Thursday, August 26, 2021

Perkembangan Demokrasi Indonesia Paska Pilkada Serentak

 

KATA PENGANTAR

 

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena telah memberikan kekuatan dan kemampuan sehingga makalah ini bisa selesai tepat pada waktunya. Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Makalah dengan judul “Perkembangan Demokrasi Indonesia Paska Pilkada Serentak”

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan mendukung dalam penyusunan makalah ini.

Penulis sadar makalah ini belum sempurna dan memerlukan berbagai perbaikan, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat dibutuhkan.

Akhir kata, semoga  makalah  ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan semua pihak.

 

Jatinangor,  Juli 2015

 

Penulis,

 

 

 

 

 

 

 

 

 


 

DAFTAR ISI

 

 

KATA PENGANTAR.. i

DAFTAR ISI. ii

BAB I PENDAHULUAN.. 1

1.1Latar Belakang. 1

1.2. Rumusan Masalah. 2

1.3. Tujuan. 2

BAB II LANDASAN TEORI. 3

BAB III PEMBAHASAN.. 7

3.1. Sistem Pemilu. 7

3.2.   Pemilu Kepala Daerah Serentak Mewujudkan Pemimpin                   Pilihan Rakyat 9

3.3.  Calon Independen. 10

3.4.  Mengisi Kekosongan Wakil Daerah. 11

3.5Manajemen Pemilu yang Memaksimalkan Kedaulatan Rakyat 12

3.6Mengembalikan Loyalitas Wakil Rakyat 13

3.7. Upaya Efisiensi dalam Penggabungan Pemilu. 14

3.8. Jalur Independen. 16

3.9Penyederhanaan Partai tanpa Mematikan Aspirasi Lokal 17

3.10. Permasalahan  Pilkada Dan Isu-Isu Pilkada. 21

BAB IV PENUTUP. 29

4.1. Kesimpulan. 29

4.2. Saran. 30

DAFTAR PUSTAKA.. 31

 

 


BAB I

PENDAHULUAN

 

1.1Latar Belakang

Banyak yang sepakat bahwa demokrasi Indonesia telah mengalami perkembangan pesat, khususnya sejak era reformasi menggantikan rejim otoritarian Orde Baru, 1997. Paling tidak -- dalam bahasa yang lebih netral -- telah terjadi sederet perubahan cepat dan signifikan dalam perjalanan demokrasi negeri ini, jauh melampaui apa yang mungkin dibayangkan setiap orang sebelumnya.

Awal 1990-an, di tengah keprustrasian panjang memandang stagnasi demokrasi dan pembusukan politik yang berlarut di Indonesia, seorang Indonesianis asal Amerika R. William Liddle, dalam sebuah artikel yang diterbitkan Harian KOMPAS, sempat melontarkan analisa pesimistik tentang kemunculan kelompok civil society baru yang bakal mengawali demokrasi negeri ini, paling cepat dalam kurun waktu 25-30 tahun. Dan ternyata hanya butuh waktu kurang dari tiga tahun untuk membuktikan semua prediksi itu salah

Faktanya, perubahan telah bergulir cepat. Tak terkecuali dalam penyelenggaraan kepemiluan, sebagai salah satu instrument penting demokrasi. Setidaknya dalam tiga kali pemilu (sekarang dalam proses yang ke-empat) berbagai perubahan penting layak dicatat. Mulai dari tatanan sistem pemilu secara umum,  disain organisasional dan tekhnis kelembagaan, sampai pada aturan main penyelenggara dan penyelenggaraan pemilu. Yang semuanya bermuara pada – paling tidak munculnya harapan -- terciptanya pemilu yang lebih menjamin prinsip-prinsip keterwakilan, akuntabilitas, dan legitimasi.

Tulisan ini ingin memetakan garis besar perubahan yang terjadi dalam kepemiluan Indonesia pasca reformasi, dengan menyoroti beberapa “prestasi” penting yang layak dicatat – terlepas dari silang sengketa pendapat yang tentunya pasti selalu ada. Dan pada bagian yang lebih utama, tulisan ini ingin mengetengahkan pemikiran bahwa, ketika demokrasi disepakati menjadi sebuah pilihan, maka ruang dialog antara fakta dan ide, antara realitas objektif dan realitas subjektif, harus tetap terbuka untuk menghasilkan pemikiran-pemikiran konstruktif bagi perubahan yang lebih baik, secara terus menerus.  Untuk kepentingan itu, di bagian akhir tulisan ini dicoba mengajukan beberapa focus perhatian yang sekiranya layak diagendakan sebagai “pekerjaan rumah” selanjutnya bagi perbaikan demokrasi bangsa ini.

 

1.2. Rumusan Masalah

1)      Bagaimana Sistem Pemilu di Indonesia ?      

2)      Bagaimana Pemilu Kepala Daerah Serentak Mewujudkan Pemimpin                   Pilihan Rakyat?  

3)      Apa dan Bagaimana Calon Independen ?     

4)      Bagaimana Mengisi Kekosongan Wakil Daerah ?     

5)      Bagaimana Manajemen Pemilu yang Memaksimalkan Kedaulatan Rakyat?

6)      Bagaimana Mengembalikan Loyalitas Wakil Rakyat ?

7)      Bagaimana Upaya Efisiensi dalam Penggabungan Pemilu?

8)      Bagaiama Penyederhanaan Partai tanpa Mematikan Aspirasi Lokal?           

9)      Apa Saja Permasalahan  Pilkada Dan Isu-Isu Pilkada?         

 

1.3. Tujuan

Untuk mengetahuhi tentang :

1)      Sistem Pemilu

2)      Pemilu Kepala Daerah Serentak Mewujudkan Pemimpin                   Pilihan Rakyat           

3)      Calon Independen     

4)      Mengisi Kekosongan Wakil Daerah  

5)      Manajemen Pemilu yang Memaksimalkan Kedaulatan Rakyat         

6)      Mengembalikan Loyalitas Wakil Rakyat       

7)      Upaya Efisiensi dalam Penggabungan Pemilu

8)      Jalur Independen       

9)      Penyederhanaan Partai tanpa Mematikan Aspirasi Lokal      

10)  Permasalahan  Pilkada Dan Isu-Isu Pilkada  

BAB II

LANDASAN TEORI

 

Pemilihan umum atau Pemilu adalah salah satu momentum dalam menciptakan kedaulatan berada ditangan rakyat. Bagi negara demokrasi modern, Pemilu merupakan mekanisme utama yang harus ada dalam tahapan penyelengaraan negara dan pembentukan pemerintahan. Pemilu dipandang sebagai bentuk paling nyata dari kedaulatan yang berada ditangan rakyat serta wujud paling konkret partisipasi rakyat dalam penyelenggaraan negara.[2] Sama halnya dengan Pemilu, dalam penyelengaraan di daerah dikenal dengan istilah pemilihan kepala daerah atau Pilkada guna memilih kepala daerah, baik kepala daerah tingkat satu yakni Gubernur, maupun pemilihan kepala daerah tingkat dua yakni Bupati/Walikota. Hal ini merupakan salah satu wujud dan mekanisme demokrasi di daerah secara langsung, dan sarana manifestasi kedaulatan dan pengukuhan bahwa pemilih adalah masyarakat daerah.

Mengenai dasar hukum dilaksanakannya pilkada di Indonesia terlihat seperti terdapat keragu-raguan pemerintah dalam mengeluarkan produk hukum dalam menjalankan pilkada di Indonesia. Pada akhir 2014, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, yang menimbulkan pro dan kontra di masyarakat, karena dalam undang-undang tersebut Pilkada dikembalikan pemilihannya oleh DPRD, dengan adanya penolakan atas hal tersebut, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, dengan memasukan kembali Pilkada dilakukan dengan cara pemilihan secara langsung oleh rakyat, serta dilaksanakan secara serentak dan pemerintah menetapkan Perpu tersebut menjadi undang-undang, yakni Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, namun belum sempat undang-undang ini dijalankan pemerintah kembali menghapus beberapa pasal-pasal dalam undang-undang tersebut, sehingga adanya revisi atas undang-undang tersebut maka keluarlah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Dalam undang-undang tersebut tetap mejelaskan Pilkada dilakukan secara langsung oleh rakyat dan pelaksanaannya dilakukan secara serentak, dan salah satunya pelaksanaan pada tahun 2015 ini, ironinya Undang-Undang Nomor 8 tahun 2015 ini pun kembali diusulkan untuk dilakukan revisi kembali dikarenakan terdapat beberapa pasal yang ingin dirubah salah satunya mengenai anggaran untuk membiayai penyelenggaraan pilkada serentak 2015 ini. Namun dapat dikatakan Undang-Undang Nomor 8 tahun 2015 merupakan patokan atau dasar hukum penyelenggaraan pilkada serentak pada tahun 2015.

Substansi dari pilkada sendiri adalah penyampaian suara rakyat daerah untuk membentuk lembaga perwakilan dan pemerintahan daerah sebagai penyelenggara negara di daerah. Suara rakyat di wujudkan dalam bentuk hak pilih, yaitu hak untuk memilih wakilnya dari berbagai calon yang ada. Sebagai suatu hak, hak memilih harus dipenuhi dan sesuai dengan amanat konstitusi, hal ini merupakan tanggung jawab negara yang dalam pelaksanaannya dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum di tingkat pusat mapun Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) di daerah sebagai lembaga penyelenggara negara.

Penyelenggaraan pemilihan kepala daerah yang begitu banyak di Indonesia dinilai sangat memboroskan anggaran daerah. Bahkan bagi daerah yang kemampuan fiskalnya rendah, kewajiban membiayai pilkada ternyata mengurangi belanja pelayanan publik seperti urusan pendidikan dan kesehatan. Oleh karena itu, penyelenggaraan pilkada serentak dipandang lebih tepat karena lebih hemat dan efisien.[3] Terkait politisasi anggaran, saat tahap pilkada mulai berjalan, ternyata banyak daerah yang belum mengalokasikan anggaran penyelenggaraan pilkada. Alasannya antara lain daerah tidak memiliki anggaran tambahan untuk membiayai pilkada. Selain itu, banyak daerah yang belum menetapkan APBD untuk tahapan pilkada.

Setidaknya terdapat tiga masalah pencalonan pasangan kepala daerah dalam proses penyelenggaraan pilkada.  Pertama, terjadi politik uang dalam bentuk ”ongkos perahu” yang diberikan pasangan calon kepada partai politik yang memang berhak untuk mencalonkan. Inilah politik uang pertama sekaligus kentara dalam pilkada sekalipun besarnya ”ongkos perahu” tidak sebanding dengan dukungan parpol dalam kampanye. Kedua, terjadi ketegangan dan bahkan perpecahan internal parpol akibat ketidaksepakatan pengurus parpol dalam mengajukan pasangan calon. Akibatnya, parpol menjadi lemah sehingga mereka gagal memperjuangkan kepentingan anggota. Ketiga, pencalonan yang hanya mempertimbangkan ”ongkos perahu” mengecewakan masyarakat karena calon yang diinginkan tidak masuk daftar calon. Di satu pihak, hal ini menyebabkan masyarakat apatis terhadap pilkada sehingga partisipasi pemilih menurun. Di lain pihak, hal itu menyebabkan masyarakat marah sehingga bisa menimbulkan konflik terbuka.

UUD Negara Rl Th 1945 Pasal 18 ayat (4) menyatakan bahwa, "Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis". Tidak ada amanat dalam UUD Negara Rl Tahun 1945 bahwa wakil kepala daerah harus dipilih secara berpasangan dengan kepala daerah. Sistem pemilihan wakil kepala daerah secara langsung berpasangan dengan kepala daerah semula dalam rangka kesesuaian dengan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara berpasangan. Akan tetapi dalam perjalanan penyelenggaraan pemerintahan daerah pasca reformasi sampai sekarang, banyak terjadi hubungan antara kepala daerah dan wakil kepala daerah yang tidak harmonis, sehingga adanya wakil kepala daerah diharapkan dapat membantu atau terdapat hubungan sinergi dengan kepala daerah justru hubungan yang saling melemahkan. Hal terjadi karena latar belakang politik wakil kepala daerah yang juga sarat dengan kepentingan politik membuat hubungan antara kepala daerah dan wakil kepala daerah menjadi saling waspada atas kemungkinan terjadi manuver politik yang saling menjatuhkan.

Berkenaan dengan kondisi hubungan yang tidak harmonis tersebut perlu dilakukan perumusan ulang sistem pemilhan wakil kepala daerah, agar tidak mengganggu penyelenggaraan pemerintahan daerah dan dapat menempatkan wakil kepala daerah sebagai pembantu untuk perkuatan kepala daerah.

Dari kenyataan-kenyataan di atas nampak bahwa system demokrasi pada umumnya dan system pilkada  pada khususnya harus jujur diakui masih mengalami kendala sistemik. Dari sisi hukum hal ini terkait pemahaman tentang “legal system” sebagaimana diajarkan oleh Lawrence Friedmann, bahwa  sub-sistem hukum terdiri atas substansi hukum (legal substance) berupa pelbagai produk legislative yang mendasari system hukum tersebut; kemudian struktur hukum (legal structure) berupa kelembagaan yang menangani system tersebut dan budaya hukum (legal culture) berupa kesamaan pandangan, sikap, perilaku dan filosofi yang mendasari system hukum tersebut. Dalam ketiga sub-sistem tersebut demokrasi dan termasuk pilkada masih memerlukan konsolidasi. Warna transksional dan pragmatism masih menonjol , belum lagi munculnya mukti tafsir dan sikap mendua (ambiquitas)  dalam pelbagai hal. Aapalgi apabila budaya hokum semacam ini menghinggapi para pemangku kepentingan, termasuk tokoh-tokoh partai politik yang sering disebut sebagai “legal culture of the insider”.

 

 

 

 


 

BAB III

PEMBAHASAN

 

3.1. Sistem Pemilu

Untuk pertama kalinya dalam sejarah pemilu di Indonesia, tepatnya dimulai pada pemilu kedua di era reformasi tahun 2004, pemilu Indonesia mencatat sejarah penting dengan berhasil diberlakukannya system proporsional dengan daftar calon terbuka.

Secara konsepsional, ini adalah varian system pemilu yang menggabungkan kekuatan dua system utama pemilu, yakni system proporsional dan system mayoritarian/pluralitas. Dengan tetap menggunakan nama besar system proporsional, mengisyaratkan bahwa pembagian kursi wakil rakyat di parlemen pada pokoknya tetap didasarkan pada suara pemilih secara proporsional. Namun dengan penambahan embel-embel “daftar calon terbuka,” ia mengadopsi sebagian dari metoda system mayoritarian (atau di Indonesia biasa disebut dengan sistem distrik) dalam penentuan calon terpilih, yakni atas dasar suara terbanyak (peringkat tertinggi dari daftar calon).

Pilihan terhadap system proporsional tentu dimaksudkan agar kelemahan utama system mayoritarian -- dimana banyak suara rakyat yang terbuang sia-sia dan tidak terwakili di lembaga perwakilan -- akan bisa dihindari. Sebaliknya, dengan menyandingkan system proporsional dengan daftar terbuka, akan bisa menghilangkan image pemilu “seperti membeli kucing di dalam karung” (dari suaranya bisa diketahui bahwa isinya adalah kucing, tapi tidak bisa dikenali “belangnya”).

Karena itu, banyak orang setuju – termasuk tulisan ini -- bahwa system proporsional dengan daftar terbuka, adalah pilihan system pemilu yang paling ideal untuk Indonesia saat ini. Ia lebih menjamin asas representasi dan rasa keadialan, sehingga diharapkan mampu meningkatkan akuntabilitas dan legitimasi lembaga perwakilan yang dihasilkan.

Selain itu, sesungguhnya hal paling prinsif lainnya dari pilihan terhadap system ini adalah bagaimana mengembalikan hakikat hubungan wakil dengan yang diwakili. Antara penerima mandat dengan pemilik kedaulatan (baca: rakyat) yang memberi mandat kepadanya. Dalam system lama dengan daftar tertutup, rakyat hanya memilih partai dan partai kemudian menunjuk wakilnya yang akan duduk di kursi perwakilan. Buruknya adalah wakil tidak merasa bertanggungjawab kepada rakyat, karena ia duduk di lembaga perwakilan bukan karena pilihan rakyat, tapi lebih karena berkah “pemberian” partai. Akibatnya, dalam praktek kesehariannya wakil-wakil di parlemen lebih merupakan wakil partai dari pada wakil rakyat, dan loyalitasnya pula lebih kepada partai bukan kepada rakyat. Ini tentu mengaburkan hakikat dan tujuan pembentukan lembaga perwakilan itu sendiri.

Karena itulah, tulisan ini berpendirian bahwa “sistem proporsional dengan daftar calon terbuka” adalah pilihan terbaik. Sebuah pilihan cerdas dalam membangun kompetisi yang fair dan sekaligus memuliakan suara rakyat. Kewenangan partai tetap terjaga, tetapi aspirasi rakyat juga dihargai tinggi.

Adapun munculnya kembali suara-suara belakangan ini untuk kembali kepada system lama (proporsional daftar tertutup) sepertinya itu hanya romantika elit partai yang masih merindukan nostalgia kekuasaan oligarkhi partai di masa lalu. Argumentasi bahwa system daftar terbuka hanya menghasilkan wakil-wakil rakyat yang popular tapi tidak berkualitas (sedangkan melalui system daftar tertutup partai politik bisa lebih fokus memilih wakil atas dasar bobot dan kualitasnya) sepertinya salah alamat. Sebab, dengan system pemilu yang berlaku saat ini, kewenangan sepenuhnya untuk menentukan daftar calon masih tetap ada di tangan partai. Rakyat hanya memilih di antara daftar pilihan-pilihan yang (sudah) disodorkan oleh partai. Artinya, fungsi dan kewenangan partai (sebagai lembaga rekrutmen politik) tetap dihargai, tapi di sisi lain suara dan kehendak rakyat juga termuliakan.

 

 

 

 

 

3.2.   Pemilu Kepala Daerah Serentak Mewujudkan Pemimpin Pilihan Rakyat

Pemilu Presiden dan Pemilihan Kepala Daerah secara langsung adalah juga salah satu prestasi kepemiluan Indonesia era reformasi yang sangat melegakan. Ini adalah juga bagian dari akar paradigma yang sama, yakni memuliakan suara rakyat. Pemilu secara langsung Presiden dan Wakil Presiden dan pemilihan langsung Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah jalan tepat untuk menghindari terjadinya distorsi dan bias kehendak rakyat dalam memilih pemimpinnya.

Pemilihan Presiden oleh MPR dan pemilihan Kepala Daerah oleh DPRD seperti yang dilakukan puluhan tahun di negeri ini, sering membuat bias suara rakyat karena terdistorsi oleh berbagai hal dan beragam kepentingan di parlemen. Di sisi lain, setali dua uang dengan pemilu legislatif system daftar tertutup, penentuan kursi eksekutif lewat parlemen juga akan berdampak tidak baik pada psikologi pertanggungjawaban politik seorang pemimpin .

Gubernur terpilih lewat pemilihan di DPRD provinsi misalnya, akan memiliki loyalitas tersendiri terhadap kelompok-kelompok pendukungnya di DPRD. Begitupun sebaliknya, kepala daerah terpilih harus bersiap-siap untuk menjadi mesin ATM pribadi bagi kelompok-kelompok di Dewan, karena tentu tidak ada “makan siang gratis.” Dan bukan rahasia umum lagi, berbagai bentuk dan keperluan pemilihan yang diselenggarakan di Dewan, sangat akrab dengan politik transaksional. Pilihan politik ditransaksikan menjadi sekedar angka-angka dalam bentuk tender dan uang, baik cash money maupun pembayaran menyusul.

Contoh buruk system pemilihan lewat parlemen yang paling nyata terjadi pada pemilihan Presiden 1998. Kala itu, Soeharto yang baru saja terpilih di parlemen dengan sangat meyakinkan (aklamasi), akhirnya – hanya dalam 2 bulan 10 hari -- dipaksa turun dari kursi presiden oleh kekuatan di luar parlemen (baca: rakyat). Ini adalah contoh paling nyata betapa suara rakyat sering tidak “nyambung” dengan suara wakil-wakilnya di Parlemen. Lembaga Perwakilan – dengan beragam sebab dan kepentingan di dalamnya -- sering gagal dalam menerjemahkan aspirasi dan kehendak rakyat.

Karena itu, tulisan ini berada pada posisi mengapresiasi sangat tinggi system pemilihan Presiden dan Kepala Daerah secara langsung, sebagai sebuah prestasi kepemiluan yang patut dicatat dan dijaga. Penekanan ini dirasa perlu, karena faktanya masih saja ada suara-suara yang menginginkan untuk kembali ke system lama, khususnya untuk pemilihan Gubernur. Alasannya, pemilihan Gubernur secara langsung menghabiskan biaya lebih besar ketimbang pemilihan lewat DPRD. Sebuah argumentasi pembenaran, tetapi bukan “kebenaran.”

  

3.3.  Calon Independen

Masih soal pemilihan kepala daerah, terobosan lain yang tidak kalah penting adalah dimunculkannya alternatif pencalonan kepala daerah lewat jalur non-partai, atau yang biasa kita kenal dengan jalur independen. Setelah sebelumnya pemilihan kepala daerah ditarik dari meja DPRD, giliran monopoli parpol pula dalam pencalonan kepala daerah direvisi.

Dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (sebelum perubahan), pasal 59 (1) disebutkan, peserta pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik.

Karena itu, tidak ada jalan lain bagi calon kepala daerah, kecuali membeli mahal “tiket” partai jika ingin tampil sebagai kontestan dalam panggung Pilkada. Di sinilah kembali sering muncul “ruang gelap” transaksi politik itu. Hampir sama dengan pemilihan kepala daerah lewat DPRD, monopoli parpol dalam pencalonan kepala daaerah syarat dengan isu transaksional.

Terlepas dari itu, kehadiran jalur independen yang kemudian dikukuhkan dalam UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, tentu sangat positif untuk memberi jalan alternatif menuju kursi kepala daerah. Terutama bagi calon-calon berkualitas -- yang secara substantif mendapat dukungan rakyat, tetapi kemudian terhadang oleh banyak sekat dan rintangan-rintangan,  politik maupun non-politik.

 

 

3.4.  Mengisi Kekosongan Wakil Daerah

Di era reformasi, mengikuti perubahan ketiga UUD 1945, satu lembaga perwakilan baru dimunculkan. Seperti namanya, Dewan Perwakilan Daerah (DPD), lembaga ini diisi oleh wakil-wakil atas nama daerah. Ia dipilih langsung oleh rakyat lewat pemilihan umum, namun dengan menggunakan sistem yang berbeda, sistem distrik berwakil banyak. Jumlah wakil setiap distrik (daerah provinsi) ditetapkan sama, yakni  4 orang wakil yang berasal dari calon perseorangan (non-parpol).

Selain menjalankan tugas sehari-hari DPD yang ditentukan dalam undang-undang, anggota Dewan Perwakilan Daerah juga otomatis menjadi anggota dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) bersama-sama dengan anggota DPR. Lembaga ini di zaman Orde Baru mirip dengan Utusan Daerah, meski dengan fungsi dan cara pemilihan yang berbeda.

Secara teoritik, DPD sesungguhnya juga adalah bagian dari wakil rakyat. DPD merupakan wakil rakyat atas dasar pengelompokan wilayah, sedangkan DPR merupakan wakil rakyat atas dasar pengelompokan politik. DPD mewakili rakyat untuk dan atas nama kepentingan komunitas wilayah, sedangkan DPR mewakili rakyat untuk dan atas nama kepentingan komunitas politik.

Terlepas dari fungsi dan perannya yang masih banyak diperdebatkan, kehadiran lembaga DPD dalam demokrasi Indonesia era reformasi, paling tidak telah memberi wadah bagi kepentingan rakyat yang bersifat “daerah.” DPD juga menjadi “jembatan” yang penting antara rakyat dan pemerintah daerah di satu sisi, dengan pemerintah pusat di sisi yang lain. DPD dapat menjadi “corong” bagi kepentingan otonomi daerah dan daerah otonom di tingkat pusat (nasional).

Sesungguhnya masih banyak capaian keberhasilan yang diraih dalam perjalanan kepemiluan Indonesia era reformasi, namun tidak memungkinkan dibahas satu persatu dalam tulisan singkat sini.

Sebut saja misalnya suasana demokrasi multipartai sejak pemilu 1999, yang memberi kesegaran kembali setelah 30 tahun lebih bangsa ini sulit bernafas dalam dominasi satu partai. Soal netralitas birokrasi dalam pemilu yang berhasil kembali ditegakkan. Ini penyakit kronik dalam sejarah politik Indonesia, yang satu setengah dasa warsa yang lalu, hampir semua orang yakin tidak ada obatnya. Dan sekarang ternyata “sembuh” nyaris sempurna.

Kemudian keberhasilan membangun dan membudayakan sebuah kelembagaan dan manajemen penyelenggara pemilu yang lebih profesional dan akuntabel. Penanganan sengketa hasil pemilu yang lebih terpercaya. Serta tidak kalah pentingnya keberhasilan “membudayakan” proses penyelenggaraan pemilu yang bebas demokratis, namun tetap tertib, aman, sportif, tanpa kekerasan dan huru-hara. Meski bukan tanpa cacat, adalah prestasi luar biasa (dan mendapat pujian internasional), selama tiga kali pemilu era reformasi dengan “keramaian” sistem multipartai, berhasil dilalui tanpa catatan “merah” yang berarti.

Tulisan ini hanya mengangkat beberapa poin, sebagai bentuk apresiasi penulis atas keberhasilan demokratisasi – khususnya dalam bidang pemilu – sejak era reformasi.

 

3.5Manajemen Pemilu yang Memaksimalkan Kedaulatan Rakyat

Di balik keberhasilan seperti dibeberkan di bagian awal tulisan ini, kita menemukan beberapa data berikut. Berdasarkan hasil penelitian Komnas HAM,  sejumlah LSM Pemerhati Pemilu, dan Panitia Angket DPR tentang Penggunaan Hak Pilih (sebagaimana dilansir oleh “Kemitraan Bagi Pembaruan Tata Pemerintahan”), diperkirakan derajat cakupan pemilih yang masuk dalam DPT baru mencapai 85 persen, derajat kemutakhiran DPT sekitar 80 persen, dan derajat akurasi DPT sekitar 80 persen. Kemudian, dari jumlah pemilih terdaftar sekitar 171 juta, 30 persen di antaranya tidak menggunakan hak pilih (nonvoters), dan 14,41 persen (sekitar 16 juta) dari jumlah pemilih terdaftar yang menggunakan hak pilih, dinyatakan tidak sah (invalid votes).

Secara sederhana ini berarti hampir setengah dari rakyat Indonesia yang memiliki hak memilih (atau sekitar 98 juta lebih rakyat) tidak “berdaulat” dalam pemilu 2009 karena berbagai sebab. Di antaranya, sebanyak 30 juta lebih rakyat tidak berdaulat karena tidak terdaftar dalam DPT (tidak dapat menggunakan hak pilihnya). Kemudian 51 juta lebih rakyat tidak berdaulat karena meski terdaftar dalam daftar pemilih, tapi tidak menggunakan hak pilihnya dengan berbagai sebab. Dan 17 juta lebih rakyat tidak berdaulat karena salah (tidak sah) dalam menggunakan hak pilihnya.

Angka-angka tersebut masih jauh dari tingkat yang bisa ditoleransi. Belum lagi dari jumlah suara sah, masih banyak kejadian yang membuat suara pemilih akhirnya menjadi tidak berdaulat karena praktek manipulasi dan jual beli suara “di tengah jalan.” Tidak ada data pasti soal ini, tapi masih santer terdengar adanya praktek pengalihan perolehan suara seorang calon kepada calon yang lain – baik antar partai yang berbeda maupun (dan terutama) antar sesama calon dalam satu partai. Ini biasanya melibatkan persekongkolan oknum-oknum calon, oknum pengurus parpol, dan oknum penyelenggara pemilu – dengan atau tanpa imbalan.

 

3.6Mengembalikan Loyalitas Wakil Rakyat

Sejatinya, setelah pemberlakuan sistem proporsional dengan daftar calon terbuka, dimana wakil yang duduk di kursi parlemen ditentukan langsung oleh suara pemilih,  maka harapan utamanya adalah orientasi loyalitas wakil rakyat akan berpaling kembali kepada rakyat. Seorang wakil yang sedang menjabat akan berupaya dengan segala daya untuk “mengambil hati” rakyat. Memperjuangkan aspirasi dan kepentingan rakyat yang diwakilinya. Sebab kalau tidak, resikonya jelas! Ia harus bersiap-siap turun dari kursi wakil, karena ia tidak akan mendapatkan suara rakyat dalam pemilu berikutnya.

Tapi apa yang terjadi saat ini, ternyata tidak demikian. Keberhasilan memutus oligarkhi partai dalam penentuan wakil terpilih, belum dengan sendirinya berhasil “menggiring” balik wakil rakyat kita untuk menghadapkan loyalitasnya kepada rakyat.  Tampaknya skema sederhana soal hitam-putih loyalitas wakil – antara berkiblat kepada partai atau berkiblat kepada rakyat – tidak berlaku di sini.

Yang terjadi adalah, wakil rakyat kita seperti lepas dari cengkeraman harimau, tapi tidak kembali ke kandangnya. Dia justru lepas-bebas mencari kandang sendiri. Wakil rakyat kita saat ini memang tidak lagi tersandera oleh partai, tetapi nyatanya selama masa menjabat sebagai wakil rakyat, ia menghilang dan hanya sesekali datang menemui rakyat pemilihnya – khususnya saat menjelang pemilu. Wakil rakyat juga masing jarang terlihat sibuk memperjuangkan nasib pemilihnya di ruang-ruang sidang parlemen. Mereka lebih sibuk mengurusi urusan sendiri. Ringkasnya, belum terlihat perubahan signifikan dalam orientasi pertanggungjawaban wakil rakyat kita. Padahal, sejatinya itu adalah tujuan utama yang paling diharapkan dari perubahan system pemilu yang telah dilakukan.

Pengkajian tampaknya diperlukan untuk mengetahui sebab-sebab tidak berfungsinya asumsi-asumsi demokrasi di sini. Namun sekedar bahan diskusi, apakah mungkin karena rakyat pemilih kita terlanjur apatis? Rakyat terlanjur terbiasa (dengan system lama) untuk tidak berharap apa-apa terhadap wakilnya, sehingga ketika wakilnya tidak berbuat apa-apa, rakyatpun tidak berminat untuk “menghukumnya” lewat pemilu? Atau rakyat belum (banyak yang) memahami konsekwensi perubahan system pemilu, yang membuat setiap suara rakyat menentukan secara langsung terhadap terpilihnya seorang wakil?

Jika yang terakhir ini penyebabnya, maka jawabannya adalah diperlukan upaya sosialisasi dan pendidikan politik bagi pemilih yang lebih intens dan merata. Perlu menyadarkan pemilih bahwa setiap suara yang mereka berikan ikut menentukan terpilih atau tidaknya seorang wakil di parlemen, sehingga pemilih benar-benar harus berhati-hati dalam memberikan suaranya.

 

3.7. Upaya Efisiensi dalam Penggabungan Pemilu 

Ide untuk menggabungkan pelaksanaan pemilu sudah lama bergulir. Pada prinsifnya-pun, tidak ada pro-kontra yang terlalu ramai dalam soal ini. Karena memang tidak ada alasan yang terlalu prinsif untuk menolaknya. Dalam kalkulasi biaya, menggabungkan pelaksanaan pemilu pasti akan menghasilkan penghematan yang berarti. Dan bukan hanya soal anggaran sebetulnya, tapi efisiensi dalam banyak hal. Hanya saja, hingga kini belum ada keputusan final yang bisa dijadikan payung hukum untuk melaksanakannya.

Tidak terlalu jelas apa yang menyebabkan pemerintah dan DPR tidak terlalu berhasyrat menyeriusi masalah ini. Tapi terlepas dari itu, setidaknya ada beberapa opsi penggabungan penyelenggaraan pemilu yang bisa didiskusikan.

Pertama adalah pemilu serentak secara nasional untuk semua pemilu. Mulai dari pemilu untuk memilih anggota legislatif (DPR, DPD, DPRD), pemilu presiden, pemilihan Gubernur, pemilihan Bupati, dan pemilihan Walikota dilaksanakan secara serentak dalam satu waktu penyelenggaraan pemilu. Tentu saja kerumitan terutama dalam pengaturan tekhnis dan penjadwalan kampanye merupakan salah satu tantangan terberat untuk pilihan ini. Selain juga kemungkinan dampaknya terhadap “kebingungan” pemilih yang harus juga dipertimbangkan.

Pilihan lainnya adalah membagi pemilu ke dalam dua waktu penyelenggaraan terpisah. Pilihan ini paling tidak menghasilkan tiga opsi penggabungan yang bisa dipilih. Pertama, membagi dua pemilu antara sesi pemilu legislatif (Pileg) dan pemilu eksekutif (Pileks). Pemilu legislatif dilaksanakan seperti saat ini, dan pemilu eksekutif menggabungkan penyelenggaraan pemilu Presiden dengan Pilkada (untuk semua tingkatan dan wilayah). Yang kedua, membagi dua pemilu antara Pemilihan Nasional (Pileg dan Pilpres) dan Pilkada (Gubernur, Bupati, Walikota). Dan yang ketiga, membagi dua pemilu antara pemilu legislatif plus Pilkada di satu sesi, dan Pilpres di sesi yang lain. Tampaknya ini hanya soal tekhnis keselarasan dalam penyelenggaraan.

Opsi penggabungan pemilu yang terakhir adalah menggabungkan pemilu dalam tiga sesi terpisah. Masing-masing Pemilu Legislatif, Pemilu Presiden, dan Pemilukada. Ini adalah opsi penggabungan minimum, karena hanya menggabungkan antara pemilihan gubernur, pemilihan bupati, dan pemilihan walikota di masing-masing daerah. Sedangkan pemilu legislatif dan pemilu presiden tetap dilaksanakan seperti biasa.

Apapun pilihan tekhnis penggabungan waktu penyelenggaraan Pemilu, bukan hal yang utama. Yang prinsif adalah bahwa penggabungan itu harus dilakukan dalam rangka efisiensi. Lagi pula, tidak ada alasan yang cukup kuat untuk tidak melakukannya.

E-voting atau pemungutan suara dengan menggunakan dukungan tekhnologi on-line, adalah bentuk lain dari efisiensi penyelenggaraan pemilu.  Beberapa Negara telah membuktikan hasilnya : berupa penghematan biaya, waktu, dan tenaga, khususnya dari sisi penyelenggara pemilu. Sistem ini sangat relevan untuk Negara-negara dengan wilayah yang luas, terpencar dan terpisah-pisah oleh lautan seperti Indonesia.

Dapat dibayangkan jika pemungutan suara di Indonesia dapat dilakukan secara on-line. Yang jelas anggaran untuk pengadaan perlengkapan pemungutan suara akan terpangkas, mulai dari  kotak suara, segel, tinta hingga ratusan juta lembar surat suara berwarna. Penghematan luar biasa juga akan didapat dari pos biaya pendistribusian -- transportasi, upah angkut, dan pengawalan -- karena tidak diperlukan lagi pengiriman fisik perlengkapan suara hingga ke  pelosok dan seluruh penjuru pulau-pulau, dari sabang hingga merauke.

Apa mungkin? Tentu saja tidak mudah. Sebab, daya dukung daerah-daerah untuk pemberlakuan system ini juga belum merata. Karena itu migrasi secara bertahap dari system konvensional ke system e-voting, barangkali adalah jawaban yang paling tepat. KPU dan Pemerintah Daerah bersama-sama dengan mitra IT, bisa bekerjasama untuk memetakan daya dukung masing-masing wilayah. Lalu, daerah-daerah yang sudah dinyatakan memenuhi syarat, dapat menyelenggarakan pemilu dengan sistem e-voting lebih dulu. Dan daerah-daerah lainnya yang belum memungkinkan, tetap melaksanakan pemilu dengan sistem konvensional.

 

3.8. Jalur Independen

Seperti dicatat sebelumnya, dibukanya jalur alternatif non-parpol untuk calon Kepala Daerah (atau biasa disebut “jalur independen”) merupakan satu terobosan besar lainnya dalam sejarah pemilu di Indonesia. Dengan ini, bukan saja pemilihan kepala daerah tidak lagi dilakukan di Parlemen, tetapi pencalonannya juga tidak lagi semata harus lewat mekanisme usulan parpol.

Secara prinsif, ini melegakan. Tapi belum secara praktis. Dari persyaratan yang tetapkan untuk calon independen, terkesan kebijakan ini dibuat setengah hati. Ini mudah difahami. Undang-undang itu dibuat oleh orang-orang atau wakil dari partai politik yang ada di parlemen. Dan parpol tidak rela kehilangan lahan basahnya jika kemudian para calon kepala daerah lebih memilih mencalonkan diri lewat jalur independen, karena mahalnya ongkos pencalonan lewat kendaraan parpol.

Provinsi dengan jumlah penduduk 9 juta misalnya, seseorang bisa mengajukan diri untuk calon gubernur hanya apabila mampu memenuhi syarat yakni mengumpulkan tanda tangan dukungan (dilengkapi KTP) minimal 4% atau sama dengan 360.000 KTP. Apabila diasumsikan biaya per-KTP sebesar Rp 2.000 saja (untuk fotocopy, honor, dan transport pengumpul), maka calon perseorangan sudah harus mengeluarkan biaya Rp720.000.000.- Itu baru sampai tahap awal persiapan untuk pencalonan. Belum biaya kampanye dan sebagainya apabila ia lolos dalam verifikasi dukungan.

Ada ide yang layak untuk dipertimbangkan sebagai pengganti persyaratan daftar dukungan minimal dalam rangka “menyaring” calon independen. Yakni, menyelenggarakan semacam pemilu penjajakan atau “pemilu pendahuluan” untuk bakal calon kepala daerah. Ide ini relevan khususnya apabila rencana pilkada serentak berhasil dilaksanakan. Untuk menghindari tambahan biaya, pemilu pendahuluan bisa “ditumpangkan” bersamaan dengan penyelenggaraan pemilu nasional yang terdekat (pemilu legislatif atau pemilu presiden). Maksudnya, bersamaan dengan pemilu Presiden misalnya, para pemilih juga disodorkan semacam daftar bakal calon Kepala Daerah (Gubernur dan Bupati/Walikota). Dan beberapa nama bakal calon dengan perolehan suara paling tinggi – misalnya 5 atau 3 besar – ditetapkan sebagai calon Kepala Daerah dari jalur independen, dan berhak mengikuti pilkada tanpa harus mengumpukan daftar dukungan sebagai syarat  pendaftaran. Dengan cara ini, persoalan biaya tinggi jalur independen akan bisa terselesaikan.

 

3.9Penyederhanaan Partai tanpa Mematikan Aspirasi Lokal

Dalam kepustakaan demokrasi diyakini bahwa kehadiran partai politik yang kuat sangat penting sebagai wadah bagi partisipasi politik rakyat. Parpol yang kuat sejatinya akan mengefektifkan kehendak rakyat. Parpol yang kuat juga akan menstabilkan pemerintahan konstitusional, karena parlemen semakin terkonsolidasi. Perdebatan dan bargaining politik yang lama dan menguras energi dalam pembuatan kebijakan di parlemen dapat dihindari. Karena itu, penyederhanaan sistem kepartaian memang penting. Tentu saja dengan catatan, sepanjang tidak mengarah pada sistem partai tunggal atau dominasi satu partai (single majority) yang bisa mematikan fungsi oposisi dan mekanisme check and balance di parlemen.

Namun demikian, penyederhanaan jumlah partai yang bernilai positif dan kondusif bagidemokrasi biasanya hanya didapat dari proses penyederhanaan yang berjalan secara alamiah. Proses penyederhanaan yang mengikuti kehendak rakyat. Dan bukan penyederhanaan partai yang dipaksakan. Penyederhanaan partai yang dipaksakan identik dengan mobilisasi, bukan partisipasi. Dan konsolidasi parlemen yang diciptakan lewat mobilisasi, justru akan sangat rentan menjadi sumber “penyakit” bagi demokrasi itu sendiri. Pengalaman buruk terjadinya “pembusukan” politik antara lain akibat sistem penyederhanaan partai yang dipaksakan di era Orde Baru, seharusnya menjadi pelajaran berharga bangsa ini.

Sesungguhnya, pemberlakuan electoral threshold (ET) 3,5% secara nasional (mengikuti ET DPR) dalam menentukan partai politik yang berhak duduk di semua tingkatan lembaga perwakilan, adalah malapetaka besar dan kemunduran demokrasi negeri ini. Untungnya, judicial review di Mahkamah Konstitusi membatalkan pasal tersebut dari UU Pemilu No. 8 Tahun 2012, dan menetapkan ET 3,5% hanya berlaku untuk DPR. Bahkan “usulan” kompromistis dari pihak-pihak yang menginginkan pemberlakuan berjenjang ET 3,5% (per masing-masing lembaga perwakilan) pun tidak dikabulkan oleh MK. Ini sebuah keputusan yang melegakan.

Tapi ibaratnya itu adalah persoalan di hilir. Sesungguhnya, UU Pemilu masih menyisakan persoalan penyederhanaan partai di bagian hulu. Persyaratan faktual partai politik peserta pemilu yang mengharuskan adanya kepengurusan di seluruh (100%) provinsi di seluruh Indonesia, kemudian 75% di kabupaten/kota, dan minimal 50% di tingkat kecamatan, adalah sebuah persyaratan (dalam rangka pembatasan partai) yang cukup berat. Dan persyaratan yang luar biasa berat ditambah lagi dengan kewajiban memiliki anggota paling sedikit 1.000 atau 1/1.000 dari jumlah penduduk di tingkat kepengurusan Kabupaten/Kota.

Semua persyaratan itu dengan gamblang ingin mengatakan bahwa partai politik yang boleh hidup di negeri ini hanya parpol yang berskala nasional. Tidak ada tempat bagi rakyat satu daerah atau beberapa daerah yang ingin mewadahi aspirasinya secara khas. Bahkan meski sekedar untuk mengisi lembaga perwakilan tingkat lokal. Jika persyaratan itu hanya diperuntukkan khusus bagi parlemen nasional (DPR RI), tentu sangat diterima akal dan sangat wajar. Dimana parlemen nasional hanya dapat diisi oleh wakil rakyat yang berasal dari parpol yang juga berbasis nasional. Sangat logis, karena lingkup tugasnya juga bersifat nasional. Tapi untuk tingkat parlemen lokal (DPRD), juga diharuskan hanya boleh diisi oleh wakil rakyat yang berasal dari partai politik berskala nasional, rasanya justru tidak demokratis dan bertentangan dengan semangat otonomi daerah.

Esensinya, kebijakan kepartaian seperti ini, mematikan aspirasi politik yang bersifat lokal. Artinya, seberapa banyakpun rakyat suatu daerah – bahkan hingga 100% -- mendukung sebuah parpol untuk mewadahi aspirasi politiknya di tingkat daerah, itu tidak akan cukup untuk kemudian diwujudkan ke dalam bentuk kursi lembaga perwakilan daerah, apabila parpol yang bersangkutan tidak memenuhi persyaratan “standar nasional.” Jadi, tidak ada tempat bagi wadah partisipasi politik yang bersifat khas dan lokal, bahkan untuk lembaga perwakilan lokal dengan lingkup tugas dan kewenangan yang juga bersifat lokal (DPRD) sekalipun.

Tentu saja argumen ini tidak dimaksudkan untuk kemudian membiarkan menjamurnya ribuan partai-partai kecil di berbagai daerah yang sudah pasti juga tidak kondusif bagi demokrasi. Suara rakyat akan terpecah banyak dan bisa berimbas pada pemerintahan daerah menjadi tidak stabil. Yang kita maksudkan hanyalah untuk memberi jalan bagi sebuah arus aspirasi rakyat yang besar tetapi bersifat lokal. (lokal di sini dapat kita terjemahkan dalam skala provinsi).

Karena itu, persyaratan “standar nasional” yang berlaku sekarang misalnya, bisa diganti dengan persyaratan yang ketat pada tingkat lokal. Contoh, sebuah partai politik dapat mengikuti pemilu untuk legislatif daerah (provinsi dan kabupaten/kota) dengan syarat harus memiliki 100% kepengurusan tingkat kabupaten/kota (dalam provinsi bersangkutan), 75% kepengurusan tingkat kecamatan, serta minimum anggota (sekedar contoh) 20.000 atau 20/1.000 penduduk pada kepengurusan tingkat kabupaten/kota. Tentu dengan catatan, parpol yang lolos persyaratan “nasional” secara otomatis (tetap) menjadi peserta pemilu legislatif daerah, tanpa harus memenuhi persyaratan “lokal” tadi.

Dengan ketentuan seperti ini, kekhawatiran munculnya banyak partai kecil yang tidak memenuhi persyaratan kecukupan dan persebaran kepengurusan maupun anggota  (dalam provinsi), dengan sendirinya tetap terseleksi.  Tapi bagi parpol yang memiliki pendukung signifikan, atau rakyat yang memiliki aspirasi politik khas (dalam jumlah besar) di satu daerah (provinsi) diberi kesempatan – dan memang sudah selayaknya berhak -- untuk menempatkan wakilnya di lembaga perwakilan lokal, sekalipun ia tidak memiliki kepengurusan dan anggota di provinsi lain.  Sebab tujuannya memang hanya untuk mengisi lembaga perwakilan lokal yang akan mengurusi urusan lokal pula, tidak ada sangkut-pautnya sama sekali dengan kepengurusan parpol di daerah lain.

Usulan ini sudah pasti tetap dalam kerangka prinsif sebuah negara kesatuan. Sebuah negara kesatuan yang menghargai otonomi dan keberagaman aspirasi daerah. Karena itu, kebijakan kepartaian dalam UU Pemilu dapat tetap menjadi pokok kebijakan kepartaian nasional. Adapun usulan kebijakan yang kita bahas, lebih dimaksudkan sebagai sisipan “pengecualian.” Sebagai sebuah alternatif dalam hal terdapat kondisi-kondisi khas sebagaimana dimaksud.

Rumusan sederhananya bisa dibuat demikian. “Partai politik peserta pemilu untuk pemilihan anggota DPR dan DPRD adalah partai politik yang memenuhi persyaratan kepengurusan 100% provinsi, 75% kabupaten/kota, dan 50% kecamatan, dengan minimum anggota 1.000 atau 1/1.000 jumlah penduduk pada kepengurusan tingkat kabupaten/kota (sama dengan rumusan UU no.8 / 2012). Parpol yang tidak memenuhi persyaratan dimaksud, tidak dapat mengikuti pemilu anggota DPR, tetapi dapat mengikuti pemilu DPRD dengan persyaratan khusus (seperti dibahas sebelumnya).”

Dengan demikian, aspirasi khas rakyat daerah tetap tersalurkan. Di sisi lain, upaya untuk konsolidasi dan penguatan kelembagaan parlemen tingkat nasional, juga tetap dapat diteruskan.

3.10. Permasalahan  Pilkada Dan Isu-Isu Pilkada

1.    Daftar Pemilih tidak akurat.

              Permasalahan daftar pemilih yang tidak akurat dalam Pilkada, sering dijadikan oleh  para pasangan calon yang kalah untuk melakukan gugatan.

Berdasar Pasal 47 UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu menyebutkan bahwa PPS mempunyai tugas dan wewenang antara lain mengangkat petugas pemutakhiran data pemilih dan membantu KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, PPK melakukan pemutakhiran data pemilih, daftar pemilih sementara, daftar pemilih hasil perbaikan, dan daftar pemilih tetap. Melalui pengaturan ini jika dalam pemutakhiran data pemilih, melibatkan RT/RW sebagai petugas pemutakhiran, maka permasalahan data pemilih yang tidak akurat akan dapat diminimalisir, karena RT/RW adalah lembaga yang paling mengetahui penduduknya.

2.    Proses pencalonan yang bermasalah

Permasalahan dalam pencalonan yang selama ini terjadi disebabkan oleh 2 (dua) hal yaitu konflik internal partai politik/gabungan partai politik dan  keberpihakan para anggota KPUD dalam menentukan pasangan calon yang akan mengikuti Pilkada.

  Secara yuridis pengaturan mengenai pencalonan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah diatur dalam pasal 59 sampai dengan pasal 64 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Dari beberapa pasal tersebut memberikan kewenangan yang sangat besar kepada KPUD dalam menerima pendaftaran, meneliti keabsahan persyaratan pencalonan dan menetapkan pasangan calon, yang walaupun ada ruang bagi partai politik atau pasangan calon untuk memperbaiki kekurangan dalam persyaratan adminitrasi, namun dalam praktek beberapa kali terjadi pada saat penetapan pasangan calon yang dirugikan.

Pasal   59  ayat  (5)   huruf a   Undang-Undang   Nomor  32  Tahun   2004 menyatakan  bahwa  partai politik atau gabungan partai  politik    pada saat mendaftarkan pasangan calon, wajib   menyerahkan   surat pencalonan   yang ditandatangani oleh   pimpinan partai politik atau pimpinan partai politik yang bergabung. Dalam tahapan ini kadang terjadi permasalahan di internal partai politik, ketika calon yang diajukan oleh pimpinan partai politik setempat berbeda dengan calon yang direkomendasikan oleh DPP partai politik. Dalam  permasalahan  ini  karena pimpinan partai politik setempat tidak melaksanakan rekomendasi DPP partai politik,kemudian diberhentikan sebagai pimpinan partai politik di wilayahnya dan menunjuk pelaksana tugas pimpinan partai politik sesuai wilayahnya yang kemudian juga meneruskan rekomendasi calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala  Daerah namun ditolak KPUD dengan alasan partai politik tersebut melalui pimpinan wilayahnya yang lama telah mengajukan pasangan calon. Pasal 61 ayat (4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menyatakan   bahwa penetapan dan pengumuman   pasangan calon oleh KPUD bersifat final dan mengikat. Dalam hal KPUD tidak netral, ketentuan ini kadang disalahgunakan untuk menggugurkan pasangan calon tertentu tanpa   dapat   melakukan pembelaan, karena tidak ada ruang bagi pasangan calon yang dirugikan untuk melakukan pengujian atas tindakan KPUD yang tidak netral melalui pengadilan.

Untuk mengatasi kekurangan ini, ke depan perlu pasangan calon perlu diberi ruang untuk mengajukan keberatan ke pengadilan, jika dalam proses pencalonan dirugikan KPUD.

3.    Pemasalahan pada Masa kampanye.

Pengaturan mengenai kampanye secara yuridis diatur dalam pasal 75 sampai dengan pasal 85 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yaitu meliputi pengaturan mengenai teknis kampanye, waktu pelaksanaan, pelaksana kampanye, jadwal kampanye, bentuk dan media kampanye, dan larangan-larangan selama pelaksanaan kampanye. Kandidat dan tim kampanyenya cenderung mencari celah pelanggaran yang menguntungkan dirinya.

Pasal 75 ayat (2) berbunyi dimaksud pada ayat (1) dilakukan selama 14 (empat belas) hari dan berakhir 3 (tiga) hari sebelum hari pemungutan suara", dengan terbatasnya waktu untuk kampanye maka sering terjadi curi start kampanye dan kampanye diluar waktu yang telah ditetapkan.

     Kampanye yang diharapkan dapat mendorong dan memperkuat pengenalan pemilih terhadap calon kepala daerah agar pemilih mendapatkan informasi yang lengkap tentang semua calon, menjadi tidak tercapai. Untuk itu ke depan perlu pengaturan masa kampanye yang cukup dan peningkatan kualitas kampanye agar dapat mendidik pemilih untuk menilai para calon dari segi program.

 

4.    Manipulasi penghitungan suara dan rekapitulasi hasil penghitungan suara.

Manipulasi perhitungan suara dan rekapitulasi hasil penghitungan suara dapat terjadi di setiap tingkatan, yaitu di KPPS, PPK, KPU Kabupaten, dan KPU Provinsi. 

Permasalahan penghitungan suara dan rekapitulasi hasil penghitungan suara akan manipulasi, disebabkan oleh banyaknya TPS yang tersebar dalam wilayah yang luas. Dengan banyaknya TPS yang tersebar luas membuat para pasangan calon sulit mengontrolnya karena memerlukan saksi yang banyak dan biaya besar. Di lain pihak para penyelenggara Pilkada di beberapa daerah tidak netral, berhubung sistem seleksi anggota KPUD tidak belum memadai.

5.    Penyelenggara Pemilu yang tidak adil dan netral

a.    KPU dan KPU Provinsi

b.    KPU Provinsi atau Kabupaten/Kota

c.    Panwaslu.

Akibatnya pelaksanaan Pilkada menjadi ruwet, terjadi ketegangan di tingkat grass root dan bahkan kadang sampai menimbulkan kerusuhan.

Hal terjadi karena kurangnya pemahaman para anggota KPU, KPUD, dan Panwaslu dalam melaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan, serta sistem seleksi para anggota KPU, KPUD, Panwaslu belum mengetengahkan adanya kebutuhan anggota KPU, KPUD, Panwaslu yang obyektif, netral, mempunyai integritas tinggi, tidak mudah mengeluarkan statement, dan memiliki pemahaman yang baik terhadap ketentuan peraturan perundang-undang Pemilu.

6.    Putusan MA atau MK yang menimbulkan kontroversi di masyarakat.

            Sengketa Pilkada diatur dalam pasal pasal 106 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang pada intinya menyatakan bahwa sengketa hasil penghitungan suara dapat diajukan oleh pasangan calon kepada pengadilan tinggi untuk pilkda bupati/walikota dan kepada MA untuk pilkda Gubernur. Putusan yang dikeluarkan pengadilan tinggi/Mahkamah Agung bersifat final. Setelah dikeluarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 kewenangan penyelesaian sengketa pilkada beralih dari Mahkamah Agung ke Mahkamah Konstitusi.

Baik dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahuri 2004 maupun Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 kewenangan pengadilan untuk mengadili sengketa Pilkada hanya terbatas pada sengketa hasil yang mempengaruhi pemenang Pilkada, permasalahannya adalah bagaimana apabila terjadi sengketa di luar hasil penghitungan suara, selain itu beberapa putusan baik Mahkamah Agung maupun Mahkamah Konstitusi menimbulkan kontroversi di masyarakat, akibatnya penyelesaian Pilkada berlarut-larut.

Selama ini tidak hanya sengketa hasil penghitungan suara yang terjadi dalam Pilkada, seperti permasalahan DPT, permasalahan pencalonan baik terjadinya permasalahan di internal partai politik maupun pemenuhan persyaratan Pilkada.

Meskipun Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 maupun Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 sudah membatasi kewenangan pengadilan hanya sebatas sengketa hasil penghitungan suara, namun pengadilan sering menabrak aturan tersebut. 

7.    Putusan-putusan MK yang membatalkan UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 12 Tahun 2008 terkait dengan Pilkada.

a.          Putusan MK No.072-073/PUU-ii/2005 menyatakan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004:

Dalam pertlmbangan hukumnya, mahkamah berpendapat bahwa Pilkada langsung tidak termasuk dalam kategori pemilu sebagaimana dimaksud pasal 22E UUD Negara RI Tahun 1945 namun Pilkada langsung adalah pemilu secara materiil untuk mengimplementasikan pasal 18 ayat (4) UUD Negara RI Tahun 1945 karena itu dalam penyelenggaraannya dapat berbeda dengan pemilu yang diatur pasal 22E UUD Negara RI Tahun 1945, misalnya dalam hal regulator, penyelenggara dan badan yang menyelesaikan perselisihan hasil pilkada meskipun tetap didasarkan asas pemilu yang berlaku. Pembentuk Undang-Undang No 32 Tahun 2004 telah menetapkan KPUD sebagai penyelenggara Pilkada yang merupakan wewenang pembentuk undang-undang yang terpenting adalah harus dijamin independensinya, terganggunya independensi penyelenggara mengakibatkan bertentangan dengan kepastian, perlakuan yang sama dan keadilan sesuai pasal 28D UUD Negara RI Tahun 1945. Mahkamah juga berpendapat bahwa pembentuk undang-undang dapat dan memang sebaiknya pada masa yang akan datang menetapkan KPU sebagaimana dimaksud pasal 22E UUD Negara RI Tahun 1945 sebagai penyelenggara pilkada karena memang dibentuk untuk itu dan telah membuktikan independensinya dalam pemilu 2004.

b.          Putusan MK Nomor No.22/PUU-VII/2009 menyatakan bahwa pasal 58 huruf o Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tidak bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, namun dalam salah amar putusannya juga menyatakan bahwa masa jabatan yang dihitung satu periode adalah masa jabatan yang telah dijalani selama setengah atau lebih masa jabatan, dengan kata lain dihitung satu kali masa jabatan adalah apabila seorang kepala daerah telah menduduki jabatannya selama 2,5 tahun atau lebih.

Penghitungan masa jabatan ini tidak dibatasi apakah karena pilkada langsung berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 atau pilkada tidak langsung berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009, karena dalam pertimbangan hukumnya majelis hakim berpendapat bahwa perbedaan sistem pemilihan kepala daerah antara langsung dan tidak langsung, tidak berarti bahwa sistem Pilkada tidak langsung tidak atau kurang demokratis apabila dibandingkan dengan sistem langsung demikian pula sebaliknya. Dari pertimbangan majejelis ini berarti bahwa menurut majelis, Pilkada langsung maupun pilkada tidak langsung sama-sam demokratishya sebagaimana dimaksud pasal 18 ayat (4) UUDN 1945. Bahkan majelis berpendapat setelah pengalaman dalam pilkada langsung berdasar Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, sekarang timbul gagasan baru untuk kembali memberlakukan pilkada tidak langsung, dan hal ini sah-sah saja.

Perubahan pengertian norma hukum pasal 58 huruf o UU No 32 Tahun 2004 yaitu batasannya adalah 2, 5 (dua setengah) tahun, artinya apabila Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah menduduki masa jabatannya kurang dari 2,5 (dua setengah tahun, belum dianggap satu kali masa jabatan sehingga masih bisa mencalonkan selama 2 (dua) periode sehingga apabila selama 2 (dua) kali masa pencalonannya selalu terpilih, yang bersangkutan bisa menduduki jabatannya maksimal 12, 4 (dua belas koma empat) tahun beberapa hari.

8.    Penyesuaian tata cara pemungutan suara dan penggunaan KTP sebagai kartu pemilih.

a.        Penyesuaian tata cara pemungutan suara.

Berdasar Pasal 88 UU No. 32 Tahun 2004 menyatakan: "pemberian suara untuk Pilkada dilakukan dengan mencoblos salah satu pasangan calon dalam surat suara". Sedangkan dalam pelaksanaan Pemilu DPR, DPD, dan DPRD serta  Perhllu  Presiden dan Wakil  Presiden Tahun 2009 melalui peraturan KPU pemberian suara dilakukan dengan memberi tanda "centang".

b.        Penyesuaian penggunaan KTP sebagai kartu pemilih.

"Berdasar Pasal 71 UU No. 32 Tahun 2004 menyatakan: "Pemilih yang telah terdaftar sebagai pemilih diberi tanda bukti pendaftaran untuk ditukarkan dengan kartu pemilih untuk setiap pemungutan suara". Sedangkan dalam pelaksanaan Pemilu DPR, DPD, dan DPRD serta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009 dalam rangka efisiensi KTP (Kartu Tanda Penduduk) atau Surat Keterangan Kependudukan dapat dijadikan kartu pemilih. Untuk itu dalam rangka efisiensi pelaksanaan Pilkada, "ketentuan dalam UU No. 32 Tahun 2004 terkait dengan penggunaan kartu pemilih dalam pelaksanaan Pilkada perlu disesuaikan dengan pelaksanaan Pemilu DPR, DPD, dan DPRD serta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009.

9.    Posisi kepala daerah/wakil kepala daerah incumbent dalam Pilkada

Dalam rangka menjaga kesetaraan (fairness) dan menjaga netralitas Pegawai Negeri Sipil (PNS) dalam Pilkada, kepala daerah/wakil kepala daerah yang akan mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah harus mengundurkan diri dari jabatannya. Namun melalui Putusan Nomor 17/PUU-VI/2008 tanggal 4 Agustus 2008, Mahkamah Konstitusi telah membatalkan ketentuan dimaksud karena menimbulkan ketidakpastian hukum (legal uncertainty, rechtsonzekerheid) atas masa jabatan kepala daerah yaitu lima tahun [vide Pasal 110 ayat (3) UU 32/2004] dan sekaligus perlakuan yang tidak sama (unequal treatment) antar-sesama pejabat negara [vide Pasal 59 ayat (5) huruf i UU 32/2004], sehingga dapat dikatakan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Akibatnya kepala daerah/wakil kepala daerah yang akan mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah hanya cuti selama kampanye. Mengindahkan pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan dimaksud ke depan bagi kepala daerah/wakil kepala daerah yang akan mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah harus diberhentikan sementara sejak pendaftaran sampai dengan dilantiknya kepala daerah/wakil kepala daerah yang baru.

Sesungguhnya perjalanan demokratisasi Indonesia – yang kita sebut era reformasi – baru melewati tiga periodisasi pemilu. Yang pertama tahun 1999, pemilu dengan masa persiapan yang sangat singkat, hanya 11 bulan, setelah baru saja lepas dari cengkeraman 30 tahun lebih otoriterisme Orde Baru. Lalu pemilu yang kedua tahun 2004, disusul pemilu yang ketiga tahun 2009, dan sekarang – saat tulisan ini dibuat -- masih dalam persiapan menuju pemilu yang keempat tahun 2014. Sebuah usia yang masih sangat muda dan pengalaman yang sangat minim dalam menjalankan pemilu yang demokratis.

Namun demikian, kita bisa mencatat sejumlah prestasi dan kemajuan yang mengesankan, khususnya dalam konteks prestasi kepemiluan, bahkan dalam takaran negara demokrasi maju. Sebuah pemilu yang lebih menjamin kompetisi yang sehat (antar peserta pemilu), partisipasi yang dinamis (bagi rakyat pemilih), derajat keterwakilan yang lebih tinggi (dalam lembaga perwakilan yang dihasilkan), serta mekanisme dan pertanggungjawaban yang jelas (dalam penyelenggaraan dan oleh penyelenggara pemilu).

Berbagai perubahanpun tampak dilakukan. Mulai dari penyempurnaan desain induk system pemilu, perbaikan dan penyelarasan berbagai sub-sub system dan komponen pendukung, sampai pada pembangunan kelembagaan dan organisasional, serta “aturan-main” penyelenggara dan penyelenggaraan pemilu yang lebih professional, mandiri, dan  akuntabel. Keseluruhannya dapat dimaknai dalam satu paket agenda besar, yakni “upaya membangun sebuah tatanan pemilu yang lebih kondusif bagi perwujudan negara demokrasi.” Berikut ini petikan beberapa kemajuan dan prestasi dimaksud.

 


 

BAB IV

PENUTUP

 

4.1. Kesimpulan

            Evaluasi pelaksanaan Pilkada ini dilakukan seoptimal mungkin dalam rangka menyempurnaan pelaksanaan Pilkada yang telah berjalan lebih dari  5 tahun. Hasil evaluasi Pilkada ini diharapkan dapat menjadi bahan acuan dalam rangka penyempurnaan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 jo Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah.

Dinamika politik selama lebih dari sepuluh tahun telah memberikan peran politik local cukup signifikan. Namun penyempurnaan masih harus dilakukan agar pemerintahan daerah sebagai aktualisasi dari dinamika politik lokal semakin menghasilkan kebijakan yang bermanfaat bagi masyarakat. Oleh sebab itu pengaturan suatu struktur atau institusi perlu memperhatikan pertimbangan filosofis, yuridis, sosiologis, politis, dan praktis.

Sementara itu susunan pemerintahan daerah akan menjadi dasar bagi pembangunan interaksi di antara mereka. Demikian pula, susunan pemerintahan tersebut juga dapat menjadi konteks dari peranan yang dimainkan oleh masing-masing susunan pemerintahan dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat dan implikasinya terhadap pendidikan politik masyarakat. Pendidikan politik masyarakat yang terbangun melalui pemilu kepala daerah diharapkan menciptakan sistem politik yang demokratis di tingkat lokal dan pada gilirannya akan dapat memberikan kontribusi bagi terwujudnya sistem politik demokratis di tingkat nasional.

 


 

4.2. Saran

            Konsolidasi demokrasi yang  harus merupakan konsensus untuk menyempurnakan system demokrasi, khususnya pemahaman “legal system” di atas, baik yang berkaitan dengan substansi, struktur dan budaya hukum, yang penyempurnaannya harus merupakan usaha yang tidak pernah henti  (the endless effort).

Demokrasi sebagai system politik harus didukung oleh system hukum yang mantap, yang effektivikasinya akan banyak tergantung pada kualtias perundang-undangannya;  kelengkapan sarana dan prasarananya; kualitas sumberdaya manusianya baik mental maupun intelektual; dan partisipasi masyarakat secara luas.

 

 


 

DAFTAR PUSTAKA

 

Ari Pradhanawati, 2005, Pilkada Langsung, Tradisi Baru Demokrasi Lokal, Surakarta, KOMPIP.

Budiardjo,Miriam ,2008,edisi revisi Dasar-dasar Ilmu Politik,Jakarta:Gramedia Pustaka Utama,

_____________,2007,Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta:Ikrar Mandidrabadi

Dirjen Otda Depdagri, 2009, Evaluasi Pemilu Kepala Daerah Periode 2005-2008.

Nugroho Dewanto, 2006, Pancasila dan UUD 1945, Bandung, Nuansa Aulia.

OC.Kaligis, 2009, Perkara-Perkara Politik dan Pilkada di Pengadilan, Bandung, PT. Alumni.

Poesponegoro, Marwati Djoened. 2008. Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta: Balai Pustaka, halaman 317.

Sair, Alian. 2005. Sejarah Nasional Indonesia VI. Palembang: Perpustakaan Prodi Sejarah FKIP Universitas Sriwijaya, halaman 40-50.

Sentosa Sembiring, 2009, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia, Pemerintahan Daerah (Pemda), Bandung, Nuansa Aulia

Soehino,2010,Hukum Tata Negara Perkembangan Pengaturan dan Pelaksanaan Pemilihan umum di  Indonesia, Yogyakarta:UGM

Tim Eska Media. 2002, Edisi Lengkap UUD 1945. Jakarta: Eska Media.

Undang-Undang Pemilu dan Partai Politik 2008, Jogjakarta, Gradien Mediatama.

Undang-undang Politik 2003, UU No. 12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum

UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD

http://www.academia.edu/3623682/Pemilu_1955_ Pesta_ Demokrasi_ Pertama_ Indonesia

Jurnal Intelijen & Kontra Intelijen, 2008, vol.1 No.25, Center For The Study Of Intelligence And Counterintelligence

 

No comments:

Post a Comment

buku bimbingan

                                                                                                                                            ...

082126189815

Name

Email *

Message *