Thursday, August 26, 2021

Optimalisasi Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan dalam Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah di Kota Surakarta

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

1.1  Latar Belakang Laporan Akhir

Negara Indonesia adalah negara berkembang yang berasaskan Pancasila dan menganut sistem demokrasi, dimana rakyatnya bebas untuk menyampaikan aspirasinya baik dalam hal apapun. Sebagai salah satu negara demokrasi yang menggunakan sistem perwakilan sesuai yang tertera pada Pancasila, yaitu sila ke empat yang berbunyi “Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan dan Perwakilan”. Maka Indonesia dengan adanya sila tersebut sangat memprioritaskan asas perwakilan dalam penyelenggaraan pemerintahannya. Dengan asas perwakilan dalam prioritas penyelenggaraan pemerintah di Indonesia diperlukan dorongan pertumbuhan demokrasi dan mempertegas eksistensi pemerintah daerah di seluruh lapisan pemerintahannya.

Bentuk eksistensi pemerintah daerah ditunjukkan dengan bentuk demokrasi dan pemberdayaan daerah dalam rangka otonomi daerah yang peraturannya terdapat dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 18 ayat (2) telah ditegaskan bahwa “Pemerintah daerah Provinsi, daerah Kabupaten, dan Kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan”.

Otonomi daerah menghendaki daerah untuk berkreasi dalam mencari sumber penerimaan yang dapat membiayai pengeluran pemerintah daerah dalam rangka menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan.Dari berbagai alternatif penerimaan daerah, undang undang tentang perimbangan keuangan antara pusat dan daerah menetapkan pajak dan retribusi daerah merupakan sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang bersumber dari dalam daerah itu sendiri.Dampak pemberian kewenangan yang diberikan kepada daerah untuk memungut pajak dan retribusi telah mengakibatkan pemungutan berbagai jenis pajak dan retribusi daerah yang berkaitan dengan berbagai aspek kehidupan masyarakat.

Dalam Undang-Undang 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah pada Pasal 9 mengenai Urusan Pemerintahan. Merupakan awal dari adanya pembagian Urusan Pemerintahan dimana ada Urusan Pemerintahan Pusat yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah pusat disebut dengan Urusan Pemerintah Absolut dan ada Urusan Pemerintahan yang kewenangannya dibagi antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota disebut dengan Urusan Pemerintahan Konkuren.Urusan Pemerintahan Konkruen yang diserahkan ke Daerah menjadi dasar pelaksanaan Otonomi Daerah.

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) diatur dalam Pasal 23 Undang-Undang Dasar 1945, ayat (1) berbunyi “Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan Undang-Undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.

Pembangunan ekonomi dalam suatu daerah merupakan salah satu dari sekian banyak target yang ingin dicapai oleh pemerintah. Pembangunan ekonomi tingkat daerah tujuannya adalah meningkatkan pertumbuhan ekonomi masyarakat daerah. Melalui Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) serta Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang dimiliki masing-masing daerah, akan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sehingga pemerintah pusat dan pemerintah daerah perlu berupaya meningkatkan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD).

Sumber pendapatan daerah yang sangat berpotensi yaitu pajak daerah. Secara dominan pajak dapat membantu pemerintah daerah dalam melaksanakan pembangunan, kemasyarakatan dan kegiatan penyelenggaraan pemerintahan. Potensial ini jika dikelola dengan baikmaka akan dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), sehingga memudahkan kepala daerah untuk menjalankan pemerintahannya, yang dimana pembiayaan yang dimiliki oleh daerah dari sektor pajak memberikan kontribusi dan dukungan yang sangat besar. Demikian juga dengan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), dimana Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah Pajak Negara yang dikenakan terhadap bumi dan atau bangunan berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009.

Menurut Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 pasal 77 tentang peralihan Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah menyimpulkan bahwa Pemerintah Daerah diberi amanat dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah agar mempercepat terwujudnya suatu kemandirian daerah, kemandirian tersebut dapat dilihat dari kemampuan daerah dalam membiayai penyelenggaraan pemerintahannya melalui Pendapatan Asli Daerah (PAD) tanpa harus mengandalkan dan mengharapkan dana alokasi yang diberikan oleh pemerintah pusat.

Pentingnya sumbangan yang diberikan oleh penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan bagi pembiayaan pembangunan, maka pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan harus dilaksanakan secara efektif sehingga dapat memenuhi target pemungutan yang telah ditetapkan.

Berdasarkan data Dinas Pengelolaan Pendapatan Keuangan dan Aset / DPPKA Kota Surakarta menyebutkan bahwa penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan pada tahun 2012-2014 di Kota Surakarta belum mencapai target maksimal yang ditentukan seperti data sebagai berikut :

 

 

 

 

 

Tabel  1.1

KETETAPAN DAN REALISASI PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN DI KOTA SURAKARTA

 

No.

Tahun

Target

(Rp)

Realisasi

(Rp)

Persentase

(%)

1.

2.

3.

2012

2013

2014

55,000,000,000

57,500,000,000

60,000,000,000

48,414,950,176

49,352,645,289

50,085,250,635

88,02%

85,58%

83,47%

  Sumber: Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Kota Kota Surakarta

Menurut data diatas realisasi penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan di Kota Surakarta pada tahun 2012 – 2014 belum sesuai dengan target yang direncanakan hampir di seluruh kecamatan yang ada. Pemerintah kota Surakarta perlu melakukan intensifikasi pemungutan pajak agar dapat meningkatkan penerimaan daerah yang akan berimbas pada penerimaan negara. Dalam meningkatkan sumber sumber penerimaan daerah di Kota Surakarta Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan merupakan sektor yang berpotensi untuk di gali dan ditingkatkan mengingat jumlah penduduk dan luas Kota Surakarta yang sangat berpotensi.

Atas pemikiran diatas peniliti tertarik untuk mengadakan penelitian “Optimalisasi Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan dalam Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah di Kota Surakarta

Penulis ingin mengetahui pelaksanaan, hambatan, serta upaya dari Dinas Pengelolaan Pendapatan Keuangan dan Aset (DPPKA) Kota Surakarta dalam mengelola Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan sehingga pajak dapat terlaksana dengan optimal bahkan dapat melebihi dari target yang telah ditentukan.

 

1.2  Permasalahan

1.2.1     Identifikasi Masalah

1.    Realisasi penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan yang diterima oleh Pemerintah Surakarta belum mencapai target

2.    Tidak sesuainya Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan dengan nilai jual pasar di Kota Surakarta.

3.    Masih kurangnya penerapan sanksi kepada wajib pajak yang melakukan pelanggaran dalam pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan Perkotaan.

4.    Banyak lahan yang tidak diketahui kepemilikannya

5.    SPPT tidak tersampaikan secara maksimal terhadap wajib pajak.

1.2.2     Pembatasan Masalah

Permasalahan yang ada diatas dan mempertimbangkan waktu yang diberikan oleh lembaga dalam proses magang ini yang memiliki waktu kurang cukup, maka penulis membatasi pembatasan masalah yang akan diteliti oleh penulis dilapangan. Oleh karena itu penulis fokus terhadap pemasalahan proses pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan dan penulis membatasi masalah penelitian optimalisasi pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan dalam meningkatkan Pendapatan Asli Daerah di kota Surakarta.

 

1.2.3     Rumusan Masalah

Menurut identifikasi dan pembatasan masalah yang telah diuraikan diatas penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut :

1.    Bagaimana optimalisasi pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan di Kota Surakarta?

2.    Hambatan apa saja yang membuat pendapatan Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan di Kota Surakarta yang diperoleh pemerintah daerah belum optimal?

3.    Upaya apa saja yang dilakukan pemerintah daerah Kota Surakarta dalam meningkatkan optimalisasi pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan Perkotaan?

 

 

 

 

1.3 Maksud dan Tujuan Magang

1.3.1 Maksud Magang

Maksud dari pelaksanaan magang ini adalah untuk meneliti dan mengamati bagaimana pengelolaan Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan di Kota Surakarta, faktor-faktor yang menghambat serta upaya Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah dalam rangka mengatasi berbagai permasalahan tentang proses pengelolaan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan serta upaya untuk mengoptimalisasikan penerimaan dari Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan, sehingga penulis mengetahui pengelolaan Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan, faktor-faktor yang menghambat, serta upaya-upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah Kota Surakarta untuk mengatasinya

 

1.3.2 Tujuan Magang

Tujuan dari Magang adalah :

1.    Untuk mengetahui hambatan hambatan yang membuat pendapatan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan di Kota Surakarta belum mencapai target yang ditentukan.

2.    Untuk mengetahui faktor-faktor yang menghambat belum maksimalnya tarif Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan di Kota Surakarta.

3.    Untuk mengetahui sanksi yang telah diterapkan oleh Pemerintah Kota Surakarta dalam meminimalisir pelanggaran yang dilakukan oleh wajib pajak.

 

1.4 Kegunaan

1.4.1 Kegunaan Praktis Untuk Lokasi Magang

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan untuk Dinas Pendapatan Pengelolaan Kuangan dan Aset Kota Surakarta dalam melaksanakan otonomi daerah, dalam rangka mengoptimalkan pendapatan pajak didaerah, terutama pada Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang dapat memberi kontribusi yang besar sebagai sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) di Kota Surakarta apabila pajak Pajak bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan dapat dikelola dengan efektif dan efisien.

 

1.4.2     Kegunaan Praktis Untuk Lembaga

Sebagai bahan referensi serta data dan arsip akademik IPDN dalam proses belajar mengajar guna menunjang pendidikan, serta terjalinnya kerjasama antara lembaga Institut Pemerintahan Dalam Negeri dengan lokasi magang nantinya.

 

 

 

1.5 Definisi Objek yang Diamati dan Dikaji

1.5.1 Definisi Optimalisasi

Menurut Kosasih (2010:63)

”Optimalisasi dapat diartikan sebagai upaya meningkatkan usaha agar hasilnya dapat mendekati atau bahkan sama dengan apa-apa yang menjadi potensinya.”

Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa optimalisasi merupakan upaya yang dilakukan secara konstan untuk mencapai efektifitas dan efesiensi. Dalam penyelenggaraan suatu organisasi bertujuan agar dalam penyelenggaraan tersebut dapat berjalan secara efektif dan efisien sehingga proses penyelenggaraan mencapai tingkat optimal.

1.5.2 Definisi Pajak

Pajak menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah pasal 1 ayat (10) berbunyi Pajak Daerah, yang selanjutnya disebut Pajak, adalah Kontribusi Wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Menurut Muhammad Rusjdi (2008:1) pajak merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang sangat penting artinya bagi pelaksanaan dan peningkatan pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila yang bertujuan untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, dan oleh karena itu perlu dikelola dengan meningkatkan peran serta masyarakat sesuai dengan kemampuannya.

Sedangkan Pajak menurut Marihot pada bukunya (2013:7) menyatakan bahwa secara umum pajak adalah pungutan dari masyarakat oleh negara (pemerintah) berdasarkan undang-undang yang bersifat dapat dipaksakan dan terutang oleh yang wajib membayarnya dengan tidak mendapat prestasi kembali (kontra prestasi/balas jasa) secara langsung, yang hasilnya digunakan untuk membiayai pengeluaran negara dalam menyelenggarakan pemerintahan pembangunan.

 

1.5.3 Definisi Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.

Menurut Marihot (2010: 553) Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah “Pajak atas Bumi dan Bangunan yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk usaha perkebunan, perhutanan dan pertambangan. Bumi menunjuk pada permukaan bumi meliputi tanah dan perairan pedalaman serta laut wilayah Indonesia. Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau diletakkan secara tetap pada tanah dan tau perairan dan digunakan sebagai tempat tinggal atau tempat berusaha”

Jadi untuk meningkatkan akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah, khusus PBB sektor perdesaan dan Perkotaan dialihkan menjadi pajak daerah. Sedangkan PBB sektor perkebunan, perhutanan dan pertambangan masih merupakan pajak pusat. Dengan demikian PBB Perdesaaan dan Perkotaan menjadi pajak daerah, maka jenis pajak ini diperhitungkan sebagai pendapatan asli daerah.

Adapun penggolongan pajak menurut Mardiasmo (2009:4) adalah sebagai berikut:

1.    Menurut Golongannya:

a.    Pajak Langsung, yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh wajib pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain.

b.    Pajak tidak langsung, yaitu pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain.

2.    Menurut Sifatnya:

a.    Pajak Subjektif, yaitu pajak yang berpangkal pada subjeknyaa. Dalam arti memperhatikan keadaan diri wajib pajak.

b.    Pajak Objektif, yaitu pajak yang berpangkal pada objeknya, tanpa memperhatikan keadaan diri wajib pajak.

3.    Menurut Lembaga Pemungutannya:

a.    Pajak Pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara.

b.    Pajak Daerah, yaitu pajak yang digunakan oleh Pemerintah Daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah.

Pajak daerah , terdiri atas :

1.    Pajak Provinsi

2.    Pajak Kabupaten/Kota

1.5.4 Definisi Pendapatan Asli Daerah (PAD)

              Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah, penerimaan daerah dalam rangka desentralisasi terdiri dari pendapatan daerah dan pembiayaan. Sedangkan pendapatan daerah yang dimaksud bersumber dari :

 

a.   Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Pendapatan Asli daerah  pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah pasal 6 ayat 1 menyatakan bahwa PAD (Pendapatan Asli Daerah) bersumber dari:

1). Hasil pajak daerah;

2). Hasil retribusi daerah;

3). Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; dan

4). Lain-lain PAD yang sah;

b. Dana Perimbangan

         Dana perimbangan adalah dana yang berasal dari penerimaan APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk membiayai kebutuhan daerah dalam rangka desentralisasi. Dana Perimbangan terdiri dari :

1)    Bagian Daerah dari Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dan penerimaan dari sumber daya alam;

2)    Dana Alokasi Umum;

3)    Dana Alokasi Khusus.

         Dana ini merupakan aspek penting dalam sistem perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah untuk mendukung pelaksanaan kewenangan pemerintah daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi kepada daerah, yaitu terutama peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik. Dana Perimbangan tersebut merupakan kelompok sumber pembiayaan pelaksanaan desentralisasi yang alokasinya tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain, mengingat tujuan masing-masing jenis penerimaan tersebut saling mengisi dan melengkapi.

         Bagian Daerah dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan dan penerimaan sumber daya alam merupakan alokasi yang pada dasarnya memperhatikan potensi daerah penghasil.

         Sedangkan pada pasal sepuluh Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan daerah, Bagian Daerah ini disebut dengan Dana Bagi Hasil, yang bersumber dari pajak dan sumber daya alam. Dana Bagi Hasil yang bersumber dari pajak, terdiri atas Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan atas Hak Tanah dan Bangunan (BPHTB), dan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21.

         Sedangkan Dana Bagi Hasil yang bersumber dari sumber daya alam berasal dari kehutanan, pertambangan umum, perikanan, pertambangan minyak bumi, pertambangan gas bumi, dan petambangan panas bumi.

         Dana Alokasi Umum adalah dana yang berasal dari APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemeratankemampuan keuangan antar daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Pemerataan yang dimaksud adalah meliputipotensi daerah, luas daerah, keadaan geografi, jumlah penduduk, dan tingkat pendapatan  masyarakat di daerah, sehingga perbedaan antara daerah yang maju dengan daerah yang belum berkembang dapat diperkecil.

         Dana Alokasi Khusus adalah dana yang berasal dari APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk membantu membiayai kebutuhan tertentu. Dengan demikian, sejalan dengan tujuan pokok dana perimbangan dapat lebih memberdayakan dan meningkatkan kemampuan perekonomian daerah, menciptakan sistem pembiayaan daerah yang adil, proporsional, rasional, transparan, partisipatif, bertanggung jawab (accountable), serta memberikan kepastian sumber keuangan daerah yang berasal dari wilayah daerah yang bersangkutan.

 

c.  Dan lain-lain pendapatan daerah yang sah

         Lain-lain pendapatan daerah yang sah menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 meliputi seluruh pendapatan selain Pendapatan Asli Daerah dan dana perimbangan, yang meliputi

1)    hibah;

2)    dana darurat;

3)    lain-lain pendapatan yang ditetapkan pemerintah.

        

         Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004, lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah meliputi

hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan;

1)    jasa giro;

2)    pendapatan bunga;

3)    keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing; dan

4)    komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/ atau jasa oleh daerah.

 

 

 

 

 

 

 

    

 

 

 

 

 

No comments:

Post a Comment

buku bimbingan

                                                                                                                                            ...

082126189815

Name

Email *

Message *