Thursday, August 26, 2021

Tugas Makalah Sosiologi “Proses Pembentukan Masyarakat

 

Tugas Makalah Sosiologi
“Proses Pembentukan Masyarakat”

 

 

 

Kelompok 3

1.    Gede Ferry Setiawan           (28.0962)

2.    Habib Siraj                             (28.0184)

3.    Jasri Yusuf                            (28.1514)

4.    Jatmika Aji C. Nugraha        (28.0912)

5.    Michael M. V. Tahalele        (28.1286)

 

 

 

 

 

INSTITUT PEMERINTAHAN DALAM NEGERI

JATINANGOR

2018

 

BAB I
PENDAHULUAN



Latar Belakang
Realitas sosial terbentuknya sebuah masyarakat adalah konsekuensi lanjutan dari terbentuknya komunitas. Artinya adanya masyarakat hukum yang kemudian membentuk batas-batas wilayah hukum berasal mulai dari eksisnya sebuah komunitas sosial sebelumnya yang dalam kekinian disebut sebagai masyarakat adat.
Aspek terpenting yang harus diketahui dan disadari oleh pihak-pihak yang ingin memahami permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat adalah kenyataan tentang keragaman mereka. Keragaman ini dapat dilihat dari segi budaya, agama dan atau kepercayaan, serta organisasi ekonomi dan sosial.
Di Indonesia, kita seharusnya merasa beruntung dengan adanya masyarakat-masyarakat adat yang barangkali berjumlah ribuan kelompok. Keberadaan mereka merupakan suatu kekayaan bangsa karena artinya ada lebih dari seribu ragam ilmu pengetahuan yang telah dikembangkan. Ada lebih dari seribu bahasa yang telah dimanfaatkan dan dapat membantu pengembangan khasanah bahasa Indonesia dan masih banyak lagi hal lain yang bisa mereka sumbangkan.

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

Pemgertian Masyarakat, Proses Terbentuknya

Dan Tingkatannya

 

1.     Pengertian Masyarakat

Alvin L. Bertrand (1980) mendefinisikan masyarakat sebagai suatu kelompok yang sama identifikasinya, teratur sedemikian rupa di dalam menjalankan segala sesuatu yang diperlukan bagi hidup bersama secara harmonis. Lebih lanjut Bertrand menyebutkan tiga ciri masyarakat;

·         Pertama pada masyarakat mesti terdapat sekumpulan individu yang jumlahnya cukup besar.

·         Kedua individu-individu tersebut harus mempunyai hubungan yang melahirkan kerjasama diantara mereka, minimal pada suatu tingkatan interahsi.

·         Ketiga hubungan individu-individu sedikit banyak harus permanen sifatnya.

Sejalan dengan hal ini Soleman B. Taneko (1984) mengatakan bahwa masyarakat adalah suatu pergaulan hidup, oleh karena manusia itu hidup bersama.

Mengikuti pendapat Soerjono Soekanto (1982) bahwa masyarakat bukan sekedar kumpulan manusia semata tanpa ikatan, akan tetapi terdapat hubungan fungsional antara satu sama lainnya. Setiap individu mempunyai kesadaran akan keberadaannya ditengah-tengah individu yang lainnya. Sistem pergaulan didasarkan kebiasaan atau lembaga kemasyarakatan yang hidup dalam masyarakat yang bersangkutan. Sejalan dengan hal ini oleh Mac Iver sesuai kutipan Harsodjo (1972)  di dalam masyarakat terdapat suatu sistem cara kerja dan prosedur dari pada otoritas dan saling bantu membantu yang meliputi kelompok-kelompok dan pembagian sosial lain, sistem dari pengawasan tingkah laku manusia dan kebebasan.

 

2.     Terbentuknya Masyarakat

Sejalan dengan pemahaman masyarakat diatas maka menurut teori sibernetik tentang General System Of Action (Ankie M.M.. Hoogvelt : 1985) menjelaskan bahwa suatu masyarakat akan dapat dianalisis dari sudut syarat-syarat fungsionalnya yaitu .

`     1)      Fungsi mempertahankan pola (Pettern Maintenance)

Fungsi ini berkaitan dengan hubungan antara masyarakat sebagai sistem sosial dengan sub sistem kebudayaan. Hal itu berarti mempertahankan prinsip-prinsip tertinggi dari masyarakat, oleh kerena diorientasikan realitas yang terakhir.

 

2)      Fungsi integrasi

Yang mana mencakup jaminan terhadap koordinasi yang diperlukan antara unit-unit dari suatu sistem sosial, khususnya yang berkaitan dengan kontribusinya pada organisasi dan peranannya dalam keseluruhan sistem.

 

3)      Fungsi pencapaian tujuan (Goal Attaindment),

Hal ini menyangkut hubungan antara masyarakat sebagai sistem sosial dengan sub sistem aksi kepribadian. Fungsi ini menyangkut penentuan tujuan-tujuan yang sangat penting bagi masyarakat, mobilisasi warga masyarakat untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut.

 

 

4)      Fungsi adaptasi

Yang menyangkut hubungan antara masyarakat sebagai sistem sosial dengan sub sistem organisme perilaku dan dengan dunia fisik organik. Hal ini secara umum menyangkut penyesuaian masyarakat terhadap kondisi-kondisi dari lingkungan hidupnya.

Seperti diketahui bahwa salah satu kekuatan yang dapat mendorong keterbukaan seseorang untuk melakukan perubahan dan perbaikan kehidupannya adalah karena lemahnya ikatan sosial budaya lingkungan sekitar. Dalam hal ini menurut Abdul Syani (1995) nilai-nilai sosial budaya masyarakat setempat tidak mampu memenuhi berbagai kepentingan masyarakat sesuai dengan perkembangan zaman yang relatif tergantung pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan kecenderungan berpengaruh pada anggota masyarakat untuk segera dapat melakukan mobilitas baik secara vertikal maupun horisontal.

Menurut Soekanto (1982), selama dalam suatu masyarakat ada sesuatu yang dihargai, dan setiap masyarakat mempunyai sesuatu yang berharga, maka hal ini akan menjadi bibit yang dapat menumbuhkan adanya sistem pelapisan dalam masyarakat. Sesuatu yang dihargai didalam masyarakat itu mungkin berupa uang atau benda-benda yang bernilai ekonomis, mungkin juga berupa tanah, kekuasaan, ilmu pengetahuan, kesolehan dalam beragama atau mungkin juga keturunan dari keluarga yang terhormat.

Menurut JW.Schoorl (1980) bahwa kelompok-kelompok yang berbeda-beda masing-masing mempunyai kekuatan, kekayaan dan wibawa yang berlainan. Beliau mengartikan stratifikasi sebagai proses atau struktur yang timbul dan tersusun menjadi lapisan-lapisan yang berbeda menurut besarnya prestise atau kekayaan dan kekuatan.

Sesuai uraian diatas oleh Abu Ahmadi (1991) mengatakan bahwa  stratifikasi terjadi disegala lapisan masyarakat hanya saja jarak tingkatan yang satu dengan yang lain tidak begitu nampak. Misalnya dalam masyarakat primitif dikenal adanya dukun, kepala suku dan lain-lain sedang di masyarakat Amerika  stratifikasi  nampak dalam tiga golongan masyarakat seperti; upper class, middle class, dan lower class atau di India Brahmana, Ksatria, Waisa dan Sudra. Masing-masing golongan dilihat oleh Ahmadi mempunyai sifat-sifat dan cara-cara berhubungan yang berbeda-beda.

Menyangkut pokok-pokok pedoman tentang proses terjadinya stratifikasi dalam masyarakat menurut J.R.Robin Williams dalam Abdul Syani (1995) mengatakan :

a)      Sistem stratifikasi sosial mungkin berpokok pada sistem pertentangan dalam masyarakat. Sistem demikian hanya mempunyai arti yang khusus bagi masyarakat-masyarakat tertentu yang menjadi objek penyelidikan.

b)      Sistem stratifikasi sosial dapat dianalisis dalam ruang lingkup unsur-unsur sebagai berikut:

1.      Distribusi hak-hak istimewa yang objektif seperti penghasilan, kekayaan, keselamatan (kesehatan, laju angka kejahatan), wewenang dan sebagainya.

2.      Sistem pertentangan yang diciptakan warga masyarakat (prestige dan penghargaan).

3.      Kriteria sistem pertentangan, yaitu apakah didapatkan berdasarkan kualitas pribadi, keanggotaan kelompok kerabat tertentu, milik, wewenang atau kekuasaan;

4.      Lambang-lambang status, seperti tingkah laku hidup, cara berpakaian, perumahan, keanggotaan pada suatu organisasi dan sebagainya;

5.      Mudah atau sukarnya bertukar status;

6.        Solidaritas diantara individu-individu atau kelompok-kelompok sosial yang menduduki status yang sama dalam sistem sosial masyarakat :

Faktor utama yang mendorong terjadinya pelapisan dalam masyarakat adalah karena tidak ada keseimbangan dalam pembagian hak-hak dan kewajiban-kewajiban, kewajiban-kewajiban dan tanggung jawab nilai-nilai sosial dan pengaruhnya diantara anggota-anggota masyarakat.  Sistem pelapisan sosial dalam masyarakat ada yang bersifat terbuka dan ada yang bersifat tertutup. Pelapisan sosial yang terbuka kemungkinan anggota masyarakat dapat untuk berpindah dari status satu ke status lainnya berdasarkan usaha-usaha tertentu. Sistem pelapisan terbuka lebih dinamis, dan anggota-anggotanya selalu mengalami kehidupan yang tegang dan was-was, lantaran didalam memperjuangkan cita-citanya itu selalu bersaing dan berebut kesempatan untuk naik status yang jumlahnya relatif terbatas, sebagai akibatnya banyak anggota masyarakat yang mangalami goncangan dan konflik antar sesama.

Pada sistem pelapiasan sosial yag tertutup terdapat pembatasan kemungkinan untuk pindah dari status satu ke status yang lainnya dalam masyarakat. Dalam sistem ini, satu-satunya kemungkian untuk dapat masuk pada status tinggi dan terhormat dalam masyarakat adalah karena kelahiran dan keturunan. Hal ini jelas dapat diketahui dari kehidupan masyarakat yang mengagungkan kasta seperti India misalnya; atau dalam kehidupan masyarakat yang masih mengagungkan paham feodalisme, atau dapat pula terjadi pada suatu masyarakat dimana statusnya ditentukan atas dasar ukuran perbedaan ras dan suku bangsa.

 

 

3.     Tingkatan dalam Masyarakat

Stratifikasi sosial (Sosial Stratification) atau klasifikasi masyarakat merupakan pembedaan penduduk atau masyarakat kedalam kelas-kelas secara bertingkat (secara hierarkhis).

Sorokin dalam Abdul Syani (1994) memperinci ciri umum adanya pelapisan dalam masyarakat kedalam beberapa bagian, yaitu :

1.      Pemilikan atas kekayaan yang bernilai ekonomis dalam berbagai bentuk dan ukuran; artinya strata dalam kehidupan masyarakat dapat dilihat dari nilai kekayaan seseorang dalam masyarakat.

2.      Status atas dasar fungsi dalam pekerjaan, misalnya sebagai dokter, dosen, buruh atau pekerja teknis dan sebagainya semua ini sangat menentukan status seseorang dalam masyarakat.

3.      Kesolehan seseorang dalam beragama, jika seseorang sungguh-sungguh penuh dengan ketulusan dalam menjalankan agamanya, maka status seseorang tadi akan dipandang lebih tinggi oleh masyarakat.

4.      Status atas dasar keturunan, artinya keturunan dari orang yang dianggap terhormat (ningrat) merupakan ciri seseorang yang memiliki status tinggi dalam masyarakat.

 

 

Proses terbentuknya masyarakat Indonesia ini merupakan bagian dari kajian sistem budaya Indonesia yang memiliki lokus masyarakat Indonesia. Apakah masyarakat itu? Masyarakat dapat didefinisikan sebagai kumpulan individu dan lembaga yang terorganisir, yang dibatasi oleh satu wilayah yang sama, yang merupakan subyek dari satu otoritas politik, dan terorganisasikan sedemikian rupa melalui nilai-nilai serta cita-cita bersama.


Menurut Kimmel and Aronson, maksud dari kumpulan individu dan lembaga yang yang terorganisir adalah, masyarakat bukan merupakan kumpulan acak melainkan kumpulan yang sengaja dibentuk serta diorganisir. Masyarakat tidak hanya terdiri atas individu, melainkan juga lembaga-lembaga seperti keluarga, agama, pendidikan, atau perekonomian. Masyarakat dibatasi oleh satu wilayah yang sama, yang berarti masyarakat sungguh-sungguh menempati suatu tempat, memiliki eksistensi nyata, bukan sebuah gagasan imajinatif


Masyarakat juga harus merupakan subyek otoritas politik yang sama, yang bermakna setiap orang di satu lokasi tertentu tersebut (masyarakat) agar dapat disebut satu kesatuan, setiapnya harus merupakan subyek dari peraturan (regulasi) yang sama. Sementara itu, kumpulan individu yang terorganisir tersebut memiliki cita-cita serta nilai-nilai bersama bermakna bahwa setiap anggota masyarakat mengakui dan mempraktekkan nilai-nilai konsensual serupa sekaligus memiliki cita-cita ataupun tujuan hidup yang secara umum juga serupa.


Masih menurut Kimmel and Aronson, masyarakat tidak sekonyong-konyong ada. Masyarakat sengaja diciptakan baik melalui metode bottom-up maupun up-to-bottom. Individu-individu dan lembaga-lembaga di dalam masyarakat saling berinteraksi satu sama lain yang menyebabkan masyarakat juga dikatakan sebagai sekumpulan interaksi sosial yang terstruktur.


Terstruktur mengartikan bahwa setiap tindakan individu ketika berinteraksi dengan sesamanya tidaklah terjadi bergerak di ruang vakum karena terjadi dalam konteks sosial. Misalnya, interaksi tersebut berlangsung di dalam komunitas keluarga, kelompok keagamaan, hingga negara. Masing-masing konteks membutuhkan perilaku yang spesifik, berbeda-beda. Namun, keseluruhan interaksi tersebut diikat oleh norma serta dimotivasi oleh nilai-nilai yang diakui secara bersama. Kata sosial mengacu pada fakta bahwa tidak ada individu dalam masyarakat yang hidup sendiri. Individu selalu hidup di dalam keluarga, kelompok, dan jaringan. Kata interaksi mengacu pada cara berperilaku disaat berhubungan dengan orang lain. Akhirnya, dapat dikatan bahwa masyarakat diikat melalui struktur sosial.


Perilaku hubungan ini berbeda antara masyarakat satu dengan masyarakat lain. Konsep-konsep yang juga terkandung di dalam masyarakat – selain yang sudah disebutkan – adalah sosialisasi, peran, status, kelompok, jaringan, organisasi, dan lembaga.


Berdasarkan definisi seperti dikemukakan Kimmel and Aronson, Indonesia merupakan sebuah masyarakat. Kumpulan individu yang ada di 33 provinsi di Indonesia adalah masyarakat Indonesia. Mereka ini terorganisir melalui struktur-struktur sosial yang dikembangkan baik oleh komunitas-komunitas adat setempat, pemerintah lokal, juga pemerintah pusat. Di masing-masing wilayah, terdapat lembaga-lembaga kemasyarakatan yang bervariasi, yang berkisar pada lembaga keluarga, pendidikan, ekonomi, atau agama.


Batasan antara masyarakat Indonesia dengan Timor Leste (misalnya) jelas dan spesifik dan bahkan dilegalisasi oleh hukum internasional. Setiap individu di dalam wilayah Indonesia tunduk pada regulasi dari pemerintah pusat maupun pemerintah lokal di masing-masing wilayah. Pengharapan-pengharapan serta nilai-nilai bersama telah dikembangkan dalam konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia (UUD 1945) yang sifatnya mengikat, sementara nilai-nilai bersama Indonesia dikodifikasi dalam bingkai Pancasila. 

 

 

 

 

Pandangan yang lebih sistemik atas konsep masyarakat Indonesia tentu harus dianalisis lebih lanjut. Masyarakat Indonesia adalah sebuah konsep yang sangat luas dan sangat tidak sederhana. Indonesia awalnya adalah sebuah konsep yang sengaja diciptakan. Secara kuantitatif, masyarakat Indonesia terbentuk atas sub-sub masyarakat (masyarakat di masing-masing daerah). Secara kualitatif, konsep Indonesia merupakan peleburan interaksi dari masyarakat-masyarakat daerah, yang meliputi garis ras, etnis, dan agama. Sebelum Indonesia terbentuk, di setiap wilayah yang kini masuk ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia bahkan telah mengembangkan konsep sendiri-sendiri mengenai masyarakat politiknya. Penggabungan masyarakat-masyarakat ini ke dalam konsepsi masyarakat Indonesia jelas bukan hal mudah. Proses kuantitatif (pemekaran wilayah) dan kualitatifnya (integrasi masyarakat) masih berlangsung hingga saat tulisan ini dibuat.


Genealogi Masyarakat Indonesia


Kajian sistem budaya Indonesia tidak akan lengkap tanpa sebelumnya terlebih dahulu dibahas garis besar mengenai genealogi konsep Indonesia. Kajian dititikberatkan pada aspek genealogi istilah Indonesia, ditinjau dari faktor-faktor geografis, demografis, sosiologis, dan politis negara ini. Selain itu, perlu pula dicarikan definisi yang memadai seputar ras dan etnik untuk memudahkan analisis seputar kemunculan budaya dari orang-orang yang disebut Indonesia. Untuk keperluan analisis atas genealogi masyarakat Indonesia ini ada baiknya dijelaskan terlebih dahulu konsep-konsep ras, etnis, dan nasionalisme.


Ras. Definisi ras (race) adalah sistem simbol dan kepercayaan yang menekankan pada relevansi karakteristik-karakteristik sosial dan budaya berdasarkan aspek biologis. Definisi lain dari ras adalah “ ... kategori yang dikonstruksi secara sosial mengenai orang-orang yang punya sifat-sifat yang diturunkan secara biologis yang oleh para anggota suatu masyarakat dinilai sebagai penting.” Orang biasa membedakan ras berdasarkan karakteristik biologis seperti warna kulit, bentuk wajah, bentuk rambut, dan atau bentuk tubuh.

 

Masyarakat Amerika Serikat cenderung memisahkan ras menjadi white, black, asia, atau hispanik. Masyarakat di Brasil cenderung memisahkannya menjadi branca (kulit putih), parda (kulit coklat), morena (brunette), mulata (mulato), preta (kulit hitam), dan amarela (kulit kuning). Namun, cara pandang antar ras pun berbeda.


Orang berkulit putih di Amerika Serikat cenderung melihat orang kulit hitam memiliki warna kulit yang lebih gelap ketimbang orang kulit hitam yang satu memandang orang kulit hitam lain. Dengan demikian, ras dapat dikatakan sebagai konsep yang dikonstruksi secara sosial ketimbang murni bersifat biologis, kendati determinisme biologis ini kerap dijadikan acuan utama cara pandang mengenai ras.

 

Ras, sebagai alat analisis, sesungguhnya bersifat delutif’ karena sifat-sifat obyektifnya bisa mengecoh, akibat hanya didasarkan atas karakteristik-karakteristik fisik seorang individu.


Delusi akibat konsep ras muncul misalnya tatkala seorang lelaki kulit putih melakukan perkawinan dengan perempuan kulit hitam dan mempunyai anak. Anak mereka lalu melakukan perkawinan dengan seorang Asia (Cina, misalnya). Lalu, anak dari anak mereka ini (cucu) melakukan perkawinan dengan seorang parda di Brasil. Bagaimana menentukan ras anak dari cucu mereka tersebut?


Etnis. Jika ras dikonstruksi secara biologi, maka etnis dikonstruksi secara sosial. Etnis adalah kategorisasi sosial berdasarkan bahasa dasar, agama, kebangsaan, dan gagasan kepemilikan budaya bersama. Dengan demikian, etnis lebih merujuk pada karakteristik suatu kelompok sosial yang didasarkan pada identitas bersama. Identitas bersama tersebut dapat berakar pada budaya, sejarah, agama, maupun tradisi bersama.


Ras dan etnis adalah dua konsep berbeda. Konsep etnis bergerak dalam alur determinisme sosial, sementara konsep ras bergerak dalam alur determinisme biologis. Dalam konsep etnis, dapat saja suatu etnis minoritas melakukan asimilasi terhadap budaya etnis mayoritas sehingga etnis minoritas tersebut mengalami pembauran menjadi etnis tunggal. Namun, dalam konsep ras, karena determinisme-nya biologi, proses asimilasi tersebut sukar dilakukan kecuali melalui proses evolusi yang mengakibatkan ciri-ciri fisik sekelompok orang menjadi sama dengan ciri-ciri fisik kelompok lainnya. Konsep etnis bersifat lebih longgar ketimbang ras karena sifat sosialnya ini. Penulis akan memperlihatkan etnis-etnis yang ada di Indonesia, yang ternyata sangat beragam tetapi ternyata memiliki sejumlah kesamaan secara parsial.


Minoritas. Minoritas didefinisikan sebagai kategori manusia yang dibedakan menurut perbedaan fisik atau budaya yang dianggap oleh suatu masyarakat lain sebagai terpisah ataupun subordinat. Seperti dikatakan oleh definisi, minoritas bisa didasarkan pada aspek fisik dan budaya ataupun gabungan antara keduanya. Minoritas punya dua karakteristik, yaitu : (1) mereka saling berbagi identitas unik, yang bisa saja didasarkan atas ciri budaya ataupun fisik, dan (2) minoritas selalu mengalami subordinasi oleh kelompok lain yang lebih dominan (mayoritas).


Hubungan minoritas dan mayoritas di Indonesia tidak selalu berjalan harmonis. Persoalan kemudian terletak pada interaksi-simbolik yang terbangun antara kelompok minoritas dan mayoritas serta prejudis-prejudis (termasuk stereotip-stereotip) yang muncul dan membayangi hubungan yang muncul antara keduanya. Pola-pola hubungan minoritas-mayoritas berbeda-beda di tiap provinsi Indonesia bergantung pada kuantitas masing-masing etnis, jenis etnis yang berhubungan, serta kondisi-kondisi sosial, politik, dan ekonomi yang melingkupi. Hal ini menjelaskan mengapa hubungan antara minoritas-mayoritas di provinsi Indonesia yang satu berbeda dengan hubungan di provinsi lainnya.

 

 


Nasionalisme. Nasionalisme adalah konsep yang mengkombinasikan perasaan identifikasi dengan orang, ideologi (yang menjelaskan kesamaan sejarah dan nasib), serta gerakan sosial (yang ditujukan untuk mencapai tujuan bersama berdasarkan ideologi). Nasionalisme kerap bertumpang-tindih dengan konsep ras dan etnis. Hitler, misalnya, membangun nasionalisme Jerman berdasarkan ras, yaitu ras Arya. Etnis Tamil di Srilangka berupaya mendirikan kebangsaan sendiri berdasarkan etnis Tamil karena merasa diopresi oleh Sinhala, etnis mayoritasnya. Aceh, di Indonesia, oleh kelompok Gerakan Aceh Merdeka-nya (dahulu) berupaya memerdekakan diri dari Republik Indonesia berdasarkan etnis Aceh akibat ketimpangan ekonomi, Belgia membangun negaranya berdasarkan dua bangsa: Belanda dan Perancis, atau etnis Catalan dan Basque di Spanyol terus terlibat dalam hubungan yang rumit dalam menyepakati nasionalisme Spanyol.


Berbeda dengan konsep ras dan etnis, konsep nasionalisme memiliki prasyarat ideologi, gerakan sosial, dan gerakan politik. Nasionalisme, dengan demikian dapat saja mendasarkan diri pada konsep ras ataupun etnis. Indonesia adalah contoh dari nasionalisme ini. Etnis-etnis, ras-ras, yang mengalami penjajahan Belanda di sekujur kepulauan Hindia, secara politik dinyatakan memiliki nasib yang sama dan sebab itu, secara ideologis merupakan satu bangsa seperti bunyi Soempah Pemoeda 1928 yaitu: (1) Berbangsa Satoe, Bangsa Indonesia; (2) Bertanah Air Satoe, Tanah Air Indonesia; dan (3) Berbahasa Satoe, Bahasa Indonesia. Ketiga sumpah ini adalah sumpah nasionalisme, wujud dari gerakan politik dalam menentang kekuasaan kerajaan Belanda atas wilayah-wilayah disekujur kepulauan Hindia. Sumpah politik tersebut sekaligus mengatasi perbedaan garis etnis, agama, dan ras yang tersebar di antara elemen-elemen bangsa Indonesia.

 


Genealogi Konsep Masyarakat Indonesia


Konsep Indonesia merupakan campuran dari aneka gagasan dalam bidang politik, sosiologi, ekonomi, budaya, sejarah, bahkan post-colonialism. Sebelum Indonesia yang dikenal kini, konsep Indonesia sebagai sebuah bangsa awalnya tidak ada. Jika kita lihat peta, maka Indonesia terdiri atas rangkaian pulau yang tersebar dari Sabang yang paling Barat hingga daerah Merauke di paling Timur. Dari Sangir di paling Utara hingga Timor di paling Selatan. Hampir di setiap wilayah di kisaran pulau tersebut dihuni masyarakat berbeda, dengan budaya yang berbeda pula. Lalu, apa yang bisa dikatakan sebagai budaya Indonesia?


Indonesia awalnya adalah sebuah gagasan. Gagasan kesatuan yang abstrak, yang meliputi wilayah jajahan Belanda. Gagasan yang kiranya masih baru dan terus mengalami perubahan dan adaptasi hingga saat ini. Gagasan yang kerap menghadapi sejumlah penolakan, separatisme, dan dekonstruksi ideologi hingga saat ini. Dari gagasan ini maka kajian sistem sosial dan budaya Indonesia berawal.

Indonesia adalah sebuah negara dengan hampir 18.000 pulau yang tersebar di antara benua Asia dan Australia. Hampir setiap pulau dihuni oleh etnis dengan budaya yang spesifik. Satu sama lain berbeda. Lalu, bagaimana mereka bisa mengikatkan diri ke dalam sebuah nation?


Menurut R.E. Elson, kata Indonesia pertama kali digagas oleh George Samuel Windsor Earl, pengamat sosial dari Inggris tahun 1850. Kata yang ia gagas adalah Indu-nesians. Saat itu Earl mencari istilah etnografis guna mengkategorisasi cabang ras Polinesia yang menghuni kepulauan Hindia (kepulauan kini Indonesia yang dibawah jajahan Belanda). Atau, istilah untuk menggambarkan ras-ras kulit coklat di Kepulauan Hindia. Namun, setelah menciptakan istilah Indu-Nesians, Earl langsung batal menggunakannya akibat terlalu umum lalu menggantinya dengan Malayunesians.


Rekan Earl bernama James Logan, mengabaikan sikap Earl dan memutuskan bahwa Indu-Nesian (kemudian disebut Indonesian) tetap lebih tepat ketimbang Malayunesians. Indonesian, bagi Logan, lebih menjelaskan istilah geografis bukan etnografis. Logan menyebut bahwa kata Indonesian adalah pemendekan dari istilah geografis Indian Archipelagian. Sebab itu, Logan merupakan orang pertama yang menggunakan istilah yang mendekati kata Indonesia.


Tahun 1877, E.T. Hamy, antropolog Perancis, menggunakan kata Indonesia untuk menjabarkan kelompok-kelompok ras prasejarah dan pra-Melayu tertentu di kepulauan Indonesia. Tahun 1880, antropolog Britania, A.H. Keane, mengikuti penggunaan Hamy. Di tahun yang sama, istilah Indonesia dalam pengertian geografis juga digunakan oleh ahli bahasa Britania, N.B. Dennys. Lalu di tahun 1882, Sir William Edward Maxwell, administrator kolonial dan ahli bahasa Melayu dari Britania mengikuti praktek Dennys.


Penggunaan istilah Indonesia lalu meluas. Adolf Bastian, etnograf Jerman, menggunakan kata Indonesia dalam 5 jilid karyanya berjudul Indonesien order die Inseln des Malayischen Archipel. Karya tersebut terbit tahun 1884-1894. Bastian ini memiliki reputasi ilmiah yang tinggi. Sebab itu, kata Indonesia lalu lebih dihormati serta digunakan secara lebih luas.


Pada September 1885, G.A. Wilken, seorang etnograf dan mantan pejabat Hindia Belanda (sekaligus profesor di Universitas Leiden Belanda) juga menggunakan istilah Indonesia. Wilken ini menggunakan istilah Indonesia secara geografis, sama seperti James Logan sebelumnya.


Para perkembangan kemudian, istilah Indonesia tidak lagi merujuk pada aspek geografis. Istilah itu juga kerap dipakai dalam konteks etnis dan budaya. Sejak karya Adolf Bastian, istilah Indonesia juga berfungsi menjabarkan suatu kawasan yang dihuni orang-orang dengan ciri etnis dan budaya yang mirip. Ciri tersebut meliputi bahasa, fisik, dan adat. Indonesia adalah kata sifat yang digunakan untuk mewakili sifat-sifat tersebut. Sementara kata Indonesian adalah orang-orang dengan ciri-ciri umum seperti itu, yang juga kadang digunakan untuk melukiskan penghuni pulau Madagaskar hingga Formosa. Indonesia adalah kata guna melukiskan tempat-tempat yang mereka huni.


Menurut Elson, aspek pertama gagasan Indonesia sebagai wilayah politik diutarakan pejabat Belanda. Pada tahun 1909, J.B. Van Heutsz, seorang Gubernur Jenderal Hindia Belanda menyatakan bahwa Belanda telah meluaskan otoritasnya hingga seluruh penjuru terjauh Nusantara. Monumen peringatan peristiwa tersebut didirikan tahun 1932 dan kini terletak di kompleks Masjid Cut Meutia, Menteng, Jakarta.


Aspek kedua munculnya Indonesia sebagai gagasan politik adalah integrasi horisontal seluruh wilayah Indonesia. Integrasi ini tercipta akibat perkembangan-perkembangan sarana berikut:

  1. angkutan, terutama rel kereta api dan jalan di Jawa serta jalur laut yang dibangun perusahaan perkapalan Belanda, Koninklijk Paketwaart maatschappij;
  2. kesaman mata uang;
  3. sistem administratif, pajak, dan hukum yang terpusat; dan
  4. wilayah-wilayah seperti Yogyakarta, Makassar, Medan, bahkan Kupang tidak bisa lagi dikatakan terisolasi dari pusat (Batavia/Jakarta).



 

No comments:

Post a Comment

buku bimbingan

                                                                                                                                            ...

082126189815

Name

Email *

Message *