi Kejahatan Terhadap Kemanusiaan, hal
ini tetap relevan sebagai indikator kesalahan (indicator of guilt), di samping untuk
menentukan sanksi pidana yang tepat atau proporsional.
Penutup
Berdasarkan sejarah
perkembangannya, istilah Kejahatan Terhadap Kemanusiaan pertama kali muncul
dalam peradilan penjahat Perang Dunia II, di Jerman (IMTN) maupun Tokyo (IMTT).
Selanjutnya pasca perang dingin hingga saat ini melalui pembentukan peradilan
internasional, baik yang bersifat°ad hoc (ICTR dan ICTY).
Di Indonesia istilah
Kejahatan Terhadap Kemanusiaan, secara yuridis formal tertuang dalam UU No. 26
Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Undang-undang tersebut menyatakan bahwa
salah satu kewenangan Pengadilan HAM ini adalah mengadili Kejahatan Terhadap
Kemanusiaan sebagai salah satu bentuk pelanggaran HAM yang berat.
Kejahatan Terhadap
Kemanusiaan haruslah dilakukan secara meluas atau sistematis terhadap penduduk
sipil dan bukannya merupakan kejahatan yang bersifat spontan maupun sporadis.
Pengertian sistematis berkaitan dengan suatu policy/kebijakan/rencana yang
melatarbelakangi terjadinya tindak pidana tersebut, sedangkan pengertian meluas
(widespreacl) cenderung merujuk
pada jumlah korban (massive), skala kejahatan, dan sebaran tempat.
Kejahatan Terhadap
Kemanusiaan di Indonesia sebagai salah satu bentuk pelanggaran HAM yang berat
dalam UU No. 26 Tahun 2000, merupakan hasil "adopsi" Statuta Roma
Tahun 1998 yang menjadi dasar pembentukan ICC atau Mahkamah Pidana Internasional
yang bermarkas besar di Nederland Belanda.
Instrumen Hukum Nasional
Indonesia (UU No. 26 Tahun 2000) maupun insqumen Hukum Internasional (Statuta
Roma Tahun 1998 dan Resolusi DK PBB) merupakan suatu Pranata Hukum yang
berfungsi sebagai "payung" dalam mengadili para pelaku Kejahatan
Terhadap Kemanusiaan. "Lahirnya" berbagai peradilan HAM, baik yang
bersifat nasional (Pengadilan HAM Ad
Hoc Indonesia) maupun internasional (ICTT, ICTN, ICTR, ICTY, maupun ICC)
lebih merupakan bukti keseriusan umat manusia dalam masalah HAM dengan
menciptakan suatu Lembaga Hukum yang diharapkan mampu "mentransfer"
keadilan bagi korban pelanggaran HAM yang berat pada umumnya dan Kejahatan
Terhadap Kemanusiaan pada khususnya.
Atternatif
Meminimalisasi Petanggaran HAM Dalam Penegakan Hukum Pidana
Pendahuluan
Hingga saat ini masih
terdapat tindakan kekerasan yang dilakukan Polri dalam upaya penegakan hukum
dan penanggulangan kejahatan, tindakan tersebut dapat terjadi karena "ulah
oknum" atau tindakan yang sudah melembaga sebagai "suatu
sistem", karena bagaimana pun oknum yang melakukan tindakan kekerasan
adalah produk dari sistem itu sendiri.
Sebagai contoh kasus,
tindakan Polri dalam pengungkapan kasus terutama penangkapan terhadap pelaku
atau yang diindikasikan sebagai pelaku kejahatan masih dilakukan dengan
tindakan kekerasan. Hal tersebut sebagai salahsatu bentuk penyalahgunaan
kekuasaan dalam proses peradilan pidana, pada proses pra adjudikasi seringnya
digunakan kekuasaan yang melampaui kewajaran (unnecesary force) yang sering terjadi dilakukan
oleh polisi. Sebagai contoh, tembak di tempat (deadly force) terhadap pelaku kejahatan yang hendak ditangkap
dengan alasan penjahat tersebut hendak melarikan diri. Hal ini tentunya
bertentangan dengan HAM, karena polisi telah melakukan kekerasan yang melampaui
keperluan (unnecessary use).'
Ironisnya tindakan kekerasan
yang dilakukan Polri dikomersialisasikan menjadi "entertaint"
tersendiri yang dikemas dan dipertontonkan di media elektronik kepada khalayak
sebagai sarana hiburan. Apabila dikaji secara mendalam, justru tindakan Polri
tersebut telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana, dan timbul pertanyaan
bagaimana pertanggungjawaban pidananya, demikian pula konsekuensinya pada
korban terhadap perbuatan yang telah dilakukannya?
Berkaitan dengan penayangan
tindakan kekerasan yang dilakukan oleh Polri dalam media elektronik, pertama
dapat menimbulkan "rasa dendam" bagi pelaku kejahatan dan hasilnya
justru kontra produktif, kedua hal yang sia-sia bagi Polri melakukan penyamaran
sebagai penyelidik, kalau nyata nyata wajah dan identitasnya dikenali orang,
yang hanya sekedar ingin popularitas dan ha) demikian bukanlah tindakan yang
profesional.z Meskipun Polri saat ini tidak lagi berada dalam satu atap dengan
TNI, namun Polri belum mampu meninggalkan budaya militer yang sudah tertanam
sejak lama.' Dapat dimaklumi, bahwa membangun pemahaman yang sama dari segenap
komponen bangsa Indonesia yang tengah berada dalam proses transisi memang tidak
mudah, sebab nilai-nilai baru yang dipandang baik dan ingin diterapkan dalam
kehidupan bersama belum dapat dipraktekkan secara mapan, akan tetapi
nilai-nilai lama sudah mulai ditinggalkan. Masalah demikian memang merupakan
masalah umum yang selalu dihadapi oleh setiap negara berkembang,4
seperti halnya Indonesia.'
Satjipto Rahardjo dengan mengutip pendapat
Reiss, menyatakan bahwa:
Patokan
yang dapat dipakai sebagai ukuran (kriteria) untuk menilai bahwa kekuasaan
dalam bentuk kekerasan telah terjadi (digunakan) secara tidak pada tempatnya,
yaitu:
a. apabila seorang polisi menyerang seseorang secara
fisik dan kemudian gagal untuk melakukan
penahanan; penggunaan kekuasaan yang wajar diikuti oleh penahanan;
b. apabila seorang warga negara yang pada waktu ditahan
tidak melakukan perlawanan, baik dengan perbuatan maupun katakata; kekerasan
hanya digunakan jika diperlukan untuk melakukan penahanan;
c. apabila seorang polisi, sekalipun pada waktu itu ada
perlawanan terhadap usaha penahan, masih bisa dengan mudah di atasi melalui
cara-cara lain;
d. apabila sejumlah polisi ada di situ dan bisa membantu dengan cara menggiring warga
negara bersangkutan ke kantor, tempat penahanan atau kamar interogasi;
e.
apabila seseorang ditahan itu diborgol dan tidak berusaha untuk
lari
atau melakukan perlawanan dengan kekerasan;
f.
apabila warga negara melawan, tetapi penggunaan kekerasan
masih
saja berlangsung, sekalipun orang itu sudah ditundukkan.
Berkaitan dengan apa yang
telah diuraikan di atas, dalam kenyataannya polisi dianggap belum menegakan HAM
secara baik, sehingga sebagai ujung tombak dalam sistem peradilan pidana (SPP)
diasumsikan sebagai awal kekacauan dalam penegakan hukum (trouble maker). Berdasarkan hal
demikian maka polisi dianggap sebagai aparat penegak hukum yang tidak
profesional. Apabila cara-cara penegak hukum seperti itu terus dilakukan, maka
tidak hanya berpengart.rh terhadap citra aparat penegak hukum, tetapi juga
berpengaruh terhadap solidaritas masyarakat. Di dalam era globalisasi di mana
dikehendaki penegakan hukum yang didasarkan suatu kerangka hukum yang baik atau
baku (good legal system), maka
suatu negara apabila melakukan penegakan hukum yang melanggar HAM sudah pasti
akan dikritik dan bahkan diisolir oleh
negara-negara lainnya sebagai anggota masyarakat dunia yang tidak mempunyai
komitmen terhadap HAM.
Hal demikian ini, tentu
berpengaruh terhadap eksistensi negara demokrasi maupun sebagai negara hukum,
karena konseprlemokrasi, penegakan hukum, dan perlindungan terhadap HAM
berhubungan erat (linkage) satu dan
lainnya. Bahkan penegakan hukum yang baik merupakan suatu prakondisi (prerequisite) terhadap keberadaan
dan berfungsinya demokrasi.
Diskresi
Dalam Penegakan Hukum Pidana
Penyimpangan dalam penegakan
hukum yang tidak berdasar sama sekali (penyimpangan negatif), akan nampak sebagai
penegakan hukum yang bersifat represif. Akan tetapi clapat saja terjadi
penyimpangan penegakan hukum dalam rangka untuk mencapai tujuan hukum yang
didasari kepentingan umum, merupakan usaha menciptakan kesejahteraan
masyarakat (social welfare), sehingga
dalam penegakan hukum dapat saja terjadi sebagai actual enforcement yang tidak dapat dihindari. Namun demjkjan actual enforcement dalam hal ini
dilakukan semata-mata untuk mengisi kekosongan hukum yang ada.
Dengan mengutip pendapat
Satjipto Rahardjoe yang menyatakan bahwa, penegakan hukum pada hakikatnya
merupakan penerapan diskresi (kebijakan) yang membuat keputusan hukum tidak
secara ketat diatur undang-undang melainkan juga berdasarkan kebijaksanaan
antara hukum dan etika. Oleh karena itu pertimbangan secara nyata hanya dapat
diterapkan selektif dan masalah
penanggulangan kejahatan. Dengan demikian dalam menerapkan diskresi harus
mempertjmbangkan beberapa faktor, apabila penegak hukum bertindak, apakah ada
pihak-pihak lain yang akan mengalami gangguan, adakah yang dirugikan atau
tjdak, apabila dilakukan penindakan tertentu, apakah akan menghasilkan situasj
yang lebih baik daripada sebelumnya, apabila penegak hukum terpaksa melanggar
perintah atasan untuk memperbaiki keadaan yang dapat menimbulkan akibat lain.
Apalagi bila hal tersebut dikaitkan dengan kekuasaan Polri yang menyangkut
tugas, fungsi dan wewenang.
Berdasarkan ketentuan
normatif yang mengatur dapat dikemukakan bahwa, kekuasaan yang dimiliki Polri
terlalu luas, untuk itu diperlukan persyaratan-persyaratan yang harus dimiliki
oleh polisi, terutama dalam hal menilai suatu perkara yang dihadapi. Sebagai
contoh, sebelum melaksanakan penyidikan polisi melakukan penyelidikan terlebih
dahulu, sesungguhnya tindakan penyelidikan ini merupakan filter terhadap
peristiwa yang terjadi, apakah dapat dilakukan penyidikan atau tidak. Berkaitan
dengan hal tersebut Kadri Husin' menyatakan bahwa, berdasarkan wewenang yang
ada padanya, polisi dapat menilai dan menentukan suatu peristiwa sebagai tindak
pidana atau bukan tindak pidana. Jika peristiwa tertentu dianggap sebagai
tindak pidana, polisi melakukan tindakan penyidikan. Kewenangan yang dimiliki
oleh polisi tersebut tidak dapat diartikan bahwa polisi boleh menggunakan hak
atau wewenangnya didasarkan kriteria "mau atau tidak mau", wewenang
kepolisian atau "police discretion" lebih ditekankan kepada
"kewajiban" menggunakan wewenangnya.
Kewenangan pemberian
diskresi yang ada pada Polri bukanlah masalah yang sangat sederhana, karena
dapat saja terjadi konflik kepentingan antara hukum dan masyarakat. Dengan
demikian dalam penggunaan diskresi harus berhati-hati, penerapannya harus
dengan penuh pertimbangan dan dilakukan oleh anggota polisi yang mempunyai
dedikasi dan intelektual yang tinggi. Hal tersebut sesuai dengan pendapat
Alvina Treut Burrow,10
diskresi adalah, "ability to
choose wisely or to judge for
oneself". Definisi ini memberikan pemahaman bahwa faktor kearifan
dan sikap tanggungjawab seseorang merupakan unsur penting dalam diskresi.
Sedangkan menurut Thomas Aaron," diskresi adalah "... power outhority conferred by law to action on the basic judgement or conscience, and
its use is more an idea of moral than law". Dari definisi Aaron lebih
menekankan pada seorang agen, karena yang menjadi tekanan di sini adalah faktor
wewenang hukum yang dijalankan secara bertanggungjawab oleh seseorang dengan
mengutamakan pertimbangan moral daripada peraturan/hukum. Persoalan penggunaan
diskresi seperti diuraikan di atas, dialami pula oleh polisi dalam melaksanakan
tugasnya di Amerika Serikat. Diuraikan Jerome H. Skolnick1z bahwa:
"Polisi
yang menjalankan tugasnya dalam kerangka susunan negara
demokrasi,
di satu pihak dituntut untuk menjamin berjalannya "ketertiban",
sedangkan di lain pihak untuk menjalankannya dalam kerangka "rule of law". Diterimanya kedua
idetersebut, yaitu hukum dan ketertiban (law
and order), menyebabkan timbulnya komplikasi dalam pelaksanaan penegakan
hukum oleh polisi. Hukum dan ketertiban memiliki posisi yang bertentangan,
karena di dalam hukum terkandung pembatasan pembatasan terhadap tata kerja
untuk mencapai ketertiban."
Selanjutnya
dinyatakan oleh Skolnick, bahwa:
"Seorang
polisi cenderung untuk memelihara praduga bersalah. Jika ia melakukan penahanan
dan memutuskan untuk memproses seocang tersangka, maka seorang polisi rr-prasa
bahwa tersangka telah melakukan kejahatan sebagaimana yang disangkakan. la percaya bahwa sebagai
seorang spesialis dalam kejahatan ia mempunyai kemampuan untuk membedakan
antara yang bersalah dan yang tak bersalah."
Polisi dalam konteks "police judiciare" memandang
dirinya as a specialist in cririae (rtvestigation.
Dalam kaitannya dengan tug~s utama polisi menurut Undang-Undang.Negara
Republik Indonesia No. 2 T,ahun 2002 Tentang Kepolisian Negara, polisi adalah
pelayan sosial, teman, penjaga, moralis dan sekaligus pejabat hukum. Dalam
kedudukan yang demikian ini kekuasaan polisi `menjadi sangat luas" •
karena di samping memiliki kewenangan dalam tugas peradilan (preventif dan represi~, juga memiliki kewenangan
memasuki kehidupan masyarakat (police
in social control)." Akibatnya polisi memiliki pandangan yang
saling tumpang tindih pada saat melaksanakan tugas penegakan hukum di satu
pihak dengan tugas ketertiban dan keamanan di lain pihak. Sedangkan kedudukan
Polri dalam proses peradilan pidana berperan sebagai penjaga pintu gerbang atau
as a gate keepers15 yaitu melalui kekuasaan yang ada (police discretion) ia merupakan awal
mula dari proses pidana. Polisi berwenang menentukan siapa yang patut disidik,
ditangkap, dan ditahan. Dalam proses peradilan pidana yang merupakan
serangkaian rantai-rantai atau "the
series of chains", maka
kepolisian menempati posisi "sebagai penjaga pintu" atau "as a
gate keeper".
Untuk melaksanakan tugas dan
fungsi tersebut dibutuhkan Polri yang profesional ditunjang aspek-aspek yang
menuju independensi polisi sebagaimana dikemukakan Anton Sujata, adalah:
a.
Integritas pelaksana, berupa kemampuan dan
kemauan untuk mene
rapkan
nilai-nilai etika, nilai baik buruk serta nurani dalam mengemban
tugasnya;
b. Profesionalisme, berupa keterampilan serta
loyal itas dalam menerapkan nilai nilai kebenaran, baik prosedural maupun
substansial, berdasarkan peraturan perundangan ataupun kepatutan;
c. Public
accountability;
d.
Pengawasan struktural dan horizontal;
e.
Kewenangan yang tidak mutlak;
f. Transparansi;
g. Equality before the Law;
h.
Tindakan tegas terhadap penyimpangan dalam rangka pencegahan.
Dengan demikian
karakteristik institusi polisi yang diinginkan adalah, pelayanan gratis,
kesantunan dan sikap melindungj, sifat
tidak korup dan profesionalisme.
Prospektif Mediasi Sebagai Alternatif
Penyelesaian Kasus Dalam Sistem Peradilan Pidana
Cara-cara manusia
menanggulangi kejahatan sesungguhnya memiliki latar belakang sejarah yang
panjang seiring dengan perkembangan pengorganisasian masyarakat itu sendiri.
Dengan kata lain, keberadaan sistem peradilan pidana" tidaklah muncul
secara tiba-tiba, melajnkan muncul di tengah kehidupan masyarakat dengan
tingkat pengorganisasian yang kompleks.
Secara historis, kejahatan
yang dikenal sekarang menurut literatur di negara-negara barat (Amerika
serikat), sesungguhnya adalah "tort".
Dengan
kata lain, semua kesalahan (dalam bentuk kejahatan berat atau ringan) merupakan
kesalahan yang bersifat individual, antara pihak yang dirugikan dan pihak yang
merugikan (sengketa para pihak) dan tidak bersifat publik.
Dilihat dari segi tujuannya,
tidak ada bedanya apakah hak pembalasan terhadap pelaku kejahatan itu berada di
tangan pihak yang dirugikan (korban kejahatan) sebagaimana yang berlaku di
tengah kehidupan masyarakat sederhana, dibandingkan dengan kehidupan masyarakat
modern di mana hak pembalasan terhadap pelaku kejahatan diserahkan kepada
negara melalui perangkat pemerintahannya yang disebut sistem peradilan pidana.21
Perbeclaannya terletak pada tingkat pengorganisasian masyarakatnya. Masalahmasalah
sosial yang timbul dari kejahatan di tengah kehidupan masyarakat sederhana
masih cukup ditangani dengan eknik-teknik pengorganisasian yang masih
sederhana. Sebaliknya, manakala masalah-masalah sosial yang timbul dari
kejahatan di tengah kehidupan masyarakat modern demikian kompleks, maka
penanganan terpaksa harus ditangani melalui teknik pengorganisasian modern dan
terbirokratisasi, sebagaimana dikenal dengan istilah sistem peradilan pidana.
Sebagai perbandingan dapat dikemukakan peradilan pidana di Amerika Serikat ada
untuk pengendalian dan pencegahan kejahatan, dan sebagai sebuah proses, proses
peradilan pidana melibatkan lembaga-lembaga dan prosedur yang dirancang untuk
menangani kejahatan dan pelaku kejahatan. Dengan demikian peradilan pidana
adalah suatu organisasi yang kompleks dan banyak pihak yang terlibat. Oleh
karena proses peradilan pidana melalui beberapa tahap, maka administrasi
peradilan pidana seperti itu dianggap sebagai sebuah "sistem" peradilan
pidana.
Sistem peradilan pidana
terdapat kelemahannya, kelemahannya bukan hanya dalam kesamaan tujuan dan
hubungan timbal balik antara penegak hukum, tetapi juga termasuk penafsiran
individu mengenai kejahatan, hukum, bukti-bukti dan kelalaian dalam setiap tahap
pemeriksaan yang menimbulkan ineffisiensi.
Demikian pula halnya dengan
jenis-jenis perbuatan yang dilarang serta jenis pidana dan berat ringannya
pidana yang dapat dikenakan kepada pelaku tindak pidana. Mengenai hal ini tidak
ada keseragaman antara masyarakat yang satu dengan yang lain, sekalipun
masyarakat tersebut menjalani kehidupan dalam kesatuan wilayah suatu negara.
Berkaitan dengan hal ini, Philip P. Purpura menjelaskan sebagai berikut:
'While some crimes are federal
by nature, such as antitrust and interstate commerce violations, and other are
local, such as loitering or public drunkenness, most crimes are state crimes.
Murder, robbery, burglary, rape, and other dangerous acts, constitute the core
of the nation's serious crime problem. As we have seen, state legislatures
enact criminal statutes and procedural codes to cover crime and its punisment.
"
Dengan mengutip pendapat
Marc Ancel,25 yang menyatakan bahwa sistem pemidanaan bukan hanya
satu-satunya cara terbaik untuk menghadapi kejahatan, kejahatan bukanlah
sesuatu yang terjadi mendahului sistem hukum pidana melainkan merupakan hasil
dari pelaksanaan sistem hukum pidana tersebut, dan pelaku kejahatan bukanlah mahluk yang
terasing dan berbeda dengan warga masyarakat lainnya. Dalam beberapa hal
tertentu "kita semua adalah penjahat". Jeremi Bentham pernah pula
menyatakan, bahwa pidana janganlah diterapkan atau digunakan apabila
groundless, needless, unprofitable,
or inefficatious.
Beranjak dari pendapat di
atas, maka upaya penanggulangan kejahatan dapat djlakukan melalui alternatif
mediasi.Z' Pemikiran utama mengenai lembaga mediasi (lembaga perantara) dalam
peradilan pidana diilhami oleh adanya program anti kemiskinan di Amerika, di mana
tersangka diberikan kesempatan untuk memperoleh hak dan kesadaran untuk kembali
ke masyarakat dengan berdasarkan pada tindakan yang dapat dibuktikan.
Dalam mediasi pendekatan
yang dilakukan secara formal melalui kelompok dalam suatu masyarakat yang dilakukan
secara tidak langsung dengan melihat pada faktor-faktor penghambat yang
merugikan. Pendekatan secara non formal dilakukan dengan membuat suatu jaringan
yang meliputi tersangka dengan korbannya, sebagai contoh dapat diambil dari
kelompok masyarakat dan tempat lokasi terjadinya kejahatan. Menurut Philips
Priestley,2" bahwa suatu kasus untuk dapat diperiksa lebih jauh
mengenai ganti rugi serta rasa kemanusiaan darj tersangka utama dan korbannya
tidak begitu diperlukan dalam semua atau beberapa kasus, selanjutnya nilai dari
sebagian tersangka yang berhubungan dengan beberapa korban mempunyai implikasi
terhadap pandangan umum masyarakat terhadap tersangka.
Adapun cara kerja dari
lembaga mediasi adalah secara sukarela dengan melihat kepada keadaan korban dan
tersangka secara terpisah. Kemudian
proses u6ma dalam mediasi itu sendiri berdasarkan pada pengalaman pribadi yang
dialami oleh korban dati tersangka. Dasar dari program mecliasi dillndasi
pemikiran bahwa: criminal justice system
does not require the offender to face up to the consequences of the criminal act and the victim plays a passjve role in the judicial process29 (sistem peradilan pidana tidak
dapat m6minta tersangka untu"k menanggung segala akibat dari kejahatan
yang dilakukan-dan korban memainkan peran yang pasif di dalam proses
peradilan).
Pemikiran ke depan program
mediasi dari korban maupun tersangka adalah sebagai suatu program pengembangan
terhadap pelayanan masyarakat. Untuk itu dalam lembaga mediasi terdapat 3
(tiga) prinsip yaitu: pertama, pengadilan hanya mengenakan/memungut biaya yang
kecil atas persetujuan antara korban dan tersangka; kedua, seluruh proses yang
dialami oleh korban dan tersangka secara bersama ditanggung/dibayar secara
sukarela; dan ketiga, dalam
lembaga ini harus ada kordinasi antara pengadilan dengan kedua belah pihak, tersangka dan
korban.
Penutup
Dari
uraian yang dikemukakan di atas, upaya untuk meminimalisasi pelanggaran Hak
Asasi Manusia yang terjadi pada tahap pra-adjudikasi dan dalam proses peradilan
pidana, melalui upaya peningkatan profesionalitas Polri sebagai penegak hukum
dan pembina Kamtibmas, memanfaatkan upaya diskresi dalam penegakan hukum dalam
kasus-kasus tertentu, pemberian diskresi tentunya dengan pertimbangan yang
tepat, mencari alternatif lain dalam menyelesaikan kasus-kasus pidana dengan
mediasi. Hal-hal tersebut menjadi bahan pertimbangan karena seseorang masuk
dalam proses peradilan pidana ia akan mempunyai dampak yang sangat luas baik
dirinya maupun keluarganya, karena dapat terjadi seseorang yang menjalani
pidana, lantas keluarganya akan
kehilangan hak-haknya sebagai masyarakat pada umumnya. '
Korupsi,
Pidana Mati dan HAM Sekilas Tinjauan Sistem Peradilan Pidana
Pendahuluan
Sejak reformasi bergulir
pada tahun 1998 hingga sekarang
(tahun 2004), Indonesia belum
begitu banyak mengalami perubahan yang berarti dalam arti yang positif,
terutama reformasi di bidang hukum, khususnya di bidang hukum pidana. Lebih
subsidair lagi pada masalah korupsi, pidana mati dan hak asasi manusia (HAM).
Sejak pergantian kabinet
yang dipimpin Presiden B.J. Habibie ke Abdul Rahman Wahid dan Megawati
Sukarnoputri dengan kabinet gotongroyongnya, ketiga masalah itu, yakni korupsi,
pidana mati dan HAM, telah menjadikan optik yang disorot dengan tajam secara
terus merierus hingga sekarang, baik oleh masyarakat internasional maupun
domestik.
Untuk masyarakat domestik,
yang menjadi sorotan tajam (terutama menjelang Pemilihan Umum Presiden), adalah
tentang korupsi dan pelanggaran HAM. Dalam tulisan ini, penulis mencoba
merangkai secara kualitatif hubungan korupsi dengan HAM, korupsi dan pidana
mati, prognosa sekitar pidana mati, serta pidana mati dan HAM.
Plus
Minus Perkembangan Korupsi Sejak Reformasi
Sorotan masyarakat
internasional terhadap Indonesia dalam masalah korupsi ini, utamanya oleh International Transparancy (IT) yang
mendudukkan Indonesia sebagai negara terkorup di dunia, serta lembaga-lembaga
swadaya masyarakat lainnya (NGO) seperti Political
and Economic Risk Consultancy
(PERC). Menurut hasil survai yang diumumkan oleh PERC per 10 Maret 2002,
Indonesia menempati posisi sebagai negara paling korup di Asia dengan tingkat
skor 9,92. Skor yang diperoleh
Indonesia merupakan angka terjelek negeri ini sejak PERC melakukan survai dan
tahun 1995 (Kompas, Maret 2002). Pertanyaannya kini, adalah apakah tingkat
korupsi di Indonesia masih separah dengan hasil survai NGO-NGO internasional
itu? Ataukah malah meningkat atau berkurang?
Untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan tersebut, mari kita uji materiel diri sendiri daripada
sekedar orang lain (dibaca: masyarakat intemasional)berdasarkan data-data
empirik yang layak, serta pernyataan orang-orang yang berkompoten dan bisa
dipercaya. Bahwa sebelum dibeberkan hasil survei PERC dan IT mengenai tingkat
keparahan korupsi di Indonesia beserta ukuran-ukuran apa yang digunakan untuk
itu, namun demikian, kala itu kita tidak pernah mendengar perbuatan korupsi massal
dan penyulundupan massal. Kalaupun ada, mungkin tidak sekeliber sekarang ini.
Akhir-akhir ini, masyarakat
Indonesia dikejutkan dan dihebohkan oleh berita-berita di mass media bahwa
Bupati ini dan anggota DPRD itu telah melakukan korupsi. Sehingga muncullah
istilah "korupsi massal". Korupsi massal justru dilakukan oleh
orang-orang yang menamakan diri sebagai wakil rakyat, seperti yang terjadi di
DRRD Padang. Berikut wakil-wakil rakyat yang ingin menyaingi DPRD Padang adalah
dugaan korupsi pada anggota-anggota DPRD Jawa Tengah (Suara Merdeka, 14 Juni
2004). Dan beberapa waktu lalu, issue yang sama juga bergema di DPRD Jawa
Timur, DPRD DIY yang terkenal dengan kasus 'asuransigate'yang terungkap pada
bulan Mei 2003, serta beberapa daerah lainnya di seluruh Indonesia. Pendek
kata, virus korupsi mengalir seolah-olah ada sebuah tower yang mengirim
dan melancarkan sebuah sinyal-sinyal
korupsi dari satu tempat ke tempat lain, sehingga motif dan gerakannya sama.
Atas dasar fenomena ini sepertinya kita tidak perlu menunggu hasil survai dari
IT ataupun PERC untuk menilai tingkat korupsi di Indonesia berada pada level
mana.
Bahan analisis yang lain
adalah, pada bula Mei 2004 yang lalu, saat kampanye dialog Capres dan Cawapres yang diselenggarakan SCTV yang
dipandu oleh Rosiana Silalahi, dan
dihadiri oleh sejumlah Tim Sukses masing-masing Capres. Pada kesempatan
itu Sophan Sophian (SS) dan Tim Sukses Amin-Siswono menyampaikan sebuah kritik
tajam yang berkaitan dengan korupsi clengan menyatakan, bahwa "80 persen
pejabat/birokrat sekarang di negara ini
adalah korup". Suatu pernyataan yang sangat mengejutkan bagi seluruh
pemirsa SCTV saat itu.
Adakah itu sebuah fakta atau
hanya sebuah retorika politik yang tidak berdasar sama sekali, kecuali
keinginan SS saja agardapat meningkatkan simpatisan Amin Siswono pada Pemilu
Presiden 5)uli '2004? Untuk menguji apakah itu benar atau tidak, bisa saja kita
hubungkan dengan fakta-fakta yang ada.
Dalam acara Milad
Universitas Muslim Indonesia tanggal 2.4 Mei 2002, pada kesempatan itu turut hadir sebagai tamu khusus,
adalah Adi Sasono. Sebagai tamu beliau diberi kesempatan menyampaikan sambutan.
Dalam sambutan,nya itulah ia mengungkapkan sebuah data tentang penjualan asset
Bank Central Asia (BCA). Bahwa penjualan asset BCA kepada pihak asing yang
dilakukan oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dengan harga yang
sangat murah, yaitEi Rp. 11 trilliun Padahal menurut Adi Sassono, mantan
Menteri Koperasi Usaha Kecil dan
Menengah pada masa pemerintahan Habibie itu, seharusnya asset BCA
tersebut terjual senilai Rp. 100 trilliun. Dan hasil penjualan Rp. 11 trilliun
menurut Adi Sasono, ternyata hanya lima persen yang diterima oleh negara.
Jika kita mencoba
menganalisa kasus penjualan asset BCA tersebut, dan hasil penjualan yang dilakukan oleh BPPN
hanya Rp. 11 trilliun, pertanyaannya adalah mengapa paut harga dengan yang
seharusnya demikian besar? Apakah orang-orang di BPPN dan para,staf ahli di Kementerian BUMN mengenai
besarnya selisih harga yang luar biasa dengan harga yang seharusnya tidak
dimengerti oleh mereka? )ika benar apa yang dikemukakan oleh mantan menteri di
era Habibie itu, bahwa harga yang pantas terhadap asset BCA adalah Rp. 100
trilliun, sedangkan penjualan hanya Rp 11 trilliun, maka terdapat selisih nilai
sebesar Rp. 89 trilliun.
Karena terdapat suatu
perhitungan harga yang sangat tidak signifikan, yakni Rp 89 trilliun, maka hal
itu patut dipertanyakan. Dari interval harga yang sangat tidak signifikan
tersebut, dengan demikian terdapat potensi kerugian (termasuk kerugian negara)
dengan kisaran Rp 84 trilliun. Karena hanya lima trilliuN yang diterima oleh
negara.
Ditinjau dari segi hukum
pidana, khususnya undang-undang tindak pidana korupsi, maka peristiwa penjualan
asset BCA menganduqg beberapa kemungkinan. Pertama, terjadi suatu kesepakatan yang tidak fair dan;`tak dapat
dipertanggungjawabkan berdasarkan prinsip-prinsip akuntabilitas' piiblik yang
berlaku. Artinya, tindal¢tpdana korupsi telah terjadi. Kedua, terjadi suatu
kelalaian besar. Akan tetapi untLik kemungkinan yang kedua, dalam sebuah
lembaga professional seperti BPPN dan
lain sebagainya, kelalaian semacam itu tidak mungkin bisa terjadi.
Andaikata semua atau separuh
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dilakukan suatu divestasi dengan model
penjualan semacam BCA itu, maka kita dapat :berkata "Negara
benar-benar masuk ke dalam lubang buaya". )adi tidak saja mengalami
kebangkrutan seperti istilah yang digunakan oleh Pradjoto dalam berbagai
tulisannya.
Kendati bangsa Indonesia
diresahkan oleh hiruk-pikuk korupsi yang
wdah menggurita di mana-mana, ternyata keresahan itu telah mencair
kembali dan mengalirkan sebuah harapan
baru. Keresahan itu sedikit terobati setelah Pengadilan Negeri Padang, telah
memvonis 43 anggota DPRD sebagai pelaku tindak pidana korupsi. Vonnis PN Padang
itu benar-benar menyegarkan apa yang telah layu, dan membasahi apa yang sudah menjadikering.
Walaupun sifatnya masih sangat parsial, tetapi itu sebuah harapan. "Di
tengah-tengah kekeringan keadilan di negeri kita sekarang ini, apayang
dilakukan pengadilan di Padang seyogyanya benar-benar mendapatkan penghargaan
yang setimpal. Maka sekarang menjadi tugas kita semualah, khususnya dunia
hukum, menggelindingkan "keadilan Padang" itu sehingga 'virus Padang'
tersebut menyebar ke seluruh penjuru pangadilan di negeri ini." Demikian
pesan Maha Guru-Prof. Satjipto Rahardjo (Kompas,
12 Juni 2004).
Mencoba
Menemukan Pemaknaan Korupsi
Kasus korupsi yang paling
banyak dibicarakan orang pada awal tahun 2004,
adalah kasus Buloggate II, saat kasus ini tengah digelar di Mahkamah
Agung Republik Indonesia (MA), yang melibatkan Ketua Umum Golkar, Akbar Tanjung
sebagai terdakwanya. Bahkan sehari sebelum MA memutus perkara ini, Prof. Muladi
berkomentar pada Harian Suara Merdeka Semarang,
bahwa kasus Buloggate II merupakan batu-uji sistem peradilan pidana di
Indonesia apakah supremasi hukum benar-benar diupayakan untuk ditegakkan atau
tidak. Sebelum perkara tersebut diputus, seandainya dilakukan voting mengenai
prediksi jenis putusan yang bagaimana yang diambil oleh MA pada pertengahan
Februari 2004 itu, apakah
memvonis bebas atau menjatuhkan pidana, maka barangkali lebih banyak yang
menjatuhkan pilihannya, bahwa Tanjung pasti dijatuhi pidana. Terutama setelah
dua tingkat pengadilan di bawah MA, yaitu PN dan PT telah memvonis Tanjung, bahwa ia secara
meyakinkan- bersalah melakukan korupsi.
Tentu saja penulis tidak
bermaksud mengungkit apalagi menilai Putusan MA tersebut. Karena bagaimana pun
juga itu merupakan suatu putusan Lembaga Tinggi Negara yang legitimate dan kita semua
menghormatinya. Seperti komentar Prof. Satjipto Rahardjo, sehari setelah putusan
MA pada Harian Suara Merdeka Semarang,
bahwa "Putusan MA itu kita hormati. Tapi hormat bukan berarti
setuju".
Terlepas dari kasus
Buloggate II, putusan-putusan pengadilan yang memvonis bebas terdakwanya,
seperti kasus Dana SWKP di Makassar dan lain-lain, Jaksa Penuntut seringkali
dikalahkan oleh kepiawaian Pengacara yang menangani perkara korupsi. Piawai
dalam arti yang positif, sebab kita juga tahu bahwa ada juga kepiawaian dalam
arti yang negatif. Piawai yang penulis maksud di sini adalah kepiawaian dalam
arti yang positif itu.
Sebagai contoh, para
pengacara yang piawai itu, menguraikan sedemikian rupa suatu kasus korupsi,
lalu sekonyong-konyong ia berkesimpulan, bahwa perk.tra itu bukan perkara
korupsi melainkan kasus perdata. Atau pengacara menempuh strategi lain dengan
cara mengalihkan perhatian Jaksa Penuntut dari susbtansi perkara yang
dihadapinya sehingga perhatian tidak terfokus kepada inti masalah tersebut.
Seperti mempersoalkan "tempat duduk terdakwa saat persidangan
climulai" seperti yang pernah terjadi di PN Makassar. Strategi ini
benar-benar bisa merepotkan Jaksa Penuntut Umum.
Mengapa para advokat itu
bisa berkomentar/berstrategi sedemikian rupa? Karena ingin memenangkan perkara
tanpa banyak rintangan. Mereka menekankan pengamatannya pada unsur
"kerugian negara" yang dihubunghubungkan dengan
perjanjian-perjanjian yang bersipat privat, karena unsur ini sangat tipis
bedanya antara sifat perdata dengan sifat pidananya.
Menurut hemat penulis,
perbuatan korupsi berawal dari adanya `penyalahgunaan kekuasaan" (abuse of power). Persoalan adanya kerugian
negara atau tidak hal mana hanyalah sebuah akibat. Bukan berarti persoalan
"akibat" tidak diperlukan di sini. Oleh karena itu, Jaksa Penuntut di
samping memang perlu membuktikan adanya unsur kerugian negara, namun yang
paling penting harus dibuktikan secara rinci dan mendetail adalah
penyalahgunaan kekuasaan` itu. Sebab bilamana telah terjadi dan terbukti secara
meyakinkan terjadi penyalahgunaan kekuasaan/kewenangan, sekalipun tidak/atau
kurang bisa dibuktikan adanya kerugian negara, maka itu berarti terjadi
"percobaan melakukan korupsi". Sebab menyalahgunakan kekuasaan
berarti terjadi penipuan publik. Masalah percobaan dalam tindak pidana korupsi
(seperti halnya tindak pidana ekonomi), dianggap sama dengan perbuatan yang
telah selesai menurut undang-undang. Artinya, si terdakwa dianggap sama telah
melakukan perbuatan korupsi.
Memang setiap undang-undang
seringkali ditemukan titik-titik lemah. Pengacara dan Jaksa Penuntut adalah
wajar bila menemukan suatu strategi untuk memenangkan perkara. Salah satu
langkah untuk memperkuat strategi itu adalah lewat permainan kata-kata (language game) dan penelusuran makna
kalimat yang disebut dengan morphology
structure. Morphology structure yang diperkenalkan oleh Milovanovic
dalam bukunya A Primer In The
Socilogy of Law (1994), antara
lain dikemukakan bahwa "The application of doctrinal legal discourse
that is structured by a
relevant morphologil cal
structure (word meanings) and syntactical structure (linear corlstructions of narratives and texts) in doing "correct" reasoning
in law".' )adi di dalam pengorganisasian dan penelusuran makna kata dan
kalimat, struktur morpologi sangat penting artinya, termasuk pengorganisasian
dan penelusuran makna korupsi melalui abuse of power itu.
Korupsi
dan HAM
Pembicaraan mengenai
hubungan antara korupsi dan hak asasi.manusia (HAM) nampaknya memang belum
begitu banyak dibicarakan di kalangan akademisi dan praktisi. Hal ini mungkin disebabkan oleh
substansi tindak pidana korupsi secara tekstual tidak menyinggung langsung
hubungan antara substansi korupsi dan
HAM. Padah_al korelasi keduanya secara kontekstual justru sangat jelas.
Dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 Tentang~pnyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, antara lain disebutkan:
"bahwa
praktik korupsi, kolusi dan nepotisme
tidak hanya dilakukan antar-Penyelenggaraan Negara melainkan juga antara
Penyelenggara
-'Negara dan pihak
lain yang dapat merusak sendi-sendi kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara, serta membahayakan eksistensi
negara, sehingga diperlukan landasan hukuiii untuk pencegahannya".
Landasan
filosofis yang tertuang di dalam diktum UU No. 28/1999, berakar
pada penegasan, bahwa korupsi, kolusi dan
nepotisme (KKN) itu sangat potensial merusak send i-send
ikehidupan,masyarakat, bahkan bisa membahayakan eksistensi negara. Hal ini
cukup terbukti dan sangat beralasan. Bukti-bukti secara faktual telah
dirasakan oleh masyarakat bangsa -P Indonesia, bahwa sejak tahun 1997 di mana
KKN cukup merebak di mana-mana hingga sekarang ternyata cukup
menyengsarakan rakyat. Katakanlah uang yang dihorup itu adalah uang negara
dan hanya dinikmati olefi segelintir
orang di ibu kota-ibu kota. Uang negara yang dikorup pada kakekatnya secara
tidak langsung terdapat hak-hak masyarakat sebagai rakyat negara.
Oleh karenanya, uang negara
yang dirampas oleh orang-orang yang tidak
bertanggung jawab, secaraF,fidak langsung pula merampas hak-hak masyarakat.
Karena mereka telah merampas hak-hak masyarakat dengan cara korupsi, maka itu
berarti terjadi juga pelanggaran hak asasi manusia. Sebab dalam setiap rupiah
uang milgC negara terdapat juga hak milik masyarakat. Masyarakat di sini bukan
hanya sekedar warga negara, tetapi bisa juga berarti "masyarakat dalam
arti sebagai manusia yang mempunyai hak atas kekayaan perdata negara".
Timbul suatu pertanyaan,
bahwa bagaimana kita bisa mengatakan bahwa
dalam setiap rupiah keuangan milik negara inklud juga keuangan milik
masyarakat? Karena keuangan negara ada juga yang bersumber dan masyarakat
dan akan dikembalikan ke masyarakat lagi
berdasarkan ketentuan yang berlaku. Jadi, bilamana uang itu clikorup, maka itu
berarti ada hak rakyat yang tidak dikembalikan dan tidak jadi dinikmati karena terjadi korupsi.
Dalam konteks pengertian inilah yang penulis maksudkan adanya korelasi hubungan
antara korupsi dan HAM. Artinya, bila
terjadi korupsi, maka di situ terjadi juga pelanggaran HAM. Penuliwyakin banyak
kalangan yang tidak sepaham dengan pandangan ini. Secara akademik, itu adalah
sesuatu yang wajar. Tetapi secara eksepsional pidana, hal ini meliirik untuk
dipikirkap bersama.
Korupsi
dan Pidana Mati
Jika kita perhatikan
perilaku korupsi yang demikian parah di Indonesia, mungkin sudah saatnya kita
pertegas strategi pemberantasaanya yang tidak sekedar bersifat sublimasi.
Daripada sekedar gonta-ganti kebijakan, yang justru hanya melahirkan sugtu
ketidakpastian hukum. Sudah saatnya kita mencontoh ti&negasan strategi pemberantasan
korupst' di Korea Selatan yang bersamaan dengan Indonesia ditimpa krisis pada
tahun 1997. Tetapi kini Korsel
sudah berhasil keluar dan krisis itu, karena pemberantasan korupsi di mulai
dari atas. Benar-benar mereka memberlakukan asas equality before the law. Demikian juga di Republik Rakyat Cina.
Adakah Pemimpin di Indonesia yang berani sekaliber dengan Perdana Menteri RRC,
Zhu Rongji yang, terkenal dengan konsepnya "pesanan 100 peti mayat"?
Pesanan seratus peti mayat
itu satu untuk dirinya dan 99 untuk
pejabat pemerintah yang terbukti korupsi. Dengan tindakannya, dia berhasil
membawa China sebagai negara paling aman dalam berinvestasi (Kompas, 12 Juni 2004). Atau jika kita ingin yang lebih lunak, kita dapat
meminjam konsep Taverne dari Belanda yang mengatakan "Berikan padaku jaksa
dan hakim yang baik, dengan peraturan yang buruk pun saya bisa membuat putusan
yang baik" (Satjipto Rahardjo, Kompas, 12 )uni 2004).
Di Indonesia, korupsi secara
legal formal telah diakui sebagai perbuatan durjana (crimina extra ordinaria),
atau perkembangan terakhir muncul konsep kejahatan luar biasa (extra ordinary criiries) seperti terorisme,
korupsi, dan pelanggaran HAM berat dan sebagainya yang membutuhkan 'extra ordinary measures' yang
memperhitungkan variable-variable due
process of law, national defence,
victim of crime and international peace and security.'
Repotnya di Indonesia bahwa
sekalipun korupsi itu diketahui sangat membahayakan masyarakat dan negara,
tetapi tetap saja korupsi menjalar terus, political W)II
pemerintah yang nampak secara konkrit tidak begitu jelas. Seringnya pemerintah
mengganti kebijakan hukum di bidang pemberantasan korupsi tanpa
memperhitungkan yang sudah ada, justru hanya melahirkan ketidakpastian hukum.
Hanya dengan ketegasan penanganan korupsi, isyarat corrup optimi pessima akan bisa teratasi dengan baik.
Penutup
Korupsi di Indonesia
nampaknya bukan hanya berskala merusak sendisendi perekonomian nasional dan
masyarakat. Tetapi sudah merobohkan sendi-sendi moral dan etika prinsip-prinsip
pemerintahan yang baik. Oleh karena itu sudah saatnya kalangan akademisi dan
praktisi hukum bersama dengan semua komponen bangsa menunjukkan keberanian
membangun kembali budaya hukum baru sesuai kebutuhan bangsa, sebagaimana
semangat yang terkandung dalam tema sentral Semi loka Nasional ini. Konsep
pedang keadilan dari PN Padang perlu menjadi bahan acuan.
Tulang punggung pedang
keadilan yang berada pada )aksa Penuntut Umum dan Hakim, perlu langkah-langkah
strategis untuk mengatasi kepiawaian seorang koruptor. Termasuk di antaranya
mempertimbangkan penjatuhan hukuman mati. Karena ternyata langkah ini sangat
efektif untuk mengatasi korupsi di berbagai negara seperti RRC dan Korea
Selatan, sekalipun pidana mati masih memunculkan pro-kontra di kalangan para
ahli hukum. Sebagai jalan tengah, penjatuhan pidana mati tetap dilakukan dengan
penuh prinsip kehati-hatian.
Tindak pidana korupsi
ternyata menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan pelanggaran HAM. Karena
korupsi bukan hanya sekedar merugikan keuangan negara, tetapi juga berpotensi
merusak sendi-sendi kehidupan sosial, seperti hak-hak ekonomi rakyat yang
melekat secara tidak langsung pada hak keperdataan negara.
Hak Asasi Manusia (HAM) Dalam Perspektif Hukum Perdata Sepanjang Masa
Pendahuluan
Di dalarri setiap
kesempatan, permasalahan Hak Asasi Manusia (HAM) selalu menjadi topik
pembicaraan yang aktual. Dan selalu dibahas guna memperoleh solusinya karena
selalu terdapat pembenturan dalam pembahasan, atau dikaji ulang karena
penafsiran (kepentingan) yangtidak sama. Kajian, perdebatan maupun diskusi
mengenai HAM selalu dapat dilakukan dengan beberapa alasan, antara lain
pemahaman yang tidak sama mengenai:
a. HAM
adalah hak semua orang yang berhubungan dengan pengakuan
terhadap
harkat dan martabat mariusia yang kadang
dinaifkan dan
belum
dinikmati oleh setiap manusia di dunia;
b. HAM adalah hak
manusia yang kodrati yang dalam hal tertentu diingkari oleh sesama manusia yang
lain, karena berbagai alasan dan
perbeclaan;
c. Terjadi
pengingkaran hak asasi manusia oleh seorang/kelompok suku
dan bangsa, Negara tertentu terhadap yang lain
karena perbedaan
kepentingan-kepentingan
tertentu;.., `
d. Terjadinya
pelanggaran HAM dalam kurun waktu tertentu atau dalam
kurun
waktu yang lama karena alasan-alasan sepihak yang mengakibatkan rusaknya suatu
tatanan keludupan dalam satu kawasan tertentu;
e. HAM harus
diperjuangkan secara terus menerus, mengingat pemahaman yang belum sama di
berbagai lapisan dan tempat.
Indonesia adalah negara
berkembang yang mempunyai clasar filosofi Pancasila,' yang di dalamnya telah
mengandung hak-hak asasi manusia. Tetapi meskipun demikian makna Pancasila
tersebut masih membutuhkan penjabaran lebih lanjut guna pelaksanaannya,
sehingga menjadi lebih bermakna terutama dalam rangka melaksanakan konsep HAM
secara operasional dalam rangka hidup berbangsa dan bernegara di dalam negara Republik Indonesia.
Khusus di Indonesia
mengingat pluralisme hukum perdata yang berlaku dengan tingkat harmoninisasi
yang fluktuatif, penerapan HAM dalam kurun waktu dua dasawarsa mengalami pasang
surut yang sangat berarti. 7imbul pertanyaan mendasar yang perlu dicari
jawabannya, yaitu apaA'ah masalah HAM yang berkaitan dengan hukum perdata cukup
layak untuk didiskusikan, mengingat masalah yang timbul justru berasal
dan luar lingkaran hukum perdata itu
sendiri?
Di dalam konsep hukum
perdata, hak sesama subjek hukum harus diakomodasi oleh subjek hukum yang lain.
Pelanggaran hak subjek hukum yang lain akan menciptakan kewajiban-kewajiban
tertentu bagi pihak yang melanggar.
Sesungguhnya secara mendasar
hal ini masih cukup relevan untuk didiskusikan mengingat lndonesia belum
mempunyai satu hukum perdata yang bersifat nasional dan komprehensif. Di samping itu juga dalam
banyak kasus terdapat letupan-letupan kecil tentang penerapan hukum yang
menyangkut HAM khusus tentang perlakuan yang diskriminatif terhadap
subjek-subjek hukum di dalam wilayah Republik Indonesia.
Pada kesempatan ini perlu
kiranya dilakukan inventarisasi sederhana mengenai penerapan HAM pada bidang
hukum perdata di Indonesia dan bagaimana
implikasinya di dalam masyarakat. Kemudian apakah untuk masa ke depan dapat
dipakai sebagai titik tolak guna penyusunan dan
dalam rambu-rambu perlindungan HAM individu dalam suatu struktur
peraturan hukum perdata yang ideal.
Hukum
Perdata dalam Sistem Hukum Indonesia
Hukum Perdata dalam
pemahaman yang luas dapat diartikan sebagai suatu rangkaian perangkat hukum
yang mengatur subjek hukum dalam berinteraksi dan bertransaksi dalam masyarakat sejak lahir
sampai meninggal dunia.
Menurut pendapat penulis,
terdapat tiga fase utama mengenai penerapan HAM dalam siklus kehidupan manusia,
apabila dipandang dari sisi hukum perdata:
a.
Pertama, sebelum manusia lahir, artinya belum menjadi sebagai subjek hukum
sepenuhnya;
b.
Kedua, sesudah menjadi subjek hukum, sebelum dewasa, di mana
semua kepentingannya masih diwakili oleh
orang tua atau wali;
c.
Ketiga, pada saat sudah dewasa dan
melakukan aktivitas atas tanggungjawab sendiri.
Pada saat ini setiap manusia
adalah subjek hukum yang bebas dan
merdeka melakukan aktivitas, sehingga berada pada posisi yang sama
dan tanpa diskriminasi dalam melakukan
aktivitas. Yang berbeda adalah hak dan kewajiban
secara proporsional. Jadi dalam ketiga fase itulah HAM dapat diimplementasikan dengan konsep dasar hukum perdata.
Karena faktor sejarah yang
panjang Indonesia mengenal paling tidak lip
sistem hukum perdata, yaitu (disusun secara kronologi berdasarkan
heberadaannya):
a. Sistem
Hukum Perdata Adat yang dipengaruhi oleh agama Hindu dan Budha, eksistensinya
masih kokoh;
b. Sistem
Hukum Perdata Islam yang bersumber dari agama Islam;
c. Sistem
Hukum Perdata Barat, berasal dari Barat/Belanda berlaku karena politik hukum
Belanda, sekarang mulai dipengaruhi oleh sistem hukum common law.
Ketiga sistem hukum perdata
tersebut secara simultan diterima di dalam onasyarakat dan dianggap berlaku
dengan berbagai alasan dan kepentingan sesuai dengan kebutuhan. Khusus yang
berkaitan dengan HAM, Hukum Perdata "Barat"
sudah menttnjukkan adanya konsep yang sangat perspektif, Vaitu dilarang adanya keputusan hukum
yang mengacu pada kematian perdata 9ejak
sebelum abad kesembilan belas yang mengakui persamaan laki-laki ran wanita pada posisi yang sama dan
tanpa diskriminasi dalam melakukan alQivitas; yang berbeda adalah hak dan
kewajibannya secara proporsional.
Secara hakiki hukum perdata
sebagai suatu sistem, mengatur mengenai bidup
dan kehidupan subjek hukum sejak lahir sampai meninggal dunia.
Menurut pendapat penulis,
pada setiap fase perjalanan kehidupan manusia selalu membutuhkan aplikasi
perlindungan HAM secara proporsional. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, di
dalam keperdataan, HAM rveliputi hak-hak sipil, ekonomi dan sosial dan hak
kultural.
Kandungan Aspek Keperdataan
Dalam Undang-Undang HAM Indonesia
Di dalam Undang-Undang HAM Indonesia, yaitu
di dalam UU No. 39 Tahun 1999 dapat diinventarisasi kandungan yang mengatur
keperdataan adalah hal-hal yang menyangkut eksistensi tentang manusia sebagai
subjek hukum:
a)
Di da)am pertimbangan:
a.
Adanya pengakuan terhaclap eksistensi manusia dan kemanusiaan;
b.
Adanya pengakuan terhadap harkat dan
martabat manusia serta kemuliaan dan
harmonisasi manusia dan alam;
c. Pengakuan terhadap hak dasar secara kodrati yang
melekat pada manusia bersifat universal dan
langgeng yang tidak dapat diabaikan clikurangi atau dirampas oleh
siapapun.
b) Di dalam batang tubuh Undang-Undang: .
a.
Pengakuan terhadap keberadaan manusia sebagai subjek hukurn yang bermartabat;
1)
Pengakuar.i manusia adalah subjek hukum dengan kebebasan dasar manusia.
2)
Pengakuan kesederajatan dan perlakuan
hukum yang adil dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
3)
Pengakuan perlindunjgan hak atau tanpa diskriminasi di mata hukum.
4) Pengakuan terhadap hak untuk hicFup dengan pembebasan
dalam kebebasan asasi.
5) Pengakuan manusia sebagai manusia pribadi, pribadi
yang sama di depan hukum.
b.
Pengakuan dan perlindupgan hak-hak
pribadi, antara lain:
1) hak untuk hNdup, berkeluarga melanjutkan keturunan
mengembangkan diri.
2). memperjuangkan dan
memperjuangkan hak-haknya
c. Pengakuan khusus terhadap hak-hak wanita dan anak.
d. Penegakan hak dan perlindunghan hak asasi manusia dalam
perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat
hukum adat.
c) Kewajiban-kewajiban dasar di bidang hukum perdata bagi
seseorang merupakan hak bagi orang lain antara lain adalah:
a. hak untuk dihormati hak asasinya oleh orang lain
secara moral, etika dan tata tertib
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.
Meskipun demikian, HAM
subjek hukum tetap dibatasi oleh ketentuan undang-undang lain, dalam rangka
menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan
dalam kesusilaan, ketertiban umum dan
kepentingan bangsa dan negara.
Menurut pendapat penulis,
kebebasan subjek hukum dalam rangka menegakkan haknya sesungguhnya sangat
terbatas dan bukan tanpa batas. Kebebasan kita sesungguhnya hanyalah sepanjang
"rentangan tangan" kita karena melampaui itu kita sudah melanggar hak
orang lain.
Perspektif HAM dalam Hukum Perdata Nasional
Hukum Perdata Nasional mengandung pengertian
sebagai suatu sistem hukum Perdata yang secara Nasional berlaku bagi warga
negara Indonesia.
Mengingat sistem hukum
tersebut berlaku secara nasional, tentu saja orientasinya ke depan harus
mengakomodir prinsip-prinsip HAM sebagai konsep dasar dalam rangka realisasi pengakuan terhadap eksistensi.
Manusia sebagai subjek hukum yang hak-hak asasinya harus teoritis, dapat diprediksikan
bahwa Hukum Perdata Nasional yang akan datang sebagai suatu perangkat
perundangan yang mengatur kehidupan manusia dalam bermasyarakat, antara lain:
a.
Pengakuan terhadap eksistensi bahwa manusia
warga negara Indonesia adalah sama di mata hukum dan tidak dapat
didiskriminasikan kedudukannya karena perbedaan ras, agama dan status sosial;
b.
Dalam rangka mencapai suatu keadilan yang
manusiawi tidak diperkenankan adanya hukum yang mencerminkan kematian perdata
dalam bentuk apapun;
c.
Kewajiban-kewajiban moral bagi setiap subjek
hukum mengakui dan menghargai HAM orang lain di luar dirinya sendiri.
Penutup
Berangkat dari
pemikiran tersebut di atas dapatlah ditarik satu hal utama, bahwa meskipun UU tentang HAM sudah
diundangkan lengkap dengan Hukum Perdata
sudah mengatur tentang Hak Asasi Manusia secara lengkap, hal ini menjadi tidak berarti dan
bermakna apabila:
a.
Tidak ada political will dari pemerintah
untuk dengan iktikad baik melaksanakan perlindungan terhadap hak asasi manusia;
b.
Tidak didukung oleh kinerja para penegak
hukum secara profesional;
c.
Tidak diikuti oleh pelaksana hukum yang
sesungguhnya, yaitu masyarakat berbudaya hukum yang "adil dan
beradab".
Kajian
HAM dan Kejahatan Ekonomi Terhadap Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 Tentang Pasar
Modal
Pendahuluan
Gemuruh dan hingar bingarnya pasar modal di mana-mana
tidak terkecuali Indonesia telah
berkembang menjadi suatu target di mana banyak pikiran dan uang dicurahkan oleh banyak orang. Sedemikian besar kekuatan
yang ada pada pasar modal,
sehingga apabila orang berbicara tentang bursa saham Wall Street di New York
misalnya, seakan orang-orang sedang berbicara tentang suatu gudang tempat
menyimpan uang.
Tidak heran orangpun
berlomba-lomba untuk sekadar meraih untung di sana. Maka seperti biasanya terhadap kegiatan-kegiatan yang
gemerlapan dan bergelimang
dengan uang, trik-trik bisnis (sehat atau tidak sehat) sering terjadi di sana.
Karena kuatnya pandangan bahwa pasar modal bukanlah x,fnacam kasino
tempat berjudi, maka aturan-aturan mainpun diperketat. eahkan sedemikian
ketatnya, sehingga hampir seluruh langkah dan
gerak di pasar modal
diatur oleh sektor hukum. Tujuannya jelas, yakni agar tercapai rnsur-unsur
ketertiban, keadilan dan kepastian hukum
di pasar modal.
Pemerintah telah
mengeluarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 rentang Pasar Modal Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64. Undang-undang ini disahkan 10
November 1995 dan mulai berlaku Januari 1996.
Bila kita perhatikan bagian
konsideran undang-undang ini, pasar modal mnempunyai peran yang strategis dalam
pembangunan nasional sebagai salah satu sumber pembiayaan bagi dunia usaha
dan wahana investasi antuk masyarakat.
Agar pasar modal dapat berkembang dibutuhkan adanya landasan hukum yang kokoh
untuk lebih menjamin kepastian hukum pihakpihak yang melakukan kegiatan di
pasar modal serta melindungi kepentingan masyarakat pemodal dari praktek yang
merugikan.
Identifikasi
Tindak Pidana Ekonomi Dalam UU No. 8 Tahun 1995 Jenis tindak pidana
yang terdapat dalam undang-undang ini terbagi menjadi dua kategori, yaitu pelanggaran dan kejahatan. Pelanggaran adalah tindak pidana
sebagaimana dimaksud dafam Pasal 103 Ayat (2), Pasal 105 dan Pasal 109.
Dilihat dari beratnya
ancaman hukuman, maka tindak pidana di pasar modal (kejahatan maupun
pelanggaran) memuat empat kategori berikut:
a. Kejahatan dengan ancaman hukuman
maksimum 10 tahun penjara
dan
denda maksimum 15 Miliar Rupiah. Ancaman ini dikenakan untuk kejahatan-kejahatan
di bidang pasar modal berkaitan dengan:
a) Barangsiapa yang secara langsung atau tidak langsung:menipu
atau mengelabui pihak lain dengan menggunakan sarana atau cara apapun;turut
serta menipu atau mengelabui pihak lain;membuat pernyataan tidak benar mengenai
fakta yang material atau tidak mengungkapkan fakta yang material agar pernyataan yang dibuat tidak
menyesatkan mengenai keadaan yang terjadi pada saat pernyataan dibuat dengan
maksud untuk mengunttmgkan atau menghindarkan kerugian untuk diri sendiri atau
pihak lain atau dengan tujuan mempengaruhi pihak lain.
b) Barangsiapa yang melakukan tindakan, baik langsung
maupun tidak langsung, dengan tujuan untuk menciptakan gambaran semu atau
menyesatkan mengenai kegiatan perdagangan, keadaan pasar, atau harga efek di
Bursa efek
c) Barangsiapa baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama
dengan pihak lain, dilarang melakukan 2 transaksi efek atau lebih baik langsung
maupun tidak langsung, sehingga menyebabkan harga efek di Bursa Efek tetap,
naik, atau turun dengan tujuan mempengaruhi pihak lain untuk membeli, menjual,
atau menahan efek.
d) Barangsiapa dengan cara apapun membuat pernyataan atau
memberikan keterangan yang secara materil tidak benar atau menyesatkan sehingga
mempengaruhi harga efek di Bursa Efek apabila pada saat pernyataan dibuat atau
keterangan diberikan:
·
dia mengetahui atau sepatutnya mengetahui
bahwa pernyataan atau keterangan tersebut secara materil tidak benar atau
menyesatkan, atau
·
pihak yang bersangkutan tidak cukup
berhati-hati dalam menentukan kebenaran materil dari pernyataan atau keterangan
tersebut.
e)
Barangsiapa yang merupakan orang dalam dari emiten atau
perusahaan
publik yang mempunyai informasi orang dalam
melakukan
pembelian atau penjualan atas efek:
f) Barangsiapa yang
merupakan orang dalam dari emiten atau perusahaan publik yang mempunyai
informasi orang dalam tersebut: mempengaruhi pihak lain untuk melakukan
pembelian atau penjualan atas efek dimaksud, atau
memberi
informasi orang dalam kepada pihak manapun yang patut diduganya dapat
menggunakan informasi dimaksud untuk melakukan pembelian atau penjualan atas
efek.
g) Barangsiapa yang berusaha
untuk memperoleh informasi orang
dalam
dari orang dalam secara melawan hukum (misalnya secara mencuri, membujuk, atau
dengan pakai kekerasan atau ancaman) dan kemudian diperolehnya kemudianmelakukan
pembelian atau penjualan di Bursa Efek emiten, atau perusahaan publik dimaksud,
ataupun perusahaan lain yang melakukan transaksi dengan emiten atau perusahaan
publik yang bersangkutan, atau mempengaruhi pihak lain untuk melakukan
pembelian atau penjualan atas efek dimaksud, atau memberi informasi orang dalam
kepada pihak manapun yang patut diduganya dapat menggunakan informasi dimaksud
untuk melakukan pembelian atau penjualan atas efek.
h) Perusahaan efek yang memiliki informasi orang dalam
mengenai emiten atau perusahaan publik melakukan transaksi efek emiten atau
perusahaan publik dimaksud, kecuali apabila:
- transaksi tersebut
dilakukan bukan atas tanggungannya sendiri, tetapi atas perintah nasabahnya;
dan
-
perusahaan efek tersebut tidak memberikan rekomendasi
kepada
nasabahnya mengenai efek yang bersangkutan.
i) Barangsiapa yang melakukanpelanggaran terhadap
ketentuan bahwa yang dapat melakukan penawaran umum hanyalah emiten yang telah
menyampaikan pernyataan pendaftaran kepada Bapepam untuk menawarkan atau
menjual efek kepada masyarakat dan
pernyataan tersebut telah efektif, kecuali dalam hal-hal yang dimaksud
dalam Pasal 70 Ayat (2) Undang-Undang Pasar Modal.
j) Barangsiapa baik langsung maupun tidak langsung
mempengaruhi pihak lain untuk melakukan pelanggaran seperti dimaksud dalam
huruf a sampai i tersebut di atas.
b. Kejahatan yang diancam hukuman maksimum 5 tahun
penjara dan denda maksimum 5 Miliar Rupiah. Ancaman hukuman seperti ini
dijatuhkan kepada kejahatan sebagai berikut:
a) Barangsiapa yang melakukan kegiatan usaha sebagai
Bursa Efek tanpa izin usaha dari Bapepam;
b) Barangsiapa yang menyelenggarakan kegiatan usaha
sebagai Lembaga Kliring dan Penyimpanan atau Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian tanpa memperoleh izin usaha dari Bapepam;
c)
Barangsiapa yang melakukan kegiatan Reksa Dana berbentuk
perseroan yang tidak memperoleh izin
usaha dari Bapepam;
d) Barangsiapa yang melakukan kegiatan usaha sebagai Perusahaan
Efek
tanpa memperoleh izin usaha dari Bapepam;
e)
Barangsiapa yang melakukan kegiatan sebagai Penasihat Investasi
tanpa
memperoleh izin usaha dari Bapepam;
f)
Barangsiapa yang melakukan kegiatan usaha sebagai Kustodian
tanpa
mendapat persetujuan dari Bapepam;
g)
Barangsiapa yang menyelenggarakan kegiatan usaha sebagai Biro
Administrasi
Efek yang telah memperoleh izin usaha dari Bapepam;
h) Barangsiapa yang melakukan kegiatan usaha sebagai Wali
Amanat tanpa terlebih dahulu terdaftar di Bapepam;
i) Para Akuntan, Konsultan Hukum, Penilai, Notaris, atau
Profesi lain yang ditetapkan sebagai Profesi Penunjang Pasar Modal, yang
melakukan kegiatan di bidang Pasar Modal, yang tanpa terlebih dahulu terdaftar
di Bapepam;
j) Barangsiapa yang baik langsung atau tidak langsung
mempengaruhi pihak lain untuk melakukan pelanggaran tersebut dalam angka 2
huruf a sampai tersebut di atas.
c. Kejahatan dengan ancaman hukuman maksimum 3 tahun
penjara dan denda maksimum 5 Miliar Rupiah. Ancaman hukuman seperti ini
dijatuhkan terhadap kejahatan sebagai berikut:
a)
Barangsiapa yang merupakan Perusahaan publik yang tidak
menyampaikan
pernyataan pendaftaran kepada Bapepam
sebagaimana
mestinya.
b) Barangsiapa yang dengan sengaja bertujuan menipu atau
merugikan pihak lain atau menyesatkan Bapepam, menghilangkan, memusnahkan,
menghapuskan, mengubah, mengaburkan, menyembunyikan, atau memalsukan catatan
dari pihak yang memperoleh izin, persetujuan, atau pendaftaran termasuk emiten dan perusahaan publik.
Barangsiapa yang baik secara
langsung maupun tidak langsung mempengaruhi pihak lain untuk melakukan
pelanggaran seperti dimaksud dalam angka 3 huruf a dan b tersebut di atas.
d. Pelanggaran dengan ancaman hukuman maksimum 1 tahun
kurungan dan denda maksimum Satu Miliar
Rupiah. Hukuman seperti ini diancamkan terhadap tindak pidana pelanggaran
sebagai berikut:
a)
Barangsiapa yang melakukan kegiatan sebagai Wakil Penjamin
Emisi
Efek, Wakil Perantara Pedagang Efek, atau Wakil Manajer
Investasi,
tanpa memperoleh izin dari Bapepam.
b) Barangsiapa yang merupakan Manajer Investasi dan/atau
Pihak Terafiliasinya yang menerima imbalan dalam bentuk apapun, baik langsung
maupun tidak langsung, yang dapat mempengaruhi Manajer Investasi yang
bersangkutan untuk membeli atau menjual efek untuk Reksa Dana.
c) Barangsiapa yang baik secara langsung maupun tidak
langsung mempengaruhi pihak lain untuk melakukan pelanggaran seperti dimaksud
dalam angka 4 huruf a dan b tersebut di
atas.
Identifikasi
Beberapa Tindak Pidana yang Mungkin Timbul di Pasar Modal Pasar
modal di negara manapun memang rawan penipuan dan manipulasi. Trik-trik dalam perdagangan saham
memang banyak ragamnya. Sayangnya, tidak semua trik-trik yang bertendensi
negatif tersebut dapat terdeteksi oleh hukum. Itulah sebabnya perangkat
undang-undang yang rinci dan komprehensif
sangat besar artinya bagi suatu pasar modal yang modern. Namun demikian, yang
seringkali terjadi adalah bahwa peraturan di pasar modal wdah lumayan baik,
tetapi kandas ketika dipraktikkan
Di pasar modal Indonesia,
seperti di Bursa Efek Jakarta misalnya, beberapa tindakan penipuan dan manipulasi pasar pernah terdeteksi, tetapi
tidak semua pelaku dapat tertangkap.
Dalam menentukan ada
tidaknya tindakan penipuan dan
manipulasi pasar, diperlukan tindakan kehati-hatian. Jika tidak, mungkin
dapat terjadi bahwa sanksi dijatuhkan kepada pihak yang sebenarnya bukan
sebagai pelaku yang bersalah. Karena itu, diperlukan penafsiran dari ketentuan pasar
modal yang ada saat ini yang lebih kondusif terhadap keadilan, ketertiban,
efektif tetapi juga dengan tetap memiliki unsur kepastian hukum. Berikut ini
beberapa trik bisnis yang menjurus ke arah penipuan dan manipulasi pasar di
mana pengaturannya dalam undang-undang pasar modal
belum
jelas, yaitu:'
a. Pigging, Fixing dan Stabilizing
Dalam
hal ini pihak emiten secara semu menstabilkan harga suatu sekuritas. Di mana
pihak-pihak tertentu seperti emiten, dealer, underwriter mesti mewanti-wanti jika mereka terlibat dalam
perdagangan saham.
b.
Investment Syndicate
Dalam hal ini pihak sindikat underwriter memborong semua atau sebagian besar saham di pasar
perdana atau bahkan melakukan suatu "bid"
di pasar sekunder, sehingga harga menjadi fixed, dan kemudian menjual lagi saham tersebut kepada publik
tentu juga dengan harga yang sudah fixed.
c.
Workout Market
Merupakan
perbuatan yang dilakukan sedemikian rupa sehingga seolaholah telah terjadi oversubscribed terhadap sekuritas
tertentu, yang sering clilakukan oleh underwriter
dan/atau emiten. Misalnya jika mereka mengarahkan investor untuk membeli
saham-saham lain, karena saham tertentu dianggap telah habis/oversubscribed,
padahal saham yang bersangkutan masih ditawarkan ke investor lain lagi.
d. Special Allotments
Jika
pihak underwriter sengaja
mengalokasikan suatu sekuritas kepada para partner, officer, pekerja atau sahabat dekatnya sehingga
kelihatan seolah-olah saham tersebut oversubscribed,
sehingga kamudian harga menjadi mahal. Pada saat harga mahal tersebut
saham yang bersangkutan dijual kembali oleh pihak-pihak tersebut di atas.
e.
Menciptakan Trading Firms
Dalam
hal ini, oleh underwriter suatu
sekuritas dialokasikan ke perusahaan tertentu yang bukan anggota selling group. Selanjutnya perusahaan
tersebut menciptakan pasar untuk sekuritas yang bersangkutan dengan
menawarkannya kembali sekuritas yang bersangkutan kepada publik, dan setelah
itu akan diikuti oleh kegiatan perdagangan dengan harga jauh di atas harga
wajar.
Scalping .
Dalam hal ini, pihak
penasihat untuk investment terlebih dahulu membeli sekuritas tertentu, kemudian
merekomendasikan publik agar membeli saham yang bersangkutan, dan dia pada saat
rekomendasi tersebut menjual sekuritas yang bersangkutan kepada publik sehingga
harganya menjadi mahal.
Margin
Transaksi margin adalah
suatu transaksi yang dilakukan (dibeli) sekuritas tertentu oleh pihak tertentu,
di mana ada pihak lain yang memberi kredit kepadanya untuk membeli saham tersebut,
sementara saham yang bersangkutan menjadi jaminan kredit yang bersangkutan.
Put
atau Call Option
Dalam put option, pihak
penjual sekuritas mempunyai kebebasan untuk penjual sekuritasnya itu pada suatu
saat nanti dengan harga yang telah ditentukan sekarang. Sementara pada call
option, pihak pembeli mempunyai kebebasan untuk membeli sekuritas nanti suatu
masa tetapi dengan harga yang telah ditetapkan sekarang. Put dan call option
ini sangat spekulatif sehingga jikapun dibenarkan, mesti diatur dengan ketat.
Churning
Dalam hal diberikan
discretionary account dapat terjadi bahwa pihak broker melakukan transaksi yang
secara berlebih-lebihan sehingga mendapat fee yang lebih banyak.
Front
Trading (Trading ahead of the
Customers)
Pihak pialang terlebih
dahulu membeli saham dengan account-nya sendiri atau account komplotannya,
untuk kemudian menjualnya kepada kliennya dengan harga yang lebih mahal,
sehingga pialang tersebut menerima selisih harga.
Analisis
Peranan Badan Pengawasan Pasar Modal (Bapepam) Pasar modal merupakan
sumber pembiayaan dunia usaha dan
sebagai wahana investasi bagi para pemodal yang memiliki peranan
strategis untuk menunjang pelaksanaan pembangunan nasional. Kegiatan pasar
modal perlu mendapatkan pengawasan agar dapat dilaksanakan secara teratur,
wajar dan effisien. Untuk itu, secara operasional Bapepam diberi kewenangan
dan kewajiban untuk membina, mengatur dan mengawasi setiap pihak yang melakukan
kegiatan di pasar modal. Pengawasan tersebut dilakukan dengan menempuh
upaya-upaya, baik yang bersifat preventif dalam bentuk aturan, pedoman,
pembimbingan dan pengarahan maupun secara represif dalam bentuk pemeriksaan, penyidikan
dan pengenaan sanksi.
Undang-Undang Pasar Modal
memformulasikan kedudukan dan fungsi Bapepam secara multi formasi, yaitu secara
(1) pengaturan umum, (2) pengaturan terperinci, dan (3) pengaturan sporadis. Secara umum, undangundang
ini mengatur kewenangan dan tugas
Bapepam sebagai: a. Lembaga Pembina;
b.
Lembaga Pengatur;
c.
Lembaga Pengawas.
Pelaksanaan kewenangan
Bapepam sebagai lembaga pengawas dapat dilakukan secara:
a.
Preventif, yakni dalam bentuk aturan, pedoman, bimbingan dan pengarahan; dan
b.
Represif, yakni dalam bentuk pemeriksaan, penyidikan dan penerapan sanksi-sanksi.
Kewenangan
Bapepam Sebagai Lembaga Pemeriksa
Sebagai salah satu bentuk
konkretisasi dari peran Bapepam sebagai lembaga pengawas adalah kewenangan
Bapepam untuk melakukan pemeriksaan, yakni pemeriksaan terhadap setiap pihak
yang diduga melakukan atau terlibat dalam pelanggaran terhadap
perundang-undangan di bidang Pasar Modal. Menurut Pasal 100 UU No. 8 Tahun 1995
atau PP No. 46 Tahun 1995 tentang tata cara pemeriksaan di Bidang Pasar Modal,
yang dimaksud dengan pemeriksaan adalah kegiatan mencari, mengumpulkan, dan
mengolah data dan/atau keterangan lain yang dilakukan oleh pemeriksa untuk membuktikan
ada atau tidaknya pelanggaran atas perundang-undangan di bidang Pasar Modal.
Dalam rangka pemeriksaan tersebut, Bapepam memiliki kewenangan untuk:
a. meminta keterangan dan/atau konfirmasi dari pihak yang
diduga melakukan atau terlibat dalam pelanggaran terhadap undang-undang pasar
modal dan atau peraturan pelaksanaannya
atau pihak lain apabila dianggap
perlu;
b. mewajibkan pihak yang diduga melakukan atau terlibat
dalam pelanggaran terhadap undang-undang pasar modal dan/atau peraturan
pelaksanaannya untuk melakukan atau tidak melakukan kegiatan tertentu;
c. memeriksa dan/atau membuat salinan terhadap catatan,
pembukuan, dan atau dokumen lain, baik
milik pihak yang diduga melakukan atau terlibat dalam pelanggaran terhadap
undang-undang pasar modal dan/atau peraturan pelaksanaannya maupun milik pihak
lain apabila dianggap perlu; dan/atau
d. menetapkan syarat dan/atau mengizinkan pihak yang
diduga melakukan atau terlibat dalam pelanggaran terhadap undang-undang pasar
modal dan/atau peraturan pelaksanaannya untuk melakukan tindakan tertentu yang
diperlukan dalam rangka penyelesaian kerugian yang timbul.
Suatu
pemeriksaan oleh Bapepam baru dapat dilakukan jika:
a. terdapat
laporan, pemberitahuan atau pengaduan dari pihak tertentu tentang adanya
pelanggaran atas peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal;
b. tidak
dipenuhinya kewajiban yang harus dilakukan oleh pihak-pihak yang memperoleh
perizinan, persetujuan atau pendaftaran dari Bapepam atau pihak lain yang
dipersyaratkan untuk menyampaikan laporan kepada Bapepam; atau
b. terdapat
petunjuk tentang terjadinya pelanggaran atas perundang undangan di bidang pasar
modal.
Bertindak sebagai Petugas
pemeriksa adalah Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Bapepam yang ditunjuk
dan diberi tugas oleh Bapepam. DalamPP
No. 46 Tahun 1995 ditentukan juga tentang kewenangan para pemeriksa dalam hal
melakukan tugas pemeriksaan, yaitu sebagai berikut:
a. dapat
meminta keterangan, konfirmasi, dan atau
bukti yang diperlukan, baik dari pihak yang diperiksa ataupun dari pihak-pihak
lainnya;
b. dapat
memerintahkan pihak yang diperiksa untuk melakukan atau tidak melakukan
kegiatan tertentu;
c. dapat
memeriksa catatan, pembukuan, dan/atau dokumen pendukung lainnya;
d. sepanjang
diperlukan, dapat meminjam atau membuat salinan atas catatan pembukuan,
dan/atau dokumen lainnya;
e. dapat
memasuki tempat atau ruangan tertentu yang diduga merupakan tempat penyimpanan
catatan, pembukuan, dan/atau dokumen lainnya;
f. dapat
memerintahkan pihak yang diperiksa untuk mengamankan catatan, pembukuan,
dan atau dokumen lainnya yang berada
dalam tempat atau ruangan sebagaimana tersebut di atas.
Selanjutnya bila ada
bukti-bukti tentang telah terjadinya suatu tindak
pidana, maka pemeriksaan dapatterusdilanjutkan, tetapi dengan kewajiban bagi
pihak pemeriksa untuk membuat laporan kepada Ketua Bapepam mengenai telah
diketemukannya bukti permulaan tersebut. Sehingga kemudian Ketua Bapepam dapat
menetapkan dimulainya proses penyidikan.Bila kita bandingkan dengan ketentuan
yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (UU No. 8 Tahun
1981), pemeriksaan sebagaimana dimaksud di atas dapat disejajarkan dengan tindakan
penyelidikan. Menurut KUHAP penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik
untuk mencari dan menemukan suatu
peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya
dilakukan penyidikan. 5edangkan yang dimaksud dengan penyelidik adalah setiap
Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia. Hanya saja menurut KUHAP, penyelidik
atas perintah dari penyidik secara tegas dapat melakukan tindakan penangkapan,
larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan
penyitaan. Sedangkan menurut Undang-Undang Pasar modal hal tersebut
tidak diatur secara jelas (tidak ada).
Kewenangan
Bapepam Sebagai Lembaga Penyidik
Salah satu kewenangan
Bapepam yang cukup spektakuler adalah kewenangannya untuk melakukan penyidikan
di pasar modal. Kewenangan penyidikan ini juga merupakan pengejawantahan dari
peran Bapepam sebagai suatu lembaga pengawas. Kewenangan penyidikan ini dapat
digunakan oleh Bapepam apabila menurut pendapatnya telah terjadi pelanggaran
terhadap perundang-undangan di bidang pasar modal, yang mengakibatkan kerugian
bagi kepentingan pasar modal atau kepentingan masyarakat.
Kedudukan dan kewenangannya
sebagai lembaga penyidik bukanlah "lanjutan" dari kedudukaannya
sebagai Lembaga Pemeriksa, melainkan merupakan kewenangan yang mandiri. Karena
itu dapat saja Bapepam langsung menggunakan kewenangan penyidikan (jika ada
alasan untuk itu) tanpa harus sebelumnya melakukan tindakan yang tergolong ke
dalam kewenangan pemeriksaan.
Pengertian penyidikan3
di bidang pasar modal adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mencari serta
mengumpulkan bukti yang diperlukan sehingga dapat membuat terang tentang tindak
pidana di bidang pasar modal yang terjadi, menemukan tersangka, serta
mengetahui besarnya kerugian yang ditimbulkannya.
Pejabat Pegawai Negeri Sipil
tertentu di lingkungan Bapepam diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk
melakukan penyidikan tindak pidana di bidang pasar modal berdasarkan ketentuan
dalam KUHAP. Penyidik tersebut berwenang untuk:
a.
menerima laporan, pemberitahuan atau
pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana di bidang pasar modal;
b.
melakukan penelitian atas kebenaran laporan
atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang pasar modal;
c.
melakukan penelitian terhadap pihak yang
diduga melakukan atau terlibat dalam tindak pidana di bidang pasar modal;
d.
memanggil, memeriksa, dan meminta keterangan dan Barang bukti dari setiap pihak yang disangka
melakukan, atau sebagai saksi dalam tindak pidana di bidang pasar modal;
e.
melakukan pemeriksaan atas pembukuan,
catatan, dan dokumen lain berkenaan
dengan tindak pidana di bidang pasar modal;
f.
melakukan pemeriksaan di setiap tempat
tertentu yang diduga terdapat setiap Barang bukti pembukuan, pencatatan,
dan dokumen lain serta melakukan
penyitaan terhadap Barang yang dapat dijadikan bahan bukti dalam perkara tindak
pidana di bidang pasar modal;
g.
memblokir rekening pada bank atau lembaga
keuangan lain dari pihak yang diduga melakukan atau terlibat dalam tindak
pidana di bidang pasar modal;
h.
meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan
tugas penyidikan tinclak pidana di bidang pasar modal; dan
i.
menyatakan saat dimulai (Ian dihentikannya
penyidikan.
Dalam rangka mengadakan
penyidikan sebagaimana di atas, Bapepam mengajukan permohonan izin kepada
Menteri untuk memperoleh keterangan dari Bank tentang keadaan keuangan
tersangka pada bank sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang
perbankan.
Penyidik wajib
memberitahukan dimulainya penyidikan dan
menyampaikan hasil penyidikannya kepada penuntut umum sesuai dengan
ketentuan yang diatur dalam KUHAP.
Bila kita bandingkan dengan
ketentuan tentang penyidikan dalam KUHAP, pengertian penyidikan dalam
Undang-Undang Pasar Modal ini hampir sama. Pengertian penyidikan menurut KUHAP
adalah serangkaian tindakan Penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam KUHAP untuk
mencari serta mengumpulkan bukti, yang dengan bukti itu membuat terang tentang
tindak pidana yang terjadi dan guna
menemukan tersangkanya.
Sedangkan yang bertugas
sebagai Penyidik adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia serta Pejabat
Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.
Berdasarkan ketentuan ini, Penyidik dalam Undang-Undang Pasar Modal dapat
dikategorikan sebagai Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi
wewenang khusus oleh undangundang. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
Penyidik dalam UndangUndang Pasar Modal adalah sebagai Penyidik Pembantu.
Walaupun penyidik dalam UU
Pasar Modal tidak memiliki kewenangan untuk melakukan penahanan, namun
berdasarkan Pasal 11 KUHAP Penyidik Pembantu tersebut dapat melakukan penahanan
atas pelimpahan wewenang dari Penyidik (POLRI).
Kewenangan
Bapepam Sebagai Lembaga Pemberi Sanksi
Selain dari sanksi pidana
dan perdata, hukum pasar modal juga
mengintrodusir sanksi-sanksi lain, yakni dalam kelompok yang disebut dengan
sanksi administratif, pihak yang mempunyai wewenang untuk menjatuhkan sanksi
administratif terhadap pelanggaran hukum di bidang pasar modal adalah Bapepam.
Bapepam memiliki kewenangan untuk mengenakan sanksi administratif atas
pelanggaran Undang-Undang Pasar Modal atau peraturan pelaksanaannya yang
dilakukan oleh:
a.
setiap pihak yang memperoleh izin dari Bapepam;
b.
setiap pihak yang memperoleh persetujuan dari Bapepam; c. setiap pihak yang
melakukan pendaftaran kepada Bapepam.
Selanjutnya
ketiga pihak tersebut dapat diperinci secara (ebih konkret
menjadi
25 golongan sebagai berikut: Emiten;
a. Perusahaan
Publik;
b. Bursa
Efek;
c. Lembaga
Miring dan Penjaminan;
d. Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian;
e. Reksa
Dana;
f. Perusahaan
Efek;
g. Penasihat
Investasi;
h. Wakil
Penjamin Emisi Efek;
i. Wakil
Perantara Pedagang Efek;
j. Wakil
Manajer Investasi;
k. Biro
Administrasi Efek;
l. Kustodian;
m. Wali
Amanat;
n. Notaris;
o. Konsultan
Hukum;
p. Akuntan
Publik;
q. Penilai;
r. Pihak-pihak
lain yang memperoleh izin/persetujuan/pendaftaran dari Bapepam;
t. Direktur
dari Perusahaan Publik;
u.
Komisaris Perusahaan Publik;
v.
Pemegang Minimal 5% Saham Perusahaan Publik;
w.
Direktur dari Emiten;
x.
Komisaris dari Emiten;
y.
Pemegang Minimal 5% Saham dari Emiten.
Sanksi administratif yang
dapat dijatuhkan oleh Bapepam dapat berupa: a. Peringatan tertulis;
b.
Denda, yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu; c. Pembatasan
kegiatan usaha;
d.
Pembekuan kegiatan usaha;
e.
Pencabutan izin usaha;
f.
Pembatalan persetujuan; dan
g.
Pembatalan pendaftaran.
Selanjutnya PP No. 45 Tahun
1995 dalam Pasal 63 juncto Pasal
64 memperinci tentang hukuman denda administrasi, yaitu terdiri dari empat
kategori sebagai berikut:
1) Denda Rp. 500.000 (lima ratus ribu
rupiah) per hari dengan maksimum
Rp.
500.000.000 (lima ratus juta rupiah);
2)
Denda Rp. 100.000 (seratus ribu rupiah) per hari dengan maksimum
Rp.
100.000.000 (seratus juta rupiah);
3)
Denda maksimum Rp. 500.000.000 (lima ratus juta rupiah); 4) Denda maksimum Rp.
100.000.000 (seratus juta rupiah);
Tentang masing-masing sanksi
pidana, sanksi perdata, dan sanksi
administratif tentunya berlaku prinsip hukum yang umum dipraktekkan yakni
ketiga jenis sanksi tersebut dapat (tetapi bukan harus) berlaku secara
kumulatif sekaligus.
Bila dibandingkan dengan
ketentuan hukum pidana di Indonesia (KUHP), tidak dikenal adanya sanksi
administratif. Dalam Pasal 10 KUHP ditentukan sanksi (hukuman) itu adalaha
a. Hukuman Pokok: hukurnan mati, hukuman penjara, hukuman
kurungan, hukuman denda.
b. Hukuman Tambahan: pencabutan beberapa hak tertentu,
perampasan Barang yang tertentu, pengumuman putusan hakim.
Hukuman yang tercantum dalam
KUHP tersebut dapat dijatuhkan baik untuk peristiwa kejahatan ataupun
pelanggaran. Untuk pelanggaran, biasanya hukuman yang dijatuhkan berupa hukuman
kurungan atau denda. Hampir tidak pernah atau jarang sekali hukuman mati atau
hukuman penjara dijatuhkan terhadap peristiwa pelanggaran.
Menurut UU Pasar Modal,
Bapepam hanya berwenang untuk menjatuhkan sanksi administratif bagi
pelanggaran saja, sebagaimana dijelaskan di atas. Sedangkan hukuman yang
tercantum dalam KUHP yang menjatuhkannya adalah hakim setelah melalui proses
persidangan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sanksi administratif yang
terdapat dalam UU Pasar Modal tersebut tidaklah sama dengan ketentuan tentang
sanksi (hukuman) dalam Pasal 10 KUHP.
Kewenangan Bapepam untuk
menjatuhkan sanksi administratif terhadap peristiwa pelanggaran di Pasar Modal
tidaklah salah. Sebab berdasarkan asas
Lex specialis derogat lex generalis
(ketentuan hukum yang khusus mengenyampingkan ketentuan hukum yang umum)
tindakan Bapepam itu dapat dibenarkan dan
telah sesuai.
Kesimpulan;
Kelemahan UU No. 8
Tahun 1995
a. Kedudukan Bapepam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995
memberikan kedudukan kepada Bapepam sebagai lembaga yang "band"
dan "ambivalen". Di satu pihak
ke pundak Bapepam dibebankan tugas yang luar biasa besar, tetapi di pihak lain
kedudukannya sebagai lembaga birokrasi justru sangat kecil, yakni hanya salah
satu bagian dari jajaran Departemen Keuangan. Bapepam berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Menteri Keuangan
(Pasal 3 Ayat (2) UU No. 8 Tahun 1995). Menurut kami inilah salah satu sebab
mengapa Bapepam dalam menjalankan tugasnya sering terkesan ragu-ragu dan tidak tuntas.
Tidak
jelas alasannya mengapa Bapepam tidak diberikan kedudukan sebagai lembaga
independen non departemental yang bertanggt.mgjawab langsung kepada Presiden,
seperti kedudukan Bank Indonesia, BKPM, BKKBN dan sebagainya.
b.
Sistem Tanggungjawab Yuridis
Salah
satu persoalan yang cukup rumit dalam bidang hukum pasar modal adalah berkenaan
dengan siapakah yang harus bertanggungjawab secara yuridis jika terjadi
hal-hal yang merugikan pihakpihak tertentu atau merugikan kepentingan umum.
Satu dan lain hal dikarenakan begitu banyak pihak yang terlibat di pasar modal,
yang ada kemungkinan banyak pihak pula yang ikut memberi kontribusi kesalahan
secara yuridis sehingga terjadi hal-hal yang merugikan pihak lain tersebut.
Berdasarkan
atas peraturan perundang-Umdangan yang berlaku, maka ada beberapa sistem
tanggungjawab yang dikenal dalam hukum pasar modal, yaitu:
a)
tanggungjawab administrasi, b) tanggungjawab pidana,
c)
tanggungjawab perdata konvensional, d) tanggungjawab secara renteng.
Semua jenis tanggungjawab
tersebut bukanlah merupakan hal baru melainkan sudah dipraktekkan di pasar
modal jauh-jauh hari sebelum UU No. 8 Tahun 1995 diberlakukan. Hanya saja
dengan undangundang ini, ketentuannya menjadi semakin tegas dengan sanksisanksinya
yang lebih berat.
Namun demikian,
undang-undang ini masih menganut sistem tanggungjawab dalam arti yang
konvensional bukan sistem tanggungjawab mutlak (strict liability), sehingga akan menyulitkan para pihak yang
merasa dirugikan untuk membuktikan kesalahan si pelakunya.
Strict liability atau disebut juga sistem
tanggungjawab mutlak memang merupakan sistem yang tidak konvensional dalam
sistem hukum Indonesia, yang dimaksud dengan strict liability adalah suatu sistem pertanggungjawaban yang dibebankan
kepada seseorang tanpa melihat atau mengkaitkan kepada kesalahan pelaku. jadi,
jika seseorang telah terbukti melakukan suatu perbuatan yang dilarang oleh
undang-undang, maka dia langsung menjadi pemikul tanggungjawab yuridis, tanpa. mempedulikan apakah ada unsur
kesengajaan, kelalaian, patut mengetahui, patut menduga dan sebagainya.
c.
Dalam undang-undang ini tidak ada ketentuan mengenai:
a)
Kapan atau dalam hal bagaimanakah suatu badan hukum itu dikatakan telah
melakukan tindak pidana pasar modal.
b) Terhadap siapa pertanggungjawaban pidana itu dapat
dikenakan, apakah terhadap pengurus/pimpinan badan hukum, terhadap orang yang
diperintah, terhadap badan hukum atau terhadap ketiganya. Bila kita melihat
dari jenis pidananya antara lain kurungan atau penjara, jelaslah itu ditujukan
kepada orang.
c) Sanksi adminsitratif tidak diintegrasikan ke dalam
pertanggungjawaban pidana yang dapat dijatuhkan oleh hakim tetapi oleh
Bapepam. Maksudnya sanksi itu tidak dijadikan sebagai salah satu bentuk
sanksi/pertanggungjawaban pidana sehingga tidak dapat diterapkan oleh hakim
sekiranya pelanggaran terhadap undang-undang pasar modal diajukan sebagai
perkara pidana.
d) Pembagian tindak pidana berupa kejahatan dan pelanggaran dalam undang-undang pasar modal
tidak mencantumkan aturan khusus mengenai akibat hukum dari dibedakannya kedua
jenis tindak pidana ini. Berarti berdasarkan Pasal 103 KUHP berlaku aturan umum
KUHP yang antara lain menyatakan bahwa "percobaan" dan "pembantuan" terhadap pelanggaran
tidak dapat dipidana (Pasal 54 dan 60
KUHP). Apakah memang demikian konsekuensi hukum yang dikehendaki oleh pembuat
undang-undang pasar modal ini tidak dapat kita ketahui dengan pasti. Namun bila
dilihat dari substansi dan sanksi yang
diancamkan terhadap pelanggaran pasar modal cukup berat yaitu maksimum 1 tahun
dan denda maksimum satu miliar rupiah,
maka percobaan atau pembantuan terhadap pelanggaran pasar modal itu seyogyanya
patut dipidana.
e) Terlebih lagi bila dilihat.dari sifat khusus tindak
pidana pasar modal yang pada hakikatnya merupakan tindak pidana di bidang
ekonomi atau keuangan, berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi
(UU Drt. No. 7 tahun 1955), percobaan dan
pembantuan terhadap tindak pidana ekonomi yang berbentuk pelanggaran
dapat dipidana.
d. Tidak adanya ketentuan tentang arbitrase sebagai
lembaga penyelesaian sengketa.
Pengadilan
merupakan sarana yang disediakan oleh negara untuk menyelesaikan sengketa antar
subjek hukum dalam masyarakat tertentu. Kebutuhan penyelesaian sengketa di
antara masyarakat berbeda satu sama lain. Pelaku pasar modal umumnya
menghendaki agar penyelesaian sengketa dapat dilakukan secara cepat, didasarkan
pada keahlian dan tertutup. Bagi mereka
penyelesaian sengketa melalui pengadilan dianggap tidak efisien dan dihinggapi berbagai kelemahan.'
Kelemahan itu pertama,
pengadilan terkadang kurang responsif terhadap sengketa yang muncul sejalan
dengan perkembangan baik masyarakat maupun teknologi. Kedua, penyelesaian
melalui pengadilan dianggap terlalu birokratis mengingat harus melewati tahapan
yang panjang sebelum suatu putusan menjadi putusan yang tetap dan dapat
dieksekusi; sementara pelaku pasar modal menghendaki putusan yang cepat.
Ketiga, dengan banyaknya tumpukan perkara, pelaku pasar modal pesimis bahwa
perkara mereka akan mendapat prioritas untuk diselesaikan. Dengan kata lain,
mereka tidak dapat mengendalikan kapan perkara mereka dapat diselesaikan, semua
sangat tergantung pada birokrasi pengadilan.
Mengingat tiga kelemahan
ini, dalam dunia bisnis telah dikembangkan suatii lembaga penyelesaian sengketa
di luar pengadilan dengan ciri yang sama dengan pengadilan. Lembaga ini dikenal
sebagai arbitrase.
Terdapat beberapa keuntungan
yang diperoleh dengan menyelesaikan suatu sengketa melalui arbitrase, yaitu:
a)
Proses yang relatif lebih cepat mengingat putusan arbitrase tidak dapat
dibanding;
b)
Dari segi publisitas lebih terjamin agar sengketa tersebut tidak dapat dihadiri
oleh siapa saja ataupun dipublikasikan secara luas;
c) Mengingat para arbiter dipilih oleh para pihak yang
bersengketa dan memiliki keahlian di
bidangnya maka tidak perlu diragukan putusan yang diambil benar-benar
mencerminkan keadilan dan keahlian.
Dalam Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1995 tentang Pasar Modal memang mencantumkan fungsi dan kewenangan Bapepam untuk melakukan pembinaan,
pengaturan dan pengawasan kegiatan pasar
modal, namLm tidaklah dapat dikatakan bahwa Bapepam di sini berfungsi sebagai
lembaga arbitrase untuk menyelesaikan sengketa antara para pihak.
Di negara-negara maju, badan
yang melaksanakan arbitrase sudah mencapai tahapan spesialisasi, di samping
arbitrase yang menangani sengketa-sengketa komersial umum. Berbagai badan
arbitrase didirikan secara khusus untuk menyelesaikan sengketa-sengketa bisnis
tertentu. Sebagai contoh, ada badan arbitrase yang mengkhususkan diri pada
masalah-masalah pengangkutan laut, asuransi dan perdagangan komoditi yang ada di
London, New York dan Hamburg.
Dalam konteks tersebut
arbitrase yang secara khusus menangani sengketa dalam kegiatan pasar modalpun
dikenal. Di Amerika Serikat, misalnya, pada tahun 1977 perusahaan sekuritas
membentuk Security Industry
Conference on Arbitration (SICA).70 Selanjutnya SICA mengeluarkan
hukum acara yang diberlakukan dengan nama Uniform Code of Arbitration." Demikian pula National
Association of Securities
Dealers (NASD) juga mendirikan lembaga arbitrase.
e. Kelemahan lain dari Undang-Undang ini menurut kami
adalah terdapat beberapa pasalnya yang memerlukan Peraturan Pemerintah (PP)
sebagai peraturan pelaksananya. Diperlukan sebanyak 14 Peraturan Pemerintah
yang harus dikeluarkan agar kegiatan di Pasar Modal dapat berjalan dengan
lancar.
Hak
Asasi Manusia Dalam Informed Consent
Pendahuluan
Masalah Hak Asasi Manusia
(HAM) saat ini sudah mendunia daft diakui keberadaannya oleh negara-negara di
dunia. Dalam pemberian pelayanan kesehatan kepada masyarakat, terdapat hal yang
berkaitan dengan HAM di dalam doktrin informed
consent.
Di dalam Universal Declaration of Human Rights (Article 19) dan di dalam Undang-Undang RI No. 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia; Bab II
Pasal 14 disebutkan bahwa setiap orang berhak untuk memperoleh informasi.
Kemudian di dalam The Declaration of
Lisbon dimuat pula lentang hak-hak
pasien, di antaranya hak untuk menentLikan nasibnya sendiri dengan menerima
atau menolak pengobatan yang akan diberikan setelah mendapatkan informasi yang
cukup dan dapat dimengerti.
Dalam Surat Keputusan
Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Nomor 31 9/PB/A.4/88 tahun 1988
disebutkan Pernyataan Ikatan Dokter Indonesia tentang Informed Consent. Di Indonesia dalam Undan-undang Nb, 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
Pasal 53 (2) beserta penjelasannya terdapilt kewajiban tenaga kesehatan untuk
mematuhi standar profesi dan menghormati•Fisk pasien. Informed consent atau dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No.
585/Menkes/Per/IX/1989 tanggal 4 September 1989 disebut dengan istilah
Persetujuan Tindakan Medik yang dapat didefinisikan sebagai: ijin atau pernyataan setuju dari
pasien yang diberikan dengan bebas dan rasional, sesudah mendapatkan informasi
dari dokter dan dimengertinya (persetujuan berdasarkan informasi).
Hal ini ditindak lanjuti 10
tahun kemudian dengan Keputusan Direktur Jenderal Pelayanan Medik Nomor:
HK.00.06.3.5.1866 tanggal 21 April 1999 tentang Pedoman Persetujuan Tindakan
Medik (informed consent). Menyangkut
hak dan kewajiban, telah terbit Surat Edaran Direktur Jenderal Pelayanan Medik
Nomor: YH.02.04.3.5.2504 tentang Pedoman Hak dan Kewajiban Pasien, Dokter
dan Rumah Sakit tahun 1997.
Di negara-negara lain juga
dikenal informed consent,
misalnya di Belanda informed consent disebut gerichte toestemming, di Jerman
disebut aufk0rungspflicht dan di Indonesia dikenal
istilah Persetujuan Tindakan Medik (Pertindik).
Prinsip
Dasar Informed Consent
Pada dasarnya informed consent merupakan proses
komunikasi. Dokter yang akan melakukan tindakan invasif, baik sebagai prosedur
diagnostik atau pun prosedur terapetik wajib menjelaskan dan mendiskusikan
segala sesuatu yang berkaitan dengan tindakan tersebut kepada pasien.
Sebaliknya, pasien mempunyai kesempatan untuk bertanya dan memahami tindakan
tersebut, sehingga dia dapat membuat keputusan dan memberikan persetujuannya.
Jadi dalam proses komunikasi ini informasi diberikan oleh dokter, cliterima
oleh pasien dan didokumentasikan dalam
lembar informed consent. Dalam
komunikasi antara dokter dan pasien ini perlu suatu kesamaan bahasa (dokter
menjelaskan sesuai pengetahuan pasien), agar informasi dapat diterima secara
benar.
Informed
Consent
merupakan syarat terjadinya suatu transaksi terapetik, karena transaksi
terapetik itu bertumpu pada dua macam hak asasi yang merupakan hak dasar
manusia, yaitu hak untuk menentukan nasibnya sendiri (the right to self-determination) dan hak atas informasi (the right to information)."
Dengan kedua hak dasar
tersebut, dokter dan pasien bersama sarna menemukan terapi yang paling
tepat yang akan digunakan. Cordozo, seorang hakim agung Amerika Serikat
mengemukakan, bahwa:
"...
every human being of adult years
and sound mind has a right to
determine
what shall be done with his own
body."
Pasien berkepentingan untuk
menentukan apa yang akan dilakukan terhadap tubuhnya. Hak ini berarti suatu
kewenangan untuk berbuat atau tidak
berbuat, sehingga pasien mempunyai kebebasan untuk menggunakan atau tidak
menggunakannya.
Otonomi adalah prinsip yang
mengakui hak setiap pribadi untuk memutuskan sendiri mengenai masalah kesehatan,
kehidupan serta kematiannya.
The
right of self-determination
(also known as the principle of autonomy)
is the central element in the moral issue
of patients rights. The
patient, as an individual person, has the moral right-to determine what is good for himself. This
right is an important consideration in the discussion of patients rights in the medical context:
1.
right to informed consent;
2. right to informed decision;
3. right to informed choice;
4. right to refusal of treatment.
Pasien memiliki hak atas informed consent, memberikan suatu
persetujuan terhadap tindakan diagnostik/terapetik yang akan dilakukan terhadap
dirinya setelah mendapat informasi, memiliki hak untuk mengambil keputusan
setelah mendapat informasi, memiliki hak untuk memilih tindakan
diagnostik/terapetik bagi dirinya setelah mendapat informasi dan memiliki hak
untttk menolak suatu tindakan terapetik.
Bagaimana
di Indonesia?
Peraturan tentang informed consent berikut pedoman
pelaksanaannya sudah ada. Namun tampaknya pelaksanaannya "belum
sesuai" dengan yang diharapkan. Dokter di satu pihak belum sepenuhnya
melaksanakan kewajibannya untuk memberi informasi kepada pasien setiap akan
melakukan suatu tindakan invasif diagnostik maupun terapetik,, sementara pasien
di pihak yang lain belum sepenuhnya mengetahui hak-haknya.
Bahkan akhir-akhir ini kasus
ketidakpuasan pasien dan atau keluarganya terhadap pelayanan dokter di rumah
sakit tampak semakin meningkat. Oosten (dalam Guwandi, 1995) menyebutkan, bahwa
masalah informasi dapat berawal dari: 1) Sama sekali tak diberikan informasi
(absence of information); 2)
Informasi yang diberikan tidak cukup (insufficient information); 3) Informasi yang tidak benar (incorrect
information); dan fenomena baru yaitu 4) Informasi yang berlebihan
(over-information)."
Pada tahun 1988 Pengadilan
Negeri Sukabumi telah memeriksa dan mengadili perkara Muhidin yang berkaitan
dengftrl informed consent. Dalam harian Kompas, 1 Nopember 1997, H (62 tahun)
yang dilakukan operasi buah zakar, namun yang menanda tangani informed consent bukan yang bersangkutan
melainkan anak-anaknya, juga mengajukan gugatan. Dalam majalah Tempo edisi Maret 2004 serangkaian
gugatan pasien terhadap dokter maupun rumah sakit muncul ke permukaan.
Tampaknya fenomena ini akan semakin meningkat seiring dengan peningkatan
pendidikan dan kesadaran masyarakat akan
hak-haknya. Oleh karena itu perlu introspeksi bagi kalangan profesi dokter
dalam melakukan tugasnya agar senantiasa berpegang pada Kode Etik Kedokteran,
Standar Profesi Medis dan menghormati serta,memenuhi kewajibannya terhadap
hak-hak pasien, yang semuanya ini juga berdasar pada pemenuhan hak-hak asasi
manusia.
Menurut Muladi, perlunya
diciptakan Standar Penegakan Hukum, pembenahan organisasi IDI, perhatian
manajemen rumah sakit secara kelembagaan dan usaha-usaha individual dari para
tenaga medis, khususnya dokter dengan senantiasa memberikan pelayanan kesehatan
yang berfokus pada kepentingan pasien.
Dewasa ini muncul gagasan
dari IDI untuk mengatur penyelenggaraan Praktik Kedokteran, yang dituangkan
dalam RUU Praktik Kedokteran, yang terdiri atas 12 bab dan 181 pasal, bertujuan
untuk (RUU Pasal 3):
1. memberikan
perlindungan kepada penerima jasa pelayanan kesehatan;
2. mempertahankan
dan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan yang diberikan oleh tenaga medis
3. memberikan
kepastian hukum kepada penerima dan penyelenggara pelayanan kesehatan.
RUU Praktik Kedokteran
memuat .2 (dua) hat penting, yaitu pembentukan Konsil Kedokteran dan Peradilan diharapkan di masa mendatang Kode
Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI), standar pelayanan medis dan good clinical
practice bagi para dokter benar-benar dapat dipenuhi demi kepentingan pasien
dan keluarganya.
Perlindungan Hak Asasi
Manusia Terhadap Pengetahuan Tradisional di Indonesia
Pendahuluan
Diberlakukahnya perjanjian TRIPs
(Trade Related Aspect of Intellectual
Property Rights) pada kerangka WTO (World Trade Organization) menimbulkan dampak bagi negara-negara
berkembang, antara lain dengan maraknya pencurian Hak Kekayaan Intelektual yang
berasal dari pengetahuan tradisional masyarakat negara berkembang yang diambil
dan dipatenkan oleh negara maju. Indonesia menjadi salah satu negara berkembang
yang banyak mengalami pencurian pengetahuan tradisional, karena lemahnya sistem
hukum HKI Indonesia dalam melindungi kepemilikan pengetahuan tradisional.
Aturan Indonesia mengenai
HKI dibuat berdasarkan aturan TRIPs-WTO, yang hanya mengakui unsur penemuan
modern yang termasuk dalam kategori HKI. Dalam aturan ini cerita, legenda,
pengetahuan tradisional dalam berkesenian (misalnya wayang, desain kain tradisional,
desain arsitektur tradisional), budaya (misahiya teknik tenun tradisional),
bercocok tanam (ladang berpindah), mengidentifikasikan tanaman (seperti halnya
tanaman obat-obatan), meracik tanaman menjadi suatu produk (misalnya makanan
tradisional atau obat
tradisional), semuanya tidak termasuk objek HKI. Artinya semua orang dapat
mencontoh, memakai ataupun meniru produk-produk di atas tanpa perlu membayar
sejumlah royalti.
Sebagai contoh, jika Walt Disney Company akan memproduksi film yang berasal dari cerita legenda
"Bawang Merah-Bawang Putih" dan cerita legenda "Timun Mas",
maka mereka tidak perlu pusing untuk membayar royalti legenda tersebut.
Sebaliknya, ketika sebuah perusahaan mainan cfi Indonesia hendak memproduksi salah satu karakter ciptaan Walt Disney, seperti halnya karakter
Donald Bebek, Guffy dan Mickey Tikus, maka
perusahaan tersebut wajib membayar sejumlah royalti karena produk Wak Disney tersebut merupakan produk
yang dilindungi oleh HKI.
Contoh lain adalah industri
meubel ukiran di Jepara Jawa Tengah Sudah menjadi pengetahuan Mum bahwa ukiran
Jepara mempunyai ciri khas
tersendiri. Tetapi hak cipta dan hak
paten ukir-ukiran itu dipegang oleh para pengusaha dari Australia, Kanada,
maupun Amerika Serikat. Jadi para pengerajin ukiran di )epara, hanya sekedar
buruh yang bekerja sesuai pesanan pengusaha pemegang hak paten tersebut.
Sementara porsi keuntungan terbesar dari ekspor meubel jepara lebih banyak
dinikmati para pemegang paten tersebut. Hal sama juga terjadi pada perusahaan
meubel rotan di Cirebon. Walaupun pesanan dari Amerika Serikat semakin
meningkat, pengusaha mulai mengeluh, karena margin keuntungan yang sedikit
termakan kewajiban untuk membayar royalti. Hal ini terjadi karena teknologi
menekuk rotan sudah dipatenkan di Amerika, sehingga setiap meubel rotan yang
menggunakan teknologi tersebut, ketika masuk ke Amerika, wajib membayarkan
royalti ke pemegang paten tekuk rotan tersebut.
Penjarahan pengetahuan
tradisional oleh perusahaan-perusahaan asing, dengan merubah proses dan produknya, dikenal sebagai bio-piracy
(pembajakan hayati).2 Hal ini terjadi dengan rempah-rempah
Indonesia. Perusahaan kosmetik )epang Shiseido Co. Ltd, telah memiliki 9 buah
paten atas tanaman yang berasal dari berbagai bahan rempah di Indonesia,
seperti kayu rapet wangi, kemukus, lempuyang, beluntas, pulowaras, diluwih,
cabai jawa, brotowali, kayu manis dan
bunga cangkok,' yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia
sebagai rempah, obat dan kosmetik. Dua
di antaranya yang dipatenkan di Jepang adalah Paten No. JP 10316541, tanggal 3
Maret 1998 dengan judul perawatan untuk kepala, dengan subjek paten kayu rapet
wangi dan Paten No. JP 10007535, tanggal
12 Januari 1998 dengan judul tonik untuk rambut dan memperlambat efek penuaan, dengan subjek paten
cabai jawa.
Desain batik tradisional
juga telah didaftarkan oleh orang asing di Belanda, )erman, )epang, Amerika
Serikat dan Malaysia, sehingga para
pengusaha batik Indonesia tidak dapat mengekspor produk batiknya ke luar negeri.
Padahal desain batik tradisional cukup banyak seperti desain batik di sepanjang
Pesisir Utara Pulau Jawa dari Indramayu, Cirebon, Tegal, Pekalongan, Kudus,
Rembang, Lasem, Tuban, Gresik, Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan Sidoarjo. Jalur Tengah dan Selatan Pulau jawa, desain batik dihasilkan
di Mojokerto, Tulungagung, Trenggalek, Ponorogo, Pacitan, Wonogiri, Surakarta,
Klaten, Yogyakarta, Banyumas dan Tasikmalaya.s Desain batik tradisional yang
dihasilkan sangat banyak, misalnya Banyumas mempunyai desain batik tradisional
Banyumasan sebanyak 115 desain.
Tempe sebagai makanan
tradisional Jawa juga telah dipatenkan, tercatat ada 19 Paten tentang tempe, di mana 13 buah Paten adalah milik Amerika Serikat, yaitu 8 Paten dimiliki oleh Z-L Limited Partnership, 2 Paten
dimiliki oleh Cyorgy mengenai
minyak tempe, 2 Paten oleh Pfaff mengenai alat inkubator dan
cara membuat bahan makanan dengan bahan dasar tempe, dan 1 Paten dimiliki oleh
Yueh mengenai pembuatan makanan ringan dengan campuran tempe. Sedangkan Jepang
memifiki 6 buah Paten, yaitu 4 Paten mengenai pembuatan tempe, 1 Paten mengenai
tempe sebagai antioksidan dan 1 Paten mengenai kosmetik dengan menggunakan
bahan tempe yang diisolasi. Paten lain untuk Jepang disebut Tempeh, temuan Nishi dan Inoue, yang diberikan pada
10 Juli 1986. Tempe tersebut
dibuat dari limbah susu kedelai dicampur tepung kedele, tepung terigu, tepung
beras, tepung jagung, dekstrin, Na-kaseinat
dan putih telur.
Seorang disainer perhiasan
perak dari Bali, Made Desak Suarti digugat di Pengadilan Distrik Bagian Utara
New York Amerika Serikat oleh Lois Hill, seorang desainer perhiasan dari New
York. Menurut Hill, pemilik Ancient
Modern Art, Suarti telah mencuri enam desain perhiasan ciptaannya, yang
terdiri atas desain tiga anting-anting, dua gelang dan satu kalung. Menurut
Hill, kasus penjiplakan itu telah mengakibatkan perusahaannya merugi sebesar 600 ribu dollar AS.
Suarti pemilik Balinese Inc yang telah memasuki
pasar Amerika Serikat sejak 1973 dan
sekarang menjadi pemimpin pasar untuk produk perhiasan perak di negara
tersebut, menolak tuduhan tersebut karena menurutnya apa yang diciptakannya
merupakan desain yang sudah diwariskan turun temurun. Misalnya desain kalung
yang dikatakan me.ncuri desain Hill, merupakan desain dengan corak Borobudur.
Selain itu, -menurut Suarti mendapatkan hak paten di AS memakan biaya besar,
mencapai 600 dollar AS per satu
aplikasi paten.
Kasus gen masyarakat Nias
dan Badui yang dilakukan oleh Lembaga Eijkman adalah institusi yang terlibat
dalam Human Genom Project untuk
pemetaan gen manusia. Ada laporan bahwa salah satu masyarakat sasaran
pengumpulan sampel adalah suku asli di Nias yang diduga mempunyai ketahanan
terhadap serangan malaria. Ada pula informasi tidak resmi bahwa pengumpulan
sampel juga dilakukan di kalangan masyarakat Badui, dengan menggunakan kegiatan
pelayanan kesehatan sebagai kedok. Kegiatan serupa dilaporkan dilakukan di
Kalimantan pada komunitas suku Dayak oleh Universitas Harvard. Seperti
diketahui pemetaan gen manusia tersebut hampir selesay dan beberapa perusahaan bioteknologi seperti
Celera Genomics sedang mengincar pematenan gen atau DNA manusia.
Pengetahuan tradisional
muncul menjadi masalah hukum baru, disebabkan karena belum adanya hukum
domestik yang mampu memberikan perlindungan hukum secara optimal terhadap
pengetahuan tradisional, yang saat ini banyak dimanfaatkan oleh pihak-pihak
yang tidak bertanggung jawab. Di samping itu, di tingkat internasional
pengetahuan tradisional ini belum menjadi suatu kesepakatan internasional untuk
diberikan perlindungan hukum secara maksimal.
Perlindungan
Pengetahuan Tradisional Dalam Kovenan Internasional Tentang Hak-hak Ekonomi,
Sosial dan Budaya Ancaman terhadap hak asasi manusia bukan
sekedar ancaman atas hak sipil dan
politik, melainkan juga ancaman terhadap hak-hak sosial, maupun hak-hak
budaya. Oleh karena itu, Komisi Hak-hak Asasi Manusia mengadopsi Deklarasi
Universal Tentang Hak-hak Asasi Manusia, dan
kemudian melengkapinya dengan dokumen yang diadopsi dari sejumlah
kovenan dan protokol, menjadi suatu Kovenan
Internasional~ tentang Hak-hak ekonomi, Sosial dan Kebudayaan, diadopsi pada 16 Desember 1975
dan berlaku 3 Januari 1976.
Sesungguhnya bangsa-bangsa
maupun rakyat bekas jajahan telah dijajah kembali dengan munculnya WTO. Proses
penjajahan tersebut dilandaskan pada suatu ideologi yang dikenal dengan neo
liberalisme. Neoliberalisme ditandai dengan dijalankannya pasar bebas yang
dianggap akan membawa efisiensi dalam hal alokasi sumber daya alam yang langka.
Itulah mengapa neoliberalismetidak ingin pemerintah mengambil peran
yangdominan, bahkan kalau perlu campur tangan pemerintah dalam sistem ekonomi
dihapuskan.
Secara spesifik, pokok-pokok
pendirian neo liberal antara lain, menghapuskan ideologi kesejahtaraan bersama
dan pemilikan komunal, seperti yang
masih banyak dianut oleh masyarakat tradisional, menurut mereka kesejahteraan
dan pemilikan bersarrra akan menghalangi
pertumbuhan. Akibat dari prinsip tersebut adalah serahkan manajemen sumber daya alam pada ahlinya dan bukan kepada masyarakat tradisional, yang
tidak mampu mengelola sumber daya alam secara efisien dan efektif.
Bagi negara-negara
berkembang Putaran Uruguay menimbulkan banyak masalah. Kerugian negara semakin
akut dengan diterapkannya persetujuan tentang TRIPS oleh WTO. Setiap negara diwajibkan
memperkenalkan IPR (Hak Milik Intelektual) yang disesuaikan dengan standar
negara-negara utara. TRIPS akan menyebabkan mengalirnya dana dalam bentuk
royalti, bayaran lisensi ke perusahaan transnasional. Persetujuan TRIPS juga
membuka pintu untuk mematenkan bentuk-bentuk hidup seperti bibit genetis yang
dikembangkan oleh para petani dari masyarakat adat. Sementara itu kebanyakan
negara-negara berkembang telah membebaskan produk, proses pertanian, dan
obat-obatan dari undang-undang hak paten nasional mereka. Tetapi dengan
pemberlakukan TRIPS, segala sesuatu harus tunduk pada IPR. Dengan hak paten
tersebut, harga obat-obatan diharapkan meningkat tajam di banyak negara. Dan
lagi-lagi hal ini hanya mengLmtungkan perusahaan transnasional dan negara-negara maju.
Perlindungan terhadap
pengetahuan tradisional termuat dalam Kovenan Internasional Tentang Hak-hak
Ekonomi, Sosial dan Budaya. Seperti
halnya Pasal 15, yaitu hak menikmati kehidupan kultural dan manfaat kemajuan ilmiah."
1 Negara peserta kovenan ini mengakui hak tiap
orang:
a.
untuk ikut mengambil bagian dalam kehidupan kultural;
b.
untuk menikmati manfaat kemajuan ilmiah dan
aplikasinya;
c.
untuk mendapat keuntungan dari perlindungan kepentingan moral
dan meterial yang berasal dari hasil ilmiah,
pemberantasan buta
huruf ataupun benda artistik apapun yang
ia ciptakan.
2. Langkah-langkah yang diambil negara peserta dalam
kovenan ini adalah untuk mencapai realisasi penuh dari hak ini, sebaiknya
meliputi langkahlangkah penting untuk konservasi, perkembangan dan penyebaran ilmu dan budaya;
3. Negara peserta dalam kovenan ini berusaha untuk
menghargai kebebasan yang sangat diperlukan untuk penelitian ilmiah dan
aktivitas kreatif;
4.
Negara peserta dalam kovenan ini mengakui manfaat yang tiru dari dorongan
dan perkembangan kontak internasional
dan kerja sama dalam bidang ilmiah dan
kultural.
Contoh
pelanggaran terhadap Pasal 15:
di
negara atau salah satu bagian suatu negara, terdapat keputusaan, halanga,h,
terhadap penggunaan bahasa yang dibicarakan oleh sebagian besar populasi, baik
minoritas ataupun mayoritas;
hak
ilmuwan dan seniman untuk melakukan perjalanan dan berkomunikasi, serta tukar
menukar informasi atau ide melintasi batasan dilarang secara tidak adil;
larangan
negara untuk memproduksi, menampilkan, mempublikasikan sesuatu yang
mengekspresikan ide yang bertentangan dengan yang digambarkan pemerintah,
negara ataupun media pemerintah.
Pasal kovenan yang menjamin
hak kelompok atau bersama. Pasal 15 menjamin hak kekayaan intelektual terhadap
penemu, seniman dan penulis, sehingga mereka mendapatkan keuntungan dari nilai
ekonomi dan kultural yang berasal
dari ciptaan dan inovasi mereka. Pasal 15 juga dapat diinterpretasikan untuk
melindungi hak kekayaan intelektual bersama atau pengetahuan tradisional, pada
bidang agrikultural atau komunitas pedesaan lainnya. Tujuan Pasal 15 ini dapat
dilihat, saat kita menghubungkannya dengan Pasal 1 dan 25 Kovenan.
Pasal 1, yaitu memuat hak
penduduk untuk menentukan nasib sendiri. Semua penduduk memiliki hak menentukan
nasib sendiri. Berdasarkan hak tersebut, mereka bebas menentukan status politik
dan mengembangkan hak ekonomi, sosial dan kultural mereka;
Semua orang dapat mengatur
dengan bebas kekayaan alam dan sumber mereka tanpa perasaan takut terhadap
kewajiban apapun yang muncul dari kerjasama ekonomi internasional, berdasarkan
pada prinsip keuntungan timbal balik dan hukum internasional. Dalam kasus
apapun, manusia tidak boleh dicabut dari sarana subsistensinya sendiri;
Negara peserta dalam kovenan
ini hendaknya mendorong realisasi hak penentuan nasib sendiri, dan sebaiknya
menghargai hak tersebut, sesuai dengan ketetapan Piagam PBB.
Pasal 25, yaitu hak tiap
orang untuk mengendalikan penggunaan sumber-sumber alam mereka, bahwa tidak ada
isi dalam kovenan ini dapat diinterpretasikan sebagai penghalangan hak yang
melekat pada semua orang untuk menikmati dan memanfaatkan kekayaan alam dan
sumber mereka secara penuh dan bebas.
Pelanggaran Pasal 15
mengenai hak anggota suatu kelompok minoritas atau kelompok pribumi juga dapat
melanggar Pasal 1 dan 25 Kovenan_ Ketiga
pasal ini mendukung pengenalan dan
pemeliharaan pengetahuan tradisional yang telah dibentuk dari generasi
ke generasi oleh penduduk pribumi dan
minoritas. Dalam pengertian, ini merupakan hak satu kelompok untuk dapat
manfaat dari kebijaksanaan bersamanya. Kalimat terakhir Pasal 1 (2) juga menjamin hak kelompok atau
kolektif dalam kasus apapun seorang manusia tidak boleh dicabut dari sarana
subsistensinya. Kalimat ini menghubungkan hak kelompok terhadap penentuan nasib
sendiri dengan hak tiap orang untuk mendapatkan standar kehidupan yang memadai.
Kalimat ini juga dapat dihubungkan dengan Pasal 17 pada Deklarasi Universal,
yang menyatakan mengenai hak kekayaan intelektual;
Pasal
17 Ayat (1)
Tiap
orang berhak akan kekayaan intelektualnya sendiri dan juga berhubungan dengan orang lain.
Pasal
17 Ayat (2)
Tidak
ada seorangpun yang dapat dicabut secara sewenang-wenang dari kekayaan
intelektualnya.
Contoh pelanggaran Pasal 1,
Pasal 15 dan Pasal 25. adalah kurangnya
pengetahuaii negara atau industri untuk memahami nilai pengetahuan tradisional
dalam bidang agrikultur atau pengobatan. Korporasi diijinkan mengambil dan mendapatkan keuntungan dari pengetahuan asli
kelompok pribumi atau lainnya tanpa menghargai hak mereka atau memberikan
konpensasi bagi mereka.
Perlindungan
Terhadap Pengetahuan Tradisional
Konsep Barat mengenai
kekayaan intelektual berbeda secara radikal dari kebanyakan sistem pengetahuan
dan inovasi masyarakat pedesaan ataupun
lokal. Pada umumnya, masyarakat non-industri melihat pengetahuan dan inovasi sebagai sebuah hasil cipta kolektif
yang harus dipelihara dengan sebentuk kepercayaan demi generasi mendatang.
Perspektif ini berseberangan dengan sistem kekayaan intelektual industrial yang
memandang sumber daya alam, unsur-unsur hayati dan pengetahuan sebagai komoditas.
Masyarakat tradisional tidak
memandang pengetahuan/-dan inovasi sebagai komoditas, melainkan
sebagai karya masyarakat yang diterlantarkan dari generasi lalu ke generasi
mendatang. Bumi dan alam digunakan
dan dikelola, namun tidak dimiliki
secara eksklusif. Sebaliknya HKI yang berkiblat ke Eropa menyatakan bahwa
gagasan-gagasan inovatif dan produk
pemikiran manusia dapat dilindungi secara sah sebagai kekayaan privat.
Selama ribuan tahun, inovasi
dan adaptasi terhadap perubahan telah
menjadi bagian dari masyarakat pedesaan. Pengetahuan pun telah terwariskan dari
satet' generasi ke generasi berikutnya. Dan jika sebuah pengetahuan tertentu
mengenai pengetahuan tradisional, sebagaimana biasa dipercayakan pada kelompok
sosial atau dianugerahi kepada individu tertentu, maka hal mi tidaklah dinyatakan sebagai
kekayaan privat. Beberapa pokok pengetahuan biasanya dipegang secara kolektif
dan bersifat inter-generasi. Pengetahuan
dijaga sedemikian hati-hati dengan kepercayaan dan diperuntukkan demi generasi mendatang serta
ditambahkan demi keuntungan seluruh masyarakat. Kepemilikan individu atas
unsur-unsur hayati ataupun pengetahuan mengenai unsur tersebut sama sekali tak
pernah terdengar.
Karena sudah menjadi milik
umum, maka sulit menentukan siapa yang menjadi pemilik sah inovasi tersebut.
Selain itu, pengetahuan tradisional milik masyarakat banyak yang tidak
terdokumentasikan secara tertulis, karena diwariskan turun temurun melalui
tradisi cerita dan pengalaman langsung.
Hal ini akan menjadi masalah rumit, ketika ada orang asing yang mengklaim paten
atas inovasi tertentu dan kemudian
menuntut orang Indonesia sendiri untuk tidak meniru atau menjiplak inovasinya.
TRIPs merupakan bentuk
pengakuan HKI yang sangat terbatas. Selain tidak mengakui hak komunal, TRIPs
juga tidak mengakui nilai inovasi untuk memenuhi kebutuhan sosial dan lebih mementingkan komersialisasi dari suatu
inovasi. TRIPs adalah HKI yang dipaksakan terkait dengan perdagangan, sementara
sebagian besar inovasi justru terletak dalam domain publik yang digunakan
dalam sektor lokal dan publik.
Mengingat hal tersebut, maka
ketika negara meratifikasi TRIPs dan
mengharmonisasikan peraturan tentang perlindungan HKI, maka sistem
pengetahuan tradisional akan menghadapi tantangan yang besar. Pengetahuan
mereka akan dibajak dan diprivatisasi
oleh perusahaan serta individu. Kemudian apabila suatu negara membuat peraturan
yang melindungi inovasi masyarakat tradisional dan lokal, maka negara tersebut akan menghadapi
banyak tantangan dari negara-negara lain.
Banyak masyarakat di negara
berkembang menganggap bahwa ilmu pengetahuan sebagai warisan msyarakat yang
harus dilestarikan agar keturunannya ikut menikmati pengetahuan tersebut. Oleh
karena itu, tidak ada individu yang berhak memonopoli pengetahuan, karena hanya
titipan sementara kemudian diwariskan kembali untuk keuntungan bersama dan generasi masa depan.
Sebaliknya negara-negara
maju berpendapat bahwa ilmu pengetahuan dan
teknologi merupakan hasil inovasi dan
investasi individual. Karena hasii dari pengetahuan menjadi milik para
penciptanya dan bukan menjadi milik seluruh umat manusia. Atas dasar pemikiran
inilah, maka diciptakan perlindungan HKI yang bertujuan memberikan hak
eksklusif pada penemu inovasi.-Hak eksklusif diharapkan dapat menciptakan
keuntungan ekonomi dari inovasi yang kemudian dianggap akan mendorong penemu
atau orang lain untuk melakukan inovasi yang baru lagi.
Masyarakat tradisional atau
lokal, memiliki pemahaman sendiri yang dimaksud dengan pengetahuan tradisional.
Menurut mereka pengetahuan tradisional adalah;
a.
Pengetahuan tradisional merupakan hasil
pemikiran praktis yang didasarkan atas pengajaran dan pengalaman dari generasi
ke generasi;
b.
Pengetahuan tradisional merupakan pengetahuan
di daerah perkampungan;
c.
Pengetahuan tradisional tidak dapat
dipisahkan dari masyarakat pemegangnya, meliputi kesehatan, spiritual, budaya
dan bahasa dari masyarakat pemegang. Hal ini merupakan way of life. Pengetahuan tradisional lahir dari semangat untuk
bertahan;
d.
Pengetahuan tradisional memberikan
kredibilitas pada masyarakat pemegangnya.
Saat ini pengetahuan
tradisional dapat dibagi ke dalam dua permasalahan utama, yaitu;
a. Perlindungan yang mempertahankan pengetahuan
tradisional atau ketentuan yang menjamin itu tidak akan sukses diperoleh oleh
HKI, melalui ketentuan pengetahuan tradisional yang kdnvensional;
b. Perlindungan yang mempertahankan pengetahuan
tradisional akan sukses dengan menggunakan mekanisme hukum tradisional, seperti
kontrak pembatasan akses dan HKI.
Berdasarkan dua permasalahan
tersebut, maka di satu sisi jika menggunakan ketentuan tradisional tidak dapat
menjamin kesuksesan dalam melindungi pengetahuan tradisional, namun di sisi
lain perlindungan pengetahuan tradisional dapat dilakukan dengan menggunakan
pendekatan ketentuan konvensj(>nal, seperti penggunaan sistem HKI yang kini
sedang diberlakukan.
Perangkat perundang-undangan
HKI yang mengatur masalah pengetahuan tradisional, kurang memadai.
Undang-Undang HKI, yang dimiliki Indonesia saat ini, sepenuhnya mengadopsi
gagasan yang terkandung dalam TRIPs yang berorientasi individual dan bercorak
privatisasi itu. HKI mengakui dan telah mengatur sistem pengetahuan dan teknologi lokal yang dituangkan dalam
pemahaman foklore. Folklore itu
dipahami sebagai bentuk kreativitas intelektual masyarakat tradisional. Namun
konsep foklore itu terlalu
sempit untuk dapat mencakup bentuk kekayaan intelektual masyarakat lokal."
Perlindungan pengetahuan
tradisional baru diatur dalam ketentuan Pasal 10 Undang-Undang No. 19 Tahun
2002 tentang Hak Cipta, yang berjudul Hak Cipta atas Ciptaan yang Penciptanya
Tidak Diketahui, menyatakan bahwa:
b) negara
memegang hak cipta atas karya peninggalan prasejarah, sejarah dan benda nasional lainnya;
c) negara
memegang hak cipta atas foklore dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik
bersama, seperti cerita, hikayat, dongeng; legenda, babad, lagu, kerajinan
tangan, koreografi, tarian, kaligrafi dan karya seni lainnya;
d) untuk
mengumumkan atau memperbanyak ciptaan tersebut pada ayat (2), orang yang bukan
warga negara Indonesia harus terlebih dahulu mendapat ijin dari instansi yang
terkait dalam masalah tersebut;
e) ketentuan
lebih lanjut mengenai hak cipta yang dipegang oleh negara sebagaimana dimaksud
dalam pasal ini diatur dengan peraturan pemerintah.
Walaupun tujuan Pasal 10
ditujukan khusus untuk melindungi budaya penduduk asli, akan sulit bagi
masyarakat tradisional untuk menggunakannya demi melindungi karya-karya mereka
berdasarkan beberapa alasan. Menurut Tim Lindsey ketentuan Pasal 10 tersebut
mengalami kendala dalam implementasinya. Terdapatdua alasan, yaitu (1)
kedudukan Pasal 10 UUHC belum jelas penerapannya, jika dikaitkan dengan
berlakunya pasal-pasal lain dalam UUHC. Misalnya, bagaimana kalau suatu foklore yang dilindungi berdasarkan
Pasal 10 ayat (2) tidak bersifat ash sebagaimana diisyaratkan Pasal 1 ayat (3)?
UUHC tidak menjelaskan apakah foklore semacam
ini mendapatkan perlindungan Hak Cipta, meskipun merupakan ciptaan golongan
foklore yang keasliannya sulit dicari atau dibuktikan; (2) sukusuku etnis atau
suatu masyarakat tradisional hanya berhak melakukan gugatan terhadap
orang-orang asing yang mengeksploitasi karya-karya tradisional tanpa seijin
pencipta karya tradisional, melalui negara cq. Instansi terkait. Undang-undang
melindungi kepentingan para pencipta karya tradisional apabila orang asing
mendaftarkan di luar negeri. Akan tetapi dalam kenyaataannya belum ada hasil
usaha negara dalam melindungi karyakarya tradisional yang dieksploitasi oleh
bukan warga negara Indonesia di luar negeri. Sangat tidak mungkin, pemerintah
dalam waktu dekat ini akan menangani penyalahgunaan kekayaan intelektual bangsa
Indonesia di luar negeri, mengingat krisis-krisis politik, sosial dan ekonomi yang masih berkepanjangan sampai
sekarang. Selain itu, instansi-instansi terkait yang dimaksud dalam Pasal 10
(3) untuk memberikan ijin kepada orang asing yang akan menggunakan karya-karya
tradisional juga belum ditunjuk."
Bila dicermati permasalahan
penegakan hukum di Indonesia dapat dibagi ke dalam tiga bagian permasalahan
mendasar, yaitu: (1) dilihat dari aspek substansi, di mana dalam konteks
substansi ini pengetahuan tradisional belum diatur secara tegas baik dari
segi-segi substansi maupun prosedural untuk mendapatkan perlindungan hukumnya.
Kalau pun ada maka sifatnya masih simbolis, sehingga menjadikan aturan tidak
efektif dan tidak ada manfaatnya. (2)
Aspek aparatur hukum, saat ini sangat sedikit aparatur hukum yang menguasai dan
mengerti tentang pengetahuan tradisional. Padahal dengan kondisi aturan normatif
yang belum jelas, maka tuntutan terobosan hukum yang dapat dilakukan oleh
aparatur hukum, khususnya hakim akan sangat membantu. Untuk Indonesia upaya
interpretasi hakim masih sangat lemah berhubung pengetahuan hakim yang belum
memadai, juga belum optimalnya peran saksi ahli. (3) Aspek budaya hukum,
seperti telah diketahui bahwa masyarakat tradisional pada umumnya enggan untuk
melalukan proses hukum dalam konteks pelanggaran karya intelektual yang
berbasis pada pengetahuan tradisional, di sisi lain pemerintah sendiri yang
diharapkan dapat diharapkan mempunyai kemampuan dan kesadaran hukum untuk memperjuangkan
perlindungan pengetahuan tradisional masiti dilanda berbagai permasalahan
negara, di samping budaya hukum pemerintah sendiri terhadap hukum masih banyak
dipertanyakan.
Penutup
Ancaman terhadap hak asasi
manusia bukan sekedar ancaman atas hak sipil dan politik, melainkan juga ancaman terhadap
hak-hak sosial, maupun hak-hak budaya, termasuk di dalamnya adalah ancaman
terhadap pengetahuan tradisional. Pengetahuan tradisional muncul menjadi masalah
hukum baru, disebabkan karena belum adanya hukum domestik yang mampu memberikan
perlindungan hukum secara optimal terhadap pengetahuan tradisional tersebut,
yang saat ini banyak dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung
jawab. Di samping itu, di tingkat internasional pengetahuan tradisional ini
belum menjadi suatu kesepakatan internasional untuk diberikan perlindungan
hukum secara maksimal.
Banyak pengetahuan
tradisional masyarakat Indonesia yang belum terakomodir dan belum mendapat perlindungan hukum di dalam
peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hak kekayaan intelektual.
Untuk dapat mewujudkan perlindungan hukum terhadap pengetahuan tradisional
masyarakat Indonesia, membutuhkan koordinasi dan kerja sama dari para pembuat kebijakan
negara, akademisi, mahasiswa, dan
masyarakat Indonesia. Perlindungan hukum terhadap pengetahuan
tradisional masyarakat Indonesia, merupakan tanggung jawab bersama dan saling
terkait, dari semua komponen yang ada dalam masyarakat Indonesia.
Hak
Pekerja Anak Dalam Sektor Formal
Antara Hak Sebagai Anak dan
Hak Sebagai Pekerja
Pendahuluan
Anak-anak, yang telah
terlibat secara aktif dalam kegiatan ekonomi untuk menjalankan perannya sebagai
pekerja, bukanlah suatu fenomena baru di Indonesia. Meskipun di satu sisi
diakui adanya upaya-upaya dari berbagai pihak yang bermaksud untuk memberikan
"perlindungan" terhadap anakanak yang "terpaksa" bekerja,
akan tetapi tidaklah dapat dipungkiri, bahwa usaha-usaha itu belumlah
menunjukkan hasil yang maksimal. Pada kenyataannya masih banyak ditemui
berbagai kasus pekerja anak, yang mengarah pada bentuk-bentuk pengeksploitasian
anak dan berbagai insiden perlakuan
salah pada anak, yang mengakibatkan luka, keluhan dan cacat fisik serta moral-sosial pada saat ia
melakukan pekerjaannya (Irwanto, dkk., 1995). Salah satu hal yang seringkali
dipandang sebagai awal dari kurang berhasilnya upaya-upaya tersebut, antara
lain adalah kurang tepatnya titik pandang yang dipergunakan oleh masing-masing
pihak, di dalam menangani persoalan pekerja anak.
Diskursus tentang segala hat
yang berhubungan dengan persoalan pekerja anak, yang masih diwarnai perdebatan
di sekitar pantas atau tidaknya anak berkerja, dilarang atau dibiarkannya anak
bekerja. Kesemuanya ini masih berangkat dari sisi moral dan pandangan konvensional mengenai anak
tersebut, pada dasarnya dapat dikelompokan ke dalam dua puak (golongan) besar.
Puak yang pertama, menganut
sikap penolakan dan dengan demikian menganjurkan penghapusan pekerja anak,
dengan melarang anak-anak bekerja. Pemerintah pun sebenarnya dapat dimasukkan
dalam kelompok ini. Hal ini tercermin dari adanya larangan yang mula-mula
bersifat absolut bagi anakanak untuk bekerja, sebagaimana secara tegas
dicantumkan di dalam Pasal 2 Undang-Undang No. 14 Tahun 1948. Akan tetapi
kemudian berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor Per-O1 /MEN/1987
tentang Perlindungan bagi Anak yang Terpaksa Bekerja, larangan tersebut tidak lagi bersifat absolut, tetapi ada
pengecualian-pengecualian tertentu, yang membuka kesempatan bagi
dipekerjakannya anak. Hal inilah yang kemudian diperkuat di dalam Pasal 95 jo.
96 UU No. 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan, yang diperbaharui lagi dengan
UU No. 13 Tahun 2003. Sedangkan puak yang lainnya, menganut sikap yang lebih
menitikberatkan pada upaya-upaya memberikan perlindungan pada pekerja anak.
Dari paparan di atas
terlihat bahwa masing-masing titik pandang di atas cenderung bersifat dikotomis
dan mengabaikan konteks munculnya dan
kompleksitas fenomena tersebut. Pandangan yang hanya mengutamakan perlindungan
pekerja anak-anak pada satu sisi, cenderung melahirkan tindakan-tindakan yang
justru tidak realistis terhadap persoalan pekerja anak dan bukan merupakan jawaban bagi persoalan
tersebut.
Pekerja anak pada dasarnya
adalah suatu kelompok dan mempunyai
kebutuhan yang spesifik. Oleh karenanya, pekerja anak perlu mendapat perhatian
dan pelakuan secara spesifik pula. Yang
dimaksud dengan pekerja anak di sini -tanpa mengurangi makna dan besarnya persoalan-persoalan besar lain yang
juga timbul pada pekerja-pekerja anak yang berada di dalam sektor informal
dan anak-anak jalanan- hanyalah akan
membatasi diri bagi anak-anak yang bekerja pada majikan, berdasarkan pada suatu
hubungan kerja secara formal. Sudut ini yang dicoba dibidik, dengan
pertimbangan bahwa hak-hak merekalah yang selama ini secara resmi telah diatur
di dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Oleh karena
itu, dapatlah dikaji secara lebih seksama, bagaimana perlindungan yang
sebenarnya telah diberikan oleh hukum positif Indonesia terhadap pekerja anak
tersebut.
Hak
Anak Untuk Bekerja
Di Indonesia, perhatian dari
berbagai pihak terhadap pekerja anak, memperlihatkan tendensi yang semakin
meningkat. Hal ini antara lain nampak dengan diratifikasinya konvensi hak-hak
anak pada tahun 1990 melalui Keputuan Presiden No. 36 Tahun 1990, ikut sertanya
Indonesia calam Konferensi ILO tentang pekerja anak yang menghasilkan Konvensi
No. 138 Tahun 1973, dan dengan
diundangkannya berbagai macam peraturan perundang-undangan yang bermaksud
memberikan "perlindungan" terhadap anak-anak yang
"terpaksa" bekerja.
Hanya saja hal tersebut
seringkali mengabaikan satu pertanyaan awal yang seharusnya terlontar, yaitu
apakah anak memang mempunyai hak untuk bekerja. Pertanyaan ini memang.jarang
dimunculkan, karena hal itu
merupakan pokok persoalan yang sifatnya
sering membuat berbagai pihak mejadi serba salah. Pembahasan hal seperti itu
harus menunjukan sikap politis setiap pihak terhadap diakui-tidaknya hak anak
untuk bekerja. Sedangkan situasi dan konteks persoalan pekerja anak di
Indonesia terlalu kqmpleks untuk dijadikan dasar pertimbangan pengambilan sikap
yang hitam-putih.
Oleh karena itu, pemikiran
para pihak yang menaruh banyak perhatian pada pekerja anak, ada-tidaknya hak
anak untuk bekerja harus disikapi secara hati-hati. Pada tingkat tertentu
justru cenderung untuk dihindari dari pembicaraan. Hal ini antara lain
disebabkan karena sejumlah alasan antara lain: (a) masih belum dipahami benar
kompleksitas masalahnya; (b) kerancuan pengertian antara hak dan kewajiban
anak; (c) belum populernya perdebatan mengenai masalah ini pada tingkat konsep
dan keterbatasan akses untuk mengikuti perkembangan perdebatan konsepsional di
tingkat internasional (Tjandraningsih dan White, 1991). Padahal pembicaraan adatidaknya hak anak untuk bekerja
ini justru menjadi sangat relavan dan muncul ke permukaan apabila kita akan
memikirkan, merencanakan dan melaksanakan suatu alternatif ke arah pemecahan
persoalan-persoalan yang ada di sekitar pekerja anak.
Menurut UU No. 12 Tahun 1948 disebutkan, bahwa pemerintah
melarang secara mutlak, tanpa pengecualian apapun, bagi anak-anak untuk
bekerja. Akan tetapi, meskipun telah diperkuat dengan sanksi-sanksi pidana,
adanya larangan tersebut tidaklah dapat berlaku secara efektif. Pada tataran
normatif, ketidakefektifan tersebut antara lain disebabkan sikap ambivalen atau
tidak serius dari pemerintah sendiri. Sikap ini tercermin dalam aspek penegakan
hukumnya (law enforcement). Ketentuan di atas dimaksudkan akan diberlakukan
secara bertahap dengan peraturan pemerintah. Sambil menunggu dikeluarkannya
peraturan pemerintah yang dimaksud, mengenai pekerja anak semula masih diberlakukan
peraturan perundang-undangan yang berasal dari zaman Hindia Belanda. Peraturan
tersebut adalah Ordonansi tahun 1925 tentang
Maatregelen ter Beperking van de Kinderbeid en de Nachtarbeid van de Vrouwen (Peraturan tentang
Pembatasan Pekerjaan Anak dan Pekerja Wanita pada Malam Hari), sebagimana
tercantum di dalam Staatsblaad Tahun
1925 Nomor 647 dan Ordonansi Tahun 1926 tentang Bepalingen Betreffende de Arbeid van Konderen en
/eugdigde Personen aan Boord van Schepen (Peraturan Tentang
Pekerjaan Anak dan Orang Muda di kapal) sebagaimana yang tercantum di dalam
Staatsblaad Tahun 1926 Nomor 87.
Sedangkan pada tataran
sosiologis empiris, di sebagian masyarakat sendiri, munculnya pekerja anak
seringkali tidak menimbulkan reaksi sosial yang negatif. Hal ini antara lain
disebabkan karena adanya suatu aksioma kultural yang memandang bahwa
mempekerjakan anak pada usia dini bukanlah semata-mata merupakan suatu bentuk
eksploitasi pada anak, akan tetapi justru merupakan suatu rangkaian proses yang
memang harus dilalui oleh seorang anak untuk belajar bertanggung jawab, menimba
pengalaman sebagai persiapan mereka, agar mempunyai bekal untuk kehidupannya
kelak (Irwanto, dkk., 1995).
Sejumlah temuan penelitian
menunjukkan bahwa munculnya pekerja anak ini disebabkan karena, adanya tekanan
ekonomi yang memaksa mereka untuk terlibat secara aktif di dalam kegiatan
ekonomi, baik untuk memenuhi kebutuhanan hidupnya sendiri, maupun sebagai suatu
bentuk partisipasi dari anak untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dan bagi kelangsungan hidup keluarganya, karena
mereka dianggap telah ikut bertanggung jawab terhadap ekonomi keluarga
(Rilantoro, dkk., 1984).
Sebagian besar orang tua
yang mengirimkan anaknya untuk bekerja, dalam kenyataannya, tidak menghendaki
anak mereka untuk bekerja dalam usia dini. Keikutsertaan anak dalam lingkungan
pendidikan dipandang sebagai hal yang relatif lebih penting dan sebagai hal yang penting untuk hidup yang
lebih baik bagi anak-anak mereka daripada bekerja (Rilanto, dkk., 1984),
(Soedijar, 1989), (Irwanto, dkk., 1995).
Sebagaimana dikemukakan oleh
Tjandraningsih, I. dan White, B. (1991) berdasarkan penelitiannya terhadap
pekerja anak pada sektor manufaktur di Jawa Barat, dapatlah diketahui bahwa
yang menyebabkan munculnya pekerja anak, adalah kebutuhan akan pekerja anak
-yang bagi para pengusaha dipandang mempunyai produktivitas tinggi dan upah rendah, serta mudah diatur- dalam
pekerjaan-pekerjaan yag didominasi oleh pekerja dewasa, merupakan daya tarik
yang luar biasa bagi anak untuk terjun ke dalam pasaran tenaga kerja.
Kondisi empiris tersebut
mendorong pemerintah untuk lebih bersikap tidak konsisiten dalam melarang anak
untuk bekerja. Sikap ini terefleksi di dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja
Nomor PER-O1 /MEN/1987 tentang Pelindungan bagi Anak yang Terpaksa Bekerja,
yang tidak lagi melarang secara absolut bagi anak-anak untuk bekerja, akan
tetapi hanya melakukan pembatasan-pembatasan dalam keadaan apa dan untuk pekerjaan apa saja anak-anak itu
dilarang bekerja. Pemikiran yang demikian pulalah yang kemudian tercermin di
dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan.
Setelah melalui beberapa
tahapan kajian, Pemerintah akhirnya menetapkan undang-undang baru tentang
ketenagakerjaan yaitu UU No. 13 Tahun 2003. Anehnya, UU tersebut justru tidak
mengadakan larangan mutlak bagi anak-anak untuk melakukan pekerjaan, melainkan
hanya mengadakan pembatasan-pembatasan saja. Memang, tidaklah mudah untuk
melarang begitu saja, anak-anak untuk tidak terlibat secara aktif dalam suatu
kegiatan ekonomi. Pengalaman Bangladesh yang ingin secara konsisten menerapkan
larangan mempekerjakan anak untuk menyelamatkan diri dari sanksi perdagangan
internasional, tidak menghasilkan apa-apa kecuali kesengsaran bagi para
pekerja_anak (Irwanto, dkk., 1995).
Hal ini pun disadari oleh
'lembaga-lembaga internasional, yang telah mengakui adanya hak anak-anak untuk
bekerja, yang disertai dengan usahausaha untuk memberikan
perlindungan-perlindungan, dengan meletakkan prinsip-prinsip dasar yang
mengutamakan pertimbangan dari sisi kepentingan anak, sebagaimana tercantum di
dalam Pasal 32 Konvensi Hak Anak yang menyebutkan adanya: (1) hak untuk mempertahankan hidup (survival); dan (2) pengutamaan kepentingan anak (the
best interest of the child).
Dengan adanya prinsip
survival, anak-anak yang dalam keadaan sulit harus memperoleh bantuan terbaik
untuk dapat melangsungkan hidup mereka. Pada umumnya kebanyakan pihak akan
berbicara mengenai program-program kesehatan dan gizi. Meskipun demikian, hak
anak dalam mencari nafkah untuk hidupnya sendiri maupun untuk keluarganya dapat
dijadikan alasan yang kuat untuk mempertanyakan berbagai kebijakan penghapusan
pekerja anak, karena tidak semua pemerintah (termasuk pemerintah RI) mampu
memberikan bantuan kepada semua keluarga yang mengalami kesulitan. Jika
keluarga/orang tua dan pemerintah tidak
dapat memberikan jaminan bahwa besok anak masih dapat makan secara layak dan
bersekolah seperti anak-anak yang lain, tentunya anak harus mengharapkan pada
dirinya sendiri. Oleh karena itu, otonomi dan hak anak untuk menentukan
nasibnya sendiri perlu dihormati.
Pemikiran di atas, juga
sesuai dengan prinsip the best interest of
the child, karena tidak
ada pihak-pihak yang dapat menjamin kesejahteraan anak secara langsung,
kepentingan anak untuk bertahan hidup dengan caranya sendiri mutlak perlu
dipertimbangkan. Karena bagaimanapun jika keluarga mengalami kesulitan maka
para orang tua yang sudah lanjut usia dan anak-anaklah yang paling menderita.
Sejalan dengan itu Ben White
(1994) telah melontarkan ide yang pada intinya menyatakan bahwa secara umum
anak-anak punya hak untuk bekarja. Sikap tersebut antara lain didasarkan pada
kondisi objektif global di mana "ekonomi sebagai panglima" kehidupan
manusia saat ini, yang bersifat kapitalistik dan mendorong akumulasi modal
melalui pengembangan strategi akumulasi modal yang mengarah pada polarisasi,
kesenjangan dan konsumerisme. Dalam situasi semacam itu menurutnya sangat
tidak adil apabila anak-anak dalam upayanya menyesuaikan diri dalam keadaan
tersebut kemudian dilarang bekerja. Hal ini pun terlihat dari persepsi yang ada
pada sebagian pejabat pemerintah, LSM dan
pengusaha. Menurut mereka, isu sentral tentang pekerja anak, sebenarnya
tidak terletak pada "pekerja itu sendiri", tetapi lebih pada pengaruh
negatif dari bekerja yang terlalu dini terhadap perkembangan kognitif, mental,
sosial, emosional dan fisik anak. Oleh
karena itu, anak pada dasarnya boleh saja ikut berkarya, jika memang
membutuhkan pekerjaan, dan tugas yang
diberikan masih dalam batas kemampuan mental dan fisiknya, serta masih diberi kesempatan untuk
tetap berada dalam lingkungan sekolah (sistem pendidikan).
Oleh karena itu, tindakan
yang dilakukan oleh pemerintah seharusnya tidak begitu saja melarang anak-anak
untuk bekerja dan menghapuskan hak dari
anak-anak untuk bekerja. Pemerintah dapat melakukan tindakantindakan, pertama, memperbaiki kapasitasnya
untuk melayani kepentingan anak dan
keluarganya, dengan menyediakan berbagai fasilitas, yang memang sangat
diperlukan bagi anak-anak yang terpaksa bekerja, ataupun dapat mengentaskan
mereka dari kegiatan ekonomi, sehingga mereka dapat mengenyam hak-hak lainnya
sebagai anak, bukan hanya sebagai pekerja. Kedua, berupaya semaksimal mungkin untuk melindungi anak dari
upaya eksploitasi. Jalur hukum merupakan salah satu jalan yang dapat dilakukan
oleh pemerintah untuk anak. Hukum harus dibuat sedemikian rupa, sehingga
hak-hak anak menjadi terlindungi.
Pekerja Anak Dengan Hak-hak Pekerja Dewasa
Paparan di atas
memperlihatkan adanya sikap dari berbagai pihak sebagai suatu bentuk pengakuan
terhadap eksistensi hak-hak anak untuk bekerja. Hanya saja pertanyaan yang
kemudian muncul adalah bagaimanakah implementasi dari pengakuan terhadap
hak-hak anak untuk bekerja tersebut? Pada tingkat internasional, Konvensi Hak
Anak (KHA), seringkali disebut sebagai instrumen internasional yang paling
komprehensif, sejauh menyangkut masalah perlindungan dan kesejahteraan anak, khususnya dalam
hubungannya dengan anak yang bekerja. Satu-satunya ketentuan yang menyangkut
pekerja anak dalam KHA terdapat di dalam Pasal 32, yang menyatakan:
(1) Negara peserta akan mengakui hak anak atas
perlindungan dari eksploitasi ekonomi dan
dari pekerjaan yang membahayakan atau mengganggu pendidikan anak, atau
yang merugikan kesehatan atau perkembangan fisik, mental, spiritual, moral atau
sosial anak.
(2) Negara peserta akan mengambil langkah-langkah
legislatif, administratif, sosial dan
pendidikan guna menjamin implementasi pasal ini.
Untuk
tujuan ini dan dengan mempertimbangankan
ketentuan-ketentuan yang relevan dari instrumen internasional lainnya, negara
peserta secara khusus akan:
a.
menetapkan batas usia minimum atau batas-batas usia minimum bagi kerja upahan;
b.
menetapkan peraturan yang sesuai mengenai jam kerja dan kondisi kerja;
c.
menetapkan hukuman atau sanksi-sanksi lainnya yang sesuai guna menjamin
pelaksaan efektif pasal ini.
Implementasi dari apa yang
tercantum didalam KHA tersebut semula telah direalisir oleh Pemerintah
Indonesia di dalam UU No. 25 Tahun
1997 yang kemudian diganti
dengan UU No. 13 Tahun 2003, yang dipandang sebagi suatu
bentuk penyelarasan peraturan perundang-undangan nasional dengan semangat yang
terkandung di dalam KHA.
Di dalam UU Ketenagakerjaan
yang baru, dicantumkan larangan secara tegas bagi "setiap pengusaha untuk
mempekerjakan anak" (Pasal 68). Dalam
Pasal 1 Angka 20 ditegaskan
bahwa yang dimaksud dengan anak adalah mereka yang berusia di bawah 18 tahun. Ketentuan tentang batas
umum anak tersebut sejalan dengan isi Pasal 2.3 dari Konvensi ILO No. 138
Tahun 1973, yang intinya
menyebutkan bahwa, batas usia minimum ... tidak kurang dari usia penyelesaian
wajib belajar, dan dalam kasus apapun tidak kurang dari 15 tahun. Akan tetapi larangan itu ada pengecualiannya, yakni
anak yang berumur 13 sampai
dengan 15 tahun dapat melakukan
pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental dan sosialnya (Pasal 69); pekerjaan di tempat kerja yang merupakan bagian dari
kurikulum pendidikan atau pelatihan yang disahkan oleh pejabat yang berwenang
(Pasal 70); pekerjaan untuk
mengembangkan bakat dan minatnya (Pasal 71).
Pengusaha yang mempekerjakan
anak pada pekerjaan ringan harus
memenuhi syarat, yaitu (a) ijin tertulis dari orang tua/wali; (b) perjanjian
kerja antara pengusaha dengan orang tua/wali; (c) waktu kerja tidak boleh
lebih dari 3(tiga) jam; (d) dilakukan pada siang dan tidak mengganggu
waktu sekolah; (e) keselamatan dan
kesehatan kerja; (f) adanya hubungan kerja yang jelas; (g) menerima upah
sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pekerjaan anak di tempat kerja yang
merupakan bagian dari kurikulum pendidikan atau pelatian harus memenuhi syarat
(a) diberi petunjuk yang jelas tentang cara pelaksanaan pekerjaan serta
bimbingan dan pengawasan dalam melaksanakan
pekerjaan; dan (b) diberi perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja. Sedangkan pengusaha yang
mempekerjakan anak dalam rangka mengembangkan bakat dan minatnya wajib memenuhi syarat (a) di bawah
pengawasan langsung orang tua/wali; (b)-waktu kerja paling lama 3 (tiga) jam;
dan (c) kondisi dan lingkungan kerja tidak mengganggu
perkembangan fisik, mental dan sosial serta
waktu sekolah. Dalam hal anak di pekerjaan bersama-sama dengan buruh/pekerja
dewasa, maka tempat kerja anak harus dipisahkan (Pasal 72).
Meski anak dapat
dipekerjakan dengan syarat-syarat tertentu, namun ada larangan secara tegas
untuk mempekerjaan dan melibatkan anak
pada pekerjaan-pekerjaan yang terburuk
(Pasal 74). Pekerjaan-pekerjaan terburuk itu meliputi: (a) segala
pekerjaan dalam bentuk atau sejenisnya; (b) segala pekerjaan yang memanfaatkan,
menyediakan, atau menawarkan anak untuk pelacuran, produksi pornografi,
pertunjukan porno, atau perjudian; _(c) segala pekerjaan yang memanfaatkan,
menyediakan, atau melibatkan anak untuk produksi dan perdagangan minuman keras, narkoba,
psikotropika dan adiktif lainnya; dan/atau (d) semua pekerjaan yang
membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak.
Untuk menegakan ketentuan
tersebut, di dalam UU itupun diperkuat dengan sanksi pidana penjara dan/atau
denda (Pasal 183, 185, dan 187).
Apabila disimak dari beberapa ketentuan di dalam UU
No. 13 Tahun 2003 tersebut, secara sekilas terlihat adanya upaya untuk
memberikan perlindungan bagi para pekerja anak. Penentuan tentang
pada kondisikondisi apa anak tidak boleh bekerja, sepertinya mencoba
menyelaraskan ,dengan ketentuan yang
disyaratkan oleh Konvensi ILO No. 138 Tahun 1973. Konvensi tersebut menetapkan
bahwa: "anak-anak dilarang untuk berkerja dalam kondisi yang "paling
merusak" (abusive), "paling berbahaya" dan "paling eksplotatif".
Ketentuan-ketentuan di atas
juga memperlihatkan bahwa, kewajiban dan
tanggung jawab dari pengusaha, hanyalah "terbatas" pada upayaupaya
yang berkaitan dengan hak-hak pekerja anak sebagai pekerja, dan tidak menyentuh
sama sekali hak-hak pekerja anak, sebagai anak. Hal ini terjadi karena
persoalan itu dipandang telah menjadi kewajiban orang tua/ keluarga dari
masing-masing pekerja anak tersebut.
Apabila dilihat aspek-aspek
yang diatur di dalam berbagai peraturan perundang-undangan, yang mengatur
tentang hubungan kerja, sepertinya telah dicoba diakomodir berbagai hal yang
diperlukan untuk melindungi para pekerja. Perundang-undangan telah memberikan
jaminan akan adanya kesempatan yang sama bagi setiap tenaga kerja untuk menjadi
pekerja dan perlakuan yang sama bagi setiap pekerja. Pengaturan tentang hak-hak
pekerja meliputi, perlindungan pengupahan dan kesejahteraan, pelatihan kerja,
keamanan dan keselamatan kerja, jaminan sosial tenaga kerja, pembinaan dan
pengawasan. Kesemuanya itu diperkuat dengan adanya sanksi-sanksi administratif
maupun sanski pidana, serta sanksi perdata.
Meskipun telah dicantumkan
berbagai macam hak yang bermaksud memberikan perlindungan bagi para pekerja
anal~., akan tetapi bentuk perlindungan yang diberikan, lebih banyak
disamaratakan begitu saja dengan bentuk-bentuk perlindungan yang diberikan bagi
pekerja-pekerja dewasa. Misalnya, antara lain terlihat dari ketentuan yang
mengatur tentang peng-upahan. Di dalam ketentuan tersebut disebutkan:
"Penghasilan yang layak adalah penerimaan pekerja dari hasil pekerjaannya
yang mampu memenuhi kebutuhan hidup pekerja dan keluarganya secara wajar,
meliputi mak,*anlminuman, sandang, Prumahan, pendidikan serta jaminan hari
tua" (Penjelasan Pasal 88). Fasilitas
kesejahteraan yang diberikan pada pekerja meliputi pelayanan keluarga
berencana, tempat penitipan bayi, perumahan pekerja, fasilitas peribadadatan,
olah raga dan kantin (Pasal 116). Jaminan
Sosial Tenaga Kerja (UU No. 3 Tahun
1992 tentang Jaminan Sosial
Tenaga Kerja jo. Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 1993 tentang
Penyelenggaraan Program Jamsostek) merupakan suatu bentuk perlindungan bagi
buruh dalam vyujud: santunan uang dan pelayanan dengan--tujuan (a) menjamin
kepastian berlangsungnya arus penerimaan penghasilan keluarga sebagai pengganti
sebagian atau seluruh penghasilan yang hilang, (b) memberikan perlindungan dasar untuk memenuhi kebutuhan hidup
minimal bagi tenaga kerja beserta keluarganya; (c) merupakan pengahargaan bagi
tenaga kerja yang program-programnya meliputi: (a) jaminan kecelakan kerja; (b) jaminan kematian; (c) jaminan
hari tua; (d) jaminan pemeliharaan kesehatan.
Dalam UU No. 13 Tahun 2003 tidak menyebutkan maupun menjelaskan
apakah' penyediaan fasilitas kesejahteraan itu hanya berlaku untuk
pekerja/buruh dewasa atau untuk semuanya, termasuk pekerja anak. Memang, dalam
Pasal 68-74 sudah disebutkan
khususnya pekerja anak, namun bentuk perlindungan khusus, seperti keselamatan
dan kesehatan kerja bagi pekerja anak tidak disebutkan. Oleh karenanya, dapat
dikatakan bahwa di dalam berbagai peraturan tersebut, terlihat kurangnya
pembedaan secara tegas mengenai bentuk-bentuk perlindungan yang seharusnya
diberikan secara khus.us pada pekerja anak.
Pembentuk undang-undang sepertinya melupakan suatu hal yang pentin~, di mana
pekerja anak pada dasarnya adalah suatu kelompok yang spesifik dan mempunyai kebutuhan
spesifik pula. Persoalan dan kebutuhan mereka seringkali justru lebih kompleks
daripada pekerja dewasa dan anakanak yang tidak bekerja, karena pada d,asarnya
mereka merupakan gabungan dari kedua hal tersebut.
Hak
Pekerja Anak Sebagai Anak
Dalam hubungannya dengan
pihak lain (baik orang tua maupun pemerintah), anak-anak seringkali ditempatkan
di dalam posisi yang subordinat, sebagai suatu makhluk yang dipandang belum
mempunyai kemampuan untuk menentukan nasibnya sendiri. Oleh karenanya, anak-anak
harus selalu dilindungi dan diarahkan serta dibimbing, sehingga mereka dapat
tumbuh secara wajar. Kondisi semacam ini, meskipun tidak dapat diabaikan,
seringkali mendatangkan kebaikan-kebaikan tertentu di dalam perkembangan anak,
akan tetapi di sisi lain justru menempatkan anak dalam posisi yang sangat
rentan terhadap pelanggaran haknya. Hal ini didukung dengan adanya budaya
paternalistik yang menyebabkan anak seolah-olah hanya mempunyai kewajiban saja,
tanpa mempunyai hak. Apabila sedang berhadapan dengan orang tua atau
pemerintah, maka hanya memandang merekalah yang paling tahu apa yang terbaik
bagi anaknya atau anak-anak.
Hal tersebut justru
seringkali menimbulkan kerancuan antara mana yang merupakan hak anak dan mana yang merupakan kewajiban anak. Hak menclapat
pendidikan misalnya, sering diwujudkan menjadi kewajiban untuk sekolah atau
gerakan wajib belajar, kewajiban membantu orang tua, kewajiban untuk patuh
dan tunduk terhadap orang tua dan
sebagainya. Dengan mengharuskan anak-anak untuk melakukan kewajiban-kewajibannya
tersebut, orang tua merasa telah memenuhi hak anak-anaknya.
Masa anak-anak, merupakan
hadiah yang terbaik bagi anak. Masa di mana mereka dapat bermain dan bercanda
secara bebas dan berkesempatan untuk belajar semaksimal mungkin. Dalam konteks
perkembangan anak, terlibat dalam suatu permainan bukanlah sekedar bermain,
justru dengan bermain itulah sebenarnya anak belajar untuk menjadi pintar dalam
berbagai macam hal (Hughes, dalam Irwanto, dkk., 1995). Selama ini seringkali
diyakini bahwa masa anak-anak adalah masa untuk pematangan fisik, kecerdasan,
emosional, sosial dan pematangan susila.
Waktu mereka seharusnya dilewatkan dalam kegembiraan dan permainan, belajar dan tumbuh sehat. Hidup mereka harus memperluas
wawasan dan menerima pengalaman baru. Oleh karena itu, setiap anak perlu
mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang dengan
wajar baik secara rohani, jasmani maupun sosial.
Menurut para psikolog,
sekitar 20% dari perkembangan kognitif anak -diukur dengan tingkat kecerdasan
(IQ) mereka- berkembang pada usia 1 tahun, 50% pada usia 4 tahun, 80% pada usia
8 tahun, 92% pada usia 13 tahun (Bloom, dalam Irwanto, dkk., 1995). Dengan
demikian, lingkungan awal, termasuk di antaranya sekolah, mempunyai peran yang
lebih penting bagi perkembangan mental anak daripada lingkungan akhir dalam
proses perkembangan. Hal inilah yang sepertinya dicoba untuk direalisir melalui
UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. Undang-undang tersebut berusaha
memberikan jaminan atau hak terhadap anak, yang meliputi:
a. Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan
dan bimbingan berdasarkan kasih sayang
baik dalam keluarganya maupun di dalam asuhan, khususnya untuk tumbuh dan berkembang
dengan wajar.
b. Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan
kemampuan dan kehidupan sosialnya,
sesuai dengan kebudayaan dan kepribadian
bangsa, untuk menjadi warga negara yang baik dan berguna;
c.
Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalam kandungan
maupun sesudah dilahirkan;
d. Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan
hidup yang membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangannya dengan
wajar.
Pemberian jaminan dan hak-hak
di atas adalah dalam rangka perwojudan kesejahteraan anak. Pihak yang pertama
kali mempunyai tanggung jawab atas terwujudnya kesejahateraan anak, baik secara
secara rohani, jasmani, maupun sosial, adalah orang tua (Lihat Pasal 9 UU
Kesejahteraan Anak).
Pengakuan dan perlindungan
hak-hak anak bertujuan agar mereka dapat tumbuh dan berkembang secara wajar
sebagai anak, serta menghindari sejauh mungkin anak-anak dari berbagai ancaman
dan gangguan, yang mungkin datang dari luar lingkungannya, maupun dari anak itu
sendiri. Misalnya, perlakuan tidak wajar, berupa tindakan yang merupakan
kelalaian dan kezaliman, kekerasan, penyalahgunaan atas diri anak
(eksploitasi), serta diskriminasi sosial dan penelantaran anak.
Meskipun undang-undang
tersebut bermaksud untuk menjamin, memelihara dan mengamankan kepentingan anak
secara wajar, namun sepertinya belumlah mengakui eksistensi pekerja anak,
sebagai suatu kelompok anak-anak yang sebenarnya mengalami hambatan.
Upaya
Penyelarasan Hak Sebagai Anak dan Pekerja
Sebagaimana terpapar di
atas, tidaklah dapat dipungkiri bahwa baik pemerintah maupun pihak-pihak lain
yang menaruh perhatian terhadap pekerja anak, telah berusaha untuk menurut
ukuran-ukuran mereka memberikan berbagai alternatif yang terbaik bagi pekerja
anak. Hanya, saja sebagaimana terlihat di atas, kegiatan-kegiatan tersebut
masihlah bersifat sektoral, dan mendasarkan pada pandangan yang dikotomis,
tanpa melihat persoalannya secara komprehensif dan holistik.
Di satu sisi terlihat
sikap-sikap dan tindakan-tidakan yang
hanya memperlakukan pekerja anak sebagaimana lazimnya pekerja sehingga hakhaknya
hampir sebagian besar disamakan dengan hak-hak pekerja dewasa, tanpa melihat
kebutuhan konkrit dari anak yang membutuhkan pematangan fisik, kecerdasan,
emosional, sosial dan pematangan susila
seiring dengan perkembangan usianya. Upaya melindungi pekerja anak ini
dibebankan dengan porsi yang lebih besar, kepada para pengusaha.
Sedangkan di sisi lain,
muncul sikap yang tetap ingin menarik anak dari kegiatan ekonomi. Langkah ini
berupa pemberian berbagai macam jaminan perlindungan agar anak dapat berkembang
dalam segala aspeknya secara wajar, dan
mengabaikan adanya hak-hak anak untuk bekerja. Pembebanan kewajiban
terbesar untuk menjaga pertumbuhan dan
perkembangan anak ini, pada orang tua atau lingkungan keluarganya.
Selama ini belum terlihat
adanya pendekatan yang mencoba manggabungkan dua pandangan dikotomis tersebut.
Dalam konteks hadirnya pekerja anak, tidaklah dapat dipungkiri bahwa mereka
terlibat secara aktif sebagai pekerja. Latar belakang kondisi ini adalah lebih
banyak karena alasan-alasan ekonomis, dengan tujuan untuk mempertahankan
kelangsungan hidupnya sendiri ataupun keluarganya. Bagi mereka, penghasilan
yang diperoleh, tertutama dan pertama
tentunya Lmtuk memenuhi kebutuhankebutuhan primernya, seperti untuk makan,
sehingga mereka tidak mempunyai kesempatan untuk menyisihkan sebagian
pendapatannya untuk pendidikan. Sedangkan di sisi lain, bagi para pengusaha,
mereka merasa sudah memenuhi kewajiban-kewajibannya kepada para pekerjanya,
termasuk para pekerja anak, dengan memenuhi berbagai ketentuan di dalam
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Namun demikian, apa yang
telah ditentukan di dalam peraturan perundang-undangan masih banyak menguntungkan
pengusaha dan menekankan kepada hak-hak
pekerja dewasa. Pelatihan kerja misalnya, tidaklah semata-mata menguntungkan
pekerja anak, akan tetapi lebih banyak didasarkan pada kepentingan dan keuntungan pengusaha. Program Jamsostek pun
lebih banyak tertuju pada hak-hak pekerja dewasa. Untuk itu perlu dipikirkan
adanya kebijakan tentang jaminan atas perlindungan terhadap pekerja anak guna
memperoleh pendidikan formal. Dalam hal ini, pemerintah dapat menambah beban
kepada pengusaha tentang kewajiban Umtuk memberikan jaminan atau perlindungan
terhadap anak yang berupa "hak pendidikan formal". Kewajiban ini
merupakan bagian dari upah yang memang menjadi hak pekerja anak seperti halnya
pekerja dewasa yang dimungkinkan untuk menerima upah tidak hanya dalam bentuk
uang tetapi bentuk-bentuk lain. Dengan demikian, pekerja anak tidak hanya mendapatkan
pendidikan yang akan menjadikan mereka sebagai pekerja yang terampil dan ahli,
sebagaimana yang akan mereka peroleh apabila mereka mengikuti pelatihan kerja.
Akan tetapi, mereka juga akan menjadi pekerja yang cerdas dan berwawasan luas
sebagaimana, anak-anak yang mendapat pendidikan formal. Pembebanan ini, oleh
pengusaha, seharusnya tidak dilihat sebagai biaya (cost) yang dapat mengurangi
keuntungan secara ekonomis, tetapi hendaknya dilihat sebagai investasi jangka
panjang. Hal ini dapat terwujud
apabila para pengusaha dapat menciptakan kesetiaan yang wajar bagi para
pekerjanya untuk tetap "mengabdi" kepada mereka. Pada akhirnya
program pendidikan bagi pekerja anak dapatlah dipandang sebagai suatu bentuk
investasi yang akan menghasilkan pekerja-pekerja terdidik, sehingga akan
menjadi asset tak ternilai harganya. Di samping itu, pembebanan ini hendaknya
juga dipandang sebagai tanggungjawab sosial pengusaha bagi terwujudnya
kesejahteraan sosial (Nusantara, 1992: 12).
Secara normatif, dasar
pemikiran ini dapat dikemukakan, bahwa pembebanan kewajiban terhadap pengusaha
tersebut pada dasarnya merupakan bentuk usaha untuk mewujudkan kesejahateraan
anak. Pasal 11 ayat (2) UU Kesejateraan
Anak menegaskan, bahwa: "Usaha kesejahteraan anak dilakukan oleh
Pemerintah dan/atau masyarakat".
Secara teknis, hal ini
merupakan suatu keniscayaan, sebab pekerja anak hanya boleh dipekerjakan selama
3 jam perhari. Sedangkan sisa waktunya dapat dipergunakan untuk mengikuti
kegiatan-kegiatan pendidikan formal. Sebagai dasar legitimasi lainnya dapat
dilihat dari program jamsostek. Artinya perlu ada pengembangan program
jamsostek sebagimana yang diatur di dalam UU No. 3 Tahun 1992. Seperti diketahui,
bahwa dalam program tersebut dimungkinkan adanya pemberian jaminan sosial
kepada para pekerja yang sudah tidak produktif (yang berupa jaminan hari tua).
Pengembangan program jamsostek yang dimaksud adalah pemberian jaminan sosial
berupa "hak memperoleh pendidikan formal" kepada para pekerja anak,
yang dapat dianggap belum begitu produktif.
Penutup
Kebijakan pemerintah untuk
melarang anak agartidak bekerja secara absolut pada akhirnya tidak dapat
dipertahankan. Kebijakan irii memang bukan hal yang negatif, setidak-tidaknya
dari aspek ekonomi.
Pekerja anak di sektor
formal, selama ini, memperoleh hak yang sama seperti halnya. pekerja dewasa.
Pemerintah belum pernah menetapkan kebijakan khusus tentang hak pekerja anak,
yakni hak seorang anak, yaitu hak untuk memperoleh biaya pendidikan formal.
Bahkan, UU Perlindungan Anak juga belum menampakan adanya perlindungan khusus
bagi anak yang bekerja di sektor formal. Untuk itu, pemerintah perlu
mengusahakan hak tersebut. Sementara pengusaha hendaknya juga merasa ada
kewajiban untuk mewujudkan kepentingan tersebut, sebab hal itu dapat dianggap
sebagai investasi jangka panjang bagi perusahaan.
Hak
Asasi Manusia Dalam Perspektif “Hukum dan Masyarakat”
Hak Asasi Manusia Dalam
Masyarakatnya
Pemunculan, perumusan dan
institusionalisasi Hak Asasi Manusia (HAM) memang tak dapat dilepaskan dari
lingkungan sosial atau habitatnya, yaitu tidak lain masyarakat itu sendiri di
mana HAM itu dikembangkan. Terjadi semacam korespondensi antara HAM dan
perkembangan masyarakat. Kita juga dapat mengatakan, bahwa HAM itu memiliki
watak sosial dan struktur sosial sendiri.
Tulisan ini berangkat dari
optik teoretis, bahwa "institusi dalam masyarakat berkorespondensi dan
berkelindan dengan lingkungan sosialnya". Oleh karena itu kehadiran suatu
institusi ingin dijelaskan dari konteks sosial dan historisnya. Sering kita
menemukan pernyataan-pernyataan menggelitik, seperti misalnya dikemukakan oleh
seorang gurubesar Univ. Leiden, Belanda, "In
de eerste plaats lijdt het
geen twijfel dat de gedachte
van de bescherming van fundamentele
mensenrechten voor het eerst is neergelegd
in westerse geschryften
..." (tidak ada keraguan, bahwa ide perlindungan HAM pertama-tama
dirumuskan di Barat - Baehr, 1989). Lebih
lanjut dikatakan, "de bescherming
van het individu tegen
de eisen van de samenleving
oorspronkelijk geen deel uitmaakte
van het traditionele niet-westerse denken" (perlindungan individu
berhadapan dengan masyarakat pada awalnya bukan bagian dan tradisi berfikir di
dunia bukan-barat). Kalimat-kalimat tersebut dikutip pada awal tulisan ini
sekedar menunjukkan,, bahwa ada cukup alasan untuk melakukan kajian tentang
hubungan antara HAM dengan lingkungan sosialnya, dan bahwa HAM memiliki akar
historis.
Kita coba melacak HAM dari
segi perkembangan historisnya dan meneliti dalam konteks sosial yang bagaimana
is muncul. Dokumendokumen paling awal yang memasuki HAM adalah Bill of Rights (Inggeris, 1688), Declaration of the Rights of Man and of the Citizen (Perancis, 1789)
dan Bill of Rights (Amerika,
1791). Benar, seperti dikatakan
oleh Baehr di muka, bahwa HAM itu berasal dari rumusan di Barat.
Dokumen-dokumen tersebut mewakili pikiran yang ada di belakangnya yang
mendorong pembuatan dokumen tersebut. Dengan demikian dokumen tersebut kita baca
sebagai isyarat (sign) adanya
atau kelahiran gagasan yang ada di belakangnya. Membaca tahun-tahun kemunculan
HAM secara positif kita mencatat, bahwa itu terjadi di akhir abad ke-17 dan
abad ke-18. Karena kita bertolak dari optik teoretis sebagaimana disebutkan di
muka, maka di sini kita coba melacak kaitan antara kemunculan awal dari dokumendokumen
HAM tersebut dengan lingkungan sosialnya. Ke dalam lingkungan sosial ini
termasuk gagasan-gagasan yang berkecambah, kekuatan-kekuatan sosial-politik apa
yang ada waktu itu dan sebagainya.
Secara sederhana kita
bertanya, mengapa ide HAM muncul di abadabad itu, mengapa tidak sebelumnya?
Kalau kita mengamati trayek yang dilaluk oleh peradaban di Barat, maka kita
bisa mencatat mulai dan "Dark Ages"
(V - IX), "Middle Ages"
(XII - XIV), "Enlightenment/Renaissance"
(XIV - XVI) dan "Modern".
Dari kata-kata yang dipilih untuk masingmasing era tersebut kita bisa
mengatakan, bahwa yang tergambar adalah adanya suatu proses pembebasan individu
(dari kegelapan/keterikatan ke pencerahan/pembebasan). Kalau kita ingin mencari
perkembangan yang spesifik di Barat, maka saya kira itulah penggambaran yang
tepat, yaitu suatu perjalanan sosial-politik-kultural untuk membebaskan
individu dari keterikatannya pada lingkungan, alam maupun tradisinya. Pada
waktu itu dikatakan, bahwa individu berada dalam keadaan serba terbelenggu. Ini
sesuai dengan pernyataan Baehr di atas, yaitu "de bescherming van de individu tegen de eisen van de
samenleving".
Pada saat kita mencatat
kelahiran dokumen-dokumen HAM di muka, maka sangat menarik apabila itu kita
proyeksikan pada latar belakang trayek kultural historis Barat. Dokumen HAM
yang mengawali kemunculannya di abad-abad ke-17 dan 18 ternyata
berkorespondensi dengan Masa Renaissance.
Ini menjawab pertanyaan kita tentang lingkungan sosial apa dan bagaimana
yang memunculkan gagasan dan institusional HAM di dunia.
Pemahaman kita mengenai
lingkungan sosial pada waktu itu lebih diperkaya dengan mencatat munculnya
golongan borjuis pada abad itu. Mereka adalah golongan baru yang muncul terdiri
dari "orang yang berpunya dan berpendidikan" (Menschen von Besitz und Bildung). Sebagai golongan yang baru
muncul, kendatipun sangat bertenaga (powerful),
tetapi tidak/ belum mempunyai tempat dalam peta sosial waktu itu; mereka
belum memiliki "kapling sosial" dalam peta sosial lama. Meminjam
istilah Bung Karno, golongan borjuis adalah "the new emerging force". Tetapi sebagai golongan baru yang
sangat bertenaga, lambat laun mereka bisa memaksakan kehadirannya untuk
diterima oleh konfigurasi kekuatan lama yang terdiri dari golongan kerajaan,
ningrat dan gereja. Maka peta sosialpun menjadi berubah secara mencolok
(drastis).
Perubahan tersebut didukung
oleh diciptakannya berbagai asas, doktrin dan
kelengkapan institusi baru yang memungkinkan golongan borjuis mendapat
tempat dalam peta sosial (baru). Kita mengenal "laissez fairer laissez aller", "laissez fairer laissez
passer", yang mencerminkan tuntutan kebebasan untuk bertindak dan
menolak campur-tangan negara. Pengaturan oleh negara hanya akan membatasi
keleluasaan bergerak golongan borjuis yang sedang menanjak waktu itu. Demikian
pula hukum didesak untuk menjadi netral, tidak diskriminatif, karena itu hanya
akan menghambat kiprah mereka. Hukum lalu menjadi tempat yang aman bagi kaum
borjuis untuk berlindung, oleh karena terciptanya berbagai asas dan prosedur
yang menjamin kebebasan dan kemerdekaan golongan terseb-ut. Oleh
karena itu secara jujur harus dikatakan, bahwa hukum modern itu untuk sebagian
penting merupakan karya (kultur) borjuis.
Semangat dan keberhasilan
kebangkitan serta pembebasan individu yang bisa ditandai sejak Masa Pencerahan (enlightenment) merupakan motor
pendorong penting bagi berkembangnya apa yang kemudian dikenal sebagai hak-hak
asasi manusia. Kebangkitan individu sebagaimana dikemukakan di atas memerlukan
legitimasi yang diberikan oleh pengakuan terhadap adanya sejumlah kemerdekaan
dasar yang tak dapat dihambat begitu saja oleh kekuasaan apapun. Pasal 1"Declaration of the Rights of Man and
of the Citizen" Perancis mengatakan "Men are born and remain free in
respect of rights".
Dalam kaitan dengan sejarah
Barat, masalah HAM erat berkaitan
dengan munculnya negara modern yang dalam perjalanannya sudah makin menjadi
suatu kekuasaan yang hegemonial. Negara modern yang muncul di Barat menjadi
seperti itu karena ia lahir bergandengan dengan sistem produksi yang
kapitalistis. Untuk menjadi lahan dan sistem yang demikian itu maka harus
diciptakan berbagal institusi, seperti negara dan hukum (modern). Negara
menjadi sangat berkuasa dan membabat habis semua pranata dan tatanan sosial
yang telah ada sebelumnya. Keadaan tersebut memancing munculnya perlawanan dan
masyarakat non-negara. Sejarah HAM yang demikian itu mencatat, bahwa "The struggle for human rights has
always been and always will be a struggle against authority... Visions of human
rights by their nature, defy the legitimacy and threaten the exis tence of all
forms of... authoritarian control..." (Lauren, 1998). Situasi yang demikian
itu menjelaskan munculnya civil society
berhadapan dengan negara. Sejak kemunculannya sampai hari ini HAM telah
mengalami perkembangan dan perubahan yang dikenal dengan sebutan generasi HAM.
Generasi pertama meliputi
hak-hak sipil dan politik. Generasi kedua meliputi hak-hak sosial, ekonomi dan
budaya. Akhirnya generasi ketiga memuat sejumlah hak-hak kolektif, seperti: hak
atas perkembangan/kemajuan (development);
hak atas kedamaian; hak atas lingkungan yang bersih; hak atas kekayaan
alam dan hak atas warisan budaya.
Kita sudah membicarakan mainstream HAM di dunia. Tetapi dunia
tidak sama dengan Eropa atau Barat, melainkan jauh lebih luas dan besar
daripada itu. Yang ingin dikatakan di sini adalah, bahwa masyarakat dan
bangsa-bangsa di dunia ada beraneka ragam. Beraneka ragam dalam habitat fisiknya,
tradisi kulturalnya, nilai-nilainya, kosmologinya serta pandangannya tentang
manusia dan dunia. Tuhan saja tidak menciptakan komunitas dunia yang seragam.
Itu merupakan isyarat (sign), bahwa di dunia ini kita memang harus hidup dalam
suasana keanekaragaman serta kemajemukan.
Tidak semua bangsa dan
masyarakat di dunia memiliki kosmologi serta pandangan (outlook) dunia dan
kemasyarakatan seperti dimiliki dunia Barat. Pertanyaan tentang "bagaimana
pandangan anda mengenai tempat manusia dalam masyarakat" akan menuai
jawaban yang bermacam-macam, tidak tunggal. Barat menjawab dengan pandangan
individual, sedang di bagian lain dari dunia yang sama, katakanlah itu Timur,
orang memiliki pandangan kolektif. Interaksi dan saling memasuki satu sama lain
bisa terjadi, tetapi yang satu tidak menggusur yang lain.
Jepang kita pilih mewakili
Timur yang kofektif itu. Negeri dan bangsa itu kita pilih oleh karena ia telah
berhasil untuk menciptakan dan mempertahankan struktur Timur berhadapan dengan
penetrasi Barat. Berbicara mengenai modernitas maka tak pelak lagi orang akan
mengatakan, bahwa )epang adalah negara modern industrial, bahkan sudah
digolongkan ke dalam negara adi kuasa. Modernitas itu antara lain ditunjukkan
melalui penggunaan model demokrasi untuk menata kehidupan politiknya. Kalau di
Barat demokrasi itu berakar pada individu, yaitu sebagai institusi yang
melindungi individu, maka keadaan di Jepang berbeda. Demokrasi di Jepang tidak
berakar pada individu, melainkan kolektivitas atau kehidupan kolektif. Demokrasi
)epang boleh dikatakan sebagai suatu transformasi dari bentuk kehidupannya yang
kolektif ke taraf modern menjadi demokrasi. Itulah sebabnya banyak
kesalah-fahaman mengenai Jepang, karena sekalian institusi modern Jepang
berakar pada kosmologi kolektif tersebut (Wolferen, 1990).
Kultur Jepang mengenal amae,
yaitu kata benda, sedang kata kerjanya adalah
amaeru, yang berarti "to depend and presume upon another 's
benevolence" (Lebra & Lebra, 1986). Terlihat di situ bagaimana
orang Jepang itu sangat mengikatkan diri dan tergantung serta menggantungkan
dirinya kepada orang lain. Seolah-olah seseorang tidak bisa melepaskan diri dan
kebersamaannya dengan orang lain. Sikap inilah yang memberi ciri pada watak
sosial orang Jepang. Orang Jepang hanya akan bertahan hidup di dalam
komunitasnya atau bersama-sama orang lain. Keadaan tersebut menjelaskan mengapa
orang Jepang tidak berani berada di luar komunitasnya. Ini juga menjelaskan
mengapa komunitas dan kolektivitas ada di atas segalanya dan harmoni menjadi
taruhan utama.
Keinginan untuk berperkara
pada orang Amerika dan keinginan memelihara
harmoni pada orang Jepang juga berakar pada watak sosial tersebut, atau "arises from the nature of social
relationships of the people involved" (Hamilton & Sanders,
1992). Dalam kasus-kasus sengketa selalu saja muncul ungkapan, seperti "and the goal is to reun or restore
bounds between the parties"; "to include efforts to restore the
broken or damage relationships". Tentulah dunia tidak bisa memaksa
Jepang untuk mengikuti atau menggunakan watak sosial yang lain, karena itu akan
merupakan pelanggaran HAM yang berat.
Dalam kaitan dengan
pembicaraan mengenai HAM ia mengandung arti, bahwa HAM memiliki struktur
sosial. Struktur sosial tersebut menjadi modal sosial masing-masing bangsa
untuk memasuki dunia HAM, menangkapnya dan
menjalankannya. Kalau tetap ingin dikatakan, bahwa HAM itu universal,
maka ia perlu mengalami verifikasi sehingga menjadi "HAM adalah universal
dan memiliki struktur sosial". Suatu bangsa atau masyarakat akan menjalankan
HAM yang universal itu dengan modal sosial yang dimilikinya.
la tak dapat meminjam modal sosial bangsa lain.
Abdullahi Ahmed An-Na'im,
yang melihat permasalahan dari segi kultural, memberikan verifikasi kultural
terhadap optik sosiologis sebagaimana dikemukakan di atas. An-Na'im mengatakan,
"... Current
and foreseeable new human rights cannot be seen as truly universal unless they
are conceived and articulated within the widest possible range of cultural
traditions ... human rights are much more credible and thereby stand a better
chance of implementation if they are perceived to be legitimate within the
various cultural traditions of the world ..." Kritiknya terhadap
praktek HAM di dunia sekarang ini adalah, "... the current international standard of humanrights, together with the
machinery for promoting and implementing them, may not be sufficiently
universal because they lack legitimacy in major cultural traditions..." (An-Na'im,
1992).
Sejak dunia mengenal dan
dihadapkan pada berbagai komunitas kultural, yang masing-masing memiliki watak
berbeda, maka kita pun akan menjumpai standar sosial dan kultural yang berbeda-beda. Keadaan yang
demikian itu akan sangat menentukan bagaimana HAM akan dijalankan di dunia.
Dikatakan oleh An Na'im, "Since
cultural norms and attitudes influence individual and collective or
institutional human behavior, one may reasonable expect cultural antagonism toward some human
rights standards to diminish the efficacy of these standards in a particular society...."
Perbedaan dalam standar yang
disebabkan oleh perbedaan habitat sosio kultural tidak berarti, bahwa HAM di
sana-sini akan ditolak secara mutlak. Hal itu akan sangat tergantung pada
kesabaran dunia dengan membiarkan terjadinya pembaLiran-pembauran, saling
memasuki dan saling mencerahkan antar komunitas di dunia. Kultur bangsa-bangsa
di dunia berubah sesuai dengan dinamika perkembangan dunia dan itulah saatnya HAM menjadi
"universal" secara lebih alami. Lebih daripada itu An-Na'im
menganjurkan terjadinya suatu cross-cultural dialogue untuk mendekatkan perbedaan-perbedaan dalam penggunaan
standar HAM.
Dalam perspektif sosiologis
(Ian kultural di atas, dapat kiranya dikatakan, bahwa usaha untuk memajukan HAM
di dunia, bukan dilakukan dengan cara mengangkatnya ke aras internasional,
melainkan justru sebaliknya, yaitu membumikan atau mengakarkannya ke dalam
sekian banyak masyarakat di dunia. Dengan bertindak demikian, maka HAM akan
diterima dan dijalankan lebih efektif. la tidak lagi menjadi
"bunyi-bunyian yang asing" melainkan sudah menjadi bagian nyata dari
kehidupan sehari-hari dalam masyarakat di manapun di dunia.
Dunia kita ini tidak pernah
berhenti dan terus membuat sejarahnya sendiri. Sesudah menjalani era modern
selama beberapa abad, sekarang kita tiba pada suatu masa yang disebut Era
Pasca-modern (PM, postmodernity, postmodernism).
Disebut dan dikenali sebagai PM, oleh karena sesudah sekian lama hidup dalam
era modern, kemudian dirasakan ada sesuatu masa yang berbeda, yang tidak dapat
masih disebut sebagai modern begitu saja. Pada intinya dicatat adanya suasana
kemerosotan idealisme modern. Oleh karena itu PM ingin melihat kembali
"kesalahan-kesalahan" dan cacat pemikiran serta praksis zaman modern
itu.
PM
sering juga dikenali (identified) sebagai
"the rise of mass forms of
communication and the commodification of intellectual products and symbolic
forms", "the era of mass
culture and mediazation". Perkembangan
yang demikian itu mendesakkan perubahan-perubahan dalam cara bertindak, bahkan
berpikir di banyak bidang. Dengan masuk dan
menyebarnya teknologi media canggih yang menghasilkan produk-produk
masal itu, maka "business
as usual" tak dapat
dipertahankan lagi (Patterson, 1994).
Terjadilah mediazation, "the commodification of intellectual products and
symbolic forms". Ini adalah era dan suatu kultur yang bersifat
masal (mass culture). Sebagai
akibatnya batas-batas antara private sphere
dan public sphere menjadi
kabur. Perkembangan yang demikian itu barang tentu berimbas juga ke dunia HAM.
Kehidupan privat seseorang tentulah satu hak yang tak dapat diterobos begitu
saja oleh orang lain. Adalah hak asasi seseorang untuk memiliki dan menikmati kehidupan privatnya dan untuk
membutuhkan perlindungan. Tetapi dengan memasuki era mediazation ini pengungkapan rahasia pribadi menjadi makin
agresif sehingga sebagian hak-hak asasi seseorang menjadi korbannya.
Mari kita mengamati suatu
perkembangan lain yang tidak kalah menariknya, yaitu tentang pikiran dan faham alternatif. Saya sebetulnya tidak
senang menggunakan istilah alternatif ini. la
(terpaksa) disebut alternatif di tengah-tengah dominasi HAM individualistik.
Sekalipun faham non individualistik tenggelam (sub-merge), tetapi tidak hilang
sama sekali, melainkan tetap bertahan (survive)
secara laten (latent). Pikiran peminggiran (marginal) itu pelan-pelan
masuk ke tengah ruang publik (public sphere). Sangat menarik membaca sebuah
buku yang secara tidak langsung menggambarkan berlangsungnya pergeseran
tersebut (Mazarr, 1999).
Dengan mengutip Peter
Drucker, Mazarr mengatakan;
"Every few hundred years in Western history
there occurs a sharp transformation. Within
a few short decades, society
arranges itself - its worldview; its basic values; its social and political structures; its arts, its key institutions." Dengan
mengutip Stephanie Pace Marshall, Mazarr juga mengatakan, "The turn of the
twentieth century showed the limits of a linier mechanistic worldview and heralded the conception
of an ecological universe - a
holistic, dynamic, and inextricably
connected system in which everuthing
seems to affect everything else..."
Hal yang paling menarik dari buku Mazarr "Global Trends 2005" adalah
kekagumannya pada filsafat Taoisme seraya mengatakan, "I introduce each
theme with a relevant quote
from the Tao Te Ching, a volume of
Asian moral wisdom whose focus
on self-awareness, paradox,
and the holistic interconnection
of life have important
resonances in our age." Dan memang pada semua tema yang ditulis dalam buku
tersebut, ia mencantumkan kutipan pendek dari Tao Te Ching yang dianggap
relevan dengan tema yang dibicarakan.
Ungkapan-ungkapan dan
pikiran "baru" ini memang.terdengar sebagai bunyi- bunyian yang aneh
di telinga mainstream rasional, individual. Tetapi dalam PM ini telah terjadi
keambrukan dari rasionalisme dan etos renaisance (Best & Keliner, 1991).
Coba kita baca ungkapan-ungkapan yang diambil dari Tao Te Ching berikut ini
(Zohar & Marshall, 2000).
"Look,
it cannot be seen - it is beyond form.
Listen, it cannot be heard - it is beyond sound. Grasp, it cannot be held - it is intangible. This three are
indefinable, Therefore they are joined in one. From above it is not bright; From below it is
not dark; An unbroken thread beyond description. It returns to nothingness. The
form of the formless, The image
of the imageless, It is called
indefinable and beyond imagination." (Zohar & Marshall, 2000)
Indonesia juga mengenal
kosa-kata seperti itu, artinya kosmologi yang mendasari ungkapan-ungkapan di
atas sebetulnya, atau seharusnya tidak asing bagi kita. Suatu pernyataan
waskita dalam bahasa Jawa mengatakan "Sadjatine ora ana apa-apa, kang ana
ikoe doedoe" (Mertowardoyo, 1978). Logika kalimat-kalimat tersebut sulit
dipahami apabila digunakan logika konvensional dan metode sains modern dewasa
ini. Logika konvensional lebih bersifat linier, serial thinking, logika formal,
bersifat dispassionate. Tetapi kita sudah sampai pada kesadaran atau kebutuhan
untuk menggunakan "spiritual intelligence", sebagai "the
ultimate intelligence". Kita juga telah melampaui Era Newton dan sampai ke
dunia teori teori Kuantum, Relativitas, Chaos dan Kompleksitas, yang
mengingatkan kita kepada buku Mazarr di muka. Kalimat waskita yang mengatakan
"Sadjatine ora ana apa-apa ..." mengingatkan kita kepada keadaan
"return to nothingness" dan Tao Te Chmg di atas. Memang ia hanya bisa
dimengerti dan dijelaskan dari Teori Kuantum. Zohar dan Marshall menuliskannya
sebagai "The ground state of the universe, the quantum vacuum, is in
constant dialogue with the exitations of
energy which are existence. Things arise from the vacuum and pass back into it... an absolutely still and
transparent ocean on which waves have been created. The water in the ocean is in every wave, is the essence of every wave, yet when we look at the scene we see only the waves..." (Zohar & Marshall, 2000).
Kosmologi Timur dalam
berbagai ungkapannya di atas dibicarakan dengan agak panjang, karena saya
berpendapat, bahwa hal itu akan bisa memberikan kontribusi yang sangat berharga
pada saat orang berpikir untuk memajukan HAM. Bahkan sebagaimana dibuktikan
oleh beberapa buku di atas, Barat sekarang semakin menengok dengan rasa
kekaguman ke kearifan Timur.
Dalam hubungan dan urusan
dengan HAM, saya kira logika pikiran, yang berasal dari kosmologi yang berbeda
itu mempunyai potensi yang cukup untuk memperkaya konsep dan praksis HAM.
Penolakan serta kritik terhadap individualisme tidak terjadi secara sporadis,
melainkan telah meluas menjadi diskusi publik. Bergabung dengan liberalisme
maka konsep individualisasi kehidupan tersebut telah banyak memakan korban.
Bentukbentuk kritik tersebut kadang mencapai bentuk penolakan yang konkret,
bahkan di Amerika Serikat sendiri, seperti diwakili oleh aliran Critical Legal Studies Movement.
Sungguh, kita memang hidup dalam era yang penuh dengan pembalikan-pembalikan,
dekonstruksi terhadap tatanan, pikiran dan tradisi yang ada (Capra, 1983;
Drucker, 1994; Steenbergen, 1983).
Individualisme,
individualisasi, atomisasi kehidupan, telah menimbulkan sejumlah kerusakan
dalam kehidupan fisik maupun sosial dan spiritual. Tentu saja individualisasi
kehidupan mempunyai segi-segi positifnya sendiri, tetapi kita juga tak dapat
menutup mata terhadap "produknya yang negatif.
Proses tersebut di atas
akhirnya membawa dunia untuk berpaling ke bagian dunia lain, biasanya disebut
Timur, yang tidak mengunggulkan rasionalisasi, atomisasi, melainkan kesatuan
dan keutuhan (holism). Hal ini
tentu saja akan berpengaruh terhadap penerimaan HAM di berbagai bagian dunia.
Bagian dunia dengan kosmologi individual-atomistik dan bagian lain dengan
kosmologi holistik tentunya akan menerima dan menjalankan HAM secara berbeda
pula.
Di ranah teori sekarang bisa
dijumpai suatu aliran pemikiran yang disebut'Postliberal Strands' (An-Na'im,
1992). Para pemikir yang berkumpul dalam aliran tersebut mengritik keterbatasan
dan konsep hak-hak yang liberal. Kritik terhadap filsafat Barat yang berakar
pada Era Pencerahan memunculkan tandingan dalam pendekatan HAM dari sudut
'Personalist Perspectives'. Personalis
dan personalisme berbeda dari individualisme liberal maupun kolektivisme
Marxist. Perspektif Personalis di sini oleh para pendukungnya dipertegas dengan
sebutan 'Persona list-Comm unitarian Perspectives'.
Perspektif yang disebut terakhir beranjak lebih maju dari konsep tradisonal
liberal mengenai hak. Mereka menyaksikan terjadinya kemerosotan dalam bentuk
deprivasi-deprivasi di bidang ekonomi, kelompok kultural, bahkan juga
kemerdekaan individu. Oleh karena itu diajukan perspektif baru yaitu 'personalist-communitarian', tersebut.
Perspektif tersebut mendekati konsep-konsep tentang hak di luar negara-negara
Barat.
Perkembangan yang sehat dari
usaha pemajuan HAM adalah melalui 'pengakuan terhadap kemajemukan' di dunia
ini. Tanpa mengakui kemajemukan tersebut, maka alih-alih memajukan HAM dunia
malah akan terjebak ke dalam suasana konflik yang bisa memuncak pada pelanggaran
HAM sendiri, terutama sejak HAM sudah memasuki generasi ketiga, yang antara
lain memuat hak atas warisan budaya. Ini tentunya mengandung pengakuan dan
penghormatan terhadap tradisi, kosmologi dan lain-lain yang mengandung nilai
bagi komunitas bersangkutan.
Dalam model pemajuan HAM
yang demikian itu tidak ada tempat bagi pemaksaan dan dominasi dari satu konsep
HAM tertentu di atas yang lain. Apalagi sejak munculnya aliran pemikiran yang
kontra-rasional dan kontra-individual di dunia sebagaimana diuraikan di muka.
Yang ada adalah suasana saling penghormatan dan saling memberi tahu serta
saling memperkaya satu sama lain. Konferensi-konferensi HAM internasional hanya
akan menjadi medan pertukaran pengalaman dan forum pembelajaran, bukan menjadi
tempat untuk menggiring bangsa dan negara di dunia ini ke arah pemahaman HAM
secara seragam menurut satu standar
mutlak.
Hak
Asasi (Anak) Dalam Realitas
Pendahuluan
Masa depan bangsa ada pada kesejahteraan anak-anak saat
ini. Begitu kata-kata yang sering terdengar bila membicarakan anak. Apalagi
bila dilakukan pencermatan terhadap petikan karya Gibran di atas terasa amat
manis. Sayangnya, hal itu tidak begitu berbanding lurus dengan realitas yang
ada. Masih banyak anak-anak yang tidak beruntung dalam pemenuhan haknya.
Hak-hak yang dimaksud, secara mendasar meliputi kelangsungan hidup, tumbuh
kembang, perlindungan dan partisipasi.
Tidak ada orang tua yang menginginkan anaknya menjadi anak jalanan, buruh upah
murahan, pemuas nafsu si hidung belang, juga sebagai pengamen yang sering
disaksikan di atas kendaraan umum atau pinggiran jalanan. Di sisi lain seorang
anak juga tak pernah minta untuk dilahirkan, atau ketika ia terlahir kemudian
menjadi pemuas nafsu bejat yang dicabik oleh ayah tiri bahkan ayah kandungnya.
Tinjauan
Sejarah Hak Asasi Manusia
Kamus Besar Bahasa Indonesia
menyebutkan bahwa "hak" adalah (1) yang benar; (2) milik, kepunyaan;
(3) kewenangan; (4) kekuasaan untuk berbuat sesuatu; (5) kekuasaan yang benar
atas sesuatu atau untuk menuntut sesuatu; (6) derajat atau martabat; (7)
(hukum); wewenang menurut hukum. Hak asasi adalah kebutuhan yang bersifat
mendasar dari umat manusia. Pengertian yang beragam dan luas tersebut pada
dasarnya mengandung prinsip bahwa, hak adalah sesuatu yang oleh sebab itu
seseorang (pemegang) memiliki keabsahan untuk menuntut sesuatu yang dianggap
tidak dipenuhi atau diingkari. Seseorang yang memegang hak atas sesuatu, maka
orang tersebut dapat memperlakukan sesuatu tersebut sebagaimana dikehendaki,
atau sebagaimana keabsahan yang dimilikinya.
Pertanyaan mengenai
asal-usul hak asasi telah menjadi perdebatan penting dan amat panjang dari
pergulatan pemikiran dalam sejarah konsep hak asasi manusia. Hak asasi
merupakan hak natural/alam dan merupakan pemberian langsung dari Tuhan. Oleh
karenanya bila seseorang manusia ingin memperoleh kehidupannya yang
bermartabat, harus memposisikan hak asasi dengan melihatnya dari sudut sifat
alamiah manusia secara hakiki. Hak asasi manusia bukan merupakan sesuatu hal
yang baru. Akarnya telah mulai berkembang ketika orang-orang Yunani dan Romawi
Kuno telah mengakui eksistensi hukum kodrat. Hukum kodrat boleh dirujuk oleh
setiap warga negara bila timbul konflik dengan sistem-sistem hukum lain yang
dirasakan tidak adil. Dalam perkembangannya, pemikiran humanis demikian diserap
oleh zaman Renaissance dan bertumbuh subur ketika era Aufklarung. Penyerapan
ini memberikan kewenangan yang amat leluasa berkembangnya teori moralitas yang
bersumberkan pada hakekat hak-hak hakiki dari individu.
Sejarah panjang perlekatan
antara HAM dan individu manusia kemudian tertuang dalam sejumlah dokumen
penting seperti Magna Charta (1215), Petition
of Right (1628), Bill of Right (1689). Kelahiran Magna Charta (1215) didahului oleh pemaksaan
kepada Raja John Lockland agar mengakui hak-hak asasi manusia, antara lain:
kemerdekaan seseorang tidak bebas disandera atau dirampas selain berdasarkan
undang-undang atau keputusan hakim; dan pemungutan pajak tidak boleh dilakukan
kalau hanya berdasarkan atas perintah raja saja.
Semula tidak ada keseragaman
penyebutan istilah mengenai hak asasi manusia ini. Sebelumnya dikenal right of man, menggantikan natural
right. Silang pengertian dan pemaknaan ini baru mendapatkan penegasan ketika
Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa menetapkan Universal Declaration of Human Rights 10 Desember 1948.
Deklarasi ini kemudian diikuti oleh lahirnya konvensi dan protokol
sebagai berikut: The International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, The International Covenant
on Civil and Political Rights, Optional Protocal for the Covenant on Civil and Political Rights. Peristiwa
ini dijadikan titik tolak sebagai Hari Hak Asasi setiap tahunnya. Secara aklamasi
deklarasi tersebut diterima secara baik oleh Sidang Umum PBB tanggal 16
Desember 1966 dengan memberi kesempatan kepada negara-negara anggota PBB untuk
meratifikasinya. Majelis merekomendasikan agar semua negara-negara anggota dan
semua rakyat untuk menggalakan dan menjamin pengakuan yang efektif dan
penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia dan
kebebasan yang ditentukan di dalam pernyataan ini. Dalam 30 pasal yang
dimuat di dalamnya, terdapat pengakuan hak untuk hidup, kebebasan dan keamanan pribadi hingga hak bebas dari
perbudakan, menikah, beragama, hak perlindungan bagi perempuan (gender),
lingkungan hidup dan lainlain. Dapat
dinyatakan lahirnya deklarasi ini memposisikan perlindungan hak yang maju lebih
pesat ketimbang rumusan John Locke ketika memperkenalkan hak kodrati manusia
yang hanya meliputi hak hidup, hak kemerdekaan dan hak milik saja.
Pada dasarnya terdapat dua
hak dasar pada manusia yaitu pertama, hak
manusia (human rights) yaitu
hak yang melekat pada manusia dan secara asasi ada sejak manusia itu dilahirkan. la berkaitan dengan eksistensi
hidup manusia, bersifat tetap dan utama, tidak dapat dicabut, tidak tergantung
dengan ada atau tidaknya orang lain di sekitarnya. Dalam sekala yang lebih luas
hak asasi menjadi asas undang-undang. Wujud hak ini di antaranya berupa:
kebebasan batin, kebebasan beragama; kebebasan hidup pribadi, atas nama baik,
melakukan pernikahan, kebebasan untuk berkumpul dan mengeluarkan pendapat, emansipasi wanita. Kedua, hak undang-undang (legal rights) yaitu hak yang
diberikan oleh undang-undang secara khusus kepada pribadi manusia. Oleh karena
diberikan, maka sifat pengaturannya harus jelas tertuang dalam sejumlah
peraturan perundang-undangan. Barang siapa yang tidak memenuhi ketentuan
undang-undang maka kepadanya dapat dikenakan sanksi yang ditentukan oleh
pembentuk undang-undang.
Dengan dasar filosofi
demikian, maka dapatlah kiranya dimengerti kalau hak yang diberikan dengan cara
demikian ini sewaktu-waktu dapat dicabut menurut peraturan yang ditetapkan
sebelumnya. Hak-hak khusus yang diberikan oleh undang-undang di antaranya: hak
seseorang menjadi Pegawai Negeri Sipil atau anggota ABRI, hak untuk memilih dan
dipilih dalam Pemilu, hak untuk memeluk, beribadah, serta melaksanakan agama
sesuai dengan pilihan dan keyakinan, hak
untuk memperoleh pensiun dan jaminan
hari tua, hak untuk memperoleh santunan asuransi kecelakaan, hak untuk
memperoleh pendidikan yang layak, hak untuk memperoleh upah yang layak dalam
hubungan kerja, dan lain-lain.
Pada kehidupan bernegara,
eksistensi lemah kuatnya struktur hak pribadi dan hak undang-undang tergantung
dari kuat-lemahnya hak sosial yang melingkupinya. Hak pribadi pada suatu negara
yang mengutamakan' kepentingan umum (negara sosialis) demikian lemah
kedudukannya karena segala sesuatunya harus mengutamakan kepentingan umum.
Sebaliknya pada negara yang bersistem liberalisme yang mengutamakan aspek individual,
hak sosial akan memiliki kedudukan yang lebih lemah.
Hak-hak manusia disebut hak
asasi, karena dianggap sebagai fundamen yang di atasnya seluruh organisasi
hidup bersama harus dibangun dan
merupakan asas-asas undang-undang. Makna hak-hak asasi itu menjadi
jelas, bila pengakuan akan hak-hak tersebut dipandang sebagai bagian humanisasi
hidup yang mulai digalang sejak manusia menjadi sadar tentang tempat dan tugasnya di dunia ini. Persoalannya sekarang,
siapa penanggungjawab masalah perlindungan HAM ini? Secara teori ada dua
pendapat mengenai tanggungjawab ini. Pertama adalah menjadi kewajiban
pemerintah atau suatu negara hukum untuk mengatur pelaksanaan hak-hak asasi
ini, yang berarti pelaksanaannya, mengatur pembatasan-pembatasannya demi
kepentingan umum, kepentingan bangsa dan
negara. Pandangan lain menyatakan bahwa pertanggungan jawab tidak harus
berada pada negara, namUm juga pada segenap individu warga negara. jadi secara
bersamasama mempunyai kewenangan dalam upaya perlindungan hak asasi ini, Hal
ini disebabkan setidaknya ada beberapa faktor penyebab: (a) bahwa kepentingan
HAM tidak hanya menyangkut kepentingan negara semata tapi juga menyangkut kepentingan
warga negara V HAM yang seutuhnya itu bersumber pada pertimbangan normatif agar
manusia diperlakukan sebagaimana martabat manusia yang sesungguhnya (c) bahwa
operasionalisasi kegiatan HAM memiliki tanggung jawab bersama antara manusia
dalam struktur negara yang saling harus berinteraksi dan harus diwujudkannya.
Di Indonesia ketentuan
mengenai hak asasi tercantum dalam pembukaan dan sejumlah pasal-pasal naskah ash UUD 1945
(saat ini telah mengalami empat kali amandemen): Pembukaan UUD, Pasal 27 ayat
(1), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28, Pasal 29 ayat (1), Pasal 29 ayat (2), Pasal
30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34. Dibandingkan dengan Undang-Undang
Dasar lainnya yang pernah berlaku, UUD ini relatif lebih sedikit dan bersifat umum pengaturan mengenai HAM. UUDS
misalnya dari 197 pasal, 30 pasalnya secara khusus memuat ketentuan tentang
HAM. Amandemen UUD tahap II mengadopsi cukup banyak rumusan mengenai hak asasi
manusia sebagaimana tertuang dalam pasal-pasal amandemen antara lain Pasal 18 B
Ayat 2, dan Pasal 27, Pasal 28 A hingga
28 I. Rekomendasi baru dalam pasal-pasal amandemen itu memuat secara tegas
tid.ak hanya hak asasi namun juga kewajiban asasi.
Perwujudan hak dasar yang
tertuang dalam UUD di atas kemudian dijabarkan dalam bentuk kebijakan dan
sejumlah peraturan perundangan yang disusun secara bersama antara Presiden
bersama-sama DPR. Selain membentuk sebuah kementerian khusus yang menangani
urusan wanita dalam kabinet yaitu Menteri Negara Urusan Peranan Wanita sejak
beberapa tahun terakhir sebagai upaya pelaksanaan konsep hak-hak asasi manusia,
pemerintah juga menetapkan sejumlah peraturan perundangan seperti:
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 1999 tentang Pencabutan UndangUndang Nomor
11/Pnps/1963 Tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi, Undang-Undang Nomor 27
Tahun 1999 tentang Perubahan KUHP yang Berkaitan dengan Kejahatan Terhadap
Keamanan Negara, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang Ratifikasi atas
Konvensi Anti Penyiksaan, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi
Manusia, Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1999 tentang Ratifikasi atas Konvensi
Anti Ras Diskriminasi, dan Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Secara konsepsional,
berbagai paradigma "baru" itu telah mengakui nilai-nilai kemanusiaan
yang universal, yaitu seluruh nilai-nilai yang dicantumkan dalam Deklarasi
Universal tentang Hak Asasi Manusia PBB telah diakui Indonesia melalui Rencana
Aksi Nasional (RAN) Hak Asasi Manusia Departemen Luar Negeri yang telah
didahului Pembentukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Keppres No. 50 Tahun
1993). Rencana Aksi Nasional terakhir dirubah dengan Keputusan Presiden Nomor
40 Tahun 2004.
Perlindungan
HAM (Anak), Tanggung Jawab Siapa?
Menurut Deklarasi PBB tahun
1986, hak asasi manusia merupakan tujuan (end) sekaligus sarana (means)
pembangunan. Turut sertanya masyarakat dalam pembangunan bukan sekedar
aspirasi, melainkan kunci keseluruhan hak asasi atas pembangunan itu sendiri,
dan menjadi tugas badan-badan
pembangunan internasional maupun nasional untuk menempatkan hak asasi manusia
sebagai salah satu fokus utama pembangunan. Namun demikian fenomena hak asasi
harus dicermati secara arif, sebab dalam masyarakat individualisme, ada
kecenderungan menuntut pelaksanaan hak asasi manusia ini secara berlebihan.
Padahal hak-hak asasi tidak dapat dituntut pelaksanaannya secara mutlak, sebab
penuntutan pelaksanaan hak asasi secara mutlak berarti melanggar hak asasi yang
sama yang juga dimiliki oleh orang lain.
Telah menjadi kesepakatan
berbagai bangsa, persoalan anak ditata dalam suatu wadah Unicef (United International Children Educational of Fund). Bagi
Indonesia sendiri, anak dikelompokkan sebagai kelompok rentan.
Dalam Penjelasan Pasal 5
ayat (3) Undang-undang No. 39 Tahun 1999 disebutkan 'bahwa yang termasuk
kelompok rentan adalah orang lansia, anak-anak, fakir-miskin, wanita hamil, dan
penyandang cacat. Menyangkut masalah anak, bagaimana realisasi dari semua
tatanan hukumnya di Indonesia? Terutama pelaksanaan ketentuan Pasal 34 UUD
1945 mengenai kewajiban negara untuk melindungi harkat dan martabat anak,
sudahkah negara melakukan upayanya?
Batasan anak dapat ditemukan
dalam beberapa peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia. Meski dalam
banyak rumusan namun pada prinsipnya keragaman batasan tersebut mempunyai
implikasi yang sama yaitu memberikan perlindungan pada anak. Menurut Pasal 1
ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 2002, "Anak adalah seseorang yang belum berusia
18 (delapan belas tahun) termasuk anak yang masih dalam kandungan".
Menurut Pasal 1 KHA/Keppres No. 36 Tahun .1990, "anak adalah setiap orang
yang berusia di bawah 18 tahun kecuali berdasarkan UU yang berlaku bagi yang
ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal". Sedangkan Menurut Pasal
1 ayat (5) UU No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM, "anak adalah setiap manusia
yang berusia di bawah 18 tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih
dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya".
Arah kebijakan pembangunan
yang diamanatkan oleh GBHN 1999 2004 khususnya agenda bidang hak asasi manusia
meliputi:
a. Menegakkan hukum secara konsisten untuk lebih menjamin
kepastian hukum, keadilan dan kebenaran,
supremasi hukum, serta menghargai hak asasi manusia.
b. Melanjutkan ratifikasi konvensi internasional, terutama
yang berkaitan dengan hak asasi manusia sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan
bangsa dalam bentuk undang-undang.
c. Meningkatkan pemahaman dan penyadaran, serta meningkatkan pelindungan,
penghormatan, dan penegakan hak asasi manusia dalam seluruh aspek kehidupan.
d.
Menyelesaikan berbagai proses peradilan terhadap pelanggaran hukum dan hak asasi manusia yang belum ditangani secara
tuntas.
Ketika menetapkan UU No. 23
Tahun 2002 LN 109 TLN 4235 tentang Perlindungan Anak, pemerintah menyandarkan
sejumlah asumsi dasar mengapa disusun undang-undang ini. Di antaranya adalah
bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin kesejahteraan tiap-tiap warga
negaranya, termasuk perlindungan terhadap hak anak yang merupakan hak asasi
manusia; bahwa anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam
dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya; bahwa anak
adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa,
memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin
kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan; bahwa agar setiap
anak kelak mampu memikul tanggung jawab tersebut, maka ia perlu mendapat
kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik
fisik, mental maupun sosial, dan berakhlak mulia, perlu dilakukan upaya
perlindungan serta untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan
jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa
diskriminasi.
Undang-undang ini menegaskan
bahwa pertanggungjawaban orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara
merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara terus-menerus demi
terlindunginya hakhak anak. Rangkaian kegiatan tersebut harus berkelanjutan
dan terarah guna menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak, baik fisik,
mental, spiritual maupun sosial. Tindakan ini dimaksudkan untuk mewujudkan
kehidupan terbaik bagi anak yang diharapkan sebagai penerus bangsa yang
potensial, tangguh, memiliki nasionalisme yang dijiwai oleh akhlak mulia dan
nilai Pancasila, serta berkemauan keras menjaga kesatuan dan persatuan bangsa
dan negara.
Perlindungan anak adalah
segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat
hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan
harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi. Demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak
mulia, dan sejahtera. Upaya perlindungan anak perlu dilaksanakan sedini
mungkin, yakni sejak dari janin dalam kandungan sampai anak berumur 18 (delapan
belas) tahun.
Bertitik tolak dari konsepsi
perlindungan anak yang utuh, menyeluruh,, dan komprehensif, undang-undang ini
meletakkan kewajiban memberikan perlindungan kepada anak berdasarkan asas-asas
nondiskrimiriasi, kepentingan yang terbaik bagi anak, hak untuk hidup,
kelangsungan hidup, dan perkembangan, serta penghargaan terhadap pendapat anak.
Apa yang dituangkan dalam rumusan undang-undang di atas sesungguhnya adalah
adopsi dari sejumlah ketentuan konvensi antar bangsa seperti Convention on The Elimination of all Forms of Discrimination Against
Women, ILO Convention No. 138 Concerning
Minimum Age for Admission to Employment,
ILO Convention No. 182 Concerning
The Prohibition and Immediate Action
for The Elimination of The Worst Forms of Child Labour yang kemudian
diratifikasi ke dalam sistem hukum kita.
Orang tua berkewajiban dan
bertanggung jawab untuk mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak, menumbuhkembangkan anak
sesuai dengan kemampuan, bakat, dan
minatnya, serta mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.
Pemerintah selain menginventarisasi anak dalam struktur administratif berupa
pencatatan, juga wajib menyelenggarakan pendidikan dasar minimal 9 (sembilan)
tahun untuk semua anak. Undangundang perlindungan anak mencantumkan sejumlah
sanksi bagi mereka yang tidak menjalankan ketentuan undang-undang ini dengan
sanksi pidana dan denda puluhan bahkan
hingga ratusan juta rupiah.
Hak
Asasi (Anak) Dalam Realitas, Quo Vadis?
Berbagai pelanggaran
terhadap hak-hak anak yang masih sering terjadi, tercermin dari masih adanya
anak-anak yang mengalami abuse, kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi. Di antara pelanggaran Hak Asasi
berkaitan dengan anak antara lain yang menyangkut masalah pekerja anak,
perdagangan anak untuk tujuan pekerja seks komersial, dan anak jalanan. Masalah pekerja anak merupakan
isu sosial yang sukar dipecahkan dan
cukup memprihatinkan karena terkait dengan aspek sosial, ekonomi,
dan budaya masyarakat. )umlah anak umur
antara 10 sampai 14 tahun sebanyak 20,86 juta jiwa, termasuk anak yang sedang
bekerja dan yang mencari pekerjaan
sebesar 1,69 juta jiwa. Pada dekade terakhir, anak umur antara 10 sampai 14
tahun yang bekerja telah mengalami penurunan, namun pada tahun 1998-1999
mengalami peningkatan dibandingkan 4 tahun sebelumnya, sebagai konsekuensi dari
krisis multidimensional yang menimpa Indonesia. Lapangan pekerjaan yang melibatkan
anak, antara lain, di bidang pertanian mencapai 72,01%, industri manufaktur
sebesar 11,62%, dan jasa sebesar 16,37%.
Fenomena sosial anak jalanan
terutama terlihat nyata di kota-kota besar terutama setelah dipicu krisis
ekonomi di Indonesia sejak lima tahun terakhir. Hasil kajian Departemen Sosial
tahun 1998 di 12 kota besar melaporkan bahwa jumlah anak jalanan sebanyak
39.861 orang dan sekitar 48% rnerupakan
anak-anak yang baru turun ke jalan sejak tahun 1998. Secara nasional
diperkirakan terdapat sebanyak 60.000 sampai 75.000 anak jalanan. Depsos
mencatat bahwa 60% anak jalanan telah putus sekolah (drop out) dan 80% masih
ada hubungan dengan keluarganya, serta sebanyak 18% adalah anak jalanan
perempuan yang beresiko tinggi terhadap kekerasan seksual, perkosaan, kehamilan
di luar nikah dan terinfeksi Penyakit
Menular Seksual (PMS) serta HIV/AIDS.z
Mencermati data di atas,
rasasnya sungguh ironis, karena hampir pasti hak dan kewajiban orang tua termasuk negara hingga
kini tidak dilaksanakan secara maksimal. Meskipun tidak dapat dipungkiri
sejumlah upaya telah dilakukan pemerintah melalui proyek pengentasan
kemiskinan, peningkatan harkat dan
martabat anak jalanan melalui rumah singgah. Namun patah tumbuh hilang
berganti, anak jalanan bukan berkurang tapi semakin hari semakin meningkat. Di
sisi lain proyek pengentasan ini tidak ada kesinambungannya karena landasan
pelaksanaannya bersifat temporal semata. Sekedar melirik ke Negeri Kincir Angin
(Belanda) di mana pemerintahnya menyantuni setiap bayi yang baru lahir senilai
300 gulden, bagaimana negara
kita yang nota bene berasaskan
Pancasila? Memang Pancasila tidak patut dijadikan tameng untuk mempertentangkan
negara kita dengan Belanda tapi setidaknya fenomena anak jalanan dan dimensi, sosial yang melingkupinya seyogyanya
menjadi fenomena menarik untuk bertanya kepada nurani kita masing-masing s~mpai
sejauh mana di aptara kita memiliki komitmen pada pengentasan anak jalanan ini.
Negara ini memang masih jauh dari cukup untuk memaksimalkan peran sebagai
penyantun anak-anak terlantar, fakir miskin dan
kaum duafa lainnya meskipun legalitasnya telah dituangkan oleh the founding fathers pembentuk negara
ini ketika menyusun sebuah UUD.
Belum lama berselang UNDP
mempublikasikan penurunan peringkat HDI (Indeks Pembangunan Manusia) yang
dialami sejumlah negara. Dari 175 negara
yang dikaji, Indonesia berada di peringkat 112, dengan skor 0,682 (tahun 2002
lalu nilainya 0,684). Dibanding negara ASEAN lainnya, Indonesia hanya lebih
tinggi dari Kamboja (130), Myanmar
(131) dan Laos (135),
sedangkan negara ASEAN lainnya berada jauh di atas peringkat Indonesia
(Vietnam 109). Tidak dapat dipungkiri ini adalah hanya sekelumit potret buram
dari dampak ketidakpedulian terhadap kesejahteraan anak. Padahal masih ada
dampak lainnya yang juga perlu diwaspadai yaitu misalnya tentang ancaman
epidemi kasus HIV-AIDS akibat maraknya pelacuran anak (sayangnya, studi tentang
anak-anak yang dilacurkan sangat minim).
Mass media kita tidak
henti-hentinya mengekspos perlakuan tidak senonoh terhadap seorang anak,
menjadi korban perkosaan oleh lelaki hidung belang, ayah tiri bahkan maaf
disetubuhi oleh ayah kandung. Sungguh memilukan, karena perlakuan itu sangat
bertentangan dengan nilai-nilai moralitas dan
agama. Tetapi sayang ketika kasus ini sampai di meja pengadilan, selalu
yang menjadi pertimbangan penghukuman hanyalah terclakwa masih muda, bersikap
sopan santun selama dalam persidangan, mengaku secara terus terang. Tak pernah
dikedepankan bagaimana galau suara hati si korban menatap masa depan yang
buram. Lebih ironis lagi di pengadilan yang terbukti justru pemutarbalikan
fakta di mana perbuatan itu dilakukan atas dasar suka sama suka bahkan
terkadang hukumnya tidak ada sehingga pelaku dijatuhi pidana yang sangat ringan
termasuk pidana percobaan.
Di sektor pendidikan, wajah
buram potret anak bangsa juga tidak kalah ironisnya. Sejumlah fenomena
mencengangkan pernah diungkap media Suara Merdeka - Semarang hanya untuk
membayar registrasi ulang anak tercinta seorang ibu sampai menggadaikan
sepreinya. Sementara seorang ibu lainnya yang memasukkan anaknya ke sekolah
dasar harus merogoh kantung tidak kurang dari setengah juta rupiah. Jumlah ini
sekedar untuk tidak menyebut rupiah di sekolah "elite" lain yang di
provinsi ini selalu menjadi polemik bangku kosong (fenomena "letjen"
- lewat jendela) di setiap periode penerimaan siswa baru. Di sisi lain
pemerintah merasa terbebani harus memfasilitasi penyelenggaraan pendidikan
dasar 9 tahun. Lantas, perlindungan apa yang dapat diberikan pemerintah secara
kongkret?
Memang, Pemerintah bersama
DPR telah mengesahkan UndangUndang No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas (meski
lahirnya UU ini tak kalah kontroversialnya ketika masih dalam proses
penyusunannya, namun toh akhirnya ditetapkan juga oleh DPR). Undang-undang ini
dalam pertimbangannya menyatakan bahwa sistem pendidikan nasional pada
hakekatnya harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan bagi setiap
warga negara. Jaminan ini juga menyangkut perlakuan yang bersifat khusus bagi
anak-anak yang menderita kelainan mental, emosional dan kejiwaan serta intelektual. Rumusan ini
memang merupakan implementasi teoritis atas bunyi Pasal 31 ayat (3) UUD yang
menegaskan bahwa Pemerintah mengusahakan dan
menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional itu, tapi bagaimana
dalam realisasinya?
Mungkin terlalu naif kalau
kita menyatakan bahwa perlindungan terhadap nasib anak selama ini hanyalah
sebatas wacana. Dalam segala keterbatasannya pemerintah sebetulnya telah mulai
meletakkan pondasi perlindungan baik berupa aspek yuridis maupun non yuridis.
Berbagai bantuan telah dikucurkan, pembangunan sejumlah rumah singgah, fondasi
sistem pendidikan telah ditata melalui undang-undang sistem pendidikan. Namun
harus disadari upaya demikian ini harus pula dibarengi langkah kongkret dari
berbagai pihak, termasuk anggota masyarakat luas tanpa terkecuali. Sebuah
pertanyaan mungkin dapat diajukan, bagaimana elit politik negeri ini memandang
persoalan buram seputar dunia anak dan masa depannya? Lalu masalah anak menjadi
porsi siapa? Anak tetaplah anak yang selalu ceria dalam canda meski tak tahu
apa yang menimpa mereka dan apalagi yang
akan menyapanya ketika subuh hingga petang menyongsong malam ke peraduan,
waktunya tersita di sela-sela deru asap jalanan dan kesendirian.
Masih segar dalam ingatan
kita Hari Anak Nasional, 23 Juli tahun lalu, diperingati dalam suasana berbeda
di berbagai lokasi di seluruh Indonesia. Presiden Megawati Soekarnoputri
beserta sekitar 500 anak lebih merayakan Hari tersebut di Dunia Fantasi (Dufan),
Ancol, Jakarta Utara. Seorang Gubernur mendongeng dengan lucunya di hadapan
sejumlah anak. Persis sebagaimana selalu dilakukan Pak Harto ketika masih
menjadi kepala negara yang dengan senyum khasnya menyapa anak-anak. Sejumlah
LSM dan "pencinta anak" melalui
ragam kreasinya sendiri di berbagai kota juga melakukan hal yang sama. Yang
membedakannya, seremonial LSM lebih bernada sindiran terhadap elite politik di
negeri ini memperlakukan anak di hari khusus ini yang cenderung mengedepankan
seremonial seperti pemerintah/penguasa masa lalu. Peringatan anak nasional
tahun ini bertujuan meningkatkan kepedulian orang tua, keluarga, masyarakat,
pemerintah dan negara untuk mendengarkan
suara anak sekaligus menjadikan bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan demi
kepentingan anak. Memang, peringatan kali ini terasa agak beda, ketika
dibacakan Resolusi Anak Indonesia, Forum Anak dan Remaja Nasional 2003 oleh Jaka (17), pelajar
kelas 3 SMU III Bandung, Jawa Barat dan Anggi Putri (15), siswa kelas 3 SMP
Kartini, Batam, Riau. Dalam Resolusi Anak Indonesia tersebut, terbagi dalam
empat permasalahan, yaitu perlindungan khusus anak, pendidikan, kesehatan serta
HIV/AIDS. Selain itu, diberikan pula oleh Mensos akta kelahiran gratis kepada
10.000 anak Indonesia oleh Mensos Bachtiar Chamsyah. Meneg Pemberdayaan
Perempuan, pada acara itu juga memberikan beasiswa kepada anak-anak Indonesia
dan diwakili oleh Anisa Nurjanah
dan Dodi Laksana. Selanjutnya
penghargaan kepada 11 orang anak Indonesia berprestasi oleh Presiden Megawati,
di antaranya diberikan kepada peserta Olimpiade Fisika dan Olimpiade Matematika. Acara diakhiri oleh
operet kolosal anak-anak berjudul, "Partisipasiku Dalam Indonesia
Tercinta."
Penutup
Bertitik tolak dari
langkah-langkah pemerintah di atas, sesungguhnya telah terbukti bahwa
pemerintah telah secara bersungguh-sungguh untuk menjadi bagian dari masyarakat
internasional dalam mengimplementasi dan
internalisasi hak asasi manusia ke dalam penyelenggaraan negara. Namun
di sisi lain segenap upaya dan usaha itu
tidak akan berarti apa-apa bila dalam kenyataannya tidak diiringi oleh peran
serta masyarakat secara aktif.
Rambu-rambu pelibatan peran
serta masyarakat telah dituangkan dalam Peraturan Pemerintah No. 69 Tahun 1999
tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dalam Penyelenggaraan
Negara. Bila dicermati, abstraksi umum dari makna ketentuan peraturan
pemerintah ini mengandung beberapa hak dan kewajiban sebagai berikut (Muladi,
2002):
a.
hak untuk mencari, memperoleh dan memberikan
informasi mengenai penyelenggaraan negara;
b.
hak untuk memperoleh pelayanan yang sama dan
adil dari penye lenggara negara;
c.
hak menyampaikan saran dan pendapat serta
bertanggungjawab terhadap kebijakan penyelenggara negara;
d.
hak untuk memperoleh perlindungan hukum dalam
melaksanakan haknya, dan apabila diminta hadir dalam penyeledikan, penyidikan
dan di sidang pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi atau saksi ahli, sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
e.
hak-hak tersebut dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dengan mentaati
norma-norma agama dan norma sosial lainnya. Hal ini dimaksudkan dalam rangka
menghindari fitnah dan laporan yang tidak bertanggungjawab (di beberapa negara
pelakunya justru dapat dipidana).
Dari sisi hak asasi manusia,
hak untuk berpartisipasi dalam pembangunan di atas masuk kategori
"Generasi HAM III", yaitu "hak untuk pembangunan" (right to development). Bahkan dalam
realisasinya masih dapat diperluas dan ditonjolkan peranan civil society secara umum meliputi
juga kalangan swasta dan lembaga publik lainnya. Penonjolan lembaga non pemerintah
ini tidaklah dimaksudkan sebagai pesaing peran negara dan penguasa namun lebih
pada peran penyeimbang kebijakan untuk pemenuhan hak-hak minimal.
Anak dalam berbagai struktur
suku bangsa menempati posisi dan memiliki karakteristiknya sendiri-sendiri.
jadi ketika kita menyebut anak Amerika seyogyanya berbeda bayangan kita ketika
menyebut anak Indonesia apalagi yang ada di pedesaan. (Meskipun) bila menempuh
perjalanan trans Sumatra sepanjang melewati jalur penyeberangan Merak-Bakauheni
berjejer penjaja mobil aksesori ber-remote kontrol dengan harga minimal ratusan
ribu rupiah. Suatu jumlah yang cukup mengagetkan karena penjualannya seperti
"di kaki lima". Apakah ini suatu pertanda peningkatan secara
signifikan kemampuan para orang tua ataukah demi sebuah gengsi dan harga diri
untuk disebut berbasis teknologi dan membiarkan anak kita larut dengan impian?
Dalam berbagai diskusi
dengan teman sejawat penulis sering melontarkan kritik. Tidak disiplinnya anak
didik, karena sang pendidiknya memang tidak pernah disiplin. Seorang anak pada
jenjang pendidikan awal (TK), SD masih menaruh hormat pada guru ketika selesai
kegiatan proses belajar mengajar sang guru berdiri di depan pintu. Anak-anak
kita santun mencium tangan gurunya dan menyampaikan salam. Ketika menginjak
jenjang pendidikan yang lebih tinggi, adakah fenomena ini dipertahankan? Bahkan
sejak berangkat pagi dari rumah, hingga pulang sekolah/kuliah atau bahkan
terlambat pulang apalagi sampai tidak pulang, orang tua tidak perduli sama
sekali. Bila legenda Si Malin Kundang (maaf!) dinyatakan sebagai anak durhaka
terhadap ibunya, tidakkah pertanyaan menggelitik dapat dikemukakan,
jangan-jangan memang pendidikan dari bapaknya tidak pernah ada (atau memang
tidak memiliki bapak, sang bapak meninggalkan anak dan isterinya secara tidak
jelas sebagaimana terjadi di saat ini) sehingga kesetaraan pendidikan dalam
keluarga tidak terbentuk yang tentunya juga akan berkontribusi pada anak-anak?
Masih adakah tersisa rasa malu kita saat sebagai orang tua? Suri tauladan apa
yang telah kita tanamkan? Apa yang sudah kita lakukan buat anak bangsa ini?
Sudahkah kita terbiasa mendengar suara anak? Bukankah kita selama ini terlalu
mengindoktrinasi anak demi sebuah pengharapan yang tidak jarang diikuti
pemaksaan harus mengikuti apa yang kita mau? Seorang Gubernur pernah berujar,
anak saat ini telah jauh berbeda. Tata kerama dan sopan santun tak dipegang
sama sekali apalagi diamalkan.
Hak asasi anak merupakan
bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan
Konvensi Perserikatan BangsaBangsa tentang Hak-hak Anak. Dari sisi kehidupan
berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan bangsa dan generasi penerus
cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh,
dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari tindak
kekerasan dan diskriminasi serta hak
sipil dan kebebasan. Sebagai sebuah gagasan awal, bebarapa upaya yang dapat
dilakukan untuk meningkatkan pelaksanaan hak anak dalam masyarakat antara lain:
(a) perlu peningkatan pemahaman dan
kesadaran masyarakat akan sejumlah hak-hak anak; (b) memberikan
pemahaman dan kesadaran terhadap berbagai pihak mengenai hak-hak anak; (c)
peningkatan profesionalisme aparat dalam melindungi dan melayani hak-hak anak;
(d) menyusun sistem monitoring hak-hak anak yang akan digunakan untuk membuat
kebijakan legislatif berkenaan dengan hak anak.
Ratifikasi terhadap sejumlah
Konvensi Hak Anak dunia dan
menuangkannya dalam sejumlah peraturan peruridangan belaka (dus juga
sejuml,ih sanksi hukumnya) tanpa adanya perubahan sikap dan perilaku yang
mendukung, akan membuat muatan Konvensi tidak memiliki makna apapun. Pemaknaan "social engineering" melalui
hukum, tanpa mengedepankan aspek-aspek sosial budaya lain secara sosiologis
dan filosofis adalah suatu keniscayaan belaka.
Wahai orang tua, dengarlah
suara anak dan mulailah menyapa karena anak bagian dari masa lalu yang akan
menata negeri ini di masa datang. Mereka sangat patut memperoleh perlindungan
atas berbagai hak-haknya; hak kesejahteraan, hak perlindungan dan keselamatan,
hak untuk tidak dieksploitasi, hak untuk pendidikan dan kesejahteraan yang
layak. Wallahualam. Semoga.
Hak
Sosial Budaya Masyarakat Tradisional Dalam Perspektif Kekinian;
Memaknai
Sengketa Hak Atas Tanah Sebagai Sebuah Hak yang Bersifat Asasi
Pendahuluan
Penghormatan terhadap
hak-hak asasi manusia memerlukan proses panjang mengingat sifatnya hak-hak
asasi manusia yang sarat dengan nilai. Sejarah kemudian mencatat Majelis Umum
Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1948
telah menyetujui Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia yang berisikan
suatu daftar hak-hak dasar manusia, sebagai "suatu standar prestasi
bersama bagi semua orang dan semua bangsa". Sebagai sesuatu yang bersifat
baku ia merupakan tuntutan bagi setiap bangsa di muka bumi untuk secara
progresif nasional maupun internasional memberikan jamin4n pengakuan terhadap
hak-hak sipil/asasi manusia. Semenjak itu, telah disetujui banyak instrumen
tambahan, berupa perjanjian-perjanjian internasional yang secara hukum
mengikat, maupun deklarasi-deklarasi yang tidak mengikat, baik bersifat global
maupun regional.
Secara khusus eksistensi
terhadap hak masyarakat tradisional terhadap tanah dan kampung halamannya
dirumuskan dalam dokumen Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) No. E/C.4/2002/97. Substansi yang lebih
rinci dari hak masyarakat tradisional ini dapat ditemukan dalam ILO Convention Concerning Indigenous and
Tribal Peoples in Independent Countries nomor 169 tahun 1989 tanggal
27 Juni 1989. Konvensi ILO ini, sayangnya, belum diratifikasi oleh
Republik Indonesia. Pada intinya bahwa bagi masyarakat tradisional, tanah dan
kampung halaman itu tidak hanya sekedar merupakan benda-benda ekonomi, tetapi
juga merupakan bagian menyeluruh dari kehidupannya. Bila tanah dan kampung halamannya ini terusik, apalagi terasingkan
oleh Negara atau fihak ketiga, yang akan terancam bukan hanya kehidupan ekonomi
dari masyarakat tradisional tersebut saja, tetapi juga keseluruhan eksistensi
masyarakat tradisional itu sendiri. Hal ini sering luput dari perhatian para
pejabat pemerintah, yang lazimnya bukan -atau bukan lagi- warga suatu
masyarakat tradisional, tetapi adalah kaum urban yang secara kultural
berorientasi kosmopolitan.
Tulisan ini bermaksud
mencermati eksistensi masyarakat tradisional/ adat dan hak-hak sosial budayanya di tengah-tengah
perkembangan sosial, politik, ekonomi dan
hukum masyarakat Indonesia modern khususnya berkaitan dengan tanah.
Konteks masyarakat modern dalam kajian ini dimaknai dengan munculnya hegemoni
negara dalam sejumlah kebijakankebijakannya yang menurut penulis sedikit
banyak makin memarjinalkan masyarakat adat (sekedar kita menyebut konsep
"masyarakat tradisional" identik dengan masyarakat adat, sebab ada
kecenderungan penyebutan masyarakat adat lebih mengarah kepada pengkultusan
terhadap sekelompok masyarakattertentu dengan berbagai atributtradisionalnya.
Padahal disadari atau tidak sejarah telah mencatat bahwa hampir tidak ada
kelompok masyarakat tertentu yang saat ini betul-betul murni (di Lampung,
misalnya; saat ini telah bermukim heteroginitas suku bangsa sebagai akibat
pelaksanaan kebijakan kolonisasi Belanda 1905 hingga transmigrasi sejak 1956
hingga dekade 1980-an). Kini daerah Lampung tertutup sebagai daerah tujuan
transmigrasi, bahkan dalam dekade sepuluh tahun terakhir provinsi ini telah
merelokasikan warganya dari eks register wilayah hutan lindung ke lokasi
pemukiman baru yang khusus disediakan untuk itu.
Tanah
dan Masyarakat Adat
Tanah merupakan salah satu
unsur esensial dalam hidup dan
kehiclupan umat manusia. Sifat esesensial ini dibuktikan paling tidak
karena dua hal yang menyebabkannya yaitu, pertama karena sifatnya yang
merupakan suatu benda kekayaan yang bersifat tetap, bahkan terkadang
menguntungkan. Kedua, karena fakta, suatu kenyataan tanah merupakan tempat
tinggal persekutuan masyarakat adat, memberi penghidupan kepada persekutuan
masyarakat adat bahkan merupakan tempat dimana para warga persekutuan meninggal
dunia akan dikebumikan.
Sebagai akibat fakta
tersebut di atas, maka antara masyarakat adat dengan tanah yang didiaminya terdapat
hubungan yang sangat erat, bahkan demikian eratnya hubungan tanah dengan
pemiliknya tak jarang memiliki sifat religio magis. Hubungan yang erat dan bersifat relegio magis, menyebabkan
masyarakat adat memperoleh hak untuk menguasai tanah. Mengingat pentingnya
kedudukan tanah bagi masyarakat adat, maka bagaimana sederhana tingkat
budayanya, setiap masyarakat adat sudah barang tentu mempunyai cara pengaturan
tentang tanah. Meskipun demikian, pengaturan itu tidak selalu berwujud
dokumen/tertulis. Hal demikian ini tidaklah mengherankan karena dalam suatu
persekutuan akses pada tanah secara umum dikontrol pula oleh suatu jaringan
hubungan kekerabatan yang kompleks.
Selain itu dalam suatu
masyarakat adat, tanah menjadi landasan bagi kehidupan subsistem mereka, tanah
juga memberi cash income. Bahkan tanah merupakan dasar bagi identitas mereka.
Tanah dalam kdnteks ini dipandang sebagai aset ekonomi maupun sekaligus sebagai
dasar nilai yang berkaitan dengan belief
system-nya. Oleh karena" itu, tanah bagi persekutuan adat adalah
bagian dari kebudayaan.
Selanjutnya dalam sekala
yang lebih luas, bagaimana hubungan antara masyarakat hukum adat dengan
tanahnya? Sebenarnya masyarakat hukum adat dapat ditinjau sebagai suatu
totalitas, kesatuan publik maupun badan hukum. Sebagai totalitas, masyarakat
hukum adat merupakan penggambaran dari warga warganya termasuk pula
pimpinan/kepala adatnya. Sebagai suatu kesatuan publik, maka masyarakat hukum
adat sebenarnya merupakan suatu badan penguasa yang mempunyai hak hak untuk menertibkan
masyarakat serta mengambil tindakan tindakan tertentu terhadap warga
masyarakat. Sebagai badan hukum, maka masyarakat diwakili oleh kepala adatnya
dan lebih banyak bergerak di bidang hukum perdata. Dengan demikian, sebenarnya
hubungan antara masyarakat hukum adat dengan tanahnya merupakan hubungan publik
maupun hubungan perdata, oleh masyarakat hukum adat yang menguasai dan memiliki
tanah tersebut. Penguasaan dan pemilikan
atas tanah oleh masyarakat hukum adat menurut Van Vollenhoven disebut beschikkingsrecht, yang oleh para
ahli hukum adat Indonesia dipergunakan istilah istilah hak purba, hak
pertuanan, hak bersama atau disebut "hak ulayat".
Hak-hak Sosial Budaya Masyarakat Adat dalam
Perspektif Kekinian
Undang Undang No. 5 Tahun
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA), secara tegas dalam
penyusunannya telah berpedoman pada hukum adat dan hukum agama. Hal ini menunjukan bahwa sumber
sumber keteraturan lokal secara sadar dan
formal dijadikan pedoman dalam penyusunan peraturan perundangan masalah
pertanahan.
Hak
ulayat diakui dengan tegas dalam Pasal 3 UUPA:
"Dengan
mengingat ketentuan ketentuan dalam Pasal 1 dan 2, pelaksanaan hak ulayat dan
hak hak yang serupa itu dari masyarakat masyarakat hukum adat, sepanjang
menurut kenyataan masih ada, harus sedemikian rupa, sehingga sesuai dengan
kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa, serta
tidak boleh bertentangan dengan undang Umdang dan peraturan peraturan (hukum)
lain yang lebih tinggi".
Tentang pelaksanaan hak
ulayat itu dijelaskan dalam Pasal 5 UUPA sebagai berikut:
"Hukum agraria yang
berlaku atas bumi air dan ruang angkasa
ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional
dan negara, yang berdasarkan atas persatuan
bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan peraturan yang
tercantum dalam undang undang ini dengan peraturan perundangan lainnya, segala
sesuatu dengan mengindahkan unsur unsur yang berdasarkan hukum agama".
Hal ini berarti bardasarkan
hak ulayat yang bersumberkan hukum adat, masyarakat hukum yang bersangkutan
tidak boleh menghalangi pemberian hak guna usaha yang hendak dilakukan oleh
Pemerintah. Jika Pemerintah akan melaksanakan pembukaan hutan secara besar
besaran dan teratur dalam rangka proyek-proyek besar untuk penambahan bahan
makanan dan transmigrasi, maka hak
ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tidak boleh menjadi penghalang. )ika
hak ulayat dari masyarakat hukum dapat menghambat dan menghalangi sesuatu, maka kepentingan umum
akan dikalahkan oleh kepentingan masyarakat masyarakat hukum yang bersangkutan.
Hal ini tidak dapat dibenarkan, dengan kata lain kepentingan suatu masyarakat
hukum harus tunduk kepada kepentingan nasional dan negara.
Dalam
memori Penjelasan UUPA ditegaskan:
"Tidak
dapat di benarkan, jika dalam alam bernegara dewasa ini suatu masyarakat hukum
masih mempertahankan isi dan pelaksanaan
hak ulayatnya secara mutlak, seakan akan ia terlepas dari hubungan dengan
masyarakat hukum dan daerah daerah
lainnya di dalam lingkungan negara kesatuan". Jika dipertahankan sikap
demikian, maka bertentangan dengan asas pokok yang tercantum dalam Pasal 2 UUPA
yang berbunyi: "Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 UUD 1945 dan hal-hal
sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air, dan ruang angkasa termasuk
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai
oleh negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat".. Akan tetapi
penguasaan itu harus digunakan untuk mencapai sebesar besar kemakmuran rakyat,
dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan dan
kemerdekaan dalam masyarakat dan
Negara Hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil, dan makmur (Pasal 2/3 UUPA).
Sehubungan dengan adanya
pengakuan UUPA atas eksistensi hukum adat ditengah tengah masyarakat Indonesia
yang majemuk, ada beberapa pertanyaan pokok yang dapat diajukan, pertama
"hukum adat yang mana saja yang dimasudkan dalam UUPA?" Selanjutnya,
mengacu pada pernyataan "pengakuan diberikan sepanjang hukum adat itu
masih ada", bagaimana cara menentukan bahwa suatu hukum adat di suatu
daerah atau dalam suatu masyarakat hukum adat itu masih ada atau tidak? Lalu
berkaitan dengan keterangan bahwa pengakuan atas hak adat bisa berjalan sejauh
tidak bertentangan dengan kepentingan negara dan/atau kepentingan umum,
bagaimanakah merumuskan/menetapkan suatu tindakan atas tanah tertentu merupakan
kepentingan negara maupun kepentingan umum atau tidak. Bila dicermati,
berkenaan dengan masalah pengakuan atas hak adat sebagaimana yang tercantum
dalam UUPA, kita juga dihadapkan pada dua terminologi yang membingungkan yaitu
tentang penyebutan "hak adat" dan "hak ulayat". Dari
penjelasan yang dimaksud tidak dapat diambil kesimpulan apakah hak adat itu
sama artinya dengan hak ulayat atau keduanya mengacu pada dua fenomena yang
berbeda; dan/atau apakah hak adat yang diakui hanyalah yang berupa hak ulayat
(dalam hal ini hak ulayat ditafsirkan sebagai hak milik/guna bersama), dan
dengan sendirinya tidak mengakui hak adat yang mengatur hak (milik/guna)
perseorangan.
Selain itu, penjelasan
tentang hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu sebagaimana yang tercantum dalam
Penjelasan Pasal Demi Pasal untuk Pasal 3 UUPA juga tidak memberikan keterangan
yang memadai. Dalam bagian itu hanya tercantum kalimat yang menyatakan bahwa
yang dimaksud dengan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu ialah apa yang di
dalam kepustakaan hukum adat disebut bescikkingsrecht,
yang tidak lain adalah kata dari bahasa Belanda yang kalau diterjemahkan
berarti hak ulayat itu sendiri.
Bila ditelusuri, asal usul
konsep hak ulayat bersumber pada aspek kebudayaan melayu yang memiliki landasan
landasan pada masyarakat bersangkutan. Secara konseptual, hak ulayat tentunya
dimiliki oleh masyarakat yang berklen (dan
), dan masyarakat berklen berasal dari masyarakat yang bersistem
kekerabatan unilateral (matilinial atau patrilinial). Landasan landasan
kekerabatan itulah yang kemudian munculnya pengertian "hak ulayat".
Tanah hak ulayat pada dasarnya berfungsi sebagai jaminan kesejahteraan bersama,
sumber kebutuhan taktis, lalu sebagai sumber dana untuk menyelenggarakan
hajatan adat (tuntutan adat). Dengan demikian yang dimaksud dengan hak ulayat
menurut konsepsi hukum adat adalah hak yang dimiliki oleh suatu klen/kerabat
masyarakat adat bersangkutan. Pada dasarnya yang menjadi obyek hak ulayat bukan
menopoli bidang bidang tanah, tetapi juga air atau perairan seperti, kali
(sungai), danau, dan pantai bersama
perairannya serta tumbuh tumbuhan yang hidup secara liar dan binatang yang
hidup liar.
Menurut Iman Sudiyat (1981)
yang menjadi ciri-ciri pokok hak ulayat adalah:
a. Hanya
persekutuan hukum itu sendiri beserta para warganya yang berhak dengan bebas
mempergunakan tanah tanah liar di wilayah kekuasaannya.
b. Orang luar hanya boleh mempergunakan tanah itu dengan
izin penguasa persekutuan tersebut: tanpa izin itu ia dianggap melakukan
pelanggaran.
c. Warga
persekutuan hukum boleh mengambil manfaat dari wilayah hak purba dengan
restriksi: hanya untuk keperluan somah/brayat/ keluarganya sendiri: jika
dimanfaatkan untuk kepentingan orang lain, ia dipandang sebagai orang asing,
sehingga harus mendapat izin lebih dahulu. Sedangkan orang asing hanya
diperkenankan mengambil manfaat dari wilayah hak purba dengan izin Kepala
persekutuan hukum serta pembayaran upeti, mesi (recognitie, retributie), kepada persekutuan hukum.
d. Persekutuan
hukum bertanggung jawab atas segala hal yang terjadi dalam wilayahnya, terutama
yang berupa tindakan melawan hukuM, yang merupakan delik.
e. Hak purba
tidak dapat dilepaskan, dipindah tangankan, diasing0kan untuk selamanya.
f. Hak
purba meliputi juga tanah yang sudah digarap, yang sudah diliputi oleh hak
perorangan.
Dalam literatur hukum adat
pernah dikemukakan tentang cara mempertahankan hak ulayat yaitu: pertama tama
persekutuan ulayat adat berusaha meletakkan batas batas di sekeliling wilayah
kekuasaannya itu. Usaha kedua menunjuk pejabat pejabat tertentu secara khusus,
bertugas mengawasi ulayat kekuasaan persekutuan yang bersangkutan. Yang ketiga
biasanya diadakan patroli patroli perbatasan sebagai pengawasan terhadap tanah
ulayat.Untuk menentukan batas wilayah tanah ulayat, harus ditentukan
berdasarkan musyawarah kepala kepala adat yang wilayahnya
berdampingan/berbatasan dengan wilayah tanah ulayat. Oleh karena itu kepala
adat sangat berperan dalam mengatur, menyelenggarakan dan menggunakan tanah ulayat.
Di Lampung untuk
memanfaatkan tanah ulayat harus seizin kepala adat/kepala marga. Sebagai contoh
kepada siapa saja yang meninggalkan rumah/umbul dan tanam tumbuhnya yang tidak dipelihara selama
tiga tahun, maka penguasaannya kembali kepada kepala adat. Tetapi jika ingin
memanfaatkan kembali maka harus seizin kepala adat. Selanjutnya kepada anggota
masyarakat yang pindah/meninggalkan rumah/kampung/umbul, maka tanah yang
dimanfaatkan tidak boleh dijual tetapi harus diserahkan kepada kepala adat
dan atau sanak keluarganya (menurut
garis darah). Kalau anggota masyarakat adat mengambil hasil hutan harus seizin
kepala adat, yang
hasilnya dibagi kepada kepala adat dengan
perbandingan tertentu sesuai dengan kesepakatan, apabila dalam mengambil hasil
hutan tersebut tanpa seizin kepala adat maka hasil hutan tersebut disita oleh
kepala adat dan yang bersangkutan
didenda dengan sejumlah uang tertentu dengan tambahan harga seekor kerbau.
Contoh tersebut di atas
mengambarkan bahwa kedudukan kepala adat dalam mengatur, peruntukan hak tanah
ulayat memegang posisi yang sangat penting. Selain itu kepala adat sangat
dituntut untuk mengetahui secara pasti tentang asal usul/riwayat tanah ulayat
di daerahnya.
Keberadaan tanah ulayat di
Lampung, pada mulanya pengolahan/ penguasaan dan pengaturannya ada pada lembaga
"marga" yang dalam hal ini adalah kepala marga atau pasirah.
Selanjutnya, istilah marga sejak tahun 1952 statusnya telah berubah menjadi
"negeri", sehingga yang tadinya tanah marga menjadi tanah negeri.
Sebelumnya terhadap tanah marga, masyarakat adat Lampung hanya mempunyai hak
pakai atau hak garap yang harus mendapat izin dari Kepala Marga (Pesirah). Pada
tahun 1973 Gubernur Lampung melalui Putusannya No.G/234/D.l/HK/1973, telah
menghapus pemerintahan negeri, di sini bukan berarti tanah ulayat menjadi hapus
melainkan tanah ulayat tersebut akan kembali pada marga masing masing. Sebagai
contoh Negeri Tulang Bawang (Propinsi Lampung) tanah ulayat/marga akan kembali
kepada marga masing masing yaitu marga Buay Bulan, Tega'moan, Aji dan Suay Umpu. Di lain pihak Gubernur Lampung
telah mengeluarkan Keputusan No.G/127/DA/HK/1974 tentang Pembebasan Tanah Untuk
Keperluan Perusahaan. Apabila kita telaah, maka tanah ulayat/ marga di bawah
kekuasaan atau wewenang kepala adat/marga bersangkutan, sehingga kalau terjadi
persengketaan terhadap tanah tersebut masing masing kepala adat/marga dapat
menempuh jalur musyawarah untuk penyelesaiannya.
Namun persoalan yang timbul,
dengan dihapuskannya pemerintahan negeri atau marga dianggap bahwa tanah ulayat
menjadi tanah yang dikuasai oleh Pemerintah Daerah (Pemda). Sehingga dengan
adanya peraturan yang dikeluarkan melalui Keputusan Gubernur tersebut di atas
tanah ulayat sebagai hak masyarakat adat menjadi hapus. Sebagai contoh konkrit
sekarang ini tidak sedikit masyarakat (adat) menuntut tanah yang telah dikuasai
oleh Perusahaan atau Perkebunan sebagai tanah milik adat (tanah ulayat).
Tuntutan tersebut dengan dalih bahwa pada waktu pembebasan tanah masyarakat
sebagai anggota dari suatu marga tidak diikut sertakan. Meskipun ada wakil
masyarakat dari suatu marga tetapi wakil masyarakat tersebut dianggap tidak
representatif.
Pengembalian
Hak Sosial Budaya (Khususnya Terhadap Tanah), Masihkah Mungkin?
Provinsi Lampung sebagai
provinsi yang memiliki daratan seluas 35.288,35 km, merupakan pintu gerbang
pulau Sumatra dengan komposisi penduduk begitu heterogen dari berbagai etnik.
Pada tahun 2000 jumlah penduduknya berjumlah 6.998.535 orang. Dengan komposisi
penduduk yang cukup tinggi dan
terbatasnya kesempatan kerja serta struktur penghidupan yang bertumpu
pada sektor pertanian, maka tanah-tanah pertanian merupakan ''soko guru" perekonomian rakyat
dan negara. Pengusahaan lahan-lahan
pertanian pada kenyataannya tidak mampu mengangkat derajat kesejahteraan para
petani atau masyarakat. Keadaan demikian menimbulkan kecemburuan sosial sebagai
akibat ketidakadilan dan adanya
ketimpangan penguasaan dan pemilikan
bidang-bidang tanah tertentu. Selain itu munculnya peluang alih fungsi lahan
akibat masuknya investor besar dalam bidang perkebunan dan pertanian dapat menciptakan
kerawanan-kerawanan sosial yang dapat berkembang menjadi permasalahan yang
lebih besar.
Sampai dengan Oktober 1995
inventarisasi LBH Lampung menunjukkan kasus tanah di provinsi Lampung telah
mencapai luas 110.737,50 Ha dengan perincian s/d Desember 1993 seluas 82.240
Ha, s/d Desember 1994 seluas 105.344 Ha (meningkat 29,73%), s/d Oktober 1995
seluas 110.737,5 Ha (men ingkat 36,37%). Tipologi kasusnya meliputi
Agroindustri (18.864 ha), Kepentingan Umum (560 ha), Pariwisata (700 ha), HTI
(3.585 ha), Hutan LindUuig (61.405,47 ha), Tambak Modern (23.900 ha), Pribadi
(106 ha), Real Estate (444 ha), Perumahan (453 ha), Pertanian (720 ha).
Hasil penelitian yang
dilakukan oleh Mustofa Usman dkk. (2001) sengketa tanah yang terjadi pada
umumnya adalah antara masyarakat dengan BUMN yaitu 80% terjadi di Lampung
Selatan, masyarakat dengan perusahaan swasta sebesar 80% masing-masing di
Lampung Barat, Metro, Lampung Tengah dan
Menggala. Masyarakat dengan Instansi Pemerintah sebesar 80% terjadi di
LampungTimur. Upaya penyelesaian konflik sangat bervariasi di Lampung Utara 50%
dan di Metro, Lampung Tengah serta
Menggala 55% melalui negosiasi langsung dengan pemilik baru, sedangkan yang
melalui unjuk rasa 50% terjadi di Lampung Barat. Solusi dalam pemecahan konflik
pertanahan melalui mediator pemerintah 70% terjadi di Way Kanan, 90 % di
Lampung Selatan dan 40% di Lampung
Timur, sedangkan yang meminta bantuan tokoh adat/masyarakat 70% di Lampung
Utara, 60% di Lampung Barat dan 90% di
Tanggamus. Yang cukup menarik adalah hanya 10% terjadi di Lampung Selatan
dan 25% di Bandar Lampung mengadukan
sengketanya ke pengadilan. Sampai Desember 2001 jumlah penyelesaian kasus tanah
sebanyak 97 kasus atau 49% (BPN Provinsi Lampung, yang
diolah
oleh Biro Tapem, Maret 2002).
Mencermati data di atas,
dalam hal metode penyelesaian sengketa pertanahan, tampak terdapat
kecenderungan penyelesaian sengketa secara non-pengadilan (92,44%). Terdapat
sejumlah asumsi dasar yang dijadikan dugaan berkaitan dengan tingginya
penyelesaian sengketa secara nonpengadilan, antara lain lemahnya hakim-hakim
untuk menyelesaikan sengketa pertanahan, paradigma aturan hukum yang tidak
berpihak kepada rakyat, berlarut-larutnya eksekusi terhadap suatu keputusan
pengadilan, dan lainlain. Tidak
jelasnya jalur hukum tersebut diperparah dengan model penyelesaian pemerintah
yang cenderung represif terhadap warga, baik melalui kebijakan-kebijakan maupun
penggunaan militer sebagai jalan pintas.
Menurut catatan Konsorsium
Pembaharuan Agraria (Sumber: Kompas, 25 juni 2004), upaya
"penyelesaian" melalui tindak kekerasan terhadap petani dalam
kasus-kasus sengketa agraria di 19 provinsi sepanjang tahun 1990 - 2000
dilakukan dengan berbagai cara, yaitu penganiayaan (38), pembunuhan (14),
penembakan (21), penculikan (7), penangkapan (73), pembakaran atau perusakan
rumah (25), pembabatan atau pembakaran. tanaman (27), teror (153), intimidasi
(!98), pemerkosaan (1) dan lain-lain
(87).
Persoalan utama yang
merupakan hasil dari politik agraria di masa lampau adalah konflik-konflik
agraria dan pengelolaan sumber daya alam (SDA): bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya, yang diawali dengan pemberian hak-hak baru oleh badan
pemerintah pusat secara sektoral di atas tanah dan sumber daya alam kepunyaan
penduduk tanpa penduduk itu secara sukarela setuju atas pengalihan hak itu.
Dengan luasan dimensi konflik semacam itu, konflik agraria dan pengelolaan SDA
terkait erat dengan: (1) hilangnya akses masyarakat terhadap tanah dan SDA
lainnya; (2) kerusakan strukfur sosial masyarakat, yang didasari atas struktur
agraria yang timpang; dan (3) kerusakan kualitas SDA yang berkait langsung
dengan turunan kualitas manusia yang hidup dengan SDA yang rusak itu. Maraknya
persoalan tanah secara kuantitas maupun kualitas akhir-akhir ini khususnya di
Lampung, antara lain diakibatkan pintu keterbukaan dan kebebasan yang tercipta seiring dengan era
reformasi. Selain itu juga disebabkan gencarnya peran advokasi oleh
kelompok-kelompok sukarelawan. Menglaeda.pi ,pokok persoalan itu, banyak pihak
mempersoalkan kembali relevansi UUPA. Walau begitu, upaya meninjau kembali
relevansi UUPA selayaknya melihat kembali perjalanan politik agraria sejak masa
kolonial. hingga sekarang. Tanpa pemahaman sejarah, proses yang akan
ditempuh dan hasil yang akan dicapai sekadar akan dibelenggu oleh aliran pikir
yang bertanding saat ini saja, dan tak mampu mengenali apa sesungguhnya mandat
yang diberikan rakyat kepada pemerintah, sebagaimana yang dimaksudkan pada awal
mula pendirian Republik Indonesia.
Kebijaksanaan nasional di
bidang pertanahan ditetapkan dalam Ketetapan MPR RI Nomor II/MPR/1998 tentang
Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebagai berikut: "Penguasaan dan
penataan penguasaan tanah oleh negara diarahkan pemanfaatannya untuk mewujudkan
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Penguasaan tanah oleh negara,
sesuai dengan tujuan pemanfaatannya, perlu memperhatikan kepentingan masyarakat
luas dan tidak menimbulkan sengketa
tanah. Penataan penggunaan tanah dilaksanakan berdasarkan rencana tata ruang
wilayah untuk mewujudkan kemakmuran rakyat dengan memperhatikan hak-hak rakyat
atas tanah, fungsi sosial hak atas tanah, batas maksimum kepemilikan tanah
khususnya tanah pertanian termasuk berbagai upaya lain untuk mencegah pemusatan
penguasaan tanag dan penelantaran tanah.
Penataan penguasaan dan penggunaan penguasaan tanah untuk pembangunan skala
besar yang mendukung upaya pembangunan nasional dan daerah dilaksanakankan
dengan tetap mempertimbangkan aspek politik, sosial, pertahanan, keamanan serta
pelestarian lingkungan hidup. Penataan penguasaan dan penggunaan tanah melalui kegiatan
redistribusi tanah atau konsolidasi tanah yang disertai pemberian kepastian hak
atas tanah diarahkan untuk menunjang dan mempercepat pengembangan wilayah,
penanggulangan kemiskinan dan mencegah
kesenjangan penguasaan tanah".
Melalui penegasan pemikiran
sebagaimana tertuang di atas, ide dasar pembaharuan dan penyempurnaan Undang-Undang Pokok Agraria
(UUPA) dimantapkan lagi dengan lahirnya Ketetapan MPR No IX/MPR/2001 tentang
Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber
Daya Alam. Dari pemaparan persoalan sengketa tanah di atas, tampak bahwa akar
persoalan tidak sematamata perselisihan mengenai akses kepemilikan individual
terhadap tanah secara fisik. Bila dicermati, sesungguhnya akar konflik adalah
konsep mengenai akses hak yang bersifat asasi, yaitu hak sosial budaya
masyarakat tradisional.
Penutup
Upaya pemajuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia secara
totalitas bukanlah merupakan hal yang mudah dan
dapat dilakukan dalam waktu singkat. Upaya ini memerlukan tataran yang
bersifat terus menerus dan
berkesinambungan sebagaimana galibnya upaya pembangunan itu sendiri.
Selain itu diperlukan pula upaya yang sistematis dan sinergi antara pemerintah, masyarakat, pelaku
ekonomi dan lembaga sosial masyarakat
lainnya.
Dalam menyelesaikan
persoalan tanah ulayat harus melakukan kesepakatan-kesepakatan secara
bertingkat kampung (desa) dan
sernarga.Kesepakatan-kesepakatan pada dasarnya menyangkut :
a. Kesepakatan
tentang pengukuhan siapa yang berwenang di kampung/ tiyuh (desa).
b. Kesepakatan siapa yang berwenang mewakili
marga pada forum tertentu.
c. Perencanaan cara dan
metode yang akan dilakukan dalam penyelesaian masalah tanah dengan
mempertimbangkan berbagai aspek secara komprehensif.
Optimalisasi dan reformasi
ke arah pengembal ian hak-hak sosial budaya masyarakat terhadap hak kepemilikan
atas tanah, dapat dilakukan melalui pengakomodasian hak masyarakat tradisional
dalam bentuk:
a. melakukan
pengembangan iklim berusaha dan kehidupan bermasyarakat secara kolektif dan
saling menguntungkan;
b. meningkatkan
kemampuan masyarakattradisional berbasiskan ekonomi kerakyatan;
c. memperbaiki
perangkat hukum dan kebijakan di tingkat pemerintah daerah dan pemerintah
pusat;
d. meningkatkan
porsi dan tanggung jawab pemerintah daerah dalam berbagai kegiatan perencanaan,
implerrientasi dan kontrol pengelolaan sumber daya alam dan sejauh mungkin
menghindari pola sentralistik pengelolaan sebagaimana iklim pemerintahan
sebelumnya.
e. memberikan
jaminan hak kepemilikan atas tanah secara sah menurut ketentuan hukum yang
berlaku.
Dengan mencermati rencana
aksi nasional hak-hak asasi manusia Indonesia sejak 1998-2003 berdasarkan Keppres Nomor 129 Tahun 1988 (kemudian
direvisi dengan Keppres Nomor 61 Tahun 2003,
terakhir dengan Keppres Nomor 40
Tahun 2004) di mana
kelompok masyarakat adat dinyatakan sebagai salah satu kelompok yang rentan
menjadi sasaran aksi nasional ini, maka berbagai pihak diharapkan merumuskan
dan melakukan kajian komprehensive mengenai persiapan realisasi dari aksi
nasional ini. Mencermati perjalanan panjang sejumlah kasus sengketa tanah,
seyogyanya harus dimaknai sebagai upaya kritis terhadap penegakan hak asasi
manusia sebagai sebuah pembelajaran bagi berbagai pihak di negeri ini.
Jaminan
Aksesibilitas Bagi Penyandang Cacat Sebagai Perwujudan Pertindungan HakAsasi
Manusia
Pendahuluan
Tujuan pembangunan nasional
Indonesia adalah untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang damai, demokratis,
berkeadilan, berdaya saing, maju, dan
sejahtera, dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang didukung
oleh manusia Indonesia yang sehat, mandiri, beriman, bertakwa, berakhlak mulia,
cinta tanah air, berkesadaran hukum dan
lingkungan, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, serta memiliki etos kerja yang
tinggi dan berdisiplin. Tercapainya
tujuan pembangunan tersebut memerlukan dukungan segenap masyarakat dan pemerintah. Setiap anggota masyarakat
mempunyai hak dan kewajiban yang sama untuk
turut serta dalam pembangunan. Sebagai warga negara Indonesia, penyandang cacat
mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban
yang sama dengan warga negara lainnya.
Penyandang cacat adalah
setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental yang dapat
mengganggu atau merupakan rintangan dan
hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara layaknya. Penyandang
cacat terdiri dari tiga kelompok, yaitu:
a.
Penyandang cacat fisik, meliputi:
a.
Penyandang cacat tubuh (tuna daksa);
b.
Penyandang cacat netra (tunanetra); c. Penyandang cacat tuna wicara/rungu;
d.
Penyandang cacat bekas penderita penyakit kronis (tuna daksa lara kronis).
b.
Penyandang cacat mental, meliputi:
a.
Penyandang cacat mental (tuna grahita);
b.
Penyandang cacat eks psikotik (tuna laras);
c.
Penyandang cacat fisik dan mental atau
cacat ganda.
Jumlah penyandang cacat di
seluruh Indonesia menurut SUSENAS tahun 2000 sebanyak 1.548.005 jiwa, dan pada tahun 2002 jumlah ini meningkat 6,97%
menjadi 1.655.912 jiwa.
Jaminan atas hak dan kesempatan dalam segala aspek kehidupan
dan penghidupan para penyandang cacat
telah tercantum dalam Pasal 5 UU No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat.
Yang dimaksud dengan aspek kehidupan dan
penghidupan penyandang cacat dalam pasal tersebut di atas antara lain
meliputi aspek agama, kesehatan, pendidikan, sosial, ketenagakerjaan, ekonomi,
pelayanan umum, hukum, budaya, politik, pertahanan keamanan, olah raga,
rekreasi, dan informasi.
Aksesibilitas merupakan hal
penting dalam mewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan
dan penghidupan. Aksesibilitas adalah
kemudahan yang disediakan bagi penyandang cacat guna mewujudkan kesamaan
kesempatan dalam aspek kehidupan dan
penghidupan. jaminan atas aksesibilitas bagi penyandang cacat tercantum
dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, antara lain
ada dalam Pasal 41, 42 dan 54.
Pasal
41
1. Setiap warga negara berhak atas jaminan sosial yang
dibutuhkan untuk hidup layak serta untuk perkembangan pribadinya secara utuh.
2. Setiap penyandang cacat, orang yang berusia lanjut,
wanita hamil, dan anak-anak, berhak
memperoleh kemudahan dan perlakuan
khusus.
Pasal
42
Setiap
warga negara yang berusia lanjut, cacat fisik dan atau cacat mental berhak memperoleh
perawatan, pendidikan, pelatihan, dan
bantuan khusus atau biaya negara, untuk menjamin kehidupan yang layak
sesuai dengan martabat kemanusiaannya, meningkatkan rasa percaya diri, dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Pasal
54
Setiap
anak yang cacat fisik dan atau mental
berhak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan, dan bantuan khusus atas biaya negara, untuk
menjamin kehidupannya sesuai dengan martabat kemanusiaan, meningkatkan rasa
percaya diri, dan kemampuan berpartisipasi
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.
Jaminan Aksesibilitas Bagi Penyandang Cacat
Dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia
Upaya untuk memberikan
perlindungan hukum terhadap kedudukan, hak, kewajiban, dan peran para penyandang cacat, di samping
dengan UndangUndang tentang Penyandang Cacat, juga telah dilakukan melalui
berbagai peraturan perundang-undangan, antara lain peraturan yang mengatur
masalah ketenagakerjaan, pendidikan nasional, kesehatan, kesejahteraan sosial,
lalu lintas dan angkutan jalan,
perkeretaapian, pelayaran, penerbangan, dan
kepabeanan. Peraturan tersebut memberikan jaminan kesamaan kesempatan
terhadap penyandang cacat pada bidang-bidang yang menjadi cakupannya, dan dalam rangka memberikan jaminan tersebut
kepada perlyandang,cacat diberikan kemudahan-kemudahan (aksesibilitas).
Berbagai
peraturan perundang-undangan yang memberikan jaminan
aksesibilitas
bagi penyandang cacat, sebagai berikut:
a.
Amandemen II UUD 45 Pasal 28 H ayat (2), disebutkan:
Setiap
orang berhak mendapat kemudahan dan
perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan
dan keadilan.
b. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1974 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial. UU tersebut tidak secara
eksplisit memuat tentang penyandang cacat. Namun demikian dalam Pasal 1 sudah
disebutkan bahwa Setiap Warganegara berhak atas taraf kesejahteraan sosial yang
sebaik-baiknya dan berkewajiban untuk
sebanyak mungkin ikut serta dalam usaha-usaha kesejahteraan sosial.
Yang
dimaksudkan "Kesejahteraan Sosial" ialah suatu tata kehidupan
dan penghidupan sosial materiil maupun
spiritual yang diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan, dan ketenteraman lahir bathin, yang memungkinkan
bagi setiap Warganegara untuk mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan-kebutuhan
jasmaniah, rohaniah dan sosial yang
sebaik-baiknya bagi diri, keluarga serta masyarakat dengan menjunjung tinggi
hak-hak asasi serta kewajiban manusia sesuai dengan Pancasila. (Pasal 2 UU No.
6 Tahun 1974).
c.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1992 tentang Perkeretaapian, dalam Pasal 35
disebutkan:
(1) Penderita cacat
dan/atau orang sakit berhak memperoleh pelayanan
berupa perlakuan khusus dalam bidang angkutan kereta api.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), diatur lebit)
lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.
d.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan
Jalan, dalam Pasal 49 disebutkan:
(1) Penderita cacat berhak memperoleh
pelayanan berupa perlakuan khusus dalam bidang lalu lintas dan angkutan jalan.
(2)
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah. Pasal 71
Dengan
Peraturan Pemerintah diatur lebih lanjut ketentuanketentuan mengenai:
1.
kendaraan bermotor Angkatan Bersenjata Republik Indonesia;
2.
Penggunaan jalan untuk kelancaran:
a)
pengantaran jenazah;
b)
kendaran pemadam kebakaran yang melaksanakan tugas
ke
tempat kebakaran;
c)
kendaraan Kepala Negara atau Pemerintah Asing yang
menjadi
tamu negara;
d)
ambulans mengangkut orang sakit;
e)
konvoi, pawai, kendaraan orang cacat;
f)
kendaraan yang penggunaannya untuk keperluan khusus
atau
mengangkut barang-barang khusus.
e. Pasal 42 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang
Penerbangan:
(1)
Penyandang cacat dan orang sakit berhak
memperoleh pelayanan
berupa
perlakuan khusus dalam angkufan udara niaga.
(2)
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur lebih
lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.
f. Dalam Pasal 83
Ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992
tentang
Pelayaran disebutkan:
Penyandang
cacat dan orang sakit berhak memperoleh
pelayanan berupa perlakuan khusus dalam angkutan di perairan.
g. Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Sebagaimana UU No. 6 Tahun 1974 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial, undang-undang kesehatan tidak
secara eksplisit memberikan jaminan kepada penyandang cacat. Namun demikian
dalam Pasal 4 disebutkan bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama dalam
memperoleh derajat kesehatan yang optimal.
h. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan,
dalam Pasal 25 ayat (1) Huruf h, disebutkan bahwa: Pembebasan Bea Masuk
diberikan atas Impor barang untuk keperluan khusus kaum tunanetra dan
penyandang cacat lainnya;
i. Pasal 21 Undang-undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak:
Negara dan pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab menghormati dan menjamin hak asasi setiap anak tanpa
membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran
anak, dan kondisi fisik dan/atau mental.
Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2002 tentang Bangunan Gedung Pasal 27:
(1) Persyaratan kemudahan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 16 ayat (1) meliputi kemudahan hubungan ke, dari, dan di dalam bangunan gedung, serta kelengkapan
prasarana dan sarana dalam pemanfaatan
bangunan gedung.
(2) Kemudahan hubungan ke, dari, dan di dalam bangunan gedung sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) meliputi tersedianya fasilitas dan aksesibilitas yang mudah, aman, dan nyaman termasuk bagi penyandang cacat dan
lanjut usia.
(3) Kelengkapan prasarana dan sarana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
pada bangunan gedung untuk kepentingan umum meliputi penyediaan fasilitas yang
cukup untuk ruang ibadah, ruang ganti, ruangan bayi, toilet, tempat parkir,
tempat sampah, serta fasilitas komunikasi dan
informasi.
(4) Ketentuan mengenai kemudahan hubungan ke, dari,
dan di dalam bangunan gedung, serta
kelengkapan prasarana dan sarana
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan
ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
j.
Pasal 31:
Penyediaan fasilitas dan aksesibilitas bagi penyandang cacat dan lanjut usia sebagaimana dimaksud dalam Pasal
27 ayat (2) merupakan keharusan bagi semua bangunan gedung, kecuali rumah
tinggal.
(2)
Fasilitas bagi penyandang cacat dan
lanjut usia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), termasuk penyediaan
fasilitas aksesibilitas dan fasilitas
lainnya dalam bangunan gedung dan
lingkungannya.
(3)
Ketentuan mengenai penyediaan aksesibilitas bagi penyandang cacat dan lanjut usia sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dan a,yat (2) diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah
k. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan. Undang-undang Ketenagakerjaan memberikan jaminan bagi setiap
tenaga kerja untuk memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk
memperoleh pekerjaan dan penghidupan
yang layak. Kesempatan yang sama diberikan kepada penyandang cacat (Pasal 5).
Selanjutnya
dalam Pasal 6 dinyatakan bahwa setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan
yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha.
Selain
itu jaminan aksesibilitas wajib diberikan kepada para penyandang cacat,
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 67 Ayat (1), sebagai berikut: (1) Pengusaha
yang mempekerjakan tenaga kerja penyandang cacat wajib memberikan perlindungan
sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya.
I. Pasal
5
UU
RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional:
(1)
Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang
bermutu.
(2)
Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental,
intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan
khusus. Penyelenggaraan pendidikan bagi penyandang cacat selanjutnya telah
diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1991 tentang Pendidikan Luar
Biasa.
m. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan
Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Pasal
60:
Calon
anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan
DPRD Kabupaten/ Kota harus memenuhi syarat:
a.
warga negara Republik Indonesia yang berumur 21 (dua puluh satu) tahun atau
lebih;
b.
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c.
berdomisili di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
d.
cakap berbicara, membaca, dan menulis dalam
bahasa Indonesia; e. berpendidikan serendah-rendahnya SLTA atau sederajat;
f. setia kepada Pancasila sebagai dasar negara,
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1,945, dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945;
g. bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai
Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya, atau bukan orang yang
terlibat langsung ataupun tak langsung dalam G30S/PKI, atau organisasi
terlarang lainnya;
h.
tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap;
i. tidak sedang menjalani pidana penjara berdasarkan
putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan
tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
sehatjasmani
dan rohani berdasarkan hasil pemeriksaan
kesehatan dari dokter yang berkompeten; dan
k. terdaftar sebagai pemilih.
Persyaratan
sebagaimana tercantum dalam Pasal 60 huruf d tidak dimaksudkan untuk membatasi
hak politik warga negara penyandang cacat yang memiliki kemampuan untuk
melakukan tugasnya sebagai anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
Pasal
88
(1)
Jumlah pemilih di setiap TPS sebanyak-banyaknya 300 (tiga ratus) orang.
(2)
TPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan di tempat
yang
mudah dijangkau, termasuk oleh penyandang cacat, serta
menjamin
setiap pemilih dapat memberikan suaranya secara
langsung,
bebas, dan rahasia.
n.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, dalam Pasal 51 Ayat (2)
menyebutkan:
TPS
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan lokasinya di tempat yang mudah
dijangkau, termasuk oleh penyandang cacat, serta menjamin setiap pemilih dapat
memberikan suaranya secara langsung, bebas, dan
rahasia.
o.
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1994 tentang Pengelolaan Perkembangan
Kependudukan.
Pasal
12
(1) Pembinaan dan
pelayanan penduduk dalam rangka pengembangan kualitas penduduk dilakukan
melalui komunikasi, informasi, dan
edukasi, termasuk penyediaan sarana, prasarana dan jasa.
(2) Khusus bagi masyarakat rentan, selain cara dan bentuk pembinaan dan pelayanan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), juga dapat diberikan kemudahan-kemudahan sesuai dengan jenis hambatan yang
perlu diatasinya.
Penjelasan
Pasal 12:
Masyarakat
rentan di sini termasuk kelompok yang tidak atau kurang mendapatkan kc-sempatan
untuk berkembang sebagai akibat dari keadaan fisik dan non fiisknya, misalnya kelompok miskin,
masyarakat daerah terpencil, daerah dengan lingkungan hidup kritis, anak
terlantar, penyandang cacat, lanjut usia, dan
lain-lain.
Adapun bentuk penyediaan
pelayanan/kemudahan dapat berupa penyediaan di tempat, seperti kursi roda,
alat angkut, kamar kecil, jembatan, dan sebagainya yang sesuai dengan kebutuhan
dalam mengatasi hambatan masyarakat rentan.
Untuk pelayanan masyarakat
rentan, setiap orang yang melakukan . kegiatan pembangunan untuk kepentingan
umum perlu menyediakan alaU pelayanan bagi masyarakat rentan tersebut.
Aksesibilitas Bagi Penyandang Cacat di Indonesia
pada Kenyataannya
Pemberian aksesibilitas terhadap penyandang
cacat di Indonesia belum sepenuhnya dapat terwujud. Sebagaimana dikemukakan
dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat,
bahwa upaya perlindungan belum memadai, apalagi ada prediksi terjadinya peningkatan
jumlah penyandang cacat di masa mendatang.
Pada kenyataannya betapa
sulit seorang penyandang cacat untuk mendapatkan hak akses fasilitas-fasilitas
publik, peran politik, akses ketenagakerjaan, perlindungan hukum, akses
pendidikan, akses informasi dan
komunikasi, serta layanan kesehatan. Fasilitas lalu lintas jalan dan
alat transportasi umum di Indonesia tidak mudah diakses oleh penyandang cacat
dan orang-orang berkebutuhan khusus
lainnya (wanita hamil dan lansia).
Seorang penyandang cacat tubuh sulit menyeberang jalan dengan menggunakan
fasilitas penyeberangan jalan dengan undakan tangga yang terlalu sempit.
Seorang penyandang cacat netra akan merasa kesulitan untuk menyimak marka-marka
jalan dan papan informasi umum (/akarta Mitra Online, 12/13/2001).
Aksesibilitas di bidang
pendidikan bagi para penyandang cacat di Indonesia masih sangat kurang.
Kemampuan pemerintah dalam menyediakan fasilitas untuk menjangkau semua anak
cacat minim, karena 80% tempat pendidikan dikelola swasta sementara pemerintah
hanya 20%. Dari 1,3 juta anak penyandang cacat usia sekolah di Indonesia, baru
3,7 persen atau sebanyak 48.022 anak yang bisa menikmati bangku pendidikan.
Sementara yang 96,3 persen, masuk dalam pendidikan nonformal, tetapi jumlahnya
diperkirakan tidak lebih dari 2 persen. Saat ini terdapat 1.338 sekolah luar
biasa (SLB) untuk berbagai jenis dan jenjang ketunaan. Sementara jumlah siswa
yang terdaftar di Direktorat Pendidikan Luar Biasa sebanyak 12.408 anak.
Kesulitan dalam mendapatkan akses pendidikan dan pelatihan, mengakibatkan akses
untuk memperoleh pendidikan juga tidak mudah. Selanjutnya hal itu berimplikasi
pada penghasilan dan berantai pada gizi
dan kesehatan generasi penerusnya
(Gloria Cyber Ministries, 2004).
Masih adanya hambatan bagi
penyandang tunanetra dalam kemandirian dalam mengakses uang. Setiap tunanetra
di Indonesia secara individual memiliki cara tersendiri untuk mengetahui setiap
pecahan uang yang tersimpan di dompetnya. "Bertanya kepada orang
lain" adalah salah satu cara yang lazim dilakukan. Tapi cara ini menjadi
berisiko tinggi ketika orang, kepada siapa sang tunanetra bertanya, adalah
orang asing yang tidak memiliki itikad baik. Bisa dibayangkan kejadian apa yang
akan menimpa tunanetra tersebut. Untuk mengatasi hal ini diperlukan "Blind Code" agar mata uang
mudah diakses oleh penyandang cacat tunanetra. Bank Indonesia merencanakan
untuk mencantumkan "Blind
Code" pada pecahan mata uang Rupiah kertas yang akan diedarkan
mendatang (kira-kira dua atau tiga tahun lagi) (Jakarta Mitra Online, 3/14/2003).
Diskriminasi juga terjadi
pada pelayanan perbankan. Seorang tunanetra tidak dapat secara mandiri
melakukan transaksi. Tunanetra tidak dapat melakukan transaksi perbankan,
karena dianggap tidak cakap hukum. Oleh karenanya, harus menguasakannya kepada
orang lain (yang bukan tunanetra), dan
pemberian kuasa tersebut harus disahkan oleh notaris.
Masih terjadi pengabaian hak
politik penyandang cacat dalam Pemilu, antara lain:
a)
Hak untuk didaftar guna memberikan suara; b) Hak atas akses ke TPS;
c)
Hak atas pemberian suara yang rahasia;
d)
Hak untuk dipilih menjadi anggota legislatif;
e)
Hak atas informasi termasuk informasi tentang Pemilu;
f) Hak untuk ikut menjadi pelaksana dalam
Pemilu, dan lain-lain.
Meskipun persentasenya kecil
(hanya sekitar 0,5%) dibandingkan dengan jumlah pemilih yang 147 jiwa, namun mereka tetap
mempunyai hak sama dengan warga negara lainnya untuk berperan serta dalam
Pemilu. Pada Pemilih legislatif tahun 2004,
hanya beberapa daerah yang memberikan perhatian khusus bagi penyandang
cacat, dengan memberikan alat bantu guna mempermudah akses penyandang cacat
(Era Muslim, 18/03/2004). Berdasarkan
data yang diperoleh para relawan yang diterjunkan oleh )aringan Masyarakat
Pemantau Pemilu Indonesia (JAMPPI), lembaga tersebut menyatakan bahwa Komisi
Pemilihan Umum (KPU) dengan sengaja mengabaikan hak penyandang cacat untuk
mendapatkan aksesibilitas dalam Pemilu 5 April 2004. Dari data yang berhasil dikumpulkan sampa tanggal 27 April 2004, yaitu data dari 13.609
TPS, didapatkan fakta sebagai berikut: 6.498 TIPS (48%) tidak menyediakan surat suara khusus bagi
pemilih tunanetra, 2.747 TPS (20,1%) bilik
suara sulit diakses pemilih penyandang cacat, 1.973 TPS (14%) kotak suara tidak mudah dicapai bagi pemilih
penyandang cacat, 1.383 TPS (10,4%) penyandang
cacat tidak bisa memilih sendiri pendampingnya untuk mencoblos.
Selain yang dikemukakan di
atas, masih banyak lagi diskriminasi dan kesulitan aksesibilitas yang dialami
oleh penyandang cacat di Indonesia.
Mewujudkan
Kesamaan Hak dan Kesempatan Bagi Penyandang Cacat Setiap
perundang-undangan tertulis di dalamnya terkandung suatu misi atau tujuan
tertentu yang hendak dicapai. Lahirnya suatu perwndangundangari tertulis baru
merupakan suatu titik awal untuk mencapai tujuan yang dinginkan. Upaya untuk
meningkatkan kesejahteraan sosial penyandang cacat berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945 adalah
untuk mewujudkan kemandirian dan kesejahteraan bagi penyandang cacat.
Pemerintah mempunyai
kewajiban dan tanggung jawab untuk menghormati, melindungi, dan memajukan hak
asasi manusia, dalam hal ini adalah hak-hak para penyandang cacat. Kewajiban
pemerintah tidak hanya berhenti pada kebijakan formulatif (pembuatan peraturan
perundangundangan) saja, namun juga pada kebijakan aplikatif serta kebijakan
eksekutif. Aspek substansi hukum yang menjamin aksesibilitas bagi penyandang
cacat dari segi jumlah peraturan perundang-undangan di Indonesia sudah cukup
memadai. Namun perumusannya lebih banyak yang bersifat negatif, yaitu
memberikan hak bagi para penyandang cacat. Perumusan negatif ini antara lain
jaminan hak penyandang cacat di bidang kesejahteraan sosial, perkeretaapian,
lalu lintas jalan, penerbangan, pelayaran, kesehatan, dan pendidikan. Perumusan
positif, yaitu kewajiban untuk memberikan aksesibilitas bagi penyandang cacat
antara lain ada pada ketentuan tentang perlindungan anak, bangunan gedung, dan
ketenagakerjaan. Pelanggaran atas kewajiban tersebut diancam dengan sanksi,
baik sanksi pidana maupun sanksi administrasi.
Namun dilihat dari aspek
struktur dan budaya hukum, belum sepenuhnya menunjang bagi perwujudan
kemandirian dan kesejahteraan para penyandang cacat, sehingga banyak ketentuan
yang ada dalam peraturan perUmdang-undangan belum dapat dilaksanakan. Untuk itu
perlu dilakukan suatu Affirmative
Action.
Affirmative
Action untuk
mewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan
bagi penyandang cacat. Penyandang cacat berhak mendapatkan perlakuan khusus.
Aksi ini mengarah pada penyadaran publik akan hak-hak penyandang cacat dan
kewajiban mereka untuk berperan aktif dalam berinteraksi sosial yang sehat dan
wajar. Aksi tersebut membutuhkan strategi sosialisasi yang efektif, menyangkut:
a) Pola penyadaran integral antar pemerintah, penyandang
cacat dan masyarakat pada umumnya sehingga memunculkan suatu sinergi. Pola
tersebut meliputi:
a. Peningkatan pengetahuan penyandang cacat akan
hak-haknya, misalnya melalui seminar, penyebaran lembar informasi (info sheet), dialog publik, media
center, memasukan materi perundangundangan penyandang cacat ke dalam kurikulum
pendidikan dan sebagainya.
b.
Implementasi perundang-undangan dari tingkat pusat hingga daerah.
c.
Melakukan advokasi hukum penyandang cacat dalam memperjuangkan hak-haknya.
b) Pola pembudayaan dari sosialisasi sinergis di atas.
Pola pembudayaan ini sepertinya yang tersulit. Karena, bercermin dari
kasus-kasus yang terjadi di negeri ini, memerlukan waktu yang lama dan dengan strategi pembudayaan yang kontinyu
serta simultan dengan melibatkan masyarakat yang sudah "tersadarkan" (/akarta Mitra Online, 12/13/2001).
Pemberdayaan masyarakat
dalam mengupayakan aksesibilitas dapat menunjang upaya mewujudkan aksesibilitas
bagi penyandang cacat di Indonesia. Pemberdayaan dalam hal ini dimaksudkan
sebagai usaha yang memungkinkan masyarakat bisa ambil bagian, baik dalam
mengaktualisasikan aspirasi dan kepentingannya secara bebas dan dilindungi,
juga untuk ambil bagian dalam perumusan kebijakan-kebijakan negara yang
menentukan nasib mereka.
Pemberdayaan masyarakat
merupakan upaya yang didasari oleh prinsip pemihakan kepada mereka yang lemah
dan dilemahkan, agar mereka mempunyai posisi tawar sehingga mampu memecahkan
masalah dan mengubah kondisi dan posisinya.
Pemberdayaan dalam pengertian ini meliputi langkah perbaikan kualitas hidup
rakyat, yang tidak hanya diukur dari peningkatan kesejahteraan yang bersifat
ekonomis, tetapi juga kuasa dalam pengambilan keputusan di semua tingkatan.
Pemberdayaan dalam arti ini berarti usaha mendorong proses transformasi relasi
kuasa yang timpang, menjadi relasi baru yang adil dan setara (M. Syahbuddin
Latief, 1999: 197).
Partisipasi masyarakat dalam
rangka mewujudkan kemandirian dan
kesejahteraan penyandang cacat antara lain dengan membentuk kelompokkelompok
organisasi kemasyarakatan. Di Indonesia terdapat lebih dari 50 organisasi
kemasyarakatan yang kegiatannya bergelut di berbagai kegiatan dalam rangka
pemberdayaan dan meningkatkan kemandirian penyandang cacat. Kegiatan tersebut
antara lain dilakukan dengan menyelenggarakan pembinaan, pendidikan,
penelitian, pelatihan, maupun advokasi bagi penyandang cacat. Organisasi
kemasyarakatan ini sangat diperlukan dalam melakukan affirmative action guna mewujudkan tujuan yang hendak dicapai,
yaitu untuk mewujudkan kemandirian dan kesejahteraan penyandang cacat.
Organisasi seperti itu diharapkan dapat menjembatani para penyandang cacat
dengan penentu kebijakan. Organisasi kemasyarakatan mempunyai kekuatan pressure
group dalam memperjuangkan
hak-hak para penyandang cacat yang termasuk kelompok masyarakat rentan.
Pola penyadaran internal
para penyandang cacat itu sendiri sangat penting. Hanya sedikit penyandang
cacat di Indonesia yang mempunyai kesadaran akan hak-haknya dan gigih dalam
memperjuangkan hak dan kewajibannya. Perasaan inferior merupakan problem
psikologis yang cenderung dimiliki oleh kebanyakan para penyandang cacat
terutama yang tinggal di pelosok dan yang tidak mengenyam pendidikan yang lebih
tinggi. Perasaan inferior karena problem/keterbatasan fisikal dan seolah nrimo akan takdir yang menimpanya
seakan dijadikan legitimasi untuk tidak berpikir kritis, berjuang lebih keras,
tidak mudah menyerah dan bersikap wajar. Kemudahan pelayanan dan perlakuan
khusus tidak dengan serta merta membuat para penyandang cacat untuk terus
terlena menikmatinya. Hambatan-hambatan psikologis inilah yang pertama kali
harus dihilangkan (Jakarta Mitra Online,
12/13/2001).
Penutup
Sederetan undang-undang yang
menyangkut penyandang cacat di atas baru merupakan titik awal dalam rangka
mencapai kesamaan kesempatan dalam aspek kehidupan dan penghidupan masyarakat
penyandang cacat, guna mewujudkan kemandirian dan kesejahteraan penyandang
cacat. Upaya mewujudkan kemandirian dan kesejahteraan penyandang cacat
merupakan tanggung jawab bersama pemerintah, masyarakat, keluarga, dan
penyandang cacat sendiri. Hal ini tidak akan terwujud tanpa ada suatu struktur
sosial yang mendukung.
Upaya
Hukum Sebagai Instrumen Pemberdayaan Budaya Hukum
Dalam
Pertindungan HAM di Indonesia
Pendahuluan
Pemberdayaan budaya hukum
merupakan tema sentral yang sangat relevan dengan upaya perlindungan Hak Asasi
Manusia (HAM) di Indonesia. Sejauh ini kondisi perlindungan HAM di Indonesia
masih belum sesuai dengan harapan masyarakat. Pernyataan ini didukung oleh
argumentasi berupa masih seringnya terjadi pelanggaran HAM di Indonesia.
Pembuat kebijakan legislatif dalam pernyataan yang dicantumkan dalam penjelasan
UndangUndang tentang HAM (UU No. 39/1999) mengakui bahwa pada kenyataannya
selama lebih lima pull tahun usia Republik Indonesia, pelaksanaan penghormatan,
perlindungan atau penegakan HAM masih jauh dari memuaskan.
Serangkaian istilah yang
menjadi tema sentral tersebut di atas memerlukan kesamaan penafsiran. Upaya
memberikan penafsiran terhadap peristilahan dalam tema sentral tersebut dengan
mempergunakan metode penafsiran yang sama akan menemui kesulitan mengingat
suatu metode penafsiran yang dipilih tidak dapat memberikan jawaban yang tuntas
untuk masing-masing isi•ilah.'
Perlindungan HAM merupakan
istilah yang sangat luas maknanya. Undang-Undang tentang HAM tidak memberikan
penafsiran yang lengkap
terhadap istilah perlindungan tersebut.
Penjelasan Undang-Undang tentang HAM, khususnya penjelasan Pasal 8 hanya
menyatakan, "Yang dimaksud dengan 'perlindungan' adalah termasuk pembelaan
HAM".' Atas dasar penjelasan singkat seperti itu, kiranya tidak terlalu
berlebihan apabila ditafsirkan pengadilan HAM sebagai media pemberdayaan budaya
hukum dalam perlindungan HAM di Indonesia.
Pada dasarnya terdapat
pengakuan yang tegas dalam Undang-Undang tentang HAM atas penggunaan upaya
hukum nasional dan forum internasional
atas semua pelanggaran HAM di Indonesia. Salah satu media dari upaya hukum tersebut
adalah pengadilan HAM. Meskipun usia Pengadilan HAM di Indonesia masih relatif
sangat muda, namun demikian tampaknyia terdapat harapan yang tinggi
dari masyarakat atas kehadiran pengadilan HAM sebagai benteng terakhir
pencapaian keadilan demi tegaknya hukum yang melindungi HAM di Indonesia.
Atas dasar uraian singkat
yang dijadikan latar belakang tersebut, tulisan sederhana ini bermaksud Lrntuk
mendeskripsikan hubungan penggunaan upaya hukum nasional dan forum internasional untuk membela dan memulihkan hak-hak anggota masyarakat yang
secara asasi telah dilanggar. Uraian yang dilakukan, meskipun tidak secara
spesifik, juga menyangkut pada penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM
yangterjadi sebelum diundangkannya UndangUndang tentang Pengadilan HAM seperti
yang dicontohkan pada kasuskasus yang terjadi di seputar peristiwa reformasi
tahun 1998. Melalui deskripsi ini diharapkan dapat disampaikan suatu pemahaman
tentang upaya hukum yang secara proporsional dapat ditempuh dalam penyelesaikan
kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia.
Optimalisasi
Institusi Perlindungan HAM
Undang-Undang tentang HAM
(UU No. 39 Tahun 1999) dalam bab tentang asas-asas dasar menyatakan bahwa hak
setiap orang untuk menggunakan semua upaya hukum nasional dan forum internasional atas semua pelanggaran
HAM yang dijamin oleh hukum Indonesia dan
hukum internasional mengenai HAM yang telah diterima negara Republik
Indonesia. Penjelasan lebih lanjut ketentuan tersebut menyatakan bahwa yang
dimaksud dengan "upaya hukum" adalah jalan yang dapat ditempuh oleh
setiap orang atau kelompok orang untuk membela dan memulihkan hak-haknya yang
disediakan oleh hukum Indonesia seperti halnya Komnas HAM atau oleh pengadilan,
termasuk upaya Umtuk naik banding ke Pengadilan Tinggi, mengajukan kasasi dan
peninjauan kembali ke Mahkamah Agungterhadap putusan pengadilan tingkat pertama
dan tingkat banding. Mereka yang ingin menegakkan HAM dan kebebasan dasarnya
diwajibkan untuk menempuh semua upaya hukum tersebut pada tingkat nasional
terlebih dahulu (exhaustion of
local remedies) sebelum menggunakan forum baik di tingkat regional maupun
internasional, kecuali bila tidak mendapat tanggapan dari forum tingkat
nasional.
Beberapa ketentuan yang
terdapat dalam Undang-Undang tentang HAM seperti ketentuan tentang "upaya
hukum" tersebut kemudian ditindaklanjuti oleh Undang-Undang tentang
Pengadilan HAM (UU No. 26 Tahun 2000). Salah satu ketentuan Undang-Undang
tentang Pengadilan HAM menyatakan bahwa Pengadilan HAM bertugas dan berwenang
memeriksa dan memutuskan perkara pelanggaran HAM yang berat. Namun terhadap
pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum diundangkannya undang-undang
tersebut, akan diperiksa dan diputuskan oleh Pengadilan HAM ad hoc yang dibentuk oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berdasarkan peristiwa tertentu dengan
Keputusan Presiden. Ketentuan tersebut mengesampingkan asas legalitas yang dianut
dalam sistem hukum pidana Indonesia, meskipun untuk penerapannya terdapat
persyaratan lain yang harus ditetapkan yaitu adanya persetujuan lembaga
legislatif (political wisdom) untuk
pemberlakuan ketentuan yang bersifat retroaktif tersebut.
Pada beberapa kasus-kasus
yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-Undang tentang HAM seperti contoh
kasus-kasus di seputar reformasi 1998 dan telah menarik perhatian masyarakat,
seperti Peristiwa Trisaksi dan Semanggi I/II, lembaga legislatif telah
memutuskan tidak adanya pelanggaran HAM berat dalam kasus-kasus tersebut.
Keputusan yang ditetapkan lembaga legislatif tersebut tidak berarti menjadikan
warga masyarakat (terutama keluarga korban) berhenti mencari upaya hukum. Oleh
karena itu apabila tidak terdapat penyelesaian hukum yang tuntas atas
kasus-kasus tersebut, maka akan terdapat beberapa implikasi atas putusan
lembaga legislatif tersebut:
a.
Kasus tersebut tidak terselesaikan oleh Pengadilan HAM (ad hoc);
b. Warga masyarakat (dalam hal ini terutama keluarga
korban) dapat mendesak lembaga legislatif (terutama kepada anggota legislatif
yang baru terpilih dalam Pemilu 2004) untuk menyatakan kembali bahwa
kasus-kasus tersebut sebagai pelanggaran HAM berat. Upaya ini tidak mempunyai
konsekuensi mengingat putusan lembaga legislatif bukan putusan lembaga
pengadilan sehingga tidak mengenal asas tidak bisa diadili untuk yang kedua
kalinya atau yang di dalam dunia peradilan dikenal sebagai ne bis in idem.
c. Apabila terdapat ketidakmampuan lembaga pengadilan
nasional (unable) sebagai lembaga penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM
berat tersebut, maka sesuai dengan principle
of complementary jurisdiction
(sebagaimana terdapat dalam Pasal 1 dan Pasal 17 Statuta Roma)3
International Criminal Court
dapat diterapkan untuk menyelesaikan kasus-kasus tersebut.
Oleh karena Undang-Undang
tentang HAM telah mengamanatkan bagi warga negara yang mempergunakan upaya
hukum agar sedapat mungkin mempergunakan terlebih semua upaya hukum pada
tingkat nasinal (exhaustion of local
remedies), maka perlu ada upaya untuk memberdayakan institusi-institusi
tingkat nasional yang dapat menjadi media bagi perlindungan HAM di Indonesia.
Beban kewajiban ini ada pada Pemerintah sebagaimana yang telah diamanatkan
dalam Undang-Undang tentang HAM tersebut yang dengan tegas menyatakan
perlindungan, pemajuan, penegakkan dan pemenuhan HAM terutama menjadi tanggung
jawab Pemerintah.
Sebagai tindak lanjut dari
Undang-Undang tentang HAM, Pemerintah mengeluarkan
Keputusan Presiden tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM).
Terdapat beberapa ketentuan pokok tentang kegiatan dalam RANHAM yang berkaitan
dengan upaya hukum ini, yaitu:
a.
Pembentukan dan penguatan institusi pelaksana RANHAM;
Institusi
pelaksana RANHAM baik di tingkat nasional maupun daerah dibentuk agar tujuan
RANHAM dapat tercapai yaitu untuk menjamin peningkatan penghormatan, pemajuan,
pemenuhan dan perlindungan HAM di Indonesia dengan mempertimbangkan nilai-nilai
agama, adatistiadat, dan budaya Bangsa Indonesia.
b.
Diseminasi dan pendidikan HAM;
Keberhasilan
upaya penghormatan, pemajuan, pemenuhan dan perlindungan HAM suatu bangsa
sangat ditentukan oleh pemantapan budaya penghormatan HAM dari bangsa tersebut
melalui usaha-usaha secara sadar untuk menyemaikan, menumbuhkan, dan
meningkatkan pengetahuan dan rasa kesadaran seluruh anggota masyarakat.
Penghormatan,
pemajuan, pemenuhan dan perlindungan HAM memerlukan proses panjang mengingat
sifat HAM yang sarat nilai.
c.
Penerapan norma dan standar HAM;
Penerapan
norma dan standar HAM ditujukan untuk meningkatkan penghormatan, pemajuan,
pemenuhan dan perlindungan HAM pada umumnya maupun yang bersifat khusus.
Program kegiatan perlindungan dan pemenuhan HAM yang umum meliputi perlindungan
hak sipil dan politik, serta yang khusus berkaitan dengan perlindungan dan
pemenuhan hak kelompok rentan (seperti anak, perempuan dan penyandang cacat),
penghapusan diskriminasi dalam segala bentuk serta penyelesaian kasus
pelanggaran HAM berat
Diseminasi dan pendidikan
HAM sebagai bagian dari program utama RAN HAM merupakan kegiatan yang cukup
memegang peran penting. Aspek lain dari pendidikan HAM yang berkaitan dengan
upaya hukum yang pada dasarnya menyangkut pelaksanaan tanggung jawab pemerintah
mencakup:
a. Pendidikan HAM harus menjadi bagian program pelatihan
pada semua tingkat di jajaran birokrasi negara;
b. Peningkatan
kesadaran unsur dalam sistem peradilan pidana (serta anggota lembaga perwakilan
rakyat/parlemen) melalui pemahaman bahwa tugas mereka adalah mengupayakan terpenuhinya
upaya-upaya perlindungan HAM;
c.
Berkaitan dengan pendidikan bagi unsur sistem peradilan pidana ini VP.
Srivastav mengatakan "It is important that law enforcement official's are aware not of their own obligation under
human rights instrument but are in a position to invoke their understanding of
obligation of other professions under these instrument".'
d.
HAM seharusnya menjadi bagian kurikulum pendidikan pada semua tingkatan pendidikan
(tingkat dasar, menengah dan tinggi);
e. Kalangan media massa mempunyai peran penting dalam
pembentukan opini masyarakat tentang HAM. Mereka dapat memberikan orientasi
positif dan memberi arah gerakan perlindungan HAM.
Selain melalui pengadilan,
upaya hukum lain yang dapat dilaksanakan oleh mereka yang ingin memulihkan dan
membela hak-haknya adalah melalui lembaga-lembaga seperti Komisi Nasional Hak
Asasi Manusia (KOMNAS HAM) atau Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).
KOMNAS HAM adalah institusi
yang dibentuk dengan tujuan untuk mengembangkan kondisi yamg kondusif bagi
pelaksanaan HAM sesuai dengan Pancasila, UUD 1945 dan Piagam PBB, serta
Deklarasi Universal HAM. Pembentukan institusi KOMNAS HAM oleh Pemerintah
didengungkan sebagai bukti komitmen Pemerintah untuk mewujudkan penghormatan,
pemajuan, pemenuhan dan perlindungan HAM di Indonesia. Pada awalnya lembaga
ini dibentuk melalui Keppres No. 50 Tahun 1993 untuk mengantisipasi
perkembangan dan tuntutan global terutama setelah diselenggarakannya Deklarasi
dan Program Aksi di bidang HAM
(Vienna
Declaration and Programme of Action of the World Conference on
Human Rights) tahun 1993 di Wina Austria.
Pembentukan KOMNAS HAM kemudian dikukuhkan dengan UU No. 39 Tahun 1999.
Selama lebih dari 10 tahun
kiprahnya dalam upaya penghormatan, pemajuan, pemenuhan, dan perlindt.rngan HAM
di Indonesia, KOMNAS HAM telah mencatat berbagai keberhasilan dan kegagalan
pelaksanaan HAM tersebut. Tercatat berbagai kasus yang berhasil dituntaskan
oleh KOMNAS HAM yang berakhir dengan diputuskannya kasus melalui pengadilan HAM
seperti kasus pelanggaran HAM berat Timor Timur, Tanjung Priok dan juga
Abepura.
Alternatif lain di luar
pengadilan HAM, penyelesaian pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum
diundangkannya Undang-Undang tentang HAM adalah melalui Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi. Penjabaran lebih terperinci berkenaan dengan Komisi ini sedangkan
dipersiapkan untuk diwadahi dalam bentuk undang-undang.
Pembentukan Komisi Kebenaran
dan Rekonsiliasi di beberapa negara memang telah berhasil menyelesaikan
berbagai masalah pelanggaran HAM berat yang terjadi pada masa-masa yang lalu di
negara-negara yang bersangkutan. Negara Afrika Selatan dan Guatemala merupakan
negara yang sering dijadikan rujukan keberhasilan penyelesaian pelanggaran HAM
berat melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasinya. Dalam konteks kebijakan
kriminal, penerapan penyelesaian pelanggaran HAM berat di luar pengadilan
menunjukkan bahwa sarana lain di luar hukum pidana (kebijakan non penal) dapat
pula diterapkan secara efektif dalam menyelesaikan suatu tindak pidana.
Penerapan kebijakan penal dan penal ini dapat bersifat komplementer. Berkaitan
dengan fungsi keduanya, anfred Nowakb menyatakan:
"Investigating crime against
human rights and prosecuting the perpetrators
is thus important from another
point of view as well, which is to render justice to victims of human rights violation and thus, to facilitate the
democratic reconstruction and
peace process that is often necessary
in the wake of some of the most serious human rights
violations. In some case, such
as South Africa and Guatemala, victims
were
encouraged to take the thorny road
of coming to terms with the
past with the help of a truth and reconciliation
commission, but in other cases criminal
law seems to be the only tool
available to find the truth and
to seek justice."
Uraian tentang pengadilan
HAM, Komisi Nasional HAM dan juga Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi menunjukkan
beberapa upaya hukum yang dapatdipergunakan untuk mencapai kondisi yang
memberikan penghormatan dan perlindungan HAM. Keberhasilan implementasi
upaya-upaya hukum tersebutsangat tergantung dari berbagai aspek yang tidak
hanya cukup bersifat substansialdan struktural tetapi juga yang tidak kalah pentingnya
adalah aspek kulturalnya. Tugas penghormatan, pemajuan, pemenuhan dan
perlindungan HAMdari berbagai aspek (substansial, strukural dan kultural)
memang terutamamerupakan kewajiban dan tanggung jawab Pemerintah. Namun
demikian,tanpa partisipasi masyarakat sangat diragukan upaya tersebut akan
dapat berhasil
dengan baik. Unsur (kelompok) masyarakat yang sangat peduli dengan bidang HAM,
termasuk dalam aktivitas melakukan upaya hukum, dalam dekade terakhir mengalami
pertumbuhan yang cukup pesat. Beberapa kelompok masyarakat tersebut (Lembaga
Swadaya Masyarakat-LSM/NonGovermental Organization-NGO) bergerak dalam lingkup
nasional seperti ELSAM, PBHI,KONTRAS, LBH, dan lain-lain. Secara umum memang
tidak dijumpai pengakuan universal yang menyangkut definisi hukum dari NGO ini.
Pada umumnya kelompok ini adalah organisasi swasta yang bersifat non profit
dengan pola keanggotaan yang bersifat sukarela. Mereka bekerja untuk pemajuan
dan perlindungan HAM dalam perspektif yang cukup luas dan sangat independen
dari pemerintah.' Keberadaan kelompok-kelompok masyarakat ini merupakan sarana
bagi pemajuan dan perlindungan HAM serta sebagai tujuan untuk keberhasilan
perwujudan masyarakat sipil yang demokratis.
Penutup
Keberhasilan pelaksanaan
upaya hukum sebagai instrumen pemberdayaan budaya hukum dalam perlindungan HAM
di Indonesia sangat ditentukan oleh kesinergisan beberapa aspek yang ada di
dalamnya baik berupa aspek substansial, struktural maupun kultural. Penghormatan
dan perlindungan HAM melalui penyelesaian pelanggaran HAM dapat dilaksanakan
tidak saja mengedepankan institusi Pengadilan, tetapi pemberdayaan institusi
lain seperti Komisi Nasional HAM, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi serta
berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat yang ada. Terpenuhinya peran berbagai
institusi tersebut merupakan wujud dari perlindungan HAM sebagai prakondisi
dari pembangunan masyarakat sipil di Indonesia.
HAM
Datam Perspektif Penerapan Asas Peradi lan Perdata Agama
Pendahuluan
Dalam perspektif
sosio-historis Islam, hukum dan hak asasi manusia diformulasikan sarat dengan
muatan nilai kemaslahatan dan keadilan. Konsep dlaruriat al-khamsah (lima hak dasar manusia) seperti
dikemukakan Imam Abu al-Ma'ali al-Juwainy (419-478 H) dan al- Ghazaly (401-514 H/10581111 M) menjelaskan bahwa hak asasi manusia
dan hukum dilegislasikan untuk
kepentingan memelihara agama (hifdl
al-din), memelihara jiwa (hifdl
al-nafs), memelihara akal (hifdl
al-'aql), memelihara harta (hifdl
al-'irdl), dan memelihara
keturunan (hifdl al-nasi).
Karena itu, dalam
memformulasikan hukum dan hak asasi mant_rsia yang menjadi watak bagi hakim
peradilan agama dalam melaksanakan peran, fungsi dan kewenangan peradilan
berpegang pada asas "legal itas" yang diatur dalam Pasal 58 Ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989,
yakni 'Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan
orang",' khusus untuk peradilan agama kewenangan "absolutnya"
terbatas pada perkara-perkara tertentu antara orang-orang yang beragama Islam
di bidang; perkawinan, kewarisan dan
hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam, wakaf dan shodaqah.2 Tampaknya, asas legalitas tersebut
sekaligus berbarengan dengan penegasan hak asasi manusia berkenaan dengan
persamaan hak dan derajat setiap orang yang berperkara di muka sidang
pengadilan. Memang asas legalitas itu sendiri pada hakekatnya termasuk salah
satu bentuk dari hak asasi, yakni hak asasi yang berkenaan dengan "hak
perlindungan hukum"3 sehingga dalam pasal tersebut tergabung
dua jenis hak asasi, yakni hak asasi perlindungan hukum dan hak asasi persamaan
hukum.
Makna
Asas Legalitas
Pengertian legalitas sebagai
bentuk hak asasi berkenaan dengan hak perlindungan hukum, pada prinsipnya sama
dengan pengertian rule of law. Pengadilan
mengadili menurut hukum sama maknanya dengan pengadilan mengadili berdasar rule of law. )ika asas legalitas
dipandang sebagai bentuk perlindungan hukum dikaitkan dengan kedudukan Negara
Republik Indonesia adalah "Negara Hukum", sudah sewajarnya pengadilan
yang berfungsi dan berwenang menegakkan hukum harus berpijak dan berlandaskan
atas hukum. Dengan demikian akan terjadi suatu kesatuan tindakan dan arah law
inforcement menurut rule of law. Ini
berarti hakim yang berfungsi dan berwenang menggerakkan jalannya roda peradilan
melalui badan peradilan agama, tidak boleh bertindak di luar hukum. Semua
tindakan yang dilakukan dalam rangka menjalankan fungsi dan kewenangan
peradilan harus menurut hukum; mulai dari pemanggilan, penyitaan, pemeriksaan
di persidangan, putusan yang dijatuhkan dan eksekusi putusan, harus berdasar
atas hukum. Tidak boleh menurut selera dan kemauan hakim, tapi harus menurut
kehendak dan kemauan hukum. Hukum harus berada di atas segala-galanya. Hukum
yang memegang "supremasi" dan "dominasi".
Hakim dan siapapun dalam
menjalankan fungsinya harus takluk di bawah supremasi dan dominasi hukum. Hakim
dilarang menjatuhkan putusan yang bertentangan dengan hukum demikian juga pihak
yang berperkara tidak dibenarkan meminta suatu putusan yang tidak dibenarkan
hukum. Inilah penggambaran ideal makna asas legalitas dari sudut pendekatan
"teoritis". Tetapi apa yang dicita-citakan dalam asas legalitas ini,
masih jauh dari kenyataan. Masih banyak terjadi penyimpangan dan pelanggaran
hukum dan hak asasi manusia oleh para penegak hukum,
Pelanggaran hukum dan hak
asasi manusia oleh penegak hukum terkadang dilakukan dengan sadar dan sengaja,
dan juga terkadang karena kecongkakan kekuasaan atau arrogance of power sebagian penegak hukum yang
menganggap dirinya sebagai alat kekuasaan atau instrument of pawer.4 Mereka menuntut
penghormatan dan pelayanan dari pencari keadilan, dan sering lupa bahwa hakim
adalah abdi penegak hukum dan keadilan.
Penegakan hukum melalui
badan peradilan dihadapkan pada permasalahan pengertian hukum itu sendiri.
Pengertian hukum dapat dilakukan melalui berbagai bentuk pendekatan; yakni
hipotesis filosofis atau falsafah hukum, sosiologis, positivisme, dan realisme.
Ragam pendekatan ini berbeda clengan sudut pandang syari'at Islam (hukum Islam). Menurut hukum Islam, hukum berarti
syariat yaitu "sumber
segala kehidupan" berkenaan dengan nilai hukum, moral dan etika.
Hukummenurut pandangan syari'at adalah
"ketentuan-ketentuan sikap yang tidak berubah dan juga sarana-sarana pokok
untuk menyesuaikan diri dengan perubahan.s Hukum bukanlah hasil ciptaan
manusia. Hukum adalah "wahyu Allah" yang datang dari padanya sebelum
suatu masyarakat ada. Pada hukum Barat lebih menitikberatkan pada sudut pandang
"eksidental", hukum lahir dari masyarakat dan dibuat masyarakat untuk
kepentingan ketertiban masyarakat secara "temporal".
Jika sudut pandang di atas
diambil mulai dari segi pendekatan filosofis, sosiologis, positivisme, dan syari'ah,
maka dalam konteks pembicaraan penegakan hukum berdasarkan legalitas,
berarti cara pendekatan untuk memahami apa yang disebut hukum adalah semua
peraturan dan perundangundangan yang
sah, dibuat oleh lembaga yang berwenang untuk itu.
Itulah pengertian hukum
dalam arti sempit dilihat dari sudut pendekatan paham positivisme. Akan tetapi
pandangan sempit ini telah diperluas oleh ajaran sosiologi dan pandangan realisme. Sehingga sudah
dikembangkan pengertian dan praktek yang
menegaskan hukum adalah segala nilai normatif yang bersumber dari ketentuan
peraturan perundang-undangan serta segala nilai normatif yang bersumber dari
kekuatan nilai agama, moral, ekonomi, kultur, kebiasaan dan kepatutan. Semua
kekuatan nilai normatif yang bersumber dari komponen tersebut adalah aturan
hukum yang melingkari kesadaran dan
kehidupan masyarakat.
Semua nilai normatif yang
berkembang dari komponen sumber nilai tersebut merupakan rule of law dari suatu masyarakat. Dengan
demikian maka hukum yang hendak ditegakkan para hakim melalui fungsi dan
kewenangan peradilan ialah semua nilai normatif yang terdapat dalam peraturan
perundang-undangan serta yang bersumber dari nilai-nilai kekuatan agama, moral,
ekonomi, kultur, adat kebiasaan dan kepatutan (reasonable).
Pandangan di ataslah yang
kita anggap sebagai moderasi dalam mengartikan apa yang dimaksud dengan hukum
dalam konteksnya dengan permasalahan asas legalitas. Dengan pandangan moderasi
ini, pandangan dan pengertian kita
mengenai hukum tidak terjebak secara ekstrim ke arah pendekatan positivisme.
Pandangan yang seolah-olah
hanya melihat hukum dari sudut peraturan perundang-undangan saja kita perluas
jangkauannya sampai mencakup semua nilai yang memiliki kekuatan nilai normatif
yang tumbuh dalam kehidupan masyarakat. Dengan demikian sekaligus dibedakan
pula istilah dan pengertian legal (peraturan perundang-undangan)
dengan law (hukum), serta menempatkan legal
(peraturan perundang-undangan) sebagai salah satu komponen sumber nilai
hukum bergandengan dengan komponen sumber nilai yang lain seperti agama, moral,
ekonomi, budaya, adat dan kepatutan.
Pengkajian ini hampir
sejalan dengan patokan dan pandangan yang berkembang dalam analisa ilmu fiqh dalam menentukan hukum.
Menurut analisa fiqh yang
dikembangkan oleh para mujtahid, nilai
syari'ah tidak semata-mata
terumus dalam Nash AI-Qur'an dan Sunnah tetapi juga semua nilai
normatif yang tumbuh dari kekuatan ijma' dan qiyas. Bahkan lebih luas dari itu
termasuk semua kekuatan nilai yang mengandung istichsan". Kemudian
diperluas lagi sehingga makna syari'ah termasuk nilai-nilai yang mengandung
istishlah, bahkan istishlah itu sendiri dikembangkan ke arah bentuk yang lebih
umum maslachah mursalah yang
berarti semua nilai yang berpotensi mendatangkan kebaikan (nashara fi
mashalihinnas). Di dalam kebaikan yang mendatangkan nilai tersebut mengandung
unsur kebebasan, keamanan, ketentraman dan kebersamaan. Nilai yang seperti itu
dari sudut pandangan fiqh dapat
menjadi nilai normatif syari'ah'. Demikian juga mengenai nilai-nilai'urf, dapat
menjadi nilai normatifsyari'ah apabila nilai-nilai adat kebiasaan telah
dipraktekkan dalam kehidupan masyarakat dan
kandungan nilainya tidak bertentangan dengan Nash Al Qur'an dan Sunnah.
Tanpa mengurangi nilai-nilai
yang bersumber dari peraturan perundang undangan, agama, moral, ekonomi,
budaya, adat dan kepatutan, nilai
normatif yang terkandung dalam yurisprudensi dan doktrin hukum dapat digolongkan ke dalam
pengertian hukum. Akhir-akhir ini nilai-nilai paham globalisme yang bersifat
universal, humaniter dan
egaliter telah dianggap sebagai aturan hukum dalam lalu lintas pergaulan antar
bangsa melalui penerapan asas keseimbangan dan
asas fungsionalisme. Demikian luasnya cakupan pengertian hukum dihubungkan
dengan asas legalitas dalam melaksanakan fungsi dan kewenangan kebebasan kehakiman yang
dipikulkan kepada para hakim.
Pemahaman wawasan pengertian
hukum yang diuraikan di atas sangat penting bagi para hakim peradilan agama
dalam melaksanakan fungsi dan kewenangan
peradilan, terutama jika dihubungkan dengan ketentuan Pasal 56 Ayat (1) UU No.
7 Tahun 1989 jo. Pasal 14 Ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970. Pasal ini melarang
pengadilan untuk menolak memeriksa dan memutus perkara yang diajukan atas dalih
hukum yang mengatur tidak ada atau kurang jelas. Para hakim harus memeriksa dan
memutus perkara berdasar hukum dengan beban kewajiban mencari dan menemukan hukum (rechtsvinding) yang tepat untuk
menyelesaikannya.
Sekiranya perkara yang
diajukan tidak ditemukan aturan hukumnya dalam peraturan perundang-undangan,
hakim beralih mencari dari sumber hukum yang lain dan nilai-nilai normatif,
agama, moral, ekonomi, adat budaya, dan kepatutan, atau dari nilai-nilai
normatif yurisprudensi. Mungkin juga bisa ditemukan dalam dasar-dasar atau
asas-asas doktrin hukum atau dari nilai-nilai normatif globalisme.
Hakim dapat menjatuhkan
putusan berdasar nilai-nilai tersebut di atas, karena semua nilai-nilai
dimaksud masih dalam rangkaian jalinan rule
of law. Hakim tidak boleh hanya terjebak melalui pendekatan peraturan
perundang-undangan saja. Memang benar langkah pertama pencarian harus diarahkan
rujukannya kepada peraturan perundang-undangan. Tetapi kemungkinan besar apa
yang diatur di dalamnya sudah kurang relevan mengantisipasi tuntutan dinamika
kebutuhan perkembangan dan kesadaran hukum masyarakat, sehingga peraturan
perundang-undangan yang bersangkutan sudah memerlukan "aktualisasi".
Dalam hal seperti itu hakim bisa beralih mencari dasar hukumnya dari sumber nilai
kekuatan normatif yang dapat mensejajari arus perubahan nilai kesadaran yang
terjadi.
Makna
Asas Equality
Asas equality berarti persamaan hak. jika asas ini dikaitkan dengan
fungsi peradilan, berarti setiap orang yang datang berhadapan di sidang
peradilan adalah "sama hak dan kedudukannya". Dengan kata lain sama
hak dan kedudukan di hadapan hukum. Lawan dari asas persamaan hak dan kedudukan
di depan pengadilan atau di depan hukum ialah "diskriminasi" yaitu
membedakan hak dan kedudukan orang di depan sidang pengadilan.
Pembedaan atau diskriminasi
bisa berbentuk normatif dan kategoris. Wujud dari diskriminatif normatif berupa
tindakan membedakan aturan hukum yang berlaku terhadap pihak-pihak yang
berperkara. Misalnya, kepada salah satu pihak diberi kesempatan luas untuk
mengajukan upaya pembuktian, sebaliknya kepada pihak yang lain haknya untuk
mengajukan upaya pembuktian dibatasi atau dihalang-halangi. Tindakan demikian
melanggar hak asasi manusia seolah-olah hakim mempraktekkan dua aturan hukum
yang saling berbeda dalam peristiwa dan upaya yang sama.
Tidak jauh berbeda dengan
diskriminasi normatif ialah diskriminasi kategoris, yakni berupa tindakan yang
membeda-bedakan perlakuan pelayanan berdasar status sosial, ras, agama, suku,
jenis kelamin dan budaya. Terhadap orang kaya diberikan perlakuan dan pelayanan
berlebihan, terhadap yang miskin dihina secara kategoris sehingga bertentangan
dengan asas equality dan juga dengan hak asasi manusia. Hal ini tentu
bertentangan dengan tujuan penegakan hukum dan keadilan.
Dalam setiap proses yang
mengandung tindakan dan perlakuan diskriminasi normatif atau kategoris,
mustahil dapat dihasilkan putusan yang berintikan hukum, kebenaran dan
keadilan. Tindakan dan perlakuan diskriminasi itu sendiri sudah berlawanan
dengan hukum atau melanggar hukum (break
the law, undue to law).
Apa saja yang dituntut asas
persamaan hak dan kedudukan dalam praktek peradilan? Terhadap pertanyaan ini,
pada hakekatnya dapat dijawab dengan singkat. Jauhi tindakan dan perlakuan
diskriminasi dalam segala bentuk, dengan berpatokan pada; pertama, persamaan
hak dan derajat dalam proses pemeriksaan persidangan pengadilan atau equal before the law; kedua, hak perlindumgan yang
sama oleh hukum atau equal protection
on the law; dan ketiga, mendapat hak perlakuan yang
sama di bawah hukum atau equal justice under the law.
Ketiga patokan inilah acuan
pedoman yang menerapkan persamaan hak dan
kedudukan dalam proses peradilan. Ketiga patokan itulah makna yang
terkandung dalam Pasal 58 Ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989 dalam kalimat
"tidak membedakan orang" di muka peradilan. Ketiganya merupakan
rangkaian fundamentum yang
harus diterapkan secara utuh dalam suatu kesatuan yang tak terpisahkan. Menolak
dan menyingkirkan salah satu patokan akan langsung merusak keseimbangan asas the rule of law.
Tempatkan para pihak yang
berperkara dalam persamaan hak dan derajat pada setiap tingkat pemeriksaan.
Berikan kepada mereka hak perlindungan hukum yang sama selama proses
pemeriksaan-sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Layani mereka dengan
hak perlakuan yang sama menurut hukum sejak mulai sampai akhir proses
pemeriksaan. Ketiga patokan acuan asas persamaan hak ini, merupakan suatu
kesatuan yang tidak terpisah. Tidak bisa diterapkan secara parsial. Menerapkan
secara parsial, pasti akan mewujudkan penerapan hak persamaan yang pincang.
Nilai equal before the law dan equal justice under the law. Demikian
sebaliknya, bagaimana mungkin penegakan hukum benar-benar dilaksanakan di bawah
keluhuran persamaan hak dan kedudukan, kalau yang diterapkan hanya persamaan
hak dan derajat, tidak dibarengi dengan pemberian perlindungan hukum yang sama.
Bagaimana mungkin hakim sempurna menerapkan pemberian hak perlindungan hukum
yang sama kalau-tidak dibarengi secara konsisten dengan pemberian hak perlakuan
yang sama di bawah hukum budaya. Terhadap orang kaya diberikan perlakuan dan
pelayanan berlebihan, terhadap yang miskin dihina secara kategoris sehingga
bertentangan dengan asas equality dan
juga dengan hak asasi manusia. Hal ini tentu bertentangan dengan tujuan
penegakan hukum dan keadilan.
Dalam setiap proses yang
mengandung tindakan dan perlakuan diskriminasi normatif atau kategoris,
mustahil dapat dihasilkan putusan yang berintikan hukum, kebenaran dan
keadilan. Tindakan dan perlakuan diskriminasi itu sendiri sudah berlawanan
dengan hukum atau melanggar hukum (break
the law, undue to law).
Apa saja yang dituntut asas
persamaan hak dan kedudukan dalam praktek peradilan? Terhadap pertanyaan ini,
pada hakekatnya dapat dijawab dengan singkat. Jauhi tindakan dan perlakuan
diskriminasi dalam segala bentuk, dengan berpatokan pada; pertama, persamaan
hak dan derajat dalam proses pemeriksaan persidangan pengadilan atau equal before the law; kedua, hak
perlindungan yang sama oleh hukum atau equal
protection on the law;
dan ketiga, mendapat hak
perlakuan yang sama di bawah hukum atau equal
justice under the law.
Ketiga patokan inilah acuan
pedoman yang menerapkan persamaan hak dan kedudukan dalam proses peradilan.
Ketiga patokan itulah maknaa yang terkandung dalam Pasal 58 Ayat (1) UU No. 7
Tahun 1989 dalam kalimat "tidak membedakan orang" di muka peradilan.
Ketiganya merupakan rangkaian fundamentum
yang harus diterapkan secara utuh dalam suatu kesatuan yang tak
terpisahkan. Menolak dan menyingkirkan
salah satu patokan akan langsung merusak keseimbangan asas the rule of law.
Tempatkan para pihak yang
berperkara dalam persamaan hak dan derajat pada setiap tingkat pemeriksaan.
Berikan kepada mereka hak perlindungan hukum yang sama selama proses
pemeriksaan -sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Layani mereka dengan
hak perlakuan yang sama menurut hukum sejak mulai sampai akhir proses
pemeriksaan. Ketiga patokan acuan asas persamaan hak ini, merupakan suatu
kesatuan yang tidak terpisah. Tidak bisa diterapkan secara parsial. Menerapkan
secara parsial, pasti akan mewujudkan penerapan hak persamaan yang pincang.
Nilai equal before the law dan equal justice under the law. Demikian
sebaliknya, bagaimana mungkin penegakan hukum benar-benar dilaksanakan di bawah
keluhuran persamaan hak dan kedudukan, kalau yang diterapkan hanya persamaan
hak dan derajat, tidak dibarengi dengan
pemberian perlindungan hukum yang sama. Bagaimana mungkin hakim sempurna
menerapkan pemberian hak perlindungan hukum yang sama kalau-tidak dibarengi
secara konsisten dengan pemberian hak perlakuan yang sama di bawah hukum.
Sosio-Kultur
Keadilan HAM Dalam Konsep Peradilan Islam
Islam menggariskan bahwa
penegakann hukum dan hak asasi manusia bisa berjalan dengan baik, menuntut
sumber daya manusia yang commited terhadap pelaksanaan amanatdan keadilan.
"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu untuk apabila menetapkan hukum di antara
manusia supaya kamu rnenetapkan dengan adil"." Karena itu untuk dapat
melakukan ikhtiyar penegakan
hukum dan keadilan, dibutuhkan adanya political-will dan goodwill para pemimpin sebuah bangsa
secara sungguh-sungguh dan konsisten. Dalam konteks ini pula, AI-Qur'an
menempatkan perintah kepada masyarakat untuk taat kepada ulil amri, pada ayat
59 surat An-Nisa', apabila Ulil Amri di dalam melaksanakan tugas-tugas dan
programnya, termasuk di dalam penegakan hukum, keadilan dan menjunjung
nilai-nilai harkat hak asasi manusia, sejalan dengan perintah Allah dan
Rasul-Nya.
Abu al-Hasan al-Mawardy
dalam bukunya al-Ahkam al-Sulthaniyah, mengutip suatu riwayat Hisyam ibn 'Urwah
dan Abi Shalih dan Abi Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Akan
mendampingi kalian sepeninggalanku, suatu kekuasaan, maka kebaikan akan mendarnpingi kalian karena kebaikan kekuasaan itu, dan kebobrokan akan mendampingi
kalian, karena kebobrokannya, maka dengar dan patuhi mereka dalam hal-hal yang
sejalan dengan kebenaran. Apabila mereka berbuat
baik, manfaatnya untuk kamu dan mereka, dan apabila mereka berbuat buruk, maka dampaknya
untuk kamu, dan tanggung jawabnya pada mereka".
Karena itu, keberadaan
lembaga peradilan yang otonom dan independen, merupakan elemen penting bagi
upaya penegakan hukum, eksistensi suatu negara, dan tegaknya suatu tatanan
dalam masyarakat. Di lembaga peradilan inilah, tanggung jawab pemeliharaan
jiwa, harta, hak, ketertiban hukum, ketenangan dan keadilan dalam masyarakat
bisa diwujudkan.
Menurut Ibnu Taimiyah, dua
kata kunci, yaitu menjalankan amanat kepada yang berhak dan menegakkan hukum
dan hak asasi manusia sebagaimana dimaksud dalam QS. An-Nisa' Ayat 58,
mewajibkan kepada kita untuk memenuhi amanat kepada yang berhak dan menegakkan
hukum secara adil. Dua hal tersebut merupakan satu kesatuan politik yang adil
dan kekuasaan yang baik yang tidak bisa dipisah-pisahkan.
Al-Qur'an menempatkan adil (justice) sebagai isu sentral
dan universal. Allah memerintahkan berbuat adil, mendahului berbuat baik. "Sesungguhnya Allah menyuruh
kamu berlaku adil dan berbuat kebajikan,
memberi kepada kaum kerahat, dan Allah
melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar.
karnu dapat mengambil pelajaran
"."
Berbuat adil adalah
kewajiban, baik kepada diri sendiri, kepada orang lain, maupun kepada Allah.
Inilah yangoleh Ibnu'Araby dielaborasi menjadi; Pertama, adil dalam hubungan
hamba dengan Tuhannya, artinya hamba senantiasa mengutamakan hak Tuhannya
dibanding haknya sendiri, mendahulukan keridla'an-Nya di atas hawa nafsunya. Kedua, adil dalam hubungan dengan
dirinya sendiri, yang berarti melarang diri sendiri dan semua yang mengandung bahaya. Ketiga, adil
dalam hubungan dengan makhluk lain, seperti menghindari khianat, dan atau perbuatan yang mengganggu.
Adil merupakan kata kunci
menuju taqwa, karena itu kebencian kepada seseorang -atau suatu
kaum-tidaksemestinya menjadikan seseorang berlaku tidak adil.1z
Dalam komunitas negara bangsa, maka pihak yang paling bertanggung jawab atas
penegakan hukum dan keadilan adalah para
pejabat penegak hukum. Secara harfiyah dalam Bahasa Arab kata hukumah, satu
akar kata dengan al-hakim, artinya hakim atau aparat yang menegakkan hukum.
Penutup
Kehidupan politik yang baik
dan penegakan hukum yang adil, merupakan
suatu keniscayaan dan sekaligus
institusi yang harus dihormati dan ditaati.
Karena itu pula, apabi la ada orang yang menyerahkan urusannya diselesaikan di
pengadilan, tetapi dia tidak percaya dan
tidak menerima sepenuhnya keputusan yang ditetapkan, maka dia
dikategorikan sebagai orang yang tidak beriman.
Sumber hukum tertinggi
adalah AI-Qur'an dan Al-Sunnah, namun apabila dihubungkan
dengan produk pemikiran hukum sekurang-kurangnya ada empat bentuk; yaitu,
pemikiran hukum para ahli, pemikiran hukum keputusan pengadilan
(yurisprudensi), pemikiran hukum berdasar fatwa (lembaga atau perorangan),
dan undang-undang."
Undang-undang sebagai
keputusan politik lembaga legislatif (sulthah tasyri'iyyah) -atau dalam contoh
Indonesia- bersama eksekutif (sulthah tanfidziyah),
ia mengikat kepada subjek hukum, terutama kepada pihak yang berperkara,
akan tetapi ia memiliki kelemahan. la cenderung
kaku, dinamikanya lamban, dan untuk merubahnya memerlukan waktu, biaya dan
barangkali "perjuangan" untuk mengatasi kelompok status quo. Karena
itu, untuk mengatasi kekakuan akibat formalisme tadi, sentuhan etika atau moral
kurang -untuk tidak mengatakan tidak ada- maka peranan lembaga yudikatif
(sulthah qadlaiyah) menjadi
suatu keniscayaan. Terutama sekali dalam mencari kompromi-kompromi dengan
nilai-nilai yang hidup dan menjadi kesadaran hukum dalam masyarakat sebagai
format atau konstruksi hukum dan keadilan dalam masyarakat.
Di dalam penerapan hukum,
penegak hukum perlu mempertimbangkan psiko-sosial masyarakat sebagai pelaku
hukum.', Dalam hukum Islam dikenal konsep Azimah artinya hukum yang berlaku dalam situasi normal, berbeda
halnya dengan situasi tidak normal. 'Umar ibnu al-Khoththob misalnya, pernah
tidak menjatuhkan hukuman potong tangan kepada 'Ubaid pembantu Hathib ibnu Abi
Balta'ah yang mencuri unta untuk dimakan. Dalam riwayat lain, pembantu Hathib
mencuri unta bersama seorang laki-laki dari Mazinah, mereka bersama-sama
menyembelih. Maka dilaporkan kasus ini kepada 'Umar ibnu Khoththob. Kemudian
'Umar memerintahkan kepada Katsir ibnu al-Shalat agar memotong tangan mereka.
Akan tetapi setelah diinformasikan bahwa mereka melakukan pencurian itu karena
kelaparan (maja'ah), maka 'Umar
ibnu Khoththob tidak jadi melaksanakannya."
Untuk dapat melakukan
penegakan hukum, memang membutuhkan situasi dan kondisi yang aman. Persoalannya
memang tidak mudah, apabila ketika sistem hukumnya salah, budaya hukumnya tidak
jelas, kontrol masyarakat rendah, maka yang muncul adalah pembiaran kezaliman,
atau paling tidak kekacauan hukum.
Semangat law inforcment yang berdasar pada rule of law, yang merupakan kata
kunci supremasi di bidang hukum, memerlukan beberapa faktor pendukung. Pertama,
persepsi penegak hukum terhadap masyarakat, agar tidak lagi sebagai sasaran
tetapi sebagai pemegang peran. Kedua, penegak hukum hendaknya melakukan perubahan
terhadap makna, kedudukan, dan fungsi keuasaan. Ketiga, aparat hendaknya
menjadi pelayan masyarakat untuk mencerdaskan mereka, sehingga akan tumbuh
budaya hukum yang sehat. Keempat, aparat penegak hukum perlu menyadari bahwa
kenyataannya masyarakat heterogen (beragam), sementara hukum bersifat umum.
Kelima perlu penyadaran kepada aparat, bahwa masyarakat makin kritis, dan tidak lagi bisa dianggap bodoh.
Dalam khazanah hukum Islam,
dikenal bentuk ijtihad atau
kerja intelektual untuk memformulasikan hukum dalam rangka menjawab persoalan
yang timbul dalam masyarakat. Ini dimaksudkan aparat penegak hukum tidak
dibenarkan dengan alasan tidak atau belum ada ketentuan hukum yang
mengaturnya" kemudian membiarkan persoalan hukum tanpa ada jawaban atau
solusi
HAM Datam
Perspektif Agama Islam Tinjauan Terhadap Kebebasan Melaksanakan lbadah Haji
Pendahuluan
Perjalanan sejarah
ketatanegaraan Republik Indonesia mengalami beberapa kali pergantian
undang-undang dasar, yang terakhir yaitu Undang-Undang Dasar 1945 yang
diamandemen. Amandemen-amandemen itu dilakukan pada dasarnya untuk memenuhi
tuntutan keadaan masyarakat yang dinamis, yaitu mewujudkan ide yang abstrak ke
dalam kenyataan sosial. Hal ini selain merupakan penegakan hukum, menurut
penulis, juga merupakan responsibilitas terhadap fenomena sosial yang
menyangkut keanekaragaman bentuk hubungan interaktif sosial yang kompleks.
Tujuan negara Republik
Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah
melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Bab XA mengenai Hak Asasi
Manusia khususnya Pasal 28D UUD 1945 menyatakan bahwa, setiap orang bebas
memeluk agama dan beribaclat menurut
agamanya.
Bangsa Indonesia yang
beragama Islam, selanjutnya disebut Umat Islam, di dalam beribadat dalam rangka
menyempurnakan kehidupan agamanya harus memenuhi lima kewajiban pokok yang
harus dilaksanakannya, yang dikenal dengan Rukun Islam. Berdasarkan Hadits Nabi Muhammad Shalallahu'alaihi wa salam (SAW) yang
diriwayatkan Shahih al-Bukhari dan
Muslim, dari Ibnu Umar, bahwasannya Islam itu didirikan atas lima pilar,
yaitu:
a.
membaca kalimat shahadat;
b.
mendirikan shalat;
c.
menjalankan puasa di bulan Ramadlan;
d.
mengeluarkan zakat; dan
e.
mengerjakan haji ke Baitullah.
Rukun Islam pertama, kedua
dan ketiga berlaku untuk setiap Umat
Islam tanpa kecuali dan tanpa syarat apapun, sedangkan rukun keempat dan kelima hanya pemberlakuannya digantungkan
pada suatu syarat tertentu yaitu kemampuan pada masing-masing Umat Islam.
Artinya bagi setiap Umat Islam yang tidak mampu mengeluarkan zakat dan tidak mampu menyediakan biaya perjalanan
dan akomodasi ke Baitullah di Arab
Saudi, maka ia tidak diwajibkan melaksanakan rukun keempat dan kelima.
Perintah Allah Subhanahu wa
ta'ala (SWT) kepada setiap Umat Islam untuk melaksanakan ibadah haji terdapat
di dalam Al-Qur'an, Surat Ali Imron ayat 97, yang artinya "... menunaikan haji adalah kewajiban manusia
terhadap Allah, yaitu bagi orang yang mampu mengadakan perjalanan ke Baitullah.
Dan Barang siapa mengingkari maka sesungguhnya Allah Maha kaya dari semesta
alam".' Pengertian "mampu" di sini adalah meliputi kemampuan
fisik serta biaya perjalanan dan
akomodasi, mengingat ibadah haji itu hanya dapat dilakukan di negara
Arab Saudi dalam suatu waktu yang telah ditentukan. Bagi setiap Umat Islam yang
mampu diwajibkan untuk segera melaksanakannya, berdasarkan Shahih Imam Achmad
dan Hambali, yang diriwayatkan oleh Ibnu
Abas, bahwasanya Nabi Muhammad SAW bersabda: "Cepat-cepatlah kalian
menunaikan ibadah haji, karena sesungguhnya seseorang di antara kamu tidak tahu
apa yang akan terjadi padanya". Dengan adanya perintah dari Tuhan Yang
Maha Kuasa, Allah SWT, dan tuntunan Nabi
Muhammad SAW tersebut maka bagi setiap Umat Islam yang beriman dan bertaqwa
tentu tumbuh keinginannya untuk segera melaksanakan ibadah haji.
Jumlah jama'ah haji
Indonesia dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan.
Begitu banyaknya calon jama'ah haji sehingga diperlukan suatu kebijakan
pemerintah, sesuai dengan quota yang ditentukan oleh pemerintah Kerajaan Arab
Saudi,' dalam bentuk Surat Keputusan Menteri Agama. Untuk tahun 2004
berdasarkan Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor: 452 Tahun 2002,
tentang porsi jama'ah haji Tahun 1424 H/2004 M ditetapkan sebanyak 205.000
orang, meskipun kenyataan di lapangan melebihi angka ini.
Penyelenggaraan ibadah haji
di Indonesia dari tahun ke tahun selalu diikuti berbagai masalah. Sebagai contoh,
pada tahun 2003 terjadi kelambatan pemberangkatan dan pemulangan jamaah haji akibat ketidaksiapan
alat trasportasi (pesawat) udara. Tahun 2004 sebanyak 30.000 jamaah reguler
dan 7000 jamaah haji plus gagal berangkat
ke tanah suci, akibat kebijakan pemerintah c.q. menteri agama yang tidak
konsekuen. Kronologis mengenai kasus ini, dimulai saat pemerintah dengan
Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor: 452 Tahun 2002, tentang porsi
jama'ah haji Tahun 1424 H/2004 M, ditetapkan sebanyak 205.000 orang. Data
menunjukkan bahwa calon jumlah Jama'ah haji Indonesia yang mendaftarkan
melebihi quota yang telah ditetapkan oleh pemerintah tersebut. Melihat
kenyataan itu pemerintah membuka kembali pendaftaran calon jamaah haji dengan
jaminan akan meminta tambahan quota kepada pemerintah Arab Saudi, namun
ternyata permintaan tambahan tersebut tidak diperoleh, sehingga calon jamaah
haji yang telah terlanjur mendaftar tidak jadi berangkat sehingga menderita
kerugian secara moril maupun materiil
Permasalahan pokok di dalam
penyelenggaraan haji di Indonesia berakar pada konsep pemerintah yang tidak
tepat, yaitu menempatkan Calon Jama'ah Haji dan
Jama'ah Haji sebagai objek bukan subjek. Dalam hal ini nampak bahwasanya
Calon Jama'ah Haji dan Jama'ah Haji
Indonesia tidak mempunyai kesempatan untuk:
a. memilih cara-cara berhaji yang dimungkinkan oleh
tuntunan agama, misalnya tamatuk,
qiran atau ifrad. Semuanya telah ditetapkan oleh pemerintah, dan masyarakattinggal dan harus melaksanakannya
apa adanya.
b. mengetahui rincian penggunaan Biaya Perjalanan Ibadah
Haji yang besarnya ditetapkan secara sepihak oleh pemerintah, baik sebelum
mendaftarkan diri sebagai Calon Jama'ah Haji ataupun sesudah pulang ke tanah
air. Bahkan Calon Jama'ah Haji masih harus dibebani biayabiaya lain di luar
Biaya Perjalanan Ibadah Haji yang ditetapkan oleh pemerintah.
c. mengetahui fasilitastransportasi, penginapan dan prosesi ibadah secara nyata, sehingga,
kepergian Calon Jama'ah Haji ke tanah suci Madinah Al Munawarrah dan Makkah Al
Mukaramah diibaratkan bagaikan berkelana di hutan belantara atau kegelapan.
Demikian kuatnya peranan
pemerintah dalam penyelenggaraan ibadah haji, mengakibatkan kebebasan umat
Islam sangat tergantung pada kebijakan pemerintah. Padahal pada kenyataannya
Calon Jama'ah Haji itu seharusnya menjadi subjek di dalam penyelenggaraan haji,
yaitu sebagai konsumen jasa yang harus dilayani oleh pemerintah sebagai pelaku
usaha jasa layanan publik.
Tulisan ini ingin menelaah
apakah setelah dilakukan amandemen terhadap UUD 1945, khususnya mengenai Hak
Asasi Manusia pada Bab XII, Umat Islam dalam melaksanakan ibadah, kemudian
dapat dijamin kebebasannya, tanpa intervensi kekuasaan pemerintah?
Penyelenggaraan
Haji di Indonesia
Penyelenggaraan haji di
Indonesia telah dilaksanakan sejak masih di bawah kekuasaan pemerintahan
kolonial Belanda, yaitu berdasarkan Pelgrims
Ordonnantie Statsblaad
Tahun 1922 Nomor 698 dan Pelgrims Verordening
Tahun 1938. Pasca Indonesia merdeka, peraturan perundangan tersebut
dinyatakan masih tetap berlaku berdasarkan ketentuan Pasal II Aturan Peralihan
Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Pengaturan mengenai penyelenggaraan haji di
Indonesia dengan peraturan perundangan-undangan nasional baru dilakukan pada
tahun 1999, atau setelah 54 tahun Negara Republik Indonesia merdeka, dengan
dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah
Haji. Undang-undang ini mencabut Pelgrims Ordonnantie Statsblaad Tahun 1922 No.
698 dan Pelgrims Verordening Tahun 1938 dan semua peraturan
pelaksanaannya dan dinyatakan tidak
berlaku lagi.
Pasal 5 UU No. 17 Tahun 1999
menyatakan bahwa, tujuan penyelenggaraan ibadah haji adalah untuk memberikan
pembinaan, pelayanan, dan perlindungan
yang sebaik-baiknya melalui sistem dan manajemen penyelenggaraan yang baik agar
pelaksanaan ibadah haji dapat berjalan dengan aman, tertib, lancar dan nyaman sesuai dengan tuntunan agama serta
jamaah haji dapat melaksanakan ibadah secara mandiri sehingga memperoleh haji
mabrur.
Diuraikan lebih lanjut di
dalam Penjelasan Umum UU No. 17 Tahun 1999 bahwa, untuk tercapainya maksud
tersebut diperlukan suasana yang kondusif bagi warga negara yang akan
melaksanakan ibadah haji. Suasana kondusif tersebut dapat terwujud apabila
pihak penyelenggara ibadah haji mampu memberikan kepada calon jamaah haji
dan jamaah haji:
a.
Pembinaan, meliputi pembimbingan, penyuluhan
dan penerangan;
b. Pelayanan,
meliputi pelayanan administrasi, transportasi, kesehatan dan akotnodasi;
c. Perlindungan,
meliputi keselamatan dan keamanan, kesempatan untuk menunaikan ibadah haji,
serta penetapan Biaya
d. Penyelenggaraan
Ibadah Haji (BPIH) yang terjangkau oleh calon jamaah haji.
Menurut Pasal 7 UU No. 17
Tahun 1999 penyelenggara ibadah haji adalah pemerintah dan/atau swasta. Menurut
Penjelasan Pasal 17, mengingat penyelenggaraan ibadah haji merupakan tugas
nasional dan menyangkut martabat serta nama baik bangsa, kegiatan yang
berkaitan dengan penyelenggaraan ibadah haji merupakan tanggung jawab pemerintah.
Keikutsertaan masyarakat dalam penyelenggaraan ibadah haji merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari sistem dan manajemen penyelenggaraan ibadah haji.
Dengan memperhatikan uraian
tersebut di atas pada dasarnya semua fasilitas yaitu pembinaan, pelayanan dan
perlindungan dengan berbagai aspek yang terkandung di dalamnya, adalah
merupakan hak bagi jamaah haji. Kedudukan pemerintah, termasuk swasta, yang
menyelenggarakan ibadah haji adalah sebagai pelaku usaha jasa layanan,
sedangkan calon jamaah haji dan jamaah haji adalah sebagai konsumen layanan
jasa.
Berkaitan dengan hal
tersebut permasalahan pokok yang timbul di dalam penyelenggaraan haji di
Indonesia adalah apakah sistem dan manajemen penyelenggaraan haji Indonesia
berdasarkan UU No. 17 Tahun 1999 dapat melindungi hak-hak yang seharusnya
diperoleh calon jamaah haji dalam kedudukannya sebagai konsumen jasa layanan
pemerintah (publik)?
Faktor-faktor
yang Mempengaruhi Hak-hak Calon Jama'ah Haji Kedudukan
Hukum Jama'ah Haji Indonesia
Kedudukan hukum Calon Jama'ah
Haji Indonesia tidak jelas. Memperhatikan proses pendaftaran pergi haji yang
ditetapkan oleh pemerintah yaitu mendaftarkan diri di kantor Departemen Agama
di wilayah masing-masing dan wajib menyertakan bukti Kartu Tanda Penduduk
setempat dan akan memperoleh Surat Perjalanan Pergi Haji (SPPH). Atas dasar
SPPH tersebut Calon Jama'ah Haji kemudian membayar BPIH pada bank-bank yang
telah ditunjuk oleh pemerintah. Berbekal berkas administrasi berupa SPPH dan
bukti pembayaran BPIH maka Calon Jama'ah Haji sudah dapat pergi haji. Dalam
kaitan ini maka kedudukan hukum Calon Jama'ah Haji adalah bersifat
administratif belaka, yaitu terdaftar sebagai Calon Jama'ah Haji yang akan
diberangkatkan ke tanah suci. Mengenai hak dan kewajibannya tidak ditentukan
secara tegas, tetapi tunduk pada ketentuan umum di dalam peraturan yang
berlaku.
Dari uraian di atas nampak
bahwa, kebijakan pemerintah di dalam penyelenggaraan haji tidak jelas mengenai
kepastian hukumnya. Kedudukan Departemen Agama selaku regalator sekaligus
operator membawa dampak ketidakjelasan hubungan hukumnya dengan Jama'ah Haji
sebagai pengguna jasa layanan pemerintah. Menurut pengamatan penulis memang
tidak ada perjanjian antara Departemen Agama dan Calon Jama'ah Haji, kepada Calon Jama'ah Haji
hanya diberikan Surat Pendaftaran Pergi Haji.
Berdasarkan uraian tersebut
di atas letak permasalahan pokok adalah hubungan hukum antara Calon Jama'ah
haji selaku pengguna (baca: konsumen) jasa layanan yang diselenggarakan oleh
pemerintah dan pemerintah c.q. departemen agama selaku penyedia
layanan jasa penyelenggaraan ibadah haji sejak dari Indonesia, ke Arab Saudi,
dan kembali lagi di Indonesia. Dengan
adanya hubungan hukum tersebut akan menimbulkan hak dan kewajiban pada masing-masing pihak, yaitu Calon
Jama'ah Haji berkewajiban membayar BPIH yang ditetapkan oleh pemerintah
dan berhak menikmati jasa layanan yang
memadai dengan besarnya nilai BPIH. Demikian sebaliknya pemerintah berhak
menerima dan mengelola pernbayaran BPIH
dari Calon Jama'ah Haji, dan
berkewajiban memberikan layanan jasa penyelenggaraan ibadah haji sesuai
dengan nilai BPIH yang memadai. Pengingkaran atau tidak dipenuhinya hak-hak
dan kewajiban pada masing-masing pihak
akan berakibat dapat dilakukan upaya hukum agar dapat dipenuhinya hak dan kewajiban yang tidak diperolehnya.
Biaya Perjalanan Ibadah Haji
Besarnya Biaya Perjalanan
Ibadah Haji ditetapkan oleh pemerintah dalam bentuk keputusan presiden pada
setiap tahunnya dalam mata uang Dollar Amerika Serikat ditambah biaya
administrasi dalam mata uang rupiah. Pembayaran dilakukan dalam bentuk mata
uang rupiah, sedangkan konversi terhadap kurs Dollar Amerika Serikat
digantungkan pada mekanisme pasar valuta asing pada setiap harinya yang
nilainya ditetapkan oleh Bank Indonesia. Kebijakan ini secara sepihak mungkin
dianggap oleh pemerintah dapat mengatasi permasalahan fluktuasi nilai rupiah
terhadap valuta asing, khususnya biaya operasional yang menyangkut trasportasi
pesawat udara dan akomodasinya
menggunakan standar Dollar Amerika Serikat. Namun demikian kebijakan ini sangat
merugikan Calon Jama'ah Haji selaku konsumen karena pada kenyataannya tidak
semua pembiayaan penyelenggaraan ibadah haji menggunakan standar Dollar
Amerika Serikat, misalnya biaya operasional, transportasi dan akomodasi di tanah air tetap menggunakan mata
uang rupiah, demikian juga biaya hidup Jama'ah Haji selama di tanah suci
diberikan dalam bentuk mata uang Real Saudi Arabia bukan Dollar Amerika
Serikat. Dalam masalah ini perlu kiranya dikaji lebih mendalam mengenai
diwajibkannya Calon )ama'ah Haji menanggung biaya administrasi Bank dan Departemen Agama. Bukankah bank-bank penerima
setoran BPIH telah menikmati keuntungan dari simpanan para Calon )ama'ah Haji,
sehingga tidak realistis seandainya Calon Jama'ah Haji masih dibebani biaya
adminsitrasi bank.
Dalam kaitannya dengan
keseimbangan antara nilai/harga Biaya Perjalanan lbadah Haji dengan layanan
jasa yang diberikan oleh pemerintah kepada Jama'ah Haji, menurut hemat penulis,
adalah kurang memadai. Hal ini dapat diperhatikan pada fasilitas yang diterima
oleh Jama'ah haji, antara lain:
a. Sarana transportasi pesawat udara. Fasilitas tempat
duduk tidak nyaman karena sangat sempit dan dan
berhimpitan sehingga tidak nyaman untuk melakukan penerbangan jauh
selama lebih kurang 11 jam. Di samping itu Jama'ah Haji masih dibebani biaya
perjalanan pergi dan pulang dari tempat
tinggal/daerah masing-masing sampai di Embarkasi, yang besarnya sangat
tergantung jarak antara daerah tempat tinggal Jama'ah Haji yang bersangkutan
dan daerah/tempat Embarkasi.
b. Fasilitas hotel/pemondokan. Di dalam Pasal 52 ayat (1)
huruf d, Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji
No. D/377 Tahun 2002 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelenggaraan Ibadah Haji
dan Umrah, dinyatakan bahwa batas maksimal jarak antara hotel/pemondokan
dan Masjidil Haram adalah 1.500 meter.
Rupanya implikasi terhadap ketentuan ini dilakukan secara normatif karena,
menurut pengamatan peneliti, hampir sebagian besar Jama'ah Haji Indonesia
ditempatkan pada hotel/pemondokan di daerah Jarwal, Hafair, Misfallah dan Syb Amir yang jaraknya rata-rata memang
kurang lebih 1500 meter. Bahkan sebagian ditempatkan di daerah Azziziyah yang
berjarak lebih dari 2000 meter, sehingga kenyataannya hanya sedikit Jama'ah
Haji Indonesia yang mendapat hotel/pemondokan dekat (di bawah 1000 meter)
dengan Masjidil Haram. Selain itu fasilitas kamar yang juga kurang memadai,
yaitu harus berjejalan dalam satu kamar karena luas kamar dan jumlah pemakai
tidak seimbang.
Pembinaan dan Pembimbingan
Dalam hal pembinaan terhadap
Jama'ah Haji, pada perkembangan akhirakhir ini terjadi tarik-ulur antara
pemerintah c.q. Departemen Agama dan Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH) yang
diselenggarakan oleh masyarakat. Pada kenyataannya sebagai besar )ama'ah Haji
saat ini lebih suka bergabung dengan Kelompok Bimbingan lbadah haji yang
diselenggarakan oleh masyarakat daripada mengikuti bimbingan yang diselenggarakan
oleh Departemen Agama, meskipUm harus membayar biaya bimbingan.
Pada dasarnya kepentingan
)ama'ah Haji dilindungi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Selain perlindungan terhadap keselamatan dan keamanannya, Jama'ah Haji juga
harus mendapat perlindUmgan mengenai kesempatan untuk melaksanakan ibadah haji
beserta hak-haknya, dan upaya hukum untuk melindungi kepentingannya.
Munculnya kasus pembatalan
keberangkatan puluhan ribu Calon Jama'ah Haji pada tahun 2004 lalu menimbulkan sedikit
keresahan bagi sebagian Calon Jama'ah Haji mengenai kepastian waktu
keberangkatannya. Hal ini sesungguhnya telah diantisipasi pemerintah dengan
mengubah kebijakan sistem pendaftaran haji, yaitu tidak lagi satu periode musim
haji tetapi sistem pendaftaran sepanjang tahun. Dengan sistem ini, untuk dapat
mendapatkan porsi, Calon Jama'ah Haji harus mendaftarkan diri dalam antrian
keberangkatan ibadah haji dengan cara membayar lebih dahulu BPIH sebesar Rp.20.000.000,00. Namun sistem ini
juga mempunyai dampak " pada sistem pembayarannya, yaitu konskuensi dari
perubahan besarnya BPIH dan jasa simpanannya, karena hal ini berkaitan erat
dengan kedudukan Departemen Agama sebagai penanggung jawab penyelenggaraan
ibadah haji tidak bersifat profit.
Berbagai masalah yang timbul
tersebut tidak lepas dari kebijakan umum yang diambil pemerintah yang diatur di
dalam UU No. 17 Tahun 1999. Secara
substansial mengandung berbagai aspek yang menurut hukum tidak mencerminkan
perlindungan terhadap jama'ah Haji Indonesia, misalnya antara lain, tidak
adanya transparansi mengenai "rid
cost" dan "riid facility"di
dalam penyelenggaraan perjalanan ibadah haji kepada Calon Jama'ah Haji ataupun
Jama'ah Haji. Secara agamis memang'tidak layak untuk berpikir "suudzon" dan tetap harus "khusnuddzon" terhadap
pemerintah sebagai penyelenggara ibadah haji di Indonesia, tetapi secara ilmiah
ketiadaan transparansi tersebut menimbulkan praduga negatif terhadap manajemen
penyelenggaraan haji di Indonesia. Terlebih dengan memperhatikan dan mencermati
adanya ketentuan "pasal karet" di dalam UU No. 17 Tahun 1999, yaitu Pasal 1 butir 16 mengenai
Dana Abadi Umat yaitu sejumlah dana yang diperoleh dari hasil efisiensi biaya
penyelenggaraan ibadah haji dan dari sumber lain. Ketentuan Pasal 1 butir 16 UU
No. 17 Tahun 1999 inilah yang
menimbulkan berbagai "multi effects" dalam penetapan besarnya Biaya
Perjalanan Ibadah Haji dan penggunaannya. Di samping itu mengingat keduclukan
pemerintah c.q. Departemen Agama di dalam menyelenggarakan ibadah haji adalah sebagai
regulator sekaligus operator yang bersifat tidak profit dalam rangka layanan
publik, sebenarnya mengandung kewajiban untuk mempertanggungjawabkan kepada
masyarakat umum terutama Jama'ah Haji. Sebaliknya kewajiban tersebut menjadi
hak bagi Jama'ah Haji untuk memperoleh informasi secara jelas mengenai
manajemen penyelenggaraan haji dari pemerintah c.q. Departemen Agama.
Hegemoni Pemerintah di Dalam Kehidupan
Bernegara dan Bermasyarakat
Munculnya hegemoni eksekutif
sangat dimungkinkan, sebagaimana diungkapkan Irving Swerdlow yang dikutip oleh
Muchsan, bahwa konsekuensi dari negara kesejahteraan adalah negara (pemerintah)
dapat melakukan intervensi terhadap berbagai kehidupan masyarakat melalui:
a. Operasi
langsung dalam arti pemerintah langsung aktif melakukan kegiatan yang
dikehendakinya;
b. Pengendalian
langsung yang bentuknya dapat berupa perijinan, lisensi, konsesi dan sebagainya;
c. Pengendalian
tidak langsung yaitu lewat pembuatan perundangundangan yang mengatur
persyaratan yang harus dipenuhi untuk terlaksananya kegiatan tertentu;
d. Pemengaruhan
langsung yang dilakukan dengan persuasi, pendekatan, atau nasehat agar
masyarakat bertindak sesuai dengan yang dikehendaki oleh pemerintah;
e. Pemengaruhan
tidak langsung yang merupakan kegiatan yang mengarahkan agar masyarakat berbuat
sesuai yang dikehendaki oleh pemerintah.
Sejarah membuktikan betapa
besar pengaruh hegemoni pemerintah terhadap berbagai sendi kehidupan
masyarakat. Menurut Ichlasul Amal,s pada masa Orde Baru, negara sangat kuat
dan dominan. Prinsip sentralisasi
kekuasaan yang monolitik ditegakkan dengan ketat. Dengan memanfaatkan
infrastruktur birokrasi, baik birokrasi sipil maupun birokrasi militer, sebagai
rangka baja stabilitas politik, orde baru telah berhasil menjalankan program
pembangunan di segala bidang. Akan tetapi prestasi-prestasi tersebut hanya
sebagian kecil saja yang merupakan realita, sedangkan sebagian besar lainnya
hanya fatamorgana. Pada zaman Orde Baru negara terlalu kuat hampir tidak ada
satu bidang kehidupan pun yang lepas dari kontrol negara dan pemerintah, sampai-sampai secara sinis orang
mengatakan bahwa untuk bernafas pun orang harus minta ijin pemerintah.
Lebih lanjut Ichlasul Amal
mengatakan,b bumi politik yang kita pijak sekarang ini sedang mengalami
pergeseran dari titik ekstrim yang satu ke titik ekstrim yang lain dalam suatu
spektrum politik. Pada titik yang pertama, kita memiliki situasi ekstrim masa
lalu berupa stabilitas ala Orde Baru yang
dipertahankan dengan segala macam cara, termasuk dengan memangkas hak-hak
partisipasi masyarakat. Pada titik yang berlawanan kita sedang bergerak menuju
situasi ekstrim berupa anarki sosial dan politik yang dapat melumpuhkan
sendi-sendi kerjasama sosial bangsa kita.
Kepentingan bangsa dan
negara menjadi terabaikan sebagai akibat kerakusan kekuasaan, dan euphoria politik yang berlebihan dan
tak terkendali. Tragedi kenegaraan di negara kita cukup menonjol, sebagai
contoh paradigma demokrasi dengan sistem pemilihan presiden secara langsung
oleh rakyat telah diapresiasikan oleh rakyat secara positif pada pilihan
presiden tahap pertama. Keprihatinannya adalah kecerdasan rakyat dalam menerima
perubahan paradigma demokrasi ini justru dinodai oleh keterbelakangan pikir para
elit politik (calon penguasa) dengan cara "kebijakan paksa" koalisi
antar partai untuk pemenangan pilihan presiden tahap kedua, yang di dalamnya
penuh dengan ancama-ancaman kepada fungsi organisatoris di bawahnya. Letak
permasalahannya adalah mengapa harus ada koalisi antar partai? Toh kemenangan
pemilihan presiden berada di tangan rakyat. Sekali lagi, dan sekali lagi,
lagi-lagi rakyat hanya ditempatkan sebagai objek dan bukan subjek politik.
Dalam kondisi seperti ini
tentu akan menimbulkan hegemoni elit (politik dan pemerintahan) yang sangat
kuat, seperti halnya masa pemerintahan Orde Baru, dengan bentuk
"penampakan" yang lain, yaitu sikap tidak peduli. Analisis terhadap
masalah tersebut dapat dikaji melalui ilmu-ilmu sosial yang membahas bermacam-macam
masalah (pembangunan, elit, kemiskinan, kesenjangan wanita dan sebagainya
seperti diungkapkan oleh Sunyoto Usman.' Dari beberapa macam teori sosial,
penulis merujuk pada teori Modernitas di dalam sosiologi pembangunan pedesaan,
yaitu: kegiatan pembangunan pada intinya berkisar pada upaya transformasi
menyeluruh dari masyarakat tradisional menjadi masyarakat yang memiliki
karakteristik teknologi dan organisasi sosial seperti yang terdapat di Dunia
Barat, seperti tuntutan transparansi adminsitrasi dan manajemen pemerintahan,
keseteraan wanita (Ian pria, perlindungan Hak Asasi Manusia, dan lain
sebagainya. Kegiatan pembanguan pedesaan berkaitan dengan proses diferensiasi
struktural, proses integrasi yang semula bersifat primordial menjadi
organisasional dan gerak adaptasi anggota masyarakat pada tatanan baru yang
lebih objektif-rasional. Kendala-kendala perjalanan pembangunan (tindakan
menentang atau bersikap konservatif terhadap perubahan) terutama terletak pada
kondisi internal masyarakat sendiri, seperti kebodohan, kekurangpekaan terhadap
renovasi, dan sikap pasrah.
Di samping itu kendala
internal masyarakat sendiri, misalnya meningkatnya tingkat pengangguran
sebagai akibat tidak terpenuhinya sasaran pendidikan, sikap pasrah cenderung
acuh tak acuh terhadap kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi bahkan cenderung
ke arah sikap skeptis dengan banyak sumber daya manusia produktif terjebak pada
penggunaan obat terlarang dan minuman keras serta perjudian.
Menurut T. Jacob,"
proses pembinaan bangsa sendiri tidak mudah, karena membentuk staatsnation (political nation) cukup sukar,
meskipun lebih sukar lagi membentuk kulturnation
(cultural nation) sesudahnya. Demikian pula yang terjadi di Indonesia
saat ini, di dalam masa reformasi, lebih lanjut ia mengatakan bahwa, difusi
kultural mengalir terlalu banyak dalam waktu yang singkat. Karena tipe ideal
adalah negara Barat yang maju, maka cirri-ciri budaya yang dianggap menyebabkan
keterbelakangan dicoba ganti dengan ciri negara-negara maju. Indikator negara
maju dijadikan sasaran untuk dikejar, tanpa memperhatikan kebudayaan kita
seutuhnya (in toto).
Keputusan tersebut bukan
saja merupakan refleksi kesadaran terhadap ekses-ekses manajemen pemerintahan
berupa tumpang tindihnya kewenangan di antara lembaga/departemen ekonomi, tetapi
sekaligus juga membuka mata adanya ekses penyimpangan di bidang-bidang lain
terutama hukum. Kiranya itu yang menjadi titik sentral tuntutan reformasi
melalui aksi mahasiswa yang didukung oleh semua lapisan masyarakat, yaitu
reformasi di bidang politik, ekonomi dan
hukum secara menyeluruh.
Gejala yang terjadi selama
ini, termasuk langkah-langkah reformasi bidang hukum tetap diakui
eksistensinya, namun bukan berwujud kesadaran terhadap hukum sebagai
kesepakatan aturan main bersama tetapi hukum yang "didikte" untuk
melegalkan keingginan dan kepentingan
parsial, yaitu penguasa. Padahal di dalam Penjelasan Pasal 24 UU No. 14 Tahun 1970, bahwa
kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari
pengaruh kekuasaan pemerintah. Keberadaan lembaga yudikatif sebagai lembaga
yang merdeka dan independen sangat dibutuhkan di dalam praktek penyelenggaraan
kenegaraan atau pemerintahan. Sebagai contoh, di Amerika Serikat, yang menganut
sistem pemisahan kekuasaan, apabila timbul perselisihan antara Presiden sebagai
pelaksana kekuasaan eksekutif dengan Conggrese sebagai pelaksana kekuasaan
legislative, sebagai checks and balances mengatasi kesulitan itu, diserahkan
kepada kekuasaan yudikatif.10 Konstruksi demikian akan menciptakan
suatu semangat keadilan yang indah, dalam hal ini fungsi lembaga-lembaga negara
di Indonesia, khususnya kekuasaan kehakiman dapat dijalankan secara mandiri dan
profesional. Dalam kasus-kasus seperti itu posisi hakim seperti ungkapan
Durkheim," yaitu bagaikan seorang anak yang tidak mentaati cara-cara yang
diajarkan padanya akan mengalami sanksi dari suatu kekuatan luar. Fakta sosial
di dalam hukum, terutama mengenai kebebasan hakim, mengisyaratkan bahwa
kebebasan hakim sering terusik oleh faktor-faktor dari luar dirinya yang dapat
mengarahkan pada situasi yang memaksanya.
Hal ini akan sangat
menentukan di bidang pembangunnan hukum yang berkelanjutan, seperti yang
diungkapkan oleh Tadjuddin Noor Effendi12 bahwa pembangunan dapat
berjalan dengan baik bila manusia mempunyai dan diberi kesempatan untuk
mengembangkan kemampuan dalam menentukan dan mengekspresikan nilai-nilai,
aspirasi dan menentukan pilihan-pilihan. Hal ini akan dapat dicapai bila ada
iklim keterbukaan dan manusia diberi kebebasan dalam hal peranannya pada
berbagai lapangan kehidupan. Wheare, dalam tulisan Ismail Suny,13
bahwa Undang-Undang Dasar 1945 termasuk
kategori suatu geloofs belijdenis, atau
suatu statement of ideals, karena
di dalamnya memuat dasar negara dan staatsfilosofie yang disebut Pancasila.
Belajar dari perjalanan
sejarah bangsa Indonesia seperti diuraikan di atas dapat diketahui bahwa Negara
Indonesia lahir dan hidup dalam alam ketidakpastian dan ketidakaturan, tata
kehidupan menjadi tidak.jelas bentuknya. Kondisi demikian dapat
mempengaruhi segala aspek kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Sudarsono,14
istilah fast buck, dan hit and run menggambarkan pemunculan sikap mental
yang serba tergesa-gesa yang terbentuk dalam situasi bergolak, tidak normal,
tidak menentu, penuh dengan persaingan serta kekurangan tatanan dan kekurangan semangat untuk mengacu pada rasa
tanggung jawab atau lebih berat, keputusasaan.
Dilihat dari kajian hukum
menurut Mahfud,15 menyatakan bahwa banyak yang meyakini bahwa krisis
nasional yang terjadi di Indonesia, baik yang mengantarkan jatuhnya rezim Orde
Lama ataupun Orde Baru, disebabkan oleh terjadinya pelanggaran oleh pemerintah
atas prinsip-prinsip negara hukUnn dan konstitusi. Pada sisi lain, Satjipto
Rahardjo16 menyatakan bahwa, menjadi negara hukum yang sebenarnya
adalah suatu proses panjang karena menyangkut perubahan perilaku, tatanan
sosial dan kultur. Gagasan bernegara hukum, menjalankan hukum, janganlah
direduksi dan dipersempit menjadi
praktek menjalankan undang-undang secara hitam putih atau kalimat dan pasal undang-undang belaka. Negara hukum juga
jangan direduksi menjadi negara prosedur hukum. Ini yang membuat kita menjadi
tidak sejahtera dan bahagia hidup di
negara hukum.
Kebijakan
Berorientasi HAM Dalam Pelaksanaan Ibadah Haji Memang sebaik-baik
bekal di dalam melaksanakan ibadah haji adalah taqwa kepada Allah Subhanahu wa
ta'ala, dilandasi tawakal dan sabar baik di dalam pelaksanaan ibadahnya, karena
berat dan melelahkan, maupun keadaan yang dialaminya. Dengan sistem dan manajemen penyelenggaraan ibadah haji selama
ini maka pengalaman dan keadaan
masing-masing jama'ah Haji setiap tahunnya akan berbeda dan tidak pasti,
sehingga terhadap jama'ah Haji yang telah melaksanakan ibadah haji beberapa
kali tentu juga akan mengalami keadaan yang berbeda-beda pula. Namun demikian,
bukan berarti bahwa karena telah berbekal ketaqwaan dan kesabaran tersebut kemudian mengabaikan
kepentingan Jama'ah Haji, karena secara yuridis pemerintah harus
mempertanggungjawabkan kepada Jama'ah Haji. Di samping itu dalam konteks ibadah
agama, pejabat pemerintah sebagai pemegang kekuasaan dan kewenangan di dalam penyelenggaraan ibadah
haji harus mempertanggungjawabkan kepada Allah Subhanawata'ala. Oleh karena itu
agar Jama'ah Haji dapat melaksanakan ibadahnya secara tertib dan khusuk, sehingga memperoleh derajat sebagai
Haji Mabrur, maka harus
dilindungi kepentingannya.
Kebijakan umum yang diambil
pemerintah c.q. Departemen Agama yang mempunyai kewenangan untuk menjamin
kebebasan bangsa Indonesia melaksanakan ibadah menurut agama yang dianutnya,
sebagaimana dilindungi oleh Undang-Undang Dasar 1945 dan merupakan hak asasi manusia, benar-benar
dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya
Keterlibatan pemerintah di
dalam berbagai aspek kehidupan individu, pada hakekatnya sesuai dengan tujuan
bangsa Indonesia yang tercantum di dalam Pembukaan UUD 1945, yang lebih
mengarah pada prinsip Welfarestate.
Berdasarkan prinsip ini pemerintah dapat melakukan peranannya di lapangan hukum
publik berlandaskan tugas dan
kewenangannya, maupun di lapangan hukum privat karena mempunyai hak dan
kewajiban, dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan umum. Hal inipun
sesuai dengan konsekuensi dari kehidupan negara modern, Utrecht"
mengatakan bahwa lapangan pekerjaan pemerintah sangat luas.
Berdasar teori Irving
Swerdlow, sebagaimana dikutip Muchsan,18 pemerintah dapat melakukan intervensi terhadap
penyelenggaraan ibadah haji tidak hanya dalam hal pengendalian baik langsung
maupun tidak langsung, tetapi juga melakukan operasi langsung sebagaimana
ditentukan di dalam UU No. 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Haji. Kemudian
diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri Agama No.371 Tahun 2002 tentang
Penyelenggaraan Haji dan Umroh, dan
Keputusan Direktui• Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji No.D/377 Tahun 2002
tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelenggaraan Haji dan Umroh. Dalam posisi yang demikian pemerintah c.q. Departemen Agama berperanan,
ganda atau "wayuh fungsi" yaitu bertindak selaku regulator yaitu
mengeluarkan kebijakan publik, baik sistem maupun manajemen, dalam bentuk
peraturan perundang-undangan, dan
sekaligus juga bertindak selaku operator yaitu melaksanakan secara
langsung sistem dan manajemen
penyelenggaraan haji. Memang pemerintah di dalam penyelenggaraan haji dan umroh juga melibatkan peran serta masyarakat,
yaitu untuk penyelenggaraan haji khusus dan
umroh, namun demikian sistem yang diatur di dalam UU No. 17 Tahun 1999
mengandung diskriminasi dan bersifat
sentralistik. Sebagai contoh, misalnya, Biaya Perjalanan Ibadah Haji telah
ditentukan oleh pemerintah dalam bentuk Keputusan Presiden sehiangga
berdasarkan asas "setiap warga negara dianggap tahu terhadap peraturan
perundangan yang diundangkan" maka Keputusan Presiden tersebut mengikat
meskipun tidak mengetahui hak-haknya sebagai imbalan jasa dari biaya yang telah
dibayarkannya itu secara pasti. Di samping itu dalam penentuan quota haji
khusus menjadi hak mutlak pemerintah, termasuk dalam hal pendistribusiannya
bagi Badan Penyelenggara Haji dan Umroh
milik masyarakat. Di dalamnya belum diatur standarisasi penentuan quota bagi
masing-masing Badan Penyelenggara Haji dan
Umroh milik masyarakat, sehingga menimbulkan dampak negatif di dalam
manajemen penyelenggaraan haji khusus. Contoh yang lain, di dalam penyelenggaraan
haji khusus UU No.J 7 Tahun 1999 mewajibkan dibuatnya surat perjanjian antara
Calon Jamaah Haji dengan Badan Penyelenggara Haji dan Umroh, tetapi tidak demikian dengan
penyelenggaraan haji reguler yang dilaksanakan oleh pemerintah. Tidak adanya
kewajiban untuk dibuat suatu perjanjian antara pemerintah c.q. Departemen Agama
dan Calon )ammah Haji reguler, menurut
penulis, merupakan gejala awal tidak terlindunginya hak dan kepentingan jamaah haji. Dengan selembar
Surat Pendaftaran Pergi Haji yang dikeluarkan oleh Departemen Agama dan bukti pembayaran Biaya Penyelenggaraan Ibadah
Haji dari Bank cukuplah bagi calon jamaah haji untuk pergi melaksanakan ibadah
haji, tanpa mengetahui secara pasti hak-hak yang semestinya diperoleh.
Dari uraian tersebut di atas
perlu kiranya dicermati lebih mendalam bahwasanya keterlibatan pemerintah
secara langsung di dalam operasional penyelenggaraan ibadah haji seyogyanya
sangat memperhatikan kepentingan para jamaah haji, sehingga para jamaah haji
dapat terlindungi hak dan kepentingannya
oleh sistem dan manajemen yang diatur
peraturan perundangundangan dan dapat
menikmati fasilitas yang diberikan oleh pemerintah. Dalam hal ini kedudukan
jamaah haji adalah sebagai konsumen jasa layanan yang diselenggarakan oleh pemerintah
atau publik.
Sampai saat ini socara
universal diakui adanya hak-hak konsumen yang
harus dilindungi dan dihormati, yaitu:
a. hak Umtuk mendapat keamanan;
b.
hak untuk mendapat informasi;
c.
hak untuk memilih;
d.
hak untuk didengar;
e.
hak atas lingkungan hidup.
Mengacu pada 5 hak dasar
konsumen tersebut di atas, perlu kiranya dicermati apakah jamaah haji selaku
konsumen jasa layanan publik sudah terpenuhi. f lal ini tidak dapat diabaikan
lagi mengingat hak dan kepentingan jamaah
haji perlu untuk dilindungi baik oleh pemerintah selaku pemegang kebijakan
publik ataupun selaku operator penyelenggaraan ibadah haji, sehingga dapat
melaksanakan ibadah haji dengan tenang, tertib dan khusuk tanpa terganggu oleh
hal-hal yang menyertai perjalanan ibadah haji, sebagai akibat tidak
terpenuhinya hak-hak sebagaimana mestinya. Bagi pemerintah c.q. Departemen
Agama, hal ini bukan saja kewajiban untuk bertanggung jawab melindungi
kepentingan jamaah haji, tetapi lebih dari itu kewajiban terhadap perlindungan
hak asasi manusia untuk melaksanakan ibadat agama sebagaimana dijamin oleh UUD
1945 dan amandemennya.
Penutup
Pada hakekatnya perlindungan
hak dan kepentingan jamaah haji pada dasarrrya dimaksudkan dalam rangka
penegakan hukum, karena di dalamnya terhadap konsep penyelenggaraan ibadah haji
secara tertib sehingga tercipta keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan
sosial bagi para jamaah haji. Hal tersebut sebagaimana diungkapkan Radburch
yang dikutip Satjipto Rahardjo,20 bahwa hukum mengandung ide atau
konsep-konsep yang abstrak, yang meliputi keadilan, kepastian hukum, dan
kemanfaatan sosial, harus diwujudkan dalam kenyataan. Proses perwujudan ide
yang.abstrak ke dalam kenyataan sesungguhnya merupakan proses penegakan hukum.
Penegakan hukum perlindungan
konsumen, didasarkan pada teori Radburch di atas, diwujudkan dengan suatu
undang-undang yang sangat diperlukan sebagai dasar perwujudan ide di dalam
kenyataan. Menurut Sri Redjeki Hartono,21 perlunya undang-undang
perlindungan konsumen karena lemahnya posisi konsumen dibandingkan posisi
produsen (jasa) karena mengenai proses sampai hasil produksi (jasa) tanpa
campur tangan konsumen sedikitpun.
Amandemen terhadap UUD 1945
pada dasarnya untuk menghilangkan ekses negatif di dalam pelaksanaan
pemerintahan dan kenegaraan, yang dapat merugikan kepentingan rakyat dalam
berbangsa dan bernegara. Empat kali amandemen terhadap UUD 1945 memberi harapan
baru terhadap kontrol dan keseimbangan fungsi kekuasaan negara, yang lebih
tegas dan jelas daripada sebelum amandemen.
Namun demikian idealisme di
dalam amandemen tersebut masih sangat tergantung dari apresiasi secara nyata
bagi para pelaku kekuasaan pada masing-masing lembaga. Beberapa faktor dicoba
untuk menjawab permasalahannya, di antaranya:
a. Tidak berfungsinya lembaga legislatif secara maksimal,
sebagai akibat
kurang
responsifnya anggota legislatif terhadap perkembangan jaman;
b. Terjebak pada kepentingan-kepentingan subjektif dan
kebutuhan jangka pendek pada semua lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif,
termasuk di dalamnya Dewan Perwakilan Daerah.
c. Kemampuan aspiratif dan legislasi lembaga legislatif
dalam mengeluarkan produk hukum, yang disebabkan sikap tertutup lembaga
legislatif terhadap komponen yang berkompetensi di bidang hukum.
Kebijakan penyelenggaran
ibadah Haji belum dapat memberikan
jaminan kebebasan beribadah, sebagai akibat intervensi pemerintah yang
berorientasi kekuasaan. Calon Jama'ah Haji ataupun Jama'ah Haji
berkedudukan sebagai objek, bukan subjek, di dalam penyelenggaraan haji yang
bersifat adminstratif. Secara yuridis belum jelas dilindungi hak-haknya.
Faktor keberhasilan
pelaksanaan kebebasan beribadah (haji) sebagai salah satu Hak Asasi Manusia,
terletak pada mental dan etos kerja para pelaku kekuasaan, yang dituntut harus
berorientasi pada kepentingan seluruh rakyat.
DAFTAR PUSTAKA
Cotterrell, Roger. 1984.
The Sociology of Law An Introduction. London Butterworths,
London.
Foster-Caster. 1976.
Dalam "From Rostow to
Gunder Frank: Conflecting Paradigms in the Analysis of Underdevelopment", World
Development, Vol. 4, No.3, March
1976.
.
1985, "Neo-Marxist Approaches to Development and Underdevelopment". Dalam
Peter Worsley (ed.). Modern Sociology,
Harmondworths: Penguin Books Ltd.
Gunder-Frank, Andre. 1985. "Development and Underdevelopment". Dalam Peter
Worsley (ed.). Modern Sosiology, Harmondsworth:
Penguin Books Ltd.
Ichlasul Amal. 1999.
"Refleksi Reformasi Multi Dimensional", Makalah untuk Semiloka
Refleksi Kritis Terhadap Proses
Reformasi, diselenggarakan oleh Universitas Gadjah Mada, di Yogyakarta, 27-28 )anuarii 1999.
Ismail Suny. 1984.
Mekanisme Demokrasi Panca Sila. AksaralBaru. Jakarta. Joeniarto. 1983. Selayang Pandang Tentang Sumber-sumber Hukum Tata
Negara di Indonesia, Liberty, Yogyakarta.
Kamanto, Sunarto. 1993.
Pengantar Sosiologi. LP-FEUI. Jakarta.
Moh. Mahfud MD. 1999.
"Tinjauan Substansi Reformasi Hukum ", Makalah pada Semiloka
Refleksi Kritis Terhadap Proses
Reformasi, UGM Yogyakarta, 27-28 Januari
1999.
Muchsan. 1997. Sistem
Pengawasan Terhadap Perbuatan
Aparat Pemerintah dan Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia. Liberty.
Yogyakarta
Muladi. 2002. Demokratisasi,
Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum
di Indonesia. The Habibie
Center. Jakarta.
Satjipto Rahardjo. 1983.
Masalah Penegakan Hukum: Suatu Tinjauan Sosiologis. Sinar Baru. Bandung.
Sudarsono. 1993.
"Reorientasi Pengelolaan Sumber Daya Manusia, Setelah Teori X,Y,Z dan W kita tunggu Teori
U(Anda)"; Orasi Ilmiah pada Pembukaan Kuliah Program Pasca Sarjana UGM
Semester I Tahun Akademik 1993/1994, Yogyakarta,
6 September 1993.
Sudikno Mertokusumo. 1993. Hukum Acara Perdata Indonesia. Liberty. Yogyakarta.
Sunyoto Usman dalam tulisannya berjudul "Kedudukan Teori Dalam Penelitian Sosial".
Tadjuddin Noer Effendi. 1993. Konsep Pendekatan Terpadu
Dalam Pengemhangan Sumber Daya Manusia.
Makalah Pelatihan Perencanaan Pengembangan Sumber Daya Manusia Tingkat DIY dan /awa Tengah, di Yogyakarta.
T. Jacob. 1999. "Refleksi
Kritis Terhadap Substansi
Reformasi, Globalisasin dan
Pembangunan Ekonomi". Makalah untuk Semiloka Refleksi Kritis Terhadap Proses Reformasi,
diselenggarakan oleh Universitas Gadjah Mada, di Yogyakarta, 27-28 Januari 1999.
No comments:
Post a Comment