KATA PENGANTAR
Puji syukur kami
panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena telah memberikan kekuatan dan
kemampuan sehingga makalah ini bisa selesai tepat pada waktunya. Adapun tujuan
dari penyusunan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Makalah dengan judul “Perkembangan Demokrasi
Indonesia Paska Pilkada Serentak”
Penulis
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan mendukung
dalam penyusunan makalah ini.
Penulis sadar
makalah ini belum sempurna dan memerlukan berbagai perbaikan, oleh karena itu
kritik dan saran yang membangun sangat dibutuhkan.
Akhir kata,
semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan
semua pihak.
Jatinangor, Juli 2015
Penulis,
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
BAB II LANDASAN TEORI
BAB III PEMBAHASAN
3.2. Pemilu Kepala Daerah Serentak Mewujudkan Pemimpin Pilihan Rakyat
3.4. Mengisi Kekosongan Wakil Daerah
3.5. Manajemen Pemilu yang Memaksimalkan Kedaulatan Rakyat
3.6. Mengembalikan Loyalitas Wakil Rakyat
3.7. Upaya Efisiensi dalam Penggabungan Pemilu
3.9. Penyederhanaan Partai tanpa Mematikan Aspirasi Lokal
3.10. Permasalahan Pilkada Dan
Isu-Isu Pilkada
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Banyak yang sepakat bahwa demokrasi
Indonesia telah mengalami perkembangan pesat, khususnya sejak era reformasi
menggantikan rejim otoritarian Orde Baru, 1997. Paling tidak -- dalam bahasa
yang lebih netral -- telah terjadi sederet perubahan cepat dan signifikan dalam
perjalanan demokrasi negeri ini, jauh melampaui apa yang mungkin dibayangkan
setiap orang sebelumnya.
Awal 1990-an,
di tengah keprustrasian panjang memandang stagnasi demokrasi dan pembusukan
politik yang berlarut di Indonesia, seorang Indonesianis
asal Amerika R. William Liddle, dalam sebuah artikel yang diterbitkan Harian KOMPAS, sempat melontarkan analisa
pesimistik tentang kemunculan kelompok civil
society baru yang bakal mengawali demokrasi negeri ini, paling cepat dalam
kurun waktu 25-30 tahun. Dan ternyata hanya butuh waktu kurang dari tiga tahun
untuk membuktikan semua prediksi itu salah
Faktanya,
perubahan telah bergulir cepat. Tak terkecuali dalam penyelenggaraan
kepemiluan, sebagai salah satu instrument penting demokrasi. Setidaknya dalam tiga
kali pemilu (sekarang dalam proses yang ke-empat) berbagai perubahan penting
layak dicatat. Mulai dari tatanan sistem pemilu secara umum, disain organisasional dan tekhnis
kelembagaan, sampai pada aturan main penyelenggara dan penyelenggaraan pemilu. Yang
semuanya bermuara pada – paling tidak munculnya harapan -- terciptanya pemilu
yang lebih menjamin prinsip-prinsip
keterwakilan, akuntabilitas, dan legitimasi.
Tulisan ini
ingin memetakan garis besar perubahan yang terjadi dalam kepemiluan Indonesia
pasca reformasi, dengan menyoroti beberapa “prestasi” penting yang layak
dicatat – terlepas dari silang sengketa pendapat yang tentunya pasti selalu
ada. Dan pada bagian yang lebih utama, tulisan ini ingin mengetengahkan
pemikiran bahwa, ketika demokrasi disepakati menjadi sebuah pilihan, maka ruang
dialog antara fakta dan ide, antara realitas objektif dan realitas subjektif,
harus tetap terbuka untuk menghasilkan pemikiran-pemikiran konstruktif bagi
perubahan yang lebih baik, secara terus menerus. Untuk kepentingan itu, di bagian akhir
tulisan ini dicoba mengajukan beberapa focus perhatian yang sekiranya layak
diagendakan sebagai “pekerjaan rumah” selanjutnya bagi perbaikan demokrasi
bangsa ini.
1.2. Rumusan Masalah
1) Bagaimana Sistem Pemilu
di Indonesia ?
2)
Bagaimana Pemilu Kepala Daerah Serentak
Mewujudkan Pemimpin
Pilihan Rakyat?
3)
Apa dan Bagaimana Calon Independen ?
4)
Bagaimana Mengisi Kekosongan Wakil Daerah ?
5)
Bagaimana Manajemen Pemilu yang Memaksimalkan
Kedaulatan Rakyat?
6)
Bagaimana Mengembalikan Loyalitas Wakil Rakyat ?
7)
Bagaimana Upaya Efisiensi dalam Penggabungan
Pemilu?
8)
Bagaiama Penyederhanaan Partai tanpa Mematikan
Aspirasi Lokal?
9) Apa Saja Permasalahan Pilkada Dan Isu-Isu Pilkada?
1.3. Tujuan
Untuk mengetahuhi tentang :
1) Sistem Pemilu
2)
Pemilu Kepala Daerah Serentak Mewujudkan
Pemimpin Pilihan Rakyat
3)
Calon Independen
4)
Mengisi Kekosongan Wakil Daerah
5)
Manajemen Pemilu yang Memaksimalkan Kedaulatan
Rakyat
6)
Mengembalikan Loyalitas Wakil Rakyat
7)
Upaya Efisiensi dalam Penggabungan Pemilu
8)
Jalur Independen
9)
Penyederhanaan Partai tanpa Mematikan Aspirasi
Lokal
10) Permasalahan Pilkada Dan Isu-Isu Pilkada
BAB II
LANDASAN
TEORI
Pemilihan umum atau Pemilu adalah salah satu
momentum dalam menciptakan kedaulatan berada ditangan rakyat. Bagi negara
demokrasi modern, Pemilu merupakan mekanisme utama yang harus ada dalam tahapan
penyelengaraan negara dan pembentukan pemerintahan. Pemilu dipandang sebagai
bentuk paling nyata dari kedaulatan yang berada ditangan rakyat serta wujud
paling konkret partisipasi rakyat dalam penyelenggaraan negara.[2] Sama halnya dengan Pemilu, dalam
penyelengaraan di daerah dikenal dengan istilah pemilihan kepala daerah atau
Pilkada guna memilih kepala daerah, baik kepala daerah tingkat satu yakni
Gubernur, maupun pemilihan kepala daerah tingkat dua yakni Bupati/Walikota. Hal
ini merupakan salah satu wujud dan mekanisme demokrasi di daerah secara langsung,
dan sarana manifestasi kedaulatan dan pengukuhan bahwa pemilih adalah
masyarakat daerah.
Mengenai dasar hukum dilaksanakannya pilkada di
Indonesia terlihat seperti terdapat keragu-raguan pemerintah dalam mengeluarkan
produk hukum dalam menjalankan pilkada di Indonesia. Pada akhir 2014,
pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 Tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Walikota, yang menimbulkan pro dan kontra di masyarakat,
karena dalam undang-undang tersebut Pilkada dikembalikan pemilihannya oleh
DPRD, dengan adanya penolakan atas hal tersebut, pemerintah mengeluarkan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2014 Tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, dengan memasukan kembali Pilkada
dilakukan dengan cara pemilihan secara langsung oleh rakyat, serta dilaksanakan
secara serentak dan pemerintah menetapkan Perpu tersebut menjadi undang-undang,
yakni Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan atas Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Walikota, namun belum sempat undang-undang ini dijalankan
pemerintah kembali menghapus beberapa pasal-pasal dalam undang-undang tersebut,
sehingga adanya revisi atas undang-undang tersebut maka keluarlah Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015
Tentang Penetapan atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Dalam
undang-undang tersebut tetap mejelaskan Pilkada dilakukan secara langsung oleh
rakyat dan pelaksanaannya dilakukan secara serentak, dan salah satunya
pelaksanaan pada tahun 2015 ini, ironinya Undang-Undang Nomor 8 tahun 2015 ini
pun kembali diusulkan untuk dilakukan revisi kembali dikarenakan terdapat
beberapa pasal yang ingin dirubah salah satunya mengenai anggaran untuk
membiayai penyelenggaraan pilkada serentak 2015 ini. Namun dapat dikatakan
Undang-Undang Nomor 8 tahun 2015 merupakan patokan atau dasar hukum
penyelenggaraan pilkada serentak pada tahun 2015.
Substansi dari pilkada sendiri adalah penyampaian
suara rakyat daerah untuk membentuk lembaga perwakilan dan pemerintahan daerah
sebagai penyelenggara negara di daerah. Suara rakyat di wujudkan dalam bentuk
hak pilih, yaitu hak untuk memilih wakilnya dari berbagai calon yang ada.
Sebagai suatu hak, hak memilih harus dipenuhi dan sesuai dengan amanat
konstitusi, hal ini merupakan tanggung jawab negara yang dalam pelaksanaannya
dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum di tingkat pusat mapun Komisi Pemilihan
Umum Daerah (KPUD) di daerah sebagai lembaga penyelenggara negara.
Penyelenggaraan pemilihan kepala
daerah yang begitu banyak di Indonesia dinilai sangat memboroskan anggaran
daerah. Bahkan bagi daerah yang kemampuan fiskalnya rendah, kewajiban membiayai
pilkada ternyata mengurangi belanja pelayanan publik seperti urusan pendidikan
dan kesehatan. Oleh karena itu,
penyelenggaraan pilkada serentak dipandang lebih tepat karena lebih hemat dan
efisien.[3] Terkait politisasi anggaran, saat tahap
pilkada mulai berjalan, ternyata banyak daerah yang belum mengalokasikan
anggaran penyelenggaraan pilkada. Alasannya antara lain daerah tidak memiliki
anggaran tambahan untuk membiayai pilkada. Selain itu, banyak daerah yang belum
menetapkan APBD untuk tahapan pilkada.
Setidaknya terdapat tiga masalah pencalonan pasangan
kepala daerah dalam proses penyelenggaraan pilkada. Pertama,
terjadi politik uang dalam bentuk ”ongkos perahu” yang diberikan pasangan calon
kepada partai politik yang memang berhak untuk mencalonkan. Inilah politik uang
pertama sekaligus kentara dalam pilkada sekalipun besarnya ”ongkos perahu”
tidak sebanding dengan dukungan parpol dalam kampanye. Kedua, terjadi ketegangan dan bahkan perpecahan internal parpol
akibat ketidaksepakatan pengurus parpol dalam mengajukan pasangan calon.
Akibatnya, parpol menjadi lemah sehingga mereka gagal memperjuangkan
kepentingan anggota. Ketiga,
pencalonan yang hanya mempertimbangkan ”ongkos perahu” mengecewakan masyarakat
karena calon yang diinginkan tidak masuk daftar calon. Di satu pihak, hal ini
menyebabkan masyarakat apatis terhadap pilkada sehingga partisipasi pemilih
menurun. Di lain pihak, hal itu menyebabkan masyarakat marah sehingga bisa
menimbulkan konflik terbuka.
UUD Negara Rl Th
1945 Pasal 18 ayat (4) menyatakan bahwa, "Gubernur, Bupati, dan Walikota
masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota
dipilih secara demokratis". Tidak ada amanat dalam UUD Negara Rl Tahun
1945 bahwa wakil kepala daerah harus dipilih secara berpasangan dengan kepala
daerah. Sistem pemilihan wakil kepala daerah secara langsung berpasangan dengan
kepala daerah semula dalam rangka kesesuaian dengan Pemilihan Presiden dan
Wakil Presiden secara berpasangan. Akan tetapi dalam perjalanan penyelenggaraan
pemerintahan daerah pasca reformasi sampai sekarang, banyak terjadi hubungan
antara kepala daerah dan wakil kepala daerah yang tidak harmonis, sehingga
adanya wakil kepala daerah diharapkan dapat membantu atau terdapat hubungan
sinergi dengan kepala daerah justru hubungan yang saling melemahkan. Hal
terjadi karena latar belakang politik wakil kepala daerah yang juga sarat
dengan kepentingan politik membuat hubungan antara kepala daerah dan wakil
kepala daerah menjadi saling waspada atas kemungkinan terjadi manuver politik
yang saling menjatuhkan.
Berkenaan dengan
kondisi hubungan yang tidak harmonis tersebut perlu dilakukan perumusan ulang
sistem pemilhan wakil kepala daerah, agar tidak mengganggu penyelenggaraan
pemerintahan daerah dan dapat menempatkan wakil kepala daerah sebagai pembantu
untuk perkuatan kepala daerah.
Dari
kenyataan-kenyataan di atas nampak bahwa system demokrasi pada umumnya dan
system pilkada pada khususnya harus jujur diakui masih mengalami kendala
sistemik. Dari sisi hukum hal ini terkait pemahaman tentang “legal system”
sebagaimana diajarkan oleh Lawrence Friedmann, bahwa sub-sistem hukum
terdiri atas substansi hukum (legal substance) berupa pelbagai produk
legislative yang mendasari system hukum tersebut; kemudian struktur hukum
(legal structure) berupa kelembagaan yang menangani system tersebut dan budaya
hukum (legal culture) berupa kesamaan pandangan, sikap, perilaku dan filosofi
yang mendasari system hukum tersebut. Dalam ketiga sub-sistem tersebut
demokrasi dan termasuk pilkada masih memerlukan konsolidasi. Warna transksional
dan pragmatism masih menonjol , belum lagi munculnya mukti tafsir dan sikap
mendua (ambiquitas) dalam pelbagai hal. Aapalgi apabila budaya hokum
semacam ini menghinggapi para pemangku kepentingan, termasuk tokoh-tokoh partai
politik yang sering disebut sebagai “legal culture of the insider”.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1. Sistem Pemilu
Untuk pertama
kalinya dalam sejarah pemilu di Indonesia, tepatnya dimulai pada pemilu kedua
di era reformasi tahun 2004, pemilu Indonesia mencatat sejarah penting dengan
berhasil diberlakukannya system
proporsional dengan daftar calon terbuka.
Secara konsepsional,
ini adalah varian system pemilu yang menggabungkan kekuatan dua system utama
pemilu, yakni system proporsional dan system mayoritarian/pluralitas. Dengan
tetap menggunakan nama besar system proporsional, mengisyaratkan bahwa
pembagian kursi wakil rakyat di parlemen pada pokoknya tetap didasarkan pada
suara pemilih secara proporsional. Namun dengan penambahan embel-embel “daftar
calon terbuka,” ia mengadopsi sebagian dari metoda system mayoritarian (atau di
Indonesia biasa disebut dengan sistem distrik) dalam penentuan calon terpilih,
yakni atas dasar suara terbanyak (peringkat tertinggi dari daftar calon).
Pilihan
terhadap system proporsional tentu dimaksudkan agar kelemahan utama system
mayoritarian -- dimana banyak suara rakyat yang terbuang sia-sia dan tidak
terwakili di lembaga perwakilan -- akan bisa dihindari. Sebaliknya, dengan
menyandingkan system proporsional dengan daftar terbuka, akan bisa
menghilangkan image pemilu “seperti membeli kucing di dalam karung” (dari
suaranya bisa diketahui bahwa isinya adalah kucing, tapi tidak bisa dikenali
“belangnya”).
Karena itu,
banyak orang setuju – termasuk tulisan ini -- bahwa system proporsional dengan
daftar terbuka, adalah pilihan system pemilu yang paling ideal untuk Indonesia
saat ini. Ia lebih menjamin asas representasi dan rasa keadialan, sehingga
diharapkan mampu meningkatkan akuntabilitas dan legitimasi lembaga perwakilan
yang dihasilkan.
Selain itu,
sesungguhnya hal paling prinsif lainnya dari pilihan terhadap system ini adalah
bagaimana mengembalikan hakikat hubungan wakil dengan yang diwakili. Antara
penerima mandat dengan pemilik kedaulatan (baca: rakyat) yang memberi mandat
kepadanya. Dalam system lama dengan daftar tertutup, rakyat hanya memilih
partai dan partai kemudian menunjuk wakilnya yang akan duduk di kursi
perwakilan. Buruknya adalah wakil tidak merasa bertanggungjawab kepada rakyat,
karena ia duduk di lembaga perwakilan bukan karena pilihan rakyat, tapi lebih
karena berkah “pemberian” partai. Akibatnya, dalam praktek kesehariannya wakil-wakil
di parlemen lebih merupakan wakil partai dari pada wakil rakyat, dan
loyalitasnya pula lebih kepada partai bukan kepada rakyat. Ini tentu
mengaburkan hakikat dan tujuan pembentukan lembaga perwakilan itu sendiri.
Karena itulah,
tulisan ini berpendirian bahwa “sistem proporsional dengan daftar calon
terbuka” adalah pilihan terbaik. Sebuah pilihan cerdas dalam membangun
kompetisi yang fair dan sekaligus
memuliakan suara rakyat. Kewenangan partai tetap terjaga, tetapi aspirasi
rakyat juga dihargai tinggi.
Adapun
munculnya kembali suara-suara belakangan ini untuk kembali kepada system lama
(proporsional daftar tertutup) sepertinya itu hanya romantika elit partai yang
masih merindukan nostalgia kekuasaan oligarkhi partai di masa lalu. Argumentasi
bahwa system daftar terbuka hanya menghasilkan wakil-wakil rakyat yang popular
tapi tidak berkualitas (sedangkan melalui system daftar tertutup partai politik
bisa lebih fokus memilih wakil atas dasar bobot dan kualitasnya) sepertinya
salah alamat. Sebab, dengan system pemilu yang berlaku saat ini, kewenangan
sepenuhnya untuk menentukan daftar calon masih tetap ada di tangan partai.
Rakyat hanya memilih di antara daftar pilihan-pilihan yang (sudah) disodorkan
oleh partai. Artinya, fungsi dan kewenangan partai (sebagai lembaga rekrutmen
politik) tetap dihargai, tapi di sisi lain suara dan kehendak rakyat juga
termuliakan.
3.2.
Pemilu Kepala Daerah Serentak Mewujudkan Pemimpin Pilihan Rakyat
Pemilu Presiden
dan Pemilihan Kepala Daerah secara langsung adalah juga salah satu prestasi
kepemiluan Indonesia era reformasi yang sangat melegakan. Ini adalah juga
bagian dari akar paradigma yang sama, yakni memuliakan suara rakyat. Pemilu
secara langsung Presiden dan Wakil Presiden dan pemilihan langsung Kepala Daerah
dan Wakil Kepala Daerah adalah jalan tepat untuk menghindari terjadinya
distorsi dan bias kehendak rakyat dalam memilih pemimpinnya.
Pemilihan
Presiden oleh MPR dan pemilihan Kepala Daerah oleh DPRD seperti yang dilakukan
puluhan tahun di negeri ini, sering membuat bias suara rakyat karena
terdistorsi oleh berbagai hal dan beragam kepentingan di parlemen. Di sisi
lain, setali dua uang dengan pemilu legislatif system daftar tertutup,
penentuan kursi eksekutif lewat parlemen juga akan berdampak tidak baik pada
psikologi pertanggungjawaban politik seorang pemimpin .
Gubernur
terpilih lewat pemilihan di DPRD provinsi misalnya, akan memiliki loyalitas
tersendiri terhadap kelompok-kelompok pendukungnya di DPRD. Begitupun
sebaliknya, kepala daerah terpilih harus bersiap-siap untuk menjadi mesin ATM
pribadi bagi kelompok-kelompok di Dewan, karena tentu tidak ada “makan siang
gratis.” Dan bukan rahasia umum lagi, berbagai bentuk dan keperluan pemilihan
yang diselenggarakan di Dewan, sangat akrab dengan politik transaksional.
Pilihan politik ditransaksikan menjadi sekedar angka-angka dalam bentuk tender
dan uang, baik cash money maupun
pembayaran menyusul.
Contoh buruk
system pemilihan lewat parlemen yang paling nyata terjadi pada pemilihan
Presiden 1998. Kala itu, Soeharto yang baru saja terpilih di parlemen dengan
sangat meyakinkan (aklamasi), akhirnya – hanya dalam 2 bulan 10 hari -- dipaksa
turun dari kursi presiden oleh kekuatan di luar parlemen (baca: rakyat). Ini
adalah contoh paling nyata betapa suara rakyat sering tidak “nyambung” dengan
suara wakil-wakilnya di Parlemen. Lembaga Perwakilan – dengan beragam sebab dan
kepentingan di dalamnya -- sering gagal dalam menerjemahkan aspirasi dan
kehendak rakyat.
Karena itu,
tulisan ini berada pada posisi mengapresiasi sangat tinggi system pemilihan
Presiden dan Kepala Daerah secara langsung, sebagai sebuah prestasi kepemiluan
yang patut dicatat dan dijaga. Penekanan ini dirasa perlu, karena faktanya
masih saja ada suara-suara yang menginginkan untuk kembali ke system lama,
khususnya untuk pemilihan Gubernur. Alasannya, pemilihan Gubernur secara
langsung menghabiskan biaya lebih besar ketimbang pemilihan lewat DPRD. Sebuah
argumentasi pembenaran, tetapi bukan “kebenaran.”
3.3. Calon Independen
Masih soal
pemilihan kepala daerah, terobosan lain yang tidak kalah penting adalah
dimunculkannya alternatif pencalonan kepala daerah lewat jalur non-partai, atau
yang biasa kita kenal dengan jalur independen. Setelah sebelumnya pemilihan
kepala daerah ditarik dari meja DPRD, giliran monopoli parpol pula dalam
pencalonan kepala daerah direvisi.
Dalam UU Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (sebelum perubahan), pasal 59 (1)
disebutkan, peserta pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah
pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik.
Karena itu,
tidak ada jalan lain bagi calon kepala daerah, kecuali membeli mahal “tiket”
partai jika ingin tampil sebagai kontestan dalam panggung Pilkada. Di sinilah
kembali sering muncul “ruang gelap” transaksi politik itu. Hampir sama dengan
pemilihan kepala daerah lewat DPRD, monopoli parpol dalam pencalonan kepala
daaerah syarat dengan isu transaksional.
Terlepas dari
itu, kehadiran jalur independen yang kemudian dikukuhkan dalam UU Nomor 12
Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, tentu sangat positif untuk memberi jalan alternatif menuju
kursi kepala daerah. Terutama bagi calon-calon berkualitas -- yang secara
substantif mendapat dukungan rakyat, tetapi kemudian terhadang oleh banyak
sekat dan rintangan-rintangan, politik
maupun non-politik.
3.4. Mengisi Kekosongan Wakil Daerah
Di era
reformasi, mengikuti perubahan ketiga UUD 1945, satu lembaga perwakilan baru
dimunculkan. Seperti namanya, Dewan Perwakilan Daerah (DPD), lembaga ini diisi
oleh wakil-wakil atas nama daerah. Ia dipilih langsung oleh rakyat lewat
pemilihan umum, namun dengan menggunakan sistem yang berbeda, sistem distrik
berwakil banyak. Jumlah wakil setiap distrik (daerah provinsi) ditetapkan sama,
yakni 4 orang wakil yang berasal dari
calon perseorangan (non-parpol).
Selain
menjalankan tugas sehari-hari DPD yang ditentukan dalam undang-undang, anggota
Dewan Perwakilan Daerah juga otomatis menjadi anggota dalam Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) bersama-sama dengan anggota DPR. Lembaga ini di
zaman Orde Baru mirip dengan Utusan Daerah, meski dengan fungsi dan cara
pemilihan yang berbeda.
Secara
teoritik, DPD sesungguhnya juga adalah bagian dari wakil rakyat. DPD merupakan
wakil rakyat atas dasar pengelompokan wilayah, sedangkan DPR merupakan wakil
rakyat atas dasar pengelompokan politik. DPD mewakili rakyat untuk dan atas
nama kepentingan komunitas wilayah, sedangkan DPR mewakili rakyat untuk dan
atas nama kepentingan komunitas politik.
Terlepas dari
fungsi dan perannya yang masih banyak diperdebatkan, kehadiran lembaga DPD
dalam demokrasi Indonesia era reformasi, paling tidak telah memberi wadah bagi
kepentingan rakyat yang bersifat “daerah.” DPD juga menjadi “jembatan” yang
penting antara rakyat dan pemerintah daerah di satu sisi, dengan pemerintah
pusat di sisi yang lain. DPD dapat menjadi “corong” bagi kepentingan otonomi
daerah dan daerah otonom di tingkat pusat (nasional).
Sesungguhnya
masih banyak capaian keberhasilan yang diraih dalam perjalanan kepemiluan
Indonesia era reformasi, namun tidak memungkinkan dibahas satu persatu dalam
tulisan singkat sini.
Sebut saja
misalnya suasana demokrasi multipartai sejak pemilu 1999, yang memberi
kesegaran kembali setelah 30 tahun lebih bangsa ini sulit bernafas dalam
dominasi satu partai. Soal netralitas birokrasi dalam pemilu yang berhasil
kembali ditegakkan. Ini penyakit kronik dalam sejarah politik Indonesia, yang
satu setengah dasa warsa yang lalu, hampir semua orang yakin tidak ada obatnya.
Dan sekarang ternyata “sembuh” nyaris sempurna.
Kemudian
keberhasilan membangun dan membudayakan sebuah kelembagaan dan manajemen
penyelenggara pemilu yang lebih profesional dan akuntabel. Penanganan sengketa
hasil pemilu yang lebih terpercaya. Serta tidak kalah pentingnya keberhasilan
“membudayakan” proses penyelenggaraan pemilu yang bebas demokratis, namun tetap
tertib, aman, sportif, tanpa kekerasan dan huru-hara. Meski bukan tanpa cacat,
adalah prestasi luar biasa (dan mendapat pujian internasional), selama tiga
kali pemilu era reformasi dengan “keramaian” sistem multipartai, berhasil
dilalui tanpa catatan “merah” yang berarti.
Tulisan ini
hanya mengangkat beberapa poin, sebagai bentuk apresiasi penulis atas
keberhasilan demokratisasi – khususnya dalam bidang pemilu – sejak era
reformasi.
3.5. Manajemen Pemilu yang Memaksimalkan Kedaulatan Rakyat
Di balik
keberhasilan seperti dibeberkan di bagian awal tulisan ini, kita menemukan
beberapa data berikut. Berdasarkan hasil penelitian Komnas HAM, sejumlah LSM Pemerhati Pemilu, dan Panitia
Angket DPR tentang Penggunaan Hak Pilih (sebagaimana dilansir oleh “Kemitraan
Bagi Pembaruan Tata Pemerintahan”), diperkirakan derajat cakupan pemilih yang
masuk dalam DPT baru mencapai 85 persen, derajat kemutakhiran DPT sekitar 80
persen, dan derajat akurasi DPT sekitar 80 persen. Kemudian, dari jumlah
pemilih terdaftar sekitar 171 juta, 30 persen di antaranya tidak menggunakan
hak pilih (nonvoters), dan 14,41 persen (sekitar 16 juta) dari jumlah
pemilih terdaftar yang menggunakan hak pilih, dinyatakan tidak sah (invalid
votes).
Secara
sederhana ini berarti hampir setengah dari rakyat Indonesia yang memiliki hak
memilih (atau sekitar 98 juta lebih rakyat) tidak “berdaulat” dalam pemilu 2009
karena berbagai sebab. Di antaranya, sebanyak 30 juta lebih rakyat tidak
berdaulat karena tidak terdaftar dalam DPT (tidak dapat menggunakan hak pilihnya).
Kemudian 51 juta lebih rakyat tidak berdaulat karena meski terdaftar dalam
daftar pemilih, tapi tidak menggunakan hak pilihnya dengan berbagai sebab. Dan
17 juta lebih rakyat tidak berdaulat karena salah (tidak sah) dalam menggunakan
hak pilihnya.
Angka-angka
tersebut masih jauh dari tingkat yang bisa ditoleransi. Belum lagi dari jumlah
suara sah, masih banyak kejadian yang membuat suara pemilih akhirnya menjadi
tidak berdaulat karena praktek manipulasi dan jual beli suara “di tengah
jalan.” Tidak ada data pasti soal ini, tapi masih santer terdengar adanya
praktek pengalihan perolehan suara seorang calon kepada calon yang lain – baik
antar partai yang berbeda maupun (dan terutama) antar sesama calon dalam satu
partai. Ini biasanya melibatkan persekongkolan oknum-oknum calon, oknum
pengurus parpol, dan oknum penyelenggara pemilu – dengan atau tanpa imbalan.
3.6. Mengembalikan Loyalitas Wakil Rakyat
Sejatinya,
setelah pemberlakuan sistem proporsional dengan daftar calon terbuka, dimana
wakil yang duduk di kursi parlemen ditentukan langsung oleh suara pemilih, maka harapan utamanya adalah orientasi
loyalitas wakil rakyat akan berpaling kembali kepada rakyat. Seorang wakil yang
sedang menjabat akan berupaya dengan segala daya untuk “mengambil hati” rakyat.
Memperjuangkan aspirasi dan kepentingan rakyat yang diwakilinya. Sebab kalau
tidak, resikonya jelas! Ia harus bersiap-siap turun dari kursi wakil, karena ia
tidak akan mendapatkan suara rakyat dalam pemilu berikutnya.
Tapi apa yang
terjadi saat ini, ternyata tidak demikian. Keberhasilan memutus oligarkhi
partai dalam penentuan wakil terpilih, belum dengan sendirinya berhasil
“menggiring” balik wakil rakyat kita untuk menghadapkan loyalitasnya kepada
rakyat. Tampaknya skema sederhana soal
hitam-putih loyalitas wakil – antara berkiblat kepada partai atau berkiblat
kepada rakyat – tidak berlaku di sini.
Yang terjadi
adalah, wakil rakyat kita seperti lepas dari cengkeraman harimau, tapi tidak
kembali ke kandangnya. Dia justru lepas-bebas mencari kandang sendiri. Wakil
rakyat kita saat ini memang tidak lagi tersandera oleh partai, tetapi nyatanya
selama masa menjabat sebagai wakil rakyat, ia menghilang dan hanya sesekali
datang menemui rakyat pemilihnya – khususnya saat menjelang pemilu. Wakil
rakyat juga masing jarang terlihat sibuk memperjuangkan nasib pemilihnya di
ruang-ruang sidang parlemen. Mereka lebih sibuk mengurusi urusan sendiri.
Ringkasnya, belum terlihat perubahan signifikan dalam orientasi
pertanggungjawaban wakil rakyat kita. Padahal, sejatinya itu adalah tujuan
utama yang paling diharapkan dari perubahan system pemilu yang telah dilakukan.
Pengkajian
tampaknya diperlukan untuk mengetahui sebab-sebab tidak berfungsinya
asumsi-asumsi demokrasi di sini. Namun sekedar bahan diskusi, apakah mungkin
karena rakyat pemilih kita terlanjur apatis? Rakyat terlanjur terbiasa (dengan
system lama) untuk tidak berharap apa-apa terhadap wakilnya, sehingga ketika
wakilnya tidak berbuat apa-apa, rakyatpun tidak berminat untuk “menghukumnya”
lewat pemilu? Atau rakyat belum (banyak yang) memahami konsekwensi perubahan
system pemilu, yang membuat setiap suara rakyat menentukan secara langsung
terhadap terpilihnya seorang wakil?
Jika yang
terakhir ini penyebabnya, maka jawabannya adalah diperlukan upaya sosialisasi
dan pendidikan politik bagi pemilih yang lebih intens dan merata. Perlu
menyadarkan pemilih bahwa setiap suara yang mereka berikan ikut menentukan
terpilih atau tidaknya seorang wakil di parlemen, sehingga pemilih benar-benar
harus berhati-hati dalam memberikan suaranya.
3.7. Upaya Efisiensi dalam Penggabungan Pemilu
Ide untuk
menggabungkan pelaksanaan pemilu sudah lama bergulir. Pada prinsifnya-pun,
tidak ada pro-kontra yang terlalu ramai dalam soal ini. Karena memang tidak ada
alasan yang terlalu prinsif untuk menolaknya. Dalam kalkulasi biaya,
menggabungkan pelaksanaan pemilu pasti akan menghasilkan penghematan yang
berarti. Dan bukan hanya soal anggaran sebetulnya, tapi efisiensi dalam banyak
hal. Hanya saja, hingga kini belum ada keputusan final yang bisa dijadikan
payung hukum untuk melaksanakannya.
Tidak terlalu
jelas apa yang menyebabkan pemerintah dan DPR tidak terlalu berhasyrat
menyeriusi masalah ini. Tapi terlepas dari itu, setidaknya ada beberapa opsi
penggabungan penyelenggaraan pemilu yang bisa didiskusikan.
Pertama adalah pemilu serentak
secara nasional untuk semua pemilu. Mulai dari pemilu untuk memilih anggota
legislatif (DPR, DPD, DPRD), pemilu presiden, pemilihan Gubernur, pemilihan
Bupati, dan pemilihan Walikota dilaksanakan secara serentak dalam satu waktu
penyelenggaraan pemilu. Tentu saja
kerumitan terutama dalam pengaturan tekhnis dan penjadwalan kampanye merupakan
salah satu tantangan terberat untuk pilihan ini. Selain juga kemungkinan
dampaknya terhadap “kebingungan” pemilih yang harus juga dipertimbangkan.
Pilihan lainnya
adalah membagi pemilu ke dalam dua waktu penyelenggaraan terpisah. Pilihan ini
paling tidak menghasilkan tiga opsi penggabungan yang bisa dipilih. Pertama,
membagi dua pemilu antara sesi pemilu legislatif (Pileg) dan pemilu eksekutif
(Pileks). Pemilu legislatif dilaksanakan seperti saat ini, dan pemilu eksekutif
menggabungkan penyelenggaraan pemilu Presiden dengan Pilkada (untuk semua
tingkatan dan wilayah). Yang kedua, membagi dua pemilu antara Pemilihan
Nasional (Pileg dan Pilpres) dan Pilkada (Gubernur, Bupati, Walikota). Dan yang
ketiga, membagi dua pemilu antara pemilu legislatif plus Pilkada di satu sesi, dan Pilpres di sesi yang lain. Tampaknya
ini hanya soal tekhnis keselarasan dalam penyelenggaraan.
Opsi
penggabungan pemilu yang terakhir adalah menggabungkan pemilu dalam tiga sesi
terpisah. Masing-masing Pemilu Legislatif, Pemilu Presiden, dan Pemilukada. Ini
adalah opsi penggabungan minimum, karena hanya menggabungkan antara pemilihan
gubernur, pemilihan bupati, dan pemilihan walikota di masing-masing daerah.
Sedangkan pemilu legislatif dan pemilu presiden tetap dilaksanakan seperti
biasa.
Apapun pilihan
tekhnis penggabungan waktu penyelenggaraan Pemilu, bukan hal yang utama. Yang
prinsif adalah bahwa penggabungan itu harus dilakukan dalam rangka efisiensi.
Lagi pula, tidak ada alasan yang cukup kuat untuk tidak melakukannya.
E-voting atau pemungutan suara
dengan menggunakan dukungan tekhnologi on-line, adalah bentuk lain dari
efisiensi penyelenggaraan pemilu.
Beberapa Negara telah membuktikan hasilnya : berupa penghematan biaya,
waktu, dan tenaga, khususnya dari sisi penyelenggara pemilu. Sistem ini sangat
relevan untuk Negara-negara dengan wilayah yang luas, terpencar dan
terpisah-pisah oleh lautan seperti Indonesia.
Dapat dibayangkan jika pemungutan
suara di Indonesia dapat dilakukan secara on-line. Yang jelas anggaran untuk
pengadaan perlengkapan pemungutan suara akan terpangkas, mulai dari kotak suara, segel, tinta hingga ratusan juta
lembar surat suara berwarna. Penghematan luar biasa juga akan didapat dari pos
biaya pendistribusian -- transportasi, upah angkut, dan pengawalan -- karena
tidak diperlukan lagi pengiriman fisik perlengkapan suara hingga ke pelosok dan seluruh penjuru pulau-pulau, dari
sabang hingga merauke.
Apa mungkin?
Tentu saja tidak mudah. Sebab, daya dukung daerah-daerah untuk pemberlakuan
system ini juga belum merata. Karena itu migrasi secara bertahap dari system
konvensional ke system e-voting, barangkali adalah jawaban yang paling tepat.
KPU dan Pemerintah Daerah bersama-sama dengan mitra IT, bisa bekerjasama untuk
memetakan daya dukung masing-masing wilayah. Lalu, daerah-daerah yang sudah
dinyatakan memenuhi syarat, dapat menyelenggarakan pemilu dengan sistem
e-voting lebih dulu. Dan daerah-daerah lainnya yang belum memungkinkan, tetap
melaksanakan pemilu dengan sistem konvensional.
3.8. Jalur Independen
Seperti dicatat
sebelumnya, dibukanya jalur alternatif non-parpol untuk calon Kepala Daerah
(atau biasa disebut “jalur independen”) merupakan satu terobosan besar lainnya
dalam sejarah pemilu di Indonesia. Dengan ini, bukan saja pemilihan kepala
daerah tidak lagi dilakukan di Parlemen, tetapi pencalonannya juga tidak lagi
semata harus lewat mekanisme usulan parpol.
Secara prinsif,
ini melegakan. Tapi belum secara praktis. Dari persyaratan yang tetapkan untuk
calon independen, terkesan kebijakan ini dibuat setengah hati. Ini mudah
difahami. Undang-undang itu dibuat oleh orang-orang atau wakil dari partai
politik yang ada di parlemen. Dan parpol tidak rela kehilangan lahan basahnya
jika kemudian para calon kepala daerah lebih memilih mencalonkan diri lewat jalur
independen, karena mahalnya ongkos pencalonan lewat kendaraan parpol.
Provinsi dengan
jumlah penduduk 9 juta misalnya, seseorang bisa mengajukan diri untuk calon
gubernur hanya apabila mampu memenuhi syarat yakni mengumpulkan tanda tangan
dukungan (dilengkapi KTP) minimal 4% atau sama dengan 360.000 KTP. Apabila
diasumsikan biaya per-KTP sebesar Rp 2.000 saja (untuk fotocopy, honor, dan
transport pengumpul), maka calon perseorangan sudah harus mengeluarkan biaya
Rp720.000.000.- Itu baru sampai tahap awal persiapan untuk pencalonan. Belum
biaya kampanye dan sebagainya apabila ia lolos dalam verifikasi dukungan.
Ada ide yang
layak untuk dipertimbangkan sebagai pengganti persyaratan daftar dukungan
minimal dalam rangka “menyaring” calon independen. Yakni, menyelenggarakan
semacam pemilu penjajakan atau “pemilu pendahuluan” untuk bakal calon kepala
daerah. Ide ini relevan khususnya apabila rencana pilkada serentak berhasil
dilaksanakan. Untuk menghindari tambahan biaya, pemilu pendahuluan bisa
“ditumpangkan” bersamaan dengan penyelenggaraan pemilu nasional yang terdekat
(pemilu legislatif atau pemilu presiden). Maksudnya, bersamaan dengan pemilu
Presiden misalnya, para pemilih juga disodorkan semacam daftar bakal calon
Kepala Daerah (Gubernur dan Bupati/Walikota). Dan beberapa nama bakal calon
dengan perolehan suara paling tinggi – misalnya 5 atau 3 besar – ditetapkan
sebagai calon Kepala Daerah dari jalur independen, dan berhak mengikuti pilkada
tanpa harus mengumpukan daftar dukungan sebagai syarat pendaftaran. Dengan cara ini, persoalan biaya
tinggi jalur independen akan bisa terselesaikan.
3.9. Penyederhanaan Partai tanpa Mematikan Aspirasi Lokal
Dalam
kepustakaan demokrasi diyakini bahwa kehadiran partai politik yang kuat sangat
penting sebagai wadah bagi partisipasi politik rakyat. Parpol yang kuat
sejatinya akan mengefektifkan kehendak rakyat. Parpol yang kuat juga akan
menstabilkan pemerintahan konstitusional, karena parlemen semakin
terkonsolidasi. Perdebatan dan bargaining
politik yang lama dan menguras energi dalam pembuatan kebijakan di parlemen
dapat dihindari. Karena itu, penyederhanaan sistem kepartaian memang penting.
Tentu saja dengan catatan, sepanjang tidak mengarah pada sistem partai tunggal
atau dominasi satu partai (single
majority) yang bisa mematikan fungsi oposisi dan mekanisme check and balance di parlemen.
Namun demikian,
penyederhanaan jumlah partai yang bernilai positif dan kondusif bagidemokrasi
biasanya hanya didapat dari proses penyederhanaan yang berjalan secara alamiah.
Proses penyederhanaan yang mengikuti kehendak rakyat. Dan bukan penyederhanaan
partai yang dipaksakan. Penyederhanaan partai yang dipaksakan identik dengan
mobilisasi, bukan partisipasi. Dan konsolidasi parlemen yang diciptakan lewat
mobilisasi, justru akan sangat rentan menjadi sumber “penyakit” bagi demokrasi
itu sendiri. Pengalaman buruk terjadinya “pembusukan” politik antara lain
akibat sistem penyederhanaan partai yang dipaksakan di era Orde Baru,
seharusnya menjadi pelajaran berharga bangsa ini.
Sesungguhnya,
pemberlakuan electoral threshold (ET) 3,5% secara nasional (mengikuti ET DPR)
dalam menentukan partai politik yang berhak duduk di semua tingkatan lembaga
perwakilan, adalah malapetaka besar dan kemunduran demokrasi negeri ini.
Untungnya, judicial review di
Mahkamah Konstitusi membatalkan pasal tersebut dari UU Pemilu No. 8 Tahun 2012,
dan menetapkan ET 3,5% hanya berlaku untuk DPR. Bahkan “usulan” kompromistis
dari pihak-pihak yang menginginkan pemberlakuan berjenjang ET 3,5% (per
masing-masing lembaga perwakilan) pun tidak dikabulkan oleh MK. Ini sebuah
keputusan yang melegakan.
Tapi ibaratnya itu adalah persoalan
di hilir. Sesungguhnya, UU Pemilu masih menyisakan persoalan penyederhanaan
partai di bagian hulu. Persyaratan faktual partai politik peserta pemilu yang
mengharuskan adanya kepengurusan di seluruh (100%) provinsi di seluruh
Indonesia, kemudian 75% di kabupaten/kota, dan minimal 50% di tingkat
kecamatan, adalah sebuah persyaratan (dalam rangka pembatasan partai) yang
cukup berat. Dan persyaratan yang luar biasa berat ditambah lagi dengan
kewajiban memiliki anggota paling sedikit 1.000 atau 1/1.000 dari jumlah
penduduk di tingkat kepengurusan Kabupaten/Kota.
Semua persyaratan itu dengan
gamblang ingin mengatakan bahwa partai politik yang boleh hidup di negeri ini
hanya parpol yang berskala nasional. Tidak ada tempat bagi rakyat satu daerah
atau beberapa daerah yang ingin mewadahi aspirasinya secara khas. Bahkan meski
sekedar untuk mengisi lembaga perwakilan tingkat lokal. Jika persyaratan itu
hanya diperuntukkan khusus bagi parlemen nasional (DPR RI), tentu sangat
diterima akal dan sangat wajar. Dimana parlemen nasional hanya dapat diisi oleh
wakil rakyat yang berasal dari parpol yang juga berbasis nasional. Sangat
logis, karena lingkup tugasnya juga bersifat nasional. Tapi untuk tingkat
parlemen lokal (DPRD), juga diharuskan hanya boleh diisi oleh wakil rakyat yang
berasal dari partai politik berskala nasional, rasanya justru tidak demokratis
dan bertentangan dengan semangat otonomi daerah.
Esensinya,
kebijakan kepartaian seperti ini, mematikan aspirasi politik yang bersifat
lokal. Artinya, seberapa banyakpun rakyat suatu daerah – bahkan hingga 100% --
mendukung sebuah parpol untuk mewadahi aspirasi politiknya di tingkat daerah,
itu tidak akan cukup untuk kemudian diwujudkan ke dalam bentuk kursi lembaga
perwakilan daerah, apabila parpol yang bersangkutan tidak memenuhi persyaratan
“standar nasional.” Jadi, tidak ada tempat bagi wadah partisipasi politik yang
bersifat khas dan lokal, bahkan untuk lembaga perwakilan lokal dengan lingkup
tugas dan kewenangan yang juga bersifat lokal (DPRD) sekalipun.
Tentu saja
argumen ini tidak dimaksudkan untuk kemudian membiarkan menjamurnya ribuan
partai-partai kecil di berbagai daerah yang sudah pasti juga tidak kondusif
bagi demokrasi. Suara rakyat akan terpecah banyak dan bisa berimbas pada
pemerintahan daerah menjadi tidak stabil. Yang kita maksudkan hanyalah untuk
memberi jalan bagi sebuah arus aspirasi rakyat yang besar tetapi bersifat
lokal. (lokal di sini dapat kita terjemahkan dalam skala provinsi).
Karena itu,
persyaratan “standar nasional” yang berlaku sekarang misalnya, bisa diganti
dengan persyaratan yang ketat pada tingkat lokal. Contoh, sebuah partai politik
dapat mengikuti pemilu untuk legislatif daerah (provinsi dan kabupaten/kota)
dengan syarat harus memiliki 100% kepengurusan tingkat kabupaten/kota (dalam
provinsi bersangkutan), 75% kepengurusan tingkat kecamatan, serta minimum
anggota (sekedar contoh) 20.000 atau 20/1.000 penduduk pada kepengurusan
tingkat kabupaten/kota. Tentu dengan catatan, parpol yang lolos persyaratan
“nasional” secara otomatis (tetap) menjadi peserta pemilu legislatif daerah,
tanpa harus memenuhi persyaratan “lokal” tadi.
Dengan
ketentuan seperti ini, kekhawatiran munculnya banyak partai kecil yang tidak
memenuhi persyaratan kecukupan dan persebaran kepengurusan maupun anggota (dalam provinsi), dengan sendirinya tetap terseleksi. Tapi bagi parpol yang memiliki pendukung
signifikan, atau rakyat yang memiliki aspirasi politik khas (dalam jumlah
besar) di satu daerah (provinsi) diberi kesempatan – dan memang sudah
selayaknya berhak -- untuk menempatkan wakilnya di lembaga perwakilan lokal,
sekalipun ia tidak memiliki kepengurusan dan anggota di provinsi lain. Sebab tujuannya memang hanya untuk mengisi
lembaga perwakilan lokal yang akan mengurusi urusan lokal pula, tidak ada
sangkut-pautnya sama sekali dengan kepengurusan parpol di daerah lain.
Usulan ini sudah pasti tetap dalam
kerangka prinsif sebuah negara kesatuan. Sebuah negara kesatuan yang menghargai
otonomi dan keberagaman aspirasi daerah. Karena itu, kebijakan kepartaian dalam
UU Pemilu dapat tetap menjadi pokok kebijakan kepartaian nasional. Adapun
usulan kebijakan yang kita bahas, lebih dimaksudkan sebagai sisipan
“pengecualian.” Sebagai sebuah alternatif dalam hal terdapat kondisi-kondisi
khas sebagaimana dimaksud.
Rumusan sederhananya bisa dibuat
demikian. “Partai politik peserta pemilu untuk pemilihan anggota DPR dan DPRD
adalah partai politik yang memenuhi persyaratan kepengurusan 100% provinsi, 75%
kabupaten/kota, dan 50% kecamatan, dengan minimum anggota 1.000 atau 1/1.000
jumlah penduduk pada kepengurusan tingkat kabupaten/kota (sama dengan rumusan
UU no.8 / 2012). Parpol yang tidak
memenuhi persyaratan dimaksud, tidak dapat mengikuti pemilu anggota DPR, tetapi
dapat mengikuti pemilu DPRD dengan persyaratan khusus (seperti dibahas
sebelumnya).”
Dengan demikian, aspirasi khas
rakyat daerah tetap tersalurkan. Di sisi lain, upaya untuk konsolidasi dan
penguatan kelembagaan parlemen tingkat nasional, juga tetap dapat diteruskan.
3.10. Permasalahan Pilkada Dan Isu-Isu Pilkada
1.
Daftar Pemilih tidak akurat.
Permasalahan daftar pemilih yang tidak akurat dalam Pilkada, sering dijadikan
oleh para pasangan calon yang kalah untuk melakukan gugatan.
Berdasar Pasal 47 UU No. 22 Tahun 2007 tentang
Penyelenggara Pemilu menyebutkan bahwa PPS mempunyai tugas dan wewenang antara
lain mengangkat petugas pemutakhiran data pemilih dan membantu KPU, KPU
Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, PPK melakukan pemutakhiran data pemilih, daftar
pemilih sementara, daftar pemilih hasil perbaikan, dan daftar pemilih tetap.
Melalui pengaturan ini jika dalam pemutakhiran data pemilih, melibatkan RT/RW
sebagai petugas pemutakhiran, maka permasalahan data pemilih yang tidak akurat
akan dapat diminimalisir, karena RT/RW adalah lembaga yang paling mengetahui
penduduknya.
2.
Proses pencalonan yang bermasalah
Permasalahan dalam pencalonan yang selama ini
terjadi disebabkan oleh 2 (dua) hal yaitu konflik internal partai
politik/gabungan partai politik dan keberpihakan para anggota KPUD dalam
menentukan pasangan calon yang akan mengikuti Pilkada.
Secara yuridis pengaturan mengenai
pencalonan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah diatur dalam pasal 59 sampai
dengan pasal 64 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Dari beberapa pasal tersebut
memberikan kewenangan yang sangat besar kepada KPUD dalam menerima pendaftaran,
meneliti keabsahan persyaratan pencalonan dan menetapkan pasangan calon, yang
walaupun ada ruang bagi partai politik atau pasangan calon untuk memperbaiki
kekurangan dalam persyaratan adminitrasi, namun dalam praktek beberapa kali
terjadi pada saat penetapan pasangan calon yang dirugikan.
Pasal 59 ayat
(5) huruf a Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 menyatakan bahwa partai politik
atau gabungan partai politik pada saat mendaftarkan
pasangan calon, wajib menyerahkan surat
pencalonan yang ditandatangani oleh pimpinan partai
politik atau pimpinan partai politik yang bergabung. Dalam tahapan ini kadang
terjadi permasalahan di internal partai politik, ketika calon yang diajukan
oleh pimpinan partai politik setempat berbeda dengan calon yang
direkomendasikan oleh DPP partai politik. Dalam permasalahan
ini karena pimpinan partai politik setempat tidak melaksanakan
rekomendasi DPP partai politik,kemudian diberhentikan sebagai pimpinan partai
politik di wilayahnya dan menunjuk pelaksana tugas pimpinan partai politik
sesuai wilayahnya yang kemudian juga meneruskan rekomendasi calon Kepala Daerah
dan Wakil Kepala Daerah namun ditolak KPUD dengan alasan partai politik
tersebut melalui pimpinan wilayahnya yang lama telah mengajukan pasangan calon.
Pasal 61 ayat (4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menyatakan
bahwa penetapan dan pengumuman pasangan calon oleh KPUD bersifat
final dan mengikat. Dalam hal KPUD tidak netral, ketentuan ini kadang
disalahgunakan untuk menggugurkan pasangan calon tertentu tanpa
dapat melakukan pembelaan, karena tidak ada ruang bagi pasangan
calon yang dirugikan untuk melakukan pengujian atas tindakan KPUD yang tidak
netral melalui pengadilan.
Untuk mengatasi kekurangan ini, ke depan perlu
pasangan calon perlu diberi ruang untuk mengajukan keberatan ke pengadilan,
jika dalam proses pencalonan dirugikan KPUD.
3.
Pemasalahan pada Masa kampanye.
Pengaturan mengenai kampanye secara yuridis
diatur dalam pasal 75 sampai dengan pasal 85 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
yaitu meliputi pengaturan mengenai teknis kampanye, waktu pelaksanaan,
pelaksana kampanye, jadwal kampanye, bentuk dan media kampanye, dan
larangan-larangan selama pelaksanaan kampanye. Kandidat dan tim kampanyenya
cenderung mencari celah pelanggaran yang menguntungkan dirinya.
Pasal 75 ayat (2) berbunyi dimaksud pada ayat
(1) dilakukan selama 14 (empat belas) hari dan berakhir 3 (tiga) hari sebelum
hari pemungutan suara", dengan terbatasnya waktu untuk kampanye maka sering
terjadi curi start kampanye dan kampanye diluar waktu yang telah ditetapkan.
Kampanye yang
diharapkan dapat mendorong dan memperkuat pengenalan pemilih terhadap calon
kepala daerah agar pemilih mendapatkan informasi yang lengkap tentang semua
calon, menjadi tidak tercapai. Untuk itu ke depan perlu pengaturan masa
kampanye yang cukup dan peningkatan kualitas kampanye agar dapat mendidik
pemilih untuk menilai para calon dari segi program.
4.
Manipulasi penghitungan suara dan rekapitulasi hasil penghitungan suara.
Manipulasi perhitungan suara dan rekapitulasi
hasil penghitungan suara dapat terjadi di setiap tingkatan, yaitu di KPPS, PPK,
KPU Kabupaten, dan KPU Provinsi.
Permasalahan penghitungan suara dan
rekapitulasi hasil penghitungan suara akan manipulasi, disebabkan oleh
banyaknya TPS yang tersebar dalam wilayah yang luas. Dengan banyaknya TPS yang
tersebar luas membuat para pasangan calon sulit mengontrolnya karena memerlukan
saksi yang banyak dan biaya besar. Di lain pihak para penyelenggara Pilkada di
beberapa daerah tidak netral, berhubung sistem seleksi anggota KPUD tidak belum
memadai.
5.
Penyelenggara Pemilu yang tidak adil dan netral
a.
KPU dan KPU Provinsi
b.
KPU Provinsi atau Kabupaten/Kota
c.
Panwaslu.
Akibatnya pelaksanaan Pilkada menjadi ruwet,
terjadi ketegangan di tingkat grass root dan bahkan kadang sampai menimbulkan
kerusuhan.
Hal terjadi karena kurangnya pemahaman para
anggota KPU, KPUD, dan Panwaslu dalam melaksanaan ketentuan peraturan
perundang-undangan, serta sistem seleksi para anggota KPU, KPUD, Panwaslu belum
mengetengahkan adanya kebutuhan anggota KPU, KPUD, Panwaslu yang obyektif,
netral, mempunyai integritas tinggi, tidak mudah mengeluarkan statement, dan
memiliki pemahaman yang baik terhadap ketentuan peraturan perundang-undang
Pemilu.
6.
Putusan MA atau MK yang menimbulkan kontroversi di masyarakat.
Sengketa Pilkada
diatur dalam pasal pasal 106 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang pada
intinya menyatakan bahwa sengketa hasil penghitungan suara dapat diajukan oleh
pasangan calon kepada pengadilan tinggi untuk pilkda bupati/walikota dan kepada
MA untuk pilkda Gubernur. Putusan yang dikeluarkan pengadilan tinggi/Mahkamah
Agung bersifat final. Setelah dikeluarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008
kewenangan penyelesaian sengketa pilkada beralih dari Mahkamah Agung ke
Mahkamah Konstitusi.
Baik dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahuri 2004
maupun Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 kewenangan pengadilan untuk mengadili
sengketa Pilkada hanya terbatas pada sengketa hasil yang mempengaruhi pemenang
Pilkada, permasalahannya adalah bagaimana apabila terjadi sengketa di luar
hasil penghitungan suara, selain itu beberapa putusan baik Mahkamah Agung
maupun Mahkamah Konstitusi menimbulkan kontroversi di masyarakat, akibatnya
penyelesaian Pilkada berlarut-larut.
Selama ini tidak hanya sengketa hasil
penghitungan suara yang terjadi dalam Pilkada, seperti permasalahan DPT,
permasalahan pencalonan baik terjadinya permasalahan di internal partai politik
maupun pemenuhan persyaratan Pilkada.
Meskipun Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
maupun Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 sudah membatasi kewenangan pengadilan
hanya sebatas sengketa hasil penghitungan suara, namun pengadilan sering
menabrak aturan tersebut.
7.
Putusan-putusan MK yang membatalkan UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 12
Tahun 2008 terkait dengan Pilkada.
a.
Putusan MK No.072-073/PUU-ii/2005
menyatakan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004:
Dalam
pertlmbangan hukumnya, mahkamah berpendapat bahwa Pilkada langsung tidak
termasuk dalam kategori pemilu sebagaimana dimaksud pasal 22E UUD Negara RI
Tahun 1945 namun Pilkada langsung adalah pemilu secara materiil untuk
mengimplementasikan pasal 18 ayat (4) UUD Negara RI Tahun 1945 karena itu dalam
penyelenggaraannya dapat berbeda dengan pemilu yang diatur pasal 22E UUD Negara
RI Tahun 1945, misalnya dalam hal regulator, penyelenggara dan badan yang
menyelesaikan perselisihan hasil pilkada meskipun tetap didasarkan asas pemilu
yang berlaku. Pembentuk Undang-Undang No 32 Tahun 2004 telah menetapkan KPUD
sebagai penyelenggara Pilkada yang merupakan wewenang pembentuk undang-undang
yang terpenting adalah harus dijamin independensinya, terganggunya independensi
penyelenggara mengakibatkan bertentangan dengan kepastian, perlakuan yang sama
dan keadilan sesuai pasal 28D UUD Negara RI Tahun 1945. Mahkamah juga
berpendapat bahwa pembentuk undang-undang dapat dan memang sebaiknya pada masa
yang akan datang menetapkan KPU sebagaimana dimaksud pasal 22E UUD Negara RI
Tahun 1945 sebagai penyelenggara pilkada karena memang dibentuk untuk itu dan
telah membuktikan independensinya dalam pemilu 2004.
b.
Putusan MK Nomor
No.22/PUU-VII/2009 menyatakan bahwa pasal 58 huruf o Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tidak bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, namun
dalam salah amar putusannya juga menyatakan bahwa masa jabatan yang dihitung
satu periode adalah masa jabatan yang telah dijalani selama setengah atau lebih
masa jabatan, dengan kata lain dihitung satu kali masa jabatan adalah apabila
seorang kepala daerah telah menduduki jabatannya selama 2,5 tahun atau lebih.
Penghitungan
masa jabatan ini tidak dibatasi apakah karena pilkada langsung berdasarkan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 atau pilkada tidak langsung berdasarkan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009, karena dalam pertimbangan hukumnya majelis
hakim berpendapat bahwa perbedaan sistem pemilihan kepala daerah antara
langsung dan tidak langsung, tidak berarti bahwa sistem Pilkada tidak langsung
tidak atau kurang demokratis apabila dibandingkan dengan sistem langsung
demikian pula sebaliknya. Dari pertimbangan majejelis ini berarti bahwa menurut
majelis, Pilkada langsung maupun pilkada tidak langsung sama-sam demokratishya
sebagaimana dimaksud pasal 18 ayat (4) UUDN 1945. Bahkan majelis berpendapat
setelah pengalaman dalam pilkada langsung berdasar Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004, sekarang timbul gagasan baru untuk kembali memberlakukan pilkada tidak
langsung, dan hal ini sah-sah saja.
Perubahan
pengertian norma hukum pasal 58 huruf o UU No 32 Tahun 2004 yaitu batasannya
adalah 2, 5 (dua setengah) tahun, artinya apabila Kepala Daerah/Wakil Kepala
Daerah menduduki masa jabatannya kurang dari 2,5 (dua setengah tahun, belum
dianggap satu kali masa jabatan sehingga masih bisa mencalonkan selama 2 (dua)
periode sehingga apabila selama 2 (dua) kali masa pencalonannya selalu
terpilih, yang bersangkutan bisa menduduki jabatannya maksimal 12, 4 (dua belas
koma empat) tahun beberapa hari.
8. Penyesuaian tata cara pemungutan suara dan
penggunaan KTP sebagai kartu pemilih.
a.
Penyesuaian tata cara pemungutan
suara.
Berdasar
Pasal 88 UU No. 32 Tahun 2004 menyatakan: "pemberian suara untuk Pilkada
dilakukan dengan mencoblos salah satu pasangan calon dalam surat suara".
Sedangkan dalam pelaksanaan Pemilu DPR, DPD, dan DPRD serta Perhllu
Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009 melalui peraturan KPU pemberian
suara dilakukan dengan memberi tanda "centang".
b.
Penyesuaian penggunaan KTP sebagai
kartu pemilih.
"Berdasar
Pasal 71 UU No. 32 Tahun 2004 menyatakan: "Pemilih yang telah terdaftar
sebagai pemilih diberi tanda bukti pendaftaran untuk ditukarkan dengan kartu
pemilih untuk setiap pemungutan suara". Sedangkan dalam pelaksanaan Pemilu
DPR, DPD, dan DPRD serta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009 dalam
rangka efisiensi KTP (Kartu Tanda Penduduk) atau Surat Keterangan Kependudukan
dapat dijadikan kartu pemilih. Untuk itu dalam rangka efisiensi pelaksanaan
Pilkada, "ketentuan dalam UU No. 32 Tahun 2004 terkait dengan penggunaan
kartu pemilih dalam pelaksanaan Pilkada perlu disesuaikan dengan pelaksanaan
Pemilu DPR, DPD, dan DPRD serta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009.
9. Posisi kepala daerah/wakil kepala daerah incumbent
dalam Pilkada
Dalam rangka menjaga kesetaraan (fairness) dan
menjaga netralitas Pegawai Negeri Sipil (PNS) dalam Pilkada, kepala
daerah/wakil kepala daerah yang akan mencalonkan diri sebagai kepala daerah
dan/atau wakil kepala daerah harus mengundurkan diri dari jabatannya. Namun
melalui Putusan Nomor 17/PUU-VI/2008 tanggal 4 Agustus 2008, Mahkamah
Konstitusi telah membatalkan ketentuan dimaksud karena menimbulkan ketidakpastian
hukum (legal uncertainty, rechtsonzekerheid) atas masa jabatan kepala daerah
yaitu lima tahun [vide Pasal 110 ayat (3) UU 32/2004] dan sekaligus perlakuan
yang tidak sama (unequal treatment) antar-sesama pejabat negara [vide Pasal 59
ayat (5) huruf i UU 32/2004], sehingga dapat dikatakan bertentangan dengan
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Akibatnya kepala daerah/wakil kepala daerah yang
akan mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah hanya
cuti selama kampanye. Mengindahkan pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam
Putusan dimaksud ke depan bagi kepala daerah/wakil kepala daerah yang akan
mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah harus
diberhentikan sementara sejak pendaftaran sampai dengan dilantiknya kepala
daerah/wakil kepala daerah yang baru.
Sesungguhnya
perjalanan demokratisasi Indonesia – yang kita sebut era reformasi – baru
melewati tiga periodisasi pemilu. Yang pertama tahun 1999, pemilu dengan masa
persiapan yang sangat singkat, hanya 11 bulan, setelah baru saja lepas dari
cengkeraman 30 tahun lebih otoriterisme Orde Baru. Lalu pemilu yang kedua tahun
2004, disusul pemilu yang ketiga tahun 2009, dan sekarang – saat tulisan ini
dibuat -- masih dalam persiapan menuju pemilu yang keempat tahun 2014. Sebuah
usia yang masih sangat muda dan pengalaman yang sangat minim dalam menjalankan
pemilu yang demokratis.
Namun demikian,
kita bisa mencatat sejumlah prestasi dan kemajuan yang mengesankan, khususnya
dalam konteks prestasi kepemiluan, bahkan dalam takaran negara demokrasi maju.
Sebuah pemilu yang lebih
menjamin kompetisi yang sehat (antar peserta pemilu), partisipasi yang dinamis
(bagi rakyat pemilih), derajat keterwakilan yang lebih tinggi (dalam lembaga
perwakilan yang dihasilkan), serta mekanisme dan pertanggungjawaban yang jelas
(dalam penyelenggaraan dan oleh penyelenggara pemilu).
Berbagai
perubahanpun tampak dilakukan. Mulai dari penyempurnaan desain induk system
pemilu, perbaikan dan penyelarasan berbagai sub-sub system dan komponen pendukung,
sampai pada pembangunan kelembagaan dan organisasional, serta “aturan-main”
penyelenggara dan penyelenggaraan pemilu yang lebih professional, mandiri,
dan akuntabel. Keseluruhannya dapat
dimaknai dalam satu paket agenda besar, yakni “upaya membangun sebuah tatanan
pemilu yang lebih kondusif bagi perwujudan negara demokrasi.” Berikut ini petikan beberapa kemajuan dan
prestasi dimaksud.
Evaluasi
pelaksanaan Pilkada ini dilakukan seoptimal mungkin dalam rangka menyempurnaan
pelaksanaan Pilkada yang telah berjalan lebih dari 5 tahun. Hasil
evaluasi Pilkada ini diharapkan dapat menjadi bahan acuan dalam rangka
penyempurnaan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 jo Undang-undang Nomor 12 Tahun
2008 tentang Pemerintahan Daerah.
Dinamika politik selama lebih dari sepuluh
tahun telah memberikan peran politik local cukup signifikan. Namun
penyempurnaan masih harus dilakukan agar pemerintahan daerah sebagai
aktualisasi dari dinamika politik lokal semakin menghasilkan kebijakan yang
bermanfaat bagi masyarakat. Oleh sebab itu pengaturan suatu struktur atau
institusi perlu memperhatikan pertimbangan filosofis, yuridis, sosiologis,
politis, dan praktis.
Sementara itu susunan pemerintahan daerah akan
menjadi dasar bagi pembangunan interaksi di antara mereka. Demikian pula,
susunan pemerintahan tersebut juga dapat menjadi konteks dari peranan yang
dimainkan oleh masing-masing susunan pemerintahan dalam pemberian pelayanan
kepada masyarakat dan implikasinya terhadap pendidikan politik masyarakat.
Pendidikan politik masyarakat yang terbangun melalui pemilu kepala daerah
diharapkan menciptakan sistem politik yang demokratis di tingkat lokal dan pada
gilirannya akan dapat memberikan kontribusi bagi terwujudnya sistem politik
demokratis di tingkat nasional.
4.2. Saran
Konsolidasi
demokrasi yang harus merupakan konsensus untuk menyempurnakan system
demokrasi, khususnya pemahaman “legal system” di atas, baik yang berkaitan
dengan substansi, struktur dan budaya hukum, yang penyempurnaannya harus
merupakan usaha yang tidak pernah henti (the endless effort).
Demokrasi sebagai system politik harus didukung oleh system hukum yang
mantap, yang effektivikasinya akan banyak tergantung pada kualtias
perundang-undangannya; kelengkapan sarana dan prasarananya; kualitas
sumberdaya manusianya baik mental maupun intelektual; dan partisipasi
masyarakat secara luas.
Ari Pradhanawati, 2005, Pilkada Langsung, Tradisi Baru Demokrasi Lokal,
Surakarta, KOMPIP.
Budiardjo,Miriam ,2008,edisi
revisi Dasar-dasar Ilmu Politik,Jakarta:Gramedia Pustaka Utama,
_____________,2007,Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta:Ikrar Mandidrabadi
Dirjen Otda Depdagri, 2009, Evaluasi Pemilu Kepala Daerah Periode
2005-2008.
Nugroho Dewanto, 2006, Pancasila dan UUD 1945, Bandung, Nuansa Aulia.
OC.Kaligis, 2009, Perkara-Perkara Politik dan Pilkada di Pengadilan,
Bandung, PT. Alumni.
Poesponegoro, Marwati Djoened. 2008. Sejarah Nasional Indonesia VI.
Jakarta: Balai Pustaka, halaman 317.
Sair, Alian. 2005. Sejarah Nasional Indonesia VI. Palembang:
Perpustakaan Prodi Sejarah FKIP Universitas Sriwijaya, halaman 40-50.
Sentosa Sembiring, 2009, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Republik
Indonesia, Pemerintahan Daerah (Pemda), Bandung, Nuansa Aulia
Soehino,2010,Hukum Tata Negara Perkembangan
Pengaturan dan Pelaksanaan Pemilihan umum di Indonesia,
Yogyakarta:UGM
Tim Eska Media. 2002, Edisi Lengkap UUD 1945.
Jakarta: Eska Media.
Undang-Undang Pemilu dan Partai Politik 2008, Jogjakarta, Gradien
Mediatama.
Undang-undang Politik 2003, UU
No. 12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum
UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilu DPR, DPD,
dan DPRD
http://www.academia.edu/3623682/Pemilu_1955_ Pesta_ Demokrasi_
Pertama_ Indonesia
Jurnal
Intelijen & Kontra Intelijen, 2008, vol.1 No.25, Center For The Study Of
Intelligence And Counterintelligence
No comments:
Post a Comment