Tugas
Makalah Sosiologi
“Proses Pembentukan Masyarakat”
Kelompok 3
1.
Gede Ferry Setiawan (28.0962)
2.
Habib Siraj (28.0184)
3.
Jasri Yusuf (28.1514)
4.
Jatmika Aji C. Nugraha (28.0912)
5.
Michael M. V. Tahalele
(28.1286)
INSTITUT PEMERINTAHAN DALAM NEGERI
JATINANGOR
2018
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Realitas sosial terbentuknya sebuah masyarakat adalah konsekuensi lanjutan dari
terbentuknya komunitas. Artinya adanya masyarakat hukum yang kemudian membentuk
batas-batas wilayah hukum berasal mulai dari eksisnya sebuah komunitas sosial
sebelumnya yang dalam kekinian disebut sebagai masyarakat adat.
Aspek terpenting yang harus diketahui dan disadari oleh pihak-pihak yang ingin
memahami permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat adalah kenyataan tentang
keragaman mereka. Keragaman ini dapat dilihat dari segi budaya, agama dan atau
kepercayaan, serta organisasi ekonomi dan sosial.
Di Indonesia, kita seharusnya merasa beruntung dengan adanya
masyarakat-masyarakat adat yang barangkali berjumlah ribuan kelompok.
Keberadaan mereka merupakan suatu kekayaan bangsa karena artinya ada lebih dari
seribu ragam ilmu pengetahuan yang telah dikembangkan. Ada lebih dari seribu
bahasa yang telah dimanfaatkan dan dapat membantu pengembangan khasanah bahasa
Indonesia dan masih banyak lagi hal lain yang bisa mereka sumbangkan.
BAB II
PEMBAHASAN
Pemgertian Masyarakat,
Proses Terbentuknya
Dan Tingkatannya
1. Pengertian Masyarakat
Alvin L. Bertrand
(1980) mendefinisikan masyarakat sebagai suatu kelompok yang sama
identifikasinya, teratur sedemikian rupa di dalam menjalankan segala sesuatu
yang diperlukan bagi hidup bersama secara harmonis. Lebih lanjut Bertrand
menyebutkan tiga ciri masyarakat;
·
Pertama pada masyarakat mesti terdapat sekumpulan
individu yang jumlahnya cukup besar.
·
Kedua individu-individu tersebut harus mempunyai
hubungan yang melahirkan kerjasama diantara mereka, minimal pada suatu
tingkatan interahsi.
·
Ketiga hubungan individu-individu sedikit banyak
harus permanen sifatnya.
Sejalan
dengan hal ini Soleman B. Taneko
(1984) mengatakan bahwa masyarakat adalah suatu pergaulan hidup, oleh karena
manusia itu hidup bersama.
Mengikuti
pendapat Soerjono Soekanto (1982) bahwa masyarakat bukan sekedar kumpulan
manusia semata tanpa ikatan, akan tetapi terdapat hubungan
fungsional antara satu sama lainnya. Setiap individu mempunyai kesadaran akan
keberadaannya ditengah-tengah individu yang lainnya. Sistem pergaulan
didasarkan kebiasaan atau lembaga kemasyarakatan yang hidup dalam masyarakat
yang bersangkutan. Sejalan dengan hal ini oleh Mac Iver sesuai kutipan Harsodjo
(1972) di dalam masyarakat terdapat suatu sistem cara kerja dan prosedur
dari pada otoritas dan saling bantu membantu yang meliputi kelompok-kelompok
dan pembagian sosial lain, sistem dari pengawasan tingkah laku manusia dan
kebebasan.
2. Terbentuknya Masyarakat
Sejalan
dengan pemahaman masyarakat diatas maka menurut teori sibernetik tentang
General System Of Action (Ankie M.M.. Hoogvelt : 1985) menjelaskan bahwa suatu
masyarakat akan dapat dianalisis dari sudut syarat-syarat fungsionalnya yaitu .
` 1) Fungsi
mempertahankan pola (Pettern Maintenance)
Fungsi ini berkaitan dengan hubungan antara
masyarakat sebagai sistem sosial dengan sub sistem kebudayaan. Hal itu berarti
mempertahankan prinsip-prinsip tertinggi dari masyarakat, oleh kerena
diorientasikan realitas yang terakhir.
2)
Fungsi integrasi
Yang mana mencakup jaminan terhadap koordinasi
yang diperlukan antara unit-unit dari suatu sistem sosial, khususnya yang
berkaitan dengan kontribusinya pada organisasi dan peranannya dalam keseluruhan
sistem.
3)
Fungsi pencapaian tujuan (Goal Attaindment),
Hal ini menyangkut hubungan antara masyarakat
sebagai sistem sosial dengan sub sistem aksi kepribadian. Fungsi ini menyangkut
penentuan tujuan-tujuan yang sangat penting bagi masyarakat, mobilisasi warga
masyarakat untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut.
4)
Fungsi adaptasi
Yang menyangkut hubungan antara masyarakat
sebagai sistem sosial dengan sub sistem organisme perilaku dan dengan dunia
fisik organik. Hal ini secara umum menyangkut penyesuaian masyarakat terhadap
kondisi-kondisi dari lingkungan hidupnya.
Seperti diketahui bahwa salah satu kekuatan
yang dapat mendorong keterbukaan seseorang untuk melakukan perubahan dan
perbaikan kehidupannya adalah karena lemahnya ikatan sosial budaya lingkungan
sekitar. Dalam hal ini menurut Abdul Syani (1995) nilai-nilai sosial budaya
masyarakat setempat tidak mampu memenuhi berbagai kepentingan masyarakat sesuai
dengan perkembangan zaman yang relatif tergantung pada perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi dengan kecenderungan berpengaruh pada anggota
masyarakat untuk segera dapat melakukan mobilitas baik secara vertikal maupun
horisontal.
Menurut Soekanto (1982),
selama dalam suatu masyarakat ada sesuatu yang dihargai, dan setiap masyarakat
mempunyai sesuatu yang berharga, maka hal ini akan menjadi bibit yang dapat menumbuhkan
adanya sistem pelapisan dalam masyarakat. Sesuatu yang dihargai didalam
masyarakat itu mungkin berupa uang atau benda-benda yang bernilai ekonomis,
mungkin juga berupa tanah, kekuasaan, ilmu pengetahuan, kesolehan dalam
beragama atau mungkin juga keturunan dari keluarga yang terhormat.
Menurut JW.Schoorl (1980) bahwa kelompok-kelompok yang
berbeda-beda masing-masing mempunyai kekuatan, kekayaan dan wibawa yang
berlainan. Beliau mengartikan stratifikasi sebagai proses atau struktur yang
timbul dan tersusun menjadi lapisan-lapisan yang berbeda menurut besarnya
prestise atau kekayaan dan kekuatan.
Sesuai uraian diatas oleh Abu Ahmadi (1991) mengatakan bahwa
stratifikasi terjadi disegala lapisan masyarakat hanya saja jarak tingkatan
yang satu dengan yang lain tidak begitu nampak. Misalnya dalam masyarakat
primitif dikenal adanya dukun, kepala suku dan lain-lain sedang di masyarakat
Amerika stratifikasi nampak dalam tiga golongan masyarakat seperti;
upper class, middle class, dan lower class atau di India Brahmana, Ksatria,
Waisa dan Sudra. Masing-masing golongan dilihat oleh Ahmadi mempunyai
sifat-sifat dan cara-cara berhubungan yang berbeda-beda.
Menyangkut pokok-pokok pedoman tentang proses terjadinya
stratifikasi dalam masyarakat menurut J.R.Robin Williams dalam Abdul Syani
(1995) mengatakan :
a)
Sistem
stratifikasi sosial mungkin berpokok pada sistem pertentangan dalam masyarakat.
Sistem demikian hanya mempunyai arti yang khusus bagi masyarakat-masyarakat
tertentu yang menjadi objek penyelidikan.
b)
Sistem
stratifikasi sosial dapat dianalisis dalam ruang lingkup unsur-unsur sebagai
berikut:
1. Distribusi hak-hak istimewa
yang objektif seperti penghasilan, kekayaan, keselamatan (kesehatan, laju angka
kejahatan), wewenang dan sebagainya.
2. Sistem pertentangan yang
diciptakan warga masyarakat (prestige dan penghargaan).
3. Kriteria sistem
pertentangan, yaitu apakah didapatkan berdasarkan kualitas pribadi, keanggotaan
kelompok kerabat tertentu, milik, wewenang atau kekuasaan;
4. Lambang-lambang status,
seperti tingkah laku hidup, cara berpakaian, perumahan, keanggotaan pada suatu
organisasi dan sebagainya;
5. Mudah atau sukarnya
bertukar status;
6. Solidaritas
diantara individu-individu atau kelompok-kelompok sosial yang menduduki status
yang sama dalam sistem sosial masyarakat :
Faktor utama yang mendorong
terjadinya pelapisan dalam masyarakat adalah karena tidak ada keseimbangan
dalam pembagian hak-hak dan kewajiban-kewajiban, kewajiban-kewajiban dan tanggung
jawab nilai-nilai sosial dan pengaruhnya diantara anggota-anggota
masyarakat. Sistem pelapisan sosial dalam masyarakat ada yang bersifat terbuka
dan ada yang bersifat tertutup. Pelapisan sosial yang terbuka kemungkinan
anggota masyarakat dapat untuk berpindah dari status satu ke status lainnya
berdasarkan usaha-usaha tertentu. Sistem pelapisan terbuka lebih dinamis, dan
anggota-anggotanya selalu mengalami kehidupan yang tegang dan was-was, lantaran
didalam memperjuangkan cita-citanya itu selalu bersaing dan berebut kesempatan
untuk naik status yang jumlahnya relatif terbatas, sebagai akibatnya banyak
anggota masyarakat yang mangalami goncangan dan konflik antar sesama.
Pada sistem pelapiasan sosial yag tertutup terdapat pembatasan
kemungkinan untuk pindah dari status satu ke status yang lainnya dalam
masyarakat. Dalam sistem ini, satu-satunya kemungkian untuk dapat masuk pada
status tinggi dan terhormat dalam masyarakat adalah karena kelahiran dan
keturunan. Hal ini jelas dapat diketahui dari kehidupan masyarakat yang
mengagungkan kasta seperti India misalnya; atau dalam kehidupan masyarakat yang
masih mengagungkan paham feodalisme, atau dapat pula terjadi pada suatu
masyarakat dimana statusnya ditentukan atas dasar ukuran perbedaan ras dan suku
bangsa.
3. Tingkatan dalam Masyarakat
Stratifikasi
sosial (Sosial Stratification) atau klasifikasi masyarakat merupakan pembedaan
penduduk atau masyarakat kedalam kelas-kelas secara bertingkat (secara
hierarkhis).
Sorokin
dalam Abdul Syani (1994) memperinci ciri umum adanya pelapisan dalam masyarakat
kedalam beberapa bagian, yaitu :
1. Pemilikan atas kekayaan
yang bernilai ekonomis dalam berbagai bentuk dan ukuran; artinya strata dalam
kehidupan masyarakat dapat dilihat dari nilai kekayaan seseorang dalam
masyarakat.
2. Status atas dasar fungsi
dalam pekerjaan, misalnya sebagai dokter, dosen, buruh atau pekerja teknis dan
sebagainya semua ini sangat menentukan status seseorang dalam masyarakat.
3. Kesolehan seseorang dalam
beragama, jika seseorang sungguh-sungguh penuh dengan ketulusan dalam
menjalankan agamanya, maka status seseorang tadi akan dipandang lebih tinggi
oleh masyarakat.
4.
Status
atas dasar keturunan, artinya keturunan dari orang yang dianggap terhormat
(ningrat) merupakan ciri seseorang yang memiliki status tinggi dalam
masyarakat.
Proses terbentuknya masyarakat Indonesia ini merupakan bagian
dari kajian sistem budaya Indonesia yang memiliki lokus masyarakat Indonesia.
Apakah masyarakat itu? Masyarakat dapat didefinisikan sebagai kumpulan individu
dan lembaga yang terorganisir, yang dibatasi oleh satu wilayah yang sama, yang
merupakan subyek dari satu otoritas politik, dan terorganisasikan sedemikian
rupa melalui nilai-nilai serta cita-cita bersama.
Menurut Kimmel and Aronson, maksud dari kumpulan individu dan lembaga yang yang
terorganisir adalah, masyarakat bukan merupakan kumpulan acak melainkan
kumpulan yang sengaja dibentuk serta diorganisir. Masyarakat tidak hanya
terdiri atas individu, melainkan juga lembaga-lembaga seperti keluarga, agama,
pendidikan, atau perekonomian. Masyarakat dibatasi oleh satu wilayah yang sama,
yang berarti masyarakat sungguh-sungguh menempati suatu tempat, memiliki eksistensi
nyata, bukan sebuah gagasan imajinatif
Masyarakat juga harus merupakan subyek otoritas politik yang sama, yang
bermakna setiap orang di satu lokasi tertentu tersebut (masyarakat) agar dapat
disebut satu kesatuan, setiapnya harus merupakan subyek dari peraturan
(regulasi) yang sama. Sementara itu, kumpulan individu yang terorganisir
tersebut memiliki cita-cita serta nilai-nilai bersama bermakna bahwa setiap
anggota masyarakat mengakui dan mempraktekkan nilai-nilai konsensual serupa
sekaligus memiliki cita-cita ataupun tujuan hidup yang secara umum juga serupa.
Masih menurut Kimmel and Aronson, masyarakat tidak sekonyong-konyong ada.
Masyarakat sengaja diciptakan baik melalui metode bottom-up maupun
up-to-bottom. Individu-individu dan lembaga-lembaga di dalam masyarakat saling
berinteraksi satu sama lain yang menyebabkan masyarakat juga dikatakan sebagai
sekumpulan interaksi sosial yang terstruktur.
Terstruktur mengartikan bahwa setiap tindakan individu ketika berinteraksi
dengan sesamanya tidaklah terjadi bergerak di ruang vakum karena terjadi dalam
konteks sosial. Misalnya, interaksi tersebut berlangsung di dalam komunitas
keluarga, kelompok keagamaan, hingga negara. Masing-masing konteks membutuhkan
perilaku yang spesifik, berbeda-beda. Namun, keseluruhan interaksi tersebut
diikat oleh norma serta dimotivasi oleh nilai-nilai yang diakui secara bersama.
Kata sosial mengacu pada fakta bahwa tidak ada individu dalam masyarakat yang
hidup sendiri. Individu selalu hidup di dalam keluarga, kelompok, dan jaringan.
Kata interaksi mengacu pada cara berperilaku disaat berhubungan dengan orang
lain. Akhirnya, dapat dikatan bahwa masyarakat diikat melalui struktur sosial.
Perilaku hubungan ini berbeda antara masyarakat satu dengan masyarakat lain.
Konsep-konsep yang juga terkandung di dalam masyarakat – selain yang sudah
disebutkan – adalah sosialisasi, peran, status, kelompok, jaringan, organisasi,
dan lembaga.
Berdasarkan definisi seperti dikemukakan Kimmel and Aronson, Indonesia
merupakan sebuah masyarakat. Kumpulan individu yang ada di 33 provinsi di
Indonesia adalah masyarakat Indonesia. Mereka ini terorganisir melalui
struktur-struktur sosial yang dikembangkan baik oleh komunitas-komunitas adat
setempat, pemerintah lokal, juga pemerintah pusat. Di masing-masing wilayah,
terdapat lembaga-lembaga kemasyarakatan yang bervariasi, yang berkisar pada
lembaga keluarga, pendidikan, ekonomi, atau agama.
Batasan antara masyarakat Indonesia dengan Timor Leste (misalnya) jelas dan
spesifik dan bahkan dilegalisasi oleh hukum internasional. Setiap individu di
dalam wilayah Indonesia tunduk pada regulasi dari pemerintah pusat maupun
pemerintah lokal di masing-masing wilayah. Pengharapan-pengharapan serta
nilai-nilai bersama telah dikembangkan dalam konstitusi Negara Kesatuan
Republik Indonesia (UUD 1945) yang sifatnya mengikat, sementara nilai-nilai
bersama Indonesia dikodifikasi dalam bingkai Pancasila.
Pandangan yang lebih sistemik atas konsep masyarakat Indonesia
tentu harus dianalisis lebih lanjut. Masyarakat Indonesia adalah sebuah konsep
yang sangat luas dan sangat tidak sederhana. Indonesia awalnya adalah sebuah
konsep yang sengaja diciptakan. Secara kuantitatif, masyarakat Indonesia
terbentuk atas sub-sub masyarakat (masyarakat di masing-masing daerah). Secara
kualitatif, konsep Indonesia merupakan peleburan interaksi dari
masyarakat-masyarakat daerah, yang meliputi garis ras, etnis, dan agama.
Sebelum Indonesia terbentuk, di setiap wilayah yang kini masuk ke dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia bahkan telah mengembangkan konsep sendiri-sendiri
mengenai masyarakat politiknya. Penggabungan masyarakat-masyarakat ini ke dalam
konsepsi masyarakat Indonesia jelas bukan hal mudah. Proses kuantitatif
(pemekaran wilayah) dan kualitatifnya (integrasi masyarakat) masih berlangsung
hingga saat tulisan ini dibuat.
Genealogi Masyarakat Indonesia
Kajian sistem budaya Indonesia tidak akan lengkap tanpa sebelumnya terlebih
dahulu dibahas garis besar mengenai genealogi konsep Indonesia. Kajian
dititikberatkan pada aspek genealogi istilah Indonesia, ditinjau dari
faktor-faktor geografis, demografis, sosiologis, dan politis negara ini. Selain
itu, perlu pula dicarikan definisi yang memadai seputar ras dan etnik untuk
memudahkan analisis seputar kemunculan budaya dari orang-orang yang disebut
Indonesia. Untuk keperluan analisis atas genealogi masyarakat Indonesia ini ada
baiknya dijelaskan terlebih dahulu konsep-konsep ras, etnis, dan nasionalisme.
Ras. Definisi ras (race)
adalah sistem simbol dan kepercayaan yang menekankan pada relevansi
karakteristik-karakteristik sosial dan budaya berdasarkan aspek biologis.
Definisi lain dari ras adalah “ ... kategori yang dikonstruksi secara sosial
mengenai orang-orang yang punya sifat-sifat yang diturunkan secara biologis
yang oleh para anggota suatu masyarakat dinilai sebagai penting.” Orang biasa
membedakan ras berdasarkan karakteristik biologis seperti warna kulit, bentuk
wajah, bentuk rambut, dan atau bentuk tubuh.
Masyarakat Amerika Serikat cenderung memisahkan ras menjadi
white, black, asia, atau hispanik. Masyarakat di Brasil cenderung memisahkannya
menjadi branca (kulit putih), parda (kulit coklat), morena (brunette), mulata
(mulato), preta (kulit hitam), dan amarela (kulit kuning). Namun, cara pandang
antar ras pun berbeda.
Orang berkulit putih di Amerika Serikat cenderung melihat orang kulit hitam
memiliki warna kulit yang lebih gelap ketimbang orang kulit hitam yang satu
memandang orang kulit hitam lain. Dengan demikian, ras dapat dikatakan sebagai
konsep yang dikonstruksi secara sosial ketimbang murni bersifat biologis,
kendati determinisme biologis ini kerap dijadikan acuan utama cara pandang
mengenai ras.
Ras, sebagai alat analisis, sesungguhnya bersifat delutif’
karena sifat-sifat obyektifnya bisa mengecoh, akibat hanya didasarkan atas
karakteristik-karakteristik fisik seorang individu.
Delusi akibat konsep ras muncul misalnya tatkala seorang lelaki kulit putih
melakukan perkawinan dengan perempuan kulit hitam dan mempunyai anak. Anak
mereka lalu melakukan perkawinan dengan seorang Asia (Cina, misalnya). Lalu,
anak dari anak mereka ini (cucu) melakukan perkawinan dengan seorang parda di
Brasil. Bagaimana menentukan ras anak dari cucu mereka tersebut?
Etnis. Jika ras
dikonstruksi secara biologi, maka etnis dikonstruksi secara sosial. Etnis
adalah kategorisasi sosial berdasarkan bahasa dasar, agama, kebangsaan, dan
gagasan kepemilikan budaya bersama. Dengan demikian, etnis lebih merujuk pada
karakteristik suatu kelompok sosial yang didasarkan pada identitas bersama.
Identitas bersama tersebut dapat berakar pada budaya, sejarah, agama, maupun
tradisi bersama.
Ras dan etnis adalah dua konsep berbeda. Konsep etnis bergerak dalam alur
determinisme sosial, sementara konsep ras bergerak dalam alur determinisme
biologis. Dalam konsep etnis, dapat saja suatu etnis minoritas melakukan
asimilasi terhadap budaya etnis mayoritas sehingga etnis minoritas tersebut
mengalami pembauran menjadi etnis tunggal. Namun, dalam konsep ras, karena
determinisme-nya biologi, proses asimilasi tersebut sukar dilakukan kecuali
melalui proses evolusi yang mengakibatkan ciri-ciri fisik sekelompok orang
menjadi sama dengan ciri-ciri fisik kelompok lainnya. Konsep etnis bersifat
lebih longgar ketimbang ras karena sifat sosialnya ini. Penulis akan
memperlihatkan etnis-etnis yang ada di Indonesia, yang ternyata sangat beragam
tetapi ternyata memiliki sejumlah kesamaan secara parsial.
Minoritas. Minoritas
didefinisikan sebagai kategori manusia yang dibedakan menurut perbedaan fisik
atau budaya yang dianggap oleh suatu masyarakat lain sebagai terpisah ataupun
subordinat. Seperti dikatakan oleh definisi, minoritas bisa didasarkan pada
aspek fisik dan budaya ataupun gabungan antara keduanya. Minoritas punya dua
karakteristik, yaitu : (1) mereka saling berbagi identitas unik, yang bisa saja
didasarkan atas ciri budaya ataupun fisik, dan (2) minoritas selalu mengalami
subordinasi oleh kelompok lain yang lebih dominan (mayoritas).
Hubungan minoritas dan mayoritas di Indonesia tidak selalu berjalan harmonis.
Persoalan kemudian terletak pada interaksi-simbolik yang terbangun antara
kelompok minoritas dan mayoritas serta prejudis-prejudis (termasuk
stereotip-stereotip) yang muncul dan membayangi hubungan yang muncul antara
keduanya. Pola-pola hubungan minoritas-mayoritas berbeda-beda di tiap provinsi
Indonesia bergantung pada kuantitas masing-masing etnis, jenis etnis yang
berhubungan, serta kondisi-kondisi sosial, politik, dan ekonomi yang
melingkupi. Hal ini menjelaskan mengapa hubungan antara minoritas-mayoritas di
provinsi Indonesia yang satu berbeda dengan hubungan di provinsi lainnya.
Nasionalisme.
Nasionalisme adalah konsep yang mengkombinasikan perasaan identifikasi dengan
orang, ideologi (yang menjelaskan kesamaan sejarah dan nasib), serta gerakan
sosial (yang ditujukan untuk mencapai tujuan bersama berdasarkan ideologi).
Nasionalisme kerap bertumpang-tindih dengan konsep ras dan etnis. Hitler,
misalnya, membangun nasionalisme Jerman berdasarkan ras, yaitu ras Arya. Etnis
Tamil di Srilangka berupaya mendirikan kebangsaan sendiri berdasarkan etnis
Tamil karena merasa diopresi oleh Sinhala, etnis mayoritasnya. Aceh, di
Indonesia, oleh kelompok Gerakan Aceh Merdeka-nya (dahulu) berupaya
memerdekakan diri dari Republik Indonesia berdasarkan etnis Aceh akibat
ketimpangan ekonomi, Belgia membangun negaranya berdasarkan dua bangsa: Belanda
dan Perancis, atau etnis Catalan dan Basque di Spanyol terus terlibat dalam
hubungan yang rumit dalam menyepakati nasionalisme Spanyol.
Berbeda dengan konsep ras dan etnis, konsep nasionalisme memiliki prasyarat
ideologi, gerakan sosial, dan gerakan politik. Nasionalisme, dengan demikian
dapat saja mendasarkan diri pada konsep ras ataupun etnis. Indonesia adalah
contoh dari nasionalisme ini. Etnis-etnis, ras-ras, yang mengalami penjajahan
Belanda di sekujur kepulauan Hindia, secara politik dinyatakan memiliki nasib
yang sama dan sebab itu, secara ideologis merupakan satu bangsa seperti bunyi
Soempah Pemoeda 1928 yaitu: (1) Berbangsa Satoe, Bangsa Indonesia; (2) Bertanah
Air Satoe, Tanah Air Indonesia; dan (3) Berbahasa Satoe, Bahasa Indonesia.
Ketiga sumpah ini adalah sumpah nasionalisme, wujud dari gerakan politik dalam
menentang kekuasaan kerajaan Belanda atas wilayah-wilayah disekujur kepulauan
Hindia. Sumpah politik tersebut sekaligus mengatasi perbedaan garis etnis,
agama, dan ras yang tersebar di antara elemen-elemen bangsa Indonesia.
Genealogi Konsep Masyarakat Indonesia
Konsep Indonesia merupakan campuran dari aneka gagasan dalam bidang politik,
sosiologi, ekonomi, budaya, sejarah, bahkan post-colonialism. Sebelum Indonesia
yang dikenal kini, konsep Indonesia sebagai sebuah bangsa awalnya tidak ada.
Jika kita lihat peta, maka Indonesia terdiri atas rangkaian pulau yang tersebar
dari Sabang yang paling Barat hingga daerah Merauke di paling Timur. Dari
Sangir di paling Utara hingga Timor di paling Selatan. Hampir di setiap wilayah
di kisaran pulau tersebut dihuni masyarakat berbeda, dengan budaya yang berbeda
pula. Lalu, apa yang bisa dikatakan sebagai budaya Indonesia?
Indonesia awalnya adalah sebuah gagasan. Gagasan kesatuan yang abstrak, yang
meliputi wilayah jajahan Belanda. Gagasan yang kiranya masih baru dan terus
mengalami perubahan dan adaptasi hingga saat ini. Gagasan yang kerap menghadapi
sejumlah penolakan, separatisme, dan dekonstruksi ideologi hingga saat ini.
Dari gagasan ini maka kajian sistem sosial dan budaya Indonesia berawal.
Indonesia adalah sebuah negara dengan hampir 18.000 pulau yang
tersebar di antara benua Asia dan Australia. Hampir setiap pulau dihuni oleh
etnis dengan budaya yang spesifik. Satu sama lain berbeda. Lalu, bagaimana
mereka bisa mengikatkan diri ke dalam sebuah nation?
Menurut R.E. Elson, kata Indonesia pertama kali digagas oleh George Samuel
Windsor Earl, pengamat sosial dari Inggris tahun 1850. Kata yang ia gagas
adalah Indu-nesians. Saat itu Earl mencari istilah etnografis guna
mengkategorisasi cabang ras Polinesia yang menghuni kepulauan Hindia (kepulauan
kini Indonesia yang dibawah jajahan Belanda). Atau, istilah untuk menggambarkan
ras-ras kulit coklat di Kepulauan Hindia. Namun, setelah menciptakan istilah
Indu-Nesians, Earl langsung batal menggunakannya akibat terlalu umum lalu
menggantinya dengan Malayunesians.
Rekan Earl bernama James Logan, mengabaikan sikap Earl dan memutuskan bahwa
Indu-Nesian (kemudian disebut Indonesian) tetap lebih tepat ketimbang
Malayunesians. Indonesian, bagi Logan, lebih menjelaskan istilah geografis
bukan etnografis. Logan menyebut bahwa kata Indonesian adalah pemendekan dari
istilah geografis Indian Archipelagian. Sebab itu, Logan merupakan orang
pertama yang menggunakan istilah yang mendekati kata Indonesia.
Tahun 1877, E.T. Hamy, antropolog Perancis, menggunakan kata Indonesia untuk
menjabarkan kelompok-kelompok ras prasejarah dan pra-Melayu tertentu di
kepulauan Indonesia. Tahun 1880, antropolog Britania, A.H. Keane, mengikuti
penggunaan Hamy. Di tahun yang sama, istilah Indonesia dalam pengertian
geografis juga digunakan oleh ahli bahasa Britania, N.B. Dennys. Lalu di tahun
1882, Sir William Edward Maxwell, administrator kolonial dan ahli bahasa Melayu
dari Britania mengikuti praktek Dennys.
Penggunaan istilah Indonesia lalu meluas. Adolf Bastian, etnograf Jerman,
menggunakan kata Indonesia dalam 5 jilid karyanya berjudul Indonesien order die
Inseln des Malayischen Archipel. Karya tersebut terbit tahun 1884-1894. Bastian
ini memiliki reputasi ilmiah yang tinggi. Sebab itu, kata Indonesia lalu lebih
dihormati serta digunakan secara lebih luas.
Pada September 1885, G.A. Wilken, seorang etnograf dan mantan pejabat Hindia
Belanda (sekaligus profesor di Universitas Leiden Belanda) juga menggunakan
istilah Indonesia. Wilken ini menggunakan istilah Indonesia secara geografis,
sama seperti James Logan sebelumnya.
Para perkembangan kemudian, istilah Indonesia tidak lagi merujuk pada aspek
geografis. Istilah itu juga kerap dipakai dalam konteks etnis dan budaya. Sejak
karya Adolf Bastian, istilah Indonesia juga berfungsi menjabarkan suatu kawasan
yang dihuni orang-orang dengan ciri etnis dan budaya yang mirip. Ciri tersebut
meliputi bahasa, fisik, dan adat. Indonesia adalah kata sifat yang digunakan
untuk mewakili sifat-sifat tersebut. Sementara kata Indonesian adalah
orang-orang dengan ciri-ciri umum seperti itu, yang juga kadang digunakan untuk
melukiskan penghuni pulau Madagaskar hingga Formosa. Indonesia adalah kata guna
melukiskan tempat-tempat yang mereka huni.
Menurut Elson, aspek pertama gagasan Indonesia sebagai wilayah politik
diutarakan pejabat Belanda. Pada tahun 1909, J.B. Van Heutsz, seorang Gubernur
Jenderal Hindia Belanda menyatakan bahwa Belanda telah meluaskan otoritasnya
hingga seluruh penjuru terjauh Nusantara. Monumen peringatan peristiwa tersebut
didirikan tahun 1932 dan kini terletak di kompleks Masjid Cut Meutia, Menteng,
Jakarta.
Aspek kedua munculnya Indonesia sebagai gagasan politik adalah integrasi
horisontal seluruh wilayah Indonesia. Integrasi ini tercipta akibat
perkembangan-perkembangan sarana berikut:
- angkutan,
terutama rel kereta api dan jalan di Jawa serta jalur laut yang dibangun
perusahaan perkapalan Belanda, Koninklijk Paketwaart maatschappij;
- kesaman
mata uang;
- sistem
administratif, pajak, dan hukum yang terpusat; dan
- wilayah-wilayah
seperti Yogyakarta, Makassar, Medan, bahkan Kupang tidak bisa lagi
dikatakan terisolasi dari pusat (Batavia/Jakarta).
No comments:
Post a Comment