Saturday, August 28, 2021

HAKEKAT, KONSEPSI DAN RENCANA AKSI NASIONAT HAK ASASI MANUSIA (HAM)

 

HAKEKAT, KONSEPSI DAN RENCANA AKSI NASIONAT HAK ASASI MANUSIA (HAM)

 

Pendahuluan

Hak asasi manusia menjadi bahasan penting setelah Perang Dunia II dan  pada waktu pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1945. Istilah HAM menggantikan istilah Natural Rights. Hal ini karena konsep hukum alam yang berkaitan dengan hak-hak alam menjadi suatu kontroversial. Hak asasi manusia yang dipahami sebagai natural rights merupakan suatu kebutuhan dari realitas sosial yang bersifat universal. Dalam perkem­bangannya telah mengalami perubahan-perubahan mendasar sejalan dengan keyakinan dan praktek-praktek sosial di lingkungan kehidupan wiasyarakat luas.

Semula HAM berada di negara-negara maju. Sesuai dengan per­kembangan kemajuan transportasi dan  komunikasi secara meluas, maka eegara berkembang seperti Indonesia, mau tidak mau sebagai anggota PBB, harus menerimanya untuk melakukan ratifikasi instrumen HAM internasional sesuai dengan falsafah Pancasila dan  Undang-Undang Dasar 1945, serta kebudayaan bangsa Indonesia.

Perkembangan HAM di Indonesia, sebenarnya dalam UUD 1945 telah tersurat, namun belum tercantum secara transparan. Setelah dilakukan Amandamen I s/d IV Undang-Undang Dasar 1945, ketentuan tentang HAM tercantum pada Pasal 28 A s/d 28 J. Sebenarnya pada UUDS 1950 yang pernah berlaku dari tahun 1949-1950, telah memuat pasal-pasal tentang HAM yang lebih banyak dan  lengkap dibandingkan UUD 1945. Namun Konstituante yang terbentuk melalui pemilihan umum tahun 1955 dibubarkan berdasarkan Keppres Nomor 150 tahun 1959, tanggal 5 Juli 1959. Secara otomatis hal ini mengakibatkan kita kembali lagi pada UUD 1945.

Kemudian berbagai pihak untuk melengkapi UUD 1945 yang berkaitan dengan HAM, melalui MPRS dalam sidang-sidangnya awal orde baru lelah menyusun Piagam Hak-hak Asasi Manusia dan  Hak-hak serta Kewajiban Warga Negara. MRS telah menyampaikan Nota MPRS kepada Presiden dan  DPR tentang pelaksanaan hak-hak asasi. Karena berbagai kepentingan politik pada saat itu, akhirnya tidak jadi diberlakukan. Dapat dilihat bahwa pernerintahan orde baru pada saat itu bersikap anti terhadap Piagam HAM, dan  beranggapan bahwa masalah HAM sudah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Untuk menghapus kekecewaan kepada bangsa Indonesia terhadap Piagam HAM, maka MPR pada Sidang Istimewanya tanggal 11 Nopember 1998 mensahkan Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 yang menugaskan kepada Lembaga-lembaga Tinggi Negara dan  seluruh Aparatur Pemerintah, untuk menghormati, menegakkan, dan  menyebarluaskar3 pemahaman mengenai HAM kepada seluruh masyarakat.

 

Instrumen HAM Nasional

Pada masa pemerintahan orde baru, demokrasi belum berjalan dengan baik. Terlihat misalnya seperti kebebasan mengemukakan pendapat di muka umum, kebebasan pers maupun kebebasan dalam organisasi dan  sebagaillya. Hanya kepentingan-kepentingan politik yang menonjol pada saat itu, sehingga gerak-gerik masyarakat terbatas oleh kekuatan politik dan  meliterisme. Demi nama baik bangsa dan  masyarakat di Indonesia sebagai anggota PBB, maka untuk menghormati Piagam PBB dan  Deklarasi Uni­versal HAM, serta untuk perlindungan, pemajuan, penegakkan, dan  pemenuhan HAM sesuai dengan prinsip-prinsip kebudayaan bangsa Indo­nesia, Pancasila dan Negara berdasarkan atas hukum telah menetapkan:

a.    Undang-Undang Nomor 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita;

b.    Keputusan Presiden Nomor 36 tahun 1990 tentang Pengesahan Hak­hak Anak;

c.    Keputusan Presiden Nomor 50 tahun 1993 tentang Komisi Nasional HAM.

Bertumpuknya permasalahan pada orde baru, baik masalah BLBI, KKN, kasus Tanjung Priuk tanggal 12 September 1984, DOM Aceh Tahun 1989, Trisakti tanggal 12 Mei 1998, ketidakpercayaan terhadap pemerintahan, dan  terjadinya kerusuhan tanggal 12-14 Mei 1998, pada tanggal 21 Mei 1998 telah tejadi pergantian pemerintahan yang selama ini berkuasa sampai dengan tanggal 19 Oktober 1999.

Pada masa Kabinet Reformasi Pembangunan, telah terjadi kasus Semanggi I tanggal 13 Nopember 1998, Semanggi II tanggal 22-24 Septem­ber 1999, pelanggaran HAM yang berat di Liquica, Dilli bulan April 1999 dan September 1999. Semenjak pergantian pemerintahan orde baru, dan  Kabinet Era Reformasi sampai dengan Kabinet Gortong Royong, telah banyak menetapkan peraturan perundangan yang berperspektif HAM dan ratifikasi instrumen HAM internasional, yaitu:

a)    Keppres Nomor 129 Tahun 1998 tanggal 15 Agustus 1998 tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan;

b)    Instruksi Presiden Nomor 26 Tahun 1998 tanggai 16 September 1998 tentang Menghentikan Penggunaan Istilah Pribumi dan Non Pribumi dalam Semua Perumusan dan Penyelenggaraan Kebijakan Peren­canaan Program Ataupun Pelaksanaan Kegiatan Penyelenggaraan Pemerintahan;

c)    Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 tanggal 28 September 1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan;

d)    Keppres Nomor 181 Tahun 1998 tanggal 9 Oktober 1998 tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan;

e)    Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tanggal 26 Oktober 1998, tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum;

f)     Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tanggal 23 September 1999 tentang HAM;

g)    Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tanggal 23 Nopember 2000 tentang Pengadilan HAM;

h)   Konvensi ILO No. 87 Tahun 1948, diratifikasi berdasarkan Keppres No. 83 Tahun 1998 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berorganisasi;

i)     Konvensi ILO No. 105 Tahun 1957, diratifikasi berdasarkan Undang­Undang Nomor 19 Tahun 1999 tentang Penghapusan Kerja Paksa;

j)      Konvensi ILO No. 111 Tahun 1958, diratifikasi berdasarkan Undang­Undang Nomor 21 Tahun 1999 tentang Diskriminasi dalam Pekerjaan  dan Jabatan;

k)    Konvensi ILO No. 138 Tahun 1973, diratifikasi berdasarkan Undang­Undang Nomor 20 Tahun 1999 tentang Usia Minimum Untuk Diperbolehkan Bekerja;

l)     Konvensi ILO No. 182 Tahun 1999, diratifikasi berdasarkan Undang­Undang No. 1 Tahun 2000 tentang Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak;

m)  Konvensi ILO No. 88 tahun 1948, diratifikasi berdasarkan Keppres No. 36 tahun 2002 tentang Lembaga Pelayanan Penempatan Tenaga Kerja.


 

HAM di Indonesia

Proses globalisasi yang bergulir pada tahun 80-an, bukan saja masalah kehidupan ekonomi, tetapi telah melanda dalam kehidupan politik, hankam, iptek, pendidikan, sosial budaya, dan hukum. Globalisasi di bidang politik tidak terlepas dari pergerakan tentang HAM, transparansi, dan  demokratisasi. Adanya globalisasi dalam pergerakan HAM, maka Indonesia harus menggabungkan instrumen-instrumen HAM internasional yang diakui oleh negara-negara anggota PBB, ke dalam hukum positif nasional sesuai dengan kebudayaan bangsa Indonesia clengan memperkuat lembaga masyarakat, lembaga studi, dan masyarakat luas untuk memainkan peran dalam mempromosikan dan melindungi HAM terhadap kehidupan masyarakat bangsa Indonesia. Dengan penerapan instrumen HAM internasional dalam hukum positif nasional, maka akan membatasi kekuasaan pemerintahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Konsep HAM yang sebelumnya cenderung bersifat theologis, filsafati, ideologis, atau moralistik, dengan kemajuan berbangsa dan  bernegara dalam konsep modern akan cenderung ke sifat yuridis dan politik, karena instrumen HAM dikembangkan sebagai bagian yang menyeluruh dan hukum internasional baik tertulis maupun tidak tertulis. Bentuknya bisa dalam wujud deklarasi, konvensi, kovenan, resolusi maupun general comments. Instrumen-instrumen tersebut akan membebankan kewajiban para negara-negara anggota PBB, sebagian mengikat secara yuridis dan sebagian lagi kewajiban secara moral walaupun para negara angota belum melakukan ratifikasi secara formal.

Tetapi konsep HAM tersebut tidak secara universal, disesuaikan dengan kebudayaan negara Indonesia yang berdasarkan pada Pancasila dan Undang­Undang Dasar 1945. Hal ini mutlak perlu, sebab akan berkaitan dengan falsafah, doktrin, dan wawasan bangsa Indonesia, baik secara individual maupun kolektif kehidupan masyarakat yang berasaskan kekeluargaan, dengan tidak mengenal secara fragmentasi moralitas sipil, moralitas komunal, maupun moralitas institusional yang saling menunjang secara proposional. Manusia di sini dipandang sebagai pribadi, sebagai makhluk sosial dan  dipandang sebagai warga negara. Jadi konsep HAM di Indonesia bukan saja terhadap hak-hak mendasar manusia, tetapi ada kewajiban dasar manusia sebagai warga negara untuk mematuhi peraturan perundang-undangan, hukum tak tertulis, menghormati HAM orang lain, moral, etika, patuh pada hukum internasional mengenai HAM yang telah diterima bangsa Indonesia, juga wajib membela terhadap negara. Sedangkan kewajiban bagi pemerintah untuk menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan HAM yang telah diatur berdasarkan peraturan perundangan dan hukum internasional HAM yang diterima oleh Indonesia.

 

Penutup

Dengan ditetapkan Rencana Aksi Nasional HAM (RANHAM) berdasarkan Feppres Nomor 40 Tahun 2004 tanggal 11 Mei 2004, merupakan kelanjutan RNNHAM 1998-2003 yang dicanangkan Presiden B.J. Habibie melalui ikWes Nomor 129 Tahun 1998 tanggal 15 Agustus 1998 yang semula rernuat empat program utama, yaitu:

a.    persiapan pengesahan perangkat internasional HAM;

b.    diseminasi dan  pendidikan HAM;

c.    pelaksanaan HAM yang ditetapkan sebagai prioritas; dan

d.    pelaksanaan isi atau ketentuan berbagai perangkat internasional HAM yang telah disahkan Indonesia.

Berdasarkan perubahan di atas, maka Ketua Panitia Nasional yang 9emula Menteri Luar Negeri dialihkan secara formal ke Menteri Kehakiman dan HAM dengan Sekretariat Direktur Jenderal Perlindungan HAM. Kemudian direkomendasikan pembentukan Panitia Daerah untuk membantu pelaksanaan RANHAM. Dalam pelaksanaan RANHAM telah meratifikasi Konvensi Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan dan  Konvensi Anti Penyiksaan, dan  penerjemahan perangkat HAM internasional yang alcan diratifikasi, penyebarluasan dan  sosialisasi perangkat HAM internasional yang telah diratifikasi, kajian peraturan perundang-undangan nasional yang Ierkait dengan perangkat HAM internasional, dekade pendidikan HAM, pelaksanaan pendidikan HAM di universitas dan  institusi lainnya, pelak­sanaan pendidikan HAM lewatjalur sekolah, penerjemahan bahan ajar HAM, pelaksanaan pendidikan HAM jalur luar sekolah, dan  sebagainya. Dan beberapa kegiatan yang belum dicapai dengan baik, akan dilaksanakan pada RANHAM 2004-2009, sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 40 Tahun 2004.

Panitia Nasional berkedudukan di bawah dan  bertanggung jawab langsung kepada Presiden, periode tahun 2004-2009 bertugas melakukan koordinasi pelaksanaan RANHAM Indonesia yang mencakup:

a.    pembentukan dan penguatan institusi pelaksanaan RANHAM;

b.    persiapan ratifikasi instrumen HAM internasional;

c.    persiapan harmonisasi peraturan perundang-undangan;

d.    diseminasi dan pendidikan HAM;

e.    penerapan norma dan standar HAM, dan;

f.     pemantauan, evaluasi dan pelaporan.

Keanggotaannya terdiri dari unsur-unsur pemerintah dan lembaga hak asasi manusia nasional sebanyak 41 (empat puluh satu). Sekretaris merangkap anggota adalah Direktur Jenderal Perlindungan HAM. Rencana kegiatannya melakukan pembentukan dan penguatan institusi pelaksana RANHAM di daerah, persiapan ratifikasi instrumen internasional HAM, persiapan harmonisasi peraturan perundang-undangan, desiminasi dan pendidikan HAM, penerapan norma dan standar instrumen HAM, dan pemantauan, evaluasi dan pelaporan.

 


 

Implikasi Pengaturan HAM Dalam UUD Terhadap lus Constituendum

 

Pendahuluan

Tulisan ini mengutarakan konsekuensi pengaturaan HAM dalam UUD Negara terhadap perundang-undangan di bawahnya baik yang telah adi maupun yang akan ada.

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan undang-undang lentang tindak pidana terorisme, sangat mengejutkan berbagai kalarrgan. Bahkan Menteri Kehakiman menghawatirkan Indonesia tidak dapat menindak pelaku terorisme.' Pada tataran penegak hukum terjadi silang pendapat lerhadap konsekuensi dibatalkannya undang-undang pemberantasan tindak pidana terorisme terhadap kasus yang sampai saat ini masih mengalami proses penyidikan yang menggunakan undang-undang tersebut. Pada tafaran massa, sekelompok orang melakukan unjuk rasa di Bali sebagai ungkapan kekecewaan.

Pembatalan undang-undang oleh MK bukanlah untuk pertama kalinya. Sebelumnya MK telah membatalkan atau mencabut beberapa pasal undang­undang tentang pemilihan presiden yang menyangkut bekas anggota PKI.

Dasar pembatalan kedua undang-undang tersebut adalah sama yakni bertentangan dengan UUD, terutama pasal-pasal tentang Hak Asasi Manusia.

Dalam persepektif penegakan HAM, putusan MK tersebut merupakan suatu langkah yang positif, artinya MK telah menunjukan bagaimana seharusnya mengoperasionalkan prinsip-prinsip HAM ke dalam peraturan atau hukum negara. Tetapi pada sisi lain, ini adalah bumerang bagi Pemerintah dan  DPR yang telah membuat undang-undang tersebut. Mengapa demikian? Karena akan ada kemungkinan berapa banyak lagi undang­undang yang telah ada dan  akan dibatalkan oleh MK, karena bertentangan dengan UUD. Kondisi demikian khususnya dalam kontek tulisan ini bertentangan dengan prinsip HAM yang terkandung di dalam sejumlah pasal-pasalnya.

Perjalanan HAM dalam Undang-Undang Dasar Indonesia Memasukan norma HAM ke dalam Undang-Undang Dasar Indonesia, merupakan perjuangan yang panjang. Pada awal negara ini dibentuk, telah terjadi pertentangan antara para pendiri negara dan  perancang konstitusi tentang perlu/tidaknya HAM dimasukkan ke dalam UUD Negara Indone­sia. Pertentangan tersebut disimbulkan antara kubu M. Yamin, di satu pihak, dengan kubu Soepomo dan  Soekarno di pihak lain. Dalam Pandangan Soepomo HAM sangat identik dengan idiologi liberal-individual, dengan demikian sangat tidak cocok dengan sifat masyarakat Indonesia. Soepomo tidak pernah membayangan kalau negara yang berasaskan kekeluargaan akan terjadi konflik atau penindasan negara kepada rakyatnya karena negara atau pemerintahan merupakan satu kesatuan, antara pemerintah dengan rakyat adalah tubuh yang sama.

Yamin menolak pandangan demikian, menurutnya tidak ada dasar apapun yang dapat dijadikan alasan untuk menolak memasukkan HAM dalam undang-undang dasar yang mereka rancang.' Walhasil dari pertentangan tersebut dicapai kompromi untuk memasukan beberapa prinsip HAM ke dalam UUD yang sedang mereka rancang. Wujud dari kompromi tersebut adalah apa yang diatur pada beberapa pasal dalam UUD 1945.

Membaca risalah sidang BPUPKI tersebut kita dapat melihat, bahwa sebagian perancang UUD 1945, masih mengkaitkan HAM dengan indivi­dualisme dan  liberalisme. Paham ini sangat ditentang oleh hampir semua anggota BPUPKI. Mereka menolak semua paham yang beraroma liberal. Hal ini dapat kita pahami, karena para perancang hukum dasar tersebut, merasakan getirnya hidup di masa kolonialis.

Penolakan Soepomo memasukkan norma-norma HAM ke dalam UUD 1945 bukan berarti ia anti HAM. Perubahan sikap Soepomo terhadap HAM dapat dilihat dengan dimasukkannya hak-hak dasar warganegara dalam Konstitusi RIS dan  UUDS 1950 di mana Soepomo terlibat secara langsung dalam perancangannya. Dalam UUDS 1950, sekitar 36 pasal prinsip-prinsip HAM dimuat di bawah payung hak-hak kebebasan-kebebasan dasar manusia yang dijabarkan dari Pasal 7 sampai Pasal 43.

Sejak Indonesia kembali kepada UUD 1945, di bawah rezim Soekarno, dan  dilanjutkan masa rezim Soeharto dengan orde barunya, pengaturan HAM kembali bersandar kepada beberapa pasal dalam UUD 1945.

Seiring dengan perkembangan perjalanan sejarah, di dunia international instrumen-instrumen HAM semakin berkembang dalam berbagai konvensi dan kovenannya. Perlindungan HAM kemudian dijadikan salah satu norma standar untuk berhubungan dengan negara luar khususnya negara-negara Barat. Dengan kekuatan ekonomi yaang besar dan ketergantungan negara-negara dunia ketiga yang non komunis kepada bantuan ekonomi Barat, menimbukan dominasi negara Baratdan standar Baratdalam penilaian terhadap pelaksanaan HAM dunia terutama negara dunia ketiga.

Isu HAM kemudian dijadikan isu internasional atau isu global.° Hal ini tak jarang menimbulkan konflik antara negara Barat dengan negara-negara dunia ketiga. Dengan mengetengahkan konsep keanekaragaman budaya, negara-negara non Barat mencoba membendung dominasi standar Barat dalam menilai perlindungan HAM di dunia.

Pemikiran itulah agaknya yang mendorong negara anggota OKI mengadakan pertemuan di Kairo untuk membicarakan masalah HAM yang cocok dengan nilai budaya Islam. Konferensi tersebut melahirkan Deklarasi Kairo tahun 1990. Namun karena pengaruh negara-negara anggota OKI sangat kecil dalam percaturan politik international membuat Deklarasi Kairo hanya sebatas kesepakatan moral belaka tanpa mampu mengimbangi dominasi standar Barat dalam masalah HAM.

Berbeda dengan rezim Soeharto, pemerintah Habibie yang masih muda harus mendapat tekanan politik baik dari dalam maupun internasional. Hal inilah agaknya yang mendorong pemerintahan Habibie meratifikasi berbagai instrumen HAM internasional dan menerbitkan Undang-Undang HAM (UU Nomor 39 Tahun 1999) dan  juga peradilan HAM.

Merasa tak ingin ketinggalan, MPR melakukan amandemen untuk memasukkan norma-norma HAM ke dalam Batang Tubuh UUD 1945. Satu hal yang sangat janggal adalah bahwa Undang-Undang HAM ada terlebih dahulu baru kemudian diatur dalam Undang-Undang Dasar.

Sangat berbeda dengan para pendiri negara, khususnya para perancang UUD yang harus berargumen dan  mengajukan berbagai landasaan filosofis untuk memasukkan prinsip-prinsip HAM ke dalam rancangan UUD, maka para perancang Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 dan  Komisi Perubahan UUD 1945 memasukkan prinsip-prinsip HAM ke dalam produk hukum tersebut mengalir tanpa banyak hambatan. Norma-norma ataupun prinsip-prinsip HAM yang dihasilkan berbagai deklarasi, konvensi, maupun oleh Statuta Roma masuk tanpa hambatan ke dalam pasal-pasal UUD maupun Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999.

Entahlah apakah ini baik atau tidak, yang jelas dengan masuknya prinsip-prinsip HAM hasil Statuta Roma, maka masalah HAM di Indonesia telah menggunakan standar international (khususnya standar Barat) yang selama orde baru berkuasa dan bahkan oleh Cina serta Malaysia sangat hati-hati dalam mengadopsinya.

 

Penutup

Dalam persepektif hukum tatanegara norma yang terkandung dalam UUD merupakan sumber hukum (rechtsgulle) bagi aturan yang ada di bawahnya. Konstruksi ini mempunyai makna bahwa norma-norma yang ada dalam UUD harus mengalir dalam perundang-undangan di bawahnya, apakah berupa norma original atau norma jabaran yang lebih konkrit. Norma tersebut dapat mengalir begitu saja dalam perundang-undangan yang lebih rendah atau perundangan yang lebih rendah dapat memberikan norma tafsiran dari norma yang lebih tinggi tersebut. Dengan kata lain, meminjam istilah dari Rudolf Stammler, seorang ahli filsafat hukum yang beraliran neo­Kantian, norma HAM yang terdapat dalam UUD adalah sebagai bintang pemandu (Leitstern) bagi pembuatan undang-undang di bawahnya agar selaras dengan nilai-nilai HAM.

Jika konstruksi inj dapat diterima, maka sebagai Leitstern, norma HAM yang terkandung dalam UUD, mempunyai dua posisi, yaitu sebagai norma pengarah atau pemandu bagi hukum positif untuk mencapai cita-cita perlindungan HAM, dan sebagai norma penguji undang-undang atau hukum positif apakah telah selaras dengan semangat HAM. Dengan kata lain, meminjam kerangka pemjkjran Gustav Radbruch,b seorang ahli filsafat hukum dari mazhab Baden, sebagai Leitstern norma HAM yang terkandung dalam UUD dapat berfungsi regulatif maupun konstitutif. Fungsi regulatif menempatkan norma HAM dalam UUD sebagai tolok ukur untuk menguji, apakah undang-undang atau hukum positif telah selaras dengan cita-cita HAM. Sebagai fl-mgsj konstitutif menentukan tanpa semangat HAM dalam UUD undang-undang atau hukum positif akan kehilangan makna sebagai hukum yang bermanfaat untuk kemasylahatan masyarakat.

Dalam kerangka fungsi regulatif inilah agaknya MK telah memainkan perannya membatalkan beberapa undang-undang tersebut di atas yang dianggap bertentangan dengan norma HAM yang terdapat dalam UUD. Mkalau kita bicara risiko, maka inilah risikonya yang harus diterima oleh DPR, terutama mereka yang teribat dalam amandemen UUD 45 dan  Pemerintah ketika mencoba bermain-main dengan konsitusi tanpa pemikiran yang jernih dan  mendalam. Kita harus percaya masih banyak lagi undang­undang yang akan mengalami mati suri terutama undang-undang yang dibuat pada masa lampau atau pemerintahan masa lalu, yang ditengarai bertentangan dengan cita-cita HAM, tinggal siapa yang akan mengajukan permohonan uji materil kepada MK.

Akan tetapi bagaimanapun juga Mahkamah Konstitusi telah mengajarkan kepada kita salah satu cara bagaimana HAM seharusnya dimasyarakatkan, lerutama dalam muatan hukum negara. Untuk itu DPR dan  Pernerintall dalam rangka lus Constituendum harus betul-betul cermat membuat Eonstruksi-konstruksi hukum dalam hukum negara agar selaras dengan cita­cita atau norma HAM yang terkandung dalam UUD 1945 yang telah diamandemen. Hal ini merupakan cara lain bagaimana nilai-nilai HAM dibudayakan, terutama dalam hukum negara.


 

Sifat Melawan Hukum Materiel dan Implikasinya Terhadap HAM Kolektif Atas Pembangunan di Indonesia

 

Pendahuluan

Sejak semula, tujuan perjuangan rakyat Indonesia untuk mencapai kemerdekaan ialah untuk mewujudkan kehidupan kebangsaan yang lebih baik di semua bidang kehidupan. Proklamasi kemerdekaan dan kemerdekaan itu sendiri, dengan demikian lebih dipandang sebagai jembatan, atau pintu gerbang memasuki kehidupan kebangsaan yang memungkinkan pengerahan segenap potensi kehidupan individu dan sosial demi terciptanya kehidupan yang sejahtera dan berkeadilan. Pendayagunaan dan pengembangan segenap potensi kehidupan berbangsa ini, dengan sendirinya meliputi pendayagunaan sistem hukum nasional sebagai instrumen penopang terselenggaranya kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Berkaitan dengan fungsi instrumental hukum,' yakni untuk memfasilitasi kehidupan masyarakat, bangsa dan negara menuju terwujudnya kehidupan yang adil dan sejahtera, telah sejak semula disadari tidak mungkin dapat diwujudkan melalui pembentukan suatu sistem hukum nasional yang serba memadai dalam tempo yang singkat. Sebaliknya juga dipahami betul, tidak mungkin ptala sepenuhnya mengandalkan peraturan perundang-undangan yang diwarisi dari pernerintahan kolonial. Bertitik tolak dari kondisi demikian itu, sebagaimana terlihat kemudian, yang terjadi adalah kompromi, yakni pendayagunaan hukum warisan kolonial untuk sementara dengan ditopang oleh peraturan baru yang akan dibentuk kemudian. Tranformasi dalam bidang hukum ini dilakukan secara bertahap, dan mengalami pasang surut yang merugikan bagi kehidupan masyarakat, bangsa dan negara.

Perubahan visioner dalam bidang hukum di Indonesia, secara lebih spesifik dapat pula diamati dalam bidang penegakan hukum pidana. Di masa-masa awal kemerdekaan, bidang peradilan di Indonesia tampak berpegang pada visi yang konservatif. Hal ini bahkan mengundang ounculnya kritik yang dilontarkan oleh Presiden Soekarno di masa itu, tiengan mengatakan bahwa "dengan ahli hukum orang tak dapat rnelakukan ievolusi".6 Dalam sistem peradilan pidana, berkaitan dengan unsur sifat wwlawan hukum sebagai unsur mutlak tindak pidana, badan peradilan iidonesia yang direpresentasikan oleh Mahkamah Agung, pada awalnya berpegang pada ajaran sifat melawan hukum yang formal. Dengan pendirian ini, badan beradilan tertinggi di Indonesia ini cenderung berpegang teguh pada rumusan ketentuan undang-undang.

Pendirian demikian itu ternyata tidak bertahan lama. Hanya dalam selang waktu empattahun, pendirian badan peradilan tertinggi tersebuttelah berubah secara revolusioner. Perubahan pendirian ini terjadi di tahun 1966 dalam kaitan dengan pemeriksaan kasasi perkara korupsi, ditandai dengan ditinggalkannya ajaran sifat melawan hukum formal dan  dianutnya ajaran sifat melawan hukum materiel. Mahkamah Agung dalam salah satu putusan kasasinya, menyatakan bahwa sifat melawan hukum suatu tindak pidana dapat hilang selain karena ketentuan undang-undang, bisa juga karena adanya asas-asas hukum yang tidak tertulis dan  bersifat umum. Dinyatakan pula bahwa asas-asas hukum yang tidak tertulis dan  bersifat umum itu antara lain: (a) faktor tidak dirugikannya negara; (b) kepentingan umum tetap dapat dilayani, dan  (c) terdakwa sendiri tidak memperoleh keuntungan.

Perubahan pendirian ajaran sifat melawan hukum seperti itu, dengan mengakomodasi norma-norma hukum tidak tertulis sebagai sumber hukum pidana, di satu sisi dapat dipandang sebagai sesuatu yang normal dalam dinamika pemikiran hukum dalam kehidupan sebuah bangsa dan  negara. Namun di sisi yang lain, perubahan itu dapat pula dipandang sebagai awal kemundLlran besar-besaran dalam upaya membangun sebuah bangsa yang berkeadilan, sejahtera dan  bermartabat. Dikatakan demikian, oleh karena sejalan dengan. bergulirnya Orde Baru dengan mainstream pembangunan nasional di segala bidang kehidupan, praktik-praktik korupsi ternyata mengalami peningkatan, sementara penegakan hukum demikian lemah. Para calon koruptor tampaknya telah memahami dengan baik "aspek-aspek hukum tindak pidana korupsi" sehingga dapat melakukan antisipasi.

Selama pemerintahan Orde Baru bahkan hingga zaman Reformasi bergulir, ternyata kemudian banyak kasus korupsi di Indonesia tidak terselesaikan dengan baik. Sebagaimana dinyatakan oleh lembaga-lembaga internasional bahwa Indonesia merupakan negara ketiga paling korup di dunia; dan merupakan negara paling korup di Asia. Sebagai negara paling korup, tanpa seorang koruptor pun yang dapat dipenjarakan. Dalam berbagai kesempatan, sering pula dikatakan bahwa lebih dari 30% dana pembangunan terkorupsi sepanjang tahun.

Dalam wilayah teoretis hukum, ajaran sifat melawan hukum yang berpatokan pada ketentuan undang-undang itu, dikenal dengan ajaran sifat melawan hukum formal. Badan peradilan Belanda pun pada awalnya berpegang teguh pada ajaran sifat melawan hukum formal tersebut. Hal ini terbukti dengan dikeluarkannya putusan Mahkarliah Agung Belanda yang dikenal dengan De Jutfense luffrouw Arrest 1911 (putusan mengenai nona dari kota Zutfen). Dalam putusan ini, Mahkamah Agung Belanda menganggap bahwa perbuatan nona (tergugat) tidak bersifat melawan hukum karena perbuatannya tidak melanggar ketentuan undang-undang (wet). Dalam perkara ini, seorang nona tinggal di lantai dua sebuah apartemen, sedangkan di lantai bawah didiami orang lain. Ketika musim dingin menghebat, pipa saluran air pecah dan  air mengalir ke lantai bawah. Keran yang dapat mematikan aliran air terdapat di dalam kamar si nona. Meskipun sudah diminta oleh penghuni lantai bawah untuk menutup keran, namun si nona tidak menghiraukannya, sehingga air menggenangi apartemen lantai bawah. Nona lalu digugat untuk membayar kerugian yang timbul karena genangan air. Tapi pada tingkat kasasi, gugatan tersebut ditolak oleh Mahkamah Agung dengan pertimbangan perbuatan si nona tidak melanggar suatu aturan undang-undang (wet)."

Putusan demikian itu kendatipun memiliki kekuatan berlaku secara formal di masa itu, namun secara sosiologis dianggap tidak mencerminkan rasa keadilan yang berkembang di masyarakat. Pandangan hukum formal legalistik demikian, dikritik oleh Molengraaf, seorang ahli hukum Belanda di masa itu, dianggap jauh dari rasa keadilan masyarakat.12 Molengraaf pula yang banyak menggagas perlunya perubahan secara mendasar tentang pemahaman mengenai sifat melawan hukum itu. Molengraaf menggagas tentang perlunya penerimaan norma-norma hukum yang tidak tertulis yang hidup di masyarakat sebagai sumber hukum materiel.

Di dalam praktik peradilan di Indonesia, searah dengan arus pemikiran negara dan hukum modern, badan peradilan di Indonesia, dalam hal ini direpresentasikan oleh Mahkamah Agung, juga pada awalnya berpegang pada ajaran sifat melawan hukum yang formal. Pendirian ini dapat disimak dari putusan MA 17 Januari 1962 No. 152 K/Kr/1965, yang berpandangan bahwa dalam perkara korupsi, unsur kerugian bagi negara dan  keuntungan bagi diri si pelaku; bukanlah unsur tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 416 KUHP. Dari putusan ini dapat dipahami bahwa argumentasi penasihat hukum terdakwa dalam memori kasasi yang menghendaki terpidana dilepaskan dari segala tuntutan hukum oleh karena pada perbuatan yang dituduhkan sipelaku tidak menimbulkan kerugian bagi negara dan  juga tidak memperoleh keuntungan bagi diri sendiri, sebagai alasan pembenar dari luar undang-undang harus dikesampingkan.

Pendirian MA yang menganut ajaran sifat melawan hukum formal ini berubah setelah empat tahun kemudian. Hal ini dapat disimak dari putusan kasasi MA 8 Januari 1996, Reg. No. 42 K/Kr/1965 atas perkara Machrus Effendi. Dalam putusan ini, MA berpendapat bahwa, suatu tindakan pada umumnya dapat hilang sifatnya sebagai melawan hukum bukan hanya berdasarkan suatu ketentuan dalam perundang-undangan, melainkan juga berdasarkan asas-asas keadilan atau berdasarkan asas-asas hukum yang tidak tertulis dan bersifat umum.15 Di dalam putusan tersebut juga dikemukakan bahwa asas-asas hukum tidak tertulis dan  berlaku umum itu meliputi: (a) faktor ticlak dirugikannya negara, (b) kepentingan umum tetap dapat dilayani, dan  (c) si pelaku tidak memperoleh keuntungan.t6 Putusan lain yang dapat dijadikan referensi ialah putusan kasasi Mahkamah Agung dalam perkara Ir. Otjo Danuatmadja, 20 Maret 1977, Reg. No. 81 K/Kr/ 1973. Dalam putusan ini, MA berpendapat, tertuduh sebagai insinyur kehutanan dengan memperhitungkan biaya reboisasi yang dikurangi kemanfaatannya dengan tidak mengambil keuntungan bagi dirinya sendiri dan dengan memperoleh tanah, menambah mobilitas serta untuk kesejahteraan pegawai, kepentingan umum dilayani dan  negara tidak dirugikin, serta secara materiel tidak melawan hukum walaupun perbuat­annya termasuk dari rumusan delik yang bersangkutan."

Dari kajian terhadap praktik penerapan ajaran sifat melawan hukum materiel di Indonesia, Komariah mengajukan beberapa dugaan mengapa praktik yang berdampak negatif itu timbul. Pertama, kegagalan para hakim Indonesia memahami semangat hukum yang terkandung di dalam KUHP yang berteks resmi bahasa Belanda. Kedua, kesalahan pembuat undang­undang yang tidak memberikan penjelasan terhadap naskah perundang­undangan, termasuk risalah pembahasan pembuatannya. Sistem perundang­undangan Indonesia juga dikacaukan oleh banyaknya undang-undang yang bersifat khusus berada di luar kerangka sistematika KUHP. Ketiga, pragmatisme dalam diri hakim-hakim Indonesia; dengan alasan mengisi kekosongan hukum atau desakan kebutuhan hukum, hakim menerapkan hukum secara keliru. Sikap pragmatic memberikan peluang masuknya wawasan pribadi hakim, baik dalam dirinya sendiri ataupun dari lingkungannya, yang mempengaruhi penyusunan dan penentuan putusannya,

Komariah tidak menolak pragmatisme, sepanjang tidak bertentangan dengan asas-asas hukum. Menurutnya, seorang hakim pidana dalam menentukan putusannya, di samping berbekal akal budi yang sehat serta moral yang luhur, juga harus berbekal pengetahuan hukum (teoretis) yang kuat, serta kekayaan pengalaman (empiris). Hal ini, oleh karena yang dipertaruhkan dalam suatu perkara pidana adalah nyawa, kemerdekaan, kehormatan, kekayaan seseorang, di samping kepentingan-kepentingan negara, bangsa, dan  masyarakat umum, yang keseluruhannya dilindungi secara berjenjang oleh hukum pidana

Berbeda dengan pandangan Komariah di atas, penulis mempunyai clugaan lebih jauh bahwa lahirnya putusan-putusan pengadilan yang menggambarkan kandasnya upaya penegakan hukum dalam perkara-perkara korupsi lebih merupakan dampak politisasi terhadap ketidakmandirian badan peradilan di Indonesia selama ini. Politisasi terhadap kekuasaan kehakiman di zaman Orde Baru dan  berlanjut di Era Reformasi sekarang ini, mem­perlihatkan betapa kekuasaan kehakiman mengalami kooptasi oleh kekuasaan eksekutif termasuk di dalamnya kepentingan partai politik yang berkuasa.

Keadaan demikian itu tidaklah mengherankan mengingat kepentingan politik, dalam hal ini birokrasi pemerintah Orde Baru sangat menonjol ke permukaan dan  memarginalkan posisi kewenangan legislatif dan  juga kewenangan judisial di masanya. Birokrasi menerapkan standar ganda dalam penegakan hukum. Hukum harus ditegakkan, tetapi manakala persoalan hukum menyangkut, mengusik, atau merugikan kekuasaan, maka hukum tidak harus ditegakkan. Dengan kata lain, hukum harus twiduk pada kekuasaan, karena hukum dianggap sebagai bagian dari kekuasaan, dan bukan sebaliknya. Keadaan demikian berakibat hukum tidak dapat diharapkan lagi sebagai kekuasaan pengontrol, sebaliknya justru telah menjadi kekuasaan. Keputusan­keputusan hukum yang menyangkut kekuasaan sering memberikan pembenaran terhadap perilaku kekuasaan.

Pengamatan Soetandyo Wignyosoebroto tampaknya tepat meng­gambarkan praktik politisasi hukum di zaman Orde Baru itu. Dikatakannya, dalam konteks keindonesiaan, realitas sosial dan  hukum Indonesia selama era Orde Baru, fungsionalisasi hukum sebagai suatu sistem instrumen sosial dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, telah terbelokkan secara sistematis ke arah yang berbeda dari konsep dasarnya.

Senada dengan itu, Abdul Hakim G. Nusantara, mengatakan bahwa praktik penegakan hukum di era Orde Baru memperlihatkan, betapa lembaga peradilan nasional, disebabkan berbagai faktor politik, menjadi semakin tidak kreatif untuk mengembangkan doktrin-doktrin hukum progresif untuk memenuhi kebutuhan pertindungan dan perlakuan adil bagi mayoritas masyarakat lapis bawah, melainkan justru menciptakan doktrin-doktrin hukum baru yang sekedar sebagai sarana legitimasi untuk melindungi kelompok masyarakat yang jauh lebih kuat 6aik secara ekonomi maupun politik.

Dalam tataran inilah, putusan Mahkamah Agung 8 Januari 1966 berikut putusan-putusan sejenisnya yang bermunculan di kemudian hari, dapat dpandan g sebagai doktrin hukum baru, menurut terminologi Abdul Hakim Garuda Nusantara, pada hakikatnya lebih mencerminkan tersubordinasinya ingsi dasar lembaga peradilan di Indonesia pada kepentingan elit kekuasaan. Tidak dapat dipungkiri bahwa rentang panjang kekuasaan Orde Baru juga ditunjang oleh dukungan dana yang bersumber dari dana hasil korupsi para 4ngsionaris dan elit partai yang memegang kekuasaan.

 

Kerangka Pembenahan Secara Sistemik

Dampak paling buruk penerapan ajaran sifat melawan hukum materiel dalam praktik penegakan hukum di Indonesia, adalah dalam penegakan hukum pidana terhadap kasus-kasus korupsi. Penerapan ajaran sifat melawan hukum materiel dalam masalah korupsi telah berlangsung sejak putusan monumental Mahkamah Agung 8 Januari 1966 tersebut. Dalam masa ini hukum positif tentang masalah korupsi adalah ketentuan-ketentuan tentang kejahatan jabatan dalam KUHP yang kemudian diatur secara khusus di dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1971, yang berlaku hingga dicabut dengan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 dan  dirubah dengan Undang­Undang No. 20 Tahun 2000.

Kejengahan masyarakat terhadap praktik korupsi di dalam berbagai lembaga kenegaraan di Indonesia, yang dalam banyak hal direpresentasikan oleh suara-suara pedas Lembaga Swadaya Masyarakat serta kajian-kajian ilmiah para akademisi, menempatkan pemerintah berada dalam posisi berkewajiban melakukan upaya pemberantasan secara lebih kondusif dan  sistemik. Posisi berkewajiban ini semakin tak terelakkan, mengingat selama ini pelaku-pelaku perbuatan korupsi merupakan orang-orang pemerintahan dan  terjadi di lembaga-lembaga milik negara.

Dalam kaitan ini dapat dilihat perubahan dalam cara pandang terhadap perbuatan korupsi di Indonesia di dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999. Dalam UU ini terlihat adanya keinginan untuk meninggalkan pradigma lama dan  beralih pada paradigma baru dalam hukum pidana tentang korupsi di Indonesia. Jika paradigma lama itu adalah apa yang tertuang di dalam putusan Mahkamah Agung 8 Januari 1966, yakni ajaran sifat melawan hukum materiel, maka paradigma baru tersebut adalah ajaran sifat melawan hukum yang formal. Dikatakan di dalam Pasal 4 UU No. 31 Tahun 1999, bahwa pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3.33

Pernyataan yang terkandung di dalam Pasal 4 tersebut, memuat penegasian untuk sebagian (butir pertama) isi putusan Mahkamah Agung 8 Januari 1966 tersebut di atas. Harus diakui bahwa penegasian itu hanya bersifat sebagian dan  tidak sepenuhnya. Di satu sisi, penegasian sebagian dapat diartikan perubahan paradigma setengah hati dari pembentuk audang-undang Indonesia. Di sisi lain, memang putusan Mahkamah Agung iiirya dapat dianulir, ditiadakan, dicabut sepenuhnya oleh Mahkamah Agung ie>wdiri melalui putusan kasasi baru dalam kasus korupsi.

Telah terlihat bahwa, komitmen penanggulangan dan pemberantasan Iorupsi ~ecara sistemik, telah dicoba diimplementasikan melalui perattiran perunda~g-undangan. Telah tampak adanya perubahan paradigmatik dalam Iowan perundang-undangan tentang korupsi di Indonesia. )ika merujuk pada konsep Friedman tersebut di depan, telah dilakukan pembenahan pada aspek substansi hukum tentang pemberantasan korupsi. Secara spesifik dalam masalah korupsi, telah terjadi perubahan paradigma visi hukum, Vakni ditinggalkannya ajaran sifat melawan hukum materil dan beralih pada ajaran sifat melawan hukum formal. Dalam pada itu, telah pula diiakukan pembenahan dalam aspek struktural yang berkompeten dalam apaya penanggulangan korupsi ini. Hal yang tertinggal sebagai pertanyaan 6esar, adalah kulturatau budaya penegakan hukum penanggulangan korupsi. Aspek kultur ini berkaitan dengan perilaku dari semua pihak yang memiliki kompetensi dalam penanggulangan korupsi tersebut, yakni perilaku yang k+onsisten untuk menghindari perilaku korup, serta menegakkan hukum 9ecara konsisten dalam menyelesaikan perkara-perkara korupsi. Kebijakan pemerintah di bawah kepemimpinan Aburrahman Wahid yang berupaya wiemutuskan mata rantai dari bingkai sistem dan kebijakan politik yang s+elama ini dibangun rezim Orde Baru patut dihargai. Pemutusan mata rantai itu dilakukan dengan membatasi pegawai negeri menjadi anggota partai politik, melarang anggota militer aktif menduduki jabatan elit birokrasi, mengurangi peran sosial-politik (dwifungsi) militer, serta pendirian lembaga yang berfungsi mewakili kepentingan publik (ombudsman) atau lembaga yang berfungsi melakukan pembelaan publik yang diakibatkan oleh tindakan atau perilaku aparat penegak hukum dan birokrasi. Kebijakan itu baru merupakan langkah awal, yang dengan sendirinya perlu dilanjutkan oleh pemimpin pemerintahan berikutnya. Dalam hal ini patut disayangkan bahwa iezim pemerintahan setelah Abdurrahman Wahid tidak memperlihatkan komitmen kuat pada upaya demikian itu. berlangsung diam-diam tanpa kehebohan, sementara hal-hal yang negatif cenderung menjadi bahan pembicaraan. Dalam kajian ini, telah diperlihatkan terdapat mata rantai keterkaitan antara putusan Mahkamah Agung 8)anuari 1966 sebagai tonggak perubahan pendirian badan peradilan Indonesia dengan merebaknya kasus-kasus korupsi dan kegagalan badan peradilan Indonesia dalam menjalankan fungsinya untuk melindungi kepentingan hukum yang ideal yakni ketertiban hukum.

Secara alternatif, terjadinya perubahan pendirian Mahkamah Agung itu dapat terjadi karena keawaman (ketunaan) dari hakim-hakim Indonesia dalam memahami arti pentingnya ketertiban hukum yang harus dilindungi dalam segala situasi, atau karena pertimbangan pragmatis yang lebih merupakan hasil akomodasi terhadap kepentingan-kepentingan lingkungan di luar lembaga peradilan (Mahkamah Agung), dalam hal ini kepentingan politik atau kekuasaan. Sebagaimana tampak kemudian, bahwa penerapan secara generalis (umum) ajaran sifat melawan hukum materiel itu, telah diikuti dengan meningkatnya praktik-praktik korupsi di Indonesia bagaikan perilaku yang membudaya, dan karena itu tidak mungkin diberantas dan  ditanggulangi.

Tekanan yang demikian kuat dari berbagai elemen masyarakat pula yang kemudian menyebabkan pembentuk undang-undang nasional melakukan upaya perubahan paradigmatik dalam hukum pemberantasan korupsi di Indonesia. Inilah yang kemudian dituangkan di dalam Undang­Undang No. 31 Tahun 1999, yang ditandai dengan penegasian untuk sebagian isi putusan Mahkamah Agung 8)anuari 1966 tersebut di depan. Dengan demikian, dalam konteks penegakan hukum dalam perkara korupsi ketetapan dari pembentuk undang-undanglah yang harus ditempatkan di atas putusan hakim.


Harmoni Pembangunan Hukum

Dalam Pemberantasan Korupsi dan Penegakan HAM

di Indonesia

 

Pendahuluan

Dari segi moral dan  etika, kita dapat menilai bahwa kondisi Indonesia sekarang sangat menyedihkan dengan melihat praktek korupsi yang semakin marak. Korupsi masih menjadi kejahatan yang luar biasa di negeri ini. Meskipun Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sudah mengamanatkan agar penyelenggara negara lebih gencar memberantas korupsi, namun praktek-praktek korupsi tidaklah menjadi surut bahkan semakin merajalela dan  menggurita. Dunia peradilan pun tidak luput dari indikasi korupsi ini. Korupsi di pengadilan tidak hanya merusak supremasi hukum atas dasar independensi kekuasaan kehakiman, tetapi bertentangan dengan prinsip­prinsip demokrasi yang didasarkan atas kepercayaan (Muladi, 2002: 14). Kita lebih banyak berdiskusi mengenai korupsi dari pada menyeret dan  menghukum para koruptor tersebut.

Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak ekonomi dan  sosial masyarakat (Romli Atmasasmita, 2004: 75; Lihat pula Penjelasan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001). Ini berarti tindak pidana korupsi merupakan pelanggaran HAM karena praktek korupsi itu jelas sangat merugikan kepentingan ekonomi dan  sosial masayarakat (baik secara individu maupun kelompok). Artinya tindak pidana korupsi itu adalah perbuatan yang melanggar hak ekonomi dan  sosial, yang merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia.

Dalam Semiloka Nasional Pemberdayaan Budaya Hukum dalam perlindungan HAM di Indonesia, Karmi A. dalam tulisannya mengatakan, tindak pidana korupsi menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan pelanggaran HAM. Karena korupsi bukan hanya sekedar merugikan keuangan negara, tetapi juga berpotensi merusak sendi-sendi kehidupan sosial, hak­hak ekonomi rakyat yang melekat secara tidak langsung pada hak keperdataan negara. Karena uang negara yang dirampas oleh para koruptor secara tidak langsung juga merampas uang milik rakyat (Karmi A., 2004: 9). Sangat sulit bagaimana kita dapat mengurai apa penyebab dari seluruh persoalan korupsi ini, bukan berarti tidak ada, karena begitu akumulatif dan bervariasi membentuk lingkaran masalah yang tak kunjung dapat dicari penyelesaiannya. Kesulitan yang paling krusial adalah dari mana kita harus wlai melangkah untuk memberantas tindak pidana korupsi yang melanda imigsa ini. Kiranya benar apa yang dikatakan oleh Romli Atmasasmita, w*rnberantas korupsi bukanlah pekerjaan membabat rumput, memberantas iiurupsi layaknya mencegah dan  menumpas virus suatu penyakit yaitu Venyakit masyarakat. Diperlukan diagnosa dan  kesimpulan serta treatment VwM tepat agar virus penyakit tersebut bukan hanya dapat dicegah akan Ietapi di kemudian hari tidak akan terjadi lagi (Romli Atmasasmita, 2004: 271.

Harus ada langkah awal sebagai titik beranjak, yang dapat dijadikan pegangan, bahwa parahnya penyakit korupsi yang menimpa bangsa kita tidak dapat dibiarkan begitu saja. Mengapa demikian? Inilah hakekat sebenarnya dari kehidupan manusia. Manusia sebagaimana dikatakan oleh Edmund Leach adalah mahluk yang lebih bersifat kultural dari pada natu­ral, berarti selalu merencanakan kehidupan yang lebih baik. Berbudaya berarti mencintai perubahan, berbudaya berarti selalu berada dalam kehidupan yang mengalir. Dalam pembangunan, manusia selalu menggunakan kemampuan dirinya untuk memilih dan memilah mulai langkah mana ia harus melangkah (Adam Podgorecki, 1987: 30). Manusia akan menetapkan landasan sebagai langkah awal pijakan dari apa yang mereka anggap baik dan benar dalam realitas kehidupannya, seperti yang dijelaskan oleh Liek Wilardjo tentang proses titik berangkat dari realita Was sein) menuju ke desiderata Was sollen) (Liek Wilardjo, 2003: 3). Melalui hal itu, kita coba mulai melangkah untuk menata dan menyusun skema pengintegrasian sistem hukum yang harmoni sebagai langkah awal dalam menanggulangi tindak pidana korupsi yang semakin menggurita, dan sangat merugikan hak-hak ekonomi dan sosial masyarakat.

Sebagaimana dijelaskan oleh Lawrence Friedman, sistem hukum meliputi: pertama struktur hukum (legal structure) yaitu bagian-bagian yang bergerak di dalam suatu mekanisme sistem atau fasilitas yang ada dan  disiapkan dalam sistem; misalnya, Pengadilan, Kejaksaan. Kedua, substansi hukum (legal substance) yaitu hasil aktual yang diterbitkan oleh sistem hukum. Misalnya putusan hakim, undang-undang. Ketiga, Budaya Hukum (legal culture) yaitu sikap publik atau nilai-nilai, komitmen moral dan kesadaran yang mendorong bekerjanya sistem hukum, atau keseluruhan faktor yang menentukan bagaimana sistem hukum memperoleh tempat yang logis dalam kerangka budaya milik masyarakat (Lawrence M. Friedman, 1990).

Sehubungan dengan sistem hukum itu, Sunaryati Hartono (1993: 341) memerinci sistem hukum nasional ke dalam lima belas komponen Filsafah dan Asas-asas Hukum Nasional, meliputi:

a. Wawasan dan pendekatan pembinaan hukum nasional;

b. Kaidah-kaidah hukum (termasuk yurisprudensi dan  hukum kebiasaan);

c. Pranata-pranata hukum;

d. Lembaga-lembaga hukum;

e. Kesadaran hukum nasional;

f.m Sikap dan perilaku hukum;

g Proses dan prosedur, cara dan mekanisme hukum;

h. Monitoring, analisis dan evaluasi, pengkajian dan penelitian hukum;

i. Sistem pendidikan hukum;

j. Ilmu hukum nasional;

k. Profesi hukum, para penegak hukum dan pejabat/petugas pelayan hukum;

l. Penyediaan data, bahan, kepustakaan, dan informasi hukum;

m. Sarana fisik dan non-fisik;

n. Rencana-rencana pembangunan hukum.

Dalam suatu negara betapa baiknya suatu peraturan perundang­widangan jika tidak disertai dengan jaminan pelaksanaan hukum yang baik uiscaya pembangunan hukum akan menjadi sia-sia. Pembangunan hukum ious benar-benar mampu mewujudkan jaminan atas terciptanya keadilan seluruh rakyat Indonesia (Sila 5), pembangunan hukum harus mampu jamin hak kodrat dan hak asasi manusia (Sila 1 dan 2), serta mampu jamin persatuan dan kedaulatan rakyat (Sila 3 dan 4).

Harmoni Gerak Langkah Aparat Penegak Hukum; Suatu Keharusan

Kegagalan demi kegagalan dari instansi penegak hukum, dalam meng­implementasikan program-program pembaharuan hukum dan peradilan, telah membuat banyak orang tidak percaya dengan supremasi hukum. Semua orang tahu, tidak hanya di dalam negeri tetapi di luar negeri pun orang tahu bahwa hukum di Indonesia sangat terpuruk. Korupsi tidak bisa lagi ditangani oleh sistem hukum di Indonesia. Faktanya, Indonesia adalah salah satu negara terkorup di dunia, tetapi koruptornya tidak ada.

Sepanjang hari panggung hukum Indonesia terus dikritik sebagai hukum terburuk di dunia, membingungkan, menjengkelkan, tidak dapat dipercaya dan seterusnya. Keputusan MA atas kasus Akbar Tanjung hampir semua opini masyarakat menyuarakan kesenadaan reaksi, yaitu kegetiran, kekecewaan, keputusasaan, ketidakberdayaan dan kemarahan.

Banyak komentar dan istilah yang diberikan atas realita hukum di Indonesia, antara lain bahwa hukum yang Abracadabra, secara bertahap dan terstruktur keadaan penegakan hukum sangat amburadul, etika hukum mulai luntur dan profesionalisme hukum mulai ditanggalkan dan ditinggalkan (J. E. Sahetapy, Kompas, Desember 2003), produk hukum kita tidak berbobot, kurang cepat bergerak, kurang profesional, integritas personilnya bermental bobrok dan koruptif (Jurnal Keadilan, 2002), Turut Belasungkawa Atas Boroknya Hukum di Indonesia (Suara Merdeka, Februari 2004), Jangan Percaya Hukum, Dunia Peradilan Telah Kiamat (Kompas, Februari 2004).

Hukum tidak dapat lepas dari kepentingan ekonomi dan politik. Banyak kepentingan ekonomi yang terlibat dalam pembuatan dan penegakan hukum di Indonesia. Di samping bidang ekonomi, hukum sangat dipengaruhi oleh kondisi politik dan kekuasaan (Amir Syamsudin, 2002: 7). Intervensi dan lobi atas kasus-kasus hukum adalah realitas buruk peradilan Indonesia. Apalagi tidak tersedianya sistem hukum yang betul-betul memproteksi kemungkinan negosiasi perkara. Dari keputusan palu MA atas kasus Akbar Tandjung itu membuktikan bahwa hukum diperijara oleh kepentingan politik (Denny Indrayana, Kompas, Februari 2004).

Lembaga peradilan yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam menegakkan hukum dan menciptakan keadilan tanpa pandang bulu, ternyata hanya melayani segelintir orang yang dianggap dekat dengan kekuasaan.

Pemimpin yang dibutuhkan adalah pemimpin yang terdi.ri dari Orang­onng cakap, bersih, jujur, dan adil. Hanya orang yang benar-benar bersih, rujur dan  adillah yang akan sanggup menjadi pemimpin dalam suatu masyarakat yang masih kental dengan budaya paternalistik, untuk mengarahkan pembangunan hukum yang harmoni dalam rangka memberantas korupsi dan  penegakan HAM di Indonesia. Pemberantasan korupsi dan  penegakan HAM haruslah dimulai dari kesadaran diri sang pemimpin, bukan dari kesadaran rakyat yang dipimpinnya.

 

Penutup

Harmoni pembangunan hukum akan berada pada jalur untuk melakukan pembaharuan pola pikir masyarakat, sekaligus sebagai alat pengintegrasian. Akan dibawa ke mana masyarakat melalui hukum, apa yang dapat diberikan hukum Umtuk mencapai tujuan dalam masyarakat, untuk mewujudkan itu semua, mari kita melakukan tindakan dengan mengerahkan dana dan  daya setta pj.kiran agar harapan dan perjalanan dalam virus penyakit korupsi wang menyerang seluruh lapisan masyarakat kita, dapat dicegah, diberantas, dan di kemudian hari tidak akan menjangkit lagi di bumi Indonesia yang kiita cintai ini, dan penegakan HAM sesuai dengan harapan serta tujuan bta bersama.


Instrumen dan Penegakan HAM di Indonesia

 

Pendahuluan

Terdapat banyak batasan tentang hak asasi manusia. Hendarmin Ranadireksa (2002: 139) memberikan definisi tentang hak asasi manusia pada hakekatnya adalah seperangkat ketentuan atau aturan untuk melindungi warga negara dari kemungkinan penindasan, pemasungan dan atau pembatasan ruang gerak warga negara oleh negara. Artinya, ada pembatasan-pembatasan tertentu yang diberlakukan pada negara agar hak warga negara yang paling hakiki terlindung dari kesewenang-wenangan kekuasaan. Menurut Mahfud MD. (2001: 127) hak asasi manusia itu diartikan sebagai hak yang melekat pada martabat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan, dan hak tersebut dibawa manusia sejak lahir ke muka bumi sehingga hak tersebut bersifat fitri (kodrati), bukan merupakan pernberian manusia atau negara. Dari dua pendapat tersebut di atas penulis mengambil kesimpulan bahwa hak asasi manusia adalah hak dasar yang melekat pada setiap individu sejak dilahirkan ke muka bumi dan bukan merupakan pemberian manusia atau negara yang wajib dilindungi oleh negara.

Setelah dunia mengalami dua perang yang melibatkan hampir seluruh dunia dan di mana hak-hak asasi manusia diinjak-injak, timbul keinginan untuk merumuskan hak-hak asasi manusia itu dalam suatu naskah internasional. Usaha ini pada 10 Desember 1948 berhasil dengan diterimanya Universal Declaration of Human Rights,(Pernyataan Sedunia tentang Hak­hak Asasi Manusia) oleh negara-negara yang tergabung dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Paris.

Sebagai sebuah pernyataan atau piagam Universal Declaration of Human Rights baru mengikat secara moral namun belum secara yuridis. Tetapi sekalipun tidak mengikat secara yuridis, namun dokumen ini mempunyai pengaruh moril, politik dan edukatif yang sangat besar. Dia rrelambangkan "commitment" moril dari dunia internasional pada norma­norma dan hak-hak asasi.

Agar pernyataan itu dapat mengikat secara yuridis harus dituangkan dalam bentuk perjanjian unilateral. Tanggal 16 Desember 1966 lahirlah Covenant dari Sidang Umum PBB yang mengikat bagi negara-negara yang meratifikasi Covenant (perjanjian). Covenant tersebut memuat;

a.    Perjanjian tentang hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (Covenant on economic, social and cultural rights), memuat hal-hal sebagai berikut; Hak atas pekerjaan (Pasal 6), membentuk serikat pekerja (Pasal 8), hak pensiun (Pasal 9), hak tingkat hidup yang layak bagi diri sendiri dan keluarga (Pasal 11), dan hak mendapatkan pendidikan (Pasal 13);

b.    Perjanjian tentang hak-hak sipil dan politik (Covenant on civil and political rights) yang meliputi; Hak atas hidup (Pasal 6), kebebasan dan keamanan diri (Pasal 9), kesamaan di muka badan-badan peradilan (Pasal 14), kebebasan berfikir dan beragama (Pasal 19), kebebasan berkumpul secara damai (Pasal 21) dan hak berserikat (Pasal 22).

Piagam ini mengalami kesulitan dalam pelaksanaannya secara internasional karena beberapa sebab:

a.    Pelaksanaan secara internasional itu menyangkut hukum internasional yang sangat rumit.

b.    Pelaksanaan hak asasi harus disesuaikan dengan keadaan negara masing-masing.

c.    SekalipUm dinyatakan tanpa batas secara ekspilit di dalam covenant tetapi pelaksanaan hak asasi terbatas atau dibatasi oleh dua hal:

1)    Dibatasi oleh undang-undang yang berlaku di tiap-tiap negara. Misalnya di dalam Pasal 19 Perjanjian Sipil dan Politik disebutkan pembatasan "untuk menghormati hak dan nama baik orang lain serta untuk menjaga keamanan nasional, ketertiban umum dan moral umum".

2)    Dibatasi oleh pertimbangan ketertiban dan keamanan nasional masing-masing negara. Dalam Pasal 21 Perjanjian Hak Sipil dan Politik disebutkan "dalam negara demokratis diperlukan demi keamanan nasional atau keselamatan umum, ketertiban umum, perlindungan terhadap kesehatan dan moral umum atau per­lindungan terhadap hak-hak dan kebebasan orang lain" maka hak untuk berkumpul dan berpendapat dibatasi (Mahfud, 2001: 130).

 

Instrumen HAM di Indonesia

Konstitusi (dalam bahasa Inggris "Constitution") berarti undang-undang dasar, dalam arti keseluruhan peraturan-peraturan, baik tertulis maupun tidak, mengatur secara mengikat cara-cara bagaimana suatu pemerintah diselenggarakan dalam suatu masyarakat.

Dalam terminologi Indonesia Undang-Undang Dasar adalah hukum dasar yang tertulis. Pengertian ini setara dengan pengertian dalam bahasa Belanda "Grondwet " (Grond = dasar; wet = undang-undang) yang berarti Undang­Undang Dasar, dalam bahasa )erman "Grundgesetz" (Grund = dasar; gesets = undang-undang) dalam bahasa Indonesia konstitusi berarti hukum dasar. Hukum Dasar ada dua macam yaitu yang tertulis disebut Undang-Undang Dasar dan yang tidak tertulis disebut Konvensi (BP-7 Pusat, 1993: 83).

Menurut Herman Heller (249) dalam bukunya "Staatlehre" Konstitusi itu memiliki tiga pengertian, yaitu:

a.    Konstitusi mencerminkan kehidupan politik di dalam masyarakat sebagai suatu kenyataan dan ia belum merupakan Konstitusi dalam arti hukum atau dengan perkataan lain Konstitusi itu masih merupakan pengertian sosiologis atau politis dan belum merupakan pengertian hukum;

b.    Baru setelah orang mencari unsur-unsur hukumnya dari Konstitusi yang hidup dalam masyarakat itu untuk dijadikan sebagai suatu kesatuan kaidah hukum, maka Konstitusi itu disebut Rechtverfassung. Tugas mencari unsur-Umsur hukum dalam ilmu pengetahuan hukum disebut "abstraksi";

c.    Kemudian orang-orang menulisnya dalam suatu naskah sebagai
undang-undang yang tertinggi yang berlaku dalam suatu negara.

Setiap Undang-Undang Dasar memuat ketentuan-ketentuan mengenai soal-soal sebagai berikut:

a.    Organisasi negara, misalnya pembagian kekuasaan antara badan le­gislatif, eksekutif dan yudikatif; dalam negara federal, pembagian kekuasaan antara pemerintah federal dan  pemerintah negara-negara bagian; prosedur menyelesaikan masalah pelanggaran yurisdiksi oleh salah satu badan pemerintah dan sebagainya.

b.    Hak-hak asasi manusia (biasanya disebut Bill of Rights kalau berbentuk naskah sendiri).

c.    Prosedur mengubah undang-undang dasar.

d.    Ada kalanya memuat larangan untuk mengubah sifat tertentu dari undang-undang dasar. Hal ini biasanya terdapat jika para penyusun undang-undang dasar ingin menghindari terulangnya kembali hal-hal yang baru saja diatasi, seperti misalnya muncul seorang dictator atau monarchi.

Dalam perjalanan sejarah ketatanegaraan Republik Indonesia telah memiliki tiga Undang-Undang Dasar dengan empat kali masa berlaku yaitu:

(a) Undang-Undang Dasar 1945,

(b) Konstitusi Republik Indonesia Serikat (Konstitusi RIS),

(c) Undang-Undang Dasar Sementara 1950.

Undang-Undang Dasar 1945 berlaku sebagai konstitusi negara Republik Indonesia dari tanggal 18 Agustus 1945 - 27 Desember 1949. Konstitusi Republik Indonesia Serikat (Konstitusi RIS) berlaku sejak tanggal 27 Desember 1949 - 17 Agustus 1950. Undang-Undang Dasar Sementara 1950 berlaku sejak tanggal 17 Agustus 1950 - 5 Juli 1959. Undang-Undang Dasar 1945 berlaku yang kedua yaitu sejak tanggal 5 Juli 1959 - sekarang.

Dalam Konstitusi RIS tentang hak asasi manusia diatur dalam Pasal 7­33. Sedangkan dalam UUDS 1950 diatur dalam Pasal 7-34. Pengaturan tentang hak asasi manusia dalam UUDS 1950 merupakan pemindahan dari pasal-pasal yang terdapat dalam Konstitusi RIS. Sehingga baik redaksi yang ada dalam Konstitusi RIS hanya berubah beberapa kalimat saja dan  penambahan satu pasal.

Orde Lama dan  Orde Baru meyakini UUD 1945 sebagai UUD yang sempurna, memiliki nilai kejuangan, oleh karenanya cenderung disakralkan. Minimnya pasal-pasal yang menimbulkan bermacam-macam interpretasi, dipahami sebagai keluwesan dan  kelenturan selanjutnya dibanggakan sebagai sesuatu yang tidak dijumpai pada konstitusi negara lain. Rezim Soeharto runtuh oleh gerakan reformasi (1998) yang dipelopori mahasiswa, setelah rakyat mendapatkan kembali haknya untuk menyatakan pendapat secara bebas, maka yang menjadi agenda reformasi adalah reformasi dalam bidang politik, ekonomi dan  hukum.

Reformasi dalam*spek politik menyangkut isu nasional antara lain:

a. Amandemen UUD 1945;

b. Pengadilan KKN;

c. Perubahan UU bidang politik;

d. Pencabutan dwifungsi militer;

e. Otonomi Daerah.

Reformasi aspek ekonomi meliputi:

a.    UU Nomor 5 Tahun 1999, tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Curang;

b.    UU Nomor 38 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen;

c.    PP 17 Tahun 1998 tentang BPPN;

d.    UU Nomor Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan;

e.    UU Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan;

f.     UU Nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fiducia;

g.    dan  lain-lain.

 

Aspek hukum meliputi:

a.      Pemberantasan KKN (UU Nomor 28 Tahun 1999) tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan  Bebas KKN.

b.      Pengamanan Lingkungan Hidup (UU Nomor 23 Tahun 1997) tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

c.      Pengayoman Hak-hak Asasi Manusia (HAM), (Mahfud, 2000: 34).

MPR yang memiliki wewenang menetapkan UUD telah meng­amandemen UUD 1945 tahun 2000 dan  telah mencantumkan dengan tegas tentang Hak-hak Asasi Manusia (HAM) dalam bab tersendiri dengan rinci dalam 10 pasal, yaitu Pasal 28 A - 28 J. Dengan depiikian hak asasi manusia secara konstitutif telah diakui sejak berdirinya negara. Perkembangan yang cukup signifikan bersamaan dengan pergantian pemerintahan adalah Ketetapan MPR RI Nomor XVII/MPR/1998 tentang HAM. Majelis Permusyawaratan Rakyat tidak pernah menghasilkan Ketetapan instrumen mengenai HAM.

Perkembangan instrumen HAM yang cukup pentirig pada masa Orde Baru adalah Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun 1993, tentang Pembentukan Komnas HAM. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yaitu suatu lembaga mandiri yang kedudukannya setingkat dengan lembaga negara lainnya yang berfungsi melaksanakan pengkajian, penelitian, pemantauan dan  mediasi hak asasi manusia.

Komisi HAM didirikan dengan tujuan untuk mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelakWnaan HAM di Indonesia, serta meningkatkan perlindungan dan  penegakan Hak Asasi Manusia guna berkembangnya peribadi rrianusia Indonesia seutuhnya. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Pasal 89, Komnas HAM memiliki fungsi untuk melaksanakan pengkajian, penyuluhan, serta mediasi mengenai HAM di Indonesia. Dalam pelaksanaan fungsi pemantauan, Komnas HAM berwenang melakukan:

a. Pengamatan pelaksanaan HAM dan  penyusunan laporan hasil

pengamatan tersebut;

b. Penyelidikan dan  pemeriksaan terhadap peristiwa yang timbul dalam masyarakat yang berdasarkan sifat atau lingkupnya patut diduga ada pelanggaran HAM-nya;

c. Pemanggilan kepada pihak pengadu atau korban, maupun pihak yang diadukan, untuk dimintai atau didengar keterangannya;

d. Pemanggilan saksi untuk diminta atau didengar kesaksiannya, dan  kepada saksi, pengadu diminta menyerahkan semua bukti yang diperlukan;

e. Peninjauan di tempat kejadian dan di tempat lainnya yang dianggap perlu;

f.  Pemanggilan pihak terkait untuk memberikan keterangan secara tertulis atau menyerahkan dukumen yang diperlukan sesuai dengan aslinya, dengan disertai persetujuan Ketua Pengadilan;

g. Pemeriksaan setempat terhadap rumah, pekarangan, bangunan dan

tempat-tempat lainnya yang diduduki atau dimiliki pihak tertentu dengan persetujuan Ketua Pengadilan;

h. Pemberian pendapat berdasarkan persetujuan Ketua Pengadilan

terhadap perkara tertentu yang sedang diperoses peradilan. Bilamana dalam perkara tersebut terdapat pelanggaran HAM, baik dalam masalah publik maupun dalam acara pemeriksaan oleh Pengadilan, kemudian pendapat Komnas HAM tersebut wajib diberitahukan oleh hakim kepada para pihak.

Mengenai fungsi mediasi yaitu penyelesaian perkara perdata di luar pengadilan atas dasar kesepakatan para pihak, merupakan fungsi baru Yang mencakup kewenangan serta tugas dalam melakukan:

a. Perdamaian kedua belah pihak;

b. Penyelesaian perkara melalui cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi dan penilaian ahli;

c. Pemberian saran kepada para pihak untuk menyelesaikan sengketa melalui pengadilan;

d. Penyampaian rekomendasi atas suatu kasus pelanggaran hak asasi manusia kepada pemerintah untuk ditindak lanjuti;

e Penyampaian rekomendasi atas suatu kasus pelanggran hak asasi

,

Yang dimaksud sebagai pelanggar HAM berat secara singkat dicantumkan pada penjelasan pasal tersebut, yaitu pembunuhan massal (genocide), pembunuhan sewenang-wenang atau di luar putusan pengadilan (extra-judicial killing), penyiksaan, penghilangan bukti secara paksa, perbudakan atau diskriminasi yang dilakukan secara sistematis (systematic discrimination).

Mengenai pembunuhan massal, instrumen hukumnya adalah Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan genocide berdasarkan Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 260 A(III) tanggal 9 Desember 1948 yang mulai berlaku pada tanggal 12 Januari 1951.

Yang dimaksud genocide adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan tujuan merusak dalam keseluruhan ataupun sebagian suatu kelompok bangsa, etnis,rasial atau agama yang mencakup:

a.    Membunuh para anggota kelompok.

b.    Menyebabkan luka-luka pada tubuh atau mental para anggota kelompok.

c.    Dengan sengaja menimbulkan pada kelompok itu kondisi hidup yang mengakibatkan kerusakan fisiknya dalam keseluruhan atau sebagian.

d.    Mengenakan upaya-upaya yang dimaksudkan untuk mencegah kelahiran di dalam kelompok itu.

e.    Dengan paksa mengalihkan anak-anak dari kelompoknya ke kelompok lain (Sujata, 2000: 53-54).

 

Penegakan HAM di Indonesia

Pada tahun 1998 merupakan tahun bersejarah bagi bangsa Indonesia melalui kekuatan mahasiswa menumbangkan rezim Orde baru yang sangat kokoh selama tiga puluh dua tahun menggenggam kekuasaan dengan otoriter, seperti mimpi kita menyaksikan saat itu tumbang dan digantikan dengan suatu kekuasaan yang lebih demokratis.

Pada zaman Orde Baru, hukum dijadikan alat kontrol untuk mem­pertahankan kekuasaannya. Ekses dari kebijakan itu adalah timbulnya sikap skeW%s dari masyarakat. Keadilan sangat sulit ditemukan. Kondisi menjadi bertolak belakang dari cita-cita negara hukum yaitu cita keadilan, cita ketertibao dan cita kepastian. Tiga cita-cita ini dikuasai oleh masyarakat umum, bukan oleh mereka yang berkuasa. Tetapi apabila timbul gap antara dua kutub itu maka yang menjadi barometer adalah kepentingan masyarakatnya.

Sejak lebih dari 2000 tahun yang lalu, di dalam hukum dikenal suatu pepatah "sumum ius suma iuria" artinya adil tidaknya sesuatu akan tergantung dari pihak yang merasakannya. Apa yang dirasakan adil oleh seseorang belum tentu dirasakan demikian oleh orang lain. Pihak korban pemerkosaan akan merasa tidak adil apabila tersangka dibebaskan dan kebebasan tersebut akan dirasakan adil oleh tersangka. Dengan demikian keadilan dapat diumpamakan sebagai pedang bagi siapapun. Keadilan akan dirasakan tajam pada saat dipergunakan namun bermanfaat sebagai alat untuk mencegah ketidakadilan. Pedang tersebut dapat menjadi tidak adil bagi kedua belah pihak, yaitu pelaku dan korban bahkan mungkin masyarakat manakala pihak yang menanganinya yaitu penegak hukum menyalahgunakan kewenangannya sehingga merugikan semua pihak.

Tugas penegak hukum dalam menentukan keadilan adalah menjembatani jurang antara kepentingan korban dan pelaku, sehingga perasaan ketidakadilan dapat diminimalisir seoptimal mungkin. Keberhasilan dalam menjembatani jurang tersebut dapat dilihat dari adanya reaksi dari para pihak dan masyarakat.

Pada zaman Orde Baru pembangunan hukum cukup bagus dan sistematis. Ini dalam arti kuantitas fisik maupun non fisik. Melalui GBHN­nya pembangunan fisik lembaga penegak hukum (Pengadilan, Kejaksaan dan Kepolisian) sudah sampai ke tingkat Kabupaten/Kota bahkan tingkat Kecamatan dan Desa. Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penegakan hukum sangat fantastis hasilnya, hanya beberapa peraturan perundang-undangan peninggalan kolonial yang belum diganti. Rekrutmen aparatur penegak hukum hampir setiap tahun dilakukan dengan standar pendidikan sudah jauh lebih baik bila kita bandingkan dengan tahun 1970-an.

Apabila pranata hukum telah demikian banyak, tetapi tuntutan menjadi semakin lebih banyak, maka dapat disimpulkan permasalahan yang dihadapi sama sekali bukan masalah pranata, produk, substansi ataupun materi hukum dalam bentuk undang-undang, namun masalah lain. Masalah hukum yang menjadi tuntutan tersebut adalah mengenai penegakan dan penerapannya atau law enforcement.

Menurut Wilhelm Lundsted dalam Antonius Sujata (2000) filosof hukum aliran realisme mengatakan bahwa hukum itu bukan apa-apa (Law is nothing). la mengartikan hukum seperti penganut paham konvesional yang memaknakan hukum sebagai aturan bertingkah laku manusia yang apabila tidak ditaati akan memberikan sanksi terhadap si pelaku. Pendapat itu mungkin cukup masuk akal bagi Indonesia karena terbukti dengan banyaknya aturan juga makin banyak tuntutan. Oleh sebab itu Lunsted menambahkan lagi bahwa hukum itu baru akan bermakna setelah ditegakkan. Tanpa penegakan hukum bukan apa-apa. Yang memberi makna pada hukum itu adalah aparat penegak hukum serta masyarakat. Bahkan tanpa substansi hukum pun sebenarnya hukum dapat dihasilkan, karena mengenai hal ini menjadi tugas para hakim untuk menciptakan hukum (lihat Pasal 14 dan 27 UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman). Hal ini seirama dengan ungkapan Profesor Taverne, "Berilah aku hakim yang baik, jaksa yang baik serta polisi yang baik maka dengan hukum yang buruk sekalipun akan memperoleh hasil yang lebih baik".

Sifat baik dari aparatur tersebut mencakup integritas moral serta profesionalisme intelektual. Kualitas intelektual tanpa diimbangi integritas akan dapat mengarah kepada rekayasa yang tidak dilandasi moral. Sementara integritas saja tanpa profesionalisme bisa menyimpang ke luar dari jalur­jalur hukum. Aspek lain yang perlu diperhatikan, adalah bahwa penegakan hukum merupakan suatu sistem. Artinya penegakan hukum merupakan rangkaian dari suatu proses yang dilaksanakan oleh beberapa komponen sebagai sub-sistem. Rangkaian proses tersebut satu sama lain saling terkait secara erat dan ticlak terpisahkan karena itu disebut sebagai integrated

 

criminal justice system.

Pada umumnya, komponen sub-sistem tersebut mencakup:

a. Penyidik (Kepolisian/Penyidik Pegawai Negeri Sipil);

b. Kejaksaan (Penuntut Umum);

c. Penasihat hukum (Korban/Pelaku);

d. Pengadilan (Hakim);

e. Pihak-pihak lain (Saksi/Ahli/Pemerhati), (Sujata, 2000: 8).

Masing-masing komponen tersebut memiliki kewajiban dan  tanggung jawab yang sama untuk menegakkan keadilan. Dengan demikian apabila muncul ketidakadilan dapat ditelusuri di mana sebenarnya penyebab utamanya. Dengan kata lain meskipun sebagian besar penyebab utama ketidakadilan umumnya ini berasal dari aparat, ini bukan berarti komponen non aparat tidak bisa menyimpang atau setidak-tidaknya memberi dorongan untuk menyimpang. Aparat penegak hukum mengambil porsi tanggung jawab terbesar dalam penegakan hukum karena fungsi mereka adalah menegakkan hukum.

 

 

Penutup

Instrumen hukum di Indonesia yang berhubungan dengan perlindungan atas Hak Asazi Manusia (HAM) sudah cukup memadai apakah dalam bentuk peraturan perundang-undangan, kuantitas aparat penegak hukum, sistem manajemen ataupun pembangunan fisiknya.

Persoalan serius yang dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini adalah persoalan penegakan hukumnya. Karena instrumen hukumnya sudah cukup memadai berarti persoalan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia ini adalah krisis moral penegak hukum dan  adanya ketimpangan dalam sistem hukum kita.

Akibat dari itu semua, publik kehilangan rasa kepercayaannya terhadap lembaga penegak hukum kita, indikasi ini kita dapat menyaksikan hampir setiap hari kita menyaksikan masyarakat main hakim sendiri dalam menghadapi kasus-kasus kriminal, hakim dilempar sepatu oleh pencari keadilan; Kepolisian, Kejaksaan dan  Kehakiman terus menerus dikeritik secara tajam melalui mass media bahkan didemontrasi dengan cara-cara di luar batas-batas susila pada umumnya. -

 


Reformasi Penegakan Hak Asasi Manusia di Era Globalisasi

 

Pendahuluan

Arus reformasi yang bergulir di Indonesia pada tahun 1998 yang ditandai dengan runtuhnya rezim Orde Baru yang telah berkuasa selama kurang lebih 32 tahun, telah membuka koridor bagi penegakan hukum dan  hak asasi manusia.

Kondisi ini dimungkAan dengan adanya era globalisasi yang melanda ke berbagai negara di dunia. Salah satu ciri terjadinya globalisasi ini dapat dilihat dalam kondisi hubungan antar negara yang disebut sebagai borderless world atau dunia tanpa batas. Era globalisasi membawa konsekuensi adanya penghilangan sekat/batas antar negara, bahkan dengan menggunakan leknologi canggih seperti penggunaan Satelit Palapa sebagai sarana bomunikasi dapat dipergunakan negara adidaya (USA) untuk menyadap percakapan penting yang terkait dengan situasi politik dan  keamanan Indo­nesia. Dengan kata lain, segala perilaku pemerintah maupun rakyat Indo­nesia dapat dipantau oleh negara lain, termasuk penegakan hukum dan  hak asasi manusia di Indonesia.

Tulisan ini bermaksud mengutarakan (1) deskripsi penegakan HAM (Hak Asasi Manusia) di Indonesia, (2) peluang membuka kembali kasus pelanggaran HAM berat yang belum/tidak terselesaikan, (3) upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat melalui jalur hukum dan  alternatif Lain, dan  (4) budaya hukum dalam penegakan HAM.

Isu tentang HAM di Indonesia, sebenarnya bukan "barang" yang baru,

karena sesungguhnya masalah HAM sudah disinggung oleh para founding fathers Indonesia, walaupun tidak disebutkan secara eksplisit yakni di dalam Alinea 1 Pembukaan UUD 1945, yang isinya menyatakan: "Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu... dan  oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan ". Dengan adanya penghargaan terhadap HAM, bangsa Indonesia yang merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945 dapat disebut sebagai negara yang berdasar atas hukum. Rasionya, bahwa dalam negara hukum harus ada elemen-elemen sebagai berikut: (1) Asas pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, (2) asas legalitas, (3) asas pembagian kekuasaan, (4) asas peradilan yang bebas dan tidak memihak, dan (5) asas kedaulatan rakyat.

Akan tetapi, penghargaan terhadap HAM yang sudah dicanangkan oleh para founding fathers di Indonesia tidak berjalan sebagaimana mestinya, seiring dengan perjalanan panjang bangsa Indonesia dalam 3 (tiga) orde,' yakni:

a.    penegakan HAM pada Orde Lama.

Orde Lama merupakan kelanjutan pemerintahan pasca kemerdekaan 17 Agustus 1945, yang lebih menitikberatkan pada perjuangan revolusi, sehingga banyak peraturan perundang-undangan yang dibuat atas nama revolusi yang telah dikooptasi oleh kekuasaan eksekutif, seperti: UU No. 1964 yang memungkinkan campur tangan Presiden terhadap kekuasaan kehakiman dan UU No. 11/PNPS/1963 tentang Pem­berantasan Kegiatan Subversi yang tidak sesuai dengan HAM.

b.    penegakan HAM pada Orde Baru.

Orde Baru yang berdiri sebagai respon terhadap gagalnya Orde Lama telah membuat perubahan-perubahan secara tegas dengan membangun demokratisasi dan perlindungan HAM melalui Pemilu Tahun 1971.° Akan tetapi, setelah lebih dari 1(satu) dasa warsa, nuansa demokratisasi dan  perlindungan HAM yang selama ini dijalankan Orde Baru mulai bias, yang ditandai dengan maraknya praktek KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) serta berbagai rekayasa untuk kepentingan politik dan  penguasa. Seringkali, pemerintah di masa Orde Baru melakukan tindakan-tindakan yang dikatagorikan sebagai crimes by government atau top hat crimes, seperti penculikan terhadap para aktivis pro­demokrasi (penghilangan orang secara paksa) yang bertentangan dengan HAM, sekalipun pada tahun 1993 Pemerintah sudah mendirikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Sebagai puncaknya, pada tahun 1998, Orde Baru jatuh dengan adanya multi krisis di Indonesia serta tuntutan adanya reformasi di segala bidang.

c.    Penegakan HAM pada masa Orde Reformasi.

Orde Reformasi yang dimulai pada tahun 1998 berusaha menegakkan HAM dengan jalan membuat peraturan perundang-undangan yang terkait dengan HAM sebagai rambu-rambu, seperti UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Ratifikasi terhadap instrumen internasional tentang HAM, UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, yang memungkinkan dibukanya kembali kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu, serta pemberantasan praktek KKN.

 

Peuang Membuka Kembali Kasus Pelanggaran HAM Berat Yang Belum/Tidak Terselesaikan

Pada tahun 1993, Pemerintah Indonesia telah membentuk Komnas HAM dengan Keppres No. 50 Tahun 1993 tentang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Komisi Nasional HAM memiliki tugas sebagaimana diatur dalam Pasal 5, yang isinya dinyatakan sebagai berikut: (a) menyebarluaskan vrawasan nasional dan internasional mengenai hak asasi manusia baik kepada masyarakat Indonesia maupun kepada masyarakat internasional; (b) mengkaji berbagai instrumen Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang hak asasi manusia dengan tujuan memberikan saran-saran mengenai kemungkinan aksesi dan/ atau ratifikasinya; (c) memantau dan  menyelidiki pelaksanaan hak asasi manusia serta pendapat, pertimbangan, dan saran kepada badan peme­aintahan negara mengenai pelaksanaan hak asasi manusia; dan  (d) meng­adakan kerja sama regional dan internasional dalam rangka memajukan dan melindungi hak asasi manusia.

Di dalam realisasinya, keberadaan Komnas HAM tidak memiliki power dalam melaksanakan tugasnya, yang terbatas pada pemantauan dan penyelidikan semata.

Seiring dengan tumbangnya rezim Orde Baru menuju Orde Reformasi yang lebih menitikberatkan pada perlindungan hukum dan penegakan HAM, rakyat melalui MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) melakukan aman­demen terhadap UUD 1945 dengan memasukkan pasal yang khusus mengatur tentang HAM, yakni Pasal 28 UUD 1945. Di samping itu, guna melaksanakan ketentuan dalam pasal tersebut di atas.

Pemerintah juga telah mengundangkan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Di dalam UU tentang HAM tersebut, job deskripsi dari Komnas HAM juga telah mengalami perubahan. Perubahan tersebut meliputi: (1) fungsi pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi tentang hak asasi manusia (Pasal 76 Ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999); (2) tugas penyelidikan terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat (Pasal 18 Ayat (1) UU No. 26 Tahun 2000). Perubahan job deskripsi dari Komnas HAM diharapkan dapat merealisasikan tugas Komnas HAM yang sebenarnya.

Di dalam peraturan perundang-undangan yang terkait dengan HAM, seperti UU Pengadilan HAM terdapat salah satu ketentuan yang memberikan peluang dibukanya kembali kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum diundangkannya UU Pengadilan HAM yang diatur dalam Pasal 43-44 tentang Pengadilan HAM Ad Hoc dan Pasal 46 tentang tidak berlakunya ketentuan kadaluwarsa dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Dimasukkannya ketentuan-ketentuan tersebut di atas dimak­sudkan agar kasus-kasus yang terjadi sebelum diundangkannya UU Pengadilan HAM dapat diadili.

Ketentuan tentang tidak dikenalnya kadaluwarsa dalam UU Pengadilan HAM diadopsi dari Statuta Roma Tahun 1998, yakni ketentuan dalam Artikel 29 tentang "Tidak dapat diterapkannya ketentuan pembatasan". Ada dua alasan dimasukkannya asas retroactive ke dalam UU Pengadilan HAM, sebagaimana dikatakan oleh Muladi,s yakni: (1) jauh sebelum diundang­kannya UU No. 26 Tahun 2000, belum dikenal jenis kejahatan "genosida" dan "kejahatan terhadap kemanusiaan"; (2) asas retroactive dalam UU Pengadilan HAM merupakan political wisdom (kebijaksanaan politik) dari DPR untuk merekomendasikan kepada Presiden dengan pertimbangan bahwa kedua jenis kejahatan tersebut merupakan extraordinary crimes (kejahatan War biasa) yang dikutuk secara internasional sebagai enemies of all man­kind (hotis humani generis) dan dirumuskan sebagai kejahatan internasional (international crimes).

Munculnya ketentuan pemberlakuan asas retroactive ini telah mengundang pandangan yang kontra terhadap keberadaan asas tersebut, sebagaimana dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief yang berpendirian bahwa pemberlakuan asas retroactive sangat bertentangan dengan ide perlindungan HAM yang diatur dalam Pasal 11 Universal Declaration of Human Rights (UDHR), Pasal 15 Ayat (1) International Convention on Civil and Political Rights (ICCPR), Pasal 22 Ayat (1) dan Pasal 24 Ayat (1) Statuta Roma tentang International Criminal Court.6 Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pemberlakuan asas retroactive yang me­mungkinkan dibukanya kembali kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum diundangkannya UU Pengadilan HAM merupakan penyimpangan terhadap asas legalitas dari sisi hukum posi'tif Indonesia 11CUHP). Akan tetapi, dari sisi lain, menurut Hukum Pidana Inte,rnasional, pemberlakuan asas retroactive sangat dimungkinkan untuk mencapai keadilan yang diwujudkan dengan pembentukan pengadilan tribunal seperti: ICTR (International Court Tribunal for Rwanda), ICTY (Interna­tional Court Tribunal for Yugoslavia), dan ICC (International Criminal Court) dalam Statuta Roma.

Walaupun telah terjadi perbedaan pendapat tentang keberadaan asas wtroactive sebagai "celah" dibukanya kembali kasus-kasus pelanggaran HAM berat, akan tetapi tetap diperlukan adanya "filter" yang dapat menyaring kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lampau melalui 'bolitical wisdom" dari DPR sebagai wakil rakyat, sekalipun sifat dari "filter', seperti digelarnya pengadilan HAM ad hoc terhadap kasus Tanjung Priok, DOM (Daerah Operasi Militer) Aceh, dan Kasus Timor Timur Pasca {ajak Pendapat. Dengan kata lain dalam penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lampau, yang memerlukan dibentuknya pengadilan HAM ad hoc tersebut terdapat subjektivitas dalam relativitas dan tergantung pada kepentingan yang ada serta lebih tertumpu pada nilai politis yang tersembunyi.

 

Upaya Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Melalui Jalur Hukum dan Non Hukum

Maraknya kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di Indonesia lebih banyak mengarah pada crimes by government, sehingga perlu penyelesaian yang harus ditangani secara serius oleh Pemerintah, seperti upaya untuk membuka kembali kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lampau yang saat ini sedang diupayakan dibuka kembali, yakni: Kasus 27 Juli 1996 (Kudatuli) dan Kasus Kerusuhan Mei 1998.

Upaya membuka kembali kasus-kasus pelanggaran HAM berat tersebut memang dimungkinkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Guna menyelesaikan kasus-kasus tersebut, terdapat dua cara, yaitu melalui jalur hukum dan alternatif lain.

a.      Upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat melalui penggunaan jalur hukum (pidana/penal). Penggunaan jalur hukum (pidana) dapat ditempuh sesuai dengan isi ketentuan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang dilakukan dengan cara-cara yang sudah ditetapkan tahapan-tahapan yang harus dilalui sebagaimana diatur dalam Pasal 10-33 UU Pengadilan HAM. Mengenai ketentuan pidana juga sudah diatur secara tegas di dalam Pasal 36-42 UU Pengadilan HAM dengan ketentuan pidana penjara minimal 5(Iima) tahun dan pidana maksimalnya dengan pidana mati ataupun pidana penjara seumur hidup. Di samping itu, dalam ketentuan pidana juga dikenal adanya delik ommissionis (pembiaran) dan commissionis. Dalam realita, dalam kasus pasca jajak pendapat di Timor Timur ada terdakwa yang divonis dengan pidana penjara (selama 3 tahun) di bawah standar minimum yang telah ditetapkan dalam UU Pengadilan HAM.

b.      Upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat melalui jalur alternatif. Keberadaan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) di Indonesia, sesungguhnya merupakan lembaga baru, yang kebe­radaannya telah diatur secara tegas dalam Pasal 47 Ayat (1) dan (2) UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, yang intinya tidak menutup kemungkinan adanya alternatif penggunaan lembaga KKR untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum UU Pengadilan HAM diundangkan, selain peng­gunaan sarana hukum, dalam hal ini penggunaan pengadilan HAM ad hoc.

 

Keberadaan lembaga KKR dalam penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu, sejalan dengan ide keseimbangan yang terkadung dalam implementasi pertanggungjawaban pidana pada Konsep KUHP, khususnya mengenai pertanggungjawaban pidana dikenal adanya rechtirlijk pardon atau judicial pardon atau pengampunan oleh hakim di dalam menerapkan vicarious liability dan strict liability.' Penggunaan judicial pardon terkandung ide/pemikiran sebagai berikut:

a. menghindari kekakuan/absolutisme pemidanaan;

b. menyediakan "klep/katup pengaman" (veiligheidsklep);

c. bentuk koreksi yudisial terhadap asas legalitas (judicial corrective to the legality principle);

d. pengimplementasian/pengintegrasian nilai atau paradigma "hikmah kebijaksanaan dalam Pancasila";

e. pengimplementasian/pengintegrasian "tujuan pemidanaan" ke dalam syarat pemidanaan (karena dalam memberikan permaafan/pengam­punan, hakim harus mempertimbangkan tujuan pemidanaan); jadi syarat atau justifikasi pemidanaan tidak hanya didasarkan pada adanya "tindak pidana" (asas legalitas) dan "kesalahan" (asas culpabilitas), tetapi juga pada "tujuan pemidanaan".8

 

Dengan adanya ide dasar "judicial pardon" dalam Konsep KUHP tersebut dapat dikatakan bahwa adanya unsur "budaya maaf" dalam KKR sejalan dengan pembaharuan hukum pidana yang berwawasan nasional.

Akan tetapi, untuk mewujudkan lembaga KKR tidaklah mudah, mengingat adanya beberapa faktor yang dapat menjadi kendala terbentuknya KKR, salah satunya ialah faktor psikologis. Adanya faktor psikologis ini muncul dari dua belah pihak, baik dari sisi pelaku pelanggaran HAM berat maupun dari sisi korban pelanggaran HAM berat. Adapun faktor psikologis yang datang dari sisi pelaku pelanggaran HAM berat ialah sulitnya untuk "mengaku salah" atas pelanggaran HAM berat yang telah dilakukannya dengan alasan melaksanakan perintah untuk mengamankan negara, sedangkan dari sisi korban pelanggaran HAM berat, ialah adanya traumatis yang dialami oleh para korban pelanggaran HAM berat.

Keberadaan KKR sebagai salah satu cara untuk menyelesaikan kasus­kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum diundangkannya UU Pengadilan HAM, bukanlah satu-satunya cara yang ditempuh untuk penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lampau. AdapUm cara-cara selain pembentukan KKR untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lampau, dapat dilakukan dengan cara-cara berikut ini:

a.    mengajukan pelaku ke pengadilan berdasarkan hukum formal yang berlaku dan didukung oleh hukum internasional. Cara pertama ini pernah ditempuh oleh Argentina, dengan mengajukan pelakunya yang kebetulan top officer militer ke pengadilan;

b.    lustrasi, artinya penyelesaian pelanggaran HAM berat dilakukan dengan memberikan sanksi kepada pelaku dengan jalan mendiskualifikasikan pelaku dari fungsi sosial-politik dalam masyarakat, seraya mencabut hak sosial-politik yang melekat pada pelaku. Cara penghukuman yang kedua ini pernah dilakukan di negara-negara bekas komunis di belahan benua Eropa Timur;

c.    amnesti, yaitu sebuah cara yang paling lunak dalam spektrum penanganan tindak pelanggaran HAM berat. Alasannya, sebagai alat pencegahan konflik dan polarisasi di dalam masyarakat akibat praktik politik penguasa lama.'

Munculnya ide penggunaan KKR sebagai salah satu cara alternatif untuk penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu, tidak terlepas dari cara yang dipergunakan oleh Afrika Selatan dalam menyelesaikan kasus apartheid yang selama ini dijalankan oleh penguasa kulit putih di Afrika Selatan.

Penyelesaian melalui KKR di Afrika Selatan dipelopori oleh Mandela yang tercermin dalam komitmennya, bahwa politik apartheid berhasil dipatahkan, namun rekonsiliasi nasional harus ditegakkan. Sebab keme­nangan demokrasi bukanlah ajang balas dendam menghabisi bangsa kulit putih. Kalau terjadi balas dendam terhadap bangsa kulit putih, berarti Afrika Selatan terjebak dalam situasi apartheid model baru.'° Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa pembentukan KKR sebagai sarana pencegahan terciptanya apartheid model baru. Tampaknya pembentukan KKR di Afri­ka Selatan memberikan inspirasi pembentukan KKR di Indonesia yang mengalami dilema dalam upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu.

Di samping memakai cara yang ditempuh oleh pemerintah Afrika Selatan untuk menyelesaikan kasus apartheid yang terjadi di Afrika Selatan, pembentukan KKR di Indonesia juga dimaksudkan untuk menindaklanjuti TAP MPR No. V/MPR/2000 sebagai keputusan politik agar negara memiliki kewajiban mengingat (state's duty to remember)." Hal ini dimaksudkan agar di masa yang akan datang tidak terjadi pelanggaran HAM berat terhadap masyarakat baik yang dilakukan oleh aparat pemerintah sipil maupun militer.

Dari kedua upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat tersebut, penyelesaian melalui jalur alternatif membutuhkan proses yang lebih panjang daripada upaya penyelesaian melalui jalur hukum (pidana), sekalipun kedua cara tersebut diakui keberadaannya dalam hukum pidana internasional.

Baik upaya penyelesaian melalui jalur hukum (pidana) maupun jalur alternatif masing-masing tidak terlepas dari sisi kepentingan yang muncul, yang meliputi kepentingan-kepentingan (1) pelaku, (2) korban, dan (3) negara. Ketiga kepentingan tersebut harus dapat diwujudkan ke dalam upaya penyelesaian yang tersedia, baik melalui jalur hukum (pidana) maupun jalur alternatif. Terlebih lagi dengan adanya era globalisasi yang sangat mempengaruhi jalannya penegakan HAM di Indonesia.

 

Budaya Hukum dalam Penegakan HAM

Guna melakukan penegakan HAM terdapat unsur pendukung lain, yang sangat erat kaitannya dengan penegakan HAM di era globalisasi, yakni budaya hukum.'2 Budaya (kultur) hukum merupakan salah satu unsur penting yang ada dalam rangka penegakan hukum selain struktur dan  substansi hukum. Struktur hukum terkait dengan lembaga-lembaga yang terkait dengan penegakan hukum, seperti: pengadilan, kejaksaan, kepolisian, dan  lembaga pemasyarakatan sebagai perwujudan sistem peradilan pidana yang integral. Substansi hukum merupakan produk hukum berupa aturan-aturan yang aktual, norma, dan  perilaku dari orang-orang dalam suatu sistem. Sedangkan kultur hukum merupakan perilaku orang terhadap hukum dan  sistem hukum; iklim dari pemikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari, atau disalahgunakan."

Oleh karena itu, budaya hukum perlu ditumbuhkan dalam masyarakat, karena tanpa bucJaya hukum akan mudah terjadi pelanggaran hukum di

dalam masyarakat.14 Peranan penting yang terdapat dalam budaya hukum ialah sebagai penggerak bekerjanya hukum.15

Dalam kaitannya dengan penegakan HAM, budaya hukum merupakan sarana kontrol terhadap aturan-aturan dan lembaga-lembaga yang terkait dengan penegakan HAM. Ini penting artinya, agar aturan-aturan tentarig perlindungan HAM yang ada dapat dijalankan untuk mencegah terjadinya pelanggaran HAM berat yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan, terlebih lagi di era globalisasi.

 

Penutup

Bertolak dari tulisan yang telah dipaparkan dalam uraian-uraian di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

a.    Deskripsi tentang penegakan HAM di Indonesia masih melukiskan adanya ketidakseimbangan antara kepastian hukum tentang aturan­aturan penegakan HAM dengan pelaksanaan penegakan HAM, baik yang dilakukan oleh individu (anggota masyarakat) maupun Pemerintah dalam Hal ini aparat penegak hukum.

b.    Peluang yang disediakan oleh peraturan perundang-undangan tentang HAM untuk membuka kembali kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lampau terdapat ketidakharmonisan antara asas legalitas (menurut hukum positif) yang berlaku, dalam hal ini KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) dan hukum pidana internasional yang mengijinkan berlakunya asas retroactive.

c.    Upaya penyelesaian melalui jalur hukum (pidana) dipandang masih belum memenuhi rasa keadilan masyarakat, sedangkan untuk mewujudkan penyelesaian melalui jalur alternatif terdapat berbagai kendala, baik yang berasal dari pelaku pelanggaran HAM berat dalam hal mengakui perbuatannya secara terus terang, maupun dari korban pelanggaran HAM berat dalam hal menyampaikan kebenaran karena adanya trauma pribadi yang dialami.

d. Untuk mencegah terjadjnya pelanggaran HAM berat harus ditum­buhkan budaya hukum dalam masyarakat sebagai sarana kontrol terhadap bekerjanya hukum dan lembaga-lembaga yang terkait dengan penegakan hukum dan penegakan HAM.

 


 

Hak Asasi Manusia Dalam Perspektif Hukum Administrasi

 

 

Pendahuluan

Dalam sejarah hukum Eropa kontinental, hukum administrasi lahir sebagai konsekuensi dari konsep negara hukum liberal (de liberale rechtsstaatsidee) pada abad ke-19. Konsep dasar negara hukum liberal adalah keterikatan kekuasaan pemerintahan pada undang-undang (asas legalitas; wetmatigheidbeginselen dan jaminan perlindungan hak-hak asasi. Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa hukum administrasi merupakan instrumen negara hukum. Dengan demikian sejak awal lahirnya, hukum administrasi memiliki fungsi utama yaitu perlindungan terhadap hak-hak asasi. Dikaitkan dengan konsep ini, ukuran atau indikasi negara hukum adalah berfungsinya hukum administrasi. Sebaliknya suatu negara bukanlah negara hukum in realita apabila hukum adminstrasi tidak berfungsi.

Dalam kaitan dengan konsep goodgovernance dewasa ini, pandangan yang dianut di kalangan yuris hukum administrasi adalah pada dasarnya principles of good governance adalah principles of good administration.

Dengan ilustrasi singkatdi atas, makalah singkattentang hak asasi manusia dalam perspekif hukum administrasi disusun atas substansi yang meliputi:

a. konsep hukum administrasi. (komparasi);

b. fungsi hukum administrasi;

c. pendekatan dalam hukum administrasi;

d. general principles of good governance.

 

Konsep Hukum Administrasi (Komparasi) Tiga konsep dasar:

a. Amerika: Davis;

b. Inggris: Jennings;

c. Perancis: Laubadere.

Hukum Administrasi Amerika yang bertumpu atas definisi hukum Administrasi dari Davis:

Administrative law is the law concerning the powers and procedures of administrative agencies, including especially the law governing ju­dicial review of administrative action.'

Titik berat pada proses administrasi (APA 1946); Produk regulation

tidak termasuk hukum administrasi. Demikian juga halnya public adminis­

tration tidak masuk lingkup hukum administrasi.

Hukum Administrasi Inggris modern sudah meninggalkan konsep Dicey dan menggunakan konsep Jennings. Menurut Jennings: Administrative law is the law relating to the administration. Berbeda dengan konsep Amerika (Davis) dalam konsep Inggris, prosedur administrasi tidak termasuk lingkup hukum administrasi.'

Hukum Administrasi Perancis bertumpu pada Laubadere. Menurut Laubadere:

Administrative law as the branch of public internal law which em­braces the organization, and the activity which is currently called the administration.s

 

Hukum administrasi meliputi:

a. The administrative organization of the state;

b. The Study of administrative activity;

c. The means of action;

d. The patterns of litigation or judicial control of administration.'

Konsep Perancis dianut juga oleh Belanda. Dengan demikian, sadar atau tanpa sadar kita.sebetulnya juga menganut konsep tersebut.

Fungsi Hukum Administrasi

Dua konsep yang menjadi rujukan dalam tulisan ini adalah:

a. P. de Haan et al.

b. J. van der Hoeven

 

P. de Haan dalam bukunya Bestuusrecht in de Sociale Rechstaat, memaparkan tiga fungsi hukum administrasi, yaitu:

a. Fungsi normatif (normatieve functie): meliputi organisasi dan instrumen

pemerintahan.

b. Fungsi instrumental (instrumentele functie): fungsi instrumental aktif dalam bentuk kewenangan. Fungsi instrumental pasif berupa beleid.

c. Fungsi jaminan (waarborgfunctie) meliputi tiga jenis jaminan yaitu: jaminan pemerintahan (bestuurlijk waarborgen) menyangkut aspek doelmatig dan democratie antara lain keterbukaan (openbaarheid), inspraak dan berbagai mekanisme kontrol; perlindungan hukum (rechtsbescherming) dan ganti kerugian (de schadevergoeding).'

 

van der Hoeven dalam bukunya De Drie Dimensies van het Bestuursrecht memaparkan tiga sisi hukum administrasi, meliputi:

a. normativiteit yaitu hukum tentang kekuasaan memerintah (recht op de

regeermacht);

b. de organizatie en instrumentarium;

c. de rechtspositie van der burger tegenover het bestuur.e

Pendekatan Dalam Hukum Administrasi

Dengan studi perbandingan, ada tiga pendekatan utama dalam hukum administrasi, yaitu:

a. Pendekatan terhadap kekuasaan pemerintah.

b. Pendekatan hak asasi (rights based approach).

c. Pendekatan fungsionaris.

 

Pendekatan Terhadap Kekuasaan

Hukum administrasi Belanda sangat menekankan segi-segi rechtmatigheid yang pada dasarnya berkaitan dengan rechtmatigheidscontrole. Pendekatan ­pendekatan tersebut menggambarkan kekuasaan (pemerintahan) sebagai fokus hukum administrasi.

Pendekatan Hak Asasi

Rights based approach merupakan pendekatan baru dalam hukum administrasi Inggris. Fokus utama pendekatan baru ini pada dua hal, yaitu: a. Perlindungan hak-hak asasi (principles of fundamental rights).

b. Asas-asas pemerintahan yang baik (principles of good administration). Antara lain legality, procedural propriety, participation, openness, rea­sonableness, relevancy, propriety of purpose, legal certainty and pro­portionality."

 

Pendekatan Fungsionaris

Pendekatan ini tidak menggusur pendekatan sebelumnya tetapi melengkapi pendekatan yang ada dengan titik pijak bahwa yang melaksanakan , kekuasaan pemerintahan adalah pejabat (orang). Oleh karena itu hukum administrasi pun harus memberikan perhatian kepada perilaku aparat. Dengan pendekatan ini, norma hukum administrasi tidak hanya meliputi norma pemerintahan tetapi norma perilaku aparat (overheidsgedrag). Norma perilaku diukur dengan konsep maladministrasi. Di Belanda, norma perilaku aparat digali dari praktek Ombudsman.

Ada dua norma dasar bagi perilaku aparat, yaitu:

a. sikap melayani (dienstbaarheid).

b. terpercaya (betrouwbaarheio), yang meliputi openheid, nauwgezetheid, mtegriteit, soberheid, eerlijkheid.1z

 

General Principles of Good Governance

Memang diperdebatkan apakah term governance sama dengan administra­tion." Dari sudut penting hukum administrasi, konsep good governance berkaitan dengan.aktivitas pelaksanaan fungsi untuk menyelenggarakan kepentingan umum.

Good governance berkenaan dengan penyelenggaraan tiga tugas dasar pernerintah, yaitu:

a. menjamin keamanan setiap orang dan masyarakat (to guarantee the sevcurity of all persons and society itself);

b. mengelola suatu struktur yang efektif untuk sektor publik, sektor swasta dan  masyarakat (to manange an effective framework for the public sector, the private sector and civil society);

c. memajukan sasaran ekonomi, sosial dan bidang lainnya sesuai dengan kehendak rakyat (to promote economic, social and other aims in ac­cordance with the wishes of the population).14

 

Good governance berhubungan sangat erat dengan hak-hak asasi.

Dalam hukum administrasi, negara-negara anggota Uni Eropa telah menye­lenggarakan berbagai kegiatan ilmiah membahas prinsip-prinsip good go­ vernance dikaitkan dengan Hukum Administrasi Eropa.15 Sebagai ilustrasi dikutip pandangan G.H. Addink tentang general principles of good gover­nance dikaitkan dengan Undang-Undang Hukum Administrasi Umum Belanda (AWB - Algemene Wet Bestuursrecht; GALA: General Rules of Administrative law).

An overview of the general principle of good governance (negative andlor positive version), different aspects of the general principles of good governance and the relation with the GALA.

l. The principle of prohibition of misuse power or the principle of prohi­bition of detournement de puvoir (specialization-principle; specialiteitsbeginsel); GALA: art.3:3; aspects: a. against the goal of the power;

b. an incorrect goal;

c. appropriate use;

d. use consistent with the goal.

II. The principle of prohibition of arbitrariness (the principle of reason­

ableness); GALA: art.3:4 and 5:13; aspects:

a. arbitrariness = evident unreasonable (complete unsystematic);

b. visible unreasonable (balance of interest, but not acceptable);

c. that cannot be done in reasonableness (marginal judicial review);

d. in fairness.

Ill. The principle of legal certainty; GALA: art.4:23 and 5:22; aspects:

a. formal legal certainty (recognizable rights and duties);

b. substantial legal certainty (durability of rules, order has to be

complied with, no infringe of rights without legal base, prohibi­

tion of retroactive effect.

IV. The principle of confidence; GALA par. 4.2.6 (subsidies); aspects:

a. in general by policy-rule, directives or circulars;

b. concrete case of inspiring confidence; relevant elements are: who, in what way, by which act and aspects of disposition.

V. The principle of equality; Constitution art. 1 and therefore not in GALA; aspects:

a. equality for the law;

b. equality of administration, elements: no predisposition; no nega­tive discrimination, no positive discrimination;

c: equal spread of costs general interest.

VI. The principle of proportionality; GALA: art. 3:4-2;aspects:

a. administrative sanctions (individual and general);       

b. right balance between means and aims.

VII. The principle of carefulness; GALA: art. 2:3, 3:2, par. 3.4, par. 3.5, par. 3.6, par. 4.1.2 and par. 4.1.3; aspects:

a. substantial carefulness (careful balance of interest);

formal carefulness (steps in procedure of ordering:

a. treatment,

b. researching,

c. consultation,

d. publication).

VIII. The principle of reasoning; GALA: par.3.7;aspects:

a. substantial (bearing reason in relation to: facts, interest and rules);

b. formal (recognizable reason by given/publication of administra­tive motives).

 

Penutup

Telaah hukum administrasi berkenaan dengan fungsi dan pendekatan dalam hukum administrasi, jelaslah bahwa hukum administrasi berfungsi melindungi hak-hak asasi berkenaan dengan penggunaan kekuasaan, memerintah dan perilaku aparat dalam melaksanakan pelayanan kepada masyarakat.

Penggunaan kekuasaan pemerintahan bertumpu atas asas legalitas (rechtmatigheid). Pengujian segi legalitas atau segi rechtmatigheid terutama merupakan fungsi judicial control (bandingkan ketentuan Pasal 53 Ayat 92) UU No. 5 Tahuii 1986 jo. UU No. 9 Tahun 2004.

Kepatutan perilaku aparat dalam melaksanakan fungsi pelayanan kepada masyarakat diukur dengan norma kepatutan perilaku aparat. Perilaku pelayanan aparat yang tidak patut merupakan tindakan "maladministrasi". Pengawasan terhadap perilaku aparat berkenaan dengan maladministrasi termasuk fungsi non judicial control (seperti Ombudsman).

 


Pemberdayaan Budaya Hukum
Dalam Perlindungan HAM di Indonesia;
HAM Dalam Perspektif Sistem Hukum Internasional

 

Pendahuluan

Hak Asasi Manusia (HAM) dipercayai sebagai memiliki nilai Universal. Nilai universal berarti tidak mengenal batas ruang dan waktu. Nilai univer­sal ini yang kemudian diterjemahkan dalam berbagai produk hukum nasional di berbagai negara untuk dapat melindungi dan menegakkan nilai-nilai kemanusian. Bahkan nilai universal ini dikukuhkan dalam instrumen internasional, termasuk perjanjian internasional di bidang HAM, seperti International Convenant on Civil and Political Rights; International Cove­nant on Economic, Social and Cultural Rights; International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination; Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women; Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment; Convention on the Rights of the Child; dan Convention con­cerning the Prohibition and Immediate Action for the Elimination of the Worst Forms of Child Labour.

Namun kenyataan menunjukan bahwa nilai-nilai HAM yang univer­sal ternyata dalam penerapannya tidak memi liki kesamaan dan keseragaman. Penafsiran right to live (hak untuk hidup), misalnya, bisa diterapkan secara berbeda antara satu negara dengan negara lain. Dalam penterjemahan hak ini tiap-tiap negara memiliki penafsiran yang berbeda tentang seberapa jauh negara dapat menjamin right to live. Pertanyaan berikutnya akankah pelaksanaan right to live di Amerika Serikat yang memiliki sistem dan budaya hukum yang khas akan sama dengan di Indonesia?

Penerapan akan terkait dengan karakteristik ataupun sifat khusus yang melekat dari setiap negara. Adalah merupakan suatu fakta bahwa negara di dunia tidak memiliki kesamaan dari berbagai aspek, termasuk ekonomi, sosial, politik dan terpenting sistem dan budaya hukum. Sebagai akibat terjadi ketidakseragaman dalam pelaksanaan HAM di tingkat paling nyata di masyarakat.

Makalah ini hendak membahas berbagai penyebab mengapa pelaksanaan dari perjanjian internasional di bidang HAM setelah diikuti

oleh Negara Berkembang, seperti Indonesia, ternyata tidak dapat berjalan seperti yang diharapkan.

Ada empat penyebab utama yang akan diargumentasikan sebagai alasan perjanjian internasional di bidang HAM tidak dapat ditegakkan oleh negara setelah diikuti. Pertama, perancangan dan pembentukan berbagai perjanjian internasional di bidang HAM yang sangat terdeviasi (bias) oleh kerangka berpikir (framework of thinking) dari perancang. Bahkan perancang kerap tidak memperhatikan infrastruktur pendukung bagi implementasi yang efektif. Kedua, kendala pada saat perjanjian internasional. diperdebatkan. Ketiga, menyangkut tujuan pembentukan perjanjian internasional di bidang HAM yang dibuat tidak untuk tujuan mulia menghormati HAM melainkan untuk tujuan politis. Keempat, perjanjian internasional di bidang HAM setelah diikuti kerap hanya mendapatkan perhatian secira setengah hati oleh Negara Berkembang.

 

Perancangan Perjanjian Internasional Yang Bias dan Tidak Memperhatikan Infrastruktur

Dalam pembuatan dan perancangan perjanjian internasional di bidang HAM kerap terjadi bias atau deviasi karena pengusulan (initiation) dilakukan oleh Negara Maju. Negara Maju tentunya menggunakan ahli dan perancang dari negara mereka yang terbiasa dengan sistem dan budaya hukum Negara Maju yang mereka sangat kuasai dan pahami betul.

Adalah fakta bahwa peradaban dari bangsa Eropa telah lama dianggap sebagai peradaban yang diterima, melalui paksaan maupun kesukarelaan, oleh banyak bangsa. Peradaban Eropa dianggap sebagai peradaban-mo­dern. Pasca Perang Dunia II meskipun banyak negara yang dijajah telah mengalami proses dekolonialisasi namun dunia tidak dapat lepas dari kungkungan berpikir (mindset) bahwa ada negara yang memiliki peradabart yang lebih maju daripada yang lainnya.

Hal ini dapat kita lihat dalam rumusan salah satu sumber hukum inter­nasional sebagaimana tercantum dalam Pasal 38 Ayat (1) Statuta Mahkamah Intermsional, yaitu Prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa­bangsa beradab (General Principles of Law Recognized by Civilized Nations).

Menjadi pertanyaan apa yang dimaksud dengan kata-kata "bangsa­bangsa yang beradab" bila ini tidak mengindikasikan bahwa di dunia diakui dikotomi bangsa yang beradab dan bangsa yang tidak beradab. Para peran­cang Piagam PBB berasal dari bangsa yang mengklaim dirinya sebagai 'bangsa-bangsa yang beradab".

Beradab tidaknya suatu bangsa dilakukan untuk membedakan antara Negara Eropa atau negara-negara yang memiliki tradisi Eropa (juga sering

disebut sebagai "Negara Barat") dan negara-negara non-Eropa. Negara yang terakhir disebut sebagai Negara Berkembang yang kebanyakan berada di Asia dan Afrika.

Sebenarnya merupakan suatu "penghinaan" dalam konteks masyarakat internasional dewasa ini bahwa Piagam PBB tidak diamandemen dan masih dicantumkan kata-kata "bangsa-bangsa yang beradab" mengingat tidak ada satupun negara yang mau dikatagorikan sebagai negara yang memiliki bangsa tidak beradab.

Dalam kaitan dengan berbagai instrumen internasional di bidang HAM, apa yang terjadi pada Piagam PBB juga terjadi. Berbagai instrumen tersebut dirancang dan dibuat dengan konsep pemikiran bahwa peradaban dari Negara Berkembang perlu disetarakan dengan peradaban dari Negara Maju. Tidak heran ketentuan-ketentuan yang dibuat lebih merefleksikan ketentuan­ketentuan yang implementable (dapat dilaksanakan) di Negara Maju tetapi (mungkin) tidak di Negara Berkembang.

Selanjutnya, dalam perancangan perjanjian internasional tidak dapat dihilangkan kesan bahwa perancang dalam benaknya mengasumsikan bahwa pemerintahan Negara Berkembang banyak melakukan pelanggaran HAM. Tidak heran bila perjanjian internasional tersebut sebenarnya ditujukan kepada Negara Berkembang. Ini dapat diindikasikan bahwa Negara Maju kerap tidak turut serta pada perjanjian internasional tersebut.

Padahal pelaku pelanggar HAM sebenarnya tidak hanya dari Negara Berkembang, tetapi bisa juga dari Negara Maju. Kejadian di Abu Ghraib Irak baru-baru ini menunjukkan bahwa pelanggaran terhadap HAM tidak terbatas pada mereka yang berasal dari Negara Berkembang. Selanjutnya kenyataan bahwa AS membuat perjanjian bilateral dengan berbagai negara agar tidak mengirim para tentaranya ke International Criminal Court juga menjadi contoh. Ini menunjukkan bahwa pelanggaran HAM bisa terjadi di mana saja dan oleh siapa saja. Kenyataan ini mematahkan cara berpikir para perancang perjanjian internasional di bidang HAM yang lebih memfo­kuskan pada Negara Berkembang.

Masalah lain yang dihadapi dalam pembuatan dan perancangan perjanjian internasional di bidang HAM adalah perjanjian tersebut dibuat dengan menggunakan benchmark (patokan) sistem dan budaya hukum dari Negara Maju. Padahal sistem dan budaya hukum di setiap negara di dunia menunjukan keberagaman. Belum lagi kenyataan sistem dan budaya hukum Negara Maju bagi Negara Berkembang merupakan sistem dan budaya hukum yang ideal, bahkan dicita-citakan. Negara Maju dikenal sebagai negara yang memiliki kemapanan dalam sistem dan homogenitas budaya hukum.

Belum lagi permasalahan budaya hukum antara Negara Maju dan  Negara Berkembang kerap saling bertentangan. Dalam konteks demikian harus diakui bahwa eksistensi hukum internasional tidak lepas dari dominasi pemikiran Negara Maju. Negara Maju yang merasa dirinya lebih beradab dan  baik dalam mempraktekan HAM sementara Negara Berkembang memiliki sisi gelap.

Dalam pembentukan perjanjian internasional, meskipun diusulkan oleh Negara Maju namun Negara Berkembang tetap memiliki kesempatan untuk memperdebatkannya. Di sini deviasi yang mungkin terjadi dari perancang Negara Maju dapat diredam.

Hanya saja para ahli maupun delegasi dari Negara Berkembang, kerap mencari hal-hal yang bersifat ideal hingga kurang memperhatikan infrastruktur pendukung bagi implementasinya. Bahkan ada yang memiliki perasaan lebih Negara Maju daripada Negara Maju itu sendiri.

Masalah lain adalah masalah perumusan dalam perjanjian internasional yang bersifat kompromistis. Ini terjadi sebagai jalan keluar dari pandangan yang berbeda antar negara, khususnya antara Negara Berkembang dan  Negara Maju. Ketentuan yang dibuat secara kompromistis dimaksudkan agar dapat diterima. Hanya saja perumusan seperti ini kerap berdampak pada tidak jalannya ketentuan tersebut. Ketentuan seperti ini hanya baik di ruang sidang tetapi tidak dalam kenyataan.

Upaya lain adalah dengan memperkenalkan persyaratan (reservation) dalam perjanjian internasional yang dibuat. Persyaratan sering digunakan bila yang hendak dituju adalah mendapatkan sebanyak-banyaknya negara yang mengikuti tetapi bukan keutuhan dari perjanjian internasional. Akibatnya perjanjian internasional dilakukan tidak secara utuh.

 

Pembentukan Perjanjian Internasional untuk Tujuan Politik, Bukan untuk Tujuan Mulia

Perjanjian internasional, sadar maupun tidak, telah digunakan sebagai alat intervensi. Melalui perjanjian internasional dapat diubah peraturan perundang-undangan suatu negara.

Pembentukan perjanjian internasional di bidang HAM kerap dilakukan untuk tujuan-tujuan politik dan  sama sekali tidak untuk tujuan mulia, menghormati HAM itu sendiri. Ini kerap dilakukan oleh Negara Maju terhadap Negara Berkembang. Kepentingan Negara Maju yang berbentuk ekonomi maupun politik kerap berada di balik berbagai perjanjian internasional di bidang HAM. Dengan kata lain perjanjian internasional di bidang HAM kerap dijadikan alat bagi kepentingan politik. Dalam konteks ini Negara Maju mengadvokasi HAM bukan untuk tujuan mulia melainkan untuk kepentingan dari Negara Maju itu sendiri.

Oleh karenaya dapat dipahami bagaimana Negara Maju melakukan berbagai cara untuk mendesak dan menekan pemerintahan Negara Berkembang agar turut dalam berbagai perjanjian internasional di bidang HAM. Bila ini terjadi maka ada dasar bagi Negara Maju untuk meminta pemerintah Negara Berkembang agar mematuhi kewajibannya. Desakan yang dilakukan tidak dianggap sebagai pelanggaran hukum internasional mengingat Negara Berkembang tersebut telah mengikuti perjanjian internasional tertentu.

Tujuan politik dalam perjanjian internasional sangat terasa ketika ada kebutuhan dari Negara Maju untuk justru mengabaikan perlindungan dan penghormatan HAM, seperti perang melawan terorisme. .

 

Transformasi Setengah Hati

Pemerintah dari Negara Berkembang bila turut dalam perjanjian internasional di bidang HAM tidak dapat diharapkan untuk segera mentranformasikannya ke dalam hukum nasional, bahkan mencerminkan dalam kehidupan masyarakat. Keikutsertaan sering lebih karena keterpaksaan, bukan karena kesadaran untuk mengikatkan diri.

Selanjutnya, di Negara Berkembang kerap keikutsertaannya pada perjanjian internasional di bidang HAM ditujukan untuk kepentingan politik. Sering keikutsertaan ini dilakukan dalam rangka menunjukkan komitmen suatu pemerintah pada rakyatnya terhadap penghormatan HAM. jalan termudah untuk menunjukan komitmen ini adalah turut serta dalam perjanjian internasional di bidang HAM tanpa mengkaji lebih dalam konsekuensi setelah perjanjian internasional diikuti. Bila dua hal ini terjadi maka perjanjian internasional bidang HAM tidak dapat membawa perbaikan terhadap kondisi dan penghormatan HAM. Sebagai akibat penegakan HAM hanya terbatas pada slogan yang tidak dirasakan di tingkat masyarakat.

Sebagai contoh Indonesia telah meratifikasi International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination. Sayangnya belum ada Upaya serius untuk melakukan penyisiran terhadap peraturan perundang­Umdangan. Kalaupun ada banyak aparatur yang masih menggunakan mindset lama sehingga tidak sadar adanya perubahan dalam peraturan perundang­undangan. Belum lagi budaya hukum masyarakat yang tidak dikondisikan untuk berubah dan mengikuti budaya non-diskriminasi.

Budaya Hukum dan Perjanjian Internasional yang Telah Ditransformasikan Ada beberapa kelemahan dari perjanjian internasional bidang HAM bila telah diratifikasi oleh Negara Berkembang. Pertama adalah fakta di Negara Berkembang, perubahan terhadap peraturan perundang-undangan tidak serta merta berarti bahwa akan ada perubahan yang mendasar di tingkat masyarakat. Di Negara Maju bisa diharapkan perubahan terhadap peraturan perudang-undangan akan segera tercermin di masyarakat.

Di Negara Berkembang kebanyakan yang terjadi adalah perubahan terhadap peraturan perundang-undangan tidak serta merta terasa dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Sehingga bila ratifikasi terhadap suatu perjanjian internasional di bidang HAM kerap berhenti sampai pada proses ratifikasi tersebut. Di sini tidak dilakukan tindak lanjut, mulai dari transformasi ke dalam hukum nasional, memberi pemahaman kepada aparatur penegak hukum, menyediakan infrastruktur pendukung hingga melakukan upaya untuk mengubah budaya hukum masyarakat.

Akhirnya bila keempat hal ini tidak ditindaklanjuti maka perjanjian internasional yang telah diikuti tidak akan memberi efek yang signifikan di tingkat masyarakat.

 

Penutup

Perjanjian internasional yang mempromosikan penghormatan terhadap HAM, ternyata tidak cukup untuk memperbaiki kondisi HAM di Negara Berkembang. Ada berbagai alasan bagi Negara Berkembang dalam pemenuhan kewajibannya dalam perjanjian internasional. Ternyata, sebagaimana telah diuraikan, ini bukan karena adanya keinginan Negara Berkembang untuk melanggar apa yang telah disepakatinya.

Tidak tercerminnya nilai-nilai universal HAM yang termuat dalam perjanjian internasional dalam kehidupan masyarakat lebih karena kondisi pada negara yang tidak mungkin untuk memenuhinya. Namun ini tidak berarti apologia untuk tidak secara terus menerus melakukan upaya penghormatan HAM. Perjanjian internasional yang diikuti harus ditindaklanjuti dengan (1) transformasi ke dalam hukum nasional; (2) penyiapan aparatur penegak hukum yang memahami nilai-nilai baru; (3) penyiapan infrastruktur pendukung; dan  (4) mengkondisikan perubahan budaya hukum masyarakat.


Partisipasi Publik Sebagai Hak Asasi Warga

Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah

 

Pendahuluan

Demokrasi merupakan credo suci dalam penyelenggaraan pemerintahan negara modern. Isu demokrasi menjadi tolok ukur keberadaan sebuah negara dalam pergaulan dunia internasional. Hal itu didasarkan pada alasan bahwa sistem demokrasi dipercaya sebagai suatu sistem yang mencerminkan mekanisme politik yang dianggap mampu menjamin adanya pemerintah yang tanggap terhadap preferensi dan keinginan warga negaranya.

Robert A. Dah) (dalam M. Budairi Idjehar, 2003) mengetengahkan bahwa dalam sistem demokrasi paling tidak ditunjukan oleh lima prinsip yakni:

a. Adanya prinsip hak yang dan tidak diperbedakan antara rakyat yang satu dengan yang lainnya;

b. Adanya partisipasi efektif yang menunjukkan adanya proses dan kesempatan yang sama bagi rakyat untuk mengekspresikan preferensinya dalam keputusan-keputusan yang diambil;

c. Adanya pengertian yang menunjukkan bahwa rakyat mengerti dan paham terhadap keputusan-keputusan yang diambil Negara, tidak terkecuali birokrasi;

d. Adanya kontrol akhir yang diagendakan oleh rakyat, yang menunjukkan bahwa rakyat mempunyai kesempatan istimewa untuk membuat keputusan dan dilakukan melalui proses politik yang dapat diterima dan memuaskan berbagai pihak;

e. Adanya inclusiveness yakni suatu pertanda yang menunjukkan bahwa yang berdaulat adalah seluruh rakyat.

Prinsip-prinsip tersebut di atas dipercaya akan mampu menjamin keadilan demokrasi yaitu bahwa semua warga negara akan diperlakukan sama dalam sebuah penyelenggaraan negara. Persamaan tersebut mengimplikasikan bahwa semua lapisan masyarakat mempunyai hak untuk akses dalam proses penyelenggaraan pemerintahan tanpa ada perbedaan.

Prinsip keadilan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan merupakan hak asasi bagi warga negara yang kemudian mengimplikasikan sebuah kewajiban bagi setiap negara untuk memberikan jaminan keber­langsungnya. Konvenan Internasional Hak-hak Sipil dan  Politik yang ditetapkan oleh Resolusi Majelis Umum PBB 2200 A (XXI) dalam Pasal 25 menentukan bahwa:

Setiap warga Negara harus mempunyai hak dan  kesempatan, tanpa pembedaan apapun sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 dan  tanpa pembatasan yang tidak layak untuk:

a) ikut serta dalam pelaksanaan urusan pemerintahan, baik secara

langsung ataupun melalui wakil-wakil yang dipilih secara bebas;

b) memilih dan  dipilih pada pemilihan umum berkala yang murni dan  dengan hak pilih yang universal dan  sama, serta dilakukan melalui pemungutan suara secara rahasia untuk menjamin kebebasan menyatakan keinginan dari para pemilih;

c) memperoleh akses pada pelayanan umum di negaranya atas dasar persamaan dalam arti umum.

 

Ketentuan serupa juga terdapat dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 pada bagian kedelapan tentang Hak Turut Serta Dalam Pemerintahan Pasal 43. Ketentuan-ketentuan itu merupakan landasan penting bagi warga masyarakat yang memberikan kesempatan bagi warga untuk melaksanakan hak asasinya dalam partisipasi publik pada proses penye­lenggaraan pemerintah yang demokratis di Indonesia.

 

Refleksi Partisipasi Publik Masa Lalu

Apabila kita merefleksi sejarah demokratisasi penyelenggaraan pemerintahan (pusat maupun daerah) Indonesia, maka kita akan mencatat suatu model pemerintahan yang otoritarian, monopolistik dan  tertutup. Demokrasi partisipatoris dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah sebenarnya tidak memiliki akar sejarah yang kuat karena ia selalu berada dalam sebuah sistem hukum yang represif dan  situasi demokrasi yang semu. Partisipasi diberi makna untuk rela berkorban dan  taat pada program-program pembangunan yang direncanakan oleh pemerintah.

Pada era orde baru pembangunan adalah kata ampuh yang harus disetujui oleh semua orang tanpa reserve. Warga masyarakat harus berkorban demi pembangunan, tanpa diperhitungkan apakah mereka yang berkorban akan diuntungkan atau bahkan terpinggirkan. Pengorbanan warga masyarakat tersebut dikonsepsikan sebagai partisipasi. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa telah terjadi distorsi dan  pembiasan terhadap makna partisipasi.

Dengan demikian maka budaya partisipasi yang berkembang adalah partisipasi semu karena tidak boteh ada kritik atas program pembangunan, tidak terbuka ruang bagi masyarakat untuk mengajukan keberatan­keberatannya atas sebuah kebijakan yang merugikan dirinya.

Demokrasi hanya dipahami tidak lebih dari sekedar pemilu dan konstitusi saja. Saluran partisipasi masyarakat ditutup dengan argumentasi bahwa aspirasi telah cukup terwakili oleh lembaga perwakilan rakyat, walaupun pada kenyataannya lembaga tersebut lebih membawakan suara partai dan tidak mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi kebijakan. Selain itu sistem politik yang ada penuh dengan manipulasi dan pengkhianatan terhadap tuntutan warga masyarakat maupun kelompok-kelompok kepentingan.

 

Prasyarat Proses Partisipasi Publik

Proses partisipasi rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahan akan sangat ditentukan oleh kualitas hubungan antara pemerintah dan warga. Pemerintah sebagai lembaga yang memiliki kekuasaan yang lebih superior harus dengan tulus membuka ruang dan  kesempatan bagi warga untuk ikut dalam proses penentuan kebijakan. Di lain pihak warga juga harus proaktif untuk mengakses informasi dan  mengajukan pendapat-pendapatnya atas sebuah kebijakan yang akan diambil oleh pemerintah.

M. Budairi Idjehar (2003) mengemukakan bahwa kesempatan bagi rakyat hanya mungkin tersedia kalau lembaga-lembaga dalam masyarakat menjamin adanya 8 kondisi, yaitu:

a. kebebasan untuk membentuk dan  dan  bergabung dalam organisasi;

b. kebebasan mengungkapkan pendapat;

c. hak untuk memilih dalam pemilihan umum;

d. hak untuk menduduki jabatan politik;

e. hak para pemimpin untuk bersaing memperoleh dukungan suara;

f.     tersedianya sumber-sumber'informasi alternatif;

g. terselenggaranya pemilihan umum yang bebas dan  jujur;

h. adanya lembaga-lembaga yang menjamin agar kebijakan publik tergantung pada suara dalam pemilihan umum dan pada cara-cara penyampaian pendapat.

Delapan kondisi tersebut di atas akan mengimplikasikan pada terbukanya ruang partisipasi publik dalam penyelenggaraan pemerintahan secara luas. Dengan terbukanya ruang partispasi tersebut maka pengambilan keputusan yang menyangkut masyarakat tidak dapat dimonopoli oleh pejabat pengambil keputusan maupun anggota lembaga perwakilan, melainkan harus dibuka secara luas dalam iklim keterbukaan. Keberadaan lembaga perwakilan tidak akan pernah mampu mendengarkan semua tuntutan warga masyarakat, banyak keputusan-keputusan penting dalam penyelenggaraan pemerintahan yang harus melibatkan masyarakat secara langsung. Warga masyarakat adalah pihak yang mungkin akan dirugikan oleh sebuah kebijakan yang diambil oleh penguasa dan berkeberatan atas kebijakan tersebut. Terhadap keberatan warga masyarakat, pemerintah perlu mendengarkan keluhan dan  harapan warga atas kebijakan yang diambil oleh penguasa. Selain itu, pelibatan masyarakat secara langsung akan memberikan makna pada kepas­tian hukum atas keputusan penguasa agar keputusan tersebut tidak digugat oleh warga masyarakat di kemudian hari. Melalui proses partisipasi yang tulus maka warga akan menerima kebijakan penguasa secara tulus pula.

Prinsip persamaan di hadapan hukum (equity before the law) adalah prinsip yang sangat penting agar proses partisipasi dapat berjalan dengan baik. Proses patisipasi harus mempertimbangkan kondisi dan  keterbatasan warga masyarakat yang harus terlibat dalam proses penentuan sebuah kebijakan. Pemerintah harus memahami bahwa tidak semua lapisan masyarakat mampu mengakses makna sebuah informasi dan  tidak semua lapisan masyarakat mampu mengemukakan keberatan-keberatannya atas sebuah kebijakan yang akan merugikan dirinya. Seperti misalnya untuk kelompok-kelompok marginal harus ada perlakuan yang berbeda sehubungan dengan keterbatasan mereka.

Sehubungan dengan kemampuan masyarakat tersebut di atas maka dalam proses partisipasi keberadaan kelompok-kelompok kepentingan dan  forum-forum warga akan menentukan kualitas dan  bentuk partisipasi. Oleh karena itu proses partisipasi tidak boleh terjebak dalam pendekatan kewilayahan dan  terbatas pada bentuk formal yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Pengalaman masa lalu, menunjukkan bahwa keberadaan forum-forum warga dan  kelompok kepentingan selalu dikendalikan oleh penguasa dengan harus mendapat restu dan kemudian dikooptasi. Bila tidak ada restu kekuasaan maka forum dan  kelompok kepentingan itu akan dicurigai, dihalangi, dilarang, dan  kemudian dihabisi.

 

Keterbukaan Pemerintah dan Makna Partisipasi

Partisipasi publik hanya akan dapat dilakukan bilamana ada keterbukaan pemerintahan. Nurcholish Madjid mengemukakan dalam tulisannya yang berjudul "Demokrasi dan Kebebasan"dalam Tabloid Tekad (1999) bahwa kekuatan demokrasi ialah sebuah sistem yang mampu melalui dinamika internnya sendiri untuk mengadakan kritik ke dalam dan  perbaikan-perbaikan, berdasarkan prinsip keterbukaan serta kesempatan bereksperimen.

Burkens mengemukakan bahwa syarat minimal yang harus dipenuhi dalam demokrasi, antara lain adalah Openbaarheids van besluitvorming (keterbukaan dalam pembentukan keputusan). Syarat tersebut memberikan makna terhadap berfungsinya demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Lebih lanjut dikemukakan oleh Burkens bahwa banyak bidang kegiatan pemerintahan yang membutuhkan keikutsertaan langsung dari para warga masyarakat dalam proses persiapan penentuan kebijakan dan  pembentukan keputusan. Pemerintah atas dasar asas kecermatan hukum mempunyai kewajiban untuk melibatkan para warga dalam pengambilan keputusan. Keterbukaan pemerintah mempunyai makna penting, karena melalui keterbukaan para warga memperoleh lebih banyak pengertian tentang rencana-rencana kebijakan yang dijalankan. Dengan demikian, maka pemerintah memberikan kemungkinan bagi para warga untuk meminta perlindungan hukum terhadap pemerintah, baik sebelum dan  sesudah suatu keputusan diambil.

Keterbukaan mempunyai ikatan yang hakiki dengan berfungsinya demokrasi. Warga masyarakat akan memperoleh banyak pengertian tentang rencana-rencana kebijaksanaan dan  tentang kenyataan yang menjadi dasar kebijakan yang dijalankan. Selain itu juga membuka peluang perlindungan bagi rakyat terhadap tindakan pemerintah. Keterbukaan pemerintahan memungkinkan peran serta masyarakat dalam pengambilan keputusan. Untuk itu dibutuhkan sarana peran serta, misalnya sarana keberatan, dengar pendapat , komisi pertimbangan (kepenasihatan) dan  lain-lain. Di samping itu asas keterbukaan mewajibkan pemerintah untuk mengumumkan setiap keputusannya. Pendapat tersebut memberikan gambaran bahwa dalam keterbukaan pemerintahan, warga mempunyai hak dan  kesempatan untuk tahu atas rencana-rencana atau keputusan-keputusan yang akan diambil, hak dan  kesempatan untuk ikut memikirkan, dan  memutuskan suatu kebijaksanaan pemerintahan melalui sarana peran serta (inspraak). Untuk kepentingan tersebut maka diperlukan adanya informasi yang terbuka, prosedur yang memungkinkan peran serta (inspraak) bagi warga, dan pengumuman.

Asas keterbukaan mewajibkan pemerintah untuk secara aktif memberikan informasi kepada masyarakat tentang suatu permohonan atau suatu rencana tindak pemerintahan dan  mewajibkan untuk memberikan penjelasan kepada masyarakat atas hal yang diminta. Terhadap kewajiban pemerintah untuk memberikan informasi, peraturan perundang-undang di Indonesia belum ada ketentuan yang memadai. Dalam tatanan peraturan pemerintah daerah belum ada pengaturan yang menjamin akses rakyat atas informasi kebijakan-kebijakan yang akan dilakukan. Informasi merupakan barang yang sangat mahal dan  eksklusif. Para pejabat seringkali menutup akses masyarakat atas informasi dengan alasan "rahasia negara".

 

Partisipasi dan Keterbatasan Instrumen

Bangkrutnya orde baru membawa angin perubahan yang lebih menjanjikan untuk proses partisipasi dalam penyelenggaran pemerintahan daerah. Angin reformasi menghembuskan sistem pemerintahan daerah yang demokratis dan partisipatoris sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999. UU tersebut menentukan bahwa sistem pemerintahan daerah dilandaskan pada sistem otonomi luas yang mengedepankan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta, pemerataan dan keadilan serta memperhatikan potensi dan  keanekaragaman daerah. Prinsip-prinsip tersebut bertujuan untuk memberdayakan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan  kreativitas, dan meningkatkan peran serta masyarakat.

Membuka ruang publik yang seluas-luas dalam rangka proses demokratisasi pemeritahan daerah merupakan semangat yang muncul dalam sistem pemerintahan daerah. Hak rakyat untuk ikut serta menentukan proses pembangunan dan  penyelenggaraan pemerintahan mulai mendapatkan lempat. Namun, seiring itu pula semangat demokrasi yang digariskan oleh UU pada kenyataannya telah berubah bentuk menjadi anti demokrasi dan  menimbulkan ketakutan bagi pejabat terhadap proses partisipasi masyarakat. Kecenderungan yang tampak nyata dalam penyelenggaraan pemerintah daerah adalah elitis dan  tidak mengakar. Sering kali berbagai kebijakan diputuskan secara sepihak tanpa mendengar aspirasi rakyat. Peran pemerintah terlihat demikian superior. Partisipasi publik melalui lembaga non pemerintah dLSM) lebih sering dimanipulasi dan  kemudian menjadi tameng untuk sebuah pembenaran bahwa kebijakan yang diambil dengan mendengarkan aspirasi rakyat dengan melalui lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Dalam hal ini 6anyak LSM plat merah yang berfungsi sebagai tameng dan  stempel pembenar Aas keputusan-keputusan yang tidak proporsional. Dengan demikian maka partisipasi publik yang dilakukan oleh pemerintah adalah partisipasi semu dan tidak tulus.

 

Kesiapan/kemampuan dan  sikap apatisme masyarakat.

Kendala-kendala tersebut menyebabkan kemandegan proses demokratisasi partisipatoris dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Selain itu juga menjauhkan gagasan pemerintahan yang bersih (clean and good governance) hanya sampai pada batas wacana dan jauh dari harapan proses pemerintahan yang diidealkan oleh warga masyarakat. Kondisi penyelenggaraan pemerintahan masih diwarnai dengan semangat korup dan tertutup.

 

 

 

Kondisi Pengaturan Hukum dan Superioritas Pemerintahan

Pada tingkatan UU, pengaturan tentang partisipasi warga telah menjadi jiwa UU (legal spirit), akan tetapi pada tingkatan rumusan pasal per pasal jiwa tersebut menghilang atau tidak dinormakan secara baik. Sebagai contoh Dalam UU No. 22 Tahun 1999, partisipasi masyarakat hanya dirurriuskan dalam Pasal 18 Ayat (1) huruf (h) yang mengatur bahwa tugas dan wewenang DPRD adalah menampung dan menindaklanjuti aspirasi daerah dan masyarakat. Sedangkan dalam Pasal 43 yang mengatur tentang kewajiban Kepala Daerah, tidak ada kewajiban kepala daerah untuk menampung dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat. Dalam UU No. 22 Tahun 1999 tidak ditemukan pengaturan mengenai bagaimana proses peran serta masyarakat di bidang eksekutif atau pemerintahan. Ketentuan tersebut menunjukan bahwa pemerintah daerah memiliki visi superioritas terhadap masyarakat dan hubungan antara masyarakat dengan pemerintah (gubernur/ bupati/walikota) telah dianggap selesai dengan adanya DPRD.

Peluang dan ruang untuk partisipasi dalam penyelenggaraan peme­rintahan daerah juga tidak muncul dalam Perda No. 15 Tahun 2000, Perda Nomor 16 Tahun 2000, dan Perda Nomor 17 Tahun 2000 yang masing­masing mengatur tentang organisasi dan tata kerja sekretariat daerah dan dewan, lembaga teknis daerah dan dinas di propinsi Lampung. Idealnya ketentuan-ketentuan tersebut membuka ruang partisipasi masyarakat dalam pengaturannya tentang tata kerja masing-masing unit organisasinya. Dalam penyusunan APBD berdasarkan kinerja sebagaimana diatur dalam Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2003, salah satu landasan penyusunan APBD adalah penjaringan aspirasi masyarakat Oaring Asmara). Berkenaan dengan hal ini maka sebenarnya sangat dibutuhkan adanya Perda partisipasi yang mengatur bagaimana proses Jaring Asmara dilakukan.

Ketentuan mengenai partisipasi atau peran serta masyarakat diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Nega,ra yang Bersih dan Bebas Dari KKN. Pasal 8 Ayat (1) UU tersebut menentukan bahwa peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan negara merupakan hak dan tanggung jawab masyarakat untuk ikut mewujudkan penyelenggaraan negara yang bersih.

Pengaturan Pasal 8 tersebut menunjukkan bahwa makna partisipasi masyarakat lebih diarahkan pada fungsi pengawasan, sedangkan makna partisipasi sebagai bentuk perlindungan hukum bagi rakyat belum muncul. Selain itu perumusan aturan masih sangat abstrak. Pengaturan yang ada dalam UU Nomor 28 Tahun 1999 sebenarnya berisikan asas-asas yang kemudian diberi bentuk norma sehingga ketentuan pasal menjadi tidak operasional.

Berdasarkan ketentuan Pasal 9, Peran serta tersebut diwujudkan dalam bentuk:

a) Hak mencari, memperoleh dan memberikan informasi tentang penye­lenggaraan Negara;

b) Hak untuk memperoleh pelayanan yang sama dan adil dari penyelenggara Negara;

c) Hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggungjawab terhadap kebijakan penyelenggara Negara; d) Hak memperoleh perlindungan hukum.

Empat hak masyarakat tersebut di atas sulit sekali terwujud karena sistem peraturan perundangan yang ada belum mendukung. Adalah hak masyarakat untuk mencari, memperoleh dan memberikan informasi. Tetapi adakah jaminan untuk mendapatkan semua hal tersebut dan bagaimana mekanismenya? Informasi adalah barang mewah bagi masyarakat dan masih sulit untuk diakses, terlebih bila berkenaan `dengan kebijakan-kebijakan strategis. Pengalaman beberapa kalangan NCO untuk mendapatkan Draft­Rancangan APBD membutuhkan tenaga ekstra. Argumentasi klise para penguasa untuk menolak memberikan informasi adalah bahwa informasi yang dicari itu adalah "rahasia negara".

Dalam PP Nomor 68 Tahun 1999 Pasal 3 Ayat (1) dan Ayat (2) menentukan bahwa dalam masyarakat bermaksud mencari atau memperoleh informasi lentang penyelenggaraan negara maka yang berkepentingan berhak menyatakan kepada atau memperoleh dari instansi atau lembaga terkait yang dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa pemerintah ditempatkan sebagai pihak yang pasif dan  masyarakat adalah pihak yang harus proaktif untuk mencari informasi.

Sikap proaktif masyarakat mempunyai risiko tersendiri, terutama bila menunjukan sikap keberatan atau sikap kritis terhadap sebuah kebijakan, sering dihadapkan pada ancaman-ancaman kekerasan fisik sampai dengan kesulitan dalam memperoleh pelayanan publik yang dibutuhkan. Sikap arogan dan  anti kritik para birokrat masih demikian kental dan  untuk itu masyarakat tidak.memperoleh jaminan perlindungan. )aminan perlindungan dapat dilakukan dengan melakukan perlawanan melalui proses peradilan yang nota bene membutuhkan biaya dan  waktu yang panjang.

Pada dasarnya UU menjamin hak warga masyarakat untuk me­nyampaikan saran dan  pendapat secara bertanggungjawab terhadap kebijakan penyelenggara negara, akan tetapi hak tersebut akan sulit terwujud karena tidak ada kewajiban bagi pemerintah bahwa saran dan  pendapat tersebut akan mempengaruhi keputusan yang diambilnya. Pengalaman dalam melakukan advokasi APBD menunjukkan bahwa pemikiran dari berbagai kalangan, yaitu antara lain perguruan tinggi dan  elemen-elemen masyarakat yang tergabung dalam Jaringan Pemantau Trasparansi dan Otonomi Daerah OMPTOD) tidak didengar sama sekali. Berbagai pertemuan dan hearing dengan anggota dewan tidak mempengaruhi substansi Perda APBD yang dibuat, tidak ada sikap tulus dan  fair dari anggota dewan terhadap pemikiran dan  protes yang dilakukan. Dalam hal ini telah terjadi penghianatan atas aspirasi yang telah disampaikan kepada dewan, dan  tidak ada jaminan bahwa apa yang telah disampaikan oleh warga masyarakat akan mem­pengaruhi keputusan yang diambil. Demikian pula dalam proses pemilihan gubernur yang beraroma politik uang, proses pemilihan yang seharusnya dilandasi dengan semangat demokratis, ternyata dilakukan secara ekslusif dan  tertutup. Ruang publik bagi masyarakat untuk melakukan partisipasi atau peran serta dalam proses pemilihan kepala daerah hanyalah retorika semata.

 

Penutup

Pelaksanaan partisipasi publik dalam penyelenggaraan pemerintahan sebagai hak asasi warga masih membutuhkan perjuangan panjang. Partisipasi publik masih hanya sekedar retorika tanpa ketulusan hati karena sikap mental para pejabat yang masih belum memahami dan  menghargai warga masyarakat sebagai subjek dalam penyelenggaraan pemerintahan. Demokratisasi pemerintahan bukan lagi "untuk rakyat" dan  "oleh rakyat", tetapi "untuk rakyat" dan  "bukan oleh rakyat". Di sisi lain, partisipasi publik juga masih


Implementasi dan Sinkronisasi Hak Asasi Manusia Internasional dan Nasional

 

Pendahuluan

Dalam perkembagan kehidupan yang berkelanjutan sampai saat ini dari realitas lokal ke realitas nasional bahkan Internasional, nampak bahwa hak asasi manusia berkembang secara berseiring dalam suatu hubungan yang komplementer. Hak asasi manusia telah berkembang sebagai suatu tatanan yang semula hanya sebatas negara tertentu saja, sekarang telah mendunia. Instrumen hak asasi manusia yang tadinya bersifat universal telah menjadi cermin bermacam-macam norma perilaku yang diterima secara khusus oleh sebagian besar negara-negara di dunia. Asumsi ini yang dijadikan sebagai dasar diterimanya pernyataan hak asasi manusia sedunia pada tahun 1948 oleh suatu badan internasional yaitu Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Pada pembukaannya deklarasi ini menyatakan suatu pengakuan atas martabat yang hakiki dan  hak yang sama tanpa diskriminasi, tidak dapat dicabut oleh segenap anggota umat manusia, sekaligus sebagai landasan adanya kebebasan, keadilan dan perdamaian dunia. Nilai-nilai hak asasi manusia yang bersifat universal tersebut pada tataran teoritis dapat diterima oleh semua negara, akan tetapi pada tataran implementasi selalu terdapat perbedaan antara negara satu dengan yang lain disebabkan adanya sudut pandang yang berbeda. Perbedaan sudut pandang inilah yang merupakan salah satu faktor implementasi nilai-nilai universal hak asasi manusiatidak seragam.

Perbedaan tataran teoritik dan implementasi tersebut tidak perlu dipertentangkan sebab tataran teoritik implementasi menyangkut relevansi dengan budaya di mana hak asasi manusia ini akan diterapkan. jadi bukan substansi hak asasi manusia yang akan mengganti sistem sosial pada masyarakat, melainkan proses dan implementasi itu sendiri yang akan menggantinya.

Berbagai instrumen hak asasi manusia Internasional telah diadopsi oleh Negara Republik Indonesia ke dalam Tap MPR No. XVII/MPR 1998, UU No 39 tahun 1999, Perpu No 1 tahun 1999 dan UU No 26 tahun 2000. Sekarang tinggal bagaimana Political will Pemerintah Republik Indo­nesia untuk melaksanakan secara murni dan konsekuen peraturan tersebut di atas. Telah kita ketahui bersama bahwa meskipun Indonesia negara hukum, tetapi hukum belum dapat berperan sebagai panglima atau dengan kata lain belum tercipta Rule of Law.

 

Pelaksanaan Hak Asasi Manusia

Sebagai instrumen perundang-undangan hak asasi manusia supaya dipositifkan kaidah-kaidahnya dan disosialisasikan kepada masyarakat agar masyarakat mengetahui dan  berupaya untuk mengembangkan sarana-sarana pendukung agar apa yang terkandung dalam hak asasi manusia dapat ditaati. Hal demikian akan membawa dampak pada perwndang-undangan hak asasimanusia dapat berlaku secara efektif, untuk itu diperlukan adanya upaya-upaya "pencanangan perundang-undangan hak asasi manusia dengan baik, pelaksana dalam menunaikan tugasnya dapat searah dan senafas sesuai dengan bunyi serta penafsiran yang telah disepakati, penegak hak asasi manusia harus menuntut para pelanggannya" (GG. Howards dan  Rummers, 1999: 46-47). Atau dengan kata lain agar perundang-undangan hak asasi manusia dapat efektif maka pembuatannya, pelaksana dan  pemegang perannya harus dalam satu sistem kerja.

Pelaksanaan hak asasi manusia perlu adanya ketentuan yang normatif dan komitmen moral dari pelaksananya. Peraturan normatif ini berupa ketentuan-ketentuan yang memuat hak dan kewajiban baik kepada masyarakat maupun Pemerintah, sedangkan komitmen moral berupa perjuangan yang tulus ikhlas dan  peduli untuk memperjuangkan hak dan  kewajiban orang lain sesuai dengan perundang-undangan hak asasi manusia.

Akhir-akhir ini terdapat suatu penilaian dari dunia Barat seakan-akan Pemerintah Indonesia tidak konsekuen melaksanakan hak asasi manusia. Penilaian ini didasarkan pada kaca mata hak asasi manusia yang berlaku di Barat yang mempunyai sifat individualis dan  liberal serta kapitalis, sehingga wajar mereka menilai begitu. Hal demikian tentu berbeda dengan paradigma Pemerintah Indonesia di samping mengakui adanya hak individu, juga meng­akui adanya hak-hak kolektif atau umum bahkan hak individu akan dikesam­qngkan jika dipandang oleh negara memang harus bertindak demikian.

Perbedaan antara negara Barat dan Pemerintah Indonesia tentang hak asasi manusia berkisar pada apakah hak asasi manusia bersifat universal dan mencakup semuanya berlaku tanpa kecuali, apakah tidak memperhitungkan budaya yang ada pada masing-masing negara. Di samping itu juga terdapat sudut pandang yang berbeda mengenai prioritas hak-hak yang dimiliki oleh warganya di satu sisi. Negara Barat menekankan pada hak sipil dan  politik, 9edangkan bagi Indonesia di samping hak-hak tersebut juga dirasa penting rnelindungi hak ekonomi dan  budaya yang saling kait mengkait.

Pada era globalisasi, hubungan negara satu dengan negara yang lain sudah tidak dapat dihindari lagi, termasuk Indonesia untuk berhubungan dengan negara Barat. Negara Barat berada pada posisi yang menentukan, sedangkan negara Indonesia pada posisi yang ditentukan.

Ketegangan sering terjadi karena masih adanya perbedaan konsep tentang hak asasi manusia tersebut. Namun yang terbaik bagi Indonesia tentu tidak menolak terhadap nilai-nilai universal deklarasi tersebut, tetapi mematuhi standar minimalnya saja. Kita mengadakan gerakan moral kepada seluruh komponen bangsa, bahwa hak asasi manusia merupakan salah satu prestise kemanusiaan yang harus kita junjung tinggi dan  berupaya untuk tidak melanggar dan  melaksanakan dengan kemauan baik sehingga kita akan mempunyai nilai tambah di mata dunia internasional.

Masalahnya, apakah para birokrat yang duduk dalam pemerintahan akan semakin sadar dalam menjalankan tugas sebagai pelayan masyarakat dan  tidak diskriminatif terhadap warganya, seperti apa yang dikemukakan oleh ahli sosiologi Max Weber yang menyatakan, bahwa seorang birokrat modern harus dapat bekerja sine ira et studio. Pertanyaan ini dikemukakan, mengingat pada periode sebelum tahun 1999 kebanyakan pelanggaran hak asasi manusia dilakukan oleh oknum birokrat dan  belum terselesaikan secara adil dan  benar sesuai dengan Pasal 1 ayat (6) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

 

Sinkronisasi dan Interpretasi Perumusan Hak Asasi Manusia Universal dan Lokal

Terdapat berbagai instrumen tentang hak asasi manusia baik tingkat dunia maupun nasional. Tingkat dunia antara lain Deklarasi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1948, Perjanjian Internasional perihal Hak Asasi Manusia dan  Bill of Right, Magna Charta dan  lain-lain. Sedangkan hak asasi manusia nasional di Indonesia tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 dan  dalam pasal-pasalnya masih bersifat parsial dan  tersebar serta tidak rinci dan  mendetail. Namun demikian Pemerintah Republik Indonesia telah memiliki seperangkat hukum yang mengatur tentang hak asasi manusia, yaitu Ketetapan MPR No XVII/MPR 1998, UU No. 39 Tahun 1999, Perpu No. 1 Tahun 1999 dan  UU No. 26 Tahun 2000.

Sinkronisasi ini dilakukan secara vertikal dan  horisontal. Secara vertikal dilakukan terhadap nilai-nilai hak asasi manusia universal/dunia dengan nilai-nilai hak asasi manusia lokal/nasional (Hassan Suryono, 2002: 4). Di samping itu juga terhadap perundang-undangan nasional berdasarkan sta­tus yang lebih tinggi dan  rendah. Sedangkan sinkronisasi horisontal dilakukan terhadap perundang-undangan yang mempunyai derajat yang sama.

Interpretasi yang digunakan secara gramatikal dan sistematis. Sinkronisasi dan interpretasi sebagaimana tersebut di atas dilakukan terhadap komponen substansi yaitu ketentuan-ketentuan atau nilai-nilai berupa hak.

Selain hak, kewajiban apa saja yang terdapat dalam peraturan HAM, serta bentuk perilaku apa saja yang dapat dikategorikan melanggar HAM, sinkronisasi dan interpretasi juga dilakukan terhadap komponen kultur yaitu gagasan-gagasan, harapan-harapan dari semua peraturan hak asasi manusia.

Dalam melakukan sinkronisasi dan interpretasi tersebut diperlukan letigimasi dan konsensus dari komponen bangsa untuk merumuskan, menjabarkan dan mengintegrasi. Dari upaya ini akan dihasilkan suatu harmonisasi antara nilai hak asasi manusia nasional dengan hak asasi manusia universal. Meskipun sudah diperoleh suatu harmonisasi, namun kinerja dari peraturan hak asasi manusia tergantung pada faktor pembuat hukum/UU HAM, pemegang peran atau masyarakat serta penegak hukum atau birokrat pelaksananya.

 

Penutup

Berdasar paparan di atas dapat disimpulkan, bahwa agar pelaksanaan hak asasi manusia dapat efektif, perlu adanya peninjauan kembali terhadap komponen substansi dan kultur dengan mengadakan sinkronisasi dan interpretasi terhadap dokumen hak asasi manusia universal dan nasional sehingga ditemukan harmonisasi dari keduanya. Harmonisasi peraturan hak asasi manusia dapat terjadi bilamana tercipta suatu gerakan moral antara pembuat undang-undang, pemegang peran dan birokrat pelaksananya.

 


Hegemoni Politik dan Hukum

Sebuah Studi Literer Tentang Kekebalan Hukum dan Petanggaran Hak Asasi Manusia di Negara Dunia Ketiga Dalam Lintasan Sejarah

 

Pendahuluan                            

Sejak gelombang tuntutan demokratisasi semakin terasa terutama di negara­negara Afrika merdeka, maupun di daerah-daerah yang masih berada di bawah bentuk-bentuk kolonialisme, teruji dan  terbukti merupakan hasil dari perampasan hak dan  kediktatoran politik yang merupakan karakteristik kolonialisme dan  neokolonialisme. Bukti-bukti empiris memperlihatkan, bahwa dalam usaha rakyat menuntut perubahan, ada segelintir orang yang sebenarnya mendapat keuntungan dari kediktatoran tersebut mengikuti seruan akan adanya perubahan, akan tetapi hanya ingin mengamankan kepentingan­kepentingan mereka. Hal ini membuat pertentangan demokrasi di Afrika semakin rumit dan  serius. Dalam perspektif sejarah, rezim non demokratis mempunyai bentuk yang sangat beragam. Rezim-rezim yang menjadi demokratis pada gelombang pertama, umumnya berbentuk monarki absolut, aristokrasi feodal yang sekarat dan  negara-negara penerus empire Eropa (HUmtington, 1997).

Penelitian literer ini lebih memfokuskan pada perspektif kekebalan hukum atas pelanggaran hak asasi manusia, disebabkan hegemoni kekuasaan yang terjadi di negara-negara Afrika. Negara-negara Afrika dipilih sebagai objek kajian, oleh karena di benua tersebut merepresentasikan pelanggaran hak asasi manusia yang luar biasa dahsyat yang disebabkan implementasi konsep paradigma kekuasaan yang menindas. Dari latar persoalan di atas, permasalahan yang diajukan adalah, "Mengapa di dalam negara dunia ketiga sering terjadi kekebalan hukum yang berkaitan dengan,pelanggaran hak asasi manusia selama era kolonial, yang kemudian memberikan sumbangan terhadap fenomena kekebalan hukum di masa modern?"

 

Kejahatan-kejahatan Hak Asasi Manusia

Negara-negara yang menjadi demokratis pada gelombang kedua, sebelumnya merupakan negara-negara fasis, koloni dan  kediktatoran militer perorangan dan  seringtelah memiliki sejumlah pengalaman dengan demokrasi. Rezim­rezim yang bergerak ke arah demokrasi dan  beralih ke demokrasi pada gelombang ketiga, umumnya tergolong pada tiga kelompok; pertama, sistem satu partai, kedua, rezim militer dan  ketiga, kediktatoran militer.

Fenomena lemahnya hukum terhadap individu-individu lokal maupun dari luar negeri serta orang-orang lain yang bertanggungjawab terhadap pelanggaran dan  penolakan hak asasi manusia dan  penduduk di Afrika yang disebut impunity (kekebalan dari hukuman), tentu saja merupakan satu hal yang terburuk di dunia. Sejarah mengenai kekebalan hukum di Afrika merupakan proses panjang dan  mengerikan. Pelanggaran dan  penentangan secara besar-besaran terhadap hak asasi dasar penduduk Afrika, selama periode perbudakan oleh orang-orang Eropa dan  Eropa-Amerika dilindungi oleh kekebalan hukum tersebut.

Eropa, Amerika Utara dan  bagian-bagian dari Amerika Tengah dan  Selatan melanjutkan hidup dalam kemakmuran, yang diperoleh dari kejahatan-kejahatan hak asasi manusia secara besar-besaran dan  menyolok yang diberlakukan untuk melawan warga Afrika. Warga kulit hitam dipaksa menjadi budak dan  dipaksa dikirim ke luar negeri, namun sebagian besar dari mereka hidup sebagai warga kelas dua dalam negara baru mereka.

Kolonialisme telah diumumkan sebagai lawan yang tepat terhadap hak asasi dasar manusia di bawah Piagam PBB dan  lebih penting lagi di dalam Un. Gen. Ass. Res.637/1952 dan  Un. Ass. Res.1514/1960. Pembunuhan besar-besaran, pemusnahan suatu golongan bangsa serta kejahatan lain melawan kehidupan, harga diri dan  kekayaan diakui oleh kekuatan Eropa dalam proses kolonialisasi dan  pemeliharaan hingga saat kemerdekaan pada setiap negara di Afrika. Oleh karena itu, memerlukan kajian sistematik untuk memungkinkan denda sebagai hukuman atau pertanggungjawabannya. Para pelaku kolonialis tersebut terus menerus melakukan penyiksaan, kekejaman dan  perlakuan tidak manusiawi terhadap rakyat Afrika. Mereka melakukan kejahatan yang bertentangan dengan kemanusian seperti pemerkosaan terhadap wanita-wanita Afrika. Mereka merampas kekayaan, mengambil alih dan  memiliki sendiri tanah-tanah; mereka juga merusak serta dan  merampas kebudayaan Afrika. Sebagian besar warisan kebudayaan Afrika ditemukan sebagai koleksi pribadi maupun milik publik di Eropa dan  Amerika Utara. Bersamaan dengan meningkatnya perjuangan untuk menentukan nasib diri sendiri dan  kebebasan nasional sejak tahun 1940-an, kekuatan imperial, serta warga negara mereka dalam koloni, menambah penderitaan atas kejahatan fisik serta pelanggaran hak asasi manusia rakyat Afrika. Kekuatan bersenjata diberlakukan oleh rakyat Afrika, sebagai suatu aspek perjuangan politik antara tahun 1950-an. dan  pada awal 1990-an, terjadi, misalnya di Kenya (1950), Algeria (1950-1960), Angoja, Mozambik, Cape Verde, Guinea Bissau (semuanya pada tahun 1960-1970-an), Zimbabwe (1960-1980), Namibia (1960-an - 1989-an), Afrika Selatan (1960-an - 1980-an).

Setiap negara penjajah, warga negara mereka menguasai koloni serta institusi-institusi militer gabungan, seperti misalnya NATO, mengadakan campur tangan aktif di dalam aktivitas-aktivitas militer tanpa memperhatikan hak asasi manusia. Di Kenya misalnya, puluhan ribu warga negara dibunuh oleh kekuatan anti pemberontak Inggris antara tahun 1960-1963. Lebih banyak lagi rakyat dideportasi, dipindahkan dan  ditahan tanpa diadili. fronisnya, kekebalan hukum yang yang dikuatkan dimiliki oleh kekuatan kolonial imperialis Eropa, dengan pelanggaran hak asasi manusia secara besar-besaran di Afrika. Hal ini memperlihatkan suatu era ketika hukum kemanusiaan internasional dan  modern dikembangkan, dengan partisipasi aktif dan  kepemimpinan dari negara-negara imperialis.

Pelaku Pelanggaran Hak Asasi Manusia

Perkembangan-perkembangan historis di negara-negara Dunia Ketiga dalam beberapa dekade terakhir, secara tegas telah membentuk Dunia Ketiga sebagai arena pelanggaran hak asasi manusia secara totalitas, artinya, pelanggaran tersebut telah merasuk di berbagai aspek kehidupan, seperti, ekonomi, sosial, budaya, pemerintahan dan  politik. Hukum internasional klasik di bawah payung negara, dikembangkan sebagai alat supra struktural untuk memfasilitasi serta membenarkan tindakan-tindakan beberapa negara dengan agen-agen mereka, untuk memastikan kelas-kelas dan lembaga-­lembaga perekonomian yang dominan, serta menciptakan suasana kondusif untuk melakukan perbudakan, eksploitasi berlebihan atas rakyat, tenaga kerja, sumber daya serta pelanggaran hak umum atas hak-hak keikutsertaan dalam pemerintahan di negara Dunia Ketiga.

Kondisi yang memprihatinkan mengenai hak asasi manusia di negara Dunia Ketiga, khususnya Afrika bukanlah semata-mata merupakan refleksi dari faktor sosial yang diwarisi dalam negara Dunia Ketiga, akan tetapi lebih merupakan produk dari relasi-relasi historis yang menurut Gutto disebut sebagai "world system"; terutama yang berkaitan dengan divisi internasional atas tenaga kerja (Sadrack B.O. Gutto, 1993: 95).

 

Penetrasi Atas Hak Politik, Sosial Ekonomi dan Budaya

Pengalaman yang dialami di negara-negara Afrika tiga dekade terakhir, menyadarkan mereka pada sebuah kenyataan, tuntutan perjuangan sebagai usaha persamaan di bidang ekonomi, politik dan  keadi Ian sosial, tampaknya hanya merupakan impian belaka. Inilah sebuah realitas yang mem­perlihatkan bahwa setiap perubahan yang muncul dan terjadi di bawah payung demokrasi, dalam idea yang tidak memenuhi harapan mereka.

Secara empiris, muncul sebuah debat terbuka sampai jauh menyentuh konsekuensi yang berkaitan dengan isu-isu hak asasi manusia di Afrika, seraya mengikuti gelombang protes dan  demonstrasi massa melawan pelanggaran hak asasi manusia bergabung dengan tuntutan perubahan demokrasi dalam negara-negara merdeka di Afrika. Hal ini terjadi di Alge­ria maupun di Nigeria dengan oposisi eksplisit terhadap kebijakan program penyesuaian dan  seruan atas perubahan dalam struktur sosio ekonomi dan  penghormatan hak asasi manusia; atau di Zambia dalam tuntutan atas multi partai, demikian juga di Kenya dalam tuntutan multi partai dan  penghormatan hak asasi manusia. Agaknya masih banyak lagi negara lainnya di Afrika yang secara terbuka dan  berani mengatakan bahwa hak mereka untuk menikmati hak-hak politik, ekonomi, sosial dan  budaya, termasuk pembentukan asosiasi politik yang berbeda dari mereka yang telah memonopoli kekuatan dan  menyebabkan negara berada dalam kekacauan sosial dan  ekonomi. Adanya gelombang protes dan  demonstrasi massa, memunculkan sebuah tesis, bahwa di negara-negara tersebut terjadi penetrasi atas hak-hak politik, ekonomi, sosial dan  budaya.

 

Respon Hukum Internasional

Hukum internasional kemudian benar-benar merubah dirinya menjadi hukum internasional publik dan  pribadi atas neo-kolonialisme dan  imperialisme. Deklarasi internasional dalam usaha membantu kepentingan-kepentingan negara-negara Dunia Ketiga dinyatakan dalam seruan Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa "New International Economi Order"tahun 1974, memiliki arti yang signifikan dalam konseptualisasi dan  pengakuan atas fakta, bahwa sebagian besar dari masalah-masalah internasional adalah refleksi dari masih dominannya relasi ekonomi internasional. Prioritas respon hukum internasional terhadap seruan untuk membentuk tata baru perekonomian internasional adalah perlu sebagai basis untuk.menunjukkan kelemahan dalam tata hukum internasional.klasik. Asumsi dasarnya adalah bahwa sebuah tata ' baru perekonomian internasional yang terstruktur akan memerlukan suprastruktur sosial dan  politik yang merupakan prasyarat bagi realisasi dari totalitas hak-hak asasi manusia di negara-negara Dunia Ketiga.

 

Intervensi Militer, Perang Saudara dan Kebijakan Kekebalan Hukum

Intervensi militer langsung di Afrika oleh kekuatan negara Eropa eks kolonial, seperti Inggris, Perancis, Portugal, Belgia, Amerika Serikat, serta bekas Uni Soviet pada tingkat tertentu, dan dukungan mereka dalam perang saudara, telah menyebabkan sebagian besar pelanggaran hak asasi manusia secara besar-besaran dan mencolok di negara-negara Afrika merdeka. Katalog kematian yang jumlahnya sangat banyak yang diakibatkan oleh intervensi ini dapat dibuktikan dengan mudah. Perusakan infrastruktur ekonomi dan sosial di negara-negara Afrika terus terjadi. Perilaku prajurit di dalam intervensi ini merupakan sesuatu yang sangat mencolok, seperti yang dikatakan dan  di ekspos oleh OAU (OAU CM/res. 697/1979, 32 rd Ordinary Session Nairobi). Lembaga-lembaga pribadi, kelompok-kelompok agama, sektor bisnis serta individu saling bekerjasama selama berlangsungnya pemerintahan­pemerintahan negara yang melakukan intervensi (Prexy, 1988, p.188-124; Nielson, 1990). Sumber-sumber inilah yang mendukung kelompok-kelompok pemberontak pemusnah bangsa dengan melanjutkan teror terhadap warga negara yang tidak bersalah.

Apartheid Afrika Selatan, sekutu tertutup kekuatan Barat, juga merupakan alat yang dimanfaatkan untuk keinginan intervensi di Afrika bagian selatan. Apartheid bersama dengan para pendukungnya terus saja menikmati kekebalan hukum absolut. Pendudukan Maroko yang berlanjut dengan pelanggaran terhadap hak asasi manusia di Sahara Barat, merupakan kasus lain dalam intervensi intra Afrika yang terus menerus menentang pendapat publik internasional. Sebuah analisis terhadap data Amnesti Internasional menunjukkan, bahwa penganiayaan dilakukan terhadap para tawanan oleh lebih dari empat belas negara Afrika, sebelas negara Asia, empat negara di Eropa Barat, dua puluh negara di Amerika, delapan negara di Timur Tengah, dan  tiga negara di Eropa Timur (Lippman, 1993).

 

Kekebalan Hukum Atas Pelanggaran terhadap Wanita, Anak-anak

Serta Mayoritas Kaum Miskin                  »

Bentuk dan  pola pelanggaran yang memerlukan perhatian di negara-negara Afrika, adalah pelanggaran kaum marginal dan  kelompok-kelompok kaum pinggiran dan  pedesaan, seringkali wanita, anak-anak dan kaum miskin. Pelanggaran negara atas perkampungan kumuh dengan sendirinya menambah dan  memperburuk permasalahan (Ndolo, 1990, 16-18, Mancharia, 1992, 221-12G, Gutto, 1992). Kekerasan terhadap wanita, merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang terus bertahan dan bahkan berkembang dengan sewenang-wenang menggunakan kekebalan hukum. Persoalannya adalah mengapa tidak ada tindakan tegas yang diambil terhadap pelanggaran wanita dan  dalam realitasnya mereka menikmati kekebalan hukum tersebut. Pelecehan seksual, pemerkosaan dan  apa yang sering disebut sebagai kekerasan rumah tangga dan  kekerasan terhadap anak-anak dalam praktik prostitusi yang melibatkan anak-anak, serta banyak lagi bentuk kekerasan terhadap wanita. Sebuah contoh ilustratif mengenai bagaimana pemerintah di Afrika dan Eropa memaafkan pelanggaran terhadap wanita atas kasus dua pria warga Jerman yang bekerja di Tanzania secara seksual diserang oleh seekor anjing. Kedua pria tersebut hanya dikenai sanksi kekerasan biasa (Daily Nation, Nairobi, 10 April 1991).

Apa yang terjadi di Afrika, mulai dari era kolonial sampai pada pasca kolonial, memperlihatkan baik yang dilakukan oleh negara-negara Afrika sendiri yang melakukan kolaborasi, maupun melalui intervensi negara­negara Barat, menunjukkan bahwa hegemoni politik, hukum dan hak asasi manusia memiliki kecenderungan yang sangat dominan. Hukum dijadikan alat legitimasi untuk menghindar dari kejahatan-kejahatan yang mereka lakukan. Hukum hanya instrumen untuk menghukum, ia adalah kekuasaan yang berkualitas rendah (Tofler, 1990).

 

Penutup

Sejarah mengenai kekebalan hukum di negara-negara Afrika merupakan proses sosial panjang. Pelanggaran secara besar-besaran terhadap hak asasi dasar penduduk Afrika berlangsung selama periode perbudakan oleh bangsa Eropa dan Amerika, oleh karena, dilindungi oleh kekebalan hukum. Para pelaku kolonialis terus menerus melakukan penyiksaan, kekejaman dan perlakuan tidak manusiawi terhadap rakyat Afrika. Mereka merampas kekayaan, mengambil alih dan  memiliki sendiri tanah-tanah, mereka juga merusak kebudayaan Afrika. Kekebalan hukum dan pelanggaran hak asasi manusia di negara-negara Afrika tentu segera dihentikan, jika tidak, berarti sedang menanam benih kekacauan yang berkepanjangan.


HAM Datam Perspektif Sistem Peraditan Pidana

 

Pengantar

Pembahasan HAM terbatas dalam konteks sistem peradilan pidana (criminal justice system) yang berada dalam kerangka jaringan sistem peradilan yang mendayagunakan hukum pidana (hukum pidana materiil, hukum pidana formil dan hukum pelaksanaan pidana) kiranya tidak akan memperoleh gam­baran menyeluruh dan sistemik, sehingga perlu dikaji secara utuh mencakup administrasi peradilan pidana (administration of criminal justice) yang memiliki daya jangkau lebih luas mulai dari kebijakan peradilan pidana (criminal justice policy), hak dan kewajiban serta etika penguasa dalam memperlakukan pelaku tindak pidana, saksi, dan korban, pelbagai pembatasan terhadap kekuasaan negara sebagai usaha menciptakan keseimbangan terhadap efisiensi dalam pencegahan dan penanggulangan kejahatan dengan jaminan terhadap hak-hak individual, tata cara mengajukan keberatan sampai dengan perlunya kerjasama internasional, dalam penanggulangan kejahatan yang kualitas dan kuantitasnya semakin meningkat, bahkan cenderung bersifat trailsnasional.

berbagai norma, asas dan standar tersebut tumbuh secara bertahap sejak tahun 1948, mulai dari pembangunan nilai-nilai melalui proses intelektual dan sosial (enunctiative stage), tahap deklarasi (declaration stage) nilai-nilai kemanusiaan, kepentingan dan hak yang tidak, mempunyai kekuatan mengikat (non -legally binding), tahap preskriptif (prescriptive stage) dalam bentuk pelembagaan asas-asas, norma dan standar yang lebih mengikat dalam kerangka kesepakatan-kesepakatan internasional (interna­tional agreement), selanjutnya tahap penegakan hukum (enforcement stage) melalui pelbagai konvensi internasional, mekanisme prosedural atau kombinasi antara keduanya dan tahap kriminalisasi (criminalization stage) berupa perumusan tindak pidana secara internasional sebagai sarana mengadili pelanggaran-pelanggaran HAM dengan gravitas tertentu.

Diskursus tentang HAM dalam kaitannya dengan sistem peradilan pidana dan administrasi peradilan pidana, tidak akan lepas dari pembicaraan tentang hubungan antara HAM, supremasi hukum dan demokrasi. Baik kualitas proteksi dan promosi tentang HAM maupun supremasi hukum di suatu negara, merupakan dua dari sekian banyak "indices of democracy" yang merupakan indikator ada.atau tidak adanya demokrasi di suatu negara.

"... the enjoyment of all human rights by all persons is the ultimate civili­zational horizons of democracy. The achievement of high level of human rights protection and promotion is a measure for the success of a demo­cracy. The rule of law in a democratic society is a prerequisite and main vehicle for the protection of human rights" (Petrova, 2002).

a.     HAM yang bersifat individual dan politik (civil and political rights) yang menekankan betapa pentingnya keprihatinan terhadap pelanggaran

HAM individual berupa pengingkaran terhadap "fundemental or basic

rights to life, liberty, personal security and physical integrity", menjadi

fokus per~hatian PBB semenjak dirumuskannya Piagam PBB (UN Charter) setelah usainya PD II. Dengan demikian hak-hak sipil dan politik sering dinamakan "first generation of human rights". Tanpa adanya proteksi dan promosi HAM ini kiranya sulit sekali untuk mencapai standar perlindungan yang memadai terhadap HAM sosial, ekonomi dan kultural. Bahkan dapat dikatakan bahwa tanpa adanya perlindungan terhadap hak-hak sipil dan politik secara memadai, maka praktek demokrasi, kualitas kehidupan bahkan perdamaian dan keamanan manusia akan terganggu (Bassiouni, 1994);

b. berbagai asas, norma dan standar yang relevan dengan administrasi peradilan pidana, dikembangkan oleh PBB dengan bantuan NGO's dan negara-negara anggota. Pelbagai NGO's seperti "International Com­mission of /urists,.Amnesty International, International Association of Penal Law, Defense of Children International, Anti-Slavery Society"

sangat berjasa dalam pengembangan pelbagai instrumen yang terkait;

c. "Globalization as the rapid intensification of social, economic and political transaction that cross national frontiers, affects, and will con­tinue to affect, all aspects of our lives, including law reform of crimi­nal justice both at an international and domestic level .... It's a world

order where national governments balance sovereignty and indepen­dence against the need for universal values and international institu­tions. It's a world where the UN and ist organs gain credibility and influence. It's a world where human rights are recoqnized globally, where the human rights standards and institutions of the UN are part and parcel of the domestic discourse on law reform" (Asmal, 2000).

 

Konsistensi Terhadap Kebijakan Peradilan Pidana

a. Secara universal diakui bahwa terdapat hubungan antara kejahatan dan kebutuhan untuk meningkatkan pelbagai kondisi sosial dan untuk mendorong pengembangan kebijakan sosial (social policy) yang akan menunjang pencegahan kejahatan (Caracas Declaration, 1980);

b. Hubungan antara pencegahan kejahatan, pembangunan dari suatu tata ekonomi internasional (new international economic order) membutuhkan suatu pendekatan yang sistematik terhadap pencegahan kejahatan dan peradilan pidana serta suatu pemahaman yang terpadu bahwa sistem peradilan pidana merupakan bagian dari kebijakan sosial (the criminal justice system as part of social policy) Seventh UN Congress on the Prevention of Crime and The Treatment of Offenders, 1985);

c. Sistem peradilan pidana harus peka dan tanggap terhadap pembangunan dan HAM, termasuk peran mass media dan pendidikan; (The Guiding Principles for Crime Prevention and Criminal Justice in the Context of Development and a NIEO, 1985);

d. Asas kekuasaan kehakiman yang merdeka (The Principles of the Inde­pendence of Judiciary) yang menekankan betapa pentingnya kualifikasi, seleksi dan pelatihan orang-orang yang akan duduk di lembaga pengadilan; kondisi pelayanan dan masa jabatan; kewajiban terhadap kerahasiaan professional; imunitas terhadap gugatan perdata dan kerugian finansial atas perbuatan dan tidak berbuat (acts and omis­sions) yang dilakukan dalam fungsi judisial; dan asas-asas bahwa mereka hanya bisa diskors dan diberhentikan atas dasar alasan-alasan ketidakmampuan atau perilaku yang membuat mereka tidak layak untuk menunaikan tugas-tugasnya (UN Basic Principles on the Independencecof /udiciary, 1985);

e. Pemahaman mendalam terhadap adanya "derogable rights and non­derogable rights ". Dalam hal yang pertama "a public emergency which threatens the life of the nation "dapat dijadikan dasar untuk membatasi pelaksanaan hak-hak dan kebebasan dasar, dengan syarat bahwa kondisi "public emergency" tersebut harus diumumkan secara resmi (be offi­cially proclaimed), bersifat terbatas dan tidak boleh bersifat diskriminatif (Article 4 (1) ICCPR); Dalam hal yang kedua (non derogable rights), HAM yang tidak dapat dibatasi dalam kondisi apapun mencakup: "right to life; prohibition of torture; prohibition of slavery; prohibition of imprisonment solely for inability to fulfil a contractual obligation; prohibition of ex post facto legislation; right to recognition as a person before the law and freedom of religion). (ICCPR Articles 6, 7, 8, 11, 15, 16 dan  18); Catatan: Dengan memahaminya sebagai bagian dari "customary international law" dan atas dasar asas keadilan, maka ketentuan pidana yang berkaitan dengan pelanggaran HAM berat (gross violation of human rights) dapat berlaku retro-active;

f.     Dalam kerangka butir (e) di atas perlu dikemukakan adanya "Declara­tion of Minimum Humanitarian Standards" yang dirumuskan oleh para ahli di University of Abu/Turku tahun 1990, yang menegaskan adanya standard kemanusiaan minimum yang dapat diterapkan termasuk "internal violence, disturbances, tensions, and public emergency"dan yang tidak dapat diderogasi atas dasar alasan apapun. Standard ini harus dihormati terlepas apakah keadaan darurat (emergency) suatu negara telah diumumkan atau belum;

g.    Perlunya kerjasama internasional (international cooperation) dalam rangka penanggulangan kejahatan, yang semakin berkembang dan mencakup dimensi yang luas; Kerjasama tersebut bisa dalam bentuk ekstradisi, saling membantu dalam perkara pidana (mutual legal assis­tance in criminal matters), transfer o criminal proceedings, establish­ment of criminal record, transfer of sentenced person, pencegahan kejahatan internasional terorganisasi (Palermo Convention, 2000), penanggulangan korupsi (UN Convention Against Corruption, Vienna, 2003), penanggulangan terorisme (UN Security Council Resolution 1373) dan sebagainya.

 

Asas-asas Legalitas Sebagai Asas Fundamental

a.   Asas ini diatur dan ditegaskan baik di dalam Universal Declaration of Human Rights 1948 maupun di dalam International Covenant on Civil and Political Rights, masing-masing pada Article 6 dan  16 yang menyebutkah: "Everyone has the right to recognition everywhere as a person before the law". Selanjutnya terkait di sini "the non-retroactiv­ity of criminal legislation" berupa larangan pemberlakuan surut perundang-imdangan pidana (nullum crimen sine lege, nulla poena sine lege); (Article 11 UDHR 1948 dan Article 15 ICCPR); Sebagai catatan dapat dikemukakan kembali bahwa dalam hal pelanggarann HAM berat (gross violation of human rights) dimungkinkan secara ad hoc (locus dan tempos delicti tertentu) memberlakukan surut perundang­undangan pidana atas dasar hukum kebiasaan interriasional dan keadilan;

b. Refleksi Asas Lega(itas dalam bentuk lain tersurat dan tersirat pada asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence) dan larangan penderitaan ganda (prohibition of double jeopardylne bis in idem).

 

Persoalan Etika Terkait

a.    Penegakan hukum pidana selalu bersentuhan dengan moral dan etika. Hal ini paling tidak didasarkan atas 4 (empat) alasan: (1) sistem peradilan pidana secara khas melibatkan penggunaan paksaan atau kadang-kadang bahkan kekerasan (coercion) dengan kemungkinan terjadinya kesempatan untuk menyalahgunakan kekuasaan (abuse of power); (2) Hampir semua professional dalam penegakan hukum pidana merupakan pegawai pemerintah (public servant) yang memiliki kewajiban khusus terhadap publik yang dilayani; (3) Bagi setiap orang, etika dapat digunakan sebagai alat guna membantu memecahkan dilema etis yang dihadapi seseorang dalam kehidupan profesionalnya (enlightened moral judgment); dan (4) Dalam kehidupan profesi sering dikatakan bahwa "a set of ethical re­quirements are as part of its meaning" (Muladi, 2003);

b.    Pertama-tama dapat disebutkan di sini pedoman perilaku dari para penegak hukum (Code of Conduct for Law Enforcement Officials, 1979) yang didisain khusus untuk tujuan sebagai bahan pendidikan dan  acuan bagi yang bersangkutan, agar tidak terjadi salah penggunaan kekuatan atau kekuasaan (abuse of force and power). Terkait pula di sini suatu instrumen HAM yang berisi asas-asas dasar penggunaan kekuatan dan senjata api bagi penegak hukum (Basic Principles on the Use of Force and Firearms by Law Enforcement Officials, 1990) untuk mencegah tindakan-tindakan excessive termasuk pemberian pelatihan dan peralatan yang tepat serta apabila perlu menjatuhkan sanksi bagi yang bersalah;

c.   Selanjutnya dapat disebutkan pula garis pedoman bagi tugas )aksa (Guide­lines on the Role of Prosecutors, 1990) dan penasehat hukum (Basic Principles on the Role of Lawyers, 1990). Yang pertama mencakup pula pentingnya pendidikan dan pelatihan, khususnya dalam masalah-masalah etika dalam menjalankan tugas; Pemisahan yang tegas antara instansi kejaksaan dari fungsi judicial; Selanjutnya jaksa jangan sampai melakukan penuntutan bilamana investigasi yangtidak memihak menunjukkan bahwa penuntutan tidak berdasar (unfounded); Yang kedua memuat kewajiban para "lawyers" untuk menjaga kehormatan dan martabat profesinya sebagai pejabat administrasi peradilan. "Codes of Professionals Con­duct for Lawyers" juga dirumuskan dan pelanggarannya dapat diadili sesuai dengan prosedur yang tepat;

d.    Yang menarik adalah keberadaan Principles of Medical Ethics Re­levant to the Role of Health Personnel, Particularly Physisians, in the

Protection of Prisoners and Detainnes Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (1982). Sekalipun ada yang berpendapat bahwa instrumen ini berlebihan (superfluous) mengingat dokter sudah terikat pada Sumpah Hipokrates, namun dalam PD II misalnya kenyataan membuktikan bahwa banyak dokter terlibat menggunakan pengetahuan dan keterampilannya untuk membantu interogasi tahanan dan narapidana, bahkan tidak jarang turut serta dalam penyiksaan yang jelas melanggar etika kedokteran.

 

Hak-hak Dasar yang Harus Dihormati Pencegahan Diskriminasi

a. Equalitas dan non-diskriminasi perlakuan baik di dalam maupun dihadapan hukum merupakan hak yang sudah diperjuangkan ratusan tahun yang lalu. Namun harus disadari bahwa pembedaan yang dilandasi alasan-alasan dan kriteria objektif tidak berarti bertentangan (incompatible) dengan standard HAM. Dimulai dengan pemantapan melalui Piagam HAM PBB 1948 yang dirancang oleh UN Commi­ssion on Human Rights, komitmen untuk mencapai standar non­diskriminasi melalui standardan pedoman pelaksanaan telah dilakukan; (Article 1, 2, 7, 8 dan 10 UDHR);

b. Selanjutnya dapat dikaji Article 7 dari UN Declaration on the Elimina­tion of All Forms of Racial Discrimination (1963); Article 5 dari Inter­national Convention on the Elimination of All Forms of Racial Dis­crimination (1965); Article 3 dan 26 dari ICCPR; Article 15 dari Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Woman (1979); Article 1, 3, 9, 10, 12 dari International Labour Conference Convention (No. 169) Concerning Indegenous and Tribal Peoples in Independent Countries (1989); Article 1-9 Declaration on the Rights of Persons Belonging to National or Ethnic, Religious or Linguistic Minorities (1992).

 

Perlindungan Terhadap °State%ss and Refugees"

a. Hams diakui bahwa sampai saat ini nilai-nilai yang terkandung dalam Article 14 dan 15 Piagam HAM PBB, 1948 masih jauh dari yang diharapkan. Perancang ICCPR (1966) yang mendiskusikan persoalan pengungsi (fall suaka (asylum) tidak pernah mencapai konsensus. Baru pada tahun 1985 muncul The Declaration on the Human Rights of

Individuals Who are not Nationals of the Country in which They Live

yang diadopsi MU PBB pada tahun 1985, di mana hak-hak orang asing dalam administrasi peradilan menjadi lebih memadai terlindungi secara juridis;

b. Di samping Article 14 dan 15 UDHR 1948, perlindungan "aliens" dapat dilihat pada Article 13 1CCPR (1966); Article 16 (Access to Courts) dari Convention Relating tq the Status of Refugees (1951); dan Article 16 (Access to courts) dari Convention Relating to the Status of Stateless Persons (1954).

 

 

 

Hak untuk Hidup dan Bebas dari Penyiksaan atau Tindakan atau

Pemidanaan yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan yang Lain .

a. Hak untuk hidup (right to live) merupakan hak yang paling utama dan hak lain berada di bawah hak tersebut. Hak ini diatur khusus dalam UDHR 1948 dan ICCPR 1966. Perampasan terhadap hak untuk hidup merupakan pengingkaran utama dari martabat kemanusiaan. Dengan, demikian jelas mengapa Article 6, para anggota ICCPR mengatur agar supaya negara-negara yang belum menghapuskan pidana mati "...may be imposed only for the most serious crimes in accordance with the law in force at the time of the commission of the crime and not contrary to the provisions of the present Covenant and to the Conven­tion on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide". Selanjutnya terdapat kecenderungan umum dari negara-negara untuk menghapuskan pidana mati dan hal ini nampak dari "Second Op­tional Protocol to the ICCPR"yang mulai berlaku tahun 1991. Sayangnya perkembangannya sangat lambat;

b. Penyiksaan (torture) merupakan malapetaka dari kehidupan manusia dan  bertentangan dengan keberadaban manusia. Sekalipun larangan penyiksaan sudah merupakan jus cogens dan dilarang dalam pelbagai instrumen internasional dan hukum nasional, namun dalam praktek masih banyak terjadi. Pembunuhan yang sewenang-wenang (summary execution) dan penghilangan paksa (enforced or involuntary disapearances) merupakan dua hal yang menjadi perhatian Komisi HAM PBB;

c. Hal di atas diatur dalam Article 3 dan 5 UDHR 1948; Article 6, 7 dan 10 ICCPR 1966; Article 1-11 Declaration on the Protection of All Persons from Being Subjected to Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment, 1975; Article 1-20 Convention against Torture and Other Cruel Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (1984); Safeguards Guaranteeing Protection of the Rights of Those Facing the Death Penalty (1984); Principles on the Effective Prevention and Investigation of Extra-legal, Arbitrary and Summary Executions (1987) Article 1 Second Optional Protocol to the ICCPR, Aiming at the Abolition of the Death Penalty (1989); Question of the Violation of Human Rights and Fundamental Freedoms in Any Part of the World, With Particular Reference to Colonial and Other Depen­

dent Countries and Territories; The Death Penalty. List of Abolistionist and Retentionist Countries (June 1993). Paper submitted by Amnesty International to the Sub-Commission on Prevention of Discrimination and Protection of Minorities; Declaration on the Protection of All Persons from Enforced Disappearance (1992); and Report of the Com­mission on Human Rights' Working-Group on the Question of the Human Rights of All Persons Subjected to Any Form of Detention or Imprisonment (1992).

 

Hak Atas Kebebasan dan Hak-hak Terpidana

a. Penangkapan dan penahanan secara arbitrair merupakan pelanggaran berat terhadap martabat kemanusiaan, yang sampai saat ini telah menelan korban ratusan bahkan ribuan manusia di dunia. Dalam hal ini fokus perhatian PBB tidak hanya terhadap mereka yang sejatinya merupakan opposant politik, tetapi juga yang merupakan orang-orang lain yang menjadi korban penangkapan sewenang-wenang, termasuk perlakuan yang tidak manusiawi di penjara;

b. Banyak organ-organ PBB terlibat dalam perjuangan untuk melindungi martabat kemanusiaan seperti UN Crime Prevention and Justice Branch melalui mekanisme Kongres PBB 5 tahunan dalam rangka Pencegahan Kejahatan dan Pembinaan Para Pelaku;

c. Instrumen-instrumen yang penting dalam hal ini antara lain adalah Standard Minimum Rules for the Treatment of Prisoners (1957); Body of Principles for the Protection of All Persons under Any Form of Detention or Imprisonment (1988); Basic Principles for the Treatment of Prisoners (1990); Standard Minimum Rules for Non-Custodial Mea­sures (The Tokyo Rules), dan  the UN Resolution on Infection with Human Immunodeficiency Virus (HIV) and Acquired Immunodefi­ciency Syndrome (AIDS) in Prison (1990);

 

Pengaturan Tentang "Juvenile Justice"

a. Sekalipun UDHR 1948 dan ICCPR 1966 sudah mengatur secara baik tentang hal ini, namun mengingat perhatian masyarakat dunia semakin besar, dipandang perlu untuk melakukan elaborasi pengaturan, seperti keberadaan Convention on Rights of the Child (1989). Di samping itu keberadaan instrumen yang bersifat "soft law" cukup memadai seperti: UN Standard Minimum Rules for the Administration of Jevenile Jus­tice (The Beijing Rules) 1985; selanjutnya Guidelines for the Preven­tion of juvenile Delinquency (The Riyadh Guidelines), 1990 dan UN Rules for Protection of Juveniles Deprived of Their Liberty, 1990;

b. Hal-hal yang menarik dalam pelbagai instrumen tersebut antara lain adalah pengaturan tentang batas minimum umum pertanggungjawaban pidana, ketentuan-ketentuan khusus dalam melakukan penyidikan dan  penuntutan, keharusan spesialisasi di kepolisian, penahanan, sistem pidana dan tindakan, profesionalisme dan pelatihan para penegak hukum, pembinaan di luar lembaga dan sebagainya.

Perlakuan Terhadap Korban

a. Kritik selalu dilontarkan sehubungan dengan terlalu banyaknya instrumen HAM yang memfokuskan pada perlindungan pelaku tindak pidana, sedangkan perhatian terhadap korban yang seharusnya dilakukan atas dasar belas kasihan dan hormat atas martabat korban (compassion and respect for their dignity) eolah-olah dilupakan, atau paling tidak kurang diperhatikan;

b. Pada tahun 1985 melalui Declaration of Basic Principles of Justice or

Victims of crime and Abuse of Power, perhatian PBB mulai meningkat khususnya yang berkaitan dengan akses untuk memperoleh keadilan, hak untuk memperoleh kompensasi, restitusi dan bantuan-bantuan lain yang harus diatur dalam UU nasional. Bahkan kompensasi tersebut juga berlaku bagi keluarganya, khususnya yang hidupnya tergantung pada korban yang mati atau cacat; termasuk di sini Koban Penyalahgunaan Kekuasaan (Victims of Abuse of Power);

c. Korban (victims) adalah orang-orang yang baik secara individual maupun kolektif telah menderita kerugian, termasuk kerugian fisik atau mental, emosional, ekonomi atau gangguan substansial terhadap hak-haknya yang fundamental, melalui perbuatan atau omisi yang melanggar hukum pidana di masing-masing negara, termasuk penyalahgunaan kekuasaan;

d. Dokumen internasional terkait yang lain adalah "UN Resolution on Protection of the Human Rights of Victims of Crime and Abuse of Power" ; 1990;

e. Pemahaman terhadap korban kejahatan secara lengkap harus dilandasi ol'eh pemahaman perkembangan ilmu tentang korban kejahatan (Victimology) yang perkembangannya melalui beberapa pentahapan sebagai berikut: (1) Perkembangan viktimologi sebagai "Penal Victimolo­gy" atau "Interactionist Victimology" yang dipelopori oleh Von Hentig (1941) dan Mendelsohn (1947) yang keduanya melihat korban kejahatan sebagai peserta dalam kejahatan (victim as one of the participants in a crimelvictim as co-precipitator of the crime). Dengan demikian peranan korban sebagai salah satu faktor timbulnya kejahatan harus dipertim­bangkan sebagai alasan peringanan pemidanaan (mitigating circums­tances), di samping keharusan untuk memberikan kompensasi pada korban; (2) Perkembangan viktimology sebagai "General Victimology" atau "assisted-oriented victimology" yang dipelopori oleh Mendelsohn setelah PD II (1956) yang mengembangkan pemikiran bahwa "victimity" dapat dikurangi dengan pengembangan bantuan terhadap korban (victim's clinic) atas dasar teori personal, sosial dan rehabilitasi. Dalam hal ini ruang lingkup korban tidak hanya terbatas pada korban kejahatan dan penyalahgunaan kekuasaan, tetapi mencakup pula korban lebih luas seperti korban kecelakaan, bencana alam dan sebagainya (others acts of God).

f. Khusus tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi Dalam Pelanggaran HAM Yang Berat, hal ini diatur dalam PP No. 2 Tahun 2002, sebagai implementasi dari UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Secara internasional perlindungan korban dan saksi mencakup "confidentiality, anonymity, safe conduct and video link" (May, 1999).

 

Mekanisme Perlindungan HAM a. Secara internasional

a. Mekanisme monitoring dan  penegakan pelbagai instrumen HAM dilakukan oleh (1) "International Monitoring Bodies" seperti komite khusus yang dibentuk atas dasar konvensi tertentu (treaty bodies) yang terdiri atas ekspert independen yang dipilih 4 tahun sekali. Sebagai contoh Committee Against Torture dan Committee on the Elimination of Discrimination Against Woman; (2) "International Political Bodies" berbeda dengan yang pertama, lembaga ini dibentuk oleh anggota PBB yaitu UN Commission on Human Rights, yang rapat satu tahun sekali. Lembaga ini memiliki sistem pelaporan yang memungkinkan individu atau organisasi tentang situasi pelanggaran HAM berat di negara tertentu. Lembaga ini dapat menunjuk penyelidik/penyidik yang disebut "Special Rapporteurs", misalnya yang berkaitan dengan penyiksaan, rasisme, kekerasan terhadap wanita, eksploitasi anak, kebebasan beragama dan sebagainya; (3) Badan internasional antar pemerintah yang lain (Other intergovernmental international bodies) seperi Mahkamah Pidana Internasional (ICC, ICTY, ICTR); Tidak jarang dalam bentuk "Hybrid Model".

b. Secara nasional

Mekanisme monitoring dapat dilakukan melalui (1) sistem hukum yang berlaku yaitu melafui pengadilan; (2) DPRIParliament; (3) NGO's/ LSM; (4) National Human Rights Institutions seperti KOMNAS HAM, dan (5) melalui mass media;                      -

c. Bentuk monitoring dilakukan oleh negara per negara dengan mem­

berlakukan "universal jurisdiction"untuk kejahatan internasional tertentu atau memperluas berlakunya asas nasionalitas (nationality principle).

 

Penutup

a. Pemahaman HAM dalam perspektif sistem peradilan pidana dan administrasi peradilan pidana harus ditempatkan dalam kerangka supremasi hukum, yang keduanya merupakan bagian integral dari index (indices) dari demokrasi;

b. HAM dalam administrasi peradilan pidana hanya dapat dimonitor dan ditegakkan apabila terdapat kesadaran dan kerjasama sistemik antara pemerintah (penegak hukum khususnya), lembaga-lembaga, organisasi-organbisasi mass-media dan individual serta masyarakat internasional;

c. Evolusi asas-asas, standar dan norma yang terdapat dalam instrumen perlindungan HAM internasional yang bersifat deklaratif dan preskriptif (soft law) tidak akan banyak berarti apabila tidak diikuti dengan tahap­

tahap "enforcement and criminalization " (hard-law).


Menuju Kejahatan Sempurna  (Makna Simbolik Kekerasan Dalam Proses Peradilan Pidana)

 

Pendahuluan; Dari Mana Kita Mulai?

Tahapan pemeriksaan pidana merupakan interaksi melalui penggunaan simbol­simbol tertentu, mulai dari Kepolisian, Kejaksaan (tingkat penyelidikan dan  penyidikan) sampai kepada pemeriksaan di Pengadilan. Interaksi ini berlangsung secara simultan (terus-menerus). Setiap tindakan, upaya yang dilakukan merupakan proses bentukan dan  penafsiran terhadap simbol-simbol tertentu yang dihadirkan pada proses tatap muka. Inilah hakekat sebenarnya bahwa interaksi merupakan bagian penting manusia, melibatkan aktivitas serta kesadaran dalam membangun dunianya, sebagai episode dalam sejarah (manusia) yang sudah ada sebelumnya dan  akan terus berlanjut sesudahnya. Berger dan  Luckmann menyebut proses tatap muka merupakan kasus prototipikal dan  interaksi sosial, memiliki kedudukan penting, sedangkan semua kasus lain merupakan penjabaran dari dirinya (Berger dan Luckmann, 1999: 41).

Melalui interaksi tatap muka, pertukaran makna yang beraneka ragam dan halus berlangsung terus. Hubungan (timbal balik) membentuk sikap saling koreksi terhadap makna hasil interaksi. Interaksi tatap muka menghasilkan sikap tertentu (dalam hal-hal khusus) yang harus diputuskan, hasilnya bisa setuju, menolak atau sikap lainnya. Namun sikap demikian tidak harus (selalu) diwujudkan melalui bahasa lisan atau tulisan tetapi bisa melalui isyarat tertentu atau perilaku lainnya (ungkapan emosi) dan  lain-lain.

Aparatur hukum menciptakan makna tertentu dalam proses pemeriksaan perkara (pidana), sebuah makna kekejaman luar biasa. Proses pemeriksaan menjadi sebuah teater horor yang menurut Julia Kristeva, dapat menjadi bagian dan  (sebuah) ritual, menjadi bagian kebudayaan -"budaya kekerasan" (Julia Kristeva, 1982: 152-153). Bahkan, lebih jauh, kekerasan menjadi bagian sebuah kepahlawanan, sebuah kebanggaan dan  kesenangan (jouissance). buissance, menurut Roland Barthes, "tidak menggantungkan dirinya pada logika, pemahaman atau perasaan, ia adalah sebuah arus deras (drift) sesuatu yang bersifat revolusioner sekaligus bersifat asosial, yang tidak dapat digantikan oleh kolektivitas, mentalitas atau idiologi manapun" bukan disebabkan ia bersifat amoral, melainkan disebabkan ia keluar dari jalur (moralitas) yang biasa (Roland Barflies, 1976: 23). Jouissance ditandai oleh sebuah kebahagian yang sempurna, bersifat asosial ditandai oleh lenyapnya sosialitas secara tiba-tiba ... sebagai sesuatu lenyap secara total (Ibid, hlm. 53).

Tulisan ini menyajikan sisi lain dalam proses pemeriksaan perkara pidana, sebagian akan melihat penggunaan bahasa yang sedikit hiperbol dan dramatis, namun itulah tujuan utamanya yaitu mencoba menghadirkan sesuatu yang lain, dengan gaya bahasa yang lain pula. Pada hakekatnya bahasa yang demikian itu dimaksudkan untuk melihat lebih kritis realitas yang ada dalam proses pemeriksaan perkara. Bahwa selama ini proses pemeriksaan telah menimbulkan konsekuensi yang (uar biasa besar terhadap pembentukan makna yang kita sebut dengan'Hak Asasi Manusia' khususnya hak tersangka. Meski harus diakui dalam tulisan ini batasannya menjadi tidak jelas, tetapi apapun namanya, apabila itu berkaitan dengan kepentingan humanisme, maka perbedaan definisi tidak menjadi penting, bagaimana kita menyikapi akan lebih terasa bermanfaat. )angan berharap menemukan solusi di dalam tulisan ini, karena tidak dimaksudkan untuk itu tulisan ini dibuat, meski hanya bersifat desk riptif-eksplanatif tapi memaparkan sedemikian rupa realitas yang ada, semoga bermanfaat.

 

Sebuah Birokrasi Kekerasan

Lozoff dan  Braswell mengungkap perhatian dan komunitas peradilan pidana, dengan kalimat yang tidak disajikan secara lengkap namun tidak mengurangi esensinya, mereka menyatakan, "Sistem peradilan pidana di negara kita, ditegakkan dengan kekerasan. lni satu sistern yang mengasumsikan bahwa kekerasan berasal dari kekerasan, kejahatan oleh kejahatan... dst." (Sam S. Souryal, 1999: 293).

Sebagaimana birokrasi pada umumnya peradilan memiliki patologis, khususnya dalam cara kerjanya, peradilan cenderung tidak netral dan  sel.ilu menghalalkan segala cara. Pemeriksaan menunjuk kepada pelayanan sta­tus, biasanya memihak status lebih tinggi atau lebih berbobot materinya, dibandingkan status lebih rendah dan kering bobot materinya. Inilah perilaku diskriminatif dan akhirnya melahirkan perlakuan berbeda terhadap segmen masyarakat tertentu. Marc Galanter, "Pihak-pihak yang memiliki kemampuan lebih akan mendominasi praktek hukum, yang berarti mereka mendapatkan pelayanan keadilan yang lebih baik. Aparatur hukum (polisi dll) harus bekerja dalam suasana sosial dan hukum seperti ini tentunya juga akan menjadi hadan penegak hukum yang condong melindungi kepentingan atau kedudukan golongan tertentu, sekalipun secara umum segala sesuatunya dapat dikatakan sah (legal)" (Satjipto Rahardjo, 1999: 22). Pada proses itu maka kepentingan, kelas dan sumber otoritas menjadi satu. Seperti dikatakan Daniel S. Lev, "Suatu sistem hukum terdiri atas proses formal, yang oerupakan lembaga formal, bersama-sama dengan proses informal" (Daniel S_ Lev. dalam A.A.G. Peters, 1988: 192).

Sikap diskriminatif tidak nampak di permukaan yaitu dalam tataran norma (undang-undang), namun terlihat lebih jelas dalam konteks (relasi dan interaksi) tahapan pemeriksaan, khususnya dalam pelayanan terhadap masyarakat. Kepolisiaw dan Kejaksaan dapat menggunakan kekuasaan baik berupa ancaman dalam berbagai bentuk (psikis maupun fisik) terhadap tersangka atau mereka yang diperiksa di tingkat penyidikan. Di mulai dari pemanggilan, pencantuman sebagai terdakwa, waktu pemeriksaan yang molor dan berlarut-larut, sampai kepada kewenangan untuk melakukan 'penahanan ", bahkan "rekayasa perkara". Inilah sebuah wajah kekejaman birokrasi, sebuah teater horor yang ada di belakang layar proses pemeriksaan, teater yang sengaja diciptakan untuk membuat setiap orang takut, karena dengan takut setiap orang dengan mudah dikontrol dan dilumpuhkan. Kepolisian, Kejaksaan dan  Pengadilan dengan mengambil istilah Richard Quinney tengah membangun rangkaian (proses) konstruksi 'kejahatan' dalam proses peradilan (Richard Quinney, 1975: 37-41).

Interaksi (tatap muka) dalam pemeriksaan perkara pidana dipenuhi banyak kepentingan dan dominasi kelas (kekuasaan dan kekuatan) karena aturan digunakan oleh masyarakat yang berbeda-beda tingkat kesejahteraan dan kedudukan sosialnya. Aturan hukum menjadi tidak jelas dan sulit diinterpretasikan. Pada posisi demikian pihak lemah cenderwig tidak berdaya. Birokrasi peradilan adalah simbol dari kekuatan dan hegemoni kekuasaan.

 

Kekerasan dan Kekejaman Simbolik

Kekerasan sering muncul dalam proses pemeriksaan, bahkan intensitasnya bisa jadi sangat tinggi. Terbatasnya pilihan penyelesaian yang disediakan serta sifat formalistik dan  otoriter aparatur (menguasai dan mendominasi) terhadap golongan kecil, sikap memilih-milih (diskriminatifl merupakan persoalan utama. Kekerasan menjadi ritual dan mengkristal dalam setiap pemeriksaan (dituduh, didakwa dan dituntut serta diputus). Kekerasan berlangsung mulai dari yang sangat spesifik, halus, tidak terasa sampai kepada bentuk kekerasan fisik yang bisa menimbulkan cacat permanen. Perilaku yang tidak dibenarkan menurut aturan, tetapi selalu ada dalam proses pemeriksaan. Bahkan tidak jarang terjadi pelecehan seksual atau perilaku tidak bermoral lainnya.

Berkaitan dengan hal di atas, terutama kaitannya dengan pelecehan seksual, Sapp menjelaskan, petugas (polisi) mempunyai kesempatan yang besar untuk melakukan pelecehan seksual dan kontak seksual dengan pelaku kejahatan (Allen D. Sapp, dalam Thomas Barker dan David L. Carter, op. cit., hlm. 281). Seperti yang diungkapkan oleh seorang detektif Kepolisian, "Tentu, aku sesekali mendapatkan (seks) wanita yang aku tahan. Sering kami mendapat tanda bahwa jika kami dilayani, kami dapat melupakan perbuatan mereka. Salah satu pasar busana di sini tidak suka mengajukan tuntutan, tetapi mereka selalu menelepon kami saat mereka menangkap pengutil. Biasanya kami hanya bicara pada mereka dan memperingatkan mereka dan melepaskan mereka. /ika dia wanita yang terlihat baik kadang aku menawarkan mengantarnya pulang dan melaksanakan keinginanku. Beberapa wanita kelas tinggi yang sombong menyamUut cepat jika mereka berfikir kawan-kawan dan ayah mereka tidak perlu tahu tentang pengutilan mereka. Aku tidak pernah bermain-main dengan anak-anak itu, tetapi aku tahu beberapa rekan yang bercinta dengan beberapa pelajar putri yang mereka tangkap di sebuah pasar busana"Qbid).

Selain permintaan seksual kepada pelaku kejahatan, petugas juga mungkin melecehkan pelaku wanita dengan melakukan penggeledahan tubuh, penggeledahan dan penepukan. Meskipun peraturan dan  tata tertib Kepolisian mensyaratkan tersangka wanita digeledah oleh petugas wanita atau sipir wanita, petugas di lapangan sering merasa dibenarkan melakukan penepukan untuk mencari senjata.

Fenomena kekerasan memiliki hubungan erat dengan kedudukan atau kekuasaan serta aturan yang memberikan kewenangan tertentu. Misalnya seorang polisi menembak seseorang yang dianggap melawan, penyidik melakukan interogasi dengan kekerasan, ancaman bahkan bujuk rayu kekerasan (kekerasan melalui simbol-simbol tertentu). Semakin tinggi kekuasaan atau kedudukan semakin besar kewenangan yang dimiliki, dapat dipastikan korban-korban yang timbul semakin meluas. Berbagai bentuk kekerasan, dilakukan pemegang kekuasaan (dalam peradilan pidana) yang lingkup persoalannya cukup luas dan  menjadi perhatian para ahli hukum, misalnya saja kasus Aceh, Sei Lepan, Pemogokan buruh di Medan, Kasus Pemeriksaan Pembunuh Marsinah, kasus Nipah, kasus Kedung Ombo dan banyak lagi lainnya (ELSAM, 1995: 177-179).

Bentuk kekerasan demikian itu bagi kepolisian dapat ditelusuri sampai kepada akar sejarah mulai munculnya istilah polisi (tradisional) sampai kepada polisi modern yang memiliki tugas melayani kepentingan masyarakat (Satjipto Rahardjo, 1999: 2-dst). Di ruang sidang (Pengadilan) kekerasan muncul melalui berbagai simbol tertentu, hakim yang bertanya dengan nada marah atau membentak tersangka, arogansi kewenangan dan sifat otoriter, atau aparat keamanan dengan persenjataan lengkap mengawal tersangka masuk ke persidangan (Gambaran kasus Bom Antapani Bandung).

Eksekusi putusan Pengadilan memiliki nuansa kekerasan karena praktek dominasi (pemaksaan kekuasaan dengan kekerasan), putusan kurang mampu meyakinkan kelompok-kelompok dalam masyarakat, dipicu oleh adanya resistensi pembangunan yang dilakukan oleh negara (pemerintah) (Alexander Irwan dan Edriana, 1995: 11). Muncullah protes, kekerasan dilawan kekerasan. Dapat dilihat dalam kasus seperti kasus Tanah Rorotan Bekasi, kasus Sukajadi Bandung, kasus Panala di Palangkaraya, kasus Tanah Merah di Jakarta dan lain-lain (I Sandyawan Sumardi, S), 1995). Masyarakat menjadi korban dan bentuk kekerasan riil dan kekerasan simbolik (symbolic vio­lence) yaitu bentuk kekerasan yang dilakukan dengan cara-cara halus melalui mekanisme tertentu (misalnya mekanisme kekuasaan) atau hegemoni, sehingga tidak tampak sebagai kekerasan. Fenomena demikian muncul dan  berlangsung secara terselubung (tersembunyi).

Setiap bentuk kekerasan, oleh karena mengambil keuntungan dari rapuhnya hukum, bersembunyi dari cacat hukum, adalah abjek (abject), merupakan kejahatan yang direncanakan (premeditated crime), pembunuhan yang lihai (cunning murder), kejahatan sempurna (perpect crimes) balas dendam yang munafik (hypocritical revenge) adalah lebih abjek, oleh karena semuanya justru lebih memperlihatkan kelihaian mereka dalam meman­faatkan rapuhnya hukum. Orang yang menolak moralitas tidaklah abjek. Inilah orang-orang yang melakukan tindakan amoral disebabkan tidak respeknya mereka terhadap hukum. Abjeksi bersifat immoral, rencana jahat, siasat busuk, konspirasi licik, persekongkolan yang penuh tipu daya, rekayasa kebrutala;n, komplotan kekejamatt, nlat kecurangan, kelicikan, teror yang disembunyikan, kekejaman yang ditutupi senyuman. Abjeksi tidak menolak hukum tetapi justru mempermainkannya.

 

Penutup

Distorsi Komunikasi Menuju Kekerasan Sempurna Pemeriksaan perkara (pidana) merupakan realitas konflik yang berlangsung dalam konteks, melibatkan berbagai kepentingan, nilai idiologi status ekonomi, sosial dan banyak lainnya. Para pihak dalam pemeriksaan perkara (pidana) memainkan peran dalam pernbentukan makna simbolis. Selama pemeriksaan posisi seseorang ada pada pandangan "subjekti' dengan penekanan penciptaan makna. Posisi demikian bukan sekedar penggunaan bahasa atau komunikasi sebagai alat untuk menguraikan apa yang ada di sana. Bahasa komunikasi menghasilkan apa yang orang coba untuk tunjukan. Posisi ini sesuai dengan pendapat bahwa "pemahaman kita berasal dari proses penciptaan makna kita, bukan berasal dari pengalaman fisik atau pengamatan semata" (Robyn Penman, dalam bukunya R. Wayne Pace & Don F. Faules, 1998: 9).

Berdasarkan pandangan konstruksi sosial, lingkungan dikelola dengan mengelola makna. Suatu perubahan pikiran mendorong individu untuk memperoleh pandangan lebih baik guna mengendalikan proses yang menghasilkan suatu lingkungan yang dimainkan, dan  proses penjulukan (labeling) yang terjadi setelah itu. Bila proses konstruksi merupakan penciptaan, maka amat bijaksana untuk meneliti proses kreatif itu sendiri, secara total mempercayai gagasan bahwa telah ada suatu "penemuan" lingkungan dan  lingkungan itu menunggu untuk dikelola. Komwnikasi bukan sekedar alat yang menggambarkan pikiran, namun ia adalah pikiran dan  ia adalah pengetahuan. Suatu dunia tertentu diciptakan dalam komunikasi, dan setiap penafsiran komunikasi tersebut harus mempertimbangkan konteks yang memungkinkan terjadinya praktik-praktik komunikasi. Kepolisian, Kejaksaan dan  Pengadilan merupakan tempat berlangsungnya komunikasi. Apabila diamati komunikasi dalam pemeriksaan perkara (pidana) sangat tidak ideal atau ada dalam situasi pembicaraan yang kurang ideal, yaitu adanya distorsi. Terlalu dominannya hakim bukanlah hal yang baik dalam proses komunikasi yang demikian itu.

Persepsi, penafsiran atau interpretasi dalam pemeriksaan perkara pidana bergantung kepada proses komunikasi, apa yang diketahui manusia tentang dunia nyata datang kepada mereka melalui suatu penyaring (filter) realitas sosial. Filter ini terdiri dari dunia simbolik bersama mengenai keyakinan, pengalaman, dan  pemahaman yang ditumbuhkan dan  dipertahankan melalui komunikasi. Jadi siapa saja yang dapat menyimpan, menyediakan, atau mengubah informasi mempunyai kekuasaan penting. Mengendalikan komunikasi adalah memutuskan apakah dunia ini dan  bagaimana seharusnya manusia berperilaku. Mereka yang dapat memutuskan apa makna sesuatu memiliki kekuasaan. Aparatur hukum akan memiliki kekuasaan bila mereka dapat mendefinisikan diri mereka sendiri sesuai dengan keinginan (mereka) dan  orang-orang lain menerima serta mendukung definisi ini.

Kebebasan yang dimiliki manusia dalam hal keyakinan dan  tinclakan amat bergantung pada komunikasi bersama dan  yang disahkan. Kekerasan dan kekejaman dipertahankan bersama-sama oleh sistem Lambang (sym­bol born) dan  ditopang lambang (symbol sustaine(l). Manusia tidak selalu menyadari kebergantungan mereka yang besar pada lambang-lambang itu dan  kendali yang dilakukan lambang tersebut. Bergen dan  Luckmann menyatakan bahwa struktur sosial bergerak dari "inilah yang kami lakukan" sampai "inilah cara yang sebenarnya" kekejaman dan  kekerasan dikonstruksi melalui komunikasi, dan  mereka yang dapat menentukan labelnya dan  mempertahankan label itu dapat menggunakan kekuasaan karena label itu sendiri mengarahkan tindakan. Dunia dikonstruksi, konstruksi ini dimiliki bersama dan  diteguhkan oleh orang-orang lainnya. Manusia mengkonstruksi dalam konteks yang terdiri dari aturan-aturan, pemain, objek, orang-orang lainnya, dan situasi. Kita semua mengkonstruksi dari informasi yang terdapat dalam komunikasi. Terjadi "distorsi komunikasi". Pemeriksaan perkara berlangsung linier dengan tujuan penegasan kesalahan tersangka/terdakwa. Biasanya keharusan menyelesaikan perkara menjadi lebih penting daripada menyelesaikan perkara itu secara benar dan adil.

Komunikasi terjadi apabila para pihak menempatkan diri dalam medan konflik. Menurut Frost dan  Wilmot, konflik merupakan "perjuangan" yang diekspresikan antara sekurang-kurangnya dua pihak yang saling bergantung, yang mempersepsi tujuan-tujuan yang tidak sepadan, imbalan yang langka, dan gangguan dari pihak lain dalam mencapai tujuan mereka. Dalam pandangan ini "perjuangan" menggambarkan perbedaan di antara pihak­pihak yang dinyatakan, dikenali dan dialami. Konflik baru terjadi ketika atau setelah perbedaan tersebut dikomunikasikan. Konflik mungkin dinyatakan dengan cara-cara berbeda, dari gerakan nonverbal yang halus hingga pertengkaran habis-habisan; dan  sarkasme yang halus hingga kecaman verbal yang terbuka (Joyce Hocker Frost & William W. Wilmot, 1978: 9),

Pemeriksaan di ruang Kepolisian atau Kejaksaan dengan penggunaan bahasa-bahasa kotor dan cabul merupakan salah satu refleksi bahwa konflik bisa muncul dalam bentuk yang beragam. Penggunaan bahasa kotor dan cabul dalam pemeriksaan memiliki keterkaitan dengan bahasa sehari-hari sebagai konteks penggunaan untuk istilah tertentu. Dalam bahasa sehari­hari, kata-kata kotor bisa digunakan sebagai kata sifat yang memberikan honotasi positif, misalnya nama samaran seseorang dengan menggunakan nama binatang. Namun tentu saja sulit diterima apabila kata-kata "sialan kamu", "dasar kamu bajingan" atau nama-nama binatang dianggap sebagai pujian bagi pihak yang diperiksa. Harus diasumsikan bahwa petugas (Polisi atau Jaksa) yang menggunakan bahasa penghinaan selama interaksi formal, wwlakukannya dengan suatu maksud dan  tujuan tertentu. Asumsi alternatif bahwa penggunaan bahasa tersebut oleh petugas adalah tanpa tanggung jawab pribadi, memang tidak dapat dipertahankan. Secara konsisten penggunaan bahasa tersebut mencerminkan sesuatu yang secara sistematis, jjuga disengaja, baik langsung atau untuk jangka panjang.

Perkataan kotor dan cabul digunakan untuk beberapa tujuan. Secara Hwsus, perkataan kotor dan cabul digunakan sebagai sumber kekuatan idan intimidasi komunikasi serta untuk membangun dan  menjaga hubungan dominan menyerah. Rothwell telah menaWarkan daftar yang menarik tentang mrotif penggunaan perkataan kotor. Dia mengidentifikasikan lima alasan; pertama, untuk menarik perhatian; kedua, untuk mend iskreditkan; ketiga, untuk menghadapi konfrontasi; keempat, untuk identifikasi antarpersonal; dan kelinia, untuk memberikan sedikit pelampiasan kepada individu (Marvin F. White, Terry C. Cox, dan Jack Basehart, dalam Thomas Barker, David L. Carter, op.cit., hlm. 323-334).

Ada alasan kuat untuk meyakini bahwa penggunaan perkataan kotor dan cabul oleh petugas terjadi hampir secara ekslusif dalam interaksi dengan segmen terpilih dari populasi, misalnya minoritas rasial dan etnik, warga kelas rendah, pekerja, orang-orang yang tidak berdaya dan tidak dihargai. Bagi Habermas, situasi percakapan ideal hadir bila kemampuan setiap orang untuk berperan serta dalam wacana yang dapat mempengaruhi kehidupannya tidak dibatasi. Habermas memperinci model kondisi yang memungkinkan orang untuk mencari alternatif dan membuat pilihan-pilihan rasional. Ada penekanan kompetensi komunikasi, masyarakat bahasa bersama, dan dialog. Komunitas semacam ini dibangun berdasarkan kepercayaan karepa kekuasaan cenderung menyimpangkan komunikasi. Peran aturan dalam konflik dapat menjadi pemutus praktek komunikasi, apa yang boleh dilakukan atau tidak, namun harus diperhatikan sifat ritual yang sering atau lebih banyak mendominasi.

Inilah sebuah komunikasi yang terdistorsi dan membawa kita kepada apa yang kita sebut sebagai puncak kekerasan, kekerasan yang paling halus, tetapi sekaligus merupakan kehalusan yang mengerikan. Inilah sebuah kekerasan sempurna, dan itulah Kejahatan sempurna.

 


Kebijakan Legistatif Indonesia Tentang Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Sebagai Salah Satu Bentuk Pelanggaran HAM yang Berat

 

Pendahuluan

The founding fathers ketika mendirikan Negara Republik Indonesia, merumuskan bahwa negara kita adalah negara hukum (rechtsstaat) dan  bukan sebagai negara yang berdasarkan atas kekuasaan (machtsstaat). Oleh karena itu, hukum hendaknya dijadikan sebagai kerangka pijakan untuk mengatur dan menyelesaikan berbagai persoalan dalam menjalankan roda kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Sejalan dengan ide dasar dari The Founding Fathers di atas, dalam buku "The Sociology of Law: An Introduction" karangan Roger Cotterrell merumuskan setidaknya ada tujuh prasyarat yang harus diperhatikan, yaitu: (1) The sources of the new law mustle authoritative and prestigious, (2) The rationale of the new law must be expressed in terms of its compatibi­lity and continuity with established cultural and legal principles, (3) Prag­matic models for compliance must be identified, (4) The element of time in legislative action, (5) That enforcement agents must be committed to the behaviour required by the law even if not to the values implicit in it, (6) Positive sanctions are as important as negative ones, (7) Effective protection must be provided for the rights of those who would suffer as a result of evasion or violation of the law (Roger Cotterrell, 1984: 61-67).

Tak satupun, baik militer, polisi maupun sipil kebal terhadap ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku di negara Indonesia, bila melakuk<an suatu kejahatan. Pelaku wajib mempertanggungjawabkan segala perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan hukum. Negara hukum merupakan suatu dimensi dari negara demokratis dan memuat substansi HAM, bila tidak dikuatirkan akan kehilangan esensinya dan cenderung sebagai alat penguasa untuk melakukan penindasan terhadap rakyat, juga sebagai instrumen untuk melakukan justifikasi terhadap kebijakan pemerintah yang sebenarnya melanggar HAM (Bambang Sunggono dan Aries Harianto, 1994: 130).

Indonesia sebagai negara hukum, sedikitnya harus memiliki tiga ciri­ciri pokok sebagai berikut:

a. Pengakuan dan perlindungan atas HAM yang mengandung persamaan dalam bidang politik, sosial, ekonomi, hukum, budaya, dan lain sebagainya;

b. Peradilan yang bebas dan tidak memihak serta tidak dipengaruhi oleh suatu kekuasaan lain apapun;

c. Menjunjung tinggi asas legalitas (Mohammad Kusnardi dan Bintan R. Saragih, 1983: 27).

Salah satu aspek kemanusiaan yang sangat mendasar dan asasi adalah hak untuk hidup dan hak untuk melangsungkan kehidupan, karena hak­hak tersebut diberikanJangsung oleh Tuhan kepada setiap manusia. Oleh karena itu, setiap upaya perampasan terhadap nyawa termasuk di dalamnya tindak kekerasan lainnya, pada hakekatnya merupakan pelanggaran HAM yang berat bila dilakukan secara sewenang-wenang dan tanpa dasar pembenaran yang sah menurut hukum dan perundangan yang berlaku (Barda Nawawi Arief, 1996: 76-77).

Namun demikian, kondisi serta realita di Indonesia selama ini menunjukkan jauh dari yang ideal tersebut, terutama tampak pada masa pemerintahan rejim Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden HM. Soeharto selama kurun waktu 32 tahun berkuasa secara otoriter. Kondisi demikian diperparah dengan tidak ada atau kurang berdayanya berbagai institusi pengontrol kekuasaan sebagai check and balances, yang mampu mencegah, menghentikan dan menghukum pelanggaran HAM yang berat selama kurun waktu tersebut.

Gelombang reformasi di Indonesia yang bergulir dalam rangka menggulingkan rejim Orde Baru, yang diwarnai penuh dengan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power), korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) serta melakukan pelanggaran HAM yang berat nampaknya terus berlanjut, niengingat hakekat, visi, dan misi reformasi masih jauh dari harapan.

Reformasi pada dasarnya merupakan usaha yang rasional dan sistematis untuk mengaktualisasikan nilai-nilai dasar (core values) demokrasi yang lerdiri dari: konsistensi untuk selalu transparan dalam pengambilan keputusan publik, perlindungan dan penegakan terhadap pelanggaran HAM yang berat, peradilan yang bebas dan tidak memihak, penciptaan norma-norma hukum yang aspiratif, hukum yang tidak dijadikan sebagai alat kekuasaan, pemerintahan yang efisien, efektif serta tunduk pada tatanan hukum (good governance), dan lain sebagainya (Muladi, 2000: 1).

Dalam dekade terakhir ini, berbagai pelanggaran HAM yang berat di Indonesia semakin santer dan marak diperbincangkan banyak kalangan dalam berbagai kesempatan, baik di dalam maupun di luar negeri. Hal ini menunjukkan bahwa pelanggaran HAM yang berat bukan lagi semata­mata persoalan domestik, tetapi telah menjadi problem dan  concern dari lembaga serta masyarakat internasional, di mana perburuan terhadap pelaku telah dilakukan berbagai pengadilan di banyak negara.

Pelanggaran HAM yang berat sebagaimana terjadi di Timtim, Aceh, Jakarta, dan berbagai daerah lain di Indonesia, salah satunya adalah Kejahatan Terhadap Kemanusiaan atau yang dikenal dengan istilah Crime Against Humanity. Dalam sejarah perkembangan Hukum Internasional, kejahatan tersebut juga merupakan bagian dari kejahatan internasional (Romli Atmasasmita, 2000: 42).

Concern pemerintah Indonesia terhadap perkembangan masalah­masalah internasional, terutama masalah kejahatan terhadap kemanusiaan melalui pembentukan pengadilan HAM menjadi sangat urgen dan  mende5ak untuk direalisasikan, jika tidak ingin terkucil dan dikucilkan dalam pergaulan internasional di era globalisasi ini.

Di samping itu, sebagai konsekuensi logis Indonesia meratifikasi berbagai instrumen internasional tentang HAM, seperti ratifikasi Indonesia terhadap keempat Konvensi Jenewa 1949 dengan Undang-Undang Nomor 59 Tahun 1958. Konsekuensi tersebut, sebagaimana diatur dalam Pasal 49 Konvensi Jenewa I, Pasal 50 Konvensi Jenewa II, Pasal 129 Konvensi Jenewa III, Pasal 146 Konvensi Jenewa IV tahun 1949 adalah:

1. Menetapkan undang-undang yang diperlukan untuk memberikan sanksi

pidana efektif terhadap orang-orang yang melakukan atau memerintahkan salah satu pelanggaran HAM yang berat;

2. Mencari orang-orang yang disangka melakukan pelanggaran HAM

yang berat;

3. Mengadili para pelaku pelanggaran HAM yang berat tersebut tanpa memandang kebangsaan;

4. Apabila dikehendaki dan sesuai dengan UU nasionalnya, untuk mengekstradisikan orang-orang yang melakukan dan memerintahkan melakukan pelanggaran HAM yang berat.

 

Menurut perkembangan hukum yang berlaku, baik Hukum Nasional maupun Hukum Internasional, pembentukan pengadilan HAM sebagai pengadilan khusus bagi pelaku Kejahatan Terhadap Kemanusiaan di Indo­nesia merupakan sesuatu :yang mutlak. Untuk merealisasi terwujudnya pengadilan HAM tersebut, maka perlu diatur dalam suatu UU.

Upaya pemerintah Indonesia untuk membuat UU di atas, tidak lain merupakan suatu bentuk penerapan politik kebijakan perudang-undangan atau yang juga dikenal sebagai kebijakan legislatif. Dalam konsepnya sebagai hukum positif, maka hukum tersebut telah diartikan sebagai norma-norma baku yang terumus secara eksplisit dalam bentuk perundang-undangan nasional, dengan berkekuatan sebagai apa yang dikatakan Austin 'The Command of The Sovereign " (Soetandyo Wignjosoebroto, 2002: 18).

Dilihat sebagai satu kesatuan proses dalam kerangka upaya penetapan suatu ketentuan pidana dalam suatu perundang-undangan, maka tahap kebijakan legislatif tersebut merupakan suatu tahap yang paling strategis (Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1998: 173). Sebab pada tahap inilah nantinya akan dirumuskan garis-garis kebijakan sistem pidana dan pemidanaan yang sekaligus merupakan landasan bagi tahap-tahap berikutnya, yaitu tahap pemidanaan dan tahap pelaksanaan pidana.

Patut dicatat, dengan pengajuan RUU pengadilan HAM oleh pemerintah Indonesia dan telah disetujui oleh DPR menjadi UU RI No. 26 Tahun 2000, menunjukkan concern dan  good will positif pemerintah untuk menghukum pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan di Indonesia sebagai salah satu bentuk pelanggaran HAM yang berat.

Kejahatan Terhadap Kemanusian Merupakan Kejahatan Internasional Kejahatan internasional, dapat diartikan sebagai suatu bentuk tindak pidana yang dianggap dapat merugikan bagi seluruh masyarakat internasional, di mana setiap lembaga peradilan yang ada di tiap-tiap negara bahkan termasuk di dalamnya peradilan internasional, mempunyai yurisdiksi atau kewenangan untuk memeriksa dan mengadili para pelakunya (Romli Atmasasmita, 2000: 45).

Jauh Sebelumnya, Cherif Bassiouni, seorang pakar Hukum Pidana Internasional kenamaan telah memberikan suatu pengertian dari apa yang dimaksudkan dengan kejahatan internasional tersebut. Menurutnya, "lnter­national crimes is any conduct which is designated as a crime in a multila­teral convention will a significant number of state parties to it, provided the instrument contains one of the ten penal characteristicts". Kesepuluh karakteristik hukum pidana sebagaimana dikemukakan Cherif Bassiouni di atas, meliputi: (1) Explicit recognition of proscribed conduct as constituting an international crime or a crime under international law, (2) Implicit recognition of the penal nature of the act by establising a duty to prohibit, prevent, prosecure, punish, or the like, (3) Criminalization of the pro­scribed conduct, (4) Duty or right to prosecute, (5) Duty or right to punish the proscribed conduct, (6) Duty or right to extradate, (7) Duty or right to cooperate in prosecution, punishment, including judicial assistance in pe­nal proceeding, (8) Establishment of criminal jurisdictional basic, (9) Refe­rence to the establishment of an international criminal court, (10) Elimina­tion of the defense of superior orders (Cherif Bassiouni, 1986: 2-3).

Berdasarkan Hukum Internasional, awalnya hanya dikenal tiga jenis kejahatan internasional, yaitu: (1) Crimes Against Peace atau Kejahatan Terhadap Perdamaian, yang termasuk pula di dalamnya adalah tindakan­tindakan persiapan ataupun pernyataan perang agresi; (2) War Crimes atau Kejahatan Perang, termasuk pula di dalamnya pelanggaran atas ketentuan hukum kebiasaan perang; (3) Crimes Against Humanity atau Kejahatan Terhadap Kemanusiaan, yaitu diartikan sebagai segala bentuk kekejaman terhadap penduduk sipil (non combatant) selama peperangan berlangsung (Syahmin AK., 1985: 46).

Namun demikian, jauh sebelum ketiga jenis kejahatan di atas ditetapkan sebagai international crimes, sejak abad ke-18 masyarakat internasional telah mengenal dan mengakui Piracy dan Slavery sebagai kejahatan internasional. Mengingat begitu pentingnya hubungan perdagangan saat itu, maka. tindakan perompakan kapal dagang di laut (viracy) dipandang sebagai musuh bangsa-bangsa. Demikian pula dengan perdagangan budak (slavery) dipandang telah merendahkan harkat dan martabat nilai-nilai kemanusiaan (Romli Atmasasmita, 1985: 37).

Berdasarkan uraian di atas, jika dilihat dari perkembangan dan asal mula "lahirnya" international crimes, maka setidaknya kejahatan internasional tersebut dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok utama, yaitu:

a.    Kejahatan internasional yang muncul dari Hukum Kebiasaan Inter­

nasional, dan yang selanjutnya mengalami perkembangan di dalam

praktik negara-negara yang diakui eksistensinya oleh Hukum Inter­

nasional. Kejahatan internasional yang termasuk jenis/kelompok ini

antara lain kejahatan perompakan kapal di laut (viracy), kejahatan

perbudakan (slavery), kejahatan perang (war crimes) yang di  alamnya

termuat puta Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (crimes against hu­

manity).

b. Kejahatan internasional yang "lahir" dari berbagai konvensi-konvensi internasional, di mana secara historis dapat dibedakan antara kejahatan internasional yang ditetapkan di dalam satu konvensi internasional saja (subject of a single convention) misalnya Konvensi Tunggal Narkotika 1961, dan kejahatan internasional yang ditetapkan dalam berbagai konvensi (subject of a multiple conventions) misalnya Kejahatan Pembajakan Pesawat Udara (hijacking) sebagaimana tertuang dalam Konvensi Tokyo (1963), Konvensi Hague (1970), dan  Konvensi Montreal (1971).

c.    Kejahatan internasional yang berasal dari sejarah perkembangan konvensi internasional yang khusus berkaitan dengan HAM. Kejahatan internasional ini "lahir" sebagai konsekuensi logis akibat kekejaman atau pelanggaran yang terjadi dalam Perang Dunia II yang telah membawa jumlah korban umat manusia luar biasa, tidak hanya para kombatan namun juga penduduk sipil. Konvensi internasional yang secara khusus bertujuan untuk melindungi korban perang ini, adalah Konvensi Jenewa 1949. Konvensi yang "lahir" dalam rangka melindungi HAM, telah menetapkan bahwa Kejahatan Terhadap Kemanusiaan merupakan international crimes, karena dianggap telah melanggar nila-nilai dasar kemanusiaan sebagaimana telah didekla­rasikan dalam UDHR 1948.

Dari 143 konvensi internasional yang telah dihasilkan masyarakat internasional, terdapat sedikitnya 20 kejahatan internasional. Dari kedua puluh jenis kejahatan internasional tersebut, yang patut dicatat adalah dimasukannya atau ditetapkannya Kejahatan Terhadap Kemanusiaan sebagai "top hit" kejahatan internasional. Kedua puluh jenis kejahatan internasional tersebut adalah:

a. Agression.

b. War crimes.

c. Unlawfull use of weapons.

d. Genoside.

e. Crimes against humanity (garis bawah- penulis).

f. Apartheid.

g. Slavery and related crimes.

h. Torture (as a war crimes).

i. Unlawfull medical experimentation (as a war crimes).

j. Piracy.

k. Crimes relating to international air communications.

I. Threat and use of force against internationnally protected persons m. Taking of civilian hostages.

n. Unlawfull use of the mails.

o. Drug offences.

p. Falsification and counterfeiting.

q. Theft of national and archeological treasures (in time of war).

r.   Bribery of foreign public officials.

s. Interference with submarine cables.

t.     International traffic in obscene publicatons (Romli Atmasasmita, 2000: 42).

Bassiouni dalam salah satu bukunya yang berjudul International Crimi­nal Law Vol. 1. Crimes, menyebutkan sedikitnya terdapat 22 jenis inter­national crimes. Dan jika melihat urutan kejahatan internasional yang telah dipaparkan Bassiouni, Kejahatan Terhadap Kemanusiaan berada pada urutan keempat. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa Kejahatan Terhadap Kemanusiaan merupakan salah satu jenis kejahatan internasional yang perlu mendapatkan perhatian dan penanganan serius. Ke-22 jenis kejahatan internasional, yang salah satu di antaranya berupa Kejahatan Terhadap Kemanusiaan tersebut adalah:

a. Agression.

b. War crimes.

c. Unlawfull use of weapons.

d. Crimes against humanity (garis bawah - penulis). e. Genoside.

f.     Racial discrimination and apartheid. g. Slavery and related crimes.

h. Torture.

i.     Unlawfull human experittientation. Piracy.

k. Aircraft hijacking.

I. Threat and use of force against internationnally protected persons. m. Taking of civilian hostages.

n. Drug offences.

o. International traffic in obscene publicatons.

p. Destruction and or theft of national treasures. q. Environmental protection.

r.     Theft of nuclear materials.

s. Unlawfull use of the mails.

t.     Interference of the submarine cables.

Lt. Falsification and counterfeiting.

v. Bribery of foreign public officials (Cheif Bassiouni, 1986: 135).

Dasar pertimbangan pengelompokan berbagai jenis kejahatan inter­nasional tersebut di atas, yang salah satunya (Kejahatan Terhadap Kema­nusiaan) menjadi pokok bahasan dalam makalah ini adalah:

a. Adanya konvensi-konvensi internasional yang menetapkan kejahatan­kejahatan tersebut (di antaranya Kejahatan Terhadap Kemanusiaan, pen.) sebagai kejahatan internasional.

b. Adanya pengakuan berdasarkan Hukum Kebiasaan Internasional yang menetapkan bahwa tindakan-tindakan atau perbuatan-perbuatan tertentu telah menciptakan suatu international crimes.

c. Adanya pengakuan berdasarkan Prinsip-Prinsip Umum Hukum Internasional bahwa tindakan-tindakan atau perbuatan-perbuatan tersebut adalah dilarang dan setiap pelanggaran terhadapnya harus dipandang sebagai pelanggaran terhadap Hukum Internasional.

 

Kejahatan Terhadap Kemanusiaan atau Crimes Against Humanity sebagai salah satu international crimes, menurut Muladi, pakar Hukum Pidana Universitas Diponegoro, harus memenuhi tiga unsur utama yaitu:

a. Unsur Internasional, yang berupa:

(1) Direct threat to world peace and security (ancaman secara langsung atas perdamaian dan keamanan dunia).

(2) Indirect threat to the world peace and security (ancaman secara

tidak langsung atas perdamaian dan keamanan dunia).

(3) Shocking to the conscience of humanity (menggoyahkan perasaan kemanusiaan).

b. Unsur Transnasional, yang berupa:

(4) Conduct affecting more than one state (tindakan yang memiliki

dampak terhadap lebih dari satu negara).

(5) Conduct including or affecting citizens of more than one state

(tindakan yang melibatkan atau memberikan dampak terhadap warga negara dari lebih satu negara).

(6) Means and methods transcend national boundaries (sarana dan prasarana serta metoda-metoda yang dipergunakan melampaui batas-batas teritorial suatu negara).

c. Unsur Necessity, berupa cooperation of state necessary to enforce (kebutuhan akan kerjasama antarnegara untuk melakukan penang­gulangan).

Penetapan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan sebagai salah satu inter­national crimes, pernah pula dilontarkan Hikmahanto Juwana (Kompas, 17 Februari 2000). Secara yuridis normatif penetapan demikian, sebenarnya telah dilakukan masyarakat internasional (baca: negara-negara sekutu pemenang Perang Dunia II) sebagaimana terlihat dalam Piagam Mahkamah Militer Internasional di Nuremberg (1946) maupun Tokyo Tribunal di jepang  (1948). Singkatnya, kedua peradilan ad hoc bentukan sekutu tersebut mempunyai kewenangan mutlak untuk mengadili dan menghukum pelaku Kejahatan Terhadap Kemanusiaan sebagai suatu kejahatan internasional, di samping Kejahatan Perang dan Kejahatan Terhadap Perdamaian, yang secara faktual terjadi dalam suatu peperangan.

Kejahatan Terhadap Kemanusiaan atau Crimes Against Humanity dipandang sebagai suatu jenis kejahatan internasional yang paling keji dan kejam terhadap nilai-nilai kemanusiaan sepanjang abad. Oleh karena itu, masyarakat internasional telah mengutuknya sebagai hostis humanis generis.

 

Munculnya Istilah Kejahatan Terhadap Kemanusiaan di Indonesia Sebagai Salah Satu Bentuk Pelanggaran HAM yang Berat

Crimes against humanity sebagai padanan dari istilah Kejahatan Terhadap Kemanusiaan, belakangan ini telah menjadi salah satu istilah hukum yang menarik untuk didiskusikan dalam berbagai kesempatan. Istilah Kejahatan Terhadap Kemanusiaan dalam khasanah hukum nasional Indonesia merupakan suatu istilah yang relatif baru. Walaupun istilah Kejahatan Terhadap Kemanusiaan relatif baru, namun istilahtersebuttelah mengalami popularitas yang cukup spektakuler saat ini. Hal ini disebabkan perjuangan para aktivis HAM yang tergabung dalam berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), di samping adanya tekanan dari dunia dan masyarakat internasional dalam menanggapi terjadinya Kejahatan Terhadap Kemanusiaan sebagai salah satu bentuk pelanggaran HAM yang berat di Indonesia.

Mereka mengkualifikasikan berbagai peristiwa tersebut bukan hanya sekedar sebagai gross violation of human rights, akan tetapi lebih dari itu telah terjadi crimes against humanity (Ifdhal Kasim, 2001: 1). Sejak istilah Kejahatan Terhadap Kemanusiaan di Indonesia muncul ke permukaan memenuhi pemberitaan media massa baik cetak maupun elektronik, sejak saat itu pula dapat kita saksikan berbagai perdebatan mengenai apakah tepat mengkualifikasikan berbagai peristiwa pelanggaran HAM yang berat di berbagai wilayah Indonesia, sebagai Kejahatan Terhadap Kemanusiaan.

Rujukan Hukum Internasional mengenai Kejahatan Terhadap Kemanusiaan adalah Statuta Roma yang disahkan tanggal 17 )uli 1998. Selain menjadi dasar pembentukan ICC yang salah satu yurisdiksinya adalah mengadili pelaku Kejahatan Terhadap Kemanusiaan, Statuta Roma juga memuat dasar-dasar suatu tindakan atau perbutaan yang dikualifikasi/ ditetapkan sebagai Kejahatan Terhadap Kemanusiaan dan yang dikutuk masyarakat internasional sebagai hostis humanis generis.

Muladi dalam makalahnya yang berjudul "Kejahatan Terhadap Kemanusiaan" menyatakan bahwa sebenarnya istilah tersebut untuk pertama kalinya digunakan pada tahun 1915 pada saat terjadi kasus Massacres of Turkey's Armenian Population. Tuntutan atas genosida saat itu mengalami kegagalan dengan alasan tidak mungkin setelah perang dibuat Retroactive Criminal Legislation (Muladi, 2000: 1).

Dalam perkembangannya, istilah Kejahatan Terhadap Kemanusiaan muncul kembali pada tahun 1946, sebagai salah satu bentuk/kategori kejahatan di samping Kejahatan Perang (war crimes) dan Kejahatan Terhadap Perdamaian (crimes against peace) yang berada di bawah yurisdiksi ICTN (Internasional Criminal Tribunal Nuremberg), untuk mengadili para penjahat perang tentara NAZI Jerman. Dua tahun kemudian (1948) istilah Kejahatan Terhadap Kemanusiaan muncul kembali dalam Tokyo Tribunal yang dimaksudkan untuk mengadili para perwira tentara Jepang yang didakwa melakukan kejahatan perang. Tak jauh berbeda dengan peradilan penjahat perang ad hoc di Nuremberg, peradilan penjahat perang ad hoc di Tokyo juga memandang Kejahatan Terhadap Kemanusiaan merupakan bagian dari kejahatan perang.

Kekejaman perang yang dilakukan jerman maupun Jepang pada masa Perang Dunia II telah mendorong masyarakat internasional untuk melakukan kriminalisasi perbuatan-perbuatan yang melawan nilai-nilai kemanusiaan sebagai crimes against humanity. Patut dicatat dari kedua tribunal di atas, adalah munculnya pemahaman bahwa pemidanaan bagi para pelaku Kejahatan Terhadap Kemanusiaan mensyaratkan (nexus) adanya hubungan antara Kejahatan Terhadap Kemanusiaan dengan Kejahatan Perang. Bahkan secara ekstrim dapat_dikatakan bahwa Kejahatan Terhadap Kemanusiaan merupakan kembar siam (siamese twin) dari Kejahatan Perang. Hal itu dapat dipahami, karena tribunal yang dibentuk sekutu sebagai pihak yang menang perang merupakan suatu War Crimes Trials. Namun demikian dalam perkembangan selanjutnya pemahaman di atas, justru akan membatasi proses pemidanaan bagi pelaku Kejahatan Terhadap Kemanusiaan sebagai salah satu bentuk pelanggaran HAM yang berat, yang saat ini sering terjadi pada masa-masa damai (committed during peacetime).

Dari hasil proses kedua peradilan ad hoc di atas berkaitan dengan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan, setidaknya telah memberi terobosan baru bagi perkembangan Hukurn Nasional (Hukum Pidana, pen.) maupun Hukum Internasional. Terobosan baru dimaksud bagi Hukum (Pidana) Internasional adalah dikesampingkannya asas legalitas (the principle of legality) dan asas UU tidak berlaku surut (the non retroactivity of the law) serta dikesampingkannya pula alasan atas perintah atasan (the superior order of self defence) yang acap terjadi dalam suatu peperangan. Dengan demikian hal ini menunjukkan bahwa asas-asas atau prinsip-prinsip yang dianut dalam hukum (pidana) nasional dalam hal-hal tertentu ternyata dapat "dibatasi" oleh praktik Hukum Internasional. Sedangkan arti penting bagi Hukum Internasional adalah diakuinya individu sebagai subjek Hukum Internasional selain negara.

Kebijakan Legislatif Indonesia Tentang Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Sebagai Salah Satu Bentuk Pelanggaran HAM yang Berat Pada masa transisi ini, tuntutan penyelesaian masalah Kejahatan Terhadap Kemanusiaan di Indonesia sebagai salah satu pelanggaran HAM yang berat, kian kuat gaung maupun tekanannya, baik dalam skala nasional maupun internasional. Ditambah ketiadaan keseragaman (unifikasi) peradilan yang berwenang mengadili Kejahatan Terhadap Kemanusiaan di Indonesia sebagai salah satu pelanggaran HAM yang berat, mengharuskan pemerintah Indo­nesia melalui kebijakan legislatif menciptakan UU tentang Pengadilan HAM sebagai pengadilan khusus. Oleh karena itu, pemahaman berbagai instrumen internasional yang berkaitan dengan HAM menjadi urgen sebelum dilakukan pengadopsian melalui kebijakan legislatif dalam suatu perundangan nasional. Kebijakan legislatif adalah suatu perencanaan atau program dari pembuat undang-undang mengenai apa yang akan dilakukan dalam menghadapi problem tertentu dan  cara bagaimana melakukan atau melaksanakan sesuatu yang telah direncanakan (Barda Nawawi Arief, 1994: 60). Konkritnya salah satu undang-undang nasional yang dihasilkan kebijakan legislatif berkaitan dengan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan di Indonesia, adalah UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Kebijakan legislatif Indonesia yang tercermin dalam UU No. 26 Tahun 2000 tersebut, tidak lain merupakan lus Constitutum, yaitu sebagai suatu hukum positif yang berlaku dalam suatu negara (Moempoeni Moelatingsih Maemoenah, 2003: 5).

Pengadilan HAM sebagai pengadilan khusus menurut UU No. 26 TahUm 2000, berwenang memeriksa dan  memutus berbagai perkara/kasus pelanggaran HAM yang berat. Salah satu bentuk pelanggaran HAM yang berat tersebut adalah Kejahatan Terhadap Kemanusiaan atau yang dikenal dengan istilah Crime Against Humanity.

Upaya kebijakan legislatif "melahirkan" UU pengadilan HAM yang berwenang mengadili Kejahatan Terhadap Kemanusiaan di Indonesia sebagai salah satu bentuk pelanggaran HAM yang berat, secara nasional sesuai dengan ketentuan Pasal 104 Ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Secara internasional menetapkan UU nasional yang memuat sanksi pidana bagi Kejahatan Terhadap Kemanusiaan merupakan kewajiban atas ratifikasi berbagai instrumen internasional mengenai HAM. Berkaitan dengan hal tersebut, Roger Cotterrel I sebagaimana mengutif pendapat dari Yehezkel Dror, mengingatkan pentingnya strategi kebijakan legislatif yang memuat: (1) It shapes various social institution which, in turn, have a direct influ­ence on the rate or character of social change, (2) Law often provides the institutional framework for an agency specifically set up to exert influence ior change, (3) The creation of legal duties to establish situations in which change is fostered (Roger Cotterrell, 1984: 61-62).

Istilah Kejahatan Terhadap Kemanusiaan, merupakan istilah yang relatif baru dalam khasanah hukum Indonesia, sehingga belum banyak dikenal berbagai kalangan masyarakat termasuk kalangan akademisi. Berdasarkan sejarah perkembangannya, istilah Kejahatan Terhadap Kemanusiaan untuk pertama kali muncul dalam peradilan penjahat Perang Dunia II di )erman maupun Tokyo. Selanjutnya istilah tersebut "muncul" pasca perang dingin hingga saat ini, dalam berbagai instrumen internasional yang mengatur pembentukan peradilan internasional bagi penjahat perang, baik yang bersifat ad hoc (International Criminal Tribunal for Rwanda, disingkat ICTR maupun International Criminal Tribunal for Former Yugoslavia, disingkat ICTY) maupun yang akan bersifat permanen (international Criminal Court, disingkat ICC).

Di Indonesia, istilah Kejahatan Terhadap Kemanusiaan secara yuridis baru dikenal sejak diundangkannya UU No. 26 Tahun 2000. Berdasarkan UU tersebut, salah satu kewenangan yang dimiliki oleh pengadilan HAM adalah mengadili Kejahatan Terhadap Kemanusiaan sebagai salah satu pelanggaran HAM yang berat. Berdasarkan penjelasan Pasal 7 UU No. 26 Tahun 2000, Kejahatan Terhadap Kemanusiaan dalam ketentuan UU ini sesuai dengan Rome Statute of International Criminal Court. Oleh karena itu, berbagai logika dan spirit hukum serta perundang-undangan yang menjiwai dan terkait atas dasar Statuta Roma haruslah dipahami dengan baik (Muladi, 2000: 1).

Kejahatan Terhadap Kemanusiaan di Indonesia sebagaimana diatur dalam No. 26 Tahun 2000, "mengadopsi" Statuta Roma 1998 yang menjadi dasar pembentukan International Criminal Court (ICC) sebagai peradilan internasional permanen yang berwenang mengadili salah satu kejahatan internasional berupa Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (Crimes Against Humanity).

Dalam Pasal 9 UU No. 26 tersebut, dinyatakan bahwa Kejahatan Terhadap Kemanusiaan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 huruf (b) adalah 'Salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil", berupa: (a) pembunuhan; (b) pemusnahan; (c) perbudakan; (d) pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa; (e) perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasa fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar ketentuan pokok Hukum Internasional; (f) penyiksaan; (g) perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran `secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara; (h) penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut Hukum Internasional; (i) penghilangan orang secara paksa, dan (j) kejahatan apartheid.

Tindakan pemerintah Indonesai mengadopsi ketentuan Hukum Internasional ke dalam ketentuan Hukum Nasional melalui kebijakan legislatifnya perlu mempertimbangkan berbagai aspek untuk mengantisipasi adanya pertentangan dari kedua hukum yang berbeda tersebut.

Secara umum unsur-unsur kejahatan mencakup unsur objektif dan unsur subjektif. Unsur objektif (criminal act, actus reus), yang berupa adanya perbuatan yang memenuhi rumusan undang-undang dan  bersifat melawan hukum serta tidak adanya alasan pembenar. Sedangkan unsur subjektif (criminal responsibility, mens rea), yang mencakup unsur kesalahan dalam arti luas dan meliputi kemampuan untuk bertanggung jawab, adanya unsur kesengajaan atau kealpaan serta tidak adanya alasan pemaaf.

Berbicara mengenai Kejahatan Terhadap Kemanusiaan sebagai salah satu bentuk pelanggaran HAM yang berat, terdapat suatu prinsip umum yang menyatakan bahwa unsur-unsur kejahatan (the elements of crime) terdiri atas:

a. Unsur material yang berfokus pada perbuatan (conduct), akibat (con­sequences) dan keadaan-keadaan (circumstansces) yang menyertai suatu perbuatan;

b. Unsur mental yang relevan dalam bentuk kesengajaan (intent), pengetahuan (knowledge) atau keduanya (Muladi, 2000: 2).

Sesuai Article 30 Statuta Roma yang mengatur "mental element", maka ada kesengajaan (intent) apabila sehubungan dengan perbuatan (con­duct) tersebut si pelaku berniat untuk melakukan/turut serta dalam perbuatan tersebut dan berkaitan dengan akibatnya (consequences) si pelaku berniat untuk menimbulkan akibat tersebut atau sadar (aware) bahwa pada umumnya akibat akan terjadi dalam kaitannya dengan perbuatan tersebut. Sedangkan "knowledge" diartikan sebagai kesadaran (awareness) bahwa suatu keadaan terjadi atau akibat pada umumnya akan timbul sebagai akibat kejadian tersebut. Oleh karena itu, tahu (know) dan mengetahui (knowlingly) harus ditafsirkan dalam kerangka tersebut.

Sehubungan dengan permasalahan di atas, hal-hal yang harus mendapatkan perhatian serius adalah dua elemen terakhir dari setiap Kejahatan Terhadap Kemanusiaan yang menggambarkan konteks dalam hal mana perbuatan tersebut dilakukan. Kedua elemen yang dimaksud adalah: (a) perbuatan tersebut dilakukan sebagai bagian dari suatu serangan yang meluas (widespread) atau sistematik (systematic) ditujukan terhadap penduduk sipil, dan (b) keharusan adanya pengetahuan (with knowledge) pelaku bahwa perbuatan yang dilakukan merupakan bagian dari atau dimaksuclkan untuk menjadi bagian serangan yang meluas atau sistematik terhadap penduduk sipil.

Article 7.2.a Statuta Roma menegaskan bahwa, "the term of attack is defined as a course of conduct involving the multiple commission of act referred to in paragraph 1 against any civilian population, pursuant to or in furtherance of a state or organizational policy to commit such atttack". Dengan demikian secara implisit dapat disimpulkan bahwa serangan tersebut tidak memerlukan karakter sebagai suatu serangan militer (military atttack). Dan selanjutnya, dapat pula diketahui bahwa dari kata organizational policy, bahwa kejahatan tersebut dalam kondisi tertentu dapat dilakukan oleh non state actors.

Selanjutnya adanya persyaratan bagi pelaku yang harus memiliki "know­ledge of attack", haruslah diartikan sebagai kesengajaan khusus (specific intent). Misalnya seseorang yang turut serta melakukan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan berupa pembunuhan (murder), tetapi tidak sadar bahwa perbuatannya merupakan bagian dari suatu serangan yang meluas (wide­spread) atau sistematik (systematic) terhadap penduduk sipil, dapat dinyatakan salah telah melakukan pembunuhan, tetapi tidak dalam kerangka Kejahatan Terhadap Kemanusiaan. Tetapi perlu pula ditegaskan bahwa untuk dapat dipidana karena melakukan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan, tidak disyaratkan bahwa si pelaku (perpetrator) telah mengetahui seluruh karakteristik dari serangan atau rincian pasti (precise details) dari perencanaan atau policy dari negara atau organisasi tersebut.

Persyaratan yahg berkaitan dengan alasan/sebab (motive) kejahatan, sekalipun tidak tercantum dalam definisi Kejahatan Terhadap Kemanusiaan, hal ini tetap relevan sebagai indikator kesalahan (indicator of guilt), di samping untuk menentukan sanksi pidana yang tepat atau proporsional.

 

 

Penutup

Berdasarkan sejarah perkembangannya, istilah Kejahatan Terhadap Kemanusiaan pertama kali muncul dalam peradilan penjahat Perang Dunia II, di Jerman (IMTN) maupun Tokyo (IMTT). Selanjutnya pasca perang dingin hingga saat ini melalui pembentukan peradilan internasional, baik yang bersifat°ad hoc (ICTR dan ICTY).

Di Indonesia istilah Kejahatan Terhadap Kemanusiaan, secara yuridis formal tertuang dalam UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Undang-undang tersebut menyatakan bahwa salah satu kewenangan Pengadilan HAM ini adalah mengadili Kejahatan Terhadap Kemanusiaan sebagai salah satu bentuk pelanggaran HAM yang berat.

Kejahatan Terhadap Kemanusiaan haruslah dilakukan secara meluas atau sistematis terhadap penduduk sipil dan bukannya merupakan kejahatan yang bersifat spontan maupun sporadis. Pengertian sistematis berkaitan dengan suatu policy/kebijakan/rencana yang melatarbelakangi terjadinya tindak pidana tersebut, sedangkan pengertian meluas (widespreacl) cenderung merujuk pada jumlah korban (massive), skala kejahatan, dan sebaran tempat.

Kejahatan Terhadap Kemanusiaan di Indonesia sebagai salah satu bentuk pelanggaran HAM yang berat dalam UU No. 26 Tahun 2000, merupakan hasil "adopsi" Statuta Roma Tahun 1998 yang menjadi dasar pembentukan ICC atau Mahkamah Pidana Internasional yang bermarkas besar di Nederland Belanda.

Instrumen Hukum Nasional Indonesia (UU No. 26 Tahun 2000) maupun insqumen Hukum Internasional (Statuta Roma Tahun 1998 dan Resolusi DK PBB) merupakan suatu Pranata Hukum yang berfungsi sebagai "payung" dalam mengadili para pelaku Kejahatan Terhadap Kemanusiaan. "Lahirnya" berbagai peradilan HAM, baik yang bersifat nasional (Pengadilan HAM Ad Hoc Indonesia) maupun internasional (ICTT, ICTN, ICTR, ICTY, maupun ICC) lebih merupakan bukti keseriusan umat manusia dalam masalah HAM dengan menciptakan suatu Lembaga Hukum yang diharapkan mampu "mentransfer" keadilan bagi korban pelanggaran HAM yang berat pada umumnya dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan pada khususnya.

 

 


Atternatif Meminimalisasi Petanggaran HAM Dalam Penegakan Hukum Pidana

 

Pendahuluan

Hingga saat ini masih terdapat tindakan kekerasan yang dilakukan Polri dalam upaya penegakan hukum dan penanggulangan kejahatan, tindakan tersebut dapat terjadi karena "ulah oknum" atau tindakan yang sudah melembaga sebagai "suatu sistem", karena bagaimana pun oknum yang melakukan tindakan kekerasan adalah produk dari sistem itu sendiri.

Sebagai contoh kasus, tindakan Polri dalam pengungkapan kasus terutama penangkapan terhadap pelaku atau yang diindikasikan sebagai pelaku kejahatan masih dilakukan dengan tindakan kekerasan. Hal tersebut sebagai salahsatu bentuk penyalahgunaan kekuasaan dalam proses peradilan pidana, pada proses pra adjudikasi seringnya digunakan kekuasaan yang melampaui kewajaran (unnecesary force) yang sering terjadi dilakukan oleh polisi. Sebagai contoh, tembak di tempat (deadly force) terhadap pelaku kejahatan yang hendak ditangkap dengan alasan penjahat tersebut hendak melarikan diri. Hal ini tentunya bertentangan dengan HAM, karena polisi telah melakukan kekerasan yang melampaui keperluan (unnecessary use).'

Ironisnya tindakan kekerasan yang dilakukan Polri dikomersialisasikan menjadi "entertaint" tersendiri yang dikemas dan dipertontonkan di media elektronik kepada khalayak sebagai sarana hiburan. Apabila dikaji secara mendalam, justru tindakan Polri tersebut telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana, dan timbul pertanyaan bagaimana pertanggungjawaban pidananya, demikian pula konsekuensinya pada korban terhadap perbuatan yang telah dilakukannya?

Berkaitan dengan penayangan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh Polri dalam media elektronik, pertama dapat menimbulkan "rasa dendam" bagi pelaku kejahatan dan hasilnya justru kontra produktif, kedua hal yang sia-sia bagi Polri melakukan penyamaran sebagai penyelidik, kalau nyata­ nyata wajah dan identitasnya dikenali orang, yang hanya sekedar ingin popularitas dan ha) demikian bukanlah tindakan yang profesional.z Meskipun Polri saat ini tidak lagi berada dalam satu atap dengan TNI, namun Polri belum mampu meninggalkan budaya militer yang sudah tertanam sejak lama.' Dapat dimaklumi, bahwa membangun pemahaman yang sama dari segenap komponen bangsa Indonesia yang tengah berada dalam proses transisi memang tidak mudah, sebab nilai-nilai baru yang dipandang baik dan ingin diterapkan dalam kehidupan bersama belum dapat dipraktekkan secara mapan, akan tetapi nilai-nilai lama sudah mulai ditinggalkan. Masalah demikian memang merupakan masalah umum yang selalu dihadapi oleh setiap negara berkembang,4 seperti halnya Indonesia.'

Satjipto Rahardjo dengan mengutip pendapat Reiss, menyatakan bahwa:

Patokan yang dapat dipakai sebagai ukuran (kriteria) untuk menilai bahwa kekuasaan dalam bentuk kekerasan telah terjadi (digunakan) secara tidak pada tempatnya, yaitu:

a. apabila seorang polisi menyerang seseorang secara fisik dan  kemudian gagal untuk melakukan penahanan; penggunaan kekuasaan yang wajar diikuti oleh penahanan;

b. apabila seorang warga negara yang pada waktu ditahan tidak melakukan perlawanan, baik dengan perbuatan maupun kata­kata; kekerasan hanya digunakan jika diperlukan untuk melakukan penahanan;

c. apabila seorang polisi, sekalipun pada waktu itu ada perlawanan terhadap usaha penahan, masih bisa dengan mudah di atasi melalui cara-cara lain;

d. apabila sejumlah polisi ada di situ dan  bisa membantu dengan cara menggiring warga negara bersangkutan ke kantor, tempat penahanan atau kamar interogasi;

e. apabila seseorang ditahan itu diborgol dan tidak berusaha untuk

lari atau melakukan perlawanan dengan kekerasan;

f. apabila warga negara melawan, tetapi penggunaan kekerasan

masih saja berlangsung, sekalipun orang itu sudah ditundukkan.

 

Berkaitan dengan apa yang telah diuraikan di atas, dalam kenyataannya polisi dianggap belum menegakan HAM secara baik, sehingga sebagai ujung tombak dalam sistem peradilan pidana (SPP) diasumsikan sebagai awal kekacauan dalam penegakan hukum (trouble maker). Berdasarkan hal demikian maka polisi dianggap sebagai aparat penegak hukum yang tidak profesional. Apabila cara-cara penegak hukum seperti itu terus dilakukan, maka tidak hanya berpengart.rh terhadap citra aparat penegak hukum, tetapi juga berpengaruh terhadap solidaritas masyarakat. Di dalam era globalisasi di mana dikehendaki penegakan hukum yang didasarkan suatu kerangka hukum yang baik atau baku (good legal system), maka suatu negara apabila melakukan penegakan hukum yang melanggar HAM sudah pasti akan dikritik dan  bahkan diisolir oleh negara-negara lainnya sebagai anggota masyarakat dunia yang tidak mempunyai komitmen terhadap HAM.

Hal demikian ini, tentu berpengaruh terhadap eksistensi negara demokrasi maupun sebagai negara hukum, karena konseprlemokrasi, penegakan hukum, dan perlindungan terhadap HAM berhubungan erat (linkage) satu dan  lainnya. Bahkan penegakan hukum yang baik merupakan suatu prakondisi (prerequi­site) terhadap keberadaan dan berfungsinya demokrasi.

 

Diskresi Dalam Penegakan Hukum Pidana

Penyimpangan dalam penegakan hukum yang tidak berdasar sama sekali (penyimpangan negatif), akan nampak sebagai penegakan hukum yang bersifat represif. Akan tetapi clapat saja terjadi penyimpangan penegakan hukum dalam rangka untuk mencapai tujuan hukum yang didasari kepen­tingan umum, merupakan usaha menciptakan kesejahteraan masyarakat (social welfare), sehingga dalam penegakan hukum dapat saja terjadi sebagai actual enforcement yang tidak dapat dihindari. Namun demjkjan actual enforcement dalam hal ini dilakukan semata-mata untuk mengisi kekosongan hukum yang ada.

Dengan mengutip pendapat Satjipto Rahardjoe yang menyatakan bahwa, penegakan hukum pada hakikatnya merupakan penerapan diskresi (kebijakan) yang membuat keputusan hukum tidak secara ketat diatur undang-undang melainkan juga berdasarkan kebijaksanaan antara hukum dan etika. Oleh karena itu pertimbangan secara nyata hanya dapat diterapkan selektif dan  masalah penanggulangan kejahatan. Dengan demikian dalam menerapkan diskresi harus mempertjmbangkan beberapa faktor, apabila penegak hukum bertindak, apakah ada pihak-pihak lain yang akan mengalami gangguan, adakah yang dirugikan atau tjdak, apabila dilakukan penindakan tertentu, apakah akan menghasilkan situasj yang lebih baik daripada sebelumnya, apabila penegak hukum terpaksa melanggar perintah atasan untuk memperbaiki keadaan yang dapat menimbulkan akibat lain. Apalagi bila hal tersebut dikaitkan dengan kekuasaan Polri yang menyangkut tugas, fungsi dan  wewenang.

Berdasarkan ketentuan normatif yang mengatur dapat dikemukakan bahwa, kekuasaan yang dimiliki Polri terlalu luas, untuk itu diperlukan persyaratan-persyaratan yang harus dimiliki oleh polisi, terutama dalam hal menilai suatu perkara yang dihadapi. Sebagai contoh, sebelum melaksanakan penyidikan polisi melakukan penyelidikan terlebih dahulu, sesungguhnya tindakan penyelidikan ini merupakan filter terhadap peristiwa yang terjadi, apakah dapat dilakukan penyidikan atau tidak. Berkaitan dengan hal tersebut Kadri Husin' menyatakan bahwa, berdasarkan wewenang yang ada padanya, polisi dapat menilai dan menentukan suatu peristiwa sebagai tindak pidana atau bukan tindak pidana. Jika peristiwa tertentu dianggap sebagai tindak pidana, polisi melakukan tindakan penyidikan. Kewenangan yang dimiliki oleh polisi tersebut tidak dapat diartikan bahwa polisi boleh menggunakan hak atau wewenangnya didasarkan kriteria "mau atau tidak mau", wewenang kepolisian atau "police discretion" lebih ditekankan kepada "kewajiban" menggunakan wewenangnya.

Kewenangan pemberian diskresi yang ada pada Polri bukanlah masalah yang sangat sederhana, karena dapat saja terjadi konflik kepentingan antara hukum dan masyarakat. Dengan demikian dalam penggunaan diskresi harus berhati-hati, penerapannya harus dengan penuh pertimbangan dan dilakukan oleh anggota polisi yang mempunyai dedikasi dan intelektual yang tinggi. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Alvina Treut Burrow,10 diskresi adalah, "ability to choose wisely or to judge for oneself". Definisi ini memberikan pemahaman bahwa faktor kearifan dan sikap tanggungjawab seseorang merupakan unsur penting dalam diskresi. Sedangkan menurut Thomas Aaron," diskresi adalah "... power outhority conferred by law to action on the basic judgement or conscience, and its use is more an idea of moral than law". Dari definisi Aaron lebih menekankan pada seorang agen, karena yang menjadi tekanan di sini adalah faktor wewenang hukum yang dijalankan secara bertanggungjawab oleh seseorang dengan mengutamakan pertimbangan moral daripada peraturan/hukum. Persoalan penggunaan diskresi seperti diuraikan di atas, dialami pula oleh polisi dalam melaksanakan tugasnya di Amerika Serikat. Diuraikan Jerome H. Skolnick1z bahwa:

"Polisi yang menjalankan tugasnya dalam kerangka susunan negara

demokrasi, di satu pihak dituntut untuk menjamin berjalannya "ketertiban", sedangkan di lain pihak untuk menjalankannya dalam kerangka "rule of law". Diterimanya kedua idetersebut, yaitu hukum dan ketertiban (law and order), menyebabkan timbulnya komplikasi dalam pelaksanaan penegakan hukum oleh polisi. Hukum dan ketertiban memiliki posisi yang bertentangan, karena di dalam hukum terkandung pembatasan­ pembatasan terhadap tata kerja untuk mencapai ketertiban."

 

Selanjutnya dinyatakan oleh Skolnick, bahwa:

"Seorang polisi cenderung untuk memelihara praduga bersalah. Jika ia melakukan penahanan dan memutuskan untuk memproses seocang tersangka, maka seorang polisi rr-prasa bahwa tersangka telah melakukan kejahatan sebagaimana yang disangkakan. la percaya bahwa sebagai seorang spesialis dalam kejahatan ia mempunyai kemampuan untuk membedakan antara yang bersalah dan yang tak bersalah."

Polisi dalam konteks "police judiciare" memandang dirinya as a spe­cialist in cririae (rtvestigation. Dalam kaitannya dengan tug~s utama polisi menurut Undang-Undang.Negara Republik Indonesia No. 2 T,ahun 2002 Tentang Kepolisian Negara, polisi adalah pelayan sosial, teman, penjaga, moralis dan sekaligus pejabat hukum. Dalam kedudukan yang demikian ini kekuasaan polisi `menjadi sangat luas" • karena di samping memiliki kewenangan dalam tugas peradilan (preventif dan represi~, juga memiliki kewenangan memasuki kehidupan masyarakat (police in social control)." Akibatnya polisi memiliki pandangan yang saling tumpang tindih pada saat melaksanakan tugas penegakan hukum di satu pihak dengan tugas ketertiban dan keamanan di lain pihak. Sedangkan kedudukan Polri dalam proses peradilan pidana berperan sebagai penjaga pintu gerbang atau as a gate keepers15 yaitu melalui kekuasaan yang ada (police discretion) ia merupakan awal mula dari proses pidana. Polisi berwenang menentukan siapa yang patut disidik, ditangkap, dan ditahan. Dalam proses peradilan pidana yang merupakan serangkaian rantai-rantai atau "the series of chains", maka kepolisian menempati posisi "sebagai penjaga pintu" atau "as a gate keeper".

Untuk melaksanakan tugas dan fungsi tersebut dibutuhkan Polri yang profesional ditunjang aspek-aspek yang menuju independensi polisi sebagaimana dikemukakan Anton Sujata, adalah:

a. Integritas pelaksana, berupa kemampuan dan  kemauan untuk mene­

rapkan nilai-nilai etika, nilai baik buruk serta nurani dalam mengemban

tugasnya;

b. Profesionalisme, berupa keterampilan serta loyal itas dalam menerapkan nilai nilai kebenaran, baik prosedural maupun substansial, berdasarkan peraturan perundangan ataupun kepatutan;

c. Public accountability;

d. Pengawasan struktural dan horizontal;

e. Kewenangan yang tidak mutlak;

f.     Transparansi;

g. Equality before the Law;

h. Tindakan tegas terhadap penyimpangan dalam rangka pencegahan.

Dengan demikian karakteristik institusi polisi yang diinginkan adalah, pelayanan gratis, kesantunan dan  sikap melindungj, sifat tidak korup dan  profesionalisme.

 

Prospektif Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Kasus Dalam Sistem Peradilan Pidana

Cara-cara manusia menanggulangi kejahatan sesungguhnya memiliki latar belakang sejarah yang panjang seiring dengan perkembangan pengor­ganisasian masyarakat itu sendiri. Dengan kata lain, keberadaan sistem peradilan pidana" tidaklah muncul secara tiba-tiba, melajnkan muncul di tengah kehidupan masyarakat dengan tingkat pengorganisasian yang kompleks.

Secara historis, kejahatan yang dikenal sekarang menurut literatur di negara-negara barat (Amerika serikat), sesungguhnya adalah "tort".

Dengan kata lain, semua kesalahan (dalam bentuk kejahatan berat atau ringan) merupakan kesalahan yang bersifat individual, antara pihak yang dirugikan dan pihak yang merugikan (sengketa para pihak) dan tidak bersifat publik.

Dilihat dari segi tujuannya, tidak ada bedanya apakah hak pembalasan terhadap pelaku kejahatan itu berada di tangan pihak yang dirugikan (korban kejahatan) sebagaimana yang berlaku di tengah kehidupan masyarakat sederhana, dibandingkan dengan kehidupan masyarakat modern di mana hak pembalasan terhadap pelaku kejahatan diserahkan kepada negara melalui perangkat pemerintahannya yang disebut sistem peradilan pidana.21 Perbeclaannya terletak pada tingkat pengorganisasian masyarakatnya. Masalah­masalah sosial yang timbul dari kejahatan di tengah kehidupan masyarakat sederhana masih cukup ditangani dengan eknik-teknik pengorganisasian yang masih sederhana. Sebaliknya, manakala masalah-masalah sosial yang timbul dari kejahatan di tengah kehidupan masyarakat modern demikian kompleks, maka penanganan terpaksa harus ditangani melalui teknik pengorganisasian modern dan terbirokratisasi, sebagaimana dikenal dengan istilah sistem peradilan pidana. Sebagai perbandingan dapat dikemukakan peradilan pidana di Amerika Serikat ada untuk pengendalian dan pencegahan kejahatan, dan sebagai sebuah proses, proses peradilan pidana melibatkan lembaga-lembaga dan prosedur yang dirancang untuk menangani kejahatan dan pelaku kejahatan. Dengan demikian peradilan pidana adalah suatu organisasi yang kompleks dan banyak pihak yang terlibat. Oleh karena proses peradilan pidana melalui beberapa tahap, maka administrasi peradilan pidana seperti itu dianggap sebagai sebuah "sistem" peradilan pidana.

Sistem peradilan pidana terdapat kelemahannya, kelemahannya bukan hanya dalam kesamaan tujuan dan hubungan timbal balik antara penegak hukum, tetapi juga termasuk penafsiran individu mengenai kejahatan, hukum, bukti-bukti dan kelalaian dalam setiap tahap pemeriksaan yang menimbulkan ineffisiensi.

Demikian pula halnya dengan jenis-jenis perbuatan yang dilarang serta jenis pidana dan berat ringannya pidana yang dapat dikenakan kepada pelaku tindak pidana. Mengenai hal ini tidak ada keseragaman antara masyarakat yang satu dengan yang lain, sekalipun masyarakat tersebut menjalani kehidupan dalam kesatuan wilayah suatu negara. Berkaitan dengan hal ini, Philip P. Purpura menjelaskan sebagai berikut:

'While some crimes are federal by nature, such as antitrust and inter­state commerce violations, and other are local, such as loitering or public drunkenness, most crimes are state crimes. Murder, robbery, burglary, rape, and other dangerous acts, constitute the core of the nation's serious crime problem. As we have seen, state legislatures enact criminal statutes and procedural codes to cover crime and its punisment. "

Dengan mengutip pendapat Marc Ancel,25 yang menyatakan bahwa sistem pemidanaan bukan hanya satu-satunya cara terbaik untuk menghadapi kejahatan, kejahatan bukanlah sesuatu yang terjadi mendahului sistem hukum pidana melainkan merupakan hasil dari pelaksanaan sistem hukum pidana tersebut, dan  pelaku kejahatan bukanlah mahluk yang terasing dan berbeda dengan warga masyarakat lainnya. Dalam beberapa hal tertentu "kita semua adalah penjahat". Jeremi Bentham pernah pula menyatakan, bahwa pidana janganlah diterapkan atau digunakan apabila groundless, needless, unpro­fitable, or inefficatious.

Beranjak dari pendapat di atas, maka upaya penanggulangan kejahatan dapat djlakukan melalui alternatif mediasi.Z' Pemikiran utama mengenai lembaga mediasi (lembaga perantara) dalam peradilan pidana diilhami oleh adanya program anti kemiskinan di Amerika, di mana tersangka diberikan kesempatan untuk memperoleh hak dan kesadaran untuk kembali ke masyarakat dengan berdasarkan pada tindakan yang dapat dibuktikan.

Dalam mediasi pendekatan yang dilakukan secara formal melalui kelompok dalam suatu masyarakat yang dilakukan secara tidak langsung dengan melihat pada faktor-faktor penghambat yang merugikan. Pendekatan secara non formal dilakukan dengan membuat suatu jaringan yang meliputi tersangka dengan korbannya, sebagai contoh dapat diambil dari kelompok masyarakat dan tempat lokasi terjadinya kejahatan. Menurut Philips Priestley,2" bahwa suatu kasus untuk dapat diperiksa lebih jauh mengenai ganti rugi serta rasa kemanusiaan darj tersangka utama dan korbannya tidak begitu diperlukan dalam semua atau beberapa kasus, selanjutnya nilai dari sebagian tersangka yang berhubungan dengan beberapa korban mempunyai implikasi terhadap pandangan umum masyarakat terhadap tersangka.

Adapun cara kerja dari lembaga mediasi adalah secara sukarela dengan melihat kepada keadaan korban dan  tersangka secara terpisah. Kemudian proses u6ma dalam mediasi itu sendiri berdasarkan pada pengalaman pribadi yang dialami oleh korban dati tersangka. Dasar dari program mecliasi dillndasi pemikiran bahwa: criminal justice system does not require the offender to face up to the consequences of the criminal act and the victim plays a passjve role in the judicial process29 (sistem peradilan pidana tidak dapat m6minta tersangka untu"k menanggung segala akibat dari kejahatan yang dilakukan-dan korban memainkan peran yang pasif di dalam proses peradilan).

Pemikiran ke depan program mediasi dari korban maupun tersangka adalah sebagai suatu program pengembangan terhadap pelayanan masyarakat. Untuk itu dalam lembaga mediasi terdapat 3 (tiga) prinsip yaitu: pertama, pengadilan hanya mengenakan/memungut biaya yang kecil atas persetujuan antara korban dan tersangka; kedua, seluruh proses yang dialami oleh korban dan tersangka secara bersama ditanggung/dibayar secara sukarela; dan ketiga, dalam lembaga ini harus ada kordinasi antara pengadilan dengan kedua belah pihak, tersangka dan korban.

 

Penutup

            Dari uraian yang dikemukakan di atas, upaya untuk meminimalisasi pelang­garan Hak Asasi Manusia yang terjadi pada tahap pra-adjudikasi dan dalam proses peradilan pidana, melalui upaya peningkatan profesionalitas Polri sebagai penegak hukum dan pembina Kamtibmas, memanfaatkan upaya diskresi dalam penegakan hukum dalam kasus-kasus tertentu, pemberian diskresi tentunya dengan pertimbangan yang tepat, mencari alternatif lain dalam menyelesaikan kasus-kasus pidana dengan mediasi. Hal-hal tersebut menjadi bahan pertimbangan karena seseorang masuk dalam proses peradilan pidana ia akan mempunyai dampak yang sangat luas baik dirinya maupun keluarganya, karena dapat terjadi seseorang yang menjalani pidana, lantas keluarganya akan kehilangan hak-haknya sebagai masyarakat pada umumnya. '

 

 


Korupsi, Pidana Mati dan HAM Sekilas Tinjauan Sistem Peradilan Pidana

 

Pendahuluan

Sejak reformasi bergulir pada tahun 1998 hingga sekarang (tahun 2004), Indonesia belum begitu banyak mengalami perubahan yang berarti dalam arti yang positif, terutama reformasi di bidang hukum, khususnya di bidang hukum pidana. Lebih subsidair lagi pada masalah korupsi, pidana mati dan hak asasi manusia (HAM).

Sejak pergantian kabinet yang dipimpin Presiden B.J. Habibie ke Abdul Rahman Wahid dan Megawati Sukarnoputri dengan kabinet gotongroyongnya, ketiga masalah itu, yakni korupsi, pidana mati dan HAM, telah menjadikan optik yang disorot dengan tajam secara terus merierus hingga sekarang, baik oleh masyarakat internasional maupun domestik.

Untuk masyarakat domestik, yang menjadi sorotan tajam (terutama menjelang Pemilihan Umum Presiden), adalah tentang korupsi dan pelang­garan HAM. Dalam tulisan ini, penulis mencoba merangkai secara kualitatif hubungan korupsi dengan HAM, korupsi dan pidana mati, prognosa sekitar pidana mati, serta pidana mati dan HAM.

 

Plus Minus Perkembangan Korupsi Sejak Reformasi

Sorotan masyarakat internasional terhadap Indonesia dalam masalah korupsi ini, utamanya oleh International Transparancy (IT) yang mendudukkan In­donesia sebagai negara terkorup di dunia, serta lembaga-lembaga swadaya masyarakat lainnya (NGO) seperti Political and Economic Risk Consultancy (PERC). Menurut hasil survai yang diumumkan oleh PERC per 10 Maret 2002, Indonesia menempati posisi sebagai negara paling korup di Asia dengan tingkat skor 9,92. Skor yang diperoleh Indonesia merupakan angka terjelek negeri ini sejak PERC melakukan survai dan tahun 1995 (Kompas, Maret 2002). Pertanyaannya kini, adalah apakah tingkat korupsi di Indone­sia masih separah dengan hasil survai NGO-NGO internasional itu? Ataukah malah meningkat atau berkurang?

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, mari kita uji mate­riel diri sendiri daripada sekedar orang lain (dibaca: masyarakat intemasional)berdasarkan data-data empirik yang layak, serta pernyataan orang-orang yang berkompoten dan bisa dipercaya. Bahwa sebelum dibeberkan hasil survei PERC dan IT mengenai tingkat keparahan korupsi di Indonesia beserta ukuran-ukuran apa yang digunakan untuk itu, namun demikian, kala itu kita tidak pernah mendengar perbuatan korupsi massal dan penyulundupan massal. Kalaupun ada, mungkin tidak sekeliber sekarang ini.

Akhir-akhir ini, masyarakat Indonesia dikejutkan dan dihebohkan oleh berita-berita di mass media bahwa Bupati ini dan anggota DPRD itu telah melakukan korupsi. Sehingga muncullah istilah "korupsi massal". Korupsi massal justru dilakukan oleh orang-orang yang menamakan diri sebagai wakil rakyat, seperti yang terjadi di DRRD Padang. Berikut wakil-wakil rakyat yang ingin menyaingi DPRD Padang adalah dugaan korupsi pada anggota-anggota DPRD Jawa Tengah (Suara Merdeka, 14 Juni 2004). Dan beberapa waktu lalu, issue yang sama juga bergema di DPRD Jawa Timur, DPRD DIY yang terkenal dengan kasus 'asuransigate'yang terungkap pada bulan Mei 2003, serta beberapa daerah lainnya di seluruh Indonesia. Pendek kata, virus korupsi mengalir seolah-olah ada sebuah tower yang mengirim dan  melancarkan sebuah sinyal-sinyal korupsi dari satu tempat ke tempat lain, sehingga motif dan gerakannya sama. Atas dasar fenomena ini sepertinya kita tidak perlu menunggu hasil survai dari IT ataupun PERC untuk menilai tingkat korupsi di Indonesia berada pada level mana.

Bahan analisis yang lain adalah, pada bula Mei 2004 yang lalu, saat kampanye dialog Capres dan  Cawapres yang diselenggarakan SCTV yang dipandu oleh Rosiana Silalahi, dan  dihadiri oleh sejumlah Tim Sukses masing-masing Capres. Pada kesempatan itu Sophan Sophian (SS) dan Tim Sukses Amin-Siswono menyampaikan sebuah kritik tajam yang berkaitan dengan korupsi clengan menyatakan, bahwa "80 persen pejabat/birokrat sekarang di  negara ini adalah korup". Suatu pernyataan yang sangat mengejutkan bagi seluruh pemirsa SCTV saat itu.

Adakah itu sebuah fakta atau hanya sebuah retorika politik yang tidak berdasar sama sekali, kecuali keinginan SS saja agardapat meningkatkan simpatisan Amin Siswono pada Pemilu Presiden 5)uli '2004? Untuk menguji apakah itu benar atau tidak, bisa saja kita hubungkan dengan fakta-fakta yang ada.

Dalam acara Milad Universitas Muslim Indonesia tanggal 2.4 Mei 2002, pada kesempatan itu turut hadir sebagai tamu khusus, adalah Adi Sasono. Sebagai tamu beliau diberi kesempatan menyampaikan sambutan. Dalam sambutan,nya itulah ia mengungkapkan sebuah data tentang penjualan asset Bank Central Asia (BCA). Bahwa penjualan asset BCA kepada pihak asing yang dilakukan oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dengan harga yang sangat murah, yaitEi Rp. 11 trilliun Padahal menurut Adi Sassono, mantan Menteri Koperasi Usaha Kecil dan  Menengah pada masa pemerintahan Habibie itu, seharusnya asset BCA tersebut terjual senilai Rp. 100 trilliun. Dan hasil penjualan Rp. 11 trilliun menurut Adi Sasono, ternyata hanya lima persen yang diterima oleh negara.

Jika kita mencoba menganalisa kasus penjualan asset BCA tersebut, dan  hasil penjualan yang dilakukan oleh BPPN hanya Rp. 11 trilliun, pertanyaannya adalah mengapa paut harga dengan yang seharusnya demikian besar? Apakah orang-orang di BPPN dan  para,staf ahli di Kementerian BUMN mengenai besarnya selisih harga yang luar biasa dengan harga yang seharusnya tidak dimengerti oleh mereka? )ika benar apa yang dikemukakan oleh mantan menteri di era Habibie itu, bahwa harga yang pantas terhadap asset BCA adalah Rp. 100 trilliun, sedangkan penjualan hanya Rp 11 trilliun, maka terdapat selisih nilai sebesar Rp. 89 trilliun.

Karena terdapat suatu perhitungan harga yang sangat tidak signifikan, yakni Rp 89 trilliun, maka hal itu patut dipertanyakan. Dari interval harga yang sangat tidak signifikan tersebut, dengan demikian terdapat potensi kerugian (termasuk kerugian negara) dengan kisaran Rp 84 trilliun. Karena hanya lima trilliuN yang diterima oleh negara.

Ditinjau dari segi hukum pidana, khususnya undang-undang tindak pidana korupsi, maka peristiwa penjualan asset BCA menganduqg beberapa kemungkinan. Pertama, terjadi suatu kesepakatan yang tidak fair dan;`tak dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan prinsip-prinsip akuntabilitas' piiblik yang berlaku. Artinya, tindal¢tpdana korupsi telah terjadi. Kedua, terjadi suatu kelalaian besar. Akan tetapi untLik kemungkinan yang kedua, dalam sebuah lembaga professional seperti BPPN dan  lain sebagainya, kelalaian semacam itu tidak mungkin bisa terjadi.

Andaikata semua atau separuh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dilakukan suatu divestasi dengan model penjualan semacam BCA itu, maka kita dapat :berkata "Negara benar-benar masuk ke dalam lubang buaya". )adi tidak saja mengalami kebangkrutan seperti istilah yang digunakan oleh Pradjoto dalam berbagai tulisannya.

Kendati bangsa Indonesia diresahkan oleh hiruk-pikuk korupsi yang
wdah menggurita di mana-mana, ternyata keresahan itu telah mencair
kembali dan  mengalirkan sebuah harapan baru. Keresahan itu sedikit terobati setelah Pengadilan Negeri Padang, telah memvonis 43 anggota DPRD sebagai pelaku tindak pidana korupsi. Vonnis PN Padang itu benar-benar menyegarkan apa yang telah layu, dan  membasahi apa yang sudah menjadikering. Walaupun sifatnya masih sangat parsial, tetapi itu sebuah harapan. "Di tengah-tengah kekeringan keadilan di negeri kita sekarang ini, apayang dilakukan pengadilan di Padang seyogyanya benar-benar mendapatkan penghargaan yang setimpal. Maka sekarang menjadi tugas kita semualah, khususnya dunia hukum, menggelindingkan "keadilan Padang" itu sehingga 'virus Padang' tersebut menyebar ke seluruh penjuru pangadilan di negeri ini." Demikian pesan Maha Guru-Prof. Satjipto Rahardjo (Kompas, 12 Juni 2004).

 

Mencoba Menemukan Pemaknaan Korupsi

Kasus korupsi yang paling banyak dibicarakan orang pada awal tahun 2004, adalah kasus Buloggate II, saat kasus ini tengah digelar di Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA), yang melibatkan Ketua Umum Golkar, Akbar Tanjung sebagai terdakwanya. Bahkan sehari sebelum MA memutus perkara ini, Prof. Muladi berkomentar pada Harian Suara Merdeka Semarang, bahwa kasus Buloggate II merupakan batu-uji sistem peradilan pidana di Indonesia apakah supremasi hukum benar-benar diupayakan untuk ditegakkan atau tidak. Sebelum perkara tersebut diputus, seandainya dilakukan voting mengenai prediksi jenis putusan yang bagaimana yang diambil oleh MA pada pertengahan Februari 2004 itu, apakah memvonis bebas atau menjatuhkan pidana, maka barangkali lebih banyak yang menjatuhkan pilihannya, bahwa Tanjung pasti dijatuhi pidana. Terutama setelah dua tingkat pengadilan di bawah MA, yaitu PN dan  PT telah memvonis Tanjung, bahwa ia secara meyakinkan- bersalah melakukan korupsi.

Tentu saja penulis tidak bermaksud mengungkit apalagi menilai Putusan MA tersebut. Karena bagaimana pun juga itu merupakan suatu putusan Lembaga Tinggi Negara yang legitimate dan kita semua menghormatinya. Seperti komentar Prof. Satjipto Rahardjo, sehari setelah putusan MA pada Harian Suara Merdeka Semarang, bahwa "Putusan MA itu kita hormati. Tapi hormat bukan berarti setuju".

Terlepas dari kasus Buloggate II, putusan-putusan pengadilan yang memvonis bebas terdakwanya, seperti kasus Dana SWKP di Makassar dan lain-lain, Jaksa Penuntut seringkali dikalahkan oleh kepiawaian Pengacara yang menangani perkara korupsi. Piawai dalam arti yang positif, sebab kita juga tahu bahwa ada juga kepiawaian dalam arti yang negatif. Piawai yang penulis maksud di sini adalah kepiawaian dalam arti yang positif itu.

Sebagai contoh, para pengacara yang piawai itu, menguraikan sedemikian rupa suatu kasus korupsi, lalu sekonyong-konyong ia berkesimpulan, bahwa perk.tra itu bukan perkara korupsi melainkan kasus perdata. Atau pengacara menempuh strategi lain dengan cara mengalihkan perhatian Jaksa Penuntut dari susbtansi perkara yang dihadapinya sehingga perhatian tidak terfokus kepada inti masalah tersebut. Seperti mempersoalkan "tempat duduk terdakwa saat persidangan climulai" seperti yang pernah terjadi di PN Makassar. Strategi ini benar-benar bisa merepotkan Jaksa Penuntut Umum.

Mengapa para advokat itu bisa berkomentar/berstrategi sedemikian rupa? Karena ingin memenangkan perkara tanpa banyak rintangan. Mereka menekankan pengamatannya pada unsur "kerugian negara" yang dihubung­hubungkan dengan perjanjian-perjanjian yang bersipat privat, karena unsur ini sangat tipis bedanya antara sifat perdata dengan sifat pidananya.

Menurut hemat penulis, perbuatan korupsi berawal dari adanya `penyalahgunaan kekuasaan" (abuse of power). Persoalan adanya kerugian negara atau tidak hal mana hanyalah sebuah akibat. Bukan berarti persoalan "akibat" tidak diperlukan di sini. Oleh karena itu, Jaksa Penuntut di samping memang perlu membuktikan adanya unsur kerugian negara, namun yang paling penting harus dibuktikan secara rinci dan mendetail adalah penyalahgunaan kekuasaan` itu. Sebab bilamana telah terjadi dan terbukti secara meyakinkan terjadi penyalahgunaan kekuasaan/kewenangan, sekalipun tidak/atau kurang bisa dibuktikan adanya kerugian negara, maka itu berarti terjadi "percobaan melakukan korupsi". Sebab menyalahgunakan kekuasaan berarti terjadi penipuan publik. Masalah percobaan dalam tindak pidana korupsi (seperti halnya tindak pidana ekonomi), dianggap sama dengan perbuatan yang telah selesai menurut undang-undang. Artinya, si terdakwa dianggap sama telah melakukan perbuatan korupsi.

Memang setiap undang-undang seringkali ditemukan titik-titik lemah. Pengacara dan Jaksa Penuntut adalah wajar bila menemukan suatu strategi untuk memenangkan perkara. Salah satu langkah untuk memperkuat strategi itu adalah lewat permainan kata-kata (language game) dan penelusuran makna kalimat yang disebut dengan morphology structure. Morphology structure yang diperkenalkan oleh Milovanovic dalam bukunya A Primer In The Socilogy of Law (1994), antara lain dikemukakan bahwa "The applica­tion of doctrinal legal discourse that is structured by a relevant morphologi­l cal structure (word meanings) and syntactical structure (linear corlstruc­tions of narratives and texts) in doing "correct" reasoning in law".' )adi di dalam pengorganisasian dan penelusuran makna kata dan kalimat, struktur morpologi sangat penting artinya, termasuk pengorganisasian dan penelusuran makna korupsi melalui abuse of power itu.

 

Korupsi dan HAM

Pembicaraan mengenai hubungan antara korupsi dan hak asasi.manusia (HAM) nampaknya memang belum begitu banyak dibicarakan di kalangan akademisi dan  praktisi. Hal ini mungkin disebabkan oleh substansi tindak pidana korupsi secara tekstual tidak menyinggung langsung hubungan antara substansi korupsi dan  HAM. Padah_al korelasi keduanya secara kontekstual justru sangat jelas.

Dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 Tentang~pnyelenggaraan Negara yang Bersih dan  Bebas dari Korupsi, Kolusi dan  Nepotisme, antara lain disebutkan:

"bahwa praktik korupsi, kolusi dan  nepotisme tidak hanya dilakukan antar-Penyelenggaraan Negara melainkan juga antara Penyelenggara

-'Negara dan  pihak lain yang dapat merusak sendi-sendi kehidupan masyarakat, berbangsa dan  bernegara, serta membahayakan eksistensi negara, sehingga diperlukan landasan hukuiii untuk pencegahannya".

Landasan filosofis yang tertuang di dalam diktum UU No. 28/1999, berakar pada penegasan, bahwa korupsi, kolusi dan  nepotisme (KKN) itu sangat potensial merusak send i-send ikehidupan,masyarakat, bahkan bisa membahayakan eksistensi negara. Hal ini cukup terbukti dan  sangat beralasan. Bukti-bukti secara faktual telah dirasakan oleh masyarakat bangsa -P Indonesia, bahwa sejak tahun 1997 di mana KKN cukup merebak di mana-mana hingga sekarang ternyata cukup menyengsarakan rakyat. Katakanlah uang yang dihorup itu adalah uang negara dan  hanya dinikmati olefi segelintir orang di ibu kota-ibu kota. Uang negara yang dikorup pada kakekatnya secara tidak langsung terdapat hak-hak masyarakat sebagai rakyat negara.

Oleh karenanya, uang negara yang dirampas oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab, secaraF,fidak langsung pula merampas hak-hak masyarakat. Karena mereka telah merampas hak-hak masyarakat dengan cara korupsi, maka itu berarti terjadi juga pelanggaran hak asasi manusia. Sebab dalam setiap rupiah uang milgC negara terdapat juga hak milik masyarakat. Masyarakat di sini bukan hanya sekedar warga negara, tetapi bisa juga berarti "masyarakat dalam arti sebagai manusia yang mempunyai hak atas kekayaan perdata negara".

Timbul suatu pertanyaan, bahwa bagaimana kita bisa mengatakan bahwa dalam setiap rupiah keuangan milik negara inklud juga keuangan milik masyarakat? Karena keuangan negara ada juga yang bersumber dan masyarakat dan  akan dikembalikan ke masyarakat lagi berdasarkan ketentuan yang berlaku. Jadi, bilamana uang itu clikorup, maka itu berarti ada hak rakyat yang tidak dikembalikan dan  tidak jadi dinikmati karena terjadi korupsi. Dalam konteks pengertian inilah yang penulis maksudkan adanya korelasi hubungan antara korupsi dan  HAM. Artinya, bila terjadi korupsi, maka di situ terjadi juga pelanggaran HAM. Penuliwyakin banyak kalangan yang tidak sepaham dengan pandangan ini. Secara akademik, itu adalah sesuatu yang wajar. Tetapi secara eksepsional pidana, hal ini meliirik untuk dipikirkap bersama.

 

Korupsi dan Pidana Mati

Jika kita perhatikan perilaku korupsi yang demikian parah di Indonesia, mungkin sudah saatnya kita pertegas strategi pemberantasaanya yang tidak sekedar bersifat sublimasi. Daripada sekedar gonta-ganti kebijakan, yang justru hanya melahirkan sugtu ketidakpastian hukum. Sudah saatnya kita mencontoh ti&negasan strategi pemberantasan korupst' di Korea Selatan yang bersamaan dengan Indonesia ditimpa krisis pada tahun 1997. Tetapi kini Korsel sudah berhasil keluar dan krisis itu, karena pemberantasan korupsi di mulai dari atas. Benar-benar mereka memberlakukan asas equality before the law. Demikian juga di Republik Rakyat Cina. Adakah Pemimpin di Indonesia yang berani sekaliber dengan Perdana Menteri RRC, Zhu Rongji yang, terkenal dengan konsepnya "pesanan 100 peti mayat"?

Pesanan seratus peti mayat itu satu untuk dirinya dan 99 untuk pejabat pemerintah yang terbukti korupsi. Dengan tindakannya, dia berhasil membawa China sebagai negara paling aman dalam berinvestasi (Kompas, 12 Juni 2004). Atau jika kita ingin yang lebih lunak, kita dapat meminjam konsep Taverne dari Belanda yang mengatakan "Berikan padaku jaksa dan hakim yang baik, dengan peraturan yang buruk pun saya bisa membuat putusan yang baik" (Satjipto Rahardjo, Kompas, 12 )uni 2004).

Di Indonesia, korupsi secara legal formal telah diakui sebagai perbuatan durjana (crimina extra ordinaria), atau perkembangan terakhir muncul konsep kejahatan luar biasa (extra ordinary criiries) seperti terorisme, korupsi, dan pelanggaran HAM berat dan sebagainya yang membutuhkan 'extra ordinary measures' yang memperhitungkan variable-variable due process of law, na­tional defence, victim of crime and international peace and security.'

Repotnya di Indonesia bahwa sekalipun korupsi itu diketahui sangat membahayakan masyarakat dan negara, tetapi tetap saja korupsi menjalar terus, political W)II pemerintah yang nampak secara konkrit tidak begitu jelas. Seringnya pemerintah mengganti kebijakan hukum di bidang pem­berantasan korupsi tanpa memperhitungkan yang sudah ada, justru hanya melahirkan ketidakpastian hukum. Hanya dengan ketegasan penanganan korupsi, isyarat corrup optimi pessima akan bisa teratasi dengan baik.

 

Penutup

Korupsi di Indonesia nampaknya bukan hanya berskala merusak sendi­sendi perekonomian nasional dan masyarakat. Tetapi sudah merobohkan sendi-sendi moral dan etika prinsip-prinsip pemerintahan yang baik. Oleh karena itu sudah saatnya kalangan akademisi dan praktisi hukum bersama dengan semua komponen bangsa menunjukkan keberanian membangun kembali budaya hukum baru sesuai kebutuhan bangsa, sebagaimana semangat yang terkandung dalam tema sentral Semi loka Nasional ini. Konsep pedang keadilan dari PN Padang perlu menjadi bahan acuan.

Tulang punggung pedang keadilan yang berada pada )aksa Penuntut Umum dan Hakim, perlu langkah-langkah strategis untuk mengatasi kepiawaian seorang koruptor. Termasuk di antaranya mempertimbangkan penjatuhan hukuman mati. Karena ternyata langkah ini sangat efektif untuk mengatasi korupsi di berbagai negara seperti RRC dan Korea Selatan, sekalipun pidana mati masih memunculkan pro-kontra di kalangan para ahli hukum. Sebagai jalan tengah, penjatuhan pidana mati tetap dilakukan dengan penuh prinsip kehati-hatian.

Tindak pidana korupsi ternyata menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan pelanggaran HAM. Karena korupsi bukan hanya sekedar merugikan keuangan negara, tetapi juga berpotensi merusak sendi-sendi kehidupan sosial, seperti hak-hak ekonomi rakyat yang melekat secara tidak langsung pada hak keperdataan negara.

 

 

 


Hak Asasi Manusia (HAM)  Dalam Perspektif Hukum Perdata Sepanjang Masa

 

Pendahuluan

Di dalarri setiap kesempatan, permasalahan Hak Asasi Manusia (HAM) selalu menjadi topik pembicaraan yang aktual. Dan selalu dibahas guna memperoleh solusinya karena selalu terdapat pembenturan dalam pem­bahasan, atau dikaji ulang karena penafsiran (kepentingan) yangtidak sama. Kajian, perdebatan maupun diskusi mengenai HAM selalu dapat dilakukan dengan beberapa alasan, antara lain pemahaman yang tidak sama mengenai:

a.    HAM adalah hak semua orang yang berhubungan dengan pengakuan

terhadap harkat dan  martabat mariusia yang kadang dinaifkan dan

belum dinikmati oleh setiap manusia di dunia;

b.    HAM adalah hak manusia yang kodrati yang dalam hal tertentu diingkari oleh sesama manusia yang lain, karena berbagai alasan dan  perbeclaan;

c.    Terjadi pengingkaran hak asasi manusia oleh seorang/kelompok suku

dan  bangsa, Negara tertentu terhadap yang lain karena perbedaan

       kepentingan-kepentingan tertentu;..,         `

d.    Terjadinya pelanggaran HAM dalam kurun waktu tertentu atau dalam

kurun waktu yang lama karena alasan-alasan sepihak yang mengakibatkan rusaknya suatu tatanan keludupan dalam satu kawasan tertentu;

e.    HAM harus diperjuangkan secara terus menerus, mengingat pemahaman yang belum sama di berbagai lapisan dan  tempat.

Indonesia adalah negara berkembang yang mempunyai clasar filosofi Pancasila,' yang di dalamnya telah mengandung hak-hak asasi manusia. Tetapi meskipun demikian makna Pancasila tersebut masih membutuhkan penjabaran lebih lanjut guna pelaksanaannya, sehingga menjadi lebih bermakna terutama dalam rangka melaksanakan konsep HAM secara operasional dalam rangka hidup berbangsa dan  bernegara di dalam negara Republik Indonesia.

Khusus di Indonesia mengingat pluralisme hukum perdata yang berlaku dengan tingkat harmoninisasi yang fluktuatif, penerapan HAM dalam kurun waktu dua dasawarsa mengalami pasang surut yang sangat berarti. 7imbul pertanyaan mendasar yang perlu dicari jawabannya, yaitu apaA'ah masalah HAM yang berkaitan dengan hukum perdata cukup layak untuk didiskusi­kan, mengingat masalah yang timbul justru berasal dan  luar lingkaran hukum perdata itu sendiri?

Di dalam konsep hukum perdata, hak sesama subjek hukum harus diakomodasi oleh subjek hukum yang lain. Pelanggaran hak subjek hukum yang lain akan menciptakan kewajiban-kewajiban tertentu bagi pihak yang melanggar.

Sesungguhnya secara mendasar hal ini masih cukup relevan untuk didiskusikan mengingat lndonesia belum mempunyai satu hukum perdata yang bersifat nasional dan  komprehensif. Di samping itu juga dalam banyak kasus terdapat letupan-letupan kecil tentang penerapan hukum yang menyangkut HAM khusus tentang perlakuan yang diskriminatif terhadap subjek-subjek hukum di dalam wilayah Republik Indonesia.

Pada kesempatan ini perlu kiranya dilakukan inventarisasi sederhana mengenai penerapan HAM pada bidang hukum perdata di Indonesia dan  bagaimana implikasinya di dalam masyarakat. Kemudian apakah untuk masa ke depan dapat dipakai sebagai titik tolak guna penyusunan dan  dalam rambu-rambu perlindungan HAM individu dalam suatu struktur peraturan hukum perdata yang ideal.

 

Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Indonesia

Hukum Perdata dalam pemahaman yang luas dapat diartikan sebagai suatu rangkaian perangkat hukum yang mengatur subjek hukum dalam berinteraksi dan  bertransaksi dalam masyarakat sejak lahir sampai meninggal dunia.

Menurut pendapat penulis, terdapat tiga fase utama mengenai penerapan HAM dalam siklus kehidupan manusia, apabila dipandang dari sisi hukum perdata:

a. Pertama, sebelum manusia lahir, artinya belum menjadi sebagai subjek hukum sepenuhnya;

b. Kedua, sesudah menjadi subjek hukum, sebelum dewasa, di mana

semua kepentingannya masih diwakili oleh orang tua atau wali;

c. Ketiga, pada saat sudah dewasa dan  melakukan aktivitas atas tanggungjawab sendiri.

Pada saat ini setiap manusia adalah subjek hukum yang bebas dan  merdeka melakukan aktivitas, sehingga berada pada posisi yang sama dan  tanpa diskriminasi dalam melakukan aktivitas. Yang berbeda adalah hak dan kewajiban secara proporsional. Jadi dalam ketiga fase itulah HAM dapat diimplementasikan dengan konsep dasar hukum perdata.

Karena faktor sejarah yang panjang Indonesia mengenal paling tidak lip sistem hukum perdata, yaitu (disusun secara kronologi berdasarkan heberadaannya):

a.    Sistem Hukum Perdata Adat yang dipengaruhi oleh agama Hindu dan Budha, eksistensinya masih kokoh;

b.    Sistem Hukum Perdata Islam yang bersumber dari agama Islam;

c.    Sistem Hukum Perdata Barat, berasal dari Barat/Belanda berlaku karena politik hukum Belanda, sekarang mulai dipengaruhi oleh sistem hukum common law.

 

Ketiga sistem hukum perdata tersebut secara simultan diterima di dalam onasyarakat dan dianggap berlaku dengan berbagai alasan dan kepentingan sesuai dengan kebutuhan. Khusus yang berkaitan dengan HAM, Hukum Perdata "Barat" sudah menttnjukkan adanya konsep yang sangat perspektif, Vaitu dilarang adanya keputusan hukum yang mengacu pada kematian perdata 9ejak sebelum abad kesembilan belas yang mengakui persamaan laki-laki ran wanita pada posisi yang sama dan tanpa diskriminasi dalam melakukan alQivitas; yang berbeda adalah hak dan kewajibannya secara proporsional.

Secara hakiki hukum perdata sebagai suatu sistem, mengatur mengenai bidup dan kehidupan subjek hukum sejak lahir sampai meninggal dunia.

Menurut pendapat penulis, pada setiap fase perjalanan kehidupan manusia selalu membutuhkan aplikasi perlindungan HAM secara proporsional. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, di dalam keperdataan, HAM rveliputi hak-hak sipil, ekonomi dan sosial dan hak kultural.

 

Kandungan Aspek Keperdataan

Dalam Undang-Undang HAM Indonesia

Di dalam Undang-Undang HAM Indonesia, yaitu di dalam UU No. 39 Tahun 1999 dapat diinventarisasi kandungan yang mengatur keperdataan adalah hal-hal yang menyangkut eksistensi tentang manusia sebagai subjek hukum:

a) Di da)am pertimbangan:

a. Adanya pengakuan terhaclap eksistensi manusia dan kemanusiaan;

b. Adanya pengakuan terhadap harkat dan  martabat manusia serta kemuliaan dan  harmonisasi manusia dan  alam;

c. Pengakuan terhadap hak dasar secara kodrati yang melekat pada manusia bersifat universal dan  langgeng yang tidak dapat diabaikan clikurangi atau dirampas oleh siapapun.

b) Di dalam batang tubuh Undang-Undang:                         .

a. Pengakuan terhadap keberadaan manusia sebagai subjek hukurn yang bermartabat;

1) Pengakuar.i manusia adalah subjek hukum dengan kebebasan dasar manusia.

2) Pengakuan kesederajatan dan  perlakuan hukum yang adil dalam bermasyarakat, berbangsa dan  bernegara.

3) Pengakuan perlindunjgan hak atau tanpa diskriminasi di mata hukum.

4) Pengakuan terhadap hak untuk hicFup dengan pembebasan dalam kebebasan asasi.

5) Pengakuan manusia sebagai manusia pribadi, pribadi yang sama di depan hukum.

b. Pengakuan dan  perlindupgan hak-hak pribadi, antara lain:

1) hak untuk hNdup, berkeluarga melanjutkan keturunan mengembangkan diri.

2). memperjuangkan dan  memperjuangkan hak-haknya

c. Pengakuan khusus terhadap hak-hak wanita dan  anak.

d. Penegakan hak dan  perlindunghan hak asasi manusia dalam perbedaan dan  kebutuhan dalam masyarakat hukum adat.

c) Kewajiban-kewajiban dasar di bidang hukum perdata bagi seseorang merupakan hak bagi orang lain antara lain adalah:

a. hak untuk dihormati hak asasinya oleh orang lain secara moral, etika dan  tata tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan  bernegara.

 

Meskipun demikian, HAM subjek hukum tetap dibatasi oleh ketentuan undang-undang lain, dalam rangka menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dalam kesusilaan, ketertiban umum dan  kepentingan bangsa dan negara.

Menurut pendapat penulis, kebebasan subjek hukum dalam rangka menegakkan haknya sesungguhnya sangat terbatas dan bukan tanpa batas. Kebebasan kita sesungguhnya hanyalah sepanjang "rentangan tangan" kita karena melampaui itu kita sudah melanggar hak orang lain.

Perspektif HAM dalam Hukum Perdata Nasional

Hukum Perdata Nasional mengandung pengertian sebagai suatu sistem hukum Perdata yang secara Nasional berlaku bagi warga negara Indonesia.

Mengingat sistem hukum tersebut berlaku secara nasional, tentu saja orientasinya ke depan harus mengakomodir prinsip-prinsip HAM sebagai konsep dasar dalam rangka realisasi pengakuan terhadap eksistensi. Manusia sebagai subjek hukum yang hak-hak asasinya harus teoritis, dapat dipre­diksikan bahwa Hukum Perdata Nasional yang akan datang sebagai suatu perangkat perundangan yang mengatur kehidupan manusia dalam bermasyarakat, antara lain:

a.    Pengakuan terhadap eksistensi bahwa manusia warga negara Indone­sia adalah sama di mata hukum dan tidak dapat didiskriminasikan kedudukannya karena perbedaan ras, agama dan status sosial;

b.    Dalam rangka mencapai suatu keadilan yang manusiawi tidak diper­kenankan adanya hukum yang mencerminkan kematian perdata dalam bentuk apapun;

c.     Kewajiban-kewajiban moral bagi setiap subjek hukum mengakui dan menghargai HAM orang lain di luar dirinya sendiri.

 

Penutup

Berangkat dari pemikiran tersebut di atas dapatlah ditarik satu hal utama, bahwa meskipun UU tentang HAM sudah diundangkan lengkap dengan Hukum Perdata sudah mengatur tentang Hak Asasi Manusia secara lengkap, hal ini menjadi tidak berarti dan bermakna apabila:

a.    Tidak ada political will dari pemerintah untuk dengan iktikad baik melaksanakan perlindungan terhadap hak asasi manusia;

b.    Tidak didukung oleh kinerja para penegak hukum secara profesional;

c.    Tidak diikuti oleh pelaksana hukum yang sesungguhnya, yaitu masyarakat berbudaya hukum yang "adil dan beradab".


Kajian HAM dan Kejahatan Ekonomi Terhadap Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal

 

Pendahuluan

Gemuruh dan  hingar bingarnya pasar modal di mana-mana tidak terkecuali  Indonesia telah berkembang menjadi suatu target di mana banyak pikiran dan uang dicurahkan oleh banyak orang. Sedemikian besar kekuatan yang ada pada pasar modal, sehingga apabila orang berbicara tentang bursa saham Wall Street di New York misalnya, seakan orang-orang sedang berbicara tentang suatu gudang tempat menyimpan uang.

Tidak heran orangpun berlomba-lomba untuk sekadar meraih untung di sana. Maka seperti biasanya terhadap kegiatan-kegiatan yang gemerlapan dan bergelimang dengan uang, trik-trik bisnis (sehat atau tidak sehat) sering terjadi di sana. Karena kuatnya pandangan bahwa pasar modal bukanlah x,fnacam kasino tempat berjudi, maka aturan-aturan mainpun diperketat. eahkan sedemikian ketatnya, sehingga hampir seluruh langkah dan  gerak di pasar modal diatur oleh sektor hukum. Tujuannya jelas, yakni agar tercapai rnsur-unsur ketertiban, keadilan dan  kepastian hukum di pasar modal.

Pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 rentang Pasar Modal Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64. Undang-undang ini disahkan 10 November 1995 dan mulai berlaku Januari 1996.

Bila kita perhatikan bagian konsideran undang-undang ini, pasar modal mnempunyai peran yang strategis dalam pembangunan nasional sebagai salah satu sumber pembiayaan bagi dunia usaha dan  wahana investasi antuk masyarakat. Agar pasar modal dapat berkembang dibutuhkan adanya landasan hukum yang kokoh untuk lebih menjamin kepastian hukum pihak­pihak yang melakukan kegiatan di pasar modal serta melindungi kepentingan masyarakat pemodal dari praktek yang merugikan.

Identifikasi Tindak Pidana Ekonomi Dalam UU No. 8 Tahun 1995 Jenis tindak pidana yang terdapat dalam undang-undang ini terbagi menjadi dua kategori, yaitu pelanggaran dan  kejahatan. Pelanggaran adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dafam Pasal 103 Ayat (2), Pasal 105 dan Pasal 109.

Dilihat dari beratnya ancaman hukuman, maka tindak pidana di pasar modal (kejahatan maupun pelanggaran) memuat empat kategori berikut:

a. Kejahatan dengan ancaman hukuman maksimum 10 tahun penjara

dan denda maksimum 15 Miliar Rupiah. Ancaman ini dikenakan untuk kejahatan-kejahatan di bidang pasar modal berkaitan dengan:

a) Barangsiapa yang secara langsung atau tidak langsung:menipu atau mengelabui pihak lain dengan menggunakan sarana atau cara apapun;turut serta menipu atau mengelabui pihak lain;membuat pernyataan tidak benar mengenai fakta yang mate­rial atau tidak mengungkapkan fakta yang material agar pernyataan yang dibuat tidak menyesatkan mengenai keadaan yang terjadi pada saat pernyataan dibuat dengan maksud untuk mengunttmgkan atau menghindarkan kerugian untuk diri sendiri atau pihak lain atau dengan tujuan mempengaruhi pihak lain.

b) Barangsiapa yang melakukan tindakan, baik langsung maupun tidak langsung, dengan tujuan untuk menciptakan gambaran semu atau menyesatkan mengenai kegiatan perdagangan, keadaan pasar, atau harga efek di Bursa efek

c) Barangsiapa baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama dengan pihak lain, dilarang melakukan 2 transaksi efek atau lebih baik langsung maupun tidak langsung, sehingga menyebabkan harga efek di Bursa Efek tetap, naik, atau turun dengan tujuan mem­pengaruhi pihak lain untuk membeli, menjual, atau menahan efek.

d) Barangsiapa dengan cara apapun membuat pernyataan atau memberikan keterangan yang secara materil tidak benar atau menyesatkan sehingga mempengaruhi harga efek di Bursa Efek apabila pada saat pernyataan dibuat atau keterangan diberikan:

·         dia mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa pernyataan atau keterangan tersebut secara materil tidak benar atau menyesatkan, atau

·         pihak yang bersangkutan tidak cukup berhati-hati dalam menentukan kebenaran materil dari pernyataan atau keterangan tersebut.

e) Barangsiapa yang merupakan orang dalam dari emiten atau

perusahaan publik yang mempunyai informasi orang dalam

melakukan pembelian atau penjualan atas efek:

f) Barangsiapa yang merupakan orang dalam dari emiten atau perusahaan publik yang mempunyai informasi orang dalam tersebut: mempengaruhi pihak lain untuk melakukan pembelian atau penjualan atas efek dimaksud, atau

memberi informasi orang dalam kepada pihak manapun yang patut diduganya dapat menggunakan informasi dimaksud untuk melakukan pembelian atau penjualan atas efek.

g) Barangsiapa yang berusaha untuk memperoleh informasi orang

dalam dari orang dalam secara melawan hukum (misalnya secara mencuri, membujuk, atau dengan pakai kekerasan atau ancaman) dan  kemudian diperolehnya kemudianmelakukan pembelian atau penjualan di Bursa Efek emiten, atau perusahaan publik dimaksud, ataupun perusahaan lain yang melakukan transaksi dengan emiten atau perusahaan publik yang bersangkutan, atau mempengaruhi pihak lain untuk melakukan pembelian atau penjualan atas efek dimaksud, atau memberi informasi orang dalam kepada pihak manapun yang patut diduganya dapat menggunakan informasi dimaksud untuk melakukan pembelian atau penjualan atas efek.

h) Perusahaan efek yang memiliki informasi orang dalam mengenai emiten atau perusahaan publik melakukan transaksi efek emiten atau perusahaan publik dimaksud, kecuali apabila:

-     transaksi tersebut dilakukan bukan atas tanggungannya sendiri, tetapi atas perintah nasabahnya; dan

- perusahaan efek tersebut tidak memberikan rekomendasi

kepada nasabahnya mengenai efek yang bersangkutan.

i) Barangsiapa yang melakukanpelanggaran terhadap ketentuan bahwa yang dapat melakukan penawaran umum hanyalah emiten yang telah menyampaikan pernyataan pendaftaran kepada Bapepam untuk menawarkan atau menjual efek kepada masyarakat dan  pernyataan tersebut telah efektif, kecuali dalam hal-hal yang dimaksud dalam Pasal 70 Ayat (2) Undang-Undang Pasar Modal.

j) Barangsiapa baik langsung maupun tidak langsung mempengaruhi pihak lain untuk melakukan pelanggaran seperti dimaksud dalam huruf a sampai i tersebut di atas.

 

b. Kejahatan yang diancam hukuman maksimum 5 tahun penjara dan denda maksimum 5 Miliar Rupiah. Ancaman hukuman seperti ini dijatuhkan kepada kejahatan sebagai berikut:

a) Barangsiapa yang melakukan kegiatan usaha sebagai Bursa Efek tanpa izin usaha dari Bapepam;

b) Barangsiapa yang menyelenggarakan kegiatan usaha sebagai Lembaga Kliring dan Penyimpanan atau Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian tanpa memperoleh izin usaha dari Bapepam;

c) Barangsiapa yang melakukan kegiatan Reksa Dana berbentuk

perseroan yang tidak memperoleh izin usaha dari Bapepam;
d) Barangsiapa yang melakukan kegiatan usaha sebagai Perusahaan

Efek tanpa memperoleh izin usaha dari Bapepam;

e) Barangsiapa yang melakukan kegiatan sebagai Penasihat Investasi

tanpa memperoleh izin usaha dari Bapepam;

f) Barangsiapa yang melakukan kegiatan usaha sebagai Kustodian

tanpa mendapat persetujuan dari Bapepam;

g) Barangsiapa yang menyelenggarakan kegiatan usaha sebagai Biro

Administrasi Efek yang telah memperoleh izin usaha dari Bapepam;

h) Barangsiapa yang melakukan kegiatan usaha sebagai Wali Amanat tanpa terlebih dahulu terdaftar di Bapepam;

i) Para Akuntan, Konsultan Hukum, Penilai, Notaris, atau Profesi lain yang ditetapkan sebagai Profesi Penunjang Pasar Modal, yang melakukan kegiatan di bidang Pasar Modal, yang tanpa terlebih dahulu terdaftar di Bapepam;

j) Barangsiapa yang baik langsung atau tidak langsung mempengaruhi pihak lain untuk melakukan pelanggaran tersebut dalam angka 2 huruf a sampai  tersebut di atas.

 

c. Kejahatan dengan ancaman hukuman maksimum 3 tahun penjara dan denda maksimum 5 Miliar Rupiah. Ancaman hukuman seperti ini dijatuhkan terhadap kejahatan sebagai berikut:

a) Barangsiapa yang merupakan Perusahaan publik yang tidak

menyampaikan pernyataan pendaftaran kepada Bapepam

sebagaimana mestinya.

b) Barangsiapa yang dengan sengaja bertujuan menipu atau merugikan pihak lain atau menyesatkan Bapepam, menghilangkan, memusnahkan, menghapuskan, mengubah, mengaburkan, menyembunyikan, atau memalsukan catatan dari pihak yang memperoleh izin, persetujuan, atau pendaftaran termasuk emiten dan  perusahaan publik.

Barangsiapa yang baik secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi pihak lain untuk melakukan pelanggaran seperti dimaksud dalam angka 3 huruf a dan b tersebut di atas.

 

d. Pelanggaran dengan ancaman hukuman maksimum 1 tahun kurungan dan  denda maksimum Satu Miliar Rupiah. Hukuman seperti ini diancamkan terhadap tindak pidana pelanggaran sebagai berikut:

a) Barangsiapa yang melakukan kegiatan sebagai Wakil Penjamin

Emisi Efek, Wakil Perantara Pedagang Efek, atau Wakil Manajer

Investasi, tanpa memperoleh izin dari Bapepam.

b) Barangsiapa yang merupakan Manajer Investasi dan/atau Pihak Terafiliasinya yang menerima imbalan dalam bentuk apapun, baik langsung maupun tidak langsung, yang dapat mempengaruhi Manajer Investasi yang bersangkutan untuk membeli atau menjual efek untuk Reksa Dana.

c) Barangsiapa yang baik secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi pihak lain untuk melakukan pelanggaran seperti dimaksud dalam angka 4 huruf a dan  b tersebut di atas.

Identifikasi Beberapa Tindak Pidana yang Mungkin Timbul di Pasar Modal Pasar modal di negara manapun memang rawan penipuan dan  manipulasi. Trik-trik dalam perdagangan saham memang banyak ragamnya. Sayangnya, tidak semua trik-trik yang bertendensi negatif tersebut dapat terdeteksi oleh hukum. Itulah sebabnya perangkat undang-undang yang rinci dan  kom­prehensif sangat besar artinya bagi suatu pasar modal yang modern. Namun demikian, yang seringkali terjadi adalah bahwa peraturan di pasar modal wdah lumayan baik, tetapi kandas ketika dipraktikkan

Di pasar modal Indonesia, seperti di Bursa Efek Jakarta misalnya, beberapa tindakan penipuan dan  manipulasi pasar pernah terdeteksi, tetapi tidak semua pelaku dapat tertangkap.

Dalam menentukan ada tidaknya tindakan penipuan dan  manipulasi pasar, diperlukan tindakan kehati-hatian. Jika tidak, mungkin dapat terjadi bahwa sanksi dijatuhkan kepada pihak yang sebenarnya bukan sebagai pelaku yang bersalah. Karena itu, diperlukan penafsiran dari ketentuan pasar modal yang ada saat ini yang lebih kondusif terhadap keadilan, ketertiban, efektif tetapi juga dengan tetap memiliki unsur kepastian hukum. Berikut ini beberapa trik bisnis yang menjurus ke arah penipuan dan manipulasi pasar di mana pengaturannya dalam undang-undang pasar modal

belum jelas, yaitu:'

a. Pigging, Fixing dan  Stabilizing

Dalam hal ini pihak emiten secara semu menstabilkan harga suatu sekuritas. Di mana pihak-pihak tertentu seperti emiten, dealer, underwriter mesti mewanti-wanti jika mereka terlibat dalam perdagangan saham.

b. Investment Syndicate

Dalam hal ini pihak sindikat underwriter memborong semua atau sebagian besar saham di pasar perdana atau bahkan melakukan suatu "bid" di pasar sekunder, sehingga harga menjadi fixed, dan kemudian menjual lagi saham tersebut kepada publik tentu juga dengan harga yang sudah fixed.

c. Workout Market

Merupakan perbuatan yang dilakukan sedemikian rupa sehingga seolah­olah telah terjadi oversubscribed terhadap sekuritas tertentu, yang sering clilakukan oleh underwriter dan/atau emiten. Misalnya jika mereka mengarahkan investor untuk membeli saham-saham lain, karena saham tertentu dianggap telah habis/oversubscribed, padahal saham yang bersangkutan masih ditawarkan ke investor lain lagi.

d. Special Allotments

Jika pihak underwriter sengaja mengalokasikan suatu sekuritas kepada para partner, officer, pekerja atau sahabat dekatnya sehingga kelihatan seolah-olah saham tersebut oversubscribed, sehingga kamudian harga menjadi mahal. Pada saat harga mahal tersebut saham yang ber­sangkutan dijual kembali oleh pihak-pihak tersebut di atas.

e. Menciptakan Trading Firms

Dalam hal ini, oleh underwriter suatu sekuritas dialokasikan ke perusahaan tertentu yang bukan anggota selling group. Selanjutnya perusahaan tersebut menciptakan pasar untuk sekuritas yang bersangkutan dengan menawarkannya kembali sekuritas yang bersangkutan kepada publik, dan setelah itu akan diikuti oleh kegiatan perdagangan dengan harga jauh di atas harga wajar.

 

Scalping                                .

Dalam hal ini, pihak penasihat untuk investment terlebih dahulu membeli sekuritas tertentu, kemudian merekomendasikan publik agar membeli saham yang bersangkutan, dan dia pada saat rekomendasi tersebut menjual sekuritas yang bersangkutan kepada publik sehingga harganya menjadi mahal.

 

Margin

Transaksi margin adalah suatu transaksi yang dilakukan (dibeli) sekuritas tertentu oleh pihak tertentu, di mana ada pihak lain yang memberi kredit kepadanya untuk membeli saham tersebut, sementara saham yang bersangkutan menjadi jaminan kredit yang bersangkutan.

 

Put atau Call Option

Dalam put option, pihak penjual sekuritas mempunyai kebebasan untuk penjual sekuritasnya itu pada suatu saat nanti dengan harga yang telah ditentukan sekarang. Sementara pada call option, pihak pembeli mempunyai kebebasan untuk membeli sekuritas nanti suatu masa tetapi dengan harga yang telah ditetapkan sekarang. Put dan call option ini sangat spekulatif sehingga jikapun dibenarkan, mesti diatur dengan ketat.

 

 

 

 

Churning

Dalam hal diberikan discretionary account dapat terjadi bahwa pihak broker melakukan transaksi yang secara berlebih-lebihan sehingga mendapat fee yang lebih banyak.

 

Front Trading (Trading ahead of the Customers)

Pihak pialang terlebih dahulu membeli saham dengan account-nya sendiri atau account komplotannya, untuk kemudian menjualnya kepada kliennya dengan harga yang lebih mahal, sehingga pialang tersebut menerima selisih harga.

Analisis Peranan Badan Pengawasan Pasar Modal (Bapepam) Pasar modal merupakan sumber pembiayaan dunia usaha dan  sebagai wahana investasi bagi para pemodal yang memiliki peranan strategis untuk menunjang pelaksanaan pembangunan nasional. Kegiatan pasar modal perlu mendapatkan pengawasan agar dapat dilaksanakan secara teratur, wajar dan effisien. Untuk itu, secara operasional Bapepam diberi kewe­nangan dan kewajiban untuk membina, mengatur dan mengawasi setiap pihak yang melakukan kegiatan di pasar modal. Pengawasan tersebut dilakukan dengan menempuh upaya-upaya, baik yang bersifat preventif dalam bentuk aturan, pedoman, pembimbingan dan pengarahan maupun secara represif dalam bentuk pemeriksaan, penyidikan dan pengenaan sanksi.

Undang-Undang Pasar Modal memformulasikan kedudukan dan fungsi Bapepam secara multi formasi, yaitu secara (1) pengaturan umum, (2) pengaturan terperinci, dan  (3) pengaturan sporadis. Secara umum, undang­undang ini mengatur kewenangan dan  tugas Bapepam sebagai: a. Lembaga Pembina;

b. Lembaga Pengatur;

c. Lembaga Pengawas.

 

Pelaksanaan kewenangan Bapepam sebagai lembaga pengawas dapat dilakukan secara:

a. Preventif, yakni dalam bentuk aturan, pedoman, bimbingan dan  pengarahan; dan

b. Represif, yakni dalam bentuk pemeriksaan, penyidikan dan  penerapan sanksi-sanksi.

 

Kewenangan Bapepam Sebagai Lembaga Pemeriksa

Sebagai salah satu bentuk konkretisasi dari peran Bapepam sebagai lembaga pengawas adalah kewenangan Bapepam untuk melakukan pemeriksaan, yakni pemeriksaan terhadap setiap pihak yang diduga melakukan atau terlibat dalam pelanggaran terhadap perundang-undangan di bidang Pasar Modal. Menurut Pasal 100 UU No. 8 Tahun 1995 atau PP No. 46 Tahun 1995 tentang tata cara pemeriksaan di Bidang Pasar Modal, yang dimaksud dengan pemeriksaan adalah kegiatan mencari, mengumpulkan, dan mengolah data dan/atau keterangan lain yang dilakukan oleh pemeriksa untuk membuktikan ada atau tidaknya pelanggaran atas perundang-undangan di bidang Pasar Modal. Dalam rangka pemeriksaan tersebut, Bapepam memiliki kewenangan untuk:

a. meminta keterangan dan/atau konfirmasi dari pihak yang diduga melakukan atau terlibat dalam pelanggaran terhadap undang-undang pasar modal dan  atau peraturan pelaksanaannya atau pihak lain apabila dianggap perlu;

b. mewajibkan pihak yang diduga melakukan atau terlibat dalam pelang­garan terhadap undang-undang pasar modal dan/atau peraturan pelaksanaannya untuk melakukan atau tidak melakukan kegiatan tertentu;

c. memeriksa dan/atau membuat salinan terhadap catatan, pembukuan, dan  atau dokumen lain, baik milik pihak yang diduga melakukan atau terlibat dalam pelanggaran terhadap undang-undang pasar modal dan/atau peraturan pelaksanaannya maupun milik pihak lain apabila dianggap perlu; dan/atau

d. menetapkan syarat dan/atau mengizinkan pihak yang diduga melakukan atau terlibat dalam pelanggaran terhadap undang-undang pasar modal dan/atau peraturan pelaksanaannya untuk melakukan tindakan tertentu yang diperlukan dalam rangka penyelesaian kerugian yang timbul.

 

Suatu pemeriksaan oleh Bapepam baru dapat dilakukan jika:

a.    terdapat laporan, pemberitahuan atau pengaduan dari pihak tertentu tentang adanya pelanggaran atas peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal;

b.    tidak dipenuhinya kewajiban yang harus dilakukan oleh pihak-pihak yang memperoleh perizinan, persetujuan atau pendaftaran dari Bapepam atau pihak lain yang dipersyaratkan untuk menyampaikan laporan kepada Bapepam; atau

b.    terdapat petunjuk tentang terjadinya pelanggaran atas perundang undangan di bidang pasar modal.

 

Bertindak sebagai Petugas pemeriksa adalah Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Bapepam yang ditunjuk dan  diberi tugas oleh Bapepam. DalamPP No. 46 Tahun 1995 ditentukan juga tentang kewenangan para pemeriksa dalam hal melakukan tugas pemeriksaan, yaitu sebagai berikut:

a.    dapat meminta keterangan, konfirmasi, dan  atau bukti yang diperlukan, baik dari pihak yang diperiksa ataupun dari pihak-pihak lainnya;

b.    dapat memerintahkan pihak yang diperiksa untuk melakukan atau tidak melakukan kegiatan tertentu;

c.    dapat memeriksa catatan, pembukuan, dan/atau dokumen pendukung lainnya;

d.    sepanjang diperlukan, dapat meminjam atau membuat salinan atas catatan pembukuan, dan/atau dokumen lainnya;

e.    dapat memasuki tempat atau ruangan tertentu yang diduga merupakan tempat penyimpanan catatan, pembukuan, dan/atau dokumen lainnya;

f.     dapat memerintahkan pihak yang diperiksa untuk mengamankan catatan, pembukuan, dan  atau dokumen lainnya yang berada dalam tempat atau ruangan sebagaimana tersebut di atas.

 

Selanjutnya bila ada bukti-bukti tentang telah terjadinya suatu tindak
pidana, maka pemeriksaan dapatterusdilanjutkan, tetapi dengan kewajiban bagi pihak pemeriksa untuk membuat laporan kepada Ketua Bapepam mengenai telah diketemukannya bukti permulaan tersebut. Sehingga kemudian Ketua Bapepam dapat menetapkan dimulainya proses penyidikan.Bila kita bandingkan dengan ketentuan yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (UU No. 8 Tahun 1981), pemeriksaan sebagaimana dimaksud di atas dapat disejajarkan dengan tindakan penyelidikan. Menurut KUHAP penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan  menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan. 5edangkan yang dimaksud dengan penyelidik adalah setiap Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia. Hanya saja menurut KUHAP, penyelidik atas perintah dari penyidik secara tegas dapat melakukan tindakan penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan  penyitaan. Sedangkan menurut Undang-Undang Pasar modal hal tersebut tidak diatur secara jelas (tidak ada).

 

Kewenangan Bapepam Sebagai Lembaga Penyidik

Salah satu kewenangan Bapepam yang cukup spektakuler adalah kewe­nangannya untuk melakukan penyidikan di pasar modal. Kewenangan penyidikan ini juga merupakan pengejawantahan dari peran Bapepam sebagai suatu lembaga pengawas. Kewenangan penyidikan ini dapat digunakan oleh Bapepam apabila menurut pendapatnya telah terjadi pelanggaran terhadap perundang-undangan di bidang pasar modal, yang mengakibatkan kerugian bagi kepentingan pasar modal atau kepentingan masyarakat.

Kedudukan dan kewenangannya sebagai lembaga penyidik bukanlah "lanjutan" dari kedudukaannya sebagai Lembaga Pemeriksa, melainkan merupakan kewenangan yang mandiri. Karena itu dapat saja Bapepam langsung menggunakan kewenangan penyidikan (jika ada alasan untuk itu) tanpa harus sebelumnya melakukan tindakan yang tergolong ke dalam kewenangan pemeriksaan.

Pengertian penyidikan3 di bidang pasar modal adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang diperlukan sehingga dapat membuat terang tentang tindak pidana di bidang pasar modal yang terjadi, menemukan tersangka, serta mengetahui besarnya kerugian yang ditimbulkannya.

Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Bapepam diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang pasar modal berdasarkan ketentuan dalam KUHAP. Penyidik tersebut berwenang untuk:

a.    menerima laporan, pemberitahuan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana di bidang pasar modal;

b.    melakukan penelitian atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang pasar modal;

c.    melakukan penelitian terhadap pihak yang diduga melakukan atau terlibat dalam tindak pidana di bidang pasar modal;

d.    memanggil, memeriksa, dan  meminta keterangan dan  Barang bukti dari setiap pihak yang disangka melakukan, atau sebagai saksi dalam tindak pidana di bidang pasar modal;

e.    melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan  dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang pasar modal;

f.     melakukan pemeriksaan di setiap tempat tertentu yang diduga terdapat setiap Barang bukti pembukuan, pencatatan, dan  dokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap Barang yang dapat dijadikan bahan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang pasar modal;

g.    memblokir rekening pada bank atau lembaga keuangan lain dari pihak yang diduga melakukan atau terlibat dalam tindak pidana di bidang pasar modal;

h.    meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tinclak pidana di bidang pasar modal; dan 

i.      menyatakan saat dimulai (Ian dihentikannya penyidikan.

 

Dalam rangka mengadakan penyidikan sebagaimana di atas, Bapepam mengajukan permohonan izin kepada Menteri untuk memperoleh keterangan dari Bank tentang keadaan keuangan tersangka pada bank sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang perbankan.

Penyidik wajib memberitahukan dimulainya penyidikan dan  menyam­paikan hasil penyidikannya kepada penuntut umum sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam KUHAP.

Bila kita bandingkan dengan ketentuan tentang penyidikan dalam KUHAP, pengertian penyidikan dalam Undang-Undang Pasar Modal ini hampir sama. Pengertian penyidikan menurut KUHAP adalah serangkaian tindakan Penyidik dalam hal dan  menurut cara yang diatur dalam KUHAP untuk mencari serta mengumpulkan bukti, yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan  guna menemukan tersangkanya.

Sedangkan yang bertugas sebagai Penyidik adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia serta Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang. Berdasarkan ketentuan ini, Penyidik dalam Undang-Undang Pasar Modal dapat dikategorikan sebagai Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang­undang. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Penyidik dalam Undang­Undang Pasar Modal adalah sebagai Penyidik Pembantu.

Walaupun penyidik dalam UU Pasar Modal tidak memiliki kewenangan untuk melakukan penahanan, namun berdasarkan Pasal 11 KUHAP Penyidik Pembantu tersebut dapat melakukan penahanan atas pelimpahan wewenang dari Penyidik (POLRI).

 

Kewenangan Bapepam Sebagai Lembaga Pemberi Sanksi

Selain dari sanksi pidana dan  perdata, hukum pasar modal juga mengintro­dusir sanksi-sanksi lain, yakni dalam kelompok yang disebut dengan sanksi administratif, pihak yang mempunyai wewenang untuk menjatuhkan sanksi administratif terhadap pelanggaran hukum di bidang pasar modal adalah Bapepam. Bapepam memiliki kewenangan untuk mengenakan sanksi ad­ministratif atas pelanggaran Undang-Undang Pasar Modal atau peraturan pelaksanaannya yang dilakukan oleh:

a. setiap pihak yang memperoleh izin dari Bapepam;

b. setiap pihak yang memperoleh persetujuan dari Bapepam; c. setiap pihak yang melakukan pendaftaran kepada Bapepam.

Selanjutnya ketiga pihak tersebut dapat diperinci secara (ebih konkret

menjadi 25 golongan sebagai berikut: Emiten;

a.    Perusahaan Publik;

b.    Bursa Efek;

c.    Lembaga Miring dan  Penjaminan;

d.    Lembaga Penyimpanan dan  Penyelesaian;

e.    Reksa Dana;

f.     Perusahaan Efek;

g.    Penasihat Investasi;

h.    Wakil Penjamin Emisi Efek;

i.      Wakil Perantara Pedagang Efek;

j.      Wakil Manajer Investasi;

k.    Biro Administrasi Efek;

l.      Kustodian;

m.   Wali Amanat;

n.    Notaris;

o.    Konsultan Hukum;

p.    Akuntan Publik;

q.    Penilai;

r.     Pihak-pihak lain yang memperoleh izin/persetujuan/pendaftaran dari Bapepam;

t.     Direktur dari Perusahaan Publik;

u. Komisaris Perusahaan Publik;

v. Pemegang Minimal 5% Saham Perusahaan Publik;

w. Direktur dari Emiten;

x. Komisaris dari Emiten;

y. Pemegang Minimal 5% Saham dari Emiten.

 

Sanksi administratif yang dapat dijatuhkan oleh Bapepam dapat berupa: a. Peringatan tertulis;

b. Denda, yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu; c. Pembatasan kegiatan usaha;

d. Pembekuan kegiatan usaha;

e. Pencabutan izin usaha;

f. Pembatalan persetujuan; dan

g. Pembatalan pendaftaran.

 

Selanjutnya PP No. 45 Tahun 1995 dalam Pasal 63 juncto Pasal 64 memperinci tentang hukuman denda administrasi, yaitu terdiri dari empat kategori sebagai berikut:

1) Denda Rp. 500.000 (lima ratus ribu rupiah) per hari dengan maksimum

Rp. 500.000.000 (lima ratus juta rupiah);

2) Denda Rp. 100.000 (seratus ribu rupiah) per hari dengan maksimum

Rp. 100.000.000 (seratus juta rupiah);

3) Denda maksimum Rp. 500.000.000 (lima ratus juta rupiah); 4) Denda maksimum Rp. 100.000.000 (seratus juta rupiah);

Tentang masing-masing sanksi pidana, sanksi perdata, dan  sanksi administratif tentunya berlaku prinsip hukum yang umum dipraktekkan yakni ketiga jenis sanksi tersebut dapat (tetapi bukan harus) berlaku secara kumulatif sekaligus.

Bila dibandingkan dengan ketentuan hukum pidana di Indonesia (KUHP), tidak dikenal adanya sanksi administratif. Dalam Pasal 10 KUHP ditentukan sanksi (hukuman) itu adalaha

a. Hukuman Pokok: hukurnan mati, hukuman penjara, hukuman kurungan, hukuman denda.

b. Hukuman Tambahan: pencabutan beberapa hak tertentu, perampasan Barang yang tertentu, pengumuman putusan hakim.

Hukuman yang tercantum dalam KUHP tersebut dapat dijatuhkan baik untuk peristiwa kejahatan ataupun pelanggaran. Untuk pelanggaran, biasanya hukuman yang dijatuhkan berupa hukuman kurungan atau denda. Hampir tidak pernah atau jarang sekali hukuman mati atau hukuman penjara dijatuhkan terhadap peristiwa pelanggaran.

Menurut UU Pasar Modal, Bapepam hanya berwenang untuk men­jatuhkan sanksi administratif bagi pelanggaran saja, sebagaimana dijelaskan di atas. Sedangkan hukuman yang tercantum dalam KUHP yang menjatuhkannya adalah hakim setelah melalui proses persidangan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sanksi administratif yang terdapat dalam UU Pasar Modal tersebut tidaklah sama dengan ketentuan tentang sanksi (hukuman) dalam Pasal 10 KUHP.

Kewenangan Bapepam untuk menjatuhkan sanksi administratif terhadap peristiwa pelanggaran di Pasar Modal tidaklah salah. Sebab berdasarkan asas Lex specialis derogat lex generalis (ketentuan hukum yang khusus mengenyampingkan ketentuan hukum yang umum) tindakan Bapepam itu dapat dibenarkan dan  telah sesuai.

 

Kesimpulan;

Kelemahan UU No. 8 Tahun 1995

a. Kedudukan Bapepam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 memberikan kedudukan kepada Bapepam sebagai lembaga yang "band" dan  "ambivalen". Di satu pihak ke pundak Bapepam dibebankan tugas yang luar biasa besar, tetapi di pihak lain kedudukannya sebagai lembaga birokrasi justru sangat kecil, yakni hanya salah satu bagian dari jajaran Depar­temen Keuangan. Bapepam berada di bawah dan  bertanggungjawab kepada Menteri Keuangan (Pasal 3 Ayat (2) UU No. 8 Tahun 1995). Menurut kami inilah salah satu sebab mengapa Bapepam dalam menjalankan tugasnya sering terkesan ragu-ragu dan  tidak tuntas.

Tidak jelas alasannya mengapa Bapepam tidak diberikan kedudukan sebagai lembaga independen non departemental yang bertang­gt.mgjawab langsung kepada Presiden, seperti kedudukan Bank In­donesia, BKPM, BKKBN dan sebagainya.

b.   Sistem Tanggungjawab Yuridis

Salah satu persoalan yang cukup rumit dalam bidang hukum pasar modal adalah berkenaan dengan siapakah yang harus bertang­gungjawab secara yuridis jika terjadi hal-hal yang merugikan pihak­pihak tertentu atau merugikan kepentingan umum. Satu dan lain hal dikarenakan begitu banyak pihak yang terlibat di pasar modal, yang ada kemungkinan banyak pihak pula yang ikut memberi kontribusi kesalahan secara yuridis sehingga terjadi hal-hal yang merugikan pihak lain tersebut.

Berdasarkan atas peraturan perundang-Umdangan yang berlaku, maka ada beberapa sistem tanggungjawab yang dikenal dalam hukum pasar modal, yaitu:

a) tanggungjawab administrasi, b) tanggungjawab pidana,

c) tanggungjawab perdata konvensional, d) tanggungjawab secara renteng.

 

Semua jenis tanggungjawab tersebut bukanlah merupakan hal baru melainkan sudah dipraktekkan di pasar modal jauh-jauh hari sebelum UU No. 8 Tahun 1995 diberlakukan. Hanya saja dengan undang­undang ini, ketentuannya menjadi semakin tegas dengan sanksi­sanksinya yang lebih berat.

Namun demikian, undang-undang ini masih menganut sistem tang­gungjawab dalam arti yang konvensional bukan sistem tanggungjawab mutlak (strict liability), sehingga akan menyulitkan para pihak yang merasa dirugikan untuk membuktikan kesalahan si pelakunya.

Strict liability atau disebut juga sistem tanggungjawab mutlak memang merupakan sistem yang tidak konvensional dalam sistem hukum Indo­nesia, yang dimaksud dengan strict liability adalah suatu sistem pertanggungjawaban yang dibebankan kepada seseorang tanpa melihat atau mengkaitkan kepada kesalahan pelaku. jadi, jika seseorang telah terbukti melakukan suatu perbuatan yang dilarang oleh undang-undang, maka dia langsung menjadi pemikul tanggungjawab yuridis, tanpa. mempedulikan apakah ada unsur kesengajaan, kelalaian, patut mengetahui, patut menduga dan  sebagainya.

c. Dalam undang-undang ini tidak ada ketentuan mengenai:

a) Kapan atau dalam hal bagaimanakah suatu badan hukum itu dikatakan telah melakukan tindak pidana pasar modal.

b) Terhadap siapa pertanggungjawaban pidana itu dapat dikenakan, apakah terhadap pengurus/pimpinan badan hukum, terhadap orang yang diperintah, terhadap badan hukum atau terhadap ketiganya. Bila kita melihat dari jenis pidananya antara lain kurungan atau penjara, jelaslah itu ditujukan kepada orang.

c) Sanksi adminsitratif tidak diintegrasikan ke dalam pertanggung­jawaban pidana yang dapat dijatuhkan oleh hakim tetapi oleh Bapepam. Maksudnya sanksi itu tidak dijadikan sebagai salah satu bentuk sanksi/pertanggungjawaban pidana sehingga tidak dapat diterapkan oleh hakim sekiranya pelanggaran terhadap undang-undang pasar modal diajukan sebagai perkara pidana.

d) Pembagian tindak pidana berupa kejahatan dan  pelanggaran dalam undang-undang pasar modal tidak mencantumkan aturan khusus mengenai akibat hukum dari dibedakannya kedua jenis tindak pidana ini. Berarti berdasarkan Pasal 103 KUHP berlaku aturan umum KUHP yang antara lain menyatakan bahwa "percobaan" dan  "pembantuan" terhadap pelanggaran tidak dapat dipidana (Pasal 54 dan  60 KUHP). Apakah memang demikian konsekuensi hukum yang dikehendaki oleh pembuat undang-undang pasar modal ini tidak dapat kita ketahui dengan pasti. Namun bila dilihat dari substansi dan  sanksi yang diancamkan terhadap pelanggaran pasar modal cukup berat yaitu maksimum 1 tahun dan  denda maksimum satu miliar rupiah, maka percobaan atau pembantuan terhadap pelanggaran pasar modal itu seyogyanya patut dipidana.

e) Terlebih lagi bila dilihat.dari sifat khusus tindak pidana pasar modal yang pada hakikatnya merupakan tindak pidana di bidang ekonomi atau keuangan, berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi (UU Drt. No. 7 tahun 1955), percobaan dan  pembantuan terhadap tindak pidana ekonomi yang berbentuk pelanggaran dapat dipidana.

d. Tidak adanya ketentuan tentang arbitrase sebagai lembaga penyelesaian sengketa.

Pengadilan merupakan sarana yang disediakan oleh negara untuk menyelesaikan sengketa antar subjek hukum dalam masyarakat tertentu. Kebutuhan penyelesaian sengketa di antara masyarakat berbeda satu sama lain. Pelaku pasar modal umumnya menghendaki agar penyelesaian sengketa dapat dilakukan secara cepat, didasarkan pada keahlian dan  tertutup. Bagi mereka penyelesaian sengketa melalui pengadilan dianggap tidak efisien dan  dihinggapi berbagai kelemahan.'

Kelemahan itu pertama, pengadilan terkadang kurang responsif terhadap sengketa yang muncul sejalan dengan perkembangan baik masyarakat maupun teknologi. Kedua, penyelesaian melalui pengadilan dianggap terlalu birokratis mengingat harus melewati tahapan yang panjang sebelum suatu putusan menjadi putusan yang tetap dan dapat dieksekusi; sementara pelaku pasar modal menghendaki putusan yang cepat. Ketiga, dengan banyaknya tumpukan perkara, pelaku pasar modal pesimis bahwa perkara mereka akan mendapat prioritas untuk diselesaikan. Dengan kata lain, mereka tidak dapat mengendalikan kapan perkara mereka dapat diselesaikan, semua sangat tergantung pada birokrasi pengadilan.

Mengingat tiga kelemahan ini, dalam dunia bisnis telah dikembangkan suatii lembaga penyelesaian sengketa di luar pengadilan dengan ciri yang sama dengan pengadilan. Lembaga ini dikenal sebagai arbitrase.

Terdapat beberapa keuntungan yang diperoleh dengan menyelesaikan suatu sengketa melalui arbitrase, yaitu:

a) Proses yang relatif lebih cepat mengingat putusan arbitrase tidak dapat dibanding;

b) Dari segi publisitas lebih terjamin agar sengketa tersebut tidak dapat dihadiri oleh siapa saja ataupun dipublikasikan secara luas;

c) Mengingat para arbiter dipilih oleh para pihak yang bersengketa dan  memiliki keahlian di bidangnya maka tidak perlu diragukan putusan yang diambil benar-benar mencerminkan keadilan dan  keahlian.

 

Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal memang mencantumkan fungsi dan  kewenangan Bapepam untuk melakukan pembinaan, pengaturan dan  pengawasan kegiatan pasar modal, namLm tidaklah dapat dikatakan bahwa Bapepam di sini berfungsi sebagai lembaga arbitrase untuk menyelesaikan sengketa antara para pihak.

Di negara-negara maju, badan yang melaksanakan arbitrase sudah mencapai tahapan spesialisasi, di samping arbitrase yang menangani sengketa-sengketa komersial umum. Berbagai badan arbitrase didirikan secara khusus untuk menyelesaikan sengketa-sengketa bisnis tertentu. Sebagai contoh, ada badan arbitrase yang mengkhususkan diri pada masalah-masalah pengangkutan laut, asuransi dan perdagangan komoditi yang ada di London, New York dan Hamburg.

Dalam konteks tersebut arbitrase yang secara khusus menangani sengketa dalam kegiatan pasar modalpun dikenal. Di Amerika Serikat, misalnya, pada tahun 1977 perusahaan sekuritas membentuk Security Industry Conference on Arbitration (SICA).70 Selanjutnya SICA mengeluarkan hukum acara yang diberlakukan dengan nama Uniform Code of Arbitration." Demikian pula National Association of Securi­ties Dealers (NASD) juga mendirikan lembaga arbitrase.

 

e. Kelemahan lain dari Undang-Undang ini menurut kami adalah terdapat beberapa pasalnya yang memerlukan Peraturan Pemerintah (PP) sebagai peraturan pelaksananya. Diperlukan sebanyak 14 Peraturan Pemerintah yang harus dikeluarkan agar kegiatan di Pasar Modal dapat berjalan dengan lancar.

 


Hak Asasi Manusia Dalam Informed Consent

 

Pendahuluan

Masalah Hak Asasi Manusia (HAM) saat ini sudah mendunia daft diakui keberadaannya oleh negara-negara di dunia. Dalam pemberian pelayanan kesehatan kepada masyarakat, terdapat hal yang berkaitan dengan HAM di dalam doktrin informed consent.

Di dalam Universal Declaration of Human Rights (Article 19) dan  di dalam Undang-Undang RI No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; Bab II Pasal 14 disebutkan bahwa setiap orang berhak untuk memperoleh informasi. Kemudian di dalam The Declaration of Lisbon dimuat pula lentang hak-hak pasien, di antaranya hak untuk menentLikan nasibnya sendiri dengan menerima atau menolak pengobatan yang akan diberikan setelah mendapatkan informasi yang cukup dan dapat dimengerti.

Dalam Surat Keputusan Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Nomor 31 9/PB/A.4/88 tahun 1988 disebutkan Pernyataan Ikatan Dokter Indonesia tentang Informed Consent. Di Indonesia dalam Undan-undang Nb, 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan Pasal 53 (2) beserta penjelasannya terdapilt kewajiban tenaga kesehatan untuk mematuhi standar profesi dan menghormati•Fisk pasien. Informed consent atau dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 585/Menkes/Per/IX/1989 tanggal 4 September 1989 disebut dengan istilah Persetujuan Tindakan Medik yang dapat didefinisikan sebagai: ijin atau pernyataan setuju dari pasien yang diberikan dengan bebas dan rasional, sesudah mendapatkan informasi dari dokter dan dimengertinya (persetujuan berdasarkan informasi).

Hal ini ditindak lanjuti 10 tahun kemudian dengan Keputusan Direktur Jenderal Pelayanan Medik Nomor: HK.00.06.3.5.1866 tanggal 21 April 1999 tentang Pedoman Persetujuan Tindakan Medik (informed consent). Menyangkut hak dan kewajiban, telah terbit Surat Edaran Direktur Jenderal Pelayanan Medik Nomor: YH.02.04.3.5.2504 tentang Pedoman Hak dan Kewajiban Pasien, Dokter dan  Rumah Sakit tahun 1997.

Di negara-negara lain juga dikenal informed consent, misalnya di Belanda informed consent disebut gerichte toestemming, di Jerman disebut aufk0rungspflicht dan di Indonesia dikenal istilah Persetujuan Tindakan Medik (Pertindik).

 

Prinsip Dasar Informed Consent

Pada dasarnya informed consent merupakan proses komunikasi. Dokter yang akan melakukan tindakan invasif, baik sebagai prosedur diagnostik atau pun prosedur terapetik wajib menjelaskan dan mendiskusikan segala sesuatu yang berkaitan dengan tindakan tersebut kepada pasien. Sebaliknya, pasien mempunyai kesempatan untuk bertanya dan memahami tindakan tersebut, sehingga dia dapat membuat keputusan dan memberikan persetujuannya. Jadi dalam proses komunikasi ini informasi diberikan oleh dokter, cliterima oleh pasien dan  didokumentasikan dalam lembar informed consent. Dalam komunikasi antara dokter dan pasien ini perlu suatu kesamaan bahasa (dokter menjelaskan sesuai pengetahuan pasien), agar informasi dapat diterima secara benar.

Informed Consent merupakan syarat terjadinya suatu transaksi terapetik, karena transaksi terapetik itu bertumpu pada dua macam hak asasi yang merupakan hak dasar manusia, yaitu hak untuk menentukan nasibnya sendiri (the right to self-determination) dan  hak atas informasi (the right to information)."

Dengan kedua hak dasar tersebut, dokter dan  pasien bersama sarna menemukan terapi yang paling tepat yang akan digunakan. Cordozo, seorang hakim agung Amerika Serikat mengemukakan, bahwa:

"... every human being of adult years and sound mind has a right to

determine what shall be done with his own body."

Pasien berkepentingan untuk menentukan apa yang akan dilakukan terhadap tubuhnya. Hak ini berarti suatu kewenangan untuk berbuat atau tidak berbuat, sehingga pasien mempunyai kebebasan untuk menggunakan atau tidak menggunakannya.

Otonomi adalah prinsip yang mengakui hak setiap pribadi untuk memutuskan sendiri mengenai masalah kesehatan, kehidupan serta kematiannya.

The right of self-determination (also known as the principle of autonomy) is the central element in the moral issue of patients rights. The patient, as an individual person, has the moral right-to determine what is good for himself. This right is an important consideration in the discussion of patients rights in the medical context:

1. right to informed consent;

2. right to informed decision;

3. right to informed choice;

4. right to refusal of treatment.

 

Pasien memiliki hak atas informed consent, memberikan suatu persetujuan terhadap tindakan diagnostik/terapetik yang akan dilakukan terhadap dirinya setelah mendapat informasi, memiliki hak untuk mengambil keputusan setelah mendapat informasi, memiliki hak untuk memilih tindakan diagnostik/terapetik bagi dirinya setelah mendapat informasi dan memiliki hak untttk menolak suatu tindakan terapetik.

 

Bagaimana di Indonesia?

Peraturan tentang informed consent berikut pedoman pelaksanaannya sudah ada. Namun tampaknya pelaksanaannya "belum sesuai" dengan yang diharapkan. Dokter di satu pihak belum sepenuhnya melaksanakan kewajibannya untuk memberi informasi kepada pasien setiap akan melakukan suatu tindakan invasif diagnostik maupun terapetik,, sementara pasien di pihak yang lain belum sepenuhnya mengetahui hak-haknya.

Bahkan akhir-akhir ini kasus ketidakpuasan pasien dan atau keluarganya terhadap pelayanan dokter di rumah sakit tampak semakin meningkat. Oosten (dalam Guwandi, 1995) menyebutkan, bahwa masalah informasi dapat berawal dari: 1) Sama sekali tak diberikan informasi (absence of information); 2) Informasi yang diberikan tidak cukup (insufficient informa­tion); 3) Informasi yang tidak benar (incorrect information); dan fenomena baru yaitu 4) Informasi yang berlebihan (over-information)."

Pada tahun 1988 Pengadilan Negeri Sukabumi telah memeriksa dan mengadili perkara Muhidin yang berkaitan dengftrl informed consent. Dalam harian Kompas, 1 Nopember 1997, H (62 tahun) yang dilakukan operasi buah zakar, namun yang menanda tangani informed consent bukan yang bersangkutan melainkan anak-anaknya, juga mengajukan gugatan. Dalam majalah Tempo edisi Maret 2004 serangkaian gugatan pasien terhadap dokter maupun rumah sakit muncul ke permukaan. Tampaknya fenomena ini akan semakin meningkat seiring dengan peningkatan pendidikan dan  kesadaran masyarakat akan hak-haknya. Oleh karena itu perlu introspeksi bagi kalangan profesi dokter dalam melakukan tugasnya agar senantiasa berpegang pada Kode Etik Kedokteran, Standar Profesi Medis dan menghormati serta,memenuhi kewajibannya terhadap hak-hak pasien, yang semuanya ini juga berdasar pada pemenuhan hak-hak asasi manusia.

Menurut Muladi, perlunya diciptakan Standar Penegakan Hukum, pembenahan organisasi IDI, perhatian manajemen rumah sakit secara kelembagaan dan usaha-usaha individual dari para tenaga medis, khususnya dokter dengan senantiasa memberikan pelayanan kesehatan yang berfokus pada kepentingan pasien.

Dewasa ini muncul gagasan dari IDI untuk mengatur penyelenggaraan Praktik Kedokteran, yang dituangkan dalam RUU Praktik Kedokteran, yang terdiri atas 12 bab dan 181 pasal, bertujuan untuk (RUU Pasal 3):

1.    memberikan perlindungan kepada penerima jasa pelayanan kesehatan;

2.    mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan yang diberikan oleh tenaga medis

3.    memberikan kepastian hukum kepada penerima dan penyelenggara pelayanan kesehatan.

RUU Praktik Kedokteran memuat .2 (dua) hat penting, yaitu pem­bentukan Konsil Kedokteran dan  Peradilan diharapkan di masa mendatang Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI), standar pelayanan medis dan good clinical practice bagi para dokter benar-benar dapat dipenuhi demi kepentingan pasien dan keluarganya.

 

 


Perlindungan Hak Asasi Manusia Terhadap Pengetahuan Tradisional di Indonesia

 

Pendahuluan

Diberlakukahnya perjanjian TRIPs (Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights) pada kerangka WTO (World Trade Organization) menimbulkan dampak bagi negara-negara berkembang, antara lain dengan maraknya pencurian Hak Kekayaan Intelektual yang berasal dari pengetahuan tradisional masyarakat negara berkembang yang diambil dan dipatenkan oleh negara maju. Indonesia menjadi salah satu negara berkembang yang banyak mengalami pencurian pengetahuan tradisional, karena lemahnya sistem hukum HKI Indonesia dalam melindungi kepemilikan pengetahuan tradisional.

Aturan Indonesia mengenai HKI dibuat berdasarkan aturan TRIPs-WTO, yang hanya mengakui unsur penemuan modern yang termasuk dalam kategori HKI. Dalam aturan ini cerita, legenda, pengetahuan tradisional dalam berkesenian (misalnya wayang, desain kain tradisional, desain arsitektur tradisional), budaya (misahiya teknik tenun tradisional), bercocok tanam (ladang berpindah), mengidentifikasikan tanaman (seperti halnya tanaman obat-obatan), meracik tanaman menjadi suatu produk (misalnya makanan tradisional atau obat tradisional), semuanya tidak termasuk objek HKI. Artinya semua orang dapat mencontoh, memakai ataupun meniru produk-produk di atas tanpa perlu membayar sejumlah royalti.

Sebagai contoh, jika Walt Disney Company akan memproduksi film yang berasal dari cerita legenda "Bawang Merah-Bawang Putih" dan cerita legenda "Timun Mas", maka mereka tidak perlu pusing untuk membayar royalti legenda tersebut. Sebaliknya, ketika sebuah perusahaan mainan cfi Indonesia hendak memproduksi salah satu karakter ciptaan Walt Disney, seperti halnya karakter Donald Bebek, Guffy dan Mickey Tikus, maka perusahaan tersebut wajib membayar sejumlah royalti karena produk Wak Disney tersebut merupakan produk yang dilindungi oleh HKI.

Contoh lain adalah industri meubel ukiran di Jepara Jawa Tengah Sudah menjadi pengetahuan Mum bahwa ukiran Jepara mempunyai ciri khas tersendiri. Tetapi hak cipta dan  hak paten ukir-ukiran itu dipegang oleh para pengusaha dari Australia, Kanada, maupun Amerika Serikat. Jadi para pengerajin ukiran di )epara, hanya sekedar buruh yang bekerja sesuai pesanan pengusaha pemegang hak paten tersebut. Sementara porsi keuntungan terbesar dari ekspor meubel jepara lebih banyak dinikmati para pemegang paten tersebut. Hal sama juga terjadi pada perusahaan meubel rotan di Cirebon. Walaupun pesanan dari Amerika Serikat semakin meningkat, pengusaha mulai mengeluh, karena margin keuntungan yang sedikit termakan kewajiban untuk membayar royalti. Hal ini terjadi karena teknologi menekuk rotan sudah dipatenkan di Amerika, sehingga setiap meubel rotan yang menggunakan teknologi tersebut, ketika masuk ke Amerika, wajib membayarkan royalti ke pemegang paten tekuk rotan tersebut.

Penjarahan pengetahuan tradisional oleh perusahaan-perusahaan asing, dengan merubah proses dan  produknya, dikenal sebagai bio-piracy (pembajakan hayati).2 Hal ini terjadi dengan rempah-rempah Indonesia. Perusahaan kosmetik )epang Shiseido Co. Ltd, telah memiliki 9 buah paten atas tanaman yang berasal dari berbagai bahan rempah di Indonesia, seperti kayu rapet wangi, kemukus, lempuyang, beluntas, pulowaras, diluwih, cabai jawa, brotowali, kayu manis dan  bunga cangkok,' yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia sebagai rempah, obat dan  kosmetik. Dua di antaranya yang dipatenkan di Jepang adalah Paten No. JP 10316541, tanggal 3 Maret 1998 dengan judul perawatan untuk kepala, dengan subjek paten kayu rapet wangi dan  Paten No. JP 10007535, tanggal 12 Januari 1998 dengan judul tonik untuk rambut dan  memperlambat efek penuaan, dengan subjek paten cabai jawa.

Desain batik tradisional juga telah didaftarkan oleh orang asing di Belanda, )erman, )epang, Amerika Serikat dan  Malaysia, sehingga para pengusaha batik Indonesia tidak dapat mengekspor produk batiknya ke luar negeri. Padahal desain batik tradisional cukup banyak seperti desain batik di sepanjang Pesisir Utara Pulau Jawa dari Indramayu, Cirebon, Tegal, Pekalongan, Kudus, Rembang, Lasem, Tuban, Gresik, Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan  Sidoarjo. Jalur Tengah dan  Selatan Pulau jawa, desain batik dihasilkan di Mojokerto, Tulungagung, Trenggalek, Ponorogo, Pacitan, Wonogiri, Surakarta, Klaten, Yogyakarta, Banyumas dan Tasikmalaya.s Desain batik tradisional yang dihasilkan sangat banyak, misalnya Banyumas mempunyai desain batik tradisional Banyumasan sebanyak 115 desain.

Tempe sebagai makanan tradisional Jawa juga telah dipatenkan, tercatat ada 19 Paten tentang tempe, di mana 13 buah Paten adalah milik Amerika Serikat, yaitu 8 Paten dimiliki oleh Z-L Limited Partnership, 2 Paten dimiliki oleh Cyorgy mengenai minyak tempe, 2 Paten oleh Pfaff mengenai alat inkubator dan cara membuat bahan makanan dengan bahan dasar tempe, dan 1 Paten dimiliki oleh Yueh mengenai pembuatan makanan ringan dengan campuran tempe. Sedangkan Jepang memifiki 6 buah Paten, yaitu 4 Paten mengenai pembuatan tempe, 1 Paten mengenai tempe sebagai antioksidan dan 1 Paten mengenai kosmetik dengan menggunakan bahan tempe yang diisolasi. Paten lain untuk Jepang disebut Tempeh, temuan Nishi dan Inoue, yang diberikan pada 10 Juli 1986. Tempe tersebut dibuat dari limbah susu kedelai dicampur tepung kedele, tepung terigu, tepung beras, tepung jagung, dekstrin, Na-kaseinat dan putih telur.

Seorang disainer perhiasan perak dari Bali, Made Desak Suarti digugat di Pengadilan Distrik Bagian Utara New York Amerika Serikat oleh Lois Hill, seorang desainer perhiasan dari New York. Menurut Hill, pemilik Ancient Modern Art, Suarti telah mencuri enam desain perhiasan ciptaannya, yang terdiri atas desain tiga anting-anting, dua gelang dan satu kalung. Menurut Hill, kasus penjiplakan itu telah mengakibatkan perusahaannya merugi sebesar 600 ribu dollar AS.

Suarti pemilik Balinese Inc yang telah memasuki pasar Amerika Serikat sejak 1973 dan sekarang menjadi pemimpin pasar untuk produk perhiasan perak di negara tersebut, menolak tuduhan tersebut karena menurutnya apa yang diciptakannya merupakan desain yang sudah diwariskan turun temurun. Misalnya desain kalung yang dikatakan me.ncuri desain Hill, merupakan desain dengan corak Borobudur. Selain itu, -menurut Suarti mendapatkan hak paten di AS memakan biaya besar, mencapai 600 dollar AS per satu aplikasi paten.

Kasus gen masyarakat Nias dan Badui yang dilakukan oleh Lembaga Eijkman adalah institusi yang terlibat dalam Human Genom Project untuk pemetaan gen manusia. Ada laporan bahwa salah satu masyarakat sasaran pengumpulan sampel adalah suku asli di Nias yang diduga mempunyai ketahanan terhadap serangan malaria. Ada pula informasi tidak resmi bahwa pengumpulan sampel juga dilakukan di kalangan masyarakat Badui, dengan menggunakan kegiatan pelayanan kesehatan sebagai kedok. Kegiatan serupa dilaporkan dilakukan di Kalimantan pada komunitas suku Dayak oleh Uni­versitas Harvard. Seperti diketahui pemetaan gen manusia tersebut hampir selesay dan  beberapa perusahaan bioteknologi seperti Celera Genomics sedang mengincar pematenan gen atau DNA manusia.

Pengetahuan tradisional muncul menjadi masalah hukum baru, disebab­kan karena belum adanya hukum domestik yang mampu memberikan perlindungan hukum secara optimal terhadap pengetahuan tradisional, yang saat ini banyak dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Di samping itu, di tingkat internasional pengetahuan tradisional ini belum menjadi suatu kesepakatan internasional untuk diberikan perlindungan hukum secara maksimal.

Perlindungan Pengetahuan Tradisional Dalam Kovenan Internasional Tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya Ancaman terhadap hak asasi manusia bukan sekedar ancaman atas hak sipil dan  politik, melainkan juga ancaman terhadap hak-hak sosial, maupun hak-hak budaya. Oleh karena itu, Komisi Hak-hak Asasi Manusia meng­adopsi Deklarasi Universal Tentang Hak-hak Asasi Manusia, dan  kemudian melengkapinya dengan dokumen yang diadopsi dari sejumlah kovenan dan  protokol, menjadi suatu Kovenan Internasional~ tentang Hak-hak ekonomi, Sosial dan  Kebudayaan, diadopsi pada 16 Desember 1975 dan  berlaku 3 Januari 1976.

Sesungguhnya bangsa-bangsa maupun rakyat bekas jajahan telah dijajah kembali dengan munculnya WTO. Proses penjajahan tersebut dilandaskan pada suatu ideologi yang dikenal dengan neo liberalisme. Neoliberalisme ditandai dengan dijalankannya pasar bebas yang dianggap akan membawa efisiensi dalam hal alokasi sumber daya alam yang langka. Itulah mengapa neoliberalismetidak ingin pemerintah mengambil peran yangdominan, bahkan kalau perlu campur tangan pemerintah dalam sistem ekonomi dihapuskan.

Secara spesifik, pokok-pokok pendirian neo liberal antara lain, menghapuskan ideologi kesejahtaraan bersama dan  pemilikan komunal, seperti yang masih banyak dianut oleh masyarakat tradisional, menurut mereka kesejahteraan dan  pemilikan bersarrra akan menghalangi pertumbuhan. Akibat dari prinsip tersebut adalah serahkan manajemen sumber daya alam pada ahlinya dan  bukan kepada masyarakat tradisional, yang tidak mampu mengelola sumber daya alam secara efisien dan  efektif.

Bagi negara-negara berkembang Putaran Uruguay menimbulkan banyak masalah. Kerugian negara semakin akut dengan diterapkannya persetujuan tentang TRIPS oleh WTO. Setiap negara diwajibkan memperkenalkan IPR (Hak Milik Intelektual) yang disesuaikan dengan standar negara-negara utara. TRIPS akan menyebabkan mengalirnya dana dalam bentuk royalti, bayaran lisensi ke perusahaan transnasional. Persetujuan TRIPS juga membuka pintu untuk mematenkan bentuk-bentuk hidup seperti bibit genetis yang dikembangkan oleh para petani dari masyarakat adat. Sementara itu kebanyakan negara-negara berkembang telah membebaskan produk, proses pertanian, dan obat-obatan dari undang-undang hak paten nasional mereka. Tetapi dengan pemberlakukan TRIPS, segala sesuatu harus tunduk pada IPR. Dengan hak paten tersebut, harga obat-obatan diharapkan meningkat tajam di banyak negara. Dan lagi-lagi hal ini hanya mengLmtungkan perusahaan transnasional dan  negara-negara maju.

Perlindungan terhadap pengetahuan tradisional termuat dalam Kovenan Internasional Tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan  Budaya. Seperti halnya Pasal 15, yaitu hak menikmati kehidupan kultural dan  manfaat kemajuan ilmiah."

1    Negara peserta kovenan ini mengakui hak tiap orang:

a. untuk ikut mengambil bagian dalam kehidupan kultural;

b. untuk menikmati manfaat kemajuan ilmiah dan  aplikasinya;

c. untuk mendapat keuntungan dari perlindungan kepentingan moral

dan  meterial yang berasal dari hasil ilmiah, pemberantasan buta

huruf ataupun benda artistik apapun yang ia ciptakan.

2. Langkah-langkah yang diambil negara peserta dalam kovenan ini adalah untuk mencapai realisasi penuh dari hak ini, sebaiknya meliputi langkah­langkah penting untuk konservasi, perkembangan dan  penyebaran ilmu dan  budaya;

3. Negara peserta dalam kovenan ini berusaha untuk menghargai kebe­basan yang sangat diperlukan untuk penelitian ilmiah dan aktivitas kreatif;

4. Negara peserta dalam kovenan ini mengakui manfaat yang tiru dari dorongan dan  perkembangan kontak internasional dan  kerja sama dalam bidang ilmiah dan kultural.

 

 

 

Contoh pelanggaran terhadap Pasal 15:

di negara atau salah satu bagian suatu negara, terdapat keputusaan, halanga,h, terhadap penggunaan bahasa yang dibicarakan oleh sebagian besar populasi, baik minoritas ataupun mayoritas;

hak ilmuwan dan seniman untuk melakukan perjalanan dan berko­munikasi, serta tukar menukar informasi atau ide melintasi batasan dilarang secara tidak adil;

larangan negara untuk memproduksi, menampilkan, mempublikasikan sesuatu yang mengekspresikan ide yang bertentangan dengan yang digambarkan pemerintah, negara ataupun media pemerintah.

 

Pasal kovenan yang menjamin hak kelompok atau bersama. Pasal 15 menjamin hak kekayaan intelektual terhadap penemu, seniman dan penulis, sehingga mereka mendapatkan keuntungan dari nilai ekonomi dan kultural yang berasal dari ciptaan dan inovasi mereka. Pasal 15 juga dapat diinter­pretasikan untuk melindungi hak kekayaan intelektual bersama atau pengetahuan tradisional, pada bidang agrikultural atau komunitas pedesaan lainnya. Tujuan Pasal 15 ini dapat dilihat, saat kita menghubungkannya dengan Pasal 1 dan 25 Kovenan.

Pasal 1, yaitu memuat hak penduduk untuk menentukan nasib sendiri. Semua penduduk memiliki hak menentukan nasib sendiri. Berdasarkan hak tersebut, mereka bebas menentukan status politik dan mengembangkan hak ekonomi, sosial dan kultural mereka;

Semua orang dapat mengatur dengan bebas kekayaan alam dan sumber mereka tanpa perasaan takut terhadap kewajiban apapun yang muncul dari kerjasama ekonomi internasional, berdasarkan pada prinsip keuntungan timbal balik dan hukum internasional. Dalam kasus apapun, manusia tidak boleh dicabut dari sarana subsistensinya sendiri;

Negara peserta dalam kovenan ini hendaknya mendorong realisasi hak penentuan nasib sendiri, dan sebaiknya menghargai hak tersebut, sesuai dengan ketetapan Piagam PBB.

Pasal 25, yaitu hak tiap orang untuk mengendalikan penggunaan sumber-sumber alam mereka, bahwa tidak ada isi dalam kovenan ini dapat diinterpretasikan sebagai penghalangan hak yang melekat pada semua orang untuk menikmati dan memanfaatkan kekayaan alam dan sumber mereka secara penuh dan bebas.

Pelanggaran Pasal 15 mengenai hak anggota suatu kelompok minoritas atau kelompok pribumi juga dapat melanggar Pasal 1 dan  25 Kovenan_ Ketiga pasal ini mendukung pengenalan dan  pemeliharaan pengetahuan tradisional yang telah dibentuk dari generasi ke generasi oleh penduduk pribumi dan  minoritas. Dalam pengertian, ini merupakan hak satu kelompok untuk dapat manfaat dari kebijaksanaan bersamanya. Kalimat terakhir Pasal 1 (2) juga menjamin hak kelompok atau kolektif dalam kasus apapun seorang manusia tidak boleh dicabut dari sarana subsistensinya. Kalimat ini menghubungkan hak kelompok terhadap penentuan nasib sendiri dengan hak tiap orang untuk mendapatkan standar kehidupan yang memadai. Kalimat ini juga dapat dihubungkan dengan Pasal 17 pada Deklarasi Uni­versal, yang menyatakan mengenai hak kekayaan intelektual;

Pasal 17 Ayat (1)

Tiap orang berhak akan kekayaan intelektualnya sendiri dan  juga berhubungan dengan orang lain.

Pasal 17 Ayat (2)

Tidak ada seorangpun yang dapat dicabut secara sewenang-wenang dari kekayaan intelektualnya.

Contoh pelanggaran Pasal 1, Pasal 15 dan  Pasal 25. adalah kurangnya pengetahuaii negara atau industri untuk memahami nilai pengetahuan tradisional dalam bidang agrikultur atau pengobatan. Korporasi diijinkan mengambil dan  mendapatkan keuntungan dari pengetahuan asli kelompok pribumi atau lainnya tanpa menghargai hak mereka atau memberikan konpensasi bagi mereka.

 

Perlindungan Terhadap Pengetahuan Tradisional

Konsep Barat mengenai kekayaan intelektual berbeda secara radikal dari kebanyakan sistem pengetahuan dan  inovasi masyarakat pedesaan ataupun lokal. Pada umumnya, masyarakat non-industri melihat pengetahuan dan  inovasi sebagai sebuah hasil cipta kolektif yang harus dipelihara dengan sebentuk kepercayaan demi generasi mendatang. Perspektif ini berseberangan dengan sistem kekayaan intelektual industrial yang memandang sumber daya alam, unsur-unsur hayati dan  pengetahuan sebagai komoditas.

Masyarakat tradisional tidak memandang pengetahuan/-dan inovasi sebagai komoditas, melainkan sebagai karya masyarakat yang diterlantarkan dari generasi lalu ke generasi mendatang. Bumi dan  alam digunakan dan  dikelola, namun tidak dimiliki secara eksklusif. Sebaliknya HKI yang berkiblat ke Eropa menyatakan bahwa gagasan-gagasan inovatif dan  produk pemikiran manusia dapat dilindungi secara sah sebagai kekayaan privat.

Selama ribuan tahun, inovasi dan  adaptasi terhadap perubahan telah menjadi bagian dari masyarakat pedesaan. Pengetahuan pun telah terwariskan dari satet' generasi ke generasi berikutnya. Dan jika sebuah pengetahuan tertentu mengenai pengetahuan tradisional, sebagaimana biasa dipercayakan pada kelompok sosial atau dianugerahi kepada individu tertentu, maka hal mi tidaklah dinyatakan sebagai kekayaan privat. Beberapa pokok pengetahuan biasanya dipegang secara kolektif dan  bersifat inter-generasi. Pengetahuan dijaga sedemikian hati-hati dengan kepercayaan dan  diperuntukkan demi generasi mendatang serta ditambahkan demi keuntungan seluruh masyarakat. Kepemilikan individu atas unsur-unsur hayati ataupun pengetahuan mengenai unsur tersebut sama sekali tak pernah terdengar.

Karena sudah menjadi milik umum, maka sulit menentukan siapa yang menjadi pemilik sah inovasi tersebut. Selain itu, pengetahuan tradisional milik masyarakat banyak yang tidak terdokumentasikan secara tertulis, karena diwariskan turun temurun melalui tradisi cerita dan  pengalaman langsung. Hal ini akan menjadi masalah rumit, ketika ada orang asing yang mengklaim paten atas inovasi tertentu dan  kemudian menuntut orang Indonesia sendiri untuk tidak meniru atau menjiplak inovasinya.

TRIPs merupakan bentuk pengakuan HKI yang sangat terbatas. Selain tidak mengakui hak komunal, TRIPs juga tidak mengakui nilai inovasi untuk memenuhi kebutuhan sosial dan  lebih mementingkan komersialisasi dari suatu inovasi. TRIPs adalah HKI yang dipaksakan terkait dengan perdagangan, sementara sebagian besar inovasi justru terletak dalam do­main publik yang digunakan dalam sektor lokal dan  publik.

Mengingat hal tersebut, maka ketika negara meratifikasi TRIPs dan  mengharmonisasikan peraturan tentang perlindungan HKI, maka sistem pengetahuan tradisional akan menghadapi tantangan yang besar. Penge­tahuan mereka akan dibajak dan  diprivatisasi oleh perusahaan serta individu. Kemudian apabila suatu negara membuat peraturan yang melindungi inovasi masyarakat tradisional dan  lokal, maka negara tersebut akan menghadapi banyak tantangan dari negara-negara lain.

Banyak masyarakat di negara berkembang menganggap bahwa ilmu pengetahuan sebagai warisan msyarakat yang harus dilestarikan agar keturunannya ikut menikmati pengetahuan tersebut. Oleh karena itu, tidak ada individu yang berhak memonopoli pengetahuan, karena hanya titipan sementara kemudian diwariskan kembali untuk keuntungan bersama dan  generasi masa depan.

Sebaliknya negara-negara maju berpendapat bahwa ilmu pengetahuan dan  teknologi merupakan hasil inovasi dan  investasi individual. Karena hasii dari pengetahuan menjadi milik para penciptanya dan bukan menjadi milik seluruh umat manusia. Atas dasar pemikiran inilah, maka diciptakan perlindungan HKI yang bertujuan memberikan hak eksklusif pada penemu inovasi.-Hak eksklusif diharapkan dapat menciptakan keuntungan ekonomi dari inovasi yang kemudian dianggap akan mendorong penemu atau orang lain untuk melakukan inovasi yang baru lagi.

Masyarakat tradisional atau lokal, memiliki pemahaman sendiri yang dimaksud dengan pengetahuan tradisional. Menurut mereka pengetahuan tradisional adalah;

a.    Pengetahuan tradisional merupakan hasil pemikiran praktis yang didasarkan atas pengajaran dan pengalaman dari generasi ke generasi;

b.    Pengetahuan tradisional merupakan pengetahuan di daerah perkampungan;

c.    Pengetahuan tradisional tidak dapat dipisahkan dari masyarakat pemegangnya, meliputi kesehatan, spiritual, budaya dan bahasa dari masyarakat pemegang. Hal ini merupakan way of life. Pengetahuan tradisional lahir dari semangat untuk bertahan;

d.    Pengetahuan tradisional memberikan kredibilitas pada masyarakat pemegangnya.

 

Saat ini pengetahuan tradisional dapat dibagi ke dalam dua permasalahan utama, yaitu;

a. Perlindungan yang mempertahankan pengetahuan tradisional atau ketentuan yang menjamin itu tidak akan sukses diperoleh oleh HKI, melalui ketentuan pengetahuan tradisional yang kdnvensional;

b. Perlindungan yang mempertahankan pengetahuan tradisional akan sukses dengan menggunakan mekanisme hukum tradisional, seperti kontrak pembatasan akses dan  HKI.

Berdasarkan dua permasalahan tersebut, maka di satu sisi jika menggunakan ketentuan tradisional tidak dapat menjamin kesuksesan dalam melindungi pengetahuan tradisional, namun di sisi lain perlindungan penge­tahuan tradisional dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan ketentuan konvensj(>nal, seperti penggunaan sistem HKI yang kini sedang diberlakukan.

Perangkat perundang-undangan HKI yang mengatur masalah penge­tahuan tradisional, kurang memadai. Undang-Undang HKI, yang dimiliki Indonesia saat ini, sepenuhnya mengadopsi gagasan yang terkandung dalam TRIPs yang berorientasi individual dan bercorak privatisasi itu. HKI mengakui dan telah mengatur sistem pengetahuan dan  teknologi lokal yang dituangkan dalam pemahaman foklore. Folklore itu dipahami sebagai bentuk kreativitas intelektual masyarakat tradisional. Namun konsep foklore itu terlalu sempit untuk dapat mencakup bentuk kekayaan intelektual masyarakat lokal."

Perlindungan pengetahuan tradisional baru diatur dalam ketentuan Pasal 10 Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, yang berjudul Hak Cipta atas Ciptaan yang Penciptanya Tidak Diketahui, menyatakan bahwa:

b)    negara memegang hak cipta atas karya peninggalan prasejarah, sejarah dan  benda nasional lainnya;

c)    negara memegang hak cipta atas foklore dan  hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama, seperti cerita, hikayat, dongeng; legenda, babad, lagu, kerajinan tangan, koreografi, tarian, kaligrafi dan karya seni lainnya;

d)    untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaan tersebut pada ayat (2), orang yang bukan warga negara Indonesia harus terlebih dahulu mendapat ijin dari instansi yang terkait dalam masalah tersebut;

e)    ketentuan lebih lanjut mengenai hak cipta yang dipegang oleh negara sebagaimana dimaksud dalam pasal ini diatur dengan peraturan pemerintah.

 

Walaupun tujuan Pasal 10 ditujukan khusus untuk melindungi budaya penduduk asli, akan sulit bagi masyarakat tradisional untuk menggunakannya demi melindungi karya-karya mereka berdasarkan beberapa alasan. Menurut Tim Lindsey ketentuan Pasal 10 tersebut mengalami kendala dalam implementasinya. Terdapatdua alasan, yaitu (1) kedudukan Pasal 10 UUHC belum jelas penerapannya, jika dikaitkan dengan berlakunya pasal-pasal lain dalam UUHC. Misalnya, bagaimana kalau suatu foklore yang dilindungi berdasarkan Pasal 10 ayat (2) tidak bersifat ash sebagaimana diisyaratkan Pasal 1 ayat (3)? UUHC tidak menjelaskan apakah foklore semacam ini mendapatkan perlindungan Hak Cipta, meskipun merupakan ciptaan golongan foklore yang keasliannya sulit dicari atau dibuktikan; (2) suku­suku etnis atau suatu masyarakat tradisional hanya berhak melakukan gugatan terhadap orang-orang asing yang mengeksploitasi karya-karya tradisional tanpa seijin pencipta karya tradisional, melalui negara cq. Instansi terkait. Undang-undang melindungi kepentingan para pencipta karya tradisional apabila orang asing mendaftarkan di luar negeri. Akan tetapi dalam kenyaataannya belum ada hasil usaha negara dalam melindungi karya­karya tradisional yang dieksploitasi oleh bukan warga negara Indonesia di luar negeri. Sangat tidak mungkin, pemerintah dalam waktu dekat ini akan menangani penyalahgunaan kekayaan intelektual bangsa Indonesia di luar negeri, mengingat krisis-krisis politik, sosial dan  ekonomi yang masih berkepanjangan sampai sekarang. Selain itu, instansi-instansi terkait yang dimaksud dalam Pasal 10 (3) untuk memberikan ijin kepada orang asing yang akan menggunakan karya-karya tradisional juga belum ditunjuk."

Bila dicermati permasalahan penegakan hukum di Indonesia dapat dibagi ke dalam tiga bagian permasalahan mendasar, yaitu: (1) dilihat dari aspek substansi, di mana dalam konteks substansi ini pengetahuan tradisional belum diatur secara tegas baik dari segi-segi substansi maupun prosedural untuk mendapatkan perlindungan hukumnya. Kalau pun ada maka sifatnya masih simbolis, sehingga menjadikan aturan tidak efektif dan  tidak ada manfaatnya. (2) Aspek aparatur hukum, saat ini sangat sedikit aparatur hukum yang menguasai dan mengerti tentang pengetahuan tradisional. Padahal dengan kondisi aturan normatif yang belum jelas, maka tuntutan terobosan hukum yang dapat dilakukan oleh aparatur hukum, khususnya hakim akan sangat membantu. Untuk Indonesia upaya interpretasi hakim masih sangat lemah berhubung pengetahuan hakim yang belum memadai, juga belum optimalnya peran saksi ahli. (3) Aspek budaya hukum, seperti telah diketahui bahwa masyarakat tradisional pada umumnya enggan untuk melalukan proses hukum dalam konteks pelanggaran karya intelektual yang berbasis pada pengetahuan tradisional, di sisi lain pemerintah sendiri yang diharapkan dapat diharapkan mempunyai kemampuan dan  kesadaran hukum untuk memperjuangkan perlindungan pengetahuan tradisional masiti dilanda berbagai permasalahan negara, di samping budaya hukum pemerintah sendiri terhadap hukum masih banyak dipertanyakan.

 

Penutup

Ancaman terhadap hak asasi manusia bukan sekedar ancaman atas hak sipil dan  politik, melainkan juga ancaman terhadap hak-hak sosial, maupun hak-hak budaya, termasuk di dalamnya adalah ancaman terhadap penge­tahuan tradisional. Pengetahuan tradisional muncul menjadi masalah hukum baru, disebabkan karena belum adanya hukum domestik yang mampu memberikan perlindungan hukum secara optimal terhadap pengetahuan tradisional tersebut, yang saat ini banyak dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Di samping itu, di tingkat internasional pengetahuan tradisional ini belum menjadi suatu kesepakatan internasional untuk diberikan perlindungan hukum secara maksimal.

Banyak pengetahuan tradisional masyarakat Indonesia yang belum terakomodir dan  belum mendapat perlindungan hukum di dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hak kekayaan intelektual. Untuk dapat mewujudkan perlindungan hukum terhadap pengetahuan tradisional masyarakat Indonesia, membutuhkan koordinasi dan  kerja sama dari para pembuat kebijakan negara, akademisi, mahasiswa, dan  masyarakat Indo­nesia. Perlindungan hukum terhadap pengetahuan tradisional masyarakat Indonesia, merupakan tanggung jawab bersama dan saling terkait, dari semua komponen yang ada dalam masyarakat Indonesia.


Hak Pekerja Anak Dalam Sektor Formal

Antara Hak Sebagai Anak dan Hak Sebagai Pekerja

 

Pendahuluan

Anak-anak, yang telah terlibat secara aktif dalam kegiatan ekonomi untuk menjalankan perannya sebagai pekerja, bukanlah suatu fenomena baru di Indonesia. Meskipun di satu sisi diakui adanya upaya-upaya dari berbagai pihak yang bermaksud untuk memberikan "perlindungan" terhadap anak­anak yang "terpaksa" bekerja, akan tetapi tidaklah dapat dipungkiri, bahwa usaha-usaha itu belumlah menunjukkan hasil yang maksimal. Pada kenyataannya masih banyak ditemui berbagai kasus pekerja anak, yang mengarah pada bentuk-bentuk pengeksploitasian anak dan  berbagai insiden perlakuan salah pada anak, yang mengakibatkan luka, keluhan dan  cacat fisik serta moral-sosial pada saat ia melakukan pekerjaannya (Irwanto, dkk., 1995). Salah satu hal yang seringkali dipandang sebagai awal dari kurang berhasilnya upaya-upaya tersebut, antara lain adalah kurang tepatnya titik pandang yang dipergunakan oleh masing-masing pihak, di dalam menangani persoalan pekerja anak.

Diskursus tentang segala hat yang berhubungan dengan persoalan pekerja anak, yang masih diwarnai perdebatan di sekitar pantas atau tidaknya anak berkerja, dilarang atau dibiarkannya anak bekerja. Kesemuanya ini masih berangkat dari sisi moral dan  pandangan konvensional mengenai anak tersebut, pada dasarnya dapat dikelompokan ke dalam dua puak (golongan) besar.

Puak yang pertama, menganut sikap penolakan dan dengan demikian menganjurkan penghapusan pekerja anak, dengan melarang anak-anak bekerja. Pemerintah pun sebenarnya dapat dimasukkan dalam kelompok ini. Hal ini tercermin dari adanya larangan yang mula-mula bersifat absolut bagi anak­anak untuk bekerja, sebagaimana secara tegas dicantumkan di dalam Pasal 2 Undang-Undang No. 14 Tahun 1948. Akan tetapi kemudian berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor Per-O1 /MEN/1987 tentang Perlindungan bagi Anak yang Terpaksa Bekerja, larangan tersebut tidak lagi bersifat absolut, tetapi ada pengecualian-pengecualian tertentu, yang membuka kesempatan bagi dipekerjakannya anak. Hal inilah yang kemudian diperkuat di dalam Pasal 95 jo. 96 UU No. 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan, yang diperbaharui lagi dengan UU No. 13 Tahun 2003. Sedangkan puak yang lainnya, menganut sikap yang lebih menitikberatkan pada upaya-upaya memberikan perlindungan pada pekerja anak.

Dari paparan di atas terlihat bahwa masing-masing titik pandang di atas cenderung bersifat dikotomis dan  mengabaikan konteks munculnya dan kompleksitas fenomena tersebut. Pandangan yang hanya mengutamakan perlindungan pekerja anak-anak pada satu sisi, cenderung melahirkan tindakan-tindakan yang justru tidak realistis terhadap persoalan pekerja anak dan  bukan merupakan jawaban bagi persoalan tersebut.

Pekerja anak pada dasarnya adalah suatu kelompok dan  mempunyai kebutuhan yang spesifik. Oleh karenanya, pekerja anak perlu mendapat perhatian dan  pelakuan secara spesifik pula. Yang dimaksud dengan pekerja anak di sini -tanpa mengurangi makna dan  besarnya persoalan-persoalan besar lain yang juga timbul pada pekerja-pekerja anak yang berada di dalam sektor informal dan  anak-anak jalanan- hanyalah akan membatasi diri bagi anak-anak yang bekerja pada majikan, berdasarkan pada suatu hubungan kerja secara formal. Sudut ini yang dicoba dibidik, dengan pertimbangan bahwa hak-hak merekalah yang selama ini secara resmi telah diatur di dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indo­nesia. Oleh karena itu, dapatlah dikaji secara lebih seksama, bagaimana perlindungan yang sebenarnya telah diberikan oleh hukum positif Indone­sia terhadap pekerja anak tersebut.

 

 

Hak Anak Untuk Bekerja

Di Indonesia, perhatian dari berbagai pihak terhadap pekerja anak, mem­perlihatkan tendensi yang semakin meningkat. Hal ini antara lain nampak dengan diratifikasinya konvensi hak-hak anak pada tahun 1990 melalui Keputuan Presiden No. 36 Tahun 1990, ikut sertanya Indonesia calam Konferensi ILO tentang pekerja anak yang menghasilkan Konvensi No. 138 Tahun 1973, dan  dengan diundangkannya berbagai macam peraturan perundang-undangan yang bermaksud memberikan "perlindungan" terhadap anak-anak yang "terpaksa" bekerja.

Hanya saja hal tersebut seringkali mengabaikan satu pertanyaan awal yang seharusnya terlontar, yaitu apakah anak memang mempunyai hak untuk bekerja. Pertanyaan ini memang.jarang dimunculkan, karena hal itu

merupakan pokok persoalan yang sifatnya sering membuat berbagai pihak mejadi serba salah. Pembahasan hal seperti itu harus menunjukan sikap politis setiap pihak terhadap diakui-tidaknya hak anak untuk bekerja. Sedangkan situasi dan konteks persoalan pekerja anak di Indonesia terlalu kqmpleks untuk dijadikan dasar pertimbangan pengambilan sikap yang hitam-putih.

Oleh karena itu, pemikiran para pihak yang menaruh banyak perhatian pada pekerja anak, ada-tidaknya hak anak untuk bekerja harus disikapi secara hati-hati. Pada tingkat tertentu justru cenderung untuk dihindari dari pembicaraan. Hal ini antara lain disebabkan karena sejumlah alasan antara lain: (a) masih belum dipahami benar kompleksitas masalahnya; (b) kerancuan pengertian antara hak dan kewajiban anak; (c) belum populernya perdebatan mengenai masalah ini pada tingkat konsep dan keterbatasan akses untuk mengikuti perkembangan perdebatan konsepsional di tingkat internasional (Tjandraningsih dan White, 1991). Padahal pembicaraan ada­tidaknya hak anak untuk bekerja ini justru menjadi sangat relavan dan muncul ke permukaan apabila kita akan memikirkan, merencanakan dan melaksanakan suatu alternatif ke arah pemecahan persoalan-persoalan yang ada di sekitar pekerja anak.

Menurut UU No. 12 Tahun 1948 disebutkan, bahwa pemerintah melarang secara mutlak, tanpa pengecualian apapun, bagi anak-anak untuk bekerja. Akan tetapi, meskipun telah diperkuat dengan sanksi-sanksi pidana, adanya larangan tersebut tidaklah dapat berlaku secara efektif. Pada tataran normatif, ketidakefektifan tersebut antara lain disebabkan sikap ambivalen atau tidak serius dari pemerintah sendiri. Sikap ini tercermin dalam aspek penegakan hukumnya (law enforcement). Ketentuan di atas dimaksudkan akan diberlakukan secara bertahap dengan peraturan pemerintah. Sambil menunggu dikeluarkannya peraturan pemerintah yang dimaksud, mengenai pekerja anak semula masih diberlakukan peraturan perundang-undangan yang berasal dari zaman Hindia Belanda. Peraturan tersebut adalah Ordonansi tahun 1925 tentang Maatregelen ter Beperking van de Kinderbeid en de Nachtarbeid van de Vrouwen (Peraturan tentang Pembatasan Pekerjaan Anak dan Pekerja Wanita pada Malam Hari), sebagimana tercantum di dalam Staatsblaad Tahun 1925 Nomor 647 dan Ordonansi Tahun 1926 tentang Bepalingen Betreffende de Arbeid van Konderen en /eugdigde Personen aan Boord van Schepen (Peraturan Tentang Pekerjaan Anak dan Orang Muda di kapal) sebagaimana yang tercantum di dalam Staatsblaad Tahun 1926 Nomor 87.

Sedangkan pada tataran sosiologis empiris, di sebagian masyarakat sendiri, munculnya pekerja anak seringkali tidak menimbulkan reaksi sosial yang negatif. Hal ini antara lain disebabkan karena adanya suatu aksioma kultural yang memandang bahwa mempekerjakan anak pada usia dini bukanlah semata-mata merupakan suatu bentuk eksploitasi pada anak, akan tetapi justru merupakan suatu rangkaian proses yang memang harus dilalui oleh seorang anak untuk belajar bertanggung jawab, menimba pengalaman sebagai persiapan mereka, agar mempunyai bekal untuk kehidupannya kelak (Irwanto, dkk., 1995).

Sejumlah temuan penelitian menunjukkan bahwa munculnya pekerja anak ini disebabkan karena, adanya tekanan ekonomi yang memaksa mereka untuk terlibat secara aktif di dalam kegiatan ekonomi, baik untuk memenuhi kebutuhanan hidupnya sendiri, maupun sebagai suatu bentuk partisipasi dari anak untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dan  bagi kelangsungan hidup keluarganya, karena mereka dianggap telah ikut bertanggung jawab terhadap ekonomi keluarga (Rilantoro, dkk., 1984).

Sebagian besar orang tua yang mengirimkan anaknya untuk bekerja, dalam kenyataannya, tidak menghendaki anak mereka untuk bekerja dalam usia dini. Keikutsertaan anak dalam lingkungan pendidikan dipandang sebagai hal yang relatif lebih penting dan  sebagai hal yang penting untuk hidup yang lebih baik bagi anak-anak mereka daripada bekerja (Rilanto, dkk., 1984), (Soedijar, 1989), (Irwanto, dkk., 1995).

Sebagaimana dikemukakan oleh Tjandraningsih, I. dan White, B. (1991) berdasarkan penelitiannya terhadap pekerja anak pada sektor manufaktur di Jawa Barat, dapatlah diketahui bahwa yang menyebabkan munculnya pekerja anak, adalah kebutuhan akan pekerja anak -yang bagi para pengusaha dipandang mempunyai produktivitas tinggi dan  upah rendah, serta mudah diatur- dalam pekerjaan-pekerjaan yag didominasi oleh pekerja dewasa, merupakan daya tarik yang luar biasa bagi anak untuk terjun ke dalam pasaran tenaga kerja.

Kondisi empiris tersebut mendorong pemerintah untuk lebih bersikap tidak konsisiten dalam melarang anak untuk bekerja. Sikap ini terefleksi di dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER-O1 /MEN/1987 tentang Pelindungan bagi Anak yang Terpaksa Bekerja, yang tidak lagi melarang secara absolut bagi anak-anak untuk bekerja, akan tetapi hanya melakukan pembatasan-pembatasan dalam keadaan apa dan  untuk pekerjaan apa saja anak-anak itu dilarang bekerja. Pemikiran yang demikian pulalah yang kemudian tercermin di dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan.

Setelah melalui beberapa tahapan kajian, Pemerintah akhirnya menetapkan undang-undang baru tentang ketenagakerjaan yaitu UU No. 13 Tahun 2003. Anehnya, UU tersebut justru tidak mengadakan larangan mutlak bagi anak-anak untuk melakukan pekerjaan, melainkan hanya mengadakan pembatasan-pembatasan saja. Memang, tidaklah mudah untuk melarang begitu saja, anak-anak untuk tidak terlibat secara aktif dalam suatu kegiatan ekonomi. Pengalaman Bangladesh yang ingin secara konsisten menerapkan larangan mempekerjakan anak untuk menyelamatkan diri dari sanksi perdagangan internasional, tidak menghasilkan apa-apa kecuali kesengsaran bagi para pekerja_anak (Irwanto, dkk., 1995).

Hal ini pun disadari oleh 'lembaga-lembaga internasional, yang telah mengakui adanya hak anak-anak untuk bekerja, yang disertai dengan usaha­usaha untuk memberikan perlindungan-perlindungan, dengan meletakkan prinsip-prinsip dasar yang mengutamakan pertimbangan dari sisi kepentingan anak, sebagaimana tercantum di dalam Pasal 32 Konvensi Hak Anak yang menyebutkan adanya: (1) hak untuk mempertahankan hidup (survival); dan  (2) pengutamaan kepentingan anak (the best interest of the child).

Dengan adanya prinsip survival, anak-anak yang dalam keadaan sulit harus memperoleh bantuan terbaik untuk dapat melangsungkan hidup mereka. Pada umumnya kebanyakan pihak akan berbicara mengenai pro­gram-program kesehatan dan gizi. Meskipun demikian, hak anak dalam mencari nafkah untuk hidupnya sendiri maupun untuk keluarganya dapat dijadikan alasan yang kuat untuk mempertanyakan berbagai kebijakan penghapusan pekerja anak, karena tidak semua pemerintah (termasuk pemerintah RI) mampu memberikan bantuan kepada semua keluarga yang mengalami kesulitan. Jika keluarga/orang tua dan  pemerintah tidak dapat memberikan jaminan bahwa besok anak masih dapat makan secara layak dan bersekolah seperti anak-anak yang lain, tentunya anak harus meng­harapkan pada dirinya sendiri. Oleh karena itu, otonomi dan hak anak untuk menentukan nasibnya sendiri perlu dihormati.

Pemikiran di atas, juga sesuai dengan prinsip the best interest of the child, karena tidak ada pihak-pihak yang dapat menjamin kesejahteraan anak secara langsung, kepentingan anak untuk bertahan hidup dengan caranya sendiri mutlak perlu dipertimbangkan. Karena bagaimanapun jika keluarga mengalami kesulitan maka para orang tua yang sudah lanjut usia dan anak-anaklah yang paling menderita.

Sejalan dengan itu Ben White (1994) telah melontarkan ide yang pada intinya menyatakan bahwa secara umum anak-anak punya hak untuk bekarja. Sikap tersebut antara lain didasarkan pada kondisi objektif global di mana "ekonomi sebagai panglima" kehidupan manusia saat ini, yang bersifat kapitalistik dan mendorong akumulasi modal melalui pengembangan strategi akumulasi modal yang mengarah pada polarisasi, kesenjangan dan kon­sumerisme. Dalam situasi semacam itu menurutnya sangat tidak adil apabila anak-anak dalam upayanya menyesuaikan diri dalam keadaan tersebut kemudian dilarang bekerja. Hal ini pun terlihat dari persepsi yang ada pada sebagian pejabat pemerintah, LSM dan  pengusaha. Menurut mereka, isu sentral tentang pekerja anak, sebenarnya tidak terletak pada "pekerja itu sendiri", tetapi lebih pada pengaruh negatif dari bekerja yang terlalu dini terhadap perkembangan kognitif, mental, sosial, emosional dan  fisik anak. Oleh karena itu, anak pada dasarnya boleh saja ikut berkarya, jika memang membutuhkan pekerjaan, dan  tugas yang diberikan masih dalam batas kemampuan mental dan  fisiknya, serta masih diberi kesempatan untuk tetap berada dalam lingkungan sekolah (sistem pendidikan).

Oleh karena itu, tindakan yang dilakukan oleh pemerintah seharusnya tidak begitu saja melarang anak-anak untuk bekerja dan  menghapuskan hak dari anak-anak untuk bekerja. Pemerintah dapat melakukan tindakan­tindakan, pertama, memperbaiki kapasitasnya untuk melayani kepentingan anak dan  keluarganya, dengan menyediakan berbagai fasilitas, yang memang sangat diperlukan bagi anak-anak yang terpaksa bekerja, ataupun dapat mengentaskan mereka dari kegiatan ekonomi, sehingga mereka dapat mengenyam hak-hak lainnya sebagai anak, bukan hanya sebagai pekerja. Kedua, berupaya semaksimal mungkin untuk melindungi anak dari upaya eksploitasi. Jalur hukum merupakan salah satu jalan yang dapat dilakukan oleh pemerintah untuk anak. Hukum harus dibuat sedemikian rupa, sehingga hak-hak anak menjadi terlindungi.

Pekerja Anak Dengan Hak-hak Pekerja Dewasa

Paparan di atas memperlihatkan adanya sikap dari berbagai pihak sebagai suatu bentuk pengakuan terhadap eksistensi hak-hak anak untuk bekerja. Hanya saja pertanyaan yang kemudian muncul adalah bagaimanakah implementasi dari pengakuan terhadap hak-hak anak untuk bekerja tersebut? Pada tingkat internasional, Konvensi Hak Anak (KHA), seringkali disebut sebagai instrumen internasional yang paling komprehensif, sejauh menyang­kut masalah perlindungan dan  kesejahteraan anak, khususnya dalam hubungannya dengan anak yang bekerja. Satu-satunya ketentuan yang menyangkut pekerja anak dalam KHA terdapat di dalam Pasal 32, yang menyatakan:

(1) Negara peserta akan mengakui hak anak atas perlindungan dari eksploitasi ekonomi dan  dari pekerjaan yang membahayakan atau mengganggu pendidikan anak, atau yang merugikan kesehatan atau perkembangan fisik, mental, spiritual, moral atau sosial anak.

(2) Negara peserta akan mengambil langkah-langkah legislatif, administratif, sosial dan  pendidikan guna menjamin implementasi pasal ini.

 

Untuk tujuan ini dan  dengan mempertimbangankan ketentuan-ketentuan yang relevan dari instrumen internasional lainnya, negara peserta secara khusus akan:

a. menetapkan batas usia minimum atau batas-batas usia minimum bagi kerja upahan;

b. menetapkan peraturan yang sesuai mengenai jam kerja dan  kondisi kerja;

c. menetapkan hukuman atau sanksi-sanksi lainnya yang sesuai guna menjamin pelaksaan efektif pasal ini.

Implementasi dari apa yang tercantum didalam KHA tersebut semula telah direalisir oleh Pemerintah Indonesia di dalam UU No. 25 Tahun 1997 yang kemudian diganti dengan UU No. 13 Tahun 2003, yang dipandang sebagi suatu bentuk penyelarasan peraturan perundang-undangan nasional dengan semangat yang terkandung di dalam KHA.

Di dalam UU Ketenagakerjaan yang baru, dicantumkan larangan secara tegas bagi "setiap pengusaha untuk mempekerjakan anak" (Pasal 68). Dalam Pasal 1 Angka 20 ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan anak adalah mereka yang berusia di bawah 18 tahun. Ketentuan tentang batas umum anak tersebut sejalan dengan isi Pasal 2.3 dari Konvensi ILO No. 138 Tahun 1973, yang intinya menyebutkan bahwa, batas usia minimum ... tidak kurang dari usia penyelesaian wajib belajar, dan dalam kasus apapun tidak kurang dari 15 tahun. Akan tetapi larangan itu ada pengecualiannya, yakni anak yang berumur 13 sampai dengan 15 tahun dapat melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan  kesehatan fisik, mental dan  sosialnya (Pasal 69); pekerjaan di tempat kerja yang merupakan bagian dari kurikulum pendidikan atau pelatihan yang disahkan oleh pejabat yang berwenang (Pasal 70); pekerjaan untuk mengembangkan bakat dan  minatnya (Pasal 71).

Pengusaha yang mempekerjakan anak pada pekerjaan ringan harus
memenuhi syarat, yaitu (a) ijin tertulis dari orang tua/wali; (b) perjanjian
kerja antara pengusaha dengan orang tua/wali; (c) waktu kerja tidak boleh
lebih dari 3(tiga) jam; (d) dilakukan pada siang dan  tidak mengganggu
waktu sekolah; (e) keselamatan dan  kesehatan kerja; (f) adanya hubungan kerja yang jelas; (g) menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pekerjaan anak di tempat kerja yang merupakan bagian dari kurikulum pendidikan atau pelatian harus memenuhi syarat (a) diberi petunjuk yang jelas tentang cara pelaksanaan pekerjaan serta bimbingan dan  pengawasan dalam melaksanakan pekerjaan; dan  (b) diberi perlindungan keselamatan dan  kesehatan kerja. Sedangkan pengusaha yang mempekerjakan anak dalam rangka mengembangkan bakat dan  minatnya wajib memenuhi syarat (a) di bawah pengawasan langsung orang tua/wali; (b)-waktu kerja paling lama 3 (tiga) jam; dan  (c) kondisi dan  lingkungan kerja tidak mengganggu perkembangan fisik, mental dan  sosial serta waktu sekolah. Dalam hal anak di pekerjaan bersama-sama dengan buruh/pekerja dewasa, maka tempat kerja anak harus dipisahkan (Pasal 72).

Meski anak dapat dipekerjakan dengan syarat-syarat tertentu, namun ada larangan secara tegas untuk mempekerjaan dan  melibatkan anak pada pekerjaan-pekerjaan yang terburuk (Pasal 74). Pekerjaan-pekerjaan terburuk itu meliputi: (a) segala pekerjaan dalam bentuk atau sejenisnya; (b) segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau menawarkan anak untuk pelacuran, produksi pornografi, pertunjukan porno, atau perjudian; _(c) segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau melibatkan anak untuk produksi dan  perdagangan minuman keras, narkoba, psikotropika dan adiktif lainnya; dan/atau (d) semua pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak.

Untuk menegakan ketentuan tersebut, di dalam UU itupun diperkuat dengan sanksi pidana penjara dan/atau denda (Pasal 183, 185, dan  187).

Apabila disimak dari beberapa ketentuan di dalam UU No. 13 Tahun 2003 tersebut, secara sekilas terlihat adanya upaya untuk memberikan perlindungan bagi para pekerja anak. Penentuan tentang pada kondisi­kondisi apa anak tidak boleh bekerja, sepertinya mencoba menyelaraskan ,dengan ketentuan yang disyaratkan oleh Konvensi ILO No. 138 Tahun 1973. Konvensi tersebut menetapkan bahwa: "anak-anak dilarang untuk berkerja dalam kondisi yang "paling merusak" (abusive), "paling berbahaya" dan  "paling eksplotatif".         

Ketentuan-ketentuan di atas juga memperlihatkan bahwa, kewajiban dan  tanggung jawab dari pengusaha, hanyalah "terbatas" pada upaya­upaya yang berkaitan dengan hak-hak pekerja anak sebagai pekerja, dan tidak menyentuh sama sekali hak-hak pekerja anak, sebagai anak. Hal ini terjadi karena persoalan itu dipandang telah menjadi kewajiban orang tua/ keluarga dari masing-masing pekerja anak tersebut.

Apabila dilihat aspek-aspek yang diatur di dalam berbagai peraturan perundang-undangan, yang mengatur tentang hubungan kerja, sepertinya telah dicoba diakomodir berbagai hal yang diperlukan untuk melindungi para pekerja. Perundang-undangan telah memberikan jaminan akan adanya kesempatan yang sama bagi setiap tenaga kerja untuk menjadi pekerja dan perlakuan yang sama bagi setiap pekerja. Pengaturan tentang hak-hak pekerja meliputi, perlindungan pengupahan dan kesejahteraan, pelatihan kerja, keamanan dan keselamatan kerja, jaminan sosial tenaga kerja, pembinaan dan pengawasan. Kesemuanya itu diperkuat dengan adanya sanksi-sanksi administratif maupun sanski pidana, serta sanksi perdata.

Meskipun telah dicantumkan berbagai macam hak yang bermaksud memberikan perlindungan bagi para pekerja anal~., akan tetapi bentuk perlindungan yang diberikan, lebih banyak disamaratakan begitu saja dengan bentuk-bentuk perlindungan yang diberikan bagi pekerja-pekerja dewasa. Misalnya, antara lain terlihat dari ketentuan yang mengatur tentang peng-upahan. Di dalam ketentuan tersebut disebutkan: "Penghasilan yang layak adalah penerimaan pekerja dari hasil pekerjaannya yang mampu memenuhi kebutuhan hidup pekerja dan keluarganya secara wajar, meliputi mak,*anlminuman, sandang, Prumahan, pendidikan serta jaminan hari tua" (Penjelasan Pasal 88). Fasilitas kesejahteraan yang diberikan pada pekerja meliputi pelayanan keluarga berencana, tempat penitipan bayi, perumahan pekerja, fasilitas peribadadatan, olah raga dan kantin (Pasal 116). Jaminan Sosial Tenaga Kerja (UU No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja jo. Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jamsostek) merupakan suatu bentuk perlindungan bagi buruh dalam vyujud: santunan uang dan pelayanan dengan--tujuan (a) menjamin kepastian berlangsungnya arus penerimaan penghasilan keluarga sebagai pengganti sebagian atau seluruh penghasilan yang hilang, (b) memberikan perlindungan dasar untuk memenuhi kebutuhan hidup minimal bagi tenaga kerja beserta keluarganya; (c) merupakan pengahargaan bagi tenaga kerja yang program-programnya meliputi: (a) jaminan kecelakan kerja; (b) jaminan kematian; (c) jaminan hari tua; (d) jaminan pemeliharaan kesehatan.

Dalam UU No. 13 Tahun 2003 tidak menyebutkan maupun men­jelaskan apakah' penyediaan fasilitas kesejahteraan itu hanya berlaku untuk pekerja/buruh dewasa atau untuk semuanya, termasuk pekerja anak. Memang, dalam Pasal 68-74 sudah disebutkan khususnya pekerja anak, namun bentuk perlindungan khusus, seperti keselamatan dan kesehatan kerja bagi pekerja anak tidak disebutkan. Oleh karenanya, dapat dikatakan bahwa di dalam berbagai peraturan tersebut, terlihat kurangnya pembedaan secara tegas mengenai bentuk-bentuk perlin­dungan yang seharusnya diberikan secara khus.us pada pekerja anak. Pembentuk undang-undang sepertinya melupakan suatu hal yang pentin~, di mana pekerja anak pada dasarnya adalah suatu kelompok yang spesifik dan mempunyai kebutuhan spesifik pula. Persoalan dan kebutuhan me­reka seringkali justru lebih kompleks daripada pekerja dewasa dan anak­anak yang tidak bekerja, karena pada d,asarnya mereka merupakan gabungan dari kedua hal tersebut.

 

Hak Pekerja Anak Sebagai Anak

Dalam hubungannya dengan pihak lain (baik orang tua maupun pemerintah), anak-anak seringkali ditempatkan di dalam posisi yang subordinat, sebagai suatu makhluk yang dipandang belum mempunyai kemampuan untuk menentukan nasibnya sendiri. Oleh karenanya, anak-anak harus selalu dilindungi dan diarahkan serta dibimbing, sehingga mereka dapat tumbuh secara wajar. Kondisi semacam ini, meskipun tidak dapat diabaikan, seringkali mendatangkan kebaikan-kebaikan tertentu di dalam perkembangan anak, akan tetapi di sisi lain justru menempatkan anak dalam posisi yang sangat rentan terhadap pelanggaran haknya. Hal ini didukung dengan adanya budaya paternalistik yang menyebabkan anak seolah-olah hanya mempunyai kewajiban saja, tanpa mempunyai hak. Apabila sedang berhadapan dengan orang tua atau pemerintah, maka hanya memandang merekalah yang pa­ling tahu apa yang terbaik bagi anaknya atau anak-anak.

Hal tersebut justru seringkali menimbulkan kerancuan antara mana yang merupakan hak anak dan  mana yang merupakan kewajiban anak. Hak menclapat pendidikan misalnya, sering diwujudkan menjadi kewajiban untuk sekolah atau gerakan wajib belajar, kewajiban membantu orang tua, kewajiban untuk patuh dan  tunduk terhadap orang tua dan sebagainya. Dengan mengharuskan anak-anak untuk melakukan kewajiban-kewajibannya tersebut, orang tua merasa telah memenuhi hak anak-anaknya.

Masa anak-anak, merupakan hadiah yang terbaik bagi anak. Masa di mana mereka dapat bermain dan bercanda secara bebas dan berkesempatan untuk belajar semaksimal mungkin. Dalam konteks perkembangan anak, terlibat dalam suatu permainan bukanlah sekedar bermain, justru dengan bermain itulah sebenarnya anak belajar untuk menjadi pintar dalam berbagai macam hal (Hughes, dalam Irwanto, dkk., 1995). Selama ini seringkali diyakini bahwa masa anak-anak adalah masa untuk pematangan fisik, kecerdasan, emosional, sosial dan  pematangan susila. Waktu mereka seharusnya dilewatkan dalam kegembiraan dan permainan, belajar dan  tumbuh sehat. Hidup mereka harus memperluas wawasan dan menerima pengalaman baru. Oleh karena itu, setiap anak perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar baik secara rohani, jasmani maupun sosial.

Menurut para psikolog, sekitar 20% dari perkembangan kognitif anak -diukur dengan tingkat kecerdasan (IQ) mereka- berkembang pada usia 1 tahun, 50% pada usia 4 tahun, 80% pada usia 8 tahun, 92% pada usia 13 tahun (Bloom, dalam Irwanto, dkk., 1995). Dengan demikian, lingkungan awal, termasuk di antaranya sekolah, mempunyai peran yang lebih penting bagi perkembangan mental anak daripada lingkungan akhir dalam proses perkembangan. Hal inilah yang sepertinya dicoba untuk direalisir melalui UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. Undang-undang tersebut berusaha memberikan jaminan atau hak terhadap anak, yang meliputi:

a. Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan  bimbingan berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarganya maupun di dalam asuhan, khususnya untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar.

b. Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan  kehidupan sosialnya, sesuai dengan kebudayaan dan  kepribadian bangsa, untuk menjadi warga negara yang baik dan  berguna;

c. Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan;

d. Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang mem­bahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar.

Pemberian jaminan dan hak-hak di atas adalah dalam rangka perwo­judan kesejahteraan anak. Pihak yang pertama kali mempunyai tanggung jawab atas terwujudnya kesejahateraan anak, baik secara secara rohani, jasmani, maupun sosial, adalah orang tua (Lihat Pasal 9 UU Kesejahteraan Anak).

Pengakuan dan perlindungan hak-hak anak bertujuan agar mereka dapat tumbuh dan berkembang secara wajar sebagai anak, serta menghindari sejauh mungkin anak-anak dari berbagai ancaman dan gangguan, yang mungkin datang dari luar lingkungannya, maupun dari anak itu sendiri. Misalnya, perlakuan tidak wajar, berupa tindakan yang merupakan kelalaian dan kezaliman, kekerasan, penyalahgunaan atas diri anak (eksploitasi), serta diskriminasi sosial dan penelantaran anak.

Meskipun undang-undang tersebut bermaksud untuk menjamin, memelihara dan mengamankan kepentingan anak secara wajar, namun sepertinya belumlah mengakui eksistensi pekerja anak, sebagai suatu kelompok anak-anak yang sebenarnya mengalami hambatan.

 

Upaya Penyelarasan Hak Sebagai Anak dan Pekerja

Sebagaimana terpapar di atas, tidaklah dapat dipungkiri bahwa baik pemerintah maupun pihak-pihak lain yang menaruh perhatian terhadap pekerja anak, telah berusaha untuk menurut ukuran-ukuran mereka mem­berikan berbagai alternatif yang terbaik bagi pekerja anak. Hanya, saja sebagaimana terlihat di atas, kegiatan-kegiatan tersebut masihlah bersifat sektoral, dan mendasarkan pada pandangan yang dikotomis, tanpa melihat persoalannya secara komprehensif dan  holistik.

Di satu sisi terlihat sikap-sikap dan  tindakan-tidakan yang hanya memperlakukan pekerja anak sebagaimana lazimnya pekerja sehingga hak­haknya hampir sebagian besar disamakan dengan hak-hak pekerja dewasa, tanpa melihat kebutuhan konkrit dari anak yang membutuhkan pematangan fisik, kecerdasan, emosional, sosial dan  pematangan susila seiring dengan perkembangan usianya. Upaya melindungi pekerja anak ini dibebankan dengan porsi yang lebih besar, kepada para pengusaha.

Sedangkan di sisi lain, muncul sikap yang tetap ingin menarik anak dari kegiatan ekonomi. Langkah ini berupa pemberian berbagai macam jaminan perlindungan agar anak dapat berkembang dalam segala aspeknya secara wajar, dan  mengabaikan adanya hak-hak anak untuk bekerja. Pembe­banan kewajiban terbesar untuk menjaga pertumbuhan dan  perkembangan anak ini, pada orang tua atau lingkungan keluarganya.

Selama ini belum terlihat adanya pendekatan yang mencoba mang­gabungkan dua pandangan dikotomis tersebut. Dalam konteks hadirnya pekerja anak, tidaklah dapat dipungkiri bahwa mereka terlibat secara aktif sebagai pekerja. Latar belakang kondisi ini adalah lebih banyak karena alasan-alasan ekonomis, dengan tujuan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya sendiri ataupun keluarganya. Bagi mereka, penghasilan yang diperoleh, tertutama dan  pertama tentunya Lmtuk memenuhi kebutuhan­kebutuhan primernya, seperti untuk makan, sehingga mereka tidak mem­punyai kesempatan untuk menyisihkan sebagian pendapatannya untuk pendidikan. Sedangkan di sisi lain, bagi para pengusaha, mereka merasa sudah memenuhi kewajiban-kewajibannya kepada para pekerjanya, terma­suk para pekerja anak, dengan memenuhi berbagai ketentuan di dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Namun demikian, apa yang telah ditentukan di dalam peraturan perundang-undangan masih banyak menguntungkan pengusaha dan  menekankan kepada hak-hak pekerja dewasa. Pelatihan kerja misalnya, tidaklah semata-mata menguntungkan pekerja anak, akan tetapi lebih banyak didasarkan pada kepentingan dan  keuntungan pengusaha. Program Jamsostek pun lebih banyak tertuju pada hak-hak pekerja dewasa. Untuk itu perlu dipikirkan adanya kebijakan tentang jaminan atas perlindungan terhadap pekerja anak guna memperoleh pendidikan formal. Dalam hal ini, pemerintah dapat menambah beban kepada pengusaha tentang kewajiban Umtuk memberikan jaminan atau perlindungan terhadap anak yang berupa "hak pendidikan formal". Kewajiban ini merupakan bagian dari upah yang memang menjadi hak pekerja anak seperti halnya pekerja dewasa yang dimungkinkan untuk menerima upah tidak hanya dalam bentuk uang tetapi bentuk-bentuk lain. Dengan demikian, pekerja anak tidak hanya men­dapatkan pendidikan yang akan menjadikan mereka sebagai pekerja yang terampil dan ahli, sebagaimana yang akan mereka peroleh apabila mereka mengikuti pelatihan kerja. Akan tetapi, mereka juga akan menjadi pekerja yang cerdas dan berwawasan luas sebagaimana, anak-anak yang mendapat pendidikan formal. Pembebanan ini, oleh pengusaha, seharusnya tidak dilihat sebagai biaya (cost) yang dapat mengurangi keuntungan secara ekonomis, tetapi hendaknya dilihat sebagai investasi jangka panjang. Hal ini dapat terwujud apabila para pengusaha dapat menciptakan kesetiaan yang wajar bagi para pekerjanya untuk tetap "mengabdi" kepada mereka. Pada akhirnya program pendidikan bagi pekerja anak dapatlah dipandang sebagai suatu bentuk investasi yang akan menghasilkan pekerja-pekerja terdidik, sehingga akan menjadi asset tak ternilai harganya. Di samping itu, pembebanan ini hendaknya juga dipandang sebagai tanggungjawab sosial pengusaha bagi terwujudnya kesejahteraan sosial (Nusantara, 1992: 12).

Secara normatif, dasar pemikiran ini dapat dikemukakan, bahwa pembebanan kewajiban terhadap pengusaha tersebut pada dasarnya merupakan bentuk usaha untuk mewujudkan kesejahateraan anak. Pasal 11 ayat (2) UU Kesejateraan Anak menegaskan, bahwa: "Usaha kesejahteraan anak dilakukan oleh Pemerintah dan/atau masyarakat".

Secara teknis, hal ini merupakan suatu keniscayaan, sebab pekerja anak hanya boleh dipekerjakan selama 3 jam perhari. Sedangkan sisa waktunya dapat dipergunakan untuk mengikuti kegiatan-kegiatan pendidikan formal. Sebagai dasar legitimasi lainnya dapat dilihat dari program jamsostek. Artinya perlu ada pengembangan program jamsostek sebagimana yang diatur di dalam UU No. 3 Tahun 1992. Seperti diketahui, bahwa dalam program tersebut dimungkinkan adanya pemberian jaminan sosial kepada para pekerja yang sudah tidak produktif (yang berupa jaminan hari tua). Pengembangan program jamsostek yang dimaksud adalah pemberian jaminan sosial berupa "hak memperoleh pendidikan formal" kepada para pekerja anak, yang dapat dianggap belum begitu produktif.

 

Penutup

Kebijakan pemerintah untuk melarang anak agartidak bekerja secara absolut pada akhirnya tidak dapat dipertahankan. Kebijakan irii memang bukan hal yang negatif, setidak-tidaknya dari aspek ekonomi.

Pekerja anak di sektor formal, selama ini, memperoleh hak yang sama seperti halnya. pekerja dewasa. Pemerintah belum pernah menetapkan kebijakan khusus tentang hak pekerja anak, yakni hak seorang anak, yaitu hak untuk memperoleh biaya pendidikan formal. Bahkan, UU Perlindungan Anak juga belum menampakan adanya perlindungan khusus bagi anak yang bekerja di sektor formal. Untuk itu, pemerintah perlu mengusahakan hak tersebut. Sementara pengusaha hendaknya juga merasa ada kewajiban untuk mewujudkan kepentingan tersebut, sebab hal itu dapat dianggap sebagai investasi jangka panjang bagi perusahaan.

 


 

Hak Asasi Manusia Dalam Perspektif “Hukum dan Masyarakat”

 

Hak Asasi Manusia Dalam Masyarakatnya

Pemunculan, perumusan dan institusionalisasi Hak Asasi Manusia (HAM) memang tak dapat dilepaskan dari lingkungan sosial atau habitatnya, yaitu tidak lain masyarakat itu sendiri di mana HAM itu dikembangkan. Terjadi semacam korespondensi antara HAM dan perkembangan masyarakat. Kita juga dapat mengatakan, bahwa HAM itu memiliki watak sosial dan struktur sosial sendiri.

Tulisan ini berangkat dari optik teoretis, bahwa "institusi dalam masyarakat berkorespondensi dan berkelindan dengan lingkungan sosialnya". Oleh karena itu kehadiran suatu institusi ingin dijelaskan dari konteks sosial dan historisnya. Sering kita menemukan pernyataan-pernyataan menggelitik, seperti misalnya dikemukakan oleh seorang gurubesar Univ. Leiden, Belanda, "In de eerste plaats lijdt het geen twijfel dat de gedachte van de bescherming van fundamentele mensenrechten voor het eerst is neergelegd in westerse geschryften ..." (tidak ada keraguan, bahwa ide perlindungan HAM pertama-tama dirumuskan di Barat - Baehr, 1989). Lebih lanjut dikatakan, "de bescherming van het individu tegen de eisen van de samenleving oorspronkelijk geen deel uitmaakte van het traditionele niet-westerse denken" (perlindungan individu berhadapan dengan masyarakat pada awalnya bukan bagian dan tradisi berfikir di dunia bukan-barat). Kalimat-kalimat tersebut dikutip pada awal tulisan ini sekedar menunjukkan,, bahwa ada cukup alasan untuk melakukan kajian tentang hubungan antara HAM dengan lingkungan sosialnya, dan bahwa HAM memiliki akar historis.

Kita coba melacak HAM dari segi perkembangan historisnya dan meneliti dalam konteks sosial yang bagaimana is muncul. Dokumen­dokumen paling awal yang memasuki HAM adalah Bill of Rights (Inggeris, 1688), Declaration of the Rights of Man and of the Citizen (Perancis, 1789) dan Bill of Rights (Amerika, 1791). Benar, seperti dikatakan oleh Baehr di muka, bahwa HAM itu berasal dari rumusan di Barat. Dokumen-dokumen tersebut mewakili pikiran yang ada di belakangnya yang mendorong pembuatan dokumen tersebut. Dengan demikian dokumen tersebut kita baca sebagai isyarat (sign) adanya atau kelahiran gagasan yang ada di belakangnya. Membaca tahun-tahun kemunculan HAM secara positif kita mencatat, bahwa itu terjadi di akhir abad ke-17 dan abad ke-18. Karena kita bertolak dari optik teoretis sebagaimana disebutkan di muka, maka di sini kita coba melacak kaitan antara kemunculan awal dari dokumen­dokumen HAM tersebut dengan lingkungan sosialnya. Ke dalam lingkungan sosial ini termasuk gagasan-gagasan yang berkecambah, kekuatan-kekuatan sosial-politik apa yang ada waktu itu dan sebagainya.

Secara sederhana kita bertanya, mengapa ide HAM muncul di abad­abad itu, mengapa tidak sebelumnya? Kalau kita mengamati trayek yang dilaluk oleh peradaban di Barat, maka kita bisa mencatat mulai dan "Dark Ages" (V - IX), "Middle Ages" (XII - XIV), "Enlightenment/Renaissance" (XIV - XVI) dan "Modern". Dari kata-kata yang dipilih untuk masing­masing era tersebut kita bisa mengatakan, bahwa yang tergambar adalah adanya suatu proses pembebasan individu (dari kegelapan/keterikatan ke pencerahan/pembebasan). Kalau kita ingin mencari perkembangan yang spesifik di Barat, maka saya kira itulah penggambaran yang tepat, yaitu suatu perjalanan sosial-politik-kultural untuk membebaskan individu dari keterikatannya pada lingkungan, alam maupun tradisinya. Pada waktu itu dikatakan, bahwa individu berada dalam keadaan serba terbelenggu. Ini sesuai dengan pernyataan Baehr di atas, yaitu "de bescherming van de individu tegen de eisen van de samenleving".

Pada saat kita mencatat kelahiran dokumen-dokumen HAM di muka, maka sangat menarik apabila itu kita proyeksikan pada latar belakang trayek kultural historis Barat. Dokumen HAM yang mengawali kemunculannya di abad-abad ke-17 dan 18 ternyata berkorespondensi dengan Masa Re­naissance. Ini menjawab pertanyaan kita tentang lingkungan sosial apa dan bagaimana yang memunculkan gagasan dan institusional HAM di dunia.

Pemahaman kita mengenai lingkungan sosial pada waktu itu lebih diperkaya dengan mencatat munculnya golongan borjuis pada abad itu. Mereka adalah golongan baru yang muncul terdiri dari "orang yang berpunya dan berpendidikan" (Menschen von Besitz und Bildung). Sebagai golongan yang baru muncul, kendatipun sangat bertenaga (powerful), tetapi tidak/ belum mempunyai tempat dalam peta sosial waktu itu; mereka belum memiliki "kapling sosial" dalam peta sosial lama. Meminjam istilah Bung Karno, golongan borjuis adalah "the new emerging force". Tetapi sebagai golongan baru yang sangat bertenaga, lambat laun mereka bisa memaksakan kehadirannya untuk diterima oleh konfigurasi kekuatan lama yang terdiri dari golongan kerajaan, ningrat dan gereja. Maka peta sosialpun menjadi berubah secara mencolok (drastis).

Perubahan tersebut didukung oleh diciptakannya berbagai asas, doktrin dan  kelengkapan institusi baru yang memungkinkan golongan borjuis mendapat tempat dalam peta sosial (baru). Kita mengenal "laissez fairer laissez aller", "laissez fairer laissez passer", yang mencerminkan tuntutan kebebasan untuk bertindak dan menolak campur-tangan negara. Pengaturan oleh negara hanya akan membatasi keleluasaan bergerak golongan borjuis yang sedang menanjak waktu itu. Demikian pula hukum didesak untuk menjadi netral, tidak diskriminatif, karena itu hanya akan menghambat kiprah mereka. Hukum lalu menjadi tempat yang aman bagi kaum borjuis untuk berlindung, oleh karena terciptanya berbagai asas dan prosedur yang menjamin kebebasan dan kemerdekaan golongan terseb-ut. Oleh karena itu secara jujur harus dikatakan, bahwa hukum modern itu untuk sebagian penting merupakan karya (kultur) borjuis.

Semangat dan keberhasilan kebangkitan serta pembebasan individu yang bisa ditandai sejak Masa Pencerahan (enlightenment) merupakan mo­tor pendorong penting bagi berkembangnya apa yang kemudian dikenal sebagai hak-hak asasi manusia. Kebangkitan individu sebagaimana dikemukakan di atas memerlukan legitimasi yang diberikan oleh pengakuan terhadap adanya sejumlah kemerdekaan dasar yang tak dapat dihambat begitu saja oleh kekuasaan apapun. Pasal 1"Declaration of the Rights of Man and of the Citizen" Perancis mengatakan "Men are born and remain free in respect of rights".

Dalam kaitan dengan sejarah Barat, masalah HAM erat berkaitan
dengan munculnya negara modern yang dalam perjalanannya sudah makin menjadi suatu kekuasaan yang hegemonial. Negara modern yang muncul di Barat menjadi seperti itu karena ia lahir bergandengan dengan sistem produksi yang kapitalistis. Untuk menjadi lahan dan sistem yang demikian itu maka harus diciptakan berbagal institusi, seperti negara dan hukum (modern). Negara menjadi sangat berkuasa dan membabat habis semua pranata dan tatanan sosial yang telah ada sebelumnya. Keadaan tersebut memancing munculnya perlawanan dan masyarakat non-negara. Sejarah HAM yang demikian itu mencatat, bahwa "The struggle for human rights has always been and always will be a struggle against authority... Visions of human rights by their nature, defy the legitimacy and threaten the exis­ tence of all forms of... authoritarian control..." (Lauren, 1998). Situasi yang demikian itu menjelaskan munculnya civil society berhadapan dengan negara. Sejak kemunculannya sampai hari ini HAM telah mengalami perkembangan dan perubahan yang dikenal dengan sebutan generasi HAM.

Generasi pertama meliputi hak-hak sipil dan politik. Generasi kedua meliputi hak-hak sosial, ekonomi dan budaya. Akhirnya generasi ketiga memuat sejumlah hak-hak kolektif, seperti: hak atas perkembangan/kemajuan (de­velopment); hak atas kedamaian; hak atas lingkungan yang bersih; hak atas kekayaan alam dan hak atas warisan budaya.

Kita sudah membicarakan mainstream HAM di dunia. Tetapi dunia tidak sama dengan Eropa atau Barat, melainkan jauh lebih luas dan besar daripada itu. Yang ingin dikatakan di sini adalah, bahwa masyarakat dan bangsa-bangsa di dunia ada beraneka ragam. Beraneka ragam dalam habi­tat fisiknya, tradisi kulturalnya, nilai-nilainya, kosmologinya serta pan­dangannya tentang manusia dan dunia. Tuhan saja tidak menciptakan komunitas dunia yang seragam. Itu merupakan isyarat (sign), bahwa di dunia ini kita memang harus hidup dalam suasana keanekaragaman serta kemajemukan.

Tidak semua bangsa dan masyarakat di dunia memiliki kosmologi serta pandangan (outlook) dunia dan kemasyarakatan seperti dimiliki dunia Barat. Pertanyaan tentang "bagaimana pandangan anda mengenai tempat manusia dalam masyarakat" akan menuai jawaban yang bermacam-macam, tidak tunggal. Barat menjawab dengan pandangan individual, sedang di bagian lain dari dunia yang sama, katakanlah itu Timur, orang memiliki pandangan kolektif. Interaksi dan saling memasuki satu sama lain bisa terjadi, tetapi yang satu tidak menggusur yang lain.

Jepang kita pilih mewakili Timur yang kofektif itu. Negeri dan bangsa itu kita pilih oleh karena ia telah berhasil untuk menciptakan dan mempertahankan struktur Timur berhadapan dengan penetrasi Barat. Berbicara mengenai modernitas maka tak pelak lagi orang akan mengatakan, bahwa )epang adalah negara modern industrial, bahkan sudah digolongkan ke dalam negara adi kuasa. Modernitas itu antara lain ditunjukkan melalui penggunaan model demokrasi untuk menata kehidupan politiknya. Kalau di Barat demokrasi itu berakar pada individu, yaitu sebagai institusi yang melindungi individu, maka keadaan di Jepang berbeda. Demokrasi di Jepang tidak berakar pada individu, melainkan kolektivitas atau kehidupan kolektif. Demokrasi )epang boleh dikatakan sebagai suatu transformasi dari bentuk kehidupannya yang kolektif ke taraf modern menjadi demokrasi. Itulah sebabnya banyak kesalah-fahaman mengenai Jepang, karena sekalian institusi modern Jepang berakar pada kosmologi kolektif tersebut (Wolferen, 1990).

Kultur Jepang mengenal amae, yaitu kata benda, sedang kata kerjanya adalah amaeru, yang berarti "to depend and presume upon another 's benevolence" (Lebra & Lebra, 1986). Terlihat di situ bagaimana orang Jepang itu sangat mengikatkan diri dan tergantung serta menggantungkan dirinya kepada orang lain. Seolah-olah seseorang tidak bisa melepaskan diri dan kebersamaannya dengan orang lain. Sikap inilah yang memberi ciri pada watak sosial orang Jepang. Orang Jepang hanya akan bertahan hidup di dalam komunitasnya atau bersama-sama orang lain. Keadaan tersebut menjelaskan mengapa orang Jepang tidak berani berada di luar komunitasnya. Ini juga menjelaskan mengapa komunitas dan kolektivitas ada di atas segalanya dan harmoni menjadi taruhan utama.

Keinginan untuk berperkara pada orang Amerika dan  keinginan memelihara harmoni pada orang Jepang juga berakar pada watak sosial tersebut, atau "arises from the nature of social relationships of the people involved" (Hamilton & Sanders, 1992). Dalam kasus-kasus sengketa selalu saja muncul ungkapan, seperti "and the goal is to reun or restore bounds between the parties"; "to include efforts to restore the broken or damage relationships". Tentulah dunia tidak bisa memaksa Jepang untuk mengikuti atau menggunakan watak sosial yang lain, karena itu akan merupakan pelanggaran HAM yang berat.

Dalam kaitan dengan pembicaraan mengenai HAM ia mengandung arti, bahwa HAM memiliki struktur sosial. Struktur sosial tersebut menjadi modal sosial masing-masing bangsa untuk memasuki dunia HAM, menangkapnya dan  menjalankannya. Kalau tetap ingin dikatakan, bahwa HAM itu universal, maka ia perlu mengalami verifikasi sehingga menjadi "HAM adalah universal dan memiliki struktur sosial". Suatu bangsa atau masyarakat akan menjalankan HAM yang universal itu dengan modal sosial yang dimilikinya. la tak dapat meminjam modal sosial bangsa lain.

Abdullahi Ahmed An-Na'im, yang melihat permasalahan dari segi kultural, memberikan verifikasi kultural terhadap optik sosiologis sebagaimana dikemukakan di atas. An-Na'im mengatakan,

"... Current and foreseeable new human rights cannot be seen as truly universal unless they are conceived and articulated within the widest possible range of cultural traditions ... human rights are much more credible and thereby stand a better chance of implementation if they are perceived to be legitimate within the various cultural tradi­tions of the world ..." Kritiknya terhadap praktek HAM di dunia sekarang ini adalah, "... the current international standard of humanrights, together with the machinery for promoting and implementing them, may not be sufficiently universal because they lack legitimacy in major cultural traditions..." (An-Na'im, 1992).

Sejak dunia mengenal dan dihadapkan pada berbagai komunitas kultural, yang masing-masing memiliki watak berbeda, maka kita pun akan menjumpai standar sosial dan  kultural yang berbeda-beda. Keadaan yang demikian itu akan sangat menentukan bagaimana HAM akan dijalankan di dunia. Dikatakan oleh An Na'im, "Since cultural norms and attitudes influ­ence individual and collective or institutional human behavior, one may reasonable expect cultural antagonism toward some human rights standards to diminish the efficacy of these standards in a particular society...."

Perbedaan dalam standar yang disebabkan oleh perbedaan habitat sosio kultural tidak berarti, bahwa HAM di sana-sini akan ditolak secara mutlak. Hal itu akan sangat tergantung pada kesabaran dunia dengan membiarkan terjadinya pembaLiran-pembauran, saling memasuki dan saling mencerahkan antar komunitas di dunia. Kultur bangsa-bangsa di dunia berubah sesuai dengan dinamika perkembangan dunia dan  itulah saatnya HAM menjadi "universal" secara lebih alami. Lebih daripada itu An-Na'im menganjurkan terjadinya suatu cross-cultural dialogue untuk mendekatkan perbedaan-perbedaan dalam penggunaan standar HAM.

Dalam perspektif sosiologis (Ian kultural di atas, dapat kiranya dikatakan, bahwa usaha untuk memajukan HAM di dunia, bukan dilakukan dengan cara mengangkatnya ke aras internasional, melainkan justru sebaliknya, yaitu membumikan atau mengakarkannya ke dalam sekian banyak masya­rakat di dunia. Dengan bertindak demikian, maka HAM akan diterima dan  dijalankan lebih efektif. la tidak lagi menjadi "bunyi-bunyian yang asing" melainkan sudah menjadi bagian nyata dari kehidupan sehari-hari dalam masyarakat di manapun di dunia.

Dunia kita ini tidak pernah berhenti dan terus membuat sejarahnya sendiri. Sesudah menjalani era modern selama beberapa abad, sekarang kita tiba pada suatu masa yang disebut Era Pasca-modern (PM, postmodernity, postmodernism). Disebut dan dikenali sebagai PM, oleh karena sesudah sekian lama hidup dalam era modern, kemudian dirasakan ada sesuatu masa yang berbeda, yang tidak dapat masih disebut sebagai modern begitu saja. Pada intinya dicatat adanya suasana kemerosotan idealisme modern. Oleh karena itu PM ingin melihat kembali "kesalahan-kesalahan" dan cacat pemikiran serta praksis zaman modern itu.

PM sering juga dikenali (identified) sebagai "the rise of mass forms of

communication and the commodification of intellectual products and symbolic forms", "the era of mass culture and mediazation". Perkembangan yang demikian itu mendesakkan perubahan-perubahan dalam cara bertindak, bahkan berpikir di banyak bidang. Dengan masuk dan  menyebarnya teknologi media canggih yang menghasilkan produk-produk masal itu, maka "busi­ness as usual" tak dapat dipertahankan lagi (Patterson, 1994).

Terjadilah mediazation, "the commodification of intellectual products and symbolic forms". Ini adalah era dan suatu kultur yang bersifat masal (mass culture). Sebagai akibatnya batas-batas antara private sphere dan public sphere menjadi kabur. Perkembangan yang demikian itu barang tentu berimbas juga ke dunia HAM. Kehidupan privat seseorang tentulah satu hak yang tak dapat diterobos begitu saja oleh orang lain. Adalah hak asasi seseorang untuk memiliki dan  menikmati kehidupan privatnya dan untuk membutuhkan perlindungan. Tetapi dengan memasuki era mediazation ini pengungkapan rahasia pribadi menjadi makin agresif sehingga sebagian hak-hak asasi seseorang menjadi korbannya.

Mari kita mengamati suatu perkembangan lain yang tidak kalah menariknya, yaitu tentang pikiran dan  faham alternatif. Saya sebetulnya tidak senang menggunakan istilah alternatif ini. la (terpaksa) disebut alternatif di tengah-tengah dominasi HAM individualistik. Sekalipun faham non­ individualistik tenggelam (sub-merge), tetapi tidak hilang sama sekali, melainkan tetap bertahan (survive) secara laten (latent). Pikiran peminggiran (marginal) itu pelan-pelan masuk ke tengah ruang publik (public sphere). Sangat menarik membaca sebuah buku yang secara tidak langsung menggambarkan berlangsungnya pergeseran tersebut (Mazarr, 1999).

Dengan mengutip Peter Drucker, Mazarr mengatakan;

"Every few hundred years in Western history there occurs a sharp transformation. Within a few short decades, society arranges itself - its worldview; its basic values; its social and political structures; its arts, its key institutions." Dengan mengutip Stephanie Pace Marshall, Mazarr juga mengatakan, "The turn of the twentieth century showed the limits of a linier mechanistic worldview and heralded the conception of an ecological universe - a holistic, dynamic, and inextricably con­nected system in which everuthing seems to affect everything else..." Hal yang paling menarik dari buku Mazarr "Global Trends 2005" adalah kekagumannya pada filsafat Taoisme seraya mengatakan, "I introduce each theme with a relevant quote from the Tao Te Ching, a volume of Asian moral wisdom whose focus on self-awareness, para­dox, and the holistic interconnection of life have important resonances in our age." Dan memang pada semua tema yang ditulis dalam buku tersebut, ia mencantumkan kutipan pendek dari Tao Te Ching yang dianggap relevan dengan tema yang dibicarakan.

Ungkapan-ungkapan dan pikiran "baru" ini memang.terdengar sebagai bunyi- bunyian yang aneh di telinga mainstream rasional, individual. Tetapi dalam PM ini telah terjadi keambrukan dari rasionalisme dan etos renaisance (Best & Keliner, 1991). Coba kita baca ungkapan-ungkapan yang diambil dari Tao Te Ching berikut ini (Zohar & Marshall, 2000).

"Look, it cannot be seen - it is beyond form. Listen, it cannot be heard - it is beyond sound. Grasp, it cannot be held - it is intangible. This three are indefinable, Therefore they are joined in one. From above it is not bright; From below it is not dark; An unbroken thread beyond description. It returns to nothingness. The form of the formless, The image of the imageless, It is called indefinable and beyond imagination." (Zohar & Marshall, 2000)

Indonesia juga mengenal kosa-kata seperti itu, artinya kosmologi yang mendasari ungkapan-ungkapan di atas sebetulnya, atau seharusnya tidak asing bagi kita. Suatu pernyataan waskita dalam bahasa Jawa mengatakan "Sadjatine ora ana apa-apa, kang ana ikoe doedoe" (Mertowardoyo, 1978). Logika kalimat-kalimat tersebut sulit dipahami apabila digunakan logika konvensional dan metode sains modern dewasa ini. Logika konvensional lebih bersifat linier, serial thinking, logika formal, bersifat dispassionate. Tetapi kita sudah sampai pada kesadaran atau kebutuhan untuk menggunakan "spiritual intelligence", sebagai "the ultimate intelligence". Kita juga telah melampaui Era Newton dan sampai ke dunia teori teori Kuantum, Relativitas, Chaos dan Kompleksitas, yang mengingatkan kita kepada buku Mazarr di muka. Kalimat waskita yang mengatakan "Sadjatine ora ana apa-apa ..." mengingatkan kita kepada keadaan "return to nothingness" dan Tao Te Chmg di atas. Memang ia hanya bisa dimengerti dan dijelaskan dari Teori Kuantum. Zohar dan Marshall menuliskannya sebagai "The ground state of the universe, the quantum vacuum, is in constant dialogue with the exitations of energy which are existence. Things arise from the vacuum and pass back into it... an absolutely still and transparent ocean on which waves have been created. The water in the ocean is in every wave, is the essence of every wave, yet when we look at the scene we see only the waves..." (Zohar & Marshall, 2000).

Kosmologi Timur dalam berbagai ungkapannya di atas dibicarakan dengan agak panjang, karena saya berpendapat, bahwa hal itu akan bisa memberikan kontribusi yang sangat berharga pada saat orang berpikir untuk memajukan HAM. Bahkan sebagaimana dibuktikan oleh beberapa buku di atas, Barat sekarang semakin menengok dengan rasa kekaguman ke kearifan Timur.

Dalam hubungan dan urusan dengan HAM, saya kira logika pikiran, yang berasal dari kosmologi yang berbeda itu mempunyai potensi yang cukup untuk memperkaya konsep dan praksis HAM. Penolakan serta kritik terhadap individualisme tidak terjadi secara sporadis, melainkan telah meluas menjadi diskusi publik. Bergabung dengan liberalisme maka konsep individualisasi kehidupan tersebut telah banyak memakan korban. Bentuk­bentuk kritik tersebut kadang mencapai bentuk penolakan yang konkret, bahkan di Amerika Serikat sendiri, seperti diwakili oleh aliran Critical Legal Studies Movement. Sungguh, kita memang hidup dalam era yang penuh dengan pembalikan-pembalikan, dekonstruksi terhadap tatanan, pikiran dan tradisi yang ada (Capra, 1983; Drucker, 1994; Steenbergen, 1983).

Individualisme, individualisasi, atomisasi kehidupan, telah menimbulkan sejumlah kerusakan dalam kehidupan fisik maupun sosial dan spiritual. Tentu saja individualisasi kehidupan mempunyai segi-segi positifnya sendiri, tetapi kita juga tak dapat menutup mata terhadap "produknya yang negatif.

Proses tersebut di atas akhirnya membawa dunia untuk berpaling ke bagian dunia lain, biasanya disebut Timur, yang tidak mengunggulkan rasionalisasi, atomisasi, melainkan kesatuan dan keutuhan (holism). Hal ini tentu saja akan berpengaruh terhadap penerimaan HAM di berbagai bagian dunia. Bagian dunia dengan kosmologi individual-atomistik dan bagian lain dengan kosmologi holistik tentunya akan menerima dan menjalankan HAM secara berbeda pula.

Di ranah teori sekarang bisa dijumpai suatu aliran pemikiran yang disebut'Postliberal Strands' (An-Na'im, 1992). Para pemikir yang berkumpul dalam aliran tersebut mengritik keterbatasan dan konsep hak-hak yang liberal. Kritik terhadap filsafat Barat yang berakar pada Era Pencerahan memunculkan tandingan dalam pendekatan HAM dari sudut 'Personalist Perspectives'. Personalis dan personalisme berbeda dari individualisme liberal maupun kolektivisme Marxist. Perspektif Personalis di sini oleh para pendukungnya dipertegas dengan sebutan 'Persona list-Comm unitarian Per­spectives'. Perspektif yang disebut terakhir beranjak lebih maju dari konsep tradisonal liberal mengenai hak. Mereka menyaksikan terjadinya kemerosotan dalam bentuk deprivasi-deprivasi di bidang ekonomi, kelompok kultural, bahkan juga kemerdekaan individu. Oleh karena itu diajukan perspektif baru yaitu 'personalist-communitarian', tersebut. Perspektif tersebut mendekati konsep-konsep tentang hak di luar negara-negara Barat.

Perkembangan yang sehat dari usaha pemajuan HAM adalah melalui 'pengakuan terhadap kemajemukan' di dunia ini. Tanpa mengakui kemajemukan tersebut, maka alih-alih memajukan HAM dunia malah akan terjebak ke dalam suasana konflik yang bisa memuncak pada pelanggaran HAM sendiri, terutama sejak HAM sudah memasuki generasi ketiga, yang antara lain memuat hak atas warisan budaya. Ini tentunya mengandung pengakuan dan penghormatan terhadap tradisi, kosmologi dan lain-lain yang mengandung nilai bagi komunitas bersangkutan.

Dalam model pemajuan HAM yang demikian itu tidak ada tempat bagi pemaksaan dan dominasi dari satu konsep HAM tertentu di atas yang lain. Apalagi sejak munculnya aliran pemikiran yang kontra-rasional dan kontra-individual di dunia sebagaimana diuraikan di muka. Yang ada adalah suasana saling penghormatan dan saling memberi tahu serta saling memperkaya satu sama lain. Konferensi-konferensi HAM internasional hanya akan menjadi medan pertukaran pengalaman dan forum pembelajaran, bukan menjadi tempat untuk menggiring bangsa dan negara di dunia ini ke arah pemahaman HAM secara seragam menurut satu standar mutlak.


Hak Asasi (Anak) Dalam Realitas

 

Pendahuluan

Masa depan bangsa ada pada kesejahteraan anak-anak saat ini. Begitu kata-kata yang sering terdengar bila membicarakan anak. Apalagi bila dilakukan pencermatan terhadap petikan karya Gibran di atas terasa amat manis. Sayangnya, hal itu tidak begitu berbanding lurus dengan realitas yang ada. Masih banyak anak-anak yang tidak beruntung dalam peme­nuhan haknya. Hak-hak yang dimaksud, secara mendasar meliputi kelangsungan hidup, tumbuh kembang, perlindungan dan  partisipasi. Tidak ada orang tua yang menginginkan anaknya menjadi anak jalanan, buruh upah murahan, pemuas nafsu si hidung belang, juga sebagai pengamen yang sering disaksikan di atas kendaraan umum atau pinggiran jalanan. Di sisi lain seorang anak juga tak pernah minta untuk dilahirkan, atau ketika ia terlahir kemudian menjadi pemuas nafsu bejat yang dicabik oleh ayah tiri bahkan ayah kandungnya.

 

Tinjauan Sejarah Hak Asasi Manusia

Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebutkan bahwa "hak" adalah (1) yang benar; (2) milik, kepunyaan; (3) kewenangan; (4) kekuasaan untuk berbuat sesuatu; (5) kekuasaan yang benar atas sesuatu atau untuk menuntut sesuatu; (6) derajat atau martabat; (7) (hukum); wewenang menurut hukum. Hak asasi adalah kebutuhan yang bersifat mendasar dari umat manusia. Pengertian yang beragam dan luas tersebut pada dasarnya mengandung prinsip bahwa, hak adalah sesuatu yang oleh sebab itu seseorang (pemegang) memiliki keabsahan untuk menuntut sesuatu yang dianggap tidak dipenuhi atau diingkari. Seseorang yang memegang hak atas sesuatu, maka orang tersebut dapat memperlakukan sesuatu tersebut sebagaimana dikehendaki, atau sebagaimana keabsahan yang dimilikinya.

Pertanyaan mengenai asal-usul hak asasi telah menjadi perdebatan penting dan amat panjang dari pergulatan pemikiran dalam sejarah konsep hak asasi manusia. Hak asasi merupakan hak natural/alam dan merupakan pemberian langsung dari Tuhan. Oleh karenanya bila seseorang manusia ingin memperoleh kehidupannya yang bermartabat, harus memposisikan hak asasi dengan melihatnya dari sudut sifat alamiah manusia secara hakiki. Hak asasi manusia bukan merupakan sesuatu hal yang baru. Akarnya telah mulai berkembang ketika orang-orang Yunani dan Romawi Kuno telah mengakui eksistensi hukum kodrat. Hukum kodrat boleh dirujuk oleh setiap warga negara bila timbul konflik dengan sistem-sistem hukum lain yang dirasakan tidak adil. Dalam perkembangannya, pemikiran humanis demikian diserap oleh zaman Renaissance dan bertumbuh subur ketika era Aufklarung. Penyerapan ini memberikan kewenangan yang amat leluasa berkembangnya teori moralitas yang bersumberkan pada hakekat hak-hak hakiki dari individu.

Sejarah panjang perlekatan antara HAM dan individu manusia kemudian tertuang dalam sejumlah dokumen penting seperti Magna Charta (1215), Petition of Right (1628), Bill of Right (1689). Kelahiran Magna Charta (1215) didahului oleh pemaksaan kepada Raja John Lockland agar mengakui hak-hak asasi manusia, antara lain: kemerdekaan seseorang tidak bebas disandera atau dirampas selain berdasarkan undang-undang atau keputusan hakim; dan pemungutan pajak tidak boleh dilakukan kalau hanya berdasarkan atas perintah raja saja.

Semula tidak ada keseragaman penyebutan istilah mengenai hak asasi manusia ini. Sebelumnya dikenal right of man, menggantikan natural right. Silang pengertian dan pemaknaan ini baru mendapatkan penegasan ketika Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa menetapkan Universal Decla­ration of Human Rights 10 Desember 1948. Deklarasi ini kemudian diikuti oleh lahirnya konvensi dan protokol sebagai berikut: The International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, The International Co­venant on Civil and Political Rights, Optional Protocal for the Covenant on Civil and Political Rights. Peristiwa ini dijadikan titik tolak sebagai Hari Hak Asasi setiap tahunnya. Secara aklamasi deklarasi tersebut diterima secara baik oleh Sidang Umum PBB tanggal 16 Desember 1966 dengan memberi kesempatan kepada negara-negara anggota PBB untuk meratifikasinya. Majelis merekomendasikan agar semua negara-negara anggota dan semua rakyat untuk menggalakan dan menjamin pengakuan yang efektif dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia dan  kebebasan yang ditentukan di dalam pernyataan ini. Dalam 30 pasal yang dimuat di dalamnya, terdapat pengakuan hak untuk hidup, kebebasan dan  keamanan pribadi hingga hak bebas dari perbudakan, menikah, beragama, hak perlindungan bagi perempuan (gender), lingkungan hidup dan  lain­lain. Dapat dinyatakan lahirnya deklarasi ini memposisikan perlindungan hak yang maju lebih pesat ketimbang rumusan John Locke ketika mem­perkenalkan hak kodrati manusia yang hanya meliputi hak hidup, hak kemerdekaan dan hak milik saja.

Pada dasarnya terdapat dua hak dasar pada manusia yaitu pertama, hak manusia (human rights) yaitu hak yang melekat pada manusia dan secara asasi ada sejak manusia itu dilahirkan. la berkaitan dengan eksistensi hidup manusia, bersifat tetap dan utama, tidak dapat dicabut, tidak tergantung dengan ada atau tidaknya orang lain di sekitarnya. Dalam sekala yang lebih luas hak asasi menjadi asas undang-undang. Wujud hak ini di antaranya berupa: kebebasan batin, kebebasan beragama; kebebasan hidup pribadi, atas nama baik, melakukan pernikahan, kebebasan untuk berkumpul dan  mengeluarkan pendapat, emansipasi wanita. Kedua, hak undang-undang (legal rights) yaitu hak yang diberikan oleh undang-undang secara khusus kepada pribadi manusia. Oleh karena diberikan, maka sifat pengaturannya harus jelas tertuang dalam sejumlah peraturan perundang-undangan. Barang siapa yang tidak memenuhi ketentuan undang-undang maka kepadanya dapat dikenakan sanksi yang ditentukan oleh pembentuk undang-undang.

Dengan dasar filosofi demikian, maka dapatlah kiranya dimengerti kalau hak yang diberikan dengan cara demikian ini sewaktu-waktu dapat dicabut menurut peraturan yang ditetapkan sebelumnya. Hak-hak khusus yang diberikan oleh undang-undang di antaranya: hak seseorang menjadi Pegawai Negeri Sipil atau anggota ABRI, hak untuk memilih dan dipilih dalam Pemilu, hak untuk memeluk, beribadah, serta melaksanakan agama sesuai dengan pilihan dan  keyakinan, hak untuk memperoleh pensiun dan  jaminan hari tua, hak untuk memperoleh santunan asuransi kecelakaan, hak untuk memperoleh pendidikan yang layak, hak untuk memperoleh upah yang layak dalam hubungan kerja, dan lain-lain.

Pada kehidupan bernegara, eksistensi lemah kuatnya struktur hak pribadi dan hak undang-undang tergantung dari kuat-lemahnya hak sosial yang melingkupinya. Hak pribadi pada suatu negara yang mengutamakan' kepentingan umum (negara sosialis) demikian lemah kedudukannya karena segala sesuatunya harus mengutamakan kepentingan umum. Sebaliknya pada negara yang bersistem liberalisme yang mengutamakan aspek indi­vidual, hak sosial akan memiliki kedudukan yang lebih lemah.

Hak-hak manusia disebut hak asasi, karena dianggap sebagai fundamen yang di atasnya seluruh organisasi hidup bersama harus dibangun dan  merupakan asas-asas undang-undang. Makna hak-hak asasi itu menjadi jelas, bila pengakuan akan hak-hak tersebut dipandang sebagai bagian humanisasi hidup yang mulai digalang sejak manusia menjadi sadar tentang tempat dan  tugasnya di dunia ini. Persoalannya sekarang, siapa penang­gungjawab masalah perlindungan HAM ini? Secara teori ada dua pendapat mengenai tanggungjawab ini. Pertama adalah menjadi kewajiban pemerintah atau suatu negara hukum untuk mengatur pelaksanaan hak-hak asasi ini, yang berarti pelaksanaannya, mengatur pembatasan-pembatasannya demi kepentingan umum, kepentingan bangsa dan  negara. Pandangan lain menyatakan bahwa pertanggungan jawab tidak harus berada pada negara, namUm juga pada segenap individu warga negara. jadi secara bersama­sama mempunyai kewenangan dalam upaya perlindungan hak asasi ini, Hal ini disebabkan setidaknya ada beberapa faktor penyebab: (a) bahwa kepentingan HAM tidak hanya menyangkut kepentingan negara semata tapi juga menyangkut kepentingan warga negara V HAM yang seutuhnya itu bersumber pada pertimbangan normatif agar manusia diperlakukan sebagaimana martabat manusia yang sesungguhnya (c) bahwa operasio­nalisasi kegiatan HAM memiliki tanggung jawab bersama antara manusia dalam struktur negara yang saling harus berinteraksi dan  harus diwu­judkannya.

Di Indonesia ketentuan mengenai hak asasi tercantum dalam pembukaan dan  sejumlah pasal-pasal naskah ash UUD 1945 (saat ini telah mengalami empat kali amandemen): Pembukaan UUD, Pasal 27 ayat (1), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28, Pasal 29 ayat (1), Pasal 29 ayat (2), Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34. Dibandingkan dengan Undang-Undang Dasar lainnya yang pernah berlaku, UUD ini relatif lebih sedikit dan  bersifat umum pengaturan mengenai HAM. UUDS misalnya dari 197 pasal, 30 pasalnya secara khusus memuat ketentuan tentang HAM. Amandemen UUD tahap II mengadopsi cukup banyak rumusan mengenai hak asasi manusia sebagaimana tertuang dalam pasal-pasal amandemen antara lain Pasal 18 B Ayat 2, dan  Pasal 27, Pasal 28 A hingga 28 I. Rekomendasi baru dalam pasal-pasal amandemen itu memuat secara tegas tid.ak hanya hak asasi namun juga kewajiban asasi.

Perwujudan hak dasar yang tertuang dalam UUD di atas kemudian dijabarkan dalam bentuk kebijakan dan sejumlah peraturan perundangan yang disusun secara bersama antara Presiden bersama-sama DPR. Selain membentuk sebuah kementerian khusus yang menangani urusan wanita dalam kabinet yaitu Menteri Negara Urusan Peranan Wanita sejak beberapa tahun terakhir sebagai upaya pelaksanaan konsep hak-hak asasi manusia, pemerintah juga menetapkan sejumlah peraturan perundangan seperti: Undang-Undang Nomor 26 Tahun 1999 tentang Pencabutan Undang­Undang Nomor 11/Pnps/1963 Tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999 tentang Perubahan KUHP yang Berkaitan dengan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang Ratifikasi atas Konvensi Anti Penyiksaan, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia, Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1999 tentang Ratifikasi atas Konvensi Anti Ras Diskriminasi, dan  Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Secara konsepsional, berbagai paradigma "baru" itu telah mengakui nilai-nilai kemanusiaan yang universal, yaitu seluruh nilai-nilai yang dicantumkan dalam Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia PBB telah diakui Indonesia melalui Rencana Aksi Nasional (RAN) Hak Asasi Manusia Departemen Luar Negeri yang telah didahului Pembentukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Keppres No. 50 Tahun 1993). Rencana Aksi Nasional terakhir dirubah dengan Keputusan Presiden Nomor 40 Tahun 2004.

 

Perlindungan HAM (Anak), Tanggung Jawab Siapa?

Menurut Deklarasi PBB tahun 1986, hak asasi manusia merupakan tujuan (end) sekaligus sarana (means) pembangunan. Turut sertanya masyarakat dalam pembangunan bukan sekedar aspirasi, melainkan kunci keseluruhan hak asasi atas pembangunan itu sendiri, dan  menjadi tugas badan-badan pembangunan internasional maupun nasional untuk menempatkan hak asasi manusia sebagai salah satu fokus utama pembangunan. Namun demikian fenomena hak asasi harus dicermati secara arif, sebab dalam masyarakat individualisme, ada kecenderungan menuntut pelaksanaan hak asasi manusia ini secara berlebihan. Padahal hak-hak asasi tidak dapat dituntut pelaksanaannya secara mutlak, sebab penuntutan pelaksanaan hak asasi secara mutlak berarti melanggar hak asasi yang sama yang juga dimiliki oleh orang lain.

Telah menjadi kesepakatan berbagai bangsa, persoalan anak ditata dalam suatu wadah Unicef (United International Children Educational of Fund). Bagi Indonesia sendiri, anak dikelompokkan sebagai kelompok rentan.

Dalam Penjelasan Pasal 5 ayat (3) Undang-undang No. 39 Tahun 1999 disebutkan 'bahwa yang termasuk kelompok rentan adalah orang lansia, anak-anak, fakir-miskin, wanita hamil, dan penyandang cacat. Menyangkut masalah anak, bagaimana realisasi dari semua tatanan hukumnya di Indo­nesia? Terutama pelaksanaan ketentuan Pasal 34 UUD 1945 mengenai kewajiban negara untuk melindungi harkat dan martabat anak, sudahkah negara melakukan upayanya?

Batasan anak dapat ditemukan dalam beberapa peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia. Meski dalam banyak rumusan namun pada prinsipnya keragaman batasan tersebut mempunyai implikasi yang sama yaitu memberikan perlindungan pada anak. Menurut Pasal 1 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 2002, "Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas tahun) termasuk anak yang masih dalam kandungan". Menurut Pasal 1 KHA/Keppres No. 36 Tahun .1990, "anak adalah setiap orang yang berusia di bawah 18 tahun kecuali berdasarkan UU yang berlaku bagi yang ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal". Sedangkan Menurut Pasal 1 ayat (5) UU No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM, "anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya".

Arah kebijakan pembangunan yang diamanatkan oleh GBHN 1999­ 2004 khususnya agenda bidang hak asasi manusia meliputi:

a. Menegakkan hukum secara konsisten untuk lebih menjamin kepastian hukum, keadilan dan  kebenaran, supremasi hukum, serta menghargai hak asasi manusia.

b. Melanjutkan ratifikasi konvensi internasional, terutama yang berkaitan dengan hak asasi manusia sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan bangsa dalam bentuk undang-undang.

c. Meningkatkan pemahaman dan  penyadaran, serta meningkatkan pelindungan, penghormatan, dan penegakan hak asasi manusia dalam seluruh aspek kehidupan.

d. Menyelesaikan berbagai proses peradilan terhadap pelanggaran hukum dan  hak asasi manusia yang belum ditangani secara tuntas.

 

Ketika menetapkan UU No. 23 Tahun 2002 LN 109 TLN 4235 tentang Perlindungan Anak, pemerintah menyandarkan sejumlah asumsi dasar mengapa disusun undang-undang ini. Di antaranya adalah bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin kesejahteraan tiap-tiap warga negaranya, termasuk perlindungan terhadap hak anak yang merupakan hak asasi manusia; bahwa anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya; bahwa anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan; bahwa agar setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab tersebut, maka ia perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial, dan berakhlak mulia, perlu dilakukan upaya perlindungan serta untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi.

Undang-undang ini menegaskan bahwa pertanggungjawaban orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara terus-menerus demi terlindunginya hak­hak anak. Rangkaian kegiatan tersebut harus berkelanjutan dan terarah guna menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak, baik fisik, mental, spiritual maupun sosial. Tindakan ini dimaksudkan untuk mewujudkan kehidupan terbaik bagi anak yang diharapkan sebagai penerus bangsa yang potensial, tangguh, memiliki nasionalisme yang dijiwai oleh akhlak mulia dan nilai Pancasila, serta berkemauan keras menjaga kesatuan dan persatuan bangsa dan negara.

Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera. Upaya perlindungan anak perlu dilaksanakan sedini mungkin, yakni sejak dari janin dalam kandungan sampai anak berumur 18 (delapan belas) tahun.

Bertitik tolak dari konsepsi perlindungan anak yang utuh, menyeluruh,, dan komprehensif, undang-undang ini meletakkan kewajiban memberikan perlindungan kepada anak berdasarkan asas-asas nondiskrimiriasi, kepen­tingan yang terbaik bagi anak, hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan, serta penghargaan terhadap pendapat anak. Apa yang dituangkan dalam rumusan undang-undang di atas sesungguhnya adalah adopsi dari sejumlah ketentuan konvensi antar bangsa seperti Convention on The Elimination of all Forms of Discrimination Against Women, ILO Convention No. 138 Concerning Minimum Age for Admission to Employ­ment, ILO Convention No. 182 Concerning The Prohibition and Immedi­ate Action for The Elimination of The Worst Forms of Child Labour yang kemudian diratifikasi ke dalam sistem hukum kita.

Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mengasuh, memelihara, mendidik, dan  melindungi anak, menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan  minatnya, serta mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak. Pemerintah selain menginventarisasi anak dalam struktur administratif berupa pencatatan, juga wajib menyelenggarakan pendidikan dasar minimal 9 (sembilan) tahun untuk semua anak. Undang­undang perlindungan anak mencantumkan sejumlah sanksi bagi mereka yang tidak menjalankan ketentuan undang-undang ini dengan sanksi pidana dan  denda puluhan bahkan hingga ratusan juta rupiah.

 

Hak Asasi (Anak) Dalam Realitas, Quo Vadis?

Berbagai pelanggaran terhadap hak-hak anak yang masih sering terjadi, tercermin dari masih adanya anak-anak yang mengalami abuse, kekerasan, eksploitasi dan  diskriminasi. Di antara pelanggaran Hak Asasi berkaitan dengan anak antara lain yang menyangkut masalah pekerja anak, perdagangan anak untuk tujuan pekerja seks komersial, dan  anak jalanan. Masalah pekerja anak merupakan isu sosial yang sukar dipecahkan dan  cukup memprihatinkan karena terkait dengan aspek sosial, ekonomi, dan  budaya masyarakat. )umlah anak umur antara 10 sampai 14 tahun sebanyak 20,86 juta jiwa, termasuk anak yang sedang bekerja dan  yang mencari pekerjaan sebesar 1,69 juta jiwa. Pada dekade terakhir, anak umur antara 10 sampai 14 tahun yang bekerja telah mengalami penurunan, namun pada tahun 1998-1999 mengalami peningkatan dibandingkan 4 tahun sebelumnya, sebagai konsekuensi dari krisis multidimensional yang menimpa Indonesia. Lapangan pekerjaan yang melibatkan anak, antara lain, di bidang pertanian mencapai 72,01%, industri manufaktur sebesar 11,62%, dan  jasa sebesar 16,37%.

Fenomena sosial anak jalanan terutama terlihat nyata di kota-kota besar terutama setelah dipicu krisis ekonomi di Indonesia sejak lima tahun terakhir. Hasil kajian Departemen Sosial tahun 1998 di 12 kota besar melaporkan bahwa jumlah anak jalanan sebanyak 39.861 orang dan  sekitar 48% rnerupakan anak-anak yang baru turun ke jalan sejak tahun 1998. Secara nasional diperkirakan terdapat sebanyak 60.000 sampai 75.000 anak jalanan. Depsos mencatat bahwa 60% anak jalanan telah putus sekolah (drop out) dan  80% masih ada hubungan dengan keluarganya, serta sebanyak 18% adalah anak jalanan perempuan yang beresiko tinggi terhadap kekerasan seksual, perkosaan, kehamilan di luar nikah dan  terinfeksi Penyakit Menular Seksual (PMS) serta HIV/AIDS.z

Mencermati data di atas, rasasnya sungguh ironis, karena hampir pasti hak dan  kewajiban orang tua termasuk negara hingga kini tidak dilaksanakan secara maksimal. Meskipun tidak dapat dipungkiri sejumlah upaya telah dilakukan pemerintah melalui proyek pengentasan kemiskinan, peningkatan harkat dan  martabat anak jalanan melalui rumah singgah. Namun patah tumbuh hilang berganti, anak jalanan bukan berkurang tapi semakin hari semakin meningkat. Di sisi lain proyek pengentasan ini tidak ada kesinambungannya karena landasan pelaksanaannya bersifat temporal semata. Sekedar melirik ke Negeri Kincir Angin (Belanda) di mana peme­rintahnya menyantuni setiap bayi yang baru lahir senilai 300 gulden, bagaimana negara kita yang nota bene berasaskan Pancasila? Memang Pancasila tidak patut dijadikan tameng untuk mempertentangkan negara kita dengan Belanda tapi setidaknya fenomena anak jalanan dan  dimensi, sosial yang melingkupinya seyogyanya menjadi fenomena menarik untuk bertanya kepada nurani kita masing-masing s~mpai sejauh mana di aptara kita memiliki komitmen pada pengentasan anak jalanan ini. Negara ini memang masih jauh dari cukup untuk memaksimalkan peran sebagai penyantun anak-anak terlantar, fakir miskin dan  kaum duafa lainnya meskipun legalitasnya telah dituangkan oleh the founding fathers pembentuk negara ini ketika menyusun sebuah UUD.

Belum lama berselang UNDP mempublikasikan penurunan peringkat HDI (Indeks Pembangunan Manusia) yang dialami sejumlah negara. Dari 175 negara yang dikaji, Indonesia berada di peringkat 112, dengan skor 0,682 (tahun 2002 lalu nilainya 0,684). Dibanding negara ASEAN lainnya, Indonesia hanya lebih tinggi dari Kamboja (130), Myanmar (131) dan  Laos (135), sedangkan negara ASEAN lainnya berada jauh di atas peringkat Indonesia (Vietnam 109). Tidak dapat dipungkiri ini adalah hanya sekelumit potret buram dari dampak ketidakpedulian terhadap kesejahteraan anak. Padahal masih ada dampak lainnya yang juga perlu diwaspadai yaitu misalnya tentang ancaman epidemi kasus HIV-AIDS akibat maraknya pelacuran anak (sayangnya, studi tentang anak-anak yang dilacurkan sangat minim).

Mass media kita tidak henti-hentinya mengekspos perlakuan tidak senonoh terhadap seorang anak, menjadi korban perkosaan oleh lelaki hidung belang, ayah tiri bahkan maaf disetubuhi oleh ayah kandung. Sungguh memilukan, karena perlakuan itu sangat bertentangan dengan nilai-nilai moralitas dan  agama. Tetapi sayang ketika kasus ini sampai di meja pengadilan, selalu yang menjadi pertimbangan penghukuman hanyalah terclakwa masih muda, bersikap sopan santun selama dalam persidangan, mengaku secara terus terang. Tak pernah dikedepankan bagaimana galau suara hati si korban menatap masa depan yang buram. Lebih ironis lagi di pengadilan yang terbukti justru pemutarbalikan fakta di mana perbuatan itu dilakukan atas dasar suka sama suka bahkan terkadang hukumnya tidak ada sehingga pelaku dijatuhi pidana yang sangat ringan termasuk pidana percobaan.

Di sektor pendidikan, wajah buram potret anak bangsa juga tidak kalah ironisnya. Sejumlah fenomena mencengangkan pernah diungkap media Suara Merdeka - Semarang hanya untuk membayar registrasi ulang anak tercinta seorang ibu sampai menggadaikan sepreinya. Sementara seorang ibu lainnya yang memasukkan anaknya ke sekolah dasar harus merogoh kantung tidak kurang dari setengah juta rupiah. Jumlah ini sekedar untuk tidak menyebut rupiah di sekolah "elite" lain yang di provinsi ini selalu menjadi polemik bangku kosong (fenomena "letjen" - lewat jendela) di setiap periode penerimaan siswa baru. Di sisi lain pemerintah merasa terbebani harus memfasilitasi penyelenggaraan pendidikan dasar 9 tahun. Lantas, perlindungan apa yang dapat diberikan pemerintah secara kongkret?

Memang, Pemerintah bersama DPR telah mengesahkan Undang­Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas (meski lahirnya UU ini tak kalah kontroversialnya ketika masih dalam proses penyusunannya, namun toh akhirnya ditetapkan juga oleh DPR). Undang-undang ini dalam pertimbangannya menyatakan bahwa sistem pendidikan nasional pada hakekatnya harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan bagi setiap warga negara. Jaminan ini juga menyangkut perlakuan yang bersifat khusus bagi anak-anak yang menderita kelainan mental, emosional dan  kejiwaan serta intelektual. Rumusan ini memang merupakan implementasi teoritis atas bunyi Pasal 31 ayat (3) UUD yang menegaskan bahwa Pemerintah mengusahakan dan  menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional itu, tapi bagaimana dalam realisasinya?

Mungkin terlalu naif kalau kita menyatakan bahwa perlindungan terhadap nasib anak selama ini hanyalah sebatas wacana. Dalam segala keterbatasannya pemerintah sebetulnya telah mulai meletakkan pondasi perlindungan baik berupa aspek yuridis maupun non yuridis. Berbagai bantuan telah dikucurkan, pembangunan sejumlah rumah singgah, fondasi sistem pendidikan telah ditata melalui undang-undang sistem pendidikan. Namun harus disadari upaya demikian ini harus pula dibarengi langkah kongkret dari berbagai pihak, termasuk anggota masyarakat luas tanpa terkecuali. Sebuah pertanyaan mungkin dapat diajukan, bagaimana elit politik negeri ini memandang persoalan buram seputar dunia anak dan masa depannya? Lalu masalah anak menjadi porsi siapa? Anak tetaplah anak yang selalu ceria dalam canda meski tak tahu apa yang menimpa mereka dan  apalagi yang akan menyapanya ketika subuh hingga petang menyongsong malam ke peraduan, waktunya tersita di sela-sela deru asap jalanan dan  kesendirian.

Masih segar dalam ingatan kita Hari Anak Nasional, 23 Juli tahun lalu, diperingati dalam suasana berbeda di berbagai lokasi di seluruh Indonesia. Presiden Megawati Soekarnoputri beserta sekitar 500 anak lebih merayakan Hari tersebut di Dunia Fantasi (Dufan), Ancol, Jakarta Utara. Seorang Gubernur mendongeng dengan lucunya di hadapan sejumlah anak. Persis sebagaimana selalu dilakukan Pak Harto ketika masih menjadi kepala negara yang dengan senyum khasnya menyapa anak-anak. Sejumlah LSM dan  "pencinta anak" melalui ragam kreasinya sendiri di berbagai kota juga melakukan hal yang sama. Yang membedakannya, seremonial LSM lebih bernada sindiran terhadap elite politik di negeri ini memperlakukan anak di hari khusus ini yang cenderung mengedepankan seremonial seperti pemerintah/penguasa masa lalu. Peringatan anak nasional tahun ini bertujuan meningkatkan kepedulian orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan  negara untuk mendengarkan suara anak sekaligus menjadikan bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan demi kepentingan anak. Memang, peringatan kali ini terasa agak beda, ketika dibacakan Resolusi Anak Indonesia, Forum Anak dan  Remaja Nasional 2003 oleh Jaka (17), pelajar kelas 3 SMU III Bandung, Jawa Barat dan Anggi Putri (15), siswa kelas 3 SMP Kartini, Batam, Riau. Dalam Resolusi Anak Indonesia tersebut, terbagi dalam empat permasalahan, yaitu perlindungan khusus anak, pendidikan, kesehatan serta HIV/AIDS. Selain itu, diberikan pula oleh Mensos akta kelahiran gratis kepada 10.000 anak Indonesia oleh Mensos Bachtiar Chamsyah. Meneg Pemberdayaan Perempuan, pada acara itu juga memberikan beasiswa kepada anak-anak Indonesia dan  diwakili oleh Anisa Nurjanah dan  Dodi Laksana. Selanjutnya penghargaan kepada 11 orang anak Indonesia berprestasi oleh Presiden Megawati, di antaranya diberikan kepada peserta Olimpiade Fisika dan  Olimpiade Matematika. Acara diakhiri oleh operet kolosal anak-anak berjudul, "Partisipasiku Dalam Indonesia Tercinta."

 

Penutup

Bertitik tolak dari langkah-langkah pemerintah di atas, sesungguhnya telah terbukti bahwa pemerintah telah secara bersungguh-sungguh untuk menjadi bagian dari masyarakat internasional dalam mengimplementasi dan  internalisasi hak asasi manusia ke dalam penyelenggaraan negara. Namun di sisi lain segenap upaya dan  usaha itu tidak akan berarti apa-apa bila dalam kenyataannya tidak diiringi oleh peran serta masyarakat secara aktif.

Rambu-rambu pelibatan peran serta masyarakat telah dituangkan dalam Peraturan Pemerintah No. 69 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dalam Penyelenggaraan Negara. Bila dicermati, abstraksi umum dari makna ketentuan peraturan pemerintah ini mengandung beberapa hak dan kewajiban sebagai berikut (Muladi, 2002):

a.    hak untuk mencari, memperoleh dan memberikan informasi mengenai penyelenggaraan negara;

b.    hak untuk memperoleh pelayanan yang sama dan adil dari penye lenggara negara;

c.    hak menyampaikan saran dan pendapat serta bertanggungjawab terhadap kebijakan penyelenggara negara;

d.    hak untuk memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan haknya, dan apabila diminta hadir dalam penyeledikan, penyidikan dan di sidang pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi atau saksi ahli, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

e.    hak-hak tersebut dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dengan mentaati norma-norma agama dan norma sosial lainnya. Hal ini dimaksudkan dalam rangka menghindari fitnah dan laporan yang tidak bertanggungjawab (di beberapa negara pelakunya justru dapat dipidana).

Dari sisi hak asasi manusia, hak untuk berpartisipasi dalam pem­bangunan di atas masuk kategori "Generasi HAM III", yaitu "hak untuk pembangunan" (right to development). Bahkan dalam realisasinya masih dapat diperluas dan ditonjolkan peranan civil society secara umum meliputi juga kalangan swasta dan lembaga publik lainnya. Penonjolan lembaga non pemerintah ini tidaklah dimaksudkan sebagai pesaing peran negara dan penguasa namun lebih pada peran penyeimbang kebijakan untuk pemenuhan hak-hak minimal.

Anak dalam berbagai struktur suku bangsa menempati posisi dan memiliki karakteristiknya sendiri-sendiri. jadi ketika kita menyebut anak Amerika seyogyanya berbeda bayangan kita ketika menyebut anak Indone­sia apalagi yang ada di pedesaan. (Meskipun) bila menempuh perjalanan trans Sumatra sepanjang melewati jalur penyeberangan Merak-Bakauheni berjejer penjaja mobil aksesori ber-remote kontrol dengan harga minimal ratusan ribu rupiah. Suatu jumlah yang cukup mengagetkan karena pen­jualannya seperti "di kaki lima". Apakah ini suatu pertanda peningkatan secara signifikan kemampuan para orang tua ataukah demi sebuah gengsi dan harga diri untuk disebut berbasis teknologi dan membiarkan anak kita larut dengan impian?

Dalam berbagai diskusi dengan teman sejawat penulis sering melontarkan kritik. Tidak disiplinnya anak didik, karena sang pendidiknya memang tidak pernah disiplin. Seorang anak pada jenjang pendidikan awal (TK), SD masih menaruh hormat pada guru ketika selesai kegiatan proses belajar mengajar sang guru berdiri di depan pintu. Anak-anak kita santun mencium tangan gurunya dan menyampaikan salam. Ketika menginjak jenjang pendidikan yang lebih tinggi, adakah fenomena ini dipertahankan? Bahkan sejak berangkat pagi dari rumah, hingga pulang sekolah/kuliah atau bahkan terlambat pulang apalagi sampai tidak pulang, orang tua tidak perduli sama sekali. Bila legenda Si Malin Kundang (maaf!) dinyatakan sebagai anak durhaka terhadap ibunya, tidakkah pertanyaan menggelitik dapat dikemukakan, jangan-jangan memang pendidikan dari bapaknya tidak pernah ada (atau memang tidak memiliki bapak, sang bapak meninggalkan anak dan isterinya secara tidak jelas sebagaimana terjadi di saat ini) sehingga kesetaraan pendidikan dalam keluarga tidak terbentuk yang tentunya juga akan berkontribusi pada anak-anak? Masih adakah tersisa rasa malu kita saat sebagai orang tua? Suri tauladan apa yang telah kita tanamkan? Apa yang sudah kita lakukan buat anak bangsa ini? Sudahkah kita terbiasa mendengar suara anak? Bukankah kita selama ini terlalu mengindoktrinasi anak demi sebuah pengharapan yang tidak jarang diikuti pemaksaan harus mengikuti apa yang kita mau? Seorang Gubernur pernah berujar, anak saat ini telah jauh berbeda. Tata kerama dan sopan santun tak dipegang sama sekali apalagi diamalkan.

Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Konvensi Perserikatan Bangsa­Bangsa tentang Hak-hak Anak. Dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan  diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan. Sebagai sebuah gagasan awal, bebarapa upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan pelaksanaan hak anak dalam masyarakat antara lain: (a) perlu peningkatan pemahaman dan  kesadaran masyarakat akan sejumlah hak-hak anak; (b) memberikan pemahaman dan kesadaran terhadap berbagai pihak mengenai hak-hak anak; (c) peningkatan profesionalisme aparat dalam melindungi dan melayani hak-hak anak; (d) menyusun sistem monitoring hak-hak anak yang akan digunakan untuk membuat kebijakan legislatif berkenaan dengan hak anak.

Ratifikasi terhadap sejumlah Konvensi Hak Anak dunia dan  menuangkannya dalam sejumlah peraturan peruridangan belaka (dus juga sejuml,ih sanksi hukumnya) tanpa adanya perubahan sikap dan perilaku yang mendukung, akan membuat muatan Konvensi tidak memiliki makna apapun. Pemaknaan "social engineering" melalui hukum, tanpa menge­depankan aspek-aspek sosial budaya lain secara sosiologis dan filosofis adalah suatu keniscayaan belaka.

Wahai orang tua, dengarlah suara anak dan mulailah menyapa karena anak bagian dari masa lalu yang akan menata negeri ini di masa datang. Mereka sangat patut memperoleh perlindungan atas berbagai hak-haknya; hak kesejahteraan, hak perlindungan dan keselamatan, hak untuk tidak dieksploitasi, hak untuk pendidikan dan kesejahteraan yang layak. Wallahualam. Semoga.


Hak Sosial Budaya Masyarakat Tradisional Dalam Perspektif Kekinian;

Memaknai Sengketa Hak Atas Tanah Sebagai Sebuah Hak yang Bersifat Asasi

 

Pendahuluan

Penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia memerlukan proses panjang mengingat sifatnya hak-hak asasi manusia yang sarat dengan nilai. Sejarah kemudian mencatat Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1948 telah menyetujui Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia yang berisikan suatu daftar hak-hak dasar manusia, sebagai "suatu standar prestasi bersama bagi semua orang dan semua bangsa". Sebagai sesuatu yang bersifat baku ia merupakan tuntutan bagi setiap bangsa di muka bumi untuk secara progresif nasional maupun internasional memberikan jamin4n pengakuan terhadap hak-hak sipil/asasi manusia. Semenjak itu, telah disetujui banyak instrumen tambahan, berupa perjanjian-perjanjian internasional yang secara hukum mengikat, maupun deklarasi-deklarasi yang tidak mengikat, baik bersifat global maupun regional.

Secara khusus eksistensi terhadap hak masyarakat tradisional terhadap tanah dan kampung halamannya dirumuskan dalam dokumen Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) No. E/C.4/2002/97. Substansi yang lebih rinci dari hak masyarakat tradisional ini dapat ditemukan dalam ILO Convention Concerning Indigenous and Tribal Peoples in Independent Countries nomor 169 tahun 1989 tanggal 27 Juni 1989. Konvensi ILO ini, sayangnya, belum diratifikasi oleh Republik Indonesia. Pada intinya bahwa bagi masyarakat tradisional, tanah dan kampung halaman itu tidak hanya sekedar merupakan benda-benda ekonomi, tetapi juga merupakan bagian menyeluruh dari kehidupannya. Bila tanah dan  kampung halamannya ini terusik, apalagi terasingkan oleh Negara atau fihak ketiga, yang akan terancam bukan hanya kehidupan ekonomi dari masyarakat tradisional tersebut saja, tetapi juga keseluruhan eksistensi masyarakat tradisional itu sendiri. Hal ini sering luput dari perhatian para pejabat pemerintah, yang lazimnya bukan -atau bukan lagi- warga suatu masyarakat tradisional, tetapi adalah kaum urban yang secara kultural berorientasi kosmopolitan.

Tulisan ini bermaksud mencermati eksistensi masyarakat tradisional/ adat dan  hak-hak sosial budayanya di tengah-tengah perkembangan sosial, politik, ekonomi dan  hukum masyarakat Indonesia modern khususnya berkaitan dengan tanah. Konteks masyarakat modern dalam kajian ini dimaknai dengan munculnya hegemoni negara dalam sejumlah kebijakan­kebijakannya yang menurut penulis sedikit banyak makin memarjinalkan masyarakat adat (sekedar kita menyebut konsep "masyarakat tradisional" identik dengan masyarakat adat, sebab ada kecenderungan penyebutan masyarakat adat lebih mengarah kepada pengkultusan terhadap sekelompok masyarakattertentu dengan berbagai atributtradisionalnya. Padahal disadari atau tidak sejarah telah mencatat bahwa hampir tidak ada kelompok masyarakat tertentu yang saat ini betul-betul murni (di Lampung, misalnya; saat ini telah bermukim heteroginitas suku bangsa sebagai akibat pelaksanaan kebijakan kolonisasi Belanda 1905 hingga transmigrasi sejak 1956 hingga dekade 1980-an). Kini daerah Lampung tertutup sebagai daerah tujuan transmigrasi, bahkan dalam dekade sepuluh tahun terakhir provinsi ini telah merelokasikan warganya dari eks register wilayah hutan lindung ke lokasi pemukiman baru yang khusus disediakan untuk itu.

 

Tanah dan Masyarakat Adat

Tanah merupakan salah satu unsur esensial dalam hidup dan  kehiclupan umat manusia. Sifat esesensial ini dibuktikan paling tidak karena dua hal yang menyebabkannya yaitu, pertama karena sifatnya yang merupakan suatu benda kekayaan yang bersifat tetap, bahkan terkadang menguntungkan. Kedua, karena fakta, suatu kenyataan tanah merupakan tempat tinggal persekutuan masyarakat adat, memberi penghidupan kepada persekutuan masyarakat adat bahkan merupakan tempat dimana para warga persekutuan meninggal dunia akan dikebumikan.

Sebagai akibat fakta tersebut di atas, maka antara masyarakat adat dengan tanah yang didiaminya terdapat hubungan yang sangat erat, bahkan demikian eratnya hubungan tanah dengan pemiliknya tak jarang memiliki sifat religio magis. Hubungan yang erat dan  bersifat relegio magis, menyebabkan masyarakat adat memperoleh hak untuk menguasai tanah. Mengingat pentingnya kedudukan tanah bagi masyarakat adat, maka bagaimana sederhana tingkat budayanya, setiap masyarakat adat sudah barang tentu mempunyai cara pengaturan tentang tanah. Meskipun demikian, pengaturan itu tidak selalu berwujud dokumen/tertulis. Hal demikian ini tidaklah mengherankan karena dalam suatu persekutuan akses pada tanah secara umum dikontrol pula oleh suatu jaringan hubungan kekerabatan yang kompleks.

Selain itu dalam suatu masyarakat adat, tanah menjadi landasan bagi kehidupan subsistem mereka, tanah juga memberi cash income. Bahkan tanah merupakan dasar bagi identitas mereka. Tanah dalam kdnteks ini dipandang sebagai aset ekonomi maupun sekaligus sebagai dasar nilai yang berkaitan dengan belief system-nya. Oleh karena" itu, tanah bagi persekutuan adat adalah bagian dari kebudayaan.

Selanjutnya dalam sekala yang lebih luas, bagaimana hubungan antara masyarakat hukum adat dengan tanahnya? Sebenarnya masyarakat hukum adat dapat ditinjau sebagai suatu totalitas, kesatuan publik maupun badan hukum. Sebagai totalitas, masyarakat hukum adat merupakan penggambaran dari warga warganya termasuk pula pimpinan/kepala adatnya. Sebagai suatu kesatuan publik, maka masyarakat hukum adat sebenarnya merupakan suatu badan penguasa yang mempunyai hak hak untuk menertibkan masyarakat serta mengambil tindakan tindakan tertentu terhadap warga masyarakat. Sebagai badan hukum, maka masyarakat diwakili oleh kepala adatnya dan lebih banyak bergerak di bidang hukum perdata. Dengan demikian, sebenarnya hubungan antara masyarakat hukum adat dengan tanahnya merupakan hubungan publik maupun hubungan perdata, oleh masyarakat hukum adat yang menguasai dan memiliki tanah tersebut. Penguasaan dan  pemilikan atas tanah oleh masyarakat hukum adat menurut Van Vollenhoven disebut beschikkingsrecht, yang oleh para ahli hukum adat Indonesia dipergunakan istilah istilah hak purba, hak pertuanan, hak bersama atau disebut "hak ulayat".

 

Hak-hak Sosial Budaya Masyarakat Adat dalam Perspektif Kekinian

Undang Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA), secara tegas dalam penyusunannya telah berpedoman pada hukum adat dan  hukum agama. Hal ini menunjukan bahwa sumber sumber keteraturan lokal secara sadar dan  formal dijadikan pedoman dalam penyusunan peraturan perundangan masalah pertanahan.

Hak ulayat diakui dengan tegas dalam Pasal 3 UUPA:

"Dengan mengingat ketentuan ketentuan dalam Pasal 1 dan 2, pelaksanaan hak ulayat dan hak hak yang serupa itu dari masyarakat masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataan masih ada, harus sedemikian rupa, sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa, serta tidak boleh bertentangan dengan undang Umdang dan peraturan peraturan (hukum) lain yang lebih tinggi".

 

Tentang pelaksanaan hak ulayat itu dijelaskan dalam Pasal 5 UUPA sebagai berikut:

"Hukum agraria yang berlaku atas bumi air dan  ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan  negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan peraturan yang tercantum dalam undang undang ini dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur unsur yang berdasarkan hukum agama".

Hal ini berarti bardasarkan hak ulayat yang bersumberkan hukum adat, masyarakat hukum yang bersangkutan tidak boleh menghalangi pemberian hak guna usaha yang hendak dilakukan oleh Pemerintah. Jika Pemerintah akan melaksanakan pembukaan hutan secara besar besaran dan teratur dalam rangka proyek-proyek besar untuk penambahan bahan makanan dan  transmigrasi, maka hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tidak boleh menjadi penghalang. )ika hak ulayat dari masyarakat hukum dapat menghambat dan  menghalangi sesuatu, maka kepentingan umum akan dikalahkan oleh kepentingan masyarakat masyarakat hukum yang bersangkutan. Hal ini tidak dapat dibenarkan, dengan kata lain kepentingan suatu masyarakat hukum harus tunduk kepada kepentingan nasional dan  negara.

Dalam memori Penjelasan UUPA ditegaskan:

"Tidak dapat di benarkan, jika dalam alam bernegara dewasa ini suatu masyarakat hukum masih mempertahankan isi dan  pelaksanaan hak ulayatnya secara mutlak, seakan akan ia terlepas dari hubungan dengan masyarakat hukum dan  daerah daerah lainnya di dalam lingkungan negara kesatuan". Jika dipertahankan sikap demikian, maka bertentangan dengan asas pokok yang tercantum dalam Pasal 2 UUPA yang berbunyi: "Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 UUD 1945 dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air, dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat".. Akan tetapi penguasaan itu harus digunakan untuk mencapai sebesar besar kemakmuran rakyat, dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan dan  kemerdekaan dalam masyarakat dan  Negara Hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil, dan  makmur (Pasal 2/3 UUPA).

 

Sehubungan dengan adanya pengakuan UUPA atas eksistensi hukum adat ditengah tengah masyarakat Indonesia yang majemuk, ada beberapa pertanyaan pokok yang dapat diajukan, pertama "hukum adat yang mana saja yang dimasudkan dalam UUPA?" Selanjutnya, mengacu pada pernyataan "pengakuan diberikan sepanjang hukum adat itu masih ada", bagaimana cara menentukan bahwa suatu hukum adat di suatu daerah atau dalam suatu masyarakat hukum adat itu masih ada atau tidak? Lalu berkaitan dengan keterangan bahwa pengakuan atas hak adat bisa berjalan sejauh tidak bertentangan dengan kepentingan negara dan/atau kepentingan umum, bagaimanakah merumuskan/menetapkan suatu tindakan atas tanah tertentu merupakan kepentingan negara maupun kepentingan umum atau tidak. Bila dicermati, berkenaan dengan masalah pengakuan atas hak adat sebagaimana yang tercantum dalam UUPA, kita juga dihadapkan pada dua terminologi yang membingungkan yaitu tentang penyebutan "hak adat" dan "hak ulayat". Dari penjelasan yang dimaksud tidak dapat diambil kesimpulan apakah hak adat itu sama artinya dengan hak ulayat atau keduanya mengacu pada dua fenomena yang berbeda; dan/atau apakah hak adat yang diakui hanyalah yang berupa hak ulayat (dalam hal ini hak ulayat ditafsirkan sebagai hak milik/guna bersama), dan dengan sendirinya tidak mengakui hak adat yang mengatur hak (milik/guna) perseorangan.

Selain itu, penjelasan tentang hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu sebagaimana yang tercantum dalam Penjelasan Pasal Demi Pasal untuk Pasal 3 UUPA juga tidak memberikan keterangan yang memadai. Dalam bagian itu hanya tercantum kalimat yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu ialah apa yang di dalam kepustakaan hukum adat disebut bescikkingsrecht, yang tidak lain adalah kata dari bahasa Belanda yang kalau diterjemahkan berarti hak ulayat itu sendiri.

Bila ditelusuri, asal usul konsep hak ulayat bersumber pada aspek kebudayaan melayu yang memiliki landasan landasan pada masyarakat bersangkutan. Secara konseptual, hak ulayat tentunya dimiliki oleh masyarakat yang berklen (dan ), dan masyarakat berklen berasal dari masyarakat yang bersistem kekerabatan unilateral (matilinial atau patrilinial). Landasan landasan kekerabatan itulah yang kemudian munculnya pengertian "hak ulayat". Tanah hak ulayat pada dasarnya berfungsi sebagai jaminan kesejahteraan bersama, sumber kebutuhan taktis, lalu sebagai sumber dana untuk menyelenggarakan hajatan adat (tuntutan adat). Dengan demikian yang dimaksud dengan hak ulayat menurut konsepsi hukum adat adalah hak yang dimiliki oleh suatu klen/kerabat masyarakat adat bersangkutan. Pada dasarnya yang menjadi obyek hak ulayat bukan menopoli bidang bidang tanah, tetapi juga air atau perairan seperti, kali (sungai), danau, dan  pantai bersama perairannya serta tumbuh tumbuhan yang hidup secara liar dan binatang yang hidup liar.

Menurut Iman Sudiyat (1981) yang menjadi ciri-ciri pokok hak ulayat adalah:

a.    Hanya persekutuan hukum itu sendiri beserta para warganya yang berhak dengan bebas mempergunakan tanah tanah liar di wilayah kekuasaannya.

b. Orang luar hanya boleh mempergunakan tanah itu dengan izin penguasa persekutuan tersebut: tanpa izin itu ia dianggap melakukan pelanggaran.

c.    Warga persekutuan hukum boleh mengambil manfaat dari wilayah hak purba dengan restriksi: hanya untuk keperluan somah/brayat/ keluarganya sendiri: jika dimanfaatkan untuk kepentingan orang lain, ia dipandang sebagai orang asing, sehingga harus mendapat izin lebih dahulu. Sedangkan orang asing hanya diperkenankan mengambil manfaat dari wilayah hak purba dengan izin Kepala persekutuan hukum serta pembayaran upeti, mesi (recognitie, retributie), kepada persekutuan hukum.

d.    Persekutuan hukum bertanggung jawab atas segala hal yang terjadi dalam wilayahnya, terutama yang berupa tindakan melawan hukuM, yang merupakan delik.

e.    Hak purba tidak dapat dilepaskan, dipindah tangankan, diasing0kan untuk selamanya.

f.     Hak purba meliputi juga tanah yang sudah digarap, yang sudah diliputi oleh hak perorangan.

Dalam literatur hukum adat pernah dikemukakan tentang cara mempertahankan hak ulayat yaitu: pertama tama persekutuan ulayat adat berusaha meletakkan batas batas di sekeliling wilayah kekuasaannya itu. Usaha kedua menunjuk pejabat pejabat tertentu secara khusus, bertugas mengawasi ulayat kekuasaan persekutuan yang bersangkutan. Yang ketiga biasanya diadakan patroli patroli perbatasan sebagai pengawasan terhadap tanah ulayat.Untuk menentukan batas wilayah tanah ulayat, harus ditentukan berdasarkan musyawarah kepala kepala adat yang wilayahnya berdampingan/berbatasan dengan wilayah tanah ulayat. Oleh karena itu kepala adat sangat berperan dalam mengatur, menyelenggarakan dan  menggunakan tanah ulayat.

Di Lampung untuk memanfaatkan tanah ulayat harus seizin kepala adat/kepala marga. Sebagai contoh kepada siapa saja yang meninggalkan rumah/umbul dan  tanam tumbuhnya yang tidak dipelihara selama tiga tahun, maka penguasaannya kembali kepada kepala adat. Tetapi jika ingin memanfaatkan kembali maka harus seizin kepala adat. Selanjutnya kepada anggota masyarakat yang pindah/meninggalkan rumah/kampung/umbul, maka tanah yang dimanfaatkan tidak boleh dijual tetapi harus diserahkan kepada kepala adat dan  atau sanak keluarganya (menurut garis darah). Kalau anggota masyarakat adat mengambil hasil hutan harus seizin kepala adat, yang

hasilnya dibagi kepada kepala adat dengan perbandingan tertentu sesuai dengan kesepakatan, apabila dalam mengambil hasil hutan tersebut tanpa seizin kepala adat maka hasil hutan tersebut disita oleh kepala adat dan  yang bersangkutan didenda dengan sejumlah uang tertentu dengan tambahan harga seekor kerbau.

Contoh tersebut di atas mengambarkan bahwa kedudukan kepala adat dalam mengatur, peruntukan hak tanah ulayat memegang posisi yang sangat penting. Selain itu kepala adat sangat dituntut untuk mengetahui secara pasti tentang asal usul/riwayat tanah ulayat di daerahnya.

Keberadaan tanah ulayat di Lampung, pada mulanya pengolahan/ penguasaan dan  pengaturannya ada pada lembaga "marga" yang dalam hal ini adalah kepala marga atau pasirah. Selanjutnya, istilah marga sejak tahun 1952 statusnya telah berubah menjadi "negeri", sehingga yang tadinya tanah marga menjadi tanah negeri. Sebelumnya terhadap tanah marga, masyarakat adat Lampung hanya mempunyai hak pakai atau hak garap yang harus mendapat izin dari Kepala Marga (Pesirah). Pada tahun 1973 Gubernur Lampung melalui Putusannya No.G/234/D.l/HK/1973, telah menghapus pemerintahan negeri, di sini bukan berarti tanah ulayat menjadi hapus melainkan tanah ulayat tersebut akan kembali pada marga masing masing. Sebagai contoh Negeri Tulang Bawang (Propinsi Lampung) tanah ulayat/marga akan kembali kepada marga masing masing yaitu marga Buay Bulan, Tega'moan, Aji dan  Suay Umpu. Di lain pihak Gubernur Lampung telah mengeluarkan Keputusan No.G/127/DA/HK/1974 tentang Pembebasan Tanah Untuk Keperluan Perusahaan. Apabila kita telaah, maka tanah ulayat/ marga di bawah kekuasaan atau wewenang kepala adat/marga bersangkutan, sehingga kalau terjadi persengketaan terhadap tanah tersebut masing masing kepala adat/marga dapat menempuh jalur musyawarah untuk penyelesaiannya.

Namun persoalan yang timbul, dengan dihapuskannya pemerintahan negeri atau marga dianggap bahwa tanah ulayat menjadi tanah yang dikuasai oleh Pemerintah Daerah (Pemda). Sehingga dengan adanya peraturan yang dikeluarkan melalui Keputusan Gubernur tersebut di atas tanah ulayat sebagai hak masyarakat adat menjadi hapus. Sebagai contoh konkrit sekarang ini tidak sedikit masyarakat (adat) menuntut tanah yang telah dikuasai oleh Perusahaan atau Perkebunan sebagai tanah milik adat (tanah ulayat). Tuntutan tersebut dengan dalih bahwa pada waktu pembebasan tanah masyarakat sebagai anggota dari suatu marga tidak diikut sertakan. Meskipun ada wakil masyarakat dari suatu marga tetapi wakil masyarakat tersebut dianggap tidak representatif.

 

Pengembalian Hak Sosial Budaya (Khususnya Terhadap Tanah), Masihkah Mungkin?

Provinsi Lampung sebagai provinsi yang memiliki daratan seluas 35.288,35 km, merupakan pintu gerbang pulau Sumatra dengan komposisi penduduk begitu heterogen dari berbagai etnik. Pada tahun 2000 jumlah penduduknya berjumlah 6.998.535 orang. Dengan komposisi penduduk yang cukup tinggi dan  terbatasnya kesempatan kerja serta struktur penghidupan yang bertumpu pada sektor pertanian, maka tanah-tanah pertanian merupakan ''soko guru" perekonomian rakyat dan  negara. Pengusahaan lahan-lahan pertanian pada kenyataannya tidak mampu mengangkat derajat kesejahteraan para petani atau masyarakat. Keadaan demikian menimbulkan kecemburuan sosial sebagai akibat ketidakadilan dan  adanya ketimpangan penguasaan dan  pemilikan bidang-bidang tanah tertentu. Selain itu munculnya peluang alih fungsi lahan akibat masuknya investor besar dalam bidang perkebunan dan  pertanian dapat menciptakan kerawanan-kerawanan sosial yang dapat berkembang menjadi permasalahan yang lebih besar.

Sampai dengan Oktober 1995 inventarisasi LBH Lampung menunjukkan kasus tanah di provinsi Lampung telah mencapai luas 110.737,50 Ha dengan perincian s/d Desember 1993 seluas 82.240 Ha, s/d Desember 1994 seluas 105.344 Ha (meningkat 29,73%), s/d Oktober 1995 seluas 110.737,5 Ha (men ingkat 36,37%). Tipologi kasusnya meliputi Agroindustri (18.864 ha), Kepentingan Umum (560 ha), Pariwisata (700 ha), HTI (3.585 ha), Hutan LindUuig (61.405,47 ha), Tambak Modern (23.900 ha), Pribadi (106 ha), Real Estate (444 ha), Perumahan (453 ha), Pertanian (720 ha).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Mustofa Usman dkk. (2001) sengketa tanah yang terjadi pada umumnya adalah antara masyarakat dengan BUMN yaitu 80% terjadi di Lampung Selatan, masyarakat dengan perusahaan swasta sebesar 80% masing-masing di Lampung Barat, Metro, Lampung Tengah dan  Menggala. Masyarakat dengan Instansi Pemerintah sebesar 80% terjadi di LampungTimur. Upaya penyelesaian konflik sangat bervariasi di Lampung Utara 50% dan  di Metro, Lampung Tengah serta Menggala 55% melalui negosiasi langsung dengan pemilik baru, sedangkan yang melalui unjuk rasa 50% terjadi di Lampung Barat. Solusi dalam pemecahan konflik pertanahan melalui mediator pemerintah 70% terjadi di Way Kanan, 90 % di Lampung Selatan dan  40% di Lampung Timur, sedangkan yang meminta bantuan tokoh adat/masyarakat 70% di Lampung Utara, 60% di Lampung Barat dan  90% di Tanggamus. Yang cukup menarik adalah hanya 10% terjadi di Lampung Selatan dan  25% di Bandar Lampung mengadukan sengketanya ke pengadilan. Sampai Desember 2001 jumlah penyelesaian kasus tanah sebanyak 97 kasus atau 49% (BPN Provinsi Lampung, yang

diolah oleh Biro Tapem, Maret 2002).

Mencermati data di atas, dalam hal metode penyelesaian sengketa pertanahan, tampak terdapat kecenderungan penyelesaian sengketa secara non-pengadilan (92,44%). Terdapat sejumlah asumsi dasar yang dijadikan dugaan berkaitan dengan tingginya penyelesaian sengketa secara non­pengadilan, antara lain lemahnya hakim-hakim untuk menyelesaikan sengketa pertanahan, paradigma aturan hukum yang tidak berpihak kepada rakyat, berlarut-larutnya eksekusi terhadap suatu keputusan pengadilan, dan  lain­lain. Tidak jelasnya jalur hukum tersebut diperparah dengan model penyelesaian pemerintah yang cenderung represif terhadap warga, baik melalui kebijakan-kebijakan maupun penggunaan militer sebagai jalan pintas.

Menurut catatan Konsorsium Pembaharuan Agraria (Sumber: Kompas, 25 juni 2004), upaya "penyelesaian" melalui tindak kekerasan terhadap petani dalam kasus-kasus sengketa agraria di 19 provinsi sepanjang tahun 1990 - 2000 dilakukan dengan berbagai cara, yaitu penganiayaan (38), pembunuhan (14), penembakan (21), penculikan (7), penangkapan (73), pembakaran atau perusakan rumah (25), pembabatan atau pembakaran. tanaman (27), teror (153), intimidasi (!98), pemerkosaan (1) dan  lain-lain (87).

Persoalan utama yang merupakan hasil dari politik agraria di masa lampau adalah konflik-konflik agraria dan pengelolaan sumber daya alam (SDA): bumi, air, dan  ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, yang diawali dengan pemberian hak-hak baru oleh badan pemerintah pusat secara sektoral di atas tanah dan sumber daya alam kepunyaan penduduk tanpa penduduk itu secara sukarela setuju atas pengalihan hak itu. Dengan luasan dimensi konflik semacam itu, konflik agraria dan pengelolaan SDA terkait erat dengan: (1) hilangnya akses masyarakat terhadap tanah dan SDA lainnya; (2) kerusakan strukfur sosial masyarakat, yang didasari atas struktur agraria yang timpang; dan (3) kerusakan kualitas SDA yang berkait langsung dengan turunan kualitas manusia yang hidup dengan SDA yang rusak itu. Maraknya persoalan tanah secara kuantitas maupun kualitas akhir­-akhir ini khususnya di Lampung, antara lain diakibatkan pintu keterbukaan dan  kebebasan yang tercipta seiring dengan era reformasi. Selain itu juga disebabkan gencarnya peran advokasi oleh kelompok-kelompok sukarelawan. Menglaeda.pi ,pokok persoalan itu, banyak pihak mempersoalkan kembali relevansi UUPA. Walau begitu, upaya meninjau kembali relevansi UUPA selayaknya melihat kembali perjalanan politik agraria sejak masa kolonial. hingga sekarang. Tanpa pemahaman sejarah, proses yang akan ditempuh dan hasil yang akan dicapai sekadar akan dibelenggu oleh aliran pikir yang bertanding saat ini saja, dan tak mampu mengenali apa sesungguhnya mandat yang diberikan rakyat kepada pemerintah, sebagaimana yang dimaksudkan pada awal mula pendirian Republik Indonesia.

Kebijaksanaan nasional di bidang pertanahan ditetapkan dalam Ketetapan MPR RI Nomor II/MPR/1998 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebagai berikut: "Penguasaan dan penataan penguasaan tanah oleh negara diarahkan pemanfaatannya untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Penguasaan tanah oleh negara, sesuai dengan tujuan pemanfaatannya, perlu memperhatikan kepentingan masyarakat luas dan  tidak menimbulkan sengketa tanah. Penataan penggunaan tanah dilaksanakan berdasarkan rencana tata ruang wilayah untuk mewujudkan kemakmuran rakyat dengan memperhatikan hak-hak rakyat atas tanah, fungsi sosial hak atas tanah, batas maksimum kepemilikan tanah khususnya tanah pertanian termasuk berbagai upaya lain untuk mencegah pemusatan penguasaan tanag dan  penelantaran tanah. Penataan penguasaan dan penggunaan penguasaan tanah untuk pembangunan skala besar yang mendukung upaya pembangunan nasional dan daerah dilaksanakankan dengan tetap mempertimbangkan aspek politik, sosial, pertahanan, keamanan serta pelestarian lingkungan hidup. Penataan penguasaan dan  penggunaan tanah melalui kegiatan redistribusi tanah atau konsolidasi tanah yang disertai pemberian kepastian hak atas tanah diarahkan untuk menunjang dan mempercepat pengembangan wilayah, penang­gulangan kemiskinan dan  mencegah kesenjangan penguasaan tanah".

Melalui penegasan pemikiran sebagaimana tertuang di atas, ide dasar pembaharuan dan  penyempurnaan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dimantapkan lagi dengan lahirnya Ketetapan MPR No IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan  Pengelolaan Sumber Daya Alam. Dari pemaparan persoalan sengketa tanah di atas, tampak bahwa akar persoalan tidak semata­mata perselisihan mengenai akses kepemilikan individual terhadap tanah secara fisik. Bila dicermati, sesungguhnya akar konflik adalah konsep mengenai akses hak yang bersifat asasi, yaitu hak sosial budaya masyarakat tradisional.

 

Penutup

Upaya pemajuan dan  perlindungan hak-hak asasi manusia secara totalitas bukanlah merupakan hal yang mudah dan  dapat dilakukan dalam waktu singkat. Upaya ini memerlukan tataran yang bersifat terus menerus dan  berkesinambungan sebagaimana galibnya upaya pembangunan itu sendiri. Selain itu diperlukan pula upaya yang sistematis dan  sinergi antara pemerintah, masyarakat, pelaku ekonomi dan  lembaga sosial masyarakat lainnya.

Dalam menyelesaikan persoalan tanah ulayat harus melakukan kesepakatan-kesepakatan secara bertingkat kampung (desa) dan  sernarga.Kesepakatan-kesepakatan pada dasarnya menyangkut :

a.    Kesepakatan tentang pengukuhan siapa yang berwenang di kampung/ tiyuh (desa).

b.    Kesepakatan siapa yang berwenang mewakili marga pada forum tertentu.

c. Perencanaan cara dan  metode yang akan dilakukan dalam penyelesaian masalah tanah dengan mempertimbangkan berbagai aspek secara komprehensif.

Optimalisasi dan reformasi ke arah pengembal ian hak-hak sosial budaya masyarakat terhadap hak kepemilikan atas tanah, dapat dilakukan melalui pengakomodasian hak masyarakat tradisional dalam bentuk:

a.    melakukan pengembangan iklim berusaha dan kehidupan berma­syarakat secara kolektif dan saling menguntungkan;

b.    meningkatkan kemampuan masyarakattradisional berbasiskan ekonomi kerakyatan;

c.    memperbaiki perangkat hukum dan kebijakan di tingkat pemerintah daerah dan pemerintah pusat;

d.    meningkatkan porsi dan tanggung jawab pemerintah daerah dalam berbagai kegiatan perencanaan, implerrientasi dan kontrol pengelolaan sumber daya alam dan sejauh mungkin menghindari pola sentralistik pengelolaan sebagaimana iklim pemerintahan sebelumnya.

e.    memberikan jaminan hak kepemilikan atas tanah secara sah menurut ketentuan hukum yang berlaku.

Dengan mencermati rencana aksi nasional hak-hak asasi manusia Indonesia sejak 1998-2003 berdasarkan Keppres Nomor 129 Tahun 1988 (kemudian direvisi dengan Keppres Nomor 61 Tahun 2003, terakhir dengan Keppres Nomor 40 Tahun 2004) di mana kelompok masyarakat adat dinyatakan sebagai salah satu kelompok yang rentan menjadi sasaran aksi nasional ini, maka berbagai pihak diharapkan merumuskan dan melakukan kajian komprehensive mengenai persiapan realisasi dari aksi nasional ini. Mencermati perjalanan panjang sejumlah kasus sengketa tanah, seyogyanya harus dimaknai sebagai upaya kritis terhadap penegakan hak asasi manusia sebagai sebuah pembelajaran bagi berbagai pihak di negeri ini.


Jaminan Aksesibilitas Bagi Penyandang Cacat Sebagai Perwujudan Pertindungan HakAsasi Manusia

 

Pendahuluan

Tujuan pembangunan nasional Indonesia adalah untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang damai, demokratis, berkeadilan, berdaya saing, maju, dan  sejahtera, dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang didukung oleh manusia Indonesia yang sehat, mandiri, beriman, bertakwa, berakhlak mulia, cinta tanah air, berkesadaran hukum dan  lingkungan, menguasai ilmu pengetahuan dan  teknologi, serta memiliki etos kerja yang tinggi dan  berdisiplin. Tercapainya tujuan pembangunan tersebut memerlukan dukungan segenap masyarakat dan  pemerintah. Setiap anggota masyarakat mempunyai hak dan  kewajiban yang sama untuk turut serta dalam pembangunan. Sebagai warga negara Indonesia, penyandang cacat mempunyai kedudukan, hak dan  kewajiban yang sama dengan warga negara lainnya.

Penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan  hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara layaknya. Penyandang cacat terdiri dari tiga kelompok, yaitu:

a. Penyandang cacat fisik, meliputi:

a. Penyandang cacat tubuh (tuna daksa);

b. Penyandang cacat netra (tunanetra); c. Penyandang cacat tuna wicara/rungu;

d. Penyandang cacat bekas penderita penyakit kronis (tuna daksa lara kronis).

b. Penyandang cacat mental, meliputi:

a. Penyandang cacat mental (tuna grahita);

b. Penyandang cacat eks psikotik (tuna laras);

c. Penyandang cacat fisik dan  mental atau cacat ganda.

Jumlah penyandang cacat di seluruh Indonesia menurut SUSENAS tahun 2000 sebanyak 1.548.005 jiwa, dan  pada tahun 2002 jumlah ini meningkat 6,97% menjadi 1.655.912 jiwa.

Jaminan atas hak dan  kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan  penghidupan para penyandang cacat telah tercantum dalam Pasal 5 UU No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat. Yang dimaksud dengan aspek kehidupan dan  penghidupan penyandang cacat dalam pasal tersebut di atas antara lain meliputi aspek agama, kesehatan, pendidikan, sosial, ketenagakerjaan, ekonomi, pelayanan umum, hukum, budaya, politik, pertahanan keamanan, olah raga, rekreasi, dan  informasi.

Aksesibilitas merupakan hal penting dalam mewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan  penghidupan. Aksesibilitas adalah kemudahan yang disediakan bagi penyandang cacat guna mewujudkan kesamaan kesempatan dalam aspek kehidupan dan  penghidupan. jaminan atas aksesibilitas bagi penyandang cacat tercantum dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, antara lain ada dalam Pasal 41, 42 dan  54.

Pasal 41

1. Setiap warga negara berhak atas jaminan sosial yang dibutuhkan untuk hidup layak serta untuk perkembangan pribadinya secara utuh.

2. Setiap penyandang cacat, orang yang berusia lanjut, wanita hamil, dan  anak-anak, berhak memperoleh kemudahan dan  perlakuan khusus.

Pasal 42

Setiap warga negara yang berusia lanjut, cacat fisik dan  atau cacat mental berhak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan, dan  bantuan khusus atau biaya negara, untuk menjamin kehidupan yang layak sesuai dengan martabat kemanusiaannya, meningkatkan rasa percaya diri, dan  kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan  bernegara.

Pasal 54

Setiap anak yang cacat fisik dan  atau mental berhak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan, dan  bantuan khusus atas biaya negara, untuk menjamin kehidupannya sesuai dengan martabat kemanusiaan, meningkatkan rasa percaya diri, dan  kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan  bernegara.

 

Jaminan Aksesibilitas Bagi Penyandang Cacat Dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia

Upaya untuk memberikan perlindungan hukum terhadap kedudukan, hak, kewajiban, dan  peran para penyandang cacat, di samping dengan Undang­Undang tentang Penyandang Cacat, juga telah dilakukan melalui berbagai peraturan perundang-undangan, antara lain peraturan yang mengatur masalah ketenagakerjaan, pendidikan nasional, kesehatan, kesejahteraan sosial, lalu lintas dan  angkutan jalan, perkeretaapian, pelayaran, penerbangan, dan  kepabeanan. Peraturan tersebut memberikan jaminan kesamaan kesem­patan terhadap penyandang cacat pada bidang-bidang yang menjadi cakupannya, dan  dalam rangka memberikan jaminan tersebut kepada perlyandang,cacat diberikan kemudahan-kemudahan (aksesibilitas).

Berbagai peraturan perundang-undangan yang memberikan jaminan

aksesibilitas bagi penyandang cacat, sebagai berikut:

a. Amandemen II UUD 45 Pasal 28 H ayat (2), disebutkan:

Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan  perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan  manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan  keadilan.

b. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial. UU tersebut tidak secara eksplisit memuat tentang penyandang cacat. Namun demikian dalam Pasal 1 sudah disebutkan bahwa Setiap Warganegara berhak atas taraf kesejahteraan sosial yang sebaik-baiknya dan  berkewajiban untuk sebanyak mungkin ikut serta dalam usaha-usaha kesejahteraan sosial.

Yang dimaksudkan "Kesejahteraan Sosial" ialah suatu tata kehidupan dan  penghidupan sosial materiil maupun spiritual yang diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan, dan  ketenteraman lahir bathin, yang memungkinkan bagi setiap Warganegara untuk mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan-kebutuhan jasmaniah, rohaniah dan  sosial yang sebaik-baiknya bagi diri, keluarga serta masyarakat dengan menjunjung tinggi hak-hak asasi serta kewajiban manusia sesuai dengan Pancasila. (Pasal 2 UU No. 6 Tahun 1974).

c. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1992 tentang Perkeretaapian, dalam Pasal 35 disebutkan:

(1) Penderita cacat dan/atau orang sakit berhak memperoleh pelayanan
berupa perlakuan khusus dalam bidang angkutan kereta api.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur lebit)

lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

d. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan

Angkutan Jalan, dalam Pasal 49 disebutkan:

 (1) Penderita cacat berhak memperoleh pelayanan berupa perlakuan khusus dalam bidang lalu lintas dan  angkutan jalan.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 71

Dengan Peraturan Pemerintah diatur lebih lanjut ketentuan­ketentuan mengenai:

1. kendaraan bermotor Angkatan Bersenjata Republik Indone­sia;

2. Penggunaan jalan untuk kelancaran:

a) pengantaran jenazah;

b) kendaran pemadam kebakaran yang melaksanakan tugas

ke tempat kebakaran;

c) kendaraan Kepala Negara atau Pemerintah Asing yang

menjadi tamu negara;

d) ambulans mengangkut orang sakit;

e) konvoi, pawai, kendaraan orang cacat;

f) kendaraan yang penggunaannya untuk keperluan khusus

atau mengangkut barang-barang khusus.

e. Pasal 42 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan:

(1) Penyandang cacat dan  orang sakit berhak memperoleh pelayanan

berupa perlakuan khusus dalam angkufan udara niaga.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur lebih

lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

f.   Dalam Pasal 83 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992

tentang Pelayaran disebutkan:

Penyandang cacat dan  orang sakit berhak memperoleh pelayanan berupa perlakuan khusus dalam angkutan di perairan.

g.   Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Sebagaimana UU No. 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial, undang-undang kesehatan tidak secara eksplisit memberikan jaminan kepada penyandang cacat. Namun demikian dalam Pasal 4 disebutkan bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh derajat kesehatan yang optimal.

h. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, dalam Pasal 25 ayat (1) Huruf h, disebutkan bahwa: Pembebasan Bea Masuk diberikan atas Impor barang untuk keperluan khusus kaum tunanetra dan penyandang cacat lainnya;

i. Pasal 21 Undang-undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak:

Negara dan  pemerintah berkewajiban dan  bertanggung jawab menghormati dan  menjamin hak asasi setiap anak tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan  bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak, dan  kondisi fisik dan/atau mental.

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung Pasal 27:

(1) Persyaratan kemudahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) meliputi kemudahan hubungan ke, dari, dan  di dalam bangunan gedung, serta kelengkapan prasarana dan  sarana dalam pemanfaatan bangunan gedung.

(2) Kemudahan hubungan ke, dari, dan  di dalam bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi tersedianya fasilitas dan  aksesibilitas yang mudah, aman, dan  nyaman termasuk bagi penyandang cacat dan lanjut usia.

(3) Kelengkapan prasarana dan  sarana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pada bangunan gedung untuk kepentingan umum meliputi penyediaan fasilitas yang cukup untuk ruang ibadah, ruang ganti, ruangan bayi, toilet, tempat parkir, tempat sampah, serta fasilitas komunikasi dan  informasi.

(4) Ketentuan mengenai kemudahan hubungan ke, dari, dan  di dalam bangunan gedung, serta kelengkapan prasarana dan  sarana sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan  ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

 

j. Pasal 31:

Penyediaan fasilitas dan  aksesibilitas bagi penyandang cacat dan  lanjut usia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) meru­pakan keharusan bagi semua bangunan gedung, kecuali rumah tinggal.

(2) Fasilitas bagi penyandang cacat dan  lanjut usia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), termasuk penyediaan fasilitas aksesibilitas dan  fasilitas lainnya dalam bangunan gedung dan  lingkungannya.

(3) Ketentuan mengenai penyediaan aksesibilitas bagi penyandang cacat dan  lanjut usia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan  a,yat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah

k. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Undang-undang Ketenagakerjaan memberikan jaminan bagi setiap tenaga kerja untuk memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan dan  penghidupan yang layak. Kesempatan yang sama diberikan kepada penyandang cacat (Pasal 5).

Selanjutnya dalam Pasal 6 dinyatakan bahwa setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha.

Selain itu jaminan aksesibilitas wajib diberikan kepada para penyandang cacat, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 67 Ayat (1), sebagai berikut: (1) Pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja penyandang cacat wajib memberikan perlindungan sesuai dengan jenis dan  derajat kecacatannya.

I.     Pasal 5

UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional:

(1) Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.

(2) Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental,

intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus. Penyelenggaraan pendidikan bagi penyandang cacat selanjutnya telah diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1991 tentang Pendidikan Luar Biasa.

m. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan  Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Pasal 60:

Calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan  DPRD Kabupaten/ Kota harus memenuhi syarat:

a. warga negara Republik Indonesia yang berumur 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih;

b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

c. berdomisili di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;

d. cakap berbicara, membaca, dan  menulis dalam bahasa Indonesia; e. berpendidikan serendah-rendahnya SLTA atau sederajat;

f. setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1,945, dan  cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945;

g. bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indone­sia, termasuk organisasi massanya, atau bukan orang yang terlibat langsung ataupun tak langsung dalam G30S/PKI, atau organisasi terlarang lainnya;

h. tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;

i. tidak sedang menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;

sehatjasmani dan  rohani berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan dari dokter yang berkompeten; dan  k. terdaftar sebagai pemilih.

Persyaratan sebagaimana tercantum dalam Pasal 60 huruf d tidak dimaksudkan untuk membatasi hak politik warga negara penyandang cacat yang memiliki kemampuan untuk melakukan tugasnya sebagai anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan  DPRD Kabupaten/Kota.

Pasal 88

(1) Jumlah pemilih di setiap TPS sebanyak-banyaknya 300 (tiga ratus) orang.

(2) TPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan di tempat

yang mudah dijangkau, termasuk oleh penyandang cacat, serta

menjamin setiap pemilih dapat memberikan suaranya secara

langsung, bebas, dan  rahasia.

n. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan  Wakil Presiden, dalam Pasal 51 Ayat (2) menyebutkan:

TPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan lokasinya di tempat yang mudah dijangkau, termasuk oleh penyandang cacat, serta menjamin setiap pemilih dapat memberikan suaranya secara langsung, bebas, dan  rahasia.

o. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1994 tentang Pengelolaan Perkembangan Kependudukan.

Pasal 12

(1) Pembinaan dan  pelayanan penduduk dalam rangka pengembangan kualitas penduduk dilakukan melalui komunikasi, informasi, dan  edukasi, termasuk penyediaan sarana, prasarana dan  jasa.

(2) Khusus bagi masyarakat rentan, selain cara dan  bentuk pembinaan dan  pelayanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), juga dapat diberikan kemudahan-kemudahan sesuai dengan jenis hambatan yang perlu diatasinya.

Penjelasan Pasal 12:

Masyarakat rentan di sini termasuk kelompok yang tidak atau kurang mendapatkan kc-sempatan untuk berkembang sebagai akibat dari keadaan fisik dan  non fiisknya, misalnya kelompok miskin, masyarakat daerah terpencil, daerah dengan lingkungan hidup kritis, anak terlantar, penyandang cacat, lanjut usia, dan  lain-lain.

Adapun bentuk penyediaan pelayanan/kemudahan dapat berupa penye­diaan di tempat, seperti kursi roda, alat angkut, kamar kecil, jembatan, dan sebagainya yang sesuai dengan kebutuhan dalam mengatasi hambatan masyarakat rentan.

Untuk pelayanan masyarakat rentan, setiap orang yang melakukan . kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum perlu menyediakan alaU pelayanan bagi masyarakat rentan tersebut.

Aksesibilitas Bagi Penyandang Cacat di Indonesia pada Kenyataannya

Pemberian aksesibilitas terhadap penyandang cacat di Indonesia belum sepenuhnya dapat terwujud. Sebagaimana dikemukakan dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, bahwa upaya perlindungan belum memadai, apalagi ada prediksi terjadinya peningkatan jumlah penyandang cacat di masa mendatang.

Pada kenyataannya betapa sulit seorang penyandang cacat untuk mendapatkan hak akses fasilitas-fasilitas publik, peran politik, akses ketenagakerjaan, perlindungan hukum, akses pendidikan, akses informasi dan  komunikasi, serta layanan kesehatan. Fasilitas lalu lintas jalan dan alat transportasi umum di Indonesia tidak mudah diakses oleh penyandang cacat dan  orang-orang berkebutuhan khusus lainnya (wanita hamil dan  lansia). Seorang penyandang cacat tubuh sulit menyeberang jalan dengan menggunakan fasilitas penyeberangan jalan dengan undakan tangga yang terlalu sempit. Seorang penyandang cacat netra akan merasa kesulitan untuk menyimak marka-marka jalan dan  papan informasi umum (/akarta Mitra Online, 12/13/2001).

Aksesibilitas di bidang pendidikan bagi para penyandang cacat di Indonesia masih sangat kurang. Kemampuan pemerintah dalam menyediakan fasilitas untuk menjangkau semua anak cacat minim, karena 80% tempat pendidikan dikelola swasta sementara pemerintah hanya 20%. Dari 1,3 juta anak penyandang cacat usia sekolah di Indonesia, baru 3,7 persen atau sebanyak 48.022 anak yang bisa menikmati bangku pendidikan. Sementara yang 96,3 persen, masuk dalam pendidikan nonformal, tetapi jumlahnya diperkirakan tidak lebih dari 2 persen. Saat ini terdapat 1.338 sekolah luar biasa (SLB) untuk berbagai jenis dan jenjang ketunaan. Sementara jumlah siswa yang terdaftar di Direktorat Pendidikan Luar Biasa sebanyak 12.408 anak. Kesulitan dalam mendapatkan akses pendidikan dan pelatihan, mengakibatkan akses untuk memperoleh pendidikan juga tidak mudah. Selanjutnya hal itu berimplikasi pada penghasilan dan  berantai pada gizi dan  kesehatan generasi penerusnya (Gloria Cyber Ministries, 2004).

Masih adanya hambatan bagi penyandang tunanetra dalam kemandirian dalam mengakses uang. Setiap tunanetra di Indonesia secara individual memiliki cara tersendiri untuk mengetahui setiap pecahan uang yang tersimpan di dompetnya. "Bertanya kepada orang lain" adalah salah satu cara yang lazim dilakukan. Tapi cara ini menjadi berisiko tinggi ketika orang, kepada siapa sang tunanetra bertanya, adalah orang asing yang tidak memiliki itikad baik. Bisa dibayangkan kejadian apa yang akan menimpa tunanetra tersebut. Untuk mengatasi hal ini diperlukan "Blind Code" agar mata uang mudah diakses oleh penyandang cacat tunanetra. Bank Indone­sia merencanakan untuk mencantumkan "Blind Code" pada pecahan mata uang Rupiah kertas yang akan diedarkan mendatang (kira-kira dua atau tiga tahun lagi) (Jakarta Mitra Online, 3/14/2003).

Diskriminasi juga terjadi pada pelayanan perbankan. Seorang tunanetra tidak dapat secara mandiri melakukan transaksi. Tunanetra tidak dapat melakukan transaksi perbankan, karena dianggap tidak cakap hukum. Oleh karenanya, harus menguasakannya kepada orang lain (yang bukan tunanetra), dan  pemberian kuasa tersebut harus disahkan oleh notaris.

Masih terjadi pengabaian hak politik penyandang cacat dalam Pemilu, antara lain:

a) Hak untuk didaftar guna memberikan suara; b) Hak atas akses ke TPS;

c) Hak atas pemberian suara yang rahasia;

d) Hak untuk dipilih menjadi anggota legislatif;

e) Hak atas informasi termasuk informasi tentang Pemilu;

f)     Hak untuk ikut menjadi pelaksana dalam Pemilu, dan  lain-lain.

 

Meskipun persentasenya kecil (hanya sekitar 0,5%) dibandingkan dengan jumlah pemilih yang 147 jiwa, namun mereka tetap mempunyai hak sama dengan warga negara lainnya untuk berperan serta dalam Pemilu. Pada Pemilih legislatif tahun 2004, hanya beberapa daerah yang memberikan perhatian khusus bagi penyandang cacat, dengan memberikan alat bantu guna mempermudah akses penyandang cacat (Era Muslim, 18/03/2004). Berdasarkan data yang diperoleh para relawan yang diterjunkan oleh )aringan Masyarakat Pemantau Pemilu Indonesia (JAMPPI), lembaga tersebut menyatakan bahwa Komisi Pemilihan Umum (KPU) dengan sengaja mengabaikan hak penyandang cacat untuk mendapatkan aksesibilitas dalam Pemilu 5 April 2004. Dari data yang berhasil dikumpulkan sampa tanggal 27 April 2004, yaitu data dari 13.609 TPS, didapatkan fakta sebagai berikut: 6.498 TIPS (48%) tidak menyediakan surat suara khusus bagi pemilih tunanetra, 2.747 TPS (20,1%) bilik suara sulit diakses pemilih penyandang cacat, 1.973 TPS (14%) kotak suara tidak mudah dicapai bagi pemilih penyandang cacat, 1.383 TPS (10,4%) penyandang cacat tidak bisa memilih sendiri pendampingnya untuk mencoblos.

Selain yang dikemukakan di atas, masih banyak lagi diskriminasi dan kesulitan aksesibilitas yang dialami oleh penyandang cacat di Indonesia.

Mewujudkan Kesamaan Hak dan Kesempatan Bagi Penyandang Cacat Setiap perundang-undangan tertulis di dalamnya terkandung suatu misi atau tujuan tertentu yang hendak dicapai. Lahirnya suatu perwndang­undangari tertulis baru merupakan suatu titik awal untuk mencapai tujuan yang dinginkan. Upaya untuk meningkatkan kesejahteraan sosial penyandang cacat berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 adalah untuk mewujudkan kemandirian dan kesejahteraan bagi penyandang cacat.

Pemerintah mempunyai kewajiban dan tanggung jawab untuk meng­hormati, melindungi, dan memajukan hak asasi manusia, dalam hal ini adalah hak-hak para penyandang cacat. Kewajiban pemerintah tidak hanya berhenti pada kebijakan formulatif (pembuatan peraturan perundang­undangan) saja, namun juga pada kebijakan aplikatif serta kebijakan eksekutif. Aspek substansi hukum yang menjamin aksesibilitas bagi penyandang cacat dari segi jumlah peraturan perundang-undangan di Indonesia sudah cukup memadai. Namun perumusannya lebih banyak yang bersifat negatif, yaitu memberikan hak bagi para penyandang cacat. Perumusan negatif ini antara lain jaminan hak penyandang cacat di bidang kesejahteraan sosial, perkeretaapian, lalu lintas jalan, penerbangan, pelayaran, kesehatan, dan pendidikan. Perumusan positif, yaitu kewajiban untuk memberikan aksesi­bilitas bagi penyandang cacat antara lain ada pada ketentuan tentang perlindungan anak, bangunan gedung, dan ketenagakerjaan. Pelanggaran atas kewajiban tersebut diancam dengan sanksi, baik sanksi pidana maupun sanksi administrasi.

Namun dilihat dari aspek struktur dan budaya hukum, belum sepe­nuhnya menunjang bagi perwujudan kemandirian dan kesejahteraan para penyandang cacat, sehingga banyak ketentuan yang ada dalam peraturan perUmdang-undangan belum dapat dilaksanakan. Untuk itu perlu dilakukan suatu Affirmative Action.

Affirmative Action untuk mewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan bagi penyandang cacat. Penyandang cacat berhak mendapatkan perlakuan khusus. Aksi ini mengarah pada penyadaran publik akan hak-hak penyandang cacat dan kewajiban mereka untuk berperan aktif dalam berinteraksi sosial yang sehat dan wajar. Aksi tersebut membutuhkan strategi sosialisasi yang efektif, menyangkut:

a) Pola penyadaran integral antar pemerintah, penyandang cacat dan masyarakat pada umumnya sehingga memunculkan suatu sinergi. Pola tersebut meliputi:

a. Peningkatan pengetahuan penyandang cacat akan hak-haknya, misalnya melalui seminar, penyebaran lembar informasi (info sheet), dialog publik, media center, memasukan materi perundang­undangan penyandang cacat ke dalam kurikulum pendidikan dan sebagainya.

b. Implementasi perundang-undangan dari tingkat pusat hingga daerah.

c. Melakukan advokasi hukum penyandang cacat dalam memper­juangkan hak-haknya.

b) Pola pembudayaan dari sosialisasi sinergis di atas. Pola pembudayaan ini sepertinya yang tersulit. Karena, bercermin dari kasus-kasus yang terjadi di negeri ini, memerlukan waktu yang lama dan  dengan strategi pembudayaan yang kontinyu serta simultan dengan melibatkan masyarakat yang sudah "tersadarkan" (/akarta Mitra Online, 12/13/2001).

Pemberdayaan masyarakat dalam mengupayakan aksesibilitas dapat menunjang upaya mewujudkan aksesibilitas bagi penyandang cacat di In­donesia. Pemberdayaan dalam hal ini dimaksudkan sebagai usaha yang memungkinkan masyarakat bisa ambil bagian, baik dalam mengaktualisasikan aspirasi dan kepentingannya secara bebas dan dilindungi, juga untuk ambil bagian dalam perumusan kebijakan-kebijakan negara yang menentukan nasib mereka.

Pemberdayaan masyarakat merupakan upaya yang didasari oleh prinsip pemihakan kepada mereka yang lemah dan dilemahkan, agar mereka mempunyai posisi tawar sehingga mampu memecahkan masalah dan mengubah kondisi dan  posisinya. Pemberdayaan dalam pengertian ini meliputi langkah perbaikan kualitas hidup rakyat, yang tidak hanya diukur dari peningkatan kesejahteraan yang bersifat ekonomis, tetapi juga kuasa dalam pengambilan keputusan di semua tingkatan. Pemberdayaan dalam arti ini berarti usaha mendorong proses transformasi relasi kuasa yang timpang, menjadi relasi baru yang adil dan setara (M. Syahbuddin Latief, 1999: 197).

Partisipasi masyarakat dalam rangka mewujudkan kemandirian dan  kesejahteraan penyandang cacat antara lain dengan membentuk kelompok­kelompok organisasi kemasyarakatan. Di Indonesia terdapat lebih dari 50 organisasi kemasyarakatan yang kegiatannya bergelut di berbagai kegiatan dalam rangka pemberdayaan dan meningkatkan kemandirian penyandang cacat. Kegiatan tersebut antara lain dilakukan dengan menyelenggarakan pembinaan, pendidikan, penelitian, pelatihan, maupun advokasi bagi penyandang cacat. Organisasi kemasyarakatan ini sangat diperlukan dalam melakukan affirmative action guna mewujudkan tujuan yang hendak dicapai, yaitu untuk mewujudkan kemandirian dan kesejahteraan penyandang cacat. Organisasi seperti itu diharapkan dapat menjembatani para penyandang cacat dengan penentu kebijakan. Organisasi kemasyarakatan mempunyai kekuatan pressure group dalam memperjuangkan hak-hak para penyandang cacat yang termasuk kelompok masyarakat rentan.

Pola penyadaran internal para penyandang cacat itu sendiri sangat penting. Hanya sedikit penyandang cacat di Indonesia yang mempunyai kesadaran akan hak-haknya dan gigih dalam memperjuangkan hak dan kewajibannya. Perasaan inferior merupakan problem psikologis yang cenderung dimiliki oleh kebanyakan para penyandang cacat terutama yang tinggal di pelosok dan yang tidak mengenyam pendidikan yang lebih tinggi. Perasaan inferior karena problem/keterbatasan fisikal dan seolah nrimo akan takdir yang menimpanya seakan dijadikan legitimasi untuk tidak berpikir kritis, berjuang lebih keras, tidak mudah menyerah dan bersikap wajar. Kemudahan pelayanan dan perlakuan khusus tidak dengan serta merta membuat para penyandang cacat untuk terus terlena menikmatinya. Hambatan-hambatan psikologis inilah yang pertama kali harus dihilangkan (Jakarta Mitra Online, 12/13/2001).

 

Penutup

Sederetan undang-undang yang menyangkut penyandang cacat di atas baru merupakan titik awal dalam rangka mencapai kesamaan kesempatan dalam aspek kehidupan dan penghidupan masyarakat penyandang cacat, guna mewujudkan kemandirian dan kesejahteraan penyandang cacat. Upaya mewujudkan kemandirian dan kesejahteraan penyandang cacat merupakan tanggung jawab bersama pemerintah, masyarakat, keluarga, dan penyandang cacat sendiri. Hal ini tidak akan terwujud tanpa ada suatu struktur sosial yang mendukung.

 


Upaya Hukum Sebagai Instrumen Pemberdayaan Budaya Hukum

Dalam Pertindungan HAM di Indonesia

 

Pendahuluan

Pemberdayaan budaya hukum merupakan tema sentral yang sangat relevan dengan upaya perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia. Sejauh ini kondisi perlindungan HAM di Indonesia masih belum sesuai dengan harapan masyarakat. Pernyataan ini didukung oleh argumentasi berupa masih seringnya terjadi pelanggaran HAM di Indonesia. Pembuat kebijakan legislatif dalam pernyataan yang dicantumkan dalam penjelasan Undang­Undang tentang HAM (UU No. 39/1999) mengakui bahwa pada kenyataannya selama lebih lima pull tahun usia Republik Indonesia, pelaksanaan penghormatan, perlindungan atau penegakan HAM masih jauh dari memuaskan.

Serangkaian istilah yang menjadi tema sentral tersebut di atas memer­lukan kesamaan penafsiran. Upaya memberikan penafsiran terhadap peristilahan dalam tema sentral tersebut dengan mempergunakan metode penafsiran yang sama akan menemui kesulitan mengingat suatu metode penafsiran yang dipilih tidak dapat memberikan jawaban yang tuntas untuk masing-masing isi•ilah.'

Perlindungan HAM merupakan istilah yang sangat luas maknanya. Undang-Undang tentang HAM tidak memberikan penafsiran yang lengkap

terhadap istilah perlindungan tersebut. Penjelasan Undang-Undang tentang HAM, khususnya penjelasan Pasal 8 hanya menyatakan, "Yang dimaksud dengan 'perlindungan' adalah termasuk pembelaan HAM".' Atas dasar penjelasan singkat seperti itu, kiranya tidak terlalu berlebihan apabila ditafsirkan pengadilan HAM sebagai media pemberdayaan budaya hukum dalam perlindungan HAM di Indonesia.

Pada dasarnya terdapat pengakuan yang tegas dalam Undang-Undang tentang HAM atas penggunaan upaya hukum nasional dan  forum internasional atas semua pelanggaran HAM di Indonesia. Salah satu media dari upaya hukum tersebut adalah pengadilan HAM. Meskipun usia Pengadilan HAM di Indonesia masih relatif sangat muda, namun demikian tampaknyia terdapat harapan yang tinggi dari masyarakat atas kehadiran pengadilan HAM sebagai benteng terakhir pencapaian keadilan demi tegaknya hukum yang melindungi HAM di Indonesia.

Atas dasar uraian singkat yang dijadikan latar belakang tersebut, tulisan sederhana ini bermaksud Lrntuk mendeskripsikan hubungan penggunaan upaya hukum nasional dan  forum internasional untuk membela dan  memulihkan hak-hak anggota masyarakat yang secara asasi telah dilanggar. Uraian yang dilakukan, meskipun tidak secara spesifik, juga menyangkut pada penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM yangterjadi sebelum diundangkannya Undang­Undang tentang Pengadilan HAM seperti yang dicontohkan pada kasus­kasus yang terjadi di seputar peristiwa reformasi tahun 1998. Melalui deskripsi ini diharapkan dapat disampaikan suatu pemahaman tentang upaya hukum yang secara proporsional dapat ditempuh dalam penyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia.

 

Optimalisasi Institusi Perlindungan HAM

Undang-Undang tentang HAM (UU No. 39 Tahun 1999) dalam bab tentang asas-asas dasar menyatakan bahwa hak setiap orang untuk menggunakan semua upaya hukum nasional dan  forum internasional atas semua pelanggaran HAM yang dijamin oleh hukum Indonesia dan  hukum internasional mengenai HAM yang telah diterima negara Republik Indonesia. Penjelasan lebih lanjut ketentuan tersebut menyatakan bahwa yang dimaksud dengan "upaya hukum" adalah jalan yang dapat ditempuh oleh setiap orang atau kelompok orang untuk membela dan memulihkan hak-haknya yang disediakan oleh hukum Indonesia seperti halnya Komnas HAM atau oleh pengadilan, termasuk upaya Umtuk naik banding ke Pengadilan Tinggi, mengajukan kasasi dan peninjauan kembali ke Mahkamah Agungterhadap putusan pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding. Mereka yang ingin menegakkan HAM dan kebebasan dasarnya diwajibkan untuk menempuh semua upaya hukum tersebut pada tingkat nasional terlebih dahulu (exhaustion of local remedies) sebelum menggunakan forum baik di tingkat regional maupun internasional, kecuali bila tidak mendapat tanggapan dari forum tingkat nasional.

Beberapa ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang tentang HAM seperti ketentuan tentang "upaya hukum" tersebut kemudian ditindaklanjuti oleh Undang-Undang tentang Pengadilan HAM (UU No. 26 Tahun 2000). Salah satu ketentuan Undang-Undang tentang Pengadilan HAM menyatakan bahwa Pengadilan HAM bertugas dan berwenang memeriksa dan memu­tuskan perkara pelanggaran HAM yang berat. Namun terhadap pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum diundangkannya undang-undang tersebut, akan diperiksa dan diputuskan oleh Pengadilan HAM ad hoc yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden. Ketentuan tersebut mengesampingkan asas legalitas yang dianut dalam sistem hukum pidana Indonesia, meskipun untuk penerapannya terdapat persyaratan lain yang harus ditetapkan yaitu adanya persetujuan lembaga legislatif (political wisdom) untuk pemberlakuan ketentuan yang bersifat retroaktif tersebut.

Pada beberapa kasus-kasus yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-Undang tentang HAM seperti contoh kasus-kasus di seputar reformasi 1998 dan telah menarik perhatian masyarakat, seperti Peristiwa Trisaksi dan Semanggi I/II, lembaga legislatif telah memutuskan tidak adanya pelanggaran HAM berat dalam kasus-kasus tersebut. Keputusan yang ditetapkan lembaga legislatif tersebut tidak berarti menjadikan warga masyarakat (terutama keluarga korban) berhenti mencari upaya hukum. Oleh karena itu apabila tidak terdapat penyelesaian hukum yang tuntas atas kasus-kasus tersebut, maka akan terdapat beberapa implikasi atas putusan lembaga legislatif tersebut:

a. Kasus tersebut tidak terselesaikan oleh Pengadilan HAM (ad hoc);

b. Warga masyarakat (dalam hal ini terutama keluarga korban) dapat mendesak lembaga legislatif (terutama kepada anggota legislatif yang baru terpilih dalam Pemilu 2004) untuk menyatakan kembali bahwa kasus-kasus tersebut sebagai pelanggaran HAM berat. Upaya ini tidak mempunyai konsekuensi mengingat putusan lembaga legislatif bukan putusan lembaga pengadilan sehingga tidak mengenal asas tidak bisa diadili untuk yang kedua kalinya atau yang di dalam dunia peradilan dikenal sebagai ne bis in idem.

c. Apabila terdapat ketidakmampuan lembaga pengadilan nasional (un­able) sebagai lembaga penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat tersebut, maka sesuai dengan principle of complementary juris­diction (sebagaimana terdapat dalam Pasal 1 dan Pasal 17 Statuta Roma)3 International Criminal Court dapat diterapkan untuk menye­lesaikan kasus-kasus tersebut.

 

Oleh karena Undang-Undang tentang HAM telah mengamanatkan bagi warga negara yang mempergunakan upaya hukum agar sedapat mungkin mempergunakan terlebih semua upaya hukum pada tingkat nasinal (ex­haustion of local remedies), maka perlu ada upaya untuk memberdayakan institusi-institusi tingkat nasional yang dapat menjadi media bagi perlindungan HAM di Indonesia. Beban kewajiban ini ada pada Pemerintah sebagaimana yang telah diamanatkan dalam Undang-Undang tentang HAM tersebut yang dengan tegas menyatakan perlindungan, pemajuan, penegakkan dan pemenuhan HAM terutama menjadi tanggung jawab Pemerintah.

Sebagai tindak lanjut dari Undang-Undang tentang HAM, Pemerintah  mengeluarkan Keputusan Presiden tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM). Terdapat beberapa ketentuan pokok tentang kegiatan dalam RANHAM yang berkaitan dengan upaya hukum ini, yaitu:

a. Pembentukan dan penguatan institusi pelaksana RANHAM;

Institusi pelaksana RANHAM baik di tingkat nasional maupun daerah dibentuk agar tujuan RANHAM dapat tercapai yaitu untuk menjamin peningkatan penghormatan, pemajuan, pemenuhan dan perlindungan HAM di Indonesia dengan mempertimbangkan nilai-nilai agama, adat­istiadat, dan budaya Bangsa Indonesia.

b. Diseminasi dan pendidikan HAM;

Keberhasilan upaya penghormatan, pemajuan, pemenuhan dan perlindungan HAM suatu bangsa sangat ditentukan oleh pemantapan budaya penghormatan HAM dari bangsa tersebut melalui usaha-usaha secara sadar untuk menyemaikan, menumbuhkan, dan meningkatkan pengetahuan dan rasa kesadaran seluruh anggota masyarakat.

Penghormatan, pemajuan, pemenuhan dan perlindungan HAM memer­lukan proses panjang mengingat sifat HAM yang sarat nilai.

c. Penerapan norma dan standar HAM;

Penerapan norma dan standar HAM ditujukan untuk meningkatkan penghormatan, pemajuan, pemenuhan dan perlindungan HAM pada umumnya maupun yang bersifat khusus. Program kegiatan perlindungan dan pemenuhan HAM yang umum meliputi perlindungan hak sipil dan politik, serta yang khusus berkaitan dengan perlindungan dan pemenuhan hak kelompok rentan (seperti anak, perempuan dan penyandang cacat), penghapusan diskriminasi dalam segala bentuk serta penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat

 

Diseminasi dan pendidikan HAM sebagai bagian dari program utama RAN HAM merupakan kegiatan yang cukup memegang peran penting. Aspek lain dari pendidikan HAM yang berkaitan dengan upaya hukum yang pada dasarnya menyangkut pelaksanaan tanggung jawab pemerintah mencakup:

a. Pendidikan HAM harus menjadi bagian program pelatihan pada semua tingkat di jajaran birokrasi negara;

b. Peningkatan kesadaran unsur dalam sistem peradilan pidana (serta anggota lembaga perwakilan rakyat/parlemen) melalui pemahaman bahwa tugas mereka adalah mengupayakan terpenuhinya upaya-upaya perlindungan HAM;

c. Berkaitan dengan pendidikan bagi unsur sistem peradilan pidana ini VP. Srivastav mengatakan "It is important that law enforcement official's are aware not of their own obligation under human rights instrument but are in a position to invoke their understanding of obligation of other professions under these instrument".'

d. HAM seharusnya menjadi bagian kurikulum pendidikan pada semua tingkatan pendidikan (tingkat dasar, menengah dan tinggi);

e. Kalangan media massa mempunyai peran penting dalam pembentukan opini masyarakat tentang HAM. Mereka dapat memberikan orientasi positif dan memberi arah gerakan perlindungan HAM.

 

Selain melalui pengadilan, upaya hukum lain yang dapat dilaksanakan oleh mereka yang ingin memulihkan dan membela hak-haknya adalah melalui lembaga-lembaga seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) atau Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).

KOMNAS HAM adalah institusi yang dibentuk dengan tujuan untuk mengembangkan kondisi yamg kondusif bagi pelaksanaan HAM sesuai dengan Pancasila, UUD 1945 dan Piagam PBB, serta Deklarasi Universal HAM. Pembentukan institusi KOMNAS HAM oleh Pemerintah didengungkan sebagai bukti komitmen Pemerintah untuk mewujudkan penghormatan, pemajuan, pemenuhan dan perlindungan HAM di Indone­sia. Pada awalnya lembaga ini dibentuk melalui Keppres No. 50 Tahun 1993 untuk mengantisipasi perkembangan dan tuntutan global terutama setelah diselenggarakannya Deklarasi dan Program Aksi di bidang HAM

(Vienna Declaration and Programme of Action of the World Conference on

Human Rights) tahun 1993 di Wina Austria. Pembentukan KOMNAS HAM kemudian dikukuhkan dengan UU No. 39 Tahun 1999.

Selama lebih dari 10 tahun kiprahnya dalam upaya penghormatan, pemajuan, pemenuhan, dan perlindt.rngan HAM di Indonesia, KOMNAS HAM telah mencatat berbagai keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan HAM tersebut. Tercatat berbagai kasus yang berhasil dituntaskan oleh KOMNAS HAM yang berakhir dengan diputuskannya kasus melalui pengadilan HAM seperti kasus pelanggaran HAM berat Timor Timur, Tanjung Priok dan juga Abepura.

Alternatif lain di luar pengadilan HAM, penyelesaian pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-Undang tentang HAM adalah melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Penjabaran lebih terperinci berkenaan dengan Komisi ini sedangkan dipersiapkan untuk diwadahi dalam bentuk undang-undang.

Pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di beberapa negara memang telah berhasil menyelesaikan berbagai masalah pelanggaran HAM berat yang terjadi pada masa-masa yang lalu di negara-negara yang bersangkutan. Negara Afrika Selatan dan Guatemala merupakan negara yang sering dijadikan rujukan keberhasilan penyelesaian pelanggaran HAM berat melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasinya. Dalam konteks kebijakan kriminal, penerapan penyelesaian pelanggaran HAM berat di luar pengadilan menunjukkan bahwa sarana lain di luar hukum pidana (kebijakan non penal) dapat pula diterapkan secara efektif dalam menyelesaikan suatu tindak pidana. Penerapan kebijakan penal dan penal ini dapat bersifat komplementer. Berkaitan dengan fungsi keduanya, anfred Nowakb menyatakan:

"Investigating crime against human rights and prosecuting the perpe­trators is thus important from another point of view as well, which is to render justice to victims of human rights violation and thus, to facilitate the democratic reconstruction and peace process that is often necessary in the wake of some of the most serious human rights violations. In some case, such as South Africa and Guatemala, victims

were encouraged to take the thorny road of coming to terms with the

past with the help of a truth and reconciliation commission, but in other cases criminal law seems to be the only tool available to find the truth and to seek justice."

 

Uraian tentang pengadilan HAM, Komisi Nasional HAM dan juga Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi menunjukkan beberapa upaya hukum yang dapatdipergunakan untuk mencapai kondisi yang memberikan penghormatan dan perlindungan HAM. Keberhasilan implementasi upaya-upaya hukum tersebutsangat tergantung dari berbagai aspek yang tidak hanya cukup bersifat substansialdan struktural tetapi juga yang tidak kalah pentingnya adalah aspek kulturalnya. Tugas penghormatan, pemajuan, pemenuhan dan perlindungan HAMdari berbagai aspek (substansial, strukural dan kultural) memang terutamamerupakan kewajiban dan tanggung jawab Pemerintah. Namun demikian,tanpa partisipasi masyarakat sangat diragukan upaya tersebut akan dapat berhasil
dengan baik. Unsur (kelompok) masyarakat yang sangat peduli dengan bidang HAM, termasuk dalam aktivitas melakukan upaya hukum, dalam dekade terakhir mengalami pertumbuhan yang cukup pesat. Beberapa kelompok masyarakat tersebut (Lembaga Swadaya Masyarakat-LSM/NonGovermental Or­ganization-NGO) bergerak dalam lingkup nasional seperti ELSAM, PBHI,KONTRAS, LBH, dan lain-lain. Secara umum memang tidak dijumpai pengakuan universal yang menyangkut definisi hukum dari NGO ini. Pada umumnya kelompok ini adalah organisasi swasta yang bersifat non profit dengan pola keanggotaan yang bersifat sukarela. Mereka bekerja untuk pemajuan dan perlindungan HAM dalam perspektif yang cukup luas dan sangat independen dari pemerintah.' Keberadaan kelompok-kelompok masyarakat ini merupakan sarana bagi pemajuan dan perlindungan HAM serta sebagai tujuan untuk keberhasilan perwujudan masyarakat sipil yang demokratis.

 

 

Penutup

Keberhasilan pelaksanaan upaya hukum sebagai instrumen pemberdayaan budaya hukum dalam perlindungan HAM di Indonesia sangat ditentukan oleh kesinergisan beberapa aspek yang ada di dalamnya baik berupa aspek substansial, struktural maupun kultural. Penghormatan dan perlindungan HAM melalui penyelesaian pelanggaran HAM dapat dilaksanakan tidak saja mengedepankan institusi Pengadilan, tetapi pemberdayaan institusi lain seperti Komisi Nasional HAM, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi serta berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat yang ada. Terpenuhinya peran berbagai institusi tersebut merupakan wujud dari perlindungan HAM sebagai prakondisi dari pembangunan masyarakat sipil di Indonesia.


HAM Datam Perspektif Penerapan Asas Peradi lan Perdata Agama

 

Pendahuluan

Dalam perspektif sosio-historis Islam, hukum dan hak asasi manusia diformu­lasikan sarat dengan muatan nilai kemaslahatan dan keadilan. Konsep dlaruriat al-khamsah (lima hak dasar manusia) seperti dikemukakan Imam Abu al-Ma'ali al-Juwainy (419-478 H) dan al- Ghazaly (401-514 H/1058­1111 M) menjelaskan bahwa hak asasi manusia dan  hukum dilegislasikan untuk kepentingan memelihara agama (hifdl al-din), memelihara jiwa (hifdl al-nafs), memelihara akal (hifdl al-'aql), memelihara harta (hifdl al-'irdl), dan  memelihara keturunan (hifdl al-nasi).

Karena itu, dalam memformulasikan hukum dan hak asasi mant_rsia yang menjadi watak bagi hakim peradilan agama dalam melaksanakan peran, fungsi dan kewenangan peradilan berpegang pada asas "legal itas" yang diatur dalam Pasal 58 Ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989, yakni 'Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang",' khusus untuk peradilan agama kewenangan "absolutnya" terbatas pada perkara-perkara tertentu antara orang-orang yang beragama Islam di bidang; perkawinan, kewarisan dan  hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam, wakaf dan shodaqah.2 Tampaknya, asas legalitas tersebut sekaligus berbarengan dengan penegasan hak asasi manusia berkenaan dengan persamaan hak dan derajat setiap orang yang berperkara di muka sidang pengadilan. Memang asas legalitas itu sendiri pada hakekatnya termasuk salah satu bentuk dari hak asasi, yakni hak asasi yang berkenaan dengan "hak perlindungan hukum"3 sehingga dalam pasal tersebut tergabung dua jenis hak asasi, yakni hak asasi perlindungan hukum dan hak asasi persamaan hukum.

 

Makna Asas Legalitas

Pengertian legalitas sebagai bentuk hak asasi berkenaan dengan hak perlindungan hukum, pada prinsipnya sama dengan pengertian rule of law. Pengadilan mengadili menurut hukum sama maknanya dengan pengadilan mengadili berdasar rule of law. )ika asas legalitas dipandang sebagai bentuk perlindungan hukum dikaitkan dengan kedudukan Negara Republik Indonesia adalah "Negara Hukum", sudah sewajarnya pengadilan yang berfungsi dan berwenang menegakkan hukum harus berpijak dan berlandaskan atas hukum. Dengan demikian akan terjadi suatu kesatuan tindakan dan arah law inforcement menurut rule of law. Ini berarti hakim yang berfungsi dan berwenang menggerakkan jalannya roda peradilan melalui badan peradilan agama, tidak boleh bertindak di luar hukum. Semua tindakan yang dilakukan dalam rangka menjalankan fungsi dan kewenangan peradilan harus menurut hukum; mulai dari pemanggilan, penyitaan, pemeriksaan di persidangan, putusan yang dijatuhkan dan eksekusi putusan, harus berdasar atas hukum. Tidak boleh menurut selera dan kemauan hakim, tapi harus menurut kehendak dan kemauan hukum. Hukum harus berada di atas segala-galanya. Hukum yang memegang "supremasi" dan "dominasi".

Hakim dan siapapun dalam menjalankan fungsinya harus takluk di bawah supremasi dan dominasi hukum. Hakim dilarang menjatuhkan putusan yang bertentangan dengan hukum demikian juga pihak yang berperkara tidak dibenarkan meminta suatu putusan yang tidak dibenarkan hukum. Inilah penggambaran ideal makna asas legalitas dari sudut pendekatan "teoritis". Tetapi apa yang dicita-citakan dalam asas legalitas ini, masih jauh dari kenyataan. Masih banyak terjadi penyimpangan dan pelanggaran hukum dan hak asasi manusia oleh para penegak hukum,

Pelanggaran hukum dan hak asasi manusia oleh penegak hukum terkadang dilakukan dengan sadar dan sengaja, dan juga terkadang karena kecongkakan kekuasaan atau arrogance of power sebagian penegak hukum yang menganggap dirinya sebagai alat kekuasaan atau instrument of pawer.4 Mereka menuntut penghormatan dan pelayanan dari pencari keadilan, dan sering lupa bahwa hakim adalah abdi penegak hukum dan keadilan.

Penegakan hukum melalui badan peradilan dihadapkan pada permasalahan pengertian hukum itu sendiri. Pengertian hukum dapat dilakukan melalui berbagai bentuk pendekatan; yakni hipotesis filosofis atau falsafah hukum, sosiologis, positivisme, dan realisme. Ragam pendekatan ini berbeda clengan sudut pandang syari'at Islam (hukum Islam). Menurut hukum Islam, hukum berarti syariat yaitu "sumber segala kehidupan" berkenaan dengan nilai hukum, moral dan etika. Hukummenurut pandangan syari'at adalah "ketentuan-ketentuan sikap yang tidak berubah dan juga sarana-sarana pokok untuk menyesuaikan diri dengan perubahan.s Hukum bukanlah hasil ciptaan manusia. Hukum adalah "wahyu Allah" yang datang dari padanya sebelum suatu masyarakat ada. Pada hukum Barat lebih menitikberatkan pada sudut pandang "eksidental", hukum lahir dari masyarakat dan dibuat masyarakat untuk kepentingan ketertiban masyarakat secara "temporal".

Jika sudut pandang di atas diambil mulai dari segi pendekatan filosofis, sosiologis, positivisme, dan  syari'ah, maka dalam konteks pembicaraan penegakan hukum berdasarkan legalitas, berarti cara pendekatan untuk memahami apa yang disebut hukum adalah semua peraturan dan  perundang­undangan yang sah, dibuat oleh lembaga yang berwenang untuk itu.

Itulah pengertian hukum dalam arti sempit dilihat dari sudut pendekatan paham positivisme. Akan tetapi pandangan sempit ini telah diperluas oleh ajaran sosiologi dan  pandangan realisme. Sehingga sudah dikembangkan pengertian dan  praktek yang menegaskan hukum adalah segala nilai normatif yang bersumber dari ketentuan peraturan perundang-undangan serta segala nilai normatif yang bersumber dari kekuatan nilai agama, moral, ekonomi, kultur, kebiasaan dan kepatutan. Semua kekuatan nilai normatif yang bersumber dari komponen tersebut adalah aturan hukum yang melingkari kesadaran dan  kehidupan masyarakat.

Semua nilai normatif yang berkembang dari komponen sumber nilai tersebut merupakan rule of law dari suatu masyarakat. Dengan demikian maka hukum yang hendak ditegakkan para hakim melalui fungsi dan kewenangan peradilan ialah semua nilai normatif yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan serta yang bersumber dari nilai-nilai kekuatan agama, moral, ekonomi, kultur, adat kebiasaan dan kepatutan (reasonable).

Pandangan di ataslah yang kita anggap sebagai moderasi dalam mengartikan apa yang dimaksud dengan hukum dalam konteksnya dengan permasalahan asas legalitas. Dengan pandangan moderasi ini, pandangan dan  pengertian kita mengenai hukum tidak terjebak secara ekstrim ke arah pendekatan positivisme.

Pandangan yang seolah-olah hanya melihat hukum dari sudut peraturan perundang-undangan saja kita perluas jangkauannya sampai mencakup semua nilai yang memiliki kekuatan nilai normatif yang tumbuh dalam kehidupan masyarakat. Dengan demikian sekaligus dibedakan pula istilah dan  pengertian legal (peraturan perundang-undangan) dengan law (hukum), serta menempatkan legal (peraturan perundang-undangan) sebagai salah satu komponen sumber nilai hukum bergandengan dengan komponen sumber nilai yang lain seperti agama, moral, ekonomi, budaya, adat dan kepatutan.

Pengkajian ini hampir sejalan dengan patokan dan pandangan yang berkembang dalam analisa ilmu fiqh dalam menentukan hukum. Menurut analisa fiqh yang dikembangkan oleh para mujtahid, nilai syari'ah tidak semata-mata terumus dalam Nash AI-Qur'an dan  Sunnah tetapi juga semua nilai normatif yang tumbuh dari kekuatan ijma' dan  qiyas. Bahkan lebih luas dari itu termasuk semua kekuatan nilai yang mengandung istichsan". Kemudian diperluas lagi sehingga makna syari'ah termasuk nilai-nilai yang mengandung istishlah, bahkan istishlah itu sendiri dikembangkan ke arah bentuk yang lebih umum maslachah mursalah yang berarti semua nilai yang berpotensi mendatangkan kebaikan (nashara fi mashalihinnas). Di dalam kebaikan yang mendatangkan nilai tersebut mengandung unsur kebebasan, keamanan, ketentraman dan kebersamaan. Nilai yang seperti itu dari sudut pandangan fiqh dapat menjadi nilai normatif syari'ah'. Demikian juga mengenai nilai-nilai'urf, dapat menjadi nilai normatifsyari'ah apabila nilai-nilai adat kebiasaan telah dipraktekkan dalam kehidupan masyarakat dan  kandungan nilainya tidak bertentangan dengan Nash Al Qur'an dan  Sunnah.

Tanpa mengurangi nilai-nilai yang bersumber dari peraturan perundang undangan, agama, moral, ekonomi, budaya, adat dan  kepatutan, nilai normatif yang terkandung dalam yurisprudensi dan  doktrin hukum dapat digolongkan ke dalam pengertian hukum. Akhir-akhir ini nilai-nilai paham globalisme yang bersifat universal, humaniter dan egaliter telah dianggap sebagai aturan hukum dalam lalu lintas pergaulan antar bangsa melalui penerapan asas keseimbangan dan  asas fungsionalisme. Demikian luasnya cakupan pengertian hukum dihubungkan dengan asas legalitas dalam melaksanakan fungsi dan  kewenangan kebebasan kehakiman yang dipikulkan kepada para hakim.

Pemahaman wawasan pengertian hukum yang diuraikan di atas sangat penting bagi para hakim peradilan agama dalam melaksanakan fungsi dan  kewenangan peradilan, terutama jika dihubungkan dengan ketentuan Pasal 56 Ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989 jo. Pasal 14 Ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970. Pasal ini melarang pengadilan untuk menolak memeriksa dan memutus perkara yang diajukan atas dalih hukum yang mengatur tidak ada atau kurang jelas. Para hakim harus memeriksa dan memutus perkara berdasar hukum dengan beban kewajiban mencari dan  menemukan hukum  (rechtsvinding) yang tepat untuk menyelesaikannya.

Sekiranya perkara yang diajukan tidak ditemukan aturan hukumnya dalam peraturan perundang-undangan, hakim beralih mencari dari sumber hukum yang lain dan nilai-nilai normatif, agama, moral, ekonomi, adat budaya, dan kepatutan, atau dari nilai-nilai normatif yurisprudensi. Mungkin juga bisa ditemukan dalam dasar-dasar atau asas-asas doktrin hukum atau dari nilai-nilai normatif globalisme.

Hakim dapat menjatuhkan putusan berdasar nilai-nilai tersebut di atas, karena semua nilai-nilai dimaksud masih dalam rangkaian jalinan rule of law. Hakim tidak boleh hanya terjebak melalui pendekatan peraturan perundang-undangan saja. Memang benar langkah pertama pencarian harus diarahkan rujukannya kepada peraturan perundang-undangan. Tetapi kemungkinan besar apa yang diatur di dalamnya sudah kurang relevan mengantisipasi tuntutan dinamika kebutuhan perkembangan dan kesadaran hukum masyarakat, sehingga peraturan perundang-undangan yang bersangkutan sudah memerlukan "aktualisasi". Dalam hal seperti itu hakim bisa beralih mencari dasar hukumnya dari sumber nilai kekuatan normatif yang dapat mensejajari arus perubahan nilai kesadaran yang terjadi.

 

Makna Asas Equality

Asas equality berarti persamaan hak. jika asas ini dikaitkan dengan fungsi peradilan, berarti setiap orang yang datang berhadapan di sidang peradilan adalah "sama hak dan kedudukannya". Dengan kata lain sama hak dan kedudukan di hadapan hukum. Lawan dari asas persamaan hak dan kedudukan di depan pengadilan atau di depan hukum ialah "diskriminasi" yaitu membedakan hak dan kedudukan orang di depan sidang pengadilan.

Pembedaan atau diskriminasi bisa berbentuk normatif dan kategoris. Wujud dari diskriminatif normatif berupa tindakan membedakan aturan hukum yang berlaku terhadap pihak-pihak yang berperkara. Misalnya, kepada salah satu pihak diberi kesempatan luas untuk mengajukan upaya pembuktian, sebaliknya kepada pihak yang lain haknya untuk mengajukan upaya pembuktian dibatasi atau dihalang-halangi. Tindakan demikian melanggar hak asasi manusia seolah-olah hakim mempraktekkan dua aturan hukum yang saling berbeda dalam peristiwa dan upaya yang sama.

Tidak jauh berbeda dengan diskriminasi normatif ialah diskriminasi kategoris, yakni berupa tindakan yang membeda-bedakan perlakuan pelayanan berdasar status sosial, ras, agama, suku, jenis kelamin dan budaya. Terhadap orang kaya diberikan perlakuan dan pelayanan berlebihan, terhadap yang miskin dihina secara kategoris sehingga bertentangan dengan asas equality dan  juga dengan hak asasi manusia. Hal ini tentu bertentangan dengan tujuan penegakan hukum dan keadilan.

Dalam setiap proses yang mengandung tindakan dan perlakuan diskriminasi normatif atau kategoris, mustahil dapat dihasilkan putusan yang berintikan hukum, kebenaran dan keadilan. Tindakan dan perlakuan diskriminasi itu sendiri sudah berlawanan dengan hukum atau melanggar hukum (break the law, undue to law).

Apa saja yang dituntut asas persamaan hak dan kedudukan dalam praktek peradilan? Terhadap pertanyaan ini, pada hakekatnya dapat dijawab dengan singkat. Jauhi tindakan dan perlakuan diskriminasi dalam segala bentuk, dengan berpatokan pada; pertama, persamaan hak dan derajat dalam proses pemeriksaan persidangan pengadilan atau equal before the law; kedua, hak perlindumgan yang sama oleh hukum atau equal protec­tion on the law; dan  ketiga, mendapat hak perlakuan yang sama di bawah hukum atau equal justice under the law.

Ketiga patokan inilah acuan pedoman yang menerapkan persamaan hak dan  kedudukan dalam proses peradilan. Ketiga patokan itulah makna yang terkandung dalam Pasal 58 Ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989 dalam kalimat "tidak membedakan orang" di muka peradilan. Ketiganya merupakan rangkaian fundamentum yang harus diterapkan secara utuh dalam suatu kesatuan yang tak terpisahkan. Menolak dan menyingkirkan salah satu patokan akan langsung merusak keseimbangan asas the rule of law.

Tempatkan para pihak yang berperkara dalam persamaan hak dan derajat pada setiap tingkat pemeriksaan. Berikan kepada mereka hak perlindungan hukum yang sama selama proses pemeriksaan-sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Layani mereka dengan hak perlakuan yang sama menurut hukum sejak mulai sampai akhir proses pemeriksaan. Ketiga patokan acuan asas persamaan hak ini, merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisah. Tidak bisa diterapkan secara parsial. Menerapkan secara parsial, pasti akan mewujudkan penerapan hak persamaan yang pincang. Nilai equal before the law dan equal justice under the law. Demikian sebaliknya, bagaimana mungkin penegakan hukum benar-benar dilaksanakan di bawah keluhuran persamaan hak dan kedudukan, kalau yang diterapkan hanya persamaan hak dan derajat, tidak dibarengi dengan pemberian perlindungan hukum yang sama. Bagaimana mungkin hakim sempurna menerapkan pemberian hak perlindungan hukum yang sama kalau-tidak dibarengi secara konsisten dengan pemberian hak perlakuan yang sama di bawah hukum budaya. Terhadap orang kaya diberikan perlakuan dan pelayanan berlebihan, terhadap yang miskin dihina secara kategoris sehingga bertentangan dengan asas equality dan juga dengan hak asasi manusia. Hal ini tentu bertentangan dengan tujuan penegakan hukum dan keadilan.

Dalam setiap proses yang mengandung tindakan dan perlakuan diskriminasi normatif atau kategoris, mustahil dapat dihasilkan putusan yang berintikan hukum, kebenaran dan keadilan. Tindakan dan perlakuan diskriminasi itu sendiri sudah berlawanan dengan hukum atau melanggar hukum (break the law, undue to law).

Apa saja yang dituntut asas persamaan hak dan kedudukan dalam praktek peradilan? Terhadap pertanyaan ini, pada hakekatnya dapat dijawab dengan singkat. Jauhi tindakan dan perlakuan diskriminasi dalam segala bentuk, dengan berpatokan pada; pertama, persamaan hak dan derajat dalam proses pemeriksaan persidangan pengadilan atau equal before the law; kedua, hak perlindungan yang sama oleh hukum atau equal protec­tion on the law; dan  ketiga, mendapat hak perlakuan yang sama di bawah hukum atau equal justice under the law.

Ketiga patokan inilah acuan pedoman yang menerapkan persamaan hak dan kedudukan dalam proses peradilan. Ketiga patokan itulah maknaa yang terkandung dalam Pasal 58 Ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989 dalam kalimat "tidak membedakan orang" di muka peradilan. Ketiganya merupakan rangkaian fundamentum yang harus diterapkan secara utuh dalam suatu kesatuan yang tak terpisahkan. Menolak dan  menyingkirkan salah satu patokan akan langsung merusak keseimbangan asas the rule of law.

Tempatkan para pihak yang berperkara dalam persamaan hak dan derajat pada setiap tingkat pemeriksaan. Berikan kepada mereka hak perlindungan hukum yang sama selama proses pemeriksaan -sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Layani mereka dengan hak perlakuan yang sama menurut hukum sejak mulai sampai akhir proses pemeriksaan. Ketiga patokan acuan asas persamaan hak ini, merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisah. Tidak bisa diterapkan secara parsial. Menerapkan secara parsial, pasti akan mewujudkan penerapan hak persamaan yang pincang. Nilai equal before the law dan equal justice under the law. Demikian sebaliknya, bagaimana mungkin penegakan hukum benar-benar dilaksanakan di bawah keluhuran persamaan hak dan kedudukan, kalau yang diterapkan hanya persamaan hak dan  derajat, tidak dibarengi dengan pemberian perlindungan hukum yang sama. Bagaimana mungkin hakim sempurna menerapkan pemberian hak perlindungan hukum yang sama kalau-tidak dibarengi secara konsisten dengan pemberian hak perlakuan yang sama di bawah hukum.

 

Sosio-Kultur Keadilan HAM Dalam Konsep Peradilan Islam

Islam menggariskan bahwa penegakann hukum dan hak asasi manusia bisa berjalan dengan baik, menuntut sumber daya manusia yang commited terhadap pelaksanaan amanatdan keadilan. "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu untuk apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu rnenetapkan dengan adil"." Karena itu untuk dapat melakukan ikhtiyar penegakan hukum dan keadilan, dibutuhkan adanya political-will dan good­will para pemimpin sebuah bangsa secara sungguh-sungguh dan konsisten. Dalam konteks ini pula, AI-Qur'an menempatkan perintah kepada masyarakat untuk taat kepada ulil amri, pada ayat 59 surat An-Nisa', apabila Ulil Amri di dalam melaksanakan tugas-tugas dan programnya, termasuk di dalam penegakan hukum, keadilan dan menjunjung nilai-nilai harkat hak asasi manusia, sejalan dengan perintah Allah dan Rasul-Nya.

Abu al-Hasan al-Mawardy dalam bukunya al-Ahkam al-Sulthaniyah, mengutip suatu riwayat Hisyam ibn 'Urwah dan Abi Shalih dan Abi Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Akan mendampingi kalian sepeninggalanku, suatu kekuasaan, maka kebaikan akan mendarnpingi kalian karena kebaikan kekuasaan itu, dan kebobrokan akan mendampingi kalian, karena kebobrokannya, maka dengar dan patuhi mereka dalam hal-hal yang sejalan dengan kebenaran. Apabila mereka berbuat baik, manfaatnya untuk kamu dan mereka, dan apabila mereka berbuat buruk, maka dampaknya untuk kamu, dan tanggung jawabnya pada mereka".

Karena itu, keberadaan lembaga peradilan yang otonom dan inde­penden, merupakan elemen penting bagi upaya penegakan hukum, eksistensi suatu negara, dan tegaknya suatu tatanan dalam masyarakat. Di lembaga peradilan inilah, tanggung jawab pemeliharaan jiwa, harta, hak, ketertiban hukum, ketenangan dan keadilan dalam masyarakat bisa diwujudkan.

Menurut Ibnu Taimiyah, dua kata kunci, yaitu menjalankan amanat kepada yang berhak dan menegakkan hukum dan hak asasi manusia sebagaimana dimaksud dalam QS. An-Nisa' Ayat 58, mewajibkan kepada kita untuk memenuhi amanat kepada yang berhak dan menegakkan hukum secara adil. Dua hal tersebut merupakan satu kesatuan politik yang adil dan kekuasaan yang baik yang tidak bisa dipisah-pisahkan.

Al-Qur'an menempatkan adil (justice) sebagai isu sentral dan universal. Allah memerintahkan berbuat adil, mendahului berbuat baik. "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebajikan,

memberi kepada kaum kerahat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar. karnu dapat mengambil pelajaran "."

Berbuat adil adalah kewajiban, baik kepada diri sendiri, kepada orang lain, maupun kepada Allah. Inilah yangoleh Ibnu'Araby dielaborasi menjadi; Pertama, adil dalam hubungan hamba dengan Tuhannya, artinya hamba senantiasa mengutamakan hak Tuhannya dibanding haknya sendiri, mendahulukan keridla'an-Nya di atas hawa nafsunya. Kedua, adil dalam hubungan dengan dirinya sendiri, yang berarti melarang diri sendiri dan  semua yang mengandung bahaya. Ketiga, adil dalam hubungan dengan makhluk lain, seperti menghindari khianat, dan  atau perbuatan yang mengganggu.

Adil merupakan kata kunci menuju taqwa, karena itu kebencian kepada seseorang -atau suatu kaum-tidaksemestinya menjadikan seseorang berlaku tidak adil.1z Dalam komunitas negara bangsa, maka pihak yang paling bertanggung jawab atas penegakan hukum dan  keadilan adalah para pejabat penegak hukum. Secara harfiyah dalam Bahasa Arab kata hukumah, satu akar kata dengan al-hakim, artinya hakim atau aparat yang menegakkan hukum.

 

Penutup

Kehidupan politik yang baik dan  penegakan hukum yang adil, merupakan suatu keniscayaan dan  sekaligus institusi yang harus dihormati dan  ditaati. Karena itu pula, apabi la ada orang yang menyerahkan urusannya diselesaikan di pengadilan, tetapi dia tidak percaya dan  tidak menerima sepenuhnya keputusan yang ditetapkan, maka dia dikategorikan sebagai orang yang tidak beriman.

Sumber hukum tertinggi adalah AI-Qur'an dan  Al-Sunnah, namun apabila dihubungkan dengan produk pemikiran hukum sekurang-kurangnya ada empat bentuk; yaitu, pemikiran hukum para ahli, pemikiran hukum keputusan pengadilan (yurisprudensi), pemikiran hukum berdasar fatwa (lembaga atau perorangan), dan  undang-undang."

Undang-undang sebagai keputusan politik lembaga legislatif (sulthah tasyri'iyyah) -atau dalam contoh Indonesia- bersama eksekutif (sulthah tanfidziyah), ia mengikat kepada subjek hukum, terutama kepada pihak yang berperkara, akan tetapi ia memiliki kelemahan. la cenderung kaku, dinamikanya lamban, dan untuk merubahnya memerlukan waktu, biaya dan barangkali "perjuangan" untuk mengatasi kelompok status quo. Karena itu, untuk mengatasi kekakuan akibat formalisme tadi, sentuhan etika atau moral kurang -untuk tidak mengatakan tidak ada- maka peranan lembaga yudikatif (sulthah qadlaiyah) menjadi suatu keniscayaan. Terutama sekali dalam mencari kompromi-kompromi dengan nilai-nilai yang hidup dan menjadi kesadaran hukum dalam masyarakat sebagai format atau konstruksi hukum dan keadilan dalam masyarakat.

Di dalam penerapan hukum, penegak hukum perlu mempertimbangkan psiko-sosial masyarakat sebagai pelaku hukum.', Dalam hukum Islam dikenal konsep Azimah artinya hukum yang berlaku dalam situasi normal, berbeda halnya dengan situasi tidak normal. 'Umar ibnu al-Khoththob misalnya, pernah tidak menjatuhkan hukuman potong tangan kepada 'Ubaid pembantu Hathib ibnu Abi Balta'ah yang mencuri unta untuk dimakan. Dalam riwayat lain, pembantu Hathib mencuri unta bersama seorang laki-laki dari Mazinah, mereka bersama-sama menyembelih. Maka dilaporkan kasus ini kepada 'Umar ibnu Khoththob. Kemudian 'Umar memerintahkan kepada Katsir ibnu al-Shalat agar memotong tangan mereka. Akan tetapi setelah diinformasikan bahwa mereka melakukan pencurian itu karena kelaparan (maja'ah), maka 'Umar ibnu Khoththob tidak jadi melaksanakannya."

Untuk dapat melakukan penegakan hukum, memang membutuhkan situasi dan kondisi yang aman. Persoalannya memang tidak mudah, apabila ketika sistem hukumnya salah, budaya hukumnya tidak jelas, kontrol masyarakat rendah, maka yang muncul adalah pembiaran kezaliman, atau paling tidak kekacauan hukum.

Semangat law inforcment yang berdasar pada rule of law, yang merupakan kata kunci supremasi di bidang hukum, memerlukan beberapa faktor pendukung. Pertama, persepsi penegak hukum terhadap masyarakat, agar tidak lagi sebagai sasaran tetapi sebagai pemegang peran. Kedua, penegak hukum hendaknya melakukan perubahan terhadap makna, kedudukan, dan fungsi keuasaan. Ketiga, aparat hendaknya menjadi pelayan masyarakat untuk mencerdaskan mereka, sehingga akan tumbuh budaya hukum yang sehat. Keempat, aparat penegak hukum perlu menyadari bahwa kenyataannya masyarakat heterogen (beragam), sementara hukum bersifat umum. Kelima perlu penyadaran kepada aparat, bahwa masyarakat makin kritis, dan  tidak lagi bisa dianggap bodoh.

Dalam khazanah hukum Islam, dikenal bentuk ijtihad atau kerja intelektual untuk memformulasikan hukum dalam rangka menjawab persoalan yang timbul dalam masyarakat. Ini dimaksudkan aparat penegak hukum tidak dibenarkan dengan alasan tidak atau belum ada ketentuan hukum yang mengaturnya" kemudian membiarkan persoalan hukum tanpa ada jawaban atau solusi

 


HAM Datam Perspektif Agama Islam Tinjauan Terhadap Kebebasan Melaksanakan lbadah Haji

 

Pendahuluan

Perjalanan sejarah ketatanegaraan Republik Indonesia mengalami beberapa kali pergantian undang-undang dasar, yang terakhir yaitu Undang-Undang Dasar 1945 yang diamandemen. Amandemen-amandemen itu dilakukan pada dasarnya untuk memenuhi tuntutan keadaan masyarakat yang dinamis, yaitu mewujudkan ide yang abstrak ke dalam kenyataan sosial. Hal ini selain merupakan penegakan hukum, menurut penulis, juga merupakan responsibilitas terhadap fenomena sosial yang menyangkut keanekaragaman bentuk hubungan interaktif sosial yang kompleks.

Tujuan negara Republik Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan  seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan  ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan  keadilan sosial. Bab XA mengenai Hak Asasi Manusia khususnya Pasal 28D UUD 1945 menyatakan bahwa, setiap orang bebas memeluk agama dan  beribaclat menurut agamanya.

Bangsa Indonesia yang beragama Islam, selanjutnya disebut Umat Islam, di dalam beribadat dalam rangka menyempurnakan kehidupan agamanya harus memenuhi lima kewajiban pokok yang harus dilaksanakannya, yang dikenal dengan Rukun Islam. Berdasarkan Hadits Nabi Muhammad Shalallahu'alaihi wa salam (SAW) yang diriwayatkan Shahih al-Bukhari dan  Muslim, dari Ibnu Umar, bahwasannya Islam itu didirikan atas lima pilar, yaitu:

a. membaca kalimat shahadat;

b. mendirikan shalat;

c. menjalankan puasa di bulan Ramadlan;

d. mengeluarkan zakat; dan

e. mengerjakan haji ke Baitullah.

 

Rukun Islam pertama, kedua dan  ketiga berlaku untuk setiap Umat Islam tanpa kecuali dan tanpa syarat apapun, sedangkan rukun keempat dan  kelima hanya pemberlakuannya digantungkan pada suatu syarat tertentu yaitu kemampuan pada masing-masing Umat Islam. Artinya bagi setiap Umat Islam yang tidak mampu mengeluarkan zakat dan  tidak mampu menyediakan biaya perjalanan dan  akomodasi ke Baitullah di Arab Saudi, maka ia tidak diwajibkan melaksanakan rukun keempat dan kelima.

Perintah Allah Subhanahu wa ta'ala (SWT) kepada setiap Umat Is­lam untuk melaksanakan ibadah haji terdapat di dalam Al-Qur'an, Surat Ali Imron ayat 97, yang artinya "... menunaikan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang mampu mengadakan perjalanan ke Baitullah. Dan Barang siapa mengingkari maka sesungguhnya Allah Maha kaya dari semesta alam".' Pengertian "mampu" di sini adalah meliputi kemampuan fisik serta biaya perjalanan dan  akomodasi, mengingat ibadah haji itu hanya dapat dilakukan di negara Arab Saudi dalam suatu waktu yang telah ditentukan. Bagi setiap Umat Islam yang mampu diwajibkan untuk segera melaksanakannya, berdasarkan Shahih Imam Achmad dan  Hambali, yang diriwayatkan oleh Ibnu Abas, bahwasanya Nabi Muhammad SAW bersabda: "Cepat-cepatlah kalian menunaikan ibadah haji, karena sesungguhnya seseorang di antara kamu tidak tahu apa yang akan terjadi padanya". Dengan adanya perintah dari Tuhan Yang Maha Kuasa, Allah SWT, dan  tuntunan Nabi Muhammad SAW tersebut maka bagi setiap Umat Islam yang beriman dan bertaqwa tentu tumbuh keinginannya untuk segera melaksanakan ibadah haji.

Jumlah jama'ah haji Indonesia dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan. Begitu banyaknya calon jama'ah haji sehingga diperlukan suatu kebijakan pemerintah, sesuai dengan quota yang ditentukan oleh pemerintah Kerajaan Arab Saudi,' dalam bentuk Surat Keputusan Menteri Agama. Untuk tahun 2004 berdasarkan Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor: 452 Tahun 2002, tentang porsi jama'ah haji Tahun 1424 H/2004 M ditetapkan sebanyak 205.000 orang, meskipun kenyataan di lapangan melebihi angka ini.

Penyelenggaraan ibadah haji di Indonesia dari tahun ke tahun selalu diikuti berbagai masalah. Sebagai contoh, pada tahun 2003 terjadi kelambatan pemberangkatan dan  pemulangan jamaah haji akibat ketidaksiapan alat trasportasi (pesawat) udara. Tahun 2004 sebanyak 30.000 jamaah reguler dan  7000 jamaah haji plus gagal berangkat ke tanah suci, akibat kebijakan pemerintah c.q. menteri agama yang tidak konsekuen. Kronologis mengenai kasus ini, dimulai saat pemerintah dengan Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor: 452 Tahun 2002, tentang porsi jama'ah haji Tahun 1424 H/2004 M, ditetapkan sebanyak 205.000 orang. Data menunjukkan bahwa calon jumlah Jama'ah haji Indonesia yang mendaftarkan melebihi quota yang telah ditetapkan oleh pemerintah tersebut. Melihat kenyataan itu pemerintah membuka kembali pendaftaran calon jamaah haji dengan jaminan akan meminta tambahan quota kepada pemerintah Arab Saudi, namun ternyata permintaan tambahan tersebut tidak diperoleh, sehingga calon jamaah haji yang telah terlanjur mendaftar tidak jadi berangkat sehingga menderita kerugian secara moril maupun materiil

Permasalahan pokok di dalam penyelenggaraan haji di Indonesia berakar pada konsep pemerintah yang tidak tepat, yaitu menempatkan Calon Jama'ah Haji dan  Jama'ah Haji sebagai objek bukan subjek. Dalam hal ini nampak bahwasanya Calon Jama'ah Haji dan  Jama'ah Haji Indonesia tidak mem­punyai kesempatan untuk:

a. memilih cara-cara berhaji yang dimungkinkan oleh tuntunan agama, misalnya tamatuk, qiran atau ifrad. Semuanya telah ditetapkan oleh pemerintah, dan  masyarakattinggal dan harus melaksanakannya apa adanya.

b. mengetahui rincian penggunaan Biaya Perjalanan Ibadah Haji yang besarnya ditetapkan secara sepihak oleh pemerintah, baik sebelum mendaftarkan diri sebagai Calon Jama'ah Haji ataupun sesudah pulang ke tanah air. Bahkan Calon Jama'ah Haji masih harus dibebani biaya­biaya lain di luar Biaya Perjalanan Ibadah Haji yang ditetapkan oleh pemerintah.

c. mengetahui fasilitastransportasi, penginapan dan  prosesi ibadah secara nyata, sehingga, kepergian Calon Jama'ah Haji ke tanah suci Madinah Al Munawarrah dan Makkah Al Mukaramah diibaratkan bagaikan berkelana di hutan belantara atau kegelapan.

 

Demikian kuatnya peranan pemerintah dalam penyelenggaraan ibadah haji, mengakibatkan kebebasan umat Islam sangat tergantung pada kebijakan pemerintah. Padahal pada kenyataannya Calon Jama'ah Haji itu seharusnya menjadi subjek di dalam penyelenggaraan haji, yaitu sebagai konsumen jasa yang harus dilayani oleh pemerintah sebagai pelaku usaha jasa layanan publik.

Tulisan ini ingin menelaah apakah setelah dilakukan amandemen terhadap UUD 1945, khususnya mengenai Hak Asasi Manusia pada Bab XII, Umat Islam dalam melaksanakan ibadah, kemudian dapat dijamin kebebasannya, tanpa intervensi kekuasaan pemerintah?

 

Penyelenggaraan Haji di Indonesia

Penyelenggaraan haji di Indonesia telah dilaksanakan sejak masih di bawah kekuasaan pemerintahan kolonial Belanda, yaitu berdasarkan Pelgrims Ordonnantie Statsblaad Tahun 1922 Nomor 698 dan Pelgrims Verordening Tahun 1938. Pasca Indonesia merdeka, peraturan perundangan tersebut dinyatakan masih tetap berlaku berdasarkan ketentuan Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Pengaturan mengenai penyelenggaraan haji di Indonesia dengan peraturan perundangan-undangan nasional baru dilakukan pada tahun 1999, atau setelah 54 tahun Negara Republik Indo­nesia merdeka, dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji. Undang-undang ini mencabut Pelgrims Ordonnantie Statsblaad Tahun 1922 No. 698 dan  Pelgrims Verordening Tahun 1938 dan semua peraturan pelaksanaannya dan  dinyatakan tidak berlaku lagi.

Pasal 5 UU No. 17 Tahun 1999 menyatakan bahwa, tujuan penye­lenggaraan ibadah haji adalah untuk memberikan pembinaan, pelayanan, dan  perlindungan yang sebaik-baiknya melalui sistem dan manajemen penyelenggaraan yang baik agar pelaksanaan ibadah haji dapat berjalan dengan aman, tertib, lancar dan  nyaman sesuai dengan tuntunan agama serta jamaah haji dapat melaksanakan ibadah secara mandiri sehingga memperoleh haji mabrur.

Diuraikan lebih lanjut di dalam Penjelasan Umum UU No. 17 Tahun 1999 bahwa, untuk tercapainya maksud tersebut diperlukan suasana yang kondusif bagi warga negara yang akan melaksanakan ibadah haji. Suasana kondusif tersebut dapat terwujud apabila pihak penyelenggara ibadah haji mampu memberikan kepada calon jamaah haji dan  jamaah haji:

a.    Pembinaan, meliputi pembimbingan, penyuluhan dan  penerangan;

b.    Pelayanan, meliputi pelayanan administrasi, transportasi, kesehatan dan  akotnodasi;

c.    Perlindungan, meliputi keselamatan dan keamanan, kesempatan untuk menunaikan ibadah haji, serta penetapan Biaya

d.    Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) yang terjangkau oleh calon jamaah haji.

Menurut Pasal 7 UU No. 17 Tahun 1999 penyelenggara ibadah haji adalah pemerintah dan/atau swasta. Menurut Penjelasan Pasal 17, mengingat penyelenggaraan ibadah haji merupakan tugas nasional dan menyangkut martabat serta nama baik bangsa, kegiatan yang berkaitan dengan penyelenggaraan ibadah haji merupakan tanggung jawab pemerintah. Keikutsertaan masyarakat dalam penyelenggaraan ibadah haji merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem dan manajemen penyelenggaraan ibadah haji.

Dengan memperhatikan uraian tersebut di atas pada dasarnya semua fasilitas yaitu pembinaan, pelayanan dan perlindungan dengan berbagai aspek yang terkandung di dalamnya, adalah merupakan hak bagi jamaah haji. Kedudukan pemerintah, termasuk swasta, yang menyelenggarakan ibadah haji adalah sebagai pelaku usaha jasa layanan, sedangkan calon jamaah haji dan jamaah haji adalah sebagai konsumen layanan jasa.

Berkaitan dengan hal tersebut permasalahan pokok yang timbul di dalam penyelenggaraan haji di Indonesia adalah apakah sistem dan manajemen penyelenggaraan haji Indonesia berdasarkan UU No. 17 Tahun 1999 dapat melindungi hak-hak yang seharusnya diperoleh calon jamaah haji dalam kedudukannya sebagai konsumen jasa layanan pemerintah (publik)?

 

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Hak-hak Calon Jama'ah Haji Kedudukan Hukum Jama'ah Haji Indonesia

Kedudukan hukum Calon Jama'ah Haji Indonesia tidak jelas. Memperhatikan proses pendaftaran pergi haji yang ditetapkan oleh pemerintah yaitu mendaftarkan diri di kantor Departemen Agama di wilayah masing-masing dan wajib menyertakan bukti Kartu Tanda Penduduk setempat dan akan memperoleh Surat Perjalanan Pergi Haji (SPPH). Atas dasar SPPH tersebut Calon Jama'ah Haji kemudian membayar BPIH pada bank-bank yang telah ditunjuk oleh pemerintah. Berbekal berkas administrasi berupa SPPH dan bukti pembayaran BPIH maka Calon Jama'ah Haji sudah dapat pergi haji. Dalam kaitan ini maka kedudukan hukum Calon Jama'ah Haji adalah bersifat administratif belaka, yaitu terdaftar sebagai Calon Jama'ah Haji yang akan diberangkatkan ke tanah suci. Mengenai hak dan kewajibannya tidak ditentukan secara tegas, tetapi tunduk pada ketentuan umum di dalam peraturan yang berlaku.

Dari uraian di atas nampak bahwa, kebijakan pemerintah di dalam penyelenggaraan haji tidak jelas mengenai kepastian hukumnya. Kedudukan Departemen Agama selaku regalator sekaligus operator membawa dampak ketidakjelasan hubungan hukumnya dengan Jama'ah Haji sebagai pengguna jasa layanan pemerintah. Menurut pengamatan penulis memang tidak ada perjanjian antara Departemen Agama dan  Calon Jama'ah Haji, kepada Calon Jama'ah Haji hanya diberikan Surat Pendaftaran Pergi Haji.

Berdasarkan uraian tersebut di atas letak permasalahan pokok adalah hubungan hukum antara Calon Jama'ah haji selaku pengguna (baca: konsumen) jasa layanan yang diselenggarakan oleh pemerintah dan  pemerintah c.q. departemen agama selaku penyedia layanan jasa penyelenggaraan ibadah haji sejak dari Indonesia, ke Arab Saudi, dan  kembali lagi di Indonesia. Dengan adanya hubungan hukum tersebut akan menimbulkan hak dan  kewajiban pada masing-masing pihak, yaitu Calon Jama'ah Haji berkewajiban membayar BPIH yang ditetapkan oleh pemerintah dan  berhak menikmati jasa layanan yang memadai dengan besarnya nilai BPIH. Demikian sebaliknya pemerintah berhak menerima dan  mengelola pernbayaran BPIH dari Calon Jama'ah Haji, dan  berkewajiban memberikan layanan jasa penyelenggaraan ibadah haji sesuai dengan nilai BPIH yang memadai. Pengingkaran atau tidak dipenuhinya hak-hak dan  kewajiban pada masing-masing pihak akan berakibat dapat dilakukan upaya hukum agar dapat dipenuhinya hak dan  kewajiban yang tidak diperolehnya.

 

Biaya Perjalanan Ibadah Haji

Besarnya Biaya Perjalanan Ibadah Haji ditetapkan oleh pemerintah dalam bentuk keputusan presiden pada setiap tahunnya dalam mata uang Dollar Amerika Serikat ditambah biaya administrasi dalam mata uang rupiah. Pembayaran dilakukan dalam bentuk mata uang rupiah, sedangkan konversi terhadap kurs Dollar Amerika Serikat digantungkan pada mekanisme pasar valuta asing pada setiap harinya yang nilainya ditetapkan oleh Bank Indonesia. Kebijakan ini secara sepihak mungkin dianggap oleh pemerintah dapat mengatasi permasalahan fluktuasi nilai rupiah terhadap valuta asing, khususnya biaya operasional yang menyangkut trasportasi pesawat udara dan  akomodasinya menggunakan standar Dollar Amerika Serikat. Namun demikian kebijakan ini sangat merugikan Calon Jama'ah Haji selaku konsumen karena pada kenyataannya tidak semua pembiayaan penye­lenggaraan ibadah haji menggunakan standar Dollar Amerika Serikat, misalnya biaya operasional, transportasi dan  akomodasi di tanah air tetap menggunakan mata uang rupiah, demikian juga biaya hidup Jama'ah Haji selama di tanah suci diberikan dalam bentuk mata uang Real Saudi Arabia bukan Dollar Amerika Serikat. Dalam masalah ini perlu kiranya dikaji lebih mendalam mengenai diwajibkannya Calon )ama'ah Haji menanggung biaya administrasi Bank dan  Departemen Agama. Bukankah bank-bank penerima setoran BPIH telah menikmati keuntungan dari simpanan para Calon )ama'ah Haji, sehingga tidak realistis seandainya Calon Jama'ah Haji masih dibebani biaya adminsitrasi bank.

Dalam kaitannya dengan keseimbangan antara nilai/harga Biaya Perjalanan lbadah Haji dengan layanan jasa yang diberikan oleh pemerintah kepada Jama'ah Haji, menurut hemat penulis, adalah kurang memadai. Hal ini dapat diperhatikan pada fasilitas yang diterima oleh Jama'ah haji, antara lain:

a. Sarana transportasi pesawat udara. Fasilitas tempat duduk tidak nyaman karena sangat sempit dan dan  berhimpitan sehingga tidak nyaman untuk melakukan penerbangan jauh selama lebih kurang 11 jam. Di samping itu Jama'ah Haji masih dibebani biaya perjalanan pergi dan  pulang dari tempat tinggal/daerah masing-masing sampai di Embarkasi, yang besarnya sangat tergantung jarak antara daerah tempat tinggal Jama'ah Haji yang bersangkutan dan  daerah/tempat Embarkasi.

b. Fasilitas hotel/pemondokan. Di dalam Pasal 52 ayat (1) huruf d, Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji No. D/377 Tahun 2002 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, dinyatakan bahwa batas maksimal jarak antara hotel/pemondokan dan  Masjidil Haram adalah 1.500 meter. Rupanya implikasi terhadap ketentuan ini dilakukan secara normatif karena, menurut pengamatan peneliti, hampir sebagian besar Jama'ah Haji Indonesia ditempatkan pada hotel/pemondokan di daerah Jarwal, Hafair, Misfallah dan  Syb Amir yang jaraknya rata-rata memang kurang lebih 1500 meter. Bahkan sebagian ditempatkan di daerah Azziziyah yang berjarak lebih dari 2000 meter, sehingga kenyataannya hanya sedikit Jama'ah Haji Indonesia yang mendapat hotel/pemondokan dekat (di bawah 1000 meter) dengan Masjidil Haram. Selain itu fasilitas kamar yang juga kurang memadai, yaitu harus berjejalan dalam satu kamar karena luas kamar dan jumlah pemakai tidak seimbang.

 

Pembinaan dan Pembimbingan

Dalam hal pembinaan terhadap Jama'ah Haji, pada perkembangan akhir­akhir ini terjadi tarik-ulur antara pemerintah c.q. Departemen Agama dan Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH) yang diselenggarakan oleh masyarakat. Pada kenyataannya sebagai besar )ama'ah Haji saat ini lebih suka bergabung dengan Kelompok Bimbingan lbadah haji yang diselenggarakan oleh masyarakat daripada mengikuti bimbingan yang diselenggarakan oleh Departemen Agama, meskipUm harus membayar biaya bimbingan.

Pada dasarnya kepentingan )ama'ah Haji dilindungi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selain perlindungan terhadap keselamatan dan keamanannya, Jama'ah Haji juga harus mendapat perlindUmgan mengenai kesempatan untuk melaksanakan ibadah haji beserta hak-haknya, dan upaya hukum untuk melindungi kepentingannya.

Munculnya kasus pembatalan keberangkatan puluhan ribu Calon Jama'ah Haji pada tahun 2004 lalu menimbulkan sedikit keresahan bagi sebagian Calon Jama'ah Haji mengenai kepastian waktu keberangkatannya. Hal ini sesungguhnya telah diantisipasi pemerintah dengan mengubah kebijakan sistem pendaftaran haji, yaitu tidak lagi satu periode musim haji tetapi sistem pendaftaran sepanjang tahun. Dengan sistem ini, untuk dapat mendapatkan porsi, Calon Jama'ah Haji harus mendaftarkan diri dalam antrian keberangkatan ibadah haji dengan cara membayar lebih dahulu BPIH sebesar Rp.20.000.000,00. Namun sistem ini juga mempunyai dampak " pada sistem pembayarannya, yaitu konskuensi dari perubahan besarnya BPIH dan jasa simpanannya, karena hal ini berkaitan erat dengan kedudukan Departemen Agama sebagai penanggung jawab penyelenggaraan ibadah haji tidak bersifat profit.

Berbagai masalah yang timbul tersebut tidak lepas dari kebijakan umum yang diambil pemerintah yang diatur di dalam UU No. 17 Tahun 1999. Secara substansial mengandung berbagai aspek yang menurut hukum tidak mencerminkan perlindungan terhadap jama'ah Haji Indonesia, misalnya antara lain, tidak adanya transparansi mengenai "rid cost" dan "riid faci­lity"di dalam penyelenggaraan perjalanan ibadah haji kepada Calon Jama'ah Haji ataupun Jama'ah Haji. Secara agamis memang'tidak layak untuk berpikir "suudzon" dan tetap harus "khusnuddzon" terhadap pemerintah sebagai penyelenggara ibadah haji di Indonesia, tetapi secara ilmiah ketiadaan transparansi tersebut menimbulkan praduga negatif terhadap manajemen penyelenggaraan haji di Indonesia. Terlebih dengan memperhatikan dan mencermati adanya ketentuan "pasal karet" di dalam UU No. 17 Tahun 1999, yaitu Pasal 1 butir 16 mengenai Dana Abadi Umat yaitu sejumlah dana yang diperoleh dari hasil efisiensi biaya penyelenggaraan ibadah haji dan dari sumber lain. Ketentuan Pasal 1 butir 16 UU No. 17 Tahun 1999 inilah yang menimbulkan berbagai "multi effects" dalam penetapan besarnya Biaya Perjalanan Ibadah Haji dan penggunaannya. Di samping itu mengingat keduclukan pemerintah c.q. Departemen Agama di dalam menyelenggarakan ibadah haji adalah sebagai regulator sekaligus operator yang bersifat tidak profit dalam rangka layanan publik, sebenarnya mengandung kewajiban untuk mempertanggungjawabkan kepada masyarakat umum terutama Jama'ah Haji. Sebaliknya kewajiban tersebut menjadi hak bagi Jama'ah Haji untuk memperoleh informasi secara jelas mengenai manajemen penyelenggaraan haji dari pemerintah c.q. Departemen Agama.

 

Hegemoni Pemerintah di Dalam Kehidupan Bernegara dan Bermasyarakat

Munculnya hegemoni eksekutif sangat dimungkinkan, sebagaimana diung­kapkan Irving Swerdlow yang dikutip oleh Muchsan, bahwa konsekuensi dari negara kesejahteraan adalah negara (pemerintah) dapat melakukan intervensi terhadap berbagai kehidupan masyarakat melalui:

a.    Operasi langsung dalam arti pemerintah langsung aktif melakukan kegiatan yang dikehendakinya;

b.    Pengendalian langsung yang bentuknya dapat berupa perijinan, lisensi, konsesi dan  sebagainya;

c.    Pengendalian tidak langsung yaitu lewat pembuatan perundang­undangan yang mengatur persyaratan yang harus dipenuhi untuk terlaksananya kegiatan tertentu;

d.    Pemengaruhan langsung yang dilakukan dengan persuasi, pendekatan, atau nasehat agar masyarakat bertindak sesuai dengan yang dikehendaki oleh pemerintah;

e.    Pemengaruhan tidak langsung yang merupakan kegiatan yang mengarahkan agar masyarakat berbuat sesuai yang dikehendaki oleh pemerintah.

Sejarah membuktikan betapa besar pengaruh hegemoni pemerintah terhadap berbagai sendi kehidupan masyarakat. Menurut Ichlasul Amal,s pada masa Orde Baru, negara sangat kuat dan  dominan. Prinsip sentralisasi kekuasaan yang monolitik ditegakkan dengan ketat. Dengan memanfaatkan infrastruktur birokrasi, baik birokrasi sipil maupun birokrasi militer, sebagai rangka baja stabilitas politik, orde baru telah berhasil menjalankan pro­gram pembangunan di segala bidang. Akan tetapi prestasi-prestasi tersebut hanya sebagian kecil saja yang merupakan realita, sedangkan sebagian besar lainnya hanya fatamorgana. Pada zaman Orde Baru negara terlalu kuat hampir tidak ada satu bidang kehidupan pun yang lepas dari kontrol negara dan  pemerintah, sampai-sampai secara sinis orang mengatakan bahwa untuk bernafas pun orang harus minta ijin pemerintah.

Lebih lanjut Ichlasul Amal mengatakan,b bumi politik yang kita pijak sekarang ini sedang mengalami pergeseran dari titik ekstrim yang satu ke titik ekstrim yang lain dalam suatu spektrum politik. Pada titik yang pertama, kita memiliki situasi ekstrim masa lalu berupa stabilitas ala Orde Baru yang dipertahankan dengan segala macam cara, termasuk dengan memangkas hak-hak partisipasi masyarakat. Pada titik yang berlawanan kita sedang bergerak menuju situasi ekstrim berupa anarki sosial dan politik yang dapat melumpuhkan sendi-sendi kerjasama sosial bangsa kita.

Kepentingan bangsa dan negara menjadi terabaikan sebagai akibat kerakusan kekuasaan, dan euphoria politik yang berlebihan dan tak terkendali. Tragedi kenegaraan di negara kita cukup menonjol, sebagai contoh paradigma demokrasi dengan sistem pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat telah diapresiasikan oleh rakyat secara positif pada pilihan presiden tahap pertama. Keprihatinannya adalah kecerdasan rakyat dalam menerima perubahan paradigma demokrasi ini justru dinodai oleh keterbelakangan pikir para elit politik (calon penguasa) dengan cara "kebijakan paksa" koalisi antar partai untuk pemenangan pilihan presiden tahap kedua, yang di dalamnya penuh dengan ancama-ancaman kepada fungsi organisatoris di bawahnya. Letak permasalahannya adalah mengapa harus ada koalisi antar partai? Toh kemenangan pemilihan presiden berada di tangan rakyat. Sekali lagi, dan sekali lagi, lagi-lagi rakyat hanya ditempatkan sebagai objek dan bukan subjek politik.

Dalam kondisi seperti ini tentu akan menimbulkan hegemoni elit (politik dan pemerintahan) yang sangat kuat, seperti halnya masa pemerintahan Orde Baru, dengan bentuk "penampakan" yang lain, yaitu sikap tidak peduli. Analisis terhadap masalah tersebut dapat dikaji melalui ilmu-ilmu sosial yang membahas bermacam-macam masalah (pembangunan, elit, kemiskinan, kesenjangan wanita dan sebagainya seperti diungkapkan oleh Sunyoto Usman.' Dari beberapa macam teori sosial, penulis merujuk pada teori Modernitas di dalam sosiologi pembangunan pedesaan, yaitu: kegiatan pembangunan pada intinya berkisar pada upaya transformasi menyeluruh dari masyarakat tradisional menjadi masyarakat yang memiliki karakteristik teknologi dan organisasi sosial seperti yang terdapat di Dunia Barat, seperti tuntutan transparansi adminsitrasi dan manajemen pemerintahan, keseteraan wanita (Ian pria, perlindungan Hak Asasi Manusia, dan lain sebagainya. Kegiatan pembanguan pedesaan berkaitan dengan proses diferensiasi struktural, proses integrasi yang semula bersifat primordial menjadi organisasional dan gerak adaptasi anggota masyarakat pada tatanan baru yang lebih objektif-rasional. Kendala-kendala perjalanan pembangunan (tindakan menentang atau bersikap konservatif terhadap perubahan) terutama terletak pada kondisi internal masyarakat sendiri, seperti kebodohan, kekurangpekaan terhadap renovasi, dan sikap pasrah.

Di samping itu kendala internal masyarakat sendiri, misalnya mening­katnya tingkat pengangguran sebagai akibat tidak terpenuhinya sasaran pendidikan, sikap pasrah cenderung acuh tak acuh terhadap kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi bahkan cenderung ke arah sikap skeptis dengan banyak sumber daya manusia produktif terjebak pada penggunaan obat terlarang dan minuman keras serta perjudian.

Menurut T. Jacob," proses pembinaan bangsa sendiri tidak mudah, karena membentuk staatsnation (political nation) cukup sukar, meskipun lebih sukar lagi membentuk kulturnation (cultural nation) sesudahnya. Demikian pula yang terjadi di Indonesia saat ini, di dalam masa reformasi, lebih lanjut ia mengatakan bahwa, difusi kultural mengalir terlalu banyak dalam waktu yang singkat. Karena tipe ideal adalah negara Barat yang maju, maka cirri-ciri budaya yang dianggap menyebabkan keterbelakangan dicoba ganti dengan ciri negara-negara maju. Indikator negara maju dijadikan sasaran untuk dikejar, tanpa memperhatikan kebudayaan kita seutuhnya (in toto).

Keputusan tersebut bukan saja merupakan refleksi kesadaran terhadap ekses-ekses manajemen pemerintahan berupa tumpang tindihnya kewe­nangan di antara lembaga/departemen ekonomi, tetapi sekaligus juga membuka mata adanya ekses penyimpangan di bidang-bidang lain terutama hukum. Kiranya itu yang menjadi titik sentral tuntutan reformasi melalui aksi mahasiswa yang didukung oleh semua lapisan masyarakat, yaitu reformasi di bidang politik, ekonomi dan  hukum secara menyeluruh.

Gejala yang terjadi selama ini, termasuk langkah-langkah reformasi bidang hukum tetap diakui eksistensinya, namun bukan berwujud kesadaran terhadap hukum sebagai kesepakatan aturan main bersama tetapi hukum yang "didikte" untuk melegalkan keingginan dan  kepentingan parsial, yaitu penguasa. Padahal di dalam Penjelasan Pasal 24 UU No. 14 Tahun 1970, bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Keberadaan lembaga yudikatif sebagai lembaga yang merdeka dan independen sangat dibutuhkan di dalam praktek penyelenggaraan kenegaraan atau pemerintahan. Sebagai contoh, di Amerika Serikat, yang menganut sistem pemisahan kekuasaan, apabila timbul perselisihan antara Presiden sebagai pelaksana kekuasaan eksekutif dengan Conggrese sebagai pelaksana kekuasaan legislative, sebagai checks and balances mengatasi kesulitan itu, diserahkan kepada kekuasaan yudikatif.10 Konstruksi demikian akan menciptakan suatu semangat keadilan yang indah, dalam hal ini fungsi lembaga-lembaga negara di Indonesia, khususnya kekuasaan kehakiman dapat dijalankan secara mandiri dan profesional. Dalam kasus-kasus seperti itu posisi hakim seperti ungkapan Durkheim," yaitu bagaikan seorang anak yang tidak mentaati cara-cara yang diajarkan padanya akan mengalami sanksi dari suatu kekuatan luar. Fakta sosial di dalam hukum, terutama mengenai kebebasan hakim, mengisyaratkan bahwa kebebasan hakim sering terusik oleh faktor-faktor dari luar dirinya yang dapat mengarahkan pada situasi yang memaksanya.

Hal ini akan sangat menentukan di bidang pembangunnan hukum yang berkelanjutan, seperti yang diungkapkan oleh Tadjuddin Noor Effendi12 bahwa pembangunan dapat berjalan dengan baik bila manusia mempunyai dan diberi kesempatan untuk mengembangkan kemampuan dalam menentukan dan mengekspresikan nilai-nilai, aspirasi dan menentukan pilihan-pilihan. Hal ini akan dapat dicapai bila ada iklim keterbukaan dan manusia diberi kebebasan dalam hal peranannya pada berbagai lapangan kehidupan. Wheare, dalam tulisan Ismail Suny,13 bahwa Undang-Undang Dasar 1945 termasuk kategori suatu geloofs belijdenis, atau suatu statement of ideals, karena di dalamnya memuat dasar negara dan staatsfilosofie yang disebut Pancasila.

Belajar dari perjalanan sejarah bangsa Indonesia seperti diuraikan di atas dapat diketahui bahwa Negara Indonesia lahir dan hidup dalam alam ketidakpastian dan ketidakaturan, tata kehidupan menjadi tidak.jelas bentuknya. Kondisi demikian dapat mempengaruhi segala aspek kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Sudarsono,14 istilah fast buck, dan hit and  run menggambarkan pemunculan sikap mental yang serba tergesa-gesa yang terbentuk dalam situasi bergolak, tidak normal, tidak menentu, penuh dengan persaingan serta kekurangan tatanan dan  kekurangan semangat untuk mengacu pada rasa tanggung jawab atau lebih berat, keputusasaan.

Dilihat dari kajian hukum menurut Mahfud,15 menyatakan bahwa banyak yang meyakini bahwa krisis nasional yang terjadi di Indonesia, baik yang mengantarkan jatuhnya rezim Orde Lama ataupun Orde Baru, disebabkan oleh terjadinya pelanggaran oleh pemerintah atas prinsip-prinsip negara hukUnn dan konstitusi. Pada sisi lain, Satjipto Rahardjo16 menyatakan bahwa, menjadi negara hukum yang sebenarnya adalah suatu proses panjang karena menyangkut perubahan perilaku, tatanan sosial dan kultur. Gagasan bernegara hukum, menjalankan hukum, janganlah direduksi dan  dipersempit menjadi praktek menjalankan undang-undang secara hitam putih atau kalimat dan  pasal undang-undang belaka. Negara hukum juga jangan direduksi menjadi negara prosedur hukum. Ini yang membuat kita menjadi tidak sejahtera dan  bahagia hidup di negara hukum.

Kebijakan Berorientasi HAM Dalam Pelaksanaan Ibadah Haji Memang sebaik-baik bekal di dalam melaksanakan ibadah haji adalah taqwa kepada Allah Subhanahu wa ta'ala, dilandasi tawakal dan sabar baik di dalam pelaksanaan ibadahnya, karena berat dan melelahkan, mau­pun keadaan yang dialaminya. Dengan sistem dan  manajemen penyelengga­raan ibadah haji selama ini maka pengalaman dan  keadaan masing-masing jama'ah Haji setiap tahunnya akan berbeda dan tidak pasti, sehingga terhadap jama'ah Haji yang telah melaksanakan ibadah haji beberapa kali tentu juga akan mengalami keadaan yang berbeda-beda pula. Namun demikian, bukan berarti bahwa karena telah berbekal ketaqwaan dan  kesabaran tersebut kemudian mengabaikan kepentingan Jama'ah Haji, karena secara yuridis pemerintah harus mempertanggungjawabkan kepada Jama'ah Haji. Di samping itu dalam konteks ibadah agama, pejabat pemerintah sebagai pemegang kekuasaan dan  kewenangan di dalam penyelenggaraan ibadah haji harus mempertanggungjawabkan kepada Allah Subhanawata'ala. Oleh karena itu agar Jama'ah Haji dapat melaksanakan ibadahnya secara tertib dan  khusuk, sehingga memperoleh derajat sebagai Haji Mabrur, maka harus dilindungi kepentingannya.

Kebijakan umum yang diambil pemerintah c.q. Departemen Agama yang mempunyai kewenangan untuk menjamin kebebasan bangsa Indone­sia melaksanakan ibadah menurut agama yang dianutnya, sebagaimana dilindungi oleh Undang-Undang Dasar 1945 dan  merupakan hak asasi manusia, benar-benar dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya

Keterlibatan pemerintah di dalam berbagai aspek kehidupan individu, pada hakekatnya sesuai dengan tujuan bangsa Indonesia yang tercantum di dalam Pembukaan UUD 1945, yang lebih mengarah pada prinsip Welfare­state. Berdasarkan prinsip ini pemerintah dapat melakukan peranannya di lapangan hukum publik berlandaskan tugas dan  kewenangannya, maupun di lapangan hukum privat karena mempunyai hak dan kewajiban, dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan umum. Hal inipun sesuai dengan konsekuensi dari kehidupan negara modern, Utrecht" mengatakan bahwa lapangan pekerjaan pemerintah sangat luas.

Berdasar teori Irving Swerdlow, sebagaimana dikutip Muchsan,18 pemerintah dapat melakukan intervensi terhadap penyelenggaraan ibadah haji tidak hanya dalam hal pengendalian baik langsung maupun tidak langsung, tetapi juga melakukan operasi langsung sebagaimana ditentukan di dalam UU No. 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Haji. Kemudian diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri Agama No.371 Tahun 2002 tentang Penyelenggaraan Haji dan Umroh, dan  Keputusan Direktui• Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan  Penyelenggaraan Haji No.D/377 Tahun 2002 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelenggaraan Haji dan  Umroh. Dalam posisi yang demikian pemerintah c.q. Departemen Agama berperanan, ganda atau "wayuh fungsi" yaitu bertindak selaku regulator yaitu menge­luarkan kebijakan publik, baik sistem maupun manajemen, dalam bentuk peraturan perundang-undangan, dan  sekaligus juga bertindak selaku op­erator yaitu melaksanakan secara langsung sistem dan  manajemen penyelenggaraan haji. Memang pemerintah di dalam penyelenggaraan haji dan  umroh juga melibatkan peran serta masyarakat, yaitu untuk penyelenggaraan haji khusus dan  umroh, namun demikian sistem yang diatur di dalam UU No. 17 Tahun 1999 mengandung diskriminasi dan  bersifat sentralistik. Sebagai contoh, misalnya, Biaya Perjalanan Ibadah Haji telah ditentukan oleh pemerintah dalam bentuk Keputusan Presiden sehiangga berdasarkan asas "setiap warga negara dianggap tahu terhadap peraturan perundangan yang diundangkan" maka Keputusan Presiden tersebut mengikat meskipun tidak mengetahui hak-haknya sebagai imbalan jasa dari biaya yang telah dibayarkannya itu secara pasti. Di samping itu dalam penentuan quota haji khusus menjadi hak mutlak pemerintah, termasuk dalam hal pendistribusiannya bagi Badan Penyelenggara Haji dan  Umroh milik masyarakat. Di dalamnya belum diatur standarisasi penentuan quota bagi masing-masing Badan Penyelenggara Haji dan  Umroh milik masyarakat, sehingga menimbulkan dampak negatif di dalam manajemen penyelenggaraan haji khusus. Contoh yang lain, di dalam penyelenggaraan haji khusus UU No.J 7 Tahun 1999 mewajibkan dibuatnya surat perjanjian antara Calon Jamaah Haji dengan Badan Penyelenggara Haji dan  Umroh, tetapi tidak demikian dengan penyelenggaraan haji reguler yang dilaksanakan oleh pemerintah. Tidak adanya kewajiban untuk dibuat suatu perjanjian antara pemerintah c.q. Departemen Agama dan  Calon )ammah Haji reguler, menurut penulis, merupakan gejala awal tidak terlindunginya hak dan  kepentingan jamaah haji. Dengan selembar Surat Pendaftaran Pergi Haji yang dikeluarkan oleh Departemen Agama dan  bukti pembayaran Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji dari Bank cukuplah bagi calon jamaah haji untuk pergi melaksanakan ibadah haji, tanpa mengetahui secara pasti hak-hak yang semestinya diperoleh.

Dari uraian tersebut di atas perlu kiranya dicermati lebih mendalam bahwasanya keterlibatan pemerintah secara langsung di dalam operasional penyelenggaraan ibadah haji seyogyanya sangat memperhatikan kepentingan para jamaah haji, sehingga para jamaah haji dapat terlindungi hak dan  kepentingannya oleh sistem dan  manajemen yang diatur peraturan perundang­undangan dan  dapat menikmati fasilitas yang diberikan oleh pemerintah. Dalam hal ini kedudukan jamaah haji adalah sebagai konsumen jasa layanan yang diselenggarakan oleh pemerintah atau publik.

Sampai saat ini socara universal diakui adanya hak-hak konsumen yang harus dilindungi dan  dihormati, yaitu:

a. hak Umtuk mendapat keamanan;

b. hak untuk mendapat informasi;

c. hak untuk memilih;

d. hak untuk didengar;

e. hak atas lingkungan hidup.

Mengacu pada 5 hak dasar konsumen tersebut di atas, perlu kiranya dicermati apakah jamaah haji selaku konsumen jasa layanan publik sudah terpenuhi. f lal ini tidak dapat diabaikan lagi mengingat hak dan  kepentingan jamaah haji perlu untuk dilindungi baik oleh pemerintah selaku pemegang kebijakan publik ataupun selaku operator penyelenggaraan ibadah haji, sehingga dapat melaksanakan ibadah haji dengan tenang, tertib dan khusuk tanpa terganggu oleh hal-hal yang menyertai perjalanan ibadah haji, sebagai akibat tidak terpenuhinya hak-hak sebagaimana mestinya. Bagi pemerintah c.q. Departemen Agama, hal ini bukan saja kewajiban untuk bertanggung jawab melindungi kepentingan jamaah haji, tetapi lebih dari itu kewajiban terhadap perlindungan hak asasi manusia untuk melaksanakan ibadat agama sebagaimana dijamin oleh UUD 1945 dan amandemennya.

 

Penutup

Pada hakekatnya perlindungan hak dan kepentingan jamaah haji pada dasarrrya dimaksudkan dalam rangka penegakan hukum, karena di dalamnya terhadap konsep penyelenggaraan ibadah haji secara tertib sehingga tercipta keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan sosial bagi para jamaah haji. Hal tersebut sebagaimana diungkapkan Radburch yang dikutip Satjipto Rahardjo,20 bahwa hukum mengandung ide atau konsep-konsep yang abstrak, yang meliputi keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan sosial, harus diwujudkan dalam kenyataan. Proses perwujudan ide yang.abstrak ke dalam kenyataan sesungguhnya merupakan proses penegakan hukum.

Penegakan hukum perlindungan konsumen, didasarkan pada teori Radburch di atas, diwujudkan dengan suatu undang-undang yang sangat diperlukan sebagai dasar perwujudan ide di dalam kenyataan. Menurut Sri Redjeki Hartono,21 perlunya undang-undang perlindungan konsumen karena lemahnya posisi konsumen dibandingkan posisi produsen (jasa) karena mengenai proses sampai hasil produksi (jasa) tanpa campur tangan konsumen sedikitpun.

Amandemen terhadap UUD 1945 pada dasarnya untuk menghilangkan ekses negatif di dalam pelaksanaan pemerintahan dan kenegaraan, yang dapat merugikan kepentingan rakyat dalam berbangsa dan bernegara. Empat kali amandemen terhadap UUD 1945 memberi harapan baru terhadap kontrol dan keseimbangan fungsi kekuasaan negara, yang lebih tegas dan jelas daripada sebelum amandemen.

Namun demikian idealisme di dalam amandemen tersebut masih sangat tergantung dari apresiasi secara nyata bagi para pelaku kekuasaan pada masing-masing lembaga. Beberapa faktor dicoba untuk menjawab permasalahannya, di antaranya:

a. Tidak berfungsinya lembaga legislatif secara maksimal, sebagai akibat

 kurang responsifnya anggota legislatif terhadap perkembangan jaman;

b. Terjebak pada kepentingan-kepentingan subjektif dan kebutuhan jangka pendek pada semua lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, termasuk di dalamnya Dewan Perwakilan Daerah.

c. Kemampuan aspiratif dan legislasi lembaga legislatif dalam menge­luarkan produk hukum, yang disebabkan sikap tertutup lembaga legislatif terhadap komponen yang berkompetensi di bidang hukum.

 

Kebijakan penyelenggaran ibadah Haji belum dapat memberikan
jaminan kebebasan beribadah, sebagai akibat intervensi pemerintah yang
berorientasi kekuasaan. Calon Jama'ah Haji ataupun Jama'ah Haji
berkedudukan sebagai objek, bukan subjek, di dalam penyelenggaraan haji yang bersifat adminstratif. Secara yuridis belum jelas dilindungi hak-haknya.

Faktor keberhasilan pelaksanaan kebebasan beribadah (haji) sebagai salah satu Hak Asasi Manusia, terletak pada mental dan etos kerja para pelaku kekuasaan, yang dituntut harus berorientasi pada kepentingan seluruh rakyat.


 

DAFTAR PUSTAKA

 

Cotterrell, Roger. 1984. The Sociology of Law An Introduction. London Butterworths, London.

Foster-Caster. 1976. Dalam "From Rostow to Gunder Frank: Conflecting Paradigms in the Analysis of Underdevelopment", World Deve­lopment, Vol. 4, No.3, March 1976.

            . 1985, "Neo-Marxist Approaches to Development and Underdevelopment". Dalam Peter Worsley (ed.). Modern Socio­logy, Harmondworths: Penguin Books Ltd.

Gunder-Frank, Andre. 1985. "Development and Underdevelopment". Dalam Peter Worsley (ed.). Modern Sosiology, Harmondsworth: Penguin Books Ltd.

Ichlasul Amal. 1999. "Refleksi Reformasi Multi Dimensional", Makalah untuk Semiloka Refleksi Kritis Terhadap Proses Reformasi, diselenggarakan oleh Universitas Gadjah Mada, di Yogyakarta, 27-28 )anuarii 1999.

Ismail Suny. 1984. Mekanisme Demokrasi Panca Sila. AksaralBaru. Jakarta. Joeniarto. 1983. Selayang Pandang Tentang Sumber-sumber Hukum Tata Negara di Indonesia, Liberty, Yogyakarta.

Kamanto, Sunarto. 1993. Pengantar Sosiologi. LP-FEUI. Jakarta.

Moh. Mahfud MD. 1999. "Tinjauan Substansi Reformasi Hukum ", Makalah pada Semiloka Refleksi Kritis Terhadap Proses Reformasi, UGM Yogyakarta, 27-28 Januari 1999.

Muchsan. 1997. Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah dan Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia. Liberty. Yogyakarta

Muladi. 2002. Demokratisasi, Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum di Indonesia. The Habibie Center. Jakarta.

Satjipto Rahardjo. 1983. Masalah Penegakan Hukum: Suatu Tinjauan Sosiologis. Sinar Baru. Bandung.

Sudarsono. 1993. "Reorientasi Pengelolaan Sumber Daya Manusia, Setelah Teori X,Y,Z dan W kita tunggu Teori U(Anda)"; Orasi Ilmiah pada Pembukaan Kuliah Program Pasca Sarjana UGM Semester I Tahun Akademik 1993/1994, Yogyakarta, 6 September 1993.

Sudikno Mertokusumo. 1993. Hukum Acara Perdata Indonesia. Liberty. Yogyakarta.

Sunyoto Usman dalam tulisannya berjudul "Kedudukan Teori Dalam Penelitian Sosial".

Tadjuddin Noer Effendi. 1993. Konsep Pendekatan Terpadu Dalam Pengemhangan Sumber Daya Manusia. Makalah Pelatihan Perencanaan Pengembangan Sumber Daya Manusia Tingkat DIY dan /awa Tengah, di Yogyakarta.

T. Jacob. 1999. "Refleksi Kritis Terhadap Substansi Reformasi, Globalisasin dan Pembangunan Ekonomi". Makalah untuk Semiloka Refleksi Kritis Terhadap Proses Reformasi, diselenggarakan oleh Universi­tas Gadjah Mada, di Yogyakarta, 27-28 Januari 1999.

 

No comments:

Post a Comment

KEPEMIMPINAN PEMERINTAHAN DAN KEPAMONGPRAJAAN

  JUDUL BUKU “KEPEMIMPINAN PEMERINTAHAN DAN KEPAMONGPRAJAAN” TUGAS RESUME   Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah ...

082126189815

Name

Email *

Message *